ELEMENTARY
Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
sekolah atau diterima kerja. Orang tua mana yang tidak bangga bila tes IQ buah hatinya menunjukkan angka yang tinggi. Padahal kenyataannya
hidup seseorang tidaklah bergantung pada IQ. IQ bukanlah satu-satunya patokan utama untuk menilai seseorang cerdas atau tidak.
Salah satu tanggung jawab terbesar seorang ibu adalah menumbuhkan kesadaran intelektual anaknya sejak masa kanak-kanak
hingga dewasa. Sang ibu harus mengajar dan membiasakannya untuk menimba berbagai sumber peradaban dan sains. Ada beberapa cara dan
metode untuk meningkatkan kecerdasan intelektual pada anak; Pertama, Orang tua hendaknya menumbuhkan kesadaran untuk mendengar
dan mengingat hal-hal positif pada diri anak. Kedua, Menumbuhkan kesadaran untuk membaca buku pada diri anak dengan cara menyediakan
perpustakaan mini di kamar anak yang terdiri dari buku-buku tentang pengetahuan agama Islam, pengetahuan umum serta keterampilan yang
bermanfaat bagi masa depan anak sesuai dengan usia, perkembangan serta kemampuannya. Ketiga, Mencarikan teman-teman sepergaulan
yang memiliki kecerdasan dan keunggulan ilmiah memadai. Sehingga diharapkan bisa mempengaruhinya dalam berperilaku secara ilmiah
Thaha, 2009:118-119. Jika potensi intelektual mereka tidak diisi dengan hal-hal positif, bisa jadi mereka akan menyimpang dari jalan yang
benar dan tidak memikul serta meneruskan perjuangan umat di masa mendatang.
Di sekolah bisa dilihat beberapa ciri pembelajaran dalam pandangan kognitif antara lain; guru menyediakan berbagai pengalaman belajar bagi
siswa secara konkret, guru menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar bagi siswa, guru berusaha mengintegrasikan proses pembelajaran
dengan situasi yang realistik dan relevan dalam kehidupan nyata siswa, guru berusaha mengintegrasikan proses pembelajaran dengan
memanfaatkan berbagai media pembelajaran dan guru melibatkan siswa aktif secara isik, emosional dan sosial Irham dan Wiyani, 2013:181.
E. Membangun Kecerdasan emosional anak
a. Pengertian kecerdasan emosi Dalam satu versi istilah kecerdasan emosional dimunculkan
pertama kali oleh Daniel Goleman, seorang psikolog Amerika, dalam
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah
Membangun Kecerdasan Anak Usia Sekolah
bukunya “Emotional Intelligence” 1995, dalam penelitiannya menyebutkan bahwa kesuksesan seseorang ditentukan oleh beberapa
hal di antara yaitu: 20 kecerdasan intelektual, 80 kecerdasan emosional, sosial dan spiritual, IQ tinggi berarti EQ turun Alimah
dkk., 2013: 60. Beberapa fakta menunjukkan bahwa anak dianggap sukses apabila mereka memiliki nilai rapor yang bagus dan memiliki
kecerdasan intelektual IQ yang tinggi. Sungguh dilematis rasanya, kenapa kita hanya menilai anak dari segi IQnya saja padahal segi EQ
dirasa lebih penting untuk membentuk moral dan karakter yang baik Wulan, 2011: 60-61.
Kebanyakan mereka yang memiliki IQ tinggi akan lemah di EQ, sebagai contoh anak yang sangat pandai dan selalu juara kelas,
secara mental ia akan cepat putus asa dan emosinya mudah meluap. Namun yang terjadi sebaliknya, jika dari kecil kita latih kecerdasan
emosionalnya maka kecerdasan intelektualnya juga akan melejit. Semua anak pada dasarnya adalah cerdas, namun kecerdasan harus
kita maknai secara bijak. Kecerdasan Intelektual IQ akan membuat anak menjadi pandai, Kecerdasan Emosional EQ akan membuat
anak mudah mengendalikan diri sedangkan Kecerdasan Spiritual SQ pada anak memungkinkan hidupnya penuh arti.
Orang tua yang ingin anaknya mempunyai anak yang cerdas secara emosionalnya, harus mengadakan kerjasama dengan anaknya.
Orang tua, terutama ibu harus bisa menjadi uswatun hasanah suri tauladan yang baik agar anak dapat meniru setiap kebaikan dari orang
tuanya. Faktor keteladanan inilah yang akan memberikan sumbangsih yang signiikan dalam membentuk kecerdasan emosional anak.
Kecerdasan emosional anak yang disebut dengan istilah emotional intelligence dapat dibentuk oleh orang tua terutama peran ibu sejak
anak usia dini. Dalam artian anak dalam usia dini akan lebih mudah dibentuk karakter dan dibangun kecerdasan emosionalnya. Manfaat
lain dari pendidikan emosi dari keluarga adalah pada perkembangan kecerdasan kognisi anak. Anak dari orang tua yang terampil
emosional lebih mudah berkonsentrasi dan menerima pengetahuan- pengetahuan baru Wulan, 2011: 15.
Anak yang cerdas secara emosional adalah anak yang memahami kondisi dirinya, memahami perasaan yang terjadi pada dirinya dan
ELEMENTARY
Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
bisa mengambil tindakan yang positif sebagi respons dari munculnya perasaan itu. Anak tersebut juga mampu merasakan perasaan orang
lain yang bisa menanggapinya secara proporsional. Banyak anak sulit diatur karena proses pengendalian diri lemah, hal ini disebabkan
karena kecerdasan emosional tidak diasah Alimah dkk, 2013: 62. Kecerdasan emosional yang dimiliki seorang anak akan dengan mudah
membentuk anak yang berkarakter, berkepribadian dan berjiwa tinggi. Bahkan sering kita dengar suatu ungkapan yang mengatakan
bahwa apa artinya anak dengan kecerdasan intelektual yang tinggi namun mempunyai jiwa yang mudah marah, tidak bisa menahan
emosi, mudah gelisah, dan hal negatif lainnya yang berkaitan dengan kondisi emosional anak. Intinya, pengendalian emosi emotional
control, menitik beratkan pada penekanan reaksi yang tampak terhadap rangsangan yang menimbulkan emosi.
b. Perkembangan emosi anak Pendidikan emosi anak dimulai dari lingkungan keluarga. Orang
tua yang terampil dalam memberikan pendidikan emosi kepada anak- anaknya memiliki anak yang mampu bergaul dengan baik, populer di
kalangan teman-teman , dan menurut para guru anak tersebut tidak memiliki masalah perilaku seperti kasar atau agresif Wulan, 2011:
16. Hasil pendidikan emosi dari keluarga adalah pertumbuhan anak yang bebas dari stres dan tekanan batin dan mampu menenangkan
dirinya saat menghadapi berbagai macam emosi dari dalam diri. Dengan demikian anak tersebut juga terlihat lebih santai dan memiliki
kondisi isik yang sehat.
Hurlock 1997: 214 memberikan pemaparan tentang metode belajar yang dapat menunjang perkembangan emosi pada anak usia
dini; pertama, anak melakukan belajar dengan mencoba-coba, hal ini bertujuan untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku
yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak
memberikan pemuasan. Kedua, anak belajar dengan cara meniru. Ini dimaksudkan agar anak-anak dapat bereaksi dengan emosi dan
metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamatinya. Ketiga, anak belajar dengan cara mempersamakan diri dengan
dilihatnya. Dalam hal ini anak menirukan reaksi emosional orang lain
Ahmad Atabik dan Khoridatul Mudhiiah
Membangun Kecerdasan Anak Usia Sekolah
dan tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Keempat, anak belajar
melalui pengkondisian. Dalam metode ini yang menjadi obyek dan situasi yang pada mulanya gagal memancing reaksi emosional anak
kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi yang efektif. Kelima, mengadakan pelatihan belajar pada anak di bawah bimbingan
dan pengawasan terbatas pada aspek reaksi yaitu reaksi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan. Peran orang tua, guru dan
lingkungan sekitar sangat menentukan dalam proses belajar anak.
Perkembangan emosional merupakan perkembangan perilaku anak dalam mengendalikan dan menyesuaikan diri dengan aturan-
aturan masyarakat dimana anak itu berada. Anak dapat meningkatkan peran dan aktualisasi diri sesuai gendernya. Goleman dalam
Wulan, 2011: 15 menambahkan bahwa kemampuan anak dalam mengendalikan emosinya akan membawa kemudahan bagi mereka
dalam berkonsentrasi, sehingga proses menerima dan mengingat informasi dan pengetahuan juga meningkat. Dapat disimpulkan
bahwa tingkat kecerdasan emosi anak yang tinggi akan memudahkan mereka dalam menjalani proses belajar di lingkungan luas. Menurut
teori yang dikemukakan Goleman, kecerdasan emosi sudah dimiliki anak sejak dilahirkan di dunia.
Lebih lanjut Goleman dalam Wulan, 2011: 15 menyebutkan bahwa pembentukan kecerdasan emosi adalah perkembangan dari 5
wilayah utama yang dimiliki manusia. Pertama, kesadaran diri. Hal yang menjadi inti dalam kecerdasan emosi adalah mengenali emosi diri
pada saat perasaan itu muncul. Ketidakmampuan untuk menyadari perasaan diri sendiri membuat anak di bawah kekuasaan emosi.
Kedua, pengendalian diri. Dengan pengendalian emosi, seseorang akan mampu untuk beradaptasi dengan perubahan perasaannya
baik yang sifatnya positif ataupun negatif. Ketiga, motivasi diri. Motivasi diri berkaitan dengan kemampuan seorang untuk menata
emosinya, memusatkan perhatian pada perasaan yang positif dan mengesampingkan perasaan yang bersifat negatif.
Dalam membangun emosi anak, salah satu usaha untuk menjadi orang tua yang terampil dalam memberikan pendidikan
emosi kepada anaknya adalah dengan memberikan tanggapan secara
ELEMENTARY
Vol. 2 | No. 2 | Juli-Desember 2014
serius terhadap perasaan anak kemudian berupaya untuk memahami hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya perasaan tersebut Wulan,
2011: 38. Usaha ini dapat dilanjutkan dengan membantu jalan keluar yang positif serta memberi ketenangan pada anak.
Perkembangan emosi anak juga tidak dapat dilepaskan dari pendidikan play group dan taman kanak-kanaknya, karena
perkembangan kecerdasan emosi anak akan terjadi pada waktu tersebut. Goleman menjelaskan bahwa keberhasilan di TK bukan
hanya ditentukan oleh kemampuan intelektual anak, melainkan ukuran emosional dan sosial anak tersebut. Beberapa ukuran tersebut
meliputi, pertama, keyakinan pada diri sendiri dan memiliki minat. Kedua, mengerti harapan-harapan sosial mengenai perilaku anak.
Ketiga, mampu mengendalikan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya. Keempat, dapat mengikuti petunjuk dan
perintah dari orang lain. Kelima, tahu kapan saatnya harus minta tolong atau bertanya kepada guru. Keenam, mampu mengungkap
kemauan dan kebutuhannya saat bergaul dengan teman sebaya Wulan, 2011: 39.
F. Membangun Kecerdasan Spiritualitas Pada Anak