Kombinasi Pelapis Gelatin Ikan dan Penyimpanan Dingin untuk Mempertahankan Mutu Buah Melon (Cucumis melo L.) Terolah Minimal

KOMBINASI PELAPIS GELATIN IKAN DAN PENYIMPANAN
DINGIN UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH
MELON (Cucumis melo L.) TEROLAH MINIMAL

DHANNY APRIYATNA

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kombinasi Pelapis
Gelatin Ikan dan Penyimpanan Dingin untuk Mempertahankan Mutu Buah Melon
(Cucumis melo L.) Terolah Minimal” adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan dan tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014

Dhanny Apriyatna
NIM F14100078

ABSTRAK
DHANNY APRIYATNA. Kombinasi Pelapis Gelatin Ikan dan Penyimpanan
Dingin untuk Mempertahankan Mutu Buah Melon (Cucumis melo L.) Terolah
Minimal. Dibimbing oleh EMMY DARMAWATI.
Buah dengan pengolahan minimal kemungkinan besar akan cepat rusak,
oleh karena itu perlu upaya perlakuan untuk mempertahankan kesegaran buah
terolah minimal. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan kombinasi dari
konsentrasi pelapisan menggunakan gelatin ikan dan metode penyimpanan dingin
yang digunakan untuk mempertahankan mutu buah melon terolah minimal.
Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap faktorial terbagi dengan 3 taraf
konsentrasi bahan pelapis (tanpa pelapis, 4%, 6%) dan 2 taraf suhu penyimpanan
(5 ̊C, 13 ̊C). Uji anova digunakan untuk mengetahui bagaimana pengaruh tiap
perlakuan. Parameter yang diukur selama penelitian meliputi laju respirasi, susut

bobot, kekerasan, total padatan terlarut (TPT), uji warna, dan uji organoleptik. Hasil
kombinasi terbaik antara konsentrasi coating gelatin ikan dan suhu penyimpanan
untuk mempertahankan kesegaran buah melon terolah minimal yaitu konsentrasi
4% dengan suhu penyimpanan 5 ̊C hingga penyimpanan hari ke-7 dan konsentrasi
4% dengan suhu penyimpanan 13 ̊C hingga penyimpanan hari ke-5.
Kata kunci: buah melon, buah terolah minimal, gelatin ikan, penyimpanan dingin,
pelapis.

ABSTRACT
DHANNY APRIYATNA. Combination of Fish Gelatins Coating and Cold Storage
Method to Maintain the Quality of Minimally Process Melon (Cucumis melo L.).
Supervised by EMMY DARMAWATI.
Fruit with minimally process is likely to be damaged, because it needs effort
to maintan the quality of minimally processed fruit. The purpose of this research is
to determine the combination between concentration of the coating using fish
gelatin and cold storage method to maintain the quality of minimally processed
melon. Experiments using factorial design with 3 levels of coating concentration
(without coating, 4%, 6%) and 2 levels of storage temperature (5 ̊C, 13 ̊C). ANOVA
test was used to know how the effect of the treatments. The parameters measured
during the study include respiration rate, weight loss, hardness, total soluble solids

(TSS), colour test, and organoleptic tests. The best resuts for combinations between
concentration of fish gelatin and temperature storage to maintain the quality of
minimally process melon were concentration of 4% with storage temperature of 5 C
̊
until 7th day of storage and concentration of 4% with storage temperature of 13 ̊C
until 5th day of storage.
Key words: edible coating, cold storage, fish gelatins, melon, minimally process
fruit.

KOMBINASI PELAPIS GELATIN IKAN DAN PENYIMPANAN
DINGIN UNTUK MEMPERTAHANKAN MUTU BUAH
MELON (Cucumis melo L.) TEROLAH MINIMAL

DHANNY APRIYATNA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem


DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul

Nama
NIM

: Kombinasi Pelapis Gelatin Ikan dan Penyimpanan Dingin untuk
Mempertahankan Mutu Buah Melon (Cucumis melo L.) Terolah
Minimal
: Dhanny Apriyatna
: F14100078

Disetujui oleh


Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Desrial, M.Eng
Ketua Departemen

Tanggal lulus :

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya sehingga penyusunan skripsi dengan judul “Kombinasi
Pelapis Gelatin Ikan dan Penyimpanan Dingin untuk Mempertahankan Mutu Buah
Melon (Cucumis melo L.) Terolah Minimal” dapat diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Februari 2014 hingga Juni 2014.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ayahanda Sahrudin, Ibunda Uswatun Khasanah, Nenek Hj. Maskupah, dan
Adikku Angga Azisyahputra serta semua keluarga besar atas do’a, kasih

sayang, dukungan dan semangat untuk penulis selama pembuatan karya
ilmiah ini.
2. Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sampai
menyelesaikan skripsi ini.
3. Dosen penguji skripsi, Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc dan Dr. M. Yulianto,
S.T, M.T atas kritik dan saran yang sangat bermanfaat.
4. Bapak Nurul Haq selaku peneliti di Balai Besar Riset Pengolahan Produk
dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta atas ilmunya di dunia
perikanan.
5. Seluruh staf pengajar Teknik Mesin dan Biosistem Institut Pertanian Bogor
atas semua pengetahuan yang telah diberikan.
6. Bapak Sulyaden, Mas Abas di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan
dan Hasil Pertanian yang membantu penulis saat melakukan penelitian.
7. Teman – teman panelis dan volunteer Aji, Fiqi, Rizky R., Erlin, Aulia,
Rosma, Fika, Putri, Dita, Oldga, Pepi, Rizki A., Candra, Asep, Asiyah, dan
Dhika atas segala jasa dan kontribusinya pada penelitian ini.
8. Teman bimbingan Buddy, Vera, Indi, dan Dinar terima kasih atas bantuan
selama penelitian berlangsung.
9. Teman-teman di Departemen Teknik Mesin dan Biosistem angkatan 47,

terima kasih atas kebersamaannya, bantuan dan semangatnya bagi penulis.
10. Terima kasih kepada seluruh pihak yang pernah memberikan bantuan dan
dukungan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan para
pembaca untuk melakukan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya
di bidang pascapanen.
.
Bogor, September 2014

Dhanny Apriyatna

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x


DAFTAR LAMPIRAN

xi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2


TINJAUAN PUSTAKA

3

Buah Melon (Cucumis Melo L.)

3

Buah Terolah Minimal

4

Gelatin Ikan

5

Edible Coating (Pelapis)

5


Penyimpanan Dingin

6

METODOLOGI

6

Waktu dan Tempat Penelitian

6

Bahan dan Alat

7

Prosedur Penelitian

7


Analisis Data

10

Rancangan Percobaan

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

15

Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Penyimpanan Dingin terhadap
Laju Respirasi

15

Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Penyimpanan Dingin terhadap
Mutu Buah Melon Terolah Minimal

19

Pemilihan Perlakuan Terbaik

32

SIMPULAN DAN SARAN

33

Simpulan

33

Saran

33

DAFTAR PUSTAKA

34

LAMPIRAN

35

DAFTAR TABEL
1 Kandungan gizi melon per 100 gram berat yang dapat dimakan.
2 Rancangan percobaan penelitian.

3
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Buah melon hijau (Cucumis melo L.) varietas Action
Gelatin Ikan.
Potongan buah melon.
Larutan pelapis dengan konsentrasi 6% dan 4%.
Bagan alir SOP proses pelapisan.
Diagram alir penelitian.
Proses pengemasan dan penyimpanan.
Pengukuran laju respirasi buah melon terolah minimal.
menggunakan cosmostector.
Pengukuran susut bobot menggunakan timbangan Mettler PM4800.
Pengukuran kekerasan daging buah menggunakan rheometer
model CR-300.
Pengukuran TPT menggunakan refractometer Atago tipe PR210.
Diagram Hunter.
Laju konsumsi O2 pada suhu 5 ̊C.
Laju konsumsi O2 pada suhu 13 ̊C.
Laju produksi CO2 pada suhu 5 ̊C.
Laju produksi CO2 pada suhu 13 ̊C.
Keadaan buah melon terolah minimal dalam berbagai
konsentrasi di hari ke-7 penyimpanan suhu 5 ̊C.
Keadaan buah melon terolah minimal dalam berbagai
konsentrasi di hari ke-7 penyimpanan suhu 13 ̊C.
Grafik perubahan susut bobot buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 5 ̊C.
Grafik perubahan susut bobot buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C.
Grafik perubahan kekerasan buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 5 ̊C.
Grafik perubahan kekerasan buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 13 ̊C.
Grafik perubahan TPT buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 5 ̊C.

3
5
9
8
8
9
10
11
11
12
12
13
16
16
17
17
18
18
19
20
21
22
23

24 Grafik perubahan TPT buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 13 ̊C.
25 Grafik perubahan kecerahan (L) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 5 ̊C.
26 Grafik perubahan kecerahan (L) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C.
27 Grafik perubahan kehijauan (a) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 5 ̊C.
28 Grafik perubahan kehijauan (a) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C.
29 Grafik perubahan kekuningan (b) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 5 ̊C.
30 Grafik perubahan kekuningan (b) buah melon terolah minimal
selama penyimpanan pada suhu 13 ̊C.
31 Grafik nilai organoleptik visual buah melon terolah minimal.
32 Grafik nilai organoleptik aroma buah melon terolah minimal.
33 Grafik nilai organoleptik kekerasan buah melon terolah
minimal.
34 Grafik nilai organoleptik rasa buah melon terolah minimal.

24
25
25
27
27
28
28
29
30
31
32

DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis sidik ragam laju konsumsi O2 buah melon terolah
minimal.
2 Analisis sidik ragam laju produksi CO2 buah melon terolah
minimal.
3 Analisis sidik ragam susut bobot buah melon terolah minimal.
4 Analisis sidik ragam kekerasan buah melon terolah minimal.
5 Analisis sidik ragam TPT buah melon terolah minimal.
6 Analisis sidik ragam warna L (kecerahan) buah melon terolah
minimal.
7 Analisis sidik ragam warna a (kehijauan) buah melon terolah
minimal.
8 Analisis sidik ragam warna b (kekuningan) buah melon terolah
minimal.
9 Perubahan warna daging buah melon terolah minimal pada
berbagai konsentrasi dan suhu penyimpanan berdasarkan diagram
Hunter.
10 Perubahan warna daging buah melon terolah minimal pada
berbagai perlakuan selama penyimpanan.
11 Form isian uji organoleptik.

37
37
38
38
38
39
39
40

41
42
44

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manfaat gizi dan nutrisi yang tinggi membuat buah dan sayuran menjadi
alternatif makanan yang dapat langsung dikonsumsi tanpa proses pemasakan
terlebih dahulu. Buah melon merupakan buah yang cukup digemari oleh konsumen,
selain memiliki rasa yang manis buah ini memiliki warna daging buah yang menarik,
dan aroma buah yang khas. Melon diproduksi di Indonesia dan harga jual yang
tinggi yaitu sekitar Rp 10.000/kg di tingkat konsumen. Karena rasa manis dan
aroma yang khas, maka buah melon sangat digemari oleh para konsumen.
Namun dewasa ini, cara memakan buah bukan hanya kebutuhan melainkan
menjadi bagian dari gaya hidup seseorang. Kesibukan menyebabkan waktu yang
tersedia semakin sempit dan terbatas. Maka dari itu pilihan masyarakat beralih
terhadap buah-buahan segar yang praktis dan cepat tersaji.
Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan buah-buahan siap saji adalah
dengan menghilangkan bagian-bagian yang tidak dapat dimakan dan memperkecil
ukuran melalui buah segar terolah minimal. Untuk kalangan masyarakat yang
sangat mementingkan kualitas dan mutu, pengolahan minimal merupakan cara yang
tepat karena masyarakat dapat melihat langsung bentuk serta kondisi di dalam buah
serta penampakan warnanya. Dalam hal ini konsumen menginginkan potongan
buah tersedia dalam kondisi segar dan menarik pada saat disajikan dengan tingkat
kematangan yang seragam dan siap konsumsi.
Buah dengan pengolahan minimal kemungkinan besar akan cepat rusak,
karena buah telah mengalami luka akibat goresan dari proses pemotongan. Laju
respirasi semakin tinggi bila buah mengalami proses pemotongan. Pada buah utuh,
buah masih ditutupi kulit yang berfungsi sebagai penghalang terhadap serangan
serangga dan patogen dan mencegah kehilangan air. Jika epidermis atau periderm
rusak atau dibuang cairan yang kaya akan nutrisi akan keluar dari intraselluler sel
yang dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba (Brecht 1995).
Untuk memperpanjang umur simpan buah terolah minimal diperlukan
penanganan pasca proses yang tepat dan optimum. Beberapa cara yang diharapkan
dapat menekan laju penurunan mutu buah terolah minimal ialah dengan pelapisan
yang berasal dari senyawa hidrokoloid maupun lemak, seperti pada penelitian
Setiasih (1999) pada produk salak pondoh dan mangga arumanis terolah minimal,
penelitian Dwi et al. (2005) pada produk melon. Fisla (2010) dengan menambahkan
metode atmosfer termodifikasi untuk produk melon dan penelitian Purba (2011)
untuk produk sawo.
Pelapisan buah terolah minimal dengan pelapis merupakan salah satu cara
pengaplikasian yang dapat dipergunakan untuk memperpanjang umur simpan,
karena pelapis bersifat sebagai penahan difusi O2 dan CO2 serta uap air yang
mampu menciptakan atmosfir internal yang sesuai sehingga dapat mempertahankan
kesegaran dan mencegah kerusakan (Baldwin 1995). Keberhasilan
mempertahankan kualitas dan memperpanjang umur simpan melalui pelapisan ini
tergantung dari jenis pelapis dan konsentrasi yang digunakan. Penggunaan bahan
pelapis mempunyai syarat-syarat seperti tidak mempengaruhi bau dan rasa dari

2
bahan, mudah kering dan tidak lengket, tidak mudah pecah, mengkilap dan licin,
tidak bersifat racun, dan mudah diperoleh.
Gelatin merupakan salah satu bahan yang paling banyak digunakan dalam
farmasi dan industri makanan salah satunya sebagai pelapis. Kulit dan tulang
mamalia biasa digunakan sebagai bahan baku industri gelatin. Namun, gelatin yang
berada dipasaran umumnya berasal dari babi dan sapi (Anonim 2013). Umat Islam
dilarang menggunakan bahan dari babi dan umat Hindu dilarang menggunakan
bahan dari sapi (Kasankala et al. 2007).
Para ilmuwan telah menemukan bahwa kulit, tulang, sirip dan tulang rawan
ikan air tawar dan ikan laut dapat digunakan sebagai sumber gelatin baru. Montero
dan Gomez-Gullen (2009) mengusulkan pemakaian bahan baku dari limbah
pengolahan ikan untuk memenuhi beberapa kekhawatiran konsumen terhadap
permasalahan kelayakan medis, sosial dan agama dari gelatin mamalia.
Selain metode pelapis, penyimpanan dingin juga efektif untuk mengawetkan
buah yang terolah minimal karena suhu yang rendah dapat menurunkan reaksi dan
kegiatan metabolik lainnya seperti proses penuaan, kehilangan air dan pelayuan,
kerusakan karena aktivitas mikroba, serta proses yang tidak dikehendaki lainnya
(Pantastico 1989).

Perumusan Masalah
Jumlah limbah ikan di Indonesia sangat tinggi tetapi masih jarang
dimanfaatkan lebih lanjut, salah satunya dengan pemanfaatan gelatin ikan. Gelatin
ikan merupakan salah satu sumber protein yang dapat dimanfaatkan untuk
pembuatan edible coating (pelapis). Pelapis dari golongan hidrokoloid memiliki
sifat hidrofilik. Plasticizer merupakan bahan tambahan yang sering ditambahkan ke
dalam pembuatan pelapis untuk memperbaiki sifatnya. Jenis plasticizer yang
digunakan adalah gliserol.
Proses pengolahan minimal memerlukan sebuah penanganan yang tepat
untuk mengatasi kerusakan fisik maupun biologis. Pelapisan untuk menghambat
laju respirasi dan metode penyimpanan dingin telah banyak dilakukan untuk
mempertahankan umur simpan dari irisan buah. Penggunaan gelatin dari bahan
kulit ikan diharapkan mampu mempertahankan mutu buah melon terolah minimal,
memberikan tambahan gizi, serta memperluas penggunaan gelatin halal yang
berasal dari ikan.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji penggunaan pelapis gelatin ikan
pada buah melon terolah minimal dan metode penyimpanan dingin yang dapat
memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu buah. Sedangkan tujuan
khusus dari penelitian ini adalah:
1. Mengkaji pengaruh konsentrasi gelatin ikan dan suhu penyimpanan
terhadap perubahan mutu buah melon terolah minimal.
2. Menentukan kombinasi yang optimum antara konsentrasi gelatin ikan dan
suhu penyimpanan terhadap mutu buah melon terolah minimal

3

TINJAUAN PUSTAKA
Buah Melon hijau (Cucumis melo L.) varietas Action
Buah Melon (Cucumis melo L.) termasuk dalam suku labu-labuan atau
Cucurbitaceae. Varietas Action berproduksi dalam jumlah besar sehingga banyak
dibudidayakan di daerah Jawa Timur dan disekitarnya. Tanaman varietas ini
memiliki batang yang kokoh, bentuk buah yang bulat dengan kulit buah bertekstur
kasar berjaring dengan warna hijau cerah hingga kuning muda, sedangkan daging
buah berwarna putih hingga hijau muda, tekstur lembut, dan tebal. Varietas ini
dapat dipanen pada umur 65 – 75 hari setelah tanam dengan bobot rata – rata antara
2 hingga 3 kg (Nuryanto, 2007)

Gambar 1 Buah melon (Cucumis melo L.) varietas action
Secara lengkap kandungan buah melon untuk 100 gram bahan yang dapat
dimakan ditunjukkan pada Tabel 1. Melon yang tumbuh di Indonesia memiliki
banyak varietas yang dibedakan antara lain dari rasa, aroma, ukuran, bentuk dan
warna.
Tabel 1 Kandungan gizi melon per 100 gram berat yang dapat dimakan
Kandungan gizi
Nilai satuan
Kalori (energi)
23 kalori
Protein
0.5 gram
Lemak
0.1 gram
Karbohidrat
5.1 gram
Kalsium
15 miligram
Fosfor
25 miligram
Besi
0.5 miligram
Vitamin A
640 SI
Vitamin B1
0.03 miligram
Vitamin B2
0.02 miligram
Vitamin C
34 miligram
Niasin
0.8 gram
Serat
0.3 gram
Air
93.5 gram
Sumber : Prajnanta (1999)

4
Buah melon merupakan buah nonklimaterik dimana proses pemasakannya
harus masih berada pada tanaman. Buah melon harus dipanen setelah benar-benar
matang karena buah ini tidak akan matang bila diperam. Pada melon berdaging
putih, panen dilakukan pada umur 65 - 75 hari setelah tanam. Melon yang sudah
matang ditandai dengan jaring di kulit buah telah terbentuk sempurna, tebal, dan
rata; ada retakan di pangkal tangkai buah; warna kulit buah berubah, misalnya dari
hijau tua menjadi kekuningan; kulit buah terasa halus atau tidak berbulu; muncul
aroma yang khas; serta tungkai buah berwarna kekuningan.
Jika dilakukan pemotongan secara melintang buah melon terdiri dari kulit
buah, daging buah dan biji. Kulit buah melon tidak terlalu tebal (1-2 mm), tetapi
keras dan liat. Daging buah berwarna hijau muda, dengan tingkat kemanisan daging
buah melon berkisar antara 8-15 %Brix (Prajnanta 1999).

Buah Terolah Minimal
Pengolahan minimal atau sering disebut irisan buah segar merupakan
penanganan pada produk hortikultura dengan membuang bagian yang tidak dapat
dikonsumsi sehingga menjadi produk yang siap dikonsumsi atau diolah lebih lanjut.
Produk terolah minimal memiliki resiko penurunan mutu lebih besar dengan waktu
yang lebih cepat dibandingkan dengan komoditi yang tidak diolah. Hal ini
dikarenakan pelindung alami yaitu kulit buah pada produk irisan buah segar
dibuang saat pengupasan. Pembusukan ditandai dengan perubahan warna, rasa,
tekstur dan kandungan nutrisi. Kegiatan pada pengolahan minimal meliputi
pembersihan, pengupasan, pencucian, pemotongan, dan pengirisan (Cantwell 2002).
Diterangkan juga bahwa semakin banyak kegiatan maka semakin besar resiko
pembusukan.
Penelitian pengolahan minimal buah-buahan sudah banyak dilakukan
diantaranya penelitian tentang pengolahan minimal mangga arumanis (Ratule et al.
1999), melon (Dwi et al. 2005), Sawo (Purba 2011), Apel (Effendi 2013).
Permasalahan mendasar yang ditimbulkan dari penerapan pengolahan
minimal ialah perlakuan pengolahan minimal terhadap buah segar akan
menyebabkan perubahan fisiologi akibat kehilangan kulit sebagai lapisan pelindung.
Hal ini akan menyebabkan terjadinya induksi sintesis etilen, degradasi membran
lipid, reaksi pencoklatan, pembentukan metabolit sekunder, kehilangan air, dan
terjadinya peningkatan laju respirasi. Untuk buah non klimaterik produksi etilen
tidak berpengaruh pada tingkat kematangan, sedangkan reaksi pencoklatan terjadi
dikarenakan permukaan potongan buah mengalami kerusakan sebagai akibat
rusaknya beberapa jaringan penyusun terutama pada saat sel-sel jaringan yang
pecah kemudian mengalami kontak dengan udara dan terjadi oksidasi. Pemotongan
atau pengupasan buah-buahan mempengaruhi aktivitas jaringan dan meningkatkan
laju penguapan air. Perbedaan laju kehilangan air antara permukaan buah-buahan
yang belum terpotong dan sudah terpotong/teriris berkisar 5-10 kali (Brecht 1995).

5
Gelatin Ikan
Gelatin merupakan salah satu produk turunan protein yang diperoleh dari
hasil hidrolisis kolagen hewan yang terkandung dalam tulang dan kulit, dan
merupakan senyawa yang tidak pernah terjadi secara alamiah. Gelatin mempunyai
titik leleh 35˚C, di bawah suhu tubuh manusia. Titik leleh inilah yang membuat
produk gelatin mempunyai karakteristik yang unik bila dibandingkan dengan bahan
pembentuk gel lainnya seperti pati, alginat, pektin, agar-agar dan karaginan yang
merupakan senyawa karbohidrat (Gomez-Guillen et al. 2001). Secara fisik dan
kimia, gelatin berwarna kuning cerah atau transparan, berbentuk lembaran atau
tepung, larut dalam air panas, gliserol dan asam sitrat serta pelarut organik lainnya.
Gelatin dapat mengembang dan menyerap air 5-10 kali bobot asalnya. Contoh
gelatin ikan dapat diihat di Gambar 2.

Gambar 2 Gelatin Ikan
Pemanfaatan gelatin sangat luas, salah satunya adalah pada makanan, tapi
terdapat beberapa kendala seperti kekhawatiran konsumen terhadap permasalahan
kelayakan medis, sosial dan agama dari gelatin mamalia. Oleh sebab itu, alternatif
untuk mengatasi kendala tersebut adalah gelatin yang berasal dari ikan.
Saat ini penggunaan gelatin sudah semakin meluas, baik untuk produk pangan
maupun non pangan. Untuk pangan gelatin dimanfaatkan sebagai bahan penstabil
(stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), pengikat (binder), pengental (thickener),
pengemulsi (emulsifier), perekat (adhesive), dan pembungkus atau pelapis makanan
yang bersifat dapat dimakan (edible coating).

Edible Coating (Pelapis)

Pelapis didefinisikan sebagai lapisan tipis dari bahan yang dapat dimakan
yang digunakan pada produk dengan cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan,
dan penyemprotan agar terjadi tahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap
air dan memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanik. Selain itu fungsi
lainnya adalah membantu mempertahankan integritas struktural dan mencegah
hilangnya senyawa-senyawa volatil penyebab aroma khas pada bahan pangan
tertentu (Setiasih et al. 1998)
Komponen pelapis dapat dibagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu hidrokoloid,
lipid dan campurannya. Hidrokoloid yang biasa digunakan adalah protein, deriat

6
selulosa, alginat, pektin, pati, dan polisakarida. Lipid yang biasanya digunakan
untuk pelapis ialah lilin, asilgliserol dan asam lemak.
Pelapis dapat dibuat dari hidrokoloid yaitu lemak, protein, turunan selulosa,
pati, dan polisakarida. Pelapis golongan hidrokoloid yang bersifat hidrofilik
berpengaruh terhadap sifat fisiologis buah dan memperpanjang umur simpan.
Namun penggunaannya sering dibatasi oleh sifat barrier terhadap uap air yang
rendah (Wong et al. 1994).
Pencampuran bahan yang bersifat hidrofilik (senyawa hidrokoloid) dengan
bahan yang bersifat hidrofobik (lemak) dapat memperbaiki sifat pelapis yang
dihasilkan. Komponen lipid dalam formulasi membentuk barrier yang baik
terhadap uap air. Sementara komponen hidrokoloid berfungsi sebagai matrik
pembentuk body yang bersifat selektif terhadap gas O2 dan CO2. (Baldwin et al.
1995).

Penyimpanan Dingin
Buah memiliki masa simpan yang relatif rendah sehingga buah dikenal
sebagai bahan pangan yang cepat rusak dan hal ini sangat berpengaruh terhadap
kualitas masa simpan buah. Mutu simpan buah sangat erat kaitannya dengan proses
respirasi dan transpirasi selama penanganan dan penyimpanan. Penyebab susut
pasca panen seperti susut fisik yang diukur dengan berat, susut kualitas karena
perubahan wujud (kenampakan), cita rasa, warna atau tekstur yang menyebabkan
bahan pangan kurang disukai konsumen, dan susut nilai gizi yang berpengaruh
terhadap kualitas buah. Mutu simpan buah akan lebih bertahan lama jika laju
respirasi rendah dan transpirasi dapat dicegah dengan meningkatkan kelembaban
relatif dan menurunkan suhu udara. Pada umumnya komoditas yang mempunyai
umur simpan pendek mempunyai laju respirasi tinggi atau peka terhadap suhu
rendah.
Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat penurunan
mutu buah-buahan dengan cara pengaturan kelembaban dan kondisi udara.
Kegunaan pendinginan secara umum adalah untuk pengawetan, penyimpanan dan
distribusi bahan pangan yang rentan rusak. Pendinginan maupun pembekuan tidak
dapat meningkatkan mutu bahan pangan, hasil terbaik yang dapat diharapkan
hanyalah mempetahankan mutu tersebut pada kondisi terdekat saat akan memulai
proses pendinginan (Purwanto 2007).

METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil
Pertanian (TPPHP), Institut Pertanian Bogor, Dramaga Bogor, pada bulan Februari
– Juni 2014.

7
Bahan dan Alat
Buah melon yang dipergunakan dalam penelitian adalah melon lokal
varietas Action yang berasal dari Banyuwangi dengan berat 1.5 - 2 kg/buah
sebanyak 36 buah, umur panen 60-70 HST (Hari Sesudah Tanam), tidak rusak dan
cacat, jaring kulit sudah sempurna. Bahan-bahan lainnya adalah gelatin ikan yang
berasal dari kulit ikan kakap dari Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan
Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jakarta, asam askorbat, asam sitrat, gliserol,
dan aquades. Alat yang dipergunakan antara lain Cosmotector untuk uji respirasi,
Chromameter merk Minolta tipe CR-310 untuk uji warna, Rheometer merk Sun tipe
CR-300 untuk uji kekerasan buah, Refraktometer merk Atago tipe PR-210 untuk
uji total padatan terlarut, timbangan digital merk Mettler PM-4800, pisau,
stopwatch, wadah styrofoam, strech film (SF), sarung tangan, gelas ukur, lemari
pendingin dengan suhu 5˚C dan 13˚C.
Prosedur Penelitian
Persiapan potongan buah melon
Buah melon dipilih dengan kematangan yang seragam. Buah melon tersebut
dilakukan pengolahan minimal meliputi kegiatan sortasi, pencucian, pengupasan,
pemotongan. Pemotongan buah melon dilakukan dengan cara membelah melon
utuh menjadi delapan bagian sama rata. Setelah terbagi menjadi delapan bagian
selanjutnya buah dipotong dengan rata – rata dimensi 4 cm x 2 cm x 4 cm seperti
pada Gambar 3.

Gambar 3 Potongan buah melon
Pembuatan pelapis dan antioksidan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan larutan antioksidan adalah asam
sitrat dan asam askorbat sebanyak 1.5 g (150 ppm), dari masing-masing bahan
dilarutkan ke dalam aquades 1000 ml sambil terus diaduk hingga merata. Untuk
Pembuatan larutan pelapis, bahan yang digunakan adalah larutan gelatin ikan
dengan konsentrasi 4% dan 6% (%b/v) ditambah dengan asam sitrat dan askorbat
masing-masing dengan konsentrasi 1.5% (%b/v) kemudian masing-masing
ditambahkan dengan gliserol sebanyak 2% (%v/v). Hasil dari pembuatan larutan
pelapis bisa dilihat pada Gambar 4.

8

Gambar 4 Larutan pelapis dengan konsentrasi 6% dan 4%
Konsentrasi pelapis yang digunakan mengacu pada penelitian yang dilakukan
oleh Rudito (2005) yang menggunakan pelapis dari bahan gelatin sapi. Gelatin ikan
mempunyai viskositas lebih tinggi dibanding gelatin sapi (Gomez-Guillen et al.
2001), dengan asumsi tersebut maka digunakan pelapis gelatin ikan dengan
konsentrasi yang lebih kecil dibanding pelapis gelatin sapi.
Pelapisan Buah Melon Terolah Minimal
Buah melon yang telah dilakukan pengolahan minimal kemudian dicelupkan
dengan larutan pelapis menurut (Zulfebriadi 1998). Prosesnya ditunjukkan oleh
Gambar 5 dan Gambar 6. sebagai berikut:
Buah melon utuh

Sortasi dan pembersihan awal

Pengupasan dan pemotongan berbentuk dadu dengan tebal 5 cm

Pencelupan potongan melon ke dalam larutan antioksidan yaitu campuran asam
sitrat dan asam askorbat masing-masing 150 ppm selama 15 detik

Penirisan selama 1 menit

Pencelupan potongan melon ke dalam larutan pelapis selama 15 detik

Penirisan selama 1 menit

Buah melon dikeringkan pada tray berlubang
Gambar 5 Bagan alir SOP proses pelapisan (Zulfebriadi 1998)

9
Buah Melon

Sortasi dan pembersihan

Pengolahan Minimal

Pencelupan buah terolah minimal
pada :
a. Pelapis dengan konsentrasi 4%
b. Pelapis dengan konsentrasi 6%

Kontrol tanpa
pelapis

Penirisan

Pengemasan

Penyimpanan pada suhu 5ºC dan 13ºC

Pengukuran dan pengamatan:
a. Laju respirasi
b. Susut bobot
c. Kekerasan
d. Total Padatan Terlarut (TPT)
e. Uji Warna
f. Uji Organoleptik
Gambar 6 Diagram alir penelitian

10
Proses Pengemasan dan Penyimpanan
Pada tahap pengemasan buah melon terolah minimal, digunakan tray
styrofoam dengan ukuran 200 mm x 100 mm x 20 mm dan ditutup dengan stretch
film. Setiap tray diisi sampel sebanyak ± 160 gr seperti yang terlihat pada Gambar
7. Semua sampel disimpan pada 2 refrigerator berbeda dengan suhu 5 ̊C dan 13 ̊C
dimulai dari hari ke-0 hingga sampel mengalami kerusakan. Suhu penyimpanan
yang digunakan mengacu pada penelitian Hasbullah (2005) sedangkan suhu 13 ̊C
mengacu pada suhu rata-rata penyimpanan di lemari es supermarket.

(a) Proses Pengemasan

(b) Penyimpanan

Gambar 7 (a), (b) : Proses pengemasan dan Penyimpanan

Analisis Data
Laju Respirasi
Sampel potongan buah melon sebanyak ± 500 gram dimasukkan ke dalam
stoples gelas dengan volume sebesar 3310 ml. Stoples gelas ditutup dengan penutup
plastik tebal yang telah dilengkapi dengan dua buah pipa plastik fleksibel sebagai
saluran pengeluaran dan pemasukan udara atau gas. Jarak antara stoples gelas
dengan penutupnya ditutup dengan lilin untuk mencegah udara keluar atau masuk
stoples gelas. Selanjutnya pipa plastik ditutup dengan menggunakan klem dan
stoples gelas berisi bahan disimpan pada suhu perlakuan, seperti pada Gambar 8.
Laju respirasi dihitung berdasarkan laju produksi CO2 dan laju konsumsi O2.
Laju respirasi dihitung dengan persamaan:.

R=





.

R=





.




��

Dimana:
R
= laju respirasi (ml/kg.jam),
V
= volume bebas wadah (ml),
W
= bobot bahan (kg),
dx/dt = laju perubahan konsentrasi CO2 atau O2 terhadap waktu (%/jam),
Vs
= volume stoples (ml),
Db
= densitas buah (kg/ml).

11
Pengukuran konsentrasi gas di dalam stoples gelas dilakukan secara tertutup
dengan dua kali ulangan menggunakan continuous gas analyzer tipe IRA-107 dan
portable oxygen testertipe POT-101. Pengukuran dilakukan setiap hari dengan
selang waktu penutupan stoples hingga pengukuran selama 3 jam, kemudian selang
waktu perilisan buah dalam stoples selama 24 jam.

Gambar 8 Pengukuran laju respirasi buah melon terolah minimal menggunakan
Cosmostector
Susut Bobot
Pengukuran susut bobot dilakukan menggunakan timbangan digital Mettler
tipe PM-4800 dengan ketelitian 2 angka dibelakang koma seperti pada Gambar 9.
Pengukuran dilakukan sebelum buah potong disimpan (bo) dan setiap kali akhir
pengamatan (bt) setiap hari. Selanjutnya susut bobot didapatkan dengan
membandingkan pengurangan bobot awal pengamatan dan dinyatakan dalam
persen (%). Setiap pengukuran dilakukan sebanyak dua kali ulangan per satu
sampel uji. Rumus lengkap susut bobot adalah sebagai berikut :
Susut Bobot =

Keterangan
bo = bobot awal pengamatan (g)
bt = bobot akhir pengamatan (g)

��−�
��



%

Gambar 9 Pengukuran susut bobot menggunakan timbangan Mettler PM-4800

12
Uji Kekerasan
Pengukuran kekerasan dilakukan dengan menggunakan rheometer merk Sun
tipe CR-300. Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap
jarum penusuk rheometer. Pengukuran diset dengan mode 20, beban maksimum 2
kg, kedalaman penekanan 10 mm, kecepatan penurunan beban 30 mm/menit dan
diameter jarum 5 mm. Setiap pengukuran dilakukan sebanyak dua kali ulangan per
satu sampel uji. Pengujian dilakukan pada bagian tengah buah potong seperti pada
Gambar 10. Nilai kekerasan buah dibaca pada skala penunjuk dalam satuan kgf.
Nilai ini menunjukkan gaya tekan yang dibutuhkan jarum penusuk untuk menusuk
sampel buah.

Gambar 10 Pengukuran kekerasan daging buah menggunakan Rheometer model
CR-300
Total Padatan Terlarut (TPT)
Pengukuran total padatan terlarut (TPT) diketahui dengan menggunakan
refractometer digital merk Atago tipe PR-210 dengan resolusi 0.1%Brix dan
ketelitian ±0.2 %Brix. Refractometer adalah alat optik sederhana yang mengukur
jumlah cahaya yang dibiarkan dalam cairan dan untuk mengecek brix. Daging buah
melon diambil dipotong kemudian diperas untuk mendapatkan filtratnya yang
kemudian diletakkan diatas lensa refractometer untuk dilakukan pembacaan hasil
(Gambar 11). Setiap kali pengukuran, lensa dibersihkan menggunakan aquades dan
dikalibrasi sebelum memulai kembali.

Gambar 11 Pengukuran TPT menggunakan Refractometer Atago tipe PR-210

13
Uji Warna
Intensitas warna diukur dengan menggunakan Chromameter Minolta CR-400.
Pada Chromameter Minolta CR-400 digunakan sistem L, a, dan b. Sistem notasi
warnanya dinyatakan dengan menggunakan diagram Hunter (Gambar 12). Display
akan menampilkan nilai L, a, dan b masing-masing dalam 4 angka. Pengujian
dilakukan dengan menempelkan sensor pada produk dan menembakkan sinar pada
bagian yang akan diukur.

Gambar 12 Diagram Hunter
(Suyatma 2009)

Data warna yang dinyatakan dengan nilai L (kecerahan), nilai a (warna
kromatik), dan nilai b (warna kromatik biru kuning). Nilai L menyatakan kecerahan
(cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam),
bernilai 0 untuk warna hitam dan bernilai 100 untuk warna putih. Nilai a
menyatakan warna akromatik merah hijau, bernilai +a dari 0-100 untuk warna
merah dan bernilai a dari 0-(-80) untuk warna hijau. Nilai b positif berkisar antara
0 sampai +70 yang menyatakan intensitas warna kuning sedangkan nilai b negatif
yang menyatakan intensitas warna biru berkisar antara 0 sampai -80.
Uji Organoleptik
Uji organoleptik yang dilakukan berupa uji kesukaan atau uji hedonik dengan
penelis sebanyak 15 orang mahasiswa. Sifat mutu yang diuji adalah rasa, aroma,
tampilan, warna daging buah, dan penerimaan umum secara keseluruhan.
Skala hedonik yang digunakan mempunyai rentang skor antara 1-7, yaitu :
1 (sangat tidak suka)
2 (tidak suka)
3 (agak tidak suka)
4 (netral)
5 (agak suka)
6 (suka)
7 (sangat suka)
Form penilaian dalam uji organoleptik dapat dilihat pada Lampiran 11.

14
Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL)
faktorial dengan faktor konsentrasi pelapis dan suhu penyimpanan dengan dua kali
ulangan (duplo). Penelitian ini dilakukan dengan dua kali ulangan (duplo) karena
sampel yang diuji seragam sehingga dua kali pengulangan cukup mewakili dari
sampel yang diuji (ledhyane 2013).
Faktor perbandingan konsentrasi pelapis terdiri atas 3 taraf, yakni tanpa
pelapis, pelapis konsentrasi 4%, pelapis konsentrasi 6%. Faktor kedua yaitu suhu
penyimpanan dengan 2 taraf, yakni suhu 5˚C, suhu 13˚C seperti yang terlihat pada
Tabel 2. Model linier yang digunakan untuk faktor pembanding konsentrasi pelapis.
Sehingga dapat diperoleh model matematis dari rancangan percobaan tersebut,
yaitu:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Yijk
µ
αi
βj
(αβ)ij
εijk

= respon setiap parameter yang diamati
= nilai rata-rata umum
= pengaruh utama faktor bahan pelapis
= pengaruh utama faktor suhu penyimpanan
= pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi bahan pelapis dan suhu simpan
= pengaruh acak yang menyebar normal

Dimana :
i = 1,2,3
j = 1,2
k = 1,2
Data diperoleh dari pengukuran laju respirasi, susut bobot, kekerasan, total
padatan terlarut, uji warna. Uji Duncan pada taraf kepercayaan 95% atau (α) = 5%
dilakukan untuk melihat taraf perlakuan yang berbeda.
Tabel 2 Rancangan percobaan penelitian
Kode
Keterangan
S1
Konsentrasi 0% Suhu 5 ̊C
S2
Konsentrasi 4% Suhu 5 ̊C
S3
Konsentrasi 6% Suhu 5 ̊C
T1
Konsentrasi 0% Suhu 13 ̊C
T2
Konsentrasi 4% Suhu 13 ̊C
T3
Konsentrasi 6% Suhu 13 ̊C

15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Penyimpanan Dingin Terhadap Laju
Respirasi
Pengukuran laju respirasi dengan suhu yang berbeda dilakukan untuk
mengetahui suhu optimal penyimpanan dan petunjuk terhadap kemampuan daya
simpan suatu komoditi. Pada saat respirasi berlangsung, terjadi proses katabolisme
yang merombak makromolekul menjadi molekul yang lebih sederhana dengan
menghasilkan energi (panas), uap air, dan gas CO2 dimana proses respirasi ini
memerlukan oksigen. Oleh karena itu laju respirasi sangat perlu diketahui karena
mempengaruhi sistem metabolisme buah pascapanen (Pantastico 1989).
Laju Konsumsi O2
Secara umum, hasil pengukuran laju respirasi buah melon terolah minimal
pada suhu 5 C
̊ dan 13 ̊C dengan perlakuan tanpa pelapis menunjukan laju konsumsi
O2 yang tinggi dibanding dengan dua perlakuan yang diberikan pelapis. Hal ini
ditunjukkan dengan tingginya konsumsi O2 selama dilakukan proses penyimpanan,
sedangkan dengan penambahan pelapis gelatin ikan menghasilkan laju respirasi
buah melon terolah minimal yang lebih kecil. Hasil pengukuran laju konsumsi O2
pada suhu 5 ̊C dengan perlakuan S1, S2, dan S3 berturut-turut adalah 3.2009
ml/kg.jam, 1.1415 ml/kg.jam, dan 0.6224 ml/kg.jam. Sedangkan laju konsumsi O2
pada suhu 13 ̊C dengan perlakuan T1, T2, dan T3 berturut-turut adalah 24.2806
ml/kg.jam, 17.3494 ml/kg.jam, dan 21.5532 ml/kg.jam. Perubahan laju konsumsi
O2 pada suhu 5 ̊C dan 13 ̊C disajikan dengan grafik dalam Gambar 13 dan Gambar
14.
Berdasarkan grafik, laju konsumsi O2 pada suhu 5 ̊C diketiga sampel
perlakuan menunjukan penurunan sampai dengan hari ke-4. Namun pada sampel
S1 menunjukan kenaikan laju konsumsi O2 dari hari ke-5 sampai hari ke-7 yaitu
hari dimana sampel mengalami kerusakan. Naiknya laju konsumsi O2 diduga
disebabkan karena timbulnya jamur dan meningkatnya aktivitas mikroba
(Pantastico 1989). Sedangkan pada sampel S2 dan S3 tidak mengalami kenaikan
yang tinggi seperti S1, hal ini menunjukan kombinasi perlakuan pelapis gelatin ikan
dan suhu 5 ̊C dapat menekan laju konsumsi O2 sampai hari ke-8.
Sedangkan pada suhu 13 ̊C laju konsumsi O2 pada ketiga sampel perlakuan
memiliki pola yang sama, ketiga sampel menunjukan kenaikan konsumsi O2 pada
hari ke-1 hingga ke-4 dan mengalami penurunan pada hari terakhir. Penyimpanan
pada suhu 13 ̊C hanya mampu bertahan sampai hari ke-5. Pada suhu 13 ̊C hasil dari
laju konsumsi O2 pada perlakuan T1 lebih tinggi dari T2 dan T3, namun pada
perlakuan T3 menunjukan hasil konsumsi O2 yang lebih tinggi dibanding T2. Pada
suhu ini, diduga sifat molekul protein yang dapat menyerap air membuat struktur
molekul pelapis yang terbentuk menjadi kurang padat dan memudahkan uap air
melaluinya. Makin besar konsentrasi menyebabkan interaksi protein – air semakin
besar sehingga pelapis akan membengkak (swollen), selanjutnya memudahkan uap
air melewati pelapis dan permeabilitas uap airnya menjadi semakin tinggi (AvenaBustillos dan Krochta 1994). Analisis sidik ragam pada Lampiran 1 menunjukan
bahwa perlakuan pelapis gelatin ikan dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata

16

Laju Konsumsi O2 (ml O2/kg.jam)

terhadap laju konsumsi O2 dengan uji Duncan menyatakan perlakuan konsentrasi
gelatin ikan 4% dan perlakuan suhu 5 ̊C berbeda nyata terhadap perlakuan lain.
30
25
20
15
10
5
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

Hari ke S1 (K0%5 ̊C)

S2 (K4%5 ̊C)

S3 (K6%5 ̊C)

Laju Konsumsi O2 (ml O2/kg.jam)

Gambar 13 Laju Konsumsi O2 pada Suhu 5 ̊C
30
25
20
15
10
5
0
0

1

2

3

4

5

Hari ke T1 (K0%13 ̊C)

T2 (K4%13 ̊C)

T3 (K6%13 ̊C)

Gambar 14 Laju Konsumsi O2 pada Suhu 13 ̊C
Laju Produksi CO2
Hasil pengukuran laju produksi CO2 pada suhu 5 ̊C dengan perlakuan S1,
S2, dan S3 berturut-turut adalah 15.0575 ml/kg.jam, 9.4436 ml/kg.jam, dan 9.6476
ml/kg.jam. Sedangkan laju produksi CO2 pada suhu 13 ̊C dengan perlakuan T1, T2,
dan T3 berturut-turut adalah 25.5258 ml/kg.jam, 9.4916 ml/kg.jam, dan 12.1383
ml/kg.jam. Perubahan laju produksi CO2 pada suhu 5 ̊C dan 13 ̊C disajikan dengan
grafik dalam Gambar 15 dan Gambar 16.
Secara umum, laju respirasi pada suhu 5 ̊C lebih kecil daripada laju respirasi
pada suhu 13 ̊C. Berdasarkan grafik, laju produksi CO2 pada suhu 5 ̊C dan 13 ̊C
menunjukan hasil yang fluktuatif dengan pola yang sama di ketiga sampel. Namun
pada sampel S1/T1 menunjukan kenaikan laju produksi CO2 lebih tinggi dibanding
sampel S2/T2 dan S3/T3, hal ini menunjukan kombinasi perlakuan pelapis gelatin
dan suhu 5 ̊C dapat menekan laju produksi CO2 sampai hari ke-8. Sedangkan

17

Laju Produksi CO2 (ml CO2/kg.jam)

penyimpanan suhu 13 ̊C hanya bertahan hingga hari ke-5. Perlakuan S1 dan T1
yang memiliki pola berbeda dari perlakuan menggunakan pelapisan dialami juga
pada penelitian Purba (2011) dengan komoditas sawo. Pola ini diduga karena pada
kondisi buah tanpa pelapisan menyebabkan difusi gas O2 dan CO2 tinggi hingga
menyebabkan respirasi yang tinggi.
40
35
30
25
20
15
10
5
0
0

1

2

3

4

5

6

7

8

Hari ke S1 (K0%5 ̊C)

S2 (K4%5 ̊C)

S3 (K6%5 ̊C)

Laju Produksi CO2 (ml CO2/kg.jam)

Gambar 15 Laju Produksi CO2 pada Suhu 5 ̊C
40
35
30
25
20
15
10
5

0
0

1

2

3

4

5

Hari ke T1 (K0%13 ̊C)

T2 (K4%13 ̊C)

T3 (K6%13 ̊C)

Gambar 16 Laju Produksi CO2 pada Suhu 13 ̊C
Analisis sidik ragam pada Lampiran 2 menunjukan bahwa perlakuan pelapis
gelatin ikan, suhu penyimpanan, dan interaksinya berpengaruh nyata terhadap laju
produksi CO2 dengan konsentrasi 4% dan suhu penyimpanan 5 ̊C berdasakan uji
Duncan.
Penurunan laju respirasi diduga terjadi karena substrat yang digunakan
dalam respirasi berhenti bereaksi dalam enzim pada sel yang terdapat dipermukaan
potongan buah karena adanya pelapis. Pelapis yang terbentuk pada permukaan buah
membuat laju O2 yang masuk ke dalam jaringan menjadi lebih sedikit dan
akumulasi CO2 di dalam jaringan menjadi lebih banyak. Pantastico (1989)
menyatakan bahwa kandungan O2 dan yang rendah atau peningkatan konsentrasi

18
CO2 dapat menunda sintesis enzim-enzim yang berperan dalam respirasi sehingga
proses akan melambat.
Penambahan gliserol juga menyebabkan pelapis yang terbentuk memiliki
ikatan hidrogen yang kompak, sehingga ikatan antar matriks menjadi lebih erat. Hal
ini juga menyebabkan daya tembus gas O2 dan CO2 yang keluar dan masuk jaringan
menjadi lebih kecil.
Berdasarkan pengamatan, buah melon terolah minimal dengan perlakuan
konsentrasi pelapis mampu menekan laju respirasi hingga hari ke-8 pada suhu 5 ̊C.
Sedangkan buah melon terolah minimal tanpa pelapis hanya bertahan sampai hari
ke-7. Tren yang sama terjadi pada suhu 13 ̊C, perlakuan pelapis mampu menekan
laju respirasi dibanding perlakuan tanpa pelapis namun hanya bertahan hingga hari
ke-5. Perbedaan suhu menunjukan umur simpan yang berbeda, respirasi yang
rendah dapat mencegah transpirasi dan menekan pertumbuhan bakteri perusak.
Berdasarkan data laju respirasi yang diperoleh, jika dibandingkan dengan buah
melon terolah minimal tanpa pelapis maka laju respirasi menggunakan pelapis
gelatin lebih kecil. Hal ini menandakan bahwa pengaplikasian gelatin ikan dapat
mempertahankan laju respirasi yang rendah dari buah melon terolah minimal.

(a) S1

(b) S2

(c) S3

Gambar 17 (a), (b), (c) ; Keadaan buah melon terolah minimal dalam berbagai
konsentrasi di hari ke-7 penyimpanan suhu 5 ̊C.

(a) T1

(b) T2

(c) T3

Gambar 18 (a), (b), (c) ; Keadaan buah melon terolah minimal dalam berbagai
konsentrasi di hari ke-5 penyimpanan suhu 13 ̊C.

19
Pengaruh Konsentrasi Gelatin dan Penyimpanan Dingin Terhadap Mutu
Buah Melon Terolah Minimal

Susut Bobot
Berdasarkan grafik yang ditunjukan pada Gambar 19 dan Gambar 20, secara
umum nilai susut bobot buah melon terolah minimal pada kondisi penyimpanan
suhu 5 ̊C dan suhu 13 ̊C mengalami peningkatan. Semakin tinggi nilai susut bobot
maka kehilangan bobot akan semakin tinggi sehingga bobot sampel buah akan
berkurang. Penurunan berat buah diakibatkan karena buah melakukan respirasi
dengan mengubah gula menjadi CO2 dan H2O disertai dengan proses penguapan
uap air (Wills 1981). Hal tersebut mengakibatkan persentasi laju susut bobot
meningkat. Peningkatan susut bobot yang terjadi pada penyimpanan suhu 5 ̊C lebih
kecil dibanding pada penyimpanan suhu 13 ̊C. Pada suhu 13 ̊C susut bobot hari ke5 sudah mencapai 8%, sedangkan pada suhu 5 ̊C di hari yang sama susut bobot
hanya mencapai kisaran 4%. Hal ini karena penyimpanan pada suhu rendah
menyebabkan aktivitas metabolisme menjadi berkurang dan perubahan kimia
berlangsung lebih lambat sehingga susut bobot dapat ditekan.

7

Susut Bobot (%)

6
5

4
3
2
1
0
0

1

2

3

4

5

6

7

Hari ke S1 (K0%5 ̊C)

S2 (K4%5 ̊C)

S3 (K6%5 ̊C)

Gambar 19 Grafik perubahan susut bobot buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 5 ̊C

20
7

Susut Bobot (%)

6

5
4
3
2

1
0
0

1

2

3

4

5

Hari ke T1 (K0%13 ̊C)

T2 (K4%13 ̊C)

T3 (K6%13 ̊C)

Gambar 20 Grafik perubahan susut bobot buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 13 ̊C
Peningkatan susut bobot pada buah disebabkan oleh adanya transpirasi dan
respirasi. Proses transpirasi dan respirasi menyebabkan berkurangnya kandungan
air dalam buah. Proses transpirasi merupakan kehilangan air karena evaporasi.
Evaporasi tinggi karena adanya perbedaan tekanan air di luar dan di dalam buah.
Tekanan air didalam bahan lebih tinggi dibanding di luar bahan sehingga uap air
akan keluar dari bahan. Pada respirasi terjadi pembakaran gula atau substrat yang
menghasilkan gas CO2, air dan energi. Air, gas dan energi yang dihasilkan pada
proses respirasi akan mengalami penguapan sehingga buah akan mengalami
penyusutan bobot (Wills 1981).
Peningkatan susut bobot terbesar pada penyimpanan di suhu 5 ̊C terjadi
pada perlakuan S1 dengan total susut sebesar 19.64%, sedangkan susut bobot
terkecil terjadi pada perlakuan S2 dengan total susut sebesar 17.13%. Peningkatan
susut bobot terbesar terjadi pada perlakuan S1. Tidak adanya lapisan pelapis pada
perlakuan S1 yang berfungsi sebagai barier terhadap CO2, O2 dan air menyebabkan
CO2, O2 dan air yang keluar/masuk bahan tinggi sehingga respirasi meningkat dan
kehilangan air tinggi.
Susut bobot terbesar pada penyimpanan di suhu 13 C
̊ terjadi pada perlakuan
T3 sebesar 20.80%, berbeda 0.20% dibanding T1. Hasil pada perlakuan T2
merupakan susut bobot terkecil dengan nilai 19.56%. Hal ini diduga karena pelapis
yang berasal dari senyawa hidrokoloid bersifat hidrofilik yang penggunaannya
sering dibatasi oleh sifat ketahanan terhadap uap air yang rendah (Wong et al.
1994).
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 3 menunjukkan bahwa perlakuan
pelapis gelatin ikan dan interaksi dari kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata
terhadap peningkatan susut bobot selama penyimpanan, sedangkan perlakuan suhu
penyimpanan berpengaruh nyata terhadap peningkatan susut bobot. Hasil uji lanjut
Duncan pada perlakuan suhu penyimpanan menunjukan bahwa suhu 13 C
̊
berpengaruh terhadap peningkatan susut bobot paling tinggi dibanding suhu 5 C
̊ .
Secara statistik penambahan gelatin tidak menunjukan beda nyata, tetapi ada tren
penurunan susut bobot yang mengindikasikan perlakuan penambahan gelatin ikan

21
dengan konsentrasi 4% dan suhu penyimpanan 5 ̊ C (S2) dan 4% pada suhu 13 ̊ C
(T2) dapat menurunkan susut bobot.
Kekerasan
Berdasarkan grafik (Gambar 21 dan Gambar 22) dapat dilihat bahwa
penurunan kekerasan paling tinggi terjadi pada perlakuan suhu 13 ̊C. Pada suhu
13 ̊C di hari penyimpanan ke-5 semua perlakuan rata – rata sudah berada di tingkat
kekerasan sebesar 200 kPa, sedangkan pada hari yang sama di suhu 5 ̊C tingkat
kekerasan baru mencapai kisaran 250 kPa. Kekerasan dapat dipertahankan pada
penyimpanan suhu rendah karena menyebabkan proses respirasi menurun sehingga
transpirasi yang terjadi rendah. Muchtadi (1992) mengatakan bahwa proses
respirasi yang menghasilkan uap air dan proses transpirasi yang menyebabkan
kehilangan uap air dari permukaan buah akan menyebabkan buah menjadi lunak.
Selain itu pelunakan pada daging buah juga disebabkan oleh mikroba (kapang,
bakteri dan ragi) yang menghidrolisa makromolekul menjadi fraksi yang lebih kecil.
Berdasarkan grafik, kekerasan terendah pada penyimpanan di suhu 5 ̊C dan
13 ̊C terjadi pada perlakuan S1 dan T1, penurunan kekerasan yang terjadi sangat
cepat dibanding perlakuan dengan pelapis. Terhambatnya proses transpirasi akibat
adanya lapisan pelapis pada buah melon terolah minimal menyebabkan kehilangan
air dalam buah berkurang sehingga kekerasan buah lebih tinggi daripada kontrol.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Pantastico (1989), bahwa pelunakan buah
berhubungan langsung dengan transpirasi bahan. Selain itu kekerasan dapat
disebabkan karena terhambatnya proses respirasi atau metabolisme, sehingga
perombakan karbohidrat menjadi senyawa yang larut dalam air berkurang, maka
kekerasan buah dapat bertahan.
Kekerasan tertinggi di kedua suhu terjadi pada perlakuan S3 dan T3, hal ini
terjadi karena penggunaan pelapis yang berasal dari hidrokoloid memiliki
kemampuan untuk meningkatkan kekuatan fisik, namun sering dibatasi oleh sifat
ketahanan terhadap uap air yang rendah (Wong et al, 1994).
600

Gaya Tekan (kPa)

500
400
300
200
100
0
0

1

2

3

4

5

6

7

Hari ke S1 (K0%5 ̊C)

S2 (K4%5 ̊C)

S3 (K6%5 ̊C)

Gambar 21 Grafik perubahan kekerasan buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 5 ̊C

22

600

Gaya Tekan (kPa)

500
400
300
200
100
0
0

1

2

3

4

5

Hari ke T1 (K0%13 ̊C)

T2 (K4%13 ̊C)

T3 (K6%13 ̊C)

Gambar 22 Grafik perubahan kekerasan buah melon terolah minimal selama
penyimpanan pada suhu 13 ̊C
Hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa perlakuan
pelapis gelatin ikan, suhu penyimpanan, dan interaksi dari kedua perlakuan tidak
berpengaruh nyata terhadap perubahan kekerasan selama penyimpanan. Walaupun
secara statistik penambahan gelatin ikan, suhu penyimpanan, dan interaksinya tidak
menunjukan beda nyata, tetapi ada tren mempertahankan kekerasan yang
mengindikasikan bahwa perlakuan penambahan gelatin ikan dengan konsentrasi
6% dan suhu penyimpanan 5