Pemurnian Parsial dan Karakterisasi Enzim Kitinase dari Beauveria bassiana

PEMURNIAN PARSIAL DAN KARAKTERISASI ENZIM
KITINASE DARI Beauveria bassiana

NUNI LAWATI

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemurnian Parsial
dan Karaterisasi Enzim Kitinase dari Beauveria bassiana adalah besar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2013

Nuni Lawati
NIM G84080055

ABSTRAK
NUNI LAWATI. Pemurnian Parsial dan Karakterisasi Enzim Kitinase dari
Beauveria bassiana. Dibimbing oleh EMAN KUSTAMAN dan YADI
SURYADI.
Beauveria bassiana merupakan cendawan entomopatogen yang
memproduksi enzim kitinase saat menginfeksi inangnya. Tujuan penelitian ini
adalah melakukan pemurnian parsial dan mengkarakterisasi enzim kitinase dari
isolat Beauveria bassiana. Hasil uji aktivitas kitinase secara kualitatif
menunjukkan bahwa Beauveria bassiana memproduksi enzim kitinase
ekstraselular dengan indeks kitinolitik 1.035. Tahap pemurnian dengan
pengendapan garam amonium sulfat menghasilkan tingkat kemurnian 1.2 kali
dibandingkan ekstrak kasar enzim dan tahap pemurnian dengan dialisis dapat
meningkatkan kemurnian enzim hingga 1.9 kali dibandingkan ekstrak kasar. Hasil

uji karakterisasi menunjukkan enzim kitinase memiliki pH optimum 4, suhu
optimum 50oC, waktu inkubasi optimum 90 menit, penambahan ion logam Mn2+
bersifat sebagai aktivator, serta enzim kitinase Beauveria bassiana memiliki nilai
Km sebesar 0.225 mg/L dan Vmaks sebesar 0.069 mg/L detik. Enzim kitinase dari
Beauveria bassiana memiliki bobot molekul 60.255 kDa.
Kata Kunci : Beauveria bassiana, kitinase, pemurnian parsial, dan karakterisasi
enzim.

ABSTRACT
NUNI LAWATI. Partial Purification and Characterization of Chitinase Enzyme
from Beauveria bassiana. Supervised by EMAN KUSTAMAN and YADI
SURYADI.
Beauveria bassiana si an entomopathogenic fungus that produces chitinase
enzyme when infecting its host. The purpose of this study was to perform partial
purification and characterization of chitinase enzyme from Beauveria bassiana.
The result activity chitinase enzyme of qualitative assay shown that Beauveria
bassiana produced ekstracelluler chitinase enzyme with chitinolytic index of
1.035. Purification with ammonium sulfate precipitation produce purity level by
1.2 times than the crude enzyme extract and purification with dialisis techniques
can increased the purity of enzim by 1.9 times than the crude enzyme extract. The

result of characterization assays shown that chitinase enzyme had an optimum
activity of pH 4, temperature 50oC, incubation time 90 minutes, the addition of
metal ions Mn2 + served as activators, and chitinase enzyme from Beauveria
bassiana had Km of 0.225 mg/L and Vmax of 0.069 mg/L sec. Chitinase enzyme
from Beauveria bassiana had a molecular weight at 60.255 kDa.
Key word

:

Beauveria bassiana, chitinase,
characterization of the enzyme

partial

purification,

and

PEMURNIAN PARSIAL DAN KARAKTERISASI ENZIM
KITINASE DARI Beauveria bassiana


NUNI LAWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Biokimia

DEPARTEMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Pemurnian Parsial dan Karakterisasi Enzim Kitinase dari
Beauveria bassiana.
Nama
: Nuni Lawati
NIM

: G84080055

Disetujui
Komisi Pembimbing

Ir. Eman Kustaman
Ketua

Ir. Yadi Suryadi, M.Sc
Anggota

Diketahui

Dr. Ir. I Made Artika, M.App. Sc
Ketua Departemen Biokimia

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Alhamdulilahirabil alamin, puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada

Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya
ilmiah ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan dari bulan
Februari 2012 sampai dengan bulan Juni 2012 di Laboratorium Mikrobiologi, BB
Biogen, Cimanggu-Bogor dengan judul Pemurnian Parsial dan Karakterisasi
Enzim Kitinase dari Beauveria bassiana.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ir. Eman Kustaman selaku
pembimbing utama di Departemen Biokimia atas segala bimbingan dan arahan
dalam penyusunan karya ilmiah ini. Terimakasih kepada Ir. Yadi Suryadi, M.Sc
selaku pembimbing kedua di Balai Besar Biogen atas segala bimbingan, arahan,
dan fasilitas selama penelitian. Ucapan terimakasih pula saya berikan kepada
kedua orang tua saya yaitu Bapak Alam dan Ibu Surpi atas doa, motivasi, dan
kasih sayang mereka yang tidak terputus. Terimakasih kepada Kakak Anah,
Kakak Nur Badriyah, Mas Anjar Bayu Diyono, Anis Lestari, Nindy Aziz, dan
Wulan Widianti atas bantuan dan motivasi kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Susi, Ibu Aminah,
Bapak Jajang, dan Mas Alam sebagai Staf Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar
Biogen atas bantuan penggunaan alat selama penelitian berlangsung. Semoga
karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.


Bogor, April 2013

Nuni Lawati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Rumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Hipotesis Penelitian

2


METODE PENELITIAN

3

Bahan

3

Alat

3

Waktu Penelitian dan Lokasi Penelitian

3

Prosedur Penelitian

3


HASIL DAN PEMBAHASAN

7

Indeks Kitinolitik Enzim Kitinase dari Beauveria bassiana

7

Hasil Pemurnian Enzim Kitinase Secara Parsial

9

Karakter Enzim Kitinase

12

Bobot Molekul Enzim Kitinase dari Beauveria bassiana

18


SIMPULAN DAN SARAN

19

Simpulan

19

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

20

LAMPIRAN

23

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
1 Komposisi gel SDS-PAGE
2 Pemurnian enzim kitinase Beauveria bassiana

6
11

DAFTAR GAMBAR
1 Hasil uji kualitatif aktivitas kitinase isolat Beauveria bassiana
2 Hasil peremajaan Beauveria bassiana pada media PDA
3 Pengendapan ekstrak kasar kitinase pada variasi konsentrasi amonium
sulfat
4 Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim kitinase
5 Hasil pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim kitinase
6 Hasil stabilitas waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim kitinase
7 Hasil pengujian pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim kitinase
8 Kurva double reciprocal Lineawever-Burk
9 Elektroforegram SDS-PAGE

8
9
10
13
14
16
17
18
18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Strategi penelitian
2 Aktivitas kitinolitik Beauveria bassiana (Mubarik et al 2010)
3 Hasil uji aktivitas kitinase pada perlakuan dengan pengendapan garam
amonium sulfat
4 Hasil analisis statistik pengaruh konsentrasi amonium sulfat
5 Pengukuran aktivitas kitinase Modifikasi Spindler (Toharisman et al
2005)
6 Pengukuran kadar protein (Bradford 1976)
7 Karakterisasi kitinase berdasarkan pH
8 Hasil analisis statistik pengaruh pH
9 Karakteristik kitinase berdasarkan suhu
10 Hasil analisis statistik pengaruh suhu
11 Karakterisasi kitinase berdasarkan waktu inkubasi
12 Hasil analisis statistik pengaruh waktu inkubasi
13 Karakterisasi kitinase berdasarkan pengaruh ion logam
14 Hasil analisis statistik pengaruh ion logam
15 Kinetika enzim
16 Penentuan bobot molekul protein

23
24
25
25
27
29
30
30
32
32
34
34
35
35
37
39

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan tingkat megabiodiversitas yang tinggi.
Hal ini dapat dilihat dari banyaknya keragaman lingkungan dengan berbagai jenis
mikroorganisme sebagai sumber enzim. Pencarian isolat mikroorganisme sebagai
sumber enzim bernilai ekonomi tinggi terus dilakukan hingga saat ini. Salah satu
jenis enzim yang memiliki nilai ekonomi tinggi yaitu enzim kitinase. Enzim
kitinase mampu menghidrolisis ikatan β-1,4-asetamido-2-deoksi-D-glikosida pada
kitin dan oligomer kitin (Bielka et al 1984). Enzim ini dapat diperoleh dari
berbagai makhluk hidup, seperti bakteri, hewan vertebrata, moluska, artropoda,
tumbuhan, alga, dan beberapa jenis cendawan tertentu.
Polimer kitin tersusun atas unit N-asetil-D-glukosamin dengan ikatan β(1,4).
Senyawa kitin di alam jumlahnya sangat berlimpah, karena senyawa ini
merupakan komponen penyusun dari berbagai organisme, seperti bakteri, hewan
vertebrata, moluska, artropoda, tumbuhan, alga, dan beberapa jenis cendawan
tertentu, sehingga senyawa ini diproduksi secara terus menerus dan berpotensi
besar untuk diuraikan menjadi produk akhir yang lebih bermanfaat. Pada
umumnya hidrolisis kitin dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan asam
pekat HCl pada suhu tinggi, namun metode ini kurang ramah lingkungan karena
bahan kimia yang digunakan untuk menghidrolisis kitin lebih banyak serta tidak
spesifik sehingga produk kitooligomer yang dihasilkan lebih sedikit dan umumnya
jenis produk kitooligomer yang banyak dihasilkan adalah D-glukosamin.
Penggunaan enzim dalam menghidrolisis polimer kitin lebih dikembangkan
dibandingkan dengan menggunakan cara kimia, karena menggunaan enzim dalam
menghidrolisis polimer kitin lebih spesifik dalam menghasilkan produk serta tidak
memiliki hasil samping yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan.
Enzim kitinase menghasilkan produk hasil hidrolisis polimer kitin berupa
monomer N-asetil-D-glukosamin. Monomer ini telah banyak dimanfaatkan
terutama dalam bidang medis yang dimanfaatkan untuk mengobati penyakit
autoimun disease, ditambahkan pada produk kosmetik karena N-asetil-Dglukosamin memiliki aktivitas antipenuaan, serta sebagai bahan tambahan dalam
produk susu karena senyawa N-asetil-D-glukosamin bersifat manis dan stabil
(Patil et al 2000).
Salah satu jenis isolat yang berpotensi sebagai sumber enzim kitinase adalah
Beauveria bassiana. Isolat ini merupakan jenis cendawan entomopatogen.
Cendawan entomopatogen adalah salah jenis cendawan yang memiliki aktivitas
kitinase yang tinggi. Cendawan entomopatogen telah lama diaplikasikan sebagai
agen pengendali hayati untuk mengendalikan populasi serangga sebagai hama
tanaman. Aplikasi Beauveria bassiana umumnya tidak digunakan pada tanaman
yang pembuahannya dibantu oleh serangga, karena Beauveria bassiana dapat
menyerang hampir semua jenis serangga (non-selektif pestisida) (Prayogo 2006).
Isolat Beauveria bassiana diketahui efektif mengendalikan hama walang sangit
(Leptocorisa oratorius), wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) pada tanaman
padi, hama kutu (Aphis sp.) pada tanaman sayuran, jangkrik, ulat sutra, dan semut
merah. Enzim kitinase disekresikan oleh isolat Beauveria bassiana pada saat

2
menginfeksi inangnya. Enzim kitinase menghidrolisis senyawa polimer kitin pada
dinding sel serangga, sehingga dinding sel patah dan rusak. Proses kerusakan
dinding sel dilanjutkan dengan pembentukan miselium yang akan membungkus
tubuh serangga (Prayogo 2006).
Penelitian virulensi Beauveria bassiana terhadap organisme pengganggu
tanaman (OPT) sudah banyak dilakukan. Salah satunya penelitian yang telah
dilakukan oleh Indriyati (2009), cendawan ini dapat menimbulkan kematian pada
kutu daun dan kepik hijau masing-masing 78.8% dan 76%. Penelitian terhadap
enzim kitinase yang diproduksi oleh Beauveria bassiana belum banyak dilakukan,
sehingga mendorong untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap enzim
kitinase yang diproduksi oleh isolat ini.

Rumusan Masalah
Timbulnya kekhawatiran akan pencemaran lingkungan yang disebabkan
hasil samping dari penggunaan bahan kimia dalam menghidrolisis polimer kitin,
mendorong untuk dilakukannya pencariaan isolat yang menghasilkan enzim
pendegradasi polimer kitin. Beauveria bassiana merupakan salah satu jenis
cendawan entomopatogen yang telah lama diaplikasikan sebagai agen pengendali
hama serangga. Isolat Beauveria bassiana akan mengeluarkan enzim kitinase
pada saat menginfeksi inangnya serta pengujian virulensi Beauveria bassiana
terhadap organisme pengganggu tanaman telah banyak dilakukan sehingga
mendorong untuk dilakukan penelitian lanjutan akan potensi enzim kitinase yang
diproduksinya.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan melakukan pemurnian enzim kitinase secara parsial
dan mengkarakterisasi enzim kitinase dari isolat Beauveria bassiana dengan
menganalisa aktivitas optimalnya pada beberapa uji karakterisasi.

Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah memberi informasi ilmiah mengenai potensi
Beauveria bassiana sebagai penghasil enzim kitinase ekstraseluler, memberikan
informasi pemurnian optimal enzim kitinase, dan memberikan data mengenai
karakteristik enzim kitinase yang diproduksinya.

Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah isolat Beauveria bassiana akan memproduksi
enzim kitinase ekstraselular, dengan perlakuan pemurnian secara parsial enzim
kitinase yang diisolasi menjadi lebih murni, dan didapatkan informasi
karakteristik aktivitas optimal enzim kitinase dari Beauveria bassiana.

3

METODE PENELITIAN
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah biakan Beauveria
bassiana koleksi Laboratorium Mikrobiologi BB Biogen asal Sukamandi-Jawa
Barat, kentang, dextrose, bacto agar, kitin, HCl pekat, NaOH, akuades, N-asetilD-glukosamin, NaCl, NH4Cl, MgSO4.7H2O, K2HPO4, CaCl2, Na2HPO4.2H2O,
(NH4)2SO4, bufer sitrat fosfat pH 3-7, bufer glisin-NaOH pH 8-10, bufer fosfat pH
7, reagen Schales, reagen Bradford, serum bovine albumin, kantong selofan,
EDTA, KCl, MnCl2, MgCl2, CuSO4, FeSO4, ZnCl2, Akrilamida, bis akrilamida,
Tris HCl, sodium dedocyll sulphates (SDS), Amonium persulfat (APS),
tetrametiletilendiamina (TEMED), biru bromoferol, perak nitrat (AgNO3), dan
marker spectra multicolour broad range protein ladder.

Alat
Alat-alat yang digunakan adalah beberapa peralatan gelas, magnetic stirrer,
penangas air, vorteks, inkubator bergoyang, neraca analitik, pipet mikro, autoklaf,
tabung Eppendorf, botol semprot, laminar air flow cabinet, lemari pendingin,
spektrofotometer UV-Vis, pH meter, sentrifugasi, dan elektroforesis.

Waktu Penelitian dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2012 sampai bulan Juni
2012 di Laboratorium Mikrobiologi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Cimanggu-Bogor.

Prosedur Penelitian
Penelitian yang dilakukan meliputi melakukan teknik pemurnian enzim
secara parsial yaitu pengendapan protein dengan garam amonium sulfat pada
tingkat kejenuhan 0, 10, 30, 50, hingga 70% dan teknik dialisis dengan membran
selofan. Tiap tingkat kejenuhan garam amonium sulfat ditentukan aktivitas
kitinase dan sampel yang memiliki aktivitas kitinase tinggi digunakan untuk
perlakuan pemurnian selanjutnya. Setiap tahap ditentukan tingkat kemurniannya.
Sampel kitinase dikarakterisasi aktivitas berdasarkan pH, suhu, stabilitas waktu
inkubasi, pengaruh penambahan ion logam, dan kinetika enzim. Selanjutnya
enzim kitinase ditentukan berat molekulnya dengan menggunakan elektroforesis
SDS-PAGE. Adapun strategi penelitian disajikan dalam Lampiran 1.
Peremajaan dan Produksi Enzim Kitinase
Isolat Beauveria bassiana dari stok koleksi diremajakan pada media PDA
(Potato Dextrose Agar). Cawan Petri yang berisi media PDA diinokulasikan
dengan sebagian kecil area agar yang telah tertumbuhi oleh isolat Beauveria

4
bassiana dari stok agar miring yang diletakkan pada bagian tengah cawan Petri.
Cawan Petri diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari.
Sebanyak dua cockborer kultur padat Beauveria bassiana diinokulasikan
dalam 20 ml media kitin cair. Media kitin cair dibuat dengan mencampurkan 125
ml koloidal kitin 0.3%, 0.65 gram Na2HPO4.2H2O, 1.5 gram KH2PO4, 0.25 gram
NaCl, 0.5 gram NH4Cl, 0.12 gram MgSO4.7H2O dan 0.005 gram CaCl2 dilarutkan
dalam akuades hingga volume satu liter. Kultur diinkubasi selama 5 hari dalam
inkubator bergoyang dengan kecepatan 120 rpm pada suhu ruangan. 10 ml kultur
primer dipipet dan diinokulasikan ke dalam 1000 ml media kitin cair dengan
teknik aseptik. Kultur diinkubasi dalam inkubator bergoyang pada suhu ruangan
selama 5 hari. Kultur disentrifus dengan kecepatan 10000 rpm selama 5 menit.
Supernatan yang dihasikan sebagai ekstrak enzim kasar.
Pemurnian Parsial
Pemurnian parsial dilakukan dengan menggunakan dua tahapan utama
pemurnian yaitu dengan pengendapan garam amonium sulfat dan dialisis. Ekstrak
enzim kasar yang diperoleh dipresipitasi dengan beberapa tingkat kejenuhan
garam amonium sulfat (NH4)2SO4 yaitu 0, 10, 30, 50, dan 70%. Penambahan
amonium sulfat dilakukan sedikit demi sedikit dan dilakukan pengadukan dengan
magnetic stirrer pada suhu 4oC. Sampel presipitasi selanjutnya disimpan dalam
suhu 4oC selama 24 jam dan disentrifus dengan kecepatan 10000 rpm selama 10
menit pada suhu 4oC. Protein yang dihasilkan berupa pelet ditambahkan dengan 8
ml bufer fosfat pH 7. Suspensi protein disimpan pada suhu -21oC untuk pengujian
selanjutnya.
Tahapan pemurnian dengan proses dialisis dilakukan dengan menggunakan
sampel enzim pengendapan amonium sulfat optimal. Proses diawali dengan
penyiapan kantong selofan, kantong dipotong sesuai kebutuhan dan direbus
selama 5 menit dengan larutan EDTA alkali (5mM EDTA dan 200 mM natrium
bikarbonat). Selanjutnya kantung dibilas dengan akuades dan diisi dengan sampel
enzim. Kantung selofan yang telah terisi oleh sampel dimasukkan dalam gelas
piala yang terisi larutan buffer fosfat 50 mM pH 7 diaduk dengan bantuan
magnetic stirrer. Bufer digantikan 4 kali dalam 24 jam dan hasil dialisis disimpan
pada suhu -21oC untuk pengujian selanjutnya.
Uji Aktivitas Enzim Kitinase
Uji aktivitas enzim kitinase dilakukan secara kualitiatif dan kuatitatif. Uji
secara kualitatif dilakukan dengan menentukan indeks kitinolitik (Mubarik et al
2010). Isolat Beauveria bassiana hasil peremajaan diambil 2 ose dan dimasukkan
dalam tabung Eppendorf steril yang telah berisi 100 µl akuades steril. 5 µl isolat
Beauveria bassiana yang diencerkan dimasukkan pada sumur dalam media agar
yang mengandung koloid kitin. Media agar yang mengandung koloid kitin dibuat
dengan mencampurkan 125 ml koloid kitin, 0.65 gram Na2HPO4.2H2O, 1.5 gram
KH2PO4, 0.25 gram NaCl, 0.12 gram NH4Cl, 0.12 gram MgSO4.7H2O, 0.005
gram CaCl2, 20 gram bacto agar, kemudian dilarutkan akuades hingga volume
satu liter. Cawan Petri diinkubasi selama 7 hari, selanjutnya diameter koloni
diukur. Zona bening yang terbentuk divisualisasikan dengan penambahan congo
red 0.1%, kemudian cawan dicuci dengan akuades dan NaCl, lalu diukur
diameter zona bening yang terbentuk dan didokumentasikan. Indeks kitinolitik

5
diperoleh berdasarkan perbandingan antara diameter zona bening dengan diameter
koloni.
Pengukuran aktivitas enzim kitinase secara kuantifikasi ditentukan dengan
metode Modifikasi Spindler (Toharisman et al 2005). Pengujian diawali dengan
pembuatan serangkaian larutan standar N-asetil-D-glukosamin untuk menentukan
kurva standar. Rangkaian konsentrasi standar yang dibuat yaitu 0, 10, 20, 30, 40,
50, 60, 70, 80, 90, dan 100 ppm. Setiap larutan dengan konsentrasi tertentu
ditambahkan pereaksi Schales. Larutan dipanaskan hingga suhu 100oC selama 10
menit untuk menghentikan reaksi. Larutan didinginkan dan diukur nilai
absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm. Kurva standar dibuat dengan
menghubungkan konsentrasi standar terhadap absorbansi terkoreksi
(Nurderbyandaru 2008).
Uji enzim pada sampel dilakukan tiga kali ulangan dengan mencampur 150
µl sampel enzim, 150 µl bufer fosfat pH 7, dan 300 µl koloid kitin 0.3%.
Campuran divorteks dan diinkubasi pada water bath selama 30 menit dengan suhu
37oC. Campuran enzim disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit
dan supernatan yang dihasilkan dipipet sebanyak 500 µl. Supernatan sebanyak
500 µl di masukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah dengan 500 µl
akuades dan 1000 µl pereaksi Schales. Campuran langsung dididihkan pada suhu
100oC selama 10 menit. Campuran reaksi didinginkan untuk selanjutnya diukur
absorbansinya pada panjang gelombang 420 nm. Blanko dibuat dengan
mencampurkan 1000 µl akuades dengan 1000 µl pereaksi Schales. Satu unit
aktivitas enzim kitinase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat
membebaskan N-asetil-D-glukosamin sebesar satu µmol per menit.
Pengukuran Konsentrasi Total Protein (Bradford 1976).
Pengukuran konsentrasi protein dilakukan dengan membuat kurva standar
dari bovine serum albumin (BSA). Deret konsentrasi yang dibuat terdiri atas 0, 10,
20, 30, 40, 50, 60, 70, 80, 90 dan 100 ppm. Setiap larutan standar kemudian
ditambahkan reagen Bradford. Reagen Bradford dibuat dari 100 mg Coomassie
Brilliant Blue G-250, 25 ml etanol 95%, 100 ml 85% (b/v) asam fosfat, dan NaOH
1M. Campuran uji dihomogenkan dengan vorteks dan diinkubasi selama 30 menit
pada suhu ruangan. Nilai absorbansi diukur dengan menggunakan pada panjang
gelombang 595 nm. Kurva standar dibuat dengan cara menghubungkan
konsentrasi standar dengan nilai absorbansi terkoreksi.
Pengukuran konsentrasi protein pada sampel dilakukan dengan 10µl ekstrak
enzim dipipet dan dicampur dengan 500 µl reagen Bradford. Sampel diinkubasi
selama 30 menit pada suhu ruangan dan nilai absorbansi diukur pada panjang
gelombang 595 nm. Konsentrasi protein sampel dihitung berdasarkan kurva
standar serum bovine albumin (BSA). Setelah konsentrasi protein ditentukan,
maka aktivitas spesifik enzim dapat ditentukan.
Uji Karakterisasi Enzim Kitinase
Uji pengaruh pH terhadap aktivitas enzim kitinase dilakukan dengan cara
mereaksikan enzim dengan substrat koloid kitin 0.3% pada suhu 37 oC selama 30
menit pada berbagai kondisi pH larutan bufer 3 sampai 10. Bufer pH 3-7 dibuat
dari bufer sitrat fosfat, bufer fosfat pH 7, dan bufer pH 8-10 dibuat dari bufer
glisin-NaOH. Konsentrasi bufer yang digunakan adalah 50 mM. Aktivitas enzim

6
kitinase ditentukan dengan metode modifikasi Spindler.
Uji pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim kitinase dilakukan dengan cara
mereaksikan enzim, substrat koloid kitin 0.3%, dan bufer fosfat pH 7, pada
rentang suhu uji (25, 30, 35, 40, 45, 50, 55, dan 60oC) selama 30 menit. Aktivitas
enzim kitinase ditentukan dengan metode modifikasi Spindler.
Uji stabilitas waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim kitinase dilakukan
dengan mereaksikan enzim, substrat koloid kitin 0.3%, dan bufer pH optimal.
Inkubasi dilakukan pada suhu optimal dan dilakukan pada rentang waktu inkubasi
(15, 30, 60, 120, 150 menit). Aktivitas enzim kitinase ditentukan dengan metode
modifikasi Spindler.
Uji pengaruh ion logam terhadap aktivitas enzim kitinase dilakukan dengan
mereaksikan enzim, substrat, bufer fosfat pH 7, dan garam ion logam uji (EDTA,
KCl, MnCl2, MgCl2, CuSO4, FeSO4, ZnCl2, dan NaCl) dengan konsentrasi 10
mM. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 30 menit. Aktivitas enzim
kitinase ditentukan dengan menggunakan metode modifikasi spindler.
Studi kitinetika enzim kitinase dengan mereaksikan enzim, bufer fosfat pH 7
dan substrat kitin dari konsentrasi 0.1-1.0% dengan interval 0.2% dalam volume
reaksi 600 µL. Campuran diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Aktivitas
enzim kitinase dilakukan dengan menentukan konsentrasi N-asetil-D-glukosamin
berdasarkan metode Spindler. Nilai Km dan Vmaks ditentukan berdasarkan
persamaan Lineweaver-Burk yang merupakan grafik hubungan antara 1/[S] dan
1/V.
Penentuan Bobot Molekul Protein dengan SDS-PAGE
Tahap awal penentuan bobot molekul protein dengan SDS-PAGE adalah
penyiapan gel SDS-PAGE. Metode yang digunakan dalam pembuatan gel adalah
metode Bollag & Edelstein (1991). Gel yang digunakan ada dua jenis yaitu
stacking gel dan separating gel. Komposisi gel SDS-PAGE dapat dilihat pada
Tabel 1.
Persiapan sampel dilakukan dengan menyiapkan 20 µl sampel kitinase
dicampur dengan 5 µl bufer sampel. Campuran dipanaskan dalam air mendidih
100oC selama 5 menit. Proses pendidihan dilakukan untuk mereduksi protein
sampel, sehingga protein yang ada akan bermuatan negatif. Protein bermuatan
negatif akan bermigrasi ke arah kutub positif ketika dilakukan proses
elektroforesis. Selanjutnya, sampel didinginkan pada suhu ruangan dan dipipet 10
µl sampel untuk dimasukkan dalam sumur gel elektroforesis.
Tabel 1 Komposisi gel SDS-PAGE
Bahan
Akrilamida/bis akrilamida
30:0.8% (b/v)
Tris HCl 1M pH 8.8
SDS 10%
H2O
APS 10%
TEMED

Separating gel
12.5%

Stacking gel
5%

6.2 mL

1.6 mL

6.0 mL
150 µL
2.6 mL
7.2 µL
10.0 µL

1.2 mL
100 µL
7.2 mL
5 µL
10 µL

7
Proses elektroforesis dilakukan dengan menempatkan gel ke dalam kotak
gel, kemudian reservoir atas dan bawah diisi dengan bufer pemisah yang dibuat
dari campuran (basa tris 30.3 g, glisin 144.0 g, SDS 10 g, dan akuades 1L). Proses
elektroforesis dilanjutkan dengan dihubungkan arus listrik bertegangan 60 Volt,
30 mA selama ± 4 jam. Elektroforesis dihentikan setelah pewarna protein standar
(biru bromofenol) hingga mencapai batas bawah gel elektroforesis.
Proses pewarnaan gel diawali dengan merendam gel dalam larutan fiksasi
selama semalaman sambil digoyang dengan kecepatan 100 rpm. Gel selanjutnya
dicuci dengan ddH2O selama 10 menit dan gel direndam dalam larutan sensitizing
solution yang dibuat dari 100 ml etanol dan 400 ml ddH2O selama 1 menit
kemudian dibilas kembali dengan ddH2O selama 20 menit. Gel diinkubasi dalam
kulkas dengan diberi pewarna perak nitrat (AgNO3) 0.1% selama 20 menit dan
dicuci dengan ddH2O selama 20 menit. Selanjutnya setelah pewarnaan cukup
dilakukan penambahan larutan stop solution (60 ml asam asetat glasial dan 440 ml
ddH2O) selama 5 menit dan dicuci kembali dengan ddH2O selama 2 menit.
Penentuan bobot molekul didasarkan pada perhitungan dengan menggunakan
persamaan garis antara nilai Rf dan Log bobot molekul.
Analisis Statistik (mattjik & Sumertajaya 2006)
Analisis statistik yang digunakan pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan Analisis of Variance (ANOVA) dan rancangan percobaan yang
digunakan adalah model RAL (rancangan acak lengkap), selanjutnya dilakukan
uji Duncan terhadap parameter yang dianalisis meliputi hubungan perlakuan
terhadap nilai aktivitas enzim kitinasse asal isolat Beauveria bassiana. Setiap
perlakuan dilakukan 3 ulangan. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan
program SPSS 16.0. Adapun model dari RAL tersebut adalah sebagai berikut:
Yij = µ + τi + εij
Dimana

:i
Yij
µ
τi
εij

= 1,2,…. dan j = 1,2,…
= Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
= Rataan umum
= Pengaruh perlakuan ke-i
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j

HASIL DAN PEMBAHASAN
Indeks Kitinolitik Enzim Kitinase dari Beauveria bassiana
Aktivitas kitinolitik enzim kitinase dari Beauveria bassiana secara kualitatif
ditentukan dengan indeks kitinolitik. Indeks kitinolitik diperoleh berdasarkan
perbandingan diameter zona bening dengan diameter koloni (Mubarik et al 2010).
Berdasarkan hasil pengujian nilai indeks kitinolitik dari 4 ulangan yaitu 1.035 ±
4.000 (Lampiran 2). Nilai indeks kitinolitik menjadi parameter yang menunjukkan
adanya aktivitas enzim kitinase ekstraseluler yang disekresikan oleh isolat
Beauveria bassiana. Sekresi enzim ekstraseluler kitinase isolat Beauveria

8
bassiana ditandai zona bening disekeliling koloni tumbuh seperti yang
diperlihatkan pada Gambar 1. Gambar ini memperlihatkan cawan setelah diberi
larutan congo red 0.1% untuk memperjelas zona bening yang terbentuk.
Indeks kitinolitik umumnya digunakan sebagai salah satu metode skrining.
Metode ini banyak digunakan karena mampu menskrining isolat kitinolitik dalam
jumlah banyak dalam waktu singkat. Uji aktivitas kitinolitik diawali dengan
menumbuhkan isolat Beauveria bassiana pada media agar yang mengandung
koloid kitin 0.3% dengan waktu inkubasi selama 7 hari pada suhu ruang. Substrat
kitin pada medium fermentasi mampu menginduksi kelompok enzim kitinolitik,
seperti eksokitinase dan endokitinase (Chernin et al 1995). Substrat kitin dalam
medium fermentasi umumnya digunakan dalam bentuk koloid kitin (Harman et al
1995).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widhyastuti (2010) terhadap
aktivitas enzim kitinase dari Aspergillus sp. menyatakan bahwa kadar N-asetil-Dglukosamin yang dihasilkan dari hidrolisis kitin dari bubuk kitin lebih rendah
dibandingkan kadar N-asetil-D-glukosamin yang dihasilkan dari hidrolisis koloid
kitin. Hal ini disebabkan oleh bentuk rantai polimer kitin.
Zona bening yang merupakan parameter adanya aktivitas kitinolitik
terbentuk akibat degradasi koloidal kitin menjadi monomer N-asetil-Dglukosamin oleh isolat Beauveria bassiana. Fungsi enzim ekstraseluler menurut
Pelezar & Chan (1986) yaitu mengubah sumber nutrien disekitarnya menjadi
nutrien yang siap untuk memasuki sel.
Penambahan pelarut congo red 0.1% berfungsi sebagai pewarna medium,
sehingga zona bening terlihat jelas. Mekanisme pewarnaan congo red menurut
Downie et al (1994) adalah congo red (C32H22N6O6S2Na2) akan berikatan dengan
ikatan β-1,4 pada substrat kitin, sehingga media yang mengandung polimer kitin
akan terwarnai warna merah. Bagian media agar kitin yang terhidrolisis oleh
enzim kitinase tidak akan terwarnai oleh congo red, karena pada zona ini
mengandung N-asetil-D-glukosamin yang tidak memiliki ikatan β-1,4 sehingga
larutan congo red tidak berikatan. Pembilasan dengan akuades dan NaCl
digunakan untuk melunturkan congo red terutama di daerah sekitar koloni yang
mengandung gula reduksi sehingga terlihat zona bening (Sumardi 2004).

Gambar 1 Hasil uji kualitatif aktivitas kitinase isolat Beauveria bassiana

9
Hasil Pemurnian Enzim Kitinase Secara Parsial
Tahap awal pemurnian enzim kitinase Beauveria bassiana secara parsial
dimulai dengan peremajaan isolat Beauveria bassiana pada media potato dextrose
agar. Peremajaan isolat bertujuan untuk memperoleh spora yang baik. Peremajaan
isolat Beauveria bassiana dengan melakukan inkubasi selama 7 hari pada suhu
ruangan. Hasil peremajaan isolat Beauveria bassiana disajikan pada Gambar 2.
Berdasarkan hasil peremajaan Beauveria bassiana memiliki pola pertumbuhan
kesegala arah dengan diameter pertumbuhan isolat Beauveria bassiana selama
inkubasi sebesar 2.3 cm.
Diameter pertumbuhan isolat Beauveria bassiana ini cukup besar, karena
jika dibandingkan pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Nuraida & Hasyim
(2009) jenis Beauveria (BPP1 dan BAP5) yang ditumbuhkan pada media SDA
(Saboround Dekstrose Agar) memiliki diameter pertumbuhan yang lebih kecil
masing-masing 1.1 cm dan 2 cm. Namun diameter isolat ini lebih lambat diameter
pertumbuhannya jika dibandingkan dengan jenis cendawan entomopatogen lain,
seperti Metarhizium (MAP1), Fusarium (FPP3), dan Paecilomyces (PPP4).
Tahapan berikutnya dilanjutkan dengan bioproduksi enzim kitinase dari
Beauveria bassiana secara fermentasi pada media cair yang mengandung koloidal
kitin 0.3% dengan waktu inkubasi selama 5 hari pada suhu ruangan. Menurut
Leopold & Anna (1970) waktu inkubasi 4-5 hari merupakan waktu inkubasi
optimal produksi kitinase pada miselium dewasa Beauveria bassiana.
Pemisahan enzim ekstraseluler kitinase relatif mudah dilakukan, karena
tidak memerlukan proses penghancuran sel. Enzim ekstraseluler kitinase
dipisahkan dari isolat Beauveria bassiana dan pengotor lain non-enzim dengan
teknik sentrifugasi. Teknik ini dilakukan pada suhu 4oC untuk mencegah protein
terdenaturasi. Isolat Beauveria bassiana memiliki bobot molekul yang kecil,
sehingga ketika dilakukan sentrifugasi enzim tetap terlarut pada supernatan.
Supernatan yang dihasilkan merupakan ekstrak kasar enzim kitinase.
Ekstrak kasar enzim kitinase selanjutnya dimurnikan secara parsial.
Pemurnian parsial yang dilakukan meliputi dua tahapan pemurnian yaitu
pemurnian dengan pengendapan garam amonium sulfat dan teknik dialisis.
Pemurnian dengan pengendapan garam amonium sulfat dilakukan optimasi
pengendapan secara bertahap mulai dari konsentrasi 10, 30, 50, dan 70%.

Gambar 2 Hasil peremajaan Beauveria bassiana pada media PDA

10

Aktivitas enzim (U/mL)

Ekstrak kasar enzim kitinase hingga sampel dengan pengendapan garam
amonium sulfat 70% diuji aktivitas kitinase secara kuantitatif. Aktivitas enzim
kitinase pada setiap sampel disajikan pada Gambar 3. Berdasarkan hasil aktivitas
enzim kitinase pada perlakuan konsentrasi garam amonium 0 sampai 50%
memiliki aktivitas enzim kitinase yang rendah dan aktivitas enzim kitinase
meningkat secara drastis pada perlakuan konsentrasi garam amonium sulfat 70%
dengan nilai aktivitas kitinase sebesar 0.0133 U/mL.
Hasil analisis statistik ANOVA menunjukkan nilai p-value yang dihasilkan
sebesar 0.00 atau lebih kecil dari nilai alpha 5% (Lampiran 4), sehingga dapat
diartikan bahwa setiap perlakuan konsentrasi garam amonium sulfat berpengaruh
terhadap aktivitas enzim kitinase. Hasil uji statistik Duncan menunjukkan bahwa
perlakuan dengan konsentrasi garam amonium sulfat 70% berbeda nyata dengan
perlakuan konsentrasi garam 0 sampai 50%, hal ini dibuktikan dengan nilai pvalue >0.05.
Pengendapan enzim kitinase dengan konsentrasi garam amonium sulfat 1050% belum dapat mengendapkan enzim kitinase secara keseluruhan atau protein
masih mengalami salting in, hal ini dibuktikan dari aktivitas kitinase yang rendah.
Saat salting in ion garam yang dihasilkan pada konsentrasi garam rendah akan
melindungi molekul protein dan mencegah bersatunya molekul protein sehingga
protein masih banyak yang melarut dan enzim banyak terbuang pada saat
pemisahan. Pengendapan dengan konsentrasi 70% garam amonium sulfat dapat
mengendapkan sebagaian besar enzim kitinase (salting out). Saat salting out ion
garam yang dihasilkan akan meningkatkan muatan listrik disekitar protein yang
berakibat tertariknya mantel air dari protein, sehingga terjadi interaksi hidrofobik
dan menurunkan kelarutan protein (Suhartono et al 1992).
Hal ini lah yang menyebabkan ketika isolasi enzim kitinase, enzim kitinase
yang terisolasi semakin banyak, dan meningkatkan aktivitas kitinase. Perlakuan
dengan pengendapan amonium sulfat 70% merupakan suatu perlakuan yang
optimal, karena telah dibuktikan melalui uji statistik. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Lyoyd et al (1965) pemekatan protein dengan 70% amonium sulfat
merupakan konsentrasi yang optimum, karena dapat mengendapkan sebagian
besar protein dan memiliki aktivitas yang besar.
0,014
0,012
0,01
0,008
0,006
0,004
0,002
0
0

10
30
50
70
Konsentrasi amonium sulfat (%)

Gambar 3 Pengendapan ekstrak kasar kitinase pada variasi
konsentrasi amonium sulfat

11
Penggunaan garam amonium sulfat digunakan untuk pengendapan enzim
kitinase, karena garam ini memiliki beberapa keuntungan yaitu mudah larut, tidak
toksik, dan stabil terhadap enzim karena tidak mempengaruhi struktur proteinnya.
Proses pengendapan enzim kitinase dengan garam amonium sulfat ditambahkan
dalam bentuk kristal halus, hal ini bertujuan agar volume sampel tidak bertambah
terlalu besar. Penambahan garam amonium sulfat dilakukan secara perlahan dan
sambil diaduk dengan magnetic stirrer yang berfungsi agar kontak antara protein
dengan garam dapat berlangsung baik. Suhu yang dingin sekitar 4oC digunakan
juga pada saat pengendapan protein yang bertujuan menjaga agar protein yang
terendapkan tidak mengalami kerusakan (Kristanti 2001).
Penentuan tingkat kemurnian dilakukan dengan melakukan uji aktivitas
kitinase secara kuantitatif dan konsentrasi protein pada sampel. Pengukuran
aktivitas enzim kitinase secara kuantitatif didasarkan pada pengukuran produk
hidrolisis enzim kitinase yaitu N-asetil-D-glukosamin selama waktu tertentu.
Penentuan kadar N-asetil-D-glukosamin dihitung berdasarkan persamaan garis
y=-0.003+4.082x10-3x (Lampiran 5). Penambahan pereaksi Schales digunakan
untuk membantu pendeteksian produk, kandungan K3Fe(CN)6 dalam suasana
alkali akan membentuk larutan berwarna kuning kehijauan, bentuk ion Fe3+ yang
ada pada pereaksi Schales akan tereduksi oleh adanya N-asetil-D-glukosamin
sebagai gula pereduksi menjadi ion Fe2+ yang akan membentuk warna bening.
Pendeteksian didasarkan pada warna pereaksi Schales, sehingga peningkatan
konsentrasi N-asetil-D-glukosamin akan menurunkan nilai absorbansi. Perlakuan
dengan pemanasan 100oC selama 10 menit bertujuan untuk menghentikan reaksi
sehingga pengukuran produk oleh spektrofotometer lebih akurat. Penentuan
konsentrasi protein ditentukan berdasarkan metode Bradford (1976). Penentuan
kadar protein dihitung berdasarkan persamaan garis y=-9.909x10-3 + 0.847x
(Lampiran 6).
Efisiensi tingkat kemurnian dapat dilihat dari nilai hasil rendemen dan
tingkat kemurnian yang dihasilkan. Hasil pemurnian enzim kitinase Beauveria
bassiana dari ekstrak kasar enzim kitinase hingga tahap dialisis disajikan pada
Tabel 2. Pemurnian kitinase dengan pengendapan amonium sulfat 70% dapat
meningkatkan kemurnian kitinase sebesar 1.2 kali dibandingkan ekstrak kasar
enzim kitinase dengan hasil rendemen sebesar 12.6667%. Pemurnian enzim
kitinase dengan teknik dialisis terbukti dapat meningkatkan tingkat kemurnian
enzim kitinase lebih tinggi sebesar 1.9 kali dibandingkan ekstrak kasar enzim
kitinase dengan hasil rendemen sebesar 0.9285%.
Tabel 2 Pemurnian enzim kitinase Beauveria bassiana
Sampel enzim Volume
enzim
(mL)
Ekstrak kasar
200
enzim kitinase
Amonium
8
sulfat 70%
Dialisis
0.5

Total
aktivitas
(U)
0.8400

Total
protein
(mg)
8.5600

Aktivitas
spesifik
(U/mg)
0.0981

Hasil
Tingkat
(%) kemurnian
(kali)
100
1

0.1064

0.9344

0.1139

12.6667

1.2

0.0078

0.0407

0.1916

0.9285

1.9

12
Tingkat kemurnian enzim kitinase diperoleh dari perbandingan aktivitas
spesifik tiap proses pemurnian dengan aktivitas spesifik ekstrak kasar enzim
kitinase, sehingga apabila aktivitas spesifik meningkat maka tingkat kemurnian
enzim kitinase pun meningkat. Berdasarkan hasil yang diperoleh aktivitas spesifik
pada sampel 70% amonium sulfat sebesar 0.1139 U/mg dan nilai aktivitas spesifik
pada sampel dialisis meningkat sebesar 0.1916 U/mg, sehingga tingkat
kemurniannya meningkat.
Hasil rendemen enzim kitinase diperoleh dari perbandingan total aktivitas
tiap proses pemurnian kitinase dengan total aktivitas ekstrak kasar kitinase
dikalikan dengan 100%. Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan hasil
rendemen setiap tingkat pemurnian menunjukkan penurunan. Penurunan hasil
rendemen pada sampel 70% amonium sulfat dapat disebabkan oleh enzim kitinase
hanya sebagian yang dapat terendapkan dan diisolasi. Hal ini dapat dilihat dengan
total aktivitas dan total protein yang menurun dibandingkan total aktivitas ekstrak
kasar kitinase. Penurunan hasil rendemen pada sampel dialisis disebabkan
hilangnya beberapa protein selama proses dialisis berlangsung dan hal ini dapat
dilihat dari nilai total aktivitas dan total protein yang dihasilkan. Menurut
Kristanti (2001) penurunan protein pada sampel dialisis dapat disebabkan oleh
adanya beberapa protein yang hilang selama proses dialisis. Ukuran pori-pori
kantung selofan adalah 10 kDa. Adanya protein yang keluar dari kantong selofan
diduga protein yang memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan pori-pori
kantung selofan.
Mekanisme pemurnian dengan metode dialisis adalah adanya konsentrasi
garam yang lebih pekat dalam kantung selofan dibandingkan konsentrasi garam
diluar kantung mengakibatkan garam yang ada dalam kantung akan keluar dan
digantikan dengan larutan bufer hingga mencapai keseimbangan yaitu konsentrasi
garam di dalam kantung dan diluar sama. Teknik pemurnian dialisis dilakukan
empat kali penggantian bufer, hal ini bertujuan agar ion garam amonium sulfat
dapat dikeluarkan dari dalam sampel secara maksimal.
Dialisis dilakukan dengan menggunakan sampel pengendapan amonium
sulfat 70%. Penggunaan sampel 70% amonium sulfat karena merupakan sampel
enzim kitinase yang optimal, karena memiliki aktivitas kitinase yang besar yang
menandakan banyaknya enzim kitinase yang terisolasi, sehingga akan
meningkatkan tingkat kemurnian enzim. Merurut Situmorang (2003) penggunaan
70% garam amonium sulfat dalam perlakuan pemurnian kitinase dari Rhizopus
oryzae merupakan konsentrasi optimal untuk meningkatkan tingkat kemurnian
enzim kitinase.
Karakter Enzim Kitinase
pH
Stabilitas semua enzim dipengaruhi oleh pH medium tempat reaksi terjadi.
Enzim sensitif terhadap perubahan pH, karena ion yang ada pada bufer akan
mempengaruhi gugus karboksil dan gugus amino dari enzim sehingga adanya
perubahan pH tertentu secara dapat menyebabkan enzim aktif dan adanya
perubahan pH secara ekstrim menyebabkan enzim menjadi tidak aktif. Uji
karakterisasi kitinase Beauveria bassiana dilakukan dengan menggunakan tiga
jenis bufer yang berbeda yaitu bufer sitrat fosfat, bufer fosfat, dan bufer NaOH-

13
glisin dengan rentang pengujian pH 3-10 dengan konsentrasi 50 mM.
Hasil uji aktivitas enzim kitinase terhadap pH disajikan pada Gambar 4.
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan aktivitas enzim kitinase
meningkat hingga mencapai pH optimumnya yaitu pH 4 dengan aktivitas enzim
kitinase sebesar 0.0053 U/mL, selanjutnya aktivitas menurun seiring dengan
meningkatnya pH. Penggunaan bufer sitrat fosfat dan bufer fosfat dengan pH 7
masing-masing sebesar 0.0044 U/mL dan 0.0041 U/mL. Aktivitas enzim kitinase
kembali mengalami peningkatan pada pH 9 sebesar 0.0049 U/mL dan aktivitasnya
menurun kembali pada pH 10.
Hasil analisis statistik ANOVA menunjukkan hasil p-value sebesar 0.00
atau bernilai lebih kecil dibandingkan nilai α 5% (Lampiran 8 ), sehingga dapat
diartikan bahwa perlakuan pH berpengaruh terhadap aktivitas enzim kitinase dari
Beauveria bassiana. Hasil analisis statistik lanjutan yaitu dengan uji Duncan
menunjukkan pada pH 4 aktivitas kitinase berbeda nyata terhadap perlakuan pH
lain yang diujikan. Hal ini dibuktikan dengan nilai p-value >0.05.
Enzim kitinase dari Beauveria bassiana optimal aktif mengkatalisis substrat
kitin pada pH asam, karena memiliki aktivitas kitinase yang tinggi pada pH 4 dan
berdasarkan analisis statistik pH 4 merupakan perlakuan optimal karena nilai
aktivitasnya berbeda nyata dengan perlakuan yang lain. Karakterisasi enzim
kitinase dari Beauveria bassiana yang telah dilakukan oleh Michael et al (1993)
menghasilkan aktivitas optimum pada pH asam yaitu pH 5. Hasil yang berbeda
oleh Suresh dan Chandrasekaran (1999) menunjukkan aktivitas optimal kitinase
basa yaitu pH 9.2. Adanya pH optimum yang berbeda ini lah yang diduga enzim
kitinase dapat mempertahankan bentuk sisi aktifnya dari pH asam hingga pH basa.
Perbedaan pH optimum yang dihasilkan dapat disebabkan oleh lingkungan tempat
tumbuh isolat Beauveria bassiana yang diisolasi.
Peningkatan aktivitas enzim kitinase kembali pada pH 9 diduga karena
penggunaan jenis bufer yang berbeda. Ion pada bufer akan memberi perubahan
ion enzim dan ion substrat. Perubahan kondisi ion enzim dapat terjadi pada residu
asam amino dan karboksil yang berfungsi katalitik mengikat substrat atau
berfungsi mempertahankan struktur tersier dan kwartener enzim aktif, sehingga
ketika dilakukan penambahan bufer glisin-NaOH sisi katalitik enzim menjadi
teraktifkan kembali dan aktivitasnya meningkat.

Aktivitas enzim (U/mL)

0,006
0,005
0,004
0,003
0,002
0,001
0
3

4

5

6
7
8
Parameter pH

9

10

Gambar 4 Pengaruh pH terhadap aktivitas enzim kitinase. bufer sitrat fosfat
pH 3-7, bufer fosfat pH 7, dan bufer NaOH-glisin

14
Peningkatan aktivitas enzim kitinase kembali pada pH 9 diduga karena
penggunaan jenis bufer yang berbeda. Ion pada bufer akan memberi perubahan
ion enzim dan ion substrat. Perubahan kondisi ion enzim dapat terjadi pada residu
asam amino dan karboksil yang berfungsi katalitik mengikat substrat atau
berfungsi mempertahankan struktur tersier dan kwartener enzim aktif, sehingga
ketika dilakukan penambahan bufer glisin-NaOH sisi katalitik enzim menjadi
teraktifkan kembali dan aktivitasnya meningkat.
Suhu

Aktivitas enzim (U/mL)

Enzim dalam melakukan reaksinya dipengaruhi oleh suhu. Setiap enzim
memiliki kisaran suhu tertentu untuk mencapai aktivitas yang optimum. Faktor
suhu terhadap aktivitas enzim sangat kompleks, karena adanya peningkatan suhu
dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzim hingga mencapai aktivitas optimum
dan disisi lain peningkatan suhu dapat mempercepat inaktivasi enzim. Rentang
suhu yang diujikan dimulai dari 25oC hingga 60oC selama 30 menit. Hasil
pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim kitinase disajikan pada Gambar 5.
Aktivitas enzim kitinase mengalami peningkatan seiring bertambahnya suhu
hingga dicapai aktivitas optimal pada suhu 50oC sebesar 0.0081 U/mL dan
aktivitas enzim kitinase menurun setelah mencapai aktivitas maksimum.
Hasil analisis statistik ANOVA menunjukkan hasil p-value sebesar 0.00
atau bernilai lebih kecil dibandingkan nilai α 5% (Lampiran 10), sehingga dapat
diartikan bahwa perlakuan suhu berpengaruh terhadap aktivitas enzim kitinase
dari Beauveria bassiana. Hasil analisis statistik lanjutan yaitu dengan uji Duncan
menunjukkan pada suhu 50o C menghasilkan aktivitas kitinase berbeda nyata
terhadap perlakuan suhu lain yang dibuktikan dengan nilai p-value >0.05.
Berdasarkan hasil uji yang diperoleh dan analisis statistik, enzim kitinase
dari Beauveria bassiana memiliki suhu optimal 50oC. Penelitian yang telah
dilakukan oleh Michael et al (1993), enzim kitinase yang diproduksi dari
Beauveria bassiana memiliki aktivitas optimal 47oC. Menurut Dewi (2008) enzim
kitinase yang diisolasi dari bakteri yang diisolasi dari sumber air panas Tinggi
Raja, Sumatera Utara menghasilkan enzim kitinase bersifat termostabil dengan
aktivitas optimal pada suhu 65oC.
0,009
0,008
0,007
0,006
0,005
0,004
0,003
0,002
0,001
0
25

30

35

40
45
Suhu oC

50

55

60

Gambar 5 Hasil pengaruh suhu terhadap aktivitas enzim kitinase

15
Aktivitas enzim kitinase menurun setelah suhu 50oC, namun berdasarkan
hasil yang diperoleh nilai aktivitasnya masih terlihat besar. Hal ini diduga terjadi
adanya peningkatan suhu akan mempercepat kecepatan reaksi enzim, karena
energi kinetik yang dihasilkan akan memberbesar frekuensi enzim dengan substrat
bereaksi namun disisi lain adanya peningkata suhu inaktivasi juga meningkat,
Sehingga aktivitas yang masih terlihat besar setelah aktivitas optimal disebabkan
oleh enzim memiliki kecepatan reaksi yang cepat pada tahap awal inkubasi namun
karena kecepatan inaktivasinya juga tinggi, sehingga nilai aktivitasnya lebih
rendah dibandingkan aktivitas optimum.
Waktu inkubasi
Semua enzim memiliki kemampuan untuk mempertahankan stabilitas sisi
aktifnya dalam waktu tertentu. Kemampuan ini bersifat spesifik dan berbeda
antara enzim satu dengan enzim yang lain. Pengujian stabilitas waktu inkubasi
terhadap aktivitas enzim kitinase dilakukan dari rentang waktu inkubasi 15 menit
hingga 150 menit dengan pH 4 dan suhu 50oC yang merupakan pH dan suhu
optimum.
Hasil uji stabilitas enzim kitinase terhadap waktu inkubasi disajikan pada
Gambar 6. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa enzim kitinase dari
Beauveria bassiana relatif stabil hingga menit ke 150 waktu inkubasi dengan
aktivitas tertinggi dicapai pada waktu inkubasi 90 menit dengan aktivitas enzim
kitinase sebesar 0.0040 U/mL. Berdasarkan hasil analisis statistik ANOVA
menunjukkan hasil p-value sebesar 0.207 atau bernilai lebih besar dibandingkan
nilai α 5% (Lampiran 12), sehingga dapat diartikan bahwa perlakuan rentang
waktu inkubasi 15 hingga 150 menit tidak berpengaruh terhadap aktivitas enzim
kitinase dari Beauveria bassiana.
Aktivitas enzim kitinase terus meningkat dari 15 menit inkubasi hingga
mencapai waktu inkubasi optimum. Pada awal waktu inkubasi enzim kitinase
yang bereaksi dengan substrat masih sedikit dan seiring dengan penambahan
waktu inkubasi enzim yang bereaksi dalam menghidrolisis substrat juga semakin
meningkat hingga mencapai waktu inkubasi optimum. Aktivitas enzim kitinase
dari Beauveria bassiana cenderung stabil, hal ini dapat dilihat dari hasil uji
aktivitas kitinase yang dihasilkan setelah aktivitas tertinggi dicapai pada waktu
inkubasi 90 menit, aktivitas sedikit menurun dan stabil hingga waktu inkubasi 150
menit. Adanya penggunaan pH dan suhu optimum yaitu pH 4 dan suhu 50oC,
sehingga enzim kitinase bersifat stabil dan tidak cepat mengalami penurunan
aktivitas kitinase. Menurut Chasanah et al (2002) penggunaan suhu optimum
dapat meningkatkan kinerja enzim secara maksimal dan dengan bentuk tertentu
sisi aktif enzim tersebut dalam keadaan yang sempurna.
Berdasarkan uji statistik perlakuan rentang uji waktu inkubasi 15 hingga 150
menit tidak berpengaruh terhadap aktivitas kitinase. Hal ini dapat diakibatkan
karena beberapa faktor seperti, rentang waktu inkubasi yang diujikan belum
memperlihatkan adanya aktivitas penurunan enzim kitinase dari isolat Beauveria
bassiana, dengan demikian rentang waktu inkubasi 15 hingga 150 menit belum
cukup dapat menunjukkan adanya aktivitas optimal. Faktor lain yaitu konsentrasi
substrat yang rendah. Menurut Patidar et al (2005) bahwa enzim kitinase dari
isolat Beauveria bassiana yang diisolasi dari daerah Jabalpur India memiliki
waktu inkubasi optimal 100 menit.

Aktivitas enzim (U/mL)

16
0,0041
0,004
0,0039
0,0038
0,0037
0,0036
0,0035
0,0034
0,0033
0,0032
0,0031
15

30

60

90

120

150

Waktu (Menit)

Gambar 6 Hasil stabilitas waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim kitinase
Pengaruh ion logam
Enzim memerlukan gugus prostetik untuk mengaktivasi aktivitasnya dalam
menghidrolisis substratnya, salah satu jenis gugus prostetik adalah kofaktor.
Kofaktor merupakan senyawa anorganik, seperti ion logam. Uji pengaruh
penambahan ion logam dilakukan dengan menggunakan EDTA, K+, Mn2+, Mg2+,
Cu2+, Fe2+, Zn2+, dan Na+ dengan konsentrasi 10 mM. Sebagai kofaktor ion logam
dapat berperan sebagai aktivator atau inhibitor enzim.
Hasil uji pengaruh penambahan ion logam terhadap aktivitas enzim kitinase
Beauveria bassiana disajikan pada Gambar 7. Berdasarkan hasil yang diperoleh
penambahan ion logam Mn2+ tidak memberi reaksi penghambatan terhadap
aktivitas enzim kitinase. Secara signifikan ion logam Mn2+ lebih bersifat sebagai
aktivator, sehingga memberikan aktivitas enzim kitinase tertinggi yaitu 0.0164
U/mL, hal ini pula didukung oleh hasil analisis statistik. Pada hasil analisis
statistik yang diawali oleh