Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Core Inflation di Indonesia

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
CORE INFLATION DI INDONESIA

NIKI NURHAYATI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-faktor
yang Memengaruhi Core Inflation di Indonesia adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Niki Nurhayati
NIM H14090083

ABSTRAK
NIKI NURHAYATI. Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Core Inflation di
Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO.
Inflasi merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan arah
kebijakan pemerintah dan Bank Sentral di bidang moneter serta selalu diamati
pergerakannya. Sejak tahun 2000 Bank Indonesia (BI) telah menetapkan sasaran
nilai inflasi yang ingin dicapai menggunakan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Inflasi yang dianggap dapat dikendalikan dengan kebijakan moneter lazim disebut
dengan inflasi inti (core inflation). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi core inflation dan mengidentifikasi
faktor yang paling berpengaruh. Metode yang digunakan adalah VAR/VECM.
Data yang digunakan adalah data time series bulanan Januari 2005 hingga
Desember 2012. Variabel GDP Riil dan impor berpengaruh signifikan negatif
terhadap core inflation, sedangkan harga minyak mentah (oil) dan nilai tukar
berpengaruh signifikan positif terhadap core inflation, sehingga perubahan GDP

Riil, impor, oil, dan nilai tukar akan memengaruhi perubahan core inflation.
Kata kunci: core inflation, inflasi, VAR/VECM.

ABSTRACT
NIKI NURHAYATI. Analysis of Factors Affecting Core Inflation in Indonesia.
Supervised by NUNUNG NURYARTONO.
Inflation is one of the important factors in determining the policy direction
of the government and the Central Bank in the field of monetary and always be
monitored movement. Since 2000, Central Bank of Indonesia has set a target
inflation rate to be achieved using the Consumer Price Index (CPI). Inflation can
be controlled by monetary policy commonly known as core inflation. The method
used is VAR/VECM. The data used are monthly time series data January 2005
until December 2012. Real GDP and imports variables significant negative effect
on core inflation, while the price of crude oil and exchange rate have a significant
positive effect on core inflation, so that changes in Real GDP, imports, oil and the
exchange rate will affect the change in core inflation.
Keywords: core inflation, inflasi, VAR/VECM.

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI
CORE INFLATION DI INDONESIA


NIKI NURHAYATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Core Inflation di
Indonesia
Nama

: Niki Nurhayati


NIM

: H14090083

Disetujui oleh

Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Dedi Budiman Hakim, MEc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah inflasi,
dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Core Inflation di
Indonesia.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang
tua dan keluarga penulis, yaitu Puji Handoyo dan Chadimah, kakak dari penulis
Tuti Purwaningsih, S.Stat dan adik dari penulis Bening Normalia Saputri serta
seluruh keluarga dari penulis atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan.
Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan, serta waktu yang diluangkan selama
proses pembuatan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2. Dr Ir Iman Sugema, MEc selaku dosen penguji yang telah memberikan
kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini.
3. Ranti Wiliasih, MSi selaku dosen penguji Komisi Pendidikan yang telah
memberikan saran mengenai tata cara penulisan yang baik dan benar.
4. Dr Heri Ispriyahadi, SE Staf Bank Indonesia yang telah membantu dalam
pengumpulan data.
5. BPS dan Kementrian Energi Sumber Daya dan Mineral yang telah
membantu selama pengumpulan data.

6. Seluruh staf dan pengajar Departemen Ilmu Ekonomi atas kerjasama dan
bantuannya selama penulis menuntut ilmu di IPB.
7. Sapto Ari Wibowo, yang selalu memberikan motivasi, semangat, dan doa.
8. Sahabat penulis Lutfi, Fitri, Sela, Ria, Nila, Amelia, Rina, Nidaa, Vita,
Dini, Yaya, Nuke, dan Lastri
9. Rekan-rekan sebimbingan, Dea Rizky, Bintan B, dan Fikria Ulfa.
10. Keluarga besar IE 46 yang selama ini telah bersama-sama menuntut ilmu
di IPB, Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

Niki Nurhayati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR


viii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


3

Manfaat Penelitian

3

Ruang Lingkup Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Hipotesis Penelitian

10

Kerangka Penelitian


11

METODE

11

Jenis dan Sumber Data

11

Metode Analisis dan Pengolahan Data

11

Model Penelitian

15

GAMBARAN UMUM


17

HASIL DAN PEMBAHASAN

23

Hasil Uji Praestimasi Data

23

Analisis Vector Error Correction Model (VECM)

26

Hasil Impuls Response Function (IRF)

27

Hasil Forecast Error Variance Deomposition (FEVD)


28

Analisis Faktor- faktor yang Memengaruhi Core Inflation

29

Analisis Faktor-faktor yang Paling Memengaruhi Core inflation

30

SIMPULAN DAN SARAN

31

Simpulan

31

Saran

31

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

33

RIWAYAT HIDUP

45

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6
7
8
9

Perkembangan PDB riil Indonesia
Impor Berdasarkan Sektor (US$)
Perkembangan Nilai Tukar Rp/US$
Hasil Uji Stasioneritas Data
Hasil Pengujian Lag Optimum
Hasil Uji Stabilitas VAR
Hasil Uji Johansen's Trace Statistic
Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang
Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek

17
20
21
23
23
24
25
26
26

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Perkembangan Inflasi IHK (1970-2012)
Kurva Demand Pull Inflation
Kurva Cost Push Inflation
Perkembangan Inflasi Indonesia (1998-2012)
Perkembangan Core Inflation Indonesia (2005-2012)
Impor Berdasarkan Sektor dan Peran Subsektor terhadap Impor
Perkembangan Crude Oil Indonesia
Hasil IRF terhadap Tingkat Inflasi
Hasil FEVD terhadap Core Inflation
Respon Core Inflation terhadap Guncangan Impor dan Oil

1
4
5
18
19
19
22
27
28
30

DAFTAR LAMPIRAN

1
2
3
4
5
6
7
8

Uji Stasioneritas Data pada Tingkat Level
Uji Stasioneritas pada Tingkat First Difference
Uji Lag Optimum dan Uji Stabilitas VAR
Uji Kausalitas Granger
Uji Johansen Cointegration Test
Estimasi VECM
Impulse Respons Function
Forecast Error Variance Decompotition

38
40
42
43
44
45
49
50

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Inflasi merupakan salah satu faktor penting dalam penentuan arah kebijakan
pemerintah dan Bank Sentral di bidang moneter dan selalu diamati
pergerakannya. Inflasi diharapkan memiliki nilai sesuai target yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia (BI). Sejak tahun 2000, BI telah menetapkan sasaran nilai
inflasi yang ingin dicapai menggunakan Indeks Harga Konsumen(IHK). Inflasi
IHK juga mencerminkan perubahan harga barang dan jasa kebutuhan masyarakat
luas, sehingga akan memengaruhi keputusan bagi dunia usaha sekaligus juga
konsumen dalam melakukan transaksi ekonomi.

Sumber: Bank Indonesia (diolah).

Gambar 1 Perkembangan Inflasi IHK (1970-2012)
Dalam jangka menengah dan jangka panjang, inflasi diharapkan mencapai
nilai sesuai dengan target yang ditetapkan oleh BI yaitu sekitar 3 hingga 4 persen.
Dalam jangka pendek, angka inflasi dipertahankan dibawah single digit. Akan
tetapi, berbagai kebijakan penyesuaian harga barang yang dikendalikan
pemerintah dapat memberikan tekanan inflasi secara signifikan. Tingginya inflasi
IHK pada tahun 2005 yang mencapai 17.11 persen, merupakan inflasi tertinggi
sejak tahun 1999 yang sebelumnya pada tahun 1998 mencapai 77.6 persen,
membuat banyak kalangan mempertanyakan kemampuan BI dalam
mengendalikan inflasi yang merupakan salah satu fungsinya. Pada tahun 2008
inflasi kembali mencapai nilai yang tinggi, yaitu sebesar 11.06 persen (Bank
Indonesia 2012).
Indeks Harga Konsumen merupakan pilihan terbaik saat ini sebagai indeks
harga yang paling relevan untuk melihat efektivitas kebijakan moneter, akan tetapi
mengandung kelemahan yaitu noise yang dapat mengganggu judgement kebijakan

2

moneter. Beberapa unsur noise dalam IHK tersebut adalah faktor-faktor seperti
kenaikan biaya energi dan transportasi, kenaikan biaya distribusi domestik, faktor
non-ekonomi (misalnya, kerusuhan sosial, bencana banjir, gempa bumi, gejala ElNino dan kebakaran hutan), dan administered prices. Semua faktor-faktor ini
tidak memiliki relevansi dengan kebijakan moneter. Permasalahan lain yang
sering dihadapi BI dalam mencapai sasaran inflasi seperti adanya ekspektasi
akibat meningkatnya tekanan inflasi dikalangan konsumen dan produsen sehingga
dapat menambah tingginya tekanan inflasi yang lebih besar. Pada kenyataannya
banyak faktor yang mengakibatkan inflasi IHK berada pada posisi di luar kendali
kebijakan moneter. Hanya komponen-komponen tertentu dari inflasi IHK yang
berada dalam kendali otoritas moneter. Bank Indonesia telah berusaha memilahmilah komponen inflasi IHK ke dalam kelompok yang dapat dan tidak dapat
dikendalikan melalui kebijakan moneter. Inflasi yang dianggap dapat
dikendalikan dengan kebijakan moneter lazim disebut dengan inflasi inti (core
inflation).
Core inflation yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau
persisten (persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh
faktor seperti interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal (nilai tukar,
harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang), dan ekspektasi inflasi dari
pedagang dan konsumen (Bank Indonesia 2008). Inflasi inti pada dasarnya
merupakan suatu tingkat inflasi IHK setelah mengeluarkan bahan makanan yang
harganya sangat berfluktuasi (volatile foods) dan barang-barang yang harganya
banyak ditentukan pemerintah (administered goods). Volatile foods termasuk
diantaranya beras, cabai, dan hasil-hasil pertanian lainnya, sementara itu
administered goods termasuk diantaranya Bahan Bakar Minyak (BBM) dan
listrik. Kebijakan moneter hanya dapat memengaruhi inflasi inti telah ditunjukkan
dalam model-model ekonomi, baik secara teoritis maupun secara empiris. Tanpa
fluktuasi dari harga volatile foods dan administered goods, inflasi inti dapat dilihat
sebagai inflasi yang berasal dari kebijakan moneter (Bank Indonesia 2012).
Hasil penelitian BI menunjukkan bahwa di Indonesia, dibandingkan dengan
inflasi IHK, inflasi inti lebih dapat dikontrol dengan kebijakan moneter. Hal ini
sangat beralasan karena jika harga volatile foods lebih ditentukan oleh gangguan
terhadap pasokan dan harga administered goods ditentukan oleh pemerintah,
maka kestabilan harga yang diukur dengan inflasi intilah yang berada dalam
kendali Bank Indonesia. Penerapan target inflasi dengan memfokuskan pada
inflasi inti memiliki keunggulan dalam hal kebijakan ini dapat menekan tingkat
inflasi tanpa menimbulkan fluktuasi yang tajam terhadap output dan instrumen
kebijakan moneter. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengetahui faktorfaktor apa saja yang dapat memengaruhi core inflation di Indonesia.
Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang sebelumnya dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Faktor apa saja yang memengaruhi core inflation?
2. Faktor apa yang paling memengaruhi core inflation?

3

Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi core inflation.
2. Untuk mengidentifikasi faktor apa yang paling memengaruhi core
inflation.
Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun
pihak-pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara
lain yaitu:
1. Bagi pemerintah atau instansi terkait diharapkan dapat memberikan
masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun dalam
pengambilan keputusan terkait dengan inflasi Indonesia.
2. Bagi pembaca diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan
dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi media untuk mengaplikasikan
ilmu pengetahuan selama menuntut ilmu di IPB (Institut Pertanian
Bogor).
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mencakup suatu kajian masalah terhadap faktor-faktor yang
memengaruhi core inflation di Indonesia. Analisis data yang digunakan adalah
data time series bulanan Januari 2005 sampai Desember 2012. Data yang
diperlukan dalam pemodelan yaitu Core Inflation, GDP Riil, Impor, Oil (harga
minyak mentah nasional), dan Exchange Rate (ER).

TINJAUAN PUSTAKA

1. Inflasi
Menurut Bank Indonesia (BI), secara sederhana inflasi diartikan sebagai
meningkatnya harga-harga barang maupun jasa secara umum dan terus menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi, kecuali
jika kenaikan tersebut meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang
lain. Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan (demand pull
inflation) dan yang kedua adalah tekanan produksi dan/atau distribusi (cost push
inflation). Inflasi yang disebabkan oleh demand pull inflation berawal dari adanya
kenaikan permintaan total dalam keadaan kesempatan kerja penuh (full
employment). Adanya kenaikan permintaan akan menyebabkan terjadinya
kenaikan jumlah produksi dan harga, akan tetapi apabila keadaan full employment

4

telah tercapai, maka yang terjadi bukanlah kenaikan hasil produksi melainkan
hanya akan terjadi kenaikan harga.
P

AS

E1

P1

Inflationary Gap

E0

P0

AD1
AD0

Yf

Y1

Y

Sumber: Mankiw (2000).

Gambar 2 Kurva Demand Pull Inflation
Keterangan:
P
= Price (Harga).
Y
= Output (produksi).
AS
= Agregat Supply.
AD0 = Agregat Demand sebelum kenaikan permintaan.
AD1 = Agregat Demand sesudah kenaikan permintaan.
P0
= Harga sebelum kenaikan permintaan.
P1
= Harga setelah kenaikan permintaan.
E0
= Keseimbangan sebelum kenaikan permintaan.
E1
= Keseimbangan sesudah kenaikan permintaan.
Inflasi yang disebabkan oleh tekanan produksi dan/atau distribusi (cost
push inflation) terjadi pada kondisi penawaran lebih rendah dibandingkan
permintaan. Hal ini disebabkan oleh adanya kenaikan harga faktor produksi
sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah
tertentu. Penawaran total (agregat supply) terus menurun karena semakin
mahalnya biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama,
maka akan terjadi inflasi yang disertai dengan resesi. Perubahan ini digambarkan
dari pergeseran kurva penawaran ke kiri sehingga dengan agregat demand yang
tetap maka keseimbangan akan berubah (E0 ke E1), yang disertai dengan
peningkatan harga (P0 ke P1) dan tingkat output yang lebih rendah dari full
employment.

5

P

P1

AS0

AS1

E1
E0

P0

AD

Y1

Yf

Y

Sumber: Mankiw (2000).

Gambar 3 Kurva Cost Push Inflation
2. Inflasi Berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK)
Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator inflasi yang umum
digunakan Bank Sentral untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK
dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari barang dan jasa yang
dikonsumsi masyarakat secara luas. Perhitungan IHK dilakukan atas dasar survei
bulanan di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis
barang/jasa di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas,
berkaitan dengan ketersediaan data yang lebih cepat dibandingkan indeks lain
seperti Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan GDP deflator. Indeks Harga
Konsumen mencerminkan kenaikan biaya hidup masyarakat. Tingginya
variabilitas pergerakan harga relatif diantara komponen barang serta tingginya
pengaruh non-fundamental seperti pengaruh musim dan dampak penerapan
kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan dalam perkembangan
inflasi di Indonesia yang seringkali pergerakan inflasi IHK tidak mencerminkan
perkembangan laju inflasi. Hal tersebut berimplikasi terhadap arah kebijakan
moneter yang akan ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam upaya pengendalian
inflasi yang kurang tepat.
Sejak tahun 2000 Bank Indonesia melakukan penelitian dalam upaya
untuk mendapatkan indikator perubahan harga yang lebih tepat untuk
mencerminkan perubahan harga fundamental. Penelitian tersebut menghasilkan
inflasi inti (core inflation) dengan berbagai metode, yaitu metode Trimmed Mean,
Exclution, dan Specific Adjusment.
3. Inflasi Inti (Core Inflation)
Inflasi inti adalah inflasi yang diturunkan dari inflasi IHK dengan
mengeluarkan unsur noise dari inflasi IHK. Inflasi inti cenderung menetap
(persistent component) di dalam pergerakan inflasi dan dipengaruhi oleh faktor
fundamental, seperti interaksi permintaan-penawaran, lingkungan eksternal (nilai

6

tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang), dan ekspektasi inflasi
dari pedagang dan konsumen (Bank Indonesia 2008).
Inflasi Inti dipandang sebagai komponen persisten sejalan dengan definisi
inflasi menurut Friedman. Inflasi yang sustained dibedakan dengan inflasi yang
tidak beraturan, dimana yang pertama akan lebih stabil sehingga akan masuk
ekspektasi masyarakat dan yang kedua lebih tidak stabil dan akan kurang
diantisipasi oleh masyarakat. Menurut Quah dan Vahey (1995), jika inflasi inti
terkait dengan ekspektasi inflasi, harus didefinisikan bahwa komponen
pengukuran inflasi tidak memiliki dampak menengah ke jangka panjang pada
output riil. Perhatikan persamaan berikut:
πt = πtlr + g * (xt-1) + Vt

(1.1)

Keterangan:
πt
= inflasi agregat pada periode t.
=
laju inflasi dalam jangka panjang (tren).
πtlr
xt-1
tekanan
siklikal dari kelebihan permintaan.
=
Vt
= gangguan sementara terhadap inflasi.
Dalam pandangan inflasi inti sebagai komponen umum (generalized), inflasi
terdiri dari suatu komponen inflasi umum dan inti yang diasosiasikan dengan
ekspektasi inflasi dan ekspansi moneter, ditambah komponen harga relatif yang
terutama mencerminkan gangguan dari sisi penawaran. Gangguan dari sisi
penawaran dipandang sebagai inflasi sesaat (noise) yang mengganggu perubahan
harga secara umum. Bank Indonesia mendefinisikan inflasi inti berdasarkan
konsep bahwa inflasi agregat yang tidak termasuk beberapa jenis barang yang
pergerakan harganya mengganggu kecenderungan umum perubahan harga barangbarang lain.
4. Nilai Tukar
Nilai tukar didefinisikan sebagai harga relatif dari mata uang suatu negara
terhadap matauang negara lain. Nilai tukar memengaruhi net expor dan
menjelaskan bagaimana perubahanharga luar negeri berdampak pada harga
domestik (Gali 2002). Hubungan nilai tukar terhadap perubahan tingkat harga
dapat dijelaskan oleh persamaan berikut (Mankiw 2003):
er = e (P*/P)

(1.2)

keterangan:
er
= nilai tukar riil.
e
= nilai tukar nominal.
P
= tingkat harga domestik
P*
= tingkat harga luar negeri.
Nilai tukar riil dapat mengukur secara penuh daya saing suatu negara karena
ukuran daya saing tidak hanya dari perubahan nilai tukar nominal, tetapi juga
berdasarkan perubahan harga. Oleh karena itu, nilai tukar riil dapat digunakan

7

untuk menggambarkan bagaimana produk domestik berkompetisi dengan produk
luar negeri dalam hal daya saing harga.
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa apabila nilai tukar riil terapresiasi,
maka harga produk domestik relatif lebih mahal dan harga produk luar negeri
menjadi lebih murah. Sebaliknya, apabila nilai tukar riil terdepresiasi, maka harga
produk domestik menjadi lebih murah dan harga produk luar negeri menjadi
relatif mahal. Jika kontribusi impor memiliki peranan penting terhadap
perekonomian, khususnya terhadap proses produksi, maka depresiai nilai tukar
mata uang dapat meningkatkan biaya produksi sehingga menyebabkan kenaikan
tingkat harga domestik dan memicu kenaikan inflasi.
5. Gross Domestic Brutto (GDP)
Gross Domestic Product (GDP) diartikan sebagai nilai keseluruhan semua
barang dan jasa yang diproduksi di dalam wilayah tersebut dalam jangka waktu
tertentu. Gross domestic brutto berbeda dari Gross national product karena
memasukkan pendapatan faktor produksi dari luar negeri yang bekerja di negara
tersebut. Sehingga GDP hanya menghitung total produksi dari suatu negara tanpa
memperhitungkan apakah produksi itu dilakukan dengan memakai faktor produksi
dalam negeri atau tidak. Sebaliknya, GNP memperhatikan asal usul faktor
produksi yang digunakan. GDP Nominal (atau disebut GDP atas dasar harga
berlaku) merujuk kepada nilai GDP tanpa memperhatikan pengaruh harga.
Sedangkan GDP riil (atau disebut GDP atas dasar harga konstan) mengoreksi
angka GDP nominal dengan memasukkan pengaruh dari harga. GDP dapat
dihitung dengan memakai dua pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran dan
pendekatan pendapatan. Rumus umum untuk GDP dengan pendekatan
pengeluaran adalah:
GDP = C + I + G + (X-M)

(1.3)

Keterangan:
C
= konsumsi rumah tangga.
I
= investasi sektor usaha.
G
= pengeluaran pemerintah.
X
= ekspor.
M
= impor.
Sementara dengan pendekatan pendapatan:
GDP= sewa + upah + bunga + laba

(1.4)

Keterangan:
Sewa = pendapatan pemilik faktor produksi tetap seperti tanah.
Upah = untuk tenaga kerja.
Bunga = untuk pemilik modal.
Laba = untuk pengusaha.
Adapun hal yang harus diperhatikan dalam perhitungan GDP adalah definisi
bahwa GDP merupakan nilai pasar dari seluruh barang dan jasa akhir yang

8

diproduksi dalam perekonomian dalam jangka waktu tertentu. Barang akhir ini
adalah barang dan jasa yang dijual langsung kepada pengguna akhir. Barang dan
jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan, lalu digunakan sebagai input
produksi perusahaan lain (intermediate goods) tidak dihitung dalam GDP sebab
akan menyebabkan terjadinya perhitungan ganda (double counting). Selain itu,
GDP juga menghitung nilai tambah (value added) barang dan jasa yang
merupakan selisih antara nilai output yang dijual perusahaan dan nilai
intermediate goods yang digunakan perusahaan sebagai input untuk memproduksi
barang akhir. Berarti, dapat pula disimpulkan bahwa GDP juga merupakan total
dari nilai tambah perusahaan dalam perekonomian (Mankiw 2003).
Perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan bila pendapatan riil
masyarakat pada tahun tertentu lebih besar dari pada pendapatan riil masyarakat
pada tahun sebelumnya (Tambunan 2001). Pendapatan masyarakat yang
meningkat mencerminkan kenaikan output (GDP) dan akan menyebabkan
peningkatan transaksi ekonomi yang berarti peningkatan jumlah uang yang
diminta, sehingga jumlah uang beredar di masyarakat meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan kenaikan harga-harga (inflasi).
6. Teori Impor
Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh
penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan
bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antar perorangan (individu
dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau
pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Perdagangan
internasional yang tercemin dari kegiatan ekspor dan impor suatu negara menjadi
salah satu komponen dalam pembentukan GDP (Oktaviani dan Novianti 2009).
Ekspor adalah penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara ke
negara lain, sedangkan impor adalah arus barang dan jasa yang masuk ke suatu
negara. Perdagangan luar negeri timbul karena tidak ada satu negara pun yang
dapat menghasilkan semua barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan seluruh
penduduk.
Dalam perekonomian terbuka selain sektor rumah tangga, sektor perusahaan
dan pemerintah juga ada sektor luar negeri karena penduduk di negara
bersangkutan telah melakukan perdagangan dengan negara lain. Suatu negara
yang memproduksi lebih dari kebutuhan dalam negeri dapat mengekspor
kelebihan produksi tersebut ke luar negeri, sedangkan yang tidak mampu
memproduksi sendiri dapat mengimpornya dari luar negeri. Impor mempunyai
sifat yang berlawanan dengan ekspor, dimana semakin besar impor dari satu sisi
baik karena berguna untuk menyediakan kebutuhan akan barang dan jasa untuk
kebutuhan penduduk suatu negara, namun di sisi lain bisa mematikan produk atau
jasa sejenis dalam negeri dan yang paling mendasar dapat menguras pendapatan
negara yang bersangkutan. Berdasarkan laporan indikator Indonesia komposisi
impor menurut golongan penggunaan barang ekonomi dapat dibedakan atas tiga
kelompok, yaitu:

9

1. Impor barang-barang konsumsi, terutama untuk barang-barang yang
belumdapat dihasilkan di dalam negeri atau untuk memenuhi tambahan
permintaan yang belum mencukupi dari produksi dalam negeri, yang
meliputi makanan dan minuman untuk rumah tangga, bahan bakar dan
pelumas olahan, alat angkut bukan industri, barang tahan lama, barang
setengah tahan lama serta barang tidak tahan lama.
2. Impor bahan baku dan barang penolong, yang meliputi makanan
danminuman untuk industri, bahan baku untuk industri, bahan bakar dan
pelumas,serta suku cadang dan perlengkapan.
3. Impor barang modal, yang meliputi barang modal selain alat angkut, mobil
penumpang dan alat angkut untuk industri.
7. Keterkaitan Minyak Mentah dengan Inflasi
Mekanisme transmisi dampak oil price shock terhadap harga dan inflasi
dapat dijelaskan melalui model mark-up. Ketika terjadi kenaikan harga minyak
dunia maka perusahaan akan merespon dengan menaikan markup sehingga harga
akan naik, karena hubungan antara keduanya berbanding lurus. Dengan asumsi
upah tetap, peningkatan harga minyak akan menyebabkan peningkatan biaya
produksi dan mendorong perusahaan untuk meningkatan harga. Pada teori ini
dasar pemikiran model inflasi ditentukan oleh dua komponen, yaitu cost of
production dan profit margin. Relasi antara perubahan kedua komponenini
dengan perubahan harga dapat dirumuskan sebagai berikut:
Price = Cost + Profit Margin

(1.5)

Karena besarnya profit margin ini biasanya telah ditentukan sebagai suatu
persentase tertentu dari jumlah cost of production, maka rumus tersebut dapat
dijabarkan menjadi:
Price = Cost + (a% x Cost)
(1.6)
Dengan demikian, apabila terjadi kenaikan harga pada komponen-komponen yang
menyusun cost of production dan atau kenaikan pada profit margin
akanmenyebabkan terjadinya kenaikan pada harga jual komoditi di pasar
(Atmadja 1999).
8. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yaitu penelitian Farzanegan (2007) menjelaskan bahwa
dengan adanya fluktuasi harga minyak akan meningkatkan tingkat inflasi dan juga
meningkatan Gross Domestic Product (GDP). Namun dampak dari peningkatan
GDP tidak dapat diidentifikasikan secara signifikan karena didorong oleh
peningkatan pengeluaran pemerintah melalui pemberian subsidi. Dalam
pelaksanaannya kebijakan pemberian subsidi ini meningkatkan perilaku rentseeking dari birokrat. Peningkatan pengeluaran pemerintah ini juga banyak yang
dialokasikan pada aktivitas yang tidak produktif untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

10

Penelitian Martel (2008) menunjukkan bahwa inflasi inti dapat berbeda
secara signifikan dan terus menerus dari headline inflation. Sebuah analisis rinci
menunjukkan bahwa efek dari guncangan pasokan pada headline inflation
menjelaskan sebagian dari perbedaan tersebut pada akhir periode sampel, yang
menyiratkan bahwa kepentingan relatif dari guncangan harga energi berkurang
dari waktu ke waktu. Sebuah shock dari harga energi menyiratkan adanya
peningkatan tajam dalam harga energi dalam tahun pertama, namun efek ini agak
diredam setelahnya. Ekuilibrium jangka panjang tercapai setelah dua tahun. Shock
ini juga memiliki efek terhadap output pada awal periode, tetapi pada jangka
panjang efek tersebut sedikit negatif.
Penelitian yang dilakukan oleh Ito (2008) melihat keterkaitan fluktuasi
harga minyak dunia terhadap perekonomian Russia sebagai negara eksportir
minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Periode penelitian ini dimulai sejak
triwulan pertama tahun 1997 sampai triwulan ke-4 tahun 2007. Penelitian ini
menggunakan data deret waktu dengan metode Vector Error Correction Model
(VECM) sehingga dapat meramalkan kondisi pada jangka panjang. Penelitian
tersebut menunjukkan dampak dari harga minyak dan guncangan moneter
terhadap perekonomian Russia. Apabila terjadi perubahan harga minyak dunia
sebesar satu persen akan meningkatkan pertumbuhan GDP Russia sebesar 0.25
persen dan peningkatan tingkat inflasi sebesar 0.36 persen pada dua belas triwulan
berikutnya. Penelitian ini juga menegaskan guncangan moneter melalui saluran
suku bunga akan memengaruhi tingkat inflasi dan GDP rill.
Penelitian Jalil (2008) menunjukkan bahwa Malaysia sebagai negara net
eksportir untuk komoditi minyak memberikan subsidi untuk konsumsi minyak
dalam negerinya. Pembiayaan subsidi diperoleh dari surplus perdagangan
Malaysia atas komoditi minyak itu sendiri. Hal ini pun pernah berlaku di
Indonesia sewaktu Indonesia menjadi salah satu anggota OPEC. Pemerintah
Malaysia merasa perlu untuk mengintervensi minyak di dalam negeri mengingat
minyak adalah sumber energi utama yang digunakan dalam kegiatan
perekonomian di negara tersebut. Ketika terjadi kenaikan harga minyak akan
diikuti dengan meningkatnya harga-harga barang. Lebih lanjut penelitian ini
menjelaskan bahwa fluktuasi harga minyak di Malaysia lebih memengaruhi
perekonomian Malaysia. Hasil penelitian Jalil menemukan bahwa fluktuasi harga
minyak lebih memengaruhi pendapatan nasional dan tingkat pengangguran
dibandingkan kebijakan fiskal maupun kebijakan harga yang ditetapkan oleh
pemerintahnya.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan tanda
koefisien variabel-variabel yang memengaruhi tingkat inflasi inti di Indonesia.
Hipotesis yang digunakan, yaitu:
1. Diduga bahwa GDP Riil signifikan positif berpengaruh terhadap
core inflation dalam jangka panjang.
2. Diduga bahwa impor berpengaruh signifikan positif terhadap core
inflation dalam jangka panjang.

11

3. Diduga bahwa harga minyak mentah nasional (oil) berpengaruh
positif signifikan terhadap core inflation dalam jangka panjang.
4. Diduga bahwa nilai tukar (ER) signifikan positif dengan core
inflation dalam jangka panjang dan memiliki pengaruh paling besar
diantara variabel lainnya.
Kerangka Pemikiran
Demand Pull
Inflation

GDP Riil

Inflasi Barang
dan Jasa

Nilai Tukar (ER)
Core Inflation
Impor

Inersia

Oil (Nasional)

Ekspektasi
Inflasi

METODE

Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari beberapa sumber, yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Bank
Indonesia (BI) dan Kementrian Energi Sumber Daya Air dan Mineral, selain itu
sumber data yang digunakan juga melalui penelusuran internet dan literatur
terkait.
Bentuk data yang digunakan adalah data time series dari bulan Januari 2005
hingga Desember 2012. Data yang diperlukan dalam pemodelan yaitu Core
Inflation, GDP Riil, Impor, Exchange Rate (ER), dan Oil (harga minyak mentah
nasional).
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis
Vector Autoregressive (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM),
diharapkan dengan menggunakan metode ini dapat diketahui faktor-faktor yang
memengaruhi core inflation di Indonesia. Analisis data dengan menggunakan
pendekatan model VAR dan VECM mencakup tiga alat analisis utama yaitu
kausalitas Granger, Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error
Decomposition of Variance (FEDV).

12

Pengolahan data dilakukan secara bertahap, sebelum sampai pada analisis
VAR dan VECM perlu dilakukan beberapa pengujian pra estimasi yaitu, uji
stationeritas data atau uji akar unit (unit root test), penentuan panjang lag
optimum, dan uji stabilitas VAR. Selanjutnya, akan dilakukan uji kausalitas
Granger, uji kointegrasi, VECM, teknik impulse response function (IRF), dan
forecast error decomposition of variance (FEDV). Perangkat lunak yang
digunakan untuk proses pengolahan adalah Eviews 6.
1) Uji Stasioneritas Data
Pengujian kestasioneran data dilakukan untuk mengatasi permasalahan
unit root yang terdapat pada data time series tidak stasioner. Uji stationeritas data
dapat dilakukan dengan menggunakan uji akar unit, kebanyakan uji yang sering
digunakan untuk pengaruh kewujudan akar unit dilakukan dengan menggunakan
uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan uji Philips-Perron (PP), misal terdapat
persamaan:
1) ∆Yt = A1 + A2t + A3Yt-1 + µ t
Estimasi persamaan regresi di atas, dimana Ho= A3 = Yt-1 = 0
yang berarti bahwa deret berkala yang mendasarinya tidak stationer, ini
disebut dengan hipotesis akar unit.
2) Untuk menguji nilai A3 yang diestimasi adalah nol, dapat memakai tes
alternatif yang disebut tes τ (tau) atau dikenal dengan uji ADF, jika dalam
suatu penerapan nilai τ (tau) hitung estimasi dari A3 lebih besar (dalam
nilai mutlaknya) daripada nilai τ (tau) kritis Dickey-Fuller, artinya
menolak hipotesis akar unit dan menyimpulkan bahwa deret berkala
tersebut bersifat stasioner, di sisi lain, apabila nilai τ (tau) hitung lebih
kecil (dalam nilai mutlaknya) daripada nilai τ (tau) kritis Dickey-Fuller
berarti tidak menolak hipotesis akar unit (Gujarati 2006).
2) Penentuan Panjang Lag
Langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model VAR
adalah penentuan jumlah lag yang optimal yang digunakan dalam model.
Pengujian panjang lag yang optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi
yaitu dengan menggunakan Akaike Information Criteria (AIC), Final Prediction
Error (FPE), Hannan-Quinn Information (HQ) dan Schwarz Information
Criterion (SC) (Firdaus 2011).
Panjangnya kelambanan variabel yang optimal diperlukan untuk menangkap
pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel lain di dalam sistem VAR.
Pemilihan panjang lag optimum dalam model VAR ini untuk menghindari
terjadinya serial korelasi antara error term dengan variabel endogen dalam model
yang dapat menyebabkan estimator menjadi tidak konsisten, dalam praktiknya
pendugaan lag biasanya ditentukan dengan menggunakan AIC dan SIC:
AIC = T log |Σ| + 2N
SBC = T log |Σ| + N log (T)

(2.1)
(2.2)

13

dengan:
T
= jumlah observasi yang digunakan.
|Σ|
= determinan dari matriks varians/kovarians dari sisaan.
N
= jumlah parameter yang diestimasi dari semua persamaan.
Nilai AIC terendah akan dipilih sebagai panjang kelambanan optimal dari
model VAR. Hal ini dikarenakan, semakin kecilnya nilai AIC, maka nilai harapan
yang dihasilkan oleh sebuah model akan semakin mendekati kenyataan
(Widarjono 2009).
3) Uji Stabilitas VAR
Uji ini dilakukan untuk melihat apakah model VAR yang digunakan stabil
atau tidak stabil. Uji Stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari
fungsi polynomial atau dikenal dengan roots of characteristic polynomial, jika
semua akar dari fungsi polynomial tersebut berada didalam unit circle atau jika
nilai absolutnya 0

(2.5)

∆rLt = -αL(rLt-1 – βrSt-1) +ƐLt ; αL > 0

(2.6)

Keterangan:
ƐSt danƐLt
rLt
rLt
αS, αL danβ

= error.
= keadaan jangka panjang.
= keadaan jangka pendek.
= parameter.

Formulasi model secara umum dengan menggunakan perubahan lag, dapat
dinyatakan dengan:
∆rSt = a10 + αS(rLt-1 – βrSt-1) + Σa11(ί) ∆rSt-ί + Σa12(ί) ∆rLt-ί +ƐSt

(2.7)

∆rLt = a20 – αL(rLt-1 – βrSt-1) + Σa21(ί) ∆rSt-ί + Σa22(ί) ∆rLt-ί +ƐLt

(2.8)

Variabel error correction modelbivariate VAR di first differences
ditambah dengan error correction terms αS(rLt-1 – βrSt-1) +ƐSt dan -αL(rLt-1 – βrSt-1),
dimana αS dan αL memiliki interpretasi speed of adjustment dari jangka pendek ke
jangka panjang (Enders 2004).
Vector Error CorrectionModel (VECM) adalah VAR terestriksi yang
digunakan untuk variabel yang non-stationer tetapi memiliki potensi untuk
terkointegrasi, setelah dilakukan pengujian kointegrasi pada model yang
digunakan, maka dianjurkan untuk memasukkan persamaan kointegrasi ke dalam
model yang digunakan, dengan demikian dalam VECM terdapat speed of
adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang (Firdaus 2011).
Adapun spesifikasi model VECM secara umum adalah sebagai berikut:
∆yt =µ 0x + µ 1xt +∏xyt-1 +

ix

∆yt-i + Ɛt

Keterangan:
yt
= vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian.
µ 0x
= vektor intercept.

(2.9)

15

t
∏x
yt-I
Γix
k-1

= time trend.
= αx β’ dimana b’mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang.
= variabel in-level.
= matriks koefisien regresi.
= ordo VECM dari VAR.

Ɛt

= error terms.
7) Impulse Response Function

Impulse Response Function (IRF) adalah suatu metode yang digunakan
untuk menentukan respons suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu.
Hal ini dikarenakan shock variabel misalnya ke-i tidak hanya berpengaruh
terhadap variabel ke-i itu saja, tetapi ditransmisikan kepada semua variabel
endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam VAR atau
dengan kata lain IRF mengukur pengaruh suatu shock pada suatu waktu kepada
inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan dimasa yang akan datang.
Impulse Response Function bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan
agar lebih spesifik, yang artinya suatu variabel dapat dipengaruhi oleh shock atau
guncangan tertentu. Apabila suatu variabel tidak dapat dipengaruhi oleh shock,
maka shock spesifik tersebut tidak dapat diketahui melainkan shock secara umum
(Firdaus 2011).
8) Variance Decomposition
Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan suatu
variabel yang ditunjukan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh
variabel-variabel lainnya adalah FEVD. Metode ini mencirikan suatu struktur
dinamis dalam model VAR, dalam metode ini dapat dilihat kekuatan dan
kelemahan masing-masing variabel memengaruhi variabel lainnya dalam kurun
waktu yang panjang. Variance Decomposition merinci ragam dari peramalan galat
menjadi komponen-komponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel
endogen dalam model. Dengan menghitung persentase kuadrat prediksi galat ktahap ke depan dari sebuah variabel dapat inovasi dalam variabel-variabel lain
maka akan dapat dilihat seberapa besar perbedaan antara error variance sebelum
dan sesudah terjadinya shock yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari
variabel lain. Jadi melalui FEVD dapat diketahui secara pasti faktor-faktor yang
memengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu (Firdaus 2011).
Model Penelitian
Persamaan umum model VAR, adalah sebagai berikut (Enders 2004):
yt = A0 + A1 yt-1 + A2 yt-2…… Apyt-p +

t

(2.10)

Keterangan :
yt
= vektor berukuran (n x 1) yang berisikan n variabel yang terdapat dalam
sebuah model VAR.

16

A0

t

= vektor intersep berukuran (n x 1).
= matriks koefisien / parameter berukuran (n x n) untuk setiap ί = 1,2,..p
= vektor error berukuran (n x 1).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Martel (2008), variabel yang digunakan
adalah harga minyak mentah Kanada (cdn$/m3), GDP Riil Kanada (US$, billion),
dan core inflation Kanada (persen).
Model VAR dalam penelitian ini sebagai berikut:
CORE_INFt = α10 + α11 CORE_INFt-1 + α12 LN_GDPRIILt-1 α13 LN_ERt-1 + α14
LN_OILt-1 + α15 LN_IMPORt-1 + eit
(2.11)
LN_GDPRIILt = α10 + α11 CORE_INFt-1 + α12 LN_GDPRIILt-1 α13 LN_ERt-1 + α14
LN_OILt-1 + α15 LN_IMPORt-1 + eit
(2.12)
LN_ERt

= α10 + α11 CORE_INFt-1 + α12 LN_GDPRIILt-1 α13 LN_ERt-1 + α14
LN_OILt-1 + α15 LN_IMPORt-1 + eit
(2.13)

LN_OILt

= α10 + α11 CORE_INFt-1 + α12 LN_GDPRIILt-1 α13 LN_ERt-1 + α14
LN_OILt-1 + α15 LN_IMPORt-1 + eit
(2.14)

LN_IMPORt = α10 + α11 CORE_INFt-1 + α12 LN_GDPRIILt-1 α13 LN_ERt-1 + α14
LN_OILt-1 + α15 LN_IMPORt-1 + eit
(2.15)
Keterangan:
CORE_INFt = Inflasi inti pada periode ke t (persen).
GDPRIILt
= Produk domestik bruto (rupiah).
ERt
= Exchange Rate / Nilai Tukar terhadap Dollar Amerika Serikat
pada periode ke-t (rupiah/US$).
OILt
= Harga minyak mentah nasional pada periode ke t (US$/Barrel).
IMPORt
= Nilai Impor pada periode ke t (rupiah).
= error term.
Selanjutnya dari persamaan-persamaan tersebut, untuk melihat isu persoalan
jangka panjang terbentuk pengkombinasian antara model VAR struktural dengan
Vector Error Correction Model (VECM) sehingga persamaan menjadi sebagai
berikut:
(2.16)
∆yt = µ 0x+ µ 1xt +∏x yt-1+
ix ∆yt-i + t , t = 1,2,
Keterangan:
yt
= (INF, IHK, ER, OIL, IMPOR).
µ 0x
= vektor intersep.
t
= time trend.
∏x
= αxβ’ dimana b’ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang.
Yt-1
= variabel in-level.
Γix
= matriks koefisien regresi.
k-1
= ordo VECM dari VAR.
Ɛt

= error term.

17

GAMBARAN UMUM

Perkembangan Makroekonomi Indonesia
1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Indonesia
Perekonomian Indonesia setelah krisis ekonomi pada tahun 1998 semakin
membaik dan terus berkembang. Hal tersebut dapat diamati pada beberapa
indikator makroekonomi seperti pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB).
Terlihat pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi hanya berada pada kisaran 0.79
persen kemudian meningkat menjadi 4.92 persen di tahun 2000. Meskipun sempat
beberapa kali mengalami penurunan, seperti tahun 2001 menurun sebesar 1.09
persen dari tahun 2000 (4.92 persen menjadi 3.83 persen), kemudian turun sebesar
0.19 persen dari tahun 2006 ke tahun 2005, turun 0.34 persen dari tahun 2007 ke
2008, serta mengalami penurunan sebesar 1.46 persen dari tahun 2008 ke 2009.
Akan tetapi penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak begitu
signifikan seperti yang terjadi pada masa krisis.
Tabel 1 Perkembangan PDB Riil Indonesia
Tahun
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012

PDB Riil (trilliun)
1579.6
1660.6
1750.7
1846.7
1963.1
2082.1
2178.9
2313.8
2463.2
2618.1

Sumber: BPS (diolah).

Hal ini juga terlihat dari inflasi yang cukup terkendali. Namun, Indonesia sempat
mengalami inflasi dua digit yang terjadi pada tahun 2001 sebesar 12.55 persen,
2002 sebesar 10.03 persen, 2005 sebesar 17.11 persen, dan 2008 11.06 persen.
2. Perkembangan Inflasi Indonesia
Pada tahun 1999 inflasi tahunan turun menjadi 2 persen. Penurunan inflasi
yang sangat tajam ini tidak terlepas dari pengaruh terbentuknya pemerintah baru
yang legitimate dan diharapkan dapat menciptakan stabilitas politik dan ekonomi
yang lebih baik. Inflasi tahun 2000 jika dibandingkan dengan inflasi tahun 1999
meningkat secara tajam menjadi 9.35 persen. Peningkatan inflasi ini diantaranya

18

disebabkan adanya kenaikan tarif angkutan per 1 September 2000, kenaikan BBM
per Oktober 2000, bulan puasa/Ramadhan (November 2000), Natal dan Lebaran
(Desember 2000). Secara umum pada tahun 2000-2005, inflasi terus terjadi
dengan nilai yang terbilang tinggi, yaitu dengan rata-rata mencapai 10 persen.
Lalu inflasi pada tahun 2005 merupakan inflasi tertinggi pasca krisis moneter
Indonesia (1997/1998) hal ini terjadi karena kenaikan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM), yang menyebabkan Tarif Dasar Listrik (TDL) juga ikut melonjak
sehingga mendorong terjadinya kenaikan inflasi. Bukan hanya itu, tingginya harga
minyak di pasar internasional menyebabkan pemerintah berusaha untuk
menghapuskan subsidi BBM. Jika melihat inflasi bulanan pada tahun 2005 yang
tertinggi terjadi pada bulan Oktober yaitu sebesar 8.70 persen.

Sumber: Bank Indonesia (diolah).

Gambar 4 Perkembangan Inflasi Indonesia (1998-2012)
Perkembangan inflasi selama tahun 2006-2007 relatif stabil yaitu berkisar
pada 6 persen. Inflasi tahun 2008 naik sebesar 4.47 persen dibandingkan dengan
tahun 2007. Inflasi bulanan tertinggi dicapai pada bulan Juni yaitu sebesar 2.46
persen. Inflasi pada tahun 2008 selain dipengaruhi oleh krisis keuangan global,
akibat efek domino dari kasus kredit macet di Amerika Serikat. Tidak hanya
Indonesia saja yang terkena dampaknya, namun sebagian besar negara di dunia
juga turut merasakannya. Selain itu, juga dipengaruhi oleh inflasi harga yang
diatur pemerintah dan bahan makanan yang bergejolak. Terkait krisis di tahun
2008 ini, Indonesia termasuk salah satu dari tiga negara (China dan India) yang
menjadi perhatian sebab mampu menjaga kondisi makroekonomi tetap stabil
disaat sebagian besar negara-negara lain di dunia mengalami inflasi yang tinggi
dan laju pertumbuhan ekonomi yang bahkan minus. Salah satu faktor penyebab
terjaganya kestabilan makro ekonomi Indonesia dari krisis global yaitu tingkat
konsumsi domestik yang tetap tinggi.
Inflasi tahun 2009-2010 menunjukkan kondisi yang relatif stabil. Untuk laju
inflasi bulanan selama tahun 2009, nilainya masih di bawah 1 persen dan yang

19

tertinggi dicapai pada bulan September sebesar 1.05 persen. Selama tahun 2009,
sempat terjadi deflasi yaitu pada bulan Januari, April dan November dengan
deflasi terbesar terjadi di bulan April sebesar 0.31 persen. Inflasi tahun 2010
melampaui target yang ditetapkan oleh Bank Indonesia di awal tahun yaitu 5±1
persen dan juga melampau target inflasi pemerintah sebesar 5.3 persen.
3. Core Inflation Indonesia
Core inflation (inflasi inti) merupakan inflasi IHK yang mengabaikan
volatile food, administered price, musiman dan bencana alam. Pada tahun 2000
Bank Indonesia telah melakukan penelitian tentang core inflation. Perkembangan
inflasi inti dari waktu ke waktu berfluktuatif. Pada Januari 2005, inflasi inti
sebesar 7.14 persen dan fluktuatif turun menjadi 6.53 persen pada Agustus 2005.
Setelah itu inflasi inti mengalami peningkatan sebesar 10.21 persen pada Februari
2006. pada Mei 2009 inflasi inti berada pada nilai 1.68 jauh dari periode
sebelumnya. Akan tetapi kembali meningkat pada bulan Juni 2009 sebesar 5.56
persen dan berfluktuatif stabil setelahnya hingga Desember 2012 sebesar 4.40
persen.

Sumber: Bank Indonesia (diolah).

Gambar 5 Perkembangan Core Inflation Indonesia
4. Perkembangan Impor Indonesia
Dari segi impor, perkembangan impor Indonesia sejak tahun 2005 hingga
tahun 2012 terus mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2008
meningkat tajam sebesar 54.723.876.106 rupiah dari tahun sebelumnya dan
sempat menurun pada tahun 2009 sebesar 32.368.061.243 rupiah dan selanjutnya
terus meningkat hingga tahun 2012. Impor Indonesia didominasi oleh sektor
nonmigas terutama pada sektor industri.

20

Sumber: Kementrian Perindustrian (Publikasi website 2012).

Gambar 6 Impor Berdasarkan Sektor dan Peran Subsektor terhadap Impor
Tabel 2 Impor Berdasarkan Sektor (US$)
Sektor
I. MIGAS

2008

2009

2010

2011

Peran
2011
(%)

30.552.897.785

18.980.746.908

27.412.657.296

40.701.517.299

22,94

1. Minyak Mentah

10.061.498.596

7.362.204.375

8.531.249.355

11.154.455.409

6,29

2. Hasil Minyak

20.230.830.805

11.129.400.025

18.018.190.027

28.134.582.256

15,86

260.568.384

489.142.508

863.217.914

1.412.479.634

0,80

II. NON MIGAS

98.644.408.439

77.848.498.073

108.250.626.752

136.734.038.437

77,06

1. Pertanian

5.609.921.088

4.752.402.634

6.187.938.604

9.395.793.894

5,30

91.802.724.139

72.398.087.944

101.115.406.556

126.099.549.960

71,07

1.221.659.885

687.842.719

934.618.593

1.228.726.265

0,69

10.103.327

10.164.776

12.662.999

9.968.318

0,01

129.197.306.224

96.829.244.981

135.663.284.048

177.435.555.736

3. Gas

2. Industri
3. Tambang
4. Lainnya
TOTAL

100,00

Sumber: Kementrian Perindustrian (2012).

Berdasarkan laporan impor Indonesia yang dirinci menurut golongan
kategori ekonomi, menunjukkan bahwa total impor Indonesia pada periode tahun
2005 sebesar US$ 57.700,9