Fluktuasi suhu Sarang Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Blattodea: Rhinotermitidae).

FLUKTUASI SUHU SARANG RAYAP TANAH Coptotermes
curvignathus Holmgren (Blattodea: Rhinotermitidae)

OPI NURALIAH

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Fluktuasi Suhu Sarang
Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (Blattodea: Rhinotermitidae)
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Opi Nuraliah
NIM E24110091

ABSTRAK
OPI NURALIAH. Fluktuasi suhu Sarang Rayap Tanah Coptotermes curvignathus
Holmgren (Blattodea: Rhinotermitidae). Dibimbing oleh ARINANA dan
EFFENDI TRI BAHTIAR.
Rayap bersifat cryptobiotik (tidak suka cahaya) dan rayap akan membuat
tunnel untuk berlindung. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi
perkembangan rayap adalah suhu. Rayap akan selalu berusaha mempertahankan
suhu sarangnya tetap stabil agar bisa bertahan hidup. Tujuan penelitian ini adalah
mengetahui daya isolasi sarang rayap tanah C. curvignathus terhadap suhu
lingkungan. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rayap Hasil Hutan Institut
Pertanian Bogor. Data yang dianalisis yaitu intensitas cahaya, suhu sarang rayap
tanah, suhu di luar laboratorium, dan suhu di dalam laboratorium. Data diolah
dengan menggunakan Microsoft Excel. Hasil pengamatan menunjukan bahwa
perubahan suhu pada setiap sarang rayap relatif lebih stabil dibanding perubahan
suhu di dalam dan di luar laboratorium. Hal tersebut dapat diketahui dari nilai

amplitudonya. Panjang amplitudo di dalam dan di luar laboratorium secara
berturut turut adalah sebesar 0.084-1.011 dan 0.187-16.512, pada sarang A
berkisar antara 0-0.344 dan sarang B 0.01-1.072. Salah satu faktor yang
mempengaruhi besar kecilnya suhu lingkungan adalah intensitas cahaya. Rayap
mampu mempertahankan suhu sarangnya tetap stabil pada saat suhu di luar
sarang berfluktuasi. Hal tersebut menunjukan adanya daya isolasi sarang rayap
tanah terhadap suhu lingkungan. Suhu sarang rayap lebih hangat yaitu berkisar
antara 30.56 °C-33.18 °C.
Kata kunci: Coptotermes curvignathus, hygrotermometer, intensitas cahaya,
sarang, suhu.

ABSTRACT
OPI NURALIAH. Fluctuation of Subterranean Termites Nest Coptotermes
curvignathus Holmgren (Blattodea: Rhinotermitidae) Temperature. Supervised by
ARINANA and EFFENDI TRI BAHTIAR.
Termites were cryptobiotik and would create a tunnel for protecting their
life. One of the external factors that influence the survival of termites is the
temperature. Termites would always try to maintain the temperature of the nest
in order to survive. The purpose of this study was to determine the insulating
power of subterranean termites nest C. curvignathus to ambient temperature. This

research was conducted at the Laboratory of Forest Products Termite Bogor
Agricultural University. The research analyzed light intensity, the temperature
inside subterranean termites nest, inside and outside temperature of laboratory.
Data were processed by Microsoft Excel. The observation showed that
temperature alteration at each termite nest is relatively more stable than
temperature alteration inside and outside the laboratory. It was determine based
on value of the amplitude. The value of amplitude inside and outside laboratory
respectively ranged from 0.084-1.011 and 0.187-16.512, while in the nest A
ranged from 0-0.344 and nest B ranged from 0.01-1.072. One of the factors that
affect the value of the ambient temperatur is the light intensity. Termites are able
to maintain the temperature of the nest when the outside temperature was
fluctuates. It showed the insulating power of subterranean termites nest to
ambient temperature. The nest temperature was warmer, between 30.56 °C to
33.18 ° C.
Keywords: Coptotermes curvignathus, hygrotermometer, light intensity, nest,
temperature.

FLUKTUASI SUHU SARANG RAYAP TANAH Coptotermes
curvignathus Holmgren (Blattodea: Rhinotermitidae)


OPI NURALIAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Judul Skripsi : Fluktuasi Suhu Sarang Rayap Tanah Coptotermes curvignathus
Holmgren (Blattodea: Rhinotermitidae)
Nama
: Opi Nuraliah
NIM
: E24110091


Disetujui oleh

Arinana, SHut MSi
Pembimbing I

Effendi Tri Bahtiar, SHut MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Fauzi Febrianto, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah suhu,

dengan judul Fluktuasi Suhu Sarang Rayap Tanah Coptotermes curvignathus
Holmgren (Blattodea: Rhinotermitidae).
Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada pihak-pihak
yang telah membantu serta membimbing selama penelitian. Ucapan terimakasih
kepada Ibu Arinana SHut Msi selaku pembimbing I dan Bapak Effendi Tri
Bahtiar selaku pembimbing II, bapak Dr Krisdianto Sugianto MSc yang telah
memberikan saran dan bantuan alat ukur, bapak Ir Bregas Budianto Ass Dipl
yang telah membantu dan memberikan masukan kepada penulis, bapak Anhari
yang telah membantu selama pengamatan di Laboratorium Rayap Hasil Hutan
Institut Pertanian Bogor, bapak dan ibu tercinta yang selalu mendo’akan dan
memotivasi penulis baik materil maupun moril. Kakak tercinta Fu’ad Rahman
beserta istri Fitri Nurhayati, dan adik-adik tersayang Nina Rahmatillaah, Nur
Muhammad Ikbal, Rahma Fika Barkillaah yang selalu mendo’akan dan
memotivasi penulis selama menempuh pendidikan S1 IPB, kak Solah dan Furqon
yang telah membantu dan memberikan masukan mengenai alat, sahabat yang
selalu membantu dan memotivasi penulis selama pengamatan yaitu Oci dan Dini,
keluarga tercinta Zulfa’ers, keluarga tercinta CSS MoRA 48 yang tidak bisa
disebut namanya satu persatu, keluarga tercinta Al-Ihya 48, dolor-dolor KMNU
48, teman-teman Hasil Hutan 48 yang tidak bisa disebut namanya satu persatu
karena jumlahnya yang begitu banyak, teman satu lingkaran liqo’, teman-teman

‘Ibaadurrahmaan, kakak-kakak yang selalu memberi semangat kepada penulis
yaitu mbak Ii, mbak Uchib, mbak Asiyah, dan mbak Dinis.
Penulis berharap semoga karya ilmiah yang tidak seberapa ini bermanfaat
khususnya bagi penulis.

Bogor, Agustus 2015
Opi Nuraliah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi


PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2


Rayap

2

Iklim

4

METODE

5

Waktu dan Tempat

5

Bahan dan Alat

5


Prosedur

6

Analisis Data

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Intensitas Cahaya
Suhu
SIMPULAN DAN SARAN

9
9
11
15

Simpulan


15

Saran

15

DAFTAR PUSTAKA

16

LAMPIRAN

18

RIWAYAT HIDUP

20

DAFTAR TABEL
1 Jadwal pengukuran intensitas cahaya dan suhu
2 Pemilihan model terbaik untuk siklus bulanan intensitas cahaya di
Laboratorium Rayap Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor
3 Data rata-rata suhu dan amplitudo di luar dan di dalam Laboratorium
Rayap Hasil Hutan
4 Data rata-rata suhu dan amplitudo pada sarang A dan B

6
10
11
12

DAFTAR GAMBAR
1 Desain lokasi penelitian suhu sarang rayap tanah C. curvignathus di
Laboratorium Rayap
2 Lux meter (a), Hygrotermometer (b)
3 Pengukuran suhu di bak pembiakan A (a), bak pembiakan B (b), dan di
dalam ruang Laboratorium Rayap (d), lokasi penelitian suhu sarang
rayap di Laboratorium Rayap Departemen Hasil Hutan Institut
Pertanian Bogor (d)
5 Suhu terendah pada kulkas (a), suhu tertinggi pada panci berisi air
mendidih (b)
6 Intensitas cahaya pada pengamatan tanggal 14 Nopember 2014
7 Suhu pada sarang rayap Coptotermes curvignathus di Laboratorium
Hasil Hutan pada pengamatan satu jam sekali selama satu hari (pada
tanggal 14 Nopember 2014)

5
6

7
8
9
13

DAFTAR LAMPIRAN
1 Intensitas cahaya pada pengamatan satu jam sekali (10 jam) selama 24
hari
2 Suhu pada sarang, di luar dan di dalam laboratorium pada pengamatan
satu jam sekali selama 24 hari

18
19

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jumlah spesies rayap yang telah diidentifikasi adalah 2 600 spesies rayap
dari 281 genus (Kambhampati dan Eggleton 2002). Rayap menyebar dari 45° LU
sampai 50° LS. Keragaman spesies rayap dan sarangnya semakin bertambah
banyak ke arah katulistiwa dan penyebarannya berhubungan dengan suhu dan
curah hujan (Pearce 1997). Fungsi utama rayap adalah sebagai dekomposer.
Hanya 100 spesies rayap yang merupakan hama (Sigit et al. 2005), atau dikenal
sebagai urban pest. Salah satu jenis rayap tanah yang paling ganas dan
menimbulkan kerusakan adalah Coptotermes curvignathus.
Rayap bersifat cryptobiotik, yaitu tidak suka cahaya kecuali pada kasta
reproduktif saat menjadi laron. Rayap berpindah tempat dengan membuat tunnel
(liang kembara) sehingga tidak terkena cahaya secara langsung dan tunnel dapat
menjaga iklim mikro yang diperlukan untuk kehidupannya. Perkembangan rayap
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor eksternal yang berpengaruh adalah
temperatur, sinar, hujan, kelembaban, dan angin (Nandika dan Tambunan 1987).
Siregar dan Batubara (2007) menjelaskan bahwa rayap cenderung menyukai
tempat dengan kelembaban yang tinggi. Selain itu, rayap akan menjaga stabilisasi
sarangnya (Gillison et al. 2003). Oleh karenanya, rayap rentan terhadap
gangguan-gangguan yang melibatkan pemadatan tanah dan pengeringan akibat
tajuk terbuka.
Indonesia terletak pada 6° LU-11° LS dan 95° BT-141° BT tepat berada di
kawasan tropis. Hal ini membuat Indonesia selalu disinari matahari sepanjang
tahun (Kartasapoetra 2004). Bogor berada pada ketinggian 190-330 mdpl dengan
kisaran suhu rata-rata antara 25.1°C-26.4 °C serta kelembaban sekitar 92% (BPS
2014). Keadaan tersebut sangat mendukung terhadap perkembangan rayap tanah
terutama jenis C. curvignathus. Selain suhu yang sangat mendukung, Bogor juga
merupakan daerah yang sering mengalami perubahan cuaca, sedangkan rayap
harus mempertahankan suhu sarangnya dalam keadaan stabil agar bisa bertahan
hidup. Oleh karena itu perlu adanya penelitian mengenai daya isolasi sarang rayap
terhadap suhu lingkungan.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui daya isolasi sarang rayap tanah C.
curvignathus terhadap suhu lingkungan.
Manfaat Penelitian
Sebagai informasi mengenai suhu optimal kehidupan rayap tanah C.
curvignathus, sehingga dapat dilakukan tindakan antisipasi sehingga tidak tercipta
iklim mikro yang sesuai bagi kehidupan rayap di dalam bangunan gedung.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Rayap
Sebagai serangga sosial rayap termasuk ordo Isoptera, akan tetapi sekarang
diklasifikasikan dalam Ordo Blattodea (Inward et al. 2007). Rayap merupakan
bagian yang sangat penting di dalam daur ulang nutrisi tanaman melalui proses
disintegrasi dan dekomposisi material organik dari kayu dan serasah tanaman
(Subekti et al. 2008). Selain daur ulang nutrisi, rayap adalah pemeran dalam
proses pembentukan tanah serta pengurai utama di daerah tropis (Jones et al.
2003). Rayap juga merupakan kelompok serangga perusak kayu utama (Nandika
dan Tambunan 1987).
Dalam suatu koloni terdapat tiga kasta yang dikelompokan sesuai dengan
fungsinya masing-masing yaitu kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif.
(primer dan suplementer). Morfologi dari setiap kasta berbeda sesuai dengan
fungsinya. Kasta pekerja memiliki anggota paling banyak dalam koloni, berbentuk
seperti nimpa dan berwarna pucat dengan kepala hypognat tanpa mata facet,
mandibel relatif kecil bila dibandingkan dengan kasta prajurit. Kasta ini bertugas
untuk mencari makan, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang.
Kasta reproduktif (primer dan suplementer) terdiri dari serangga-serangga dewasa
bersayap yang akan menjadi pendiri koloni baru. Semasa hidupnya kasta
reproduktif bertugas menghasilkn telur dan jantan membuahi betina serta
memiliki ukuran 5-9 cm. Siklus hidup kasta ini cukup lama yaitu sekitar 6 sampai
puluhan puluhan tahun.
Berdasarkan habitatnya, rayap dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:
rayap kayu basah (dampwood termite), rayap kayu kering (drywood termite),
rayap pohon (tree termite) dan rayap subteran (subteranian termite). Rayap kayu
basah adalah golongan rayap yang biasa menyerang kayu-kayu busuk atau pohon
yang akan mati. Rayap ini bersarang di dalam kayu. Rayap kayu kering adalah
rayap yang menyerang kayu-kayu kering serta bersarang di dalam kayu. Rayap
pohon adalah rayap yang menyerang pohon yang masih hidup serta bersarang di
dalam pohon, sedangkan rayap subteran adalah golongan rayap yang bersarang di
dalam tanah namun bisa menyerang bahan-bahan yang berada diatas tanah dengan
cara membuat tunnel sebagai perlindungan. Rayap jenis ini membutuhkan
kelembaban dan suhu optimal serta bersifat Cryptobiotic (menjauhi sinar). Sesuai
dengan Nandika dan Tambunan (1989) sifat rayap terdiri dari:
 Trophalaxis yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat dan bertukar
makanan.
 Cryptobiotik yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya.
 Kanibalisme yaitu sifat rayap untuk memakann yang sudah tidak produktif.
 Necrophagy yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya.
Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren
Coptotermes curvignathus merupakan salah satu jenis rayap tanah dari
famili Rhinotermitidae. Famili ini memiliki fontanel, pronotum agak datar dan
lebih sempit dari kepala. Pada pronotum terdapat sayap yang mempunyai

3
raticulate tanpa bulu-bulu. Makanan famili ini yaitu kayu baik yang masih hidup
atau yang sudah mati, bambu dan bahan-bahan berselulosa lainnya. Selain itu,
rayap ini juga memiliki mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung
diujungnya. Panjang kepala dengan mandibel 2.46-2.66 mm, panjang kepala tanpa
mandibel 1.56-1.68 mm. Lebar kepala 1.40-1.44 mm dengan lebar pronotum 1.001.03 mm (Nandika et al. 2003). Dari sekian banyak genus yang ada, genus
Coptotermes merupakan genus yang paling merugikan karena merusak kayu
dalam waktu yang singkat (Nandika dan Tambunan 1989). Rayap jenis ini juga
dapat menimbulkan kematian pada inang (Djunaedy 2009).
Penyebaran Rayap
Menurut Nandika et al. (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan rayap yaitu tipe tanah, tipe vegetasi dan faktor lingkungan.
1. Tipe Tanah
Tanah merupakan tempat hidup dan dapat mengisolasi rayap dari iklim
makro yang sangat ekstrim. Secara umum rayap tanah menyukai tanah liat,
namun ada juga jenis rayap yang hidup di padang pasir seperti Ammitermes
dan Psammotermes. Noirot (1970) mengungkapkan bahwa rayap membuat
sarang di dalam tanah dalam satu unit, tetapi di dalamnya terbagi ke dalam
beberapa unit, yaitu kebun jamur tanpa miselium, sejumlah akar sebagai
pengikat dan terowongan yang berfungsi untuk menyambungkan ruang satu
dengan yang lainnya. Chan et al. (2011) mengemukakan bahwa rayap
melakukan observasi dari dalam kayu keluar dan membuat tunnel dengan
ukuran lubang yang berbeda.
2. Tipe Vegetasi
Tipe vegetasi sangat berpengaruh tehadap perkembangan rayap karena
akar yang merambat ke dalam sarang menjadi makanan rayap, namun tidak
menyebabkan kematian terhadap tumbuhan karena sebagian besar akar yang
tidak dimakan oleh rayap menyerap bahan-bahan organik yang ada di dalam
sarang.
3. Faktor Lingkungan
Menurut Nandika et al. (2003) bahwa faktor lingkungan yang
mempengaruhi perkembangan populasi rayap meliputi curah hujan,
kelembaban, suhu, dan ketersediaan makanan. Curah hujan sangat
berpengaruh terhadap perkembangan rayap dan berguna untuk merangsang
keluarnya kasta reproduksi. Penyebaran rayap berhubungan dengan suhu dan
curah hujan sehingga sebagian besar jenis rayap terdapat di dataran rendah
tropika. Curah hujan yang terlalu tinggi juga dapat menurunkan aktivitas
rayap. Selain itu, faktor yang mempengaruhi aktivitas rayap adalah
kelembaban. Saat kelembaban rendah, rayap bergerak menuju ke daerah
dengan suhu yang lebih rendah, namun rayap dapat menjaga kelembaban di
dalam liang-liang kembaranya sehingga rayap tetap memungkinkan bergerak
ke daerah yang lebih kering. Rayap tanah seperti Coptotermes, Macrotermes,
dan Odontermes memerlukan kelembaban optimal untuk mempertahankan
hidupnya. Rayap yang berbeda genera atau berbeda jenis dari genera yang
sama dapat memiliki toleransi suhu yang sama.

4
Suhu Optimal Rayap
Nandika et al. (2003) mengatakan bahwa kelembaban optimum rayap tanah
adalah kisaran 75-90% dengan suhu optimum 15-38%. Suhu optimum Neotermes
tectonae yang berada di pulau Jawa (ketinggian 0-700 mdpl) adalah 22-26 °C.
Berdasarkan Subekti et al. (2008) bahwa kelembaban dan suhu optimum rayap
secara berturut-turut adalah 75-90% dan 15-38 °C. Tarumingkeng (1971)
mengatakan bahwa suhu optimum rayap adalah 21.1-26.67 °C dengan
kelembaban berkisar antara 84-98%. Kelembaban rayap dari kelompok
Kalotermitidae adalah berkisar antara 90% hingga 97%. Penelitian Woodrow dan
Grace (1999) yang dilakukan di Hawaii menunjukan bahwa suhu rayap kayu
kering Cryptotermes brevis adalah berkisar 24.33-37.04 °C. suhu optimum sarang
rayap Macrotermes yaitu kisaran 29-32 °C (Krishna dan Weesner 1969).
Berdasarkan hasil penelitian Philippines (2014) yang dilakukan di Laboratorium
Rayap Departemen Hasil Hutan Institut Pertanian Bogor, bahwa suhu sarang
rayap tanah C. curvignathus adalah berkisar antara 27.2 °C-34.8 °C berbeda
dengan suhu kayu terserang rayap C. curvignathus yang dilakukan di
Laboratorium Pengeringan Kayu dan suhu kayu terserang rayap di luar ruangan
dengan nilai kisaran secara berturut-turut adalah 25.8 °C-34.1 °C dan 25 °C32.7 °C.
Iklim
Iklim merupakan kebiasaan alam yang digerakkan oleh gabungan
beberapa unsur, yaitu radiasi matahari, suhu, kelembapan, awan, presifikasi,
evaporasi, tekanan udara, dan angin.Kondisi unsur-unsur tersebut berbeda pada
tempat satu dengan yang lainnya. Hal tersebut disebabkan oleh ketinggian tempat,
garis lintang, daerah tekanan, arus laut, dan permukaan tanah (Kartasapoetra
2004).
1. Suhu
Suhu merupakan derajat panas atau dingin yang diukur berdasarkan skala
tertentu denganmenggunakan termometer. Satuan suhu yang lazim digunakan
adalah derajat celcius (°C) (Kartasapoetra 2004). Pada dasarnya suhu
mempengaruhi kondisi tanah sehingga suhu tanah berpengaruh pula pada
kehidupan sekitanrnya. Berdasarkan Irawan (2009) bahwa suhu tanah secara
langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman, kelembaban tanah, aerasi,
aktivitas mikroorganisme tanah dalam proses enzimatik dan dekomposisi
serasah atau sisa tanaman serta ketersediaan hara-hara tanaman.
2. Kelembaban
Kelembaban merupakan banyaknya kadar uap air yang terdapat di udara.
Besarnya kelembaban suatu daerah merupakan faktor yang dapat menstimulasi
curah hujan. Di Indonesia kelembaban udara tertinggi dicapai pada musim
hujan dan terendah pada musim kemarau (Kartasapoetra 2004).
3. Intensitas cahaya
Intensitas cahaya adalah banyaknya fluks cahaya yang memancar per
sudut ruang. Adapun fluks cahaya adalah besarnya intensitas cahaya yang
memancar pada sudut ruang tertentu (Hartati dan Supriadi 2010).

5

METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan mulai dari tanggal Juni 2014 sampai Januari 2015 di
Laboratorium Rayap Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan
Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan IPB.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah biakan rayap tanah C.
curvignathus dan bilah bambu. Pengukuran suhu dilakukan di sarang rayap pada 2
sarang berbeda yang terdiri dari sarang A dan B berupa bak pembiakan masingmasing berukuran 150 cm (tinggi) x 100 cm x 100 cm. Selain itu juga dilakukan
pengukuran suhu di dalam ruangan Laboratorium Rayap (TD) dan di luar
laboratorium. Desain lokasi penelitian sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Alat
yang digunakan yaitu termometer, kulkas, panci, hygrotermometer, lux meter, dan
pengukur waktu. Lux meter dan hygrotermometer dapat dilihat pada Gambar 2.
6m

Bak
biakan
rayap

Bak
biakan
rayap

B
6m

Bak
biakan
rayap

Bak
biakan
rayap

Bak
biakan
rayap

Bak
biakan
rayap

A

TD

Bak
biakan
rayap

Luar Laboratorium Rayap

Bak
biakan
rayap

Bak
biakan
rayap

Gambar 1 Desain lokasi penelitian suhu sarang rayap tanah C. curvignathu di
Laboratorium Rayap

6
(a)

(b)

Gambar 2 Lux meter (a), hygrotermometer (b)
Prosedur
Pengukuran Intensitas Cahaya
Pengukuran intensitas cahaya dilakukan seminggu sekali, kecuali tanggal 8
dan 22 Agustus 2014 tidak dilakukan pengukuran sehingga pelaksanaan
pengukuran sebanyak 24 kali. Setiap pengukuran dilakukan selama 10 jam dan
diukur setiap satu jam sekali mulai dari pukul 07.00 sampai 17.00 WIB. Jadwal
pengukuran intensitas cahaya disajikan pada Tabel 1. Pengukuran dilakukan di
luar Laboratorium Rayap Departemen Hasil Hutan Institut Pertanian Bogor.
Teknik pengukuran yaitu dengan cara mengarahkan sensor pada cahaya matahari
dan menekan tombol on diikuti dengan stopwatch sebagai pengukur waktu. Tekan
tombol off pada alat bersamaan dengan pemberhentian stopwatch.
Tabel 1 Jadwal pengukuran intensitas cahaya dan suhu

Juli
S SR K J
1 2 3 4
7 8 9 10 11
14 15 16 17 18
21 22 23 24 25
28 29 30 31

S
5
12
19
26

M
6
13
20
27

S S
4
11
18
25

5
12
19
26

Agustus
September
R K J SMS S R K J SM S S
1 2 3 1 2 3 4 5 6 7
6 7 8 9 10 8 9 10 11 12 13 14 6 7
13 14 15 16 17 15 16 17 18 19 20 21 13 14
20 21 22 23 24 22 23 24 25 26 27 28 20 21
27 28 29 30 31 29 30
27 28

Oktober
R K J
1 2 3
8 9 10
15 16 17
22 23 24
29 30 31

S
4
11
18
25

M
5
12
19
26

S
3
10
17
24

Nopember
S R K J S
1
4 5 6 7 8
11 12 13 14 15
18 19 20 21 22
25 26 27 28 29

M
2
9
16
23
30

S
1
8
15
22
29

S
2
9
16
23
30

Desember
R K J
3 4 5
10 11 12
17 18 19
24 25 26
31

S
6
13
20
27

M
7
14
21
28

Pengukuran Suhu
Pengukuran suhu dilakukan selama 24 kali pada hari yang sama dengan
pengukuran intensitas cahaya (Tabel 1). Setiap pengukuran dilakukan selama 24
jam dan diukur setiap satu jam sekali. Teknis pengukuran yaitu dengan
menancapkan sensor alat ke dalam bak biakan rayap dengan bantuan alat berupa
bilah bambu. Pengukuran suhu dimulai setelah dilakukan penyesuaian selama dua
minggu. Pengukuran suhu dilakukan di 4 tempat yaitu dua bak pembiakan rayap
(A, B), di dalam dan di luar ruangan Laboratorium Rayap Departemen Hasil
Hutan Institut Pertanian Bogor. Letak hygrotermometer pada bak dan di dalam
ruangan serta kondisi bak pembiakan dapat dilihat pada Gambar 3.

7
(a)

(b)

(c)

(d)
\

Gambar 3 Pengukuran suhu di bak pembiakan A (a), bak pembiakan B (b), dan
di dalam ruang Laboratorium Rayap (c), lokasi penelitian suhu sarang
rayap di Laboratorium Rayap Departemen Hasil Hutan Institut
Pertanian Bogor (d).
Kalibrasi Hygrotermometer
Cara yang digunakan untuk mengkalibrasi hygrotermometer yaitu dengan
membandingkan suhu terendah, suhu ruangan, dan suhu tertinggi pada
hygrotermometer dan termometer (pembanding). Prosedur untuk mencari suhu
terendah yaitu dengan mencatat terlebih dahulu suhu ruangan pada termometer
dan hygrotermometer. Kedua alat tersebut kemudian dimasukan ke dalam kulkas
secara bersamaan dan kulkas ditutup dengan rapat. Saat kulkas dibuka, suhu pada
alat langsung ditulis tanpa harus menunggu lama. Semenetara ini prosedur untuk
mencari suhu tertinggi yaitu dengan menggantungkan sensor hygrotermometer
dan termometer diatas panci yang berisi air mendidih hingga mencapai suhu
maksimum. Suhu pada alat dicatat. Data suhu yang didapat dimasukan ke dalam
persamaan linier (y= a(x)-b). Adapun y merupakan nilai suhu yang digunakan.
Pengambilan suhu terendah dan tertinggi dapat dilihat pada Gambar 4.

8
(a)

(b)

Gambar 4 Suhu terendah pada kulkas (a), suhu tertinggi pada panci berisi air
mendidih (b).
Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis dengan menggunakan
analisis regresi nonlinier. Berdasarkan Bahtiar et al. (2014) model yang
diujicobakan untuk analisis data intensitas cahaya terdiri dari empat model yaitu
linier, eksponensial, power, dan logaritma. Dari keempat model tersebut akan
dipilih satu model yang memiliki nilai R square paling tinggi (mendekati 1).
Bentuk model-model yang diujicobakan adalah sebagai berikut:
Linear
: Î= a sin (π(t − t0)/L)-b
Eksponensial : Î= a exp (b sin (π(t − t0)/L))
Power
: Î= a (sin (π(t − t0)/L))b
Logaritma
: Î= a ln (sin (π(t − t0)/L))+b
Dimana:
Î
= Intensitas cahaya (Lux)
a,b
= Koefisien regresi
t
= Waktu pengukuran (Jam) (GMT+7)
t0
= Waku matahari terbit (Jam) (GMT+7)
L
= Lama hari (Jam)
Model yang digunakan untuk analisis data suhu disesuaikan dengan
Bahtiar et al. (2014) adalah sebagai berikut:
π

y
= a + b sin( (t − t0 − k1)) + cz sin( (t − t0 − k2))
12

L

Dimana:
y
= Suhu (T) (°C)
a, b, c = Koefisien regresi
z
= Peubah boneka yang bernilai biner (bernilai 0 pada malam hari
dan bernilai 1 pada siang hari)
t
= Waktu pengukuran (Jam) (GMT+7)
t0
= Waku matahari terbit (Jam) (GMT+7)
k1
= Lama waktu terjadi pemansan pada objek akibat energi pantulan
bumi (Jam)(GMT+7)
k2
= Lama waktu terjadi pemanasan pada objek akibat energi surya
matahari (Jam) (GMT+7)
L
= Lama hari (Jam)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Intensitas Cahaya
Matahari merupakan sumber daya energi pada peristiwa penting yang
terjadi dalam atmosfer bagi sumber kehidupan, karena energi matahari dapat
menyebabkan perubahan dan pergerakan pada atmosfer sehingga dapat dianggap
sebagai pengendali iklim dan cuaca (Kartasapoetra 2004). Tjasyono (2004) juga
mengemukakan bahwa matahari merupakan sumber energi dan kendali iklim yang
sangat penting yang menimbulkan gerak udara dan arus laut. Intensitas cahaya
merupakan banyaknya fluks cahaya yang memancar per sudut ruang (Hartati dan
Supriadi 2010). Intensitas cahaya sebelum terbit matahari dan setelah terbenam
matahari adalah nol. Adapun intensitas cahaya paling tinggi adalah pada pukul
12.00. Burgess (2009) mengatakan bahwa gelombang radiasi akan semakin
bertambah sekitar 1 000 joule perdetik. Intensitas cahaya dalam satu hari akan
mengalami perubahan/fluktuatif (Gambar 6), sesuai dengan Handoko (1995)
bahwa perbedaan radiasi terjadi dalam sehari (dari pagi sampai sore hari) maupun
secara musiman (setiap hari). Grafik intensitas cahaya selengkapnya dapat dilihat
pada Lampiran 1.
y = 41162(sin((t-t0 )/L))2.789
R2 = 80.4%

Intensitas cahaya (Lux)

70000
60000
50000
40000
I observasi

30000

I estimate
20000

10000
0
7

8

9

10 11 12 13 14 15 16 17
Waktu pengamatan (jam)

Gambar 5 Intensitas cahaya pada pengamatan tanggal 14 Nopember 2014
Berdasarkan Gambar 5 bahwa intensitas cahaya pada pagi dan sore hari
cenderung rendah, sedangkan pada pukul 12.00 bernilai tinggi. Hal ini terjadi
karena pada pukul 12.00 cahaya matahari yang diterima bumi dalam keadaan
tegak lurus. Mengingat daerah Bogor yang sering mengalami hujan, pada
beberapa pengamatan yang telah dilakukan, intensitas cahaya pada siang hari juga
mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan oleh keadaan cuaca/pada keadaan
mendung sehingga sinar matahari yang dipancarkan terhalangi. Faktor yang
mempengaruhi jumlah radiasi yang diterima bumi tergantung pada lama
penyinaran/panjang hari, jarak dari matahari, intensitas radiasi matahari, dan
atmosfer. Keadaan radiasi dengan adanya awan sangat berbeda dengan keadaan
langit yang cerah. Radiasi yang dipancarkan bumi akan mencapai awan dan oleh

10
awan akan di absorpsi. Akibat dari sifat awan yang dapat mengabsorpsi dan
meradiasikan semua gelombang, maka akan terjadi pendinginan pada malam hari,
terutama pada musim kemarau (Kartasapoetra 2004). Keadaan tersebut
menyebabkan intensitas cahaya yang diterima bumi berkurang sehingga
berdampak pula pada penurunan suhu.
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan diolah dengan beberapa model,
yaitu linier, logaritma, eksponensial, dan power. Dari keempat model tersebut
dipilih satu model yang memiliki nilai R2 paling tinggi (mendekati 1). Adapun
pada pengamatan kali ini, model yang mayoritas nilai R2 nya paling tinggi adalah
model power. Data siklus bulanan intensitas cahaya dan hasil pengolahan datanya
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Pemilihan model terbaik untuk siklus bulanan intensitas cahaya di
Laboratorium Rayap Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor

Linier

04-Jul
11-Jul
18-Jul
25-Jul
01-Agust
15-Agust
29-Agust
05-Sep
12-Sep
19-Sep
26-Sep
03-Okt
10-Okt
17-Okt
24-Okt
31-Okt
07-Nop
14-Nop
21-Nop
28-Nop
05-Des
12-Des
19-Des
26-Des

Model terpilih (power)

R2 Model (%)

Waktu pengamatan

83.5
60.0
57.8
83.4
85.3
27.0
77.2
88.8
1.0
71.5
76.7
64.7
95.5
80.9
39.8
78.5
21.0
53.6
43.4
38.8
7.5
8.8
36.7
55.4

Î=a (sin (π(t-t 0 )/L))^b

Logaritma Eksponensial Power

73.6
54.3
51.0
83.7
55.8
19.2
69.7
64.2
1.0
65.8
65.5
55.7
92.4
84.0
42.0
60.0
16.6
44.7
42.3
33.1
11.1
11.4
34.2
44.7

93.6
50.1
74.6
51.5
75.3
59.3
78.7
76.0
31.2
70.5
65.6
73.7
72.2
65.6
43.5
72.8
69.0
71.1
52.7
57.6
47.4
18.8
51.7
63.5

94.0
50.6
77.4
61.9
85.9
48.1
78.5
95.9
36.9
74.7
56.1
91.1
89.1
71.9
57.0
79.9
60.4
80.4
58.9
57.2
53.2
23.1
54.7
63.4

a (lux)

b

423922
70291
54553
96523
56958
9340
49003
68096
61633
46352
54292
55309
96655
61141
49056
99042
18500
41162
57330
32708
18531
10974
47812
32176

1.850
2.498
3.757
1.713
1.428
1.520
4.275
2.118
1.903
2.438
1.426
4.330
2.285
2.675
1.941
4.156
2.539
2.789
3.855
4.276
2.673
1.050
2.298
4.445

R2 (%)

94.0
50.6
77.4
61.9
85.9
48.1
78.5
95.9
36.9
74.7
56.1
91.1
89.1
71.9
57.0
79.9
60.4
80.4
58.9
57.2
53.2
23.1
54.7
63.4

Pada Tabel 2 menunjukan bahwa intensitas cahaya paling besar adalah
pada tanggal 4 Juli yaitu sebesar 423 922 lux dan intensitas cahaya paling kecil
adalah pada tanggal 15 Agustus yaitu sebesar 9 340 lux dengan nilai b secara
berturut-turut adalah 1.85 dan 1.52. Semakin besar nilai b maka intensitas cahaya
yang diterima bumi semakin sedikit, dalam artian penyebaran cahaya pada
permukaan bumi semakin meluas sehingga jumlah intensitas cahaya semakin

11
mengecil. Adapun nilai b merupakan perbandingan antara luas bumi yang
menerima cahaya di waktu tertentu dibagi pada tengah hari.
Suhu
Hasil penelitian suhu sarang rayap tanah C. curvignathus selama 24 x 24
jam dengan pengamatan satu jam sekali menunjukan bahwa suhu rata-rata pada
sarang A berkisar antara 30.56 °C hingga 32.75 °C, pada sarang B berkisar antara
30.80 °C hingga 33.18 °C. Data suhu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Sementara Grafik suhu secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.
Tabel 3a Data rata-rata suhu (a) dan amplitudo (b dan c) di luar dan di dalam
Laboratorium Rayap Hasil Hutan
Waktu
pengamatan

SUHU
k1

k2

Luar
a

04-Jul

5,100

1,300

25,27

11-Jul

4,500

11,900

18-Jul

1,000

12,000

25-Jul

6,000

01-Agust

b

k2

Dalam
a

c

k1

b

c

2,903

5,637

3,500

10,200

25,11

0,179

0,792

24,68

1,271

-4,555

1,200

11,300

24,85

0,385

0,667

24,88

1,685

-4,412

6,900

10,000

24,66

0,277

0,321

0,300

23,81

1,367

6,649

5,500

12,000

24,87

0,190

0,651

1,800

9,200

25,82

3,777

-1,747

7,700

4,700

24,99

0,447

0,240

15-Agust

5,100

2,300

23,27

2,023

7,065

3,000

12,300

24,67

0,477

1,011

29-Agust

7,100

0,200

23,03

1,106

8,458

6,700

12,300

24,79

0,300

0,510

05-Sep

7,800

12,800

24,35

4,607

-9,443

6,800

12,300

25,60

0,228

0,510

12-Sep

7,100

1,500

24,82

4,789

8,576

9,800

12,100

25,35

0,382

0,483

19-Sep

4,200

1,100

26,26

4,139

4,711

8,200

8,600

25,61

0,435

0,129

26-Sep

11,900

1,800

24,70

0,187

12,042

9,100

7,400

25,33

0,252

0,185

05-Okt

7,500

12,400

25,36

2,886

-9,334

11,000

3,800

25,75

0,358

0,296

10-Okt

5,000

12,200

26,47

7,333

-6,176

10,400

5,800

25,52

0,328

0,212

17-Okt

5,100

1,500

26,00

2,416

6,822

12,300

10,200

25,67

-0,084

0,491

24-Okt

3,700

1,200

24,95

3,772

7,738

7,200

12,800

25,73

0,375

0,534

31-Okt

6,500

12,600

24,78

1,900

-10,330

5,600

9,400

25,47

-0,333

0,954

07-Nop

6,600

12,600

25,81

1,436

-5,376

11,000

7,900

25,51

0,249

0,252

14-Nop

12,000

1,400

23,96

0,224

9,355

10,200

2,200

24,27

0,324

0,236

21-Nop

5,300

11,700

25,04

1,109

-9,587

9,400

3,200

24,77

0,211

0,324

28-Nop

4,500

12,500

25,17

1,400

-8,744

9,400

7,600

24,93

0,163

0,206

05-Des

7,900

11,500

23,95

1,023

-8,543

11,100

3,600

24,59

0,177

0,183

12-Des

5,500

11,000

25,51

3,219

3,885

10,300

8,000

25,21

0,335

0,102

19-Des

9,000

11,700

24,97

0,873

-11,233

5,000

11,900

25,69

0,243

0,330

26-Des

0,500

12,700

23,64

-7,857

-16,512

6,500

10,900

25,26

0,143

0,237

Keterangan: k1= lama waktu terjadi pemansan pada objek akibat energi pantulan bumi (Jam), k2= lama waktu
terjadi pemanasan pada objek akibat energi surya matahari (Jam), t= waktu pengukuran (jam),
t0= lama pengukuran (jam), a= suhu rata-rata dalam satu hari (°C), b= panjang amplitudo pada
malam hari, c= panjang amplitudo pada siang hari.

12
Tabel 3b Data rata-rata suhu (a) dan amplitudo (b dan c) pada sarang A dan B
Waktu
pengamatan

SUHU
Sarang A
a

b

c

A

Sarang B
b

c

04-Jul

31,67

-0,061

0,156

33,18

-0,094

-0,197

11-Jul

31,44

0,009

0,132

33,02

-0,119

-0,072

18-Jul

31,12

-0,121

0,068

32,43

0,208

-0,300

25-Jul

31,31

0,011

-0,175

32,35

0,300

-0,043

01-Agust

30,56

-0,138

0,148

32,91

-0,041

0,316

15-Agust

30,69

-0,133

0,057

32,54

0,010

-0,573

29-Agust

30,74

-0,021

0,044

31,38

0,145

-0,159

05-Sep

31,16

-0,157

0,051

31,71

-0,248

0,169

12-Sep

31,38

-0,007

0,344

31,21

-0,234

0,170

19-Sep

31,56

-0,034

0,067

31,24

0,176

0,017

26-Sep

31,89

-0,083

0,111

31,02

0,063

0,393

05-Okt

32,21

Tidak tersedia

Tidak tersedia

31,25

0,019

0,134

10-Okt

32,23

0,024

0,213

30,94

0,339

0,102

17-Okt

32,30

0,022

-0,137

31,29

-0,046

0,118

24-Okt

32,64

-0,053

-0,216

31,45

0,368

-0,135

31-Okt

32,26

0,139

-0,109

30,80

1,072

1,844

07-Nop

32,48

0,010

-0,065

31,61

-0,431

0,417

14-Nop

31,89

-0,242

-0,230

31,09

0,306

-0,105

21-Nop

32,02

-0,038

0,100

31,77

0,130

0,114

28-Nop

32,35

-0,140

-0,183

31,51

0,363

-0,271

05-Des

32,30

0,101

-0,209

31,45

0,029

0,055

12-Des

32,42

-0,081

0,187

31,74

0,366

0,460

19-Des

32,75

-0,103

0,046

31,92

0,101

-0,085

26-Des

32,71

-0,022

0,046

31,72

-0,105

0,520

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai amplitudo (b dan c) pada
sarang lebih kecil dibanding diluar dan di dalam ruangan. Nilai b dan c secara
berturut-turut pada sarang A berkisar antara 0-0.157 dan 0-0.344, pada sarang B
berkisar antara 0.01-1.072 dan 0.017-1.844. Hal ini menunjukan bahwa
perubahan suhu pada sarang relatif kecil. Nilai b dan c di luar ruangan secara
berturut-turut berkisar antara 0.187-7.857 dan 1.747-16.512 dan nilai b dan c di
dalam ruangan secara berturut-turut adalah berkisar antara 0.084-0.477 dan 0.1021.011. Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa perubahan suhu pada
sarang lebih stabil dibanding dengan perubahan suhu di luar sarang. Begitupun
dengan suhu di dalam ruangan lebih stabil daripada suhu di luar ruangan.
Pernyataan tersebut dapat terlihat pada Gambar 6. Semakin kecil nilai b dan nilai
c maka perubahan suhu semakin stabil dan begitupun sebaliknya. Tabel 3
menunjukan bahwa secara keseluruhan, pada malam hari suhu lebih stabil
dibandingkan pada siang hari, karena semakin kecil nilai b maka suhu pada
malam hari semakin stabil dan semakin kecil nilai c maka suhu pada siang hari
semakin stabil.

13
Suhu pada setiap sarang relatif berbeda, hal ini disebabkan oleh aktivitas,
jumlah koloni, serta panas yang dihasikan oleh makanan yang dikumpulkan oleh
rayap (Nandika et al. 2003) dan metabolisme rayap itu sendiri (Noirot 1970).
Kisaran suhu yang dihasilkan berkisar antara 30.56 °C -33.18 °C. Nilai kisaran
suhu tersebut sesuai dengan Tarumingkeng (1971) bahwa suhu optimum sarang
rayap C. curvignathus berkisar antara 15 °C -38 °C.
Suhu sarang rayap lebih tinggi dibandingkan dengan suhu lingkungan
seperti yang terlihat pada Gambar 6. Sesuai dengan Lee dan Wood (1971) bahwa
suhu diurnal pada sarang rayap bervariasi setiap hari dan suhu pada sarang rayap
akan lebih tinggi dibanding suhu tanah atau suhu lingkungan. Noirot (1970) juga
mengatakan bahwa suhu yang lebih tinggi daripada lingkungannya menandakan
bahwa pada wilayah tersebut terdapat koloni rayap.
33
32
31

Suhu (°C)

30
29
28
27
26
25
24

23
19 20 21 22 23 24

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10 11 12 13 14 15 16 17 18

Waktu pengamatan (Jam)
Suhu luar

Suhu dalam

Suhu sarang A

Suhu sarang B

Gambar 6 Suhu pada sarang rayap Coptotermes curvignathus di Laboratorium
Hasil Hutan pada pengamatan satu jam sekali selama satu hari (pada
tanggal 14 Nopember 2014)
Gambar 6 menunjukan adanya perbedaan suhu baik antar sarang maupun
antara sarang dengan luar sarang. Suhu di luar ruangan berkisar antara 23.00 °C29.47 °C, suhu di dalam ruangan berkisar antara 24.07 °C-24.49 °C, suhu sarang
A berkisar antara 31.88 °C-32.04 °C, suhu sarang B berkisar antara 30.94 °C31.24 °C. Hal tersebut menunjukan bahwa suhu dalam sarang lebih besar
dibanding suhu di luar sarang. Suhu di dalam sarang mengalami perubahan
namun tidak begitu signifikan (Gambar 6).
Eggleton (2011) menyatakan bahwa sarang yang dibentuk dapat menjaga
kondisi di dalamnya, namun ketika rayap tidak mampu mempertahankan kondisi
suhu sarang yang diinginkannya, dia akan berpindah secara permanen ke bagian
tanah yang lebih dalam lagi (Harris 1971).
Perubahan suhu di luar laboratorium pada malam hari lebih stabil dibanding
di dalam laboratorium. Hal tersebut dapat ditunjukan dengan nilai b yang lebih

14
rendah yaitu sebesar 0.22, sedangkan nilai b di dalam ruangan laboratorium yaitu
sebesar 0.32. Pada siang hari, perubahan suhu di luar laboratorium jauh lebih
fluktuatif dibanding perubahan suhu di dalam laboratorium. Hal tersebut dapat
dilihat pada nilai c yang lebih tinggi yaitu sebesar 9.36, sedangkan nilai c di dalam
laboratorium yaitu sebesar 0.26 (Tabel 3 pengamatan pada tanggal 14 Nopember ).
Hal tersebut diakibatkan oleh pengaruh radiasi matahari yang mempengaruhi
perubahan suhu.sehingga pada siang hari suhu jauh lebih fluktuatif. Fluktuasi
suhu di luar dan di dalam laboratorium dapat dilihat pada Gambar 6.
Perubahan suhu di dalam laboratorium baik pada malam hari maupun pada
siang hari lebih fluktuatif dibanding pada sarang A (Gambar 6) meskipun
perbedaan perubahannya tidak begitu jauh. Hal tersebut dapat ditunjukan dengan
nilai b dan c yang lebih tinggi yaitu sebesar 0.32 dan 0.24, sedangkan nilai b dan c
pada sarang A secara berturut-turut adalah sebesar 0.24 dan 0.23 (Tabel 3 pada
pengamatan tanggal 14 Nopember ). Suhu pada sarang A lebih tinggi dibanding
suhu di dalam ruangan.
Sama halnya seperti perubahan suhu yang terjadi pada sarang A, bahwa
perubahan suhu di dalam laboratorium baik pada malam hari maupun pada siang
hari lebih fluktuatif dibanding pada sarang B meskipun perbedaan perubahannya
tidak begitu jauh. Hal tersebut dapat ditunjukan dengan nilai b dan c di dalam
ruangan yang lebih tinggi dengan nilai secara berturut-turut yaitu sebesar 0.32 dan
0.24, sedangkan nilai b dan c pada sarang B secara berturut-turut adalah sebesar
0.31 dan 0.11 (Tabel 3 pada pengamatn tanggal 14 Nopember). Suhu pada sarang
B lebih tinggi dibanding suhu di dalam ruangan.

15

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Rayap mampu mempertahankan suhu sarangnya tetap stabil pada saat suhu
di luar sarang berfluktuasi. Nilai b dan c pada sarang berkisar 0-1.844, sedangkan
nilai b dan c di dalam dan di luar laboratorium secara berturut turut adalah
berkisar 0.084-1.011 dan 0.187-16.512. Hal tersebut menunjukan adanya daya
isolasi sarang rayap tanah terhadap suhu lingkungan. Suhu sarang rayap lebih
hangat, yaitu berkisar antara 30.56 °C-33.18 °C.
Saran
Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kelembaban dan suhu sarang
rayap C. curvignathus di lapangan serta melakukan penelitian kelembaban dan
suhu sarang rayap jenis lainnya.

16

DAFTAR PUSTAKA
Bahtiar ET, Nugroho N, Karlinasari L, Surjokusumo S. 2014. Human comfort
period outside and inside bamboo stands. Journal of Enviromental Science
and Technology 7(5): 245-265.
[Badan Pusat Statistik] BPS. 2014. Kabupaten Bogor dalam Angka 2014. Badan
Pusat Statistik.
Burgess P. 2009. Variation in light intensity at different lattitudes and seasons,
effects of cloud cover, and the amounts of direct and diffused light [Internet].
[Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. United Kingdom:
Continuous Cover Forestry Group (CCFG). Hlm 1-10; [diunduh 2015 Juni
14].
Tersedia
pada:
http://www.ccfg.org.uk/conferences/downloads/
P_Burgess.pdf.
Chan SP, Choon-Fah, Bong, Lau WH. 2011. Damage pattern and nesting
characteristic of Coptotermes curvignathus (Isoptera: Rhinotermitidae) in
Oil Palm on Peat. American Journal of Applied Sciences 8 (5): 420-427.
Djunaedy A. 2009. Studi karakter ekologi nematoda entomopatogen
heterorhabditis isolat lokal madura. Embryo 6 (1): 0216-0188.
Eggleton P. 2011. An introduction to termites: Biology, taxonomy and functional
morphology. Biology of termites: A modern synthesis. Bignell DE, Roisin Y,
Nathan Lo, editor. London: Springer Dordrecht Heidelberg.
Gillison AN, Jones DT, Susilo FX, Bignell DE.2003. Vegetation indicates
diversity of soil macro invertebrates: a case study with termites along a landuse intensification gradient in lowland Sumatra.Org.Diverse(3): 111–126.
Harris V. 1971. Termites: Their Recognition and Control. Britain: Western
Printing Services LTD.
Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Bogor (ID): Pustaka Jaya.
Hartati W, Suprijadi. 2010. Pengebangan model pengukuran intensitas cahaya
dalam fotometri. J.Oto.Ktrl.Inst (J.Auto.Ctrl.Inst). Vol 2 (2): 2085-2517.
Inward D, Beccaloni G, Eggleton P. 2007. Death of an Order: A Comprehensive
Molecular Phylogenetic Study (onfirm) that Trmites are Easosial Cockroaces.
Biol (3): 331-335.
Irawan A. 2009. Hubungan iklim mikro dan bahan organik tanah denga emisi
CO2 dari permukaan tanah. [skripsi]. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Jones DT, Susilo FX, Bignell DE, Hardiwinoto S, Gillison AN, Eggleton P. 2003.
Termite assemblage collapse along a land-use intensification gradient in
lowland central Sumatra, Indonesia. Journal of Applied Ecology. (40):380–
391.
Kambhampati S, Eggleton P. 2002. Taxonomy and Phylogeny of Termites In:
Abe T, Bignell DE, Higashi M, Termites: Evolution Sociality, Symbioses,
Ecology. London: Kluwer Academic Publisher.
Kartasapoetra AG. 2004. Klimatologi: Pengaruh Iklim Terhadap Tanah dan
Tanaman. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.
Krisna K, Weesner FM. 1969. Biologi of Termite. Volume I/II. New York:
Academic Press.
Lee KE, Wood TG. 1971. Termites and Soils. London: Academic Press, Inc.

17
Nandika D, Rismayadi Y, Diba F. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Nandika D, Tambunan B. 1989. Deteriorisasi Kayu Oleh Faktor Biologis. Bogor
(ID): IPB Press.
Noirot CH. 1970. Biology of Termites. London (UK): Academic Press, Inc.
Pearce MJ. 1997. Termites: Biology and Pest Management. Cab. International UK
Forestry Research.
Philippines I. 2014. Suhu sarang rayap tanah Coptotermes curvignathus (Isoptera:
Rhinotermitidae) di dalam dan di luar ruangan. [skripsi]. Departemen
Geofisika dan Meterorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Institut Petanian Bogor.
Sigit SH, Koesharto FX, Hadi UK, Gunandini DJ, Soviana S, Wirawan IA,
Chalidaputra M, Rivai M, Priyambodo S, Yusuf S, Utomo S. 2006. Hama
permukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Unit Kajian
Pengendalian Hama Permukiman. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Siregar AZ, Batubara R. 2007. Kerugian eonomis akibat serangan rayap pada
bangunan rumah masyarakat di dua kecamatan (Medan Denai dan Medan
Labuhan). Jurnal Biologi Sumatera (2): 23-27.
Subekti N, Duryadi D, Nandika D, Surjokusumo S, Anwar S. 2008. Sebaran dan
Karakter morfologi rayap tanah Macrotermes gilvus Hagen di habitat hutan
alam. Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan. 1(1): 27-33.
Tarumingkeng RC. 1971. Biologi dan Pengenalan Rayap Perusak Kayu Indonesia.
Lap. L.P.H. No. 138. 28 p.
Tjasyono B. 2004. Klimatologi. Bandung (ID): ITB Press.
Woodrow RJ, Grace JK. 1999. Microclimates associated with Cryptotermes
brevis (Isoptera: Kalotermitidae) in the urban environment. Pan-Pacific
Entomologist 72(2): 68-72.

18
Lampiran 1 Intensitas cahaya pada pengamatan satu jam sekali (10 jam) selama
24 hari

19
Lampiran 2 Suhu pada sarang, di luar dan di dalam laboratorium pada pengamatan
satu jam sekali selama 24 hari

20

RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Opi Nuraliah dilahirkan di Salopa Tasikmalaya,
tanggal 19 Agustus 1993. Penulis merupakan anak ke dua dari tujuh bersaudara
dari pasangan Bapak Bukhori Muslim dan Ibu Amah Rohamah. Penulis lulus dari
SD Negeri Suniabana dan lulus pada tahun 2005, kemudian melanjutkan
pendidikan di MTS Darul Falah dan lulus pada tahun 2008. Selanjutnya penulis
diterima di SMK Husnul Khotimah dan lulus pada tahun 2011. Penulis diterima
sebagai mahasiswa Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut
Pertanian Bogor melalui Jalur Penerimaan Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB)
Kementrian Agama RI.
Selama menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,
penulis aktif di organisasi mahasiswa baik organisasi mahasiswa internal kampus
maupun eksternal kampus diantaranya KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul
‘Ulama), CSS MoRA IPB, HIMASILTAN (Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan)
sebagai anggota, BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Kehutanan, DKM
Ibaadurrahmaan. Selain itu juga aktif dalam berbagai kepanitiaan diantaranya
divisi acara BUKBER CSS, divisi humas Tabligh Akbar, divisi konsumsi GPS JB,
divisi humas Semarak Kehutanan, divisi acara RAKERNAS KMNU, divisi
humas mamang bibi day.
Penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Dendrologi. Selain itu juga
pernah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di PangandaranCiamis dan Pratek Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat. Penulis juga
pernah melaksanakan Praktek Kerja Industri (PKL) di Parungpanjang Bogor.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis melaksanakan penelitian dan
menyelesaikan skripsi dengan judul “ Fluktuasi Suhu Sarang Rayap Tanah
Coptotermes curvignathus Holmgren (Blattodea: Rhinotermitidae)” dibawah
bimbingan Arinana, SHut MSi dan Effendi Tri Bahtiar, SHut MSi.