Perencanaan Pengembangan Kerja Sama Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat (Studi Kasus Di Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi)
PERENCANAAN PENGEMBANGAN KERJA SAMA
KEMITRAAN MULTI PIHAK USAHA HUTAN RAKYAT
(Studi Kasus Di Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi)
SUTRISNA WIJAYA SAID
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan
Pengembangan Kerja Sama Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat (Studi
Kasus di Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Sutrisna Wijaya Said
NIM E14100111
ABSTRAK
SUTRISNA WIJAYA SAID. Perencanaan Pengembangan Kerja Sama
Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat (Studi Kasus di Desa Citanglar
Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi). Dibimbing oleh BUDI PRIHANTO
dan MUHAMMAD ZANZIBAR.
Hutan rakyat telah memberikan kontribusi ekonomi maupun ekologis baik
langsung kepada pemiliknya maupun kepada masyarakat sekitar. Kajian ini
dilakukan untuk mempelajari dan mendokumentasi proses pengembangan kerja
sama kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat di Desa Citanglar Kecamatan
Surade Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model
perencanaan pengembangan usaha hutan rakyat. Berdasarkan hasil pengamatan,
keterlibatan multi pihak ditujukan untuk menyediakan faktor produksi dan iklim
usaha yang kondusif untuk mencapai tujuan kolektif yang disepakati. Pengelola
kerja sama kemitraan berperan sebagai fasilitator dalam pengelolaan kemitraan
usaha hutan rakyat, yang diharapkan dapat memberikan keyakinan dan jaminan
atas keberhasilan usaha kepada para pihak. Faktor kunci dalam pengelolaan kerja
sama multi pihak ini adalah penguasaan teknologi dan berkembangnya modal
sosial diantara para pelaku. Pengelola kerja sama kemitraan ini merupakan salah
satu pilihan bagi profesi rimbawan.
Kata kunci: hutan rakyat, kelola sosial, kemitraan, perencanaan
ABSTRACT
SUTRISNA WIJAYA SAID. Planning of Multi Stakeholder Cooperation
Partnerships on Community Forest Development (Case Study in Citanglar Village
Surade Subdistrict Sukabumi District).Supervised by BUDI PRIHANTO and
MUHAMMAD ZANZIBAR.
Community forests has a long contribution to the economic and ecological
either directly to the owner or to the surrounding community. The study was
carried out to study and to document the planning of multi stakeholder
cooperation partnerships community forest enterprises in Citanglar Village,
Surade Subdistrict, Sukabumi. It aims to create a planning model stages. Based on
the observation, multi stakeholder involvement are intended to provide a factor of
production and business conditions that are condusive to achieving collective
goals agreed. Collaborative manager acts as a facilitator in the management of
cooperation on community forest development, which is expected to provide
confidence and guarantees of business success to the stakeholders. A key factor in
the management of multi stakeholder cooperation partnerships are mastery of
technology and the development of social capital among actors. This collaborative
manager is one option for profession forester.
Keywords: community forest, partnership, planning,social management
PERENCANAAN PENGEMBANGAN KERJA SAMA
KEMITRAAN MULTI PIHAK USAHA HUTAN RAKYAT
(Studi Kasus Di Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi)
SUTRISNA WIJAYA SAID
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 ini ialah
pengembangan usaha hutan rakyat, dengan judul Perencanaan Pengembangan
Kerja Sama Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat (Studi Kasus di Desa
Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir Budi Prihanto, MS dan
Bapak Ir Muhammad Zanzibar, MM selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh pihak pengelola yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Ayah, Ibu dan seluruh Keluarga, Dyah Puspita Laksmi Tari, Ovita Ayu
Conthesa, Leoni Sunandar Putri, Fitha Anggraini, Andita Ayuningtyas, Afdhal
serta seluruh Teman-teman MNH47 dan Fakultas Kehutanan IPB atas segala doa
dan dukungannya.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2015
Sutrisna Wijaya Said
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE
5
Pengumpulan dan Analisis Data
6
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kondisi Umum Pengelolaan Hutan Rakyat di Surade
7
Perencanaan Pengembangan Usaha Hutan Rakyat
8
Penyusunan Rencana
13
Evaluasi Kinerja Pengelolaan
16
Petikan Pembelajaran (Inovasi)
17
SIMPULAN DAN SARAN
18
Simpulan
18
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
20
RIWAYAT HIDUP
23
DAFTAR TABEL
1 Skema bagi hasil para pihak terkait
2 Distribusi peran, risiko dan manfaat
11
12
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan tahapan perencanaan pengembangan usaha hutan rakyat
8
DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian
20
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Surade merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang
memiliki potensi untuk pembangunan hutan rakyat, khususnya untuk tanaman
pokok jati dengan pola kemitraan yang melibatkan petani, investor, desa dan
pengelola kerja sama kemitraan. Pengembangan kemitraan multi pihak usaha
hutan rakyat Surade ini telah berjalan sekitar dua tahun.
Aplikasi skema kerja sama kemitraan multi pihak dalam pengembangan
usaha hutan rakyat bukan hal yang baru, sudah berkembang sejak akhir dekade
tahun 1990-an. Namun cerita tentang keberhasilannya mewujudkan hutan rakyat
dengan skema ini hampir tidak ada. Kegagalan mewujudkan biofisik tegakan
hutan yang baik menjadikan keyakinan masyarakat untuk berinvestasi di bidang
ini semakin berkurang. Pengelola kerja sama kemitraan multi pihak gagal
memenuhi kewajibannya kepada investor dan para pihak yang terlibat. Surade
memiliki rintisan pengembangan kerja sama kemitraan multi pihak usaha hutan
rakyat jati yang sudah berjalan sekitar dua tahun, yang sekurangnya secara
penampakan biofisik tegakan (persen tumbuh, pertumbuhan dimensi
pohon/tegakan) menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Hal-hal yang terjadi di
Surade layak untuk diteliti, agar mendapatkan intisari pembelajaran yang
memungkinkan untuk direkonstruksi menjadi model dan direplikasi ke tempat lain.
Pengembangan kerja sama kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat
memerlukan modal usaha yang meliputi sumber daya alam (natural resources
capital), sumber daya manusia (human resources capital), infrastruktur
(infrastructure capital), modal finansial (financial capital) serta modal sosial
(social capital) sebagai input. Penyediaan modal-modal tersebut perlu
menghadirkan para pihak yang berpotensi dalam pemenuhan/penyediaan modal
dimaksud, yaitu pemilik lahan, tenaga kerja, investor (penyedia modal finansial),
penyedia infrastruktur (akses jalan dan sarana pendukung yang lain) dan
pengelola kerja sama kemitraan (collaborative manager) sebagai fasilitator
pengelolaan usaha hutan rakyat.
Surade memiliki potensi lahan yang secara biofisik sesuai untuk budidaya
hutan rakyat jati, namun ironisnya banyak petani yang tidak memiliki lahan dan
banyak pemilik lahan di Surade yang tidak mengelola lahannya secara optimal,
karena lemahnya penguasaan teknologi dan keberadaan pemilik lahan yang sudah
berdomisili di luar Surade. Teknologi budidaya hutan rakyat di Surade bersifat
tradisional, dimana akses teknologi dan pengetahuan yang masih rendah. Pemilik
lahan kurang memiliki modal finansial dan kesempatan untuk pengembangan
hutan rakyat yang intensif.
Berdasarkan uraian di atas, perlu mediasi/fasilitasi relasi antar para pihak
untuk merancang skema kerja sama kemitraan multi pihak, membangun
komunikasi untuk menyepakati kerja sama kemitraan multi pihak, memastikan
akses terhadap teknologi serta mengembangkan modal sosial. Hal tersebut
merupakan kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan kerja sama kemitraan
multi pihak di Surade. Pembelajaran pengembangan kerja sama multi pihak usaha
hutan rakyat di Surade ini perlu didokumentasi dan direkonstruksi menjadi sebuah
2
model perencanaan untuk pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan
rakyat di tempat lain.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi sistem nilai dan kerangka pikir yang dikembangkan oleh
pengelola dalam pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat
Surade.
2. Mengidentifikasi inovasi yang dilakukan pengelola bersama para pihak dalam
pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat Surade.
3. Merekonstruksi proses pelaksanaan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat
Surade dalam tahapan-tahapan perencanaan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
metodologi pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat di Surade.
Selanjutnya dapat dijadikan sebagai referensi model untuk pengembangan di
tempat lain dengan penyesuaian terhadap karakteristik spesifik lingkungan
setempat. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khazanah
keilmuan dan teknologi di bidang pengelolaan hutan rakyat.
TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan Hutan
Perencanaan hutan adalah proses penyusunan rencana sebagai dasar acuan
dan pegangan bagi pelaksanaan berbagai kegiatan dalam rangka mencapai tujuan
pengusahaan hutan yang bertolak dari kenyataan saat ini dan memperhitungkan
pengaruh masalah dan kendala yang memungkinkan terjadi selama proses
mencapai tujuan tersebut (Soeranggadjiwa 1991).
Zaitunah (2004) menyatakan bahwa perencanaan merupakan tahapan
penting dalam mewujudkan tujuan dari pengelolaan hutan lestari. Perencanaan
yang baik menjadikan pengelolaan hutan terarah dan terkendali, baik dalam awal
pengelolaan hutan maupun kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan.
Menurut Soeranggadjiwa (1991) ilmu perencanaan hutan merupakan
bagian dari ilmu kehutanan yang berintikan kepada pemahaman yang mendalam
mengenai hutan sebagai suatu ekosistem berikut peranan bidang-bidang ilmu
pendukung lain, seperti ekonomi, sosial, dan analisis kuantitatif dalam
menganalisis serta mensintesiskan data dan informasi biofisik, ekonomi dan sosial
yang diperlukan dalam menyusun rencana pengelolaan hutan. Ilmu perencanaan
hutan dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas penerapan teori dan konsep
dalam bidang biologi, ekonomi, sosial dan analisis kuantitatif untuk menganalisis
dan mensintesiskan informasi biofisik ekosistem hutan berikut dengan keadaan
sosial dan ekonomi yang berkenaan dengan barang dan jasa yang dihasilkan dari
ekosistem hutan serta dampak yang dapat ditimbulkan pada lingkungannya.
3
Hutan Rakyat
Simon (1995) menyatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan yang
dibangun secara swadaya oleh masyarakat yang ditujukan untuk menghasilkan
kayu atau komoditas ikutannya secara ekonomis. Hutan rakyat dibangun di atas
lahan milik, tetapi dapat pula di atas lahan hutan produksi dengan kontrol dari
Departemen Kehutanan.
Hutan rakyat sudah berkembang sejak lama di kalangan masyarakat
Indonesia, dan dilakukan secara tradisional oleh masyarakat di lahan-Iahan
miliknya. Hal ini dapat dilihat dari adanya hutan rakyat tradisional yang
diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah (swadaya
murni), baik berupa tanaman satu jenis (hutan rakyat murni), maupun dengan pola
tanaman campuran (agroforestri) (Awang 2005). Alasan pemerintah mulai
memperhatikan pengembangan hutan rakyat antara lain semakin terasanya
kekurangan hasil kayu dari kawasan hutan negara, baik hasil kayu pertukangan,
kayu industri maupun kayu bakar. Selain itu pengembangan hutan rakyat juga
berfungsi untuk menanggulangi lahan kritis, konservasi lahan, perlindungan hutan,
upaya mengurangi kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat setempat.
Menurut Awang (2005) penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat
oleh pemiliknya, merupakan salah satu bentuk kearifan masyarakat dalam rangka
memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Semakin terbatasnya kepemilikan tanah,
peran hutan rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan
tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan
pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan
pembangunan hutan rakyat.
Jati
Jati (Tectona grandis) merupakan salah satu jenis tanaman yang
mendominasi hutan Indonesia. Tanaman ini baik dibudidayakan di Indonesia
karena kondisi cuaca dan lingkungan yang tropis mendukung pertumbuhan jati.
Jenis tanaman ini dapat ditanam di berbagai kondisi lahan dan lingkungan, seperti
hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, hutan pegunungan, hutan tanaman
industri, lahan kering tidak produktif, lahan basah tidak produktif dan lahan
perkebunan (Mulyana dan Asmarahman 2010). Menurut Sumarna (2003) Jati
merupakan salah satu komoditas kayu mewah yang bernilai komersil tinggi. Hal
ini berbanding lurus dengan kualitas kayunya yang tinggi. Kayu jati termasuk
kelas kuat I dan kelas awet II. Berdasarkan taksonomi, jati dapat digolongkan
sebagai berikut :
Divisi
Kelas
Sub Kelas
Ordo
Family
Genus
Spesies
: Spermatophyta
: Angiospermae
: Dictyledoneae
: Verbenales
: Verbenaceae
: Tectona
: Tectona grandis Lim f.
4
Menurut Amri dan Tini (2002) jati merupakan tanaman asli (endemik) di
sebagian besar jazirah India, Myanmar, Thailand bagian barat, Indo Cina,
sebagian Jawa serta beberapa pulau kecil lainnya di Indonesia, seperti Muna
(Sulawesi Tenggara). Tanaman Jati dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 30
– 45 m dengan tinggi bebas cabang 15 – 20 m dan diameter 220 cm. Pertumbuhan
jati cukup cepat hingga umur 25 tahun, namun setelah itu pertumbuhan jati relatif
melambat (Sumarna 2003).
Pola Pengembangan Hutan Rakyat
Menurut Supriadi (2002) dalam rangka pengembangan hutan rakyat,
dikenal tiga pola hutan rakyat, yaitu Pola Swadaya, Pola Subsidi dan Pola
Kemitraan. Pola Swadaya adalah hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau
pereorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau
perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan
mampu untuk melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan
bimbingan teknis kehutanan. Pola Subsidi (model hutan rakyat) adalah hutan
rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan
biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui
Inpres Penghijauan, Padat Karya dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain
yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. Pola Kemitraan (Kredit Usaha
Hutan Rakyat) adalah hutan rakyat dibangun atas kerja sama masyarakat dan
perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat
dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerja sama itu adalah pihak perusahaan
perlu bahan baku dan masyarakat butuh bantuan modal kerja. Pola Kemitraan ini
dilakukan dengan memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai
dengan membagi hasil usaha secara bijaksana, sesuai kesepakatan antara
perusahaan dan masyarakat.
Strategi Pengembangan Hutan Rakyat
Strategi pengembangan hutan rakyat sebagai landasan untuk menyusun
perencanaan harus didasarkan pada beberapa aspek, yaitu pemilihan jenis,
perencanaan areal, pola penanaman dan organisasi pelaksana. Dalam pemberian
landasan arah bagi pemilihan jenis yang tepat maka harus memperhitungkan
aspek kebutuhan hasil hutan rakyat (Simon 1995).
Salah satu langkah pengembangan hutan rakyat menurut Marbyanto
(1996) adalah melalui pendekatan kelompok tani hutan rakyat. Namun
menurutnya, hal ini belum cukup karena pengembangan kelompok tani hutan
rakyat harus disertai pembinaan yang intensif dan menciptakan iklim yang
mendukung. Suatu hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan usaha hutan
rakyat adalah hak-hak masyarakat dan aspirasi serta kemampuan yang ada pada
mereka sendiri. Aspek-aspek pengembangan hutan rakyat merupakan hal yang
kompleks, maka dalam penanganannya dibutuhkan koordinasi lintas sektoral.
Melihat aspek-aspek dalam pengembangan usaha hutan rakyat saat ini maka
instansi yang perlu terlibat dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat adalah
Departemen Kehutanan, Departemen dalam Negeri (termasuk Pemerintahan
Desa), Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Koperasi,
5
Badan Pertahanan Nasional, Lembaga Penelitian Bidang Kehutanan dan
Perguruan Tinggi, Bank dan Lembaga Keuangan, serta Swasta dan LSM.
Menurut Marbyanto (1996) pengembangan hutan rakyat dilakukan dengan
beberapa strategi sebagai berikut :
1. Menginventaris hutan rakyat yang telah ada untuk mengetahui sebaran hutan
rakyat baik letak, luasan, jenis dan perkiraan potensi yang terkandung
didalamnya dalam rangka perwilayahan jenis dan pengembangan selanjutnya.
2. Menginventarisir sasaran pengembangan lokasi hutan rakyat baik lahan kritis
yang terlantar, lahan kritis karena solum yang tipis, maupun lahan miring
lainnya yang membahayakan lingkungan.
3. Percontohan pengelolaan hutan rakyat menurut berbagai kondisi hutan rakyat
yang ada sekarang menuju pengelolaan hutan rakyat yang produktif, lestari
dan aman terhadap lingkungan.
4. Penyiapan sarana perangkat lunak baik yang menyangkut produk hukum,
pedoman, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan
ditingkat daerah maupun bimbingan dari pusat.
5. Meningkatkan hasil penelitian dan pengembangan hutan rakyat dalam bentuk
metode, teknologi dan teknik pelaksanaan yang tepat bagi pengembangan
hutan rakyat.
6. Memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang terdidik dan terlatih.
7. Menggerakkan dan membangkitkan partisipasi masyarakat dan pengembangan
dan pengelolaan hutan rakyat melalui pembentukan kelompok tani yang
dinamis.
8. Penyuluhan kepada masyarakat baik melalui tokoh masyarakat, tokoh agama,
kelompok tani, organisasi pemuda dan pelaku kegiatan hutan rakyat lainnya
dalam rangka membentuk jaringan pembinaan.
9. Menyamakan persepsi pengelolaan hutan rakyat para pejabat daerah terkait
dalam rangka ikut serta menggalakkan partisipasi masyarakat.
10. Mendorong terciptanya pasar hasil hutan rakyat sehingga terjadi kemudahan
bagi masyarakat dan kestabilan dalam pelaksanaannya.
.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di unit usaha pengelolaan hutan rakyat di Desa
Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi mulai pada bulan November
hingga Desember 2014.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera dan
seperangkat komputer dengan Software Microsoft Office 2010. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer
berasal dari hasil wawancara terhadap pihak-pihak terkait. Selain itu data primer
juga didapatkan melalui observasi kondisi lapang di lokasi-lokasi penanaman di
6
Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi. Data sekunder didapat
dari studi pustaka terhadap literatur terkait berupa kondisi umum lokasi penelitian.
Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data primer dilakukan wawancara mendalam (depth
interview) dengan pengelola dan petani hutan rakyat yang dipilih secara
purposive. Pengumpulan data sekunder tentang kondisi umum lokasi penelitian ke
instansi terkait di Desa Citanglar Kecamatan Surade.
Data hasil wawancara dianalisis secara kualitatif deskriptif untuk
memperoleh gambaran tentang ide, sistem nilai dan kerangka pikir, serta proses
dari capaian pengembangan hutan rakyat Surade. Proses dalam pengembangan
hutan rakyat Surade dilakukan identifikasi inovasi-inovasi apa saja yang
dilakukan dan diduga sebagai penentu capaian hasil. Selanjutnya hasil
pengamatan proses pengembangan hutan rakyat Surade direkonstruksi menjadi
tahapan-tahapan dan ruang lingkup perencanaan pengembangan kemitraan multi
pihak usaha hutan rakyat.
Tahapan kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari tentang hutan rakyat.
2. Identifikasi dan orientasi wilayah studi.
3. Pengumpulan data.
4. Analisis data (prospek pengembangan hutan rakyat dan identifikasi pemangku
kepentingan).
5. Telaah skenario pengelolaan hutan rakyat.
6. Identifikasi tahapan perencanaan hutan rakyat.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian berada dalam wilayah Kelurahan Surade dan Desa
Citanglar. Surade merupakan kecamatan di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa
Barat, Indonesia. Luas kecamatan Surade sebesar 36 419 ha dengan jumlah
penduduk total 73 146 jiwa dan terdiri dari 12 desa/kelurahan terdiri dari
Buniwangi, Cipeundeuy, Citanglar, Gunung Sungging, Jagamukti, Kadaleman,
Kademangan, Pasiripis, Sirnasari, Sukatani, Swakarya dan Wanasari. Kecamatan
Surade berbatasan langsung dengan Kecamatan Ujung Genteng, Kecamatan
Cibitung, dan Kecamatan Jampang Kulon.
Kecamatan Surade yang terletak sekitar 90 km dari Kota Sukabumi dapat
ditempuh dengan melintasi jalan berkelok dan berbukit. Sepanjang perjalanan
terdapat kebun teh, pinus dan perkebunan lainnya. Sebagian besar wilayah
Kecamatan Surade merupakan areal pertanian, persawahan dan perkebunan.
Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani.
Secara geografis Kelurahan Surade Kecamatan Surade berada di sebelah
selatan wilayah Kabupaten Sukabumi dengan luas sebesar 622.05 ha. Secara
umum, lahan terbagi menjadi dua kategori lahan yaitu sebelah Utara dan Selatan
mayoritas didominasi oleh lahan kering, perumahan, dan perkotaan, kemudian
sebelah Barat dan Timur didominasi oleh lahan basah persawahan. Luas Desa
7
Citanglar sebesar ±245 ha dengan kondisi topografi berbukit, sedangkan
Kecamatan Surade dengan bentuk permukaan tanah (morfologi) relatif datar.
Lokasi di wilayah studi memiliki ketinggian 50 – 116 mdpl. Luas areal hutan
rakyat yang dikelola sebesar 37.86 ha.
Secara demografi, jumlah penduduk di Kelurahan Surade sebanyak 9487
jiwa dan Desa Citanglar sebanyak 6094 jiwa. Sebagian besar penduduk bekerja
sebagai petani, buruh tani, sektor perdagangan dan jasa. Infrastruktur dasar di
wilayah studi cukup memadai dan terpelihara cukup baik. Infrastruktur yang
tersedia antara lain prasarana perhubungan berupa jalan dan jembatan serta
prasarana kesehatan berupa puskesmas, posyandu dan praktek dokter. Prasarana
pendidikan antara lain PAUD, TK, RA, SD Negeri, Madrasah (Diniyah,
Tsanawiyah, Aliyah), SMK Swasta, Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi.
Selain itu juga terdapat prasarana perekonomian berupa toko, pasar, koperasi,
rumah makan dan penginapan serta prasarana peribadatan berupa masjid dan
musholla.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Pengelolaan Hutan Rakyat di Surade
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, penggunaan lahan kering di
Surade digunakan untuk berladang, pertanian lahan kering serta hutan rakyat yang
dikelola secara tradisional (tidak intensif). Petani hutan rakyat tradisional di
Surade memiliki kebiasaan menanam pohon-pohon dengan jarak tanam yang rapat
(berukuran 1m x 1m) dengan berbagai jenis seperti jati, sengon dan mahoni.
Pemanfaatan ruang tumbuh tidak optimal tersebut menyebabkan produktivitas
ekonomi hutan rakyat rendah, karena pertumbuhan riap kayunya tidak optimal dan
hanya menghasilkan kayu bakar. Pola cocok tanam ini tidak memungkinkan
petani untuk menanam tumpangsari pada lahan tersebut.
Para petani hutan rakyat di Surade sebagian besar bukan pemilik lahan.
Hasil observasi menunjukkan bahwa banyak lahan-lahan yang tidak dikelola
secara intensif karena pemiliknya berada di luar Surade. Pola cocok tanam yang
dikembangkan oleh pengelola kerja sama kemitraan multi pihak di Surade
memberikan inspirasi bagi petani tentang cara meningkatkan produktivitas lahan
melalui optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh dengan jarak tanam tertentu yang
teratur, sehingga diperoleh pertumbuhan tanaman pokok jati yang optimal dan
tersedianya ruang untuk budidaya tumpangsari di bawah tegakan. Tanaman jati
tidak cocok ditanam di tempat yang tergenang air, sehingga tumpangsari di bawah
tegakan diarahkan pada tanaman jenis-jenis pertanian lahan kering.
Pengenalan cara berbudidaya hutan rakyat yang intensif menggunakan
jenis Jati Inti (jati unggul cepat tumbuh) merupakan terobosan untuk
meningkatkan produktivitas lahan melalui optimalisasi ruang tumbuh, sehingga
dapat menerapkan sistem wanatani (agroforestri). Tumpangsari antara tanaman
pokok Jati Inti dengan berbagai tanaman pertanian seperti padi gogo, kacang
tanah, kacang panjang dan kedelai. Program pengembangan kemitraan multipihak
usaha hutan rakyat Surade memberikan contoh bagi para petani tentang
peningkatan produktivitas ekonomi hutan rakyat.
8
Perencanaan Pengembangan Usaha Hutan Rakyat di Surade
Tahapan Perencanaan Pengembangan Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan
Rakyat di Surade
Pengembangan sistem nilai dan kerangka pikir kemitraan multi pihak
usaha hutan rakyat Surade
Melakukan kajian kelayakan usaha pembangunan hutan rakyat
Identifikasi pemangku kepentingan dan para pihak dalam
skema kerja sama multi pihak
Merancang disain skema kerja sama multi pihak
Membangun komunikasi dan kesepahaman para pihak tentang program
pengembangan usaha hutan rakyat
Menyusun rencana kelola (Kelola produksi, sosial dan lingkungan)
Menyusun panduan dan mekanisme kerja
Gambar 1 Bagan tahapan perencanaan pengembangan usaha hutan rakyat
Sistem Nilai Pengembangan Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat di
Surade
Sistem nilai pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat di
Surade mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, dimana“Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Prinsip
pembangunan berkelanjutan menekankan distribusi manfaat sumberdaya alam
yang seimbang (fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan) dan berkeadilan, baik
antar pemangku kepentingan, antar kelompok masyarakat maupun antar generasi.
Sistem ekonomi kerakyatan menempatkan rakyat sebagai pelaku utama dan
dijamin hak aksesnya terhadap sumberdaya lahan, teknologi dan permodalan.
Sumberdaya lahan merupakan modal/faktor produksi yang penting. Status
penguasaan sumberdaya lahan dapat merupakan hak milik masyarakat,
perusahaan, atau dikuasai oleh Negara. Distribusi kepemilikan/penguasaan lahan
oleh masyarakat meliputi luasan yang relatif sempit, menjadikan usaha hutan
rakyat kurang efisien dan efektif untuk memenuhi skala ekonomi rumah tangga.
Oleh karena itu pengorganisasian lahan diperlukan agar : (1) setiap petani dapat
mengakses pengelolaan lahan dalam luasan yang ekonomis, terlepas dari siapapun
9
penguasa lahannya, dan (2) setiap jengkal lahan dapat produktif dan memberikan
kontribusi terhadap kesejahteraan petani dan pemiliknya.
Pengembangan Kerangka Pikir Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat
di Surade
Menurut pengelola, pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan
rakyat Surade dilandasi oleh kerangka pikir sebagai berikut : (1) Skenario
pelestarian/keberlanjutan pengelola sumber daya alam harus melibatkan human
interest para pihak terkait keberhasilan mengelola hutan adalah gejala (symptom)
dari keberhasilan mengelola para pelaku secara adil dan berkelanjutan; (2) Kelola
teknologi budidaya adalah prasyarat keharusan, sedangkan kelola sosial dan
kelembagaan menjadi prasyarat kecukupan yang memungkinkan teknologi unggul
dapat diterapkan untuk mencapai tujuan; serta (3) Kelola sosial dan kelembagaan
yang ditujukan untuk meningkatkan modal sosial guna membangun gerakan
kolektif yang sinergis antara para pihak terkait.
Keberlanjutan kerja sama kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat
ditentukan oleh keadilan distribusi peran, resiko dan manfaat yang dihasilkan.
Upaya menuju keadilan ini dicerminkan oleh skema yang dikembangkan dalam
kerja sama kemitraan tersebut.
Kajian Kelayakan Usaha Hutan Rakyat di Surade
Kajian kelayakan usaha hutan rakyat meliputi beberapa aspek yaitu aspek
teknis, aspek finansial, aspek sosial ekonomi dan budaya, serta aspek hukum.
Sejak dulu di Surade banyak perusahaan jati yang terkenal dengan jati berkualitas
baik. Hal ini dikarenakan kondisi tanah di sana cocok dengan tanaman jati. Selain
itu banyaknya tenaga kerja khususnya dipedesaan yang bisa dilibatkan dalam
pembangunan hutan rakyat. Jenis tanah di sana adalah tanah grumosol, yaitu tanah
yang terbentuk dari material halus berlempung serta berwarna hitam dan bersifat
subur. Tanaman yang dapat tumbuh di tanah grumosol antara lain padi, jagung,
kedelai, tebu, tembakau dan jati. Kondisi ideal lokasi penanaman jati adalah
beriklim kering dan cocok ditanam di daerah tropis. Tanah yang ideal untuk
penanaman jati yaitu tanah dengan pH 5–8 dan dapat tumbuh optimal di daerah
dataran rendah (50 – 80 mdpl). Kisaran curah hujan antara 1200 – 2500 mm/tahun
dengan 3 – 5 bulan kering atau curah hujan kurang dari 50 mm/bulan. Temperatur
berkisar antara 19 – 36°C yang merupakan temperatur normal untuk daerah tropis
dengan intensitas cahaya sebesar 75 – 100% (Amri dan Tini 2002). Iklim di lokasi
studi berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson adalah iklim kering dengan
curah hujan berkisar antara 2000 – 3000 mm/tahun.
Berdasarkan
kondisi
tersebut
pengelola
memutuskan
untuk
mengembangkan usaha hutan rakyat di Surade dengan menanam tanaman jati
dengan jenis Jati Inti karena kesesuaian tempat tumbuh. Jati Inti merupakan salah
satu varietas jati cepat tumbuh yang tetua klonnya diperoleh dari radiasi nuklir.
Bibit Jati Inti yang digunakan merupakan bibit unggul asal Bogor. Kondisi ideal
edafisnya Jati Inti dapat dipanen pada umur 8 – 10 tahun. Bibit klon Jati Inti yang
digunakan sudah diuji di beberapa lokasi seperti Bogor, Muna dan Sukabumi.
Teknologi budidaya sudah dikuasai pihak pengelola dan terus dikembangkan agar
teknologi tersebut dapat diajarkan dan mudah diakses oleh petani penggarap.
Pertumbuhan tanaman Jati Inti pada umur 10 – 12 bulan memiliki riap diameter
10
rata-rata sebesar 4 – 5 cm, sehingga pada daur 8 tahun riap diameternya dapat
mencapai 32 – 40 cm.
Aspek finansial dapat dilihat dari asumsi simulasi perhitungan hasil yang
dibuat oleh pengelola. Biaya budidaya sebesar Rp 66 400 000/ha dan hasil
pendapatan sebesar Rp 815 778 029/ha dapat diperoleh margin rata-rata sebesar
141.25% per tahun dengan asumsi harga kayu sebesar Rp 3 000 000/m3. Harga
kayu jati di lokasi penelitian rata-rata sebesar Rp 4 500 000/m3. Selain kayu jati,
ada juga kayu mahoni dan kayu sengon masing-masing sebesar Rp 2 000 000/m3
dan Rp 1 500 000/m3. Kayu-kayu jenis tersebut biasanya dibuat menjadi kusen
dan papan. Diantara jenis-jenis kayu yang ada, jenis jati merupakan jenis kayu
yang paling laku.
Masyarakat di Surade sudah biasa menanam pohon. Kegiatan menanam
pohon merupakan tradisi dari masyarakat di sana. Hal ini terlihat dari banyaknya
tanaman jenis kayu yang terlihat di lokasi wilayah studi seperti jati, jabon dan
sengon. Mereka sudah menjadikan usaha menanam pohon sebagai investasi untuk
menopang kebutuhan ekonominya di masa yang akan datang. Selama ini petani
penggarap menanam tanaman dengan berbagai jenis tanaman dalam satu lahan
dengan jarak yang tidak teratur, tidak dipupuk dan pemeliharaan seadanya. Hal
tersebut menyebabkan pemanfaatan lahan menjadi tidak optimal. Kebutuhan kayu
di Jawa yang semakin meningkat dan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas
hutan negara mendorong pengembangan usaha hutan rakyat sebagai salah satu
sumber alternatif bagi pasokan kayu. Peluang pengembangan hutan rakyat
tersebut didukung kemudahan akses ke pasar ini karena adanya lembaga
pemasaran untuk kayu dan non kayu seperti pengumpul dan penggergajian kayu
berada di Surade. Hal tersebut mempermudah pengelola untuk menjual hasil hutan
berupa kayu dan non kayu. Adanya peluang peningkatan pendapatan melalui
pemanfaatan lahan di bawah tegakan dengan menanam tanaman semusim dengan
pola tumpangsari, seperti padi, kacang tanah, kacang panjang, dan cabai.
Aspek hukum juga perlu diperhatikan karena pada dasarnya dalam
mengelola dan mengembangkan suatu usaha terdapat aturan-aturan dan syaratsyarat tertentu yang harus dipenuhi. Aspek hukum yang dimaksud dalam studi
kasus pengembangan hutan rakyat ini yaitu memastikan kepastian status dari
lahan yang akan dikelola serta hak dan kewajiban dari pihak-pihak terkait. Hal
tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik antar pihak baik dengan
pihak dalam maupun pihak luar, agar kegiatan pengembangan usaha hutan rakyat
di Surade dapat berjalan dengan optimal.
Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Para Pihak
Para pihak terkait di lokasi studi dalam hal ini adalah investor, pemilik
lahan, pengelola, petani penggarap dan desa. Peran para pihak ini diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan modal atau faktor produksi yang diperlukan. Pemilik
lahan menyediakan lahan yang layak secara teknis dan bebas konflik, petani
penggarap sebagai tenaga kerja, investor sebagai penyedia modal finansial, desa
berkontribusi dalam menjaga kondusivitas lingkungan sosial, dan pengelola kerja
sama kemitraan sebagai fasilitator penyelenggaraan pengelolaan teknis budidaya
dan kelola sosial dan kelembagaan. Fasilitator berperan penting untuk
memberikan keyakinan dan jaminan keberhasilan usaha, melalui pengendalian
11
operasi manajemen budidaya dan kelola sosial kelembagaan untuk memelihara
dan mengembangkan modal sosial para pelaku, khususnya para petani penggarap.
Merancang Disain Skema Kerja Sama Multi Pihak
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, pengelola telah membuat dan
menerapkan skema bagi hasil panen (production sharing). Panen dijadwalkan
pada umur tanaman pokok jati 8 tahun. Petani penggarap selain mendapatkan bagi
hasil panen, juga mendapatkan manfaat lain, yaitu 100% hasil pertanian
tumpangsari dan upah kegiatan budidaya dari tanaman jati tersebut (persiapan
tanam, penanaman, dan pemeliharaan). Skema bagi hasil yang telah disepakati
para pihak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Skema bagi hasil para pihak terkait
No
1
2
3
4
5
Para pihak terkait
Pemilik lahan
Investor
Unit pengelola
Penggarap
Desa
Jumlah
Porsi bagi hasil (Persentase)
20.0
45.0
22.5
10.0
2.5
100
Berdasarkan hasil perhitungan dengan asumsi jarak tanam sebesar 3 m x 4
m (populasi tanaman 830 batang) dan populasi panen sebesar 95% (789 batang),
diameter rata-rata sebesar 28 cm serta harga kayu sebesar Rp 3 000 000/m3
diperoleh volume tegakan sebesar 268.26 m3/ha dan hasil pendapatan sebesar Rp
815 778 029/ha. Porsi bagi hasil sebesar 10% ini diharapkan para petani
penggarap memperoleh pendapatan bagi hasil sebesar Rp 81 577 802/ha. Petani
penggarap memperoleh upah untuk semua aktivitas selama kegiatan pengelolaan
di luar porsi bagi hasil. Pada kegiatan merancang dan menyepakati skema kerja
sama multi pihak, dilakukan juga kegiatan pendistribusian peran, risiko dan
manfaat antar para pihak secara adil yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Uraian dari tabel di bawah menunjukkan bahwa setiap para pihak terkait
memiliki peran dengan risiko dan manfaat masing-masing. Pelibatan petani
penggarap (masyarakat sekitar) bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani
penggarap, sehingga dapat menimbulkan rasa memiliki dan bertanggung jawab,
serta memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan usaha hutan rakyat di
Surade. Pendekatan terhadap masyarakat juga dilakukan melalui berbagai
kegiatan sosial agar mempererat hubungan sosial dan tali silaturahmi dengan
masyarakat.
12
Tabel 2 Distribusi peran, risiko dan manfaat
No
Para pihak
terkait
Pemilik
lahan
Menjadikan lahan
bebas konflik
Kehilangan
kesempatan untuk
usaha lain
Memperoleh bagi
hasil panen
2
Investor
Penyedia modal
Kehilangan modal dan
kesempatan usaha lain
Memperoleh bagi
hasil panen
3
Unit
pengelola
Kehilangan kredibilitas
dan kesempatan usaha
lain
Memperoleh bagi
hasil panen dan
peningkatan
kredibilitas
sebagai pengelola
4
Petani
penggarap
Mengorganisir
pelaksanaan kegiatan
operasional di
lapangan dan
membina para petani
penggarap
Pelaksana kegiatan di
lapangan di bawah
koordinasi pengelola
5
Desa
1
Peran
Menjaga kondusivitas
lingkungan sosial
hutan rakyat
Risiko
Distribusi manfaat
Kehilangan waktu dan
Memperoleh bagi
kesempatanpenggunaan hasil panen dan
tenaga
kesempatan untuk
bertani
tumpangsari
Kehilangan
Memperoleh bagi
kesempatan untuk
hasil panen,
meningkatkan ekonomi meningkatkan
lokal
produktivitas
lahan, membuka
lapangan
pekerjaan, untuk
pembangunan
ekonomi lokal
Teknis penanaman yang dilakukan petani penggarap langsung dibimbing
oleh pengelola dengan cara yang benar, sehingga para petani penggarap
memperoleh ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen. Kegiatan pembinaan
petani penggarap dilakukan dengan mengadakan sosialisasi yang menjelaskan
tujuan dan manfaat dari hutan rakyat yang akan dikembangkan. Hasil dari
sosialisasi yang diadakan membuat mereka ingin bergabung untuk
mengembangkan hutan rakyat di Surade, sehingga timbul rasa ingin bekerja sama
dan membentuk kelompok tani.
Dampak yang timbul dari adanya usaha pengembangan hutan rakyat ini
yaitu para petani penggarap jadi memiliki rasa tanggung jawab, sehingga mereka
benar-benar menjaganya dengan baik. Selain itu mereka juga memiliki rasa
bangga karena diakui dan dirangkul oleh pengelola.
Membangun Komunikasi Skema Multi Pihak
Hasil disain skema yang telah direncanakan sebelumnya dikomunikasikan
dengan para pihak terkait untuk mencapai pemahaman dan kesepakatan bersama
dengan cara dialog dan diskusi. Hal ini bertujuan untuk membangun visi bersama
(kesetaraan) dalam berbagi peran, risiko dan manfaat. Pengelola menjelaskan
kepada semua pihak terkait tentang nilai dari tanaman yang akan dikembangkan.
13
Memperhatikan hak kelola agroforestri penggarap yang disesuaikan dengan
kebutuhan mereka dalam arti bahwa mereka tetap bisa menggarap dan
memanfaatkan lahan untuk tumpangsari yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh
mereka sendiri. Menjelaskan prosedur serta aturan-aturan yang telah dibuat
kepada semua pihak terkait.
Penyusunan Rencana
Kegiatan perencanaan pengembangan usaha hutan rakyat dibutuhkan
penyusunan rencana yang baik. Pihak pengelola membuat tiga rencana kelola
yaitu rencana kelola produksi, rencana kelola sosial dan rencana kelola
lingkungan. Rencana tersebut memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain agar
dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Rencana Kelola Produksi
Ruang lingkup dari rencana kelola produksi meliputi perencanaan kegiatan
di lapang seperti pengadaan bibit, penyiapan lahan, hingga pemasaran. Bibit Jati
Inti yang digunakan merupakan bibit unggul asal Bogor. Faktor-faktor produksi
yang direncanakan antara lain tenaga kerja, lahan, modal dan bibit. Teknik
silvikultur yang diterapkan harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi
pertumbuhan dari tanaman yang ditanam, mulai dari penyiapan lahan, jenis tanah,
jenis tanaman, jarak tanam hingga penanaman. Tujuan dari rencana kelola
produksi agar seluruh kegiatan budidaya dapat terencana dengan baik.
Metode penanaman dalam mengelola hutan rakyat di Surade meliputi
persiapan lahan, pengaturan jarak tanam, pembuatan lubang, pemberian pupuk
dasar, dan penanaman. Persiapan lahan merupakan kegiatan dimana lahan harus
dibersihkan dari semak/akar-akar gulma, pembongkaran tunggak, pembalikan
tanah, penghancuran bongkahan tanah dan pembebasan dari naungan. Lokasi di
Surade pada umumnya memiliki hembusan angin yang kencang, sehingga jarak
tanam yang diterapkan menggunakan jarak tanam sebesar 3 m x 3 m. Selain itu
ada juga lokasi dengan hembusan angin yang sedang hingga rendah, dalam
kondisi ini jarak tanam optimum yang diterapkan sebesar 3 m x 4 m. Ukuran
lubang tanam sebesar 40 cm x 40 cm x 40 cm. Setiap lubang ditancapkan ajir
terbuat dari bilahan bambu atau kayu yang berfungsi untuk menandai lokasi
lubang tanam. Bibit yang digunakan merupakan bibit unggul berasal dari Bogor
yang dipindahkan ke Surade. Bibit yang sudah tersedia di lokasi penanaman
dipelihara terlebih dahulu di sekitar lokasi selama 1 minggu, agar bibit tersebut
dapat beradaptasi dengan lingkungan penanaman. Bibit harus ditanam pada awal
musim hujan atau ketika curah hujan sudah mencukupi, kemudian 4 minggu
sebelum penanaman ditambahkan pupuk alami.
Metode pemeliharaan meliputi kegiatan pendangiran, penyulaman,
pemberian pupuk alami dan pemupukan dengan NPK, pembersihan gulma serta
pengendalian hama dan penyakit. Pendangiran dan pembuatan piringan dilakukan
sebanyak 3 kali dalam 1 tahun. Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 8
bulan sejak awal penanaman. Pemberian pupuk alami dilakukan setelah ruas
pertama terbentuk (2 minggu setelah penanaman). Teknik pemberian pupuk
dilakukan dengan cara membuat lubang di sekitar tanaman.
14
Pembersihan gulma di sekitar tanaman jati perlu dibersihkan secara rutin
dengan cara membuat piringan. Pembersihan gulma lebih berhasil dengan
ditumpangsarikan dengan jenis tanaman pertanian seperti jagung, kacang tanah,
dan lain-lain. Bibit tumpangsari yang ditanam para petani penggarap merupakan
bibit lokal. Jenis yang tidak boleh ditumpangsarikan dengan jati adalah ketela, ubi
rambat dan merica karena dapat mengganggu pertumbuhan dari tanaman jati.
Tumpangsari dilakukan setelah tanaman Jati Inti berumur 4 minggu.
Pengendalian hama dan penyakit yang bersifat pencegahan dilakukan
sejak persiapan lahan melalui pengawasan yang intensif, pemupukan tanaman
sesuai petunjuk dan pengaturan drainase yang baik. Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan secara mekanis dan kimiawi. Secara mekanis dilakukan
dengan cara mengumpulkan hama dan dimusnahkan dengan cara dibakar. Secara
kimiawi berupa pemberian insektisida. Memangkas batang atau bagian yang
terserang hama. Pemangkasan dan pemotongan cabang utama tajuk (pruning)
dilakukan pada tahun 1 – tahun 2 dan top pruning dilakukan pada tanaman yang
telah mencapai tinggi lebih dari 14 m (tahun 3 – tahun 4).
Beberapa kegiatan di atas merupakan inovasi baru yang dibuat oleh pihak
pengelola untuk mendukung pengembangan usaha hutan rakyat di Surade dan
tidak semua dilakukan di hutan rakyat pada umumnya. Berdasarkan hasil
perhitungan asumsi, hutan rakyat Surade memiliki potensi panen kayu sebesar 10
156.32 m3 pada tahun ke delapan dan akan dipasarkan ke pasar bebas.
Rencana Kelola Sosial
Rencana kelola sosial berfungsi untuk merancang dan menyepakati skema
kerjasama multi pihak. Perencanaan sosial melibatkan pihak-pihak terkait
diantaranya yaitu investor, pemilik lahan, pengelola, petani penggarap dan desa.
Selain itu hal ini bertujuan untuk memperkuat modal sosial. Menurut Robby
Djohan (2008) modal sosial merupakan suatu keadaan yang membuat masyarakat
atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama. Proses gerakan
tersebut ditopang oleh nilai dan norma yang khas yaitu kepercayaan, saling
memberi dan menerima, toleransi, penghargaan, partisipasi, kerja sama dan
proaktif, serta nilai-nilai positif yang dapat membawa kemajuan bersama. Modal
sosial memilliki beberapa unsur yaitu : (1) Social participation : Adanya
partisipasi kolektif dalam membahas suatu isu serta melakukan tindakan bersama;
(2) Reciprocity : Adanya keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan
membantu orang lain, adanya kesimbangan antara hak dan kewajiban; (3) Trust :
Adanya sikap saling percaya di dalam suatu masyarakat; (4) Acceptance and
diversity : Adanya sikap toleransi terhadap perbedaan di dalam masyarakat,
walaupun berbeda tetapi tetap saling menghormati dan menerima perbedaan
tersebut dengan baik dan bijak; (5) Value system : Adanya suatu norma dan nilai
yang diyakini bersama; (6) Sense of efficiacy : Adanya suatu kondisi di mana
setiap orang merasa dihargai di dalam suatu kelompok sosial masyarakat; dan (7)
Cooperation and proactivity : Adanya kerja sama yang baik antara para anggota
kelompok sosial, bahkan kerja sama tersebut bersifat proaktif (sukarela).
Peningkatan modal sosial dilakukan untuk mendukung program usaha
hutan rakyat dengan cara menjalin komunikasi dan relasi dengan masyarakat
sekitar. Membangun dialog yang setara dalam memecahkan masalah petani
penggarap serta menjalin komunikasi dan relasi dengan masyarakat sekitar. Cara
15
pengelola memelihara hubungan timbal balik yang kondusif dilakukan dengan
memberikan hak kelola kepada petani penggarap untuk kelola tumpangsari pada
lahan tersebut. Pengelola menegaskan bahwa mereka (petani penggarap) tetap
bisa menggarap dan memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam tumpangsari
yang hasilnya dapat mereka konsumsi sendiri, dengan batasan untuk tidak
menanam tanaman yang dapat mengganggu pertumbuhan jati. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan petani penggarap. Pengelola juga berkontribusi
dalam kegiatan sosial/keagamaan di desa sekitar.
Rencana Kelola Lingkungan
Hutan rakyat di Surade mempunyai peran dalam mengendalikan erosi dan
limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah dan menjaga keseimbangan
tata air. Sesuai pendapat Awang (2003), saat ini hutan rakyat dan hutan negara
harus dikelola dalam satu kesatuan konsep yang utuh, berbasis kepada pendekatan
ekosistem, namun memiliki hak dan tanggung jawab yang berbeda dalam
pelaksanaan pengelolaannya.
Rencana kelola lingkungan memuat upaya-upaya pencegahan,
pengendalian dan penanggulangan dampak penting negatif dan meningkatkan
dampak penting positif akibat suatu rencana usaha/kegiatan. Rencana ini dibuat
untuk menciptakan keseimbangan fungsi produksi dan fungsi sosial agar tidak
melewati batas fungsi ekologi. Selain itu juga untuk mengembangkan kapasitas
petani penggarap. Lokasi di Surade rentan terjadi erosi pada areal tertentu saat
memasuki musim hujan. Pengelola membuat penahan erosi (guludan) di areal
yang rawan erosi, dengan tujuan untuk mengendalikan aliran permukaan. Areal
tanaman jati di Surade ada yang datar dan berbukit. Pada bagian bawah di areal
berlereng, tanaman jati tumbuh subur dan optimal. Hal ini disebabkan karena
tanaman jati di areal tersebut memperoleh asupan air yang cukup. Agar semua
tanaman jati dapat tumbuh merata, dilakukan pembuatan terasering pada bagian
permukaan yang miring.
Pada lahan miring dibuat lubang untuk penimbunan serasah agar menjadi
pupuk alami yang bertujuan untuk menjaga kesuburan tanaman. Pembersihan
dilakukan dengan menggunakan piringan yang bertujuan untuk mengurangi
kompetisi gulma terhadap tanaman, mempermudah petani penggarap pada saat
melakukan pemupukan dan kontrol di lapangan.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk merumuskan tindakan-tindakan
penyempurnaan kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Kegiatan monitoring dan
evaluasi dilakukan setiap hari oleh petani penggarap, setiap minggu oleh mandor
di lapangan, dan bulanan oleh pihak pengelola. Informasi harian dan mingguan
dari lapangan tentang perkembangan tegakan yang perlu segera diatasi dipastikan
sampai kepada mandor atau pengelola sebagai dasar pengambilan keputusan
untuk dilakukan tindakan. Beberapa tindakan yang telah dilakukan pengelola
yaitu memastikan sejauh mana Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah
dibuat dapat diimplementasikan secara mudah dan tepat di lapangan. Evaluasi
keberhasilan kegiatan dan monitoring pertumbuhan tanaman melalui pengukuran
terhadap petak ukur permanen (PUP) secara berkala dan penguatan kapasitas dan
16
pengetahuan petani serta sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap
masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.
Menyusun Panduan dan Mekanisme Kerja
Penyusunan panduan dan mekanisme kerja bersifat dinamis, karena jika
ada temuan/pengalaman baru selalu diperbaiki. Perlu disusun panduan yang
mengatur tata hubungan kerja antara para pihak yang terlibat didalam kegiatan
usaha hutan rakyat, agar manajemen usaha hutan rakyat berjalan efektif dan
efisien. Selain itu perlu disusun pedoman teknis pelaksanaan dalam berbagai
kegiatan budidaya.
Evaluasi Kinerja Pengelolaan
Sejak tahun 2012 di Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten
Sukabumi dikembangkan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat yang
melibatkan lima pihak yaitu pemilik lahan, petani hutan, investor, pengelola
kemitraan dan desa. Hasil evaluasi yang dilakukan pada bulan September 2014
menunjukkan keberhasilan yang memuaskan baik dari sisi keberhasilan tanaman
dan dampaknya terhadap pendapatan petani. Evaluasi implementasi dari
perencanaan pengembangan usaha hutan rakyat dilakukan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan dari tegakan jati.
Berdasarkan hasil penelitian Igor (2015) tanaman Jati Inti hutan rakyat
Surade seluas 37.86 ha yang berumur 5 – 21 bulan memiliki persen tumbuh
sebesar 100% dengan riap diameter lebih dari target yaitu sebesar 4 cm/tahun. Hal
tersebut sesuai dengan hasil observasi lapangan terhadap 42 petak contoh
berukuran 9 m x 12 m dengan jumlah tanaman sebanyak 16 batang/petak.
Kontribusi terhadap pendapatan petani sebesar Rp 709 707/bulan/petani yang
merupakan upah kerja, kegiatan tumpangsari dan asumsi bagi hasil panen.
Kontribusi ini diperoleh petani penggarap dengan luas rata-rata garapan 0.4 ha.
Keberhasilan ini dapat dicapai karena adanya modal sosial yang terus berkembang
sejalan dengan perkembangan tanaman. Adanya hutan rakyat ini tidak lepas dari
campur tangan masyarakat sekitar, karena merekalah yang selalu berada di sekitar
areal dalam kesehariannya. Hal ini menunjukkan bahwa kelola sosial merupakan
faktor penting dalam mengembangkan usaha hutan rakyat.
Kegiatan pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat di Desa
Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi sudah memasuki tahun ketiga.
Faktor-faktor
KEMITRAAN MULTI PIHAK USAHA HUTAN RAKYAT
(Studi Kasus Di Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi)
SUTRISNA WIJAYA SAID
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan
Pengembangan Kerja Sama Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat (Studi
Kasus di Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi) adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Sutrisna Wijaya Said
NIM E14100111
ABSTRAK
SUTRISNA WIJAYA SAID. Perencanaan Pengembangan Kerja Sama
Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat (Studi Kasus di Desa Citanglar
Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi). Dibimbing oleh BUDI PRIHANTO
dan MUHAMMAD ZANZIBAR.
Hutan rakyat telah memberikan kontribusi ekonomi maupun ekologis baik
langsung kepada pemiliknya maupun kepada masyarakat sekitar. Kajian ini
dilakukan untuk mempelajari dan mendokumentasi proses pengembangan kerja
sama kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat di Desa Citanglar Kecamatan
Surade Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model
perencanaan pengembangan usaha hutan rakyat. Berdasarkan hasil pengamatan,
keterlibatan multi pihak ditujukan untuk menyediakan faktor produksi dan iklim
usaha yang kondusif untuk mencapai tujuan kolektif yang disepakati. Pengelola
kerja sama kemitraan berperan sebagai fasilitator dalam pengelolaan kemitraan
usaha hutan rakyat, yang diharapkan dapat memberikan keyakinan dan jaminan
atas keberhasilan usaha kepada para pihak. Faktor kunci dalam pengelolaan kerja
sama multi pihak ini adalah penguasaan teknologi dan berkembangnya modal
sosial diantara para pelaku. Pengelola kerja sama kemitraan ini merupakan salah
satu pilihan bagi profesi rimbawan.
Kata kunci: hutan rakyat, kelola sosial, kemitraan, perencanaan
ABSTRACT
SUTRISNA WIJAYA SAID. Planning of Multi Stakeholder Cooperation
Partnerships on Community Forest Development (Case Study in Citanglar Village
Surade Subdistrict Sukabumi District).Supervised by BUDI PRIHANTO and
MUHAMMAD ZANZIBAR.
Community forests has a long contribution to the economic and ecological
either directly to the owner or to the surrounding community. The study was
carried out to study and to document the planning of multi stakeholder
cooperation partnerships community forest enterprises in Citanglar Village,
Surade Subdistrict, Sukabumi. It aims to create a planning model stages. Based on
the observation, multi stakeholder involvement are intended to provide a factor of
production and business conditions that are condusive to achieving collective
goals agreed. Collaborative manager acts as a facilitator in the management of
cooperation on community forest development, which is expected to provide
confidence and guarantees of business success to the stakeholders. A key factor in
the management of multi stakeholder cooperation partnerships are mastery of
technology and the development of social capital among actors. This collaborative
manager is one option for profession forester.
Keywords: community forest, partnership, planning,social management
PERENCANAAN PENGEMBANGAN KERJA SAMA
KEMITRAAN MULTI PIHAK USAHA HUTAN RAKYAT
(Studi Kasus Di Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi)
SUTRISNA WIJAYA SAID
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 ini ialah
pengembangan usaha hutan rakyat, dengan judul Perencanaan Pengembangan
Kerja Sama Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat (Studi Kasus di Desa
Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir Budi Prihanto, MS dan
Bapak Ir Muhammad Zanzibar, MM selaku pembimbing. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh pihak pengelola yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada Ayah, Ibu dan seluruh Keluarga, Dyah Puspita Laksmi Tari, Ovita Ayu
Conthesa, Leoni Sunandar Putri, Fitha Anggraini, Andita Ayuningtyas, Afdhal
serta seluruh Teman-teman MNH47 dan Fakultas Kehutanan IPB atas segala doa
dan dukungannya.
Semoga skripsi ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2015
Sutrisna Wijaya Said
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE
5
Pengumpulan dan Analisis Data
6
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Kondisi Umum Pengelolaan Hutan Rakyat di Surade
7
Perencanaan Pengembangan Usaha Hutan Rakyat
8
Penyusunan Rencana
13
Evaluasi Kinerja Pengelolaan
16
Petikan Pembelajaran (Inovasi)
17
SIMPULAN DAN SARAN
18
Simpulan
18
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
20
RIWAYAT HIDUP
23
DAFTAR TABEL
1 Skema bagi hasil para pihak terkait
2 Distribusi peran, risiko dan manfaat
11
12
DAFTAR GAMBAR
1 Bagan tahapan perencanaan pengembangan usaha hutan rakyat
8
DAFTAR LAMPIRAN
1 Dokumentasi penelitian
20
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Surade merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang
memiliki potensi untuk pembangunan hutan rakyat, khususnya untuk tanaman
pokok jati dengan pola kemitraan yang melibatkan petani, investor, desa dan
pengelola kerja sama kemitraan. Pengembangan kemitraan multi pihak usaha
hutan rakyat Surade ini telah berjalan sekitar dua tahun.
Aplikasi skema kerja sama kemitraan multi pihak dalam pengembangan
usaha hutan rakyat bukan hal yang baru, sudah berkembang sejak akhir dekade
tahun 1990-an. Namun cerita tentang keberhasilannya mewujudkan hutan rakyat
dengan skema ini hampir tidak ada. Kegagalan mewujudkan biofisik tegakan
hutan yang baik menjadikan keyakinan masyarakat untuk berinvestasi di bidang
ini semakin berkurang. Pengelola kerja sama kemitraan multi pihak gagal
memenuhi kewajibannya kepada investor dan para pihak yang terlibat. Surade
memiliki rintisan pengembangan kerja sama kemitraan multi pihak usaha hutan
rakyat jati yang sudah berjalan sekitar dua tahun, yang sekurangnya secara
penampakan biofisik tegakan (persen tumbuh, pertumbuhan dimensi
pohon/tegakan) menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Hal-hal yang terjadi di
Surade layak untuk diteliti, agar mendapatkan intisari pembelajaran yang
memungkinkan untuk direkonstruksi menjadi model dan direplikasi ke tempat lain.
Pengembangan kerja sama kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat
memerlukan modal usaha yang meliputi sumber daya alam (natural resources
capital), sumber daya manusia (human resources capital), infrastruktur
(infrastructure capital), modal finansial (financial capital) serta modal sosial
(social capital) sebagai input. Penyediaan modal-modal tersebut perlu
menghadirkan para pihak yang berpotensi dalam pemenuhan/penyediaan modal
dimaksud, yaitu pemilik lahan, tenaga kerja, investor (penyedia modal finansial),
penyedia infrastruktur (akses jalan dan sarana pendukung yang lain) dan
pengelola kerja sama kemitraan (collaborative manager) sebagai fasilitator
pengelolaan usaha hutan rakyat.
Surade memiliki potensi lahan yang secara biofisik sesuai untuk budidaya
hutan rakyat jati, namun ironisnya banyak petani yang tidak memiliki lahan dan
banyak pemilik lahan di Surade yang tidak mengelola lahannya secara optimal,
karena lemahnya penguasaan teknologi dan keberadaan pemilik lahan yang sudah
berdomisili di luar Surade. Teknologi budidaya hutan rakyat di Surade bersifat
tradisional, dimana akses teknologi dan pengetahuan yang masih rendah. Pemilik
lahan kurang memiliki modal finansial dan kesempatan untuk pengembangan
hutan rakyat yang intensif.
Berdasarkan uraian di atas, perlu mediasi/fasilitasi relasi antar para pihak
untuk merancang skema kerja sama kemitraan multi pihak, membangun
komunikasi untuk menyepakati kerja sama kemitraan multi pihak, memastikan
akses terhadap teknologi serta mengembangkan modal sosial. Hal tersebut
merupakan kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan kerja sama kemitraan
multi pihak di Surade. Pembelajaran pengembangan kerja sama multi pihak usaha
hutan rakyat di Surade ini perlu didokumentasi dan direkonstruksi menjadi sebuah
2
model perencanaan untuk pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan
rakyat di tempat lain.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi sistem nilai dan kerangka pikir yang dikembangkan oleh
pengelola dalam pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat
Surade.
2. Mengidentifikasi inovasi yang dilakukan pengelola bersama para pihak dalam
pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat Surade.
3. Merekonstruksi proses pelaksanaan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat
Surade dalam tahapan-tahapan perencanaan.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
metodologi pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat di Surade.
Selanjutnya dapat dijadikan sebagai referensi model untuk pengembangan di
tempat lain dengan penyesuaian terhadap karakteristik spesifik lingkungan
setempat. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khazanah
keilmuan dan teknologi di bidang pengelolaan hutan rakyat.
TINJAUAN PUSTAKA
Perencanaan Hutan
Perencanaan hutan adalah proses penyusunan rencana sebagai dasar acuan
dan pegangan bagi pelaksanaan berbagai kegiatan dalam rangka mencapai tujuan
pengusahaan hutan yang bertolak dari kenyataan saat ini dan memperhitungkan
pengaruh masalah dan kendala yang memungkinkan terjadi selama proses
mencapai tujuan tersebut (Soeranggadjiwa 1991).
Zaitunah (2004) menyatakan bahwa perencanaan merupakan tahapan
penting dalam mewujudkan tujuan dari pengelolaan hutan lestari. Perencanaan
yang baik menjadikan pengelolaan hutan terarah dan terkendali, baik dalam awal
pengelolaan hutan maupun kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan.
Menurut Soeranggadjiwa (1991) ilmu perencanaan hutan merupakan
bagian dari ilmu kehutanan yang berintikan kepada pemahaman yang mendalam
mengenai hutan sebagai suatu ekosistem berikut peranan bidang-bidang ilmu
pendukung lain, seperti ekonomi, sosial, dan analisis kuantitatif dalam
menganalisis serta mensintesiskan data dan informasi biofisik, ekonomi dan sosial
yang diperlukan dalam menyusun rencana pengelolaan hutan. Ilmu perencanaan
hutan dapat diartikan sebagai ilmu yang membahas penerapan teori dan konsep
dalam bidang biologi, ekonomi, sosial dan analisis kuantitatif untuk menganalisis
dan mensintesiskan informasi biofisik ekosistem hutan berikut dengan keadaan
sosial dan ekonomi yang berkenaan dengan barang dan jasa yang dihasilkan dari
ekosistem hutan serta dampak yang dapat ditimbulkan pada lingkungannya.
3
Hutan Rakyat
Simon (1995) menyatakan bahwa hutan rakyat merupakan hutan yang
dibangun secara swadaya oleh masyarakat yang ditujukan untuk menghasilkan
kayu atau komoditas ikutannya secara ekonomis. Hutan rakyat dibangun di atas
lahan milik, tetapi dapat pula di atas lahan hutan produksi dengan kontrol dari
Departemen Kehutanan.
Hutan rakyat sudah berkembang sejak lama di kalangan masyarakat
Indonesia, dan dilakukan secara tradisional oleh masyarakat di lahan-Iahan
miliknya. Hal ini dapat dilihat dari adanya hutan rakyat tradisional yang
diusahakan oleh masyarakat itu sendiri tanpa campur tangan pemerintah (swadaya
murni), baik berupa tanaman satu jenis (hutan rakyat murni), maupun dengan pola
tanaman campuran (agroforestri) (Awang 2005). Alasan pemerintah mulai
memperhatikan pengembangan hutan rakyat antara lain semakin terasanya
kekurangan hasil kayu dari kawasan hutan negara, baik hasil kayu pertukangan,
kayu industri maupun kayu bakar. Selain itu pengembangan hutan rakyat juga
berfungsi untuk menanggulangi lahan kritis, konservasi lahan, perlindungan hutan,
upaya mengurangi kemiskinan dengan memberdayakan masyarakat setempat.
Menurut Awang (2005) penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat
oleh pemiliknya, merupakan salah satu bentuk kearifan masyarakat dalam rangka
memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Semakin terbatasnya kepemilikan tanah,
peran hutan rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan
tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan
pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang
diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan
pembangunan hutan rakyat.
Jati
Jati (Tectona grandis) merupakan salah satu jenis tanaman yang
mendominasi hutan Indonesia. Tanaman ini baik dibudidayakan di Indonesia
karena kondisi cuaca dan lingkungan yang tropis mendukung pertumbuhan jati.
Jenis tanaman ini dapat ditanam di berbagai kondisi lahan dan lingkungan, seperti
hutan dataran rendah, hutan dataran tinggi, hutan pegunungan, hutan tanaman
industri, lahan kering tidak produktif, lahan basah tidak produktif dan lahan
perkebunan (Mulyana dan Asmarahman 2010). Menurut Sumarna (2003) Jati
merupakan salah satu komoditas kayu mewah yang bernilai komersil tinggi. Hal
ini berbanding lurus dengan kualitas kayunya yang tinggi. Kayu jati termasuk
kelas kuat I dan kelas awet II. Berdasarkan taksonomi, jati dapat digolongkan
sebagai berikut :
Divisi
Kelas
Sub Kelas
Ordo
Family
Genus
Spesies
: Spermatophyta
: Angiospermae
: Dictyledoneae
: Verbenales
: Verbenaceae
: Tectona
: Tectona grandis Lim f.
4
Menurut Amri dan Tini (2002) jati merupakan tanaman asli (endemik) di
sebagian besar jazirah India, Myanmar, Thailand bagian barat, Indo Cina,
sebagian Jawa serta beberapa pulau kecil lainnya di Indonesia, seperti Muna
(Sulawesi Tenggara). Tanaman Jati dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 30
– 45 m dengan tinggi bebas cabang 15 – 20 m dan diameter 220 cm. Pertumbuhan
jati cukup cepat hingga umur 25 tahun, namun setelah itu pertumbuhan jati relatif
melambat (Sumarna 2003).
Pola Pengembangan Hutan Rakyat
Menurut Supriadi (2002) dalam rangka pengembangan hutan rakyat,
dikenal tiga pola hutan rakyat, yaitu Pola Swadaya, Pola Subsidi dan Pola
Kemitraan. Pola Swadaya adalah hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau
pereorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau
perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan
mampu untuk melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan
bimbingan teknis kehutanan. Pola Subsidi (model hutan rakyat) adalah hutan
rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan
biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui
Inpres Penghijauan, Padat Karya dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain
yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. Pola Kemitraan (Kredit Usaha
Hutan Rakyat) adalah hutan rakyat dibangun atas kerja sama masyarakat dan
perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat
dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerja sama itu adalah pihak perusahaan
perlu bahan baku dan masyarakat butuh bantuan modal kerja. Pola Kemitraan ini
dilakukan dengan memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai
dengan membagi hasil usaha secara bijaksana, sesuai kesepakatan antara
perusahaan dan masyarakat.
Strategi Pengembangan Hutan Rakyat
Strategi pengembangan hutan rakyat sebagai landasan untuk menyusun
perencanaan harus didasarkan pada beberapa aspek, yaitu pemilihan jenis,
perencanaan areal, pola penanaman dan organisasi pelaksana. Dalam pemberian
landasan arah bagi pemilihan jenis yang tepat maka harus memperhitungkan
aspek kebutuhan hasil hutan rakyat (Simon 1995).
Salah satu langkah pengembangan hutan rakyat menurut Marbyanto
(1996) adalah melalui pendekatan kelompok tani hutan rakyat. Namun
menurutnya, hal ini belum cukup karena pengembangan kelompok tani hutan
rakyat harus disertai pembinaan yang intensif dan menciptakan iklim yang
mendukung. Suatu hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan usaha hutan
rakyat adalah hak-hak masyarakat dan aspirasi serta kemampuan yang ada pada
mereka sendiri. Aspek-aspek pengembangan hutan rakyat merupakan hal yang
kompleks, maka dalam penanganannya dibutuhkan koordinasi lintas sektoral.
Melihat aspek-aspek dalam pengembangan usaha hutan rakyat saat ini maka
instansi yang perlu terlibat dalam kegiatan pengembangan hutan rakyat adalah
Departemen Kehutanan, Departemen dalam Negeri (termasuk Pemerintahan
Desa), Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen Koperasi,
5
Badan Pertahanan Nasional, Lembaga Penelitian Bidang Kehutanan dan
Perguruan Tinggi, Bank dan Lembaga Keuangan, serta Swasta dan LSM.
Menurut Marbyanto (1996) pengembangan hutan rakyat dilakukan dengan
beberapa strategi sebagai berikut :
1. Menginventaris hutan rakyat yang telah ada untuk mengetahui sebaran hutan
rakyat baik letak, luasan, jenis dan perkiraan potensi yang terkandung
didalamnya dalam rangka perwilayahan jenis dan pengembangan selanjutnya.
2. Menginventarisir sasaran pengembangan lokasi hutan rakyat baik lahan kritis
yang terlantar, lahan kritis karena solum yang tipis, maupun lahan miring
lainnya yang membahayakan lingkungan.
3. Percontohan pengelolaan hutan rakyat menurut berbagai kondisi hutan rakyat
yang ada sekarang menuju pengelolaan hutan rakyat yang produktif, lestari
dan aman terhadap lingkungan.
4. Penyiapan sarana perangkat lunak baik yang menyangkut produk hukum,
pedoman, petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dalam pelaksanaan
ditingkat daerah maupun bimbingan dari pusat.
5. Meningkatkan hasil penelitian dan pengembangan hutan rakyat dalam bentuk
metode, teknologi dan teknik pelaksanaan yang tepat bagi pengembangan
hutan rakyat.
6. Memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia yang terdidik dan terlatih.
7. Menggerakkan dan membangkitkan partisipasi masyarakat dan pengembangan
dan pengelolaan hutan rakyat melalui pembentukan kelompok tani yang
dinamis.
8. Penyuluhan kepada masyarakat baik melalui tokoh masyarakat, tokoh agama,
kelompok tani, organisasi pemuda dan pelaku kegiatan hutan rakyat lainnya
dalam rangka membentuk jaringan pembinaan.
9. Menyamakan persepsi pengelolaan hutan rakyat para pejabat daerah terkait
dalam rangka ikut serta menggalakkan partisipasi masyarakat.
10. Mendorong terciptanya pasar hasil hutan rakyat sehingga terjadi kemudahan
bagi masyarakat dan kestabilan dalam pelaksanaannya.
.
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di unit usaha pengelolaan hutan rakyat di Desa
Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi mulai pada bulan November
hingga Desember 2014.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kamera dan
seperangkat komputer dengan Software Microsoft Office 2010. Bahan yang
digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer
berasal dari hasil wawancara terhadap pihak-pihak terkait. Selain itu data primer
juga didapatkan melalui observasi kondisi lapang di lokasi-lokasi penanaman di
6
Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi. Data sekunder didapat
dari studi pustaka terhadap literatur terkait berupa kondisi umum lokasi penelitian.
Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data primer dilakukan wawancara mendalam (depth
interview) dengan pengelola dan petani hutan rakyat yang dipilih secara
purposive. Pengumpulan data sekunder tentang kondisi umum lokasi penelitian ke
instansi terkait di Desa Citanglar Kecamatan Surade.
Data hasil wawancara dianalisis secara kualitatif deskriptif untuk
memperoleh gambaran tentang ide, sistem nilai dan kerangka pikir, serta proses
dari capaian pengembangan hutan rakyat Surade. Proses dalam pengembangan
hutan rakyat Surade dilakukan identifikasi inovasi-inovasi apa saja yang
dilakukan dan diduga sebagai penentu capaian hasil. Selanjutnya hasil
pengamatan proses pengembangan hutan rakyat Surade direkonstruksi menjadi
tahapan-tahapan dan ruang lingkup perencanaan pengembangan kemitraan multi
pihak usaha hutan rakyat.
Tahapan kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari tentang hutan rakyat.
2. Identifikasi dan orientasi wilayah studi.
3. Pengumpulan data.
4. Analisis data (prospek pengembangan hutan rakyat dan identifikasi pemangku
kepentingan).
5. Telaah skenario pengelolaan hutan rakyat.
6. Identifikasi tahapan perencanaan hutan rakyat.
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Lokasi penelitian berada dalam wilayah Kelurahan Surade dan Desa
Citanglar. Surade merupakan kecamatan di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa
Barat, Indonesia. Luas kecamatan Surade sebesar 36 419 ha dengan jumlah
penduduk total 73 146 jiwa dan terdiri dari 12 desa/kelurahan terdiri dari
Buniwangi, Cipeundeuy, Citanglar, Gunung Sungging, Jagamukti, Kadaleman,
Kademangan, Pasiripis, Sirnasari, Sukatani, Swakarya dan Wanasari. Kecamatan
Surade berbatasan langsung dengan Kecamatan Ujung Genteng, Kecamatan
Cibitung, dan Kecamatan Jampang Kulon.
Kecamatan Surade yang terletak sekitar 90 km dari Kota Sukabumi dapat
ditempuh dengan melintasi jalan berkelok dan berbukit. Sepanjang perjalanan
terdapat kebun teh, pinus dan perkebunan lainnya. Sebagian besar wilayah
Kecamatan Surade merupakan areal pertanian, persawahan dan perkebunan.
Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani.
Secara geografis Kelurahan Surade Kecamatan Surade berada di sebelah
selatan wilayah Kabupaten Sukabumi dengan luas sebesar 622.05 ha. Secara
umum, lahan terbagi menjadi dua kategori lahan yaitu sebelah Utara dan Selatan
mayoritas didominasi oleh lahan kering, perumahan, dan perkotaan, kemudian
sebelah Barat dan Timur didominasi oleh lahan basah persawahan. Luas Desa
7
Citanglar sebesar ±245 ha dengan kondisi topografi berbukit, sedangkan
Kecamatan Surade dengan bentuk permukaan tanah (morfologi) relatif datar.
Lokasi di wilayah studi memiliki ketinggian 50 – 116 mdpl. Luas areal hutan
rakyat yang dikelola sebesar 37.86 ha.
Secara demografi, jumlah penduduk di Kelurahan Surade sebanyak 9487
jiwa dan Desa Citanglar sebanyak 6094 jiwa. Sebagian besar penduduk bekerja
sebagai petani, buruh tani, sektor perdagangan dan jasa. Infrastruktur dasar di
wilayah studi cukup memadai dan terpelihara cukup baik. Infrastruktur yang
tersedia antara lain prasarana perhubungan berupa jalan dan jembatan serta
prasarana kesehatan berupa puskesmas, posyandu dan praktek dokter. Prasarana
pendidikan antara lain PAUD, TK, RA, SD Negeri, Madrasah (Diniyah,
Tsanawiyah, Aliyah), SMK Swasta, Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi.
Selain itu juga terdapat prasarana perekonomian berupa toko, pasar, koperasi,
rumah makan dan penginapan serta prasarana peribadatan berupa masjid dan
musholla.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Pengelolaan Hutan Rakyat di Surade
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, penggunaan lahan kering di
Surade digunakan untuk berladang, pertanian lahan kering serta hutan rakyat yang
dikelola secara tradisional (tidak intensif). Petani hutan rakyat tradisional di
Surade memiliki kebiasaan menanam pohon-pohon dengan jarak tanam yang rapat
(berukuran 1m x 1m) dengan berbagai jenis seperti jati, sengon dan mahoni.
Pemanfaatan ruang tumbuh tidak optimal tersebut menyebabkan produktivitas
ekonomi hutan rakyat rendah, karena pertumbuhan riap kayunya tidak optimal dan
hanya menghasilkan kayu bakar. Pola cocok tanam ini tidak memungkinkan
petani untuk menanam tumpangsari pada lahan tersebut.
Para petani hutan rakyat di Surade sebagian besar bukan pemilik lahan.
Hasil observasi menunjukkan bahwa banyak lahan-lahan yang tidak dikelola
secara intensif karena pemiliknya berada di luar Surade. Pola cocok tanam yang
dikembangkan oleh pengelola kerja sama kemitraan multi pihak di Surade
memberikan inspirasi bagi petani tentang cara meningkatkan produktivitas lahan
melalui optimalisasi pemanfaatan ruang tumbuh dengan jarak tanam tertentu yang
teratur, sehingga diperoleh pertumbuhan tanaman pokok jati yang optimal dan
tersedianya ruang untuk budidaya tumpangsari di bawah tegakan. Tanaman jati
tidak cocok ditanam di tempat yang tergenang air, sehingga tumpangsari di bawah
tegakan diarahkan pada tanaman jenis-jenis pertanian lahan kering.
Pengenalan cara berbudidaya hutan rakyat yang intensif menggunakan
jenis Jati Inti (jati unggul cepat tumbuh) merupakan terobosan untuk
meningkatkan produktivitas lahan melalui optimalisasi ruang tumbuh, sehingga
dapat menerapkan sistem wanatani (agroforestri). Tumpangsari antara tanaman
pokok Jati Inti dengan berbagai tanaman pertanian seperti padi gogo, kacang
tanah, kacang panjang dan kedelai. Program pengembangan kemitraan multipihak
usaha hutan rakyat Surade memberikan contoh bagi para petani tentang
peningkatan produktivitas ekonomi hutan rakyat.
8
Perencanaan Pengembangan Usaha Hutan Rakyat di Surade
Tahapan Perencanaan Pengembangan Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan
Rakyat di Surade
Pengembangan sistem nilai dan kerangka pikir kemitraan multi pihak
usaha hutan rakyat Surade
Melakukan kajian kelayakan usaha pembangunan hutan rakyat
Identifikasi pemangku kepentingan dan para pihak dalam
skema kerja sama multi pihak
Merancang disain skema kerja sama multi pihak
Membangun komunikasi dan kesepahaman para pihak tentang program
pengembangan usaha hutan rakyat
Menyusun rencana kelola (Kelola produksi, sosial dan lingkungan)
Menyusun panduan dan mekanisme kerja
Gambar 1 Bagan tahapan perencanaan pengembangan usaha hutan rakyat
Sistem Nilai Pengembangan Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat di
Surade
Sistem nilai pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat di
Surade mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33, dimana“Bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Prinsip
pembangunan berkelanjutan menekankan distribusi manfaat sumberdaya alam
yang seimbang (fungsi ekonomi, sosial dan lingkungan) dan berkeadilan, baik
antar pemangku kepentingan, antar kelompok masyarakat maupun antar generasi.
Sistem ekonomi kerakyatan menempatkan rakyat sebagai pelaku utama dan
dijamin hak aksesnya terhadap sumberdaya lahan, teknologi dan permodalan.
Sumberdaya lahan merupakan modal/faktor produksi yang penting. Status
penguasaan sumberdaya lahan dapat merupakan hak milik masyarakat,
perusahaan, atau dikuasai oleh Negara. Distribusi kepemilikan/penguasaan lahan
oleh masyarakat meliputi luasan yang relatif sempit, menjadikan usaha hutan
rakyat kurang efisien dan efektif untuk memenuhi skala ekonomi rumah tangga.
Oleh karena itu pengorganisasian lahan diperlukan agar : (1) setiap petani dapat
mengakses pengelolaan lahan dalam luasan yang ekonomis, terlepas dari siapapun
9
penguasa lahannya, dan (2) setiap jengkal lahan dapat produktif dan memberikan
kontribusi terhadap kesejahteraan petani dan pemiliknya.
Pengembangan Kerangka Pikir Kemitraan Multi Pihak Usaha Hutan Rakyat
di Surade
Menurut pengelola, pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan
rakyat Surade dilandasi oleh kerangka pikir sebagai berikut : (1) Skenario
pelestarian/keberlanjutan pengelola sumber daya alam harus melibatkan human
interest para pihak terkait keberhasilan mengelola hutan adalah gejala (symptom)
dari keberhasilan mengelola para pelaku secara adil dan berkelanjutan; (2) Kelola
teknologi budidaya adalah prasyarat keharusan, sedangkan kelola sosial dan
kelembagaan menjadi prasyarat kecukupan yang memungkinkan teknologi unggul
dapat diterapkan untuk mencapai tujuan; serta (3) Kelola sosial dan kelembagaan
yang ditujukan untuk meningkatkan modal sosial guna membangun gerakan
kolektif yang sinergis antara para pihak terkait.
Keberlanjutan kerja sama kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat
ditentukan oleh keadilan distribusi peran, resiko dan manfaat yang dihasilkan.
Upaya menuju keadilan ini dicerminkan oleh skema yang dikembangkan dalam
kerja sama kemitraan tersebut.
Kajian Kelayakan Usaha Hutan Rakyat di Surade
Kajian kelayakan usaha hutan rakyat meliputi beberapa aspek yaitu aspek
teknis, aspek finansial, aspek sosial ekonomi dan budaya, serta aspek hukum.
Sejak dulu di Surade banyak perusahaan jati yang terkenal dengan jati berkualitas
baik. Hal ini dikarenakan kondisi tanah di sana cocok dengan tanaman jati. Selain
itu banyaknya tenaga kerja khususnya dipedesaan yang bisa dilibatkan dalam
pembangunan hutan rakyat. Jenis tanah di sana adalah tanah grumosol, yaitu tanah
yang terbentuk dari material halus berlempung serta berwarna hitam dan bersifat
subur. Tanaman yang dapat tumbuh di tanah grumosol antara lain padi, jagung,
kedelai, tebu, tembakau dan jati. Kondisi ideal lokasi penanaman jati adalah
beriklim kering dan cocok ditanam di daerah tropis. Tanah yang ideal untuk
penanaman jati yaitu tanah dengan pH 5–8 dan dapat tumbuh optimal di daerah
dataran rendah (50 – 80 mdpl). Kisaran curah hujan antara 1200 – 2500 mm/tahun
dengan 3 – 5 bulan kering atau curah hujan kurang dari 50 mm/bulan. Temperatur
berkisar antara 19 – 36°C yang merupakan temperatur normal untuk daerah tropis
dengan intensitas cahaya sebesar 75 – 100% (Amri dan Tini 2002). Iklim di lokasi
studi berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson adalah iklim kering dengan
curah hujan berkisar antara 2000 – 3000 mm/tahun.
Berdasarkan
kondisi
tersebut
pengelola
memutuskan
untuk
mengembangkan usaha hutan rakyat di Surade dengan menanam tanaman jati
dengan jenis Jati Inti karena kesesuaian tempat tumbuh. Jati Inti merupakan salah
satu varietas jati cepat tumbuh yang tetua klonnya diperoleh dari radiasi nuklir.
Bibit Jati Inti yang digunakan merupakan bibit unggul asal Bogor. Kondisi ideal
edafisnya Jati Inti dapat dipanen pada umur 8 – 10 tahun. Bibit klon Jati Inti yang
digunakan sudah diuji di beberapa lokasi seperti Bogor, Muna dan Sukabumi.
Teknologi budidaya sudah dikuasai pihak pengelola dan terus dikembangkan agar
teknologi tersebut dapat diajarkan dan mudah diakses oleh petani penggarap.
Pertumbuhan tanaman Jati Inti pada umur 10 – 12 bulan memiliki riap diameter
10
rata-rata sebesar 4 – 5 cm, sehingga pada daur 8 tahun riap diameternya dapat
mencapai 32 – 40 cm.
Aspek finansial dapat dilihat dari asumsi simulasi perhitungan hasil yang
dibuat oleh pengelola. Biaya budidaya sebesar Rp 66 400 000/ha dan hasil
pendapatan sebesar Rp 815 778 029/ha dapat diperoleh margin rata-rata sebesar
141.25% per tahun dengan asumsi harga kayu sebesar Rp 3 000 000/m3. Harga
kayu jati di lokasi penelitian rata-rata sebesar Rp 4 500 000/m3. Selain kayu jati,
ada juga kayu mahoni dan kayu sengon masing-masing sebesar Rp 2 000 000/m3
dan Rp 1 500 000/m3. Kayu-kayu jenis tersebut biasanya dibuat menjadi kusen
dan papan. Diantara jenis-jenis kayu yang ada, jenis jati merupakan jenis kayu
yang paling laku.
Masyarakat di Surade sudah biasa menanam pohon. Kegiatan menanam
pohon merupakan tradisi dari masyarakat di sana. Hal ini terlihat dari banyaknya
tanaman jenis kayu yang terlihat di lokasi wilayah studi seperti jati, jabon dan
sengon. Mereka sudah menjadikan usaha menanam pohon sebagai investasi untuk
menopang kebutuhan ekonominya di masa yang akan datang. Selama ini petani
penggarap menanam tanaman dengan berbagai jenis tanaman dalam satu lahan
dengan jarak yang tidak teratur, tidak dipupuk dan pemeliharaan seadanya. Hal
tersebut menyebabkan pemanfaatan lahan menjadi tidak optimal. Kebutuhan kayu
di Jawa yang semakin meningkat dan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas
hutan negara mendorong pengembangan usaha hutan rakyat sebagai salah satu
sumber alternatif bagi pasokan kayu. Peluang pengembangan hutan rakyat
tersebut didukung kemudahan akses ke pasar ini karena adanya lembaga
pemasaran untuk kayu dan non kayu seperti pengumpul dan penggergajian kayu
berada di Surade. Hal tersebut mempermudah pengelola untuk menjual hasil hutan
berupa kayu dan non kayu. Adanya peluang peningkatan pendapatan melalui
pemanfaatan lahan di bawah tegakan dengan menanam tanaman semusim dengan
pola tumpangsari, seperti padi, kacang tanah, kacang panjang, dan cabai.
Aspek hukum juga perlu diperhatikan karena pada dasarnya dalam
mengelola dan mengembangkan suatu usaha terdapat aturan-aturan dan syaratsyarat tertentu yang harus dipenuhi. Aspek hukum yang dimaksud dalam studi
kasus pengembangan hutan rakyat ini yaitu memastikan kepastian status dari
lahan yang akan dikelola serta hak dan kewajiban dari pihak-pihak terkait. Hal
tersebut bertujuan untuk menghindari terjadinya konflik antar pihak baik dengan
pihak dalam maupun pihak luar, agar kegiatan pengembangan usaha hutan rakyat
di Surade dapat berjalan dengan optimal.
Identifikasi Pemangku Kepentingan dan Para Pihak
Para pihak terkait di lokasi studi dalam hal ini adalah investor, pemilik
lahan, pengelola, petani penggarap dan desa. Peran para pihak ini diharapkan
dapat memenuhi kebutuhan modal atau faktor produksi yang diperlukan. Pemilik
lahan menyediakan lahan yang layak secara teknis dan bebas konflik, petani
penggarap sebagai tenaga kerja, investor sebagai penyedia modal finansial, desa
berkontribusi dalam menjaga kondusivitas lingkungan sosial, dan pengelola kerja
sama kemitraan sebagai fasilitator penyelenggaraan pengelolaan teknis budidaya
dan kelola sosial dan kelembagaan. Fasilitator berperan penting untuk
memberikan keyakinan dan jaminan keberhasilan usaha, melalui pengendalian
11
operasi manajemen budidaya dan kelola sosial kelembagaan untuk memelihara
dan mengembangkan modal sosial para pelaku, khususnya para petani penggarap.
Merancang Disain Skema Kerja Sama Multi Pihak
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, pengelola telah membuat dan
menerapkan skema bagi hasil panen (production sharing). Panen dijadwalkan
pada umur tanaman pokok jati 8 tahun. Petani penggarap selain mendapatkan bagi
hasil panen, juga mendapatkan manfaat lain, yaitu 100% hasil pertanian
tumpangsari dan upah kegiatan budidaya dari tanaman jati tersebut (persiapan
tanam, penanaman, dan pemeliharaan). Skema bagi hasil yang telah disepakati
para pihak dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Skema bagi hasil para pihak terkait
No
1
2
3
4
5
Para pihak terkait
Pemilik lahan
Investor
Unit pengelola
Penggarap
Desa
Jumlah
Porsi bagi hasil (Persentase)
20.0
45.0
22.5
10.0
2.5
100
Berdasarkan hasil perhitungan dengan asumsi jarak tanam sebesar 3 m x 4
m (populasi tanaman 830 batang) dan populasi panen sebesar 95% (789 batang),
diameter rata-rata sebesar 28 cm serta harga kayu sebesar Rp 3 000 000/m3
diperoleh volume tegakan sebesar 268.26 m3/ha dan hasil pendapatan sebesar Rp
815 778 029/ha. Porsi bagi hasil sebesar 10% ini diharapkan para petani
penggarap memperoleh pendapatan bagi hasil sebesar Rp 81 577 802/ha. Petani
penggarap memperoleh upah untuk semua aktivitas selama kegiatan pengelolaan
di luar porsi bagi hasil. Pada kegiatan merancang dan menyepakati skema kerja
sama multi pihak, dilakukan juga kegiatan pendistribusian peran, risiko dan
manfaat antar para pihak secara adil yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Uraian dari tabel di bawah menunjukkan bahwa setiap para pihak terkait
memiliki peran dengan risiko dan manfaat masing-masing. Pelibatan petani
penggarap (masyarakat sekitar) bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani
penggarap, sehingga dapat menimbulkan rasa memiliki dan bertanggung jawab,
serta memberikan dukungan penuh terhadap pengembangan usaha hutan rakyat di
Surade. Pendekatan terhadap masyarakat juga dilakukan melalui berbagai
kegiatan sosial agar mempererat hubungan sosial dan tali silaturahmi dengan
masyarakat.
12
Tabel 2 Distribusi peran, risiko dan manfaat
No
Para pihak
terkait
Pemilik
lahan
Menjadikan lahan
bebas konflik
Kehilangan
kesempatan untuk
usaha lain
Memperoleh bagi
hasil panen
2
Investor
Penyedia modal
Kehilangan modal dan
kesempatan usaha lain
Memperoleh bagi
hasil panen
3
Unit
pengelola
Kehilangan kredibilitas
dan kesempatan usaha
lain
Memperoleh bagi
hasil panen dan
peningkatan
kredibilitas
sebagai pengelola
4
Petani
penggarap
Mengorganisir
pelaksanaan kegiatan
operasional di
lapangan dan
membina para petani
penggarap
Pelaksana kegiatan di
lapangan di bawah
koordinasi pengelola
5
Desa
1
Peran
Menjaga kondusivitas
lingkungan sosial
hutan rakyat
Risiko
Distribusi manfaat
Kehilangan waktu dan
Memperoleh bagi
kesempatanpenggunaan hasil panen dan
tenaga
kesempatan untuk
bertani
tumpangsari
Kehilangan
Memperoleh bagi
kesempatan untuk
hasil panen,
meningkatkan ekonomi meningkatkan
lokal
produktivitas
lahan, membuka
lapangan
pekerjaan, untuk
pembangunan
ekonomi lokal
Teknis penanaman yang dilakukan petani penggarap langsung dibimbing
oleh pengelola dengan cara yang benar, sehingga para petani penggarap
memperoleh ilmu pengetahuan, teknologi dan manajemen. Kegiatan pembinaan
petani penggarap dilakukan dengan mengadakan sosialisasi yang menjelaskan
tujuan dan manfaat dari hutan rakyat yang akan dikembangkan. Hasil dari
sosialisasi yang diadakan membuat mereka ingin bergabung untuk
mengembangkan hutan rakyat di Surade, sehingga timbul rasa ingin bekerja sama
dan membentuk kelompok tani.
Dampak yang timbul dari adanya usaha pengembangan hutan rakyat ini
yaitu para petani penggarap jadi memiliki rasa tanggung jawab, sehingga mereka
benar-benar menjaganya dengan baik. Selain itu mereka juga memiliki rasa
bangga karena diakui dan dirangkul oleh pengelola.
Membangun Komunikasi Skema Multi Pihak
Hasil disain skema yang telah direncanakan sebelumnya dikomunikasikan
dengan para pihak terkait untuk mencapai pemahaman dan kesepakatan bersama
dengan cara dialog dan diskusi. Hal ini bertujuan untuk membangun visi bersama
(kesetaraan) dalam berbagi peran, risiko dan manfaat. Pengelola menjelaskan
kepada semua pihak terkait tentang nilai dari tanaman yang akan dikembangkan.
13
Memperhatikan hak kelola agroforestri penggarap yang disesuaikan dengan
kebutuhan mereka dalam arti bahwa mereka tetap bisa menggarap dan
memanfaatkan lahan untuk tumpangsari yang hasilnya dapat dimanfaatkan oleh
mereka sendiri. Menjelaskan prosedur serta aturan-aturan yang telah dibuat
kepada semua pihak terkait.
Penyusunan Rencana
Kegiatan perencanaan pengembangan usaha hutan rakyat dibutuhkan
penyusunan rencana yang baik. Pihak pengelola membuat tiga rencana kelola
yaitu rencana kelola produksi, rencana kelola sosial dan rencana kelola
lingkungan. Rencana tersebut memiliki hubungan keterkaitan satu sama lain agar
dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai.
Rencana Kelola Produksi
Ruang lingkup dari rencana kelola produksi meliputi perencanaan kegiatan
di lapang seperti pengadaan bibit, penyiapan lahan, hingga pemasaran. Bibit Jati
Inti yang digunakan merupakan bibit unggul asal Bogor. Faktor-faktor produksi
yang direncanakan antara lain tenaga kerja, lahan, modal dan bibit. Teknik
silvikultur yang diterapkan harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi
pertumbuhan dari tanaman yang ditanam, mulai dari penyiapan lahan, jenis tanah,
jenis tanaman, jarak tanam hingga penanaman. Tujuan dari rencana kelola
produksi agar seluruh kegiatan budidaya dapat terencana dengan baik.
Metode penanaman dalam mengelola hutan rakyat di Surade meliputi
persiapan lahan, pengaturan jarak tanam, pembuatan lubang, pemberian pupuk
dasar, dan penanaman. Persiapan lahan merupakan kegiatan dimana lahan harus
dibersihkan dari semak/akar-akar gulma, pembongkaran tunggak, pembalikan
tanah, penghancuran bongkahan tanah dan pembebasan dari naungan. Lokasi di
Surade pada umumnya memiliki hembusan angin yang kencang, sehingga jarak
tanam yang diterapkan menggunakan jarak tanam sebesar 3 m x 3 m. Selain itu
ada juga lokasi dengan hembusan angin yang sedang hingga rendah, dalam
kondisi ini jarak tanam optimum yang diterapkan sebesar 3 m x 4 m. Ukuran
lubang tanam sebesar 40 cm x 40 cm x 40 cm. Setiap lubang ditancapkan ajir
terbuat dari bilahan bambu atau kayu yang berfungsi untuk menandai lokasi
lubang tanam. Bibit yang digunakan merupakan bibit unggul berasal dari Bogor
yang dipindahkan ke Surade. Bibit yang sudah tersedia di lokasi penanaman
dipelihara terlebih dahulu di sekitar lokasi selama 1 minggu, agar bibit tersebut
dapat beradaptasi dengan lingkungan penanaman. Bibit harus ditanam pada awal
musim hujan atau ketika curah hujan sudah mencukupi, kemudian 4 minggu
sebelum penanaman ditambahkan pupuk alami.
Metode pemeliharaan meliputi kegiatan pendangiran, penyulaman,
pemberian pupuk alami dan pemupukan dengan NPK, pembersihan gulma serta
pengendalian hama dan penyakit. Pendangiran dan pembuatan piringan dilakukan
sebanyak 3 kali dalam 1 tahun. Penyulaman dilakukan maksimum pada umur 8
bulan sejak awal penanaman. Pemberian pupuk alami dilakukan setelah ruas
pertama terbentuk (2 minggu setelah penanaman). Teknik pemberian pupuk
dilakukan dengan cara membuat lubang di sekitar tanaman.
14
Pembersihan gulma di sekitar tanaman jati perlu dibersihkan secara rutin
dengan cara membuat piringan. Pembersihan gulma lebih berhasil dengan
ditumpangsarikan dengan jenis tanaman pertanian seperti jagung, kacang tanah,
dan lain-lain. Bibit tumpangsari yang ditanam para petani penggarap merupakan
bibit lokal. Jenis yang tidak boleh ditumpangsarikan dengan jati adalah ketela, ubi
rambat dan merica karena dapat mengganggu pertumbuhan dari tanaman jati.
Tumpangsari dilakukan setelah tanaman Jati Inti berumur 4 minggu.
Pengendalian hama dan penyakit yang bersifat pencegahan dilakukan
sejak persiapan lahan melalui pengawasan yang intensif, pemupukan tanaman
sesuai petunjuk dan pengaturan drainase yang baik. Pengendalian hama dan
penyakit dilakukan secara mekanis dan kimiawi. Secara mekanis dilakukan
dengan cara mengumpulkan hama dan dimusnahkan dengan cara dibakar. Secara
kimiawi berupa pemberian insektisida. Memangkas batang atau bagian yang
terserang hama. Pemangkasan dan pemotongan cabang utama tajuk (pruning)
dilakukan pada tahun 1 – tahun 2 dan top pruning dilakukan pada tanaman yang
telah mencapai tinggi lebih dari 14 m (tahun 3 – tahun 4).
Beberapa kegiatan di atas merupakan inovasi baru yang dibuat oleh pihak
pengelola untuk mendukung pengembangan usaha hutan rakyat di Surade dan
tidak semua dilakukan di hutan rakyat pada umumnya. Berdasarkan hasil
perhitungan asumsi, hutan rakyat Surade memiliki potensi panen kayu sebesar 10
156.32 m3 pada tahun ke delapan dan akan dipasarkan ke pasar bebas.
Rencana Kelola Sosial
Rencana kelola sosial berfungsi untuk merancang dan menyepakati skema
kerjasama multi pihak. Perencanaan sosial melibatkan pihak-pihak terkait
diantaranya yaitu investor, pemilik lahan, pengelola, petani penggarap dan desa.
Selain itu hal ini bertujuan untuk memperkuat modal sosial. Menurut Robby
Djohan (2008) modal sosial merupakan suatu keadaan yang membuat masyarakat
atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama. Proses gerakan
tersebut ditopang oleh nilai dan norma yang khas yaitu kepercayaan, saling
memberi dan menerima, toleransi, penghargaan, partisipasi, kerja sama dan
proaktif, serta nilai-nilai positif yang dapat membawa kemajuan bersama. Modal
sosial memilliki beberapa unsur yaitu : (1) Social participation : Adanya
partisipasi kolektif dalam membahas suatu isu serta melakukan tindakan bersama;
(2) Reciprocity : Adanya keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan
membantu orang lain, adanya kesimbangan antara hak dan kewajiban; (3) Trust :
Adanya sikap saling percaya di dalam suatu masyarakat; (4) Acceptance and
diversity : Adanya sikap toleransi terhadap perbedaan di dalam masyarakat,
walaupun berbeda tetapi tetap saling menghormati dan menerima perbedaan
tersebut dengan baik dan bijak; (5) Value system : Adanya suatu norma dan nilai
yang diyakini bersama; (6) Sense of efficiacy : Adanya suatu kondisi di mana
setiap orang merasa dihargai di dalam suatu kelompok sosial masyarakat; dan (7)
Cooperation and proactivity : Adanya kerja sama yang baik antara para anggota
kelompok sosial, bahkan kerja sama tersebut bersifat proaktif (sukarela).
Peningkatan modal sosial dilakukan untuk mendukung program usaha
hutan rakyat dengan cara menjalin komunikasi dan relasi dengan masyarakat
sekitar. Membangun dialog yang setara dalam memecahkan masalah petani
penggarap serta menjalin komunikasi dan relasi dengan masyarakat sekitar. Cara
15
pengelola memelihara hubungan timbal balik yang kondusif dilakukan dengan
memberikan hak kelola kepada petani penggarap untuk kelola tumpangsari pada
lahan tersebut. Pengelola menegaskan bahwa mereka (petani penggarap) tetap
bisa menggarap dan memanfaatkan lahan tersebut untuk menanam tumpangsari
yang hasilnya dapat mereka konsumsi sendiri, dengan batasan untuk tidak
menanam tanaman yang dapat mengganggu pertumbuhan jati. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan petani penggarap. Pengelola juga berkontribusi
dalam kegiatan sosial/keagamaan di desa sekitar.
Rencana Kelola Lingkungan
Hutan rakyat di Surade mempunyai peran dalam mengendalikan erosi dan
limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah dan menjaga keseimbangan
tata air. Sesuai pendapat Awang (2003), saat ini hutan rakyat dan hutan negara
harus dikelola dalam satu kesatuan konsep yang utuh, berbasis kepada pendekatan
ekosistem, namun memiliki hak dan tanggung jawab yang berbeda dalam
pelaksanaan pengelolaannya.
Rencana kelola lingkungan memuat upaya-upaya pencegahan,
pengendalian dan penanggulangan dampak penting negatif dan meningkatkan
dampak penting positif akibat suatu rencana usaha/kegiatan. Rencana ini dibuat
untuk menciptakan keseimbangan fungsi produksi dan fungsi sosial agar tidak
melewati batas fungsi ekologi. Selain itu juga untuk mengembangkan kapasitas
petani penggarap. Lokasi di Surade rentan terjadi erosi pada areal tertentu saat
memasuki musim hujan. Pengelola membuat penahan erosi (guludan) di areal
yang rawan erosi, dengan tujuan untuk mengendalikan aliran permukaan. Areal
tanaman jati di Surade ada yang datar dan berbukit. Pada bagian bawah di areal
berlereng, tanaman jati tumbuh subur dan optimal. Hal ini disebabkan karena
tanaman jati di areal tersebut memperoleh asupan air yang cukup. Agar semua
tanaman jati dapat tumbuh merata, dilakukan pembuatan terasering pada bagian
permukaan yang miring.
Pada lahan miring dibuat lubang untuk penimbunan serasah agar menjadi
pupuk alami yang bertujuan untuk menjaga kesuburan tanaman. Pembersihan
dilakukan dengan menggunakan piringan yang bertujuan untuk mengurangi
kompetisi gulma terhadap tanaman, mempermudah petani penggarap pada saat
melakukan pemupukan dan kontrol di lapangan.
Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk merumuskan tindakan-tindakan
penyempurnaan kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Kegiatan monitoring dan
evaluasi dilakukan setiap hari oleh petani penggarap, setiap minggu oleh mandor
di lapangan, dan bulanan oleh pihak pengelola. Informasi harian dan mingguan
dari lapangan tentang perkembangan tegakan yang perlu segera diatasi dipastikan
sampai kepada mandor atau pengelola sebagai dasar pengambilan keputusan
untuk dilakukan tindakan. Beberapa tindakan yang telah dilakukan pengelola
yaitu memastikan sejauh mana Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah
dibuat dapat diimplementasikan secara mudah dan tepat di lapangan. Evaluasi
keberhasilan kegiatan dan monitoring pertumbuhan tanaman melalui pengukuran
terhadap petak ukur permanen (PUP) secara berkala dan penguatan kapasitas dan
16
pengetahuan petani serta sosialisasi kegiatan, khususnya kontribusi terhadap
masyarakat sekitar dan pembangunan pedesaan.
Menyusun Panduan dan Mekanisme Kerja
Penyusunan panduan dan mekanisme kerja bersifat dinamis, karena jika
ada temuan/pengalaman baru selalu diperbaiki. Perlu disusun panduan yang
mengatur tata hubungan kerja antara para pihak yang terlibat didalam kegiatan
usaha hutan rakyat, agar manajemen usaha hutan rakyat berjalan efektif dan
efisien. Selain itu perlu disusun pedoman teknis pelaksanaan dalam berbagai
kegiatan budidaya.
Evaluasi Kinerja Pengelolaan
Sejak tahun 2012 di Desa Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten
Sukabumi dikembangkan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat yang
melibatkan lima pihak yaitu pemilik lahan, petani hutan, investor, pengelola
kemitraan dan desa. Hasil evaluasi yang dilakukan pada bulan September 2014
menunjukkan keberhasilan yang memuaskan baik dari sisi keberhasilan tanaman
dan dampaknya terhadap pendapatan petani. Evaluasi implementasi dari
perencanaan pengembangan usaha hutan rakyat dilakukan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan dari tegakan jati.
Berdasarkan hasil penelitian Igor (2015) tanaman Jati Inti hutan rakyat
Surade seluas 37.86 ha yang berumur 5 – 21 bulan memiliki persen tumbuh
sebesar 100% dengan riap diameter lebih dari target yaitu sebesar 4 cm/tahun. Hal
tersebut sesuai dengan hasil observasi lapangan terhadap 42 petak contoh
berukuran 9 m x 12 m dengan jumlah tanaman sebanyak 16 batang/petak.
Kontribusi terhadap pendapatan petani sebesar Rp 709 707/bulan/petani yang
merupakan upah kerja, kegiatan tumpangsari dan asumsi bagi hasil panen.
Kontribusi ini diperoleh petani penggarap dengan luas rata-rata garapan 0.4 ha.
Keberhasilan ini dapat dicapai karena adanya modal sosial yang terus berkembang
sejalan dengan perkembangan tanaman. Adanya hutan rakyat ini tidak lepas dari
campur tangan masyarakat sekitar, karena merekalah yang selalu berada di sekitar
areal dalam kesehariannya. Hal ini menunjukkan bahwa kelola sosial merupakan
faktor penting dalam mengembangkan usaha hutan rakyat.
Kegiatan pengembangan kemitraan multi pihak usaha hutan rakyat di Desa
Citanglar Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi sudah memasuki tahun ketiga.
Faktor-faktor