Introduksi Gen Toleran Genangan (Sub1) Pada Padi Varietas Ciherang

ABSTRAK
ANGGUN WIDYA NINGGAR. Introduksi Gen Toleran Genangan (Sub1) pada
Padi Varietas Ciherang. Dibimbing oleh DJAROT SASONGKO HAMI SENO
dan TRI JOKO SANTOSO.
Upaya untuk meningkatkan produksi padi terus dilakukan seiring dengan
bertambahnya penduduk dan meningkatnya kebutuhan beras. Perubahan iklim
yang tidak menentu menuntut perlunya pengembangan padi yang toleran terhadap
cekaman abiotik, seperti kekeringan, salinitas tinggi, maupun genangan. Hasil
panen rendah dan resiko kegagalan tanam akibat banjir umum ditemui pada areal
rawa pasang surut, rawa lebak, dan tepian sungai. Salah satu solusi yang
berkelanjutan dan permanen adalah mengembangkan varietas dengan hasil tinggi
yang toleran terhadap rendaman. Penelitian ini mengembangkan padi Ciherang
toleran genangan yang dilakukan secara spesifik dengan metode persilangan
terarah (site-directed crossing) untuk menghindari produk transgenik. Penelitian
ini bertujuan memperoleh tanaman BC3F1 Ciherang-Sub1 hasil persilangan balik
BC2F1 Ciherang-Sub1 dan Ciherang serta menyeleksi tanaman BC3F1 yang
membawa gen Sub1 dengan menggunakan PCR. Hasil uji genangan diperoleh 13
tanaman BC3F1 yaitu 6 tanaman BC3F1 Ciherang/Swarna-Sub1 dan 7 tanaman
BC3F1 Ciherang/IR64-Sub1. Hasil PCR dengan marka AEX1F dan AEX1R
menunjukkan pita DNA untuk gen Sub1A yang berukuran 231 bp. Sedangkan
hasil PCR dengan marka gabungan RM219F dan AEX1R dapat membedakan sifat

heterozigot antara padi host Ciherang, donor Swarna-Sub1 dan IR64-Sub1, serta
progeni BC3F1 Ciherang-Sub1 dengan tambahan pita yang menunjukkan
penyisipan Sub1 dari donor ke dalam host.

ABSTRACT
ANGGUN WIDYA NINGGAR. Introduction Gene of Submergence-Tolerant
(Sub1) on Ciherang Rice Varieties. Under the direction of DJAROT SASONGKO
HAMI SENO dan TRI JOKO SANTOSO.
The efforts to increase rice production has to be done continously along
with the increasing of human population and the demand for rice. The uncertain
climate change demand to development of rice that are tolerant to abiotic stress
like drought, high salinity, and submergence or flooding. Yields are low and the
risk of failure of crops due to flooding common in the area of tidal marsh, lowland
swamps, and riverbanks. One of solution wich sustainable and permanent is
develop high yielding varieties with submergence tolerance. This research
developed the submergence tolerant rice Ciherang performed specifically with
site-directed crossing method to avoid GMO products. The aimed of this study to
get BC3F1 from crosses behind BC2F1 Ciherang-Sub1 and Ciherang, as well as
selecting plants that carry BC3F1 Sub1 gene using PCR. The test results obtained
the submergence tolerant get 13 plants BC3F1 Ciherang-Sub1 consist of 6 plants

BC3F1 Ciherang/Swarna-Sub1 and 7 plants BC3F1 Ciherang/IR64-Sub1. PCR
results with markers AEX1R and AEX1F shows that the DNA bands for genes
Sub1A sized 231 bp. While the results of PCR with the combined markers AEX1R
and RM219F can distinguish heterozygote between hosts Ciherang rice, SwarnaSub1 and IR64-Sub1 donor, as well as progeny BC3F1 Ciherang-Sub1 with
additional bands indicates Sub1 introgression from donor to host.

1

PENDAHULUAN
Upaya untuk meningkatkan produksi padi
terus dilakukan seiring dengan bertambahnya
penduduk dan meningkatnya kebutuhan
beras. Peningkatan produksi padi dapat
dilakukan dengan memperbaiki produktivitas
pada daerah-daerah dimana cekaman abiotik
merupakan kendala utama dalam budidaya
tanaman padi.
Adanya perubahan iklim yang tidak
menentu menuntut terciptanya padi yang
toleran terhadap cekaman abiotik, seperti

kekeringan,
salinitas
tinggi,
maupun
genangan atau banjir. Hasil panen rendah dan
resiko kegagalan tanam akibat banjir umum
ditemui pada areal rawa pasang surut, rawa
lebak, dan tepian sungai. Stres karena
cekaman rendaman akibat banjir akan
menyebabkan
petani
guram
yang
diperkirakan menempati 15 juta hektar di
Asia Selatan dan Asia Tenggara setiap
tahunnya (Septinigsih et al. 2009).
Di
beberapa tempat, petani menanam padi yang
toleran rendaman tetapi memiliki hasil yang
rendah. Sementara ditempat lain, memiliki

hasil yang tinggi tetapi tidak toleran terhadap
rendaman. Baru-baru ini, cekaman rendaman
meningkat secara ekstrim ketika terjadi hujan
yang deras di beberapa tempat di Asia.
Di Indonesia potensi areal persawahan
yang terkena areal banjir sekitar 13.3 juta ha
terdiri atas 4.2 juta ha genangan dangkal, 6.1
juta ha genangan sedang, dan 3.0 juta
genangan dalam (Nugroho et al. 1993). Luas
areal pertanaman padi yang mengalami
cekaman
rendaman
karena
banjir
diperkirakan akan semakin bertambah karena
terjadi peningkatan curah hujan dan kenaikan
permukaan air laut akibat terjadinya
pemanasan global (CGIAR 2006). Solusi
yang berkelanjutan dan permanen diperlukan
untuk menanggulangi masalah ini. Salah satu

solusinya adalah mengembangkan varietas
dengan hasil tinggi yang toleran terhadap
rendaman.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka
mengembangan padi Ciherang toleran
genangan secara spesifik tanpa harus melalui
metode rekayasa genetik. Perakitan varietas
dilakukan secara persilangan terarah (sitedirected crossing) untuk menghindari produk
transgenik (Xu et al. 2004, Mackill et al.
2007). Regulasi GMO (genetically modified
organisms) yang ketat perlu diantisipasi
dengan
menghindari
metode-metode
pengembangan yang menghasilkan produk
tanaman transgenik.

Sebagai tetua pemulih (host) digunakan
Ciherang. Padi Ciherang merupakan padi
varietas unggul nasional yang telah memiliki

beberapa kelebihan dibanding padi lainnya,
seperti produktivitas yang tinggi, taham hama
dan penyakit serta waktu tanam yang lebih
pendek, dibandingkan padi IR64 dan Swarna
yang merupakan padi varietas asli tahan
genangan. Sebagai tetua donor digunakan
padi BC2F1 Ciherang/IR64-Sub1 dan BC2F1
Ciherang/Swarna-Sub1 yang membawa gen
toleransi genangan Submergence-1(Sub1) dan
padi varietas lokal populer Ciherang sebagai
tetua pemulih (host) akan disilangbalikkan
(backcross) hingga dihasilkan tanaman
BC3F1 yang mengandung gen Sub1. Analisis
molekuler berbasis Polymerase Chain
Reaction (PCR) marka Sub1 akan digunakan
untuk melacak keberadaan alel gen Sub1.
Penelitian ini bertujuan memperoleh
tanaman BC3F1 hasil persilangan balik
BC2F1-Ciherang dan menyeleksi tanaman
BC3F1 yang membawa gen Sub1 dengan

menggunakan PCR. Hasil dari penelitian ini
diharapkan akan didapatkan tanaman padi
unggul dan komersial yang toleran genangan
nontransgenik melalui metode persilangan
terarah (site-directed crossing). Manfaat
jangka panjang penelitian ini yaitu
meningkatkan produktivitas tanaman padi
secara berkelanjutan untuk menjaga kondisi
ketahanan pangan nasional.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi Toleran Genangan
Padi (Oryza sativa L.) diklasifikasikan
dalam Divisi Spermatophyta, Sub Divisi
Angiospermae, Class Monocotyledone, Ordo
Poales/Glumiflorae, Famili Graminae, Genus
Oryza,
dan
Spesies
Oryza

sativa
(Tjitrosoepomo 1923). Secara umum padi
dapat tumbuh di daerah tropis/subtropis pada
45° LU sampai 45° LS dengan curah hujan
yang baik adalah 200 mm/bulan atau 15002000 mm/tahun. Di dataran rendah padi
tumbuh pada ketinggian 0-650 m dpl dengan
temperatur 22-27 °C sedangkan di dataran
tinggi 650-1500 meter dpl dengan temperatur
19-23 °C (Siregar 1981).
Tipe pertumbuhan padi adalah tegak dan
merumpun. Umur berbunganya beragam
antara 70-75 hari setelah tanam (HST)
tergantung
varietasnya.
Pembungaan
dipengaruhi oleh lama penyinaran dan suhu.
Biasanya terjadi pada hari cerah antara jam
10-12 dengan suhu berkisar antara 30-32 °C.
Waktu pemasakan kariopsis menjadi benih


1

PENDAHULUAN
Upaya untuk meningkatkan produksi padi
terus dilakukan seiring dengan bertambahnya
penduduk dan meningkatnya kebutuhan
beras. Peningkatan produksi padi dapat
dilakukan dengan memperbaiki produktivitas
pada daerah-daerah dimana cekaman abiotik
merupakan kendala utama dalam budidaya
tanaman padi.
Adanya perubahan iklim yang tidak
menentu menuntut terciptanya padi yang
toleran terhadap cekaman abiotik, seperti
kekeringan,
salinitas
tinggi,
maupun
genangan atau banjir. Hasil panen rendah dan
resiko kegagalan tanam akibat banjir umum

ditemui pada areal rawa pasang surut, rawa
lebak, dan tepian sungai. Stres karena
cekaman rendaman akibat banjir akan
menyebabkan
petani
guram
yang
diperkirakan menempati 15 juta hektar di
Asia Selatan dan Asia Tenggara setiap
tahunnya (Septinigsih et al. 2009).
Di
beberapa tempat, petani menanam padi yang
toleran rendaman tetapi memiliki hasil yang
rendah. Sementara ditempat lain, memiliki
hasil yang tinggi tetapi tidak toleran terhadap
rendaman. Baru-baru ini, cekaman rendaman
meningkat secara ekstrim ketika terjadi hujan
yang deras di beberapa tempat di Asia.
Di Indonesia potensi areal persawahan
yang terkena areal banjir sekitar 13.3 juta ha

terdiri atas 4.2 juta ha genangan dangkal, 6.1
juta ha genangan sedang, dan 3.0 juta
genangan dalam (Nugroho et al. 1993). Luas
areal pertanaman padi yang mengalami
cekaman
rendaman
karena
banjir
diperkirakan akan semakin bertambah karena
terjadi peningkatan curah hujan dan kenaikan
permukaan air laut akibat terjadinya
pemanasan global (CGIAR 2006). Solusi
yang berkelanjutan dan permanen diperlukan
untuk menanggulangi masalah ini. Salah satu
solusinya adalah mengembangkan varietas
dengan hasil tinggi yang toleran terhadap
rendaman.
Penelitian ini dilakukan dalam rangka
mengembangan padi Ciherang toleran
genangan secara spesifik tanpa harus melalui
metode rekayasa genetik. Perakitan varietas
dilakukan secara persilangan terarah (sitedirected crossing) untuk menghindari produk
transgenik (Xu et al. 2004, Mackill et al.
2007). Regulasi GMO (genetically modified
organisms) yang ketat perlu diantisipasi
dengan
menghindari
metode-metode
pengembangan yang menghasilkan produk
tanaman transgenik.

Sebagai tetua pemulih (host) digunakan
Ciherang. Padi Ciherang merupakan padi
varietas unggul nasional yang telah memiliki
beberapa kelebihan dibanding padi lainnya,
seperti produktivitas yang tinggi, taham hama
dan penyakit serta waktu tanam yang lebih
pendek, dibandingkan padi IR64 dan Swarna
yang merupakan padi varietas asli tahan
genangan. Sebagai tetua donor digunakan
padi BC2F1 Ciherang/IR64-Sub1 dan BC2F1
Ciherang/Swarna-Sub1 yang membawa gen
toleransi genangan Submergence-1(Sub1) dan
padi varietas lokal populer Ciherang sebagai
tetua pemulih (host) akan disilangbalikkan
(backcross) hingga dihasilkan tanaman
BC3F1 yang mengandung gen Sub1. Analisis
molekuler berbasis Polymerase Chain
Reaction (PCR) marka Sub1 akan digunakan
untuk melacak keberadaan alel gen Sub1.
Penelitian ini bertujuan memperoleh
tanaman BC3F1 hasil persilangan balik
BC2F1-Ciherang dan menyeleksi tanaman
BC3F1 yang membawa gen Sub1 dengan
menggunakan PCR. Hasil dari penelitian ini
diharapkan akan didapatkan tanaman padi
unggul dan komersial yang toleran genangan
nontransgenik melalui metode persilangan
terarah (site-directed crossing). Manfaat
jangka panjang penelitian ini yaitu
meningkatkan produktivitas tanaman padi
secara berkelanjutan untuk menjaga kondisi
ketahanan pangan nasional.

TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Padi Toleran Genangan
Padi (Oryza sativa L.) diklasifikasikan
dalam Divisi Spermatophyta, Sub Divisi
Angiospermae, Class Monocotyledone, Ordo
Poales/Glumiflorae, Famili Graminae, Genus
Oryza,
dan
Spesies
Oryza
sativa
(Tjitrosoepomo 1923). Secara umum padi
dapat tumbuh di daerah tropis/subtropis pada
45° LU sampai 45° LS dengan curah hujan
yang baik adalah 200 mm/bulan atau 15002000 mm/tahun. Di dataran rendah padi
tumbuh pada ketinggian 0-650 m dpl dengan
temperatur 22-27 °C sedangkan di dataran
tinggi 650-1500 meter dpl dengan temperatur
19-23 °C (Siregar 1981).
Tipe pertumbuhan padi adalah tegak dan
merumpun. Umur berbunganya beragam
antara 70-75 hari setelah tanam (HST)
tergantung
varietasnya.
Pembungaan
dipengaruhi oleh lama penyinaran dan suhu.
Biasanya terjadi pada hari cerah antara jam
10-12 dengan suhu berkisar antara 30-32 °C.
Waktu pemasakan kariopsis menjadi benih

2

dan siap untuk dipanen hasilnya ± 25 hari
setelah penyerbukan dan tergantung varietas.
Umur padi antar varietas beragam, rata-rata
umur padi 100-150 HST (Siregar 1981). Dari
sekian banyak spesies padi, Oryza sativa L
merupakan salah satu spesies yang
dibudidayakan di Asia sedangkan Oryza
glaberrima steund adalah salah satu yang
dibudidayakan di Afrika (Manurung &
Ismunadi 1999).
Padi jenis Ciherang merupakan kelompok
padi sawah varietas unggul hasil beberapa
kali persilangan. Padi jenis ini memiliki
karakteristik umur tanamnya cukup singkat
yaitu 116 hingga 125 hari, bentuk tanaman
tegak, tingginya mencapai 107 hingga 115
cm, menghasilkan anakan produktif 14
hingga 17 batang, warna kaki hijau, warna
batang hijau, warna daun hijau, posisi daun
tegak, bentuk gajah panjang ramping, warna
gabah kuning bersih, tekstur nasi pulen, ratarata produksi 5 hingga 8.5 ton/ha, tahan
terhadap bakteri hawar daun (HDB) strain III
dan IV, tahan terhadap wereng coklat biotipe
2 dan 3. Padi Ciherang mulai diresmikan oleh
menteri pertanian pada tahun 2000 dengan
anjuran cocok ditanam pada musim hujan dan
kemarau dengan ketinggian di bawah 500
meter di bawah permukaan laut (Hermanto
2006).
Tahun 2006 padi varietas IR64 oleh IRRI
dikembangkan menjadi varietas padi toleransi
genangan dengan mentransfer gen Sub1 dari
varietas FR13A tahan genangan. Padi IR64Sub1 (Inpara 5) memiliki karakteristik umur
berbunga 83-86 hari, umur panen 112-116
hari, tinggi tanaman 90-95 cm, kadar amilosa
22 %, gabah isi per malai sebanyak 83 butir,
tekstur nasi sedang, toleran terhadap
rendaman penuh selama 14 hari, dan peka
terhadap penyakit hawar daun bakteri (IRRI
2009). Varietas padi IR 64-Sub1 banyak
digunakan di Asia terutama di Asia Tenggara
termasuk
Indonesia
untuk
berbagai
penelitian. Padi varietas IR64-Sub1 ini juga
telah digunakan petani di beberapa daerah
yang rawan banjir untuk mengurangi resiko
kegagalan panen pada saat terjadinya musim
hujan akibat perubahan iklim yang tidak
menentu (Septiningsih et al. 2009).
Padi Swarna-Sub1(Inpara 4) memiliki
karakteristik umur berbunga 100-104 hari,
umur panen 130-134 hari, tinggi tanaman 7585 cm, kadar amilosa 27 %, gabah per malai
sebanyak 131 butir, tekstur nasi pera, toleran
terhadap rendaman penuh selama 14 hari, dan
peka terhadap penyakit hawar daun bakteri
(IRRI 2007). Pada tahun 2006-2007 varietas

ini telah diuji lebih lanjut oleh petani dan
peneliti di International Rice Research
Institute (IRRI) untuk digunakan dan
dipublikasikan. Pengembangan varietas ini
adalah contoh aplikasi ilmu pengetahuan
molekular modern dengan memanfaatkan
varietas lokal populer untuk sampai pada
sebuah peningkatan produk yang toleransi
terhadap genangan dan juga secara lokal
dapat diterima.
Teknologi inovatif yang handal untuk
meningkatkan produktivitas padi, baik
melalui peningkatan potensi atau daya hasil
tanaman maupun toleransi dan ketahanannya
terhadap cekaman biotik maupun abiotik
(Suprihatno et al. 2007). Berdasarkan
dinamika masalah dan kendala produksi serta
tuntutan konsumen, varietas-varietas unggul
tersebut dikelompokkan menjadi dua, yaitu
varietas
yang
diperuntukkan
bagi
peningkatan produktivitas yang melebihi
ambang potensi hasil yang sudah melandai
dan
varietas
unggul
spesifik
yang
diperuntukkan bagi pencapaian stabilitas
hasil (tahan/toleran cekaman biotik atau
abiotik), peningkatan kualitas hasil (mutu
rasa dan mutu gizi) serta umur genjah
(Sunendar & Fagi 2000).
Beberapa padi toleran genangan telah
teridentifikasi (Tabel 1), tetapi umumnya
kemampuan
kombinasi
dan
sifat
agronominya (tanaman terlalu tinggi, sensitif
penyakit dan hama serangga, produktivitas
rendah) kurang memenuhi untuk kultivasi
skala besar (Mohanty et al. 2000). Oleh
karena itu sifat toleransi genangan perlu
diintroduksi pada varietas padi populer yang
Tabel 1 Varietas padi tahan genangan
(Mackill et al. 2011)
Varietas
IR64-Sub1
SwarnaSub1
S. MahsuriSub1
TDK1Sub1
BR11-Sub1
CR1009Sub1
PSB Rc68
Inpara3
PSB Rc82Sub1

Kematangan
buah
(hari)
112-116

Tinggi
tanaman
(cm)
90-95

130-134

75-85

27

126-134

80-85

25

139-144

106-125

10

128-130

130-134

24

153-154

122-125

25

118-121
114-116

121-125
110-114

26
25

115-118

102-105

20

Amilosa
(%)
22

3

lebih produktif. FR13A merupakan kultivar
yang paling banyak digunakan sebagai
sumber plasma nuftah dalam pengembangan
varietas baru toleran genangan (Sarkar et al.
2006).
Aspek Fisiologis dan Morfologis Tanaman
Padi terhadap Cekaman Rendaman
Ada dua perubahan lingkungan yang
terjadi saat rendaman, yaitu aerobik ke
anaerobik dan sebaliknya dari anaerobik ke
aerobik setelah air berkurang. Faktor kunci
untuk adaptasi dari aerobik ke anaerobik
adalah suplai energi. Asimilasi karbon selama
terendam akan dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti suplai CO2, radiasi matahari,
kapasitas fotosintesis di bawah permukaan air
yang dilemahkan oleh klorosis. Efisiensi
penggunaan energi selama rendaman juga
penting untuk adaptasi pada lingkungan
anaerob (Kawano et al. 2008).
Sarkar et al. (2006) mengatakan bahwa
toleransi rendaman merupakan adaptasi
tanaman dalam merespon proses anaerob
yang memampukan sel untuk mengatur atau
memelihara keutuhannya sehingga tanaman
mampu bertahan hidup dalam kondisi
hipoksia tanpa kerusakan yang berarti.
Sebuah evaluasi terhadap padi yang toleran
dan tidak toleran menunjukkan bahwa bibit
padi yang toleran memiliki 30-50% cadangan
karbohidrat
nonstruktural
dibandingkan
kultivar rentan. Karbohidrat ini dimanfaatkan
selama terendam untuk mensuplai energi
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
mengatur metabolisme.
Tanah yang terendam air merupakan
cekaman abiotik yang mempengaruhi
komposisi spesies dan produktivitas pada
berbagai tanaman. Pada tanaman padi,
rendaman dimanipulasi sedemikian rupa
untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Beberapa spesies tanaman kelebihan air
merupakan faktor penghambat produksi pada
beberapa tempat dan situasi (Jackson 2004).
Banjir terutama berpengaruh
terhadap hasil biji (Setter & Waters 2003).
Hambatan utama yang disebabkan adanya
rendaman pada spesies yang tidak bisa
beradaptasi terhadap kekurangan oksigen
adalah difusi oksigen di air lebih lambat 104
kali dibanding dengan di udara (Armstrong &
Drew 2002). Hal lainnya adalah adanya
perubahan level hormon etilen dan beberapa
produk
metabolisme
anaerobik
oleh
mikroorganisme tanah seperti Mn2+, Fe2+, S2-,
H2S dan asam karboksilat (Jackson & Colmer
2005). Lebih lanjut jika tanaman terendam

secara total akan mengakibatkan kekurangan
karbondioksida, cahaya,
dan oksigen
sehingga dapat mengakibatkan kematian
tanaman (Jackson & Ram 2003) (Gambar 1).
Pada saat tanaman padi tergenang, variasi
konsentrasi
O2
0.0-0.6
mol
m–3
–3
(kesetimbangan di udara 0.24 mol m pada
30°C) dan CO2 0.004-0.020 mol m–3
(kesetimbangan di udara 0.01 mol m–3)
(Sarkar et al. 2006). Tanaman menderita
kekurangan O2 parsial (hipoksia) atau tidak
mendapatkan
sama
sekali
(anoksia)
(Mohanty et al. 2000). Penurunan difusi gas
ini
mengakibatkan
terhambatnya
pertumbuhan, metabolisme, dan daya tahan
tanaman (Mohanty et al. 2000, Sarkar et al.
2006). Berkurangnya suplai O2 menghambat
respirasi, kurangnya suplai CO2 menghambat
fotosintesis, dan terhambatnya difusi etilen
mendorong klorosis dan perpanjangan daun
berlebih pada kultivar yang intoleran.
Klorosis adalah keadaan pada jaringan
tanaman yaitu daun yang kekurangan klorofil
sehingga tidak berwarna hijau melainkan
kuning atau putih pucat (Jackson et al. 1987,
Jackson & Ram 2003).
Sedangkan aspek morfologis padi adalah
saat terjadi rendaman total sampai pada
bagian daun paling atas, fotosintesis menjadi
terhambat akibat kurangnya karbondioksida
ekternal dan adanya semacam naungan
(shading). Pada beberapa tanaman adanya
etilen
membuat
stimulasi
untuk
memanjangkan batang (shoot elongation),

Gambar

1

Faktor lingkungan yang
menyebabkan
toleran
rendaman pada padi. Difusi
gas yang terbatas dalam air
adalah penyebab utama efek
merugikan dari perendaman
(Setter et al. 1995).

4

seperti pada padi, sehingga dapat melakukan
escape dari cekaman rendaman. Salah satu
mekanisme tanaman yang biasa hidup dalam
keadaan terendam adalah memiliki jaringan
aerankim (Seago et al. 2005). Aerenkim
merupakan ruangan interselular yang
terbentuk dari kombinasi pertumbuhan sel
dan pembelahan sel (expansigeny). Proses
masuknya gas dari atmosfer melalui aerenkim
sebagian besar terjadi karena difusi. Namun
demikian, aliran masa dapat pula terjadi jika
alur jalan aerenkim membentuk tahanan yang
rendah untuk dapat memasukan gas.
Mommer dan Visser (2005) mengidentifikasi
tampilan morfologi daun yang melakukan
fotosintesis dibawah air. Penelitian ini
menyimpulkan adanya hubungan kecepatan
mengabsorbsi karbondioksida berhubungan
erat dengan pembentukan lapisan kutikula
dan lamina yang semakin menipis.
Armstrong
&
Armstrong
(2005)
menggunakan
external
palarographic
oxygen-sensing elektroda yang ditempatkan
pada akar (rhizospher) untuk mengetahui
proses keracunan sulfida pada akar tanaman
padi. Mereka mengamati adanya reaksi
reduksi dengan cepat terjadi karena
berkurangnya oksigen di sekitar akar,
sehingga mengakibatkan tekanan terhadap
pemanjangan
akar
dan
kemampuan
mengambil air. Kondisi ini berlanjut sampai
berhari-hari sulfida akan menghancurkan
akar diikuti dengan tumbuhnya akar lateral.
Sulfida juga dapat menghalangi aerenkim dan
jaringan pembuluh tanaman. Kekurangan
oksigen pada akar juga disebabkan oleh nitrat
yang dibebaskan dari bahan organik sehingga
menghalangi oksigen untuk diserap oleh akar
(Kirk & Kronzucker 2005).
Gen Pengendali Toleransi Genangan
Saat tanaman tergenangi air, secara
otomatis mereka memberikan respon untuk
meningkatkan pertahanannya. Namun, jika
terlalu lama tergenangi, maka tanaman akan
layu dan mati. Padi juga tidak berbeda,
meskipun padi ditanam dalam air, tanaman
muda seringkali terpengaruh oleh banjir
tahunan di lahan pertanian dataran rendah.
Namun, beberapa kultivar sangat toleran serta
dapat bertahan hidup sampai dua minggu
penggenangan sempurna berkaitan dengan
tempat percobaan kuantitatif utama yang
ditunjuk sebagai Submergence 1 (Sub1)
seperti pada FR13A (Xu et al. 2004). Lokus
Sub1 terpetakan pada kromosom 9, berukuran
200 kb (Gambar 2), dan berperan dalam
variasi toleransi genangan kultivar padi (Xu

Gambar 2 Sub1 haplotipe dari O.sativa.
Lokus Sub 1 mengkodekan dua
atau tiga ethylene-responsive
factors yaitu Sub1A, Sub1B,
dan Sub1C. Hanya lokus yang
berisi alel Sub1A-1 yang dapat
menyebabkan
padi
tahan
terhadap rendaman (Fukao et
al. 2006, Xu et al. 2006).
& Mackill 1996, Xu et al. 2004, Perata &
Voesenek 2006).
Penelitian lebih lanjut menunjukkan
bahwa Sub1 pada FR13A mengkode tiga
faktor transkripsi (Sub1A, Sub1B, dan Sub1C)
(Gambar 2) yang termasuk kelompok B-2
subgrup ethylene response factor (ERFs)
(Perata & Voesenek 2006). Regulasi
transkripsi Sub1A dan Sub1C didapatkan
meningkat akibat genangan. Peningkatan
Sub1C berkurang dengan adanya Sub1A,
mengindikasikan adanya represi Sub1C oleh
Sub1A. ERF ketiga, Sub1B hanya sedikit
terpengaruh oleh genangan (Fukao & BaileySerres 2008, Perata & Voesenek 2006).
Sub1A merupakan respon etilen mirip gen
yang mengendalikan toleransi terhadap
genangan pada padi (Xu et al. 2004). Sub1A
yang pertama kali ditemukan merupakan
suatu variabel tetapi dibutuhkan untuk
toleransi
terhadap
genangan.
Ketika
terekspresi lebih dalam, gen Sub1A
menyebabkan varietas padi toleran genangan
di air. Suatu penyimpangan, Sub1A-1 hanya
ditemukan dalam padi toleran genangan,
sementara Sub1A-2 dengan suatu perubahan
nukleotida
tunggal
merupakan
versi
ketidaktoleransi dari gen tersebut. Ketika
dimasukkan kedalam varietas padi swarna
tidak toleran genangan, yang tidak ada gen
Sub1A, ilmuwan menemukan bahwa hasilnya
tidak hanya toleran genangan air, tetapi juga
produksi tinggi dan keuntungan lainnya.
Hasil survey alel mendapatkan toleransi
genangan terkait dengan alel Sub1A-1 dan
intoleransi genangan terkait dengan alel
Sub1A-2 (Fukao & Bailey-Serres 2008, Xu et

5

al. 2004). Transformasi Sub1A-1 pada
varietas Japonica intoleran genangan
menghasilkan tanaman transgenik yang
toleran genangan (Fukao & Bailey-Serres
2008, Perata & Voesenek 2006). Introgresi
Sub1 (haplotipe Sub1A-1, Sub1B-1, Sub1C-1)
pada intoleran kultivar japonica M202
mendapatkan tanaman yang lebih toleran
terhadap genangan, lambat penurunan pati
dan solubel karbohidratnya, kecil mRNA amilase dan sukrosa sintasenya, tinggi
aktivitas piruvat dekarboksilase (Pdc) dan
alkohol dehidrogenase (Adh), kecil produksi
etilennya, dan berkurang transkripsi gen
ekspansinya (Fukao & Bailey-Serres 2008).
Data-data fisiologi ini mendukung teori
bahwa strategi survival terhadap genangan
berlangsung melalui konservasi karbohidrat,
represi elongasi sel, dan peningkatan
kapasitas fermentasi (Perata & Voesenek
2006, Fukao & Bailey-Serres 2008).
Keterkaitan Sub1 dalam survival tanaman
terhadap genangan seperti disajikan pada
Gambar 3 (Perata & Voesenek 2006, Fukao
&
Bailey-Serres
2008).
Genangan
mengakibatkan akumulasi etilen yang
kemudian menginduksi transkripsi gen
Sub1A sehingga terjadi akumulasi protein
Sub1A. Selanjutnya Sub1A menghambat
ekspansi A (ExpA) dan sukrosa sintase (Sus
3) sehingga menghambat pertumbuhan.
Sub1A meningkatkan transkripsi gen yang
berkaitan dengan fermentasi sehingga terjadi
akumulasi mRNA dan peningkatan aktivitas
Pdc dan Adh. Kondisi Fermentasi akan
membuat glikolisis dapat berlanjut sehingga
menghasilkan ATP untuk survival. Namun,
laju produksi etanol tidak jauh berbeda
dengan genotip yang tidak mengandung gen
Sub1A, mengindikasikan bahwa induksi Pdc
dan Adh tidak terlalu krusial. Sub1A
menghambat gen yang berkaitan dengan
elongasi sel dan katabolisme karbohidrat.
Degradasi pati menghasilkan sumber
glukosa untuk glikolisis dan pertumbuhan.
Padi yang mengekspresi Sub1A, laju elongasi
rendah, pati dan karbohidrat yang terkumpul
dapat digunakan untuk mempertahankan
perlambatan sintesis ATP melalui fermentasi.
Sub1C yang mengontrol gen -amilase
(Ramy3D)
dihambat
oleh
Sub1A.
Gibberellins (GA) terlibat dalam regulasi
ekspresi Sub1C. Namun, efek tersebut
terhadap ekspresi Ramy3D bersifat tidak
langsung, mengingat promotor gen ini yang
tidak mengandung elemen GARE diperlukan
untuk regulasi GA. Peningkatan regulasi
Ramy3D oleh kandungan gula didapatkan

pada
Sub1A-defisien. SUB1A juga
bertanggung jawab pada restriksi feedback
produksi etanol.

Gambar 3 Keterkaitan Sub1A dan Sub1C
dengan
toleransi
genangan
(Fukao et al. 2006, Perata &
Voesenek 2007, Fukao &
Bailley- Serres 2008).
Metode Analisis Toleransi Genangan
Analisis/seleksi toleransi genangan secara
lapangan dapat dilakukan dengan uji
genangan (Xu et al. 2004, Sarkar et al. 2006).
Metode fluorosensi klorofil juga telah
dikembangkan (Sarkar et al. 2006). Kedua
metode tersebut berguna untuk seleksi awal.
Namun, tidak dapat memberikan informasi
apakah sifat toleransi genangan sampel yang
diperiksa diakibatkan oleh perlakuan yang
dilakukan. Walaupun metode pada level asam
nukleat secara RAPD, RFLP atau AFLP, dan
hibridisasi terhadap Sub1 juga telah
dikembangkan, tetapi metode-metode ini
sangat laborius dan memerlukan sampel
DNA berkualitas tinggi dalam jumlah
banyak, sehingga kurang praktis bila jenis
sampelnya banyak atau jumlah sampel sedikit
(Xu et al. 2004) . PCR berbasis marka Sub1
merupakan metode yang paling praktis, tidak
diperlukan sampel DNA yang banyak, serta
paling sensitf karena adanya efek amplifikasi.
Marker
mikrosatelit
(RM219)
dan
concodominant (RM464A) yang terkait
dengan Sub1 telah dikembangkan (Xu et al.
2004). Pada penelitian ini akan digunakan

6

deteksi dengan metode PCR dengan marka
Sub1.
Metode Persilangan Terarah (Site Directed
Crossing)
Tanaman transgenik akan dihambat
dengan adanya regulasi GMO, sehingga
sedapat mungkin menghindari metodemetode pengembangan yang menghasilkan
produk tanaman transgenik. Metode sitedirected crossing (Gambar 4) merupakan
alternatif yang dapat digunakan untuk
mengintroduksi sifat tertentu secara spesifik
tanpa harus melalui rekayasa genetik yang
menghasilkan produk tanaman transgenik
(Xu et al. 2004, Mackill et al 2007).
Pada metode ini, introgresi donor dapat
diminimalisasi, hanya sifat yang diinginkan
yang terintroduksi pada host, sehingga dapat
dipertahankan sifat-sifat yang baik pada
padi host. Pembentukan populasi hingga
BC5F1 akan menghasilkan turunan dengan
sifat yang mendekati hampir 100 % host
(retensi host maksimal) (Mackill et al. 2007),
sehingga hanya sifat yang diinginkan
(misalnya aromatik, toleransi genangan, dsb.)
yang terintroduksi ke host. Selfing
(pembentukan BC5F2) hanya diperlukan
untuk introduksi sifat yang progeni gennya
bersifat resesif (misalnya sifat aromatik),
sedangkan untuk yang dominan (misalnya
toleransi genangan) cukup hingga BC5F1.
Analisis molekuler (misalnya PCR)
sangat diperlukan untuk memastikan bahwa
tanaman yang akan dibackcross telah
mengandung gen yang ditargetkan (Mackill
et al. 2007) serta membantu mempersingkat
tahapan penelitian. Pada introduksi toleransi
genangan yang sifatnya dominan, dapat
langsung dilakukan uji genangan, tetapi

Gambar 4 Diagram metode site-directed
crossing. Keterangan: backcross
= silang balik, selfing = silang
dengan dirinya sendiri.

dengan adanya analisis molekuler akan lebih
memastikan dan secara saintifik lebih valid.
Metode
site-directed
crossing
sering
digunakan dengan nama marker- assisted
backcrossing atau PCR-assisted backcrossing
(Mackill et al. 2007, Lang & Buu 2008).
Namun, umumnya tidak secara menyeluruh
hingga turunan BC5F1 atau BC5F2, biasanya
acak hingga BC3F1, BC2F2, dsb. Selain itu,
belum pernah digunakan untuk introduksi
lebih dari satu sifat.
Marka Molekular
Marka molekuler merupakan metode
penunjuk keberadaan rangkaian nukleotida
atau lebih umum dikenal pasangan basa
(DNA) yang tidak dikenal sebagai suatu
fungsional genetik. Marka dapat juga
memberikan informasi suatu rangkaian
sekuen tertentu dalam menyandikan suatu
sifat atau memberikan informasi tentang
keberadaan posisi suatu sekuen konservasi di
dalam genom
Gupta et al. (2002) mengklasifikasikan
marka molekuler kedalam beberapa generasi,
diantaranya generasi pertama berdasarkan
fragmen restriksi (Restriction Fragment
Length Polymorphisms-RFLP) yang telah
dilaporkan pada genom manusia pada awal
1980 (Botstein et al. 1980) menjadikan marka
molekuler berbasis fragmen DNA sangat
populer. Disusul dengan marka generasi
kedua pada tahun 1990 yang meliputi
mikrosatelit (Simple Sequence Repeats-SSRs)
dan AFLPs (Amplified Fragment Length
Polymorphisms) berbasiskan fingerprinting.
Marka generasi ketiga pun muncul dengan
pada tingkat yang lebih spesifik pada
penyandi
terkait
ekspresi
(Expressed
Sequence Tags-ESTs) dan SNPs (Single
Nucleotide Polymorphisms) diakhir 1990.
Berdasarkan prinsip dan metodenya
marka molekuler dapat dikelompokan
kedalam empat grup (Gupta et al. 2002).
Pertama, marka berdasarkan hibridisasi
probe; RFLFs merupakan marka yang
mempunyai
tingkat
polimorfis
yang
disebabkan
subtitusi,
penyisipan,
penghilangan, atau translokasi dalam genom
(Gupta et al. 2002). Marka ini memisahkan
fragmen
DNA
berdasarkan
sistem
pemotongan enzim restriksi seperti EcoRI
dan HindIII yang dilanjutkan proses
hibridisasi probe pada teknik Southern
blotting. Marka ini bersifat kodominan tetapi
mempunyai keterbatasan dalam perakitan
yang hanya dikonstruksi dari klon cDNA
yang telah diketahui, kuantitas dan kualitas

7

DNA yang dibutuhkan sangat tinggi serta
dibutuhkan laboratorium khusus menangani
radioaktif. RFLP merupakan sebuah teknik
baru untuk memonitor transfer gen dari
sebuah persilangan dan memiliki kemampuan
untuk mengklon gen produk yang belum
diketahui (Lang & Buu 2008).
Kedua, marka berdasarkan polymerase
chain reaction (PCR) yang dikelompokan
dalam satu primer pengamplifikasi; RAPD
merupakan marka yang mengamplifikasi
genom dengan satu primer spesifik secara
acak (Williams et al. 1990) dan pasangan
primer spesifik. STSs (Sequence-Tagged
Sites) merupakan sekuen unik yang pendek
yang mengidentifikasi satu atau lebih loci dan
dapat teramplifikasi dengan PCR. SCARs
(Sequence Characterized Amplified Regions);
seperti STS primer yang mengidentifikasi
RFLP loci. AFLP merupakan DNA
fingerprinting yang berbasis pada amplifikasi
PCR pada suatu set fragmen restriksi yang
telah diligasikan suatu sekuen diketahui yang
akan teramplifikasi biasanya menggunakan
MseI atau EcoRI. AFLP ini mempunyai sifat
kodominan sehingga dapat digunakan dalam
studi tingkat polimorfis dan lebih efisien
dibandingkan dengan teknik lainnya (Powell
et al. 1996) dan SSRs yang merupakan DNA
fingerprinting yang mempunyai tingkat
kepercayaan lebih tinggi dibandingkan
dengan
penanda
DNA
berbasis
fingerprinting.
Ketiga,
marka
berdasarkan
PCR
diteruskan hibridisasi. MP-PCR merupakan
penggabungan beberapa teknik dalam proses
PCR dengan menggunakan primer spesifik
dan diteruskan dengan proses hibridisasi
dengan probe radioaktif. Terakhir, marka
berdasarkan hasil sequen seperti SNPs yang
merupakan marka yang lebih spesifik pada
perbedaan satu pasang basa nukleotida.
Marka ini memerlukan sekuen lengkap
tanaman dari suatu sekuen spesifik tertentu
yang mempunyai suatu fungsi tertentu.
Setiap
jenis
marka
mempunyai
keuntungan
dan
kerugian
dalam
penggunaannya dan prosedur yang akan
digunakan untuk beberapa tujuan. Faktor
yang banyak mempengaruhi dalam pemilihan
jenis marka antara lain kualitas dan kuantitas
genom DNA, konsentrasi dan tidak adanya
mispriming pada pasangan primer yang
digunakan, konsentrasi pereaksi, jenis
tanaman yang digunakan karena beberapa
marka tergantung pada lokasi ekstraksi DNA
tersebut dan pembuatan marka itu sendiri
yang membutuhkan biaya, waktu dan tenaga

kerja yang komplikasi. Diantara marka
molekular tersebut, SSR banyak dipakai
karena sifatnya yang relatif praktis (PCR
base), akurat, tingkat polimorfisme yang
tinggi,
memungkinkan
multiplex
(pengamatan beberapa marka sekaligus), dan
sebarannya merata di seluruh bagian genom
padi.
PCR dengan Marka Sub1
PCR adalah salah satu metode yang
paling
praktis
untuk
menunjukkan
keberadaan gen pada suatu organisme.
Analisis molekuler seperti PCR sangat
diperlukan untuk memastikan bahwa tanaman
yang akan disilangbalik (backcross) telah
mengandung gen yang ditargetkan serta
membantu mempersingkat tahapan penelitian
(Mackill et al. 2007). PCR dengan marka
Sub1 merupakan metode yang paling praktis
dibandingkan dengan metode RAPD, RFLP,
atau AFLP. Septiningsih et al. (2009)
melaporkan bahwa ukuran/panjang gen padi
toleran genangan (Sub1) berbeda dengan padi
nontoleran genangan. Hal ini menyebabkan
adanya pola pita yang berbeda pada
visualisasi hasil PCR dengan elektroforesis
gel agarosa. Panjang gen dan susunan gen
yang berbeda antara padi toleran genangan
dengan padi nontoleran genangan dapat
membantu amplifikasi DNA dengan primer
yang spesifik.
Marka-marka yang spesifik terhadap
toleran
genangan
sudah
banyak
teridentifikasi (Septiningsih et al. 2009).
Pada penelitian ini digunakan marka AEX1F
dan AEX1R serta kombinasi antara marka
RM219F dan AEX1R. Marka tersebut secara
spesifik dirancang untuk alel toleran
(IR40931). Marka AEX1F sebagai forward
dengan
sekuen
5’
AGGCGGAGCTACGAGTACCA
3’.
Primer AEX1F berukuran 231 bp dengan
nilai Tm sebesar 62.2ºC. Posisi dari primer
ini SNP fungsional untuk Sub1A. Primer
AEX1R merupakan primer reverse yang
spesifik untuk gen Sub1 dengan nilai Tm
sebesar 62.4ºC. Sekuen dari primer AEXR
adalah 5’ GCAGAGCGGCTGCGA.
Marka Restriction Fragment Length
Polymorphisms (RFLP), Amplified Fragment
Length Polymorphism (AFLP), dan Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD) telah
banyak digunakan dalam pemetaan gen
Sub1. Namun, marka ini secara umum tidak
cocok untuk aplikasi program marker
assisted selection (MAS). Hal ini
dikarenakan pada RAPD, RFLP, atau AFLP

8

sangat laborius untuk pengukuran dan
memerlukan DNA dalam jumlah yang
banyak atau berkualitas tinggi. Oleh karena
itu, diperlukan marka PCR berbasis
kodominan seperti marka mikrosatelit.
Salah satu marka mikrosatelit yang sering
digunakan
adalah
SSR.
Berdasarkan
penelitian Xu et al. (2004) primer SSR yang
ideal untuk seleksi toleran genangan adalah
RM 219 dan RM 464A. Namun, pada
penelitian kali ini hanya digunakan marka
RM219F saja yang dikombinasikan dengan
AEX1R. Seleksi Sub1 dengan marka
mikrosatelit ini dapat dipercaya karena
ikatannya sangat kuat (3.4 cM dan 0.7 cM).
Primer forward dari marka RM219F
memiliki
sekuen
5’
CGTCGGATGATGTAAAGCCT 3’ (Xu et
al. 2004). Meskipun primer tersebut telah
terbukti pada berbagai analisis molekular
varietas padi di berbagai negara, tetapi
marka-marka
tersebut
belum
pernah
digunakan untuk varietas padi Indonesia.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan tanaman padi diperoleh dari BBBIOGEN dan LIPI. Tanaman yang digunakan
yaitu host (Ciherang), padi BC2F1
Ciherang/IR64-Sub1,
padi
BC2F1
Ciherang/Swarna-Sub1, padi IR64-Sub1, padi
Swarna-Sub1, dan padi IR42. Reagen untuk
isolasi DNA yaitu etanol 70 %, etanol 95 %,
bufer ekstraksi (NaCl 5 M, Tris-HCl 1 M,
EDTA 0,5 M, lauril sarkosin, dan urea), fenol
kloroform isoamilalkohol (PCI), isopropanol,
dan larutan TE. Bahan-bahan yang digunakan
untuk menguji hasil isolasi DNA dengan
PCR adalah bufer PCR 10x, MgCl2 50 mM,
dNTP mix 10 mM, primer AEX1, primer
RM219, Taq polymerase, sampel DNA 50
ng/ µL, dan MQ H2O. Bahan-bahan yang
digunakan untuk elektroforesis yaitu loading
dye, bufer TAE 1x, agarosa, DNA hasil
isolasi atau hasil PCR, marker, etidium
bromida, dan akuabides.
Alat-alat
yang
digunakan
untuk
pembentukan benih BC3F1 adalah cawan
petri, kertas saring, bak plastik volume 100
liter, ember, penyedot vakum, kertas minyak,
klip, lampu listrik, dan gunting. Alat-alat
yang digunakan untuk isolasi DNA adalah
ruang laminar air flow, waterbath, cool box,
pinset, tabung mikro, mortar, tip, vorteks,
microfuge (Backman rotor 12), autopipet, dan
inkubator. Alat-alat yang digunakan untuk
elektroforesis adalah
neraca analitik,

autoklaf, gelas piala, labu Erlenmeyer,
magnetic
stirrer,
microwave,
tangki
elektroforesis, dan kertas aluminium. Alatalat
lain
yang
digunakan
adalah
spektrofotometer
(SmartSpecTM
Plus
Spectrophotometer, Biorad), kuvet, pH meter,
mesin PCR PTC-100 (MJ Research, Inc), dan
UV illuminator Chemidoc EQ Biorad.
Metode Penelitian
Penanaman dan Persilangan Tanaman
Padi (Soedyanto et al. 1978)
Materi yang digunakan adalah varietas
unggul Ciherang sebagai tetua pemulih, dan
padi donor BC2F1 Ciherang/Swarna-Sub1
dan BC2F1 Ciherang/IR64-Sub1. Untuk
menghasilkan
biji
BC3FI
dilakukan
penanaman butir padi dari masing-masing
varietas dikecambahkan dalam cawan petri.
Setelah berkecambah, dipilih 5 kecambah
yang pertumbuhannya baik dan dipindahkan
ke bak pembenihan. Setelah berumur 2
minggu, tanaman dipindahkan ke ember dan
dipelihara sampai berbunga. Tanaman tetua
betina Ciherang dan tetua jantan BC2F1
Ciherang-Sub1
yang
pembungaannya
bersamaan disilangkan untuk mendapatkan
BC3FI.
Sehari
sebelum
dilakukan
persilangan,
dilakukan
kastrasi
atau
emaskulasi pada bunga-bunga tanaman tetua
betina. Kastrasi adalah membuang bagian
tanaman yang tidak diperlukan. Kastrasi
dilakukan sehari sebelum penyerbukan agar
putik menjadi masak sempurna saat
penyerbukan
sehingga
keberhasilan
penyilangan lebih tinggi. Setiap bunga
terdapat enam benang sari dan dua kepala
putik yang menyerupai rambut tidak boleh
rusak. Bunga pada malai yang akan dikastrasi
dijarangkan hingga tinggal 15-50 bunga.
Sepertiga bagian bunga dipotong miring
menggunakan gunting kemudian benang sari
diambil dengan alat penyedot vacuum pump.
Bunga yang telah bersih dari benang sari
ditutup dengan glacine bag agar tidak
terserbuki oleh tepung sari yang tidak
dikehendaki.
Proses penyerbukan dilakukan dengan
menyalakan semua lampu di ruang
persilangan untuk meningkatkan suhu hingga
32°C dan kelembapan udara hingga 80%
sehingga dapat mempercepat pemasakan
tepung sari. Bunga jantan diambil kemudian
disimpan dalam bak plastik. Setelah kepala
sari
membuka,
segera
dilakukan
penyerbukan. Bunga betina yang sudah
dikastrasi dibuka tutupnya kemudian bunga

8

sangat laborius untuk pengukuran dan
memerlukan DNA dalam jumlah yang
banyak atau berkualitas tinggi. Oleh karena
itu, diperlukan marka PCR berbasis
kodominan seperti marka mikrosatelit.
Salah satu marka mikrosatelit yang sering
digunakan
adalah
SSR.
Berdasarkan
penelitian Xu et al. (2004) primer SSR yang
ideal untuk seleksi toleran genangan adalah
RM 219 dan RM 464A. Namun, pada
penelitian kali ini hanya digunakan marka
RM219F saja yang dikombinasikan dengan
AEX1R. Seleksi Sub1 dengan marka
mikrosatelit ini dapat dipercaya karena
ikatannya sangat kuat (3.4 cM dan 0.7 cM).
Primer forward dari marka RM219F
memiliki
sekuen
5’
CGTCGGATGATGTAAAGCCT 3’ (Xu et
al. 2004). Meskipun primer tersebut telah
terbukti pada berbagai analisis molekular
varietas padi di berbagai negara, tetapi
marka-marka
tersebut
belum
pernah
digunakan untuk varietas padi Indonesia.

BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Bahan tanaman padi diperoleh dari BBBIOGEN dan LIPI. Tanaman yang digunakan
yaitu host (Ciherang), padi BC2F1
Ciherang/IR64-Sub1,
padi
BC2F1
Ciherang/Swarna-Sub1, padi IR64-Sub1, padi
Swarna-Sub1, dan padi IR42. Reagen untuk
isolasi DNA yaitu etanol 70 %, etanol 95 %,
bufer ekstraksi (NaCl 5 M, Tris-HCl 1 M,
EDTA 0,5 M, lauril sarkosin, dan urea), fenol
kloroform isoamilalkohol (PCI), isopropanol,
dan larutan TE. Bahan-bahan yang digunakan
untuk menguji hasil isolasi DNA dengan
PCR adalah bufer PCR 10x, MgCl2 50 mM,
dNTP mix 10 mM, primer AEX1, primer
RM219, Taq polymerase, sampel DNA 50
ng/ µL, dan MQ H2O. Bahan-bahan yang
digunakan untuk elektroforesis yaitu loading
dye, bufer TAE 1x, agarosa, DNA hasil
isolasi atau hasil PCR, marker, etidium
bromida, dan akuabides.
Alat-alat
yang
digunakan
untuk
pembentukan benih BC3F1 adalah cawan
petri, kertas saring, bak plastik volume 100
liter, ember, penyedot vakum, kertas minyak,
klip, lampu listrik, dan gunting. Alat-alat
yang digunakan untuk isolasi DNA adalah
ruang laminar air flow, waterbath, cool box,
pinset, tabung mikro, mortar, tip, vorteks,
microfuge (Backman rotor 12), autopipet, dan
inkubator. Alat-alat yang digunakan untuk
elektroforesis adalah
neraca analitik,

autoklaf, gelas piala, labu Erlenmeyer,
magnetic
stirrer,
microwave,
tangki
elektroforesis, dan kertas aluminium. Alatalat
lain
yang
digunakan
adalah
spektrofotometer
(SmartSpecTM
Plus
Spectrophotometer, Biorad), kuvet, pH meter,
mesin PCR PTC-100 (MJ Research, Inc), dan
UV illuminator Chemidoc EQ Biorad.
Metode Penelitian
Penanaman dan Persilangan Tanaman
Padi (Soedyanto et al. 1978)
Materi yang digunakan adalah varietas
unggul Ciherang sebagai tetua pemulih, dan
padi donor BC2F1 Ciherang/Swarna-Sub1
dan BC2F1 Ciherang/IR64-Sub1. Untuk
menghasilkan
biji
BC3FI
dilakukan
penanaman butir padi dari masing-masing
varietas dikecambahkan dalam cawan petri.
Setelah berkecambah, dipilih 5 kecambah
yang pertumbuhannya baik dan dipindahkan
ke bak pembenihan. Setelah berumur 2
minggu, tanaman dipindahkan ke ember dan
dipelihara sampai berbunga. Tanaman tetua
betina Ciherang dan tetua jantan BC2F1
Ciherang-Sub1
yang
pembungaannya
bersamaan disilangkan untuk mendapatkan
BC3FI.
Sehari
sebelum
dilakukan
persilangan,
dilakukan
kastrasi
atau
emaskulasi pada bunga-bunga tanaman tetua
betina. Kastrasi adalah membuang bagian
tanaman yang tidak diperlukan. Kastrasi
dilakukan sehari sebelum penyerbukan agar
putik menjadi masak sempurna saat
penyerbukan
sehingga
keberhasilan
penyilangan lebih tinggi. Setiap bunga
terdapat enam benang sari dan dua kepala
putik yang menyerupai rambut tidak boleh
rusak. Bunga pada malai yang akan dikastrasi
dijarangkan hingga tinggal 15-50 bunga.
Sepertiga bagian bunga dipotong miring
menggunakan gunting kemudian benang sari
diambil dengan alat penyedot vacuum pump.
Bunga yang telah bersih dari benang sari
ditutup dengan glacine bag agar tidak
terserbuki oleh tepung sari yang tidak
dikehendaki.
Proses penyerbukan dilakukan dengan
menyalakan semua lampu di ruang
persilangan untuk meningkatkan suhu hingga
32°C dan kelembapan udara hingga 80%
sehingga dapat mempercepat pemasakan
tepung sari. Bunga jantan diambil kemudian
disimpan dalam bak plastik. Setelah kepala
sari
membuka,
segera
dilakukan
penyerbukan. Bunga betina yang sudah
dikastrasi dibuka tutupnya kemudian bunga

9

jantan diletakkan di atasnya. Tanaman
dipelihara sampai panen. Biji-biji yang telah
masak dipanen dan dikeringkan dalam oven
selama 1 malam.

1987). Isolasi DNA dilakukan empat tahap
yang meliputi pemanenan, preparasi ekstrak
sel, pemurnian DNA, dan pemekatan DNA.
Tanaman padi yang berumur 3 minggu
dipanen dan dimasukkan dalam tabung
mikro. Pemecahan sel dibantu dengan cara
penggerusan dalam mortar dan ditambah
1000 µL bufer ekstraksi CTAB hingga
homogen. Suspensi diinkubasi di dalam
water bath selama 15 menit suhu 65 ºC
(setiap 5 menit dikocok dengan cara tabung
dibolak-balik secara perlahan). Pemurnian
DNA dari pengotor dihilangkan dengan
penambahan 100 µL fenol kloroform
isoamilalkohol (PCI) ke dalam tabung dan
dikocok selama 20 detik hingga merata.
Suspensi selanjutnya disentrifugasi dengan
kecepatan 12 000 rpm selama 10 menit.
Pemekatan DNA dilakukan dengan
menambahkan 500 µL isopropanol ke
supernatan dan dicampur selama 5 menit.
Sampel divorteks dan disentrifugasi kembali
pada kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit.
Pelet yang diperoleh dicuci dengan 500 µL
etanol 70%. Campuran disentrifugasi
kembali selama 5 menit pada kecepatan
12000 rpm. Pelet selanjutnya dikeringkan di
oven suhu 60 0C selama 10 menit. Pelet yang
telah kering dilarutkan dengan larutan TE
yang mengandung ribonuklease sebanyak 50100µL. Kemudian pelet yang telah dilarutkan
dengan TE diinkubasi suhu 37 °C selama 30
menit.

Pengujian
Toleransi
genangan
(Septiningsih et al. 2009)
Pengujian ini dilakukan pada tanaman
padi Ciherang, IR42, IR64-Sub1 dan SwarnaSub1 dengan padi BC3FI Ciherang/IR64Sub1 dan BC3FI Ciherang/Swarna-Sub1
mengikuti prosedur dari Septiningsih (2009).
Benih sebanyak 10 biji per fenotipe (BC3FI)
Ciherang/IR64-Sub1, Ciherang/Swarna-Sub1,
tetua dari hasil persilangan tersebut masingmasing sebanyak 10 biji serta padi IR42
disemai di cawan petri selama 7 hari. Padi
varietas IR42 biasanya digunakan sebagai
kontrol toleran genangan karena sensitif
terhadap
genangan
sehingga
dapat
memudahkan mengetahui batas uji genangan
yang dilakukan. Setelah bibit berumur 7 hari
(seminggu) kemudian dipindah tanam ke pot
percobaan di Rumah Kaca. Setiap bak kecil
ditanam satu bibit dalam satu lubang pada
jarak tanam 5 cm x 5 cm dengan luasan pot
50cm x 25cm = 1.25 m2, sehingga jumlah
tanaman per pot adalah 50 tanaman dan
tanaman dibiarkan tumbuh sekitar 14 hari
untuk siap dilakukan uji genangan.
Seleksi Sub1 dari hasil persilangan untuk
uji genangan disejajarkan dengan tetua
masing-masing varietas. Padi IR42 sebagai
kontrol juga ditanam sejajar dalam satu pot
kecil bersama dengan padi BC3FI hasil
persilangan dan tetua. Setelah padi berumur
14 hari dalam pot maka dilakukan uji
genangan dengan memasukkan pot yang
berisi tanaman padi yang telah disejajarkan
tersebut ke dalam bak (tray) yang besar.
Kemudian bak yang sudah berisi tanaman
padi tersebut diisi dengan air (digenangi)
sampai keseluruhan padi tersebut terendam.
Ketika kontrol IR42 sudah menunjukkan
kerusakan >50% biasanya setelah 14 hari
maka genangan air dalam bak tersebut
dibuang. Setelah itu tanaman padi yang
bertahan
tersebut
secara
keseluruhan
dibiarkan selama 10-21 hari untuk melakukan
recovery. Kemudian tanaman padi yang akan
recovery ditumbuhkan sampai daunnya siap
untuk isolasi DNA.

Pengukuran Konsentrasi dan Kemurnian
DNA (Sambrook et al. 1989)
Konsentrasi DNA ditentukan dengan
spektrofotometer pada λ 260 nm. Sedangkan
kemurnian DNA diukur pada λ 260/280 nm.
Sampel DNA sebanyak 2µL dilarutkan dalam
buffer Tris-EDTA sebanyak 198 µL ke dalam
kuvet sehingga volume akhirnya 2 mL.
Angka yang muncul pada layar merupakan
konsentrasi dari DNA sampel yang diukur
dan dicatat. DNA yang sudah diukur
konsentrasinya diencerkan 10x sehingga
mendapatkan konsentrasi yang seragam
untuk digunakan dalam analisis PCR.
Kemurnian larutan DNA dapat dihitung
dengan menghitung hasil OD 260 nm dibagi
OD 280 nm. Hasil perbandingan antara 1.82.0 menunjukkan kemurnian yang tinggi.

Isolasi DNA Padi (Doyle dan Doyle 1987)
DNA genom total tanaman padi hasil
persilangan Ciherang dengan
BC2F1
Ciherang/IR64-Sub1 dan Ciherang/SwarnaSub1 di isolasi dari daun (Doyle & Doyle

Seleksi PCR dengan Marka AEX1
(Septiningsih et al. 2009)
Campuran reaksi untuk PCR terdiri atas 2
µL DNA 50 ng/ µL, 2 µL bufer PCR 10x, 0.6
µL MgCl2 50 mM, 0.4 µL dNTP mix 50

10

mM, 1 µL masing-masing primer AEX1F
ukuran 231 bp sebagai forward dengan
sekuen 5’ AGGCGGAGCTACGAGTACCA
3’ dan primer AEX1R sebagai reverse
dengan sekuen 5’ GCAGAGCGGCTGCGA
3’ (Septiningsih et al. 2009), 0.16 µL Taq
polymerase, dan 12.84 µL MQ H2O.
Kemudian digunakan program SUB I pada
mesin PCR dengan kondisi denaturasi awal
94 0C selama 5 menit denaturasi 94 0C selama
1 menit, penempelan primer 55 0C selama 1
menit, perpanjangan primer 72 0C selama 2
menit, dan perpanjangan primer akhir 72 0C
selama 5 menit.
Seleksi PCR dengan Marka RM219F dan
AEX1R
Seleksi keberadaan gen Sub1 juga
dilakukan dengan menggunakan marka
mikrosatelit RM219F dan AEX1R dengan
campuran reaksi untuk PCR terdiri atas 2 µL
DNA 50 ng/ µL, 2 µL bufer PCR 10x, 0.6 µL
MgCl2 50 mM, 0.4 µL dNTP mix 50 mM, 1
µL masing-masing primer RM219F sebagai
forward
dengan
sekuen
5’
CGTCGGATGATGTAAAGCCT 3’ dan
primer AEX1R sebagai reverse dengan
sekuen 5’ GCAGAGCGGCTGCGA 3’
(Septiningsih et al. 2009), 0.16 µL Taq
polymerase, dan 12.84 µL MQ H2O.
Kemudian dilakukan amplifikasi PCR seperti
pada marka AEX1.
Elektroforesis Produk PCR (Septiningsih
et al. 2009)
Ukuran produk PCR selanjutnya dapat
dianalisis dengan elekroforesis gel agarose.
Sebanyak 1-2% gel agarosa dan 1x buffer
TAE (Tris Acetic Acid EDTA) dimasukkan ke
dalam cetakan. Setelah gel agarosa memadat
kemudian dimasukkan ke dalam tangki
elektrofore