Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Manggis (Garcinia mangostana L) Terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren

(1)

BIOAKTIVITAS ZAT EKSTRAKTIF KAYU MANGGIS

(Garcinia mangostana L.) TERHADAP RAYAP TANAH

Coptotermes curvignathus Holmgren

SYAHIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI

TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Syahidah


(3)

ABSTRACT

SYAHIDAH. Bioacitivity of Extractives from the Heartwood of Mangosteen (Garcinia mangostana L.) Against Subterranean Termite Coptotermes curvignathus Holmgren. Supervisors : WASRIN SYAFII and IGK TAPA DARMA.

Woods with low natural durability are vurnerable to the attack of deterioration organism. Preservation processes would encounter this problem by increasing wood life service. However, preservative chemicals that are usually non-biodegradable will lead to some environmental problems. The development of biodegradable and renewable natural preservatives that are environmental friendly is then necessary. This research was aimed at inspecting bioactive component from extractives of mangosteen wood that is prospected as natural preservatives. The investigation was through isolation and identification of single compound of the wood extractives that was expected to be antitermitic. Extraction and successive fractionation enfolded 1.95% of acetone extract that was consist of 0.18%, 0.58%, 0.19%, and 1.00% of n-hexane, ethyl ether, ethyl acetate and residue fractions, respectively. Anti termite test of C. curvignathus

Holmgren revealed the most active ethyl acetate fraction that at concentration 4% already showed very high anti termite activity. Ethyl acetate fraction isolation resulted second fraction namely EA7. NMR spectrometri and LCMS analysis of the second fraction EA7 resulted compound 2-Me eter 3’,4,4’,6-Tetrahydroxybenzophenone (C14H12O6)as the possibly main component that is within phenolic group.

Key word: Garcinia mangostana.L., antitermitic, extractives, C. curvignathus Holmgren, 2-Me eter 3’,4,4’,6-Tetrahydroxybenzophenone (C14H12O6)


(4)

RINGKASAN

SYAHIDAH

. Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Manggis (

(Garcinia mangostana L.)

Terhadap Rayap Tanah

Coptotermes curvignathus

Holmgren. Dibimbing oleh :

WASRIN SYAFII

dan

IGK TAPA DARMA

.

Kebutuhan akan kayu terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, sementara kemampuan hutan alam untuk memproduksi kayu semakin menurun. Sehingga di masa depan penggunaan kayu akan didominasi oleh kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI). Namun demikian kayu-kayu yang dihasilkan umumnya memiliki keawetan alami yang rendah, sehingga mudah diserang oleh organisme perusak kayu Oleh karena itu untuk memperpanjang masa pakai kayu, dilakukan proses pengawetan dengan bahan kimia. Namun demikian, pengawet kayu yang digunakan sebagian besar merupakan bahan kimia sintetis non organik, sehingga memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi lingkungan karena bahan kimia tersebut bersifat non-biodegradable. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, sangat perlu pemanfaatan natural products atau zat ekstraktif yang terdapat di dalam kayu sebagai bahan pengawet alami.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas anti rayap zat ekstraktif kayu manggis terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren serta mengisolasi dan mengidentifikasi senyawa bioaktifnya dengan menggunakan spektrometri NMR. Penelitian ini dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA IPB dan Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong, Tangerang.

Bahan yang digunakan adalah kayu teras manggis yang diperoleh dari Leuwiliang Bogor yang dibuat serbuk dengan ukuran 40 – 60 mesh dan diekstraksi dengan pelarut aseton. Hasil ekstraksi difraksinasi secara bertingkat berturut-turut dengan pelarut n-heksan, etil eter, dan etil asetat. Untuk uji toksisitas digunakan rayap tanah

C. curvignathus Holmgren dengan media pengumpanan kertas selulosa Whatman. Untuk mengisolasi senyawa murni dilakukan menggunakan kolom kromatografi dengan fase diam silika gel 60 F254 (produk E. Merck 1,07734) dan fase gerak n-heksan – etil

asetat. Kromatografi lapis tipis (KLT) menggunakan lempeng silica gel GF254 (produk

E. Merck 05554).

Hasil ekstraksi dan fraksinasi bertingkat menunjukkan bahwa kayu manggis mengandung 1,95% ekstrak yang larut dalam aseton, yang terdiri atas 0,18% fraksi


(5)

n-heksan, 0,58% fraksi etil eter, 0,19% fraksi etil asetat dan 1,00 fraksi residu. Hasil pengujian terhadap rayap menunjukkan fraksi teraktif adalah fraksi etil asetat karena pada konsentrasi 4% sudah memiliki nilai mortalitas 100% pada minggu kedua pengumpanan, diikuti dengan fraksi n-heksan, etil eter dan residu.

Hasil isolasi fraksi teraktif etil asetat dengan menggunakan kromatografi kolom diperoleh fraksi lanjutan sebanyak 13 fraksi dan pada fraksi ketujuh (EA7) memperlihatkan single spot (bercak kromatogram tunggal) yang selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan spektrometri NMR dan LC-MS dan menghasilkan senyawa yang diduga adalah 2-Me eter 3’,4,4’,6-Tetrahydroxybenzophenone (C14H12O6)yang termasuk golongan fenolik.


(6)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

BIOAKTIVITAS ZAT EKSTRAKTIF

KAYU MANGGIS (

Garcinia mangostana

L.)

TERHADAP RAYAP TANAH

Coptotermes curvignathus

Holmgren

SYAHIDAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(8)

Judul Tesis : Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Manggis (Garcinia

mangostana L.) Terhadap Rayap Tanah

Coptotermes curvignathus Holmgren Nama Mahasiswa : Syahidah

NIM : E051060051

Disetujui: Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr. Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.


(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. atas nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat melakukan penelitian dan penulisan tesis dengan judul ” Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren” sebagai persyaratan untuk

menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB Bogor.

Selama menempuh pendidikan, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak sehingga penulis berhasil menyelesaikan pendidikan tepat pada waktunya. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr. Sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc. sebagai anggota Komisi Pembimbing atas segala petunjuk dan bimbingannya selama penulis melakukan penelitian

2. Rektor Universitas Hasanuddin dan Dekan Fakultas Kehutanan atas kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan dan bantuan biaya penyusunan tesis 3. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia atas pemberian Beasiswa

Program Pasca Sarjana (BPPS)

4. Staf Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Bpk. Supriyatin dan Sdr. Gunawan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia FMIPA IPB Ibu Prof. Dr. Suminar Achmadi, Bpk Sabur dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong Bpk Dr. M. Hanafi, Ibu Dr. Puspa D. Lotulung dan Sdri. Sofa yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melakukan penelitian.

5. Kedua orang tuaku Tandra Ismail (alm.) dan Haniah serta mertua Umar Biduna dan Rajinah, adikku Fatmawati, kakak dan adik-adik ipar, keponakan dan semua keluarga besar di Makassar atas bantuan moril dan materil yang telah diberikan 6. Suami tercinta Sunandar Umar dan putra-putriku Aulia Fatimah Khairunnisa dan

Muh. Farhan Syawal atas segala dukungan dan pengorbanannya selama penulis menempuh pendidikan

7. Rekan-rekan angkatan 2006 di IPK atas kebersamaannya selama pendidikan terutama Eka dan Anti atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian dan juga penghuni Pondok Afra (Ida, Arie dan Santi) serta Mbak Desy.

Masih banyak pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, hanya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya yang dapat penulis sampaikan semoga Allah SWT. berkenan memberikan balasan atas segala amal kebaikannya. Amin. Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya.

Bogor, Agustus 2008


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bone pada tanggal 15 Agustus 1972. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Tandra Ismail dan Haniah. Penulis menikah dengan Sunandar Umar dan dikarunia 2 orang anak bernama Aulia Fatimah Khairunnisa dan Muh. Farhan Syawal.

Pendidikan dasar penulis selesaikan di Madrasah Ibtidaiyah No. 7 Macope Bone tahun 1984, SMP Negeri 4 Watampone tahun 1987, SMA Negeri I Watampone 1990. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin Makassar dan lulus pada tahun 1995. Pada tahun 1996-1998 menjadi dosen luar biasa di Universitas Satria Makassar dan tahun 1998-2001 bekerja sebagai staf HTI PT Alinia Setra Makassar. Pada tahun 2005 penulis diterima sebagai staf pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin dan tahun 2006 melanjutkan pendidikan Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB dengan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS).

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan penulis menyusun tesis dengan judul ”Bioaktivitas Zat Ekstraktif Kayu Manggis (Garcinia mangostana L.) Terhadap Rayap Tanah

Coptotermes curvignathus Holmgren” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.

Agr. sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc. sebagai anggota Komisi Pembimbing.

Selama menempuh pendidikan S2, penulis mempublikasikan karya ilmiah berjudul ”Analisis Komposisi Kimia Bagian Cabang, Akar dan Batang Atas Jati dan Gmelina” di Jurnal Perenial Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Volume 3 Nomor 1 Januari 2007. Penulis juga menyajikan makalah yang berjudul “Pemilahan Kayu Borneo dengan Gelombang Ultrasonik” dan “Stabilisasi Dimensi Kayu dengan Parafin Cair” pada Seminar Nasional MAPEKI IX di Pontianak Kalimantan Barat, 11-13 Agustus 2007.

Penulis juga merupakan penerima Beasiswa Unggulan P3SWOT Departemen Pendidikan Nasional Tahap IV bulan Oktober 2007. Penulis juga pernah menjabat sebagai Wakil Bendahara Forum Mahasiswa Pascasarjana (Wacana) Sulawesi Selatan tahun 2006-2007 dan anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI).


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Keawetan Alami Kayu ... 5

Zat Ekstraktif ... 6

Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif ... 7

Rayap Tanah ... 10

Manggis ... 14

BAHAN DAN METODE ... 17

Waktu dan Tempat Penelitian ... 17

Bahan dan Alat ... 17

Bahan ... 17

Alat ... 17

Metode Penelitian... 18

Ekstraksi Serbuk Kayu ... 18

Ekstrak Aseton ... 18

Fraksinasi Bertingkat ... 18

Pengujian Sifat Anti Rayap ... 20

Isolasi Fraksi Teraktif Ekstrak Kayu Manggis dengan Kromatografi Kolom ... 22

Identifikasi Komponen Bioaktif ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN... 25

Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Manggis ... 25

Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kayu Manggis ... 26

Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren ... 26

Kehilangan Berat Contoh Uji Kertas Selulosa ... 30

Nilai Penghambatan Makan (Antifeedant) Ekstrak Aseton dan Fraksi-Fraksinya ... 34

Isolasi dan Pemurnian Fraksi Teraktif ... 35


(12)

SIMPULAN DAN SARAN ... 38

Simpulan ... 38

Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA... 39


(13)

DAFTAR TABEL

1 Klasifikasi Tingkat Aktivitas Anti Rayap Ekstrak Kayu Manggis ... 21 2 Klasifikasi Tingkat Penghambatan Makan (Antifeedant) Ekstrak

Kayu Manggis ... 22

3 Kadar Zat Ekstraktif Hasil Fraksinasi Terhadap Ekstrak Aseton

Kayu Manggis ... 24

4 Mortalitas Rata-Rata Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren Setelah

Diumpankan Selama Empat Minggu ... 27

5 Kehilangan Berat Rata-Rata Contoh Uji Kertas Selulosa Setelah Diumpankan pada Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren

Selama Empat Minggu... 30

6 Nilai Penghambatan Makan (Antifeedant) Ekstrak Aseton Kayu


(14)

DAFTAR GAMBAR

1 Ratu Rayap Dikelilingi Pekerja dan Prajurit ... 12 2 Rayap Prajurit dan Pekerja ... 12 3 Skema Fraksinasi Bertingkat Terhadap Zat Ekstraktif

Kayu Manggis ... 19 4 Pengujian Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kayu Manggis ... 21 5 Kondisi Fisik Ekstrak Aseton dan Fraksi-Fraksinya. ... 25 6 Hubungan Antara Konsentrasi Ekstrak Aseton Kayu Manggis

dan Fraksi-Fraksinya dengan Mortalitas Rayap Tanah

C. curvignathus Holmgren ... 29 7 Hubungan Antara Konsentrasi Ekstrak Aseton Kayu Manggis

dengan Kehilangan Berat Kertas Uji Selulosa... 31 8 Kondisi Kertas Uji pada Beberapa Taraf Konsentrasi Setelah

Diumpankan pada Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren……... 32 9 Struktur Kimia 2-Me eter 3’,4,4’,6-Tetrahydroxybenzophenone


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Gambar Spektrum H-NMR Senyawa EA7 ... 43

2 Gambar Spektrum C-NMR Senyawa EA7 ... 44


(16)

I.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, kayu merupakan salah satu hasil hutan yang dibutuhkan manusia untuk berbagai penggunaan baik untuk konstruksi bangunan maupun untuk produk-produk lain. Kebutuhan akan kayu terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, sementara kemampuan hutan alam untuk memproduksi kayu semakin menurun. Sehingga di masa depan penggunaan kayu akan didominasi oleh kayu dari Hutan Tanaman Industri (HTI). Namun demikian, kayu-kayu yang dihasilkan dari HTI merupakan jenis kayu cepat tumbuh (fast growing species) yang umumnya memiliki keawetan alami yang rendah.

Selain itu telah diketahui bahwa sebagian besar kayu yang terdapat di Indonesia (sekitar 80-85%) mempunyai keawetan alami yang rendah sehingga mudah diserang oleh organisme perusak kayu, misalnya jamur dan rayap (Syafii 2000a). Organisme perusak tersebut dapat menyerang pohon, log, papan maupun barang-barang yang terbuat dari bahan kayu. Dilihat dari segi efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan, penyerangan kayu dan produk kayu oleh organisme tersebut sangat merugikan karena dapat memperpendek masa pakai kayu yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam rangka peningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan, khususnya kayu, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk memperpanjang masa pakai kayu, misalnya melalui proses pengawetan dengan bahan kimia.

Namun demikian, pengawet kayu yang digunakan sebagian besar merupakan bahan kimia sintetis non organik, sehingga memberikan dampak yang kurang menguntungkan bagi lingkungan karena bahan kimia tersebut bersifat non-biodegradable. Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha pemanfaatan zat ekstraktif yang terdapat di dalam kayu sebagai bahan pengawet alami.

Keawetan alami yaitu kemampuan kayu untuk menahan serangan organisme perusak kayu seperti jamur, rayap, bubuk dan lain-lain. Keawetan kayu tersebut disebabkan adanya zat ekstraktif di dalam kayu yang bersifat racun bagi organisme perusak kayu. Zat ekstraktif tersebut terbentuk pada saat kayu gubal berubah menjadi kayu teras sehingga pada umumnya kayu teras lebih awet dari kayu gubal.


(17)

Hal ini didukung oleh pernyataan Syafii (1996) bahwa komponen kimia tumbuhan yang terbukti memiliki sifat bioaktif adalah zat ekstraktif. Selain itu jenis kayu yang awet secara alami memiliki warna yang lebih gelap pada kayu terasnya dibandingkan dengan jenis kayu yang kurang awet. Warna yang secara alami terdapat pada kayu teras sebagai akibat adanya ekstraktif yang diendapkan pada saat pembentukan kayu teras tersebut.

Zat ekstraktif beberapa jenis kayu memang telah terbukti mengandung senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan organisme. Syafii (2000a) melaporkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai sifat anti rayap beberapa jenis kayu dan kulit (Da Costa dan Rudman 1958; Rudman 1961; Steller dan Labosky 1984) yang membuktikan bahwa ekstrak metanol kayu eukaliptus, ekstrak eter dan metanol kayu jati dan ekstrak kulit beberapa jenis kayu mempunyai sifat anti rayap yang sangat tinggi dan karena itu sangat mungkin dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami. Selain itu juga dilaporkan bahwa latifolin dan new neoflavonoid yang diisolasi dari kayu sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) mempunyai sifat bioaktif terhadap perkembangan Coptotermes curvignathus

Holmgren. Falah (2001) juga membuktikan bahwa zat ekstraktif kayu torem (Manilkara kanosiensis Lam.) dan kayu lara (Mterosideros petiolata Kds.) mengindikasikan peranannya sebagai racun terhadap serangan rayap tanah (C. curvignathus) dan jamur pelapuk (Schizophyllum commune Fries).

Beberapa peneliti lain juga telah berhasil mengisolasi dan mengidentifikasi komponen bioaktif dari berbagai jenis kayu dan telah pula membuktikan sifat aktivitas biologisnya terhadap pertumbuhan jamur maupun rayap. Alen (2000) menyebutkan komponen bioaktif yang terkandung dalam zat ekstraktif tersebut antara lain resin, alkaloid, quinon, flavonoid, isoflavon, tanin, lignan, fenol, alkana,

coumarins, dan stilbena. Dari penemuan-penemuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa keawetan alami kayu disebabkan karena adanya komponen bioaktif yang bersifat racun dan secara alami mempunyai kemampuan untuk menahan serangan organisme perusak kayu. Komponen-komponen bioaktif ini sangat mungkin untuk diisolasi dan selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan pengawet kayu alami.

Dengan demikian eksplorasi komponen bioaktif dari berbagai jenis kayu harus terus dilakukan untuk berbagai keperluan, baik untuk bahan farmasi, insektisida maupun fungisida. Salah satu jenis kayu rakyat yang potensial untuk dieksplorasi


(18)

komponen bioaktifnya adalah kayu manggis (Garcinia mangostana L.) yang cukup dikenal oleh masyarakat dan terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia. Selain dikenal sebagai penghasil buah, manggis juga banyak digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat tradisional yaitu sebagai sumber utama senyawa-senyawa fenolat turunan xanton, kumarin, benzofenon dan biflavon yang terprenilasi. Senyawa-senyawa tersebut memperlihatkan sifat bioaktivitas yang sangat menarik dan beragam, seperti anti-HIV, antileukimia, antikanker, antitumor, antiinflamasi, antihipertensi, obat penyakit hepatitis dan radang usus (Dharmaratne dan Wanigasekera 1996; Huang 2001; Peres dan Nagem 1997) dalam Ersam (2005).

Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui komponen bioaktif yang terkandung dalam kayu manggis yang kemungkinan bersifat racun bagi organisme perusak kayu, khususnya rayap tanah.

Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Berapa kadar ekstrak aseton dan fraksi n-heksan, fraksi etil eter serta fraksi etil asetat dari kayu manggis ?

2. Seberapa besar toksisitas zat ekstraktif kayu manggis terhadap rayap tanah ? 3. Fraksi apa yang paling aktif terhadap rayap yang terdapat dalam zat ekstraktif

tersebut ?

4. Senyawa apa yang terkandung dalam fraksi aktif kayu manggis ?

Hipotesis

Beberapa penelitian membuktikan bahwa manggis memperlihatkan bioaktivitas yang sangat beragam, seperti anti-HIV, antileukimia, antikanker, antitumor dan lain-lain yang dapat digunakan dalam industri farmasi. Selain-lain itu kayu manggis tergolong kayu yang awet dengan kelas keawetan II. Berdasarkan hal tersebut diduga komponen bioaktif yang terdapat dalam kayu manggis juga bersifat racun terhadap rayap tanah sehingga membuat kayu manggis memiliki ketahanan alami terhadap serangan rayap tanah.


(19)

Tujuan Penelitian

a. Menentukan kadar ekstrak aseton dan fraksi-fraksinya dari kayu manggis

b. Menghitung besarnya nilai mortalitas rayap dan kehilangan berat kertas uji yang diberi zat ekstraktif kayu manggis

c. Menentukan fraksi zat ekstraktif kayu manggis yang paling aktif terhadap rayap tanah

d. Mengisolasi dan menganalisis senyawa dalam fraksi aktif zat ekstraktif kayu manggis

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah memperoleh data dan informasi mengenai komponen bioaktif kayu manggis yang dapat dijadikan bahan bagi pengembangan penelitian mengenai zat ekstraktif kayu manggis serta untuk memperoleh bahan pengawet alami yang ramah lingkungan.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Keawetan Alami Kayu

Berbagai faktor eksternal seperti bakteri, jamur, serangga, organisme laut, iklim, mekanis, kimia, dan panas, dapat menyebabkan penurunan penampilan, struktur, atau komposisi kimia kayu. Menurut Tsoumis (1991), ketahanan suatu kayu yang digunakan tanpa perlindungan khusus (misalnya perlakuan pengawetan) terhadap faktor perusak dalam suatu rentang waktu tertentu disebut daya tahan atau durability. Salah satu faktor penentu keawetan alami kayu adalah jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang terdapat di dalam kayu yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu. Eaton dan Hale (1993) menyatakan bahwa serangan serangga perusak kayu juga dapat dicegah dengan adanya zat ekstraktif yang berperan sebagai toksikan terhadap mikroorganisme.

Secara alami kayu memiliki ketahanan terhadap serangan organisme perusak, salah satu faktor penyebab keawetan alami kayu adalah adanya zat ekstraktif yang bersifat racun yang menyebabkan kayu tersebut tahan terhadap serangan organisme perusak kayu. Selain itu terdapat beberapa faktor perusak yaitu faktor luar dan faktor dalam, di mana faktor luar berkaitan dengan kondisi lingkungan di mana kayu tersebut digunakan sedangkan faktor dalam adalah pengaruh komponen kimia dari kayu yang bersangkutan (Syafii 1996).

Menurut Scheffer dan Cowling (1966) dalam Syafii (2000a), kandungan zat ekstraktif dalam kayu merupakan penyebab utama keawetan alami kayu yang bersangkutan. Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh Hawley yang telah membuktikan bahwa : a) ekstrak dari kayu teras lebih bersifat racun terhadap organisme perusak dibandingkan dengan ekstrak dari kayu gubal dan b) keawetan alami kayu teras mengalami penurunan yang sangat tajam setelah kayu tersebut diekstraksi dengan air panas maupun dengan pelarut netral lainnya.

Zat Ekstraktif

Perubahan kayu gubal menjadi kayu teras disertai oleh pembentukan berbagai substansi zat organik yang dikenal sebagai zat ekstraktif. Hal inilah yang menyebabkan kayu teras lebih awet dibandingkan dengan kayu gubal (Pandit dan Ramdan 2002). Ekstraktif dapat dibagi menjadi fraksi lipofilik dan fraksi hidrofilik. Fraksi lipofilik meliputi lemak, lilin, terpena, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi. Sementara itu fraksi hidrofilik


(21)

meliputi senyawaan fenolik (tanin, lignan, stilbena), karbohidrat terlarut, protein, vitamin, garam anorganik (Achmadi 1990).

Berdasarkan pengaruhnya terhadap keawetan kayu, ekstraktif yang mempunyai pengaruh positif terhadap keawetan kayu antara lain senyawa fenol, terpena, alkaloid, saponine, flavonoid, stilbene, terpenoid, glikosida, chinone, tanin dan lain-lain, sedangkan yang berpengaruh negatif dalam arti mengurangi daya tahan kayu, misalnya zat gula, zat tepung dan lain-lain (Rudi et al. 2003).

Zat ekstraktif pada kayu teras dapat memberikan berbagai macam ketahanan pada pohon hidup terhadap agen-agen perusak meskipun sangat bervariasi pada berbagai habitat (Hillis 1987). Ekstraktif berpengaruh terhadap daya tahan, warna, bau dan rasa. Dalam beberapa jenis, ekstraktif fenol mempengaruhi ketahanan kayu terhadap kerusakan dan serangan serangga. Fenolik juga berpengaruh terhadap warna kayu. Minyak esensial atau volatil menimbulkan bau dan bersifat menolak serangga atau sebagai insektisida (Bodig dan Jayne 1992).

Fengel dan Wegener (1995) menambahkan bahwa di samping komponen-komponen dinding sel, terdapat juga sejumlah zat-zat yang disebut bahan tambahan atau ekstraktif kayu. Meskipun komponen-komponen tersebut hanya terdapat beberapa persen saja dari massa kayu, mereka dapat memberikan pengaruh yang besar pada sifat-sifat dan kualitas pengolahan kayu. Kandungan dan komposisi ekstraktif berbeda di antara jenis kayu, tempat tumbuh dan musim. Sejumlah kayu mengandung senyawa-senyawa yang dapat diekstraksi yang bersifat racun atau mencegah bakteri, jamur dan rayap. Banyaknya zat ekstraktif yang dapat diekstrak dari dalam kayu bergantung pada berbagai macam faktor yaitu jenis kayu, jenis pelarut, proses ekstraksi, ukuran serbuk dan kadar air serbuk (Syafii 2000a). Pada umumnya kandungan zat ekstraktif jenis-jenis kayu tropika berkisar antara 0,9%-6,2% ekstrak air panas dan 1,0% - 13,8% ekstrak etanol benzena (Rowe dan Conner 1978) dalam Syafii (2000a).

Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif

Syafii (2000b) melaporkan bahwa zat ekstraktif dari kayu Sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.) mempunyai sifat anti rayap. Ganapaty et al. (2004) mengemukakan bahwa enam jenis kuinon telah diisolasi dari ekstrak kloroform akar Diospyros sylvatica

dan diidentifikasi sebagai 2-metil-antrakuinon, plumbagin, diosindigo, diospyrin, isodiospyrin dan mikrofillon. Empat dari kuinon tersebut diuji terhadap rayap tanah


(22)

diekspos. Komponen anti rayap utama diidentifikasi sebagai plumbagin, isodiospyrin dan

mikrofillon sementara diospyrin tidak toksik terhadap rayap pada konsentrasi yang diuji. Peters dan Fitzgerald (2004) telah melakukan penelitian mengenai ketahanan beberapa jenis kayu Pinus terhadap serangan rayap tanah Coptotermes acinaciformis

(Froggat) dan Mastotermes darwiniensis Froggat. Hasilnya memperlihatkan bahwa kayu teras Maritime Pine (Pinus pinaster Aiton) dan F1 hybrid of slash pine (P. elliottii

Englem. var elliottii L. & D.) x Carribean pines (P. caribaea Morelet. var hondurensis

Barrett & Golfari) memiliki ketahanan yang tinggi terhadap kerusakan akibat serangan rayap tanah C. acinaciformis dan M. darwiniensis, jika digunakan pada keadaan bahaya kelas 2/Hazard Class 2 (H2 : internally above-ground).

Zat ekstraktif flavonoid dari kayu Japanese larch (Larix leptolepis) memperlihatkan sifat penolak yang tinggi terhadap aktivitas makan rayap tanah Coptotermes formosanus pada kertas uji yang digunakan dalam bio-assay test. Hal ini karena ekstraktif kayu Japanese larch mengandung flavonoid dalam jumlah yang cukup besar yang berpotensi menghambat aktivitas makan rayap tanah (Chen et al. 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Kartal et al. (2004) mengenai sifat anti rayap dan anti jamur filtrat BSF (Biomass slurry fuel) yang menggunakan kayu Sugi (Cryptomeria japonica) dan Acacia (Acacia mangium) memperlihatkan bahwa kayu yang diberi perlakuan meningkat ketahanannya terhadap serangan jamur brown-rot (Fomitopsis palustris). Filtrat kayu sugi yang mengandung senyawa fenolik yang lebih sedikit daripada filtrat lain efektif terhadap serangan jamur white-rot (Trametes versicolor). Senyawa fenolik dari filtrat kelihatannya mempunyai peranan dalam ketahanan terhadap kerusakan contoh uji, namun filtrat tidak meningkatkan keawetan kayu terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes formosanus). Walaupun kandungan asam asetat dan asam laktat dalam filtrat cukup tinggi, vanilin yang terkandung dalam filtrat mungkin menjadi tambahan makanan yang menarik bagi rayap.

Suatu percobaan mengenai aktivitas anti rayap minyak esensial dari daun yang diperoleh dari dua klon Cinnamomum osmophloeum (A dan B) dan kandungan kimianya telah diteliti terhadap Coptotermes formosanus Shiraki. Hasilnya memperlihatkan minyak esensial daun kayu manis lokal B memiliki aktivitas anti rayap yang lebih efektif daripada minyak esensial daun kayu manis lokal A. Selanjutnya ketika cinnamaldehid, eugenol, dan α–terpineol diekstrak dari minyak esensial daun kayu manis lokal dan digunakan pada dosis kuat 1mg/g, efektifitas anti rayapnya jauh lebih tinggi daripada ketika menggunakan minyak esensial daun kayu manis lokal. Di antara ketiga


(23)

komponen yang diuji tersebut, cinnamaldehid memperlihatkan sifat anti rayap yang paling kuat (Chang dan Cheng 2002).

Menurut Mitsunaga (2007), tanaman memproduksi metabolit sekunder sebagai perlindungan terhadap serangan dari luar, misalnya serangan rayap. Beberapa aktivitas biologis dan fisiologis dari ekstraktif tanaman yang telah diteliti di laboratorium

Department of Applied Life Science, Faculty of Applied Biological Science, Gifu Univesity, Japan, menunjukkan bahwa senyawa polifenol dari kayu tropika mempunyai efek anti rayap, anti jamur dan anti bakteri. Sari dan Syafii (2001) telah melakukan penelitian tentang sifat anti rayap zat ekstraktif kulit kayu jati dan diperoleh hasil bahwa ekstrak aseton kulit kayu jati memiliki sifat anti rayap rendah, sedangkan hasil fraksinasinya menunjukkan bahwa fraksi n-heksan 6% dan fraksi etil eter 8-10% memiliki sifat anti rayap sedang, fraksi n-heksan 10% memiliki anti rayap yang tinggi dan fraksi etil asetat dan residu memiliki sifat anti rayap yang sangat rendah.

Minyak nilam yang diperoleh dari Pogostemon cablin (Blanco) Benth dan konstituen utamanya, alkohol nilam, telah diuji sifat penolak dan toksisitasnya terhadap rayap tanah Formosan (Coptotermes formosanus Shiraki). Ditemukan bahwa keduanya bersifat menolak dan toksik terhadap rayap (Zhu et al. 2003). Minyak esensial dari 29 jenis tanaman telah diuji aktivitas insektisidanya terhadap rayap Jepang (Reticulitermes speratus Kolbe) menggunakan bioassay fumigasi. Aktivitas insektisida yang baik terhadap rayap Jepang diperoleh dari minyak esensial Melaleuca dissitiflora, M. uncinata, Eucalyptus citriodora, E. polybractea, E. radiata, E. dives, E. globulus, Orixa japonica, Cinnamomum cassia, Allium cepa, Illicium verum, Evodia officinalis, Schizonepeta tenuifolia, Cacalia roborowskii, Juniperus chinensis var. horizontalis, Juniperus chinensis var. kaizuka, clove bud dan garlic diaplikasikan pada 7,6 µL/L dari udara (Park dan Shin 2005).

Jalaluddin et al. (1995) melakukan penelitian mengenai respon rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) terhadap zat ekstraktif dari 6 jenis kayu tropika komersial di Malaysia yaitu cengal (Neobalnocarpus hemeii), merbau (Intsia palembanica), kempas (Koompasia malaccensis), keruing (Dipterocarpus sp.), meranti (Shorea sp) dan jelutung (Dyera costulata). Kehilangan berat kertas terkecil terjadi pada contoh uji yang diberi perlakuan zat ekstraktif dari kayu cengal dibandingkan dengan zat ekstraktif kayu lain.

Beberapa jenis kayu tertentu mempunyai daya tahan terhadap serangan rayap, jamur dan mikroorganisme perusak kayu lain. Hal tersebut disebabkan oleh zat


(24)

ekstraktif yang spesifik dari tiap jenis kayu. Sebagai contoh dalam kayu jati (Tectona grandis) terdapat senyawa tektokuinon dan pada kayu eboni (Diospyros virginia) mengandung senyawa 7-methyl juglone sebagai anti rayap (Carter et al. 1978) dalam Pari dan Sumarni (1990). Begitu pula dengan ekstrak tanin yang mengandung senyawa polifenol tinggi tahan terhadap serangan rayap dan jamur (Milie 1972) dalam Pari dan Sumarni (1990). Hasil penelitian Harun (1984) dalam Pari dan Sumarni (1990) yang mengekstrak kulit kayu Pinus resinosa, Quercus rubra dan Acer rubrum menunjukkan daya tahan terhadap serangan rayap Reticulitermes flavipes dan menghambat pertumbuhan jamur Lenzites trabea.

Salah satu sumberdaya alam hayati yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet alami adalah resin damar mata kucing yang diperoleh sebagai eksudat dari pohon S. javanica K. et V. Resin ini dapat dikembangkan sebagai bahan baku pengawet alami, karena diduga memiliki aktivitas insektisida yang efektif. Hal ini dipertegas oleh beberapa hasil penelitian yang membuktikan bahwa resin yang berasal dari tumbuhan famili Dipterocarpaceae menunjukkan aktivitas anti rayap yang tinggi. Resin dari

Dipterocarpus kerii, D. retusus, D. intricatus, D. haseltii dan D. grandiflorius diketahui mengandung senyawa bioaktif yang bersifat anti rayap Neutermes spp. dan anti-jamur

Cladosporium cucumerinum seperti humelene, caryophyllene, caryophylene oxide, α -gurjunene, alloaromadendrene dan calarene (Messer et al. 1990 dan Richardson et al. 1989) dalam Sari et al. (2004) . Setiawati et al. (2001) dalam Sari et al. (2004) juga melaporkan bahwa ekstrak kloroform dan ekstrak petroleum eter dari damar mata kucing memiliki sifat anti rayap yang cukup tinggi. Dari fraksi n-heksana diperoleh senyawa tunggal yang identik dengan senyawa friedelin, sedangkan dari fraksi dietil eter diperoleh 4 senyawa yang diduga masing-masing adalah vulgarol B; 3,4- Secodamar-4(28)-en-3-oic acid; (7R,10S)-2,6,10- Trimethyl-7,10–epoxy-2,11dode- cadien; dan

junipene (Sari et al. 2004).

Ekstrak dari tumbuh-tumbuhan, seperti dari kayu, kulit, daun, bunga, buah atau biji, diyakini berpotensi mencegah pertumbuhan jamur ataupun menolak kehadiran serangga perusak. Beberapa contoh misalnya nikotin dari daun tembakau, rotenoid dengan bahan aktif rotenon dari banyak spesies dari genus Tephrosia, Derris, Lonchocarpus, Miletia dan Mundilea, kemudian ekstrak dari biji Schoenocaulon officinale. Veratrine dari biji S. drummondii dan S. texanum adalah bahan-bahan beracun dari grup alkaloid. Ryania dari akar dan batang Ryania speciosa familia Flacourtiaceae, dengan bahan aktif alkaloid ryanodine, merupakan racun perut dan


(25)

kontak bagi serangga, sifatnya lebih stabil daripada rotenon dan veratrin (Sari dan Hadikusumo 2004).

Rayap Tanah

Rayap memerlukan kayu (selulosa ) sebagai makanan pokok dimana rayap mampu melumatkan kayu karena adanya protozoa flagellata dalam usus bagian belakang. Bagi yang tak memiliki protozoa seperti famili Termitidae, bukan protozoa yang berperan tetapi bakteri dan bahkan pada beberapa jenis rayap seperti

Macrotermes, Odontotermes dan Microtermes memerlukan bantuan jamur perombak kayu yang dipelihara di "kebun jamur" dalam sarangnya (Tarumingkeng 2001).

Penggolongan menurut habitat atau perilaku bersarang

Berdasarkan lokasi sarang utama atau tempat tinggalnya, rayap perusak kayu dapat digolongkan dalam tipe-tipe berikut :

1. Rayap pohon, yaitu jenis-jenis rayap yang menyerang pohon yang masih hidup, bersarang dalam pohon dan tak berhubungan dengan tanah. Contoh yang khas dari rayap ini adalah Neotermes tectonae (famili Kalotermitidae), hama pohon jati.

2. Rayap kayu lembab, menyerang kayu mati dan lembab, bersarang dalam kayu, tak berhubungan dengan tanah. Contoh : Jenis-jenis rayap dari genus Glyptotermes

(Glyptotermes spp., famili Kalotermitidae).

3. Rayap kayu kering, seperti Cryptotermes spp. (famili Kalotermitidae), hidup dalam kayu mati yang telah kering. Hama ini umum terdapat di rumah-rumah dan perabot-perabot seperti meja, kursi dsb. Tanda serangannya adalah terdapatnya butir-butir ekskremen kecil berwarna kecoklatan yang sering berjatuhan di lantai atau di sekitar kayu yang diserang. Rayap ini juga tidak berhubungan dengan tanah, karena habitatnya kering.

4. Rayap subteran, yang umumnya hidup di dalam tanah yang mengandung banyak bahan kayu yang telah mati atau membusuk, tunggak pohon baik yang telah mati maupun masih hidup. Di Indonesia rayap subteran yang paling banyak merusak adalah jenis-jenis dari famili Rhinotermitidae. Terutama dari genus Coptotermes

(Coptotermes spp.) dan Schedorhinotermes. Perilaku rayap ini mirip rayap tanah seperti Macrotermes namun perbedaan utama adalah kemampuan Coptotermes


(26)

dengan tanah, asal saja sarang tersebut sesekali memperoleh lembab.

Coptotermes curvignathus Holmgren sering kali diamati menyerang pohon Pinus merkusii dan banyak menyebabkan kerugian pada bangunan.

5. Rayap tanah. Jenis-jenis rayap tanah di Indonesia adalah dari famili Termitidae. Mereka bersarang dalam tanah terutama dekat pada bahan organik yang mengandung selulosa seperti kayu, serasah dan humus. Contoh-contoh Termitidae yang paling umum menyerang bangunan adalah Macrotermes spp. (terutama M. gilvus), Odontotermes spp. dan Microtermes spp. Jenis-jenis rayap ini sangat ganas, dapat menyerang obyek-obyek berjarak sampai 200 meter dari sarangnya. Untuk mencapai kayu sasarannya mereka bahkan dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa cm, dengan bantuan enzim yang dikeluarkan dari mulutnya.

Gambar 1. Ratu Rayap Dikelilingi Pekerja dan Prajurit (Tarumingkeng 2001).

Gambar 2. Rayap Prajurit (kiri) dan Pekerja (Kanan)(Pestproducts, 2008)

Dalam koloni setiap jenis rayap, terdapat beberapa kasta individu yang wujudnya berbeda, yaitu:

1. Kasta reproduktif terdiri atas individu-individu seksual yaitu betina (yang abdomennya biasanya sangat membesar) yang tugasnya bertelur dan jantan (raja) yang tugasnya membuahi betina.


(27)

2. Kasta prajurit . Kasta ini ditandai dengan bentuk tubuh yang kekar karena penebalan (sklerotisasi) kulitnya agar mampu melawan musuh dalam rangka tugasnya mempertahankan kelangsungan hidup koloninya.

3. Kasta pekerja. Kasta ini membentuk sebagian besar koloni rayap, dan tidak kurang dari 80 persen populasi dalam koloni merupakan individu-individu pekerja.

Nandika et al. (2003) menyatakan bahwa rayap adalah serangga yang berbadan kecil, bertubuh lunak dan hidup dalam suatu koloni (berkelompok), sehingga disebut serangga sosial dengan sistem kasta yang berkembang sempurna. Dalam setiap koloni terdapat tiga kasta yang menurut fungsinya masing-masing diberi nama kasta pekerja, kasta prajurit dan kasta reproduktif (reproduksi primer dan reproduksi suplementer).

Nandika et al. (2003) menambahkan bahwa dalam hidupnya rayap mempunyai beberapa sifat yang penting untuk diketahui yaitu :

1. Trophalaxis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul saling menjilat serta mengadakan pertukaran makanan

2. Cryptobiotic, yaitu sifat rayap untuk menjauhi cahaya. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap (calon kasta reproduktif) di mana mereka selama periode yang lebih pendek dalam hidupnya memerlukan cahaya

3. Necrophagy, yaitu sifat rayap untuk memakan bangkai sesamanya

4. Canibalism, yaitu sifat rayap memangsa sesamanya, terutama yang lemah dan sakit 5. Polimorfisme, yaitu bentuk-bentuk rayap yang berbeda antara kasta pekerja, prajurit

dan reproduktif.

Melihat sifat-sifat rayap tersebut di atas, maka pada pengujian aktivitas anti rayap yang digunakan adalah rayap dari kasta pekerja dan kasta prajurit yang sehat. Apabila selama percobaan didapati rayap yang mati, bangkai rayap segera dibuang mengingat rayap memiliki sifat kanibalisme dan necrophagy yang memakan individu sejenis yang lemah, sakit atau mati dan juga rayap yang mati akan diserang jamur dan menularkan penyakit kepada rayap lainnya. Ditambahkan oleh Nandika et al. (2003) bahwa C. curvignathus Holmgren memiliki daya serang yang paling tinggi dibandingkan dengan rayap lainnya sehingga dalam penelitian ini digunakan jenis C. curvignathus Holmgren. Hal tersebut disebabkan karena C. curvignathus memiliki kelimpahan populasi flagelata yang tinggi. Daya rusaknya yang sangat hebat nampaknya didukung oleh daya cerna


(28)

selulosa yang tinggi sehubungan dengan tingginya populasi flagelatanya dengan rata-rata 4682 ekor flagelata / rayap (Nandika dan Adijuwana 1995).

Manggis

Manggis merupakan pohon tropika yang hijau sepanjang tahun dan dipercaya sebagai tumbuhan asli dari daerah Sunda dan Maluku. Manggis terdapat juga di Kemaman Malaysia, Thailand, Kamboja, Vietnam, Singapura, India, Filipina, Queensland (jarang), Ekuador, Inggris. Departemen Pertanian Amerika Serikat menerima biji manggis dari Jawa tahun 1906 (Morton 1987

)

. Klasifikasi ilmiah manggis sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliofita Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Malpigiales Famili : Clusiaceae/Guttiferae

Genus : Garcinia

Spesies : Garcinia mangostana L.

Deskripsi

Pohon manggis mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat, tegak, dengan puncak berbentuk piramida, tinggi pohon sekitar 6 – 25 m, berwarna coklat gelap atau hampir gelap, kulitnya berlapis, kulit dalamnya mengandung getah berwarna kuning seperti karet dan terasa pahit. Pohon ini hijau sepanjang tahun, opposit, daun berbentuk oval atau elips, keras dan tebal, berwarna hijau tua, sedikit mengkilap, hijau kekuningan dan bagian bawahnya tumpul; panjang 9 - 25 cm, lebar 4 - 5 cm. Daun baru berwarna merah. Bunga mempunyai lebar 1½ sampai 2 inci, bisa jantan atau hermaprodit pada pohon yang sama. Bunga dibentuk sebanyak 3 - 9 buah per kelompok pada ujung cabang, 4 sepala dan 4 ovata, tebal, hijau dengan bintik merah di bagian luar, merah kekuningan di bagian dalam, dan banyak benang sari walaupun antera yang digugurkan tidak menghasilkan serbuk sari. Bunga hermaprodit dihasilkan satu per satu atau sepasang pada ujung cabang muda, di bagian pinggir petalanya berwarna hijau kekuningan atau merah dan cepat berkecambah.


(29)

Ada berbagai jenis nama untuk manggis antara lain di Spanyol dinamakan

mangostan, Prancis : mangostanier, mangoustanier, mangouste atau mangostier, Portugis : mangostao, mangosta atau mangusta, Belanda: manggis atau manggistan, Vietnam : mang cut, di Malaysia mesetor, semetah, atau sementah, di Filipina : mangis

atau mangostan (Morton 1987

).

Kayu

Di Thailand, semua pohon yang tidak dilurus akan ditebang, sehingga kayu yang tersedia biasanya dalam dimensi kecil. Warna kayunya coklat gelap, keras, umumnya tenggelam dalam air, dan memiliki keawetan sedang. Kayu manggis banyak dibuat sebagai gagang tombak/lembing, penumbuk padi, dan digunakan dalam konstruksi dan pembuatan lemari.

Kegunaan Sebagai Bahan Pengobatan

Serbuk dari irisan kulit buah manggis yang telah dikeringkan dapat digunakan untuk menanggulangi penyakit disentri. Selain itu juga dibuat sebagai salep untuk mengobati penyakit eksim dan penyakit kulit lainnya. Jamu yang dibuat dari kulit buah manggis digunakan untuk mengurangi diare, kista, gonorrhea, gleet dan sebagai

astringent lotion. Seporsi kulit buah direndam dalam air panas semalaman dan hasil rendamannya digunakan sebagai obat untuk diare kronis pada orang dewasa dan anak-anak. Di Filipina jamu-jamuan dari daun dan kulit digunakan sebagai febrifuge dan untuk mengobati sariawan, diare, disentri dan penyakit saluran kemih. Di Malaysia, hasil rendaman daun manggis dicampur dengan pisang mentah dan sedikit benzoin digunakan untuk mengobati luka sunat. Jamu yang terbuat dari akar manggis digunakan untuk mengatur menstruasi. Ekstrak kulit yang disebut "amibiasine", telah diperdagangkan sebagai obat disentri yang disebabkan oleh amoeba (Morton 1987

).

Garcinia mangostana L. umumnya ditemukan di Asia Selatan dan Asia Tenggara sebagai penghasil buah dan dikenal pula sebagai obat tradisional penyakit kulit (Burkill 1996; Perry and Metzger 1980) dalam Nilar et al. 2005. Penelitian untuk mengidentifikasi komponen aktif biologis dari sumber alami, polyoxygenated xanthone mangostanol baru yang telah diisolasi dari kulit buah Garcinia mangostana, mangostanol, α–mangostin dan γ–mangostin menunjukkan efek penghambatan yang sedang terhadap cAMP phosphodiesterase (Chairungsrilerd et al. 1996).


(30)

Tiga genus penting dari Famili Clusiaceae atau Guttiferae yaitu Garcinia, Calophyllus dan Mammea, dikenal sebagai sumber utama senyawa-senyawa fenolat turunan xanton, kumarin, benzofenon dan biflavon yang terprenilasi. Dari sejumlah senyawa yang telah ditemukan pada spesies-spesies dalam taksa ini, memperlihatkan sifat bioaktivitas yang sangat menarik dan beragam, seperti anti-HIV, antileukimia, antikanker, antitumor, antiinflamasi, antihipertensi, obat penyakit hepatitis dan radang usus (Dharmaratne dan Wanigasekera 1996; Huang 2001; Peres dan Nagem 1997) dalam Ersam 2005. Afinitas kimiawi dalam satu spesies memiliki hubungan kekerabatan stuktur yang sama dan dibedakan oleh gugus fungsional yang tersubstitusi pada kerangka dasar xanton. Fakta ini memperkuat hipotesis tentang kandungan kimiawi suatu spesies yang sama pada dasarnya sama, perbedaan yang terjadi dapat ditimbulkan oleh perbedaan kuantitas dari masing-masing senyawa yang dihasilkan, dipengaruhi oleh ekosistem tempat tumbuhan tersebut (Ersam 2005).


(31)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan dari bulan Januari 2008 - Juni 2008 bertempat di Bagian Kimia Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Serpong Tangerang.

Bahan dan Alat

Bahan

Kayu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian teras kayu manggis (Garcinia mangostana L.) yang berumur ± 17 tahun dengan diameter 35 cm dan diperoleh dari daerah Leuwiliang Bogor.

Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi dan fraksinasi adalah aseton, n-heksan, etil eter, dan etil asetat. Bahan lain yang digunakan seperti pasir, air destilata, dan alkohol 70%. Bahan untuk kromatografi lapis tipis (KLT) adalah lempeng silika gel GF254 (produk E. Merck 05554), metanol, kloroform, aseton, n-heksan, etil eter, etil

asetat dan etanol. Untuk kromatografi kolom digunakan silika gel 60 F254 (produk E.

Merck 1.07734), glass wool, n-heksan dan etil asetat. Untuk pengujian sifat bioaktif terhadap rayap digunakan kertas selulosa dan rayap tanah Coptotermes curvignathus

Holmgren.

Alat

Peralatan yang digunakan adalah Willey mill (untuk membuat serbuk), saringan ukuran 40 dan 60 mesh, vacuum rotary evaporator, alat timbang, oven (suhu 103±20C dan 40-600C), perangkat ekstraksi, aluminium foil , autoclave, dan peralatan gelas (erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, cawan petri, funnel separator, pipet kaca, dan lain-lain). Untuk identifikasi komponen bioaktif digunakan Coloumn Cromatography (CC),

Liquid Cromatography Mass Spectroscopy (LC-MS) dan Nuclear Magnetic Resonance


(32)

Metode Penelitian

Ekstraksi serbuk kayu

Untuk mendapatkan ekstraktif dari kayu manggis yang akan diteliti maka diambil 2000 gram serbuk kayu teras dengan ukuran 40 - 60 mesh, lalu dimasukkan ke dalam stoples dan direndam dengan pelarut aseton dengan perbandingan tinggi serbuk dan pelarut 1 : 3. Larutan ini harus dikocok sesering mungkin dan setelah 48 jam larutan tersebut disaring dengan kertas saring. Perlakuan ini dilakukan hingga diperoleh larutan yang jernih sehingga dianggap semua ekstraktif sudah diperoleh. Selanjutnya larutan ekstrak disimpan dalam wadah yang tertutup rapat.

Ekstrak Aseton

Ekstrak aseton yang diperoleh selanjutnya dievaporasi dengan menggunakan

vacuum rotary evaporator pada suhu maksimum 40oC hingga diperoleh volume sebanyak 1 liter. Kemudian dari jumlah tersebut diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang telah diketahui beratnya kemudian dioven dengan suhu ± 60oC sampai ekstrak mengeras, setelah dingin lalu ditimbang sehingga diketahui berat kering ekstrak aseton yang diperoleh. Kandungan ekstrak aseton dihitung berdasarkan persentase berat padatan ekstrak aseton dengan berat serbuk kering tanur.

Fraksinasi Bertingkat

Dari 990 ml larutan ekstrak aseton yang tersisa, diambil sebanyak 500 ml dan dievaporasikan hingga diperoleh volume sebanyak 100 ml. Larutan ekstrak aseton yang telah kental tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam funnel separator, kemudian ditambahkan pelarut n-heksan sebanyak 75 ml. Campuran ini selanjutnya dikocok dan dibiarkan sampai terjadi pemisahan antara pelarut aseton dengan n-heksan. Setelah terjadi pemisahan, selanjutnya fraksi terlarut heksan dipisahkan dari residu. Fraksi n-heksan yang diperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalam gelas dan ditutup rapat. Fraksinasi ini dilakukan sampai larutan jernih.

Residu hasil fraksinasi dengan n-heksan yang tertinggal dalam funnel separator


(33)

dikocok dan dibiarkan sampai terjadi pemisahan seperti halnya fraksinasi dengan n-heksan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut etil eter dipisahkan dan disimpan pada gelas yang tertutup rapat. Fraksinasi ini juga dilakukan sampai larutan jernih. Tahapan terakhir dari fraksinasi bertingkat ini adalah dengan menggunakan pelarut etil asetat. Residu hasil fraksinasi dengan pelarut etil eter selanjutnya difraksinasi dengan pelarut etil asetat sebanyak 75 ml. Fraksinasi ini dilakukan sama seperti fraksinasi dengan tiga pelarut sebelumnya.

Secara skematis fraksinasi bertingkat dapat dilihat pada Gambar 3 berikut :

Keterangan : * Uji anti rayap (Syafii 2000b).

Gambar 3. Skema fraksinasi bertingkat terhadap zat ekstraktif kayu manggis Serbuk Kayu Teras Manggis

2000 g

Ekstrak Aseton*

Residu Fraksi Etil Eter*

Residu

Fraksi n-heksan*

Residu*

Fraksi Etil Asetat*

Ekstraksi Aseton

Fraksinasi n-heksan

Fraksinasi etil eter


(34)

Pengujian Sifat Anti Rayap

Pengujian sifat anti rayap ekstrak aseton dan masing-masing fraksinya dilakukan dengan menggunakan metode anti feedant bio-assay test seperti yang digunakan oleh Ohmura et al. (1997) yang diacu dalam Syafii (2000a) dengan beberapa modifikasi. Rayap yang digunakan dalam pengujian ini adalah C. curvignathus. Pada pengujian ini, semua jenis zat ekstraktif dilarutkan dalam pelarut aseton. Zat ekstraktif tersebut kemudian diteteskan sebanyak 0,2 ml pada contoh uji kertas masing-masing dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, dan 10% (b/b). Sebagai kontrol digunakan contoh uji yang tidak diberi perlakuan zat ekstraktif, tetapi hanya diberi perlakuan pelarut aseton (perlakuan dengan konsentrasi 0%) dan contoh uji tanpa perlakuan apapun. Setelah contoh uji tersebut dikering-udarakan untuk menghilangkan pelarut aseton, lalu dimasukkan ke dalam gelas uji. Ke dalam gelas uji tersebut selanjutnya dimasukkan 50 ekor rayap sehat dan aktif yang terdiri atas 45 ekor rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit. Rayap pekerja berfungsi untuk mendegradasi contoh uji, sedangkan rayap prajurit untuk menstabilkan koloni rayap dalam gelas uji tersebut. Gelas uji lalu ditutup dengan kain hitam. Selanjutnya diletakkan di atas bak plastik yang terisi air untuk mengatur kelembaban dalam gelas uji. Secara skematis pengujian anti rayap ini dapat dilihat pada Gambar 2. Pengumpanan ini dilakukan selama 4 minggu. Mortalitas rayap dan laju konsumsi (dinyatakan dalam bentuk kehilangan berat contoh uji) dihitung pada akhir pengamatan.

Penentuan persentase kematian rayap dilakukan pada minggu keempat dengan menggunakan rumus :

Ki = Mi x 100 % 50

Di mana :

Ki : Persen kematian rayap pada contoh uji ke-i (%) Mi : Jumlah mortalitas rayap pada contoh uji ke-i

Perhitungan berat contoh uji dilakukan pada minggu keempat pengamatan. Perhitungan persentase penurunan berat contoh uji menggunakan persamaan berikut :


(35)

A = B0 – B1 x 100% B0

Dimana :

A : Persentase penurunan berat (%)

B0 : Berat contoh uji sebelum pengumpanan (gram) B1 : Berat contoh uji setelah pengumpanan (gram)

Gambar 4. Pengujian sifat anti rayap zat ekstraktif kayu manggis

Nilai mortalitas rayap yang diperoleh kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa

kategori tingkat aktivitas zat ekstraktif sebagaimana tercantum pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1 Klasifikasi Tingkat Aktivitas Anti Rayap Ekstrak Kayu Manggis

Mortalitas (%) Tingkat Aktivitas

m ≥ 95 Sangat Kuat 75 ≤ m < 95 Kuat

60 ≤ m < 75 Cukup Kuat 40 ≤ m < 60 Sedang 25 ≤ m < 40 Agak Lemah 5 ≤ m < 25 Lemah m < 5 Tidak Aktif

Keterangan : Prijono (1998)

* *

* * * *

Kertas uji Penutup botol uji

Plastik alas kertas uji Pasir


(36)

Selain nilai mortalitas, aktivitas antirayap ekstrak juga ditentukan melalui penghambatan aktivitas makan (antifeedant) yang dihitung pada akhir pengumpanan dengan menggunakan rumus Ohmura et al. (2000) sebagai berikut :

KK - EE

A = x 100% KK + EE

Dimana :

A : Nilai penghambat aktivitas makan kertas uji berekstrak (%) KK : Kehilangan berat kertas uji kontrol (g)

EE : Kehilangan berat kertas uji berekstrak (g)

Kategori tingkat penghambatan aktivitas makan (antifeedant) rayap dicantumkan pada tabel berikut :

Tabel 2 Klasifikasi Tingkat Penghambatan Makan (Antifeedant) Ekstrak Kayu Manggis

NilaiAntifeedant (%) Tingkat Aktivitas

Kelas IV ( 75 ≤ A < 100) Sangat Kuat Kelas III ( 50 ≤ A < 75) Kuat

Kelas II ( 25 ≤ A < 50) Sedang Kelas I ( 0 ≤ A < 25) Lemah Keterangan : Ohmura et al. (2000).

Isolasi Fraksi Teraktif Ekstrak Kayu Manggis dengan Kromatografi Kolom

Fraksi yang diuji lebih lanjut adalah fraksi etil asetat karena fraksi ini memperlihatkan sifat antirayap yang paling tinggi dibandingkan dengan fraksi-fraksi lainnya. Fraksi ini kemudian dilakukan pemisahan lebih lanjut dengan mempergunakan kromatografi kolom.

Kolom yang dipergunakan berukuran panjang 60 cm dengan diameter 3 cm, silika gel berukuran 270 mesh sebanyak 150 gram yang akan berfungsi sebagai fase diam. Sebelum digunakan, silika gel dicampur dengan pelarut etil asetat kemudian diaduk selama ± 10 menit, setelah itu larutan tersebut dibiarkan selama 24 jam agar terbentuk larutan yang homogen dan udara yang terdapat dalam larutan dapat keluar semua.

Pengoperasian kromatografi kolom dimulai dengan pemasangan kolom yang telah bersih pada statif secara tegak lurus. Bagian dasar kolom diisi dengan glass wool dan ditekan-tekan sampai padat dan diisi dengan sepertiga pelarut yang akan digunakan.


(37)

Setelah itu silika gel yang telah disuspensikan dengan eluen kemudian dimasukkan ke dalam kolom sedikit demi sedikit agar lapisannya seragam hingga mencapai tinggi sepertiga kolom. Eluen dibiarkan mengalir sehingga silika gel di dalam kolom menjadi padat dan permukaannya rata. Untuk meningkatkan kepadatan dan penyebaran silika di dalam kolom agar menjadi lebih rata , kolom digetarkan selama beberapa saat.

Ekstrak yang akan dimasukkan dalam kolom terlebih dahulu dilarutkan dalam aseton kemudian dimasukkan dengan cara diteteskan ke sekeliling kolom dengan pipet. Eluen dibiarkan mengalir ke dalam kolom dan masing-masing fraksi yang diperoleh ditampung dalam tabung reaksi sebanyak 6 ml. Pada fraksi yang diperoleh kemudian dilakukan pengecekan bercak dengan KLT dan jika tidak terdapat bercak, maka eluen dilanjutkan dengan komposisi yang lebih polar. Untuk bercak yang tidak tampak dengan mata biasa dicek dengan menggunakan sinar UV (merk Heraeus 254 nm). Fraksi yang mempunyai bercak kromatogram yang sama digabung menjadi satu. Apabila telah memperoleh bercak tunggal dan terbentuk kristal, berarti telah memperoleh senyawa tunggal.

Identifikasi Komponen Bioaktif

Identifikasi senyawa dari fraksi aktif dilakukan dengan menggunakan spektrometri NMR (1H-NMR dan 13C-NMR) untuk menentukan kedudukan atom hidrogen dan karbon dan LC-MS untuk mengetahui berat molekul senyawa tersebut. Dari hasil spektrometri NMR dan LC-MS tersebut lalu diidentifikasi dan ditentukan nama dan struktur molekulnya.


(38)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Zat Ekstraktif Kayu Manggis

Ekstraksi dengan pelarut aseton terhadap 2.000 g serbuk kayu teras manggis dengan kadar air 8,56% menghasilkan ekstrak aseton sebesar 36 g atau 1,95% berdasarkan berat kering oven kayu. Ekstrak aseton ini kemudian difraksinasi secara bertingkat menggunakan metode ekstraksi pelarut-pelarut yang tidak bercampur (solvent-solvent extraction) berturut-turut dengan n-heksan, etil eter, dan etil asetat. Adapun hasil fraksinasinya dapat dilihat pada Tabel 3 berikut :

Tabel 3 Kadar Zat Ekstraktif Hasil Fraksinasi Terhadap Ekstrak Aseton Kayu Manggis

Fraksi terlarut Berat padatan (g) *) Kadar ekstraktif (%)*)

N-heksan 3,40 0,18

Etil eter 10,70 0,58

Etil asetat 3,44 0,19

Residu

Ekstrak Aseton

18,46 36

1,00 1,95

Keterangan : *) dihitung berdasarkan berat kering oven

Dari tabel di atas terlihat bahwa residu mempunyai nilai yang paling besar (1,00%) dibandingkan dengan fraksi lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa masih banyak jenis senyawa yang tidak dapat larut dalam pelarut yang digunakan. Namun demikian, jumlah fraksi etil eter juga mempunyai nilai yang cukup besar (0,58%) dibandingkan dengan fraksi n-heksan (0,18%) dan etil asetat (0,19%) yang berarti bahwa senyawa-senyawa yang terdapat dalam ekstrak aseton kayu manggis cenderung bersifat semi polar.

Selain jumlah, kondisi fisik ekstrak aseton kayu manggis dan fraksi-fraksinya juga memiliki warna yang berbeda-beda (Gambar 5). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh jenis senyawa yang larut dalam masing-masing fraksi tersebut. Hasil fraksinasi dengan n-heksan menghasilkan fraksi yang berwarna kuning muda dan pada saat dikeringkan (suhu 40-60oC), fraksi n-heksan sulit kering dibandingkan dengan fraksi lainnya. Hal tersebut diduga disebabkan karena fraksi n-heksan mengandung minyak-minyak (fixed oils), sebagaimana yang dikemukakan oleh Houghton dan Raman (1998) bahwa n-heksan dapat melarutkan fixed oils dan volatile oils. Adapun larutan fraksi etil eter berwarna coklat pekat dan fraksi etil asetat larutannya berwarna merah bata.


(39)

Jika dibandingkan dengan kandungan ekstrak aseton kayu sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.), kayu torem (Manilkara kanoensis Lam.), dan kayu damar laut (Hopea spp.) yang kandungan ekstrak asetonnya masing-masing sebesar 8,23%, 6,05%, 4,53% kandungan ekstrak aseton kayu manggis lebih rendah, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan kayu eboni (Diospyros polisanthera Blanco.) yang kandungan ekstrak asetonnya hanya 1,15% (Syafii 2001). Tsoumis (1991) mengemukakan bahwa kandungan zat ekstraktif sangat bervariasi mulai kurang dari 1% sampai lebih dari 10% (berat kering oven) tergantung jenis kayu, terutama antara kayu gubal dan kayu teras.

Variasi kadar zat ekstraktif yang diperoleh dipengaruhi oleh jenis senyawa yang terdapat dalam contoh uji dan kelarutan senyawa tersebut dalam pelarut yang digunakan. Achmadi (1990) menyebutkan bahwa senyawa-senyawa yang dapat larut di dalam etil eter adalah senyawa dari kelompok asam lemak (lemak, lilin, resin, asam resin, dan sterol). Sedangkan Houghton & Raman (1998) menyatakan bahwa fraksi n-heksan mengandung senyawa jenis lemak, lilin, fixed oils dan volatile oils. Senyawa yang dapat larut dalam fraksi etil asetat adalah kelompok alkaloid, aglikon, dan glikosida.

Gambar 5. Kondisi Fisik Ekstrak Aseton dan Fraksi-Fraksinya.

Berbeda halnya dengan ekstrak aseton kayu manggis, fraksi etil eter merupakan fraksi yang dominan dalam ekstrak aseton kayu sonokeling dan kayu sonokembang dengan kandungan fraksi etil eter 6,87% dan 3,77% dari kadar aseton dalam kayu masing-masing 8,23% dan 6,40%, sedangkan fraksi dominan dari kayu eboni adalah fraksi n-heksan (0,50%) dan fraksi dominan ekstrak aseton kayu johar adalah fraksi


(40)

residu (3,01%) (Syafii 2001). Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan fraksi dominan dalam ekstrak aseton setiap jenis kayu berbeda-beda tergantung jenis zat ekstraktif yang terkandung di dalam jenis-jenis kayu tersebut.

Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kayu Manggis

Zat ekstraktif dikatakan aktif terhadap serangga (anti rayap) apabila memiliki nilai mortalitas (kematian) dan penghambat makan (antifeedant) yang tinggi. Parameter yang digunakan dalam pengujian sifat anti rayap zat ekstraktif kayu manggis ini adalah mortalitas rayap C. curvignathus Holmgren dan kehilangan berat kertas uji selulosa.

Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren.

Indikator yang digunakan untuk melihat aktivitas anti rayap dari zat ekstraktif adalah mortalitas rayap C. curvignathus Holmgren. Nilai mortalitas yang tinggi menunjukkan ekstrak memiliki aktivitas anti rayap yang tinggi. Persentase nilai rataan mortalitas rayap ini disajikan pada tabel berikut:


(41)

Tabel 4 Mortalitas Rata-Rata Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren Setelah Diumpankan Selama 4 Minggu

Jenis Fraksi Kons.

(%)

Mortalitas (%)

Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

Kontrol 1 Kontrol 2 Aseton n-Heksan Etil Eter Etil Asetat Residu 0% 0% 2% 4% 6% 8% 10% 2% 4% 6% 8% 10% 2% 4% 6% 8% 10% 2% 4% 6% 8% 10% 2% 4% 6% 8% 10% 0,00 2,00 11,33 12,7 25,33 32,00 52,00 2,00 36,67 5,33 18,67 45,33 3,33 9,33 1,33 43,33 8,00 0,00 67,33 10,67 24,00 1,33 2,67 0,00 3,33 1,33 0,00 6,00 12,00 51,33 71,33 100,00 100,00 100,00 6,67 100,00 100,00 100,00 100,00 40,00 77,33 100,00 100,00 100,00 34,67 100,00 100,00 100,00 100,00 6,00 0,67 5,33 6,00 9,33 46,00 37,33 100,00 72,67 100,00 100,00 100,00 39,33 100,00 100,00 100,00 100,00 66,67 100,00 100,00 100,00 100,00 47,33 100,00 100,00 100,00 100,00 15,33 12,67 14,00 36,67 34,67 72,67 76,67 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 72,67 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 71,33 71,33 74,00 42,00 40,67 Keterangan : Kontrol 1 : Kertas uji tanpa perlakuan

Kontrol 2 : Kertas uji diberi perlakuan dengan aseton

Tampak adanya pengaruh yang berbeda dari setiap jenis fraksi (n-heksan, etil eter, etil asetat, dan residu) dan tingkat konsentrasi yang digunakan terhadap nilai mortalitas rayap. Hal ini disebabkan oleh jenis dan taraf konsentrasi zat ekstraktif yang berbeda pada masing-masing ekstrak. Fraksi-fraksi tersebut memperlihatkan nilai mortalitas yang sangat tinggi (100%), kecuali residu. Tingginya nilai mortalitas rayap tersebut diduga disebabkan oleh karena adanya efek termitisida dari senyawa-senyawa fenolik yang terlarut dalam pelarut etil asetat dan etil eter. Pelarut-pelarut semipolar ini merupakan pelarut yang efektif untuk mendapatkan senyawa kimia golongan hidrofilik seperti fenolik dan terpenoid.


(42)

Fraksi n-heksan kayu lara juga menunjukkan daya racun yang tinggi terhadap rayap karena mengandung senyawa asam p-hidroksibenzoat, asam vanilat, dan asam siringal (Syafii 2001). Sementara Syafii (2003) menyebutkan bahwa senyawa kimia yang dapat diidentifikasi dari fraksi n-heksan kayu sawo kecik (Manilkara kauki Dubard.) dan kayu tanjung (Mimusops elengi Linn.) menggunakan kromatrografi gas spektromassa (GC-MS) adalah asam oleat, tetradekana, tridekana, heptadekana 2 metil, dan isoborneol, sedangkan komponen utama pada fraksi n-heksan kayu damar laut antara lain 1-heptadekana, 3-oktadekana, 2-naptalenol, dibutil ptalat, asam heksadekanoat, tarasasterol, dan 9-eikosena(Syafii 2000c).

Hasil pengumpanan dengan fraksi residu menunjukkan nilai mortalitas rayap yang rendah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai mortalitasnya dimana setelah 2 minggu pengumpanan, mortalitas fraksi-fraksi lain umumnya sudah mencapai 100% sementara residu justru menunjukkan kecenderungan penurunan nilai mortalitas dengan peningkatan kadar ekstrak. Hal ini terjadi diduga karena dalam residu terkandung senyawa-senyawa yang kemungkinan menjadi tambahan makanan bagi rayap sehingga membuat mereka lebih survive dalam pengujian, sebagaimana yang dikemukakan oleh Kartal et al. (2004) bahwa filtrat kayu sugi dan Acacia mangium tidak tahan terhadap serangan rayap diduga karena dalam filtrat tersebut terkandung vanilin yang kemungkinan menjadi tambahan makanan yang menarik bagi rayap.

Fraksi teraktif setiap jenis kayu berbeda-beda tergantung jenis zat ekstraktif yang dikandungnya. Penelitian Syafii (2001) memperlihatkan fraksi teraktif ekstrak aseton kayu sonokeling adalah fraksi n-heksan diikuti fraksi etil eter, sedangkan fraksi teraktif kayu torem dan kayu lara adalah fraksi residu. Pada kulit jati (Tectona grandis L.f.), fraksi n-heksan menunjukkan sifat anti rayap tertinggi (Sari & Syafii 2001).

Sementara itu, tingginya nilai mortalitas kontrol (kontrol 1 : 72,67% dan kontrol 2 : 76,67%) diduga disebabkan oleh karena rayap mengalami stress karena tidak dapat beradaptasi dengan suasana di dalam botol uji dan tidak ada pilihan makanan lain selain kertas uji.

Jika dibandingkan dengan mortalitas kontrol, nilai mortalitas setiap minggu dari fraksi-fraksi jauh lebih tinggi, kecuali residu. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Syafii (2001)yang memperlihatkan fraksi etil asetat ekstrak aseton kayu eboni dan kayu sonokeling kurang aktif terhadap rayap C. curvignathus Holmgren. Dengan metode kromatrografi lapis tipis dan kromatrografi gas spektromassa (GC-MS) diketahui kandungan komponen utama pada fraksi etil asetat kayu damar laut yaitu asam


(43)

oktadekanoat, asam-9-oktadekanoat, 1,2-benzaldikarboksilat diiso etil ester, dan asam eikosadienoat metil ester (Syafii 2000c).

Gambar 6 memperlihatkan bahwa semua jenis ekstrak yang diuji menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan ke dalam contoh uji menghasilkan nilai mortalitas rayap yang semakin besar.

MORTALITAS RAYAP TANAH SETELAH EMPAT MINGGU PENGUMPANAN

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00

0% 2% 4% 6% 8% 10%

Konsentrasi Zat Ekstraktif

M ort a li ta s R a y a p Ta na h (% )

Kontrol 1 Kontrol 2 Aseton N-Hexan Etil Eter Etil Asetat Residu

Gambar 6. Hubungan Antara Konsentrasi Ekstrak Aseton Kayu Manggis dan Fraksi- Fraksinya dengan Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren

Berdasarkan klasifikasi tingkat aktivitas anti rayap ekstrak (Prijono 1998), fraksi n-heksan dengan konsentrasi 2% tergolong cukup kuat (72,67%), tetapi pada konsentrasi 4-10% nilai mortalitasnya 100% yang tergolong sangat kuat. Lain halnya dengan fraksi etil eter, ,etil asetat dan ekstrak kasar aseton pada semua tingkat konsentrasi memiliki tingkat aktivitas yang tergolong sangat kuat karena mortalitasnya setelah empat minggu pengumpanan adalah 100%, sedangkan residu pada konsentrasi 2-6% tergolong cukup kuat tetapi pada konsentrasi 8-10% tergolong sedang.

Kehilangan Berat Contoh Uji Kertas Selulosa

Parameter kedua yang digunakan dalam pengujian sifat anti rayap adaIah laju konsumsi rayap tanah C. curvignathus Holmgren yang menunjukkan besarnya kehilangan berat kertas uji selulosa setelah diumpankan selama 4 minggu. Semakin tinggi persentase kehilangan berat kertas uji mengindikasikan semakin rendah sifat anti rayap dari ekstrak uji. Nilai rata-rata kehilangan berat contoh uji kertas selulosa disajikan pada tabel berikut:


(44)

Tabel 5 Kehilangan Berat Rata-Rata Contoh Uji Kertas Selulosa Setelah Diumpankan pada Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren Selama Empat Minggu

Jenis Fraksi Konsentrasi (%) Kehilangan Berat (%)

Kehilangan Berat Rata-Rata (%) Kontrol 1 Kontrol 2 Aseton n-Heksan Etil Eter Etil Asetat Residu 0 0 2 4 6 8 10 2 4 6 8 10 2 4 6 8 10 2 4 6 8 10 2 4 6 8 10 48,89 51,97 24,41 19,44 2,22 3,42 2,50 41,78 17,59 6,67 8,55 4,94 20,19 6,57 1,33 5,98 3,29 32,39 2,72 1,75 3,38 1,65 50,24 50,63 55,70 52,74 55,56 10,40 15,91 7,47 8,38 52,97

Kehilangan berat contoh uji sangat bervariasi bergantung pada jenis fraksi dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji, yaitu berkisar 1,33% sampai 55,70%. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka kehilangan berat kertas uji tersebut umumnya juga semakin kecil (Gambar 7), kecuali pada fraksi residu. Hal ini terjadi karena tingginya mortalitas rayap yang terjadi dimana nilai kehilangan berat ini berbanding terbalik dengan nilai mortalitas rayap yang berarti bahwa semakin tinggi mortalitas rayap maka kehilangan berat kertas akan semakin kecil.


(45)

KEHILANGAN BERAT KERTAS UJI SETELAH DIUMPANKAN TERHADAP RAYAP TANAH

0.000 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000

Kontrol 1 Kontrol 2 Aseton N-Hexan Etil Eter Etil Asetat Residu

Jenis Fraksi K e h il a n g a n B e ra t (% ) 0% 2% 4% 6% 8% 10%

Gambar 7. Hubungan Antara Konsentrasi Ekstrak Aseton Kayu Manggis dengan Kehilangan Berat Kertas Uji Selulosa

Di antara fraksi-fraksi yang diuji, fraksi etil asetat dan fraksi etil eter menunjukkan nilai kehilangan berat kertas yang lebih rendah dibandingkan dengan fraksi n-heksan dan residu. Hal ini ditunjukkan oleh data kehilangan berat yang rendah dari fraksi etil eter (1,33% - 20,19%), demikian juga dengan fraksi etil asetat kehilangan berat kertas ujinya berkisar antara 1,65% - 32,39%, fraksi n-heksan 4,94% - 41,78 dan fraksi residu menunjukkan kehilangan berat kertas uji terbesar (50,24% - 55,70%) yang bahkan lebih tinggi jika dibandingkan dengan kehilangan berat kertas uji kontrol 1 (48,89%) dan kontrol 2 (51,97%). Sebagaimana telah dikemukakan bahwa nilai kehilangan berat kertas ini berbanding terbalik dengan nilai mortalitas, maka pada residu kehilangan beratnya menjadi tinggi karena nilai mortalitas rayap pada residu ini cukup rendah.

Berdasarkan pengujian bioassay yang mengukur kehilangan berat kertas uji, fraksi teraktif dalam ekstrak aseton dari hasil penelitian ini berbeda dengan fraksi teraktif dalam ekstrak aseton dari jenis kayu yang berbeda. Fraksi dalam ekstrak aseton kayu manggis yang memiliki nilai kehilangan berat terendah adalah etil eter disusul kemudian oleh fraksi etil asetat, sedangkan kehilangan berat kertas uji terendah pada kayu lara misalnya, adalah fraksi residu (Syafii 2001). Namun demikian untuk menentukan fraksi teraktif dalam ekstrak aseton kayu manggis bukan hanya melihat nilai kehilangan berat kertas tetapi juga melihat nilai mortalitas rayap yang terjadi. Berdasarkan nilai mortalitas, pada konsentrasi 4% di minggu kedua pada fraksi etil asetat sudah menunjukkan nilai 100% sementara pada konsentrasi yang sama dan waktu yang sama,


(46)

nilai mortalitas fraksi etil eter baru 77,33%, sehingga disimpulkan bahwa fraksi teraktif dalam ekstrak aseton kayu manggis adalah fraksi etil asetat.

Gambar 8. Kondisi Kertas Uji pada Beberapa Taraf Konsentrasi Setelah Diumpankan pada Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren.

Berdasarkan nilai mortalitas rayap tanah C. curvignathus Holmgren seperti yang tercantum pada Gambar 5 dan kehilangan berat kertas uji (Gambar 6), dapat disimpulkan bahwa semua fraksi yang diuji diduga mengandung senyawa bioaktif yang bersifat racun terhadap rayap karena pemberian fraksi-fraksi tersebut pada kertas uji dapat mematikan rayap dengan nilai mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan kontrol meskipun dalam keampuhan yang berbeda kecuali fraksi residu. Nilai mortalitas tertinggi sampai terendah secara berturut-turut adalah fraksi etil asetat, fraksi n-heksan, fraksi etil eter, dan fraksi residu, sedangkan kehilangan berat kertas uji terkecil sampai terbesar adalah fraksi etil eter, fraksi etil asetat, fraksi n-heksan,dan fraksi residu. Kematian rayap tanah disebabkan oleh adanya senyawa bioaktif yang terkandung dalam zat ekstraktif kayu manggis yang bersifat anti rayap. Senyawa bioaktif tersebut akan mengganggu aktivitas metabolisme makanan di dalam tubuh rayap. Seperti yang telah dinyatakan Syafii (2000b), rayap adalah salah satu jenis serangga yang dapat menghasilkan enzim selulase yang dikeluarkan oleh protozoa yang terdapat dalam perut rayap. Enzim selulase mampu merombak unit-unit anhidrida glukosa yang dihubungkan dengan ikatan

KONTROL

2% 4% 6% 8% 10%

ASETON

n-HEKSAN

ETIL ETER

ETIL ASETAT


(47)

kimia tipe β menjadi gula sederhana. Zat ekstraktif yang masuk melalui kertas selulosa ke dalam sistem pencernaan rayap akan mematikan protozoa dan mengganggu proses enzimatik dalam merombak selulosa menjadi gula sederhana sehingga rayap kelaparan dan mati. Sastrodihardjo (1999) dalam Sari (2002) mengemukakan pengaruh zat ekstraktif terhadap kematian rayap dan serangga lainnya adalah sebagai penghambat sintesis protein (zat ekstraktif dari kelompok tanin, stilbena, quinon, alkaloid, dan resin). Suparjana (2000) juga menegaskan bahwa mekanisme terjadinya efek toksik terhadap kelangsungan hidup rayap diduga disebabkan adanya kerusakan pada komponen struktural membran sel rayap sehingga mengganggu transportasi nutrisi yang diperlukan bagi kelangsungan hidup rayap, juga disebabkan oleh terhambatnya proses metabolisme sel rayap.

Nilai Penghambatan Makan (Antifeedant) Ekstrak Aseton dan Fraksi-Fraksinya

Indikator lain yang digunakan untuk mengetahui aktivitas zat ekstraktif adalah nilai penghambatan makan (antifeedant). Nilai ini diperoleh dari nilai kehilangan berat kertas uji yang dihitung dengan menggunakan rasio antara selisih kehilangan berat kertas uji kontrol dan kehilangan berat kertas uji yang telah diberi ekstrak dengan kehilangan berat kertas uji kontrol ditambah dengan kehilangan berat kertas yang telah diberi ekstrak. Bila kehilangan berat kertas uji yang telah diberi ekstrak semakin kecil dibandingkan dengan kontrol maka nilai antifeedant semakin besar sehingga zat ekstraktif tersebut dikatakan semakin aktif sebagai penghambat makan. Nilai penghambat makan rata-rata dari ekstrak aseton kayu manggis beserta fraksi-fraksinya dapat dilihat pada tabel berikut :


(48)

Tabel 6 Nilai Penghambatan Makan (Antifeedant) Ekstrak Aseton Kayu Manggis dan Fraksi-Fraksinya

Jenis Fraksi Konsentrasi (%)

Penghambatan Makan (%) Penghambatan Makan Rata-Rata (%) Aseton n-Heksan Etil Eter Etil Asetat Residu 2 4 6 8 10 2 4 6 8 10 2 4 6 8 10 2 4 6 8 10 2 4 6 8 10 33,39 43,09 91,31 86,93 90,27 7,84 47,07 76,00 70,24 81,65 41,55 76,30 94,69 78,19 87,38 20,29 89,48 93,07 87,08 93,49 -1,36 -1,75 -6,51 -3,79 -6,38 69,00 56,56 75,62 76,68 -3,96

Tabel di atas menunjukkan bahwa ekstrak aseton kayu manggis dan fraksi-fraksinya memiliki nilai penghambat makan (antifeedant) yang berbeda. Fraksi etil asetat memperlihatkan nilai penghambat makan yang tertinggi, diikuti fraksi etil eter, aseton dan n-heksan serta yang paling rendah adalah residu. Sesuai dengan klasifikasi tingkat penghambat makan, maka fraksi etil asetat dan fraksi etil eter tergolong sangat kuat (76,68% dan 75,62%), diikuti ekstrak aseton dan fraksi n-heksan yang tergolong kuat (69,00% dan 56,56%), sementara residu tergolong lemah (-3,96%).


(49)

Isolasi dan Pemurnian Fraksi Teraktif

Isolasi dan pemurnian dilakukan terhadap fraksi yang memiliki aktivitas anti rayap yang tinggi yaitu fraksi etil asetat. Untuk mencari eluen yang mampu menghasilkan pemisahan terbaik dilakukan dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Dari KLT diperoleh bahwa hasil pemisahan terbaik adalah kromatogram dengan komposisi pengembang n-heksan - etil asetat 1 : 1. Ketika pemisahan dilakukan dengan menggunakan fase gerak pelarut n-heksan – etil asetat 1 : 1 diperoleh fraksi dengan bercak kromatogram tunggal pada botol 205 – 230 dengan Rf 0,32. Fraksi ini dinamakan fraksi lanjutan EA7.

Penentuan Struktur Senyawa Murni Fraksi EA7

Penentuan struktur senyawa murni yang terdapat dalam fraksi EA7 dilakukan dengan menggunakan spektrometri resonansi magnetik inti untuk hidrogen (H-NMR) serta resonansi magnetik inti karbon (C-NMR) dan LC-MS untuk mengetahui bobot molekul senyawa.

Hasil spektrometri 1H-NMR menunjukkan adanya pergeseran pada puncak-puncak 6,0505 – 8,4559 ppm sebagai pergeseran proton dari gugus aromatik (Ar-H) sebanyak sembilan puncak yaitu pada pergeseran 6,0505 (triplet), 6,0554 (triplet), 6,0591 (triplet), 6,4868 (triplet), 6,4905 (triplet), 6,4954 (triplet), 6,5687 (doublet), 6,5736 (doublet), dan 8,4559 (singlet). Dari perhitungan nilai coupling constants (J) menunjukkan posisi atom H berada pada posisi meta yang ditunjukkan oleh nilai

coupling constants (J) sebesar 2,45. Menurut Silverstein dan Webster (1998) nilai

J = 0 -1 (para), J = 1 – 3 (meta), J = 6 – 10 (orto).

Spektrometri 13C-NMR menunjukkan kemungkinan jumlah atom karbon sebanyak 14 buah yang tampak pada pergeseran 14,4116 – 164,3828 ppm. Dari spektrometri NMR diperoleh beberapa senyawa dalam fraksi EA7 yaitu

1,2,5-Tryhydroxyxanthone; 1,4,5-Tryhydroxyxanthone; 1,5,6-Tryhydroxyxanthone;

1,6,7-Tryhydroxyxanthone; 1,3,5,7-Tetrahydroxyxanthone; 1,3,6,7-Tetrahydroxyxanthone; 2-Me eter3’,4,4’,6 - Tetrahydroxybenzophenone; Garcinisidone E, dan Fuscaxanthone G.

Namun spektrometri LC-MS yang dilakukan menunjukkan adanya senyawa dengan berat molekul 277 yang mendekati berat molekul 2-Me eter 3’,4,4’,6


(50)

adalah 2-Me eter 3’,4,4’,6-Tetrahydroxybenzophenone (C14H12O6) yang termasuk

golongan fenolik.

Adapun struktur molekul dari senyawa 2-Me eter 3’,4,4’,6

-Tetrahydroxybenzophenone, seperti terlihat pada gambar berikut ini:

OH

OH OH

OH

Gambar 9. Struktur Molekul Senyawa 2-Me eter 3’,4,4’,6-Tetrahydroxy

benzophenone (C14H12O6)

Selain itu, Peres et al. (2000) serta Bennett dan Lee (1989) dalam Lannang et al. (2005) mengemukakan bahwa genus Garcinia terkenal kaya akan turunan berbagai fenol terprenilasi dan fenol teroksigenasi. Beberapa di antaranya memperlihatkan penghambatan terhadap aktifitas biologis misalnya sebagai sitotoksik, anti jamur, anti mikroba, anti oksidan, anti inflamasi dan anti HIV (Hiroyuki et al. 1996; Nkengfack et al. 2002; Hay et al. 2004; Merza et al. 2004) dalam Lannang et al. (2005). Wenkert et al. (1978) menemukan senyawa three pentacyclic triterpenoids dan lupeol serta oleanolic acid (Ampofo and Waterman 1986) dan friedelin (LeFevre et al. 2001) dalam Lannang et al. (2005).

Chen et al. (2004) melaporkan bahwa zat ekstraktif flavonoid dari kayu Japanese larch (Larix leptolepis) memperlihatkan sifat penolak yang tinggi terhadap aktivitas makan rayap tanah Coptotermes formosanus pada kertas uji yang digunakan dalam

bio-assay test. Hal ini karena ekstraktif kayu Japanese larch mengandung flavonoid dalam jumlah yang cukup besar yang berpotensi menghambat aktivitas makan rayap tanah. Dengan demikian hal ini memperkuat dugaan bahwa senyawa 2-Me eter 3’,4,4’,6-Tetrahydroxybenzophenone (C14H12O6) yang tergolong fenolik yang

kemungkinan telah menghambat aktivitas makan rayap C. curvignathus Holmgren. CH3

O


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

HASIL SPEKTROMETRI LC-MS KAYU MANGGIS

153.0 197.2 241.4 285.6 329.8 374.0

Mass (m/z) 0 887.9 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 % I n t e n s it y

Mariner Spec /65:66 (T /2.48:2.52) -59:60 (T -2.48:2.52) ASC=>NR(2.00)[BP = 163.1, 888]

163.0695

180.0857

185.0438

163.3938 260.9894

180.4102 245.0258 320.9691

347.0803


Dokumen yang terkait

Pengaruh Pemberian Ekstrak Etanol Kulit Manggis (Garcinia mangostana L) terhadap Perubahan Kadar Enzim AST, ALT serta Perubahan Makroskopik dan Histopatologi Hati Mencit Jantan (Mus musculus L) strain DDW setelah diberi Monosodium Glutamate (MSG) diban

1 68 118

Pengaruh Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia mangostana L.) terhadap Gambaran Histopatologis Lambung Tikus (Rattus norvegicus L.) Jantan yang Dipapari Kebisingan

2 103 56

Uji Konsentrasi Kitosan untuk Mengendalikan Rayap (Coptotermes curvignathus Holmgren) pada Tanaman Karet di Lapangan

0 92 48

Uji Efektivitas Termitisida Nabati Terhadap Mortalitas Rayap (Coptotermes curvinagthus Holmgren)(Isoptera : Rhinotermitidae) di Laboratorium

5 52 70

Pengendalian Rayap Coptotermes curvignatus Holmgren. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Menggunakan Daun Sirsak (Annona muricata L.) pada Berbagai Jenis Umpan Di Laboratorium

1 49 74

Keawetan Kayu Plastik Polivinil terhadap Serangan Rayap Kayu Kering (Cryptotermes cynocephalus Light) dan Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren)

0 8 92

Aktifitas biologis ekstraktif kayu eboni (Dyospyros polisanthera Miq.) terhadap jamur pelapuk Schizophyllum commune fries dan rayap tanah Coptotermes curvignathus Holmgren

0 7 106

Ketahanan Delapan Jenis Produk Kayu Komposit terhadap Serangan Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren)

0 4 32

Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Mindi (Melia azedarach Linn.) terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren

0 5 29

Sifat Antirayap Zat Ekstraktif Daun Mindi (Melia azedarach Linn.) terhadap Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren

2 24 27