Study on Policy Implementation in Technical Implementing Units Agricultural Quarantine in Preventing the Spread of Rabies

(1)

KAJIAN

DI UP

DALAM PEN

SE

INST

AN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

UPT KARANTINA PERTANIAN

ENCEGAHAN PENYEBARAN RABIE

HELMI

SEKOLAH PASCASARJANA

STITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Kajian Implementasi Kebijakan di UPT Karantina Pertanian dalam Pencegahan Penyebaran Rabies adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Helmi NIM B251100244


(3)

ABSTRACT

HELMI. Study on Policy Implementation in Technical Implementing Units Agricultural Quarantine in Preventing the Spread of Rabies. Under direction of TRIOSO PURNAWARMAN and ABDUL ZAHID ILYAS.

The existence of guidelines or technical instructions in the prevention of the spread of rabies apparently dose not have an impact on reducing the spread and the number of rabies cases yet. This indicates there is a implementation gap between the implementation of the guidelines. This study aim to analyze the implementation of technical guidelines and requirements of quarantine measures against the introduction of traffic-borne animal rabies that is decision letter Head of the Agricultural Quarantine No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 in order to prevent the spread of rabies. In addition, this study also revealed the quality of preconditions and analyze the relationship of the preconditions to the implementation guidelines for preventing the spread of rabies. Analysis model used was adopted from the theory of Edward III by considering factors that influence the implementation of the communication, resources, disposition and bureaucratic structure (preconditions) using the survey method. The study found that the quality of the preconditions and implementation guidelines for the prevention of the spread of rabies is generally classified as moderate. There is a significant relationship between aspects of communication and the overall precondition to the implementation guidelines for the prevention of the spread of rabies (p<0.05) with strong and medium correlation level (r=0.644 and r=0.457). Keyword: policy, preconditions, implementation, guidelines, preventing, rabies.


(4)

RINGKASAN

HELMI. Kajian Implementasi Kebijakan di UPT Karantina Pertanian dalam Pencegahan Penyebaran Rabies. Dibimbing oleh TRIOSO PURNAWARMAN dan ABDUL ZAHID ILYAS.

Rabies merupakan penyakit yang ditakuti di dunia dan menempati urutan kedua setelah penyakit malaria dengan fatalitas mencapai 100%. Penyebaran rabies di Indonesia cenderung meningkat baik daerah sebar maupun kasus gigitan. Penyebaran rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Dalam kurun waktu 35 tahun setelah merdeka (1945-1980), rabies menyebar hampir ke 12 provinsi lainnya dan saat ini rabies telah menyebar di 24 provinsi. Upaya pengendalian rabies dalam tatanan perundangan telah dimulai sejak zaman Hindia Belanda tahun 1926 dan sampai saat ini peraturan/pedoman pengendalian telah cukup komprehensif. Badan Karantina Pertanian (Barantan) sebagai pelaksana pengawasan terhadap lalulintas hewan penular rabies (HPR) menetapkan pedoman sebagai dasar pelaksanaan dan keseragaman tindakan karantina hewan terhadap HPR yaitu SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya).

Keberadaan peraturan terlihat belum membawa dampak terhadap penurunan daerah sebar dan jumlah kasus rabies. Hal ini mengindikasikan ada ketidaksesuaian (implementation gap) antara implementasi dengan pedoman tersebut. Bertolak dari kondisi di atas, penelitian ini bertujuan menganalisa tingkat implementasi petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap

lalulintas pemasukan HPR yaitu SK Kepala Barantan

No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 dalam rangka pencegahan penyebaran rabies. Selain itu penelitian ini juga mengungkap kualitas prakondisi implementasi dengan memperhatikan faktor yang mempengaruhi implementasi yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi (prakondisi) dan menganalisa hubungan prakondisi dengan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies.

Penelitian dilaksanakan dengan metoda survei menggunakan kuesioner yang telah divalidasi yang terdiri dari tiga bagian yaitu karakteristik responden, prakondisi implementasi dan tingkat implementasi pedoman SK No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06. Populasi dalam penelitian ini adalah UPTKP yang berjumlah 49 dan sampel adalah pejabat struktural yang berjumlah 49 orang (Kasi karantina hewan/Kasubsi pelayanan operasional karantina hewan) dan pejabat fungsional medik veteriner di UPTKP yang berjumlah 140. Ukuran sampel yang diambil adalah 50% dari populasi pejabat fungsional dan ukuran sampel di UPT dihitung secara proporsional, sedangkan ukuran sampel untuk pejabat struktural diambil seluruhnya, dengan demikian total sampel adalah 128. Analisa data dilakukan secara deskriptif dan analisa hubungan menggunakan uji korelasi Pearson untuk melihat hubungan prakondisi dengan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies menggunakan SPSS 16.0. for windows.


(5)

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kualitas prakondisi implementasi SK No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 yang mencakup faktor komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi di UPTKP, secara keseluruhan kecenderungannya berada pada kategori sedang, yaitu dikemukakan oleh 81.6% UPTKP. Hasil ini mengindikasikan bahwa prakondisi harus ditingkatkan kualitasnya agar tercipta prakondisi yang dapat mendorong implementasi SK No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 berjalan secara efektif.

Kualitas tingkat implementasi SK No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya) pada kegiatan pemasukan HPR impor-antar area secara keseluruhan berada pada kategori sedang, yaitu dikemukakan oleh 90% UPTKP. Sedangkan kualitas tingkat implementasi pada kegiatan pemasukan HPR antar area juga berada pada kategori sedang, yaitu dinyatakan 90.5% UPTKP. Pada dua kegiatan pemasukan HPR ini, masih ditemukan implementation gap, namun yang menonjol ditemukan pada kegiatan pemasukan HPR antar area dimana hampir semua pernyataan dalam kegiatan pemasukan HPR antar area terdapat implementation gap. Hasil ini secara tegas mengisyaratkan perlunya peningkatan kualitas implementasi SK No. 344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 agar tujuan karantina dalam mencegah penyebaran rabies dapat dilaksanakan secara optimal.

Terdapat hubungan yang nyata antara aspek komunikasi dan prakondisi secara keseluruhan dengan tingkat implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies (p<0.05) pada kelompok kegiatan pemasukan HPR antar area dengan kekuatan korelasi yang kuat dan sedang (r=0.644 and r=0.457). Hasil analisa ini menunjukan hubungan yang positif, yaitu semakin tepat metoda komunikasi yang dilakukan maka kualitas implementasi semakin baik dan bila digeneralisasi seperti pendapat Edwards III bahwa semakin cepat pedoman disosialisasikan maka semakin tinggi probabilitas pedoman tersebut diimplementasikan.

Kata kunci: prakondisi, implementasi, petunjuk teknis, pencegahan, rabies


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

DI UPT KARANTINA PERTANIAN

DALAM PENCEGAHAN PENYEBARAN RABIES

HELMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

(9)

Judul Tesis : Kajian Implementasi Kebijakan di UPT Karantina Pertanian dalam Pencegahan Penyebaran Rabies

Nama : Helmi

NIM : B251100244

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si. drh. Abdul Zahid Ilyas, M.Si Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Agr.


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tesis ini adalah rabies, dengan judul Kajian Implementasi Kebijakan di UPT Karantina Pertanian dalam Pencegahan Penyebaran Rabes.

Penghargaan penulis ucapkan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si dan drh. Abdul Zahid Ilyas, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran, bimbingan dalam penelitian dan penulisan tesis ini. Kepada Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si selaku ketua program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner yang selalu mengingatkan penulis untuk komitmen menyelesaikan tesis ini. Ucapan terimakasih ditujukan juga kepada Kepala Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta beserta staf yang telah memberikan kemudahan-kemudahan kepada penulis. Kepada drh. R. Nurcahyo Nugroho, M.Si dan teman-teman di Bidang Karantina Hewan Hidup Pusat Karantina Hewan dan Keamanan Hayati terimakasih atas bantuannya. Kepada teman sejawat KMV15-II dalam keadaan suka dan duka yang selalu siap berbagi dan memberi inspirasi dan semua pihak yang telah membantu kelancaran penyelesaian tesis ini yang tidak dapat dituliskan satu persatu.

Kepada Abah, Amak, Bapak, beserta seluruh keluarga atas segala doa, kasih sayang dan dukungannya kepada penulis. Kepada suami dan anak saya tercinta maula dan faizah atas kesabaran dan keceriaanya mengisi hari penulis dalam menyelesaikan studi ini.

Atas segala kebaikan yang telah penulis terima, semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi Badan Karantina Pertanian.

Bogor, Juni 2012 Helmi


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pasaman pada tanggal 08 Maret 1976 dari ayah H. Hasan Basri dan Ibu Hj. Mariani. Penulis merupakan putri kedelapan dari sepuluh bersaudara.

Masa SD hingga SMA penulis lalui di Pasaman dan tahun 1996 penulis menempuh pendidikan sarjana di IPB dan meraih gelar dokter hewan pada tahun 2002. Setelah lulus dari IPB, penulis pernah bekerja di beberapa perusahaan swasta dan pada tahun 2005 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil pada Badan Karantina Pertanian, dan ditempatkan di Stasiun Karantina Hewan Kelas II Entikong-Kalimantan Barat. Setelah hampir dua setengah tahun bertugas di perbatasan Entikong, penulis dimutasi ke Balai Karantina Pertanian Kelas I Banjarmasin tepatnya pada Juli 2007. Tahun 2010, penulis mendapat beasiswa dari Badan Karantina Pertanian untuk melanjutkan pendidikan S2 pada program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Rumusan Masalah ... 4

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 5

Hipotesis Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA Rabies di Indonesia ... 7

Epidemiologi Rabies ... 10

Sekilas tentang SK No.344.b/PD.670.370/L/12/06 ... 11

Implementasi Kebijakan ... 15

Model Implementasi Kebijakan ... 19

METODE PENELITIAN Kerangka Konsep Penelitian ... 25

Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

Disain Penelitian ... 26

Populasi, Sampel dan Ukuran Sampel ... 28

Pembobotan dan Penilaian Kuesioner ... 28

Penilaian Kualitas Prakondisi Implementasi ... 28

Penilaian Tingkat Implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 ... 29

Analisa Data ... 30

Definisi Operasional ... 30

HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Partisipasi Responden ... 33

Deskripsi Karakteristik Responden ... 33

Prakondisi Implementasi Kebijakan ... 35

Aspek Komunikasi ... 35

Aspek Sumber daya ... 39

Aspek Disposisi ... 43

Aspek Struktur Birokrasi ... 44

Prakondisi UPTKP yang Tidak Ada Lalulintas HPR ... 47

Tingkat Implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 ... 48


(13)

Tingkat Implementasi Pedoman pada Kegiatan Pemasukan HPR

Impor -antar area ... 48

Tingkat Implementasi Pedoman pada Kegiatan Pemasukan HPR antar area ... 51

Korelasi Prakondisi dengan Tingkat Implementasi ... 54

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 59

Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kasus kematian manusia akibat rabies di Indonesia 1990-2000 ... 8

2 Laporan kasus positif rabies pada HPR di Indonesia 1997-2007 ... 9

3 Rekapitulasi penahanan HPR impor tahun 2010-2012 ... 14

4 Rekapitulasi penahanan HPR domestik tahun 2010-2012 ... 14

5 Rekapitulasi penolakan HPR impor tahun 2010-2012 ... 15

6 Rekapitulasi pemusnahan HPR domestik tahun 2010-2012 ... 15

7 Ukuran sampel di setiap UPTKP ... 31

8 Nilai maksimum prakondisi ... 29

9 Pendidikan terakhir responden ... 34

10 Masa kerja responden ... 34

11 Jabatan responden ... 34

12 Pelatihan terkait rabies yang diikuti responden ... 34

13 Kualitas prakondisi implementasi di UPTKP ... 35

14 Kualitas indikator komunikasi ... 36

15 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori baik ... 37

16 Cara Komunikasi untuk untuk mensosialisasikan pedoman ... 37

17 Pernyataan dalam aspek komunikasi dengan kategori sedang ... 38

18 Kualitas indikator sumber daya ... 40

19 Pernyataan dalam aspek sumber daya dengan kategori baik ... 40

20 Pernyataan dalam aspek sumber daya dengan kategori sedang-kurang 42

21 Pernyataan dalam aspek disposisi dan kualitasnya ... 44

22 Indikator struktur birokrasi dalam pencegahan penyebaran rabies ... 45

23 Pernyataan aspek struktur birokrasi dengan kualitas sedang-kurang .... 46

24 Tindak lanjut koordinasi ... 46

25 Prakondisi implementasi di UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR ... 48

26 Tingkat implementasi pedoman pada pemasukan HPR impor-antar area ... 48

27 Implementasi yang sesuai pedoman pada pemasukan HPR IAA ... 49


(15)

29 Implementasi pedoman pada pemasukan antar area ... 51 30 Tingkat implementasi pedoman pada pemasukan HPR antar area ... 52 31 Implementations gap pada pemasukan HPR antar area ... 53 32 Hasil analisa uji Pearson antara prakondisi dengan tingkat


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Situasi rabies di Indonesia tahun 2003-2008 ... 8 2 Kerangka konsep penelitian ... 25


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Kuesioner untuk pretest ... 67

2 Kuesioner penelitian ... 81

3 Hasil uji validitas dan reliabilitas prakondisi ... 94

4 Hasil uji validitas dan reliabilitas implementasi impor-antar area ... 95

5 Hasil uji validitas dan reliabilitas implementasi antar area ... 96

6 Realisasi tingkat partisipasi responden di UPTKP ... 97

7 Uji Pearson prakondisi-implementasi kelompok impor-antar area ... 99

8 Uji Pearson prakondisi-implementasi kelompok antar area ... 99


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rabies is "the Incurable Indonesian Wound" (luka Indonesia yang tidak kunjung sembuh). Ungkapan yang disampaikan oleh Prof. AA Ressang, seorang guru besar Kesehatan Masyarakat Veteriner di tahun 1960, ternyata masih berlaku setelah 50 tahun, bahkan rabies cenderung semakin meluas.

Rabies merupakan penyakit yang ditakuti di dunia dan menempati urutan kedua setelah penyakit malaria. Rabies ditakuti karena sangat mengganggu ketentraman batin masyarakat dengan tingkat mortalitas mencapai 100% bila telah timbul gejala klinis, baik pada hewan maupun manusia yang tidak diobati. Artinya penderita rabies selalu berakhir dengan kematian apabila penderita telah menunjukan gejala klinis.

Rabies di Indonesia di duga telah lama ada namun secara resmi pertama kali dilaporkan oleh Esser di Jawa Barat tahun 1884. Kemudian oleh Penning pada anjing pada tahun 1889 dan oleh E.V. de Haan pada manusia (1894). Penyebaran rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda pengendalian terhadap rabies telah dilakukan dengan mengeluarkan peraturan terkait rabies. Selama Indonesia dikuasai oleh Jepang situasi daerah tertular rabies tidak diketahui secara pasti (Deptan 2007).

Dalam kurun waktu 35 tahun setelah merdeka (1945-1980), rabies menyebar hampir ke 12 provinsi lainnya, yaitu semua provinsi di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (Deptan 2007). Sampai saat ini ada 24 provinsi yang belum bebas rabies dan 9 provinsi bebas Rabies yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta serta lima provinsi merupakan bebas historis yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Papua Barat, dan Papua (Usman 2010).

OIE memperkirakan 55 000 orang meninggal setiap tahun akibat rabies atau setiap 10 menit satu orang meninggal akibat rabies (OIE 2011). Global Conference on Rabies Control 2011 menyatakan bahwa 99% kasus rabies pada manusia terjadi akibat gigitan anjing yang terinfeksi (Wandeler 2011). Data Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Kementerian


(19)

Kesehatan menyebutkan, Indonesia merupakan negara terbesar kelima di Asia yang menjadi korban rabies setelah India, Cina, Filipina dan Vietnam.

Kasus kematian akibat rabies di dunia sangat fluktuatif. Di Asia tingkat kematian akibat rabies adalah 50 000 per tahun, di India 20 000-30 000, di Cina rata-rata 2500, di Vietnam 9000, dan Filipina 200-300. Kematian akibat rabies di Indonesia jika dibandingkan dengan kematian di dunia terbilang cukup rendah yaitu sekitar 125 kasus per tahun (Usman 2010). Kasus gigitan hewan tersangka rabies pada dekade 1950-1960 sekitar 3000 per tahun dan meningkat menjadi 8000 per tahun pada 1973. Pada tahun 2002 terdapat kasus gigitan hewan tersangka rabies 13 805 dan meningkat menjadi 42 106 pada 2009, serta sampai dengan Oktober 2010 terdapat kasus gigitan hewan tersangka rabies 40 180 kasus (Deptan 2011c). Daerah tertular rabies di Indonesia pada dekade 1980 hanya 12 provinsi dan meningkat menjadi 24 provinsi pada 2010.

Upaya pengendalian rabies yang cenderung semakin meluas telah dilakukan sejak zaman Hindia Belanda dan intensitasnya diperkuat pada era 1980-an. Salah satu strategi pengendalian dan pemberantasan rabies yang telah diterapkan adalah dengan metoda pemecahan masalah 'local area specific’ (LAS) dengan pola vaksinasi ditambah eliminasi anjing tak berpemilik. Metoda ini telah berhasil membebaskan rabies di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta (1997) dan masih bertahan sampai sekarang. Begitu juga di provinsi Kalimantan Barat (2004), dengan strategi yang sama penanganan wabah berlangsung cepat (Civas 2010). Meskipun ada sejumlah provinsi yang berhasil dibebaskan, namun sampai saat ini Indonesia belum berhasil mengatasi masalah rabies secara tuntas di semua wilayah dan belum mampu menghentikan penyebaran dan perluasan rabies ke daerah-daerah tertular baru.

Upaya pengendalian rabies dalam tatanan perundangan telah cukup komprehensif. Pada tahun 1982 Menteri Pertanian mengeluarkan Pedoman Khusus Pencegahan dan Pemberantasan Rabies dengan Surat Keputusan (SK) No.363/Kpts/Um/5/1982. Pedoman khusus ini meliputi organisasi pelaksana dan kewenangan, langkah-langkah kegiatan pencegahan, pemberantasan, sarana prasarana, pengambilan sampel, dan diagnosa laboratorium. Terkait dengan pemasukan HPR, Menteri Pertanian mengeluarkan pedoman operasional di


(20)

lapangan yaitu SK Menteri Pertanian No.1096/Kpts/TN.120/10/1999 tentang pemasukan anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia. Pedoman operasional tersebut berisi persyaratan pemasukan HPR ke daerah bebas di Indonesia yang salah satu butirnya seperti pasal yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah no 22 tahun 1983 tentang kesmavet yaitu larangan memasukan HPR dari negara yang belum diakui sebagai negara bebas rabies ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia yang telah dinyatakan sebagai daerah bebas rabies.

Badan Karantina Pertanian (Barantan) sebagai pelaksana dalam pengawasan terhadap lalulintas HPR menetapkan pedoman sebagai dasar pelaksanaan dan keseragaman tindakan karantina hewan terhadap HPR di lapangan yaitu SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya).

Pengendalian rabies lintas sektoral sejak awal juga telah diupayakan dengan adanya SK Bersama (SKB) No.143 tahun 1978 tentang peningkatan pemberantasan dan penanggulangan rabies dengan fokus kerjasama dalam kegiatan peningkatan pemberantasan dan penanggulangan rabies dalam hal pengamatan penyakit, pemeriksaan laboratorium untuk rabies, penelitian, penyuluhan dan bidang-bidang lain yang berhubungan dengan kegiatan pemberantasan dan penanggulangan rabies.

Pada tingkat Pemerintahan Daerah, tatanan pengendalian rabies juga telah dibuat. Di provinsi DKI Jakarta terdapat SK Gubernur No.3213 tahun 1984 tentang tata cara penertiban hewan piaraan anjing, kucing dan kera di wilayah DKI Jakarta yang antara lain berisi:

1. Kewajiban pemilik hewan piaraan untuk memvaksin hewannya dan menggantungkan peneng tanda lunas pajak.

2. Menangkap dan menyerahkan hewannya apabila mengigit orang untuk diobservasi.

3. Hewan yang dibiarkan lepas dan dianggap liar atau tersangka menderita rabies akan ditangkap oleh petugas penertiban.


(21)

Dari data-data yang diuraikan di atas, keberadaan peraturan perundangan tentang rabies terlihat belum membawa dampak terhadap penurunan jumlah kasus rabies. Kasus gigitan hewan tersangka rabies terus meningkat dari tahun ke tahun, begitu juga dengan daerah sebar rabies juga semakin meluas. Hal demikian menandakan bahwa upaya-upaya yang telah dilaksanakan sebagaimana yang digariskan dalam peraturan perundangan masih belum berhasil menghentikan penyebaran rabies di Indonesia.

Bertolak dari kondisi di atas, penelitian ini mencoba mengungkap implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies sesuai SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya) dan hubungannya dengan variabel yang diduga mempengaruhi kebijakan tersebut yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap pelaksana dan struktur birokrasi (Edward III 1980).

Rumusan Masalah

Kecenderungan penyebaran rabies dari waktu ke waktu semakin meluas dengan jumlah kasus positif dan lyssa yang semakin meningkat. Implementasi kebijakan secara efektif diharapkan dapat mencegah meluasnya penyebaran rabies di Indonesia. Oleh karena itu keberhasilan pencegahan penyebaran rabies perlu di dukung dengan evaluasi terhadap implementasi kebijakan tersebut. Evaluasi diperlukan untuk melihat tingkat implementasi pedoman SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 dan mengetahui sejauh mana aspek prakondisi implementasi seperti komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi mempengaruhi implementasi kebijakan tersebut di lapangan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap (1) kualitas prakondisi implementasi kebijakan yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi untuk mendukung pelaksanaan kebijakan dilapangan, (2) tingkat implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 di UPT Karantina Pertanian (UPTKP) di Indonesia dan (3) menganalisa hubungan


(22)

prakondisi implementasi kebijakan terhadap tingkat implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang implementasi pedoman pencegahan penyebaran rabies SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP di Indonesia. Informasi ini diharapkan dapat menjadi masukan kepada Barantan dalam menyusun kebijakan yang tepat dalam rangka menjalankan fungsi pencegahan penyebaran rabies di Indonesia.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan antara prakondisi implementasi dengan tingkat implementasi pedoman yaitu SK Kepala Barantan No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06 di lapangan.


(23)

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Rabies di Indonesia

Rabies di Indonesia di duga telah lama ada karena dalam bahasa sansekerta lama sudah ada istilah rabas yaitu rabies, namun secara resmi pertama kali dilaporkan oleh Esser di Jawa Barat tahun 1884. Kemudian dilaporkan oleh Penning pada anjing pada tahun 1889 dan oleh E.V. de Haan pada manusia (1894). Penyebaran rabies di Indonesia bermula dari tiga provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan dan selama Indonesia dikuasai oleh Jepang situasi daerah tertular rabies tidak diketahui secara pasti (Deptan 2007).

Kurun waktu 35 tahun setelah merdeka (1945-1980), rabies menyebar hampir ke 12 provinsi lainnya, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur (1953), Sulawesi Utara (1956), Sumatera Selatan (1959), Aceh (1970), Lampung (1969), Jambi dan Yogyakarta (1971), DKI Jaya dan Bengkulu (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), dan 1978 di Kalimantan Tengah (Deptan 2007).

Pada dekade 1990-2000 rabies masih terus menjalar ke wilayah yang sebelumnya bebas historis menjadi tertular yaitu Pulau Flores (1998) Pulau Ambon dan Pulau Seram (2003), Halmahera dan Morotai (2005), Ketapang (2005), Pulau Buru (2006) serta Pulau Bali (2008), Pulau Bengkalis dan Pulau Rupat di provinsi Riau (2009) dan Pulau Nias (2010). Sampai saat ini ada 24 provinsi yang terinfeksi rabies dan 9 provinsi bebas Rabies diantaranya adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta dan lima provinsi merupakan bebas historis yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Papua Barat, dan Papua (Usman 2010).

Kasus gigitan hewan tersangka rabies dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) menyatakan bahwa selama tahun 2003-2008, gigitan HPR cenderung meningkat namun kasus lyssa cenderung menurun seperti terlihat pada Grafik 1 (Depkes 2009). Hal ini disebabkan karena semakin baiknya perlakuan (post exposure treatment) terhadap korban gigitan dan kepedulian masyarakat untuk melaporkan kasus gigitan dan melakukan perawatan terhadap korban gigitan semakin baik.


(25)

Ket: GHPR: gigitan HPR, PE Gambar 1 Situasi rabies

Laporan WHO (20 dari tahun 1998 hingga terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kasus kematian

Tahun 1990 1991 19

Jml kasus

62 93 5 Sumber : WHO 2005a

Menurut WHO ( kejadian rabies yang ting besar baik anjing pelih penanganan kasus gigita penanganan kasus gigita obat-obat lainnya (seper semakin tinggi.

Pada jangka waktu orang dan pada tahun 20

Sumber : Ditjen , PET: post exposure treatment, Lyssa: kematian akib ies di Indonesia tahun 2003-2008.

2005a) menyatakan bahwa terjadi peningkatan ka ga tahun 2000, yaitu dari 83 menjadi 110 kasu

an manusia akibat rabies di Indonesia tahun

1990-1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 19

58 93 115 75 65 50 83 14

(2005b), beberapa faktor yang mempengaruh tinggi di Indonesia antara lain 1) jumlah anjing y

iharaan maupun anjing liar, 2) kurangnya fasil itan anjing, 3) kurangnya pengetahuan masyarakat gitan serta 4) terbatasnya jumlah vaksin pasca g perti serum anti rabies) membuat tingkat kematia

ktu 2000-2004, rata-rata kasus lyssa di Indoesia 2011 menjadi 125 setiap tahunnya (Suryanto 20

tjen P2PL 2008 ibat rabies.

kasus rabies asus, seperti

-2000

1999 2000

144 110

ruhi tingkat yang cukup silitas untuk kat mengenai gigitan dan tian manusia

ia adalah 91 2011). Data


(26)

Ditjen Peternakan menyatakan bahwa selama 10 tahun terakhir (1997-2007) kasus positif rabies pada HPR di Indonesia berfluktuasi namun ada kecenderungan meningkat. Tabel 2 adalah laporan kasus positif rabies pada HPR di Indonesia dalam 10 tahun terakhir (1997-2007).

Tabel 2 Laporan kasus positif rabies pada HPR di Indonesia 10 tahun terakhir (1997-2007)

NO PROV. TAHUN

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2009+ 2010X 1 Pem. Aceh 15 5 5 3 9 11 3 5 TAD 4 5 3 3 2 Sumut 110 107 91 13 94 150 89 110 60 83 101 151 150 3 Sumbar 352 368 385 233 198 178 34 114 TAD 125 157 85 4 Riau 206 187 190 164 177 190 148 16 46 TAD 140 6 1 5 Jambi 161 120 80 37 86 124 85 14 37 69 88 927 6 6 Sumsel 16 16 20 6 15 8 10 45 2 TAD 3 5 5 7 Bengkulu 69 37 50 29 56 28 12 12 36 TAD 31 3 1 8 Lampung 30 27 21 14 19 28 12 12 11 3 50 10 14

9 Babel 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

10 Kep. Riau 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

SUMATERA 959 867 842 266 689 737 537 248 306 159 543 1262 265

11 Jabar 20 1 1 0 2 0 0 0 1 1 6 2 2

12 Jateng 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

13 Jatim 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

14 DIY 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

15 DKI JKT 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

16 Banten 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 9

JAWA 20 1 1 0 2 0 0 0 1 1 6 3 11

17 Kalten 12 11 16 24 10 7 18 9 46 46 18 2 31 18 Kalsel 11 25 30 3 13 9 9 17 30 7 16 71 2

19 Kaltim 4 0 4 3 0 2 2 4 1 9 7 1

20 Kalbar - - - 1 - - 0 0

KALIMANTAN 27 36 50 30 23 18 29 26 80 54 43 80 34

21 Sulut 190 203 177 203 324 394 573 627 7 32 509

22 Sulteng 32 54 42 37 66 135 61 71 2 3 96 1 12 23 Sulsel 83 90 52 42 145 142 175 63 102 263 14 62 47 24 Sultra 6 9 3 0 42 29 19 33 10 32 2 4 1

25 Gorontalo 4 2 4 6 - - 2 1

26 Sulbar 1 3 TAD 1 2

SULAWESI 311 356 274 282 581 702 832 800 122 333 623 69 62

27 Bali 67 421

28 NTT 20 50 23 31 10 10 16 17 42 TAD 20 1

29 NTB 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

30 Maluku 12 2 18 12 TAD 8

31 Mal. Utara 8 5 TAD

32 Papua 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

33 P. Barat 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 NASIONAL 1317 1280 1217 601 1326 1467 1420 1092 552 606 1215 1501 802

Ket: TAD: tidak ada data. Sumber: Deptan 2008, +: Deptan 2011a, x: Deptan 2011b

Informasi terbaru yang dikeluarkan Ditjen P2PL adalah bahwa pada tahun 2010 kasus gigitan anjing sebanyak 78 203 dan pada tahun 2011 sebanyak 73 296, terjadi penurunan sebesar 6.7%. Kasus lyssa 2011 juga terdapat penurunan sebesar 33.5% dibanding 2010, tahun 2011 ada 137 kasus sementara pada tahun


(27)

2010 ada 206 kasus. Yang penting juga adalah kasus gigitan anjing di Bali telah turun dari 67 021 kasus (2010) menjadi 51 389 (2011), serta penurunan lyssa sebesar 70% di Bali dari 82 kasus pada tahun 2010 menjadi 23 kasus pada tahun 2011 (Aditama 2012).

Epidemiologi Rabies

Rabies telah dikenal kurang lebih 4000 tahun yang lalu. Saat ini rabies terdapat di lebih 150 negara di dunia dan beberapa negara termasuk dalam negara bebas rabies seperti Australia, New Zealand, Singapura, Taiwan, Jepang, Fiji, Finlandia, Irlandia, Jamaica, Norwegia, Swedia, UK, Uruguai. Kematian akibat rabies setiap tahun di seluruh dunia sekitar 55 000 dan sebanyak 95% terjadi di Asia dan Afrika dengan 40% korbannya adalah anak-anak dibawah umur 15 tahun. Kematian akibat rabies pada manusia 99% utamanya bersumber dari gigitan anjing yang terinfeksi rabies dan kematian umumnya disebabkan oleh tidak adanya perlakuan atau kurangnya perlakuan yang baik (post exposure treatment) dari korban yang terkena rabies (Defra 2011).

Hewan-hewan utama pembawa rabies umumnya berbeda untuk setiap benua. Di Eropa hewan utama pembawa rabies adalah rubah dan kelelawar, di Timur Tengah adalah srigala dan anjing, di benua Afrika adalah anjing, mongoose dan antelop, di Asia anjing, di USA rakun dan skunk, di Kanada skunk dan rubah, di Meksiko anjing, di Brazil marmoset, di Amerika Utara rubah, sigung, rakun, dan kelelawar pemakan serangga dan Amerika Selatan utamanya adalah anjing dan kelelawar vampire (Tamayo 2011).

Hewan domestik yang dapat terinfeksi rabies adalah anjing, kucing dan ternak, sedangkan satwa liar umumnya adalah sigung, kelelawar, rubah, tupai, rakun, badgers dan mongoose. Rabies pada satwa liar umumnya melibatkan satwa karnivora dan kelelawar. Satwa-satwa liar merupakan sumber penularan rabies ke hewan-hewan domestik bahkan ke manusia (WHO 2012).

Di negara-negara berkembang, rabies pada hewan domestik masih merupakan ancaman utama dibandingkan dengan hewan liar. Hal ini disebabkan oleh derajat kedekatan antara hewan domestik seperti anjing tanpa pemilik atau menjadi liar dengan manusia serta tingkat pengetahuan masyarakat yang rendah.


(28)

Kondisi ini membuat rabies pada anjing di negara-negara berkembang dapat memelihara proses siklus virus rabies di alam hingga menuju manusia. Di Indonesia HPR utama pada hewan domestik adalah anjing, kucing dan monyet. Penularan rabies di Indonesia umumnya berawal dari suatu kondisi anjing yang tidak dipelihara atau tanpa pemilik (rural Rabies) yang berkembang hingga mencapai populasi yang sulit dikendalikan (Deptan 2007). Keadaan ini yang menyebabkan daerah-daerah di Indonesia menjadi endemis terhadap rabies.

Sekilas tentang SK Kepala Barantan No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 Surat keputusan tersebut berisi tentang petunjuk teknis persyaratan dan tindakan karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan HPR (anjing, kucing, kera dan sebangsanya). SK ini merupakan penjabaran dari SK Menteri Pertanian No.1096/Kpts/TN.120/10/1999 tentang Pemasukan Anjing, Kucing, Kera dan Hewan Sebangsanya ke Wilayah/Daerah Bebas Rabies di Indonesia, namun dalam SK No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06 ditambahkan pemasukan HPR antar area. Secara garis besar pemasukan HPR dari luar negeri adalah sebagai berikut :

1. Dari Luar Negeri

Dari negara bebas rabies sesuai dengan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian No.1096 Tahun 1999 yang dapat diperbaharui sesuai perkembangan status bebas rabies dunia.

2. Kelengkapan dokumen

a. Sertifikat Kesehatan Hewan yang diterbitkan oleh pejabat berwenang di negara asal dan negara transit

b. Surat Persetujuan Pemasukan (SPP)

c. Pasport hewan atau surat keterangan identitas hewan dalam bahasa Inggris yang dikeluarkan oleh dokter hewan berwenang di negara asal yang memuat antara lain telah berada atau dipelihara sekurang-kurangnya enam bulan di negara asal sebelum diberangkatkan, dan hewan sekurang-kurangnya telah berumur enam bulan serta tidak dalam keadaan bunting umur enam minggu atau lebih, dan atau hewan tersebut tidak sedang menyusui pada saat diberangkatkan. Pasport hewan mencantumkan informasi sekurang-kurangnya jenis hewan, bangsa, jenis kelamin, warna bulu, umur/tanggal lahir dan penanda identitas atau memiliki


(29)

d. Penanda identitas permanen dengan identifikasi elektronik (microchip). Bila microchip yang digunakan tidak sesuai dengan alat baca pada pelabuhan/ bandara pemasukan, maka pemilik atau kuasa pemilik harus menyediakan sendiri perangkat alat baca untuk microchip tersebut.

e. Hewan yang akan masuk ke wilayah/daerah bebas rabies di Indonesia diberangkatkan langsung dari negara bebas rabies. Apabila harus transit maka harus ada persetujuan dari Menteri Pertanian Cq. Dirjen Peternakan dan otoritas veteriner di negara transit memberikan keterangan transit

f. Surat keterangan vaksinasi bagi negara yang melaksanakan vaksinasi, yang menerangkan bahwa vaksinasi menggunakan vaksin inaktif, yang diberikan : - untuk hewan yang divaksinasi pertama kali (primer), sekurang-kurangnya

enam bulan dan tidak lebih dari satu tahun sebelum diberangkatkan yang diberikan saat hewan berumur minimal tiga bulan.

- Untuk vaksinasi booster, sekurang-kurangnya satu bulan atau tidak lebih dari satu tahun sebelum diberangkatkan.

g. Surat keterangan hasil pemeriksaan titer antibodi dari negara asal. Pengujian titer antibodi tidak boleh dilakukan lebih lama dari enam bulan setelah vaksinasi yang telah diakreditasi.

Selanjutnya dalam SK No.344.b/PD.670.370/L/12/06 tersebut juga di jelaskan tentang tindakan karantina terhadap pemasukan HPR dari luar negeri yang bebas rabies berupa :

1. Pemeriksaan dokumen persyaratan karantina 2. Pemeriksaan fisik hewan

3. Pengasingan atau isolasi minimal selama 14 hari di dalam instalasi karantina hewan untuk di observasi. Dalam masa observasi / masa karantina dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium terhadap titer antibodi rabies. Masa karantina dapat kurang dari 14 hari apabila menunjukan titer antibodi > 0.5 IU/ml bagi hewan yang bersal dari negara bebas rabies dengan vaksinasi atau titer nol bila berasal dari negara bebas tanpa vaksinasi. 4. Perlakukan.

- Untuk negara asal yang melakukan vaksinasi dengan vaksin inaktif, titer antibodi minimal 0.5 IU/ml (≥ 0.5 IU/ml). Bila kurang dari 0.5 IU/ml


(30)

dilakukan vaksinasi ulang bagi hewan yang akan masuk ke wilayah bebas dengan vaksinasi (pulau Jawa) atau wilayah endemis.

- Untuk negara yang tidak melaksanakan vaksinasi, bila hewan akan masuk ke wilayah bebas dengan vaksinasi atau wilayah endemis maka wajib dilakukan vaksinasi.

- Untuk negara yang tidak melaksanakan vaksinasi, bila hewan akan masuk ke wilayah bebas tanpa kegiatan vaksinasi, maka tidak perlu divaksin (titer antibodi nol.

5. Penolakan

- Bila dokumen tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan

- Bila hewan berasal dari negara bebas yang tidak melaksanakan kegiatan vaksinasi terdapat antibodi ≥ 0.1 IU/ml

- Untuk hewan yang berasal dari negara bebas yang melaksanakan kegiatan vaksinasi dan akan masuk ke daerah bebas tanpa vaksinasi, maka dilakukan penolakan bila terdapat antibodi < 0.5 IU/ml.

6. Pemusnahan

- Bila setelah penolakan tidak segera meninggalkan wilayah RI, serta batas waktu penahanan telah habis dan dokumen tidak dapat dilengkapi.

- Bila selama pengamatan hewan menunjukan gejala rabies maka dilakukan pemusnahan dibawah pengawasan dokter hewan karantina, disaksikan oleh instansi terkait dan pemilik sesuai peraturan perundangan yang berlaku. 7. Pembebasan

Bila dokumen persyaratan lengkap, titer antibodi minimal 0.5 IU/ml (≥ 0.5 IU/ml) dan selama pengamatan tidak menunjukkan gejala rabies serta hewan dinyatakan sehat oleh dokter hewan karantina dilakukan pembebasan.

persyaratan dan tindak karantina terhadap pemasukan antar area di rinci menjadi (1) daerah bebas rabies ke daerah bebas rabies, (2) dari daerah bebas rabies ke daerah endemis, (3) dan dari daerah endemis ke daerah endemis rabies. Secara lengkap persyaratan dan tindak karantina terhadap pemasukan antar area seperti terlampir.


(31)

Tabel 3, 4 dan 5 dibawah ini adalah tindakan karantina penahanan, penolakan dan pemusnahan yang dilakukan UPTKP di seluruh Indonesia terhadap HPR dalam rangka pencegahan penyebaran rabies.

Tabel 3 Rekapitulasi penahanan HPR impor di UPTKP tahun 2010-2012 No Jenis

HPR Jumlah (ekor) Negara Asal Daerah Tujuan Alasan Penahanan (KH8a) Tindak Lanjut Tahun 2010

1 Anjing 1 Netherlands Surabaya Persyaratan karantina KH8b

2 Anjing 4 Thailand Surabaya,

cengkareng

Persyaratan karantina, SPP 3 Anjing 1 Singapura Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 4 Anjing 1 Kanada Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 5 Anjing 5 USA Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 6 Anjing 1 Frankfurt Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 7 Anjing 2 Hungaria Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 8 Anjing 2 Australia Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 9 Anjing 1 Filipina Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 10 Anjing

Kucing 1 1

Jerman Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

11 Anjing 2 Malaysia Entikong Persyaratan karantina, SPP KH8b 12 Kucing 1 Inggris Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

13 Kucing 4 Rusia Cengkareng Persyaratan karantina, SPP

Tahun 2011

1 Anjing 2 USA Surabaya Persyaratan karantina, SPP

2 Anjing 1 Netherlands Surabaya Persyaratan karantina, SPP 3 Anjing

Kucing 1 1

Portugal Denpasar Pelarangan pemasukan / kawasan karantina

4 Anjing 1 Jerman Denpasar Pelarangan pemasukan

5 Kucing 4 Malaysia Surabaya Persyaratan karantina

Tahun 2012

1 Anjing 1 Kanada Palembang Persyaratan karantina, SPP 2 Anjing 1 Argentina Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 3 Anjing 1 Korsel Cengkareng Persyaratan karantina, SPP 4 Anjing

Kucing 2 3

Rusia Denpasar Pelarangan pemasukan Sumber : Barantan

Tabel 4 Rekapitulasi penahanan HPR domestik di UPTKP tahun 2010-2012

No Jenis

HPR Frekuensi Volume

Alasan Penahanan (KH8a)

Tahun 2010

Anjing 18x 29 Pelarangan pemasukan

Persyaratan karantina

Kucing 11 16

Tahun 2011

Anjing 33x 145 Pelarangan pemasukan

Persyaratan karantina

Kucing 11x 34

Tahun 2012

Anjing 7x 10 Pelarangan pemasukan

Persyaratan karantina

Kucing 2x 2


(32)

Tabel 5 Rekapitulasi penolakan HPR impor di UPTKP tahun 2010-2012

No Jenis

HPR Jumlah

Negara Asal

Daerah

Tujuan Alasan Penolakan (KH8b)

Tahun 2010

Anjing 1 Netherlands Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi Anjing 2 USA Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi Anjing 2 Malaysia Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi

Tahun 2011

Anjing 2 USA Surabaya Persyaratan karantina tdk dipenuhi Anjing

Kucing

1 1

Portugal Denpasar Pelarangan pemasukan

Anjing 2 Jerman Denpasar Pelarangan pemasukan

Tahun 2012

Anjing Kucing

2 2

Rusia Denpasar Pelarangan pemasukan Sumber : Barantan

Tabel 6 Rekapitulasi pemusnahan HPR domestik di UPTKP tahun 2010-2012

No Jenis

HPR Jumlah

Daerah Asal Daerah Tujuan Alasan Penolakan (KH8b) Tahun 2010 Anjing Kucing 4 2

Ketapang Gilimanuk Pelarangan pemasukan

Anjing 1

1 Sulut Ambon Jayapura Sorong Pelarangan pemasukan Pelarangan pemasukan

Anjing 1

1

Denpasar Sumba timur

Tenau Pelarangan pemasukan Pelarangan pemasukan

Tahun 2011

Anjing 18 Jatim Gilimanuk Pelarangan pemasukan

Anjing 2 Bandung Lombok Pelarangan pemasukan

Anjing 5 Ambon

Bitung Ternate Jakarta Susel

Jayapura Pelarangan pemasukan

Anjing 3 Sorong Biak Pelarangan pemasukan

Anjing 2 Sulut Sorong Pelarangan pemasukan

Anjing 2

1

Rote ndao Waingapu

Bolok Pelarangan pemasukan Anjing Kucing 2 2 Bima Jatim

Tenau Pelarangan pemasukan

Anjing 1 M. utara Manado

Kucing 1 Jateng Kumai Persyaratan karantina

Tahun 2012

Anjing 2

1

Ternate Jatim

Jayapura Pelarangan pemasukan

Anjing 1 Depok Ternate

Sumber : Barantan

Implementasi Kebijakan Terdapat beberapa definisi implementasi antara lain:

1. Van Meter dan Van Horn (1975), implementasi merupakan tindakan yang dilakukan baik oleh individu, pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok


(33)

pemerintah atau swasta yang diarahkan untuk tercapainya tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

2. Mazmanian dan Sabatier (1983), implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan penelitian.

3. Jones (1991), implementasi adalah kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat yang menghubungkan tindakan dengan tujuan.

Definisi kebijakan menurut beberapa pakar antara lain:

1. Mustopadidjaja (2002), kebijakan publik merupakan suatu keputusan yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalahan tertentu, melakukan kegiatan tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh instansi yang berkewenangan, dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintah, negara dan pembangunan.

2. Eulau dan Prewit (dalam Jones 1991), kebijakan adalah suatu keputusan tetap yang dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan mereka yang memenuhi keputusan tersebut, kebijakan sebagai suatu hasil keputusan dimaksud untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

Dari pendapat para ahli tersebut, implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai kegiatan untuk melaksanakan suatu kebijakan yang dituangkan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun lembaga negara lainnya dalam rangka mencapai tujuan yang dituangkan dalam kebijakan tersebut.

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Mazmanian dan Sabatier dalam Wahab (2008) menyatakan bahwa mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi sesudah suatu kebijakan diberlakukan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan negara baik itu menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa-peristiwa.


(34)

Implementasi kebijakan merupakan salah satu komponen dari keseluruhan proses kebijakan yang meliputi isu kebijakan, formulasi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kinerja kebijakan, yang perlu dilakukan dalam rangka pemantauan, pengawasan, dan pertanggungjawaban (Nugroho 2011). Dengan demikian penelitian implementasi kebijakan merupakan tahap ke empat dari proses kebijakan yaitu evaluasi kebijakan terutama pada kinerja kebijakan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Ripley dan Franklin (1982) bahwa proses kebijakan terdiri atas: tahap formulasi, tahap implementasi, dan tahap penilaian terhadap kinerja.

Namun proses implementasi bukanlah proses mekanis dimana setiap aktor akan secara otomatis melakukan apa saja yang di minta oleh pembuat kebijakan, tetapi merupakan proses kegiatan yang acap kali rumit, diwarnai benturan kepentingan antar aktor yang terlibat baik sebagai administrator, petugas lapangan atau kelompok sasaran.

Hal senada disampaikan oleh Jones (1991) bahwa implementasi kebijakan mudah dimengerti dalam bentuk abstrak (teori dan konsep) tetapi tidaklah demikian dalam bentuknya yang konkrit. Artinya implementasi kebijakan dengan mudah dapat dipahami, akan tetapi dalam pelaksanaan dan realisasinya secara nyata bukanlah sesuatu yang mudah. Hal ini jugalah yang sering menjadi penyebab mengapa suatu kebijakan publik tidak berhasil dijalankan secara mulus sesuai yang diharapkan. Inilah yang disebut dengan implementation gap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan (Wahab 2004). Disini pula urgensinya untuk melakukan kajian terhadap implementasi kebijakan pencegahan penyebaran rabies.

Saat ini tidak sedikit implementation gap yang ditemui termasuk kebijakan dalam pencegahan penyebaran rabies. Hal ini banyak disebabkan oleh lemahnya proses implementasi. Dalam batas tertentu kesenjangan ini masih dapat dibiarkan, sekalipun dalam monitoring harus diidentifikasi untuk segera diperbaiki. Kesenjangan yang lebih besar dari batas toleransi harus segera diperbaiki. Besar kecilnya implementation gap tersebut sedikit banyak tergantung pada apa yang oleh Walter Williams (dalam Wahab 2008) disebut sebagai implementation capacity dari organisasi/ aktor atau kelompok organisasi yang dipercaya untuk


(35)

mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut. Implementation capacity tidak lain adalah kemampuan suatu organisasi untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy decision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai (Wahab 2008).

Kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh para pelaksana kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn (1986), kegagalan kebijakan (policy failure) dapat disebabkan antara lain (1) karena tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya (non implementation) dan (2) karena tidak berhasil atau mengalami kegagalan dalam proses pelaksanaan (unsuccesful implementation). Non implementation berarti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka bekerja secara tidak efisien, atau tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang dihadapi diluar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sulit untuk dipenuhi .

Sementara itu, unsuccessful implementation biasanya terjadi ketika kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak menguntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi pergantian kekuasaan, bencana alam, dan lainnya), kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang mempunyai resiko untuk gagal tersebut disebabkan oleh pelaksanaannya jelek (bad execution), kebijakannya itu sendiri yang jelek (bad policy), atau kebijakan tersebut memang bernasib jelek (bad luck).

Makinde (2005) dalam tulisannya menyarankan bahwa untuk memperoleh implementasi kebijakan dengan hasil yang optimal, harus mempertimbangkan sebagai berikut:


(36)

a. Sasaran penerima manfaat harus terlibat mulai dari tahap formulasi kebijakan agar masyarakat sasaran dapat memberi masukan. Hal ini juga akan membuat masyarakat mempunyai rasa memiliki dan mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan.

b. Sumber daya manusia dan sumber daya keuangan yang akan diperlukan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

c. Harus ada komunikasi yang efektif antara masyarakat sasaran dengan pelaksana kebijakan.

d. Menghentikan budaya tidak melanjutkan kebijakan bila terjadi pergantian pemerintahan. Harus ada kesinambungan dalam kebijakan kecuali jika kebijakan tersebut ternyata tidak berguna untuk rakyat.

e. Keputusan harus selalu dipantau dengan cara yang tepat.

Model Implementasi Kebijakan

Penelitian tentang implementasi kebijakan adalah penelitian tentang bagaimana suatu kebijakan diterapkan. Implementasi kebijakan mengadopsi model-model implementasi kebijakan yang ada. Variabel-variabel dalam model implementasi kebijakan akan menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Model implementasi kebijakan ini tentunya diharapkan merupakan model yang semakin operasional sehingga mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang terkait dengan kebijakan (Wahab 2008).

Terdapat berbagai model implementasi kebijakan antara lain: 1. Edwards III (1980).

Menurut Edwards ada empat variabel yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dan secara simultan yang akan menjadi prasyarat dan karenanya harus diperhitungkan dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan, yaitu (1) komunikasi, (2) sumber daya, (3) disposisi atau sikap pelaksana atau implementor serta (4) struktur birokrasi. Keempat variabel beroperasi secara bersamaan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu atau menghalangi pelaksanaan kebijakan.


(37)

2. Menurut Van Meter dan Van Horn (1975).

Menurut ahli ini ada enam variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, (1) standar dan sasaran kebijakan, (2) sumber daya, (3) kondisi sosial, ekonomi, dan politik, (4) karakteristik tujuan, (5) komunikasi antar organisasi dan (6) sikap pelaksana.

3. Grindle (1980).

Grindle mengemukakan bahwa ada dua variabel utama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan yaitu isi kebijakan dan lingkungan implementasi. Isi kebijakan mencakup: (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan, (2) jenis manfaat yang diterima oleh target groups, (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan, (4) apakah letak sebuah program sudah tepat, (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementatornya dengan rinci dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai. Lingkungan implementasi mencakup (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan dan strategi dari implementasi, (2) mereka yang terlibat dalam implementasi kebijakan, (3) karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa dan (4) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran (Nugroho 2011).

Dari semua model yang dikemukan di atas, variabel-variabelnya mempunyai kesamaan terutama yang menyoroti tentang komunikasi, sumber daya, sikap dan struktur birokrasi. Dalam hal ini peneliti menggunakan aplikasi dari model Edwards III (1980) yang dianggap representatif untuk menggambarkan implementasi kebijakan pencegahan penyebaran rabies. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Wibawa (1994), bahwa model implementasi tidak perlu diaplikasikan mentah-mentah, melainkan dapat disintesiskan sesuai dengan kebutuhan.

Model implementasi kebijakan menurut Edwards III (1980), variabelnya digambarkan sebagai berikut:

a. Komunikasi

Sebuah kebijakan akan bisa dilakukan dengan baik apabila pihak yang bertanggung jawab dalam mengimplementasikan kebijakan mengetahui apa yang


(38)

seharusnya dilakukan. Di situlah arti pentingnya variabel komunikasi dalam mentransformasikan substansi kebijakan secara jelas, tepat dan akurat. Informasi yang tidak akurat, tepat, jelas dan konsisten hanya akan menimbulkan deviasi dalam implementasi kebijakan. Terdapat 3 indikator untuk mengukur keberhasilan variabel komunikasi antara lain (Indiahono 2009):

1. Transmisi

Tansmisi adalah cara/media komunikasi yang digunakan untuk mensosialisasikan kebijakan. Penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Transmisi yang baik akan mereduksi terjadinya miskomunikasi yang menyebabkan terjadinya distorsi implementasi kebijakan.

2. Kejelasan

Kejelasan adalah pemahaman yang tepat mengenai pedoman. Komunikasi yang diterima oleh pelaksana kebijakan harus jelas dan tidak membingungkan.

3. Konsistensi

Konsistensi adalah didapatkannya persepsi yang sama mengenai kejelasan informasi peraturan yang disosialisasikan institusi dan media. Perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi harus konsisten dan jelas. Perintah yang sering berubah-ubah akan menimbulkan kebingungan bagi pelaksanan dilapangan.

b. Sumber daya

Sumber daya merujuk pada sumber daya manusia dan sumber daya finansial. Kedua sumber daya harus diperhatikan, sebab tanpa kehandalan implementator, kebijakan menjadi kurang enerjik dan berjalan lambat seadanya, sedangkan sumber daya finansial menjamin keberlangsungan kebijakan. Terdapat empat indikator sumberdaya antara lain:

1. Staf

Staf adalah sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang terkait pada institusi yang ikut terlibat dalam proses implementasi kebijakan. Kegagalan dalam implementasi sering terjadi karena staf tidak mencukupi,


(39)

tidak memadai atau tidak kompeten di bidangnya. Penambahan jumlah staf saja tidak mencukupi tetapi perlu kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan.

2. Informasi

Informasi mempunyai 2 bentuk yaitu bahan dan sarana pendukung yang tepat untuk mensosialisasikan kebijakan dan informasi yang berhubungan dengan data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan yang telah ditetapkan. 3. Wewenang

Wewenang adalah adalah pemberian otoritas secara formal kepada pelaksana kebijakan yang bertujuan agar pelaksana dapat melakukan tindakan untuk mencapai tujuan. Kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas dan legitimasi bagi pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Tanpa kewenangan maka implementor tidak memiliki kekuatan apapun di mata publik sehingga implementasi kebijakan tidak dapat berjalan.

4. Fasilitas

Fasilitas adalah sarana atau kemudahan yang diberikan oleh pemerintah untuk menjamin terlaksananya peraturan seperti bangunan dan sarana prasarana. Fasilitas pendukung merupakan sarana prasarana yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan implementasi kebijakan.

5. Sumber dana

Sumber dana adalah anggaran yang mencukupi dan berkesinambungan baik dari pemerintah maupun swasta untuk mensosialisasikan peraturan.

c. Disposisi atau Sikap Implementor

Disposisi atau sikap pelaksana kebijakan antara lain meliputi motivasi, komitmen, kejujuran dan sikap demokratis para implementor yang memungkinkan terlaksananya sebuah kebijakan. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian masyarakat terhadap pelaksana kebijakan. Variabel dalam unsur disposisi yaitu komitmen dan insentif.


(40)

1. Komitmen

Komitmen adalah sikap para pelaksana kebijakan sehingga memungkinkan kebijakan dapat dilaksanakan dengan baik dan sesuai dengan tujuannya.

2. Insentif

Insentif adalah penghargaan yang diberikan kepada pelaksana kebijakan jika berhasil mencapai tujuan kebijakan tersebut dengan baik.

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi merupakan faktor penting lain yang menentukan keberhasilan implementasi kebijakan. Maksudnya, meskipun substansi kebijakan sudah dikomunikasikan dan didukung oleh sumber daya yang memadai serta sikap dan perilaku para implementor yang kondusif, namun sebuah kebijakan tetap akan sulit untuk diimplementasikan jika tidak dibarengi oleh adanya mekanisme kerja yang memungkinkan terjadinya koordinasi dan sinkronisasi antara berbagai pihak yang terkait dengan kebijakan.

Menurut Edwards III, ada dua indikator dari struktur birokrasi yaitu prosedur-prosedur kerja atau sering disebut standard operating procedures (SOP) dan struktur birokrasi pelaksana.

1. SOP

SOP merupakan mekanisme implementasi kebijakan yang secara formal tertulis dalam kerangka kerja yang jelas dan sistematis sehingga dapat menjadi acuan bagi pelaksanaan dalam mengimplementasikan kebijakan. SOP atau standar kerja yang memungkinkan pelaku kebijakan melaksanakan kegiatan sesuai standar yang telah ditetapkan.

2. Struktur birokrasi pelaksana

Struktur birokrasi pelaksana adalah adanya susunan pelaksana kebijakan secara terpadu sehingga memungkinkan tercapainya koordinasi antara lembaga pelaksana kebijakan. Struktur organisasi pemerintahan yang terpecah-pecah akan meningkatkan probabilitas kegagalan komunikasi. Semakin banyak orang yang harus menerima perintah-perintah implementasi, maka semakin besar pula kemungkinan-kemungkinan pesan didistorsi.


(41)

(42)

METODE PENELITIAN

Kerangka Konsep Penelitian

Pada penelitian ini terdapat beberapa peubah yang diamati yaitu karakteristik responden meliputi pendidikan, masa kerja, jabatan, dan pelatihan terkait rabies serta faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi (prakondisi) yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap pelaksana dan struktur birokrasi. Gambar 2 merupakan kerangka konsep penelitian yang dilakukan.

Gambar 2 Kerangka konsep penelitian.

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan November 2011 sampai dengan Maret 2012. Penelitian dilakukan di seluruh UPTKP di Indonesia baik yang ada lalulintas HPR maupun yang tidak. Untuk UPTKP yang tidak ada lalulintas HPR, penelitian ditujukan untuk melihat prakondisi implementasi karena meskipun tidak ada lalulintas HPR namun pengawasan tetap harus dilakukan dan kesiapan sumber daya, pengetahuan dan komunikasi tetap harus diupayakan. Jumlah UPTKP yang menjadi target penelitian sebanyak 50 yang tersebar di seluruh Indonesia.

PRAKONDISI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

komunikasi 1. Transmisi 2. Kejelasan 3. Konsistensi

Sumber Daya 1. Staf 2. Informasi 3. Wewenang 4. Fasilitas 5. Dana

Disposisi 1. Komitmen 2. Insentif

Struktur birokasi 1. SOP

2. Struktur birokrasi

TINGKAT IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

SK Kepala Badan Karantina Pertanian No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06


(43)

Disain Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan metoda survei menggunakan kuesioner sebagai perangkat untuk mengukur kualitas prakondisi implementasi dan tingkat

implementasi pedoman berdasarkan SK Kepala Barantan

No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06. Kuesioner yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa daftar pertanyaan tertutup dimana jawaban pertanyaan sudah ditentukan terlebih dahulu dan responden tidak diberi kesempatan memberikan jawaban lain dan pertanyaan semi tertutup untuk mendapatkan informasi tentang alasan dari suatu jawaban. Kuesioner ditujukan kepada petugas fungsional karantina hewan dan pejabat struktural terkait prakondisi implementasi kebijakan dan implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP.

Dalam kuesioner, isi pertanyaan berkisar tentang informasi, pendapat dan implementasi SK Kepala Barantan No.344.b/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP. Pertanyaan pada kuesioner terdiri dari :

Karakteristik responden yang meliputi unit kerja, pendidikan, masa kerja, jabatan, dan pelatihan terkait rabies

Prakondisi implementasi kebijakan yaitu :

- Komunikasi dengan indikator transmisi, konsistensi dan kejelasan. - Sumber daya dengan indikator staf, informasi, wewenang, fasilitas, dana. - Disposisi atau sikap pelaksana dengan indikator komitmen dan insentif. - Struktur birokrasi dengan indikator SOP dan struktur birokrasi.

Tingkat implementasi kebijakaan dengan pertanyaan dari butir-butir yang terdapat dalam SK Kepala Barantan No.344.b/PD.670.370/L/12/06 yang dibuat terpisah antara kegiatan pemasukan HPR impor-antar area dan kegiatan antar area.

Sebelum digunakan dalam penelitian, kuesioner terlebih dahulu diuji melalui pretest kuesioner untuk menghitung estimasi waktu wawancara, tingkat kesulitan pertanyaan dan kemungkinan pertanyaan baru yang penting terkait penelitian. Pretest pada akhirnya untuk memperoleh kuesioner yang lebih sempurna dan lengkap (Suyanto et al 2006). Setelah pretest dilakukan uji validitas dan reliabilitas kuesioner untuk menilai kelayakan kuesioner sebagai perangkat penelitian.


(44)

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat. Pengujian validitas dilakukan melalui aplikasi SPSS 16.0, dengan melihat data Corrected Item-Total Correlation dari uji reliabilitas. Dasar pengambilan keputusan uji validitas adalah tabel titik kritis nilai r (Critical Value of The r Product Moment). Jika nilai Corrected Item-Total Correlation lebih besar dari nilai r tabel, maka item pertanyaan tersebut valid. Jika nilai Corrected Item-Total Correlation lebih kecil dari nilai r tabel maka item pertanyaan tersebut tidak valid.

Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten jika dilakukan dua kali atau lebih. Metode yang digunakan dengan melihat Cronbach’s coefficient alpha sebagai koefisien dari reliabilitas. Cronbach’s coefficient alpha dapat diartikan sebagai hubungan positif antara item/pertanyaan satu dengan yang lainnya. Pengujian reliabilitas yang dilakukan melalui aplikasi program SPSS 16.0. dengan melihat data Cronbach’s Alpha dari uji reliabilitas. Jika nilai Cronbach’s Alpha lebih besar dari nilai r tabel, maka angket dinyatakan reliabel. Jika nilai Cronbach’s Alpha lebih kecil dari nilai r tabel maka angket dinyatakan tidak reliabel

Pada penelitian ini validitas dan reliabiltas kuesioner diukur satu kali dengan mengujicobakan kepada 30 responden medik dan paramedik veteriner. Pada pretest ini responden medik veteriner umumnya memahami pertanyaan yang disampaikan, namun ada beberapa respon yang dikemukan tidak terwakili oleh pilihan jawaban yang tersedia. Pada responden paramedik veteriner, sebagian besar kesulitan untuk menjawab pertanyaan dan butuh waktu yang cukup lama.

Kuesioner pada bagian prakondisi implementasi, dari 30 pertanyaan terdapat 23 pertanyaan yang valid dan semuanya reliabel (Alfa Croanbach 0.934). Sedangkan pada bagian tingkat implementasi pedoman pada kegiatan pemasukan HPR impor-antar area, dari 23 pertanyaan terdapat tujuh pertanyaan yang valid dan semua reliabel (Alfa Croanbach 0.586). Pada bagian tingkat implementasi pedoman pada kegiatan pemasukan HPR antar area, dari 11 pertanyaan terdapat empat soal yang tidak valid dan reliabel semua (Lampiran 3, 4 dan 5).


(45)

Hasil pretest dan validasi diatas, dijadikan pertimbangan untuk menyusun kuesioner kedua. Kuesioner yang diperbaiki akhirnya tidak memasukan paramedik veteriner sebagai responden (Lampiran 2).

Populasi, Sampel dan Ukuran Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah UPTKP yang berjumlah 50 dan sampel adalah pejabat struktural (Kepala Seksi/Kasubsi pelayanan operasional karantina hewan) dan pejabat fungsional medik veteriner di UPTKP. Total populasi dari pejabat fungsional adalah 140 orang (Deptan 2011) dan pejabat struktural adalah 50 orang. Ukuran sampel adalah 50% dari populasi pejabat fungsional dan ukuran sampel di UPTKP di hitung secara proporsional, sedangkan ukuran sampel untuk pejabat struktural diambil semuanya. Ukuran sampel secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7. Pengambilan sampel 50% dari total populasi medik veteriner dianggap sudah menggambarkan suatu populasi karena beberapa peneliti menyatakan bahwa sampel tidak boleh kurang dari 10% dan ada pula yang menyatakan bahwa sampel minimum 5% dari jumlah satuan-satuan elementer (Singarimbun et al 1985). Metode pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana.

Pembobotan dan Penilaian Kuesioner Penilaian kualitas Prakondisi Implementasi

Untuk menilai prakondisi implementasi dirancang sejumlah 43 pertanyaan yang mencakup aspek komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Penilaian dilakukan dengan pemberian nilai 1 pada jawaban “ya” dan nilai 0 pada jawaban “tidak” untuk pertanyaan dikhotomus. Untuk pertanyaan sikap, penilaian dilakukan dengan skala Likert yang dimodifikasi yaitu diberi nilai 1-3 (Rangkuti 2006) tergantung tingkat kepentingan pertanyaan tersebut. Nilai tersebut menyiratkan intensitas reaksi individu terhadap sejumlah pertanyaan yang diberikan.

Setiap pertanyaan diberi bobot antara 1-3 tergantung tingkat kepentingannya. Pembobotan kuesioner tersebut adalah sebagai berikut:


(46)

2 = Cukup penting dan harus ada 1 = Kurang penting

Nilai yang diperoleh adalah jumlah perkalian nilai jawaban dengan bobot pertanyaan (skala 1-3). Keluaran dari nilainya adalah dalam bentuk kategori baik, sedang dan kurang. Selang kategori dibuat berdasarkan nilai maksimum aspek prakondisi (Tabel 8) dengan nilai rata-rata responden sebagai acuannya.

Tabel 8 Nilai maksimum prakondisi pencegahan penyebaran rabies No Prakondisi Nilai Maksimum

1 Komunikasi 60

2 Sumber daya 106

3 Disposisi 24

4 Struktur birokrasi 55 Total prakondisi 245

Penilaian tingkat implementasi SK Kepala Badan Karantina Pertanian No.344.b/kpts/PD.670.370/L/12/06.

Untuk menilai tingkat implementasi kebijakan dirancang sejumlah 38 pertanyaan mengenai implementasi SK No.344.b/PD.670.370/L/12/06 di UPTKP. Penilaian dilakukan dengan pemberian nilai 1 pada jawaban “ya” dan nilai 0 pada jawaban “tidak” untuk pertanyaan dikotomik, sedangkan untuk pertanyaan sikap penilaian dilakukan dengan skala Likert yaitu diberi nilai 1-3 (Rangkuti 2006). Setiap pertanyaan diberi bobot antara 1-3 tergantung tingkat kepentingannya. Pembobotan tersebut adalah sebagai berikut:

3 = Penting/penentu dan harus ada 2 = Cukup penting dan harus ada 1 = Kurang penting

Nilai yang diperoleh adalah jumlah perkalian nilai jawaban dengan bobot pertanyaan. Keluaran dari nilai tingkat implementasi adalah dalam bentuk kategori baik, sedang dan kurang. Selang kategori dibuat berdasarkan nilai maksimum tingkat implementasi dengan nilai rata-rata responden sebagai acuannya. Nilai maksimum untuk tingkat implementasi sebagai berikut:

- Implementasi impor-antar area 218 - Nilai maksimum antar area 110


(47)

Tingkat implementasi pedoman, analisa datanya dibagi ke dalam dua kelompok yaitu 1) kelompok UPTKP yang ada lalulintas HPR Impor dan antar area dan 2) kelmpok UPTKP yang ada lalulintas HPR antar area saja.

Analisa Data

Setelah semua data berhasil dikumpulkan, maka dilakukan pemeriksaan untuk mengoreksi kelengkapan kuesioner, selanjutnya pengeditan serta pengkodean pada setiap variabel agar mempermudah pengolahan. Data karakteristik, prakondisi dan tingkat implementasi pedoman dijabarkan secara statistik deskriptif. Statistik inferensial menggunakan uji Pearson untuk mengetahui hubungan prakondisi implementasi dengan tingkat implementasi SK Kepala Badan Karantina Pertanian No.344.b/Kpts/PD.670.370/L/12/06. Keseluruhan proses perhitungan dilakukan dengan menggunakan SPSS versi 16.0 for windows dan Microsoft Excel 2007.

Definisi Operasional

1. Pencegahan (pencegahan penyakit hewan) adalah tindakan karantina hewan yang dilakukan dalam rangka mencegah masuknya penyakit hewan dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia atau dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah Negara Republik Indonesia.

2. Transmisi adalah cara/media komunikasi yang digunakan untuk mensosialisasikan pedoman.

3. Kejelasan adalah pemahaman yang tepat mengenai pedoman.

4. Konsistensi adalah didapatkannya persepsi yang sama mengenai kejelasan informasi tentang pedoman.

5. Staf adalah sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dibidang terkait pada institusi yang ikut terlibat dalam proses implementasi pedoman

6. Informasi adalah bahan dan sarana pendukung yang tepat dalam menyampaikan atau mensosialisasikan pedoman.


(48)

7. Wewenang adalah pemberian otoritas secara formal kepada pelaksana kebijakan di UPT yang bertujuan agar pelaksana dapat melakukan tindakan untuk mencapai tujuan pedoman.

8. Fasilitas adalah sarana atau kemudahan yang diberikan oleh pemerintah untuk menjamin terlaksananya pedoman.

9. Dana adalah tersedianya anggaran yang mencukupi dan berkesinambungan baik dari pemerintah maupun swasta untuk mensosialisasikan pedoman. 10. Komitmen adalah sikap para pelaksana pedoman sehingga memungkinkan

pedoman dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan tujuannya.

11. Insentif adalah penghargaan yang diberikan kepada pelaksana pedoman jika berhasil mencapai tujuan pedoman tersebut dengan baik.

12. Standard Operating Procedure (SOP) adalah mekanisme implementasi pedoman yang secara formal tertulis dalam kerangka kerja yang jelas, sistematis, sehingga dapat menjadi acuan bagi para pelaksana kebijakan dalam melakukan implementasi pedoman.

13. Struktur birokrasi pelaksana adalah adanya susunan pelaksana kebijakan secara terpadu sehingga memungkinkan tercapainya koordinasi antar lembaga pelaksana kebijakan.

Tabel 7 Ukuran sampel di setiap UPTKP

No Unit Pelaksana Teknis Pejabat Struktural Pejabat Fungsional MedVet

1 BBKP Surabaya 1 4

2 BBKP Tanjung Priok 1 4

3 BBKP Soekarno Hatta 1 4

4 BBKP Belawan 1 3

5 BBKP Makassar 1 2

6 BKP Kelas I Denpasar 1 4

7 BKP Kelas I Semarang 1 2

8 BKP Kelas I Balikpapan 1 2

9 BKP Kelas I Bandar Lampung 1 2

10 BKP Kelas I Pekanbaru 1 2

11 BKP Kelas I Pontianak 1 2

12 BKP Kelas I Kupang 1 2

13 BKP Kelas I Banjarmasin 1 2


(1)

tercecer mengkontaminasi lingkungan, dengan cara sebagai berikut: tabung gelas/plastik yang berisi sampel otak pertama dibungkus dengan kapas/bahan lainnya (sebagai pelindung goncangan) dan kemudian tabung tersebut dimasukkan ke dalam kotak yang lebih besar dan kokoh atau kaleng. Kaleng tersebut kemudian dibungkus kapas/kain secukupnya dan dimasukkan ke dalam kotak yang lebih besar (boks es atau stereoform) yang berisi bahan pendingin (batu es atau es kering/dry ice). Kotak tersebut diberi tanda, selain jenis spesimen, spesies, bahan pengawet, lokasi dan tanggal pengambilan, pengirim dll., juga ditulis “BAHAN BIOLOGIS BERBAHAYA - RABIES”. Untuk tabung sampel yang berisi bahan pengawet formalin, boks/kotak penyimpanan tidak perlu dingin. Perlu diperhatikan bahwa tabung, kaleng penyimpan tabung atau boks tidak boleh bocor dan tetap utuh selama dalam pengiriman.


(2)

4.3. PENGUJIAN SAMPEL

4.3.1. Pengujian Sampel Serum

4.3.1.1. Uji Netralisasi Virus pada Biakan Sel (Fluorescent Antibody Virus

Neutralisasi Test/FAVNT)

Prinsip :

Prinsip dari uji ini adalah reaksi netralisasi in vitro dengan virus yang titernya konstan. Virus rabies yang digunakan adalah galur CVS yang sudah beradaptasi pada biakan sel BHK 2l Clone 13. Penetapan titer serum adalah enceran tertinggi serum yang menetralkan 100% virus pada 50% dari jumlah ulangan lubang-lubang uji. Titer serum dinyatakan dalam IU/ml (International Unit) dengan cara membandingkannya dengan serum standar pada kondisi uji yang sama pada saat itu. Serum standar (hewan anjing) yaitu dari OIE atau serum standar (orang) dari WHO). FAVNT ini dikerjakan pada lempeng mikro (microplate) yang berisi 96 lubang dengan alas datar dan steril.

Alat penting yang diperlukan :

a. Inkubator dengan suhu 37°C dengan 5% CO2,

b. Laminar cabinet,

c. Mikroskop fluoresensi.

Reagensia dan bahan-bahan biologik:

a. Larutan PBS pH 7,2 tanpa Ca2+ dan Mg2+ , disimpan pada suhu 4°C, b. Trypsin ethylen diamin tetra acetic acid (EDTA)

c. Aseton 80% (high grade, diencerkan dengan air deionised, disimpan pada suhu 4°C),

d. Dulbecco Modified Eagle’s Medium (DMEM) + 10% Fetal Bovine Serum (FBS),

e. Konjugat anti rabies FITC, f. Biakan sel lestari BHK21 (C13), g. Virus rabies CVS -11 (ATCC VR 959),

h. Serum rabies standar dari WHO (sebelum dipakai diencerkan menjadi 0,5 IU/ml),

i. Serum rabies standar (OIE) diencerkan menjadi 0,5 IU/ml dengan air deionised atau air suling,

j. Serum negatif rabies,


(3)

Prosedur uji:

a. Sediakan sedikitnya 2 lempeng mikro (microplate), masing-masing lempeng mikro dibuat pola sedemikian rupa sehingga lempeng mikro 1 berperan sebagai sebagai kontrol dan lempeng mikro 2 atau selebihnya berperang sebagai tempat sera uji,

b. Media (DMEM + 10% FCS) ditambahkan pada setiap lubang, lempeng mikro kontrol (1) : lubang pada baris 1 sampai 4 dan sel A9 sampai A12 sebanyak 150 ul; lempeng mikro uji (2, 3 dst) : lubang baris 6 dan 12 ditambahkan 200 ul; lubang yang lainnya sebanyak 100 ul, c. Serum ditambahkan mengikuti pola yang telah ditetapkan pada lempeng mikro, yaitu

sebanyak 50 ul,

d. Kemudian serum diencerkan sebagai berikut: dengan menggunakan pipet mikro multi campuran media dan serum (enceran pertama) dihomogenkan dengan cara mengocoknya minimal 8 kali (sucking in and out), kemudian pindahkan sebanyak 50 ul ke lubang berikutnya, begitu selanjutnya sampai pada tabung terakhir. Pada tabung terakhir sebanyak 50 ul enceran media dan serum dibuang,

e. Kemudian tambahkan pada setiap lubang pada plat uji sera (plat 2, 3 dst) dengan 50 ul virus yang telah diukur mengandung 100TCID50/ml,

f. Lempeng mikro kemudian ditempatkan (inkubasi) pada inkubator suhu 37 oC dengan kandungan 5% CO2 selama 1 jam,

g. Kemudian tambahkan pada setiap lubang dengan suspensi sel (BHK21 berumur 3 hari) sebanyak 50 ul yang mengandung 4X105 sel/ml,

h. Lempeng mikro kemudian ditempatkan (inkubasi) pada inkubator suhu 37 oC dengan kandungan 5% CO2 selama 48 jam,

i. Setelah inkubasi selama 48 jam, cairan medium dalam setiap lubang dibuang, lubang pada lempeng mikro dicuci (rinsed) 1 kali dengan PBS pH 7,2, dan kemudian dicuci satu kali dengan 80% aseton.

j. Kemudian lubang pada lempeng mikro difiksasi dengan 80% aseton pada suhu kamar untuk selama 30 menit, dan akhirnya dikeringkan pada suhu kamar sekurang-kurangnya selama 1 jam.

k. Setiap lubang pada plat mikro kemudian ditambahkan 50 ul FITC anti rabies konjugat (enceran optimal memberikan reaksi terbaik), digoyang secara perlahan dan diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 30 menit. Setelah itu kelebihan cairan FITC dibuang dan dicuci (rinsed) sebanyak 2 kali dengan cairan PBS. Kelebihan cairan PBS kemudian dibuang dengan cara membalikkan lempeng mikro pada kertas saring yang diletakkan di atas meja (bench),

l. Hasil uji diperiksa di bawah Mikroskop Fluorescen,

m. Jika D50 dari serum yang diuji lebih kecil dari D50 serum standar positif yang mengandung 0,50 IU/ml, maka titer serum uji kurang dari 0,5 IU/ml; sebaliknya jika D50 dari serum yang diuji lebih besar dari D50 serum standar positif yang mengandung 0,50 IU/ml, maka titer serum uji lebih besar atau sama dengan 0,5 IU/ml

Dengan FAVNT, titer serum dinyatakan protektif jika mencapai ≥ 0,5 IU/ml.

4.3.2. Pengujian Sampel Otak Anjing

4.3.2.1. Pengujian Sampel Otak dengan Fluorescent Antibody Technique (FAT)

Prinsip :

Prinsip dari uji ini adalah terbentuknya ikatan antara antigen (virus rabies) dengan spesifik antibodi virus rabies yang telah dikonjugasi dengan zat fluorescen sehingga tampak agregat yang


(4)

berpendar hijau (fluorescensi) pada sampel yang diamati dengan menggunakan mikroskop flurorescen.

Alat penting yang diperlukan : a. Laminar flow cabinet, b. Mikroskop fluoresensi.

Reagensia dan bahan-bahan biologik:

a. Larutan PBS pH 7,2 tanpa Ca2+ dan Mg2+, disimpan pada suhu 4°C, b. Aseton (high grade),

c. Konjugat anti rabies FITC, d. Kontrol otak positif rabies, e. Kontrol otak negatif rabies.

Prosedur uji:

1. Buat sekurang-kurangnya 4 slide preparat; 2 preparat ulas (smear) dan 2 preparat tekan (gerusan) dari sampel otak segar (mengandung dasar cerebellum, hippocampus, cortex dan medulla oblongata) setipis mungkin pada gelas slide. Disamping itu buat slide preparat dari otak yng mengandung virus rabies dan otak yang tidak mengandung virus rabies sebagai pembanding/kontrol positif dan negatif,

2. Bila sampel otak telah diawetkan dalam 50% gliserol – PBS, maka preparat dicuci beberapa kali dengan PBS untuk menghilangkan gliserol yang dapat menutupi fluoresensi,

3. Preparat kemudian dikeringkan dengan cara dihembuskan angin (diangin-angin), lalu dimasukkan ke dalam coplin jar (kontainer) yang mengandung aseton dingin (preparat terendam) dan simpan di dalam freezer -15 oC samapi -20 oC untuk selama 2 – 4 jam, 4. Preparat kemudian diangkat dari rendaman aseton dingin lalu dikeringkan (diangin-angin), 5. Setelah preparat kering, buat garis demarkasi melingkar pada lokasi lapisan sampel yang

tipis sepanjang 2,5 cm dengan menggunakan pensil lilin (wax marking pencil) sebanyak 2 buah lokasi per slide. Demikian juga dengan slide preparat kontrol diperlakukan sama seperti slide preparat sampel,

6. Teteskan konjugat anti rabies FITC sebanyak 2 tetes pada lokasi yang didemarkasi. Usahakan cairan konjugat tersebar secara merata menutupi lokasi demarkasi,

7. Tempatkan slide preparat tadi secara horisontal pada rak yang datar di atas baki yang cukup mengandung air, baki ditutup dan lalu ditempatkan di dalam inkubator dengan suhu 37 oC selama 30 menit,

8. Setelah selesai masa inkubasi, slide preparat kemudian di rendam dalam PBS pH 7,4, kemudian di cuci (rinse) dengan meneteskan cairan PBS sehingga menutupi preparat sebanyak 2 kali masing-masing untuk selama 10 menit,

9. Slide preparat kemudian dipindahkan dan dikeringkan dengan cara menempatkannya secara vertikal,


(5)

10. Setelah slide preparat kering, tambahkan 1 tetes 50% gliserol bufer pH 7,6 di atasnya, tutup dengan coverslips pada lokasi yang akan diamati, lalu amati di bawah mikroskop fluorescen,

11. Slide preparat kontrol positif dan slide preparat sampel yang mengandung virus rabies akan berwarna fluorescen hijau terang (apple green) atau struktur hijau-kekuningan dengan ukuran yang bervariasi mulai dari ukuran kecil ibarat seperti butiran pasir sampai ukuran besar Negri Bodies. Tidak terlihat adanya warna fluorescen hijau terang (apple green) atau struktur hijau-kekuningan pada slide kontrol negatif.

12. Sampel dinyatakan positif rabies jika ditemukan sel yang berpendar hijau (berwarna fluorescen hijau terang (apple green) atau struktur hijau-kekuningan), seperti dijumpai pada slide kontrol positif tetapi tidak dijumpai gambaran tadi pada slide kontrol negatif.


(6)

BAB V

PENUTUP

1. Setiap pemasukan hewan organik milik Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan atau Polisi Republik Indonesia (POLRI) dan atau Bea Cukai untuk keperluan tugas harus berkoordinasi dengan Dokter Hewan Karantina tempat pemasukan dan atau Dokter Hewan Berwenang di wilayah/daerah tujuan;

2. Realisasi kegiatan tindak karantina hewan terhadap lalulintas pemasukan/pengeluaran Hewan Penular Rabies (HPR) segera dilaporkan kepada Kepala Badan Karantina Hewan; 3. Petunjuk Teknis Kepala Badan Karantina Pertanian ini supaya dapat dilaksanakan dengan