Analysis Of Lead (Pb) Bioaccumulation In Red Tilapia (Oreochromis Nilotica) And Jambal Catfish (Pangasius Djambal) Cultivated In The Old Lake Formated By Tin Mining Activity In Bangka Belitung

(1)

(

Oreochromis nilotica

) DAN PATIN JAMBAL (

Pangasius djambal

)

YANG DIBUDIDAYAKAN DI KOLONG TUA PASCA TAMBANG TIMAH

BANGKA BELITUNG

ROBIN

C 151100171

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

(

Oreochromis nilotica

) DAN PATIN JAMBAL (

Pangasius djambal

)

YANG DIBUDIDAYAKAN DI KOLONG TUA PASCA TAMBANG TIMAH

BANGKA BELITUNG

ROBIN

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

DAN SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Bioakumulasi Timbal

(Pb) pada Ikan Nila Merah (Oreochromis nilotica) dan Patin Jambal (Pangasius

djambal) yang Dibudidayakan di Kolong Tua Pasca Tambang Timah Bangka

Belitung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Robin

NRP 151100171


(4)

ROBIN.

Analysis of Lead (Pb) Bioaccumulation in Red Tilapia (Oreochromis

nilotica) and Jambal Catfish (Pangasius djambal) Cultivated in The Old Lake

Formated by Tin Mining Activity in Bangka Belitung. Under Direction of

Kukuh

Nirmala

and

Enang Harris.

The consequences of tin mining activity is the formation large

basin-shaped holes filled with water in which the local (Bangka Belitung islands) term

is a Kolong or Camuy (lake). Heavy metal concentrations are still high in all the

pit and endangering human health; is the image that is in today's society so that

people refused to eat the fish from or doing aquaculture activities in kolong. The

study was conducted from October 2011 to February 2012 in Kolong Grasi,

District Sungailiat Bangka Regency, Province of Bangka Belitung Archipelago at

coordinates S01052.464 '; E106007.005.

Chemical analysis carried out at the Laboratory of Industrial Technology

of Agricultural, Aquaculture Environmental Laboratory, Fish Nutrition

Laboratory, IPB. Materials used in this study are meats, gills, liver and kidneys of

red tilapia and jambal catfish. Organ samples taken each month from October

2011 to February 2012. Chemicals for testing heavy metal Pb is the standard

solution at a concentration of 1000ppm Pb from BDH, concentrated nitric acid

from Merck and distilled water. The equipment used is the pH meter, DO meter,

analytical neraca, a ruler, a set of surgical instruments, two units of floating net

cage with the dimension 3m x 3m x 2m of each, and pH-meters, a set of

Atomic

Absorption Spectrometry tools (AAS) AA 300 P type from Varian Techtron

Australia, 50ml beaker glass, 10 ml volumetric flask, 5ml vial size polyethylene,

10-100mL effendorf micro pipettes, analytical balance, furnace, hot plate,

Mercury Vaporise Unit (MVU) and other glassware equipment used in labs.

The study began with measurements of heavy metals lead (Pb) in water

and sediment once at the beginning of the study. Measurement of water quality

include physical parameters are: temperature, pH, brightness, and chemical

parameters including DO, CO

2

. Measurements were made directly in the field.

Measurement of chemical parameters such as: Total Organic Matter (TOM) and

Pb performed in the laboratory at the beginning of the fish culture period and then

performed each month at the site of cultivation. Measurement of Pb content in the

sediment is also done once in the early of the study. All data was analyzed using

the comparison of two mean values (t-test). The results of gut contents

identification of fish are presented in tabulated and all the relationships described

in the descriptive parameters.

Physico-chemical quality of water in Kolong Grasi is ideal for red tilapia

aquaculture and jambal catfish. Several parameters such as temperature,

brightness decreased and increased levels of TOM in January 2012 and did not

occur in previous months dueto the rainy season in January 2012. Pb heavy metal


(5)

8,41 µg/g in the gills, 93,98 µg/g in kidney, 62,14 µg/g in the liver and

undetectable in meat. Accumulation of the heavy metal in the meat of red tilapia

is found 0,188 µg/g in the mont of fourth (February 2012). The highest content of

the heavy metal found in the kidney of red tilapia in the month of third (January

2012) at 93,98 µg/g. Pb heavy metal in the jambal catfish start found in the

second month, the month of December 2011 on the kidney and meat measured

0,032 µg/g and 0177 µg/g, respectively. In the third month (January 2012) Pb is

found in almost every organ of jambal above safe levels for consumption, ie 55,23

µg/g in the gills, 15,39 µg/g in liver, and 40,56 µg/g in the flesh. The highest

content of the heavy metal found in the gills in the third month, i.e 55,23 µg/g.

Decrease in water temperature and pH as well as increased brightness in

January 2012 impact on increasing the accumulation of Pb in several tested fish

organs. Pb was found 8,41 µg/g in red tilapia gills and 55,23 µg/g in the gills of

the jambal catfish. Decrease in water temperature and pH also resulted in an

increase of Pb accumulation in the meats of jambal catfish, which amounted to

40,56 µg/g, while in the red tilapia were not measurable. Content of lead of red

tilapia were 62,14 µg/g in liver, whereas in the liver of jambal catfish was 15,39

µg/g. Content of the heavy metal was also found in the kidneys of red tilapia

93,98 µg/g whereas in jambal catfish jamball in the month of January 2012

(3

th

months)was

.

not

.

found.

During the four months of cultivation, the accumulation of heavy metals

Pb that occur in every organ of observation not had a significant influence to the

growth rate of red tilapia. Accumulation number of Pb from the first month to the

second month of cultivation in each organ of red tilapia almost no immeasurable

followed by increase in the rate of growth of red tilapia because the body is still

growing well without being distracted pollutants. Accumulation of Pb which was

measured from the second to third month of cultivation in the gills, liver and

kidneys, resulting in not decreased growth rate of red tilapia. Decrease in the rate

of growth continues to occur from the third month up to four months of

cultivation. The results revealed that the increased accumulation of Pb in several

organ systems can

’t

affect the body's metabolism so that the energy of red tilapia

from the feed for growth, more used to defend the body from pollutants.

During the four months of cultivation, the accumulation of heavy metals

Pb that occur in every organ of observation had a significant influence to the

growth rate of jambal catfish. Accumulation of Pb in each jambal catfish organs

in the first and second months of cultivation is almost immeasurable but still

lowering the rate of growth since the first month. The jambal catfish body already

polluted with the heavy metals, as evidenced by Pb measured in the meats and

kidney in the second month of cultivation. Pb content in sediment trap is not

related to the amount of accumulated Lead in tested fish organs and income lines

derived from the food chain.


(6)

ROBIN.

Analisis Bioakumulasi Timbal (Pb) Pada Ikan Nila Merah (Oreochromis

nilotica) dan Patin Jambal (Pangasius djambal) yang Dibudidayakan di Kolong

Tua pasca Tambang Timah Bangka Belitung. Dibimbing oleh

Kukuh Nirmala

dan

Enang Harris.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sampai sekarang (2012) masih

merupakan salah satu produsen biji timah terbesar dunia. Perusahaan

penambangan bijih timah terbesar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah

PT.Timah, Tbk dan PT. Kobatin. Konsekuensi dari kegiatan penambangan timah

ini adalah terbentuknya lubang bekas galian penambangan timah berbentuk

cekungan besar, dalam dan terisi air yang menurut istilah lokal wilayah Bangka

Belitung adalah kolong atau lubang camuy (danau).

Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan PT. Timah di tahun

2000, jumlah kolong pasca penambangan timah oleh PT. Tambang Timah di

Bangka dan Belitung sebanyak 887 kolong dengan luas 1.712,65 Ha, yaitu 544

kolong dengan luas 1.035,51 Ha di pulau Bangka dan sebanyak 343 kolong

dengan luas 677,14 Ha di pulau Belitung. Kolong yang sudah direklamasi di

Pulau Bangka baru sebanyak 108 kolong dan di Pulau Belitung baru sebanyak 54

kolong. Jumlah kolong terus bertambah dengan pesat sejalan dengan maraknya

aktivitas tambang inkonvensional yang dikelola oleh masyarakat Bangka

Belitung.

Karakteristik dari kolong ialah tidak mempunyai aliran masuk dan aliran

keluar. Debit air kolong dan kondisi air secara fisik dan kimia sangat dipengaruhi

oleh proses evapokonsentrasi. Kondisi galian umumnya berukuran panjang dan

lebar sekitar 75-200 m, dengan kedalaman berkisar 2-50 m. Cynthia Henny

(2007), mengelompokkan kolong menjadi dua yakni kolong muda dan kolong tua.

Wahyu widowati dkk (2008) membagi logam berat kedalam dua jenis.

Pertama, logam berat esensial, yakni logam dalam jumlah tertentu sangat

dibutuhkan oleh organisme, tapi dalam jumlah berlebihan logam tersebut dapat

menimbulkan efek toksik, contoh : Zn,Cu, Fe, Co, Mn dan sebagainya. Kedua,

logam berat tidak esensial, yakni logam yang keberadaannya didalam tubuh masih

belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik, contohnya : Hg, Cd, Pb, Cr

dan lain-lain. Tabel 1 menunjukkan urutan tingkat toksisitas logam berat dari yang

paling toksik terhadap hewan air dan manusia serta jenis logam berat yang ada di

kolong.

Menurut Puslit Biologi LIPI ditambah data penelitian lain dari Lamidi

(1997), ada kecendrungan bahwa pada bekas galian yang sudah ditinggalkan dari

kegiatan lebih dari 25 tahun kandungan logam berat pada air menurun sampai

dibawah ambang batas dan layak untuk usaha perikanan.

Penelitian Brahmana

et

al. (2004) menunjukkan bahwa, hasil pengukuran kualitas air di kolong muda

ditemukan logam berat (Fe, Al, Pb, Mn) dalam jumlah yang berbahaya bagi

kesehatan manusia, dengan pH berkisar 2,9

4.5. Sedangkan kolong tua


(7)

manusia. Hasil penelitian ini juga menemukan, terdapat beberapa jenis logam

berat di sedimen kolong tua dalam jumlah di atas baku mutu, walaupun di dalam

air kandungan logam berat tidak terukur.

Beberapa penelitian telah dilakukan

berbagai pihak sebagai alternatif usaha untuk memperbaiki kualitas air kolong

(terutama di kolong muda), seperti penerapan teknologi sederhana

in situ

treatment

menggunakan

limestone (pengapuran)

ataupun

passive treatment

yang

dapat menaikkan pH air kolong dengan cepat dan menurunkan kandungan

beberapa logam berat berbahaya pada air kolong sehingga kualitasnya lebih baik

juga penggunaan Phytoplankton sebagai penyerap alami logam berat (Cynthia

Henny, LIPI.2007-2010) dan penggunaan tumbuhan air sebagai penyerap logam

berat di kolong oleh Wike, dkk. UBB (2009).

Dampak sosial dari keberadaan logam berat di kolong adalah tertanamnya

image di masyarakat, tentang konsentrasi logam berat yang masih tinggi di semua

kolong dan membahayakan kesehatan manusia. Sehingga masyarakat cendrung

menolak untuk mengkonsumsi dan melakukan kegiatan budidaya perikanan tawar

di kolong. Keberadaan perairan kolong di Bangka Belitung dapat menjadi sarana

pengembangan perikanan yang potensial, terutama kolong tua yang berusia di atas

25 tahun.

Kemungkinan terlepasnya logam berat dari sedimen ke air dan berakhir

terakumulasi di dalam ikan sangatlah besar. Bryan (1976 a) mengemukakan

bahwa, dalam keadaan yang sesuai, beberapa logam yang berikatan dengan

sedimen dan partikel yang mengendap kembali kedalam air diikuti remobilisasi

dan difusi keatas. Forstner (1979 b) : menyimpulkan proses pelepasan logam berat

dari sedimen ke air menjadi lima proses, yakni : (1)

Kepekatan garam yang tinggi

.

Pada kepekatan yang tinggi, kation alkali dan alkalin dapat bersaing untuk tempat

penyerapan pada partikel padat, dengan cara mengganti ion-ion logam runutan

yang telah diserap. (2)

Perubahan keadaan redoks

. Penurunan potensial oksigen

dalam sedimen dapat terjadi karena keadaan seperti eutrofikasi lanjutan. Hal ini

mengakibatkan suatu perubahan dalam bentuk kimiawi logam dan dengan

demikian perubahan dalam kelarutan air. (3)

Perubahan pH

. Reduksi pH

mengarah pada penguraian karbonat dan hidroksida, begitu pula untuk

meningkatkan desorpsi kation logam disebabkan persaingan dengan ion-ion

hidrogen. (4)

Kehadiran zat-zat pembentuk kompleks

. Meningkatnya penggunaan

zat-zat pembentuk kompleks yang alamiah dan buatan, dengan logam runutan

dapat membentuk kompleks logam yang stabil dan dapat larut yang diserap ke

dalam partikel padat lain. (5)

Transformasi biokimiawi

. Hal ini dapat mengarah

pada perpindahan logam dari sedimen ke dalam fase cair atau pengambilannya

oleh makhluk hidup air dan kemudian dilepaskan melalui hasil dekomposisi.

Bryan (1979) juga menambahkan, perbandingan pengambilan logam dari sumber

makanan dengan penyerapan langsung dari larutan merupakan kepentingan dasar

bagi makhluk hidup heterotrofik. Kejadiannya sangat terbatas, tetapi makanan dan

pertikulat merupakan sumber akumulasi penting yang terjadi pada ikan.

Prosi (1979) berkesimpulan bahwa, salah satu faktor penentu yang berhubungan

dengan pemgambilan dan akumulasi logam berat oleh mahkluk hidup perairan,


(8)

jaringannya dengan tingkat kandungan yang tinggi, tetapi memindahkan hanya

sebagian kecil saja pada makhluk predator.

Menurut Forstner (1979 b), terdapat tiga proses mikrobial utama yang

mempengaruhi pengangkutan logam dari sedimen ke air di lingkungan, yaitu : (1)

Degradasi bahan-bahan organik menjadi senyawa yang berbobot molekulnya

lebih rendah, yang lebih mampu membentuk senyawa dengan ion-ion logam. (2)

Perubahan sifat lingkungan dan bentuk kimiawi logam oleh kegiatan metabolik,

contoh : potensial oksidasi-reduksi dan keadaan pH. (3) Perubahan senyawa

anorganik menjadi bentuk organologam dengan cara proses oksidatif dan reduktif.

Mekanisme yang ketiga ini melibatkan metilasi sejumlah unsur oleh bakteri,

seperti logam berat Timbal (Pb), dimana metilkobalamin muncul sebagai zat

pembentuk metil secara biologis yang utama.

Pengambilan logam berat oleh makhluk hidup air melalui tiga proses utama, yaitu

(1) dari air melalui permukaan pernapasan (misalnya insang); (2) penyerapan dari

air ke dalam permukaan tubuh; dan (3) dari makanan, partikel atau atau air yang

dicerna melalui sistem pencernaan. Proses pengambilan logam dalam makhluk

hidup perairan autotrofik (Fitoplankton) menurut Bryan (1976 b) adalah melalui

mekanisme pertukaran ion yang dengan cepat terserap pada permukaan sel, dari

tempat mereka berdifusi ke dalam membran sel, terakhir diserap dan diikat oleh

protein (tempat pertukaran ion) di dalam sel. Pada ikan, proses masuknya logam

berat ke dalam tubuh dapat bersumber dari air dan makanan. Proses masuknya

logam berat ke ikan menurut Bryan (1976 b) melalui mekanisme penyerapan pada

permukaan tubuh, yang kemudian diikat oleh ligan organik dan disimpan dalam

protein. Pada ikan, penyerapan melalui makanan lebih sering terjadi.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 hingga bulan

Februari 2012 di Kolong Grasi dengan titik koordinat S01

0

52.464’;

E106

0

07.005’,

Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Analisis kimia dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian,

Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Laboratorium Nutrisi Ikan, IPB.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah organ daging, insang,

hati dan ginjal ikan nila merah dan ikan patin jambal. Sampel organ diambil setiap

bulan dari bulan Oktober 2011 hingga Februari 2012. Bahan kimia untuk

pengujian logam berat Pb adalah larutan standar Pb konsentrasi 1000 ppm buatan

BDH, asam nitrat pekat buatan Merck dan air suling.

Peralatan yang digunakan adalah pH meter, DO meter, timbangan analitik,

penggaris, seperangkat alat bedah, dua unit karamba jaring apung (KJA)

masing-masing berukuran 3m x 3m x 2m, dan pH-meter,seperangkat alat

atomic

absorption spectrometry (AAS) tipe AA 300 P buatan Varian Techtron, Australia,

gelas beker 50 ml, labu ukur 10 ml, vial polietilen ukuran 5 ml, mikro pipet

effendorf 10 -100

μ

L, neraca analitik, tanur, Hot Plate,

Mercury Vaporise Unit

(MVU) dan peralatan gelas lain yang digunakan dalam laboratorium.

Tahapan penelitian ini dimulai dengan pengukuran logam berat timbal

(Pb) di air dan sedimen satu kali di awal penelitian. Pengukuran kualitas air


(9)

dan selanjutnya dilakukan setiap bulan di perairan kolong tempat ikan akan

dipelihara. Pengukuran kandungan Pb dalam sedimen juga dilakukan sebanyak

satu kali diawal penelitian. Tahapan dan proses penelitian selanjutnya secara

sistematis terbagi atas 4 kelompok, yaitu proses budidaya pembesaran selama

empat bulan, proses sampling dan proses analisis logam berat di setiap bulan

pemeliharaan, serta pengolahan data.

Keseluruhan data disajikan secara deskriptif dan dianalisis menggunakan

perbandingan 2 nilai tengah (t-test). Hasil identifikasi isi usus ikan disajikan

secara tabulasi dan keterhubungan semua parameter dijelaskan secara deskriptif.

Rata-rata parameter fi

s

ika dan kimia hasil pengukuran kualitas air di

Kolong Grasi menunjukkan kondisi yang ideal untuk kegiatan budidaya ikan nila

merah dan patin jambal. Kondisi penurunan beberapa parameter seperti suhu,

kecerahan dan peningkatan kadar TOM terjadi di bulan Januari 2012 dan tidak

terjadi di bulan-bulan sebelumnya. Hal ini dikarenakan pada bulan Januari 2012

merupakan musim penghujan.

Kandungan logam berat Pb pada ikan

n

ila merah mulai ditemukan di

bulan pertama pemeliharaan, yakni bulan November di organ hati sebesar

0,085

µ

g/g. Selanjutnya di bulan ketiga (Januari 2012) logam berat Pb ditemukan

hampir di

semua organ ikan

n

ila

m

erah

tapi belum

melebihi ambang batas

baku

mutu

sehingga masih aman

untuk

di

konsumsi, yaitu organ insang sebesar 8,41

µ

g/g, ginjal sebesar 93,98

µ

g/g, hati sebesar 62,14

µ

g/g dan tidak ditemukan pada

organ daging. Kontaminasi logam berat Pb di organ daging ikan

n

ila merah baru

ditemukan sebesar 0,188

µ

g/g di bulan keempat (Februari 2012). Kandungan

logam berat tertinggi ditemukan di organ ginjal

ikan nila merah

di bulan ketiga

pemeliharaan, yakni bulan Januari 2012 terukur sebanyak 93,98

µ

g/g

.

Kandungan logam berat Pb pada ikan

p

atin jambal mulai ditemukan di

bulan kedua pemeliharaan, yakni bulan Desember 2011 pada organ ginjal dan

daging masing-masing terukur sebesar 0.032

µ

g/g dan 0,177

µ

g/g. Di bulan ketiga

(Januari 2012) logam berat Pb ditemukan hampir di

semua organ ikan Patin

jambal dan

juga tidak

melebihi ambang batas aman untuk konsumsi, yaitu organ

insang sebesar 55,23

µ

g/g, hati sebesar 15,39

µ

g/g, daging sebesar 40,56

µ

g/g.

Kandungan logam berat tertinggi ditemukan di organ insang pada bulan ketiga

pemeliharaan, yakni sebesar 55,23

µ

g/g.

Penurunan suhu dan pH air serta peningkatan kecerahan kolong di bulan

Januari 2012 berdampak pada peningkatan jumlah akumulasi

logam berat Pb

dibeberapa organ ikan uji. Logam berat Pb ditemukan mengakumulasi

sebanyak

8,4

1 µ

g/g

di o

rgan insang ikan

n

ila merah

dan

55,23

µ

g/g

di

organ insang ikan

p

atin jambal.

Penurunan suhu dan pH air kolong juga berdampak pada

peningkatan akumulasi Pb di o

rgan daging ikan

p

atin jambal

,

yakni

sebesar 40,56

µ

g/g

sedangkan

di organ ikan

n

ila merah

akumulasi

tidak ter

ukur

. Logam berat Pb

terukur di

o

rgan hati ikan

n

ila merah sebanyak 62,14

µ

g/g

,

sedangkan di organ

hati ikan

p

atin jambal sebesar 15,39

µ

g/g. Kandungan logam berat Pb

juga banyak

ditemukan

di ginjal ikan

n

ila merah, yakni sebesar 93,98

µ

g/g sedangkan

pada

ikan

p

atin

j

ambal kandungan logam berat Pb di bulan Januari 2012

(bulan ke-3)

tidak ditemukan.


(10)

pemeliharaan pada setiap organ ikan nila merah, diikuti dengan peningkatan laju

pertumbuhan. Hal ini terjadi karena tubuh ikan nila merah masih tumbuh dengan

baik tanpa terganggu bahan pencemar. Akumlasi logam berat Pb yang mulai

terukur pada bulan kedua hingga bulan ketiga pemeliharaan, yakni organ insang,

hati dan ginjal, tidak mengakibatkan penurunan penambahan bobot tubuh ikan

nila merah. Peningkatan penambahan bobot tubuh terus terjadi dari bulan ketiga

pemeliharaan hingga ke bulan empat pemeliharaan.

Hal ini menjelaskan bahwa,

peningkatan akumulasi Pb di beberapa organ tidak menyebabkan terganggunya

sistem metabolisme tubuh ikan nila merah. Hal ini dikarenakan rendahnya

akumulasi di setiap organ ikan nila merah selama pemeliharaan dan akumulasi

yang terjadi masih dalam ambang batas toleransi ikan nila merah, sehingga energi

dari pakan dapat digunakan secara optimal untuk pertumbuhan.

Laju penambahan bobot tubuh ikan patin jambal selama empat bulan

pemeliharaan, didapatkan bahwa akumulasi logam berat Pb yang terjadi disetiap

organ pengamatan memberikan pengaruh yang signifikan. Meningkatnya jumlah

akumulasi logam berat Pb pada setiap organ ikan patin jambal di bulan ketiga

pemeliharaan, memberikan pengaruh melambat terhadap penambahan bobot

tubuh di bulan tersebut. Hal ini menjelaskan bahwa, peningkatan akumulasi Pb di

beberapa organ tersebut, menyebabkan terganggunya sistem metabolisme tubuh

ikan patin jambal. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada keterhubungan

antara kandungan logam berat Pb di sedimen kolong terhadap jumlah akumulasi

logam berat Pb di organ ikan uji dan jalur pemasukan berasal dari rantai makanan.

Kata Kunci : kolong, akumulasi, logam berat Timbal (Pb), keamanan pangan, nila


(11)

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ...

iv

DAFTAR TABEL ...

v

DAFTAR GAMBAR ...

vi

PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 6

Tujuan Penelitian ... 10

Manfaat Penelitian ... 10

Asumsi dan Hipotesis ... 11

Kerangka Pemikiran ... 11

TINJAUAN PUSTAKA

Ikan Nila Merah (Oreochormis niloticus)... ... 13

Ikan Patin Jambal (Pangasius djambal) ... 13

Logam Berat Timbal (Pb) ... 14

Mekanisme Pemasukan Pb dan Resikonya Terhadap Ikan ... 15

Resiko Pb Pada Organ Tubuh Manusia ... 18

Perilaku Pb Dalam Perairan ... 22

Kriteria Kolong ... 24

Kualitas Air ... 26

Pertumbuhan ... 29

Fitoplankton ... 29

Glukosa Darah ... 30


(12)

Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

Pengumpulan Data ... 32

Metode Penelitian...33

Penelitian Pendahuluan ...34

Penelitian Utama ...35

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Perairan Kolong Grasi Secara Fisika dan Kimia ...41

Jumlah Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb) ...43

Analisis Perbedaan Parameter Fisika-Kimia Terukur dan Rasio

Isi Usus Terhadap Akumulasi Pb di Organ Ikan Uji...47

Dampak Akumulasi Pb Terhadap Penambahan Bobot Tubuh ...50

Uji t-Test ...55

Analisis Sumber Akumulasi Pb Berdasarkan Komposisi Isi Usus

Ikan Uji...56

Analisis Kelayakan Ekonomis Budidaya di Kolong Tua serta

Keterhubungan Dampak Stres Terhadap Laju Pertumbuhan ...64

SIMPULAN DAN SARAN ...69

DAFTAR PUSTAKA ...70


(13)

1 Urutan tingkat toksisitas logam berat dari yang paling toksik

terhadap hewan air dan manusia serta jenis logam berat yang ada di

kolong ... 2

2

Rekapitulasi kebutuhan jenis ikan air tawar ukuran

konsumsi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2008 ... 7

3

Potensi berwiraswasta untuk mengoptimalkan nilai ekonomis

budidaya perairan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ... 8

4 Hasil pengukuran kualitas air di bulan Oktober-Desember 2011

hingga Januari-Februari 2012 di kolong Garasi Kec, Sungailiat Kab.

Bangka, Prov. Kepulauan Bangka Belitung ... 42

5 Kandungan Pb terukur pada organ ikan patin jambal... 43

6 Kandungan Pb terukur pada organ ikan nila merah ... 44

7 Hasil hitung t-Test ... 55

8 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah

bulan November 2011 ... 56

9 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah

bulan Desember 2011 ... 57

10 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah

bulan Januari 2012 ... 58

11 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan nila merah

bulan Februari 2012 ... 59

12 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin

jambal bulan November 2011... 60

13 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin

jambal bulan Desember 2011 ... 61

14 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin

jambal bulan Januari 2012 ... 62

15 Frekuensi kejadian dan nilai IP organisme makanan ikan patin

jambal bulan Februarai 2012 ... 63

16 Analisa usaha ikan nila merah dan patin jambal yang dipelihara

system KJA di kolong tua pasca tambang timah Bangka Belitung ... 65


(14)

(15)

1

Diagram alir kerangka pemikiran ... 12

2

Rumus molekul logam berat Timbal (Pb) ... 15

3

Lokasi penelitian ... 32

4

Trend akumulasi Pb pada organ patin jambal ... 44

5

Trend akumulasi Pb pada organ nila merah ... 44

6

Akumulasi Pb disetiap organ pengamatan ikan nila merah dan patin

jambal serta keterhubungannya terhadap perbedaan parameter

fisika-kimia dan rasio usus ... 48

7

Penambahan bobot tubuh ikan nila merah dan ikan patin jambal ... 50

8

Grafik pertumbuhan ikan nila merah dan patin jambal ... 52

9

Spektrum komposisi isi usus nila merah di bulan November 2011 ... 56

10 Spektrum komposisi isi usus nila merah di bulan Desember 2011 ... 57

11 Spektrum komposisi isi usus nila merah di bulan Januari 2012 ... 58

12 Spektrum komposisi isi usus nila merah di bulan Februari 2012 ... 59

13 Spektrum komposisi isi usus patin jambal di bulan November 2011 ... 60

14 Spektrum komposisi isi usus patin jambal di bulan Desember 2011 ... 62

15 Spektrum komposisi isi usus patin jambal di bulan Januari 2012 ... 62


(16)

1

Mekanisme masuknya logam berat kedalam tubuh dan organ

ikan ... 72

2

Perjalanan logam sampai ketubuh manusia ... 73

3

Kandungan lemak daging ikan nila merah dan patin jambal ... 74


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terletak pada 105º – 108º BT dan 03º

30” LS. Memiliki luas total wilayah 81.582 km2 terdiri dari wilayah daratan 16.281 km2 meliputi dua pulau besar, yaitu Pulau Bangka dengan luas 11.481 km2 dan Pulau Belitung dengan luas 4.800 km2 serta 950 buah pulau-pulau kecil. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sampai sekarang (2012) masih merupakan salah satu produsen biji timah terbesar dunia.

Penambangan bijih timah oleh PT. Timah, Tbk dan PT. Kobatin di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sudah sejak lama dilakukan. Konsekuensi dari kegiatan penambangan timah ini adalah terbentuknya lobang bekas galian penambangan timah berbentuk cekungan besar, dalam dan terisi air yang menurut istilah lokal wilayah Bangka Belitung adalah kolong atau lubangcamuy (danau).

Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan PT. Timah, Tbk di tahun 2000, jumlah kolong pasca penambangan timah oleh PT. Timah di Bangka dan Belitung sebanyak 887 kolong dengan luas 1.712,65 ha. Terdiri dari 544 kolong dengan luas 1.035,51 ha di pulau Bangka dan sebanyak 343 kolong dengan luas 677,14 ha di pulau Belitung. Dari jumlah tersebut, baru 108 kolong di pulau Bangka dan 54 kolong di pulau Belitung yang telah dilakukan reklamasi. Jumlah kolong-kolong tersebut masih terus bertambah dengan pesat seiring dengan semakin maraknya aktivitas tambang inkonvensional yang dikelola oleh masyarakat Bangka Belitung.

Salah satu karakteristik dari kolong ialah tidak mempunyai aliran masuk dan aliran keluar. Debit air kolong dan kondisi air secara fisik dan kimia sangat dipengaruhi oleh proses evapokonsentrasi, dimana tinggi-rendahnya permukaan air cukup berfluktuasi pada musim kering yang mengakibatkan terkonsentrasinya kandungan bahan yang ada di air tersebut. Kondisi galian umumnya berukuran panjang dan lebar sekitar 75-200 m, dengan kedalaman berkisar 2-50 m. Sifat fisikokimia air kolong memiliki perbedaan karakter yang sangat menonjol. Secara umum keberadaan perairan kolong ini masih dapat menjadi sarana pengembangan perikanan yang potensial, namun hasil penelitian terdahulu menyatakan bahwa


(18)

tidak seluruhnya dapat dikembangkan untuk budidaya ikan konsumsi, karena menurut hasil analisa menunjukkan adanya pencemaran logam berat sampai diatas ambang batas (Lamidi 1997).

Logam berat masih termasuk golongan logam dengan kriteria-kriteria yang sama dengan logam lain. Perbedaannya terletak dari pengaruh yang dihasilkan bila logam berat ini berikatan atau masuk ke dalam organisme hidup. Berbeda dengan logam biasa, logam berat biasanya menimbulkan efek-efek khusus pada mahluk hidup (Palar 1994).

Berdasarkan sudut pandang toksikologi, Wahyu Widowati et al. (2008) membagi logam berat kedalam dua jenis. Pertama, logam berat esensial, yakni logam dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme, tapi dalam jumlah berlebihan logam tersebut dapat menimbulkan efek toksik, contoh : Zn,Cu, Fe, Co, Mn dan sebagainya. Besi dalam jumlah tertentu merupakan logam yang dibutuhkan dalam pembentukan pigmen darah dan zink merupakan kofaktor untuk aktifitas enzim (Wilson 1988). Kedua, logam berat tidak esensial, yakni logam yang keberadaannya didalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya, bahkan bersifat toksik, contohnya : Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain. Tabel 1 berikut ini menunjukkan urutan tingkat toksisitas logam berat dari yang paling toksik terhadap hewan air dan manusia serta jenis logam berat yang ada di kolong.

Tabel 1 Urutan tingkat toksisitas logam berat dari yang paling toksik terhadap hewan air dan manusia serta jenis logam berat yang ada di kolong Tingkatan Toksik

LB

1 2 3 4 5 Sumber

Bagi Hewan Air Hg Cd Zn Pb Cr Wahyu Widowati et al. (2008) Bagi Manusia Hg Cd Ag Ni Pb Wahyu Widowati et al. (2008) Tingkatan Jumlah

Kandungan LB

1 2 3 4 5 Sumber

Logam di Air Kolong Fe Mn Zn Pb Cu Brahmana et al. (2004) Logam di Sedimen

Kolong

Mn Fe Pb Al Zn Cynthia Henny (2009)

Keberadaan logam berat dalam lingkungan berasal dari dua sumber. Pertama, dari proses alamiah seperti pelapukan secara kimiawi dan kegiatan geokimiawi serta dari tumbuhan dan hewan yang membusuk. Kedua, dari hasil aktivitas manusia terutama hasil limbah industri (Connel & Miller 1995). Wittmann (1979) menambahkan, salah satu penyebab terbesar masuknya


(19)

pencemar logam berat kedalam cekungan-cekungan perairan adalah melalui kegiatan pertambangan. Eksploitasi timbunan bijih timah membongkar permukaan batuan baru dan sejumlah besar sisa batuan atau tanah untuk mempercepat kondisi pelapukan. Kegiatan proses pengambilan, pemisahan maupun peleburan bijih timah dapat menyebabkan hamburan dan penimbunan sejumlah besar logam runutan seperti Pb, Zn, Cu, As dan Ag ke dalam saluran pembuangan sekelilingnya atau pengeluaran langsung kedalam lingkungan perairan. Cynthia Henny (2007) juga menyatakan aktivitas pembukaan lapisan tanah dalam proses penambangan telah membuat mineral di dalam tanah terbuka. Akibatnya terjadi oksidasi mineral sulfida (pirit-FeS2) yang membawa kandungan-kandungan logam berat berbahaya, seperti timah hitam (Pb), seng (Zn) bahkan arsenik (As).

Wardoyo et al. (1998) dan Cynthia Henny (2007), mengelompokkan kolong pasca tambang timah berdasarkan usia menjadi dua. Pertama, kolong muda dengan usia 0-20 tahun. Kedua, kolong tua dengan usia > 20 tahun. Karakteristik secara fisik dan kandungan pencemar kimia di air maupun sedimen kolong, serta kualitas air kolong hampir sama untuk masing-masing kelompok umur kolong, terutama kolong tua. Penelitian Brahmana et al. (2004), kualitas air kolong muda menunjukkan kualitas air yang buruk dengan pH berkisar 2,9 – 4.5. Kandungan logam berat seperti Fe, Al, Pb, dan Mn sangat tinggi. Dalam hasil penelitian tersebut juga dikatakan bahwa, umur kolong sangat berpengaruh terhadap konsentrasi pencemar logam tersebut. Menurut Puslit Biologi LIPI ditambah data penelitian lain dari Lamidi (1997), ada kecendrungan bahwa pada kolong yang sudah ditinggalkan dari kegiatan pertambangan bijih timah lebih dari 25 tahun, konsentrasi logam berat pada air menurun sampai dibawah ambang batas aman untuk manusia.

Beberapa penelitian telah dilakukan berbagai pihak sebagai alternatif usaha untuk memperbaiki kualitas air kolong (terutama di kolong muda). Di antaranya penerapan teknologi sederhana in situ treatment, menggunakan

limestone (pengapuran) ataupun passive treatment yang dapat menaikkan pH air. Diharapkan dengan penaikan pH air kolong akan berdampak terhadap menurunnya kandungan beberapa logam berat berbahaya pada air kolong.


(20)

Penggunaan phytoplankton sebagai penyerap alami logam berat (Cynthia Henny 2007) dan penggunaan tumbuhan air sebagai penyerap logam berat di kolong oleh Wike et al. (2009).

Semua rangkaian penelitian yang telah dilakukan merupakan usaha untuk memperbaiki kualitas air kolong pasca tambang timah, agar kolong dapat lebih berdaya guna dan memiliki nilai potensial lebih. Akan tetapi, sifat unsur logam berat yang tidak dapat didegradasi dan berpotensi membahayakan kesehatan manusia, akan menjadi pekerjaan rumah besar sekaligus pertanyaan mendasar pada hasil penelitian terdahulu dan peneliti mendatang. Sistem pengkapuran yang memakan banyak biaya, kesulitan pengaturan debit air untuk penerapan passive treatment, atau kembali masuknya logam berat ke dalam badan perairan, jika phytoplankton dan tumbuhan air yang dimanfaatkan sebagai penyerap logam berat mati atau habis siklus hidupnya. Arti sebenarnya adalah, belum ditemukannya teknologi yang benar-benar dapat menyelesaikan masalah kolong ini, sehingga perairan kolong terus menerus dalam kondisi tercemar logam berat.

Kolong tua mempunyai kualitas air yang lebih baik dengan kisaran pH 5.5

– 8 (Cynthia Henny 2009). Waktu yang dibutuhkan untuk perbaikan kualitas air secara alami seperti pada kolong tua memakan waktu 20 – 30 tahun (Subardja et al. 2004; Brahmana et al. 2004). Hasil penelitian Cynthia Henny (2009) pada 40 kolong di Kabupaten Bangka (acak : kolong tua dan kolong muda) menunjukkan bahwa, masih ditemukannya kandungan logam berat dalam jumlah cukup tinggi pada air dan sedimen. Hasil penelitian Cynthia Henny (2009) ini juga menemukan bahwa, pada sedimen kolong tua masih ditemukan kandungan beberapa jenis logam berat (Pb, Al, Fe, Zn, Mn) diatas baku mutu. Walaupun kandungan logam berat di air pada kolong tua menunjukkan hasil yang tidak terukur.

Dari hasil penelitian tersebut, pemanfaatan kolong untuk budidaya ikan air tawar atau air minum tanpa pengolahan lebih dulu tidak direkomendasikan, sebab logam-logam berat di kolong diduga dapat terakumulasi di tubuh ikan dan tentu berdampak pada kesehatan manusia. Dampak secara sosial adalah tertanamnya

image masyarakat, tentang konsentrasi logam berat yang masih cukup tinggi di semua kolong (kolong tua dan kolong muda) diatas ambang batas aman untuk manusia. Selanjutnya berdampak pada kengganan masyarakat untuk melakukan


(21)

kegiatan budidaya perikanan tawar di kolong muda maupun di kolong tua, atau mengkonsumsi ikannya. Tentunya keberadaan perairan kolong di Bangka Belitung dapat menjadi sarana pengembangan perikanan yang potensial, terutama kolong tua yang berusia diatas 20 tahun.

Massa jenis logam berat yang lebih berat dari massa jenis air menjadikan logam berat lebih mudah mengendap dan tersimpan di sedimen daripada yang terlarut di air. Lamanya usia kolong ikut menjadi faktor tidak terukurnya logam berat dalam air tetapi ditemukan dalam jumlah banyak pada sedimen. Tersedianya bahan organik di dasar kolong tua juga dapat menyebabkan logam cendrung lebih banyak terikat didasar kolong daripada di air. Hal ini memperkuat hasil penelitian Connel dan Miller (1995) yang menyimpulkan bahwa pembentukan lapisan organik sangat mempengaruhi kapasitas penyerapan pada sedimen dan bahan yang mengikat. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya di kolong, hampir semua kolong tua masih mengandung logam berat di sedimennya tapi tidak terukur di air (tingkat sensitifitas AAS 0,030 mg/l) (Subardja et al.

2004; Brahmana et al. 2004; Cynthia Henny 2007). Hasil penelitian juga menemukan bahwa, selain jenis logam yang tercantum di Tabel 1, jenis logam berat Timbal (Pb) hampir ditemui di sedimen semua kolong-kolong tua, (Cynthia Henny 2009).

Mengingat salah satu program unggulan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yakni pengembangan sektor budidaya perikanan tawar dengan memanfaatkan kolong-kolong pasca penambangan timah, karena mulai melemahnya sektor pendapatan ekonomi daerah dari hasil bijih timah, maka pengembangan budidaya perikanan air tawar yang memanfaatkan kolong pasca tambang timah harus dikaji dan dikelola secara komprehensif. Pengembangan budidaya perikanan tawar bukan hanya terpusat pada peningkatan produksi, namun juga pada kualitas dan keamanan produk untuk konsumsi. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksudkan untuk mengukur jumlah akumulasi Pb dalam organ daging, insang, hati dan ginjal ikan selama proses budidaya hingga panen di kolong pasca penambangan timah berusia tua (diatas 25 tahun). Diharapkan hasil dari penelitian ini akan menambah produk penelitian kolong, berupa sistem teknologi dan manajemen budidaya ikan air tawar konsumsi yang aman, di kolong


(22)

tercemar logam berat. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan juga dapat memberikan informasi tentang keamanan produk yang dapat berdampak hilangnya kekhawatiran masyarakat untuk melakukan kegiatan budidaya dan mengkonsumsi ikan yang dibudidayakan di kolong.

Perumusan Masalah

Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa, perikanan mempunyai peran yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian dan ketersediaan sumberdaya ikan.

Jumlah kolong di Bangka Belitung hingga saat ini (2012) terdata lebih dari 1000 kolong. Kolong hasil galian PT. Timah, Tbk tersebut baru sebagian kecil saja dilakukan reklamasi dan dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan air tawar. Berbagai jenis tanaman yang ditanam dalam kegiatan reklamasi adalah akasia, albasia dan jambu mete. Sedangkan sebanyak 142 kolong telah ditimbun kembali setelah diberlakukannya sistem penambangan back filling (1992-1998), dimana setiap galian harus ditimbun kembali. Sisanya, yakni sebanyak 583 kolong belum dimanfaatkan secara optimal, dan banyak ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan liar, antara lain purun, rumbia, gelam, nipah, ilalang, cemara, sungkai dan semak belukar. Kolong yang keberadaannya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan berair jernih, sebesar 15,9 persen atau sebanyak 141 kolong telah dimanfaatkan sebagai reservoir dan sumber air, termasuk mandi dan mencuci. Namun, masih sedikit atau sebesar 4,28 persen atau sebanyak 38 kolong yang dimanfaatkan untuk usaha perikanan, pertanian, sumber air baku PDAM, dan rekreasi. Sisanya yakni sebesar 79,82 persen belum termanfaatkan sama sekali. Jumlah kolong ini terus bertambah hingga sekarang. Ditambahkan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN 2009), bahwa berdasarkan citra satelit tahun 2004, diketahui bahwa 378.042 hektar dari 657.510 hektar kawasan hutan di Bangka Belitung sudah tergolong lahan kritis. Dari yang tersisa tersebut,


(23)

kawasan hutan yang bervegetasi tinggal 17 persen dari luas daratan Bangka Belitung (1.642.414 hektar). Padahal, idealnya untuk satu pulau paling tidak luas kawasan hutan yang bervegetasi baik mencapai 30 persen.

Ditinjau dari luasnya lahan perairan umum yang berpotensi untuk dikembangkan, dan didukung juga dengan tingginya kebutuhan ikan air tawar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka Dinas Kelautan dan Perikanan dari tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, membangun kerangka kerja kedepan untuk memanfaatkan kolong-kolong tua pasca penambangan timah dengan meningkatkan produksi perikanan budidaya air tawar, menggunakan metode karamba jaring apung (KJA). Adapun gambaran kebutuhan akan ikan air tawar terutama Nila merah (Oreochormis niloticus) dan Patin jambal (Pangasius djambal) ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rekapitulasi kebutuhan jenis ikan air tawar ukuran konsumsi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2008

Jenis Ikan

Kebutuhan Ukuran Konsumsi Tiap Kabupaten di Bangka Belitung (2008-2009) (Kg/hari)

Total Kebutuhan (Kg)/hari Total Terpenuhi (Kg/hari) Kab. Bangka Kab. Bateng Kab. Basel Kab. Babar Pangkal Pinang Lele Dumbo

1.800 1.650 970 800 2.700 7.920 2.043

Nila 250 340 134 242 477 1.452 300

Gurame 130 120 100 80 166 596

-Patin 250 100 288 132 497 1.267 310

Mas 90 102 161 85 256 694 100

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2008).

Walaupun dukungan dari setiap pemerintah daerah sangat besar dan memiliki potensi kondisi geografis daerah juga besar, kegiatan perikanan budidaya perikanan air tawar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih sangat minim. Penyebab utama lesunya kegiatan budidaya perikanan ikan air tawar adalah kekhawatiran masyarakat dengan perairan kolong yang mengandung logam berat.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan kolong-kolongnya, merupakan potensi besar untuk pengembangan perikanan air tawar dan perluasan kesempatan kerja, walaupun tidak dipungkiri dari hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan sebagian besar kolong-kolong tersebut mengandung unsur logam


(24)

berat yang sangat berbahaya jika terkonsumsi oleh manusia, terutama Pb. Akan tetapi jika permasalahan logam berat dapat diatasi, maka potensi yang ada tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal, artinya akan terbuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Kalkulasi kesempatan kerja terhadap potensi perikanan daerah oleh Biro Kepegawaian Daerah dan Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (2008) ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Potensi berwiraswasta untuk mengoptimalkan nilai ekonomis budidaya perairan di Povinsi Kep. Bangka Belitung

Jenis Budidaya Satuan Potensi Lahan

Peluang Usaha (orang/satuan)

Jumlah (orang) Budidaya Laut Ha 12.000 2 24.000 Budidaya Payau Ha 10.000 2 20.000 Budidaya Tawar Ha 1000 5 5.000 Industri Bioteknologi Unit 30 50 1.500 Industri Pakan Unit 37 50 1.850

Jumlah Total 52.350

Sumber : Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah dan Dinas Kelautan Perikanan Provinsi Kep. Bangka Belitung (2008)

Dari Tabel 3 tersebut diartikan bahwa, jika semua lahan perairan tawar (terutama kolong pasca penambangan timah) di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dimanfaatkan untuk kegiatan perikanan, maka kebutuhan ikan air tawar yang tinggi akan terpenuhi, sekaligus sebagai solusi bagi kebutuhan akan sumber mata pencaharian alternatif dan pengangguran. Potensi yang besar dapat dihubungkan menjadi terciptanya sumber peningkatan perekonomian masyarakat yang baru, untuk mengimbangi penurunan perekonomian masyarakat dari sektor tambang timah. Realitanya sekarang adalah sebesar 79,82 % atau 1.367.04 ha dari kolong peninggalan PT. Timah Tbk, belum termanfaatkan karena indikasi tercemar logam berat. Sehingga penelitian ini dimaksudkan untuk menghubungkan mata rantai yang terputus seperti yang telah dipaparkan diatas.

Maka beberapa permasalahan yang dihadapi adalah :

(1) Aspek ekologi, banyaknya genangan-genangan air berupa kolong belum termanfaatkan secara optimal untuk berbagai keperluan, termasuk kegiatan perikanan,


(25)

(2) Aspek biologi, adanya kandungan logam berat di air dan sedimen kolong diduga menyebabkan ikan hasil budidaya di kolong pasca tambang timah tercemar logam berat, yang jika ikan tersebut terkonsumsi manusia tentu akan sangat berbahaya,

(3) Aspek teknologi, hasil penelitian-penelitian sebelumnya belum memberikan dampak yang signifikan untuk diterapkan dalam pemulihan kualitas air kolong, belum adanya teknologi yang mudah (aplikatif) untuk diterapkan masyarakat, serta belum adanya kajian pemanfaatan kolong untuk kegiatan perikanan,

(4) Aspek ekonomi, keinginan masyarakat membeli ikan air tawar hasil budidaya di kolong sangat kurang, karena rasa takut ikan tercemar logam berat.

Dalam upaya memberikan kontribusi penelitian ilmiah aplikatif bagi masyarakat untuk pengembangan perikanan budidaya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka penelitian ini akan menjawab beberapa pertanyaan yang menjadi kunci dan fokus penelitian. Beberapa pertanyaan (research questions) yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah :

(1) Berapa jumlah Pb yang terakumulasi ke dalam organ daging, insang, hati dan ginjal ikan nila merah dan patin jambal selama proses pemeliharaan di kolong tua pasca penambangan timah hingga panen.

(2) Apakah ada pengaruh kandungan Pb yang bersumber dari sedimen kolong tua, terhadap jumlah akumulasi Pb di organ daging, insang, hati dan ginjal ikan nila merah dan patin jambal.

(3) Apakah ada pengaruh akumulasi kandungan Pb di organ ikan nila merah dan patin jambal terhadap laju pertumbuhan (GR), tingkat kelangsungan hidup (SR) dan laju

food conversion rasio (FCR)

(4) Bagaimana menentukan waktu dalam proses manajemen (siklus) budidaya yang baik untuk mengurangi laju akumulasi unsur Pb pada organ ikan Nila merah dan Patin jambal.

Dari hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa akar permasalahan yang sangat mendasar dalam pengembangan perikanan budidaya di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah media ( kolong) budidaya mengandung logam berat (terutama Pb) yang selalu ada di setiap kolong) dan membahayakan kesehatan masyarakat secara


(26)

turun temurun, sehingga perlu dianalisis akumulasi Pb pada organ daging, insang, hati dan ginjal ikan nila merah dan patin jambal setiap bulan pemeliharaan sampai panen dan membuat manajemen pola tanam budidaya perikanan yang aman dan dapat meminimalisir laju serapan logam berat kedalam organ-organ ikan tersebut serta mudah diterapkan oleh masyarakat.

Tujuan Penelitian

(1) Menjawab pertanyaan mengenai keamanan ikan yang dibudidayakan di kolong tua pasca tambang timah Bangka Belitung dari Pb untuk dikonsumsi oleh manusia.

(2) Menganalisis pengaruh kandungan Pb yang terakumulasi di organ daging, insang, hati dan ginjal serta pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan (GR), tingkat kelangsungan hidup (SR) dan laju food conversion rasio (FCR) ikan nila merah dan patin jambal.

(3) Menentukan waktu dalam proses manajemen (siklus) budidaya yang baik untuk mengurangi laju akumulasi Pb pada organ ikan Nila merah dan Patin jambal (4) Menganalisis kelayakan ekonomis budidaya ikan nila merah dan patin jambal

yang dibudidayakan di kolong tua pasca tambang timah.

Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :

(1) Bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan pengembangan dan pembangunan di sektor perikanan budidaya air tawar dan pemanfaatan kolong tua dengan sistem karamba jaring apung di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

(2) Bahan masukan bagi perusahan tambang timah dan masyarakat dalam upaya pemanfaatan kolong pasca tambang timah.

(3) Sumber informasi bagi investor, masyarakat dan stakeholders terkait teknologi tepat guna dan sistem manajemen budidaya perikanan di kolong tua pasca penambangan, agar aman dari Pb, mudah diaplikasikan dan murah (hemat biaya).


(27)

(4) Bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya terkait dengan menghasilkan produk perikanan bersih dari Pb walaupun dipelihara di media yang terdapat kandungan Pb.

Asumsi dan Hipotesis

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :

(1) Tercemarnya air dan sedimen kolong oleh Pb akan menyebabkan ikan budidaya di kolong tersebut ikut tercemar Pb.

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

(1) Ada perbedaan jumlah akumulasi Pb pada jenis ikan yang berbeda di setiap bulan pemeliharaan.

(2) Ada perbedaan jumlah akumulasi Pb pada organ daging, insang, hati dan ginjal antara ikan nila merah dan patin jambal.

(3) Keberadaan pencemar Pb akan mempengaruhi pertambahan bobot tubuh, tingkat kelangsungan hidup (SR) dan laju food conversion rasio (FCR) ikan nila merah dan patin jambal.

(4) Terdapat pola akumulasi terhadap depurasi terkait dengan kondisi kolong, yang dapat dijadikan acuan dalam penerapan pola tanam.

Kerangka Pemikiran

Rangkaian proses penelitian ini disusun dalam sebuah kerangka berpikir yang akan menuntun dalam pencapaian semua tujuan penelitian tersebut. Diagram alir kerangka pemikiran tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.


(28)

Gambar 1 Diagram alir kerangka pemikiran. KOLONG

KARAKTERISTIK KELAYAKAN KOLONG UNTUK BUDIDAYA IKAN

KOLONG TUA -Kualitas Air/Kadar Pb -Kualitas Sedimen/Kadar Pb

KOLONG MUDA -Kualitas Air/Kadar Pb -Kualitas Sedimen/Kadar Pb

KOLONG TUA

PERMASALAHAN :

1.Masih mengandung logam berat (terutama Pb) di sedimen diatas baku mutu 2. Pb merupakan logam berat non esensial yang hampir selalu ditemukan di sedimen

kolong tua

3.Image masyarakat (logam berat) dalam pemanfaatan kolong sebagai lahan budidaya perikanan

UJI BUDIDAYA IKAN NILA DAN PATIN

Manajemen budidaya

Analisis keterhubungan Pb di organ ikan terhadap

GR,SR,FCR.

Analisis kelayakan usaha

ANALISIS BIOAKUMULASI TIMBAL (Pb) PADA

IKAN NILA MERAH (O. nilotica) DAN PATIN JAMBAL (P. djambal)

YANG DIBUDIDAYAKAN DI KOLONG TUA PASCA TAMBANG TIMAH BANGKA BELITUNG

Menjawab pertanyaan tentang keamanan pangan


(29)

TINJAUAN PUSTAKA

Sistematika dan Morfologi Ikan Nila Merah (O. niloticus)

Menurut Saanin (1984) secara sistematika ikan nila merah (O. niloticus) adalah :

dunia : Animalia filum : Chordata kelas : Pisces ordo : Perchomorphi famili : Perchoiaea genus : Oreochormis

spesies : Oreochormis niloticus

Ikan nila merah mempunyai ciri-ciri morfologi : bentuk bulat pipih, punggung lebih tinggi, pada badan dan sirip ekor (caundal fin) ditemukan garis lurus (vertikal). Sedangkan garis lurus memanjang ditemukan pada sirip punggung. Ikan nila merah dapat hidup diperairan tawar dan mereka menggunakan ekor untuk bergerak, sirip perut, sirip dada dan penutup insang yang keras untuk mendukung badannya. Ikan nila merah termasuk omnivora. Makanannya berupa hewan-hewan seperti protozoa dan zooplankton serta ganggang, algae yang tersedia di kolam. Persyaratan kualitas air budidaya ikan nila merah dalam KJA suhu 25-30 0C, DO ≥ 3 mg/l, pH 6-8,5, kecerahan 20-30 cm dan CO2 < 5 mg/l (Zonneveld et al. 1991).

Ikan Patin Jambal (P. djambal)

Menurut Saanin (1984), sistematika ikan patin jambal (P. djambal) diklasifikasikan sebagai berikut:

dunia : Animalia filum : Chordata kelas : Pisces ordo : Ostariophysi famili : Pangasidae genus : Pangasius


(30)

Ciri morfologi ikan patin jambal : memiliki warna tubuh putih keperak-perakan dan punggung kebiru-biruan, bentuk tubuh memanjang, kepala relatif kecil. Ujung kepala terdapat mulut yang dilengkapi dua pasang sungut pendek. Pada sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sirip ekor membentuk cagak dan bentuknya simetris. Patin jambal tidak mempunyai sisik, sirip dubur relatif panjang yang terletak di atas lubang dubur terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada terdiri dari 12-13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal dengan patil. Di bagian permukaan punggung ikan patin terdapat sirip lemak yang berukuran kecil.

Habitat asli ikan ini adalah sungai dan danau air tawar. Pada habitat aslinya ikan Patin jambal bersifat karnivora, namun ketika dipelihara di kolam ikan Patin jambal dapat mengkonsumsi kacang-kacangan dan tumbuhan (Zonneveld et al. 1991). Persyaratan kualitas air budidaya ikan patin jambal dalam KJA suhu 27-32 0C, DO ≥ 3 mg/l, pH 6,5-8,5, kecerahan > 30 cm dan CO2 < 5 mg/l (Zonneveld et al. 1991).

Logam Berat Timbal (Pb)

Pb adalah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batu-batuan, tanah, tumbuhan dan hewan. Manahan (1997), 95% dari Pb bersifat anorganik dan umumnya dalam bentuk garam anorganik dan kurang larut dalam air. Selebihnya berbentuk Pb organik. Pb organik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetraethyllead (TEL) dan Tetramethyllead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik, misalnya dalam lipid (Miettinen 1977). Waktu keberadaan Pb dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arus angin, dan curah hujan. Pb tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel. Karena Pb merupakan sebuah unsur sehingga tidak akan mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan. Pemanfaatannya bagi manusia adalah sebagai bahan pembuat baterai, membuat amunisi, produk logam (logam lembaran, solder, dan pipa), perlengkapan medis (penangkal radiasi dan alat bedah), cat, keramik, peralatan


(31)

kegiatan ilmiah/praktek (papan sirkuit (CB) untuk computer) untuk campuran minyak bahan-bakar untuk meningkatkan nilai oktan.

Pb adalah logam berat yang secara alami terdapat di dalam kerak bumi beasosiasi dengan mineral lainnya. Logam ini bisa berasal dari kegiatan manusia bahkan mampu mencapai jumlah 300 kali lebih banyak dibandingkan Pb alami. Pb memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat kimia yang aktif.

Gambar 2 Rumus molekul logam berat Timbal (Pb).

Kata latin Pb adalah Plumbum, bahasa Inggrisnya Lead. mempunyai berat atom 207,21, berat jenis 11,34, bersifat lunak dan berwarna biru atau silver abu-abu dengan kilau logam, nomer atom 82 mempunyai titik leleh 327,4 0C dan titik didih 1620 0C (Gambar 2). Pb termasuk logam berat “trace metals” karena

mempunyai berat jenis lebih dari lima kali berat jenis air. Bentuk kimia senyawa Pb yang masuk ke tubuh melalui makanan akan mengendap pada jaringan tubuh, dan sisanya akan terbuang bersama bahan sisa metabolisme (Miettinen 1977).

Mekanisme Pemasukan Pb dan Risikonya Terhadap Ikan

Ikan patin jambal dan nila merah termasuk ikan yang bergerak lambat, sehingga akumulasi logam beratnya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan ikan yang mempunyai pergerakan lebih cepat. Pemeliharan dengan system karamba jaring apung mengkondisikan ikan pada ruang gerak yang sangat terbatas, sehingga peluang untuk terjadinya akumulasi logam berat ke dalam tubuh ikan budidaya akan semakin besar.

Pengambilan logam berat oleh makhluk hidup air melalui tiga proses utama, yaitu (1) dari air melalui permukaan pernapasan (misalnya insang); (2)


(32)

penyerapan dari air ke dalam permukaan tubuh; dan (3) dari makanan, partikel atau atau air yang dicerna melalui sistem pencernaan. Mekanisme masuknya logam berat kedalam tubuh dan organ ikan dapat dilihat pada ilustrasi di lampiran 1.

Proses pengambilan logam oleh makhluk hidup perairan autotrofik (Fitoplankton) menurut Bryan (1976b) adalah melalui mekanisme pertukaran ion yang dengan cepat terserap pada permukaan sel, dari tempat mereka berdifusi ke dalam membran sel, terakhir diserap dan diikat oleh protein (tempat pertukaran ion) di dalam sel. Pada ikan, proses masuknya logam berat ke dalam tubuh juga dapat bersumber dari air dan makanan. Proses masuknya logam berat ke ikan menurut Bryan (1976b) melalui mekanisme penyerapan pada permukaan tubuh, yang kemudian diikat oleh ligan organik dan disimpan dalam protein. Pada ikan, penyerapan melalui makanan lebih sering terjadi. Perjalanan logam sampai ke tubuh manusia menurut Klaassen et al. (1986) dan Marganof (2003) dapat dilihat di lampiran 2.

Insang ikan, selain sebagai alat pernafasan juga berfungsi sebagai alat pengatur tekanan air, antara air di lingkungan sekitar terhadap air di dalam tubuh (osmoregulasi). Enzim yang sangat berperan dalam insang ikan adalah enzim karbonik anhidrase dan transportasi ATP ase. Karbonik anhidrase adalah enzim yang mengandung Zn dan berfungsi sebagai penghidrolisis CO2 menjadi asam karbonat. Apabila ikatan Zn ini digantikan logam lain, maka fungsi enzim karbonik anhidrase akan menurun. Secara morfologi struktur insang ikan juga akan berubah, seperti terjadinya penebalan sel epitel insang dan insang kehilangan fungsi sebagai pengambil oksigen dari air (hipoksia) dan mengganggu pergerakan renang ikan.

Kerusakan jaringan oleh logam terdapat pada beberapa lokasi baik tempat masuknya logam (insang) maupun tempat penimbunanya (hati). Akibat yang ditimbulkan dari toksisitas Pb dapat berupa kerusakan fisik (erosi, degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologik (gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolisme). Pb dalam jaringan dan cairan tubuh identik dengan jumlah Pb yang dikeluarkan. Ekskresi Pb melalui bilus dan urin.


(33)

Menurut Darmono (2008), semua spesies hewan muda (mamalia) lebih rentan keracunan Pb dibandingkan hewan tua. Palar (1994) melaporkan bahwa, Pb dapat menembus plasenta sehingga terjadi transportasi dari induk ke fetus,dan untuk ikan belum diketahui secara pasti. Simkiss dan Mason (1984) diacu dalam Darmono (2008), mendefinisikan logam dalam jaringan organisme akuatik dibagi menjadi dua tipe utama. Pertama, logam tipe kelas A (seperti : Na, Ka, Ca dan Mg) yang bersifat elektrostatik dan pada larutan garam berbentuk ion hidrofilik. Kedua, logam tipe kelas B (seperti : Cu, Zn, Pb dan Ni) yang merupakan komponen kovalen dan jaringan berbentuk ion bebas. Tipe logam yang paling toksik bagi lingkungan adalah kelas B, seperti Cd, Pb dan Hg. Logam kelas B seperti Pb bila masuk ke dalam sel hewan akuatik pada umumnya selalu proporsional dengan tingkat konsentrasi logam berat dalam lingkungannya, sehingga Pb dapat terikat dengan adanya ketersediaan ligan dalam sel.

Darmono (2008) menjabarkan bahwa respon sel terhadap masuknya logam berat bergantung pada sel-sel sebagai berikut :

a. Sel yang mengandung ligan berlebihan dan sesuai untuk ikatan logam yang masuk, logam dapat terikat sepenuhnya dan tidak menimbulkan gangguan metabolisme.

b. Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dapat mensintesis ligan kembali bila diperlukan sehingga masih dapat mengikat logam yang masuk dan tidak menimbulkan gangguan metabolisme.

c. Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dapat mensintesis ligan lagi dengan jalan mengusir logam yang telah terikat untuk keluar sel.

d. Sel yang mengandung ligan terbatas, tetapi dalam proses pengikatannya terjadi kompetisi antara logam itu sendiri.

Dilihat dari sifatnya, Pb yang masuk tipe kelas logam berat B sangat mudah dan cepat melakukan penetrasi dalam tubuh organisme air.

Nilai ambang batas Pb dalam daging ikan menurut Alaerts dan Santika (1987) adalah 2 mg/kg. Jumlah Pb yang terakumulasi dalam jaringan tubuh hewan air yang masih aman dikonsumsi oleh manusia yaitu 2 mg/kg (Ditjen POM No. 03725/B/SK/VII/1989 dan WHO 1992). Batas baku mutu kandungan Pb dalam air menurut SK. Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 sebesar 0,030 mg/l


(34)

dan sebesar 5 mg/kg untuk sedimen. Pb adalah logam berat konvensional yang sering menyebabkan keracunan. Air sebagai wadah budidaya perikanan yang terkontaminasi oleh Pb dapat menyebabkan keracunan kronis. Kasus keracunan Pb pada ikan atau pada manusia pengkonsumsi ikan tercemar dapat terjadi terutama pada ikan yang ditangkap atau dibudidayakan di daerah tercemar. Keracunan Pb pada ikan menimbulkan gejala khas sebagai berikut:

1. Gastrointeritis. Hal ini karena terjadi reaksi dari mukosa saluran pencernaan bila kontak dengan garam Pb dan terjadi pembengkaan. Gerak kontraksi rumen dan usus terhenti sehingga terjadi diare.

2. Anemia. Dalam darah, Pb berikatan dengan sel darah merah sehingga sel darah mudah pecah. Terjadi gangguan terhadap sintesis Hb dan ditemukannya basofilik stipling pada sel darah, inilah ciri terjadinya keracunan Pb.

3. Encephalopati, yaitu kerusakan yang terjadi pada sel endotel dari kapiler, insang, hati dan ginjal.

Risiko Pb Pada Organ Tubuh Manusia

Risiko Pb pada organ tubuh manusia menurut Manahan (1997), adalah logam toksik yang bersifat kumulatif sehingga mekanisme toksisitasnya dibedakan menurut organ yang dipengaruhi yaitu :

Risiko Pb pada sistem hemopoietik. Pb mempengaruhi sistem darah dengan cara:

a. memperlambat pematangan normal sel darah merah (eritrosit) dalam sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya anemia.

b. mempengaruhi kelangsungan hidup sel darah merah. Eritrosit yang diberi perlakuan dengan Pb, memperlihatkan peningkatan tekanan osmosis dan kelemahan pergerakan. Selain itu juga memperlihatkan penghambatan Na-K-ATP ase yang meningkatkan kehilangan kalium intraseluler. Hal ini membuktikan bahwa kejadian anemi karena keracunan Pb disertai dengan penyusutan waktu hidup eritrosit.

c. menghambat biosintesis hemoglobin dengan cara menghambat aktivitas enzim delta-ALAD dan enzim ferroketalase.


(35)

Proses kehidupan organisme merupakan rangkain proses fisiologis, maka dibutuhkan enzim-enzim untuk kelancaran rangkaian-rangkaian reaksi yang dibentuknya. Enzim adalah katalisator protein (zat yang mempercepat reaksi biokimia dalam sistem biologis). Pada umumnya semua reaksi biokimia dikatalisasi oleh enzim. Sifat enzim yang paling bermakna adalah kesanggupannya untuk mengkatalisis suatu reaksi spesifik, dan pada hakekatnya tidak mengkatalisis reaksi lain.

Keberadaan suatu zat racun dapat mempengaruhi aktifitas enzim fisiologis tubuh. Logam berat mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan enzim. Ikatan itu dapat terjadi karena logam berat mempunyai kemampuan untuk menggantikan gugus logam yang berfungsi sebagai ko-faktor enzim.

Enzim-enzim tertentu memiliki gugus sulfihidril (-SH) sebagai pusat aktifnya. Enzim-enzim yang mempunyai gugus sulfihidril ini merupakan kelompok enzim yang paling mudah terhalang daya kerjanya. Keadaan ini disebabkan gugus sulfihidril dengan mudah berikatan dengan ion-ion logam berat. Akibat dari ikatan yang dibentuk antara gugus sulfihidril dengan ion logam berat, daya kerja yang dimiliki oleh enzim menjadi sangat berkurang atau sama sekali tidak bekerja.

Pb mengganggu sistem sintesis Hb dengan cara menghambat konversi delta aminolevulinik acid dehidrase (delta ALAD) menjadi forfobilinogen dan menghambat korporasi dari Fe ke protoporfirin IX untuk membentuk Hb, dengan cara menghambat enzim delta ALAD dan feroketalase yang akhirnya meningkatkan ekskresi koproporfirin dalam urin dan delta ALA serta mensintesis Hb.

Kompensasi penurunan sintesis Hb karena terhambat Pb adalah peningkatan produksi erithrofoesis. Sel darah merah muda (retikulosit) dan sel stipel kemudian dibebaskan. Ditemukannya sel stipel basofil (basophilic stippling) merupakan gejala dari adanya gangguan metabolik dari pembentukan Hb. Hal ini terjadi karena adanya tanda-tanda keracunan Pb. Sel darah merah gagal untuk menjadi dewasa dan sel tersebut menyisakan organel yang biasanya menghilang pada proses kedewasaan sel, akhirnya poliribosoma ireguler pada agregat RNA membentuk sel stipel (Darmono 2008).


(36)

Risiko Pb pada sistem saraf.

Wahyu Widowati et al. (2008) menuliskan bahwa, sistem saraf merupakan sistem yang paling sensitif terhadap daya racun. Risiko dari keracunan Pb dapat menimbulkan kerusakan pada otak. Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan otak sebagai akibat dari keracunan Pb adalah epilepsi, halusinasi, kerusakan pada otak besar dan delirium, yaitu sejenis penyakit gula. Sistem saraf yang kena pengaruh Pb dengan konsentrasi dalam darah diatas 80 μg / 100 ml, dapat terjadi ensefalopati. Hal ini dapat dilihat melalui gejala seperti gangguan mental yang parah, kebutaan dan epilepsi dengan atrofi kortikal, atau dapat secara tidak langsung berkurangnya persepsi sensorik sehingga menyebabkan kurangnya kemampuan belajar, penurunan intelegensia (IQ), atau mengalami gangguan perilaku seperti sifat agresif, destruktif atau jahat. Kerusakan saraf motorik menyebabkan kelumpuhan saraf lanjutan dikenal dengan lead palsy. Keracunan kandungan Pb dapat merusak saraf mata pada anak-anak dan berakhir pada kebutaan. Centers for disease Control (CDC) menyatakan bahwa kandungan Pb

dalam darah 70 μg / 100 ml merupakan batas darurat medis akut pada pasien anak.

Selain itu, dapat menurunkan IQ pada anak kecil (manusia) jika terdapat 10-20 µ gr/l dalam darah.

Risiko Pb pada sistem ginjal.

Senyawa Pb yang terlarut dalam darah dibawa ke seluruh sistem tubuh. Sirkulasi darah masuk ke glomerolus merupakan bagian dari ginjal. Glomerolus merupakan tempat proses pemisahan akhir dari semua bahan yang dibawa darah. Pb yang terlarut dalam darah akan berpindah ke sistem urinaria (ginjal) sehingga dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada ginjal. Kerusakan terjadi karena terbentuknya intranuclear inclusion bodies disertai dengan gejala aminociduria, yaitu terjadinya kelebihan asam amino dalam urine. Nefropatis (kerusakan nefron pada ginjal) dapat di deteksi dari ketidak seimbangnya fungsi renal dan sering diikuti hipertensi (Darmono 2008).

Risiko Pb pada sistem gastrointestinal

Gejala awal muncul pada konsentrasi Pb dalam darah sekitar 80 μg / 100 ml. Gejala-gejala tersebut meliputi kurangnya nafsu makan, gangguan


(37)

pencernaaan, gangguan epigastrik setelah makan, sembelit dan diare. Jika kadar Pb dalam darah melebihi 100 μg / 100 ml, maka kecenderungan untuk munculnya gejala lebih parah lagi, yaitu bagian perut kolik terus menerus dan sembelit yang lebih parah. Jika gejala ini tidak segera ditangani, maka akan muncul kolik yang lebih spesifik. Konsentrasi Pb dalam darah diatas 150 μg / 100 ml penderita menderita nyeri dan melakukan reaksi kaki ditarik-tarik kearah perut secara terus menerus dan menggeretakkan gigi, diikuti keluarnya keringat pada kening. Jika tidak dilakukan penanganan lebih lanjut, maka kolik dapat terjadi selama beberapa hari, bahkan hingga satu minggu (Wahyu Widowati et al. 2008).

Risiko Pb pada sistem kardiovaskuler.

Tahap akut keracuan Pb khususnya pada pasien yang menderita kolik, tekanan darah akan naik. Jika terjadi hal demikian, maka pasien tersebut akan mengalami hipotonia. Kemungkinan kerusakan miokardial harus diperhatikan. Dalam penelitian ditemukan jenis kelainan perubahan elektrokardiografis pada 70 % dari total pasien yang ditangani. Temuan utama dari penelitian adalah

takhikardia, atrialdisritmia, gelombang T dan atau sudut QRS-T yang melebar secara tidak normal (Wahyu Widowati et al. 2008).

Risiko Pb pada sistem reproduksi dan endokrin.

Efek reproduktif meliputi berkurangnya tingkat kesuburan bagi wanita maupun pria yang terkontaminasi Pb, logam tersebut juga dapat melewati plasenta sehingga dapat menyebabkan kelainan pada janin. Dapat menimbulkan berat badan lahir rendah dan prematur. Pb juga dapat menyebabkan kelainan pada fungsi tiroid dengan mencegah masuknya iodine (Wahyu Widowati et al. 2008).

Risiko karsinogenik.

Wikipedia (2006) menyatakan bahwa Pb anorganik dan senyawanya termasuk dalam grup 2B, kemungkinan menyebabkan kanker pada manusia. Tahap awal proses terjadinya kanker adanya kerusakan DNA yang menyebabkan peningkatan lesi genetik herediter yang menetap atau disebut mutasi. Pb diperkirakan mempunyai sifat toksik pada gen sehingga dapat mempengaruhi terjadinya kerusakan DNA / mutasi gen dalam kultur sel mamalia. Patogenesis


(38)

kanker otak akibat terpapar Pb adalah sebagai berikut : Pb masuk kedalam darah melalui makanan dan akan tersimpan dalam organ tubuh yang mengakibatkan gangguan sintesis DNA, proliferensi sel yang membentuk nodul selanjutnya berkembang menjadi tumor ganas (Wahyu Widowati et al. 2008; Darmono, 2008).

Perilaku Pb Dalam Perairan

Kemungkinan terlepasnya logam berat dari sedimen ke air dan berakhir terakumulasi di dalam ikan sangatlah besar. Bryan (1976a) mengemukakan bahwa dalam keadaan yang sesuai, beberapa logam yang berikatan dengan sedimen dan partikel yang mengendap akan kembali kedalam air diikuti remobilisasi dan difusi keatas. Forstner (1979b) menyimpulkan bahwa proses pelepasan logam berat dari sedimen ke air menjadi lima proses, yakni :

1. Kepekatan garam yang tinggi. Pada kepekatan yang tinggi, kation alkali dan alkalin dapat bersaing untuk tempat penyerapan pada partikel padat, dengan cara mengganti ion-ion logam runutan yang telah diserap

2. Perubahan keadaan redoks. Penurunan potensial oksigen dalam sedimen dapat terjadi karena keadaan seperti eutrofikasi lanjutan. Hal ini mengakibatkan suatu perubahan dalam bentuk kimiawi logam dan dengan demikian perubahan dalam kelarutan air. Dalam keadaan reduksi, logam runutan dalam air interstisi terdapat berbagai (a) senyawa sulfida untuk Cd, Hg dan Pb ; (b) senyawa organic untuk Fe dan Ni ; (c) senyawa klorida untuk Mn ; dan (d) senyawa hidroksida untuk Cr. Dengan terbentuknya keadaan oksidasi kelarutan ion-ion logam dipengaruhui oleh perubahan yang tiba-tiba dari dari logam sulfide menjadi hidroksida karbonat, oksihidroksida, oksida atau silikat.

3. Perubahan pH. Reduksi pH mengarah pada penguraian karbonat dan hidroksida, begitu pula untuk meningkatkan desorpsi kation logam disebabkan persaingan dengan ion-ion hidrogen.

4. Kehadiran zat-zat pembentuk kompleks. Meningkatnya penggunaan zat-zat pembentuk kompleks yang alamiah dan buatan, dengan logam runutan


(39)

dapat membentuk kompleks logam yang stabil dan dapat larut yang diserap ke dalam partikel padat lain.

5. Transformasi biokimiawi. Hal ini dapat mengarah pada perpindahan logam dari sedimen ke dalam fase cair atau pengambilannya oleh makhluk hidup air dan kemudian dilepaskan melalui hasil dekomposisi.

Bryan (1976a) menambahkan, perbandingan antara pengambilan logam dari sumber makanan dengan penyerapan langsung melalui larutan, merupakan kepentingan dasar bagi makhluk hidup heterotrofik. Kejadiannya sangat terbatas, tetapi makanan dan pertikulat merupakan sumber akumulasi penting dan utama yang terjadi pada ikan.

Prosi (1979) berkesimpulan bahwa, faktor penentu yang berhubungan dengan pengambilan dan akumulasi logam berat oleh mahkluk hidup perairan, adalah sebagai berikut :

1. Ketersediaan logam secara biologi hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi, pada umumnya lebih ditentukan oleh perpindahan dari air dibandingkan dari makanan.

2. Makhluk hidup yang makan dengan cara menyaring, atau ikan penyaring diketahui mengakumulasi logam di dalam jaringannya dengan tingkat kandungan yang tinggi, tetapi memindahkan hanya sebagian kecil saja pada makhluk predator.

3. Sedimen dan detritus biasanya mengandung kepekatan logam tertinggi di dalam sistem yang tercemar dan hewan pemangsa sedimen dan detritus cendrung untuk mengakumulasi logam dalam kepekatan yang lebih tinggi dibandingkan hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi. 4. Jangka waktu hidup hewan pada tingkat trofik yang lebih tinggi

biasanya lebih besar dari pada makhluk hidup pada tingkat yang lebih rendah. Dengan demikian, penambahan yang berhubungan dengan umur dapat merupakan faktor yang nyata yang mempengaruhi tingkat penambahan logam pada tingkat trofik yang lebih tinggi.

5. Terjadi suatu pemilihan atas dasar kesukaan terhadap pengambilan dan pengeluaran berbagai logam berat dalam bentuk yang berbeda


(40)

Menurut Forstner (1979b), terdapat tiga proses mikrobial utama yang mempengaruhi pengangkutan logam dari sedimen ke air di lingkungan, yaitu :

1. Degradasi bahan-bahan organik menjadi senyawa yang berbobot molekulnya lebih rendah, yang lebih mampu membentuk senyawa dengan ion-ion logam.

2. Perubahan sifat lingkungan dan bentuk kimiawi logam oleh kegiatan metabolik, contoh : potensial oksidasi-reduksi dan keadaan pH. Perubahan senyawa anorganik menjadi bentuk organologam dengan cara proses oksidatif dan reduktif.

Kriteria Kolong

Menurut Cynthia Henny (2007), kolong umumnya dalam dan tanpa zona littotal yang dikelilingi oleh dinding batuan yang terjal/curam, tidak memiliki aliran masuk dan keluar. Batuan buangan, batuan dinding dan dasar kolong bekas penambangan sangat mempengaruhi geokimia air. Espana et al. (2008); Blodau (2006); Brahmana et al. (2004), menerangkan bahwa kolong bekas galian penambangan timah selalu dikaitkan dengan masalah kualitas air, seperti rendahnya pH, konsentrasi logam dan kandungan padatan tersuspensi dan padatan terlarut tinggi.

Tipe kolong sangat dipengaruhi oleh mineral pembentuknya. Meskipun dalam waktu lama proses alamiah (biologis/kimia) dapat mengubahnya. Dua macam tipe mineral penyusun kolong di Bangka yakni pyrite dan kaolin. Cynthia Henny (2007) juga mengkelompokkan kolong menjadi dua, yakni kolong muda dan kolong tua. Kolong muda memiliki ciri kandungan logam Fe, sulfat dan kandungan logam lain yang cukup tinggi, proses pemulihan secara alami lambat (>20 tahun), jenis sedimen kolong mineral kaolin kaya akan aluminum dan silika umumnya kisaran pH 4 dan jenis sedimen kolong mineral pirit kaya akan besi dan sulfat umumnya pH berkisar 2. Kolong tua (non aktifitas tambang), cirinya adalah proses pemulihan kualitas air secara alami telah terjadi, umunya berusia >20 tahun dan telah terbentuknya sistem ekosistem, kandungan logam masih tinggi tetapi lebih rendah dari kolong muda tipe Pirit, jenis sedimen mineral kaolin umumnya kisaran pH >6 dengan kandungan logam rendah dan sudah


(41)

dimanfaatkan dan jenis sedimen mineral pirit umumnya kisaran pH 4 dan masih terdapat kandungan beberapa logam dan belum banyak dimanfaatkan.

Hasil penelitian Brahmana et al. (2004); Blodau (2006); Espana et al.

(2008) dan Cynthia Henny (2009), untuk kolong muda (usia 0-20 th) kandungan Pb di airnya berkisar 0,13-0,422 mg/l dan disedimennya berkisar 32,5-90 mg/l. Sedangkan untuk kolong tua (usia > 20 th) kandungan Pb di airnya berkisar 0,01-0,031 mg/l dan disedimennya berkisar 24,5-66,5 mg/l.

Diversitas fitoplankton pada kolong tua cukup tinggi yang menandakan bahwa kolong cukup subur. Namun demikian, kolong umumnya mengandung logam lebih tinggi di bandingkan perairan umum, fitoplankton mengandung logam yang tinggi. Dominansi fitoplankton dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan diantaranya faktor fisika, kimia dan hidrologi (Darmono 1995b).

Kelimpahan dari fitoplankton yang rendah berhubungan dengan kondisi nutrien dan polutan yang terdapat pada kolom air. Fitoplankton di perairan merupakan produsen primer yang memegang peranan penting dalam kesinambungan rantai makanan untuk konsumen tingkat kedua dan ketiga (crustacea dan ikan). Nilai beberapa kualitas air seperti konsentrasi nutrien mempengaruhi variasi jenis dan kelimpahan fitoplankton. Nilai TSI (Trophic Status Index) berdasarkan perhitungan TSI Carlson dilihat dari kandungan TP, khlorofil-a dan kedalaman secchi, menunjukkan bahwa kondisi status trophik kolong berkisar dari mesotrophik, eutrophik ringan, eutrophik sedang sampai dengan hypereutrophik (Mason 1993).

Kolong Grasi tergolong kolong tua (usia kolong >30) dengan titik koordinat S01052.464’;E106007.005’, terletak di Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Telah tersuksesi tumbuhan air dan sistem ekosistem telah terbentuk. Lokasi ini merupakan lokasi yang direncanakan untuk pengembangan perikanan budidaya air tawar terpadu oleh Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Berdasarkan hasil penelitian Cynthia Henny dan Evi Susanti 2009 di kolong Grasi, jenis fitoplankton yang ditemukan yaitu Chlorophyceae (Staurastrum, Cosmarium, Scenedesmus), Dinophyceae (Trachellomonas), Bacillariophyceae (Urosolenia longiseta) dan Euglonophyceace. Persentase kelimpahan 91,4% di bulan Mei dan 62,0% di bulan


(1)

74

Wardoyo SE, W Ismail. 1998. Aspek Físika Kimia Dan Biologi Kolong-Kolong Di Pulau Bangka Untuk Perikanan. Journal Penelitian Indonesia. Vol 42: 75-85.

Wetzel R G. 1983. Limnology. Philadelphia: W.B. Sounders Company.

WHO. 1992. Water Quality Assessments. Edited by Chapman, D. Chapman. London: Hall Ltd..

Wike, Endang B, Umroh. 2009. Pengendalian Logam Berat (Pb, Cu dan Zn) di Kolong Bekas Penambangan Timah Menggunakan Tanaman Air Purun dengan Metode Fitoremidiasi. Akuatik. Vol 4: 7-9.

Wikipedia. 2006. Lead, the free enciclopedia. http://en.wikipedia.org. [7 Juli 2006]. [16 Juli 2011]

Wilson R C H. 1988. Prediction of Copper Toxicity in Receiving Waters. London: Board Can: J. Fish Resh.

Wittmann. 1979. Toxic Metal. Berlin: Springer Verlag.

Zonneveld N, Huisman E A, J H Boon. 1991. Prinsip-prinsip Budidaya Ikan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bangka pada tanggal 2 Januari 1983 dari ayah Alimdin dan ibu Faridah. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sungailiat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Sriwijaya. Penulis memilih jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Fisika kimia Perairan dan Limnologi pada tahun ajaran 2003-2004.


(3)

iii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2011-Februari 2012 ini ialah logam berat, dengan judul Analisis Bioakumulasi Timbal (Pb) Pada Ikan Nila Merah (Oreochromis nilotica) dan Patin Jambal (Pangasius djambal) Yang Dibudidayakan di Kolong Tua Pasca Tambang Timah Bangka Belitung.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc dan Bapak Prof. Dr.Ir. Enang Harris, M.S selaku pembimbing dan telah banyak memberikan saran. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri dan anak-anak serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayang.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2012

Robin


(4)

72

Lampiran 1. Mekanisme masuknya logam berat kedalam tubuh dan organ ikan.

ABSORPSI PENYIMPANAN EKSKRESI

Insang

Mulut/ Makanan

Saluran Cerna

Daging Jaringan

Tulang Darah Hati Kulit Ginjal Usus Besar Buangan metabolisme Urine Feses Permukaan Tubuh


(5)

73


(6)

74

Lampiran 3. Kandungan lemak daging ikan nila merah dan patin jambal yang dipelihara di kolong tua pasca tambang timah.

Dalam bobot basah (%)

Jenis Ikan Bulan Januari 2012 Bulan Februari 2012

Lemak (%/100 gr)

Kadar Air (%/100 gr)

Lemak (%/100 gr)

Kadar Air (%/100 gr)

Patin 12.53 76.71 8.88 79.24

Nila 2.87 74.21 2.11 76.00