Study of Biosecurity Implementation in Animal Quarantine Premises for Imported Cattle Across Java Island

(1)

GATOT SANTOSO

DI PULAU JAWA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

xvii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 3

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Instalasi Karantina Hewan ... 5

Klasifikasi Instalasi Karantina Hewan ... 6

Biosekuriti ... 6

Pengetahuan ... 10

Sikap ... 11

Praktik ... 11

Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, dan Praktik ... 11

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

Kerangka Konsep Penelitian ... 13

Disain Penelitian ... 15

Sampel Penelitian ... 16

Pembobotan dan Penilaian Kuesioner ... 17

Definisi Operasional ... 20

Analisis Data ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi IKH sapi impor di Pulau Jawa... 25

Penilaian Kondisi IKH ... 26

Lokasi ... 26

Tindakan Biosekuriti di IKH ... 32

Aspek Lain-lain ... 37

Karakteristik Dokter Hewan ... 41

Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Dokter Hewan ... 42

Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Dokter Hewan terhadap Praktik Biosekuriti ... 47

Karakteristik Paramedik ... 48

Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Paramedik ... 49

Hubungan Antara Karakteristik, Pengetahuan, dan Sikap Paramedik terhadap Praktik Biosekuriti ... 54


(3)

xviii

Simpulan ... 55

Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(4)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Biosekuriti Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Gatot Santoso NIM. B251100144


(5)

Premises for Imported Cattle Across Java Island. Under direction of TRIOSO PURNAWARMAN and ETIH SUDARNIKA.

Indonesia imports large number of live cattle as breeding cattle or beef cattle to fulfill its demands for protein of animal origin. In order to prevent animal disease entering and spreading in the country the Government of Indonesia provides animal quarantine premises inside or outside every entry/exit point. Requirements and procedures to establish animal quarantine premises is stated in the Agriculture Minister’s Decree No 34/2006 regarding Requirements and Procedures to Establish Animal Quarantine Premises, and in the Head of Agriculture Quarantine Agency’s Decree regarding Technical Guidelines for Large Ruminant Animal Quarantine Premises. Biosecurity in animal quarantine facilities is one of important factors in preventing spreading of diseases among animals, transmission from animals to human or vice versa and also preventing disease to enter premises. Biosecurity implementation in animal quarantine premises depends on the knowledge, attitude and practices conducted by the officers of the premise, both veterinarian officers and paraveterinarian officers. The aim of this study is to determine the level of biosecurity and the relation among characteristic, knowledge and attitude of veterinarian and paraveterinarian officers on the biosecurity implementation (sanitation, isolation and movement control) in a temporary animal quarantine premises. Data were collected from temporary animal quarantine premises for imported cattle across Java Island. In this study we found that in general the biosecurity implementation in the premises was adequate (62.6%) and good (31.2%). We also noticed that the characteristic of veterinarian officers showed no relation to the biosecurity implementation, while the knowledge and attitude of veterinarian officers showed a strong relation to the biosecurity implementation (p<0.05) with medium correlation level (r = 0.463 and r = 0.524). On the other hand, characteristic of paraveterinarian officers showed no relation to the biosecurity implementation, while the knowledge and attitude of paraveterinarian officers shows a strong relation to the biosecurity implementation (p<0.05) with medium correlation level (r = 0.410 and r = 0.427).


(6)

RINGKASAN

GATOT SANTOSO. Kajian Biosekuriti Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor di Pulau Jawa. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan ETIH SUDARNIKA.

Indonesia merupakan negara pengimpor sapi dalam jumlah yang cukup besar baik sapi bibit maupun sapi potong untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani penduduknya. Importasi sapi yang ada saat ini sebagian besar adalah berasal dari negara Australia. Hal ini akan memiliki peluang risiko yang semakin besar terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan di negara Indonesia. Berdasarkan World Animal Health Information Database (WAHID) yang diterbitkan oleh organisasi kesehatan dunia (OIE), Australia merupakan negara yang bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan sapi gila (bovine spongioform encephalophaty/BSE). Namun demikian prinsip kehati-hatian terhadap adanya penyakit hewan menular lainnya di negara tersebut perlu dicermati. Pada saat ini Australia masih belum bebas dari penyakit infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine viral diarrhea (BVD), paratuberculosis/Johne’s disease, enzootic bovine leucosis (EBL), anthrax, bluetongue, Q-fever, tetanus, malignant oedema, blackleg, pulpy kidney, black disease, botulism, actinomicosis, salmonellosis, leptospirosis, brucellosis dan penyakit parasitik seperti cysticercosis dan penyakit cacing lainnya, sehingga diperlukan persyaratan tertentu agar sapi yang diimpor merupakan sapi yang sehat.

Untuk mencegah masuk, keluar, dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain (swasta) wajib menyediakan instalasi karantina hewan (IKH) di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan IKH dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis IKH Untuk Ruminansia Besar.

Instalasi Karantina Hewan (IKH) merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. IKH harus memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, sistem drainase, kelengkapan sarana dan prasarana. Penetapan lokasi berkaitan dengan analisis risiko penyebaran hama penyakit, peta situasi hama penyakit hewan, kesejahteraan hewan, sosial budaya dan lingkungan serta jauh dari lokasi budidaya hewan lokal. Biosekuriti mempunyai peran yang sangat penting pada IKH antara lain mencegah penyebaran penyakit diantara hewan, hewan ke petugas, dan dari petugas ke hewan, serta mencegah masuknya agen penyakit yang berasal dari lingkungan sekitar. Penerapan biosekuriti di IKH tidak terlepas dari tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dari petugas yang ada di IKH, baik dokter hewan maupun paramedik.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa dan menganalisis hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik yang bertugas di IKH sapi impor di Pulau Jawa. Penelitian ini dilakukan pada IKH sapi impor milik pemerintah dan swasta yang terdapat di Pulau Jawa yang menjadi wilayah kerja dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP)


(7)

paramedik pemerintah dan swasta yang pernah melakukan tindakan karantina di IKH sapi impor yang ada di Pulau Jawa dengan menggunakan kuesioner.

Wawancara bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik dan untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik responden terhadap biosekuriti. Penilaian tingkat biosekuriti terhadap IKH juga dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan checklist. Sebelum dilakukan penelitian terlebih dahulu dilakukan uji coba (pretest) kuesioner untuk mengetahui perkiraan waktu pengerjaan pengisian kuesioner dan kesulitan-kesulitan dalam menjawab pertanyaan yang dihadapi oleh responden. Setelah itu dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner untuk menilai kelayakan kuesioner sebagai perangkat penelitian.

Hasil penelitian menggambarkan bahwa kategori IKH sapi impor di Pulau Jawa mempunyai tingkat biosekuriti yang baik (31.2%) dan cukup (62.6%).. Pada karakterististik responden dokter hewan tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang nyata (p<0.05) terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0.463 dan r = 0.524. Karakterististik responden paramedik tidak mempunyai hubungan yang nyata terhadap praktik biosekuriti, sedangkan pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang nyata (p<0.05) terhadap praktik biosekuriti paramedik dan mempunyai korelasi dengan tingkat sedang yaitu r = 0.410 dan r = 0.427.


(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(9)

DI PULAU JAWA

GATOT SANTOSO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(10)

(11)

NIM : B251100144

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si. Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(12)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah yang berjudul Kajian Biosekuriti Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor di Pulau Jawa ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si, dan Ibu Dr. Ir. Etih Sudarnika, M.Si selaku pembimbing atas arahan yang diberikan sehingga karya ini dapat diselesaikan dengan baik. Ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner atas semangat dan motivasi yang diberikan selama perkuliahan berlangsung dan penulisan karya ilmiah ini. Disamping itu penghargaan penulis sampaikan kepada Ibu Kepala Badan Karantina Pertanian, Bapak Sekretaris Badan Karantina Pertanian, Kepala Pusat Karantina Hewan, dan Kepala Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Ambon yang telah memberi kesempatan penulis mengikuti program pascasarjana ini, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta, Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya, dan Kepala Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Cilacap beserta staf dan semua pihak yang telah sangat membantu kelancaran proses penelitian penulis. Ungkapan terima kasih tak henti-hentinya penulis sampaikan kepada istri tercinta, Dian Pertiwi Wulandari, SE, M.Si, ananda Anindya Raghda Aqila serta ayah dan ibu atas dukungan dan doa yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan program ini dengan lancar. Tak lupa buat teman-teman kelas khusus KMV Karantina Hewan Angkatan ke-2, terima kasih atas kebersamaannya sehingga program ini bisa kita selesaikan bersama-sama.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bogor, Juni 2012


(13)

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Juli 1979 dari ayah Wachyudi dan ibu Ipah Turipah. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 2002 kemudian dilanjutkan mengikuti Program Pendidikan Dokter Hewan (PPDH) IPB lulus pada tahun 2004.

Penulis bekerja di Badan Karantina Pertanian pada unit pelaksana teknis Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Ambon sejak tahun 2005 sebagai medik veteriner. Untuk meningkatkan kemampuan teknis dan wawasan tentang perkarantinaan hewan, penulis diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan antara lain Training of Management Veterinary Services di Malaysia pada tahun 2006. Pada tahun 2010 penulis mendapat kesempatan untuk tugas belajar dari Badan Karantina Pertanian pada program Magister Sains (S2) Kesehatan Masyarakat Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB.


(14)

xix

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Data importasi sapi tahun 2010 ... 1

2 Jumlah besaran sampel dokter hewan pemerintah ... 17

3 Jumlah besaran sampel paramedik pemerintah ... 17

4 Definisi operasional peubah penelitian ... 20

5 Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa yang masih digunakan untuk melakukan tindakan karantina tahun 2010 - 2011 ... 26

6 Kondisi jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, lalu lintas umum, peternakan sejenis, dan pemukiman penduduk ... 27

7 Penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa ... 33

8 Aspek lain-lain yang menggambarkan keadaan IKH sapi impor di Pulau Jawa……….. 37

9 Kategori tingkat biosekuriti IKH sapi impor di Pulau Jawa ... 39

10 Karakteristik dokter hewan menurut umur, jenis kelamin, lama bekerja, pernah menjadi tim studi kelayakan IKH, dan pelatihan yang pernah diikuti ... 42

11 Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan terhadap praktik mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa ... 47

12 Karakteristik paramedik menurut umur, jenis kelamin, pendidikan formal, lama bekerja, pernah menjadi tim studi kelayakan IKH dan pelatihan yang pernah diikuti ... 49

13 Hubungan antara karakteristik, pengetahuan, dan sikap paramedik terhadap praktik mengenai biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa ... 55


(15)

xx Halaman 1 Kerangka konsep penelitian ... 14

2 Rataan persentase skor pengetahuan dokter hewan mengenai

biosekuriti ... 43

3 Rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik

dokter hewan mengenai biosekuriti ... 44

4 Kategori tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dokter hewan

terhadap biosekuriti ... 46

5 Rataan persentase skor pengetahuan paramedik mengenai

biosekuriti ... 50

6 Rataan persentase skor total pengetahuan, sikap, dan praktik

paramedik mengenai biosekuriti ... 51

7 Kategori tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik paramedik


(16)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner untuk penilaian IKH ... 61

2 Checklist penilaian IKH ... 70

3 Kuesioner untuk dokter hewan ... 73


(17)

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara pengimpor khususnya sapi dalam jumlah yang cukup besar baik sapi bibit maupun sapi potong untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani penduduknya. Importasi sapi yang ada saat ini sebagian besar adalah berasal dari negara Australia. Hal ini akan memiliki peluang risiko yang semakin besar terhadap masuk dan tersebarnya penyakit hewan di negara Indonesia. Data importasi sapi tahun 2010 yang diambil dari unit pelaksana teknis (UPT) karantina pertanian dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data importasi sapi tahun 2010

No. Unit Pelaksana Teknis Jumlah (ekor)

1. Balai Besar Karantina Pertanian Belawan 34 870 2. Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta 1 005 3. Balai Besar Karantina Pertanian Surabaya 12 660 4. Balai Besar Karantina Pertanian Tanjung Priok 273 587 5. Balai Karantina Pertanian Kelas I Jaya Pura 1 415 6. Balai Karantina Pertanian Kelas I Lampung 200 807 7. Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Cilacap 30 366 8. Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Pare-pare 2 169

Jumlah Total 556 879

Sumber: Barantan (2011).

Berdasarkan World Animal Health Information Database (WAHID) yang diterbitkan oleh organisasi kesehatan dunia (OIE), Australia merupakan negara yang bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) dan sapi gila (bovine spongioform encephalophaty/BSE). Namun demikian prinsip kehati-hatian terhadap adanya penyakit hewan menular lainnya di negara tersebut perlu dicermati. Pada saat ini Australia masih belum bebas dari penyakit infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine viral diarrhea (BVD), paratuberculosis/Johne’s disease, enzootic bovine leucosis (EBL), anthrax, bluetongue, Q-fever, tetanus, malignant oedema, blackleg, pulpy kidney, black disease, botulism, actinomicosis, salmonellosis, leptospirosis, brucellosis dan penyakit parasitik seperti cysticercosis dan penyakit


(18)

2

cacing lainnya, sehingga diperlukan persyaratan tertentu agar sapi yang diimpor merupakan sapi yang sehat.

Untuk mencegah masuk, keluar, dan tersebarnya hama penyakit hewan karantina, pemerintah dan pihak lain dapat menyediakan instalasi karantina hewan (IKH) di dalam maupun di luar tempat pemasukan atau pengeluaran. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006.

Pengamatan dan pengawasan hewan selama masa karantina di IKH sangat penting untuk mendeteksi adanya penyakit hewan menular khususnya penyakit eksotik. Selain itu penerapan biosekuriti di IKH merupakan suatu tindakan yang perlu dilakukan untuk meminimalkan penyebaran penyakit baik pada hewan, manusia, dan lingkungan sekitar.

Biosekuriti adalah tindakan perlindungan dari efek yang merugikan dari organisme seperti agen penyakit dan hama yang membahayakan bagi manusia, hewan, tanaman dan lingkungan. Penerapan biosekuriti pada IKH sangat penting dan perlu dilakukan secara ketat karena hal ini untuk melindungi manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan termasuk industri (peternakan) dari ancaman masuknya organisme yang tidak diinginkan dan dapat merugikan. Biosekuriti mempunyai peranan antara lain mencegah penyebaran penyakit antar hewan, hewan ke petugas, dan petugas ke hewan, serta mencegah masuknya agen penyakit yang berasal dari lingkungan sekitar (Bowman & Shulaw 2001).

Biosekuriti yang baik dapat mengurangi jumlah kasus penyakit yang terjadi pada peternakan sapi antara lain paratuberculosis, mycoplasmosis, salmonellosis dan bovine viral diarrhea (Troxel 2002). Praktik biosekuriti mencakup sanitasi lingkungan, mengurangi kepadatan ternak di kandang, meminimalkan kontaminasi kotoran pada pakan dan minum, dan memisahkan ternak muda dengan dewasa, praktik biosekuriti ini dipengaruhi oleh sikap petugas terhadap program biosekuriti yang sudah ada (Benjamin et al. 2010).

Penerapan biosekuriti di IKH tidak terlepas dari tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik dari petugas yang ada di IKH, baik dokter hewan maupun paramedik. Tingkat pengetahuan dan sikap yang masih rendah terhadap biosekuriti akan


(19)

mempengaruhi perilaku atau praktik biosekuriti petugas di IKH dan merupakan ancaman masuk dan tersebarnya agen penyakit yang dapat merugikan petugas, hewan dan dapat menimbulkan keluarnya agen penyakit dari instalasi ke lingkungan sekitarnya.

Rumusan Masalah

Karantina pertanian merupakan suatu institusi yang bertujuan untuk mencegah masuk dan tersebarnya hama dan penyakit hewan karantina (HPHK) melalui pengawasan yang ketat di pintu-pintu pemasukan dan pengeluaran yang telah ditetapkan. Pencegahan masuk dan tersebarnya HPHK ini dilakukan dengan pelaksanaan tindakan karantina yang terdiri dari pemeriksaaan, pengawasan, pengamatan, perlakuan, penolakan, penahanan, pemusnahan dan pembebasan. Salah satunya yaitu melakukan tindakan karantina di IKH yang sudah ditetapkan baik milik pemerintah ataupun milik swasta.

Unit pelaksana teknis Badan Karantina Pertanian saat ini memiliki beberapa IKH untuk sapi impor, begitu juga pihak swasta. UPT karantina pertanian yang memiliki kegiatan importasi sapi, antara lain Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Belawan, BBKP Surabaya, BKP Kelas I Lampung, Stasiun Karantina Pertanian (SKP) Kelas I Cilacap dan SKP Kelas I Pare-pare.

Pendapat bahwa IKH sapi impor yang ada belum maksimal dalam penerapan biosekuriti kemungkinan terkait dengan faktor IKH itu sendiri yang meliputi bangunan, sarana prasarana, dan fasilitas penunjang lainnya. Faktor lain yang di duga dapat mempengaruhi penerapan biosekuriti di IKH yaitu petugas. Faktor petugas yang menjadi fokus penelitian ini adalah karakteristik, pengetahuan, sikap, dan praktik petugas terhadap penerapan biosekuriti di IKH.


(20)

4

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui tingkat biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa.

2. Menganalisis hubungan karakteristik, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik yang bertugas di IKH sapi impor di Pulau Jawa.

Manfaat Penelitian Penelitian ini mempunyai manfaat antara lain:

1. Penelitian ini dapat dijadikan informasi mengenai penerapan biosekuriti pada IKH sapi impor di Pulau Jawa.

2. Memberikan informasi mengenai karakteristik, tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik pada IKH sapi impor di Pulau Jawa.

3. Sebagai masukan dalam rangka peningkatan sumber daya manusia karantina pertanian khususnya dokter hewan dan paramedik.

Hipotesis Penelitian Hipotesa dalam penelitian ini adalah:

1. Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa mempunyai tingkat biosekuriti dengan baik.

2. Karakteristik, pengetahuan, dan sikap dokter hewan dan paramedik berpengaruh terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik pada IKH sapi impor di Pulau Jawa.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Instalasi Karantina Hewan

Instalasi karantina hewan (IKH) adalah bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan sebagai tempat pelaksanaan tindakan karantina (Barantan 2006). Beberapa istilah dalam IKH antara lain: 1. Kandang adalah tempat atau bangunan berikut sarana penunjang yang ada

didalamnya yang berfungsi sebagai tempat pemeliharaan dan tempat melakukan tindakan pengamatan selama masa karantina yang mampu menampung ternak sesuai dengan kapasitasnya dan dilengkapi dengan tempat pakan dan minum serta ketinggian kandang yang memadai.

2. Kandang isolasi adalah kandang yang digunakan untuk melakukan tindakan pengamatan intensif dan tindakan perlakuan khusus terhadap sebagian hewan selama masa karantina. Kandang ini juga digunakan untuk menempatkan dan menangani ternak yang mengalami gangguan kesehatan.

3. Kandang jepit adalah sarana yang dipergunakan untuk melakukan penjepitan hewan guna mengurangi risiko cidera terhadap hewan maupun petugas serta memudahkan tindakan pemeriksaan dan perlakuan.

4. Gudang pakan adalah tempat penyimpanan pakan sebelum diberikan kepada ternak.

5. Ternak ruminansia besar adalah ternak piara (sapi dan kerbau) yang kehidupannya, perkembangbiakannya, serta manfaatnya diatur dan diawasi oleh manusia.

6. Pakan ternak adalah makanan ternak ruminansia besar yang berupa hijauan, bahan baku, maupun pakan jadi.

7. Paddock atau pen adalah bagian kandang yang dibatasi dengan pagar pembatas dan luas paddock/pen tergantung pada jumlah ternak yang akan ditempatkan di area tersebut.

8. Gangway adalah suatu fasilitas berupa lorong atau jalan sempit untuk ternak. Fasilitas ini dibuat untuk memudahkan menggiring ternak ke dalam kandang-kandang instalasi maupun menggiring ternak yang akan masuk/dimuat ke dalam truk.


(22)

6

9. Kandang paksa (forcing yard) adalah suatu fasilitas yang digunakan untuk menggiring dan memasukkan ternak ke dalam gang way.

10. Tempat bongkar dan muat ternak adalah fasilitas untuk menurunkan dan menaikkan ternak dari dan ke alat angkut

11. Alat angkut adalah angkutan darat dan sarana yang dipergunakan untuk mengangkut yang langsung berhubungan dengan ternak ruminansia besar. 12. Limbah adalah hasil buangan kandang yang berupa kotoran ternak, sisa

pakan, serta kotoran lainnya.

Klasifikasi Instalasi Karantina Hewan (IKH)

Instalasi karantina hewan berdasarkan kepemilikannya (Barantan 2006), yaitu:

1. IKH milik pemerintah yaitu bangunan berikut peralatan, lahan, dan sarana prasarana yang diperlukan sebagai tempat melaksanakan tindak karantina milik pemerintah.

2. Instalasi karantina hewan milik swasta yaitu bangunan berikut peralatan, lahan dan sarana prasarana yang diperlukan sebagai tempat melaksanakan tindak karantina milik pihak lain/swasta yang ditetapkan oleh Kepala Badan Karantina Pertanian yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis sesuai ketentuan

IKH berdasarkan waktu penggunaannya yaitu:

1. Intalasi karantina hewan permanen adalah instalasi yang dibangun oleh pemerintah atau pihak lain yang penggunaannya bersifat permanen.

2. Instalasi karantina hewan sementara adalah instalasi yang dibangun oleh pemerintah atau pihak lain yang penggunaannya bersifat sementara.

Biosekuriti

Biosekuriti adalah strategi dan tindakan secara terintegrasi meliputi kebijakan dan kerangka kerja yang menganalisa dan mengendalikan segala akibat yang merugikan pada sektor keamanan pangan, kesehatan dan kehidupan hewan, kesehatan dan kehidupan tumbuhan termasuk lingkungan. Biosekuriti merupakan


(23)

konsep yang menyeluruh dan secara langsung mendukung bidang pertanian, keamanan pangan dan perlindungan terhadap lingkungan, juga meliputi perlindungan terhadap bahaya pada gangguan yang menyebabkan kerusakan tumbuhan, gangguan, dan penyakit hewan serta zoonosis (Ditjenak 2010).

Menurut NASDA (2001), biosekuriti adalah tindakan yang sangat penting berupa strategi, usaha, rencana untuk melindungi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan dari bahaya biologi. Selanjutnya menurut SEERAD (2006), biosekuriti adalah praktik manajemen yang potensial untuk mengurangi masuk dan menyebarnya penyakit hewan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen masuk ke peternakan dan mencegah masuk dan tersebarnya penyakit hewan di antara peternakan.

Larson (2008) menyatakan bahwa biosekuriti adalah suatu tindakan untuk menjaga agar agen infeksius tidak masuk ke dalam suatu peternakan, negara atau wilayah. Tindakan ini juga bertujuan untuk mengendalikan penyebaran agen infeksius didalam suatu peternakan. Menurut Wagner et al. (2011) tujuan biosekuriti adalah untuk mengurangi risiko exposure (pendedahan) penyakit dan meningkatkan kekebalan terhadap penyakit ketika hewan terdedah (exposed) oleh agen penyakit.

Tujuan utama penerapan biosekuriti adalah untuk menghentikan masuknya penyakit dan penyebaran penyakit dengan cara mencegah, mengurangi atau mengendalikan kontaminasi silang dari media pembawa yang dapat menularkan agen penyakit (feses, urin, saliva, sekresi dari alat pernapasan dan lain-lain). Praktik manajemen biosekuriti dibuat untuk mencegah penyebaran penyakit dengan meminimalkan perjalanan atau perluasan agen penyakit dan vektor (rodensia, lalat, nyamuk, kutu, caplak dan lain-lain) di dalam suatu area peternakan. Biosekuriti merupakan cara yang murah, paling efektif untuk pengendalian penyakit dan tidak akan ada program pencegahan penyakit yang berjalan dengan baik tanpa adanya penerapan biosekuriti. OIE (2009) menyatakan bahwa program biosekuriti yang baik adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk mencegah dan meminimalkan rute transmisi penyakit oleh agen patogen diantaranya adalah melalui hewan, hewan lain, manusia, peralatan, alat angkut, udara, sumber air, dan pakan. Menurut Buhman et al. (2007), penyakit


(24)

8

infeksi pada hewan dapat menyebar dalam suatu peternakan melalui berbagai cara, antara lain melalui:

1. Hewan yang terinfeksi atau hewan sehat dalam masa inkubasi suatu penyakit sehingga tidak memperlihatkan gejala klinis.

2. Hewan yang sudah sehat setelah sembuh dari penyakit akan tetapi menjadi carriers.

3. Alat angkut, peralatan, pakaian, dan sepatu pengunjung atau pekerja yang menangani hewan di dalam peternakan.

4. Kontak dengan benda-benda yang terkontaminasi oleh agen penyakit. 5. Hewan mati yang tidak ditangani secara benar.

6. Tempat pakan, khususnya tempat pakan yang berisiko tinggi dapat terkontaminasi oleh feses.

7. Sumber air yang tidak baik.

8. Penanganan limbah kotoran ternak dan debu dari kotoran.

9. Adanya hewan lain (kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, burung dan serangga).

Buhman et al. (2007) menerangkan bahwa komponen utama biosekuriti adalah isolasi, kontrol lalu lintas dan sanitasi.

1. Isolasi merupakan suatu tindakan untuk mencegah kontak diantara hewan pada suatu area atau lingkungan. Tindakan yang paling penting dalam pengendalian penyakit adalah meminimalkan pergerakan hewan dan kontak dengan hewan yang baru datang. Tindakan lain yaitu memisahkan ternak berdasarkan kelompok umur atau kelompok produksi. Fasilitas yang digunakan untuk tindakan isolasi harus dalam keadaan bersih dan didisinfeksi.

2. Kontrol lalu lintas merupakan tindakan pencegahan penularan penyakit yang dibawa oleh alat angkut, hewan selain ternak (kuda, anjing, kucing, hewan liar, rodensia, dan burung), dan pengunjung. Hewan yang baru datang sebaiknya diketahui status vaksinasinya, hal ini merupakan tindakan untuk memaksimalkan biosekuriti. Oleh sebab itu, mengetahui status kesehatan hewan yang baru datang sangat penting. Kontrol lalu lintas di peternakan harus dibuat dengan baik untuk menghentikan atau meminimalkan


(25)

kontaminasi pada hewan, pakan, dan peralatan yang digunakan. Alat angkut dan petugas tidak boleh keluar dari area penanganan hewan yang mati tanpa melakukan pembersihan (cleaning) dan disinfeksi terlebih dahulu.

3. Sanitasi merupakan tindakan pencegahan terhadap kontaminasi yang disebabkan oleh feses. Kontaminasi feses dapat masuk melalui oral pada hewan (fecal-oral cross contamination). Kontaminasi ini dapat terjadi pada peralatan yang digunakan seperti tempat pakan dan minum. Langkah pertama tindakan sanitasi adalah untuk menghilangkan bahan organik terutama feses. Bahan organik lain yaitu darah, saliva, sekresi dari saluran pernafasan, dan urin dari hewan yang sakit atau hewan yang mati. Semua peralatan yang digunakan khususnya tempat pakan dan minum harus di bersihkan dan didesinfeksi untuk mencegah kontaminasi.

Menurut Barrington et al. (2006), tindakan umum yang dilakukan dalam program biosekuriti adalah:

1. Mengawasi keluar masuknya hewan.

2. Mencegah kontak dengan hewan atau hewan liar.

3. Secara rutin membersihkan dan mendisinfeksi sepatu, pakaian, dan peralatan yang dipakai ketika menangani hewan.

4. Mencatat pengunjung, hewan, dan peralatan yang masuk dan keluar.

Pada suatu peternakan penyebaran penyakit dapat terjadi sangat komplek hal ini dapat disebabkan akibat kepadatan populasi dalam suatu kandang, spesies atau bangsa hewan, dan sistem sanitasi pada peternakan tersebut, sehingga pengembangan biosekuriti sangat penting guna mencegah masuk dan tersebarnya penyakit yang merugikan (Steenwinkel et al. 2011). Biosekuriti pada peternakan dapat meliputi sanitasi peternakan, pagar pelindung, pengawasan yang ketat lalu lintas pengunjung dan kendaraan, menghindari kontak dengan hewan liar, mempunyai fasilitas bangunan yang memadai, penerapan karantina dan menerapkan sistem tata cara penggantian stok hewan (Casal et al. 2007).

Menurut laporan Bonanno (2011), pernah ditemukan kasus penyakit pada suatu peternakan sapi akibat biosekuriti yang buruk. Penyakit ini antara lain digital dermatitis (hairy heel wrats), haemorrhagic bowel syndrome (HBS), dan acute bovine liver disease (ABLD). Penyakit ini disebabkan oleh sistem drainase


(26)

10

yang buruk, sanitasi dan higiene yang buruk, kondisi pakan yang tidak baik, serta kondisi kelembaban di dalam peternakan yang buruk.

Pengetahuan

Pengetahuan mempunyai enam tingkatan yaitu mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan, dan mengevaluasi. Ciri pokok pengetahuan adalah ingatan tentang sesuatu yang diketahui baik melalui pengalaman, belajar, maupun berupa informasi yang didapat dari orang lain (Manggarsari 2011). Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan terdiri dari berbagai jenis yaitu: 1) pengetahuan umum atau biasa, 2) pengetahuan ilmu, 3) pengetahuan agama, 4) pengetahuan filsafat, dan 5) pengetahuan seni.

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa, dan peraba. Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo 2007).

Pengetahuan bukanlah fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia dan sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami perubahan karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut). Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain pendidikan, informasi/media massa, sosial budaya, ekonomi, lingkungan, pengalaman, dan usia. Pengetahuan merupakan faktor utama perubahan perilaku (Bas et al. 2006).


(27)

Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan/praktik atau perilaku. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata/praktik diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain fasilitas (Ali 2003). Sikap dan praktik dari seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki orang tersebut. Dalam hal ini adanya informasi dapat mengubah sikap dan pada akhirnya akan menyebabkan perubahan dalam perilaku.

Praktik

Praktik atau tindakan atau disebut juga perilaku, merupakan reaksi nyata seseorang terhadap objek, misalnya mencuci tangan sebelum dan sesudah menangani hewan yang sakit. Zahid (1997) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara sikap dan perilaku, namun keberadaan hubungan ini ditentukan oleh kespesifikan sikap, kekuatan sikap, kesadaran pribadi, dan norma-norma subyektif yang mendukung.

Hubungan Antara Pengetahuan, Sikap, dan Praktik

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik. Hasil penelitian Randusari (2007), menyatakan bahwa pengetahuan dan sikap mempunyai pengaruh terhadap perilaku. Selain itu perilaku dapat dipengaruhi oleh tingkat penghasilan. Menurut Budisuari et al. (2009), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan diantaranya adalah lingkungan, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Handayani (2008), dalam penelitiannya tentang hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku menyatakan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara pengetahuan dan sikap terhadap perilaku. Yustina (2006) menyatakan bahwa adanya peningkatan pengetahuan berhubungan positif dengan sikap dan minat, selain itu pengetahuan tidak berhubungan positif dengan persepsi seseorang terhadap suatu objek.


(28)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2011 sampai dengan Maret 2012. Penelitian dilakukan pada IKH sapi impor milik pemerintah dan swasta yang berada di Pulau Jawa yaitu BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya, dan SKP Kelas I Cilacap. Perancangan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Epidemiologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa peubah penelitian antara lain karakteristik, pengetahuan, dan sikap petugas IKH (dokter hewan dan paramedik) terhadap sanitasi, isolasi, dan lalu lintas di IKH yang dapat mempengaruhi praktik biosekuriti petugas IKH selama melakukan tindakan karantina. Selain itu kondisi IKH yang meliputi lokasi dan fasilitas dapat juga mempengaruhi tingkat biosekuriti di IKH. Kerangka konsep penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 1.

Pada penelitian ini akan dilihat hubungan antara karakteristik responden, pengetahuan, dan sikap terhadap praktik mengenai biosekuriti di IKH. Karakteristik responden ini meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, pelatihan/seminar yang berhubungan dengan IKH dan biosekuriti, dan keterlibatan menjadi tim studi kelayakan IKH. Untuk pengetahuan dan sikap responden dokter hewan meliputi cara penularan penyakit di IKH yang dapat ditularkan oleh sapi impor asal Australia dan pertanyaan yang berhubungan dengan biosekuriti IKH. Pengetahuan dan sikap responden paramedik pada penelitian ini meliputi penerapan biosekuriti IKH yang meliputi sanitasi, isolasi, dan lalu lintas. Praktik dalam penelitian ini adalah praktik mengenai penerapan biosekuriti di IKH sapi impor selama petugas melakukan tindakan karantina.


(29)

Gambar 1 Kerangka konsep penelitian.

Untuk praktik biosekuriti baik responden dokter hewan dan paramedik terdiri dari tiga komponen yaitu sanitasi, isolasi, dan lalu lintas. Komponen tersebut meliputi:

1. Sanitasi

a) Melakukan cuci tangan sebelum dan setelah menangani hewan yang sakit menggunakan disinfektan.

b) Memakai sepatu khusus/bot pada saat masuk kandang dan melakukan dipping sepatu pada disinfektan.

c) Penggunaan disinfektan.

d) Memakai pakaian khusus (cattle pack) pada saat masuk ke kandang. e) Menggunakan peralatan yang steril selama melakukan tindakan

karantina.

f) Kandang senantiasa dibersihkan dengan disinfektan. g) Tempat pakan senantiasa dibersihkan dengan disinfektan. h) Tempat minum senantiasa dibersihkan dengan disinfektan.

KONDISI IKH (LOKASI, FASILITAS)

BIOSEKURITI IKH KARAKTERISTIK

PETUGAS IKH:  UMUR

 JENIS KELAMIN

 PENDIDIKAN FORMAL

 LAMA BEKERJA

 PELATIHAN PENGETAHUAN

PETUGAS IKH

SIKAP PETUGAS IKH

PRAKTIK PETUGAS IKH


(30)

14

i) Peralatan kandang senantiasa dibersihkan dengan disinfektan.

j) Tempat penyimpanan pakan yang senantiasa dibersihkan secara rutin.

2. Isolasi

a) Perlakuan terhadap hewan yang sakit. b) Tindakan terhadap hewan yang baru masuk. c) Tindakan terhadap hewan yang sehat. d) Perlakuan terhadap hewan yang mati. e) Penanganan terhadap kotoran hewan. 3. Lalu lintas

a) Tindakan terhadap lalu lintas kendaraan dan pengunjung. b) Perlakuan terhadap lalu lintas peralatan.

c) Perlakuan terhadap lalu lintas pakan.

d) Tindakan terhadap rodensia, serangga, burung liar, dan hewan lain.

Disain Penelitian

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara terhadap petugas IKH (dokter hewan dan paramedik) yang pernah melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor di IKH dan observasi pada IKH pemerintah dan swasta. Wawancara dilakukan menggunakan kuesioner dan observasi dilakukan menggunakan checklist. Kuesioner digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan praktik dari responden. Pada penelitian ini dilakukan dua penilaian yaitu:

1. Penilaian IKH.

Penilaian ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat biosekuriti IKH yang dilihat dari lokasi, sarana dan prasarana yang terdapat di IKH sapi impor di Pulau Jawa sebagai penunjang penerapan biosekuriti. Penilaian ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan checklist.

2. Penilaian tentang Pengetahuan, Sikap, dan Praktik Petugas IKH.

Penilaian ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik petugas di IKH sapi impor yaitu dokter hewan dan paramedik mengenai biosekuriti.


(31)

Sebelum digunakan dalam penelitian, kuesioner terlebih dahulu di uji melalui pre-test kuesioner yang bertujuan untuk menghitung estimasi waktu wawancara dan melihat tingkat kesulitan dari pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner. Setelah itu dilakukan validasi kuesioner untuk melihat kelayakan kuesioner sebagai alat untuk penelitian.

Sampel Penelitian

Kriteria sampel IKH pada penelitian ini adalah IKH sapi impor yang berada di Pulau Jawa dan masih digunakan baik milik pemerintah maupun milik swasta. Sedangkan untuk kriteria sampel responden adalah dokter hewan dan paramedik yang pernah melakukan tindakan karantina di IKH sapi impor baik milik pemerintah dan juga milik swasta. Tindakan karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk, tersebar dan atau keluar dari IKH. Pada penelitian ini sampel yang digunakan yaitu:

1. Untuk menilai IKH diambil dari IKH sapi impor yang ada di pulau Jawa baik milik pemerintah maupun milik swasta. Jumlah IKH yang diambil pada penelitian ini yaitu 2 IKH milik pemerintah dan 14 IKH milik swasta yang terdapat di Pulau Jawa.

2. Untuk menilai tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik petugas IKH, jumlah responden yang diambil yaitu dokter hewan pemerintah berjumlah 40 dan paramedik pemerintah berjumlah 58 yang berasal dari empat Unit Pelaksana Teknis (UPT) Karantina Pertanian yang memiliki IKH sapi impor di Pulau Jawa. Sedangkan jumlah responden dokter hewan dan paramedik swasta masing-masing berjumlah 14. Untuk dokter hewan dan paramedik pemerintah diambil dari data distribusi pegawai dokter hewan dan paramedik yang sudah fungsional pada unit kerja Badan Karantina Pertanian Tahun 2011. Jumlah responden dipilih secara acak di setiap UPT dan besaran sampel yang diambil pada setiap UPT adalah proporsional terhadap jumlah petugas yang ada di setiap masing-masing UPT.

Pembagian besaran sampel responden dokter hewan dan paramedik pemerintah dihitung menggunakan software WinEpiscope 2.0 dengan tingkat kepercayaan 95%, prevalensi dugaan 50% dan tingkat kesalahan 10% (Billaud &


(32)

16

Leslie 2007). Prevalensi pada penelitian ini merupakan prevalensi dugaan responden yang mempunyai tingkat pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap biosekuriti yang baik. Besaran sampel dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3.

Tabel 2 Jumlah besaran sampel dokter hewan pemerintah

No Unit Pelaksana Teknis Besaran Sampel

1 BBKP Tanjung Priok 14

2 BBKP Soekarno-Hatta 10

3 BBKP Surabaya 12

4 SKP Kelas I Cilacap 4

Jumlah 40

Tabel 3 Jumlah besaran sampel paramedik pemerintah

No Unit Pelaksana Teknis Besaran Sampel

1 BBKP Tanjung Priok 13

2 BBKP Soekarno-Hatta 13

3 BBKP Surabaya 25

4 SKP Kelas I Cilacap 7

Jumlah 58

Pembobotan dan Penilaian Kuesioner

Pembobotan dan penilaian kuesioner pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penilaian Tingkat Pengetahuan

Penilaian tingkat pengetahuan petugas IKH dilakukan dengan membuat 20 pertanyaan mengenai biosekuriti di IKH. Responden diberikan pilihan “benar”, “salah”, dan “tidak tahu” (Hart et al. 2007). Setiap jawaban yang benar diberikan nilai “1” dan jawaban yang salah serta tidak tahu diberikan nilai “0” (Palaian et al. 2006). Skor nilai dari pengetahuan ini mempunyai kisaran nilai 0-20. Pembagian kategori tingkat pengetahuan yaitu dilakukan dengan membagi tiga selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Hasil pembagian tersebut kemudian dijadikan selang untuk kategori tingkat pengetahuan.


(33)

Penilaian skor pengetahuan = Nilai maksimum - Nilai minimum 3

= 20 - 0 = 6,67 3

Tingkat pengetahuan “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 14, tingkat pengetahuan “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dan tingkat pengetahuan “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 7 (Siahaan 2007). Penilaian pengetahuan biosekuriti responden juga dilakukan dengan menggunakan rataan persentase skor pengetahuan yang diperoleh. Pengetahuan “baik” jika rataan persentase skor pengetahuan responden lebih besar sama dengan 50% dan pengetahuan “kurang” jika rataan persentase skor pengetahuan responden lebih kecil dari 50% (Bas et al. 2006).

2. Penilaian Tingkat Sikap

Penilaian tingkat sikap responden dilakukan dengan membuat sebanyak 20 pertanyaan mengenai biosekuriti di IKH. Responden diberikan pilihan “Tidak Setuju”, “Ragu-ragu” dan “Setuju” (Bas et al. 2006). Nilai untuk jawaban tidak setuju=1, ragu-ragu=2, dan setuju=3. Skor nilai dari sikap ini mempunyai kisaran nilai 20-60. Pembagian kategori tingkat sikap yaitu dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Hasil pembagian tersebut kemudian dijadikan selang untuk menentukan kategori tingkat sikap.

Penilaian skor pengetahuan = Nilai maksimum - Nilai minimum 3

= 60 - 20 = 13,33 3

Tingkat sikap “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 46, tingkat sikap “cukup” bila skor jawaban responden antara 33-46 dan tingkat sikap “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 33.


(34)

18

3. Penilaian Tingkat Praktik

Penilaian tingkat praktik responden terhadap biosekuriti di IKH dilakukan dengan membuat 14 pertanyaan mengenai praktik biosekuriti untuk dokter hewan dan 22 pertanyaan untuk paramedik. Pembobotan diberikan pada jawaban yang sesuai diberi nilai “1” dan yang kurang sesuai diberi nilai “0”. Sehingga kisaran nilai untuk praktik biosekuriti dokter hewan ini antara 0-14 dan kisaran nilai untuk paramedik antara 0-22. Pembagian kategori tingkat praktik dokter hewan dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 10, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 5-10 dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil dari 5. Pembagian kategori tingkat praktik paramedik juga dilakukan dengan membagi 3 selisih antara skor total maksimal dengan skor minimal. Tingkat praktik “baik” bila skor jawaban responden mencapai lebih besar dari 14, tingkat praktik “cukup” bila skor jawaban responden antara 7-14 dan tingkat praktik “kurang” bila skor jawaban lebih kecil 7. 4. Penilaian Biosekuriti IKH

Penilaian ini dilakukan dengan cara mengukur tingkat biosekuriti IKH baik milik pemerintah maupun milik swasta. Penilaian IKH dilakukan dengan menggunakan 33 pertanyaan mengenai biosekuriti yang meliputi lokasi dan tindakan biosekuriti di IKH yang tertuang dalam kuesioner. Penilaian juga dilakukan dengan observasi langsung menggunakan checklist yang terdiri dari 51 pertanyaan. Checklist yang dibuat berisi tentang kondisi saat ini mengenai tindakan biosekuriti, sarana dan prasarana penunjang penerapan biosekuriti di IKH. Penilaian yang dilakukan dengan memberikan nilai “1” pada IKH yang melakukan tindakan biosekuriti dan nilai “0” yang tidak melakukan tindakan biosekuriti. Hasil penilaian total untuk praktik biosekuriti di IKH adalah penjumlahan kuisioner praktik bioskuriti di IKH (skor 33) dengan hasil observasi (skor 51). Dengan demikian nilai total (nilai maksimum) diperoleh untuk tingkat biosekuriti IKH adalah “84” dan nilai total minimum adalah “0”. Pembuatan kategori biosekuriti IKH dilakukan dengan cara selisih nilai total maksimum dan minimum dibagi 3, kemudian hasil pembagian ini


(35)

dijadikan selang untuk membagi kategori tingkat biosekuriti. Hasil pembagian kategori tersebut yaitu: (1) biosekuriti baik jika skor lebih besar dari 56, (2) biosekuriti cukup jika skor antara 28–56, dan (3) biosekuriti kurang jika skor lebih kecil dari 28.

Definisi Operasional

Penelitian ini memiliki beberapa peubah yang didefinisikan dalan definisi operasinal yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Definisi operasioanal peubah penelitian

Peubah Penelitian

Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran

Skala Pengukuran Umur Usia responden yaitu

dokter hewan dan paramedik yang pernah melakukan tindakan karantina sapi impor di IKH.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = < 30 tahun, 2 = 30-40 tahun, 3 = >40 tahun Jenis

kelamin

Jenis kelamin responden dokter hewan dan paramedik yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Kuesioner Wawancara Nominal 1 = Laki-laki, 2 = Perempuan

Lama bekerja

Masa kerja responden dokter hewan dan paramedik dimana institusi responden bekerja.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = < 1` tahun, 2 = 1 - 2 tahun, 3 = 3 – 5 tahun, 4 = >5 tahun Pendidikan Pendidikan formal

responden paramedik yang pernah diikuti.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = SMU, 2 = STPP, 3 = SPP, 4 = Lain-lain (D3, S1, S2) Pelatihan Pelatihan yang pernah

diikuti mengenai IKH dan biosekuriti.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak


(36)

20

Peubah Penelitian

Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran Skala Pengukuran Tim studi kelayakan IKH Responden dokter hewan dan paramedik pernah ikut terlibat dalam tim studi penilaian kelayakan IKH.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Pengetahuan dokter hewan

Pengetahuan dokter hewan tentang teori biosekuriti yang terdiri dari sanitasi, isolasi, kontrol lalu lintas dan penularan penyakit yang mungkin bisa masuk akibat importasi sapi.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Benar 0 = Salah dan tidak tahu Pengetahuan paramedik Pengetahuan paramedik tentang teori biosekuriti yang terdiri dari sanitasi, isolasi dan kontrol lalu lintas pada IKH sapi impor.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Benar 0 = Salah dan tidak tahu

Sikap dokter hewan

Sikap dokter hewan tentang biosekuriti yang terdiri dari sanitasi, isolasi, kontrol lalu lintas dan penularan penyakit yang mungkin bisa masuk akibat importasi sapi.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Tidak setuju, 2 = Ragu-ragu, 3 = Setuju

Sikap paramedik

Sikap paramedik tentang biosekuriti yang terdiri dari sanitasi, isolasi dan kontrol lalu lintas pada IKH sapi impor.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Tidak setuju 2 = Ragu-ragu 3 = Setuju Praktik

dokter hewan

Praktik aktual biosekuriti dokter hewan pada IKH sapi impor.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 =

Melakukan praktik biosekuriti 0 = tidak melakukan praktik biosekuriti


(37)

Peubah Penelitian

Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran Skala Pengukuran Praktik paramedik Praktik aktual biosekuriti paramedik pada IKH sapi impor.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 =

Melakukan praktik biosekuriti 0 = tidak melakukan praktik biosekuriti Mencuci tangan Tindakan mencuci tangan dengan air bersih dan menggunakan desinfektan yang bertujuan untuk meminimalkan kontaminasi dan mencegah penyebaran penyakit.

Kuesioner Wawancara dan

observasi

Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Peralatan steril

Peralatan yang digunakan selama tindakan karantina. Peralatan ini sebelum digunakan dalam keadaan steril. Hal ini dapat dilakukan dengan mencuci menggunakan desinfektan sebelum dan setelah digunakan, disterilkan menggunakan alat sterilisasi dan atau menggunakan

peralatan steril sekali pakai. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Kandang isolasi

Kandang khusus yang digunakan untuk hewan yang sakit dan berjarak minimal 25 meter dari kandang ternak yang sehat/kandang pemeliharaan. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak


(38)

22

Peubah Penelitian

Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran Skala Pengukuran Penanganan hewan yang sakit Pemisahan hewan yang sakit dengan yang sehat sesegera mungkin dan

dimasukkan ke dalam kandang isolasi.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Pengawasan lalu lintas kendaraan dan pengunjung IKH

Setiap kendaraan dan pengunjung IKH harus dilakukan desinfeksi menggunakan

dipper/sprayer untuk kendaraan dan dipping sepatu.

Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Tindakan terhadap hewan lain di IKH

Petugas harus menjaga agar tidak ada hewan lain (anjing, kucing, kambing, domba, unggas, burung) dan dengan cara

mengeluarkan hewan dari area IKH.

Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Tindakan terhadap rodensia di IKH Petugas harus mengendalikan adanya rodensia dengan menggunakan perangkap atau racun.

Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Tindakan terhadap serangga di IKH Petugas harus mengendalikan adanya serangga dengan menggunakan perangkap atau racun (insektisida). Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Tindakan terhadap burung liar di IKH Petugas harus mengendalikan adanya burung liar dengan menjaga sanitasi yaitu tidak membiarkan pakan berceceran di area kandang. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak


(39)

Peubah Penelitian

Definisi Operasional Alat Ukur Cara Pengukuran Skala Pengukuran Perlakuan hewan yang mati Kegiatan penanganan hewan yang mati/bangkai dengan cara dibakar atau dikubur. IKH harus menyediakan tempat khusus untuk

penanganan hewan yang mati ini.

Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Pengawasan lalu lintas pakan

Mengawasi kendaraan yang membawa pakan dari luar IKH tidak boleh memasuki ke area kandang

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Penanganan limbah

Perlakuan yang dilakukan di IKH terhadap limbah (kotoran ternak/feses) seperti pengeringan, ditampung atau dijadikan pupuk. Kuesioner dan checklist Wawancara dan observasi Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Pengamatan hewan di IKH Tindakan yang dilakukan untuk mengamati kondisi kesehatan hewan yang dilakukan dengan cara menangani hewan sehat terlebih dahulu sebelum menangani hewan yang sakit.

Kuesioner Wawancara Ordinal 1 = Ya 0 = Tidak

Analisis Data

Penilaian kondisi IKH dilakukan secara deskriptif, sedangkan hubungan karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan, lama bekerja, pelatihan biosekuriti dan IKH, dan keterlibatan dalam tim penilaian IKH) terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik dianalisis menggunakan Uji Korelasi Spearman. Hubungan antara pengetahuan dan sikap terhadap praktik biosekuriti dokter hewan dan paramedik dianalisis menggunakan Uji Korelasi Pearson.


(40)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Instalasi Karantina Hewan Sapi Impor

Instalasi karantina hewan (IKH) merupakan suatu bangunan berikut peralatan dan bahan serta sarana pendukung yang diperlukan sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina. Instalasi karantina hewan harus memenuhi persyaratan teknis baik lokasi, konstruksi, sistem drainase, kelengkapan sarana dan prasarana. Penetapan lokasi berkaitan dengan analisis risiko penyebaran hama penyakit, peta situasi hama penyakit hewan, kesejahteraan hewan, sosial budaya dan lingkungan serta jauh dari lokasi budidaya hewan lokal.

Kontruksi bangunan instalasi harus kuat dan memenuhi persyaratan sehingga dapat menjamin keamanan media pembawa, petugas ataupun pekerja. IKH harus dilengkapi dengan sarana penunjang yang mudah dibersihkan dan disucihamakan serta memiliki sistem drainase dan sarana pembuangan limbah yang baik. Hal ini untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan oleh limbah dan menghindari kemungkinan penyebaran hama penyakit hewan karantina. Persyaratan dan tata cara penetapan IKH tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan IKH dan Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor 348 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis IKH Untuk Ruminansia Besar.

Pada Tabel 5 dapat dilihat IKH milik pemerintah dan swasta yang terdapat di Pulau Jawa. IKH di Pulau Jawa yang masih digunakan terdapat di wilayah kerja BBKP Tanjung Priok, BBKP Soekarno-Hatta, BBKP Surabaya dan SKP Kelas I Cilacap. Instalasi Karantina Hewan milik swasta mempunyai jumlah lebih banyak dibandingkan dengan IKH milik pemerintah (Tabel 5).

Kondisi IKH mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini terletak pada lokasi, fasilitas, sarana dan prasarana yang tersedia pada IKH tersebut. Penerapan tindakan biosekuriti dapat dipengaruhi oleh faktor pendukung diantaranya fasilitas, sarana dan prasarana yang tersedia, sehingga tindakan biosekuriti dapat diterapkan secara maksimal dengan adanya faktor pendukung tersebut.


(41)

Tabel 5 Instalasi karantina hewan sapi impor di Pulau Jawa yang masih digunakan untuk melakukan tindakan karantina tahun 2010-2011

No. Unit Pelaksana Teknis IKH Pemerintah IKH Swasta

1. BBKP Tanjung Priok Tidak ada 8

2. BBKP Soekarno-Hatta Tidak ada 4

3. BBKP Surabaya 1 1

6. SKP Kelas I Cilacap 1 1

Jumlah 2 14

Penilaian Kondisi IKH

Penilaian IKH pada penelitian ini antara lain mencakup lokasi dan tindakan biosekuriti yang dilakukan di IKH. Penilaian lokasi meliputi: (1) jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, (2) jarak lalu lintas umum dengan IKH, (3) jarak IKH dengan peternakan sejenis, (4) jarak IKH dengan pemukiman penduduk, dan (5) tinggi pagar keliling IKH. Untuk penilaian biosekuriti aspek yang dilihat adalah: (1) tempat pembuangan akhir limbah, (2) fasilitas kandang isolasi khusus, (3) jarak kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan/pengamatan, (4) sumber air untuk keperluan IKH, (5) desinfeksi kendaraan yang keluar masuk IKH, (6) desinfeksi pengunjung yang keluar masuk IKH, (7) sarana alat angkut dan peralatan, (8) pengendalian rodensia, (9) pengendalian serangga, (10) pengendalian burung liar, dan (11) pengendalian hewan lain. Penilaian lainnya yang dilakukan yaitu: (1) fasilitas tempat khusus pembuangan sisa peralatan medis, (2) penyakit yang pernah terdeteksi di IKH, dan (3) keluhan masyarakat tentang keberadaan IKH. Pada penelitian ini telah dilakukan penilaian terhadap 16 IKH yang terdiri dari 2 IKH milik pemerintah dan 14 IKH milik swasta. IKH yang digunakan untuk penilaian adalah IKH yang masih layak sebagai tempat untuk melakukan tindakan karantina terhadap sapi impor. Hasil penilaian kondisi IKH dapat dilihat dibawah ini:

Lokasi

Lokasi merupakan aspek penting dalam penetapan pendirian IKH. Lokasi berhubungan dengan transportasi dan jarak tempuh dengan melihat risiko terhadap penyebaran penyakit dan aspek kesejahteraan hewan. Transportasi hewan dari tempat pemasukan (pelabuhan atau bandar udara) sampai tempat tujuan yaitu IKH


(42)

26

akan mempengaruhi aspek kesejahteraan hewan. Menurut Fisher et al. (2009), transportasi dapat mempengaruhi kesejahteraan hewan diantaranya adalah:

1. Penanganan (handling), bongkar muat (loading), kenyamanan alat angkut, dan pengalaman petugas dapat mempengaruhi respon psikologi stres hewan. 2. Ketersediaan pakan dan minum selama transportasi (dengan

memperhitungkan jarak tempuh), ruang gerak (berdiri, berbaring, menjaga keseimbangan tubuh) dapat mempengaruhi psikologi dan kondisi hewan (kelelahan).

3. Suhu dan kondisi alat angkut selama perjalanan serta kondisi jalan.

Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa sebanyak 56,2% IKH mempunyai jarak kurang dari 100 km, namun masih terdapat IKH yang berjarak lebih dari 100 km (43,8%). Menurut pedoman yang ada bahwa jarak IKH maksimal adalah 100 km atau menempuh jarak kurang lebih 3 jam perjalanan dari pelabuhan pemasukan (Barantan 2006). Aspek jarak ini sangat penting, karena jika dalam importasi sapi tidak terdeteksi penyakit atau hewan sehat namun dalam keadaan subklinis terhadap suatu penyakit atau hewan bersifat carrier penyakit tertentu, risiko masuk dan penyebaran penyakit akan semakin besar. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi sepanjang perjalanan dari pelabuhan pemasukan sampai ke IKH.

Tabel 6 Kondisi jarak IKH dari pelabuhan pemasukan, lalu lintas umum, peternakan sejenis, dan pemukiman penduduk

Lokasi IKH Jumlah %

Jarak IKH dari pelabuhan pemasukan <100 km 9 56,2 Jarak IKH dari lalu lintas umum >100 m 14 87,5 Jarak IKH dari peternakan sejenis >500 m 7 43,8 Jarak IKH dari pemukiman penduduk >500 m 8 50,0

Ketika ternak ditransportasikan terdapat kemungkinan risiko kontak dengan hewan atau material yang terinfeksi agen patogen, misalnya alat angkut yang digunakan tidak dibersihkan dan didisinfeksi secara baik. Hal ini juga meningkatkan kemungkinan kerentanan hewan terinfeksi dan terkena penyakit jika dalam perjalanan hewan menjadi stres (Cockram 2007).


(43)

Pergerakan hewan dari suatu tempat akan menimbulkan risiko penyebaran penyakit, beberapa penyakit seperti bovine tuberculosis dan penyakit mulut dan kuku (PMK) merupakan penyakit yang penyebarannya dapat disebabkan oleh pergerakan hewan dari satu tempat ke tempat lain. Wabah penyakit PMK pernah terjadi pada awal tahun 2001 di United Kingdom akibat pergerakan hewan dari suatu tempat ke tempat lain (Brennan et al. 2008).

Kondisi selama perjalanan akan mempengaruhi respon psikologi hewan. Jika kondisi selama perjalanan dapat dijaga dengan baik dan optimal, seperti: cara mengemudi, kondisi jalan, kelayakan alat transportasi, jarak antar hewan, kondisi suhu dan ventilasi, kondisi hewan (tidak ada gejala klinis penyakit, luka, atau kondisi psikologi hewan yang dapat mempengaruhi hewan selama perjalanan), dan penanganan hewan sebelum dan sesudah ditransportasikan, dapat memungkinkan hewan ditransportasikan dalam jarak jauh. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi transportasi hewan antara lain: jarak antar hewan didalam alat angkut, cara mengemudi (frekuensi mengerem, banyaknya belokan yang dilalui selama perjalanan), dan kondisi jalan yang dilalui. Kondisi tersebut akan mempengaruhi kemampuan hewan untuk menjaga keseimbangan dan posisi berbaring (Cockram 2007).

Jarak lalu lintas umum dengan lokasi IKH sesuai pedoman yang ada yaitu minimal 100 meter. Pada Tabel 6 dapat dilihat sebanyak 87,5% jarak IKH dengan lalu lintas umum sudah sesuai pedoman yang ada, namun masih terdapat 2 IKH (12,5%) yang mempunyai jarak dengan lalu lintas umum kurang dari 100 meter. Jarak merupakan faktor risiko penyebaran penyakit yang perlu diperhatikan. Lokasi IKH yang berdekatan dengan lalu lintas umum akan meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit akibat adanya lalu lintas hewan yang akan melewati IKH tersebut. Hal ini meningkatkan risiko adanya penyebaran penyakit ke area IKH jika hewan yang melewati IKH tersebut ada yang terinfeksi penyakit menular. Penyebaran penyakit juga dapat disebabkan oleh alat angkut yang terkontaminasi oleh agen penyakit.

Instalasi karantina hewan harus didirikan jauh dari peternakan sejenis yaitu minimal berjarak 500 meter. Tabel 6 menunjukkan bahwa sebanyak 43,8% IKH mempunyai jarak dengan peternakan sejenis lebih dari 500 meter, namun masih


(44)

28

ada IKH yang berjarak kurang dari 500 meter yaitu sebanyak 56,2%. Dari hasil observasi terdapat IKH yang didirikan berdekatan dengan peternakan sejenis yaitu peternakan untuk penggemukan dan pembibitan. Selain itu ada juga IKH yang disatukan dengan kandang penggemukan dan pembibitan. Hal ini dikarenakan terbatasnya lahan dan anggaran untuk mendirikan IKH sedangkan importir sudah memiliki fasilitas kandang permanen untuk penggemukan maupun pembibitan.

Jarak IKH yang berdekatan dengan peternakan sejenis memungkinkan terjadinya penularan penyakit akibat pergerakan hewan yang terdapat di area IKH. Pergerakan hewan dan kontak dengan agen penyakit ini tergantung dari jenis peternakan, luas peternakan, dan populasi hewan di dalam peternakan (Brennan et al. 2008).

Jarak yang berdekatan dengan lokasi peternakan lain akan berpeluang terjadinya penyebaran penyakit. Menurut Le et al. (2008), satu peternakan dengan peternakan sejenis dan peternakan lain jenis perlu dipisahkan dan dibuat jarak untuk mengendalikan penyebaran penyakit, seperti malignant cattarhal fever (MCV).

Jarak IKH dengan pemukiman penduduk harus lebih dari 500 meter. Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa IKH yang ada sebanyak 50% sudah berjarak lebih dari 500 meter dari pemukiman penduduk, namun demikian masih terdapat IKH yang lokasinya berdekatan dengan pemukiman penduduk yaitu kurang dari 500 meter sebanyak 50%. Instalasi karantina hewan merupakan tempat pengasingan dan pengamatan hewan terhadap kondisi kesehatan hewan dan mencegah penyakit menyebar diantara hewan dan ke lingkungan sekitar. Biosekuriti yang tidak maksimal pada IKH akan berisiko menyebarkan penyakit ke lingkungan sekitar. Jarak IKH yang berdekatan dengan pemukiman penduduk akan menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran air, bau, lalat dan gangguan kesehatan masyarakat khususnya penyakit zoonotik.

Risiko penyebaran penyakit dapat terjadi akibat lokasi IKH dengan pemukiman penduduk yang berdekatan. Risiko ini dapat berupa penularan penyakit yang berasal dari feses ternak dan vektor (lalat dan nyamuk) yang bisa bertindak sebagai pembawa penyakit yang dapat ditularkan diantara hewan dan manusia.


(45)

Penyebaran penyakit infeksi hewan dapat terjadi dengan berbagai cara antara lain melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, feses, insekta, atau vektor pembawa penyakit, partikel aerosol, dan melalui cara venereal route (saat kawin). Penyebaran lain yaitu melalui kontak tidak langsung diantaranya terdedah oleh peralatan yang terkontaminasi, kendaraan, alat angkut hewan, pakaian, sepatu bot atau tangan (Wagner et al. 2011).

Permasalahan akan timbul akibat adanya lokasi IKH yang berdekatan dengan lokasi penduduk, diantaranya adalah bau, lalat dan pencemaran air. Permasalahan ini timbul akibat limbah kotoran hewan yang tidak ditangani secara baik. Kotoran hewan (feses) merupakan media yang dapat menularkan penyakit. Paratuberkulosis merupakan penyakit zoonotik yang dapat ditularkan melalui feses. Di dalam feses terutama yang cair, bakteri ini dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang relatif lama tergantung dengan kondisi lingkungan. Pakan dan air yang tercemar oleh feses merupakan sumber infeksi bagi ternak yang lain, terutama ternak–ternak yang masih muda.

Susu dari induk yang terinfeksi oleh M. paratuberculosis akan semakin banyak mensekresikan bakteri ini seiring dengan tingkat keparahan penyakit atau dapat juga melalui puting yang tercemar feses yang mengandung bakteri ini, sehingga ternak yang menyusu akan terinfeksi. Padang pengembalaan atau padang rumput juga bisa tercemar dan dapat sebagai sumber infeksi, hal ini bisa terjadi jika dialiri dengan air yang telah tercampur dan terkontaminasi oleh feses hewan terinfeksi. Praktik manajemen yang perlu dilakukan untuk mengendalikan Paratuberkulosis diantaranya sanitasi area peternakan, mengurangi kepadatan ternak, meminimalkan kontaminasi kotoran (feses) pada pakan dan sumber air minum, dan memisahkan hewan yang muda dengan hewan yang tua (Benjamin et al. 2010).

Insekta dapat terlibat dalam transmisi virus penyebab enzootic bovine leucosis (EBL), transmisi alami tergantung sel yang terinfeksi masuk kedalam tubuh misalnya selama proses kelahiran (parturition), potong tanduk, pemasangan eartag, inseminasi buatan, jarum suntik yang terkontaminasi, peralatan bedah, dan sarung tangan yang dipakai pada saat pemeriksaan rektal. Pada daerah dengan populasi lalat yang banyak, transmisi dapat terjadi secara mekanik, dimana virus


(46)

30

dapat dipindahkan oleh lalat Tabanidae. Penularan penyakit ini melalui darah dan sering juga akibat praktik manajemen di peternakan (injection, dehorning, tattooing, tagging dan pregnancy checking) (Kidwell 2008).

Observasi yang dilakukan selama penelitian didapatkan bahwa pada umumnya 75% pagar IKH sapi impor yang terdapat di Pulau Jawa mempunyai tinggi lebih dari 2 meter. Pagar merupakan pelindung terhadap lingkungan luar. Pagar IKH didirikan sebagai tindakan isolasi agar penyebaran penyakit tidak dapat masuk ke dalam IKH dan sebaliknya agen penyakit tidak dapat keluar IKH. Pagar juga berfungsi sebagai sarana kontrol lalu lintas hewan dan pengunjung supaya tidak bebas keluar masuk ke dalam area IKH.

Lokasi IKH yang akan didirikan harus dikoordinasikan dengan pemerintah daerah setempat untuk mendapatkan ijin rekomendasi pendirian IKH. Sebelum IKH didirikan terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: status penyakit daerah setempat, letak geografis, iklim, air, tanah dan lingkungan sekitar. Instalasi karantina hewan yang akan didirikan harus memperhatikan jarak dari pelabuhan pemasukan, hal ini berhubungan dengan kesejahteraan hewan pada saat hewan ditransportasikan dari pelabuhan tempat pemasukan ke IKH. Lokasi IKH yang jauh akan menyebabkan perjalanan memakan waktu tempuh yang panjang sehingga akan mempengaruhi kondisi hewan. Penyakit akan muncul akibat adanya transportasi hewan. Munculnya penyakit ini ditunjang oleh kesejahteraan hewan yang kurang mendapat perhatian selama perjalanan. Kesejahteraan hewan yang kurang mendapat perhatian selama perjalanan akan menurunkan sistem kekebalan tubuh hewan yang akan berakibat terpaparnya hewan oleh agen infeksius. Kondisi stres pada hewan selama dalam perjalanan akan meningkatkan pengeluaran agen patogen oleh hewan yang terinfeksi melalui sekresi hidung, aerosol (sistem pernafasan) dan feses. Pengeluaran agen patogen ini (shedding) dapat mengkontaminasi alat angkut, peralatan, dan daerah yang dilewati sepanjang perjalanan (EFSA 2004).

Transportasi hewan dapat menjadi sumber penularan penyakit infeksi pada hewan dan dapat bersifat zoonotik. Karantina pertanian sebagai institusi yang bertugas melakukan tindakan pencegahan masuk dan menyebarnya penyakit perlu meningkatkan pengawasan diantaranya: (1) mengetahui status penyakit hewan


(47)

daerah asal, (2) hanya hewan yang sehat yang diijinkan melakukan perjalanan, (3) melakukan pengujian klinis terhadap hewan yang akan ditransportasikan dan (4) melakukan tindakan biosekuriti yaitu cleaning dan disinfeksi alat angkut dan peralatan yang digunakan.

Tindakan Biosekuriti di IKH

Biosekuriti adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan kontak/penularan dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit (Ditjenak 2007). Tujuan utama penerapan biosekuriti adalah untuk menghentikan masuknya penyakit dan penyebaran penyakit dengan cara mencegah, mengurangi atau mengendalikan kontaminasi silang dari media pembawa yang dapat menularkan agen penyakit (feses, urine, saliva, sekresi dari alat pernapasan dan lain-lain).

Praktik manajemen biosekuriti dibuat untuk mencegah penyebaran penyakit dengan meminimalkan perjalanan atau perluasan agen penyakit dan vektor (rodensia, lalat, nyamuk, kutu, caplak dan lain-lain) di dalam suatu area peternakan. Biosekuriti merupakan cara yang murah, paling efektif untuk pengendalian penyakit dan tidak akan ada program pencegahan penyakit yang berjalan dengan baik tanpa adanya penerapan biosekuriti.

Tabel 7 memperlihatkan bahwa sebanyak 43,8% IKH sudah memiliki fasilitas kandang isolasi, namun masih ada IKH yang tidak menyediakan fasilitas kandang isolasi khusus yaitu sebanyak 56,2%. Hal ini dikarenakan keterbatasan anggaran yang tersedia. Hasil observasi diperoleh bahwa IKH yang tidak memiliki kandang isolasi khusus menggunakan kandang pemeliharaan sebagai kandang isolasi sehingga menghemat anggaran yang ada.

Kondisi ini menyebabkan jarak antara kandang isolasi dengan kandang pemeliharaan di IKH masih ada yang kurang dari 25 meter (18,8%). Isolasi hewan merupakan tindakan biosekuriti untuk mencegah penyebaran agen penyakit dari hewan yang terinfeksi. Ketersediaan kandang isolasi khusus sangat penting sebagai tindakan untuk meminimalkan dan mencegah kontaminasi penyakit yang terjangkit di IKH, sehingga penerapan biosekuriti menjadi maksimal.


(1)

NO PERNYATAAN SETUJU RAGU-RAGU

TDK STJ 10. Menurut pendapat saya

mengendalikan/kontrol pergerakan terhadap manusia, hewan, peralatan dan kendaraan yang keluar masuk adalah tindakan isolasi yang dilakukan untuk mencegah penyakit masuk dan menyebar di IKH.

11. Menurut pendapat saya tindakan isolasi dapat dilakukan dengan tidak mengijinkan pengunjung dan

kendaraan yang tidak berkepentingan masuk ke dalam area IKH sehingga dapat meminimalkan risiko penularan penyakit.

12. Saya yakin kontrol lalu lintas

dilakukan untuk mencegah tertularnya penyakit pada ternak dengan

melakukan pengamatan dan

pemeriksaan dari hewan yang sehat kemudian yang sakit dan juga dari hewan yang berumur tua ke hewan yang masih muda.

13. Saya setuju bahwa tanda peringatan dan pintu gerbang yang dijaga dengan pengawasan ketat adalah salah satu tindakan biosekuriti untuk mengontrol lalu lintas keluar masuknya manusia dan hewan.

14. Menurut saya rodensia merupakan agen pembawa penyakit infeksius seperti salmonella yang dapat megkontaminasi pakan dan

lingkungan yang akan mengakibatkan kasus diare pada ternak.


(2)

100

NO PERNYATAAN SETUJU

RAGU-RAGU

TDK STJ 15. Menurut saya, pakan tidak dapat

menularkan salmonella akan tetapi memungkinkan perkembangan jamur dan kapang seperti aspergillus yang dapat mnyebabkan pneumonia pada ternak dan mikotoksin yang

mengandung racun berbahaya. 16. Menurut saya ,Cleaning dan

Disinfeksi merupakan istilah yang mempunyai pengertian sama yaitu suatu usaha bertujuan untuk

menghilangkan debu, tanah, dan bahan organik seperti darah, sekresi dan mikroorganisme.

17. Saya yakin sumber dan jenis air yang digunakan untuk keperluan IKH dapat mempengaruhi daya kerja beberapa zat disinfektan sehingga akan mengurangi kemampuan untuk membunuh mikroorganisme yang merugikan.

19. Saya percaya bahwa Composting merupakan suatu metode pengelolaan limbah peternakan yang aman, mengurangi bau tidak sedap dan mencegah polusi air.

20. Menurut saya pergerakan hewan perlu dibatasi di area IKH agar

meminimalkan risiko penyebaran penyakit.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ali M. 2003. Pengetahuan, sikap, dan perilaku ibu bekerja dan ibu tidak bekerja tentang imunisasi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Medan: Universitas Sumatra Utara.

Barantan [Badan Karantina Pertanian Republik Indonesia]. 2006. Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian Nomor : 348 /kpts /PD.670.210/L/12/2006 Tentang Pedoman Persyaratan Teknis Instalasi Karantina Hewan Untuk Ruminansia Besar. Jakarta: Barantan RI.

Barantan [Badan Karantina Pertanian Republik Indonesia]. 2011. Tempat pemasukan sapi dari luar negeri. Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati Hewani. Jakarta: Barantan RI.

Barrington GM, Allen AJ, Parish SM, Tibary A. 2006. Biosecurity and biocontainment in alpaca operations. J Small Ruminant Res 6:217–225. Bas M, Ersun AS, Kivanc G. 2006. The evaluation of food hygiene knowledge,

attitude and practices of food handlers in food bussiness in Turkey. J Food Control 17:317-322.

Benjamin et al. 2010. Attitude toward biosecurity practices relevant to Johne’s disease control on beef cattle farm. J Prev Vet Med 94:222-230.

Billaud J, Lesslie T. 2007. Avian influenza knowledge, attitude and practices (KAP) survey. Kabul: Sayara Media.

Bonanno R. 2011. New disease treathen australian cattle. http://www. farmbiosecurity.com.au/ 2011/ new-diseases- threaten- australian- cattle/ [22 Desember 2011].

Bowman GL, Shulaw WP. 2001. On-farm biosecurity: traffic control and sanitation. J Prev Vet Med 6:01-03.

Brennan ML, Kemp R, Christley RM. 2008. Direct and indirect contacts between cattle farms in north-west England. J Prev Vet Med 84:24-260.

Budisuari MA, Oktorina, Hanafi F. 2009. Hubungan antara karakteristik responden, keadaan wilayah, dengan pengetahuan, sikap terhadap HIV/AIDS pada masyarakat Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 12:362-369.

Buhman M, Dewell G, Griffin D. 2007. Biosecurity basic for cattle operations and good management practices (GMP) for controlling infectious diseases. http :// www. ianrpubs. unl. edu / pages / publication D.jsp? publicationId=433 [18 Desember 2011].


(4)

58

Casal J, Manuel AD, Mateu E, Martın M. 2007. Biosecurity measures on swine farms in spain: Perceptions by farmers and their relationship to current on-farm measures. J Prev Vet Med 82:138-150.

Cockram MS. 2007. Criteria and potential reasons for maximum journey times for farm animals destined for slaughter. J Anim Behav Sci 106:234- 243.

CDC [Centre for disease control]. 2003. A guide to selection and use of disinfectants. US: Department of Health and Human Services US.

Deptan [Departemen Pertanian Republik Indonesia]. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34 Tahun 2006 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penetapan Instalasi Karantina Hewan. Jakarta: Deptan RI.

Ditjenak [Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia]. 2007. Peraturan Direktur Jenderal Peternkan Tentang Petunjuk Teknis Kesehatan Hewan dan Biosekuriti Pada Unit Pelaksana Teknis Perbibitan.. Jakarta: Ditjenak RI. Ditjenak [Direktorat Jenderal Peternakan Republik Indonesia]. 2010. Biosekuriti.

Jakarta: Ditjenak RI.

EFSA [European Food Safety Authority]. 2004. The welfare of animal during transport. Scientific report of the scientific panel on animal helth and welfare on a request from the commission related to the welfare of animals during transport. United Kingdom.

Fisher AD, Colditz IG, Lee C, Ferguson DM. 2009. The influence of land transport on animal welfare in extensive farming systems. J Vet Behav

4:151-162.

Gunn GJ, Heffernan C, Hall M, McLeod A, Hovi M. 2008. Measuring and comparing constraints to improved biosecurity amongst GB farmers, veterinarians and auxiliary industries. J Prev Vet Med 84:310-323.

Handayani DS. 2008. Hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap dengan perilaku para wanita dewasa awal dalam melakukan pemeriksaan payudara sendiri di kelurahan Kalangan kecamatan Pedan Klaten. [skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.

Hart MB, Cathy MS, Meumann M, Veltri AT. 2007. Hand injury prevention training: assessing knowledge, attitude, and behaviour. J SH&E Research

3:1-23.

Kidwell B. 2008. Bovine leukosis virus (Here’s how you can dodge the bullet). J Angus September 2008:76-77.

Kristensen E, Jakobsen EB. 2011. Danish dairy farmer’s perception of biosecurity. J Prev Vet Med 99:122-129.


(5)

Larson RL. 2008. Epidemiology and disease control in everyday beef practice. J Theriogen 70:565-568.

Li H, Karney G, O’Toole D, Crawford TB. 2008. Long distance spread of malignant cattarhal fever virus from feedlot lambs to ranch bison. J Can Vet

49:183-185.

Manggarsari Y. 2011. Epistomologi. [Makalah Filsafat Ilmu]. Palembang: Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya.

NASDA [National Association of State Departments of Agriculture]. 2001. The Animal Health Safeguarding Review Result and Recommendation. NASDA: Washington DC.

Negrón MN, Raizman EA, Pogranichniy R, Hilton WM, Léy M. 2011. Survey on management practices related to the prevention and control of bovine viral diarrhea virus on dairy farm in Indiana, United States. J Prev Vet Med 99: 130-135.

Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta.

OIE [Office Internasional et Epizootica]. 2009. Animal welfare and beef cattle production systems. www.oie.int.

Palaian S et al. 2006. Knowledge, attitude and practices outcomes: evaluating the impact of counseling in hospitalized diabetic patient in India. J Pharmacol

7:383-396.

Parish JA, Rhinehart JD. 2008. Beef cattle water requirements and source management. Publication 2490. Mississippi State University and U.S. Department of Agriculture.

Randusari P. 2007. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya pengendalian penyakit flu burung (studi terhadap pemilik unggas perumahan di kecamatan Bogor Utara). [tesis]. Jakarta. Program Pascasarjana Manajemen Pembangunan Sosial, Universitas Indonesia. Salam DS. 2005. Peranan pendidikan dan pelatihan dalam meningkatkan

kompetensi dan kualitas sumber daya manusia aparatur. Jurnal Administrasi Publik 1: 01-11.

SEERAD [The Scotish Executive Environment Rural Affairs Department. 2006. Biosecurity : What is it?. http: // www. scotland. gov. uk/Topic s/Agriculture / animal-welfare/ Disease/ GenControls.15721. [18 Desember 2011]


(6)

60

Siahaan SJ. 2007. Pengaruh tingkat biosekuriti terhadap pemaparan avian influenza pada unggas air (studi kasus kontrol di Kabupaten Bogor dan Sukabumi). [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Steenwinkel SV, Ribbens S, Ducheyne E, Goossens E, Dewulf J. 2011. Assessing

biosecurity practices, movements and densities of poultry sites across Belgium, resulting in different farm risk-groups for infectious disease introduction and spread. J Prev Vet Med 98:259-270.

Wagner B, Traub-Dargatz J, Kopral C. 2011. Relationship of biosecurity practices with the use of antibiotics for the treatment of infectious diseases on U.S. eguine operations. J Prev Vet Med 10:130-136.

Troxel T. 2002. Cattle Biosecurity. University of Arkansas United States Department of Agriculture and County Governments Cooperating. University of Arkansas Division of Agriculture. Arkansas: University of Arkansas.

Yustina. 2006. Hubungan pengetahuan dan persepsi, sikap dan minat dalam pengelolaan lingkungan hidup pada guru sekolah dasar di kota Pekanbaru. J Biogenesis 2:67-71.

Zahid A. 1997. Hubungan karakteristik peternak sapi perah dengan sikap dan perilaku aktual dalam pengelolaan limbah peternakan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.