Gambaran Penggunaan Uji Serologis IgM dan IgG Serta Antigen NS1 Untuk Diagnosis Pasien Demam Berdarah Dengue di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2012

(1)

Gambaran Penggunaan Uji Serologis Ig M dan Ig G Serta

Antigen NS1 Untuk Diagnosis Pasien Demam Berdarah

Dengue di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2012

Oleh:

CARLOS JONATHAN

100100116

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

Gambaran Penggunaan Uji Serologis Ig M dan Ig G Serta

Antigen NS1 Untuk Diagnosis Pasien Demam Berdarah

Dengue di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2012

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

CARLOS JONATHAN

100100116

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Gambaran Penggunaan Uji Serologis IgM dan IgG Serta Antigen NS1 Untuk Diagnosis Pasien Demam Berdarah Dengue di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2012

Nama : Carlos Jonathan Tampubolon NIM : 100100116

Pembimbing Penguji 1

(dr. DewiSaputri, MKT) (dr. Flora M. Lubis Sp. KK) NIP : 19760808 200212 2 003 NIP : 19770323 200912 2 002

Penguji 2

(dr. T. Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K))

NIP : 19510428 197802 2 001

Medan, Desember 2013 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof.dr.Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP. 19540220 198011 1 001


(4)

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit akibat infeksi virus dengan vector nyamuk yang paling umum bagi manusia. Penderita DBD di Provinsi Sumatera Utara merupakan terbanyak ke 3 di Indonesia dengan angka kematian yang cukup tinggi.Untuk menekan angka mortalitas dan morbiditas diperlukan sebuah metode diagnosis yang cepat dan efisien, diantaranya adalah penggunaan uji serologis IgG + IgM dan uji antigen NS1 sebagai tambahan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penggunaan uji serologis IgG dan IgM serta uji antigen NS1 untuk mendiagnosa pasien demam berdarah dengue di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dan obserfasiretrospektif dengan pendekatan cross-sectional dan sample diambil dari rekam medis pasien. Data yang diambil dari tiap pasien adalah dari pemeriksaan yang pertama kali dilakukan pada saat masuk rumah sakit dengan jumlah sampel sebanyak 156 sampel.

Dari hasil penelitian ini ditemukan sebagian besar sampe adalah wanita (56.4%), sampel terbanyak berumur 11-20 tahun (22.9%), sampel terbanyak melakukan pemeriksaan di demam hari ke 4 (27.6%). Sensitivitas dan spesitisitas RDT IgG+IgM 45.55% dan 90.9%, RDT NS1 71.43% dan 100%, RDT IgG+IgM+NS1 51.11% dan 92.43%.

Uji NS1 terbukti diperlukan dalam mendiagnosa DBD khususnya ketika digunakan bersama uji IgG +IgM. Setiap rumah sakit dapat mempertimbangkan untuk menggunakan gabungan uji tersebut untuk mendiagnosa pasien DBD lebih sering.


(5)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is the most common human mosquito-borne viral disease. Province of North Sumatera is number 3 due to number of infection in Indonesia with high mortality rate. In response to decrease mortality and morbidity rate, good diagnostic methods are needed. One of them is using combine of IgG and IgM serologic test also NS1 antigen test as a additional test.

Aim of this research is to determinate characteristic IgG and IgM serologic test with NS1 antigen test to diagnose DHF patient in RSUP Haji Adam Malik in 2012. This research use retrospective observational descriptive method with cross sectional approach and samples were taken from medical records of patients admitted to adult dengue infection in RSUP Haji Adam Malik. Number of sample is 156 people. The data is data from the first time patient approach in hospital.

Results from this research found that 56.4 sample are woman, 22.9% sample are 11-20 years old, and 27.6% sample come after 4 days if fever. The sensitivity and specificity of IgG+IgM test are 45.55% and 90.9%; NS1 test 71.43% and 100%; IgG+IgM+NS1 test 51.11% and 92.43%.

Conclusions : NS1 test is need to be used in diagnose of DHF especially when used together with IgG+IgM test. Every hospital should consider in using this test to diagnose DFH patient.


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat, rahmat, dan penyertaan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program pendidikan dokter dan memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Judul Karya Tulis Ilmiah ini adalah“Gambaran Penggunaan Uji Serologis IgM dan IgG Serta Antigen NS1 Untuk Diagnosis Pasien Demam Berdarah Dengue di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2012”

Dalam menulis karya tulis ilmiah ini, penulis telah memperoleh bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti program studi Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. dr. Dewi Saputri, MKT selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Orang tua penulis, Martua Hasoloan Tampubolon, dan Esther L. Tobing yang telah memberikan doa, motivasi baik secara moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

5. Teman penulis, Citra Mega Kharisma dan Nia Sutanto yang telah memberi motivasi dan bantuannya dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.


(7)

6. Teman-teman dan pihak-pihak yang telah banyak memberikan masukan dan bantuan dalam pembuatan karya tulis ilmiah ini.

Semoga karya tulis ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Definisi DBD ... 4

2.2 Epidemiologi DBD ... 4

2.3 Etiologi DBD ... 6

2.4 Struktur Virus DBD ... 7

2.5 Vektor Virus Dengue ... 9

2.6 Respon Imun ... 10

2.7 Patogenesis DBD ... 11

2.8 Gejala Klinis ... 16

2.9 Diagnosis DBD ... 19


(9)

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 31

3.1 Kerangka Konsep ... 31

3.2 Definisi Operasional ... 32

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 34

4.1 Jenis Penelitian ... 34

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 34

4.2.1 Waktu Penelitian ... 34

4.2.2 Tempat Penelitian ... 34

4.3 Populasi dan Sampel ... 34

4.3.1 Populasi Penelitian ... 34

4.3.2 Sampel Penelitian ... 35

4.4 Metode Pengumpulan Data ... 35

4.5 Alur Kerja ... 35

4.6 Metode Pengolahan dan Analisa Data ... 35

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

5.1 Hasil Penelitian ... 36

5.1.1 Deskripsi lokasi penelitian ... 36

5.1.2 Deskripsi karakteristik umum sampel ... 36

5.1.3 Distribusi gambaran hasil pemeriksaan laboratorium ... 38

pada sampel dengan diagnosis akhir DBD 5.1.4 Distribusi gambaran hasil pemeriksaan serologis dan antigen ... 40

5.1.5 Gambaran sensitifitas dan spesitisitas dari uji diagnostik DBD ... 42


(10)

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 6.1 Kesimpulan ... 45

6.2 Saran... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Klasifikasi derajat penyakit infeksi Virus Dengue 21 Tabel 2.2 Sensitivitas dari 2 tes kit NS1 terhadap tiap jenis

serotipe Virus Dengue, diambil pada hari ke 5 setelah munculnya tanda infeksi

27

Tabel 2.3 Perbandingan beberapa jenis uji laboratorium DBD 30

Tabel 3.1 Definisi operasional 32

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin

36

Tabel 5.2 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan umur 37 Tabel 5.3 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan lama

demam

37

Tabel 5.4 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan diagnosis akhir

38

Tabel 5.5 Gambaran hasil pemeriksaan jumlah leukosit pada sampel dengan diagnosis akhir DBD

38

Tabel 5.6 Gambaran hasil pemeriksaan kadar hematokrit pada sampel dengan diagnosis akhir DBD

39

Tabel 5.7 Gambaran hasil pemeriksaan jumlah trombosit pada sampel dengan diagnosis akhir DBD

39

Tabel 5.8 Gambaran hasil pemeriksaan RDT IgG 40

Tabel 5.9 Gambaran hasil pemeriksaan RDT IgM 40


(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Negara dan daerah yang berisiko DBD 5 Gambar 2.2 Grafik kasus DBD per provinsi di Indonesia Tahun 2011 6

Gambar 2.3 Struktur flavivirus 7

Gambar 2.4 Genom dan susunan gen Flavivirus 8

Gambar 2.5 Reaksi imun pada infeksi Virus Dengue 11 Gambar 2.6 Patogenesis terjadinya syok pada DBD 12 Gambar 2.7 Peranan mast cell terhadap terjadinya DHF/DSS 13 Gambar 2.8 Karakteristik penyakit Demam Dengue 19 Gambar 2.9 Kriteria WHO untuk klasifikasi pasien DD 22 Gambar 2.10 Pemeriksaan laboratorium berdasarkan onset of symptoms 25 Gambar 2.11 Hubungan terbalik antara accessibility dengan confidence

uji laboratorium DBD

26

Gambar 3.1 Kerangka Konsep 31


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Data Induk

Lampiran 3 Output SPSS


(14)

ABSTRAK

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit akibat infeksi virus dengan vector nyamuk yang paling umum bagi manusia. Penderita DBD di Provinsi Sumatera Utara merupakan terbanyak ke 3 di Indonesia dengan angka kematian yang cukup tinggi.Untuk menekan angka mortalitas dan morbiditas diperlukan sebuah metode diagnosis yang cepat dan efisien, diantaranya adalah penggunaan uji serologis IgG + IgM dan uji antigen NS1 sebagai tambahan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran penggunaan uji serologis IgG dan IgM serta uji antigen NS1 untuk mendiagnosa pasien demam berdarah dengue di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dan obserfasiretrospektif dengan pendekatan cross-sectional dan sample diambil dari rekam medis pasien. Data yang diambil dari tiap pasien adalah dari pemeriksaan yang pertama kali dilakukan pada saat masuk rumah sakit dengan jumlah sampel sebanyak 156 sampel.

Dari hasil penelitian ini ditemukan sebagian besar sampe adalah wanita (56.4%), sampel terbanyak berumur 11-20 tahun (22.9%), sampel terbanyak melakukan pemeriksaan di demam hari ke 4 (27.6%). Sensitivitas dan spesitisitas RDT IgG+IgM 45.55% dan 90.9%, RDT NS1 71.43% dan 100%, RDT IgG+IgM+NS1 51.11% dan 92.43%.

Uji NS1 terbukti diperlukan dalam mendiagnosa DBD khususnya ketika digunakan bersama uji IgG +IgM. Setiap rumah sakit dapat mempertimbangkan untuk menggunakan gabungan uji tersebut untuk mendiagnosa pasien DBD lebih sering.


(15)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is the most common human mosquito-borne viral disease. Province of North Sumatera is number 3 due to number of infection in Indonesia with high mortality rate. In response to decrease mortality and morbidity rate, good diagnostic methods are needed. One of them is using combine of IgG and IgM serologic test also NS1 antigen test as a additional test.

Aim of this research is to determinate characteristic IgG and IgM serologic test with NS1 antigen test to diagnose DHF patient in RSUP Haji Adam Malik in 2012. This research use retrospective observational descriptive method with cross sectional approach and samples were taken from medical records of patients admitted to adult dengue infection in RSUP Haji Adam Malik. Number of sample is 156 people. The data is data from the first time patient approach in hospital.

Results from this research found that 56.4 sample are woman, 22.9% sample are 11-20 years old, and 27.6% sample come after 4 days if fever. The sensitivity and specificity of IgG+IgM test are 45.55% and 90.9%; NS1 test 71.43% and 100%; IgG+IgM+NS1 test 51.11% and 92.43%.

Conclusions : NS1 test is need to be used in diagnose of DHF especially when used together with IgG+IgM test. Every hospital should consider in using this test to diagnose DFH patient.


(16)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit akibat infeksi virus dengan vektor nyamuk yang paling umum bagi manusia yang dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi perhatian kesehatan publik internasional. Penyakit ini dapat ditemukan di hampir seluruh belahan bumi dimana nyamuk sebagai vektor penyakit ini dapat hidup khususnya di daerah tropis dimana curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun. Pada tahun 2012 WHO mencatat terdapat lebih dari 100 negara yang menjadi endemik DBD dengan 50 – 100 juta pasien baru setiap tahun di seluruh dunia. Lebih dari 2,5 miliar atau setara dengan 40% penduduk dunia berpotensi untuk terkena penyakit ini dan sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk penyakit ini (Depkes RI, 2004; WHO, 2012).

Indonesia merupakan wilayah endemis DBD dengan sebaran di seluruh wilayah Indonesia. Insidensi DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 kasus per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa tahun 1998 dengan insidensi hingga 35 per 100.000 penduduk, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun mencapai 2% tahun 1999. Di Indonesia, dimana lebih dari 35% populasi negara tinggal di daerah perkotaan, terdapat 150.000 kasus pada tahun 2007 dimana 25.000 kasus di Jakarta dan Jawa Barat. Tingkat kematian DBD sebesar 1% (Suhendro et al, 2009).

Sampai saat ini, DBD masih menjadi penyakit dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Pada tahun 2011 terdapat 49.868 kasus DBD dengan tingkat mortalitas / Case Fatality Rate (CSR) mencapai 0,81% dan Incidence Rate (IR) sebesar 20,83/100.000 penduduk. Nilai ini menurun dari tahun 2010 dengan 148.560 kasus, CSR : 0,87%, dan IR sebesar 65,70/100.000 penduduk. Walaupun dengan penurunan jumlah kasus yang cukup besar (66,43%), CSR dari DBD belum menunjukkan penurunan yang signifikan (Depkes RI, 2011).


(17)

Sumatera Utara merupakan daerah endemis DBD , tahun 2010 kasus DBD di Sumut mencapai 8.889 penderita dengan korban meninggal sebanyak 87 jiwa (Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2012). Tahun 2011 Provinsi Sumatera Utara menempati peringkat nomor 3 di Indonesia untuk kasus DBD dengan jumlah kasus sebesar 2.066 dan Incidence Rate (IR) sebesar 15,88% (Depkes RI, 2011).

Pemeriksaan laboratorium sampai sekarang masih menjadi lini depan dalam penegakan diagnosis DBD. Pada akhir fase akut infeksi Virus Dengue, serologi adalah metode pilihan dalam penegakan diagnosis. Sayangnya sampai saat ini penggunaan tes serologis pada pasien curiga DBD belum begitu luas. Harga yang cukup mahal serta perlengkapan yang tidak memadai adalah faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Padahal dengan menggunakan tes serologis antibodi IgM dan IgG kita dapat menentukan apakah seseorang terkena infeksi dengue primer atau sekunder. Infeksi sekunder adalah salah satu faktor resiko terjadinya Dengue Shock Syndrome (DSS) yang sangat berbahaya (Guzman et al, 2004). Sedangkan dengan menggunakan uji NS1 kita dapat mengetahui infeksi DBD dari hari pertama munculnya sindrom. Dengan menggunakan gabungan keduanya, tingkat diagnosis DBD tentu lebih baik lagi (Depkes RI, 2010)

Berdasarkan WHO Global Strategy For Dengue Prevention And Control

untuk tahun 2012-2020, rumah sakit umum pusat diharapkan mengadakan pemeriksaan serologis dan uji antigen misalnya NS1 sebagai uji diagnosis bagi pasien DBD baik uji rapid test maupun uji ELISA. Sedangkan di Indonesia sendiri menurut “Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di Indonesia” diagnosis untuk pasien DBD sudah bisa ditegakkan dengan uji ELISA saja namun uji NS1 belum disebut sebagai salah satu pemeriksaan utama dalam penegakan diagnosis DBD.

Banyaknya jurnal yang mengatakan tentang pentingnya penggunaan uji IgG IgM dan NS1 sebagai uji diagnosis utama dalam penegakan diagnosis DBD maka peneliti ingin melihat gambaran penggunaan uji serologis IgG IgM dan NS1 untuk mendiagnosa DBD di Sumatera Utara


(18)

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran penggunaan uji serologis IgG dan IgM serta uji antigen NS1 untuk mendiagnosa pasien demam berdarah dengue di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik pada tahun 2012?

1.3.Tujuan Penelitian A. Tujuan Umum

Mengetahui gambaran penggunaan uji serologis IgG dan IgM serta uji antigen NS1 untuk mendiagnosa pasien demam berdarah dengue di RSUP Haji Adam Malik pada tahun 2012.

B. Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran karakteristik jenis kelamin (Tabel 5.1), umur (Tabel 5.2) dan lama hari demam saat pengujian laboratorium (Tabel 5.3) pada pasien DBD

2. Mendapatkan gambaran penggunaan uji antibodi IgG (Tabel 5.8) dan IgM ( Tabel 5.9) pada pasien DBD

3. Mendapatkan gambaran penggunaan uji antigen NS1(Tabel 5.10) pada pasien DBD

4. Mendapat persentase hasil uji antibodi IgG dan IgM dan antigen NS1 pada pasien DBD (Tabel 5.11)

1.4.Manfaat Penelitian

A. Hasil penelitian dapat digunakan untuk menilai penggunaan pemeriksaan serologis sebagai uji diagnosis di RSUP HAM pada tahun 2012

B. Hasil penelitian dapat digunakan pihak rumah sakit untuk mempertimbangkan penggunaan uji serologis dalam diagnostik pasien DBD


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi DBD

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Virus Dengue serotipe I, II, III, IV (Soegijanto 2003). DBD merupakan kondisi lanjutan dari DD dimana terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sedangkan kondisi paling berat dari DBD adalah Sindrom Syok Dengue (SSD) yaitu DBD yang ditandai oleh syok (Suhendro et al, 2009).

2.2 Epidemiologi DBD

Demam Dengue merupakan penyakit infeksi virus yang paling cepat penyebarannya di dunia. Dalam 50 tahun terakhir insidensinya meningkat 30 kali dan disertai ekspansi ke negara-negara baru. Pada dekade sekarang, penyebarannya berubah dari urban ke rural (WHO, 2009).

World Health Assembly (WHA) tahun 2002 menghasilkan resolusi WHA55.17 yang isinya supaya WHO dan semua negara anggotanya lebih meningkatkan komitmennya dalam melawan dengue. Sementara itu pada resolusi WHA58.3 pada pertemuan WHA tahun 2005 merevisi International Health Regulation (IHR) yang memasukkan dengue sebagai contoh penyakit yang mungkin merupakan keadaan darurat kesehatan publik internasional yang berimplikasi pada keamanan kesehatan akibat gangguan dan epidemi yang cepat menyebar ke luar perbatasan negara (WHO, 2009).

Beban terberat dalam mengatasi DBD ada pada negara – negara di Asia Pasifik. Dari 2.5 miliar orang yang berisiko di seluruh dunia, 1.8 miliar atau lebih dari 70% nya berada di negara Asia Pasifik. Penyebarannya yang cepat ke negara-negara yang sebelumnya tidak terinfeksi serta peningkatan kejadian outbreak adalah masalah yang dihadapi. Angka kematian juga tinggi pada saat kejadian outbreak atau epidemik. Anak-anak umumnya berisiko tinggi dalam kematian akibat komplikasi


(20)

dan kurangnya akses ke pengobatan yang memadai. Hal ini semakin diperberat dengan perkembangan daerah urban yang tidak terencana, jeleknya penyimpanan air dan kondisi sanitasi yang belum memadai di negara-negara Asia Pasifik. Kondisi tersebut dapat meningkatkan jumlah vektor utama Virus Dengue yaitu nyamuk Aedes aegypti. Dengan meningkatnya jumlah vektor dan meningkatnya kepadatan penduduk, kemungkinan untuk penularan Virus Dengue juga semakin besar (WHO-SEARO, 2008).

Gambar 2.1 Negara dan daerah yang berisiko DBD (WHO, 2009)

Di Indonesia sendiri kasus Demam Dengue (DD) sudah ditemukan sejak abad ke – 18 namun lebih dikenal dengan nama demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang- adang disebut juga sebagai demam sendi. Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Umumnya gejala bersifat ringan dan hilang dengan sendirinya tetapi sejak tahun 1952 ditemukan DD dengan gejala berat disebut juga Demam Berdarah Dengue (DBD) di Manila, Filipina. Sejak saat itu DBD mulai ditemukan muncul di beberapa wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia (Depkes 2010).


(21)

Gambar 2.2 Grafik kasus DBD per provinsi di Indonesia Tahun 2011 (Depkes RI, 2011)

2.3 Etiologi

Virus Dengue termasuk kelompok B Arboviroses yaitu jenis virus yang ditularkan oleh arthropoda. Virus Dengue sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae (Depkes RI, 2010). Karena merupakan family Flaviviridae maka harus dibedakan dengan demam yang disebabkan virus Japanese Enchephalitis dan

Yellow Fever (demam kuning) (Soegijanto, 2003). DBD ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi Virus Dengue (Depkes RI, 2010).

2.4 Struktur Virus Dengue (DENV)

Virus Dengue (DEN) adalah sebuah virus RNA berantai tunggal kecil dengan diameter 30nm dengan berat molekul 4x106yang memiliki 4 strain (DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4) (Suhendro et al, 2009; WHO, 2012). Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang


(22)

terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut (Depkes RI, 2010).

Meskipun keempat serotip Virus Dengue berbeda antigennya, terdapat bukti bahwa mungkin ada serologis subkomplek dalam grup Virus Dengue. Misalnya, ditemukan adanya hubungan genetik yg dekat antara DEN 1 dan DEN 3 dengan menggunakan pemeriksaan hybrid antara sequence homology dan complementary deoxyribonucleic acid (cDNA). Dan secara mengejutkan, DEN 2 menunjukkan adanya sequence yang homolog dengan Edge Hill virus, sebuah flavivirus khas Australia, sebesar 71% (Gubler, D.J., 2001).

Gambar 2.3. Struktur flavivirus (Gubler, D.J., 2001)

Virion Virus DEN tersusun oleh suatu untaian genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsip, ditutupi oleh suatu envelope (selubung) dari lipid yang mengandung 2 protein, yaitu selubung protein (E) dan membran protein (M). Genomnya sendiri mengkode 3 protein struktural yaitu kapsid (C), membran (M) dan selubung (E) serta 7 protein nonstruktural, yaitu NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, NS5 (Soegijanto, 2003).


(23)

Diperkirakan bahwa Virus Dengue dan flavivirus lainnya menginfeksi sel dengan menempel pada reseptor selular melalui protein selubung (E), meskipun protein reseptor spesifik belum diidentifikasi (Gubler, D.J., 2001). Selain untuk infeksi, protein selubung juga berguna untuk hemaglutisasi sel darah, menginduksi respon imun positif, fusi membrane dan pembentukan virion (Guzman et al, 2004).

Gambar 2.4 Genom dan susunan gen Flavivirus (Gubler, D.J., 2001)

Sementara itu NS1 adalah protein nonstruktur 1, merupakan glukoprotein yang berfungsi dalam siklus kehidupan virus yang belum jelas diketahui. NS1 dideteksi dengan kadar yang tinggi pada penderita infeksi Virus Dengue dengan reaksi imun sekunder, tetapi jarang dijumpai pada penderita yang menunjukkan reaksi imun primer (Soegijanto, 2009). Diakui adanya NS1 pada perrmukaan sel di sel endoltel dihipotesiskan sebagai mekanisme kebocoran pembuluh darah yang terjadi selama infeksi Virus Dengue yang parah. Namun, tetap tidak jelas bagaimana hubungan NS1 dengan membran plasma, sebagaimana membrane plasma tidak mengandung motif sequence yang membrane-spanning (Avirutnan, 2007).

Menurut Avirutnan (2007), protein NS1 Virus Dengue mengikat langsung ke permukaan banyak jenis sel epitel dan mesenchymal tetapi menempel dengan buruk


(24)

terhadap sebagian besar sel sel darah perifer. Selain itu, DENV NS1 lebih suka berikatan dengan kultur dari mikrovaskuler manusia dibandingkan dengan aorta atau sel endotel pada vena tali pusar. Perbedaan pengikatan NS1 yang larut pada jaringan endotel dan diikuti oleh pengenalan oleh anti-NS1 antibodi dapat berkontribusi pada sindrom kebocoran vaskular yang terjadi selama infeksi Virus Dengue yang parah.

NS2 memiliki 2 protein (NS2A dan NS2B) yang berperan pada proses poloprotein sedangkan NS3 memiliki sebagian proteinase yang berfungsi sebagai sitosol. Gen NS4 memiliki 2 protein hidrofobik yang berperan pada kompleks replikasi membran RNA. NS5 memiliki berat molekul 105.000 dan merupakan petanda protein Flavivirus. Berdasarkan sequence asam amino, protein ini dapat dipercaya untuk mewujudkan RNA Encoded virus yang tergantung pada polymerase

RNA (Soegijanto, 2009).

2.5 Vektor Virus Dengue

Vektor utama dari Virus Dengue adalah nyamuk Aedes sp. terutama Aedes aegypti. Nyamuk ini tersebar di seluruh daerah tropis mulai dari 35o lintang utara sampai 35o lintang selatan dan jarang ditemukan di daerah dengan ketinggian di atas 1000m. Fase imaturnya dapat ditemukan di tempat-tempat dengan genangan air. Beberapa penelitian mengatakan bahwa nyamuk betina menghabiskan hidupnya di tempat dia beranjak dewasa. Telurnya dapat bertahan beberapa bulan tanpa air (Depkes, 2010).

Selain Aedes aegypti ada juga beberapa jenis nyamuk lainnya yang dapat menjadi vektor dari Virus Dengue yaitu Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies Aedes scutellaris complex. Namun tidak seperti Aedes aegypti, spesies nyamuk yang lain umumnya mempunyai ekologi, cara hidup yang khas dan hidup pada daerah tertentu saja. (CDC, 2012)


(25)

2.6 Respon Imun

Menurut Rothman (2010), berikut ini adalah respon imun yang terjadi dari mulai masuknya Virus Dengue ke dalam darah.

a| Alur hidup dan sumber antigen. Virion-virion dengue berikatan ke reseptor di permukaan sel, dan virion tersebut masuk melalui proses endositosis. Pengasaman vesikel endosit menyebabkan pembentukan kembali glikoprotein permukaan kapsul (E), penggabungan antara virus dan membrane vesikel dan pelepasan RNA virus ke sitoplasma. Genom RNA dari virus kemudian di translasikan untuk memproduksi protein virus di struktur membrane dari endoplasmic reticulum (ER), kemudian protein dan RNA virus yang baru dibentuk disatukan menjadi virion yang immature di lumen ER. Pemotongan prekusor membran (pre-M) virus oleh enzim furin sel induk mengarah kepada pembentukan virion yang mature, yang kemudian disekresikan dari sell. Pada saat yang sama beberapa non-structural protein 1 (NS1) virus yang sudah disintesis diekpresikan ke membran plasma sel induk dan sebagian disekresikan dan sebagian virion juga disekresikan dalam bentuk immature.

Virion yang mature maupun immature menginduksi respon antibodi ke protein E, dan antibody ini dapat berfungsi dalam meneutralisasi atau dalam infeksi yang antibody-dependent. Virion yang immature juga menginduksi respon antibodi terhadap protein pre-M. Antibodi spesifik untuk NS1 dapat bereaksi dengan membran yang berikatan dengan NS1, menyebabkan complement-dependent lysis dari sel induk.

b| Struktur glikoprotein E Virus Dengue dan karakteristik dari antibody spesifik-protein E. 3 domain dari spesifik-protein E diwarnai dengan merah (domain I), kuning (domain II) dan biru (domain III)


(26)

Gambar 2.5 Reaksi imun pada infeksi Virus Dengue (Rothman, 2010)

c| Mekanisme neutralisasi dan pelekatan oleh antibody yang spesifik Virus Dengue. Pada akupasi epitop tingkat tinggi, antibodi dapat memblok ikatan virus dengan reseptor sel induk atau memblok penyatuan virion pada tahan setelah pengikatan. Pada akupasi epitop tingkat rendah, antibody dapat menyebabkan masuknya kembali virion kedalam sel melalui interaksi dengan reseptor immunoglobulin (Fc).

2.7 Patogenesis DBD

Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis

immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe Virus Dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.


(27)

Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag (Sohendro, 2009).

Gambar 2.6 Patogenesis terjadinya syok pada DBD (Depkes RI, 2010)

Menurut hipotesis infeksi sekunder (gambar 2.6), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe Virus Dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena terjadi di sel limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi Virus Dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktifasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti


(28)

dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (Depkes RI, 2010).

Gambar 2.7 Peranan mast cell terhadap terjadinya DHF/DSS (Saint John et al, 2013)

Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah : a) respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi antibodi. Antibodi terhadap Virus Dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE); b)limfosit T baik T-helper (CD4) dan T-sitotoksik (CD8) berperan dalam respon imun seluler terhadap Virus


(29)

Dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10; c)monosit dan makrofag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag; d).selain itu aktifasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a (Complement 3a) dan C5a (Complement 5a) (Sohendro, 2009).

Menurut Martina (2009), terdapat beberapa factor-faktor terlarut dalam darah yang berperan dalam munculnya DBD/SSD, yaitu :

a. Trombin : mengubah fibrinogen di sirkulasi menjadi fibrin dan memicu aktivasi platelet, yang menyebabkan agregasi platelet. Trombin mengaktifasi

endothelial cell (EC) untuk meningkatkan permibialitasnya, menyebabkan kebocoran plasma dan pembentukan edema. Trombin adalah kemotaktik untuk monosit dan juga mitogenik untuk limfosit dan sel-sel mesenkim. Platelet aktif melepaskan beberapa faktor soluble dengan aktifitas inflamasi, antimikroba dan modulasi imun, misalnya

Matrix metalloproteinase 9 (MMP-9), yang meningktakan permeable EC. Platelet aktif juga melepaskan CD40 ligand terlarut, yang bisa memicu EC untuk memproduksi beberapa jenis oksigen reaktif, molekus adhesi, kemokin, dan Tissue Factor (TF). Trombin juga menghambat produksi IL-12 oleh sel mononuclear.

b. C3a dan C5a : C3a mengkativasi platelet dan meningkatkan aktivasi dan sifat adhesinya. C5a meningkatkan pembentukan trombosit darah dengan upregulasi TF dan ekspresi plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) di berbagai tipe sel. C5a menstimulasi monosit untuk memproduksi IL-1, IL-6, IL-8, dan TNF-α. Aktifasi dari komplemen-komplemen itu meningkatkan thrombin, yang membelah C3 dan C5 menjadi C3a/b dan C5a/b secara perlahan. Platelet aktif juga ikut dalam pembelahan C3, yang menginduksi aktifasi pathway komplemen klasik.

c. C4b : menginhibisi sifat koagulan dari protein C-protein S-complexes yang terktifasi.


(30)

d. IL-1 (Interleukin-1) : adalah mediator utama dari aktifasi EC oleh platelet, menyebabkan peningkatan pelepasan kemokin dan upregulasi dari soluble vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1). VCAM-1 membantu adhesi dari monosit ke

endotel. IL-1 meningkatkan ekspresi dari TF di EC dan menekan aktifitas koagulan permukaan sel EC. Bergantung pada konsentrasinya, dia mungkin menyebabkan upregulasi produksi TNF – α atau downrelugasi TNF-receptor. IL-1 menstimulasi hipotalamus dan sebagai lanjutannya, kelenjar pituitary untuk memproduksi mediator antiinflamasi seperti endorphin, melanocyte-stimulating hormone dan hormone adrenokortitropik.

e. IL-6 (Interleukin-6) : Bersama-sama dengan sitokin proinflamasi lainnya, IL-6 mempotensialkan kaskade koagulasi. Dia dapat menyebabkan down regulasi produksi TNF-α dan reseptor TNF. IL-6, bersama dengan IL-1 adalah pemicu poten dari demam.

f. IL-8 (Interleukin-8) : IL-8 adalah kemokin yang banyak diproduksi oleh monosit, EC dan hepatosit. Kerusakan pada EC di hepar dapat meningkatkan konsentrasi sitemiknya, Aktifasi sistem koagulan adalah akibat dari meningkatnya ekpresi EL-6 dan IL-8 oleh monosit, sementara pathway antikoagulan APC-PS downregulasi produksi IL-8 oleh EC.

g. IL-10 (Interleukin-10) : IL-10 diproduksi oleh monosit dan diregulasi oleh sel T helper dan dapat menyebabkan platelet membusuk. Trombin dapat menstimulasi produksi IL-10 oleh monosit. Sitokin menyebabkan dwonregulasi respon inflamasi dan membentuk proviral survival milieu. IL-10 mempromosikan original antigenic sin (OAS) dengan menginhibisi perkembangan dari efektor sel T ke epitop baru. IL-10 juga menghambat ekpresi dari TF dan menghambat fibrinolisis.

h. TNF – α (Tumor Necroting Factor- α): TNF – α adalah aktifator kuat dari EC dan meningkatkan permiabilitas kapiler. Upregulasi dari TNF – α mengekpresikan TF ke atas monosit dan EC serta menyebabkan downregulasi ekpresi trombomodulin ke EC. Dia juga mengaktifasi sistem fibrinolisis. TNF – α meningkatkan ekpresi dari


(31)

nitric oxide (NO) dan memediasi activation-induced kematian sel T dan dia dipercaya berimplikasi pada pemusnahan sel T perifer.

i. TGF – β : Transforming Growth Factor - β (TGF – β) dapat berperan sebagai proinflamasi atau sitokin anti-inflamasi, bergantung pada konsentrasinya. Pada awal infeksi, TGF - β yang rendah dapat memicu sekresi IL-1 dan TNF – α. Namun, pada fase akut, sitokin menghambat respon T-helper 1 (Th1) dan meningkatkan produksi sitokin T-Helper 2 seperti IL-10. TGF – β meningkatkan ekpresi TF ke EC dan menyebabkan upregulasi ekspresi dan pelepasan dari plasminogen activator inhibitor (PAI-1).

j. NO : Nitric Oxide (NO) mempunyai beberapa faktor dalam reaksi inflamasi. Dia meningkatkan vasodilatasi dan pembentukan edema. Dia menyebabkan upregulasi produksi TNF – α di monosit. Pada konsentrasi rendah dia memproteksi sel dari apoptosis, sementara pada konsentrasi tinggi dia merangsang apoptosis. NO menyebabkan downregulasi ekspresi MHC class II dan menekan ekpasnsi sel Th1. Pemeliharaan pelindung EC membutuhkan NO dengan tingkat dasar. Baik kekurangan maupun kelebihan NO mengganggu kestabilan ikatan EC.

k. VEGF : vascular endothelial growth factor (VEGF) adalah kunci merubah permiabiliti vascular. Dia mengurangi okludin, klaudin dan isi VE-cadherin dari EC, yang semuanya adalah komponen junction EC. Selama aktifasinya, VEGF merangsang ekpresi intracellular adhesion molecule 1 (ICAM-1), VCAM – 1, dan

E-selectin di EC.

2.8 Gejala Klinis

WHO pada tahun 2009 mengeluarkan Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. Dalam panduan tersebut WHO membagi hari-hari sakit demam dengue menjadi 3 fase : 1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Penyembuhan


(32)

a.Fase Demam

Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah memerah, kulit memerah, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan sakit kepala. Ada juga gejala nyeri tenggorokan, faring hiperemis, konjunctiva hiperemis. Anorexia, nausea dan muntah muntah umum terjadi. Sulit untuk membedakan dengue dengan non dengue pada fase demam, uji torniquet positip mempertinggi kemungkinan penderita mengalami infeksi Virus Dengue. Diperlukan monitor untuk menilai timbulnya tanda bahaya (warning sign) yang akan membuat pasien masuk ke fase ke 2 fase kritis. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa (seperti perdarahan hidung dan gusi) dapat terjadi. Perdarahan pervaginam yang masif dapat terjadi pada wanita usia muda dan perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat membesar dan tegang/nyeri setelah demam beberapa hari. Tanda paling awal dari pemeriksaan darah rutin adalah menurunnya total leukosit (leukopenia) yang dapat menjadi dasar klinisi untuk menilai pasien sudah terjangkit Virus Dengue.

b. Fase Kritis

Selama fase rawatan, pada saat temperatur tubuh turun menjadi ≤ 37,5 -38oC dan bertahan pada suhu tersebut, terjadi pada hari ke 3-7, meningkatnya permeabilitas kapiler bersamaan dengan meningkatnya kadar hematokrit dapat terjadi. Ini merupakan tanda awal fase kritis. Leukopenia yang progresif diikuti dengan menurunnya jumlah trombosit mengiindikasikan kebocoran plasma. Efusi pleura dan asites dapat terdeteksi tergantung dari derajat kebocoran plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan ultrasonografi abdomen dapat digunakan untuk mendiagnosa efusi pleura dan asites. Shok dapat terjadi didahului oleh timbulnya tanda bahaya (warning sign). Temperatur tubuh dapat subnormal saat shok terjadi. Shok yang memanjang, terjadi hipoperfusi organ yang dapat mengakibatkan kegagalan organ, metabolik asidosis dan disseminated intravascular coagulation


(33)

yang masif dapat terjadi. Pasien yang membaik dalam fase ini disebut sebagai non-severe dengue. Pasien yang memburuk akan menunjukkan tanda bahaya. Pasien ini bisa membaik dengan rehidrasi intravena atau memburuk kembali yang disebut

severe dengue.

Severe dengue didefinisikan bila didapati satu atau lebih hal-hal berikut ini (WHO,2009) :

• Kebocoran plasma yang mengarah pada syok

• Perdarahan hebat

• Gangguan berat organ

Biasanya terjadi pada hari ke-4 atau ke-5 demam (berkisar antara hari ke 3-7), ditandai dengan tanda bahaya. Kompensasi tubuh untuk mempertahankan tekanan sistolik menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer, ditandai dengan akral dingin dan peningkatan capillary refill time. Akhirnya terjadi dekompensasi dan TD menghilang. Syok akibat hipotensi dan hipoksia akan menyebabkan kegagalan multiorgan (WHO,2009).

c.Fase Penyembuhan

Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan dari kompartemen extravaskular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum membaik, kembalinya nafsu makan, berkurangnya gejala gastrointestinal, hemodinamik stabil dan cukup diuresis. Bradikardia dan perubahan EKG dapat terjadi pada fase ini. Hematokrit kembali normal atau lebih rendah karena efek dilusi cairan yang diberikan. Leukosit kembali meningkat disusul dengan meningkatnya trombosit. (WHO, 2009).


(34)

Gambar 2.8 Karakteristik penyakit Demam Dengue (WHO, 2009)

2.9 Diagnosis DBD

Diagnosa dengue berdasarkan 2 kriteria (WHO 1997 dalam Suhendro et al, 2009) : A. Kriteria klinis:

1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari

2. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan: a) Uji torniquet positif


(35)

c) Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain

d) Hematemesis dan atau melena 3. Pembesaran hati (hepatomegali)

4. Syok ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien gelisah

B.Kriteria Laboratorium

1. Trombositopenia (100.000/ml atau kurang)

2. Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) karena peningkatan permeabilitas kapiler dengan manifestasi :

− Peningkatan hematokrit ≥20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin

− Penurunan hematokrit ≤20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

− Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, atau hipoproteinemia

Dua kriteria klinis pertama ditambah salah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) sudah dapat menegakkan diagnosis klinis DBD.

Dari diagnosis itu, pasien DD dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kriteria.

Tabel 2.1 Klasifikasi Dinkes RI terhadap derajat penyakit infeksi Virus Dengue

DD/DBD Derajat Gejala laboratorium

DD

Demam, disertai 2 atau lebih tanda: sakit kepala, nyeri

retro-orbital, mialgia, artralgia

- leukopenia - trombositopenia, tidak ditemukan bukti kebocoran plasma

Serologi dengue


(36)

DBD I Gejala di atas ditambah uji bendung positif

Trombositopenia (<100.000),bukti ada kebocoran

plasma

DBD II Gejala di atas ditambah perdarahan spontan

Trombositopenia (<100.000),bukti ada kebocoran

plasma

DBD III

Gejala di atas ditambah kegagalan sirkulasi (kulit

dingin dan lembab serta gelisah

Trombositopenia (<100.000),bukti ada kebocoran

plasma

DBD IV

Syok berat disertai dengan tekanan darah dan nadi tidak

terukur

Trombositopenia (<100.000),bukti ada kebocoran

plasma Sumber : Suhendro et al, 2009

Sementara WHO melalui guidelinenya tahun 2009 menyatakan bahwa pasien DD dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kriteria yaitu, probable dengue, warning sign

dan severe dengue :


(37)

5.1.1 Dengue tanpa tanda bahaya

Merupakan kemungkinan infeksi Virus Dengue pada pasien yang bertempat tinggal atau memiliki riwayat perjalanan ke daerah endemik. Pasien tersebut demam dan memiliki dua atau lebih dari gejala dan tanda berikut :

A. Mual, muntah B. Ruam

C. Tes tourniquet positif D. Nyeri kepala

E. Mialgia

5.1.2 Dengue dengan tanda bahaya

Merupakan infeksi Virus Dengue yang membutuhkan observasi ketat. Kriteria pada derajat ini adalah berdasarkan tanda dan gejala pada derajat 1 disertai adanya tanda bahaya, yaitu :

A. Nyeri perut B. Muntah persisten C. Perdarahan mukosa D. Letargi

E. Kegelisahan

F. Hepatomegali >2 cm G. Asites

H. Efusi pleura

5.1.3 Dengue berat

Merupakan infeksi Virus Dengue yang membutuhkan observasi ketat dan merupakan kegawatdaruratan medik. Kriteria pada derajat ini adalah

berdasarkan tanda dan gejala pada derajat 1 dan 2 disertai adanya tanda dan gejala berupa :


(38)

- Syok (SSD)

- Penumpukan cairan dengan distress respirasi B. Perdarahan berat

C. Kerusakan organ yang berat, meliputi :

- Hepar : SGOT atau SGPT ≥ 1000

- SSP : Penurunan kesadaran

- Jantung dan organ yang lainnya

2.10 Pemeriksaan Laboratorium

Beberapa parameter pemeriksaan laboratorium sederhana bagi pasien DD adalah : 1. Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui

limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) >15% dari total leukosit yang pada fase syok akan meningkat 2. Trombosit : Umumnya terdapat trombositopenia ( <100.000/mm3) pada hari

ke 3-8

3. Hematokrit : kebocoran Plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit > 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam

Metode diagnosis laboratorium lanjutan untuk mengkonfirmasikan infeksi Virus Dengue melibatkan deteksi virus, asam nukleat virus, antigen atau antibodi, atau kombinasi dari teknik ini. Setelah timbulnya penyakit, virus dapat dideteksi dalam serum, plasma, sirkulasi sel darah dan jaringan lain selama 4-5 hari. Selama tahap awal penyakit, isolasi virus, asam nukleat atau deteksi antigen bisa digunakan untuk mendiagnosa infeksi. Pada akhir fase akut infeksi, serologi adalah metode pilihan untuk diagnosis (WHO, 2009).


(39)

Respon antibodi terhadap infeksi berbeda sesuai dengan status kekebalan dari penderita. Ketika infeksi dengue terjadi pada orang yang sebelumnya belum pernah terinfeksi sebuah flavivirus atau diimunisasi dengan vaksin flavivirus (misalnya untuk demam kuning, Japanesse encephalitis), pasien menghasilkan respon antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan antibodi spesifik secara perlahan. (WHO 2009).

Antibodi IgM adalah imunoglobulin yang pertama muncul. Antibodi ini terdeteksi pada 50% pasien selama hari ke 3-5 setelah onset penyakit, meningkat menjadi 80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke 10. Tingkat IgM mencapai puncaknya sekitar dua minggu setelah timbulnya gejala dan kemudian menurun umumnya ke tingkat tidak terdeteksi selama 2-3 bulan. Serum anti dengue IgG umumnya terdeteksi pada titer rendah pada akhir minggu pertama penyakit, meningkat perlahan-lahan setelahnya, dengan serum IgG masih terdeteksi setelah beberapa bulan, dan mungkin bahkan seumur hidup (Guzman, 2004).

Gambar 2.10 Pemeriksaan laboratorium berdasarkan onset of symptoms (WHO, 2009)


(40)

Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada host yang sebelumnya telah terinfeksi oleh Virus Dengue, atau kadang-kadang setelah vaksinasi flavivirus non-dengue atau infeksi), titer antibodi meningkat pesat dan bereaksi secara luas terhadap banyak flavivirus. IgG adalah immunoglobulin yang dominan terdeteksi pada tingkat tinggi, bahkan di fase akut, dan menetap selama periode yang berlangsung dari 10 bulan sampai seumur hidup. Tingkat IgM lebih rendah pada infeksi sekunder dibandingkan yang primary dan mungkin tidak terdeteksi dalam beberapa kasus. Untuk membedakan Infeksi dengue primer dan sekunder, rasio antibodi IgM / IgG sekarang lebih sering digunakan dibandingkan dengan tes haemagglutination-inhibition (HI) (WHO, 2009).

Antibody IgM dengue umumnya diperiksa dengan menggunakan IgM Antobody-Captured Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (MAC – ELISA) sementara IgG diperiksa dengan IgG ELISA test. Sementara itu NS1 diperiksa dengan NS1 Kit (Malavige, G.N., 2004). Sementara di Indonesia menurut Depkes RI (2011), digunakan Rapid Diagnosis Test (RDT) untuk mendeteksi NS1, IgG dan IgM sebagai uji diagnostik.

Secara umum, tes dengan sensitivitas dan spesifisitas tinggi memerlukan teknologi yang lebih kompleks dan keahlian teknis, sedangkan tes cepat dapat mengganggu sensitivitas dan spesifisitas demi kemudahan kinerja dan kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam nukleat lebih mahal, tetapi juga lebih spesifik daripada deteksi antibodi menggunakan metode serologi. Gambar di bawah ini menunjukkan hubungan terbalik antara kemudahan menggunakan dan memperoleh uji diagnostic dengan kepercayaan pada hasil tes (WHO, 2009).


(41)

Gambar 2.11 Hubungan terbalik antara accessibility dengan confidence uji laboratorium DD (WHO, 2009)

Hasil Analisia Pok et al (2010) menunjukkan bahwa RT-PCR adalah metode diagnostic paling sensitive dan paling specific (100%) dalam 3 hari pertama demam. Sementara sensitifitas rata-rata dari pemeriksaan antigen NS1 dengue dalam periode yang sama adalah 81,7%, yang menunjukkan bahwa pemeriksaan ini cukup potensial sebagai pemeriksaan yang cukup terpercaya dan lebih hemat sebagai metode diagnosis alternative deman dengue dari RT-PCR di pusat kesehatan primer. Namun rendahnya sensitifitas dalam mendiagnosa infeksi DBD sekunder menjadi salah satu kelemahan pemeriksaan uji antigen NS1 dengue.

Tabel 2.2 Sensitivitas dari 2 tes kit NS1 terhadap tiap jenis seotipe Virus Dengue, diambil pada hari ke 5 seletah munculnya tanda infeksi

Kit Tipe sampel No. (%) spesimen %Sensitivitas (CI95)

Positif Negatif Equivocal

Panbio DENV – 1 44 (78.6) 11 (19.6) 1 (1.8) 66.2–87.3 DENV – 2 34 (75.6) 11 (24.4) 0 61.3–85.8 DENV – 3 37 (71.2) 11 (21.1) 4 (7.7) 57.7–81.7 DENV – 4 20 (36.4) 35 (63.6) 0 24.9–49.6 Total DENV 135 (64.9) 68 (33) 5 (2.4) 58.2–71.1 Penyakit demam 0 44 (97.8) 1 (2.2) 88.4–99.6


(42)

akut lainnya

Bio-Rad DENV-1 52 (92.9) 4 (7.1) 0 83.0–97.2 DENV-2 37 (82.2) 6 (13.3) 2 (8.8) 68.7–90.7 DENV-3 45 (86.5) 5 (9.6) 2 (3.8) 74.7–93.3 DENV-4 39 (70.9) 12 (21.8) 4 (7.2) 57.9–81.2 Total DENV 173 (83.2) 27 (13.0) 8 (3.8) 77.5–87.7 Penyakit demam

akut lainnya 45 (100) 0 92.1–100

Sumber Bessoff et al, 2008

Sementara menurut Hunsperger et al (2009), tingka sensitifitas dari pemeriksaan IgM tergantung dari alat yang kita gunakan. Pada perbandingan antara 9 buah MAC-ELISA kit yang dijual bebas didapati sensitivitasnya berkisar dari 21%-99% sementara spesitifitasnya 77%-98%. Ditemukan juga adanya False positif pada pasien malaria dan mantan pasien DBD.

Menurut Libraty et al 2002, tingkat sekresi nonstructural protein NS1 (sNS1)

bebas Virus Dengue dalam plasma berhubungan dengan tingkat viremia dan lebih tinggi pada pasien dengan DHF dibandingkan dengan DF. sNS1 yang meningkat (≥ 600 ng/mL) dalam 72 jam setelah onset penyakit mempunyai risiko yang tinggi untuk menjadi DHF.

Berikut ini adalah Rapid Diagnostic Test (RDT) yang digunakan di Indonesia (Depkes RI, 2010)

a. Rapid Test NS1

• Kit yang digunakan Dengue Dx NS1 Antigen Rapid Tes

• Setiap tes berisikan satu membrane strip, yang telah dilapisi dengan

anti-dengue NS1 antigen capture pada daerah garis tes. Anti-dengue NS1 antigen-colloid gold conjugate dan serum sampel bergerak sepanjang membran menuju daerah garis tes (T) dan membentuk suatu garis yang dapat dilihat sebagai suatu bentuk kompleks antibody-antigen-antibody gold particle. Dengue Dx NS1 Antigen Rapid Tes


(43)

memiliki dua garis hasil, garis ”T” (garis tes) dan ”C” (garis kontrol). Kedua garis ini tidak akan terlihat sebelum sampel ditambahkan. Garis kontrol C digunakan sebagai kontrol prosedur. Garis ini selalu muncul jika prosedur tes dilakukan dengan benar dan reagen dalam kondisi baik.

• Interpretasi Hasil Pengujian

Hasil Negatif: Jika hanya terbentuk garis pada area garis kontrol (C)

Hasil Positif: Jika terbentuk garis pada area garis (T) dan (C).

Hasil Invalid: jika tidak terbentuk garis pada area garis kontrol (C). Untuk hasil Invalid dilakukan tes ulang.

b. Rapid Tes IgG/IgM

• Kit yang digunakan adalah Dengue Dx IgG/IgM Rapid Tes

• Dengue Dx IgG/IgM tes memiliki tiga garis pre-coated pada permukaan membran. Garis tes dengue IgG (G), garis tes dengue IgM (M), dan garis kontrol (C). Ketiga garis ini terletak dibagian jendela hasil dan tidak akan terlihat sebelum sebelum dilakukan penambahan sampel. Garis kontrol C digunakan sebagai kontrol prosedur. Garis ini selalu muncul jika prosedur tes dilakukan dengan benar dan reagen dalam kondisi baik. Garis “G” dan “M” akan terlihat pada jendela hasil jika terdapat antobodi IgG dan IgM terhadap virus dengue dalam sampel. Jika tidak terdapat antibodi, maka tidak akan terbentuk garis “G” atau “M

• Interpretasi hasil lab

Negatif

Hanya terlihat garis kontrol “C” pada tes. Tidak terdeteksi adanya antibodi IgG atau IgM. Ulangi tes 3-5 hari kemudian jika diduga ada infeksi dengue


(44)

IgM Positip

Terlihat garis kontrol “C” dan garis IgM (“M”) pada tes. Positip antibodi IgM terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi dengue primer

IgG Positip

Terlihat garis Kontrol “C” dan garis IgG (“G”) pada tes. Positip antibodi IgG terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi dengue sekunder ataupun infeksi dengue masa lalu

IgG dan IgM Positip

Terlihat garis Kontrol “C”, garis IgG (“G”), dan garis IgM (“M”) pada tes. Positip pada kedua antibodi IgG dan IgM terhadap virus dengue. Mengindikasikan infeksi dengue primer akhir atau awal infeksi dengue sekunder

Invalid

Tidak terlihat garis Kontrol “C” pada tes. Jumlah sampel yang tidak sesuai, atau prosedur kerja yang kurang tepat dapat mengakibatkan hasil seperti ini. Ulangi pengujian dengan menggunakan tes yang baru.

Tabel 2.3 Perbandingan beberapa jenis uji laboratorium DBD

Metode Waktu keluar hasil

Spesimen Date of ill Fasilitas dibutuhkan Cost

Isolasi virus dan

identifikasi serotip

1 – 2 minggu

Whole blood,

serum, jaringan

1-5 hari Fasilitas kultur sel atau nyamuk, Lab BSL-2/BSL-3, mikroskop fluorescence dan peralatan biologi molekular

$$$

Deteksi asam nukleat

1 atau 2 hari Whole blood,

serum, jaringan, plasma

1-5 hari Lab BSL-2, peralatan untuk biologi molekular


(45)

Deteksi antigen

≥ 1 hari Serum, jaringan untuk immuno-chemistry

1-6hari Fasilitas ELISA, Fasilitas histologi

$$$

IgM ELISA 1-2 hari Serum, plasma,

whole blood

Setelah 5 hari

Fasilitas ELISA

$ IgM rapid test 30 menit Tidak perlu alat tambahan IgG ELISA,

HI atau neutralization test

7 hari/lebih Serum, plasma,

whole blood

Fasilitas ELISA, Lab BSL-2 untuk pemeriksaan neutralization

$


(46)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERATIONAL

3.1 Kerangka Konsep

Diagnosis DBD

Kriteria Klinis :

- Demam

Laboratorium standar :

- Trombosit

- Hematokrit

- Leukosit

Laboratorium tingkat lanjut :

- Uji Ig M

- Uji Ig G


(47)

3.2Definisi Operational

Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil Ukur Skala ukur Pasien

DBD

Pasien yang didiagnosis DBD berdasarkan diagnosis akhir

Rekam medis

positif/ negatif DBD Nominal

Demam Jumlah hari demam saat dilakukan pemeriksaan Rekam medis Menggunakan nominal Hasil 2,3,4… Nominal Nominal Jumlah Leukosit

Jumlah leukosit pada pasien DBD yang terdapat di rekam medis pasien Rekam medis Menggunakan rendah/ normal/ tinggi Hasil rendah (<4000), normal (4000-9000), tinggi (>9000) Nominal Ordinal Kadar Hematokr it

Kadar hematokrit pada pasien DBD yang terdapat di rekam medis pasien Rekam medis Menggunakan rendah/ normal/ tinggi Laki-laki normal (40-50), Perempuan normal (35-45) Dibawah nilai normal dikatakan hematokrit menurun Nominal Ordinal


(48)

Diatas nilai normal dikatakan hematokrit meningkat

Jumlah Trombosit

Kadar hematokrit pada pasien DBD yang terdapat di rekam medis pasien Rekam medis Menggunakan bahaya/rendah/ normal/ tinggi Hasil bahaya (<100.000), rendah (100.000-150.000), normal (150.000-450.000), tinggi (>450.000) Nominal Nominal

Uji Ig G Penggunaan Uji Ig G pada pasien DBD yang terdapat di rekam medis pasien

Rekam medis

Menggunakan (+) / (-)

Hasil (+) / (-)

Nominal

Nominal

Uji Ig M Penggunaan Uji Ig M pada pasien DBD yang terdapat di rekam medis pasien

Rekam medis

Menggunakan (+) / (-)

Hasil (+) / (-)

Nominal

Nominal

Uji NS1 Penggunaan Uji NS1 pada pasien DBD yang terdapat di rekam medis pasien

Rekam medis

Menggunakan (+) / (-)

Hasil (+) / (-)

Nominal


(49)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional

(studi potong lintang), dimana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan uji serologis Ig M dan Ig G serta antigen NS1 untuk diagnosis pasien demam berdarah RSUP H. Adam Malik. Pada penelitian ini pendekatan atau pengumpulan data dilakukan secara simultan atau dalam waktu yang bersamaan (point time approach).

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1 Waktu Penelitian

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2013 sampai dengan bulan Desember 2013. Pemilihan waktu penelitian dengan mempertimbangkan waktu, dana dan sumberdaya.

4.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di instalasi rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data hasil rekam medis yang didiagnosis dengan DBD di RSUP H. Adam Malik. Adapun pertimbangan memilih lokasi tersebut karena RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit pendidikan dan pusat rujukan dari wilayah provinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nanggroe Aceh Darussalam, dan Riau.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosis menderita DBD di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2012.


(50)

4.3.1 Sampel Penelitian

Sampel dari penelitian ini adalah seluruh populasi (total sampling).

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengambil data sekunder penderita DBD dari kartu status bagian rekam medis. Data yang diambil adalah data dari pemeriksaan yang pertamakali dilakukan pada saat masuk rumahsakit. Data sekunder ini diambil dari RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2012.

4.5 Alur Penelitian

Gambar 4.1

4.6 Pengolahan dan Analisa Data

Data yang diperoleh dari penelitian ini akan dimasukkan ke dalam komputer. Data yang diperoleh, berupa berapa banyak yang menggunakan uji serologis serta hasil Ig M dan Ig G serta antigen NS1, hasi uji Ig G dan Ig M, distribusi menurut umur, jenis kelamin dan hari pengambilan sampel dianalisis dengan menggunakan program SPSS (Statistic Package for Social Science) for windows.

Mengambil nomor rekam medik pasien yang melakukan pemeriksaan IgG IgM

dan NS1 di Bagian Patologi Klinik

Melihat rekam medis dan mencatat data-data yang diperlukan

Mengolah data yang sudah dikumpulkan dan membuat laporan hasil


(51)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1. 1 Deskripsi lokasi penelitian

Pengambilan data hasil laboratorium ini dilakukan di bagian rekam medik di RSUP H. Adam Malik sedangkan nomor rekam medik sampel diperoleh dari Departemen Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik. RSUP H. Adam Malik terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Medan dan merupakan rumah sakit rujukan untuk pasien DBD di Provinsi Sumatera Utara.

5.1. 2 Deskripsi karakteristik umum sampel

Jumlah keseluruhan sampel yang berhasil didapat adalah 156 sampel. Gambaran karakteristik sampel yang ada dapat dibedakan berdasarkan umur, jenis kelamin, lama demam dan diagnosis akhir. Data lengkap distribusi karakteristik sampel dapat dilihat pada tabel-tabel berikut.

Dari Tabel 5.1. dapat dilihat bahwa sampel berjenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki dengan jumlah 88 sampel (56.4 %). Sedangkan sampel berjenis kelamin laki-laki berjumlah 68 sampel (43.6 %).

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi karakteristik sampel berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Frekwensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 68 43.6

Perempuan 88 56.4


(52)

Tabel 5.2 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan umur

Umur (tahun) Frekwensi (n) Persentase (%)

0-10 30 17.1 %

11-20 40 22.9 %

21-30 25 14.3 %

31-40 23 13.1 %

>40 38 21.7 %

Total 156 100%

Dari Tabel 5.2. dapat dilihat bahwa frekwensi umur sampel terbanyak adalah umur 11-20 tahun sebanyak 40 sampel (22.9%), diikuti oleh umur >40 tahun sebanyak 38 sampel (21.7%), umur 0-10 tahun sebanyak 30 sampel (17.1%), umur 21-30 tahun sebanyak 25 sampel (14.3%) dan umur 31-40 tahun sebanyak 23 sampel (13.1%).

Tabel 5.3 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan lama demam

Lama Demam (hari) Frekwensi (n) Persentase (%)

2 8 5.1

3 21 13.5

4 43 27.6

5 34 21.8

6 19 12.2

7 13 8.3

>7 18 11.5

Total 156 100

Dari Tabel 5.3. dapat dilihat bahwa frekwensi lama demam sampel terbanyak adalah 4 hari sebanyak 43 sampel (27.6%) diikuti 5 hari sebanyak 34 sampel (21.8%),


(53)

3 hari sebanyak 21 sampel (13.5 %), 6 hari sebanyak 19 sampel (12.2%), >7 hari sebanyak 18 sampel (11.5%), dan 2 hari sebanyak 8 sampel (5.1%).

Tabel 5.4 Distribusi karakteristik sampel berdasarkan diagnosis akhir Diagnosis akhir Frekwensi (n) Persentase (%)

DBD 90 57.7

Bukan DBD 66 37.7

Total 156 100

Dari Tabel 5.4 dapat dilihat bahwa sampel yang didiagnosis akhir sebagai pasti DBD di sebanyak 90 sampel (57.7%) sedangkan yang didiagnosis akhir sebagai pasti bukan DBD sebanyak 66 sampel (37.7%).

5.1. 3 Distribusi gambaran hasil pemeriksaan laboratorium pada sampel dengan diagnosis akhir DBD

Dari 90 sample yang terdiagnosis akhir sebagai penderita DBD dilihat bagaimana hasil pemeriksaan laboratorium sampel meliputi, jumlah leukosit, kadar hematokrit, dan jumlah trombosit. Data lengkap distribusinya adalah sebagai berikut.

Tabel 5.5 Gambaran hasil pemeriksaan jumlah leukosit pada sampel dengan diagnosis akhir DBD

Jumlah Leukosit Frekwensi (n) Persentase (%)

<4000/mm3 18 20

4000-10000/mm3 59 65.6

>10000/mm3 13 14.4


(54)

Dari Tabel 5.5 dapat dilihat bahwa frekwensi terbanyak berdasarkan hasil pemeriksaan leukosit pada penderita dengan diagnosis akhir DBD adalah jumlah leukosit normal (4000-10000/mm3) sebanyak 59 sampel (65.6%) lalu diikuti dengan jumlah leukosit menurun atau leukopenia (<4000/mm3) sebanyak 18 sampel (20%) dan dengan jumlah leukosit meningkat atau leukositosis sebanyak 13 sampel (14.4%)

Tabel 5.6 Gambaran hasil pemeriksaan kadar hematokrit pada sampel dengan diagnosis akhir DBD

Hematokrit (%) Frekwensi (n) Persentase (%)

Ht menurun 36 40

Ht normal 48 53.3

Ht meningkat 6 6.7

Total 90 100

Dari Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa frekwensi terbanyak berdasarkan hasil pemeriksaan hematokrit pada sampel dengan diagnosis akhir DBD adalah hematokrit normal sebanyak 48 sampel (53.3%) lalu diikuti hematokrit menurun sebanyak 36 sampel (40%) dan hematokrit meningkat sebanyak 6 sampel (6.7%).

Tabel 5.7 Gambaran hasil pemeriksaan jumlah trombosit pada sampel dengan diagnosis akhir DBD

Trombosit ( .000/mm3) Frekwensi (n) Persentase (%)

<100 64 71.1

100-150 22 24.5

151- 450 4 4.4


(55)

Dari Tabel 5.7 dapat dilihat bahwa frekwensi terbanyak berdasarkan hasil pemeriksaan trombosit pada sampel dengan diagnosis akhir DBD adalah jumlah trombosit <100.000/mm3 yaitu sebanyak 64 sampel (71.1%) kemudian dengan jumlah trombosit 100-150.000/mm3 sebanyak 22 sampel (24.5%) dan jumlah trombosit 151-450.000/mm3 sebanyak 4 sampel (4.4%).

5.1.4 Distribusi gambaran hasil pemeriksaan serologis dan antigen

Berikut ini adalah hasil hasil pemeriksaan IgG, IgM dan NS1.

Tabel 5.8 Gambaran hasil pemeriksaan RDT IgG

Hasil IgG Diagnosis akhir Total

DBD Bukan DBD

+ 27 (87%) 4 (13%) 100% 31 (19,8%)

- 63 (50.4%) 62 (49.6%) 100% 125 (80.2%)

Total 90 66 156 (100%)

Dari Tabel 5.8 dapat dilihat bahwa 31 sampel (19.8%) mendapat hasil positif. Dari hasil tersebut, 27 sample (87%) adalah sampel dengan diagnosis akhir DBD sementara 4 sampel (13%) adalah sampel dengan diagnosis akhir bukan DBD.

Dari Tabel 5.8 juga dapat dilihat bahwa 125 sampel (80.2%) mendapat hasil negatif. Dari hasil tersebut, 63 sampel (50.4%) adalah sampel dengan diagnosis akhir DBD sementara itu 62 sampel (49.6%) adalah sampel degan diagnosis akhir bukan DBD.


(56)

Tabel 5.9 Gambaran hasil pemeriksaan RDT IgM

Hasil IgM Diagnosis Total

DBD Bukan DBD

+ 24 (92.3%) 2 (7.7%) 100% 26 (16.7%)

- 66 (50.7%) 64 (49.3%) 100% 130 (83.3%)

Total 90 66 156

Dari Tabel 5.9 dapat dilihat bahwa 26 sampel (16.7%) mendapat hasil positif. Dari situ didapati 24 sample (92.3%) adalah sampel dengan diagnosis akhir DBD sementara 2 sampel (7.7%) adalah sampel dengan diagnosis akhir bukan DBD.

Dari Tabel 5.9 juga dapat dilihat bahwa 130 sampel (83.3%) mendapat hasil negatif. Dari hasil tersebut, 66 sampel (50.7%) adalah sample dengan diagnosis akhir DBD sementara itu 64 sampel (49.3%) adalah sampel degan diagnosis akhir bukan DBD.

Tabel 5.10 Gambaran hasil pemeriksaan RDT NS1

NS1 Diagnosis Total

DBD Bukan DBD

+ 5 (100%) 0 (0%) 100% 5 (3.2%)

- 2 (28.5%) 5 (71.5%) 100% 7 (4.4%)

Tidak Melakukan 144 (92.4%)

Total 7 5 156 (100%)

Dari Tabel 5.10 dapat dilihat bahwa 5 sampel (3.2%) mendapat hasil positif. Dari situ didapati 5 sample (100%) adalah sampel dengan diagnosis akhir DBD sementara tidak ada sampel dengan diagnosis akhir bukan DBD.

Dari Tabel 5.10 juga dapat dilihat bahwa 7 sampel (4.4%) mendapat hasil negatif. Dari hasil tersebut, 2 sampel (28.5%) adalah sample dengan diagnosis akhir DBD


(57)

sementara itu 5 sampel (71.5%) adalah sampel degan diagnosis akhir bukan DBD. 144 sampel (92.4%) tidak melakukan pemeriksaan NS1.

5.1. 5 Gambaran sensitifitas dan spesitisitas dari uji diagnostik DBD

Berikut ini adalah hasil perhitungan sensitifitas dan sensitisitas dari masing-masing alat diagnosis dan dari gabungan ketiganya.

Tabel 5.11 Gambaran sensitivitas dan spesitifitas uji diagnositik

Jenis Uji Diagnostik Sensitivitas Spesitifitas

IgG 30% 93.9%

IgM 26.7% 96.9%

IgG+IgM 45.55% 90.9%

NS1 71.43% 100%

IgG+IgM+NS1 51.11% 92.42%

Dari Tabel 5.11 dapat dilihat bahwa pemeriksaan dengan sensitivitas tertinggi adalah NS1 dengan 71.43% lalu diikuti IgG+IgM+NS1 dengan 51.11%, IgG+IgM dengan 45.55%, IgG dengan 30% dan IgM dengan 26.7%. Sedangkan pemeriksaan dengan spesitifitas tertinggi adalah NS1 dengan 100% lalu diikuti IgM dengan 96.9%, IgG dengan 93.9%, IgG+IgM+NS1 dengan 92.42% dan IgG+IgM dengan 90.9%.

5.2 Pembahasan

Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa sebagian besar sampel berjenis kelamin wanita (54%). Penelitian Rainmunda et al (2012) yang dilakukan di Brazil juga mendapatkan hasil wanita lebih banyak yang terinfeksi DBD yaitu 53,25% dari 154 sampel adalah wanita. Sementara itu Libraty et al (2002) yang melakukan penelitian pada 726 anak-anak di Thailand menemukan ratio laki-laki dan perempuan adalah 2.2 : 1. Pada penelitian di tempat lain di Indonesia, Irwandi et al menemukan 46 sampel


(58)

(55.4%) adalah wanita dari total 83 sampel. Penelitian ini dilakukan di Sulawesi Selatan.

Dari Tabel 5.2. dapat dilihat bahwa frekwensi umur sampel terbanyak adalah umur 11-20 tahun sebanyak 40 sampel (22.9%). Menurut penelitian Guzman et al (2004), penderita DBD terbanyak berumur 0-10 tahun sebanyak 26%. Sedangkan menurut Simmon (2009), telah terjadi perubahan pola infeksi DBD dari yang sebelumnya usia median antara 7-19 tahun pada tahun 1985-1999 berubah menjadi usia median antara 13-19 tahun.

Dari Tabel 5.3. dapat dilihat bahwa frekwensi lama demam sampel terbanyak adalah 4 hari sebanyak 43 sampel (27.6%). Menurut Hasil penelitian Agus et al (2011) hari terbaik untuk melakukan diagnosis DBD adalah pada hari ke 4-7 yaitu mencapai 100%. Sementara menurut Depkes RI (2010) mulai demam hari ke 3 adalah waktu terbaik melakukan pemeriksaan darah rutin karena sudah mulai ditemukan perubahan nilai pemeriksaan dengan cukup signifikan.

Menurut WHO (2009) salah satu kriteria pasien DBD adalah peningkatan hematokrit. Namun pada Tabel 5.6 didapati hanya terdapat 6% saja yang mengalami peningkatan hematokrit. Hal serupa juga ditemukan oleh Valentino, B. (2012). Dalam penelitiannya hanya ditemukan 2 sampel (1.8%) dari 114 sampel yang mengalami peningkatan hematokrit. Hasil penelitiannya juga mengatakan bahwa tidak ada hubungan berarti antara derajat DBD dengan kadar hematokrit.

Pada Tabel 5.7 ditemukan peningkatan jumlah trombosit sebanyak 86 sampel dengan 64 sampel (71.1%) jumlah trombositnya <100.000/mm3 yang menurut WHO sudah merupakan kriteria pasien DBD. Menurut Agus et al (2011) penurunan jumlah trombosit adalah uji dianositik yang cukup baik. Spesitifitas pemeriksaan jumlah trombosit mencapai <85% sejak hari pertama dan meningkat sampai 100% pada hari ke 7.

Pada Tabel 5.8 dapat dilihat bahwa sebagian besar sample mempunyai jumlah leukosit yang normal (4000-10000/mm3) yaitu sebanyak 59 sample (65.6%). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh penelitian Agilatun F. (2007) dimana dari 271


(59)

pasien DBD yang diperiksa, rata-rata jumlah leukositnya dari hari 3-7 demam berada di 4363.70 - 6168.00/mm3. Hasil yang sama juga ditemukan dalam penelitian Irwandi D. (2007). Rerata jumlah leukosit dari 83 sampel DBD adalah 4.420,48/mm3. Menurut Wilson, D.D. (2008) seluruh pemeriksaan laboratorium sedapat mungkin dilakukan lebih dari 1 kali. Ini dikarenakan ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan selain dari individu itu sendiri.

Dari Tabel 5.11 didapati sensitivitas NS1 sebesar 71.43% dan spesitifitas sebesar 100%. Hasil penelitian Agus et al (2011) di RSUP Hasan Sadikin Bandung yang menggunakan 260 sampel menyatakan sensitivitas NS1 mencapai 50-60% dengan spesitifitas 100%. Menurutnya senstivitas yang rendah pada penelitian tersebut disebabkan oleh angka infeksi sekunder maupun tersier yang tinggi pada daerah Bandung. Sementara itu berdasarkan Focus Diagnostics (2011) yang merupakan produsen alat dari rapid diagnostic test ini sendiri mengatakan sensitivitas NS1 sebesar 92.8% dan spesitifitas sebesar 98.4%. Dalam penelitian Bessoff et al (2008) mengenai perbandingan keefektifitasan 2 merk uji diagnostic NS1 dikatakan bahwa spesitifitas dan sensitivitas setiap alat bisa berbeda karena adanya perbedaan desain antibodi yang digunakan.

Dari tabel 5.11 didapati sensitivitas dan spesitisitas RDT IgG + IgM + NS1 adalah 51.11% dan 92.42%. Sensitivitasnya meningkat bila dibandingkan dengan hanya menggunakan RDT IgG + IgM saja namun menurun jika dibandingkan dengan hanya menggunakan NS1 saja. Menurut Agus et al (2011) penggunaan ketiganya ditambah pemeriksaan hitung trombosit dapat meningkatkan sensitivitas hingga 50-90%. RDT NS1 dilakukan pada awal gejala (hari 1-2) sedangkan IgM dilakukan di hari 3-4.


(60)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa : 1. Sampel terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan dengan 88 sampel

(56.4%)

2. Sampel terbanyak berumur 11-20 tahun sebanyak 40 sampel (22.9%) 3. Sampel terbanyak melakukan pemeriksaan di demam hari ke 4 (27.6%) 4. Sensitivitas dan spesitisitas RDT IgG + IgM adalah 45.55% dan 90.9%. 5. Sensitivitas dan spesitisitas RDT NS1 adalah 71.43% dan 100%.

6. Sensitivitas dan spesitisitas RDT IgG + IgM + NS1 adalah 51.11% dan 92.42%.

6.2 Saran

Dari hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, peneliti memiliki beberapa saran, yaitu :

1. Penggunaan pemeriksaan serologis belum maksimal di tahun 2012 dan perlu ditingkatkan

2. Sebaiknya pemeriksaan NS1 lebih digalakkan pada pasien yang sesuai kriteria sedangkan IgG dan IgM sebaiknya dilakukan sesuai dengan lama demam

3. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat lebih mengembangkan penelitian ini, sehingga akan lebih banyak informasi baru yang didapat.


(61)

DAFTAR PUSTAKA

Agilatun, F.N., 2007. Hubungan Antara Jumlah Leukosit Dengan Kejadian Syok Pada Penderita Demam Berdarah Dengue Dewasa di RSUP dr. Kariadi Semarang. Semarang : Universitas Diponegoro

Avirutnan, P., Zhang, L., Punyadee, N., Manuyakorn, A., Puttikhunt, C., et al, 2007. Secreted NS1 of Dengue Virus Attaches to The Surface of Cells Via Interactions With Heparan Sulfate And Chondroitin Sulfate. PLoS Pathogens 3(11) : 1798-1812

Bessoff, K, Delorey, M, Sun, W, dan Hunsperger, E, 2008. Comparison of Two Commercially Available Dengue Virus (DENV) NS1 Capture Enzyme-Linked Immunosorbent Assays Using a Single Clinical Sampel for Diagnosis of Acute DENV Infection. CVI 15(10) : 1513-1518

CDC, 2012. Dengue and Dengue fever. Atlanta : Center Of Disease Control and Prevention. Available from : www.cdc.gov/dengue/ [Last Updated : 2013] Depkes RI, 2010. DBD di Indonesia Tahun 1968–2009. Buletin Jendela

Epidemiologi 2: 1-14

Depkes RI, 2010. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI, 2010. Petunjuk Teknis Penggunaan Rapid Diagnostic Test (RDT) untuk penunjang Diagnosis Dini DBD. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Avaiable from

Depkes RI, 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia. Avaiable from:

Dinkes Provinsi Sumatera Utara, 2012. Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2012. Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara


(62)

Guzman, M.G. and Kouri, G., 2004. Dengue Diagnosis, Advances and Challenges. In: Zuckerman, Jane, Ed. International Journal of Infectious Diseases 8. Elsevier Ltd., 69—80.

Hunsperger, E. A., Yoksan, S., Buchy, P., Nguyen, V. C., Sekaran, S. D., Enria, D. A., et al. 2009. Evaluation of Commercially Available Anti– Dengue Virus Immunoglobulin M Tests.EID 15(3) : 436 – 440

Irwandi, D., Arif, M., Harjoeno, 2007. Gambaran Serologis IgM – IgG cepat dan Hematologi Rutin Penderita DBD. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory 13(2)

Malavige, G.N., Fernando, S., Fernando, D.J., and Seneviratne, S.L., 2013. Dengue viral infections. Postgrad Med J 80:588–601

Martina, B.E.E., Koraka P., and Osterhaus, A.D.M.E., 2009. Dengue Virus Pathogenesis. Clinical Microbiology Review 22 (4) : 564-574.

Pok, K., Lai, Y., Sng, J., and Ng, L., 2010. Evaluation of Nonstructural 1 Antigen Assays for the Diagnosis and Surveillance of Dengue in Singapore.

VECTOR-BORNE AND ZOONOTIC DISEASES 10(10): 1009-1016

Rothman, A., 2010. Immunity to dengue virus: A Tale of Original Antigenic Sin And Tropical Cytokine Storms. Nature Reviews Immunology 11, 532-543

Saint John, A.L, Rathore, A.P.S., Raghavan, B., Ng, M.L., and Abraham, S.N., 2013. Contributions of mast cells and vasoactive products, leukotrienes and chymase, to dengue virus-induced vascular leakage. eLife 481 : 1-18

Simmons, C.P. dan Farrar, J., 2009. Changing Patterns of Dengue Epidemiology and Implications for Clinical Management and Vaccines. PLoS Med 6(9): e1000129

Soegijanto, S., 2003. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru. Surabaya : Airlangga University Press.

Suhendro, Nainggolan, L., Chen, K., and Pohan, H.T., 2009. Demam Berdarah Dengue. In B. S. Aru W.Sudoyo Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam V ed., Jakarta : InternaPublishing, 2773-2779.


(63)

Suwandono, A., Nurhayati, Parwati, I., Rudiman, P.I., Wisaksana, R., Kosasih, H., Alisjahbana, B., 2011. Perbandingan nilai diagnostik trombosit, leukosit, antigen NS1 dan antibodi IgM Antidengue. J Indon Med Assoc 61(8).

Valentino, B., 2012. Hubungan Antara Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap Dengan Derajat Klinik Infeksi Dengue Pada Pasien Dewasa di RSUP Dr. Kariadi Semarang

WHO, 2009. Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. Avaiable from

WHO, 2012. Global strategy for DBD Prevention And Control 2012-2020. Available from

WHO-SEARO, 2008. The Dengue Strategic Plan For The Asia Pacific Region

2008-2015. Word health Organization. Avaialble from :

Wilson,D.D., 2008. McGraw-Hill’s Manual of Laboratory & Diagnostic Tests. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc


(64)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Carlos Jonathan Tampubolon Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 7 Februari 1992 Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Bakti Gg. Pendidikan no 114

Riwayat Pendidikan : 1. TK Shandi Putra P. Siantar 1996 2. SD Yos Sudarso Purwakarta 1997 3. SMP Yos Sudarso Purwakarta 2003

4. SMAN 8 Bandung 2006

5. Fakultas Kedokteran USU 2010 Riwayat Pelatihan :

Riwayat Organisasi : - Anggota Departemen KASTRAD PEMA FK USU periode 2011-2013


(65)

Lampiran 2 Data induk

No L/P Umur HB Leu Ht Throm IgG IgM NS1 Demam Diagnosis

1 L 11 6,7 8,04 21,7 275 - - 7 2

2 L 3 12 17,3 35,6 296 - - 5 2

3 P 14 13,1 4,2 39,2 74 - - 5 1

4 P 22 14 6,91 42,8 83 - + 5 1

5 P 53 12,8 7,33 40,7 178 - - 6 2

6 L 20 15,9 4,85 44,5 151 - - 4 2

7 L 46 13,3 10,55 36,8 42 + + 4 1

8 L 28 14,1 6,87 40,1 59 - - 3 1

9 P 60 12,1 6,11 30,7 121 - - 4 2

10 L 35 12,9 12,1 39,2 187 - - 7 2

11 L 44 10,2 5,41 41,6 97 - - 5 2

12 L 48 3 5,07 8,85 296 - - 30 2

13 P 18 15,9 3,2 45,2 34 + - 4 1

14 P 9 12,3 6,6 35,1 63 + + 3 1

15 P 32 11,3 7,34 40 200 - - 6 2

16 P 48 13,9 9,21 41,1 283 - - 4 2

17 P 34 13,3 7,06 38,6 239 - - 6 2

18 L 16 15 9,42 45,2 207 - - - 2 2

19 L 69 11,2 7,03 32,4 179 - - 4 2

20 P 3 12,3 5,05 34,1 116 - - 4 1

21 P 4 12,1 5,01 41,9 112 - + 5 1

22 P 18 15,9 3,2 45,2 34 - + 4 1

23 L 48 3,1 5,07 10,1 312 - - 3 2


(66)

25 L 12 14,2 3,5 20,9 54 - + 6 1

26 P 65 15,8 5,93 45,6 150 + - 4 1

27 L 75 9 15,8 27,2 103 - - 5 2

28 P 59 11,5 5,17 32,3 111 - - 4 1

29 L 38 13,9 11,38 36,4 195 - - 7 2

30 L 20 16,8 8,63 46 125 - - 4 1

31 L 32 14,2 4,44 41,4 51 + - 6 1

32 P 29 8,9 15,61 25,2 46 - - 4 1

33 P 35 12 2,58 34,1 153 - - 6 2

34 P 21 8,5 1,52 24,7 135 - - - 2 2

35 L 29 14,2 5,65 43,4 66 - - - 3 1

36 P 46 11,5 6,69 33,2 203 - - 3 2

37 L 23 14,7 3,6 42,1 57 - - 7 2

38 L 29 10 18,54 28,3 34 - - 4 2

39 P 24 13,6 7,77 40,9 296 - - 8 2

40 L 19 5,4 2,43 16,5 20 - - + 2 1

41 L 61 14,6 14,87 40,5 296 - - 3 2

42 L 63 13,9 12,89 41,5 280 - - 4 2

43 P 9 14,3 12,74 38,8 43 + + 6 1

44 L 5 12,4 13,3 36,3 15 - + 5 1

45 P 12 11,9 7,65 40,5 67 - - 5 1

46 L 4 14 19,19 40 144 - - 4 1

47 L 16 17 3,51 50,4 89 - - 4 1

48 P 4 13,5 46,86 36,5 31 - - 14 2

49 P 26 14,1 3,55 40,2 98 - + 5 1


(1)

129 P

1

7,9

3,34

39,9

101

-

-

5

1

130 L

22

12,9

5,33

38,2

81

-

-

5

1

131 P

11

10,7

7,39

30,9

131

+

-

21

2

132 P

46

7,7

2,82

23,3

22

-

-

14

2

133 L

3

14

5,65

41

55

-

-

6

1

134 L

13

13,1

4,24

38,2

56

+

-

5

1

135 L

22

15,5

5,7

41,2

38

+

-

5

1

136 P

4

14,2

4,95

39,7

136

-

-

3

1

137 L

44

16,4

6,22

38,8

126

-

-

4

1

138 P

1

13,9

4,98

39,5

75

-

-

5

1

139 L

32

12

4,33

33,7

190

-

-

6

2

140 P

19

13,1

4,02

35

88

-

-

5

1

141 P

8

11,6

12,55

33

135

-

-

4

1

142 P

6

10,4

6,7

40,8

87

+

-

3

1

143 P

13

15,5

3,82

44,9

31

-

+

5

1

144 P

16

12,7

2,98

34,9

33

-

+

4

1

145 L

63

14,8

4,44

40,1

113

-

+

5

1

146 P

31

10

7,27

29,5

93

-

-

9

2

147 P

12

11,7

2,65

34,5

221

-

-

5

2

148 P

20

12,5

3,47

37

94

-

-

5

1

149 L

28

13,5

5,74

37,9

73

-

-

5

1

150 P

39

11,7

1,16

34,7

72

-

-

+

2

1

151 L

3

12,3

4,48

45

17

+

-

5

1

152 P

56

12,4

7,74

35,4

88

-

-

4

1

153 L

2

10,5

3,72

41,2

93

+

+

-

6

1


(2)

155 P

29

11,8

6,76

33,8

302

-

-

7

2


(3)

Lampiran 3

OUTPUT SPSS

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid L 68 43.6 43.6 43.6

P 88 56.4 56.4 100.0

Total 156 100.0 100.0

Umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 0-10 30 19.2 19.2 19.2

11-20 40 25.6 25.6 44.9

21-30 25 16.0 16.0 60.9

31-40 23 14.7 14.7 75.6

>40 38 24.4 24.4 100.0

Total 156 100.0 100.0

Lama Demam

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 2.00 8 5.1 5.1 5.1

3.00 21 13.5 13.5 18.6

4.00 43 27.6 27.6 46.2

5.00 34 21.8 21.8 67.9

6.00 19 12.2 12.2 80.1

7.00 13 8.3 8.3 88.5

8.00 18 11.5 11.5 100.0

Total 156 100.0 100.0


(4)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid DBD 90 57.7 57.7 57.7

Non-DBD

66 42.3 42.3 100.0

Total 156 100.0 100.0

leukosit

leukopenia normal leukositosis

Count Count Count

Diagnosis 1 18 59 13

2 9 36 21

Diagnosis

1

htbaru

<35 35.1-40 40.1-45 >45

Count Count Count Count

Sex L 6 14 17 5

P 16 19 9 4

Trombosit

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid <100 78 50.0 50.0 50.0

100-150 34 21.8 21.8 71.8

151-450 41 26.3 26.3 98.1

>450 3 1.9 1.9 100.0


(5)

Count

Diagnosis

Total

+ -

IgG + 27 4 31

- 63 62 125

Total 90 66 156

IgM * Diagnosis Crosstabulation

Count

Diagnosis

Total

+ -

IgM + 24 2 26

- 66 64 130

Total 90 66 156

Ns1 * Diagnosis Crosstabulation

Count

Diagnosis

Total

+ -

Ns1 83 61 144

+ 5 0 5

- 2 5 7

Total 90 66 156

Diagnosis

1 2

Count Count

IgM - IgG - 49 60

+ 17 4

+ IgG - 14 2


(6)