Analisis konflik sumberdaya hutan di kawasan konservasi: studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat

(1)

(Studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

SKRIPSI

INA MARINA I34063141

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

ii ABSTRACT

This research has three objectives, the first is to know the history of natural resources conflict and the actors who involved in conflicts in the Gunung Halimun-Salak National Park, the second is to know the basis and the depth of the conflict in the Gunung Halimun-Salak National Park to concerning the existence of indigenous Kasepuhan, the third is to understand the forms of conflict resolution that has been done and the development of conflict resolution through 2010. This research was conducted in Kampung Sinar Resmi, that belongs to the Kasepuhan Sinar Resmi community. This location is a place where community’s cultivating land overlap with the claim of Gunung Halimun-Salak National Park, thus causing a lack of clear boundaries and result in forest resource conflicts. Forest resource conflicts are caused by four different conflicts sources, namely differences in perceptions, different values, different interests, and differences in recognition of ownership rights. The conflict occurred in forestry and agricultural land.

Keywords: conflict, Gunung Halimun-Salak National Park, Forest resource conflicts


(3)

iii RINGKASAN

INA MARINA. Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Konservasi (Studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)

.

(Di bawah bimbingan ARYA HADI DHARMAWAN).

Penelitian ini bertujuan: (1) untuk mengetahui sejarah konflik dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak; (2) untuk mengetahui basis dan kedalaman konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menyangkut eksistensi masyarakat adat Kasepuhan; dan (3) untuk memahami bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang telah dilakukan serta perkembangan penyelesaian konflik hingga tahun 2010.

Penelitian ini dilakukan pada Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Pemilihan ini dilakukan secara sengaja (purposive), dengan alasan, antara lain: (1) kajian di lokasi penelitian ini dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara mendalam dan spesifik; (2) Kampung Sinar Resmi merupakan salah satu kampung yang lahan garapannya berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak; (3) berdasarkan wawancara dengan salah satu informan kunci, sudah ada warga kampung di Kampung Lebak Nangka yang ditangkap oleh Polisi Kehutanan karena dituduh sebagai perambah hutan dan penebang liar. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan konflik sosial di sana.

Sejarah konflik sumberdaya alam di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dimulai ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh Perhutani pada tahun 1970-an. Saat itu, pihak Kasepuhan dianggap telah menyerobot lahan Perhutani dengan membuka hutan utuh untuk ladang dan sawah milik warga. Selain masalah penyerobotan lahan, konflik dengan Perhutani pun terjadi ketika ada tumpang tindih antara hutan adat dan hutan produksi milik Perhutani. Konflik semakin parah ketika pengelolaan Gunung Halimun dialihkan ke Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Wilayah pemukiman dan pertanian warga diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Pihak taman nasional menakuti-nakuti akan mengusir warga dari tempat tinggalnya. Selain itu, terjadi penangkapan terhadap warga yang sedang berada di kebunnya, dan dituduh


(4)

iv sebagai perambah hutan dan melakukan illegal logging. Pihak taman nasional pun memasang papan pengumuman mengenai pelarangan masuk kawasan konservasi di kebun dan di depan rumah warga. Penyebab konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak disebabkan oleh empat sumber perbedaan, yaitu: perbedaan persepsi, kepentingan, tatanilai, dan akuan hak kepemilikan. Namun, permasalahan utama dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terletak pada Perbedaan dalam akuan hak kepemilikan, terjadi ketika pihak taman nasional menganggap bahwa kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak sebagai milik Negara karena tidak terbebani hak atas tanah, sedangkan masyarakat adat menganggap bahwa kawasan Gunung Halimun adalah milik adat, karena sudah diwariskan oleh leluhur untuk anak-cucu mereka.

Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak adalah Perhutani yang kemudian digantikan oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak melalui SK. Menhut No. 175 Tahun 2003, serta masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi.


(5)

v ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN

KONSERVASI

(Studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

Oleh INA MARINA

I34063141

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Glear Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(6)

vi INSTITUT PERTANIAN BOGOR

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:

Nama Mahasiswa : Ina Marina Nomor Pokok : I34063141

Judul : ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN

DI KAWASAN KONSERVASI (Studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc,Agr. NIP. 19630914 199003 1 002

Mengetahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003


(7)

vii LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN DI KAWASAN

KONSERVASI (Studi Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MAUPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, 2 Februari 2011

Ina Marina I34063141


(8)

viii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cilegon pada tanggal 7 Maret 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Suherman dan Ibu Hasunah. Semenjak memasuki usia balita penulis tinggal di kawasan Kramatwatu, Serang. Penulis menamatkan pendidikannya di TK Islam Cahaya Agung tahun 1994, SDN 2 Serdang tahun 2000, SMPN 1 Kramatwatu tahun 2003 dan SMUN 1 Cilegon tahun 2006. Kemudian pada tahun 2006 penulis diterima menjadi mahasiswa IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), dan pada tahun 2007 terpilih sebagai mahasiswi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat.

Selama menjadi mahasiswa, penulis juga tergabung dalam organisasi kampus minat khusus, LAWALATA-IPB yang bergerak dalam bidang adventural dan lingkungan hidup sejak tahun 2007 hingga saat ini dan seterusnya. Penulis pernah menjabat sebagai kordinator Divisi Manusia dan Lingkungan dan Koordinator Pendidikan Lingkungan Hidup dalam organisasi tersebut selama periode pengurusan 2007-2008 dan periode 2008-2009. Penulis juga aktif sebagai fasilitator dalam Pendidikan Lingkungan Hidup dengan bekerja sama dengan LSM-LSM lingkungan. Penulis juga pernah tergabung dalam tim penilai KS-BERIMAN IPB sebagai tim yang menilai kebersihan kampus IPB pada tahun 2009. Selain itu, penulis juga pernah aktif sebagai Volunteer LSM RMI pada tahun 2008-2009 dan membantu pengumpulan data dalam Kampanye Bangga Hutan Halimun yang diadakan oleh LSM tersebut. Penulis juga pernah mengikuti Training Community Development yang diadakan oleh LSM LATIN pada tahun 2009, dan Konvensi Nasional Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Pemandu Wisata Gunung yang diadakan oleh Direktorat Standarisasi Pariwisata Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2009. Bulan Agustus 2010 penulis juga pernah menjadi notulen dalam Dialog Interaktif antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Masyarakat Adat Kasepuhan yang diadakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Kampung Gede, Kasepuhan Cipta Gelar. Saat ini, bulan Januari 2011, penulis menjadi volunteer LSM Telapak dalam riset kehutanan.


(9)

ix KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur hanya milik Allah SWT atas limpahan Taufik dan Hidayah-Nya sehingga penulis diberikan kemudahan dalam penyelesaian Skripsi.

Skripsi ini membahas mengenai analisis konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak antara balai Taman Nasional dan Masyarakat Adat Kasepuhan Sinar Resmi. Penulis memaparkan pula mengenai sejarah berlangsungnya konflik hingga upaya penyelesaian yang telah dilakukan serta perkembangannya hingga saat ini

Selain itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Ir. Arya H. Dharmawan selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu dan arahannya dalam proses penulisan Skripsi ini.

Semoga penulisan Skripsi ini bermanfaat untuk dan memberikan sumbangan yang nyata untuk perbaikan sistem dalam hal pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya hutan di negeri kita tercinta.

Bogor, 2 Februari 2011


(10)

x UCAPAN TERIMAKASIH

Penyelesaian penulisan Skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ALLAH SWT dan pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian Skripsi ini, antara lain:

1. Dr. Ir. Arya H. Dhramawan, M.Sc, Agr selaku Dosen Pembimbing Skripsi atas waktu, ilmu, kesabaran, dan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini;

2. Dr. Rilus A. Kinseng sebagai Dosen Penguji Utama dan Dr. Ninuk Purnaningsih sebagai Dosen Perwakilan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas kritik, saran dan ilmunya sehingga penulis dapat menyusun dan memperbaiki skripsi ini menjadi lebih baik. 3. Dr. Amirrudin Saleh selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan

dukungan selama penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor; 4. Keluarga besar Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Gede Sinar Resmi,

Abah ASN, Wa UGS, Bapak OMD, dan Bapak BHR atas informasi, kepercayaan, doa dan semangat yang diberikan sehingga skripsi ini selesai dikerjakan.

5. Keluarga besar Bapak Suherman dan Ibu Hasunah atas dukungan, doa dan kasih sayang kepada penulis, sehingga penulis bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

6. Keluarga besar LAWALATA-IPB, khususnya Cita dan Ria, atas ilmu, doa, semangat, kasih sayang dan selalu bersedia menjadi teman diskusi. 7. Kawan-kawan KPM 43, khususnya Tia, Pitaloka dan Lintang, atas

semangat, doa, dukungan dan diskusi dalam proses penulisan skripsi ini. 8. Serta pihak-pihak yang secara tidak langsung membantu dalam


(11)

xi DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Kegunaan Penelitian... 6

BAB 2 PENDEKATAN TEORITIS ... 8

2.1 Tinjauan Pustaka ... 8

2.1.1 Sumberdaya Hutan ... 8

2.1.2 Konservasi Sumberdaya Hutan ... 10

2.1.3 Konflik Sumberdaya Hutan ... 11

2.1.3.1 Pengertian Konflik ... 11

2.1.3.2 Sumber-sumber Konflik ... 12

2.1.3.3 Wujud, Level dan Ruang Konflik ... 16

2.1.3.4 Tahap-tahap Konflik ... 18

2.1.3.5 Teori-Teori Konflik ... 19

2.1.4 Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik ... 22

2.1.5 Masyarakat Adat ... 24

2.2 Kerangka Pemikiran ... 28

2.3 Definisi Konseptual ... 29

BAB 3 METODOLOGI ... 31

3.1 Pendekatan Penelitian ... 31

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

3.3 Penetapan Informan Penelitian ... 32

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 32

3.5 Jenis Data ... 33

3.6 Teknik Pengolahan Data ... 33

BAB 4 GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI ... 35

4.1 Letak Geografis ... 35

4.2 Kondisi Sosial Budaya ... 36

4.2.1 Kepercayaan atau Religi ... 36

4.2.2 Bahasa Sehari-hari ... 37

4.2.3 Mata Pencaharian Masyarakat ... 37

4.2.4 Nilai-nilai Tradisional Kasepuhan ... 39

4.2.5 Kelembagaan Adat ... 45

4.2.6 Nilai Hutan bagi Masyarakat ... 47

4.2.7 Sistem Pengelolaan dan Kepemilikan Hutan ... 48


(12)

xii

BAB 5 ANALISIS KONFLIK SUMBERDAYA HUTAN ... 56

5.1 Sejarah Konflik Sumberdaya Hutan... 56

5.2 Peta Konflik Sumberdaya Hutan ... 66

5.2.1 Pihak-pihak yang Terlibat dalam Konflik ... 66

5.2.2 Kepentingan Masing-masing Pihak ... 70

5.3 Tahapan Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ... 72

5.4 Sumber-sumber Konflik Sumberdaya Hutan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ... 74

5.4.1 Perbedaan Persepsi sebagai Sumber Konflik ... 76

5.4.2 Perbedaan Tatanilai sebagai Sumber Konflik ... 79

5.4.3 Perbedaaan Kepentingan sebagai Sumber Konflik ... 81

5.4.4 Perbedaan Akuan Hak Kepemilikan terhadap Sumberdaya Hutan sebagai Sumber Konflik ... 84

5.5 Basis Konflik dan Kedalaman Konflik ... 86

5.6 Ruang-Ruang Konflik ... 88

5.7 Penyelesaian Konflik Sumberdaya Hutan yang Telah Dilakukan dan Perkembangannya ... 90

5.8 Ikhtisar ... 92

BAB 6 PENUTUP ... 97

6.1 Kesimpulan ... 99

6.2 Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 100


(13)

xiii DAFTAR TABEL

Tabel-1 Kriteria Komunitas Adat... 26

Tabel-2 Unsur Institusi Sosial dalam Komunitas Adat ... 27

Tabel-3 Tahap-tahap Kegiatan Pertanian Ladang ... 40

Tabel-4 Perangka-perangkat Kasepuhan berdasarkan Fungsinya ... 46

Tabel-5 Penggunaan Lahan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di Desa Sirna Resmi ... 50

Tabel-6 Peta Sejarah Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ... 63

Tabel-7 Peta Kepentingan atas Hutan bagi Pihak-pihak yang Terlibat Konflik ... 71

Tabel-8 Peta Persepsi Pihak-pihak yang Berkonflik ... 78

Tabel-9 Peta Kepentingan Tiap Pihak atas Hutan... 83


(14)

xiv DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Aras Permasalahan Konflik Sumberdaya Hutan ... 15 Gambar 2. Bagan Alur Berpikir Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di

Kawasan Konservasi ... 28


(15)

1 BAB 1

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati di sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Sumberdaya alam bagi masyarakat sudah menjadi bagian dari kehidupannya, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Sumberdaya alam mencakup segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah dan air, di bawah permukaan tanah dan air, serta angkasa, yaitu tanah, air, hutan, mineral dan gas. Pentingnya keberadaan sumberdaya alam bagi kehidupan manusia, menjadikan kompleksitas hubungan antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan dalam pengelolaannya (Budimanta, 2007).

Pemerintah Indonesia sebagai salah satu aktor utama dalam pengelolaan sumberdaya alam, berupaya agar keberadaan sumberdaya alam tetap terjaga kelestariannya demi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia khususnya. Mengingat sifat sumberdaya alam yang tidak dapat digantikan kedudukannya serta memiliki peranan yang penting bagi kehidupan manusia, pemerintah kemudian menetapkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya berasaskan pada pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang, dan bertujuan untuk mengusahakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam serta ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Kawasan konservasi memiliki fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam. Pembentukan kawasan konservasi perlu dilakukan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam. Masih menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, kawasan konservasi terdiri dari Kawasan


(16)

2 Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian alam. Kawasan Suaka Alam, yang terdiri dari Suaka Margasatwa dan Cagar Alam, memiliki fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta berfungsi sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Kawasan Pelestarian Alam, yang terdiri dari Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam, memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Penetapan suatu wilayah sebagai kawasan konservasi dan penetapan wilayah yang berbatasan dengannya sebagai daerah penyangga diatur oleh Peraturan Pemerintah.

Taman Nasional adalah salah satu bentuk dari Kawasan Pelestarian Alam. Pengelolaan kawasan taman nasional dilakukan melalui sistem zonasi, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain sesuai keperluan. Pasal 31 UU No.5 Tahun 1990 menegaskan bahwa bentuk kegiatan yang dapat dilakukan di dalam taman nasional, yaitu kegiatan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, dan wisata alam. Pembentukan taman nasional didasarkan pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, kemudian diperkuat oleh keputusan Menteri Pertanian dan/atau Menteri Kehutanan. Contohnya dalam penetapan kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, yang berpijak pada Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5/1967, dan Undang-Undang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya No.5/1990, serta diperkuat melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282 Tahun 1992 dengan areal 40.000 hektar dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan yang baru No. 175/kpts-II/2003, kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak diperluas menjadi 113.357 hektar (Hanafi et al., 2004).

Negara berpBapak/Ibungan bahwa sistem zonasi yang diterapkan pada taman nasional diharapkan dapat membantu masyarakat dalam pemanfaatan kawasan taman nasional. Realitanya, konsep taman nasional dengan sistem zonasi yang mengaturnya telah merampas hutan adat sekaligus menyingkirkan masyarakat yang telah tinggal di dalam kawasan hutan jauh sebelum adanya


(17)

3 taman nasional. Sistem zonasi ini adalah bentuk pengabaian negara terhadap hak asal usul yang melekat pada masyarakat adat.

Pemerintah menetapkan kawasan Gunung Halimun seluas 113.357 hektar melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 175 Tahun 2003 dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak terletak di tiga Kabupaten (Bogor, Sukabumi dan Lebak) dan dua Provinsi (Jawa Barat dan Banten). Ada 24 kecamatan dan 108 desa di tiga Kabupaten (Bogor, Sukabumi, dan Lebak) yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak1, yang sebagian besar dari mereka adalah masyarakat adat Kasepuhan, yang mempunyai relasi kuat terhadap hutan secara budaya, ekonomi dan sosial.

Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat adat Kasepuhan telah melakukan pengelolaan hutan yang diklaim sebagai Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Bentuk pemanfaatan yang dilakukan masyarakat adat Kasepuhan antara lain; pemanfaatan kayu bangunan, kayu bakar, tumbuhan obat, tanaman makanan, keperluan budaya (seren taun), pakan ternak, tanaman hias, satwa (burung dan babi hutan), kerajinan tangan, dan penambangan emas secara tradisional. Secara tiba-tiba, pemerintah mengklaim hutan milik masyarakat sebagai bagian dari taman nasional, dan dilakukan secara sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat Kasepuhan dan mengancam kehidupan masyarakat. Selain itu, konflik pemanfaatan lahan pun terjadi karena sempitnya lahan garapan masyarakat Kasepuhan akibat pengklaiman lahan sebagai taman nasional. Namun, karena terdesak oleh kebutuhan hidup yang harus tetap berlanjut, masyarakat tetap mengelola lahan tersebut, seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Cimapag. Masyarakat adat Kasepuhan di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat, hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan

1 Bewara.


(18)

4 yang diduga masyarakat sengaja dikembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun-Salak di dalam Gunung Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di Gunung Halimun.

Keberadaan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak telah meresahkan dan mengancam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan dalam bentuk pemanfaatan hutan. Hukum konservasi telah mengabaikan hak-hak masyarakat adat Kasepuhan yang menggantungkan hidup pada hutan, baik secara sosial, budaya, dan ekonomi. Pemerintah telah berinisiatif untuk menyelesaikan permasalahan di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, dengan menyusun dan menata kembali sistem zonasi dengan memanfaatkan celah hukum produk kebijakan tentang konservasi. Namun pemerintah belum mengakomodasi dan merealisasikan tuntutan masyarakat adat Kasepuhan, khususnya yang berada di Sukabumi (Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Mulya dan Cipta Gelar) mengenai pengakuan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak mereka dalam pengelolaan sumberdaya alam. Bentuk pengakuan dan perlindungan hukum ini pada akhirnya harus berbentuk Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi

1.2Perumusan Masalah

Penetapan kawasan konservasi melalui kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat top-down, tanpa melalui proses kompromi dengan masyarakat yang telah mendiami kawasan tersebut sejak lama. Penetapan kawasan konservasi terkadang menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Dampak yang biasanya timbul adalah dampak negatif, yaitu tumpang tindihnya klaim yang dikuti oleh terbatasnya akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan yang diklaim pemerintah sebagai area terlarang sehingga menimbulkan konflik dengan masyarakat.

Adanya perbedaan aturan dalam mengelola sumberdaya hutan diduga juga menjadi salah satu penyebab konflik kehutanan. Pihak taman nasional mengelola kawasan hutan mengacu pada UU No.5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya. Masyarakat adat mengelola hutan dengan aturan-aturan yang berlaku pada masyarakat tersebut. Berbedanya pengelolaan


(19)

5 hutan antara pemerintah dan masyarakat adat yang kemudian menjadi salah satu sumber konflik.

Taman nasional mengelola kawasan hutan melalui sistem zonasi yang ditetapkan dalan Peraturan Menteri Kehutanan No.56 Tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Sistem zonasi membagi kawasan hutan taman nasional menjadi kawasan zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona-zona khusus sesuai kebutuhan. Zonasi-zona-zonasi taman nasional, khususnya zona-zona inti, zona rimba dan zona khusus rehabilitasi tidak boleh sembarangan dimasuki manusia kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan. Selain itu, ketiga kawasan zona ini tidak diperbolehkan ada kegiatan pendayagunaan oleh manusia, seperti memungut ranting untuk kayu bakar, mengambil hasil hutan non-kayu, dan menebang kayu. Kegiatan-kegiatan pendayagunaan oleh manusia tersebut jika dilakukan di dalam ketiga kawasan zona tadi, akan dianggap sebagai perambah hutan dan penebang liar.

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi hidup berdekatan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Mereka memiliki ketergantungan yang tinggi dengan kawasan Gunung Halimun. Gunung Halimun merupakan tempat di mana mereka dapat memperoleh kebutuhan-kebutuhan untuk melengkapi hidup, selain dari sawah dan ladang, serta memenuhi kebutuhan spiritual.

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi telah lama mendiami kawasan Gunung Halimun. Mereka percaya, leluhur mereka telah tinggal sejak lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka juga percaya para leluhur memerintahkan masyarakat untuk tetap menjaga dan memelihara kawasan Gunung Halimun, agar anak-cucu mereka dapat hidup dari hutan di masa mendatang. Para leluhur pun telah mewariskan sistem pengelolaan Gunung Halimun dengan membagi hutan menjadi tiga jenis, yaitu leuweung tutupan, leuweung titipan, dan leuweung bukaan.

Sejak berlakunya SK. Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003 yang menetapkan perluasan kawasan Gunung Halimun seluas 113.357 hektar dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, banyak lahan garapan masyarakat


(20)

6 yang masuk ke dalam kawasan taman nasional. Akibatnya lahan garapan menjadi sempit, namun mengingat kebutuhan hidup masyarakat harus tetap berlanjut, masyarakat adat tetap mengelola lahan garapan mereka yang telah menjadi zona inti, zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Konflik tidak terhindari mengingat pemukiman dan lahan garapan masyarakat tumpang tindih dengan kawasan hutan taman nasional.

Berdasarkan fakta inilah dirumuskan tiga pertanyaan dalam penelitian ini, antara lain:

1. bagaimana sejarah konflik dan siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak?

2. apa basis dan berada pada tingkat kekerasan mana konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menyangkut eksistensi masyarakat adat Kasepuhan?; dan

3. sampai sejauh mana upaya penyelesaian konflik dilakukan dan perkembangan penyelesaian konflik hingga tahun 2010?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. untuk mengetahui sejarah konflik dan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

2. untuk mengetahui basis dan tingkat kekerasan konflik yang terjadi di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menyangkut eksistensi masyarakat adat Kasepuhan

3. untuk memahami bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang telah dilakukan serta perkembangan penyelesaian konflik hingga tahun 2010.

1.4Kegunaan Penelitian

1. Akademis: terwujudnya suasana akademik di perguruan tinggi melalui penelitian empirikal, peningkatan kreativitas, kemampuan berkomunikasi secara ilmiah, dan terwujudnya sikap ilmiah, profesional, dan kepedulian


(21)

7 terhadap permasalahan yang berkembang di masyarakat serta memiliki alternatif dalam penanganan konflik. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan rujukan pustaka dalam penelitian selanjutnya

2. Pemerintah: diharapkan dapat dijadikan acuan dalam menetapkan kebijakan konservasi yang memegang prinsip eco-justice.

3. Masyarakat umum: dapat memperoleh pengetahuan mengenai konflik sumberdaya hutan dan mendapatkan informasi mengenai solusi yang baik dalam mengatasi konflik.


(22)

8 BAB 2

PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Sumberdaya Hutan

Hutan dapat definisikan sebagai tempat berupa lahan yang luas yang terdiri dari komponen-komponen biotik dan abiotik yang di dalamnya terdapat ekosistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini setara dengan yang tercantum dalam UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 1 sebagaimana dikutip Sabara (2006) yang mendefinisikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan juga dapat didefinisikan menurut kepentingan para aktor yang memiliki kepentingan atas hutan. Banyak aktor yang memiliki kepentingan atas hutan. Akan tetapi, dalam banyak kasus pengelolaan hutan, aktor-aktor yang berkepentingan hanya dirumuskan dalam tiga aktor, seperti yang dirumuskan oleh Tadjudin (2000), yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Pemerintah mendefinisikan hutan sebagai sebuah karunia Tuhan yang dapat dimanfaatkan dan dilestarikan keberadaanya untuk kesejahteraan masyarakat. Berbeda dengan pemerintah, swasta atau pelaku bisnis mengartikan hutan sebagai komoditas yang dapat menghasilkan uang dan keuntungan yang besar. Masyarakat pun memiliki arti tersendiri mengenai hutan. Masyarakat mengartikan hutan sebagai tempat menggantungkan hidup, sistem perekonomian, dan tempat spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan alam, sehingga tercipta keharmonisan antara keduanya.

Seperti dalam mengartikan definisi hutan, Tadjudin (2000) membagi kepemilikan hutan menjadi tiga kategori, yaitu milik pemerintah, milik swasta, dan milik masyarakat. Fuad et al. (2002) membagi kepemilikan sumberdaya hutan menjadi empat kategorisasi, yaitu state property (milik negara), private property (milik swasta), common pool resources dan common property. Pada dasarnya, keduanya sependapat dalam mengkategorisasikan kepemilikian hutan. Namun, ada sedikit perbedaan dalam pengkategorisasian oleh Fuad et al. (2002), yang


(23)

9 membagi kepemilikan masyarakat menjadi dua kategori yaitu common pool resources dan common property.

Kepemilikan hutan oleh negara atau pemerintah, menurut Tadjudin (2000) muncul ketika negara memakai rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia yang berlBapak/Ibus kepada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh negara bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah sumberdaya publik. Namun, karena konsep sumberdaya publiklah, maka negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik negara, yang pengelolaannya diatur oleh negara. Peran negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan dan pengawasan sumber daya hutan juga diatur oleh pemerintah. Fuad et al. (2002) merepresentasikan rejim kepemilikian hutan oleh negara melalui badan usaha negara.

Kepemilikan hutan oleh swasta, hanya terbatas pada hak akses atas sumberdaya hutan. Hak akses ini terdistribusi baik dalam hak milik individual maupun kelompok. Dalam UU Pokok Kehutanan dan peraturan perundang-undangan yang membawahinya, hak akses atas swasta hanya terbatas pada hak penguasaan terhadap sumberdaya hutan, bukan hak memiliki. Terdapat kekuasaan yang besar bagi para pemiliknya dalam mengelola sumberdaya hutan dengan berorientasi pemanfaatan fungsi hutan secara intensif.

Kepemilikan hutan oleh masyarakat (komunal), dalam penguasaanya dibagi menjadi dua kategori, yaitu common pool resources (CPR) dan common property (milik bersama). Masyarakat sebagai komunitas yang telah mendiami kawasan hutan sejak lama, menjadikan keberadaan hutan benar-benar melekat dalam kehidupannya. Namun, karena kepemilikan hutan oleh masyarakat bersifat komunal, maka hutan dimiliki bersama-sama sebagai properti masyarakat. Dalam kategorisasi menurut Fuad et al. (2002), hal ini termasuk dalam common pool resources. Common Pool Resources sendiri mengandung arti sebagai sumber daya yang memiliki akses terbuka dan sumber daya yang dimiliki secara komunal.


(24)

10 Sumber daya sebagai common property (milik bersama) diartikan oleh Fuad et al. (2002) dengan menerapkan prinsip pelibatan aktif dari masyarakat sekitar (lokal) dan menjadi salah satu alternatif kuat bagi dasar pengelolaan sumberdaya hutan yang akan datang.

2.1.2 Konservasi Sumberdaya Hutan

Konservasi sumberdaya alam pada hakikatnya adalah upaya pemeliharaan serta pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan bijaksana agar dapat digunakan secara berkelanjutan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wiratno et al. (2004) yang mengemukakan bahwa konservasi adalah pengelolaan kehidupan alam oleh manusia, guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Mac Kinnon dalam Alikodra (2005) sebagimana dikutip Kuswijayanti (2007) bahkan mengeluarkan sebuah konsep konservasi modern yaitu suatu pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Konsep ini didasarkan adanya dua kebutuhan; 1) kebutuhan untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat, dan 2) kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Berdasarkan definisi International Union For Conservation of Natureand Nature Species (IUCN 1994), kawasan konservasi merupakan kawasan daratan dan/atau perairan yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati sumberdaya alam dan budaya (Safitri, 2006).

Sumberdaya alam yang sulit tergantikan karena keberadaannya terbatas membuat Pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dengan tujuan mewujudkan kelestarian sumberdaya alam serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat sekaligus menetapkan hukuman bagi pelanggarnya. Lee et al. (2001) merumuskan kebijakan-kebijakan terpenting yang mempengaruhi munculnya konservasi di Indonesia, selain UU No. 5 Tahun 1990. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan (menggantikan UU No. 5 Tahun 1967) yang memberikan beberapa perubahan dalam kerangka hukum bagi


(25)

11 kehutanan, salah satunya dengan memberi ketentuan bagi pengelolaan kawasan oleh masyarakat. Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa peraturan koservasi masih wewenang pemerintah pusat. Ada pula Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres), dan Keputusan Menteri (Kepmen) yang mengatur berbagai aspek pengelolaan pelestarian. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut yaitu: PP No. 15 Tahun 1984, PP No. 28 Tahun 1985, PP No. 18 Tahun 1994, PP No. 68 Tahun 1998, Keppres No. 43 Tahun 1978, dan peraturan lainnya yang terkait dengan pengelolaan pelestarian alam.

Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal konservasi dipengaruhi pula oleh konferensi-konferensi Internasional. Wiratno et al. (2004) menyebutkan ada dua konferensi penting yang mempengaruhi kebijakan konservasi di Indonesia. Pertama, World Conservation Strategy tahun 1980, yang menghasilkan sebuah arahan untuk konsep konservasi dunia dengan menghasilkan buku yang berjudul “World Conservation Strategy”. Kedua, Kongres Taman Nasional dan Kawasaan Lindung Sedunia ke-III di Bali tahun 1982, yang menghasilkan pembangunan taman nasional di Indonesia sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi. Wiratno et al. (2004) juga menyebutkan, sebagian kawasan konservasi di Indonesia memang ditunjuk berdasarkan hasil studi Mac Kinnon yang dituangkan dalam Rencana Konservasi Nasional tahun 1980 yang didasarkan pada prinsip “save it” karena harus berlomba dengan penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK).

2.1.3 Konflik Sumberdaya Hutan 2.1.3.1 Pengertian Konflik

Konflik dapat diartikan sebagai pertarungan antara dua pihak atau lebih, baik individu maupun kelompok yang biasanya disebabkan oleh perbedaan nilai, pandangan, aktivitas, status, dan kelangkaan sumberdaya alam. Pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Fuad dan Maskanah (2000), Ibrahim (2002) sebagaimana dikutip Ilham (2006) serta Fisher et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa konflik muncul karena ada sasaran-sasaran yang tidak sejalan atau tidak sama. Konflik akan selalu ditemui selama manusia menjalankan peranannya di dalam kehidupan. Manusia melakukan berbagai usaha untuk memenuhi


(26)

12 kebutuhnnya, yang dalam pelaksanaannya manusia harus melaksanakan hak dan kewajibannya. Ketika merealisasikan hak-hak manusia yang merupakan bagian dari komunal, sering terjadi benturan-benturan antara pemenuhan hak-hak tersebut. Benturan-benturan tersebut menimbulkan ketidakadilan dan memicu tumbuhnya konflik antar manusia.

Menurut Wiradi (2002) sebagaimana dikutip Sardi (2010) konflik adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua individu atau kelompok dalam memperebutkan obyek yang sama demi kepentingannya. Pada tahapan ”berlomba” saling mendahului untuk mencapai tujuan, sifatnya masih dalam batas persaingan. Tetapi ketika mereka saling memblokir jalan lawan dan saling berhadapan maka terjadilah ”situasi konflik”

Konflik selalu diidentikkan dengan kekerasan, ancaman, dan segala hal yang berkonotasi negatif. Padahal konflik dapat bersifat positif. Seperti pendapat Mitchell et al. (2000) dan Hendricks (2004) sebagimana dikutip Hasanah (2008) yang mengungkapkan bahwa konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman.

2.1.3.2 Sumber-sumber Konflik

Menurut Tadjudin (2000), sumber konflik adalah perbedaan dan perbedaan tersebut bersifat mutlak yang artinya secara obyektif memang berbeda. Namun perbedaan tersebut hanya ada pada tingkat persepsi (Tadjudin, 2000). Pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda dan pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meski secara obyektif sama sekali tidak terdapat perbedaan. Perbedaan bisa terjadi pada tataran (Tadjudin, 1999), misalnya:

1. Perbedaan persepsi. Konflik ini terjadi antara pemungut ranting kayu jati dan petugas Perhutani. Pemungut ranting kayu jati (untuk kayu bakar) mempersepsikan ranting kayu jati sebagai barang yang ”relatif tidak berguna” bagi Perhutani, karena itu mereka menganggap bahwa memangkas dan memungutnya dalam jumlah kecil dapat dimaklumi. Sebaliknya bagi Perhutani, menganggap bahwa memangkas dan


(27)

13 memungut ranting itu merupakan pelanggaran hukum, yang apabila dikhawatirkan akan meningkat menjadi pelanggaran yang lebih besar, karena itu perbuatan para pemungut ranting kayu jati tidak dimaklumi. 2. Perbedaan pengetahuan. Para peladang-berotasi di Kalimatan memiliki

pengetahuan lokal yang teruji, bahwa menanam padi varietas lokal tanpa pemupukan pada lahan yang ditebas-bakar secara berkala itu merupakan tindakan yang paling baik ditinjau dari segi produktivitas maupun kelestarian lingkungan. Pemerintah menganggap bahwa peladang-berotasi itu selain tidak produktif juga merusak lingkungan (karena boros lahan). Karena itu, pemerintah menganggap bahwa merubah pola perladangan-berotasi menjadi perladangan menetap merupakan kebijakan yang tepat, namun masyarakat menolaknya, sehingga terjadilah konflik.

3. Perbedaan tatanilai. Bagi masyarakat Dayak, kayu besi merupakan tanaman yang sangat sakral, dan dalam tatanilainya tanaman tersebut merupakan bagian kehidupan spiritualnya di mana pun tanaman itu tumbuh. Sementara itu, bagi pengusaha HPH, kayu tersebut merupakan komoditi perdagangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan karena tumbuh dalam wilayah konsesinya, maka sudah sepatutnya jika ia menebang dan menjualnya. Ketika itu dilakukan, munculah konflik antara pengusaha HPH dengan masyarakat Dayak.

4. Perbedaan kepentingan. Pengelola Taman Nasional Meru Betiri memiliki kepentingan untuk melakukan konservasi kawasan taman nasional, dan dengan demikian tidak memperkenankan kegiatan pendayagunaan di dalam kawasan taman nasional. Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Jember berkepentingan untuk meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat di sekitar kawasan dengan melakukan kegiatan produktif di dalam kawasan (zona penyangga dan zona rehabilitasi) taman nasional tersebut.

5. Perbedaan akuan hak ”pemilikan”. Masyarakat di desa Dwikora (Lampung) menganggap bahwa hak pemilikan lahan perkebunan kopi yang mereka budidayakan itu sah karena merekalah yang membuka lahan,


(28)

14 membudidayakannya dan merawatnya sepanjang tahun, ditambah dengan kenyataan bahwa tempat tinggal mereka itu merupakan desa definitif. Pemerintah menganggap bahwa akuan itu tidak sah, karena desa mereka ada dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung. Pemerintah menganggap sudah semestinya untuk ”mengusir” masyarakat dari dalam hutan lindung, sementara itu masyarakat menganggap bahwa tindakan pemerintah itu merupakan tindakan sepihak yang sewenang-wenang. Penyebab konflik yang ditekankan oleh Fisher et al. (2001) adalah isu-isu utama yang muncul pada waktu menganalisis konflik, yaitu isu kekuasaan, budaya, identitas, gender dan hak. Isu-isu ini muncul ketika mengamati interaksi antar pihak yang bertikai, yang pada satu kesempatan tertentu akan menjadi latar belakang konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi secara diam-diam.

Konflik dalam konteks sumberdaya alam, biasanya juga terletak pada perbedaan nilai, model pengelolaan serta kepemilikan (Tadjudin, 2000). Pemerintah mendefinisikan hutan sebagai sumberdaya yang perlu dijaga dan dilestarikan keberadaannya untuk kesejahteraan masyarakat. Swasta mengartikannya sebagai komoditi yang menghasilkan keuntungan. Masyarakat yang menganggap hutan sebagai tempat menggantungkan hidup dan memiliki nilai spiritual. Namun, Widjarjo et al. (eds) (2001) sebagaimana dikutip Ilham (2006) menyebutkan bahwa dari pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa penyebab konflik atas sumber daya alam adalah konflik yang bersifat struktural yang terjadi terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konflik kehutanan, menurut Fuad et al. (2002) adalah sebagai berikut :

1 Perbedaan pesepsi politik dan hukum antara pemerintah dengan masyarakat dalam hal klaim dan pengakuan hak pada kawasan hutan. Politik negara menguasai sumberdaya hutan sebagai akses publik dan tidak mengakui hak-hak masyarakat lokal.


(29)

15 2 Penguasaan dan akses masyarakat lokal tidak diimbangi dengan usaha pengamanan, sehingga banyak terjadi pengalihan atau penentuan hak baru pada kawasan hutan dengan kepentingan ekonomi.

3 Sektorisme kebijakan negara terhadap sumberdaya alam, pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang parsial.

4 Sistem kelola dengan pemberian konsesi HPH yang ditentukan terpusat menciptakan pertentangan dan benturan nilai-nilai kelestarian sumberdaya hutan dengan kepentingan ekonomi.

Konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang sering terjadi adalah konflik antara masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terutama hutan konservasi, dengan berbagai pihak luar yang dianggap memiliki otoritas dalam pengelolaan sumberdaya hutan, seperti pemerintah dan swasta (Ulfah, 2007).

Gambar 1. Aras Permasalahan Konflik Sumberdaya Hutan

Sumber: Fuad dan Maskanah (2000)

Gambar 1 menjelaskan bahwa level konflik pengelolaan sumberdaya hutan (SDH), pada akhirnya akan menimbulkan perebutan atas nama kebutuhan dan kepentingan yang berbeda terhadap sumberdaya hutan; antara pemerintah atau negara, penguasaha atau investor, serta rakyat pada umumnya menyebabkan hubungan ketiganya menjadi tidak harmonis. Seringkali apa yang dicita-citakan pemerintah belum dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat lokal, karena

Kepentingan internasional

Pengusaha Negara

Masyarakat

Mikro/Lokal Makro/Global


(30)

16 pelaksanaannya di lapangan berbeda dengan aturan formal dalam tingkat kebijakan. Demikian pula yang terjadi antara pengusaha dan pemerintah, ketika prosedur pengurusan berbagai izin pengelolaan sumberdaya hutan harus melewati serangkaian birokrasi. Ketimpangan-ketimpangan tersebut akan saling terkait dan berpotensi menimbulkan konflik di lingkungan mikro atau di tingkat nasional di suatu negara. Pada saat yang sama, proyek-proyek pembangunan di negara-negara berkembang tidak terlepas dari kepentingan global terutama faktor investasi negara maju bagi tetap berlangsungnya produksi, distribusi dan pemasaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa investasi sektor kehutanan termasuk industrinya, melibatkan aliran modal asing dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu, dalam melihat konflik di tingkat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan tidak berarti harus menutup mata terhadap adanya kepentingan yang lebih besar (Fuad dan Maskanah, 2000).

2.1.3.3 Wujud, Level dan Ruang Konflik

Kebanyakan konflik memiliki penyebab ganda sebagai kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik yang terbuka (Fuad dan Maskanah, 2000). Untuk itu Fuad dan Maskanah (2000) melakukan pemetaan konflik, yakni mengelompokkannya dalam ruang-ruang konflik dengan menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut:

1. Konflik Data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, atau mendapat informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, atau menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda.

2. Konflik Kepentingan, terjadi karena persaingan kepentingan, dimana ketika suatu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain harus berkorban.

3. Konflik Hubungan antar Manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang.


(31)

17 4. Konflik Nilai, dikarenakan oleh sistem kepercayaan yang tidak

bersesuaian, baik yang dirasakan maupun memang ada (nyata).

5. Konflik Struktural, terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum.

Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest) seperti yang diungkapkan oleh Fuad dan Maskanah (2000). Selain itu, Fuad dan Maskanah (2000) juga membagi konflik menjadi dua jenis menurut level permasalahannya, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Dalam konflik sumberdaya alam, konflik yang terjadi dapat berwujud tertutup, mencuat, maupun terbuka, tergantung karakteristik aktor-aktor yang berselisih. Menurut level permasalahannya, konflik sumberdaya alam cenderung berwujud konflik vertikal, yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat. Konflik juga dapat dibedakan menjadi konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah konflik yang mampu mendukung proses pencapaian tujuan kelompok serta mampu meningkatkan kinerja kelompok. Konflik disfungsional adalah konflik yang dapat menghambat kinerja kelompok (Robbins, 1993 dalam Tadjudin, 2000).

Terdapat beberapa karakteristik dari konflik seperti yang dijelaskan Hendricks (1996) sebagaimana dikutip oleh Ilham (2006), yaitu: (1) dengan meningkatnya konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; (2) keinginan untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; (3) orang yang menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi orang lain, seiring dengan meningkatnya konflik; (4) strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; (5) onflik dapat melampaui tahapan yang lazim; (6) seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik.

Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik (Hae et al., 2000 sebagaimana dikutip Ilham (2006)) antara lain:

1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah


(32)

18 yang sebelumnya tidak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya. Akibat pertikaian yang berlangsung selama 20 tahun lebih di Belfast, pemisahan kelompok Nasionalis (yang kebanyakan Protestan) dan kelompok pro-kemerdekaan (yang kebanyakan Katolik) sudah sampai pada pembuatan tembok setinggi 5 meter. Begitu pula di Ambon, walaupun belum ada tembok pemisah, segresi wilayah kelompok muslim dan kristen sudah terjadi.

2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya bersifat negatif, untuk merendahkan pihak lawan.

3. Demonisasi (penjelek-jelekan). Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematis ini menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul misalnya: ”Si A dari suku X, hati-hati..., orang yang bersuku X itu pembunuh darah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan peminum darah manusia”.

4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan pada kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran, radio, dan televisi.

5. Pemaksaan (koersi). Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri atau kelompok lain.

2.1.3.4 Tahap-tahap Konflik

Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting diketahui untuk membantu menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik (Fisher et al., 2001). Analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, yaitu:

1. Prakonflik. Ini merupakan periode di mana terdapat ketidaksesuaian sasaran antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Mungkin


(33)

19 terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini.

2. Konfrontasi. Pada tahap ini, konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.

3. Krisis. Tahap ini merupakan puncak konflik, ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus. Pernyataan umum cenderung menuduh atau menentang pihak lain.

4. Akibat. Suatu krisis akan menimbulkan akibat. Satu pihak ingin menaklukan pihak lain, satu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Apapun keadaaannya, tingkat ketegangan konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian.

5. Pascakonflik. Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah normal di antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik tahap ini sering kembali menjadi situasi prakonflik.

2.1.3.5 Teori Konflik

Fairuza (2009) mengungkapkan bahwa teori konflik pada dasaranya berusaha menjelaskan dan menganalisis secara komperehensif konflik dalam kehidupan sosial, meliputi: 1) sebab/isu konflik; 2) fungsi konflik; 3) bentuk/ekspresi (intensitas) konflik; dan 4) aktor/pelaku konflik. Teori konflik merupakan teori penting masa kini yang menekankan kenyataan sosial di tingkat struktur sosial daripada tingkat individual, antarpribadi, atau antar budaya.

1. Konflik berdasarkan Sebab/Isu Konflik

Coser (1957) membuat suatu pembedaan yang penting mengenai konflik yang disebabkan isu-isu realistik, yang disebut dengan konflik realistik,


(34)

20 dan konflik yang disebabkan oleh isu-isu non realistik, yang disebut dengan konflik non realistik. Konflik realistik merupakan suatu alat untuk suatu tujuan tertentu jika tujuan itu tercapai mungkin akan menghilangkan sebab-sebab dasar dari konflik itu. Artinya, jika masing-masing aktor konflik telah memperoleh sumber konflik yang berupa materi, maka konflik akan berhenti dengan sendirinya. Konflik realistik memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis misalnya konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik non realistik merupakan tujuan dari konflik itu sendiri. Konflik ini merupakan suatu cara untuk menurunkan ketegangan di dalam kelompok atau mempertegas identitas suatu kelompok. Cara ini mewujudkan bentuk-bentuk kekerasan yang sesungguhnya berasal dari sumber-sumber lain. 2. Fungsi Konflik dan Kekerasan Konflik

Teori konflik fungsi menjelaskan kaitan antara kekerasan konflik dan fungsi konflik (Fairuza, 2009). Pandangan Coser (1957) mengenai konflik sosial sebagai suatu hasil dari faktor-faktor lain daripada perlawanan kelompok kepentingan.serta pandangan bahwa konflik berdampak pada stabilitas dan perubahan sosial. Coser menekankan bahwa konflik sosial berfungsi dalam sistem sosial, khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, produktivitas, dan kemudian memperhatikan hubungan antara konflik dan perubahan sosial. Berkaitan dengan kekerasan konflik, disebut Coser sebagai kebrutalan konflik. Menurut Fisher et al. (2001), kekerasan adalah bentuk tindakan, perkataan, sikap sebagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial dan lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Kekerasan dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lain dan menyebabkan luka-luka. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang lain atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan


(35)

21 kelompok lainnya juga merupakan bentuk kekerasan. Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan atau trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan.

3. Konflik berdasarkan Sasaran dan Perilaku

Berdasarkan sasaran dan perilaku, Fisher et al. (2001) konflik dapat diklasifikasikan dalam empat tipe, yaitu: 1) tanpa konflik, setiap kelompok atau masyarakat ingin hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. 2) konflik laten, merupakan konflik yang sifatnya tersembunyi sehingga perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara efektif. 3) konflik terbuka, adalah konflik yang berakar ’dalam’ dan ’sangat nyata’, sehingga memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. 4) konfli di permukaan, adalah konflik yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi.

4. Konflik berdasarkan Tahapan/Intensitas

Ariyanti (2008) mengungkapkan bahwa bila dua pihak atau lebih berinteraksi, maka mereka akan ada dalam suatu kontinium yang terentang dari kondisi ’tanpa konflik’ sampai dengan ’ada konflik yang tidak terpecahkan’. Robbins dalam Tadjudin (2000) menggolongkan konflik menurut intensitasnya, yaitu sebagai berikut: 1) memiliki sedikit ketidaksetujuan atau sedikit kesalahpahaman. Perbedaan yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan perbedaan pemaknaan terhadap suatu masalah. Perbedaan ini masih tersimpan dalam ingatan di setiap individu atau kelompok yang berinteraksi; 2) mempertanyakan hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudha mulai mempertanyakan hal-hal yang dianggapnya berbeda tetapi belum ada vonis bahwa pihak lain itu keliru atau tidak; 3) mengajukan serangan-serangan verbal. Perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada vonis bahwa pihak lain


(36)

22 itu keliru, tetapi belum muncul koersi verbal agar pihak lain itu bersikap seperti yang diinginkannya; 4) mengajukan ancaman dan ultimatum. Koersi verbal mulai muncul. Ada upaya agar pihak lain itu bersikap seperti dirinya (yang diharapkan dan diinginkan oleh dirinya); 5) melakukan serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk paksaan fisik; dan 6) melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghancurkan pihak lain. Pihak-pihak tertentu akan melakukan segala cara untuk memaksakan keinginannya walaupun hal tersebut akan merugikan pihak lain.

2.1.4 Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik

Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 sebagaimana dikutip Sardjono, 2004), yaitu: (1) langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; (2) mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seo\perti pengacara, teman kolega, dan asosiasi resmi; dan (3) menggunakan pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas pemintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Condliffe (1991) sebagaimana dikutip Sardjono (2004), juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu: Lumping it, Avoidance or exit, Coersion, Negotiation, Conciliation, Mediaton, Arbitration, dan Adjudication.

1. Lumping it. Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan.

2. Avoidance or exit. Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi atau psikologis.

3. Coersion. Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau kepentingannya pada pihak yang lain.


(37)

23 4. Negotiation. Kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara

bersama-sama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga.

5. Concilliation. Mengajak (menyatukan) kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan.

6. Mediation. Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan.

7. Arbitration. Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga.

8. Adjudication. Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil baik yang diharapkan maupun tidak oleh kedua belah pihak yang bersengketa.

Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik di atas, hanya butir negoisasi, konsiliasi dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipandang kondusif. Hal ini dikarenakan ketiganya mengandung unsur win-win solution yang sifatnya lebih langgeng. Sebagaimana yang disinggung oleh Sardjono (2004), bahwa penyelesaian konflik melalui jalur formal legal yang akan diperoleh adalah ’menang-kalah’ atau ’gembira-kecewa’. Oleh karena itu, cara ini hanya akan ditempuh bila: (1) upaya penyelesaian melalui perundingan menemui jalan buntu; (2) tingkat pelanggaran atau tuntutan telah melampaui batas toleransi; dan (3) merupakan kebiasaan dan kepentingan publik.

Fuad dan Maskanah (2000) menyebutkan bahwa khusus mengenai konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 74, ayat 1). Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai


(38)

24 pengambilan suatu hak, besarnya ganti rugi, dan/atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan (Pasal 75).

2.1.5 Masyarakat Adat

Nasdian dan Dharmawan (2007) sebagaimana dikutip oleh Tishaeni (2010) menyebutkan pemahaman yang lebih luas mengenai “komunitas” ialah suatu unit atau kesatuan social yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest) baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai territorial. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”. Istilah komunitas dalam batas-batas tertentu dapat menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut komunitas.

Komunitas adat menurut Siregar (2002) sebagaimana dikutip oleh Aulia (2010) adalah komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur di atas wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Komunitas adat juga merupakan kelompok sosial yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan, baik sosial ekonomi maupun politik.

Definisi masyarakat adat berdasarkan hasil Kongres Masyarakat Adat Nasional 1, seperti yang diungkapkan oleh Moniaga (2004) sebagaimana dikutip Khalil (2009), yaitu kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri.

Menurut Keraf (2002) ada beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat dengan kelompok masyarakat lainnya, yaitu:

1. mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian.


(39)

25 2. mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli

daerah tersebut.

3. mempunyai budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah.

Kleden et al. (2009) menyebutkan bahwa pada pertemuan pergerakan masyarakat adat pertama digelar di Jakarta pada Maret 1999, istilah Indegenous People berubah menjadi “masyarakat adat”. Masyarakat adat memiliki definisi sebagai komunitas yang tinggal di wilayah adat nenek moyangnya dan memiliki kedaulatan atas lahan dan sumberdaya alam. Mereka juga memiliki nilai-nilai dan idelogi, struktur sosial, sistem ekonomi dan politik dan budaya yang diatur oleh hukum dan institusi adat.

Menurut Syafaat et al. (2008) sebagaimana dikutip oleh Tishaeni (2010), masyarakat adat dimaksudkan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Lebih lanjut Syafaat et al. (2008) mengemukakan bahwa pengertian tersebut sesuai dengan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 1969 Pasal 1 (1.b) yang isinya sebagai berikut, “Tribal peoples adalah mereka yang berdiam di Negara-negara merdeka di mana kondisi sosial, budaya, dan ekonominya membedakan mereka dari masyaraka lainnya di Negara tersebut.”

Definisi formal komunitas adat terpencil menurut Keppres RI No. 111/1999 adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik, sedangkan definisi operasional menurut Keppres tersebut, komunitas adat terpencil adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal, relatif kecil, tertutup, tertinggal, homogeni, terpencar dan berpindah-pindah, kehidupannya masih berpegang teguh pada adat istiadat, pada kondisi geografis yang sulit dijangkau. Penghidupannya tergantung pada sumberdaya alam setempat dengan teknologi yang masih sederhana dan ekonomi yang subsistem serta


(40)

26 terbatasnya akses pelayanan sosial dasar. Secara teknis definisi operasional tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel-1 Kriteria Komunitas Adat

No. UNSUR URAIAN

1 Jumlah Komuntas Kecil, terjangkau oleh hubungan personal

2 Beragam Suku Homogen, menurut garis keturunan sesuku

3 Sikap terhadap Perubahan Tertutup

4 Letak Geografi Umumnya terpencil dan relatif sulit dijangkau

5 Teknologi Sederhana, tetapi fungsional bahan dan manfaat sesuai dengan kebutuhan 6 Ketergantungan pada Lingkungan

Hidup dan SDA

Relatif tinggi antar anggota komunitas dalam memanfaatkan SDA

7 Kehidupan Sosial Bertumpu pada Sistem Kekerabatan 8 Sistem Ekonomi Kehidupan dan Sistem Ekonomi

Subsisten

9 Pelayanan Sosial Dasar Belum ada atau sangat terbatas

10 Transportasi Belum ada atau ditempuh melalui jalur transportasi tertentu

11 Hubungan Sosial Hubungan di dalam komunitasnya dan dengan komunitas lain menurut kepentingan tertentu

12 Mata Pencaharian Hidup Umumnya meramu makanan, berburu, dan dari hasil hutan

13 Institusi Sosial Kepercayaan tradisi nenek moyang Sumber: Keppres RI No. 111/1999 tentang Pembinaan Komunitas Adat Terpencil

Apabila merujuk pada definisi operasional pada tabel-1, maka masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi masih memenuhi kriteria-kriteria sebagai masyarakat adat. Sebagai contoh, dalam aspek ketergantungan terhadap Lingkungan Hidup dan SDA, masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki ketergantungan yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan akan kayu bakar untuk memasak, kayu untuk membangun sarana dan prasarana, serta hasil hutan non kayu untuk tambahan pangan. Selain itu, dalam aspek perubahan dan teknologi masyarakat Kasepuhan sangat terbuka dengan adanya perubahan dan masuknya teknologi baru, namun masih mempertahankan teknologi tradisional terutama dalam pengolahan pertaniannya dan tidak bertentangan dengan adat yang telah diturunkan leluhurnya. Institusi sosial masyarakat masih mempercayai segala hal yang diturunkan oleh para leluhur dalam menjalani kehidupan.


(41)

27 Ada pun unsur institusi sosial yang hidup dalam komunitas adat terpencil (KAT) dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel-2 Unsur Institusi Sosial dalam Komunitas Adat

No Institusi Sosial Uraian

1 Kepercayaan Tradisi nenek moyang

2 Pengetahuan Transformasi dari generasi ke generasi, secara lisan, praktek dan teladan

3 Pendidikan Di dalam keluarga (individu), kerabat (sosial) dan magang dalam praktek

4 Kesehatan Preventif dan kuratif oleh dukun atau penyembuh lain melalui mantra, jampi, dan obat-obatan tradisional

5 Perkawinan Endogami dalam satu suku besar, dan eksogami dalam suku lainnya

6 Keturunan Komunitas bentukan melalui garis keturunan satu sub suku

7 Politik Di bawah tradisi pemimpin komunitas atau suku yang kharismatik melalui otoritas adat

8 Kepemilikan Kepemilikan individu terbatas, diperoleh melalui warisan. Kepemilikan sosial luas karena digunakan untuk kepentingan bersama yang diatur menurut adat.

9 Bahasa Alat komunikasi penting berdasarkan bahasa lisan

Sumber: Keppres RI No. 111/1999 tentang Pembinaan Komunitas Adat Terpencil

Masyarakat adat Kasepuhan hingga saat ini masih memenuhi kriteria sebagai komunitas adat seperti yang disebutkan dalam tabel-2. Dalam aspek pendidikan dan pengetahuan, walaupun masyarakatnya sudah mengenyam pendidikan formal, mereka masih mendapatkan pendidikan dan pengetahuan yang berasal dari keluarga secara turun temurun terutama terkait spiritualitas dan sistem pertanian. Dalam aspek kepercayaan, walaupun semua masyarakat mengaku beragama Islam, mereka masih menjalankan ritual-ritual yang berasal dari para leluhur dan mempercayai segala hal yang berasal dari para leluhur. Aspek kesehatan, masih ada penyembuh-penyembuh yang berasal dari adat, yang disebut dengan Dukun Manusia (berperan untuk menyembuhkan penyakit manusia), Paraji (berperan dalam membantu persalinan), dan Dukun Hewan (berperan untuk menyembuhkan pernyakit pada hewan). Aspek kepemilikan dalam hal lahan, masih bersifat komunal, dan penggunaan lahan diatur oleh Abah sebagai pimpinan


(42)

28 adat. Bahasa yang digunakan sehari-hari dan dalam upacara dan ritual adat masyarakat adat Kasepuhan adalah bahasa Sunda.

2.2 Kerangka Pemikiran

Sumberdaya hutan dipersepsikan sebagai kawasan yang menjadi milik publik, yang berarti siapa pun boleh mengaksesnya. Pernyataan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bahwa hutan dan sumberdaya lainnya dikuasai oleh negara dan untuk kemakmuran rakyat, menjadikan hutan seharusnya menjadi sumbedaya bersama yang boleh diakses siapa saja. Pengelolaan sumberdaya hutan ditujukan untuk konservasi jika mengikuti kebijakan pada UU No.5 Tahun 1990 dan UU No.41 Tahun 1999. Itu artinya, sumberdaya hutan hanya diperuntukkan untuk upaya konservasi, dan tidak untuk dimiliki maupun diakses oleh masyarakat, kecuali di zona-zona tertentu. Akibat dari pengelolaan sumberdaya hutan secara konservasi yang mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, timbul ketidakadilan sumberdaya hutan terhadap masyarakat, sehingga menimbulkan konflik kehutanan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah membatasi akses masyarakat ke dalam hutan, tetapi memberikan hak pengelolaan hutan kepada swasta sehingga akhirnya menimbulkan ketidakadilan dan berujung pada konflik sumberdaya hutan seperti yang terjadi pada kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Gambar 2. Bagan alur berpikir Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Konservasi

Keterangan:

Aspek yang diteliti Aliran Pembahasan

Konflik: Konflik Kehutanan

Konflik Lahan Konflik Air

Penyelesaian konflik yang telah dilakukan Sumberdaya

Hutan

Sumber-sumber Konflik: • Perbedaan Persepsi • Perbedaan Nilai

• Perbedaan Pengetahuan • Perbedaan Akuan Hak


(43)

29 Gambar 2 menjelaskan bahwa sumberdaya hutan sebagai sumberdaya publik yang dapat diakses oleh siapa saja. Pernyataan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bahwa hutan dan sumberdaya lainnya dikuasai oleh Negara dan untuk kemakmuran rakyat, menjadikan hutan seharusnya menjadi sumbedaya bersama yang boleh diakses siapa saja, dan tidak dimiliki secara individual maupun kelompok. Namun, dalam mengartikannya terkadang timbul perbedaan yang dapat menjadi sumber timbulnya konflik. Selain perbedaaan dalam menilai sumberdaya hutan (perbedaan tatanilai), perbedaan persepsi, perbedaan pengetahuan, perbedaan kepentingan, dan perbedaan akuan hak pemilikan juga menjadi sumber-sumber penyebab konflik lainnya. Konflik yang terjadi pun dapat berada pada basis konflik kehutanan, konflik lahan, maupun konflik air. Upaya pengelolaan dan penyelesaian konflik dilakukan dalam menangani konflik. Upaya-upaya tersebut dapat ditempuh melalui jalur persidangan maupun di luar persidangan.

2.3Definisi Konseptual

1. Sumberdaya hutan adalah semua unsur-unsur hayati, baik hewan maupun tumbuhan dan unsur nonhayati yang membentuk ekosistem hutan.

2. Sumber-sumber konflik merupakan penyebab-penyebab terjadinya konflik.

3. Perbedaan persepsi merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan dalam mempersepsikan sumberdaya hutan.

4. Perbedaan pengetahuan merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan pengetahuan dalam mengelola sumberdaya hutan.

5. Perbedaan tatanilai merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan dalam memaknai dan menilai hutan.

6. Perbedaaan kepentingan merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan kepentingan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan. 7. Perbedaaan akuan hak pemilikan merupakan sumber konflik yang terjadi

karena ada perbedaan dalam pengakuan kepemilikan (klaim) terhadap hutan (wilayah yang sama).

8. Konflik Kehutanan adalah benturan antar dua pihak yang disebabkan adanya perbedaan nilai, kepentingan, akuan hak kepemilikan, perbedaan


(44)

30 pengetahuan, dan perbedaan persepsi antar pihak-pihak yang bertikai atas sumberdaya hutan.

9. Basis konflik adalah arena di mana konflik terjadi, dapat berupa basis kehutanan, basis lahan, dan basis air.

10. Alternatif pengelolaan dan penyelesaian konflik merupakan upaya-upaya yang dilakukan dalam menangangi konflik di luar persidangan yang mengadung unsur win-win solution.

11. Negosiasi adalah pihak yang berkonflik bersama-sama menyelesaikan konflik tanpa melibatkan pihak ketiga.

12. Konsoliasi adalah menyatukan kedua belah pihak yang berkonflik untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan menyelesaikan konflik. 13. Mediasi adalah penyelesaian konflik dengan intervensi oleh pihak ketiga

yang bersifat netral untuk mencapai kesepakatan.

14. Komunitas Adat adalah komunitas yang tinggal di wilayah adat nenek moyangnya dan memiliki kedaulatan atas lahan dan sumberdaya alam, juga memiliki nilai-nilai dan idelogi, struktur sosial, sistem ekonomi dan politik dan budaya yang diatur oleh hukum dan institusi adat.


(45)

31 BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian yang dilakukan untuk menganalisis konflik sumberdaya hutan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih peneliti karena mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci mengenai suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari subjek yang diteliti (Sitorus, 1998). Pendekatan kualitatif dan deskriptif memungkinkan peneliti dapat memahami mengapa orang mempunyai tingkah laku tertentu, dan dapat melihat dunia ini seperti subjek melihatnya (Wiradi, 2009). Pendekatan kualitatif dilakukan untuk menggali konflik-konflik sumberdaya hutan yang terjadi serta faktor-faktor penyebabnya, kemudian menggali bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang dilakukan.

Metode penelitian yang dilakukan adalah metode studi kasus. Metode studi kasus pada pelaksanaannya di lapangan dilakukan dengan menggunakan wawancara mendalam, pengamatan berperan serta terbatas, maupun penelusuran (analisis) data sekunder sebagai instrumennya. Strategi studi kasus yang diterapkan oleh peneliti mampu menghindari terbatasnya pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu dan yang hanya berdasar pada penafsiran peneliti.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak tepatnya masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Beberapa alasan memilih lokasi ini sebagai lokasi penelitian, yaitu: 1) kajian di lokasi penelitian ini dapat menjawab permasalahan pokok studi ini secara mendalam dan spesifik; 2) Kampung Sinar Resmi merupakan salah satu kampung yang lahan garapannya berada di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak; 3) berdasarkan wawancara dengan salah satu informan kunci Bapak PPN (53 tahun, Tokoh Masyarakat Kampung Lebak Nangka), sudah ada warga kampung di Kampung Lebak Nangka yang ditangkap


(46)

32 oleh Polisi Kehutanan karena dituduh sebagai perambah hutan dan penebang liar. Hal inilah yang berpotensi menimbulkan konflik sosial di sana.

Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Juli 2010, dengan perincian mulai intensifnya berada di lapangan untuk peneliti survey lapangan dan pengambilan data di lokasi penelitian.

3.3 Penetapan Informan Penelitian

Wilayah Kasepuhan Sinar Resmi tidak dibatasi oleh batas-batas administratif. Masyarakatnya pun pada umumnya tersebar di wilayah Kabupaten Lebak, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Bogor. Namun, untuk membatasi lingkup penelitian ini, informan penelitian yang diambil adalah informan yang secara administratif tinggal di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Metode yang digunakan adalah snowball sampling (pengambilan sampel sistem bola salju), dimana pemilihan informan kunci, pada awalnya dilakukan dengan mendatangi tokoh adat Kasepuhan (Wa UGS, 64 tahun) dimana penelitian dilakukan, yang selanjutnya akan menggiring pada informan kunci lain, Abah ASN (44 tahun, Ketua Adat), Bapak BHR (62 tahun, Sekretaris Desa), Bapak OMD (34 tahun, Petani), Bapak PPN (53 tahun, Tokoh Masyarakat Kampung Lebak Nangka), Bapak RDI (55 Tahun, Petani) dan Bapak KHR (47 tahun, Polisi Kehutanan)

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian dikumpulkan melalui tiga metode, antara lain: 1. Wawancara Mendalam

Teknik wawancara mendalam bertujuan untuk memperoleh data primer dan deskriptif yang dilakukan terhadap informan kunci. Informan diketahui melalui penggunaan teknik bola salju (snowball sampling). Wawancara dilakukan terhadap sebanyak mungkin subyek penelitian sampai pada titik jenuh informasi, dimana informasi dari informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru.


(47)

33 2. Pengamatan Berperan Serta

Pengamatan berperan serta adalah penggalian data primer dengan mengadakan kontak yang lama, intensif, dan bervariasi dengan orang lain. Pengamatan berperan serta yang dilakukan penulis terbatas pada berpartisipasinya penulis dalam beberapa kegiatan bersama. Data yang diperoleh dengan metode ini secara garis besar biasanya berupa keterangan mengenai: (1) gambaran deskriptif tentang lingkungan alamiah; (2) data tentang hubungan-hubungan sosial; dan (3) data tentang sejarah setempat. 3. Penelusuran Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dengan menganalisis dan melakukan kajian pustaka terhadap berbagai literatur, yakni skripsi, tesis, disertasi, buku, jurnal, makalah ,dan internet yang terkait dengan topik penelitian. Kajian literatur ini membantu penulis dalam mengumpulkan data di lapangan. Penulis membuat panduan pertanyaan yang digunakan sebagai pedoman dalam pengumpulan data. Selain itu, analisis data sekunder juga dilakukan terhadap dokumen yang diperoleh di lokasi penelitian, seperti monografi dan potensi desa, peta lokasi, data statistik, dan lain-lain.

3.5 Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Jenis data primer merupakan informasi yang dikumpulkan langsung dari lapangan melalui wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta. Data sekunder didapatkan berupa data-data yang bersumber dari dokumen-dokumen, baik berupa skripsi, tesis, disertasi, buku, jurnal, dan makalah, maupun data monografi desa, potensi desa, dan lain-lain. Data primer dan sekunder dapat berbentuk data kualitatif maupun data kuantitatif.

3.6 Teknik Pengolahan Data

Data yang didapatkan dari pendekatan kualitatif, baik berupa data primer maupun data primer, akan diolah melalui tiga jalur analisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Sitorus, 1998). Penjabaran tahapan analisis data kualitatif tersebut adalah sebagai berikut: (1)


(48)

34 reduksi data, merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data ”kasar” yang muncul dari beberapa catatan tertulis di lapangan. Reduksi dalam proses pengumpulan data mencakup kegiatan meringkas data yang ada di dalam catatan lapangan, mengkode hasil catatan lapang dikaitkan dengan pertanyaan penelitian, membuat gugus-gugus pembahasan dalam matriks kasar untuk mempermudah analisis, membuat partisi dan menulisi memo di dalam catatan lapang. Reduksi ditujukan untuk menajamkan, menggolongkan, mengeliminasi yang tidak diperlukan serta mengorganisir data untuk memperoleh kesimpulan akhir, (2) penyajian data, data yang telah direduksi kemudian disajikan dengan penyusunan sekumpulan informasi sehingga memungkinkan untuk penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data dilakukan dalam bentuk: tabel, gambar, serta berbagai kutipan penjelasan dari subyek penelitian, (3) penarikan kesimpulan, dalam hal ini juga meliputi verifikasi atas kesimpulan tersebut. Artinya, selama proses pengumpulan data dengan tetap meninjau data-data yang telah dikumpulkan sebelumnya untuk memastikan bahwa data yang dibutuhkan sudah lengkap, sehingga penarikan kesimpulan dapat dilakukan dengan tepat berdasarkan data-data yang sudah terkumpul. Penarikan kesimpulan akan disesuaikan dengan masalah dan tujuan dalam penelitian ini.


(49)

35 BAB 4

GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN SINAR RESMI

4.1 Letak Geografis

Komunitas adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., 2004). Kasepuhan Sinar Resmi merupakan satu dari sebelas Kasepuhan yang berada di Wilayah Banten Kidul (Banten Selatan) dan merupakan bagian dari komunitas adat Banten Kidul. Wilayah Kasepuhan Sinar Resmi juga berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Pusat Kasepuhan ini terletak di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan memiliki jarak 23 Km ke Kecamatan Cisolok dan 33 Km ke Kabupaten Sukabumi. Kampung Sinar Resmi berada pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut dan berada di lereng selatan Gunung Halimun. Adapun batas wilayah Kampung Sinar Resmi adalah sebagai berikut:

Barat : Desa Cicadas Timur : Kampung Cikaret Utara : Sungai Cibareno Selatan : Kampung Cibombong

Menurut Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun) batas-batas Kasepuhan sulit ditentukan secara administratif, karena tersebarnya masyarakat adat Kasepuhan (incu putu) di wilayah Gunung Halimun. Bahkan masih menurut Abah, seluruh kawasan Gunung Halimun adalah wilayah adat Komunitas Adat Banten Kidul, dimana Kasepuhan Sinar Resmi adalah salah satu bagiannya.

Jumlah penduduk Desa Sirna Resmi berdasarkan data monografi desa tahun 2010 terdiri dari 1537 kk, dengan jumlah penduduk laki-laki 2619 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 2694 jiwa. Namun, untuk jumlah penduduk Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Sinar Resmi sendiri, menurut


(50)

36 Abah terdiri dari 76 kk. Desa Sirna Resmi memiliki luas 4917 hektar dan memiliki luas hutan sebesar 2950 hektar, dan lahan pertanian 275 hektar.

4.2 Kondisi Sosial-Budaya 4.2.1 Kepercayaan atau Religi

Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al. (2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang berasal dari dinamika konflik yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang didatangkan oleh VOC dari seluruh Nusantara).

Dilihat dari segi religi, seluruh masyarakat adat Kasepuhan mengaku beragama Islam, meskipun dalam beberapa hal masih mempercayai hal-hal yang bersifat ghaib (Animisme). Menurut tokoh adat kampung, Wa UGS (64 tahun) mereka mengikuti tata cara ibadah yang dilakukan oleh Rasul, dengan istilah Slampangan dika Gusti Rasul.

“kami beragama Islam, dan kami juga mempercayai Nabi Muhammad sebagai Rasul kami. Tata cara ibadah kami mengikuti ajaran Nabi, yang disebut dengan Slampangan dika Gusti Rasul”

Menurut Rosdiana (1994) sebagaimana dikutip oleh Kurniawan (2002) masyarakat adat Kasepuhan mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap kekuatan alam yang dikuasai oleh para leluhur mereka. Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya ritual-ritual adat yang diwariskan leluhur dalam setiap kegiatan kemasyarakatan, seperti membakar kemenyan dengan diiringi dengan mantera-mantera yang dilafalkan dalam bahasa Sunda yang ditujukan untuk Gusti Nu Kuasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) dan para leluhur. Bagi mereka, adat dan kepercayaan itu merupakan pedoman hidup utama dalam menjalankan kehidupan.


(1)

117 yang dapat menurunkan hujan, dimana jika hujan turun ke bumi, maka akan menumbuhkan kehidupan baru.

Seorang ibu yang memiliki rambut yang indah akan membuat bapak tertarik dan mencumbui ibu untuk menghasilkan keturunan. Hal ini memiliki makna bahwa sebagai bumi (tanah) yang dianalogikan sebagai ibu harus memiliki banyak pepohonan yang dianalogikan dengan rambut yang indah, agar menarik bapak yang menyimbolkan langit untuk menurunkan hujan agar dapat memberikan penghidupan kepada manusia.

Ritual selanjutnya dalam kegiatan pertanian adalah upacara pesta panen atau upacara Seren Taun. Upacara ini dilakukan untuk mensyukuri hasil panen tahun itu dan sebagai hiburan untuk masyarakat yang telah bekerja selama satu tahun dalam pertanian. Rangkaian acara dimulai setelah panen dilakukan, dengan melakukan Serah Ponggokan. Para Kolot Lembur (kepala kampung/dusun) berkumpul untuk mendiskusikan besarnya biaya yang ditanggung per orang untuk biaya Seren Taun. Kemudian masyarakat menyerahkan besarnya biaya yang telah disepakati kepada Abah yang diwakilkan pada Kolot Lembur di setiap kampung/dusun. Abah sebagai pimpinan adat melakukan ziarah ke makam-makam leluhurnya, mulai dari makam-makam Abah sebelumnya hingga makam-makam leluhurnya di Cipatat Bogor. Ziarah ini dilakukan untuk memohon restu kepada para leluhur, agar pelaksanaan Seren Taun dapat berjalan dengan lancar.


(2)

118 Hari/tanggal wawancara : Selasa, 21 Desember 2010

Lokasi wawancara : Rumah Bapak RDI, di Kampung Cimapag Nama dan umur informan : Bapak RDI dan 55 tahun

Pekerjaan : Petani di Kampung Cimapag, Warga Kasepuhan Sinar Resmi

Hasil Wawancara :

“Setiap kami menanam pisang, hasil panen selalu gagal. Hasil panen dimakan oleh Babi Hutan. Padahal, dahulu di dalam kebun tidak ada Babi Hutan. Babi Hutan itu adalah hasil ternak taman nasional. Secara sengaja, Babi Hutan tersebut diternak untuk merusak tanaman warga”

Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di Kampung Cimapag masih diperbolehkan mengelola lahan, namun dengan persyaratan harus menanam tanaman pohon-pohon kayu keras, seperi rasalama dan mahoni. Walaupun masyarakat masih diperbolehkan mengelola lahan, hasil pertanian yang didapatkan banyak yang gagal. Menurut masyarakat hasil pertanian yang gagal, seperti panen pisang, terjadi karena diserang oleh babi hutan yang diduga masyarakat sengaja di kembangbiakan oleh Taman Nasional Gunung Halimun Salak di dalam hutan Halimun, karena sebelum adanya taman nasional babi hutan tidak ada di hutan Halimun.


(3)

119 Hari/tanggal wawancara : Rabu, 22 Desember 2010

Lokasi wawancara : Kantor Resort Gunung Bodas Nama dan umur informan : Bapak KHR 47 Tahun

Pekerjaan : Polisi Kehutanan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Hasil Wawancara :

Masyarakat lokal telah dilarang untuk melakukan sistem tumpang sari setelah pengelolaan Gunung Halimun dialihkan dari Perhutani ke Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Namun, masyarakat tetap menggarap lahan tersebut, sehingga bisa dikatakan sebagai perambah hutan dan pelaku illegal logging. Lahan garapan masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi adalah wilayah taman nasional. Lahan-lahan yang telah digarap tidak boleh diperluas lagi, dan masyarakat wajib menanam pohon kayu-kayu keras, seperti rasamala dan mahoni agar kemudian lahan yang dulunya lahan garapan bisa menjadi hutan alami lagi.

“masyarakat adat sudah dilarang untuk menggarap lahan hutan bekas Perhutani secara tumpang sari, tapi masih tetap menggarap lahan tersebut. Masyarakat juga melakukan illegal logging dan merambah hutan. Pelaku-pelaku illegal logging di taman nasional adalah masyarakat adat. Lahan garapan masyarakat adat Sinar Resmi itu masuk ke dalam taman nasional, paling banyak berada di zona rehabilitasi”.

Kami meragukan ke-adat-an masyarakat Kasepuhan karena gaya hidup masyarakat kasepuhan sudah terbilang modern. Mereka dapat menggunakan alat-alat elektronik, seperi laptop, telepon genggam, dan televisi. Selain itu, pakaian mereka sehari-hari pun sudah menyerupai masyarakat pada umumnya, tidak lagi menggunakan pakaian adat. Jadi, tidak dapat diragukan lagi, karena adat istiadat masyarakat Kasepuhan dianggap telah luntur, mereka dapat merambah hutan, walaupun dulunya menurut adat dilarang, karena kebutuhan ekonomi yang terus mendesak.


(4)

120 Lampiran 4. Sketsa Taman Nasional Gunung Halimun-Salak

Sumber: http//:Ekowisata.org

Lampiran 5. Sketsa Kampung Sinar Resmi


(5)

121 Lampiran 6. Dokumentasi

Ritual Asupkeun Pare ka Leuit Si Jimat Kesenian Gondang

Kesenian Debus Memasukkan Padi ke Leuit


(6)

122

Sawah Masyarakat Papan Pengumuman Pelarangan di Kebun Warga


Dokumen yang terkait

Analisis finansial usaha pengolahan produk fish nugget di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi Jawa Barat

0 7 78

Struktur Penguasaan Tanah Masyarakat dan Upaya Membangun Kedaulatan Pangan (Kasus Kampung Sinar Resmi, Desa Sinar Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat)

1 13 176

Analisis Dampak Perluasan Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi (Studi Kasus di Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

2 18 275

Kelembagaan Lokal Dalam Pemanfaatan Aren dan Peranan Hasil Gula Aren Bagi Pendapatan Rumahtangga Masyarakat Kasepuhan (Desa Sirna Resmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat)

0 20 196

Alokasi Sumberdaya Kawasan Hutan Rakyat di Kabupaten Sukabumi Jawa Barat: Pendekatan Multi-Objective

0 16 100

LEKSIKON ETNOFARMAKOLOGI DI KAMPUNG ADAT CIPTAGELAR, DESA SIRNARESMI, KECAMATAN CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI (KAJIAN ETNOLINGUISTIK).

4 12 25

PEWARISAN PENGETAHUAN LOKAL ETNOBOTANI KEPADA GENERASI SELANJUTNYA DI KAMPUNG ADAT SINAR RESMI KABUPATEN SUKABUMI.

2 8 27

TRADISI NGASEUK DI KAMPUNG ADAT SINAR RESMI DESA SIRNARESMI KECAMATAN CISOLOK KABUPATEN SUKABUMI SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN MEMBACA ARTIKEL DI SMA.

3 19 36

SIKAP KONSERVASI SISWA KAMPUNG TRADISIONAL CIKUPA DAN KAMPUNG ADAT SINAR RESMI KECAMATAN CISOLOK KABUPATEN SUKABUMI.

0 4 32

TRADISI NGASEUK DI KAMPUNG ADAT SINAR RESMI DESA SIRNARESMI KECAMATAN CISOLOK KABUPATEN SUKABUMI SEBAGAI BAHAN PEMBELAJARAN MEMBACA ARTIKEL DI SMA - repository UPI S BD 1004549 Title

0 0 4