Study of Q Fever in Imported Dairy Cattle from Australia through the Soekarno Hatta Airport

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR
DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI
BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA

ENDAH KUSUMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Q Fever pada Sapi Perah
Impor dari Australia yang Masuk Melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta adalah
karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2012

Endah Kusumawati
NIM. B251100194

ABSTRACT
ENDAH KUSUMAWATI. Study of Q Fever in Imported Dairy Cattle from
Australia through the Soekarno-Hatta Airport. Under direction of MIRNAWATI
B. SUDARWANTO and TRIOSO PURNAWARMAN.
Q fever is worldwide distributed zoonosis caused by Coxiella burnetii. This
intracelluar bacterium infects a wide range of animals and associated with
reproductive disorders in domestic ruminants. It can lead an acute and chronic
infections and caused flu-like syndrome, hepatitis, pneumonia or endocarditis.
The aim of this research is to study Q fever in imported dairy cattle from Australia
through the Soekarno-Hatta airport. Forty-six samples of serum and whole blood
were taken from imported dairy cattle. Two diagnostic methods used in this study
were serological test using enzyme-linked immunosorbant assay (ELISA) and
nested polymerase chain reaction (nested PCR). The result of serological test
showed that 23 (50%) out of 46 samples were positive but Coxiella burnetii DNA
were not detected by nested PCR. These data revealed that Q fever have infected
imported dairy cattle from Australia through Soekarno-Hatta airport with 50% of
seroprevalence.

Keywords : Q fever, Coxiella burnetii, dairy cattle, ELISA, nested PCR

RINGKASAN
ENDAH KUSUMAWATI. Kajian Q Fever pada Sapi Perah Impor dari Australia
yang Masuk Melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta. Dibimbing oleh
MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan TRIOSO PURNAWARMAN.
Kegiatan importasi berisiko masuknya berbagai penyakit ke Indonesia.
Hewan sapi dengan produknya yang diimpor dalam jumlah yang banyak akan
menyebabkan masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada hewan
dan manusia ke dalam wilayah Indonesia. Q fever merupakan penyakit yang
bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya.
Hewan ternak yang dapat terserang adalah sapi, kambing, domba maupun ternak
ruminansia lain. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan,
makanan asal ternak yang terinfeksi seperti daging, susu, produk ternak lainnya
maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab.
Coxiella burnetii adalah mikroorganisme penyebab penyakit Q fever,
berbentuk pleomorfik (bentuknya tidak tetap, batang atau kokoid), bersifat obligat
intraseluler, berukuran lebar 0.2-0.4 µm dan panjang 0.4-1.0 µm, struktur
menyerupai spora (spora like). C. burnetii mempunyai membran yang sama
seperti bakteri gram negatif, mempunyai bentuk besar (large form/large cell

variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant). Agen penyebab tahan
terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan panas, kering, dan tahan terhadap
beberapa konsentrasi desinfektan, seperti 0.05% hipoklorit, 5% peroksida, 1:100
larutan lisol, glutaraldehid, etanol dan gas formaldehid. Pada bahan pangan asal
hewan dan olahannya C. burnetii dapat bertahan hidup 1 bulan pada daging yang
disimpan dalam cold storage (suhu -18 °C sampai dengan -20 °C), 42 bulan pada
susu segar yang disimpan dalam suhu 4-6 °C dan lebih dari 40 bulan pada susu
skim. C. burnetii dapat dikembangkan sebagai senjata biologis yang berpotensi
sebagai ancaman terorisme (bioterrorisme) seperti halnya Bacillus anthracis.
Penelitian tentang Q fever di beberapa negara sudah demikian maju, bahkan
sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan, mengingat
C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis. Laporan
epidemiologi dari banyak negara menyebutkan bahwa orang yang sering kontak
langsung dengan ternak, seperti peternak, pekerja rumah potong, masyarakat yang
tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang besar terserang Q fever.
Penelitian terhadap penyebab Q fever di Indonesia sampai saat ini masih jarang
dilakukan karena gejala klinis bentuk akut infeksi Q fever tidak begitu menciri,
seperti terjadinya pneumonia, hepatitis, dan endokarditis. Temuan kasus klinis
belum pernah didiagnosa ke arah adanya Q fever, sehingga kurang diperhatikan
oleh pemerintah dan masyarakat. Dampak jangka panjang penyakit ini sangat

membahayakan dan fatal bagi manusia, di sisi lain Indonesia merupakan
pengimpor ternak terutama sapi, baik sapi bakalan, sapi perah maupun daging
beku dari Amerika, Australia, New Zealand dan beberapa negara lain. Indonesia
dengan jumlah penduduk yang sebagian besar adalah petani yang tidak terlepas
dari hewan ternak serta banyaknya lokasi kumuh di perkotaan sangat rentan
terhadap infeksi Q fever. Penentuan diagnosis yang cepat dan akurat terhadap
Q fever sangat dibutuhkan sebagai upaya pengendalian yang tepat dan cepat.

Metode dalam penelitian ini meliputi pra penelitian berupa pemberian
kuisioner untuk mengkaji risiko penyebaran Q Fever ke lingkungan berkaitan
dengan sanitasi, higiene personal, dan biosekuriti. Hewan target adalah sapi perah
impor dari Australia yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Sampel yang diambil berupa serum dan whole blood, masing-masing sebanyak 46
sampel. Pengambilan sampel menggunakan rumus detect diseases dengan asumsi
prevalensi 6.12 % dan tingkat kepercayaan 95 %, artinya prevalensi akan
terpenuhi jika minimal ada 1 yang positif Q fever dari jumlah sampel tersebut.
Sampel serum diuji dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
menggunakan CHEKIT Q-Fever (Coxiella burnetii) Antibody Test Kit dan sampel
whole blood diuji dengan menggunakan nested polymerase chain reaction (PCR).
Hasil uji serologi menunjukkan sebanyak 23 sampel (50%) positif Q fever

dari 46 sampel dengan rata-rata persentase nilai positif adalah 92.54%. Hasil
nested PCR dengan menggunakan primer OMP1, OMP2, OMP3 dan OMP4 dari
46 sampel whole blood adalah negatif. Pada umumnya jumlah sampel yang positif
C. burnetii pada pemeriksaan serologis cenderung lebih tinggi jika dibandingkan
dengan pemeriksaan dengan metode PCR. Pada pemeriksaan serologis, hewan
yang positif antibodi terhadap C. burnetii adalah hewan yang telah terinfeksi
dalam waktu lama, sementara agen penyebabnya sendiri belum tentu ada dalam
tubuh hewan. Negatif nested PCR dapat disebabkan karena sifat C. burnetii yang
merupakan bakteri intraseluler, pada fase akut dapat ditemukan di darah namun
pada fase kronis bakteri banyak terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat di
organ seperti jantung, hati, plasenta dan susu.
Kata – kata kunci : Q fever, Coxiella burnetii, sapi perah, ELISA, nested PCR

©Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI PERAH IMPOR
DARI AUSTRALIA YANG MASUK MELALUI
BANDAR UDARA SOEKARNO-HATTA

ENDAH KUSUMAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS.


Judul Tesis
Nama
NIM

: Kajian Q fever pada Sapi Perah Impor dari Australia yang Masuk
Melalui Bandar Udara Soekarno-Hatta
: Endah Kusumawati
: B251100194

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati B. Sudarwanto
Ketua

Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si.
Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, M.Si.

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian :

Tanggal Lulus :

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat, karunia dan
hidayahNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian ini berjudul “Kajian
Q Fever pada Sapi Perah Impor dari Australia yang Masuk Melalui Bandar
Udara Soekarno-Hatta” yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Mei 2012.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati
B. Sudarwanto dan Bapak Dr. drh. Trioso Purnawarman, M.Si, selaku dosen

pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran, tenaga serta motivasi dalam
membimbing penyelesaian tesis. Ucapan terima kasih kepada Kepala Badan
Karantina Pertanian yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan Pascasarjana. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Denny
Widaya Lukman, M.Si. selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat
Veteriner dan Prof. Dr. drh. A.Winny Sanjaya, MS. sebagai penguji luar komisi.
Kepada drh. Rahmat Setya Aji, M.Si dan Nunung Nuraeni, S.Si, M.Epid yang
telah membantu penelitian ini. Ucapan yang sama ditujukan kepada seluruh
pengajar dan staf bagian Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran
Hewan IPB yang telah banyak membantu proses pendidikan dan berlangsungnya
penelitian. Terima kasih disampaikan juga kepada teman-teman Kelas Khusus
Karantina Hewan (Siti Khadijah, Fitria Kusumaningrum, Wulandari, Amanatin,
Agus Jaelani, Trifera Melaningrum, Gatot Santoso, Platika Widiyani, Made Ary,
Ali Imran, Donni Muksydayan, Hari Yuwono Adi, Endang Sri Pertiwi dan
Helmi), Kepala Balai Besar dan segenap staf Balai Besar Karantina Pertanian
Soekarno Hatta yang telah membantu selama pengumpulan sampel sampai
dengan pelaksanaan pengujian laboratorium, drh. Mazdani Daulay, M.Sc,
keluarga besar Balai Besar Karantina Pertanian Makassar, Budi Ismanto, dan
Bambang Urip yang turut serta membantu proses penelitian dan memberikan
motivasi. Terima kasih dan penghargaan juga disampaikan kepada G. Sigit

Pramono dan Ayesha Kartika Fajar Pramesti (sumber motivasi), almarhum
ayahanda Soewadji, ibu, mami, kakak dan adikku, atas segala doa, perhatian,
semangat dan kasih sayang yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk ilmu pengetahuan dan
kemaslahatan umat manusia.

Bogor, Juni 2012
Endah Kusumawati

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Karanganyar Jawa Tengah pada tanggal 18 Juni 1980
sebagai anak ke-5 dari 9 (sembilan) bersaudara dari ayah Soewadji dan ibu Sri
Suprapti. Pendidikan dasar sampai menengah atas dijalani di SD Negeri I Buran
Tasikmadu Karanganyar tahun 1992, SMP Negeri I Karanganyar tahun 1995,
SMU Negeri I Kebakkramat Karanganyar 1998, lulus Sarjana Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga tahun 2004 dan menjadi Dokter Hewan pada tahun 2005.
Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister pada Program Studi
Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian
Bogor dengan dukungan biaya perkuliahan dari DIPA Badan Karantina Pertanian
Departemen Pertanian.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balai Besar Karantina
Pertanian Makassar dari tahun 2006 sampai dengan sekarang. Selama mengikuti
perkuliahan, penulis menjadi pegawai yang diperbantukan sementara di Balai
Besar Karantina Pertanian Soekarno-Hatta.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .......................................................................

xix

DAFTAR GAMBAR ...................................................................

xx

DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................

xxi

PENDAHULUAN
Latar Belakang ...................................................................
Perumusan Masalah ...........................................................
Tujuan ................................................................................
Manfaat ..............................................................................
Hipotesis .............................................................................

1
4
5
5
5

TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah ...............................................................................
Organisme ..........................................................................
Epidemiologi ......................................................................
Q Fever pada Hewan ................................................
Q Fever pada Manusia ..............................................
Q Fever sebagai Penyebab Food-Borne Diseases.....
Q Fever di Indonesia ................................................
Gejala Penyakit ..................................................................
Teknik Diagnosa ................................................................
Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) .......
Nested Polymerase Chain Reaction (PCR) .............
Pencegahan dan Pengendalian ...........................................
Pengobatan .........................................................................

7
8
10
10
12
12
12
13
15
16
17
19
19

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ...........................................................
Bahan dan Alat ...................................................................
Metode Penelitian ...............................................................
Besaran dan Metode Pengambilan Sampel ...............
Uji Serologis (ELISA) .............................................
Identifikasi DNA C. burnetii dengan Metode
Nested PCR ..............................................................
Ekstraksi DNA (Qiagen Kit) ..........................
Spektrofotometer (NanoVue PlusTM)...............
Deteksi C. burnetii pada Darah Sapi dengan
Metode Nested PCR .......................................
Analisis Hasil .....................................................................

21
21
21
22
23
24
24
25
26
28

xvii

Halaman
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil ELISA ......................................................................
Hasil Nested PCR ...............................................................
Pembahasan Umum ............................................................

29
31
34

SIMPULAN DAN SARAN ........................................................

39

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................

41

LAMPIRAN ................................................................................

47

xviii

DAFTAR TABEL
Halaman
1

Frekuensi dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan
melalui
Bandar Udara Soekarno-Hatta berdasarkan
Laporan Tahunan Balai Besar Karantina Pertanian
(BBKP) SOEHATTA (2011) .............................................

1

2

Interpretasi hasil ELISA .....................................................

23

3

Hasil uji serologi terhadap Q fever dengan metode
ELISA .................................................................................

30

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1

Pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan antara
Coxiella burnetii dengan spesies lain dari Proteobacteria
berdasarkan analisis sekuen 16S rRNA ...........................

8

2

Coxiella burnetii dengan mikrograf elektron pada
pembesaran 75 000 kali, (k) bentuk kecil, (b) bentuk
besar .................................................................................

9

3

Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii ...................

9

4

Rancangan penelitian .......................................................

22

5

Metode ELISA (CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii)
antibody test kit, IDEXX, Switzerland) ...........................

24

6

Penghitungan konsentrasi dan kemurnian DNA dengan
spektrofotometer (NanoVue PlusTM)................................

25

7

Peralatan pengujian PCR ................................................

27

8

Hasil nested PCR dari 46 sampel yang diperiksa, A
adalah sampel 1-23 dan B adalah sampel 24-46, (a)
DNA ladder 100 pb, (b) sampel, (c) kontrol positif, (d)
kontrol negatif..................................................................

32

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1

Kuisioner kajian penyakit Q fever ...................................

49

2

Hasil pengujian ELISA ...................................................

53

3

Konsentrasi dan tingkat kemurnian DNA ........................

55

4

Sertifikat analisis CHEKIT Q-fever (Coxiella burnetii)
antibody test kit ................................................................

57

xxi

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Keanekaragaman sumber daya hayati merupakan modal dasar dan faktor
dominan dalam penyelenggaraan pembangunan nasional. Seiring dengan
perkembangan ekonomi, perdagangan dan teknologi informasi mengakibatkan
meningkat pula frekuensi lalu-lintas dan jumlah komoditi hewan beserta
produknya di masing-masing kegiatan ekspor, impor, dan antar area. Frekuensi
dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan melalui Bandar Udara SoekarnoHatta disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Frekuensi dan jumlah sapi impor yang dilalu-lintaskan melalui
Bandar Udara Soekarno-Hatta berdasarkan Laporan Tahunan
Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) SOEHATTA (2011)
Tahun 2009

Tahun 2010

Tahun 2011

Bulan

Jumlah
(ekor)

Frekuensi

Jumlah
(ekor)

Frekuensi

Jumlah
(ekor)

Frekuensi

Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
Total

191
0
0
588
0
430
0
17
17
0
0
158
1 401

1
0
0
3
0
2
0
1
1
0
0
3
11

192
0
202
0
0
247
47
0
203
0
0
0
891

1
0
1
0
0
2
1
0
1
0
0
0
6

0
0
0
0
220
132
395
0
0
0
99
0
714

0
0
0
0
1
3
4
0
0
0
1
0
8

Jenis sapi yang diimpor antara lain adalah sapi perah, merupakan ternak
yang relatif banyak dipelihara untuk memproduksi susu. Direktorat Jenderal
Peternakan (Ditjenak) (2011) menyebutkan bahwa 80% bahan baku susu masih
diimpor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2011), sepanjang Januari
sampai Juni 2011, impor susu bubuk Indonesia mencapai 101 657 ton dengan
nilai US$ 381.472 juta atau setara dengan Rp 3.2 triliun. Rata-rata setiap tahun

2

Indonesia mengimpor bahan baku dan produk jadi susu sebesar US$ 600 juta atau
kurang lebih Rp 5.1 triliun. Impor terbanyak berasal dari Selandia Baru dengan
nilai sebesar US$ 126.65 juta, Australia senilai US$ 85.297 juta, Amerika Serikat
senilai US$ 77.610 juta, Filipina sebanyak US$ 19.247 juta, Singapura senilai
US$ 15.528 juta dan negara lainnya US$ 57.137 juta. BPS juga mencatat,
pergerakan impor susu dari bulan ke bulan menunjukan kenaikan, April 2011
impor susu hanya sebesar US$ 58.368 juta, Mei naik US$ 70.865 juta, Juni naik
menjadi US$ 77.432 juta. Lonjakan susu impor yang masuk ke Indonesia seiring
dengan pertumbuhan industri susu yang mencapai level 6 sampai 7% per tahun.
Kegiatan importasi beresiko masuknya berbagai penyakit ke Indonesia.
Keputusan importasi pada akhirnya harus mempertimbangkan kepentingankepentingan lain baik ekonomi dan politis. Analisa risiko merupakan suatu proses
komplek yang sebenarnya tidak hanya ditujukan untuk menjamin keamanan dan
kesehatan pangan secara fisik, tetapi juga secara rohani, karena dalam tahap
analisa risiko sudah termasuk verifikasi kehalalan produk yang akan diimport
dimana merupakan orientasi penting bagi masyarakat Indonesia. Kebijakan
importasi yang didasari murni oleh analisa risiko tidak akan memberikan efek
yang merugikan berbagai pihak yang terkait dengan kegiatan importasi itu sendiri
apabila kondisi negara sudah cukup memadai dengan pilihan tidak melakukan
importasi. Kondisi yang memadai tersebut harus mencakup kesiapan negara akan
ketersediaan ternak dan produksinya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Program swasembada pangan merupakan program yang tepat untuk mendukung
kebijakan importasi.
Program Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS 2014) merupakan
salah satu program prioritas pemerintah dalam lima tahun ke depan untuk
mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumber daya lokal.
Pencapaian swasembada daging sapi merupakan tantangan yang tidak ringan,
karena pada tahun 2009 impor daging mencapai 7.0 x 104 ton dan sapi bakalan
setara dengan 250.8 x 103 ton daging (Ditjenak 2010).
Data

menunjukkan

bahwa

Indonesia

mengimpor

sapi

rata-rata

5

6.5 x 10 ekor per tahun yang sebagian besar berasal dari Australia (Asosiasi
Produsen Daging dan Feedlot Indonesia/APFINDO 2010). Australia merupakan

3

negara asal dan pertama ditemukannya Query fever (Q fever) pada pekerja rumah
potong hewan di Brisbane pada tahun 1935 (Acha dan Szyfres 2003). Hewan sapi
dengan produknya yang diimpor dalam jumlah yang banyak akan menyebabkan
masuknya penyakit baru (eksotik) yang dapat menular pada hewan dan manusia
ke Indonesia.
Q fever merupakan penyakit yang bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan
dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Hewan ternak yang dapat terserang
adalah sapi, kambing, domba maupun ternak ruminansia lain. Penularan dapat
terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi, melalui makanan asal
ternak terinfeksi seperti daging, susu, produk ternak lainnya maupun oleh partikel
debu yang terkontaminasi agen penyebab. Q fever tersebar luas di seluruh dunia
bahkan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di banyak negara seperti
Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia,
Thailand, Taiwan, Malaysia, dan beberapa negara lain di Asia Tenggara
(Fournier et al. 1998). Akibat distribusi geografis Q fever yang sangat luas dan
letak geografis Indonesia yang berdekatan wilayah dengan negara-negara endemik
Q fever terutama Australia, maka perlu diwaspadai penyebaran infeksi penyakit
ini di Indonesia.
Penelitian tentang Q fever di beberapa negara sudah demikian maju, bahkan
sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan, mengingat
C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis
(Seshadri et al. 2003). Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan
bahwa orang yang sering kontak langsung dengan ternak, seperti peternak, pekerja
rumah potong, masyarakat yang tinggal di daerah kumuh (urban area) berpeluang
besar terserang Q fever. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sebagian besar
adalah petani yang tidak terlepas dari hewan ternak serta banyaknya lokasi kumuh
di perkotaan sangat rentan terhadap infeksi Q fever. Penentuan diagnosis yang
cepat dan akurat terhadap Q fever sangat dibutuhkan sebagai upaya pengendalian
yang tepat dan cepat.

4

Perumusan Masalah
Penelitian terhadap penyebab Q fever di Indonesia sampai saat ini masih
jarang dilakukan karena gejala klinis bentuk akut infeksi Q fever yang tidak begitu
menciri, seperti terjadinya pneumonia, keguguran ataupun tingginya kasus
hepatitis dan endokarditis. Temuan kasus klinik belum pernah didiagnosa kearah
adanya Q fever, sehingga kurang diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat.
Di satu sisi dampak jangka panjang penyakit ini sangat membahayakan dan fatal
bagi manusia. Di sisi lain Indonesia merupakan pengimpor ternak terutama sapi,
baik sapi bakalan, sapi perah maupun daging beku dari Amerika, Australia, New
Zealand dan beberapa negara lain. Selain itu era globalisasi akan meningkatkan
arus lalu lintas perdagangan ternak dan juga mobilitas manusia, yang juga
berdampak terhadap cepatnya penyebaran penyakit khususnya zoonosa seperti
Q fever ataupun yang lainnya.
Laporan World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pada tahun
1955 Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia dari 188 serum sapi yang
diperiksa secara serologis positif mengandung antibodi C. burnetii menggunakan
cappilary tube agglutination test (CAT) (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian
selanjutnya dilakukan oleh Rumawas (1976) menunjukkan bahwa dari 323 sampel
darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan Semarang ditemukan
4 sampel (1.2%) positif antibodi terhadap Q fever menggunakan metode CAT.
Vanpeenen et al. (1978) juga melakukan penelitian penyakit Q fever pada pekerja
di Indonesia secara seroepidemiologi.
Penelitian selanjutnya dilaporkan Miyashita et al. (2001) pada kasus
pneumonia yang diderita oleh seseorang yang pernah tinggal di Indonesia dan
ditemukan positif terinfeksi C. burnetii. Hasil seroprevalensi Q fever di Bogor
pada domba dan kambing menunjukkan sebesar 31.88% dan 20.29%
menggunakan metode indirect immunofluorescent antibody (IFA), sedangkan
dengan metode nested polymerase chain reaction (nested PCR) terhadap 245 ekor
sapi bali dan Brahman cross ditemukan 15 ekor (6.12%) positif DNA C. burnetii
serta pada 165 ekor kambing dan domba ditemukan 6 ekor (3.64%) positif DNA
C. burnetii di Bali dan Bogor (Mahatmi 2006).

5

Data di atas dapat dijadikan dasar untuk melakukan penelitian tentang
keberadaan penyakit Q fever di Indonesia terutama pada hewan sapi yang diimpor
dari Australia, hal ini penting dilakukan karena sampai saat ini volume importasi
sapi masih tinggi untuk mewujudkan swasembada daging tahun 2014.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk (1) melakukan suatu kajian tentang penyakit
Q fever dan keberadaan C. burnetii pada sapi perah impor dari Australia, dan (2)
mengkaji faktor risiko penyebaran C. burnetii ke lingkungan berkaitan dengan
sanitasi, higiene personal, dan biosekuriti.

Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran data yang pasti dan
akurat tentang keberadaan C. burnetii sebagai penyebab penyakit Q fever
sehingga dapat dijadikan pertimbangan ilmiah dalam hal importasi sapi perah dari
Australia.

Hipotesa
Hipotesa penelitian ini adalah (1) C. burnetii sebagai penyebab Q fever
ditemukan dan menginfeksi sapi perah impor dari Australia, dan (2) terdapat
faktor risiko penyebaran C. burnetii ke lingkungan peternakan berkaitan dengan
sanitasi, higiene personal dan biosekuriti.

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah
Nama lain dari penyakit demam Q atau Q fever di beberapa negara adalah
Acute Q fever, Chronic Q fever, Coxiella burnetii fever, Coxiella burnetii borne
diseases, Australian Q fever, Australian Q, Balkan influenza, Balkan Nine Mile
Fever, Coxiella burnetii infection, Derrick-bunet diseases, Hibernovenal
bronchopneumoni, Q fever pneumonia, Querry fever dan Puzzling fever (Acha
dan Szyfres 2003).
Nama Q fever berasal dari kata “Querry” (Q) yang pertama kali ditemukan
oleh Edward Holbrook Derrick pada tahun 1937. Kejadian penyakit ini bermula
pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Queensland Australia yang
menderita demam namun tidak jelas penyebabnya (Baca dan Paretsky 1983).
Meskipun telah dilakukan penelitian terhadap penyakit tersebut pada saat itu,
namun belum berhasil menemukan penyebab utama dari Q fever, sehingga
dinamakan penyakit Maladi Q (Query) fever. Pada tahun 1939 Macfarlane
Burnett menyatakan bahwa penyebab Q fever adalah riketsia, dari ordo
Rickettsiales, famili Rickettsiaceae dengan nama spesies Rickettsia diaporica,
namun untuk mengenang jasa Macfarlane Burnett diubah menjadi Rickettsia
burnetii (Maurin dan Raoult 1999).
Berdasarkan analisis sekuen 168 rRNA yang dilakukan Maurin dan Raoult
(1999), ternyata Rickettsia burnetii secara filogenik lebih dekat dengan
Pseudomonas aeruginosa,

Francisella

tularensis,

Escherichia

coli,

dan

Legionella pneumophila dalam kelompok famili Proteobacteria subdivisi gamma.
Namun demikian ternyata masih mempunyai perbedaan dengan kelompok
tersebut dan akhirnya berdiri sendiri dengan nama Coxiella burnetii seperti
tercantum pada Gambar 1.

8

Gambar 1 Pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan antara Coxiella
burnetii dengan spesies lain dari Proteobacteria berdasarkan analisis
sekuen 16S rRNA (Maurin dan Raoult 1999).
Organisme
C. burnetii adalah mikroorganisme pleomorfik (bentuknya tidak tetap,
batang atau kokoid), bersifat obligat intraseluler, berukuran lebar 0.2-0.4 µm dan
panjang 0.4-1.0 µm, struktur menyerupai spora (spora like) (Fournier et al. 1998).
C. burnetii mempunyai membran yang sama seperti bakteri gram negatif namun
secara umum sulit dilihat dengan teknik pewarnaan Gram, sehingga dipakai
pewarnaan Gimenez yang umum digunakan untuk pewarnaan spesimen klinik
atau kultur laboratorium. Alternatif lain adalah menggunakan pewarnaan Stamps
dengan pewarna 2% basic fuchsin dan counterstained methylen blue (Baca dan
Paretsky 1983; Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii mempunyai bentuk besar
(large form/large cell variant) dan bentuk kecil (small form/small cell variant)
seperti dilihat pada Gambar 2 (Fournier et al. 1998).

9

k
b

Gambar 2 Coxiella burnetii dengan mikrograf elektron pada pembesaran
75 000 kali, (k) bentuk kecil, (b) bentuk besar (Fournier et al.
1998).
Bentuk besar adalah bentuk vegetatif yang menginfeksi monosit dan sel
makrofag, sedangkan bentuk kecil terdapat ekstraseluler dan diduga merupakan
bentuk yang infeksius. C. burnetii memiliki 2 bentuk antigen yaitu antigen fase I
dan fase II. Antigen fase I ditemukan di alam atau hewan, sedangkan fase II
ditemukan setelah passage di telur tertunas atau sel kultur. Antigen fase I bersifat
lebih patogenik dibandingkan dengan fase II. Perbedaan antara kedua fase antigen
ini sangat penting di dalam diagnosa. Antigen fase I mempunyai susunan
lipopolisakarida (LPS) yaitu L-vironosa dihidroksistreptosa dan galaktosamin
uronil (1.6) glukosamin, bersifat halus dan berperan dalam menentukan
patogenitasnya, sedangkan fase II terlihat kasar dan tidak ditemukan rantai
sakarida vironosa dan hidroksistreptosa, seperti pada Gambar 3 (Fournier et al.
1998).

a

b

Gambar 3 Antigen fase I (a) dan fase II (b) C. burnetii (Fournier et al.
1998).
Pada infeksi Q fever akut, antibodi terhadap antigen fase II lebih dominan
dibandingkan dengan terhadap fase I. Namun pada kasus kronis, antibodi terhadap
antigen fase I lebih memegang peran penting. Kedua antibodi ini dapat bertahan
hingga berbulan-bulan setelah infeksi (Field et al. 2002; Harris et al. 2000).

10

Menurut Centers for Diseases Control (CDC 2005) pada penderita akut Q fever
dapat dideteksi dengan peningkatan antibodi IgG fase II serta IgM fase I dan fase
II, sedangkan pada kondisi kronis Q fever terlihat peningkatan antibodi IgG dan
IgA fase I.
Center for Food Security and Public Health (CFSPH 2007) menyebutkan
bahwa agen penyebab tahan terhadap kondisi psikokimia, seperti lingkungan
panas, kering dan tahan terhadap beberapa konsentrasi desinfektan, seperti 0.05%
hipoklorit, 5% peroksida dan 1:100 larutan lisol serta glutaraldehid, etanol dan gas
formaldehid. C. burnetii pada bahan pangan asal hewan dan olahannya dapat
bertahan hidup 1 bulan pada daging yang disimpan dalam cold storage (suhu
-18 °C sampai dengan -20 °C), 42 bulan pada susu segar yang disimpan dalam
suhu 4-6 °C dan lebih dari 40 bulan pada susu skim (CFSPH 2007). C. burnetii
dapat dikembangkan sebagai senjata biologis yang berpotensi sebagai ancaman
terorisme (bioterrorisme) seperti halnya Bacillus anthracis (Maurin dan Raoult
1999; CDC 2005).

Epidemiologi

Q Fever pada Hewan
Hewan yang dapat terinfeksi C. burnetii antara lain sapi, kambing, domba,
anjing, kucing, kuda, kerbau, babi, unta, kelinci, reptil, kodok, burung merpati,
kalkun, ayam, bebek, rodensia, ikan, dan caplak (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis
2005; Parker et al. 2006; Muskens et al. 2007). Burung dan rodensia merupakan
pembawa C. burnetii di alam, sedangkan sapi, kambing, dan domba merupakan
reservoir utama (Acha dan Szyfres 2003; Kim et al. 2005; Van den Brom dan
Vellema 2009).
Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung dengan sumber
penularan, partikel debu, bahan makanan asal hewan, susu, dan luka yang
terkontaminasi serta melalui transfusi darah (Baca dan Paretsky 1983; Fournier
et al. 1998). C. burnetii dapat mengkontaminasi lingkungan jika ada hewan yang
melahirkan, yaitu melalui cairan amnion, plasenta, feses, dan urin secara terus
menerus selama beberapa bulan. Kambing sering menjadi sumber infeksi ke

11

manusia karena kejadian pada kambing lebih lama dibandingkan domba, yaitu
selama dua kali masa kebuntingan (Hatchette et al. 2003; Arricau-Bouvery dan
Rodolaksis 2005). Mikroorganisme C. burnetii berkembangbiak dan tumbuh
subur di dalam plasenta dan cairan amnion, sehingga pada hewan bunting infeksi
Q fever bersifat laten (Kloppert et al. 2004).
Caplak merupakan sumber penularan antar hewan di alam, dari hewan liar
ke hewan pelihara, dan diantara hewan pelihara melalui feses caplak yang
terinhalasi. Caplak dapat berperan sebagai perantara pada hewan tetapi tidak pada
manusia. Penyebaran antar hewan pelihara dapat juga terjadi melalui kontak
seksual karena agen penyebab ditemukan pada semen sapi (Marrie 2000; Maurin
dan Raoult 1999).
Beberapa negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol,
Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Korea, Taiwan, Malaysia, dan beberapa
negara lain di Asia Tenggara, Q fever merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang penting. Penelitian tentang Q fever telah banyak dilakukan dan bahkan
sekuensing genom dari C. burnetii telah dilakukan secara lengkap (Seshadri et al.
2003). Hal ini dilakukan karena C. burnetii berpotensi untuk dipakai sebagai
senjata biologis (Raoult 2002). Hasil survei di Jepang pada tahun 1954
menunjukkan bahwa 2.5% dari sapi dan 1.7% dari kambing yang diperiksa
terbukti mengandung antibodi terhadap C. burnetii (Htwe et al. 1992). Ho et al.
(1995) melaporkan bahwa C. burnetii telah diisolasi pada 36 (16.8%) dari 214
sampel susu segar yang diambil dari sapi perah yang mengalami gangguan
reproduksi di Jepang bagian tengah. Menurut laporan Scrimgeour et al. (2003),
9.8% dari 102 pasien anak-anak di rumah sakit di Oman terbukti seropositif
terhadap C. burnetii. Pemeriksaan terhadap 54 ekor domba yang berasal dari
provinsi yang berbeda di Oman ternyata 52% seropositif terhadap

C. burnetii.

Selain itu, terdapat hubungan yang nyata antara kasus infeksi C. burnetii pada
hewan dan pada manusia. Setiyono et al. (2005) menetapkan kriteria baru untuk
uji serologis terhadap Q fever dengan metode IFA, dan penggunaan PCR juga
telah dievaluasi serta dapat dipakai untuk mendeteksi C. burnetii (Ogawa et al.
2004).

12

Q Fever pada Manusia
Menurut Van den Brom dan Vellema 2009, kejadian Q fever pada manusia
berhubungan erat dengan pekerjaan (occupational disease), seperti peternak,
pembeli dan pengunjung yang datang ke peternakan; dokter hewan; pekerja di
peternakan, rumah potong hewan, penyamakan kulit, pengolahan daging, susu dan
wol; peneliti dan pegawai laboratorium serta pekerja di kebun binatang. Penularan
antar manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah, sumsum tulang
belakang), saliva, dan hubungan seksual. Selain itu bisa tertular selama
menangani keguguran dan otopsi pada manusia (Milazzo et al. 2001). Beberapa
faktor yang mempermudah seseorang terserang Q fever yaitu tidak divaksinasi
Q fever dan yang mengalami imunosupresan karena menderita penyakit tertentu,
misalnya AIDS, kanker, limpoma, tumor, diabetes, hepatitis, gangguan jantung,
gangguan ginjal kronis atau penerima transplan organ (Norlander 2000).
Hasil penelitian Marrie (2003) menunjukkan bahwa C. burnetii dapat
menimbulkan pneumonia yang fatal pada manusia. Penularan Q fever secara
aerosol dapat menimbulkan lesi yang hebat pada paru-paru (Stein et al. 2005).

Q Fever sebagai Penyebab Food-borne Diseases
Kim et al. 2005 menyatakan bahwa jika sapi perah terinfeksi C. burnetii
maka mikroorganisme tersebut dapat ditemukan dalam susu, hal ini merupakan
salah satu sumber penularan dari hewan ke manusia (Rodolaksis et al. 2009).
Penelitian Hirai et al. (2005) menemukan 131 sampel (53.7%) positif DNA
C. burnetii dari 244 sampel susu yang dijual di supermarket di Tokyo
menggunakan metode nested PCR. Fretz et al. (2007) menemukan 17 sampel
(4.7%) dari 359 sampel susu sapi positif DNA C. burnetii menggunakan metode
nested PCR di Zwitzerland, tetapi tidak ditemukan pada susu domba dan
kambing.

Q Fever di Indonesia
Kaplan dan Bertagna (1955) melakukan penelitian tentang keberadaan
Q fever di Indonesia menggunakan metode CAT terhadap 188 serum sapi yang
diperiksa secara serologis dan ditemukan positif antibodi C. burnetii. Sebanyak

13

323 sampel darah sapi yang diambil dari Bogor, Bandung, Surabaya dan
Semarang , didapatkan 4 sampel (1.2%) positif antibodi Q fever dengan metode
CAT (Rumawas 1976). Miyashita et al. (2001) menemukan infeksi Q fever dari
penderita

pneumonia

yang

pernah

tinggal

di

Indonesia.

Penelitian

seroepidemiologi terbaru terhadap spotted fever group rickettsia (SFGR) di
Indonesia dilakukan oleh Richards et al. (2003) di Kepulauan Gag yang
menunjukkan bahwa reaktor yang bereaksi positif sebanyak 2.1-20.4%.
C. burnetii secara serologis dan molekuler telah ditemukan pada hewan
ruminansia (domba, kambing, sapi) dan juga manusia, sehingga kemungkinan
penularan kepada hewan lain dan bahan pangan asal hewan (susu, telur) di
beberapa wilayah di Indonesia sudah terjadi. Hal ini didasarkan pada hasil
seroprevalensi di kota Bogor pada domba dan kambing menunjukkan seropositif
masing-masing 31.88% dan 20.29% menggunakan metode IFA. Penelitian pada
sapi bali dan brahman cross ditemukan 6.12% positif DNA C. burnetii, serta pada
kambing dan domba 3.64% positif C. burnetii menggunakan metode nested PCR
(Mahatmi 2006).

Gejala Penyakit
Hewan yang terinfeksi C. burnetii tidak selalu menunjukkan gejala klinis,
bahkan lebih sering tidak ada gejala yang tampak. Fase akut C. burnetii dapat
ditemukan di dalam darah, jantung, hati dan limpa hewan yang terinfeksi.
Penyakit umumnya berlanjut menjadi kronis dan secara terus menerus hewan akan
mengekskresikan bakteri melalui tinja dan urin (Smith 1999; Ho et al. 1995).
Gejala umum pada ruminansia ditandai dengan anoreksia, rhinitis, frekuensi
pernafasan meningkat, abortus, retensio plasenta, endometritis, tidak fertil dan
beberapa ditemukan lahir dalam keadaan lemah, kecil dan mati (Arricau-Bouvery
dan Rodolaksis 2005). Sapi perah kadang-kadang terlihat pneumonia, sedangkan
pada anak domba terjadi diare dan gangguan pernafasan (Van den Brom dan
Vellema 2009).
Infeksi C. burnetii pada hewan umumnya bersifat subklinis, yang ditandai
dengan penurunan nafsu makan, gangguan pernapasan ringan dan gangguan
reproduksi berupa abortus pada domba dan sapi. Namun, pada manusia infeksi

14

C. burneii sering bersifat akut dan menahun serta dapat menimbulkan kondisi
yang fatal, yaitu kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada
pembuluh darah dan endokarditis yang berakibat kematian (Raoult 2002).
Ho et al. (1995) menyatakan bahwa beberapa kasus pneumonia pada anak-anak di
Jepang ternyata disebabkan oleh Q fever.
Penularan pada manusia jarang terjadi, tetapi dapat melalui transfusi (darah,
sumsum tulang belakang), saliva dan hubungan seksual. Selain itu dilaporkan bisa
tertular selama menangani keguguran dan otopsi pada manusia (Milazzo et al.
2001). Manusia yang terserang penyakit Q fever umumnya menunjukkan gejala
klinis yang tidak spesifik atau asymptomatis (60%), spesifik atau symptomatis
(38%) dan beberapa penyakit lainnya (2%), sehingga sulit dibedakan dengan
gejala dari penyakit lain. Gejala akut pada umumnya seperti flu (flu like
syndrome), misalnya demam, sakit kepala, berkeringat, menggigil, lelah (fatigue),
pegal-pegal, sakit tenggorokan, batuk, dada sakit, muntah, diare dan penurunan
bobot badan.
Penyakit Q fever yang tidak terobati dalam kurun waktu dua minggu, dapat
berlanjut menjadi pneumonia (30-50%), hepatitis, infeksi kulit, hepatomegali,
miokarditis, perikarditis, meningoencefalitis, uveitis, artritis, tromboplebitis,
pleuritis dan pankreatitis. Wanita hamil yang terinfeksi C. burnetii akan
mengalami keguguran pada semester pertama atau lahir prematur, bayi dengan
bobot badan rendah dan plasentitis pada saat melahirkan (Arricau-Bouvery dan
Rodolaksis 2005; CFSPH 2007; Maurin dan Roault 1999). Kematian pada kasus
akut dapat mencapai 1-2% (CDC 2005; CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg
2008).
Kasus Q fever akut akan menjadi kronis sebanyak 2-10% jika selama 6-12
bulan tidak diberikan pengobatan yang efektif, yaitu terjadi endokarditis, infeksi
osteoartikular, pneumoni fibrosis, sindrom kelelahan kronis (chronic fatique
syndrome), dan masalah kehamilan (Maurin dan Roault 1999; Schimmer et al.
2008). Kematian pada penderita kasus kronis bisa mencapai 25-65% (bila
mempunyai faktor imunosupresan dan atau abnormal valvular). Sindrom
kelelahan kronis ditandai dengan seringnya mengalami kelelahan yang panjang
disertai berkeringat pada malam hari, pegal-pegal, sakit di persendian, gelisah,

15

dan waktu tidur berubah. Sindrom ini terjadi setelah infeksi akut yang
berlangsung lebih dari satu bulan (Arricau-Bouvery dan Rodolaksis 2005; CDC
2005; Delsing dan Kullberg 2008). Gambaran darah dari orang yang menderita
penyakit Q fever akut ditandai dengan peningkatan laju endap darah, jumlah sel
darah putih cenderung rendah sampai normal, trombositopenia serta urinalisis
yang abnormal, seperti hematuria, leukosituria, proteinuria (Ergar et al. 2006).
Masa inkubasi penyakit Q fever pada manusia bervariasi mulai 2-5 minggu
dan beberapa kasus mencapai lebih dari 6 minggu (Maurin dan Roault 1999;
CFSPH 2007; Delsing dan Kullberg 2008). Masa inkubasi dipengaruhi oleh dosis
infeksi C. burnetii (Maurin dan Roault 1999). Orang yang terinfeksi 1-10 sel
mikroorganisme C. burnetii dapat menimbulkan gejala klinis (CFSPH 2007).

Teknik Diagnosa
Gejala dan tanda dari penyakit Q fever tidak spesifik sehingga sulit
membuat diagnosa tanpa didukung dengan tes laboratorium. Diagnosa yang
diperlukan untuk menegaskan Q fever adalah dengan melakukan tes darah untuk
mendeteksi kehadiran antibodi terhadap C. burnetti. IFA, ELISA, dan CFT adalah
uji yang dapat diandalkan dan umum digunakan di laboratorium. C. burnetii
mungkin dapat diidentifikasi pada jaringan yang terinfeksi (plasenta, hati, paruparu fetus yang mati dan jaringan lain), susu, telur, kotoran, cairan vagina dengan
menggunakan PCR. Pembuatan preparat histopatologi dengan pewarnaan Ziehl
neelsen, Gimenez, Stamp, Giemsa, Immunohistokimia pada placenta atau jaringan
lain, apabila positif akan terlihat C. burnetii yang terbentuk pleomorfik, kecil,
bulat atau seperti benang.
Beberapa penelitian serodiagnosa memberikan gambaran yang sangat
berguna untuk mengetahui seroprevalensi Q fever di suatu daerah secara luas
dalam waktu relatif singkat (Setiyono et al. 2008). Metode serodiagnosa yang
telah diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah capilary tube agglutination
test (CAT), complement fixation test (CFT), enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan indirect immunofluorescent antibody (IFA) (Cetinkaya et al. 2000;
Setiyono et al. 2005).

16

Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah suatu metoda
immunokimia yang berdasarkan reaksi spesifik antara antigen dengan antibodi
yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan menggunakan
enzim sebagai indikatornya. Antigen atau antibodi yang dilabel dengan enzim dan
diikatkan dengan pendukung immunosorbent akan membentuk antigen-antibodi
kompleks. Metoda ELISA dengan antigen kompetitif, antibodi dilapiskan pada
immunosorbent (substrat padat), kemudian antigen sampel dan antigen yang
berlabel enzim dimasukan kedalam immunosorbent sehingga terjadi kompetisi
antara antigen sampel dengan antigen berlabel enzim untuk berikatan dengan
antibodi dan terbentuk kompleks antibodi-antigen. Tambahan substrat yang
spesifik terhadap kerja enzim, akan dihasilkan reaksi yang menghasilkan warna.
Hasil warna tersebut dapat dilihat secara visual atau diukur dengan menggunakan
kolorimeter atau spektrofotometer. Ciri utama metoda ini adalah menggunakan
suatu indikator enzim untuk reaksi immunologi (Burgess 1995).
Teknik ELISA dapat digunakan untuk pemeriksaan sampel dalam jumlah
banyak, waktu yang singkat dan mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi tetapi
spesifitasnya rendah. Adapun kekurangan teknik ELISA diantaranya sering
menimbulkan reaksi positif palsu, hal ini disebabkan karena antigen standar yang
digunakan umumnya dipropagasi dalam sel kultur, sehingga ada kemungkinan
antibodi dalam serum berikatan dengan epitop-epitop lain yang ada di permukaan
sel kultur. Reaksi silang yang pernah dilaporkan adalah dengan Microbacterium
pneumonia dan Bordetella pertusis (Setiyono et al. 2005; Slaba et al. 2005).
Field et al. (2002) membandingkan dua uji serologis untuk mendiagnosa
Q fever yaitu teknik ELISA dan IFA. Hasil studi tersebut memperlihatkan bahwa
teknik ELISA memberikan sensitivitas 95% dan spesifitas 88%, sedangkan
menggunakan IFA sensitivitas 99% dan spesifitas 98%. Penelitian yang sama juga
dilaporkan Setiyono (2003) bahwa ELISA mempunyai tingkat sensitifitas dan
spesifitas masing-masing 93.8% dan 83.3%. Teknik ELISA baik digunakan untuk
tes skrining dengan jumlah sampel yang banyak dan spesifitasnya dapat
ditingkatkan dengan mengkombinasi IFA. Hasil penelitian yang dilakukan
Kennerman et al. (2010) menunjukkan 20% seropositif dari 743 domba (42 flok)

17

yang berumur antara 10-24 bulan di Turki sejak tahun 2001-2004 dengan
menggunakan uji ELISA Chekit Q fever (Idexx Laboratories, Broomfield, CO,
USA). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Cekani et al. (2008) dengan
teknik ELISA menggunakan Chekit Q fever enzyme immunoassay dan
memperoleh 9.8% seropositif pada domba dan kambing (dari 1085 ekor) serta
7.9% seropositif pada sapi 9 dari 571 ekor di Albania.
Penelitian yang dilakukan terhadap 34 ekor domba menggunakan uji
serologis (ELISA dan IFA) serta uji molekuler (PCR) didapatkan 24% positif
dengan ELISA, 32% positif dengan IFA dan 44% positif dengan PCR. Tujuh ekor
domba yang seronegatif, dilakukan pengujian dengan PCR dan diperoleh hasil
positif, hal ini menunjukkan PCR mempunyai sensitifitas lebih tinggi
dibandingkan uji serologis (Berri et al. 2001). Perbandingan uji serologis dan
molekuler dalam mendiagnosa Q fever fase akut menunjukkan bahwa apabila
serum sampel yang diambil satu sampai dua minggu setelah infeksi dapat
didiagnosa dengan kedua metode uji. Bila diambil pada minggu ketiga sampai
keempat sebaiknya menggunakan uji serologis, sedangkan uji molekuler hanya
untuk mengonfirmasi hasil uji yang seronegatif (Fournier dan Raoult 2003).

Nested Polymerase Chain Reaction (PCR)
Polymerase chain reaction (PCR) ditemukan pertama kali oleh Kary B.
Mullis tahun 1983. PCR adalah teknik yang didasari oleh penggunaan
oligonukleotida pendek sebagai primer dan taq DNA polymerase sebagai enzim
untuk menggandakan sejumlah rangkaian DNA khas C. burnetii pada sampel
yang diperiksa. polymerase chain reaction memiliki tingkat akurasi yang sangat
tinggi untuk deteksi DNA khas C. burnetii pada serum dan leukosit manusia
(Zhang et al. 1998; Ogawa et al. 2004). Mahatmi et al. 2006 melakukan penelitian
dengan menggunakan sampel jantung dan hati untuk melihat C. burnetii pada fase
kronis.
Nested PCR adalah suatu teknik perbanyakan replikasi sampel DNA
menggunakan

bantuan enzim

DNA

polymerase yang

menggunakan

dua

pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen. Pasangan primer yang pertama
akan mengamplifikasi fragmen yang cara kerjanya mirip dengan PCR pada

18

umumnya. Pasangan primer yang kedua biasanya disebut nested primers
(sepasang primer tersebut terletak di dalam fragmen pertama) yang berikatan di
dalam fragmen produk PCR yang pertama untuk memungkinkan terjadinya
amplifikasi produk PCR yang kedua dimana hasilnya lebih pendek dari yang
pertama.

Nested

PCR

adalah

PCR

yang

sangat

spesifik

dalam

melakukan amplifikasi karena jika ada fragmen yang salah diamplifikasi maka
kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh primer yang
kedua sangat rendah (Chauhan et al. 2009).
Nested PCR merupakan variasi dari reaksi polymerase chain reaction biasa
(PCR). Nested PCR dan PCR biasa keduanya berguna untuk memperbanyak
fragmen DNA tertentu dalam jumlah banyak. Pada nested PCR digunakan 2
pasang primer sedangkan pada PCR biasa hanya menggunakan 1 pasang
primer. Oleh karena itu, hasil fragmen DNA dari nested PCR lebih spesifik (lebih
pendek) dibandingkan dengan PCR biasa. Waktu yang diperlukan dalam reaksi
nested PCR lebih lama daripada PCR biasa karena pada nested PCR dilakukan
2 kali reaksi PCR sedangkan pada PCR biasa hanya 1 kali reaksi PCR. Selain itu,
keuntungan nested PCR adalah meminimalkan kesalahan amplifikasi gen dengan
menggunakan 2 pasang primer (Chauhan et al. 2009).
Menurut Louise et al 2001, secara umum, PCR adalah suatu proses
perbanyakan DNA secara in vitro melalui beberapa tahap, yaitu denaturasi,
penempelan primer, dan pemanjangan. Prinsip kerja nested PCR tidak jauh
berbeda dengan PCR biasa, namun nested PCR akan bekerja menggunakan dua
pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen DNA spesifik melalui dua proses
PCR secara terpisah. Pertama-tama DNA mengalami denaturasi lalu memasuki
fase penempelan, di mana sepasang primer pertama melekat di kedua utas tunggal
DNA dan mengamplifikasi DNA di antara kedua primer tersebut dan terbentuklah
produk PCR pertama. Kemudian produk PCR pertama tersebut dijalankan pada
proses PCR kedua di mana pasangan primer kedua (nested primer) akan
mengenali sekuen DNA spesifik yang berada di dalam fragmen produk PCR
pertama dan memulai amplifikasi bagian di antara kedua primer tersebut.
Hasilnya adalah sekuens DNA yang lebih pendek daripada sekuens DNA hasil
PCR pertama.

19

Modifikasi metode Qiao untuk mendeteksi DNA C. burnetii pada telur
ayam ras dan lokal dapat menghasilkan konsentrasi DNA yang cukup dan tingkat
kemurnian DNA yang tinggi. Metode nested PCR mampu mendeteksi DNA
C. burnetii pada konsentrasi ≥ 300 pg. Metode nested PCR mempunyai spesifitas
yang tinggi (concerved) dan 50 kali lebih sensitif dibandingkan dengan PCR biasa
untuk mendeteksi DNA C. burnetii (Purnawarman 2011).

Pencegahan dan Pengendal