Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Narkotika Al Kamal Sibolangit Centre)

(1)

1

PERANAN PUSAT REHABILITASI ANAK KORBAN

PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DITINJAU

DARI UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA

(Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Narkotika Al Kamal Sibolangit

Centre)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir dan Melengkapi Syarat

Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

NANDA ADHITYA KALO

110200281

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

i ABSTRAK Nanda Adhitya Kalo *)

Nurmalawaty **) Alwan ***)

Kejahatan anak merupakan perbuatan yang dilakukan oleh anak yang telah melanggar hukum yang dapat dikenai sanksi pidana bagi yang melanggar larangan tersebut. Salah satu jenis kejahatan yang biasa dilakukan oleh anak adalah penyalahgunaan terhadap narkotika. Penyalahgunaan narkotika merupakan penggunaan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter dan bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan.. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini terjadi seperti faktor diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. Di dalam UU No.35 Tahun 2009 telah menjamin bahwa anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika berhak mendapatkan rehabilitasi sebagai bentuk pengganti hukuman menurut pengadilan ataupun laporan dari pihak keluarga sesuai dengan pasal 54 dan 55 UU No.35 Tahun 2009.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika, apa saja aturan yang berkaitan dengan anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, bagaimanakah peranan pusat rehabilitasi narkotika dalam malaksanakan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Metode penelitian yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif-empiris, dimana dalam penelitian empiris dimaksudkan untuk memperoleh data primer, yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait, sementara hukum normatif yaitu melakukan suatu kajian terhadap peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi ini.

Kesimpulannya bahwa peran pusat rehabilitasi narkotika terhadap anak korban penyalahgunaan narkotika merupakan suatu tempat yang akan memfasilitasi para korban penyalahgunaan narkotika untuk memulihkan kondisi fisik dan kejiwaan mereka sehingga ketika para pecandu telah keluar dan tidak terikat kembali dengan aturan yang terdapat di pusat rehabilitasi, apa yang mereka dapatkan di pusat rehabalitasi dapat mereka terapkan pada lingkungannya dan dapat menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka adalah manusia yang normal.

_____________________________ *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

***) Dosen Pembimbing II, Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU


(3)

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rahmat yang telah diberikan-Nya selama ini, sehingga Penulis bisa menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar. Terima kasih dan penghargaan yang setinggi – tinggiya penulis persembahkan kepada kedua orang tua, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan Skripsi yang berjudul: Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Narkotika Al Kamal Sibolangit Centre) adalah guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa hasil penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karenanya, penulis sangat mengharapkan adanya saran dan kritik dari para pembaca skripsi ini. Kelak dengan adanya saran dan kritik tersebut, maka penulis akan dapat menghasilkan karya tulis yang lebih baik dan berkualitas, baik dari segi substansi maupun dari segi cara penulisannya.

Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K)., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara (USU).

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).


(4)

iii

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

4. Bapak Syarifuddin Hasibuan, S.H., M.Hum.,DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Bapak H.OK.Saidin,S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

6. Bapak Dr.M.Hamdan,SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

7. Ibu Liza Erwina, SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU.

8. Bapak Hemat Tarigan, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis selama perkuliahan.

9. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

10. Bapak Alwan, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini.

11. Para Dosen, Asisten Dosen, dan seluruh staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Pusat Rehabilitasi Narkotika Al Kamal Sibolangit Centre, khususnya terhadapnya Bapak Yayan Farhan dan Kakak Tia Arisanti, SH yang sudah


(5)

iv

banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Dan yang paling istimewa untuk Langga, berkat semangatnya yang luar biasa yang telah menginspirasi penulis.

13. Skripsi ini khusus penulis persembahkan kepada orang tua tercinta Bapak Drs. Eziddin Kalo dan Ibu Hj. Nursal Marawati, yang selalu memberi kasih sayang serta dukungan hingga penulis mampu menyiapkan skripsi ini. Tanpa dukungan, doa serta semangat dari beliau skripsi ini tidak akan selesai seperti saat ini.

14. Kepada Abang dan kakak tersayang, Nasrifal, SH., M.H. dan Natasha Alala Kalo yang selalu membantu segala kesusahan dan rintangan yang penulis hadapi dengan support dan doa yang diberikan. Serta yang terkasih dua ponakan kecil penulis Nadhif Ikhram Falsha dan Danish Akram Falsha yang selalu menjadi sumber keceriaan dan semangat penulis.

15. Kepada kakak dan adik tercinta Nova Iasha Kalo, SH., Nadya Aprilia Kalo dan Olla Yolanda yang selalu mendukung dan menjadi supporter terbesar dalam pembuatan skripsi ini.

16. Pak Uwo yang penulis hormati Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH. M.Hum. dan abang sepupu yang terbaik Eko Yudistira SH.Mkn. Yang selalu memberi dukungan kepada penulis.

17. Rizky Radityo, abang, sahabat, teman paling setia yang tak pernah henti memberi semangat dan dukungan kepada penulis dalam pembuatan skripsi ini


(6)

v

18. Sahabat tercinta, Dessy Putri Ayu Lestari dan Putri Puspita Sari, Amd., yang selalu senantiasa mendengar setiap keluh kesah dan berbagi suka duka bersama penulis

19. Sahabat terbaik, Dwi Wira Purnamasari, Susi Sofia Simbolon, Arnita Alfriana, Gabetta Solin, Dian Ekawati, Albert Fernando, Elmas Yuliantri terima kasih atas pengalaman selama perkuliahan. Semua terasa begitu cepat, begitu indah, tak akan pernah penulis lupakan suka duka itu.

20. Teman-teman Grup F, teman-teman IMADANA dan seluruh stambuk 2011 yang selalu memberi dukungan kepada penulis.

Medan, April 2015 Penulis


(7)

vi DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penulisan ... 8

F. Tinjauan Kepustakaan ... 9

1. Pengertian Anak ... 9

2. Pengertian Narkotika dan Golongannya ... 16

3. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika ... 26

G. Pengertian Rehabilitasi dan Jenisnya ... 30

H. Metode Penelitian... 33

I. Sistematika ... 36

BAB II. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA A. Faktor-Faktor Timbulnya Kejahatan ... 38

B. Faktor-Faktor Penyebab Anak Nakal ... 45

C. Faktor-Faktor yang Menyebabkan Penyalahgunaan Narkotika oleh Anak ... 54

BAB III. PENGARTURAN BERKAITAN MENGENAI ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DIDALAM UU NO.35 TAHUN 2009 A. Ketentuan Perlindungan Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika didalam UU No.35 Tahun 2009 ... 65


(8)

vii

BAB IV. PERANAN PUSAT REHABILITASI NARKOTIKA DALAM MELAKSANAKAN REHABILITASI TERHADAP ANAK KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (STUDI KASUS PUSAT REHABILITASI NARKOBA AL-KAMAL)

A. Tujuan dan Peranan Pusat Rehabilitasi Narkotika ... 91 B. Proses Rehabilitasi Terhadap Anak Korban Penyalahgunaan

Narkotika ... 100 BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan ... 110 B. Saran ... 112 DAFTAR PUSTAKA


(9)

i ABSTRAK Nanda Adhitya Kalo *)

Nurmalawaty **) Alwan ***)

Kejahatan anak merupakan perbuatan yang dilakukan oleh anak yang telah melanggar hukum yang dapat dikenai sanksi pidana bagi yang melanggar larangan tersebut. Salah satu jenis kejahatan yang biasa dilakukan oleh anak adalah penyalahgunaan terhadap narkotika. Penyalahgunaan narkotika merupakan penggunaan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter dan bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan.. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini terjadi seperti faktor diri sendiri, keluarga dan lingkungan sekitar. Di dalam UU No.35 Tahun 2009 telah menjamin bahwa anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika berhak mendapatkan rehabilitasi sebagai bentuk pengganti hukuman menurut pengadilan ataupun laporan dari pihak keluarga sesuai dengan pasal 54 dan 55 UU No.35 Tahun 2009.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika, apa saja aturan yang berkaitan dengan anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, bagaimanakah peranan pusat rehabilitasi narkotika dalam malaksanakan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Metode penelitian yang dipakai dalam skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif-empiris, dimana dalam penelitian empiris dimaksudkan untuk memperoleh data primer, yaitu melakukan wawancara dengan narasumber yang terkait, sementara hukum normatif yaitu melakukan suatu kajian terhadap peraturan perundang-undangan serta bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi ini.

Kesimpulannya bahwa peran pusat rehabilitasi narkotika terhadap anak korban penyalahgunaan narkotika merupakan suatu tempat yang akan memfasilitasi para korban penyalahgunaan narkotika untuk memulihkan kondisi fisik dan kejiwaan mereka sehingga ketika para pecandu telah keluar dan tidak terikat kembali dengan aturan yang terdapat di pusat rehabilitasi, apa yang mereka dapatkan di pusat rehabalitasi dapat mereka terapkan pada lingkungannya dan dapat menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka adalah manusia yang normal.

_____________________________ *) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

***) Dosen Pembimbing II, Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU


(10)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kasus-kasus penyalahgunaan narkotika yang marak terjadi di Indonesia kian lama, kian meresahkan masyarakat. Ini merupakan masalah yang sangat mengkhawatirkan yang perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah maupun seluruh masyarakat. Kasus penyalahgunaan narkotika ini tidak hanya terjadi terhadap orang dewasa saja. Tetapi, anak dan para remaja pun telah mengenal dan menggunakan narkotika. Ini dapat kita amati dari pemberitaan-pemberitaan baik di media cetak maupun media elektronik yang hampir setiap hari memberitakan tentang penangkapan para pelaku penyalahgunaan narkoba oleh aparat keamanan.

Pada awalnya, narkoba merupakan sarana suatu pengobatan, terutama terhadap proses pembedahan. Jenisnya yang pertama kali dikenal adalah candu oleh bangsa Sumeria. Dimana dengan menggunakan candu dapat meredakan rasa sakit (candu analgesik) dan menjadi obat bius (narkotik) sebelum pasien dioperasi.1Mengingat di dalam narkotika terkandung zat yang dapat mempengaruhi perasaan, pikiran, serta kesadaran pasien. Namun terhadap candu yang berlebihan akan menyebabkan ketagihan dan sesak. Sehingga pada masa itu, orang-orang Eropa mengganggap bahwa barang tersebut adalah barang setan. Setelah beberapa waktu kemudian diketahuilah bahwa candu mempunyai manfaat untuk kepentingan pengobatan.

1


(11)

Oleh karena itu, agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia, peredarannya haruslah diawasi secara ketat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Pentingnya peredaran narkotika diawasi secara ketat karena pemanfaatannya sendiri banyak yang telah disalahgunakan oleh pemakainya. Bahkan dengan perkembangan teknologi dan informasi pada zaman sekarang ini, peredaran narkotika telah menjangkau hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Daerah yang sebelumnya tidak pernah tersentuh oleh perederan narkotika lambat laun berubah menjadi sentral peredaran narkotika. Begitu pula anak-anak. Yang pada mulanya awam terhadap barang haram ini telah berubah menjadi sosok pecandu yang sukar dilepaskan ketergantungannya.

Pecandu pada dasarnya merupakan korban penyalahgunaan tindak pidana narkotika. Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika tersebut, di perlukan suatu kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan khususnya terhadap pecandu anak dan remaja.

Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu:2

1. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku.

2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya sebagai korban.

2

Moh. Taufik Makarao, Suhasril, Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 49-50


(12)

3. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya sebagai korban. 4. Biologically victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki

kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

5. Socially week victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.

Pecandu narkotika merupakan “self victimizing victims” yaitu korban akibat kejahatan yang dilakukannya sendiri, karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan, dimana ketergantungan itu merupakan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri.

Hal yang berbeda dalam undang-undang tentang narkotika adalah kewenangan yang diberikan kepada hakim untuk memvonis seseorang yang telah terbukti sebagai pecandu narkotika untuk dilakukannya rehabilitasi. Secara tersirat, kewenangan ini, mengakui bahwa pecandu narkotika, selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi kerap disebut dengan self victimization atau victimless crime. Sayangnya, rumusan tersebut tidak efektif dalam kenyataannya. Peradilan terhadap pecandu napza sebagian besar berakhir dengan vonis pemenjaraan dan bukan vonis rehabilitasi.

Saat Mahkamah Agung mengeluarkan sebuah surat ederan (SEMA RI no. 7 Tahun 2009) yang ditujukan kepada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia untuk menempatkan pecandu narkotika di panti rehabilitasi yang kemudian surat ederan tersebut diperbaharui dengan dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 Tahun 2010 tentang Penempatan


(13)

Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Tentunya Surat Ederan Mahkamah Agung ini merupakan langkah maju di dalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap pecandu narkotika. Dekriminalisasi adalah proses perubahan dimana penggolongan suatu perbuatan yang tadinya dianggap sebagai tindak pidana menjadi perilaku biasa. Kembali diperbaharui surat edaran tersebut dengan dikeluarkannya SEMA No. 03 Tahun 2011. Menegaskan bahwa bersamaan dengan telah dikeluarkannya UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika memberikan posisi yang sangat sentral kepada hakim khususnya terkait dengan penempatan dalam lembaga rehabilitasi medis dan sosial sejak dalam proses penyidikan, penuntutan, sampai proses pemeriksaan dipersidangan untuk menuangkan dalam bentuk penetapan.

Undang-undang tentang narkotika dalam perkembangannya telah diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Telah terjadi suatu pembaharuan hukum dalam ketentuan undang-undang ini, yakni dengan adanya dekriminalisasi para pelaku penyalahgunaan narkotika. Reformasi hukum pidana dalam undang-undang narkotika di Indonesia tampak sekali berproses dalam suatu dinamika perkembangan sosial dan teknologi yang berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas di Indonesia. Reformasi hukum pidana tersebut, khususnya ketentuan yang mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pengguna narkotika, merupakan bentuk langkah pembaharuan hukum pidana nasional yang menunjukkan adanya kebijakan hukum pidana yang


(14)

merupakan kebijakan yang bertujuan agar pengguna narkotika tidak lagi menyalahgunakan narkotika tersebut.

Sampai saat ini masalah penyalahgunaan narkotika terhadap anak dan remaja di Indonesia adalah ancaman yang sangat mencemaskan bagi keluarga khususnya dan suatu bangsa. Pemakaian narkotika yang tidak sesuai pada dosis sangatlah memberikan pengaruh yang buruk, baik dari segi kesehatan pribadinya maupun dampak sosial yang ditimbulkan. Para anak dan remaja korban penyalahgunaan narkotika akan menanggung beban psikologis dan sosial.

Kalangan ini mudah terpengaruh ke dalam pemakaian narkotika karena masa anak sampai remaja merupakan masa seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, menyangkut perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Mereka mudah dipengaruhi karena di dalam dirinya banyak parubahan dan tidak stabilnya emosi cenderung melakukan prilaku yang nakal.3 Menurut Zakiah Daradjat walaupun dari perkembangan jasmani dan kecerdasan telah betul-betul dewasa, dan emosinya juga sudah stabil, namun dari segi kematangan agama dan ideologi masih dalam proses pemantapan.4 Masa anak merupakan masa untuk mencoba segala hal yang ingin diketahui dan ingin mengetahui lebih dalam tentang yang diketahuinya. Dimasa ini anak-anak masih dalam pengawasan keluarga. Terkadang, meskipun sudah diawasi keluarga, ada faktor lain yang mempengaruhi mereka yaitu lingkungan sekitar. Dari hal ini, anak-anak akan mencoba dan terbiasa dengan yang namanya narkotika.

3

Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 2

4

Zakiah Daradjat, Faktor-Faktor yang Merupakan Masalah dalam Proses Pembinaan Generasi Muda, diselenggarakan di Jakarta, 24-26 Januari 1980


(15)

Oleh karena itu solusi yang perlu dilakukan dengan cara menginformasikan tempat rehabilitasi guna menyediakan suatu sarana untuk membantu dalam hal pemulihan bagi para pengguna khususnya bagi anak dan remaja.

Berdasarkan uraian di atas, maka judul yang penulis pilih dalam dalam penelitian ini adalah “Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Centre)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang trsebut diatas, berbagai persoalan yang timbul atau yang muncul, dalam skripsi ini dapat dikemukakan permaslahan yang akan diangkat pokok kajian dan penelitian ini, dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana faktor-faktor penyebab anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika?

2. Bagaiamana pengaturan anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika di dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika?

3. Bagaimanakah peranan pusat rehabilitasi narkotika dalam malaksanakan rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika?


(16)

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak.

2. Untuk mengetahui aturan di dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang membahas mengenai anak sebagai korban penyalahgunaan naroba.

3. Untuk mengetahui peranan pusat rehabilitasi narkotika dalam pelaksanaan rehabiliasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika.

D. Manfaat Penulisan 1. Secara Teoritis

Secara teoritis, memberikan sumbangan pemikiran bagi Ilmu Hukum khususnya hukum pidana, yang permasalahannya selalu berkembang seiring dengan perkembangan perilaku masyarakat. Dan diharapkan dapat menjembatani antara kepentingan hukum dan hak-hak yang harus dipenuhi bagi para pecandu narkotika. Dan mampu memberikan pemikiran terhdap masyarakat banyak agar mampu mengaktifkan fungsi pusat rehabilitasi sebagai bentuk kepedulian kita terhadap para pecandu narkotika khususnya anak dan remaja. Dengan skripsi ini masyarakat tau bagaimana harus memposisikan korban yang merupakan pecandu narkotika dengan para pengedar narkotika.


(17)

2. Secara Praktis

a. Bagi para penentu dan pembuat peraturan diharapkan skripsi ini dapat dijadikan salah satu masukan dalam pengambilan kebijakan terhadap hak anak dan sanksi yang akan diberikan terhadap pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh anak.

b. Bagi orang tua, skripsi ini dapat dijadikan bahan renungan dalam melakukan pengawasan terhadap pergaulan pada anak dengan memberikan pengetahuan sedini mungkin tentang bahayanya narkotika. c. Bagi penulis, untuk menambah wawasan dan pengetahuan khususnya,

hukum pidana tentang kejahatan anak, bahayanya narkotika dan sanksi terhadap anak sebagai penyalahgunaan narkotika.

d. Bagi masyarakat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat luas dalam hal pemberantasan narkotika khususnya mengenalkan bahayanya narkotika terhadap anak dan remaja.

E. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan penulis“Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Centre) yang diangkat menjadi judul skripsi ini belum pernah di tulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .


(18)

Topik permasalan ini sengaja dipilih oleh penulis adalah berdasarkan hasil pemikiran penulis sendiri. Skripsi ini belum pernah ada yang membuat. Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwasanya substansi pembahasannya adalah berbeda. Dalam skripsi ini, penulis mencoba menguraikan pembahasannya kearah bagaimana pusat rehabilitasi melakukan rehabilitasi terhadap anak-anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan.

F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Anak

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penurus bangsa dan penerus pembangunan , yaitu generasi yang di persiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara.5 Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu.6 Sekalipun hubungan tersebut tidak berlandaskan atas fondasi hukum yang berlaku, khususnya di Indonesia.

Black’s Law Dictionary, menjelaskan: “Child is one who had not attained the age of fourteen years, though the meaning now various in different statutes, e.g. child labor, support, criminal etc.”7 Yang artinya adalah usia anak 14 tahun dalam konteks ini, sudah dipakai dalam ketentuan yang berbeda, misalnya: untuk

5

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 2011, hlm. 1

6

WJS. Poerdaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1992, hlm. 38-39

7


(19)

bekerja, membantu sesuatu, perbuatan yang dapat dikatagorikan tindak pidana dan sebagainya. Perbuatan anak itu sudah mengandung nilai yuridis.

Departermen Kesehatan menggolongkan anak menjadi 4 golongan, yaitu: 1. Usia 0 tahun sampai dengan 5 tahun (usia balita);

2. Usia 5 tahun sampai dengan 10 tahun (usia anak-anak);

3. Usia 10 tahun sampai dengan 20 tahun (usia remaja atau teenager, juvenile);

4. Usia 20 tahun sampai dengan 30 tahun (usia menjelang dewasa).8

Penggolongan usia anak dalam konteks ini, sebenarnya tidak dikaitkan dengan dengan tanggung jawab yuridis dari si anak. Hal ini hanya sebagai tolak ukur di dalam dunia kesehatan dalam melihat tumbuh kembang anak. Namun, tidak berlebihan pula jika seorang anak yang telah berusia 10 tahun ke atas (remaja menjelang dewasa) sudah layak untuk dijatuhi sanksi apabila telah melakukan tindakakan pidana.

Hal ini sejalan dengan pendapat Sri Widowati Sukito yang diuraikan dalam tulisannya:

Juvenile delinquency, ditentukan atas dasar umur para pelaku dan atas dasar macam tingkah laku para pelaku untuk diajukan ke pengadilan anak. Kebanyakan negara mempunyai batas umur minimum dan batas umur maksimum seorang anak untuk dapat diajukan ke pengadilan anak dengan pengertian, batas umur minimum hanya berlaku bagi delinquent child. Sedangkan dependant atau neglected child tidak ada batas umur minimum.9

Dalam perkembangannya anak di klasifikasikan menjadi beberapa bagian, yaitu :

8

Muhammad Thohir, Seminar Kesehatan Anak, Rumah Sakit Islam, Surabaya, 1993, hlm. 6.

9


(20)

1. Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah atau hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.10

2. Anak terlantar, yaitu anak yang tidak memenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

3. Anak yang menyandang cacat, yaitu anak yang mengalami hambatan fisik dan atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan secara wajar.

4. Anak yang memiliki keunggulan yaitu, anak yang memiliki kecerdasan luar biasa, atau potensi dan atau bakat yang istimewa.

5. Anak angkat, yaitu anak yang haknya dialaihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan penetapan pengadilan.

6. Anak asuh, yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang si anak secara wajar.11

Mengenai pengertian anak di bawah umur (belum dewasa) tercantum dalam Pasal 330 KUHPerdata yang bunyinya sebagai berikut: “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dari dua puluh satu tahun, dan

10

KHI, Pasal 99

11


(21)

tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dalam kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ke-tiga, ke-empat, ke-lima, ke-enam bab ini.

12

Jadi yang dimaksud belum dewasa(di bawah umur) berdasarkan Pasal 330 KUHPerdata adalah:

7. Belum penuh berumur 21 tahun 8. Belum pernah kawin

Sedangkan di dalam Hukum Perkawinan Indonesia mendefinisikan pengertian anak adalah anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.13 Pengertian ini memberikan penjalasan mengenai kemampuan anak itu sendiri. Apabila anak telah mencapai usia 18 tahun namun belum mampu untuk menghidupi dirinya sendiri, maka ia tetaplah dikatakan anak. Begitu pula sebaliknya apabila dia sudah menginjak usia 18 tahun dan telah mampu melakukan perbuatan hukum, maka ia dapat untuk dimintai pertanggung jawaban hukum yang telah dilakukannya.

Sementara itu , menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 98 (1) dikatakan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,

12

R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek Dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984, hlm. 98.

13


(22)

sepanjang anak tersebut tidak bercacat secara fisik maupun mental atau belum pernah melakukan perkawinan.14

Pengertin dewasa, menurut hukum positif di Indonesia masihlah sangat rancu. Semuanya terbatasi oleh kepentingan hukum apa yang telah disoroti. Kedewasaan merupakan salah satu unsur pemidanaan yang sangat penting untuk menentukan subjek hukum pidana dan sanksi pidana yang akan diberikan. Anehnya, sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, Indonesia belumlah memiliki batasan usia minimum yang jelas bagi anak yang dapat diajukan dalam persidangan anak, seperti yang dilakukan oleh Negara-negara lain. Penentuan batas usia minimum dan maksimum ini diperlukan karena di Negara-negara tersebut membedakan antara delinquent child (anak yang melakukan pelanggaran) dan neglected child (dependant).15 Sehingga setiap tindak pidana yang dilakukan oleh anak sebelum dikeluarkannya Undang Tentang Peradilan Anak masihlah mengacu terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Khususnya terhadap Pasal 45, 46, 47 KUHP yang masih memiliki banyak kekurangan.

Pasal 45:

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasar- kan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503 - 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

14

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilsai Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Jakarta, 2001, hlm.50

15


(23)

Pasal 46:

(1) Jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun.

(2) Aturan untuk melaksanakan ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 47:

(1) Jika hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga.

(2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun

(3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan.

Maka dari uraian pasal di dalam KUHP menjelaskan bahwa batas usia terhadap anak adalah sebelum anak tersebut berusia 16 tahun. Namun hal lain yang dapat kita ambil dalam pasal-pasal tersebut adalah bahwa pasal tersebut hanya menentukan apa yang terjadi dengan seorang anak di bawah umur apabila anak tersebut melakukan kejahatan ataupun pelanggaran dan pasal-pasal tersebut telah dicabut semenjak dikeluarkannya Undang-Undang Tentang Peradilan Anak yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Tentang Sistem Peradilan Anak . Di dalam hukum acara pidana tidak mengatur peraturan khusus bagi anak-anak. Sehingga anak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran akan diadili dengan sebuah proses yang sama dengan orang dewasa. Padahal untuk melakukan pelaksanaan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak dibutuhkan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun lembaga hukum yang


(24)

mantap dan memadai. Oleh karena itu pengaturan mengenai perlindungan dan peradilan anak diperlukan aturan dan perlakuan secara khusus. 16

Sedangkan di dalam Undang-Undang Tentang Peradilan Anak dikatakan bahwa pengertian dari anak nakal adalah anak yang melakukan pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Namun, dalam perkara anak nakal ini hanya bisa diajukan ke pengadilan apabila telah mencapai umur 8 tahun, tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.17

Batas umur 8 tahun bagi anak nakal untuk dapat diajukan ke persidangan anak karena didasarkan atas pertimbangan : sosiologis, psikologis dan pedagogis, yang pada dasarnya anak yang belum berusia 8 tahun, dianggap belum dapat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.18

Namun setelah di perbaharuinya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak menjadi Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak istilah anak nakal dihapuskan dan diganti menjadi anak yang berhadapan dengan hukum. Anak yang berhadapan dengan hukum memiliki perngertian yang jauh lebih luas daripada anak nakal sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. Jika anak nakal memposisikan seorang anak hanya sebagai yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang terlarang bagi anak. Berbeda

16

Maret 2015, pukul 20.15 WIB.

17

Pasal 1 dan 2, UU. No. 3 Tahun 1997 Tantang Peradilan Anak

18


(25)

dengan anak yang berhadapan dengan hukum yang disebutkan di dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2012.

Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana

Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

Anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang di dengar,

2. Pengertian Narkotika dan Golongannya

Dari kata penyalahgunaan narkotika menandakan bahwa narkotika tidak selalu bermakna negatif. Jika narkotika digunakan dengan baik dan benar narkotika akan memberikan manfaat khususnya di dalam bidang kesehatan dalam hal digunakan sebagai obat bius. Di dalam dunia kesehatan narkotika di kenal sebagai NAPZA (Narkoba, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya).


(26)

Dengan perkembangan teknologi dan industri obat-obatan, maka katagori jenis zat-zat narkotika semakin meluas pula seperti yang tertera dalam Lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika:

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, megurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan , yang di bedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana yang terlampir di dalam Undang-Undang ini.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka obat-obatan semacam narkotika berkembang pula cara pengolahannnya dan peredarannya. Namun belakangan diketahui bahwa zat-zat narkotika memiliki daya kecanduan yang bisa menimbulkan ketergantungan. Dengan demikian, maka untuk jangka waktu yang cukup panjang bagi si pemakai memerlukan pengobatan, pengawasan dan pengendalian guna bisa disembuhkan.

Melihat, begitu besarnya efek negatif yang timbulkan dari narkotika apabila tidak digunakan sesuai dengan peruntukkannya, maka pemerintah perlulah mengawasi peredarannya di masyarakat. Agar narkotika tersebut tidak dipersalahgunakan oleh sebagian kalangan yang akan merugikan diri mereka sendiri. Oleh karenanya dikeluarlah Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika agar peredarannya di masyarakat dapat diawasi secara ketat sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 4 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.


(27)

b. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; c. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari

penyalahgunaan narkotika;

d. Memberantas peredaran gelap narkotika dan Prekusor narkotika; dan

e. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi Penyalahguna dan Pecandu Narkotika.

Sedangkan untuk pengertian narkotika sering diistilahkan sebagai drug yaitu sejenis zat yang dapat mempengaruhi tubuh si pemakai. Pengaruh-pengaruh tersebut berupa:19

a. Pengaruh menerangkan.

b. Pengaruh rangsangan (rangsangan semangat dan bukan rangsangan seksual).

c. Menghilangkan rasa sakit.

d. Menimbulkan halusinasi atau khayalan.

Sudarto mengatakan bahwa: 20 “Kata narkotika berasal dari perkataan Yunani “Narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.”

Smith Kline dan Frech Clinical Staff mendefinisikan bahwa:21

“Narkotika adalah zat-zat atau obat-obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan saraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk candu, zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, methadone).”

Zat-zat yang sering disalahgunakan dan dapat menyebabkan gangguan dapat digolongkan sebagai berikut:22

a. Opioda, misalnya morfin, heroin, petidin dan candu; b. Ganja atau kanabis, misalnya mariyuana dan hashish; c. Kokain atau daun koka

d. Alkohol yang terdapat dalam minuman keras;

19

Soedjono Dirdjosisworo, Kriminologi, Bandung, Citra Aditya, 1995, hlm. 157

20

Taufik Makarao, Suhasril, dan H.Moh Zakky, Op.Cit., hlm. 17.

21

Ibid, hlm. 18

22

Tina Afiatin, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, hlm.6.


(28)

e. Amfetamin

f. Halusinogen, misalnya LSD, meskalin dan psilosin g. Sedative dan hipnotika, misalnya matal,rivo, nipam; h. Fensiklidin (PCP);

i. Solven dan inhalansia;

j. Nikotin yang terdapat pada tembakau; k. Dan kafein yang terdapat pada kopi.

Semua zat ini akan berpengaruh terhadap susuanan saraf pusat otak sehingga disebut sebagai zat psikotropika atau psikoaktif. Holmes membagai psikoaktif ke dalam tiga katagori yaitu:23

a. Depresan, adalah jenis psikoaktif yang mempunyai pengaruh mengurangi aktivitas fungsional tubuh, yaitu dengan mengurangi dorongan fisiologis dan ketegangan psikologis. Misalnya: Alkohol dan Heroin

b. Stimulan, adalah zat yang merangsang atau meningkatkan fungsi kerja tubuh. Ada dua macam yang termasuk pada katagori ini, yaitu amfetamin dan kokain.

c. Halusinogen, adalah zat yang efek utamnya mengubah pengalaman persepsi, termasuk perupahan persepsi yang dramatik, yaitu terjadinya halusinasi. Misalnya LSD dan mariyuana.

Narkotika akan menimbulkan daya adiksi (ketagihan) yang sangat berat. Narkotika juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi. Ketiga sifat narkotika ini yang menyebabkan pemakai narkotika tidak dapat lepas dari cengkramannya. Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, jenis narkotika di bagi ke dalalm 3 (tiga) kelompok, yaitu narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III. Setiap golongan narkotika memiliki fungsi yang berbeda-beda, yaitu:

Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta

23


(29)

mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk golongan I adalah:24

1. Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya.

2. Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L dengan atau tanpa mengalami pengolahan sekedarnya untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar morfinnya.

3. Opium masak terdiri dari :

a.candu, hasil yang diperoleh dari opium mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan.

b. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain.

c. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.

4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya.

5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon dari keluarga Erythroxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia.

6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina.

7. Kokaina, metil ester-1-bensoil ekgonina.

8. Tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. 9. Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo

kimianya.

10.Delta 9 tetrahydrocannabinol, dan semua bentuk stereo kimianya. 11.Asetorfina : 3-0-Acetiltetrahidro-7α-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-

endoeteno-oripavina.

12.Acetil–alfa–metil fentanil : N-[1-(α-Metilfenetil)-4-piperidil] asetanilida.

13.Alfa-metilfentanil : N-[1 (α-Metilfenetil)-4-piperidil] propionanilida 14.Alfa-metiltiofentanil : N-[1-] 1-Metil-2-(2-tienil) etil]-4-piperidil]

priopionanilida

15.Beta-hidroksifentanil:N-[1-(beta-Hidroksifenetil)-4-piperidil propionanilida

24

Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan No. 13 Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika.


(30)

16.Beta-hidroksi-3-metil-fentanil : N-[1-(beta-Hidroksifenetil)-3-metil-4 piperidil]propionanilida.

17.Desmorfina : Dihidrodeoksimorfina

18.Etorfina: Tetrahidro-7α -(1-hidroksi-1-metilbutil)-6,14-endoeteno-oripavina

19.Heroina : Diacetilmorfina

20.Ketobemidona: 4-Meta-hidroksifenil-1-metil-4-propionilpiperidina 21.3-Metilfentanil: N-(3-Metil-1-fenetil-4-piperidil) propionanilida 22.3-Metiltiofentanil: N-[3-Metil-1-[2-(2-tienil) etil]-4-piperidil]

propionanilida

23.MPPP : 1-Metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester)

24.Para-fluorofentanil : 4‘-Fluoro-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionanilida 25.PEPAP : 1-Fenetil-4-fenil-4-piperidinolasetat (ester)

26.Tiofentanil : N-[1-[2-(2-Tienil)etil]-4-piperidil] propionanilida

27.BROLAMFETAMINA, nama lain DOB : (±)-4-Bromo-2,5-dimetoksi- α – metilfenetilamina

28.DET : 3-[2-(Dietilamino )etil] indol

29.DMA : ( + )-2,5-Dimetoksi- α –metilfenetilamina

30.DMHP : 3-(1,2-Dimetilheptil)-7,8,9,10-tetrahidro-6,6,9-trimetil-6H-dibenzo[ b,d]piran-1-ol

31.DMT : 3-[2-( Dimetilamino )etil] indol

32.DOET : (±)-4-Etil-2,5-dimetoksi- α –metilfenetilamina

33.ETISIKLIDINA, nama lain PCE : N-Etil-1-fenilsikloheksilamina 34.ETRIPTAMINA. : 3-(2-Aminobutil) indol

35.KATINONA : (-)-(S)- 2-Aminopropiofenon

36.( + )-LISERGIDA, nama lain LSD, LSD-25 : 9,10-Didehidro-N,N-dietil-6- metilergolina-8 β–karboksamida

37.MDMA : (±)-N, α-Dimetil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina 38.Meskalina : 3,4,5-Trimetoksifenetilamina

39.METKATINONA : 2-(Metilamino )-1- fenilpropan-1-on

40. 4- Metilaminoreks : (±)-sis- 2-Amino-4-metil- 5- fenil- 2-oksazolina 41.MMDA : 5-Metoksi- α-metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina

42.N-etil MDA : (±)-N-Etil- α -metil-3,4-(metilendioksi)fenetilamina 43.N-hidroksi MDA : (±)-N-[α-Metil-3,4-(metilendioksi)fenetil] hidroksil

amina

44.Paraheksil : 3-Heksil-7,8,9,10-tetrahidro-6,6, 9-trimetil-6H-dibenzo[b,d] piran-1-ol

45.PMA : p-Metoksi-α–metilfenetilamina

46.psilosina, psilotsin : 3-[2-(Dimetilamino )etil]indol-4-ol

47.PSILOSIBINA : 3-[2-(Dimetilamino)etil]indol-4-il dihidrogen fosfat 48.ROLISIKLIDINA, nama lain PHP, PCPY: 1-( 1-

Fenilsikloheksil)pirolidina

49.STP, DOM : 2,5-Dimetoksi- α ,4-dimetilfenetilamina

50. TENAMFETAMINA, nama lain MDA : α -Metil-3,4-(metilendioksi) fenetilamina


(31)

52.TMA : (±)-3,4,5-Trimetoksi- α –metilfenetilamina 53.AMFETAMINA : (±)- α–Metilfenetilamina

54.DEKSAMFETAMINA : ( + )- α–Metilfenetilamina 55.FENETILINA : 7-[2-[(α-Metilfenetil)amino]etil]teofilina 56.FENMETRAZINA : 3-Metil-2-fenilmorfolin

57.FENSIKLIDINA, nama lain PCP : 1-(1-Fenilsikloheksil)piperidina 58.LEVAMFETAMINA, nama lain levamfetamina: (- )-(R)- α–

Metilfenetil amina

59.Levometamfetamina : ( -)-N, α–Dimetilfenetilamina

60.MEKLOKUALON: 3-(o-klorofenil)-2-metil-4(3H)- kuinazolinon 61.METAMFETAMINA : (+ )-(S)-N, α–Dimetilfenetilamina

62.METAKUALON : 2-Metil-3-o-tolil-4(3H)-kuinazolinon 63.ZIPEPPROL:α-(α-Metoksibenzil)-4-(β

-metoksifenetil)-1-piperazinetano

64. Sediaan opium dan/atau campuran dengan bahan lain bukan Narkotika 65.5-APB: 5-(2-Aminopropil)benzofuran; 1-benzofuran-5-ilpropan amina 66.6-APB : 6-(2-Aminopropil)benzofuran ; 1-benzofuran-6-ilpropan-2-

amina

67.25B-NBOMe:2-(4-Bromo-2,5-dimetoksifenil)-N-[(2-metoksifenil) metil]etanamina

68.2-CB:2-(4-Bromo-2,5-dimetoksifenil)etanamina;4-Bromo-2,5- dimetoksimetamfetamina

69.25C-NBOMe, nama lain 2C-c-NBOMe: 1-(4-Kloro-2,5-dimetoksifenil)-N- [(2-metoksifenil)metal]-2-etanamia

70. Dimetilamfetamina, nama lain DMA : N,N-Dimetil-1-fenilpropan-2- amina

71.DOC : 1-(4-Kloro-2,5-dimetoksi-fenil)propan-2-amina 72.ETKATINONA: 2-etilamino-1-fenilpropan-1-on

73.JWH-018 : (1-Pentil-1H-indol-3-il)-1-naftalenil-metanon

74.MDPV: 3,4-Metilendioksipirovaleron, nama lain : 1-(3,4- metilendioksifenil)-2-(1-pirolidinil)pentan-1-on;

75.MEFEDRON,namalain 4-MMC: 1-(4-metilfenil)-2 metilaminopropan-1- on

76.METILON,nama lain MDMC: 2-Metilamino-1-(3,4- metilendioksifenil) propan-1-on

77.4-METILKATINONA, nama lain 4-MEC : 2-etilamino-1-(4- metilfenil)propan-1-on

78. MPHP : 1-(4-Metilfenil)-2-(1-pirrolidinil)-1-heksan-1-on

79. 25I-NBOMe, nama lain 2C-I-NBOMe : 1-(4-Iodo-2,5-dimetoksifenil)-N- [(2-metoksifenil)metil]etanamina

80.PENTEDRONE : (±)-1-Fenil-2-(metilamino)pentan-1-on

81.PMMA:p-Metoksimetamfetamina;N-metil-1-(4Metoksifenil)propan-2- amina

82.XLR-11: (1-(5-Fluoropentil)-1H-indol-3-il)2,2,3,3-tetrametilsiklo propil)- metanon


(32)

Golongan II : Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk golongan II adalah:25

1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4,4-difenilheptana 2. Alfameprodina : Alfa-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 3. Alfametadol : alfa-6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol

4. Alfaprodina : alfa-l, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina

5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4,5-dihidro-5-okso-l H-tetrazol-1-il)etil]-4-(metoksimetil)-4-pipe ridinil]-N-fenilpropanamida

6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina

7. Anileridina : Asam 1-para-aminofenetil-4-fenilpiperidina)-4-karboksilat etil ester

8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana

9. Benzetidin : asam 1-(2-benziloksietil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

10.Benzilmorfina : 3-benzilmorfina

11.Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina 12.Betametadol : beta-6-dimetilamino-4,4-difenil-3–heptanol

13.Betaprodina : beta-1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipipe ridina 14.Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana 15.Bezitramida :

1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-(2-okso-3-propionil-1-benzimidazolinil)-piperidina

16.Dekstromoramida : (+)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)butil]-morfolina

17.Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-propil]propionanilida 18.Dietiltiambutena : 3-dietilamino-1,1-di(2'-tienil)-1-butena

19.Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

20.Difenoksin : asam 1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4-fenilisonipekotik 21.Dihidromorfina

22.Dimefheptanol : 6-dimetilamino-4,4-difenil-3-heptanol 23.Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1,1-difenilasetat 24.Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1,1-di-(2'-tienil)-1-butena 25.Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat

26.Dipipanona : 4, 4-difenil-6-piperidina-3-heptanona

27.Drotebanol : 3,4-dimetoksi-17-metilmorfinan-6ß,14-diol

28.Ekgonina, termasuk ester dan derivatnya yang setara dengan ekgonina dan kokaina.

25


(33)

29.Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2'-tienil)-1-butena 30.Etokseridina :

asam1-[2-(2-hidroksietoksi)-etil]-4fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

31.Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5nitrobenzimedazol 32.Furetidina : asam 1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)4

fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester)

33.Hidrokodona : dihidrokodeinona

34.Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-karboksilat etil ester

35.Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina 36.Hidromorfona : dihidrimorfinona

37.Isometadona : 6-dimetilamino- 5 -metil-4, 4-difenil-3-heksanona 38.Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona

39.Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionanilida 40.Fenazosina : 2'-hidroksi-5,9-dimetil- 2-fenetil-6,7-benzomorfan 41.Fenomorfan : 3-hidroksi-N–fenetilmorfinan

42.Fenoperidina : asam1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat Etil ester

43.Fentanil : 1-fenetil-4-N-propionilanilinopiperidina

44.Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-5-nitrobenzimidazol 45.Kodoksima : dihidrokodeinona-6-karboksimetiloksima

46.Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan

47.Levomoramida : (-)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1pirolidinil)butil] morfolina

48.Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfinan 49.Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan

50.Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona

51.Metadona intermediate : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana 52.Metazosina : 2'-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan

53.Metildesorfina : 6-metil-delta-6-deoksimorfina 54.Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina 55.Metopon : 5-metildihidromorfinona

56.Mirofina : Miristilbenzilmorfina

57.Moramida intermediate : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1difenilpropana karboksilat

58.Morferidina : asam 1-(2-morfolinoetil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester

59.Morfina-N-oksida

60.Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida, salah satunya kodeina-N-oksida

61.Morfina

62.Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina

63.Norasimetadol : (±)-alfa-3-asetoksi-6metilamino-4,4-difenilheptana 64.Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan


(34)

66.Normorfina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina 67.Norpipanona : 4,4-difenil-6-piperidino-3-heksanona 68.Oksikodona : 14-hidroksidihidrokodeinona

69.Oksimorfona : 14-hidroksidihidromorfinona

70.Petidina intermediat A : 4-siano-1-metil-4-fenilpiperidina

71.Petidina intermediat B : asam4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 72.Petidina intermediat C : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat 73.Petidina : Asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester 74.Piminodina : asam 4-fenil-1-( 3-fenilaminopropil)- pipe

ridina-4-karboksilat etil ester

75.Piritramida : asam1-(3-siano-3,3-difenilpropil)-4(1-piperidino)-piperdina-4-Karbosilat armada

76.Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiazasikloheptana

77.Properidina : asam1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester

78.Rasemetorfan : (±)-3-metoksi-N-metilmorfinan

79.Rasemoramida : (±)-4-[2-metil-4-okso-3,3-difenil-4-(1-pirolidinil)-butil]-morfolina

80.Rasemorfan : (±)-3-hidroksi-N-metilmorfinan

81.Sufentanil : N-[4-(metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil -4-piperidil] propionanilida

82.Tebaina

83.Tebakon : asetildihidrokodeinona

84.Tilidina : (±)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat

85.Trimeperidina : 1,2,5-trimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina 86.Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas

Golongan III : Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Adapun yang termasuk golongan III adalah:26

1. Asetildihidrokodeina

2. Dekstropropoksifena: α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-butanol propionate

3. Dihidrokodeina

4. Etilmorfina : 3-etil morfina 5. Kodeina : 3-metil morfina

6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina

26


(35)

7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina 8. Norkodeina : N-demetilkodeina 9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina

10.Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamida 11.Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α

-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]-6,14-endo-entano-6,7,8,14- tetrahidrooripavina

12.Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas

13.Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika 14.Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan

narkotika

3. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika

Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang luas, baik dari sudut medis, kesehatan, jiwa maupun psikososial. Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tidak memberikan pengertian dan penjelasan yang jelas mengeani istilah penyalahgunaan, hanya istilah penyalah guna yang terdapat di dalam undang-undang tersebut, yaitu penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau secara melawan hukum.27 Maka secara sistematis kita dapat mengambil kesimpulan dari bunyi pasal tersebut adalah penyalahgunaan narkotika merupakan penggunaan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Karena pada hakikatnya narkotika hanyalah di peruntukkan untuk hal dan tindakan medis dengan pengawasan dan izin dari seorang dokter. Pengertian penyalahgunaan narkotika yang di kemukan oleh Soedjono Dirdjosisworo adalah bentuk kejahatan berat sekaligus merupakan penyebab yang dapat menimbulkan berbagai bentuk kejahatan.28

Batasan mengenai penyalahgunaan yang diterapkan, baik oleh Konvensi Tunggal Narkotika 1961 (United Nations Single Convention on Narcotic Drugs 1961) maupun Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan

27

Pasal 1 angka (14), UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

28


(36)

Peredaran Gelap Narkoba dan Psikotropika 1988 (United Nations Convention Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988), tidak jauh berbeda dengan apa yang telah diuraikan di atas. Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan nasional yang dibuat khusus di Indonesia berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, dan merupakan wujud dan bentuk nyata dari pengesahan atau pengakuan pemerintahan Indonesia terhadap Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol Tahun 1972 yang telah mengubahnya.29

Konvensi Tunggal Narotika 1961 (United Nations Single Convention on Narcotic Drugs 1961) secara tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat 5 sub (b) bahwa:30

“A party shall, if in its opinion the prevailing conditions its our country render in the most appropriate means of protecting the public health and welfare, prohibit the production, manufacture, export and import of, trade in, possession or use of any such drug except for amounts which may be necessary for medical and scientific research only, including clinical trials there with to be conducted under or subject to the direct supervision and control of the party”

Yang artinya kurang lebih:

“Suatu Pihak waib, jika menurut pendapatnya berdasarkan kondisi yang berlaku di negaranya membuat itu cara yang paling tepat untuk melindungi kesehatan masyarakat dan kesejahteraan, melarang produksi, manufaktur, ekspor, impor, perdagangan, pemilikan, atau penggunaan narkoba apapun kecuali seperti untuk jumlah yang mungkin diperlukan untuk penelitian medis dan ilmiah saja, termasuk uji klinis dengannya akan dilakukan dibawah atau tunduk pada pengawasan dan control langsung dari pihak tersebut.”

Menurut Dadang Hawari menyebutkan terdapat tiga kelompok besar penyalahguna narkoba beserta resiko yang dialaminya, yaitu:31

a. Kelompok ketergantungan primer, yang ditandai dengan adanya kepribadian yang tidak stabil, mengalami gangguan, cemas, dan depresi. Mereka mencoba mengobati sendiri gangguan yang

dan Contoh Kasusnya, 08 Desember 2014, 22.00 WIB.

30 Ibid.

31

Dadang Hawari, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1991, hlm. 14


(37)

dialaminya tanpa berkonsultasi dengan dokter sehingga terjadi penyalahgunaan sampai pada tingkat ketergantungan

b. Kelompok ketergantungan simtomatis, yang ditandai dengan adanya kepribadian anti social (psikopatik). Mereka menggunakan narkoba tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga “menularkannya” kepada orang lain dengan berbagai cara sehingga orang lain dapat “terjebak” ikut memakainya hingga mengalami ketergantungan yang serupa. c. Kelompok ketergantungan reaktif, mereka merupakan yang terdapat

di kalangan remaja karena dorongan ingin tahu, pengaruh lingkungan dan tekanan kelompok teman sebaya.

Namun di dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya menjelaskan lebih lanjut mengenai definisi penyalahgunaan narkotika

Pasal 1 butir 4 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya menyatakan bahwa :

Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainya yang selanjutnya disebut Penyalahgunaan NAPZA adalah pemakaian narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dengan maksud bukan untuk pengobatan dan/atau penelitian serta digunakan tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.

Sedangkan korban penyalahunaan narkotika adalah seorang yang menggunakan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.32

Zat adiktif memang dapat menimbulkan sejumlah efek diantaranya:

a. Keinginan yang tak tertahankan terhadap zat tersebut, dan dengan berbagai cara akan berusaha untuk terus memperolehnya.

32

Pasal 1 (3), Peraturan Menteri Sosial No. 26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya.


(38)

b. Memiliki kecenderungan untuk menambah dosis sesuai dengan toleransi tubuh.

c. Ketergantungan psikis, sehingga jika pemakaiannya dihentikan akan menimbulkan gejala kecemasan, depresi, dan kegelisahan

d. Ketergantungan fisik, yang apabila pemakaian obat itu dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang sering disebut sebagai gejala putus obat seperti mual, sukar tidur, diare dan demam.

Meskipum zat tertentu sangat bermanfaat bagi pengobatan, namun jika disalahgunakan, atau penggunaanya tidak sesuai dengan standar pengobatan, akan berakibat sangat merugikan bagi si pemakai maupun orang lain di sekitarnya, bahkan masyarakat umum. Efek pemakaian psikotropika yaitu dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan saraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.33

Dalam hal penyalahgunaan narkotika, pemerintah telah mengatur suatu proses pembinaan yang dapat membantu masyarakat khususnya anak untuk dapat mencegah sedini mungkin diri mereka agar tidak terjerat dengan penyalahgunaan narkotika. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Atas UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika di dalam Pasal 49 bahwa:


(39)

(1) Pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dilakukan oleh Menteri.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya:

a. memenuhi ketersediaan Narkotika untukkepentingan pelayanan kesehatan dan/ataupengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; b. mencegah penyalahgunaan Narkotika;

c. mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan Narkotika;

d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitiandan/atau pengembangan ilmu pengetahuan danteknologi yang berkaitan dengan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan; dan e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis bagi pecandu

Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat.

4. Pengertian Rehabilitasi dan Jenisnya

Dalam ilmu victimologi, pecandu narkotika merupakan “self victimzing victims”, karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri.

Pasal 54 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan bahwa:

Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan pacandu dari ketergantungan, dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.34 Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika.

34


(40)

Berdasarkan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang merupakan pengganti dari Undang-Undang No.22 Tahun 1997 Tentang Narkotika terdapat setidaknya dua jenis rehabilitasi, yaitu rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Pasal 1 butir 16 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan bahwa:

Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.

Rehabilitasi medis bagi tersangka/terpidana pecandu narkotika ini sejalan sejalan dengan program wajib lapor bagi pecandu narkotika dalam Perarturan Pemerintah No. 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika. Diharapkan dengan kesadaran pecandu atau keluarganya untuk melaporkan diri sehingga semakin banyak pecandu narkotika yang menerima perawatan terkait perilaku ketergantungannya.35 Dengan diharapkan semakin banyak para tersangka/terpidana pecandu narkotika yang melaporkan dirinya ke lembaga medis atau lembaga sosial setempat, sebagai institusi yang menerima laporan, akan semakin sedikit jumlah pecandu, penyalahguna dan korban penyalahgunaan narkotika.

Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan bahwa:

Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika

35

Lampiran Peraturan Mentri Kesehatan No.46 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Pengadilan


(41)

dapat kembali melakasanakan fungsi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Pasal 1 butir 2 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya menyatakan bahwa :

Rehabilitasi sosial adalah proses refungsional dan pengembangan untuk memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat.

Adapun yang menjadi standar rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA yaitu:36

1. Menjadi acuan dalam melaksanakan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan NAPZA;

2. Memberikan perlindungan terhadap korban dari kesalahan praktik; 3. Memberikan arah dan pedoman kinerja bagi penyelenggara

rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA; dan

4. Meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan penyelenggara rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan NAPZA.

Rehabilitasi tersebut benar-benar diperhitungkan sebagai sebagai suatu bentuk dalam menjalani hukuman. Korban kecanduan narkotika selain sebagai pelaku tindak pidana narkotika yang harus dijatuhi pidana seperti halnya terhadap pelaku tindak pidana yang lainnya juga harus menjalani pengobatan atau perawatan melalui fasilitas rehabilitasi yang meliputi rehabilitasi medis dan sosial, sehingga masa menjalani pengobatan dan perawatan ini diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

36

Pasal 2, Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya


(42)

G. Metode Penelitian

Metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mencapai suatu kepastian. Namun demikian menurut kebiasaan, metode dapat dirumuskan dengan kemungkinan-kemungkinan antara lain, kesatu suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, kedua suatu teknik yang umum dalam suatu ilmu pengetahuan, ketiga cara tertentu untuk melaksnakan suatu prosedur.37

Dalam pembahasan skripsi ini, metodologi penelitian hukum yang digunakan penulis adalah sebagai berikut :

1. Spesifikasi penelitian

a. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam hal penelitian hukum normatif, penulis melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang berhubungan dengan judul penulis ini yaitu “Peranan Pusat Rehabilitasi Terhadap Anak Sebagai Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika” Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Centre.

b. Penulis juga menggunakan metode penelitian hukum empiris yakni dilakukan dengan melihat kenyataan yang ada dalam praktek dilapangan yang penulis lakukan di Pusat Rehabilitasi Narkotika Sibolangit Centre. Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan secara sosiologis yang dilakukan secara langsung ke lapangan.

37


(43)

2. Metode Pendekatan

Dalam menyelesaikan penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis mengingat permasalahan-permasalahan yang diteliti adalah bagaimana peranan pusat rehabilitasi dalam memberikan rehabilitasi kepada anak sebagai korban penyalahgunaan narkoba.

3. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian untuk penelitian skripsi ini, penulis mengambil lokasi di Pusat Rehabilitasi Al Kamal Sibolangit Centre di Jalan Medan-Brastagi Km. 45 Desa Suka Makmur, Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara.

4. Alat Pengumpul Data

Sumber Data di dalam skripsi ini, sumber utamanya adalah bahan hukum yang dikaitkan dengan fakta sosial karena dalam penelitian ilmu hukum empiris yang dikaji adalah bukanhanya bahan hukum saja akan tetapi di tambah dengan pendapat para ahli. Penulisan skripsi ini menggunakan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan yang berbentuk dokumen tidak resmi yang kemudian diolah oleh penulis, dan data sekunder, yaitu data yang di ambil dari bahan pustaka melalui cara penelitian kepustakaan (library Research). Dalam hal ini, penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang dapat digunakan sebagai dasar terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. Tujuan penelitian kepustakaan ini adalah untuk memperoleh data-data


(44)

skunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah, surat kabar, situs internet, maupun bahan bacaan lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

5. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan akan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode induktif dan deduktif yang berpedoman kepada bagaimana proses menjalankan rehabilitasi yang dilakukan oleh pusat rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Analisis deskriptif artinya penulis berusaha semaksimal mungkin umtuk memaparkan data-data yang sebenarnya.

Metode deduktif artinya berdasarkan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia bagaimana hukum di Indonesia memandang tentang penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh anak. Pengaturan mengenai rehabilitasi kepada anak sebagai cara yang diambil oleh pemerintah untuk menghilangkan sifat nakal dari dalam diri anak yang telah bertentangan dengan peraturan dan kaidah-kaidah yang dianggap baik di masyarakat.

Metode induktif artinya dari data-data khusus mengenai peranan pusat rehabilitasi terhadap anak sebagai korban penyalahgunaan narkotika melalui wawancara dan hasil observasi akan ditarik kesimpulan umum yang akan digunakan dalam pembahasan selanjutnya.


(45)

H. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik maka pembahasan harus diuraikan secara sistematis. Oleh karena itu, untuk memudahkan pembahasan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab perbab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah : BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini akan membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : FAKTOR-FAKTOR PENYABAB ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Bab ini membahas mengenai Faktor Timbulnya Kejahatan, Faktor yang Menyebabkan Anak Menjadi Nakal, Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika yang Dilakukan Oleh Anak.

BAB III : PENGATURAN YANG BERKAITAN MENGENAI ANAK KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI DALAM UU NO.35 TAHUN 2009

Bab ini membahas mengenai Ketentuan Perlindungan Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Di Dalam UU No.35 Tahun 2009, Peranan


(46)

Pemerintah Terhadap Pembinaan dan Pengawasan Penyalahgunaan Narkotika Terhadap Anak.

BAB IV : PERANAN PUSAT REHABILITASI NARKOTIKA DALAM MELAKSANAKAN REHABILITASI TERHADAP ANAK KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

Bab ini membahas mengenai Fungsi dan Peranan Rehabilitasi, Proses Rehabilitasi Terhadap Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika, Kesulitan Dalam Proses Rehabilitasi Terhadap Anak Sebagai Korban Penyalahgunaan Narkotika.

BAB V : PENUTUP


(47)

38 BAB II

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

A. Faktor-Faktor Timbulnya Kejahatan

Mengamati dan memahani kejahatan ternyata tidaklah mudah. Kejahatan merupakan suatu fonomena yang sangat kompleks. Memahani suatu bentuk kejahatan dapat dipandang dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Maka tidak lah mengherankan jika di dalam suatu kejahatan yang terjadi akan terdapat berbagai macam komentar yang berbeda-beda.

Banyak para pakar berusaha dan mencari apa sebenarnya yang menjadi faktor yang utama manusia berbuat jahat. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa sumber kejahatan kejahatan adalah: emas; kemiskinan; dan kekuasaan. Mengacu terhadap ajaran Bacon yang mengajarkan: “vere scire est per causas scire” yang artinya adalah “mengetahui sesuatu yang sebenarnya, adalah mengetahui sebab musababnya”.38

Plato (427-247 SM) dalam bukunya yang berjudul “Republiek” menyatakan antara lain bahwa emas dan manusia merupakan sumber dari banyak kejahatan. Aristoteles (382-322 SM) menyatakan kemiskinan menimbulkan kejahatan dan pemberontakan. Thomas Aquino (1226-1274) berpendapat tentang pengaruh kemiskinan dan kejahatan.39

Maka akan muncullah pertanyaan di dalam benak kita. Sebenarnya apakah “kejahatan” itu? Menurut pengertian yuridisnya, kejahatan adalah suatu perbuatan

38

Wahju Muljono, Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2012, hlm. 3.

39

Topo Santoso dan Eva Achjani, Kriminologi , Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 1.


(48)

yang oleh masyarakat (baca: Negara) dikenakan sanksi pidana. Namun jika kita tinjau lebih mendalam lagi, kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.40

Banyak orang yang mempertanyakan apakah setiap perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan itu merupakan kejahatan? Bonger berpendapat bahwa perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan termasuk kejahatan, namun Bonger juga kelihatan ragu terhadap pendapatnya tersebut. Di sisi lain ia berpendapat bila ada kejahatan/perbuatan jahat tidak disarankan sebagai melanggar kesusilaan, yang dimaksud adalah perbuatan dipandang jahat hanya menurut bentuknya saja.41

Menurut B.Simandjuntak, yang dimaksud kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan di masyarakat.42

Menurut J.M. Bammelem, ia memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentamkan masyarakat Negara harus menjatuhkan hukuman kepada masyarakat.43

Menurut Van Bammelen, yang dimaksud dengan kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tindak asusila dan merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidak tenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.44

40

Wahju Muljono, Op.Cit.,Hal 4.

41

Ibid.

43

Ibid.

44


(49)

Menurut Hermann Mannhein mengatakan bahwa criminology is no way limited in the scope of its scientific investigation to way is legally crime in a given country at a given time, and it is free to use its own classification.45 Yang artinya adalah kriminologi tidak mempunyai batasan yang jelas mengenai kejahatan baik dilihat dari visi hukum maupun ilmu pengetahuan yang terlalu luas disuatu negara dan kriminologi bebas memberikan penggolongannya tersendiri mengenai kejahatan tersebut.

Bagi Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap, sedangkan lingkungan adalah faktor variabelnya dan karena itu juga dapat disebutkan sebagai penyebabnya.46

Secara sosiogis kejahatan disebabkan karena adanya disorganisasi sosial. Artinya, dengan adanya disorganisasi sosial ini dapat mengakibatkan runtuhnya fungsi untuk mengontrol dari para penegak hukum yang memberikan kemungkinan pada individu untuk bertingkah laku sesuai dengan keinginannya sendiri tanpa adanya kendali, kontrol, dan tanpa penggunaan pola susila yang baik. Dengan hilang fungsi kontrol dari masyarakat dan para penegak hukum akan mengakibatkan hilangnya efektifitas dari norma-norma yang ada di masyarakat.

Ditinjau dari sudut pandang sosiologi, terdapat beberapa pendekatan yang menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Pendekatan pertama menjelaskan bahwa individu yang disosialisir secara kurang tepat tidak dapat menyerap

45

Bunadi Hidayat, Op.Cit., Hal 72

46

Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, Hal 40.


(50)

norma kultural ke dalam kepribadiaannya. Karena tidak mampu membedakan perilaku yang pantas dan kurang pantas menurut peradaban.47

Pendekatan kedua menjelaskan kejahatan adalah akibat dari ketegangan yang terjadi antara kebudayaan dan struktur sosial suatu masyarakat. Sedangkan pendekatan yang ketiga menjelaskan individu melakukan kegiatan kejahatan karena belajar dari perbuatan kejahatan sebelumnya.48

Dalam mengkaji suatu kejahatan, di dalam kriminologi terdapat beberapa paradigma/aliran yang mempengaruhinya, antara lain :

1. Aliran Klasik

Di dalam aliran ini mempunyai dua pemikiran yang mendasar dari suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yaitu penderitaan dan kesenangan. Hal disebabkan karena manusia memiliki kehendak bebas ( free will), yang kemudian dalam bertingkah laku manusia memiliki kemampuan untuk memperhitungkan perilakunya berdasarkan hedonism. Aliran ini juga mempunyai asumsi bahwa hukuman dijatuhkan berdasarkan tindakannya dan bukan karena kesalahan.49 Karena pemikiran manusia selalu dipengaruhi oleh akal dan pikirannya (indeterminisme). Kejahatan merupakan hasil pilihan bebas seseorang setelah memperhitungkan secara rasional untung ruginya dalam melakukan kejahatan.

terakhir diakses 13 Januari 2015, 22.55 WIB.

48

Ibid.

49


(51)

2. Aliran Neo Klasik

Aliran Neo Klasik merupakan pembahruan dari aliran klasik. Hal ini dilakukan setelah melihat adanya ketidak adilan dari aliran klasik. Ada beberapa ciri-ciri yang membedakan aliran klasik dengan aliran neo klasik antara lain:50

a. Adanya pelunakan pada doktrin kehendak bebas; kehendak bebas untuk memilih dipengaruhi oleh:

1) Patologi, ketidakmampuan untuk bertindak, sakit jiwa atau lain keadaan yang mencegah seseorang untuk memperlakukan kehendak bebasnya;

2) Predimitasi, niat yang dijadikan ukuran daripada kebebesan kehendak (hal-hal yang aneh)

b. Pengakuan daripada sahnya keadaan yang melunak. Misalnya: fisik, keadaan lingkungan atau keadaan mental dari individu

c. Perubahan doktrin tanggung jawab sempurna untuk memungkinkan pelunakan hukum menjadi tanggung jawab sebagian saja, sebab-sebab utama untuk mempertanggungjawabkan seseorang sebagian saja adalah kegilaan, kebodohan, dan lain-lain keadaan yang dapat mempengaruhi “pengetahuan dan niat” seseorang waktu melakukan kejahatan.

d. Dimasukkannya kesaksian ahli di dalam acara pengadilan untuk menentukan besarnya tanggung jawab untuk menentukan apakah si terdakwa mampu memilih antara yang benar dan yang salah.

3. Aliran Positivis

Berbicara tentang aliran positivis ini mau tak mau kita harus mengingat pula Dokter Cesare Lambroso (1335-1909). Dalam ajarannya Lambroso mengatakan bahwa asal mulanya kejahatan itu berasal dari gen dan sikap liar yang diturunkan oleh nenek moyang. Sifat jahat manusia sesuatu yang dapat diwariskan kepada keturunannya sendiri. Karena sejak manusia dilahirkan manusia telah memiliki sifat jahat di dalam dirinya.

50


(52)

Penjahat sejak lahir merupakan tipe khusus, dan tipe ini dikendali dari bentuk atau cacat fisik tertentu. Lebih lanjut Lambroso menggarisbawahi bahwa cacat ataupun keanehan tersebut sebagai takdir untuk menjadi gambaran dari kepribadiannya sebagai penjahat.51 Kejahatan merupakan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik, psikis dan sosio-kulturalnya.

4. Aliran Kritis

Berpijak dari asumsi sebelumnya bahwa perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik, psikis dan sosio-kulturalnya, melainkan ditentukan oleh peranan individu dalam memaknai, menafsirkan, menanggapi setelah dia berinteraksi dengan kondisi tertentu. Kejahatan merupakan suatu keberhasilan masyarakat dalam memberikan reaksi perbuatan tertentu sebagai kejahatan dan pelakunya sebagai penjahat. Pemikiran seperti ini mengarah kepada kajian proses yang mempengaruhi pada pembentukan undang-undang yang menjadikannya perbuatan tertentu sebagai kejahatan, serta proses bekerjanya hukum pidana. Yaitu proses-proses yang menjadikan perbuatan tertentu dan pelakunya sebagai penjahat (sosiologi hukum pidana).52

Pada umumnya penyebab kejahatan itu terdapat tiga kelompok pendapat yaitu :

1. Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang terdapat diluar diri pelaku.

2. Pendapat bahwa kriminalitas itu merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri.

51

Ibid, Hal 41.

52


(1)

113

2. Memberikan pemahaman terhadap masyarakat bahwa rehabilitasi merupakan proses yang baik yang dapat diberikan oleh anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudance) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 2009.

Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2010.

Anonim. Narkoba Bagi Generasi Bangsa: Mengenal,Mencegah Mengenal,Mencegah danMenanggulangi PenyalahgunaanNarkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif Lainnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,Jakarta: 2007.

Arif, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana, Penulisan Buku, Undip, Semarang: 1997.

---, Masalah Penegakkan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2001.

Atmasasmita, Romli, Problema Kenakalan Anak dan Remaja, Armico, Bandung: 1992.

Afiatin, Tina, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta: 2008.

Daradjat, Zakiah, Faktor-Faktor yang Merupakan Masalah dalam Proses Pembinaan Generasi Muda, diselenggarakan di Jakarta, 24-26 Januari 1980.

Dirdjosisworo, Soedjono, Kriminologi, Bandung, Citra Aditya: 1995.

Hidayat, Bunadi, Pemidanaan Anak Di Bawah Umur, Alumni, Bandung: 2010. Hawari, Dadang, Penyalahgunaan Narkotika dan Zat Adiktif, Balai Penerbit

FKUI, Jakarta: 1991.

Haraerah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa, Bandung: 2006.

Jeffery, Ray dan Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa, Medan: 2008.

Kartono, Kartini, Patologi Sosial Kenakalan Remaja, Raja Grafindo Persada, Jakarta:1998.


(3)

Makarao, Moh. Taufik, Suhasril dan Moh. Zakky A.S., Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta: 2005.

Manurung, Novalina Kristinawati, Kebijakan Kriminal (Crimanl Policy) Terhadap Anak Pemakai Narkoba Di Kota Medan, Universitas Sumatera Utara, Medan: 2009.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung: 1992.

Muljono, Wahju, Pengantar Teori Kriminologi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta: 2012.

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta: 2011.

Nurharyanto, Eko, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkoba dan Psikotropika, Universitas Diponogoro, Semarang: 2002. Poerdaminta, WJS., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta:

1992.

RI, Departemen sosial, Pola Oprasional Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial Korban Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza), Jakarta , departemen sosial RI: 2003.

Reksodiputro, Mardjono, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan dan Pengendalian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) UI, Jakarta: 1995.

Sambas, Nandang, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak Di Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta: 2010.

Sasangka, Hari, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung: 2003.

Santoso, Topo dan Eva Achjani, Kriminologi , Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2001.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta: 1986. Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta: 1995.

Subekti, R, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek Dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, Pradnya Paramita, Jakarta: 1984.


(4)

Suharto, Edy, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial & Pekerjaan Sosial,Rafika Aditama, Bandung: 2005.

Sujono, AR dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, SinarGrafika, Jakarta: 2011. Supramono, Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta: 2000. ---, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta: 2007. Susanto, I.S., Kejahatan Koorporasi, Badan Penerbit UNDIP, Semarang: 1995. Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi,

Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1999.

Thohir, Muhammad, Seminar Kesehatan Anak, Rumah Sakit Islam, Surabaya: 1993.

Wahyono, Agung dan Siti Rahayu, Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta: 1993.

Widiyanti, Ninik dan Yulius Waskita, Kejahatan dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Bina Aksara, Jakarta: 1987.

--- dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya, Pradnya Paramita, Jakarta: 1992.

Zulkarnain, Memilih Lingkungan Bebas Narkoba Panduan Untuk Remaja, Citapustaka Media, Bandung: 2014.

---, Memilih Lingkungan Bebas Narkoba Panduan Untuk Orangtua, Ciptapustaka Media, Bandung: 2014.

SUMBER INTERNET

Internasional dan Contoh Kasusnya


(5)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilsai Hukum Islam Indonesia UU No. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tantang Peradilan Anak

Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Peraturan Mentri Kesehatan No.46 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Rehabilitasi Medis Bagi Pecandu, Penyalahguna, dan Korban


(6)

Penyalahgunaan Narkotika Yang Dalam Proses Atau Yang Telah Diputus Pengadilan

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No.26 Tahun 2012 Tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksaan Wajib Lapor Bagi Pecandu Narkotika

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2013 Tentang Pelaksanaan Atas UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Peraturan Menteri Kesehatan No.13 Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika

SUMBER LAINNYA:

Wawancara dengan Yayan Farhan, Konselor Pusat Rehabilitasi Narkotika Al Kamal Sibolangit Center

Wawancara dengan Tia Arisanti, Staff Administrasi Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara

Wawancara dengan Langga, Resident Anak di Pusat Rehabilitasi Narkotika Al Kamal Sibolangit Center


Dokumen yang terkait

Analisis Pola Asuh Orangtua Remaja Korban Penyalahgunaan Narkoba Binaan Al-Kamal Sibolangit Centre

3 75 91

REHABILITASI SOSIAL TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.

0 2 12

PENDAHULUAN REHABILITASI SOSIAL TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.

0 4 16

PENUTUP REHABILITASI SOSIAL TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA.

0 4 5

SKRIPSI TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI KOTA YOGYAKARTA.

0 2 12

PENDAHULUAN TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI KOTA YOGYAKARTA.

0 3 14

PENUTUP TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DENGAN REHABILITASI BERDASARKAN UU No. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA DI KOTA YOGYAKARTA.

0 2 99

BAB II FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ANAK SEBAGAI KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA A. Faktor-Faktor Timbulnya Kejahatan - Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabi

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Pusat Rehabilitasi Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika Ditinjau Dari UU No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Kasus Pusat Rehabilitasi Narkotika Al Kamal Sibolangit Centre)

0 0 37

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan - IMPLEMENTASI PELAKSANAAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Repository -

0 0 13