Alokasi Sumberdaya Kawasan Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat: Pendekatan Multi-Objective

ALOKASI SUMBERDAYA KAWASAN HUTAN RAKYAT
DI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT:
PENDEKATAN MULTI-OBJECTIVE

INNIKE ABDILLAH FAHMI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Alokasi Sumberdaya
Kawasan Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat: Pendekatan MultiObjective adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014
Innike Abdillah Fahmi
NIM H451110321

RINGKASAN
INNIKE ABDILLAH FAHMI. Alokasi Sumberdaya Kawasan Hutan Rakyat di
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat: Pendekatan Multi-Objective. Dibimbing oleh
RATNA WINANDI A dan NUNUNG KUSNADI.
Hutan Indonesia telah mengalami deforestasi, yang berdampak pada
lingkungan dan tidak terpenuhinya permintaan kayu, menjadikan hutan rakyat
menjadi alternatif dalam pemecahan permasalahan konservasi dan pemenuhan
permintaan kayu. Namun, dalam pengembangan hutan rakyat terdapat konflik
ekonomi (pemenuhan kayu) dan ekologi (konservasi).
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan petani dalam penentuan tujuan pengelolaan lahan di
kawasan hutan rakyat dengan menggunakan regresi logistik, (2) menentukan
alokasi sumberdaya yang optimal di kawasan hutan rakyat yang mencapai the best
compromise solution antara kepentingan ekonomi dan ekologi dengan pendekatan
multi-objective programming dan menggunakan software LINDO.
Hasil analisis regresi logistik menunjukkan bahwa petani masih berorientasi

ekonomi dalam pengelolaan lahan mereka yang berada di kawasan hutan rakyat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam penentuan tujuan
pengelolaan lahan adalah jumlah tanggungan keluarga, pendapatan non-pertanian,
partisipasi pertemuan kelompok tani dan penyuluhan, serta pengalaman
berusahatani.
Hasil analisis dengan pendekatan multi-objective menunjukkan bahwa
beberapa skenario yang dijalankan membuktikan bahwa kawasan hutan rakyat di
Kabupaten Sukabumi adalah kawasan yang dialokasikan untuk tanaman kayu.
Bahkan dengan skenario dimana menjadi tujuan ekonomi menjadi prioritas, lahan
dialokasikan untuk tanaman kayu dengan luas 21.12 ha, namun pencapaian target
hanya sebesar Rp 15.08 milyar dari target yang ditetapkan sebesar Rp 39.91
milyar. Pencapaian target terbesar adalah skenario tanpa prioritas sebesar Rp
23.78 milyar dengan alokasi lahan untuk tanaman kayu seluas 57.24 ha.
Sedangkan untuk skenario yang memprioritaskan tujuan ekologi, alokasi lahan
untuk tanaman kayu seluas 24.13 ha dengan pencapaian target sebesar Rp 22.27
milyar. Bahkan, dengan skenario yang mensyaratkan luas tanaman tertentu,
alokasi lahan tetap untuk tanaman kayu seluas 43.67 ha, namun target yang
tercapai hanya sebesar Rp 18.57 milyar. Hal ini dapat menghambat keberlanjutan
hutan rakyat karena tidak terpenuhinya tujuan ekonomi yang menjadi motivasi
dalam pengelolaan hutan rakyat. Dengan demikian, agar keberlanjutan hutan

rakyat terjamin, pemerintah harus tetap aktif dan mengintervensi pelaksanaan
hutan rakyat tersebut, baik dengan memberikan bantuan bibit, pupuk, maupun
bantuan permodalan dengan menyertakan pengawasan dan evaluasi terhadap
program atau bantuan yang diberikan. Penanaman jenis tanaman kayu yang relatif
lebih cepat panen menjadi prioritas, serta pengembangan lebah madu, jamur kayu,
dan industri hasil hutan menjadi alternatif untuk menggantikan pemasukan dari
pengusahaan tanaman pertanian di dalam kawasan hutan rakyat.
Kata kunci: alokasi sumberdaya, hutan rakyat, multi-objective, regresi logistik

SUMMARY
INNIKE ABDILLAH FAHMI. Resources Allocation of Private Forest Area In
Sukabumi District, West Java: Multi-Objective Approach. Supervised by RATNA
WINANDI A and NUNUNG KUSNADI.
Indonesian forest had faced the deforestation. It had impact to environment
and caused the lack of wood supply and demand. Private forest had become a
solution to solve conservation problem and wood demand fulfillment. However,
there are several economic and ecological conflicts of private forest development.
The objectives of this study were (1) to analyze the factors effecting farmer
decision in determining objectives of land management in private forest using
logistic regression, (2) to determine the optimal resource allocation in private

forest area to achieve the best compromise solution between ecology and
economic objectives with multi-objective programming approach and LINDO
software.
Logistic regression result analysis showed that farmers were economic
oriented in managing their land which were in private forest area. The factors that
mostly affecting farmers decision to determine the objective of land management
were number of farm household member, off-farm income, participation in farmer
group meeting, participation in extension and farmer group meeting and farmer’s
experience in farming.
Multi-objective approach analysis in some scenarios result showed that
private forest area in Sukabumi regency was allocated for timber plants. Even
prioritizing economic scenario, total land allocated for timber was 21.12 ha, but
achievement of the target around Rp 15.08 billion from the target of Rp 309.91
billion. The biggest achievement of the scenario without priority of Rp 23.78
billion in the land allocated for timber plants covering an area of 57.24 ha. While,
the prioritizing ecological objectives scenario, land allocated for timber plants
covering an area of 24.13 ha with the achievement of the target of Rp 22.27
billion. In fact, the scenario which requires certain plant area, land allocated for
timber plants covering an area of 43.67 ha, but the target is achieved only at Rp
18.57 billion. This situation can obstruct the sustainability of private forest as

non-fulfillment of economic objectives into motivational role in the management
of private forest. Thus, in order to guarantee the sustainability of private forest,
government must remain active and intervene in the execution of private forest,
both by providing seeds, fertilizer, and capital support to include monitoring and
evalution of programs or support provide. The planting timber plant that relatively
harvesting sooner a priority, as well as the development the honey bee, mushroom
wood and forest product industry an alternative to replace the income from
agricultural cultivation in private forest area.
Keywords: logistic regission, multi-objective, private forest, resources allocation

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


ALOKASI SUMBERDAYA KAWASAN HUTAN RAKYAT
DI KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT:
PENDEKATAN MULTI-OBJECTIVE

INNIKE ABDILLAH FAHMI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Suharno MADev


Judul Tesis : Alokasi Sumberdaya Kawasan Hutan Rakyat di Kabupaten
Sukabumi Jawa Barat: Pendekatan Multi-Objective
Nama
: Innike Abdillah Fahmi
NIM
: H451110321

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ratna Winandi A, MS
Ketua

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi/
Mayor Agribisnis


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 17 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
penelitian ialah Alokasi Sumberdaya Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi, Jawa
Barat: Pendekatan Multi-Objective.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Ratna Winandi A., MS dan Dr.
Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku pembimbing, Dr. Ir. Suharno, MADev dan Dr. Ir.
Burhanuddin, MM selaku penguji dalam ujian tesis. Rasa terima kasih juga
disampaikan kepada seluruh dosen Magister Sains Agribisnis (MSA) IPB, para

staf kependidikan MSA-IPB, serta Biro Perencanaan Kerjasama Luar Negeri yang
telah memberikan Beasiswa Unggulan BPKLN selama penulis menempuh
pendidikan di MSA-IPB. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada
Bapak Dadang Budiman dan Bapak Daden Suhendi dari Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Sukabumi, Bapak Yoyo Suryatna, penyuluh kehutanan
lapangan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada Papa Zoelfahmi, Mama Djuita Mas, serta seluruh
keluarga, atas segala doa, dukungan, pengertian dan kasih sayangnya.
Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Oktoberi 2014
Innike Abdillah Fahmi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Aktivitas Ekonomi di Hutan Rakyat
Pengelolaan Hutan Rakyat
Tipe-tipe Pengelolaan Hutan Rakyat
Alokasi Sumberdaya Lahan
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Hutan Rakyat: Kontradiktif Tujuan Ekonomi dan Ekologi
Faktor Yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan Petani
Sustainability dalam Pengelolaan Sumberdaya
Multi-Objective dan Aplikasinya
Kerangka Operasional
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengambilan Sampel
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Analisis Regresi Logistik

Model Alokasi Sumberdaya Hutan Rakyat
Fungsi Kendala
Fungsi Tujuan
Analisis Produksi
Biaya dan Pendapatan
Penetapan Koefisien Fungsi Tujuan
Pendugaan Nilai Erosi
Penetapan Aktivitas/Variabel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi
Karakteristik Petani Responden
Keputusan Petani: Tujuan Ekonomi Vs Ekologi

xi
xii
xii
1
1
6
8
8
8
8
10
11
13
13
13
13
15
16
17
18
19
19
19
21
21
21
23
23
26
27
27
27
28
28
29
29
31
35

DAFTAR ISI (lanjutan)
Model Pengelolaan Lahan di Kawasan Hutan Rakyat
Alokasi Lahan di Kawasan Hutan Rakyat
Penentuan Sasaran Tujuan Ekologi dan Nilai Erosi Menurut
Tanaman di Kawasan Hutan Rakyat Kabupaten Sukabumi
Nilai Erosi Yang Diperbolehkan
Pendugaan Nilai Erosi Aktual
Penentuan Sasaran Tujuan Ekonomi dan Analisis Cash-Flow
Menurut Tanaman di Kawasan Hutan Rakyat Kabuapten Sukabumi
Kultur Teknis Pengolahan Lahan
Analisis Biaya dan Penerimaan Pengelolaan Lahan
Pemakaian Sumberdaya Faktor Produksi Lainnya
Fungsi Tujuan, Kendala, Sasaran dan Skenario Alokasi Sumberdaya
Kawasan Hutan Rakyat Kabupaten Sukabumi
Alokasi Sumberdaya Kawasan Hutan Rakyat Kabupaten Sukabumi
Alokasi Sumberdaya Berdasarkan Data Aktual
Alokasi Sumberdaya Berdasarkan Prioritas Tujuan Ekonomi
Alokasi Sumberdaya Berdasarkan Prioritas Tujuan Ekologi
Alokasi Sumbberdaya Berdasarkan Syarat Luasan Tertentu
The Best Compromise Solution: Tujuan Ekonomi Vs Ekologi
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

39
39
40
40
41
44
44
48
48
49
50
50
51
51
52
53
56
56
56
57
62
86

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.

Luas lahan rakyat di Jawa (Indikatif)
Perkembangan luas hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi
Luas dan produksi hutan rakyat kabupaten Sukabumi
Tipologi hutan rakyat
Faktor yang diduga memiliki korelasi dalam pengambilan
keputusan petani terhadap pengelolaan hutan rakyat
Penetapan Aktivitasaktivitas/variabel penelitian
Luas lahan kering berdasarkan penggunaannya
Karakteristik hutan rakyat berdasarkan kelompok tanaman dan jenis
tanaman yang mendominasi
Sebaran responden berdasarkan usia
Sebaran responden menurut tingkat pendidikan
Sebaran responden menurut pengalaman berusahatani
Sebaran responden berdasarkan jumlah tanggungan keluarga
Sebaran responden berdasarkan penguasaan lahan
Sebaran responden menurut pendapatan non-pertanian
Sebaran repsonden menurut partisipasi pertemuan kelompok tani
dan penyuluhan
Hasil estimasi model faktor yang mempengaruhi keputusan petani
Luasan lahan menurut jenis tanaman pada kawasan hutan rakyat
Pedoman penentapan nilai erosi yang diperbolehkan (Nilai T) di
Indonesia
Nilai sasaran tujuan ekologi
Rata-rata curah hujan dan indeks erosovotas hujan (R)
Indeks erodibilitas tanah (K)
Indeks panajng dan kemiringan lereng (LS)
Indeks vegetasi dan konservasi (CP)
Daftar harga bibit pertanaman per Mei 2013
Daftar pupuk dan harga pupuk
Daftar pengendali hama dan harganya
Nilai tujuan ekonomi yang ingin dicapai
Sasaran dan ketersediaan sumberdaya
Alternatif keputusan pengalokasian sumberdaya kawasan hutan
rakyat kabupaten sukabumi

4
4
6
11
22
29
30
31
32
32
33
34
34
35
35
36
40
41
41
42
42
43
43
44
46
47
48
50
53

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.

Pertumbuhan PDB kehutanan
Kontribusi kehutanan terhadap PDB 1993 - 2005
Penentuan kombinasi optimum
Alur kerangka pemikiran operasional

1
2
14
20

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Lokasi Penelitian
Uji regresi logistik – Hosmer and Lameshow Test
Hasil uji regresi logistik – Rasio Odd
Uji regresi logistik dengan menggunakan bootsrap L=1000
Data curah hujan Kabupaten Sukabumi 2007 – 2011
Matriks jenis tanaman yang dianalisis
Model matematika dan output LINDO tanpa prioritas, aktual
Model matematika dan output LINDO dengan skenario I (Min
Z=DB1)
9. Model matematika dan output LINDO dengan skenario I (Min
Z=DB2)
10. Model matematika dan output LINDO dengan skenario II (Min
Z=DA3)
11. Model matematika dan output LINDO dengan skenario II (Min
Z=DA4)
12. Model matematika dan output LINDO dengan skenario III

62
63
64
65
65
66
68
71
74
77
80
83

PENDAHULUAN
Latar Belakang

PDB (Rp.Milyar)

Sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan hidup mereka
dengan sumberdaya alam, terutama pada sektor pertanian, tak terkecuali sektor
kehutanan. Hutan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi dimana hasil hutan
dapat dijual langsung atau diolah menjadi barang yang bernilai tinggi,
memberikan lapangan pekerjaan, dan menyumbang devisa negara. Selain itu,
hutan bermanfaat secara klimatologis antara lain untuk mengatur iklim dan
penghasil oksigen bagi kehidupan. Hutan juga bermanfaat dalam pengaturan tata
air (fungsi hidrolis), serta sebagai pencegah erosi, banjir, mempertahankan
kesuburan tanah dan melestarikan keanekaragaman hayati (fungsi ekologis).
Sektor kehutanan sendiri telah menjadi modal utama pembangunan
ekonomi nasional yang memberikan dampak positif antara lain terhadap
peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja, serta mendorong pengembangan
wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Pada Gambar 1 dapat dilihat kontribusi sektor
kehutanan berdasarkan nilai harga berlaku mengalami peningkatan sejak tahun
2004. Pada tahun 2004 sektor kehutan berkontribusi terhadap PDB nasional
sebesar Rp20 triliun, dalam waktu lima tahun meningkat dua kali lipat menjadi
lebih dari Rp40 trilun pada tahun 2009. Peningkatan ini terus berlanjut hingga
tahun 2011 sebesar lebih dari Rp50 triliun (Kementerian Kehutanan 2012).

60000
50000
40000
30000
20000
10000
0

Tahun
Harga Berlaku
Gambar 1 Pertumbuhan PDB Kehutanan Indonesia 2000-2011
Sumber: Kementerian Kehutanan 2012 (diolah)

Namun bila dilihat dari kontribusinya terhadap PDB, peran (sub) sektor
kehutanan dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan dari sektor lain.
Dilihat dari Gambar 2 peranan sektor kehutanan pada PDB sejak tahun 2000
hingga 2011 mengalami penurunan. Kontribusi sub-sektor kehutanan terhadap
PDB kurang dari 1.2 persen per tahun. Faktor yang mempengaruhinya tak lain
adalah terjadinya pengalihan fungsi hutan ke sektor lain. Pengalihan fungsi hutan
ini dilatarbelakangi oleh desakan akan kebutuhan penduduk yang selalu

2

Persentase (%)

mengalami peningkatan jumlahnya dari tahun ke tahun. Tidak mengherankan jika
kawasan hutan sering menjadi sasaran untuk memenuhi kebutuhan manusia
tersebut sehingga banyak kawasan hutan berubah fungsinya.
1,40
1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Tahun
kontribusi Subsektor kehutanan thd PDB (harga konstan)
kontribusi Subsektor kehutanan thd PDB (Harga Berlaku)

Gambar 2 Kontribusi Kehutanan Terhadap PDB Indonesia 2000-2011
Sumber: Kementrian Kehutanan 2012 (diolah)

Seperti hutan-hutan di seluruh dunia, luas hutan Indonesia juga mengalami
penyusutan (deforestasi). Deforestasi hutan Indonesia cukup melaju dengan cepat.
Pada tahun 1950-an luas hutan Indonesia masih 82 persen dari seluruh wilayah
negara. Dua puluh tahun kemudian, luasnya tinggal 68 persen, di tahun 1995
menurun lagi hingga 53 persen. Saat ini, luas hutan Indonesia diduga hanya
tinggal 49 persen, bahkan bisa lebih kecil lagi. Selama periode tahun 2000-2009,
luas hutan Indonesia yang mengalami deforestasi adalah sebesar 15.16 juta ha
(Sumargo et al 2013). Deforestasi ini diakibatkan oleh illegal logging dan
kebakaran hutan yang selalu terjadi setiap tahunnya.
Deforestasi berdampak pada lingkungan, dimana hutan akan kehilangan
kemampuan menahan laju erosi dan daya tangkap air yang berakibat pada banjir
di musim hujan dan kekurangan air di musim kemarau. Selain itu, deforestrasi
mengakibatkan keanekaragaman hayati berkurang akibat dari rusaknya habitat
bagi sejumlah flora dan fauna. Pendapatan negarapun akan berkurang akibat biaya
yang dikeluarkan untuk menanggulangi bencana dan rehabilitasi lahan.
Deforestasi ini juga berdampak pada tidak terpenuhinya permintaan kayu akibat
produksi kayu dari hutan negara juga mengalami penurunan. Berdasarkan data
dari Direktorat Jendaral Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian
Industri, rata-rata pertumbuhan sektor industri barang kayu dan hasil hutan minus
3,5 persen pada tahun 2010 dan minus 1,4 persen pada tahun 2009 (Karina 2011).
Bahkan kondisi ini berlangsung dari tahun 2004 dimana pertumbuhan industri
kayu minus 2,1 persen. Terhentinya kegiatan industri kayu, termasuk industri
pertukangan akan mempengaruhi perekonomian nasional dan stabilitas sosial
karena berkurangnya kesempatan kerja di sektor kehutanan.
Indonesia sebagai negara berkembang memberikan perhatian yang lebih
terhadap manajemen kehutanan, sebab deforestrasi, degradasi hutan,
berkurangnya biodersivitas dan kemiskinan di pedesaan merupakan permasalan
dengan perhatian yang penting di berbagai negara berkembang. Banyak negara

3

berkembang memiliki perundangan, peraturan dan insentif di sektor kehutanan
yang kurang sesuai untuk meningkatkan keberlanjutan hutan. Selain itu, banyak
dari negara berkembang memiliki pendanaan dan sumberdaya manusia yang
kurang memadai untuk mengatur dan melaksanakan rencana manajemen hutan,
dan ketidasesuaian mekanisme untuk menjamin keterlibatan stakeholder dalam
perencanaan dan pembangunan hutan. Weiland dan Dedeurwaerdere (2010)
berpendapat yang menjadi penting bagi negara berkembang adalah mencari
pengaturan yang tepat untuk memenuhi tantangan dari pemanfaatan hutan
berkelanjutan.
Pengembangan hutan rakyat oleh pemerintah menjadi alternatif dalam
pemenuhan kebutuhan permintaan kayu, baik kayu untuk bahan baku
pertukangan, kayu industri dan kayu bakar. Meskipun pada awalnya,
pengembangan hutan rakyat di Indonesia merupakan kebijakan pemerintah untuk
mengatasi lahan kritis dan lahan terlantar melalui kegiatan penghijauan pada
tahun 1976. Perkembangan hutan rakyat juga tidak terlepas dari keswadayaan
masyaraka, sebab pengusahaan hutan tersebut berada di lahan milik masyarakat.
Oleh karena itu, pengembangan hutan rakyat akan berhasil apabila masyarakat
juga dikutsertakan secara aktif.
Namun hingga saat ini, Indonesia belum memiliki definisi yang pasti
mengenai hutan rakyat. Dalam Undang-Undang No 41 Tahun 1999, tidak
menyebutkan pengertian hutan rakyat secara jelas, sehingga hutan rakyat
diidentikkan sebagai hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani
hak atas tanah. Namun berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.
P.30/Menhut-V/2004, hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang
dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha
dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih dari 50 persen dan atau pada
tanaman tahun pertama sebanyak 500 pohon tiap hektarnya. Hutan hak dijelaskan
dalam Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.30/MenhutII/2012, yaitu hutan yang berada pada tanah/lahan masyarakat yang telah dibebani
hak atas tanah di luar kawasan hutan negara, dibuktikan dengan alas titel berupa
sertifikat hak milik atau Letter C atau Girik, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai atau
dokumen penguasaan/kepemilikan lainnya yang diakui oleh Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Namun secara sederhana, hutan rakyat adalah hutan dimana
masyarakatlah yang memiliki kontrol dan akses terhadap sumberdaya yang ada di
lahan mereka.
Meskipun belum terdefinisi dengan jelas, pengembangan hutan rakyat
sangat penting, selain untuk memenuhi pasokan kayu, juga ditujukan untuk
mengurangi lahan kritis dan konservasi lahan, perlindungan hutan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyerap tenaga kerja serta
memberikan andil dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Pentingnya keberadaan
hutan rakyat saat ini dapat dilihat dari pertambahan luas hutan rakyat yang
dikelola. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh BPKH XI Jawa-Madura, luas
hutan rakyat indikatif di Jawa pada tahun 1993 seluas 1,9 juta ha meningkat
menjadi 2,7 juta ha pada tahun 2009 dengan taksiran volume kayu sebesar 74 juta
m3. Berdasarkan laporan Mugiyono (2009) luas hutan rakyat di pulau Jawa
hampir mencakup 50 persen dari total luas hutan rakyat di Indonesia, yaitu seluas
2.799.181 ha. Bila dibandingkan dengan luas hutan yang dikelola Perum

4

Perhutani seluas 2.442.101 ha. Dapat dilihat bahwa hutan rakyat di pulau Jawa
memiliki peranan yang penting dalam memenuhi pasokan kayu nasional.
Tabel 1 Luas hutan rakyat di Jawa (Indikatif)
Provinsi
Luas (ha)
Jawa Barat
973.86
Jawa Tengah
747.26
Jawa Timur
641.15
Banten
325.34
DI Yogyakarta
111.58
Total
2 799.18

Persentase
34.79
26.70
22.90
11.62
3.99
100.00

Sumber: Mugiyono (2009)

Provinsi Jawa Barat memiliki luas hutan rakyat terbesar di Jawa yaitu
sebesar 34,79 persen. Sebaran luas hutan rakyat di Jawa dapat dilihat pada Tabel
1. Namun, pengembangan hutan rakyat di Jawa Barat memiliki beberapa kendala
yang merupakan karakteristik hutan rakyat itu sendiri. Karakteristik hutan rakyat
adalah kepemilikan lahan yang kecil, tenaga kerja yang terbatas berbasis keluarga,
skala usaha yang kecil, keterbatasan modal dan akses para petani hutan rakyat
(Hardjanto 2000; Fauziyah 2010). Selain itu, kawasan hutan rakyat bukan
kawasan yang kompak (Mile 2010), tetapi tersebar. Kondisi ini menyebabkan
pengelolaan hutan rakyat belum optimal dan tingkat pendapatan petani belum
maksimal.
Tabel 2 Perkembangan Luas Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi
Tahun
Luas Hutan Rakyat (ha)
2005
39 283
2006
39 617
2007
39 303
2008
34 917
2009
30 245
2010
30 245
Sumber: BPS Kabupaten Sukabumi (2008-2011)

Kendala dalam pengusahaan hutan rakyat juga dialami di Kabupaten
Sukabumi yang mengakibatkan terjadinya penurunan luas lahan hutan rakyat.
Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Sukabumi, luas hutan rakyat sejak 2005 –
2010 mengalami penurunan luas lahan sebesar 23 persen atau seluas 9 038 ha.
Penurunan luas hutan rakyat paling besar pada tahun 2009, yaitu sebesar 4.672 ha
dari tahun sebelumnya dimana hutan rakyat memiliki luas sebesar 34 917 ha.
Perkembangan luas hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi sejak tahun 2005 – 2010
dapat dilihat pada Tabel 2. Penurunan luas hutan rakyat ini dipengaruhi oleh
pengelolaan hutan rakyat tidak intensif yang terlihat dari rendahnya kontribusi
pendapatan yang berasal dari tanaman kayu dalam total pendapatan rumah tangga
petani (Setyawan, 2002). Tanaman kayu bagi petani hanya sebagai tabungan yang
sewaktu-waktu ditebang di saat kebutuhan ekonomi mendesak. Selain itu,
pengolahan yang tidak intensif terlihat dari daur tebang yang tidak sesuai dengan
waktu yang seharusnya, tetapi sesuai kebutuhan, sehingga disebut juga dengan

5

“tebang butuh” (Hardjanto 2000). Keadaan ini membuat lahan tidak produktif dan
ditelantarkan, yang apabila dibiarkan begitu saja akan menjadi lahan kritis.
Lahan yang tidak produktif akan mempengaruhi pendapatan rumah tangga
petani. Berdasarkan hasil penelitian Mile (2010) terhadap pertumbuhan tanaman
sengon selama 15 tahun di Kabupaten Ciamis, ketidaksuburan tanah berdampak
pada diameter kayu yang dari tahun ketahun semkain mengecil. Pada awalnya,
kualitas kayu sengon di Kabupaten Ciamis termasuk kelas bonita IV dengan ratarata tinggi 26.5 cm pada umur 5 tahun. Pada tahun 1998 rata-rata tinggi tanaman
sengon berumur 5 tahun adalah 26.2 m dengan diameter 21.56 cm, pada tahun
2004 menjadi 15.8 m dengan diameter 17.2 cm. Dan lima tahun kemudian,
tanaman sengon berumur 5 tahun hanya memiliki rata-rata tinggi setinggi 12 m
dan berdiameter 12.7 cm. Berdasarkan data dari BPS Kabupaten Sukabumi, sejak
tahun 2007 hingga 2010 harga kayu sengon tidak mengalami perubahan yang
artinya pendapatan petani semakin menurun.
Kondisi ini mendorong petani untuk memanfaatkan lahan mereka yang
sebagian besar kurang dari 1 ha (Suprapto 2010) untuk melakukan aktivitas
ekonomi selain pengusahaan hutan rakyat yang memberikan pengasilan dalam
jangka waktu yang cukup lama. Agar memberikan pemasukan bagi pendapatan
rumah tangga petani secara berkelanjutan, lahan dioptimalkan dengan
mengkombinasikan tanaman kehutanan, perkebunan, pertanian dan obat-obatan
yang sering disebut dengan watani atau agroforestri. Hal ini memungkinan petani
memperoleh pendapatan sejak awal pengusahaan hutan rakyat.
Namun, keputusan dalam menentukan kombinasi tanaman yang akan
diusahakan pada lahan tersebut tergantung pada keinginan masing-masing
pemilik lahan tersebut dan ketersediaan bibit (Mile 2010), sehingga keberagaman
jenis tanaman pada lahan tersebut cukup tinggi. Keputusan petani dalam
pemanfaatan lahan mereka lebih banyak dipengaruhi oleh tujuan ekonomi karena
petani akan cenderung memilih tanaman yang memberikan hasil yang cepat dan
harga yang tinggi. Keputusan dengan prioritas terhadap tujuan ekonomi akan
berdampak pada pengalokasian lahan yang lebih banyak dimanfaatkan dengan
jenis tanaman pertanian, perkebunan dan obat-obatan yang lebih cepat
memberikan penghasilan bagi pendapatan rumah tangga petani. Hal ini terjadi
karena pengelolaan hutan rakyat yang demikian menghasilkan tegakan dengan
kuantitas dan produksi yang rendah, sebab areal hutan sewaktu-waktu dapat
berubah menjadi areal pertanian tanaman semusim tergantung pemiliknya.
Keputusan ini memberikan keuntungan ekonomi yang cepat, namun dari
sisi kelestarian lingkungan (tujuan ekologi) tidak tercapai. Tujuan ekologi akan
tercapai apabila pemanfaatan lahan lebih banyak dialokasikan untuk
mengusahakan lahan dengan jenis tanaman kayu-kayuan. Namun, keputusan
dengan memprioritaskan tujuan ekologi ini akan berdampak pada penghasilan
yang diterima oleh petani dalam jangka waktu yang lama. Dan ini bukanlah
rangsangan yang tepat dalam pengembangan hutan rakyat dimana juga memiliki
tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan salah satu faktor
yang dapat menghambat pengembangan hutan rakyat.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa tujuan ekonomi dan tujuan ekologi
memiliki kepentingan yang berbeda. Apabila tidak dikelola dengan baik,
perbedaan kepentingan antara kedua tujuan tersebut akan menimbulkan konflik.
Untuk itu diperlukan pengalokasian yang tepat terhadap pemanfaatan sumberdaya

6

kawasan hutan rakyat agar tujuan ekonomi dan ekologi ini dapat tercapai dengan
memberikan tingkat pendapatan yang maksimal bagi petani dalam mengelola
lahan di hutan rakyat milik mereka.
Selain itu, tujuan ekonomi dan ekologi merupakan indikator apakah
kawasan hutan rakyat tersebut akan terus berlanjut dan berkesinambungan
keberadaannya (sustainability). Konsep keberlanjutan ini (sustainability)
membawa nilai untuk kehidupan manusia yang lebih baik untuk kesejahteraan
generasi yang mendatang. Sehingga tujuan ekonomi dan ekologi menjadi tolak
ukur dalam penelitian ini dengan memberikan alternatif keputusan yang mampu
mendekati tujuan ekonomi dan ekologi yang telah ditetapkan agar keberadaan
kawasan hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi berkelanjutan.
Perumusan Masalah
Pembangunan hutan rakyat saat ini mendapat perhatian yang lebih dari
pemeritah. Hal ini berkaitan dengan defisit yang terjadi pada kebutuhan kayu,
dimana permintaan kayu sudah tidak bisa dipenuhi lagi oleh hutan negara. Selain
itu, kerusakan yang semakin parah pada hutan alam Indonesia berdampak pada
dikeluarkannya kebijakan mengenai pengurangan pemanfaatan hasil hutan kayu
yang berasal dari hutan negara. Oleh karena itu, saat ini pemanfaatan lahan milik
masyarakat menjadi sasaran dalam pembangunan hutan rakyat agar permintaan
kayu terpenuhi dan hutan alam terjaga kelestariannya.
Kawasan hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu
kawasan pembangunan dan pengembangan hutan rakyat. Penurunan luas hutan
rakyat di Kabupaten Sukabumi berdampak pada penurunan tingkat produksi kayu
yang dapat dilihat pada Tabel 3. Penurunan produksi kayu rakyat ini berdampak
pada penurunan tingkat pendapatan masyarakat yang pada akhirnya juga
berdampak pada tujuan ekologi tidak tercapai.
Tabel 3 Luas dan produksi hutan rakyat Kabupaten Sukabumi
Tahun

Jumlah Produksi (m3)

Luas Hutan Rakyat (m2)

2005
2006
2007
2008
2009

32 314 852
77 433 000
85 036 152
53 706 036
37 404 107

392 830 000
396 170 000
393 030 000
349 170 000
302 450 000

Sumber: Kabupaten Sukabumi Dalam Angka (2008-2011)

Kondisi ini membuat pemerintah Kabupaten Sukabumi membuat program
kemitraan antara Kesatuan Pemangku Hutan (PKH) Sukabumi yang mengelola
hutan rakyat dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi pada 29
November 2010 melalui penandatangan MoU. Kemitraan ini bermaksud untuk
menyelenggarakan pengembangan hutan rakyat secara terpadu yang berwawasan
lingkungan, sosial dan ekonomi, untuk mempercepat penutupan lahan hutan
rakyat dan kesejahteraan masyarakat. Pola kemitraan ini dalam pengembangan
hutan rakyat, petani hanya menyediakan lahannya untuk pembangunan hutan
rakyat, sedangkan pemerintah menyediakan fasilitas pendanaan, bibit tanaman,

7

pupuk, teknik budidaya dan infrsturktur pemasarannya (Winarno dan Waluyo
2007). Jadi, kemitraan ini menjadi rangsangan untuk petani mau mengusahakan
lahannya sebagai kawasan hutan rakyat sehingga pembangunan dan
pengembangan hutan rakyat berjalan baik.
Dalam pengelolaan sumberdaya hutan rakyat terdapat beberapa
stakeholder yang terlibat di dalamnya, yaitu masyarakat, swasta dan negara
(pemerintah). Setiap pihak yang terlibat ini memiliki kepentingan yang berbeda
terhadap pemanfaatan lahan di kawasan hutan rakyat tersebut. Masyarakat sebagai
pemilik lahan dalam memanfaatkan lahan lebih memprioritaskan keuntungan
ekonomi (tujuan ekonomi) sehingga, tanaman pertanian atau perkebunan lebih
mereka sukai. Dari sisi swasta, lahan tersebut lebih ditujukan untuk menjamin
ketersediaan bahan baku kayu, sehingga alokasi lahan lebih diperuntukan untuk
jenis tanaman kayu-kayuan. Sedangkan dari sisi pemerintah, memiliki tujuan agar
konservasi lahan tercapai dan kesejahteraan masyarakat pun meningkat melalui
kebijakan atau program yang mereka keluarkan. Semua pihak dengan kepentingan
berbeda ini saling berinteraksi dan terkait satu sama lain.
Dapat dilihat, kepentingan yang berbeda dalam pengelolaan kawasan
hutan rakyat antara tujuan ekonomi dan ekologi dapat menghambat
pengembangan kawasan tersebut. Apabila pihak pengambil keputusan lebih
cenderung atau memprioritaskan tujuan ekonomi, maka kawasan hutan rakyat
tidak akan berjalan dalam jangka waktu panjang. Namun sebaliknya, jika pihak
pengambil keputusan lebih memprioritaskan tujuan ekologi, masyarakat sebagai
pemilik lahan tidak akan mengelola lahan mereka menjadi hutan rakyat.
Petani sebagai pemilik lahan yang memberikan keputusan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan lahan mereka. Keputusan ini menyangkut jenis
tanaman yang akan ditanam, pola tanam, teknik budidayanya dan lain sebagainya.
Tujuan ekonomi secara rasional tentu akan menjadi prioritas, namun mereka tentu
tidak boleh mengabaikan tujuan ekologinya. Dengan demikian, pertanyaan yang
muncul adalah faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan petani
memprioritaskan tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan lahan mereka?
Hasil keputusan petani akan menjadi sangat beragam. Dapat dilihat dari
dominasi jenis tanaman yang mereka usahakan di lahan mereka yang pada
umumnya dilakukan dengan pola campuran. Tanaman kehutanan yang banyak
diusahakan di Kabupaten Sukabumi adalah jati (Tectona grandis), sengon
(Paraserianthes falcataria) dan mahoni (Swietenia macrophyla). Ketiga jenis
tanaman ini hampir ditemukan di semua kecamatan yang ada di Kabupaten
Sukabumi. Sedangkan tanaman perkebunan yang dominan diusahakan di
Kabupaten Sukabumi adalah durian (Durio zibethinus), petai (Parkia speciosa),
kelapa (Cocos nucifera) dan cengkeh (Eugenia aromatica (Widiarti dan
Prajadinata 2008). Dan jenis tanaman pertanian yang dominan diusahakan adalah
singkong, ubi jalar, jagung, padi dan kacang-kacangan (Sugih 2009).
Jenis tanaman yang diusahakan oleh petani di lahan hutan rakyat ini
memiliki tingkat erosi yang berbeda-beda terhadap lahan, sehingga pola tanaman
yang dipilih petani akan memberikan dampak ekologis dan ekonomi yang
berbeda. Maka, pertanyaan penelitiannya selanjutnya adalah bagaimana
pengalokasian sumberdaya kawasan hutan rakyat di Kabupaten Sukabumi agar
memberikan the best compromise solution di antara pencapaian tujuan ekonomi
dan tujuan ekologinya?

8

Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian permasalahan yang ada pada perumusan masalah,
maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani
memprioritaskan tujuan yang ingin dicapai dalam pengelolaan lahan di
kawasan hutan rakyat.
2. Menganalisis alokasi sumberdaya yang optimal di kawasan hutan rakyat di
Kabupaten Sukabumi yang the best compromise solution antara tujuan
ekonomi dan ekologi.
Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak yang berminat maupun terkait dengan peningkatan kesejahteraan petani di
kawasan hutan dalam pemberdayaan sumberdaya pertanian, khususnya kepada:
1. Bagi petani, sebagai informasi tentang alokasi penggunaan sumberdaya yang
optimal untuk meningkatakan pendapatan maksimal.
2. Bagi pemerintah, sebagai bahan masukan perencanaan pengembangan dalam
merumuskan kebijakan yang tepat di bidang pertanian dan kehutanan.
3. Bagi akademis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi atau
referensi untuk penelitian selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA
Aktivitas Ekonomi di Hutan Rakyat
Peranan hutan rakyat bagi peningkatan kehidupan masyarakat di desa
cukup penting. Contohnya pada pengembangan hutan rakyat di wilayah Amazon,
dimana hutan rakyat merupakan salah satu pilihan yang paling menjanjikan untuk
mengatasi dilema dari bagaimana mengkombinasikan tujuan konservasi hutan
dengan pembangunan pedesaan dan pengurangan tingkat kemiskinan (Pokorny
dan Johnson 2008). Hal ini terjadi karena aktivitas-aktivitas yang dilakukan
masyarakat di dalam maupun di sekitar hutan telah memberikan kontribusi
terhadap pendapatan rumah tangga petani.
Aktivitas ekonomi di hutan rakyat merupakan serangkaian aktivitas usaha
yang meliputi kegiatan produksi, pemanenan, pemasaran/distribusi dan industri
pengolahan. Aktivitas-aktivitas ini cukup berarti dalam memberikan kontribusi
peningkatan perekonomian di pedesaan. Sebab, tak hanya dari potensi kayu yang
dihasilkan, tetapi juga besarnya rumah tangga yang terlibat dan penyerapan tenaga
kerja dalam setiap aktivitas tersebut baik melalui produksi kayu maupun hasil
hutan non-kayu lainnya.
Pada pengelolaan hutan rakyat secara intensif, dalam aktivitas produksi
selain melibatkan rumah tangga petani pemilik lahan juga melibatkan buruh tani.
Dan aktivitas produksi juga mendorong tumbuhnya usaha persemaian tanaman
kayu yang melibatkan tenaga kerja dan jasa pengangkutan. Sedangkan, pada
pengelolaan hutan rakyat yang belum intensif, petani pemilik lahan termasuk

9

petani yang subsiten, sehingga aktivitas ini hanya berkontribusi pada petani
pemilik lahan.
Aktivitas pemanenan, baik pada pengelolaan hutan rakyat secara intensif
maupun belum intensif, telah memberikan kontribusi pendapatan tidak hanya
kepada pemilik lahan tetapi juga kepada buruh tani, jasa pengangkut hingga
tengkulak (Suprapto 2010). Biasanya, kayu yang siap tebang akan diurus
perizinannya oleh tengkulak, petani pemilik hanya menyiapkan buruh tani yang
akan menebang dan yang akan mengangkut kayu keluar hutan. Bahkan, orang
yang mengangkut kayu pun telah disiapkan oleh tengkulak. Sedangkan, aktivitas
pemanenan kayu pada pengelolaan hutan rakyat yang belum intensif, biasanya
dilakukan di saat petani memiliki kebutuhan yang mendesak, atau biasa disebut
daur butuh (Hardjanto 2000). Hal ini dipengaruhi persepsi petani bahwa tanaman
keras merupakan tabungan mereka.
Selain panen kayu, ada aktivitas pemanenan yang dapat dilakukan per hari,
mingguan, bahkan bulanan/musimam. Petani mengoptimalkan lahan mereka
dengan menanam berbagai tanaman secara campuran karena lahan yang mereka
miliki luas yang kecil sehingga petani memperoleh penghasilan sepanjang tahun.
Aktivitas pemanenan yang memberikan penghasilan per hari adalah pencarian
kayu bakar baik yang berasal dari ranting tanaman kayu-kayuan atau dari tanaman
buah atau perkebunan (Achamd dan Diniyati 2010). Aktivitas pemanenan hasil
hutan bukan kayu dapat berupa pencarian getah damar atau karet, pengambilan
nira dan lain sebagainya telah berkontribusi sebesar 8 persen pendapatan petani di
kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (Rahmat dan Hamdi 2007). Selain itu,
aktivitas pemanenan hasil hutan bukan kayu adalah pencarian lebah hutan untuk
diambil madunya, pencarian jamur kayu dan pesuteraan alam (BPS Kab.
Sukabumi 2011) telah berkontribusi bagi pendapatan yang diterima oleh rumah
tangga petani.
Untuk aktivitas pemanenan bulanan atau musiman diperoleh dari tanaman
buah-buahan yang diusahakan oleh petani. Tanaman buah-buahan yang ditanam
petani merupakan golongan MPTS (Multiple Purpose Tree Species) dimana dari
daun, batang dan buahnya dapat memberikan penghasilan untuk rumah tangga
petani, bahkan kepada masyarakat sekitarnya karena mampu menyerap tanaga
kerja yang cukup besar sejak penanaman, pemeliharaan hingga pemanenan.
Bahkan, ayu yang berasal dari jenis tanaman buah saat ini memiliki nilai jual yang
cukup tinggi dan mulai diperdagangkan secara komersial (Widiarti dan
Prajadinata 2008). Hal ini dipengaruhi oleh semakin berkurangnya produksi kayu
dari hutan.
Aktivitas selanjutnya adalah pendistribusian hasil hutan berupa kayu dan
perdagangannya telah membuka kesempatan kerja yang bisa menyerap tenaga
kerja dari sekitar hutan yang tidak membutuhkan keterampilan khusus. Peluang
kerja yang terjadi antaranya adalah jasa angkut kayu, buruh muat dan jasa
penggergajian kayu (Suprapto 2010). Namun, penyerapan tenaga kerja ini akan
besar dan berkontibusi nyata pada perekonomian desa, apabila pengelolaan hutan
rakyat dilakukan secara intesif (Darusman dan Hardjanto 2006).
Pengusahaan hutan rakyat juga mendorong tumbuhnya industri
pengolahan kayu yang juga menyerap tenaga kerja yang cukup besar, berdasarkan
laporan Arupa terdapat 1500 orang yang terserap dalam industri pengolahan kayu
di Kabupaten Gunungkidul pada tahun 2004. Selain itu, juga tumbuh usaha

10

kerajinan dengan bahan baku kayu dan non kayu (Kuswantoro 2010; Suprapto
2010). Dengan demikian, pengolahan hutan rakyat telah mampu memberikan
kontribusi yang nyata dalam perekonomian masyarakat di pedesaan karena hutan
rakyat mampu merangsang tumbuhnya aktivitas lanjutan dari pengelolaan
sumberdaya hutan.
Dari uraian di atas, aktivitas di hutan rakyat sejak produksi, pemeliharaan,
pemasaran hasil, pengolahan pascapanen baik yang berupa kayu maupun
nonkayu, telah memberikan kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga petani
di kawasan hutan rakyat. Pendapatan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi petani dalam mengambil keputusan bagaimana mereka mengelola
lahan mereka yang ada di kawasan hutan rakyat. Sehingga, dibutuhkan kombinasi
yang optimal agar tujuan ekonomi dan ekologi tercapai dengan tingkat pendapatan
yang maksimum.
Pengelolaan Hutan Rakyat
Pengembangan hutan rakyat awalnya hanya untuk memperbaiki lahan
milik masyarakat yang merupakan lahan kritis yang berjurang, dekat mata air,
lahan terlantar dan tidak lagi dipergunakan untuk budidaya tanaman semusim
malalui program penghijauan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
produktivitas lahan kritis, memperbaiki tata air dan lingkungan dan membantu
masyarakat dalam penyediaan kayu bangunan, dan sumber kayu bakar (Suprapto
2010). Hutan rakyat di Jawa Barat mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Hal ini dipengaruhi oleh pelaksanaan berbagai program dari pemerintah mulai
dari Inpres penghijauan tahun 1997/1998, Gerakan Gandrung Tatangkalan
(Rakgantang) tahun 2000, Gerakan Rehabilitasi Lahan (Gerhan) tahun 2003,
KMDM, gerakan menanam sejuta pohon dan lain sebagainya. Menurut data dari
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, luas hutan rakyat di Jawa Barat pada tahun
2004 adalah 214.892,4 ha dan meningkat menjadi 229.003,5 ha pada tahun 2005,
kemudian menurun pada tahun 2006 menjadi 172.961,71 ha (Mile 2010). Hal ini
mengindikasikan bahwa tidak semua program yang dilaksanakan oleh pemerintah
dalam perbaikan kawasan lahan kritis berdampak positif, namun tentu saja hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.
Peran hutan rakyat semakin penting saat permintaan industri kayu nasional
tidak mampu dipenuhi oleh produksi kayu dari hutan alam. Potensi yang dimiliki
hutan rakyat menjadi alternatif dalam pemenuhan permintaan kayu untuk industri.
Untuk itu, pengelolaan hutan rakyat menjadi penting disebabkan karekteristik
hutan rakyat yang perlu diperhatikan, selain yang telah disebutkan sebelumnya
adalah (1) kontinuitas dan mutu kayu kurang terjamin, (2) beragam jenis tanaman
dengan daur yang tidak menentu/beragam, (3) keputusan pemanfaatan lahan untuk
hutan rakyat seringkali merupakan pilihan terakhir apabila pilihan lainnya tidak
memungkinkan, (4) instansi dan organisasi yang terlibat dalam pengelolaan hutan
rakyat cukup banyak, tetapi tidak ada satupun yang bertanggung jawab penuh atas
kelangsungan hutan rakyat, dan (5) perundangan, kebijakan, tata nilai, tata
perilaku dan sebagainya belum optimal mendukung pengembangan hutan rakyat
(Purwanto et al 2004; Herawati 2010; Mile 2010). Karakteristik tersebut menjadi
kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat di Indonesia.

11

Tipe-Tipe Pengelolaan Hutan Rakyat
Pengembangan hutan rakyat selama ini dikembangkan dengan pendekatan
teknologi pembinaan dan perlindungan hutan yang seragam tidak menunjukkan
hasilyang signifikan. Keragaman karakteristik hutan rakyat membutuhkan
teknologi dan pendekatan yang berbeda antar hutan rakyat sesuai tipologinya.
Cahyono dan Kusumedi (2010) membagi tipologi hutan rakyat menadi 8 tipologi.
Tipologi ini disusun berdasarkan tiga hal, yaitu motif ekonomi, pola tebang, dan
pola tanam. Ketiga unsur ini saling terkait dan berinteraksi sehingga terbentuk
tipologi dengan karakter yang khas. Secara rinci pembagian tipologi tersebut
dapat dilihat pada Tabel dibawah ini.
Tabel 4 Tipologi Hutan Rakyat
Orientasi
Pola Tanam Polikultur
Ekonomi
Tebang Pilih Tebang Habis
Subsisten
1
2
Komersil
5
6

Pola Tanam Monokultur
Tebang Pilih Tebang Habis
3
4
7
8

Sumber: Cahyono dan Kusumedi (2010)

Orientasi ekonomi pada pengelolaan hutan rakyat didasari oleh
kepemilikian lahan, akses pasar dan modal. Bila petani di hutan rakyat memiliki
lahan yang luas, akses pasar yang mudah, dan bermodal besar cenderung
beroerintasi ekonomi komersil dan jika sebaliknya maka berorientasi subsisten
Cahyono dan Kusumedi (2010). Pola tanam yang dipilih oleh petani hutan rakyat
dipengaruhi oleh jarak hutan dengan rumah (Achmad dan Diniyati 2010), semakin
dekat jarak lahan hutan rakyat dengan rumah petani, maka pola tanam yang
dipilih bersifat polikultur dan sebaliknya, semakin jauh jarak lahan hutan rakyat
dari rumah petani maka pola tanam yang dipilih adalah monokultur. Jarak
mempengaruhi intensitas pemeliharaan karena tenaga kerja untuk pemeliharaan
hutan rakyat masih berasal dari anggota keluarga sendiri. Selain jarak, faktor
modal juga mempengaruhi pemilihan pola tanam. Semakin besar modal yang
dimiliki dan berorientasi komersil, petani cenderung memilih pola tanam
monokulutur, dan sebaliknya petani yang berorientasi subsisten dan bermodal
kecil cenderung memilih pola tanam polikultur. Sebab petani bermodal kecil ingin
memetik hasil dari lahan mereka sesegera mungkin, sedangkan pola tanam
monokultur memberikan hasil dalam jangka waktu yang lama. Pola tebang yang
dilakukan oleh petani mengikuti daur butuh yang mengikuti kebutuhan ekonomi
rumah tangga petani atau disebut juag tebang butuh (Hardjanto 2003).
Penebangan tebang pilih dilakukan terhadap kayu yang terbaik hingga kebutuhan
ekonomi terpenuhi, jika belum terpenuhi maka akan dilakukan penebangan terus
menerus yang mengarah pada tebang habis.
Bila kita kaitkan dengan kinerja pengelolaannya, menurut Cahyono dan
Kusumedi (2010), tipologi 1 merupakan tipologi yang lebih sustainabilitas dan
memiliki ekuitabilitas tinggi, sedangkan tipologi 8 lebih tinggi kinerjanya untuk
produktivitas dan efisiensi. Namun dari sudut pandang petani, tipologi 1 lebih
menjamin kelangsungan hidup rumah tangga dan dapat memenuhi semua
kebutuhan sehingga produktivitasnya lebih tinggi. Pandangan petani ini dianggap
wajar karena sebagian besar petani hutan rakyat memiliki lahan yang sempit,

12

terutama di pulau Jawa. Adanya ketidakserasian pandangan antara masyarakat dan
pengambil kebijakan tentang apayang diketahui, yang dibutuhkan dan dilakukan
mengakibatkan sering terjadinya kegagalam program pengembangan hutan rakyat
(Suharjito 2000).
Kenyataan bahwa luas lahan yang dimilki petani hutan rakyat sempit dan
bermodal kecil menjadikan pola tanaman polikultur menjadi pilihan petani. Pola
ini disebut juga dengan pola agroforestri atau watani diaman mengkombinasikan
tanaman kehutanan, perkebunan, pertanian, serta mengkombinasikannya dengan
peternakan di lahan kawasan hutan. Lahan yang marjinal dapat ditingkatkan
produktivitasnya dengan menanam berbagai jenis tanaman.
Kipsat et al (2007) menjelaskan bahwa pola alokasi optimal engan
konservasi tanah mampu meningkatkan produktivitas lahan, tenaga kerja dan
modal. Bagi petani yang tidak melakukan konservasi tanah, maka pola alokasi
mengindikasikan tidak efesien penggunaan sumberdaya, sehingga petani tidak
sepenuhnya merasa puas dengan pencapaian produksi. Keberlanjutan dari pola
tanam harus dinilai dari segi efek pada stabilitas tanah dan resiko erosi, sehingga
keberlanjutan hutan pun akan terjamin.
Berdasarkan hasil penelitian Achmad dan Diniyati (2010) mengenai pola
agroforestri (mengkombinasikan tanaman hutan dan tanaman pertanian) yang
diterapkan pada hutan rakyat di desa Kalijaya Kabupaten Ciamis, dimana tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi dan nilai ekonomi hutan rakyat
pola agroforestri maupun monokultur dan nilai produktivitasnya menggunakan
Income Equivalent Ratio (IER), menunjukkan bahwa produktivitas pola
agroforestri pada hutan rakyat dibanding dengan pola monokultur memberikan
nilai IER sebesar 3.36 yang mengindikasikan bahwa hasil ekonomi hutan rakyat
dengan pola agroforestri 51.5 persen lebih besar dibandingkan dengan monokultur
dengan pendapatan petani Rp 17 725 170 per ha untuk pola agroforestri
sedangkan pola monokultur menghasilkan Rp 9 779 493 per ha. Kerapatan
tanaman kayu dan MPTS (multiple purpose tree species) adalah 871 per ha
dengan variasi tanaman kayu lima jenis, MPTS 2 jenis, dan tanaman semusim ada
lima jenis.
Dapat terlihat bahwa pola tanam agroforestri selain memberikan manfaat
ekologi karena tingginya keragaman jenis yang dikembangkan, juga memberikan
manfaat ekonomi karena produktivitasnya yang tinggi. Hal ini senada dengan
Hairiah et al (2003) yang menyatakan bahwa pola agroforestri memiliki
keunggulan berupa produktivitas yang lebih tinggi, keragaman hasil usaha
daripada pola penggunaan lahan yang lain. Oleh karena itu, pola agroofrestri tepat
diterapkan pada hutan rakyat di pulau Jawa yang berluas lahan sempit dan modal
terbatas, sehingga hasil hutan mampu memberikan jaminan stabilitas dan
kesinambungan pendapatan petani.
Namun, dari hasil penelitian Rodgers (2008) dalam Economic Analysis of
Smallholder Rubber Agroforestry System Efficiency in Jambi Indonesia,
menunjukkan bahwa total pengeluaran biaya perawatan yang dikeluarkan pada
kebun karet rakyat dengan sistem monokultur hanya sebesar 23 persen dari total
biaya keseluruhan, sedangkan pada sistem agroforestri, perkebunan karet rakyat
mengeluarkan biaya perawatan sebesar 31 persen dari total keseluruhan biaya.
Sehingga, berdasarkan perhitungan anggaran usahatani, penelitian ini juga
mengungkapkan bahwa sistem monokultur dalam mengelola perkebunan selama

13

pembentukan karet memiliki pengembalian yang lebih tinggi, mempekerjakan
lebih banyak tenaga kerja dan juga lebih menguntungkan daripada sistem
agroforestri tradisional karet rakyat. Penelitian ini menggunkan PAM untuk
menganalisis efisiensi produksi dan keuntungan yang diperoleh dengan
membandingkan antara sistem monokultur