Dampak Pembiayaan Bagi Hasil Terhadap Pengentasan Kemiskinan Petambak Udang Di Kabupaten Tulang Bawang (Studi Kasus: Kemitraan Bumi Dipa Periode 2014-2015)

DAMPAK PEMBIAYAAN BAGI HASIL TERHADAP
PENGENTASAN KEMISKINAN PETAMBAK UDANG DI
KABUPATEN TULANG BAWANG
(PERIODE TAHUN 2014-2015)

SHOFIYANTO

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Pembiayaan bagi Hasil
terhadap Pengentasan Kemiskinan Petambak Udang di Kabupaten Tulang Bawang adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Shofiyanto
NIM H54110047

ABSTRAK
SHOFIYANTO. Dampak Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Pengentasan Kemiskinan
Petambak Udang di Kabupaten Tulang Bawang (Studi Kasus: Kemitraan Bumi Dipa Periode
2014-2015). Dibimbing oleh MUHAMMAD FINDI A dan SALAHUDDIN EL AYYUBI.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pembiayaan, faktor-faktor yang
dapat menyebabkan kegagalan budi daya udang, serta dampak pembiayaan bagi hasil terhadap
pengentasan kemiskinan petambak di Kecamatan Rawajitu Timur, Tulang Bawang. Data yang
digunakan adalah data primer hasil wawancara kepada informan dari Kemitraan Bumi Dipa
sebanyak 5 orang dan responden yang terdiri dari 100 petambak yang menjadi anggota
Kemitraan Bumi Dipa. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, analisis
kualitatif dan analisis indeks kemiskinan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara
keseluruhan pembiayaan yang dikelola oleh Kemitraan Bumi Dipa sudah tergolong efektif,
namun ada beberapa hal yang perlu dikoreksi yaitu jangka waktu pengembalian yang kurang
longgar, loyalitas anggota yang kurang optimal, serta belum adanya dampak pembiayaan bagi
kondisi usaha petambak sebagai akibat dari kegagalan budi daya petambak yang menjadi

anggota kemitraan. Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan budi daya anggota Kemitraan
Bumi Dipa adalah faktor alam lingkungan, teknis, perilaku menyimpang dari anggota, serta
faktor eksternal lain seperti harga jual udang yang sedang menurun cukup drastis di pasar
domestik. Sementara menurut analisis terhadap indikator kemiskinan, justru terjadi kenaikan
pada headcount ratio Index,poverty gap index (P1), income gap index(I), dan sen index (P2)
setelah petambak menjadi anggota kemitraan sebagai akibat kegagalan budi daya.
Kata kunci: efektivitas, indeks Sen, kemiskinan, kemitraan, pembiayaan bagi hasil.

ABSTRACT
SHOFIYANTO. Impact of Profit Loss Sharing Financing on Poverty Alleviation of Farmers in
Tulang Bawang Regency (Case Study: Kemitraan Bumi Dipa Period 2014-2015). Supervised
by MUHAMMAD FINDI A and SALAHUDDIN EL AYYUBI.
This research aims to analyze the effectivity of financing, factors could cause failure of
shrimp’s cultivation on farm, and the impact of profit loss sharing financing on poverty
alleviation of farmers in Rawajitu Timur District, Tulang Bawang Regency. The research uses
primary data from interviewing 5 key informants from Kemitraan Bumi Dipa and 100 farmers
who become member of it. Descriptive analysis, qualitative analysis and poverty indices are
used as the analyses method. The result shows that the financing managed by Kemitraan Bumi
Dipa is effective, but there are some indicators such as payback period, loyality of members,
and the impact of financing on improving farm condition to its members that should be

optimized. The factors that cause failure of shrimp’s cultivation on members of Kemitraan
Bumi Dipa are the environment of farm, technical problem, moral hazard of members, and the
decreased of shrimp’s price in domestic market. Based on poverty indices result, headcount
ratio index (H), poverty gap indiex (P1), income gap index (I) and sen index of farmer increase
after become member of Kemitraan Bumi Dipa as the result of the failure of their shrimp’s
cultivation.
Keywords : effectivity, poverty, partnership, profit loss sharing financing, sen index

DAMPAK PEMBIAYAAN BAGI HASIL TERHADAP
PENGENTASAN KEMISKINAN PETAMBAK UDANG DI
KABUPATEN TULANG BAWANG
(PERIODE TAHUN 2014-2015)

SHOFIYANTO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi


PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SYARIAH
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Adapun skripsi ini berjudul
“Dampak Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Pengentasan Kemiskinan Petambak Udang di
Kabupaten Tulang Bawang” dengan waktu penelitian selama 1 bulan yang dimulai dari akhir
April sampai akhir Mei 2015.
Dalam hal ini, penulis ingin menyampaikan apresiasi sebesar-besarnya kepada berbagai
pihak yang telah banyak membantu, baik berupa materi maupun moril, serta kritik dan saran
yang sangat berarti dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada :
1. Orang tua penulis Mukhlasin dan Rohmah yang selalu memberikan dukungan kepada
penulis, termasuk dalam kelancaran penelitian ini.
2. Seluruh masyarakat Dipasena yang telah memberikan dukungannya atas ketersediaan
data dalam penelitian ini. Kupersembahkan skripsi ini untuk kampung halamanku

tercinta, Dipasena.
3. Dr. Muhammad Findi A, SE, ME dan Salahuddin El Ayyubi, Lc, MA selaku dosen
pembimbing segala masukan dan transfer ilmunya yang sangat berharga dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Jaenal Effendi, S.Ag, MA selaku penguji utama dan Khalifah Muhammad Ali,
S.Hut, M.Si selaku Komisi Pendidikan atas kritik dan sarannya yang membangun
dalam penyusunan skripsi ini.
5. Teman-teman satu bimbingan, Nadia, Elsa, dan lain-lain atas dukungan moril yang
telah diberikan.
6. Keluarga Ilmu Ekonomi Syariah 48 atas dukungan dan masukannya dalam
penyusunan skripsi ini.
7. BEM FEM Kabinet Simfoni, khususnya Jenal, Ening, Icha, Selva, Eko, dan Putsof
serta BEM FEM Kabinet Prioritas, khususnya Ka Desta, Ka Setia, Ka Ijul dan temanteman di Bem Corporation. Selama 2 tahun di organisasi ini, banyak pelajaran
berharga yang telah saya dapatkan.
8. Teman-teman penulis selama di Institut Pertanian Bogor, baik teman satu asrama,
satu kelas TPB, satu kos, dan lain-lain.
9. Semua pihak yang mohon maaf tak bisa saya sebutkan satu persatu.
Bogor, Juli 2015
Shofiyanto


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1


Perumusan Masalah

4

Tujuan Penelitian

6

Manfaat Penelitian

6

Ruang Lingkup Penelitian

6

TINJAUAN PUSTAKA
METODE


7
15

Jenis dan Sumber Data

15

Lokasi dan Waktu Penelitian

15

Metode Pengumpulan Data

15

Metode Analisis dan Pengolahan Data

16

GAMBARAN UMUM


19

HASIL DAN PEMBAHASAN

27

Karakteristik Responden

27

Analisis Efektivitas Pembiayaan yang Dikelola Kemitraan Bumi Dipa

31

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Budi Daya Anggota Kemitraan Bumi Dipa 38
Dampak Pembiayaan Bagi Hasil terhadap Indeks Kemiskinan Petambak Udang

41


Kajian Syariah terhadap Permasalahan Kemitraan Bumi Dipa

43

SIMPULAN DAN SARAN

47

Simpulan

47

Saran

48

DAFTAR PUSTAKA

49


LAMPIRAN

52

RIWAYAT HIDUP

62

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Produksi Perikanan Menurut Subsektor (ribu ton), 2009-2013
Laporan Triwulan Kemitraan Bumi Dipa
Peluang pembiayaan di masing-masing sub-sektor pertanian
Ringkasan hasil penelitian terdahulu
Banyaknya Penduduk Kabupaten Tulang Bawang menurut Kecamatan dan Jenis
Kelamin, 2013
Banyaknya Keluarga menurut Tahapan Keluarga Sejahtera per Kecamatan
Laporan Permodalan Kemitraan Bumi Dipa
Kemitraan Bumi Dipa
Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Pengajuan Pembiayaan
Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Realisasi Pembiayaan
Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Tahap Pengembalian Pembiayaan
Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Dampak Pembiayaan
Analisis Efektivitas Kemitraan Bumi Dipa pada Aspek Penawaran
Rekapitulasi Tanggapan Responden terhadap Kemitraan Bumi Dipa
Indikator Kemiskinan

1
5
9
11
23
24
26
27
31
32
33
35
36
37
42

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Kerangka Pemikiran
Peta Wilayah Dipasena
Pola Bagi Hasil
Karakteristik Responden Berdasarkan Rentang Usia
Karakteristik Responden Berdasarkan Status Pernikahan
Karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan
Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran Rumah Tangga Per Bulan
Karakteristik Responden berdasarkan Lama Usaha
Karakteristik Responden berdasarkan Lama menjadi Mitra Ahli Aktif
Pemetaan Permasalahan Kemitraan Bumi Dipa

14
20
26
28
28
29
29
30
31
43

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Hasil Uji t Berpasangan ....................................................................................................... 52
Dokumentasi ........................................................................................................................ 53
Kuesioner Penelitian (Informan) .......................................................................................... 53
Kuesioner Penelitian (Responden) ....................................................................................... 53

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya memiliki
mata pencaharian di sektor pertanian. Meskipun struktur perekonomian telah
mengalami transfromasi kepada sektor industri dan jasa, namun sektor pertanian masih
menjadi penopang pembangunan perekonomian di Indonesia. Menurut data Badan
Pusat Statistik (2013), sektor ini menempati urutan pertama sebagai sektor yang mampu
menyerap tenagakerja yang cukup besar yaitu 35.09%. Selain itu, sektor pertanian
mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) bagi negara sebesar
14.44%.
Salahsatu bagian potensial dari pertanian Indonesia adalah sektor perikanan. Hal
ini dapat dipahami dari fakta bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan
(archipelagic state) terluas di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 17 504 buah dan
panjang garis pantai mencapai 104 000 km (Bakosurtanal 2006). Total luas laut
Indonesia sekitar 3.544 juta km2 atau sekitar 70% dari wilayah Indonesia (Ditjen P2HP
2011). Adapun produksi perikanan menurut subsektor (perikanan budi daya dan
perikanan tangkap) selama tahun 2009 - 2013 adalah sebagai berikut.
Tabel 1 Produksi Perikanan Menurut Subsektor (ribu ton), 2009-2013
2009
2010
2011
2012
2013
Subsektor
Perikanan Budi daya
Budi daya Laut
2 820
3 515
4 606
5 770
8 379
Tambak
907
1 416
1 603
1 757
2 345
Kolam
554
820
1 127
1 434
1 774
Karamba
102
121
131
178
200
Jaring Apung
239
309
375
455
505
Sawah
87
97
86
82
97
Jumlah Perikanan Budi daya
4 709
6 278
7 929
9 676 13 301
Perikanan Tangkap
Perikanan Laut
4 812
5 039
5 346
5 436
5 707
Perairan Umum
296
345
369
394
398
Jumlah Perikanan Tangkap
5 108
5 384
5 714
5 829
6 105
Total

9 817

11 662

13 643

15 505

19 406

Sumber : Kementerian Perikanan dan Kelautan RI 2014

Kondisi geografis ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
sumberdaya perikanan yang besar. Menurut Daryanto (2007), sumberdaya pada sektor
perikanan merupakan salah satu sumberdaya yang penting bagi hajat hidup masyarakat
dan memiliki potensi dijadikan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi
nasional. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki
sumberdaya perikanan yang besar baik ditinjau dari kuantitas maupun diversitas. Kedua,
industri di sektor perikanan memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya. Ketiga,
industri perikanan berbasis sumberdaya nasional atau dikenal dengan istilah national

2
resources based industries, dan keempat Indonesia memiliki keunggulan (comparative
advantage) yang tinggi di sektor perikanan sebagimana dicerminkan dari potensi
sumberdaya yang ada.
Apa yang terjadi pada masyarakat pesisir sebagai pelaku utama usaha perikanan
di Indonesia nyatanya menunjukkan paradoks jika dibandingkan dengan potensi
tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 mencatat jumlah nelayan miskin
di Indonesia mencapai 7.87 juta atau sekitar 25.14 persen dari total penduduk miskin
nasional yang mencapai 31.02 juta orang (Jannah 2014). Hal ini tak terlepas dari krisis
perikanan yang sebenarnya memang terjadi secara global. Menurut Fauzi (2000),
secara umum diakui bahwa sumber utama krisis perikanan global adalah buruknya
pengelolaan perikanan yang dapat dilihat dari fenomena yang menonjol, yakni
overcapacity dan destruksi habitat. Dari kedua fenomena itu kemudian muncul berbagai
penyebab lain, misalnya subsidi yang massive, kemiskinan, overfishing, dan berbagai
derivative lainnya. Apalagi jika dilihat dari konteks negara berkembang seperti
Indonesia dimana faktor sosial, politik, ekonomi, dan demografi yang tidak mendukung
menyebabkan pengelolaan perikanan menjadi the big challenging exercise bagi siapa
pun yang terlibat di dalamnya. Tak mengherankan apabila kemudian selama puluhan
tahun bangsa ini merdeka, sektor perikanan belum menunjukkan giginya sebagai sektor
yang dapat diunggulkan, meski realitas potensi fisik dan geografis sumberdaya ikan
jauh lebih baik daripada negara-negara di Asia lainnya.
Kemiskinan masyarakat pesisir juga dapat dikaji dari sisi keterbatasannya
terhadap akses permodalan. Terdapat hubungan timbal balik antara masyarakat miskin
bila dikaitkan dengan akses permodalan. Masyarakat pesisir yang miskin menyebabkan
mereka tidak dapat mengakses modal, lalu karena tidak dapat mengakses modal mereka
tetap miskin. Menurut Maarif (2008) dalam Ariansyach (2009), secara garis besar
penyebab kemiskinan masyarakat pesisir dapat dibagi menjadi dua faktor, yaitu
eksternal dan internal. Faktor internal adalah kemiskinan yang berpangkal pada diri
masyarakat pesisir sendiri, di antaranya keterbatasan akses modal dan budaya
subsistence atau bekerja sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Sedangkan faktor eksternal adalah kemiskinan sebagai akibat mikro-struktural seperti
pola hubungan patron-klien dan makro-struktural seperti kebijakan politik masa lalu.
Upaya untuk mengeluarkan masyarakat pesisir dari kemiskinan ini sebenarnya
telah sejak dulu dilakukan oleh pemerintah. Tercatat beberapa kebijakan pemerintah
dilaksanakan secara langsung, yakni perluasan lapangan usaha, modernisasi alat
tangkap, dan bantuan permodalan seperti Kredit Usahatani (KUT), Kredit Usaha Rakyat
(KUR), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Usaha Mikro dan Kecil
(KUMK), Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Pihak swasta seperti perbankan
dan lembaga keuangan pun sebenarnya memiliki program kredit untuk masyarakat
pesisir. Namun sayangnya program-program yang selama ini diberikan kepada
masyarakat masih bersifat bantuan dibandingkan program pembiayaan, selain itu hanya
masyarakat menengah ke atas saja yang menikmati akses ini. Akibatnya, pembangunan
ekonomi masyarakat pesisir pun menjadi terhambat dan tidak merata.
Di sisi lain, rendahnya akses masyarakat pesisir terhadap lembaga permodalan
dan pasar telah menyebabkan masyarakat pesisir untuk lebih memilih berhubungan
dengan lembaga keuangan non formal seperti tengkulak dan rentenir yang justru
semakin menjerumuskan masyarakat pesisir kedalam keadaan tidak berdaya.
Keberadaan lembaga keuangan nonformal ini di satu sisi mampu memberikan solusi
terhadap akses permodalan, karena lebih mudah untuk mengakses sejumlah uang untuk

3
usahanya. Namun di sisi yang lainnya telah menyebabkan sebagian masyarakat pesisir
terjerat oleh utang, akibat dari bunga yang sangat tinggi. Kondisi ini tentunya telah
menjadi lingkaran setan yang menyebabkan ketidakberdayaan masyarakat pesisir
(Ariansyach 2009).
Berbagai kelemahan dalam sistem kredit yang telah dilakukan oleh pemerintah
maupun lembaga keuangan selama ini seharusnya dapat dievaluasi dan dicari alternatif
pembiayaan lain yang lebih sesuai untuk digunakan pada sektor perikanan. Sistem
kredit atau pembiayaan yang ditawarkan hendaknya relevan dengan kondisi masyarakat
pesisir. Salah satu solusi bagi permasalahan sistem pembiayaan tersebut adalah sistem
pembiayaan syariah. Sistem pembiayaan syariah yang lebih berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan ternyata memberikan harapan baru terhadap masa depan
petani, khususnya di bidang perikanan.
Secara umum, sistem keuangan Islam menghasilkan dua tipe desain pembiayaan
yaitu pembiayaan dalam bentuk utang dan pembiayaan modal (Ghafar dan Ismail 2006).
Pembiayaan dalam bentuk utang seperti murabahah dan ijarah memakai skema markup-based, sedangkan pembiayaan modal seperti mudharabah dan musharakah
menggunakan prinsip profit loss sharing (PLS). Prinsip bagi hasil (profit loss sharing)
sendiri merupakan bentuk pembiayaan yang diutamakan karena dapat mendorong
perekoonomian di sektor riil serta mengandung nilai keadilan, terutama pada pembagian
keuntungan maupun kerugian bagi para pelaku syirkah.
Ditilik dari sejarahnya, sistem bagi hasil dalam kerjasama untuk menjalankan usaha
sebenarnya telah dipraktekan sejak zaman sebelum masehi. Sistem ini umum dilakukan
oleh masyarakat Mekah dan Madinah jauh sebelum Islam diturunkan melalui Nabi
Muhammad SAW. Di Madinah masa itu sistem bagi hasil banyak diterapkan dalam kerja
sama di bidang pertanian dan perdagangan serta pemeliharaan ternak. Kerja sama pertanian
yang lazim dipraktekan pada masa itu adalah mukhabarah dan muzara’ah. Menurut Hosen
dan Ali (2007), mukhabarah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara pemilik lahan
dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap
untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang
benihnya berasal penggarapnya. Muzara’ah adalah kerja sama pengelolaan pertanian antara
pemilik lahan dan penggarap, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si
penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil
panen yang benihnya berasal pemilih lahan.
Afzalurrahman (1997) menyatakan bahwa Kaum Quraisy mempunyai pengetahuan
dagang yang sangat baik dan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Usaha
perdagangan dilakukan dalam berbagai bentuk. Aneka jenis organisasi organisasi usaha pun
telah mereka dirikan. Syirkah (kerjasama) dalam berbagai tipe dijalankan, di mana para
pemilik modal dapat secara langsung terlibat dalam perdagangan atau hanya sleeping
partner, dan dengan cara demikian mereka ikut menikmati keuntungan dan menderita
kerugian (mudharabah). Lebih lanjut Afzalurrahman menerangkan bahwa kerjasama
dengan sistem bagi hasil ini telah dipraktekan Nabi Muhammad SAW pada masa mudanya
antara usia 17 atau 18 tahun. Nabi menjalankan bisnisnya dengan cara menjalankan modal
uang orang lain, baik dengan mendapat upah maupun berdasarkan persetujuan bagi hasil
sebagai mitra. Kerjasama bisnis Nabi Muhammad yang banyak diriwayatkan adalah
kerjasama Nabi dengan Siti Khadijah.
Praktek kegiatan bisnis yang berlandaskan prinsip syariah sebenarnya juga
sudah sejak lama diterapkan oleh para petani di Indonesia seperti sistem maro dan
mertelu. Hal ini menjadikan penerapan prinsip pembiayaan syariah pada sektor–sektor
pertanian nampaknya bukanlah menjadi hal yang menyulitkan petani, namun

4
memberikan keuntungan yang lebih besar bagi mereka dan keadilan yang lebih merata
bagi semua pihak yang terlibat (Anjani 2013).
Sistem bagi hasil dalam sektor keuangan (perbankan) pertama diawali dengan
berdirinya sebuah bank tabungan lokal di Desa Mit Ghaur tahun 1963. Meskipun beberpa
tahun kemudian tutup, namun telah mengilhami diadakannya konferensi Ekonomi Islam
pertama di Mekkah pada tahun 1975. Kemudian lahirlah Islamic Development Bank (IDB)
yang kemudian diikuti dengan pembentukan lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai
negara. Di Indonesia Bank syari’ah pertama kali berdiri pada tahun 1992 yaitu Bank
Muamalat Indonesia (Soemitra 2009). Selanjutnya berkembanglah berbagai macam
lembaga keuangan syariah di Indonesia hingga saat ini.
Yousfi (2013) menyatakan bahwa kontrak pembiayaan modal yang
menggunakan prinsip profit loss sharing, terutama akad mudharabah mampu mengatasi
masalah moral hazard dalam pembiayaan karena memberikan mekanisme insentif yang
sangat kuat pada kasus dimana terdapat risiko kegagalan pada suatu usaha. Pembiayaan
seperti ini akan memicu pihak pengelola dana (mudharib) untuk berusaha secara
maksimum dalam menjalankan usahanya. Sedangkan akad musyarakah dinilai belum
dapat mengatasi masalah moral hazard. Hal ini karena pembiayaan musyarakah dinilai
kurang memberikan mekanisme insentif yang kuat bagi pihak-pihak yang melakukan
syirkah sehingga mereka tidak terpacu untuk memberikan usaha terbaiknya dalam
mensukseskan pembiayaan.
Selain penerapan sistem pembiayaan yang sesuai syariah, hal yang tak kalah
penting untuk diperhatikan adalah inklusivitas sistem itu sendiri. Pembiayaan yang
diberikan seharusnya mampu menjangkau masyarakat pesisir yang miskin ini serta
memberikan manfaat bagi mereka. Menurut Khaleequzzaman dan Shirazi (2013), peran
inklusi keuangan juga dibutuhkan dalam proses pengentasan kemiskinan sehingga dapat
membangun aset segmen target yang bisa membawa perubahan sosial-ekonomi dalam
hidup masyarakat miskin.
Oleh sebab itu, pada akhirnya perlu diuji apakah pembiayaan dengan sistem bagi
hasil yang diberikan kepada pelaku usaha perikanan telah efektif, dalam arti mampu
menjangkau mereka serta mampu memberikan manfaat. Selain itu juga perlu diuji
apakah pembiayaan berbasis bagi hasil ini mampu memberikan dampak terhadap
kesejahteraan pelaku usaha perikanan. Hasil dari analisis ini kemudian dapat digunakan
sebagai acuan rekomendasi penerapan pembiayaan bagi hasil untuk sektor perikanan.

Perumusan Masalah
Pemberian modal berupa modal kerja kepada petani adalah suatu upaya penting
guna meningkatkan produktivitas pertanian, apalagi untuk petani di Indonesia yang
umumnya miskin sehingga sulit mendapatkan akses permodalan. Dengan adanya modal
ini diharapkan agar mereka dapat melakukan usaha produktif sehingga mampu
meningkatkan pendapatannya, bahkan mampu mengentaskan mereka dari kemiskinan.
Dana yang disalurkan dapat langsung digunakan sebagai modal untuk petani yang
berhak menerimanya. Permodalan yang berbasis sistem bagi hasil direkomendasikan
bagi petani karena dinilai lebih adil dan dapat menjadi pemicu bagi petani untuk
berusaha secara maksimal.
Bagaimanapun juga, penerapan pembiayaan dengan sistem bagi hasil ini bukan
tanpa kendala dan hambatan. Menurut Sutrisno (2008), pembiayaan dengan sistem bagi
hasil masih sangat lemah bila dibandingkan dengan sistem pembiayaan syariah yang

5
berbasis mark up seperti murabahah. Hal ini tak terlepas dari kendala-kendala dalam
penerapannya, baik dari sisi shahibul mal (pemilik modal) maupun mudharib
(pengelola dana). Kendala-kendala pada sisi shahibul mal adalah masalah keagenan
(asymmetric information yang berdampak pada terjadinya adverse selection dan moral
hazard), tingginya tingkat resiko (tingkat return bisa positif atau negatif), segi teknis
(pegawai belum profesional dalam menangani permasalahan profit loss sharing),
sumber pendanaan bank syariah yang sebagian besar masih dalam jangka pendek
(dalam jangka panjang dinilai kurang menguntungkan terutama bagi nasabah yang
mengejar profit semata), dan ketidakefektifan pembiayaaan profit loss sharing.
Adapun kendala-kendala pada sisi mudharib antara lain adalah standar moral
(persyaratan kriteria yang rumit bagi nasabah), kurangnya kebebasan dalam
menjalankan usaha (bank syariah ikut andil dalam pengambilan keputusan dan nasabah
sulit melakukan pemisahan penghitungan akuntansi terhadap aliran modal yang berasal
dari bank syariah serta aliran modal dari sumber lain), segi biaya (beban tambahan atas
penyewaan tenaga ahli), dan permasalahan efisiensi (Sutrisno 2008). Kendala-kendala
ini tentunya akan berpengaruh terhadap kinerja pembiayaan bagi hasil itu sendiri.
Kemitraan Bumi Dipa merupakan program yang mengelola pembiayaan untuk
petambak dengan sistem bagi hasil di Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang
Bawang. Kemitraan ini telah 2 tahun mengelola pembiayaan untuk petambak dan telah
menunjukkan perkembangannya.
Tabel 2 Laporan Triwulan Kemitraan Bumi Dipa
Periode

Modal (Dalam
Rupiah)

Jumlah
Mitra

Penyaluran
Pembiayaan (Dalam
Rupiah)

April-Juni 2013
Oktober-Desember
2013
Maret-Mei 2014
Juni-Agustus 2014

1 517 208 000
3 383 762 777

62
110

1 496 302 195
2 649 472 935

Pembiayaan
Bermasalah
(Dalam
Rupiah)
0
222 443 427

4 291 648 239
4 370 847 319

125
163

5 257 449 239
6 110 613 592

367 008 475
265 432 516

Sumber : www.bumidipa.com, 2014 (diolah)

Berdasarkan laporan triwulan tersebut, dapat diketahui bahwa dari sisi modal
dan jumlah anggota Kemitraan Bumi Dipa mengalami peningkatan yang cukup stabil.
Tetapi pada sisi kelancaran pembiayaan, Kemitraan Bumi Dipa mengalami penurunan
yang cukup drastis. Tercatat bahwa pada periode April-Juni 2013 tidak terdapat
pembiayaan yang bermasalah. Hal ini disebabkan pada Kemitraan Bumi Dipa terdapat
CRU (Cadangan Rasio Usaha) yang berasal dari anggota yang sukses budi dayanya
sehingga dapat menutupi kerugian dari budi daya yang gagal. Namun pada periode
berikutnya Kemitraan Bumi Dipa justru mengalami kemacetan pembiayaan sebesar Rp
222 443 427,- serta masih terus berlanjut hingga periode Agustus 2014. Kemacetan
pembiayaan Hal ini mengimplikasikan bahwa CRU pada periode tersebut tidak mampu
menutupi kemacetan pembiayaan yang ada. Ini juga menyebabkan modal yang tersedia
di periode setelahnya tidak mampu mencukupi kebutuhan pembiayaan yang diminta.
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah efektivitas pembiayaan yang dikelola Kemitraan Bumi Dipa bagi
petambak udang di Kecamatan Rawajitu Timur ?

6
2. Apakah faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan budi daya anggota
Kemitraan Bumi Dipa?
3. Bagaimanakah dampak dari Kemitraan Bumi Dipa terhadap pengentasan
kemiskinan masyarakat di Kecamatan Rawajitu Timur Tulang Bawang?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan dan latar belakang yang telah diuraikan,
maka tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis efektivitas dari pembiayaan yang dikelola Kemitraan Bumi Dipa
bagi petambak udang di Kecamatan Rawajitu Timur.
2. Menguraikan faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan budi daya
anggota Kemitraan Bumi Dipa.
3. Menganalisis dampak dari Kemitraan Bumi Dipa terhadap pengentasan
kemiskinan masyarakat di Kecamatan Rawajitu Timur Tulang Bawang.

Manfaat Penelitian
1.
2.

3.

Manfaat yang diharapkan didapat dari penelitian ini antara lain :
Memberikan sumbangsih pemikiran dan pengetahuan bagi akademisi mengenai
penyaluran dana untuk subsektor perikanan.
Menjadi bahan masukan berupa informasi tentang penyaluran pembiayaan yang
efektif sehingga dapat menentukan kebijakan kedepan bagi lembaga keuangan
syariah.
Diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat, khususnya para
petambak serta bagi para pengambil kebijakan dalam hal ini adalah pemerintah
dalam mengembangkan dan memajukan subsektor perikanan di Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian ini, maka ruang lingkup
dalam penelitian ini adalah instansi dengan konsentrasi pada pembiayaan produktif
yang diberikan kepada para petambak yang menganut sistem bagi hasil yang menganut
prinsip syariat Islam.
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil studi kasus pada para petambak di
Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung yang
menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa. Hasil dari penelitian ini akan lebih menjelaskan
fenomena yang terjadi pada sistem pembiayaan bagi hasil berbasis bagi hasil pada
petambak di Kecamatan Rawajitu Timur, Tulang Bawang, Lampung.

7

TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Kemiskinan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015), kemiskinan adalah situasi
penduduk atau sebagian penduduk yang hanya dapat memenuhi makanan, pakaian, dan
perumahan yang sangat diperlukan untuk mempertahankan tingkat kehidupan yang
minimum. Menurut BPS kemiskinan dipandang sebagai suatu ketidakmampuan dari sisi
ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran, sehingga BPS menyimpulkan bahwa penduduk miskin adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis
kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan konsep gabungan antara Garis Kemiskinan
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
Sementara itu, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
mengartikan kemiskinan sebagai konsep kesejahteraan keluarga. BKKBN membagi
kriteria keluarga ke dalam lima tahapan, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (Pra-KS),
Keluarga Sejahtera I (KS I), Keluarga Sejahtera II (KS II), Keluarga Sejahtera III (KS
III), dan Keluarga Sejahtera III Plus (KS III-Plus). Dalam hal ini BKKBN
mengkategorikan Keluarga Pra Sejahtera sebagai keluarga sangat miskin dan Keluarga
Sejahtera I sebagai keluarga miskin (Beik et al 2013).
Papilaya (2013) mengemukakan bahwa terdapat dua teori utama mengenai
kemiskinan yaitu teori neo-liberal dan sosial demokrat. Teori neo-liberal mengatakan
bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahankelemahan individu atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Sedangkan teori
sosial demokrat memandang bahwa kemiskinan bukan masalah individu tetapi masalah
struktural yang disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam
masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai
sumber-sumber kemasyarakatan.
Sajogyo (1996) mengungkapkan bahwa konsep miskin tak terbatas hanya pada
ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup secara fisik/ biologis saja,
tetapi juga berkaitan tentang ketidakmampuan seseorang untuk hidup dan berfungsi
sebagai masyarakat “biasa” dalam lingkungan masyarakatnya. Satu konsekuensi dari
kesepakatan untuk mengaitkan kemiskinan dengan konsep “hidup layak” adalah, bahwa
ukuran kemiskinan itu harus dibuat relatif, yaitu berubah dari waktu ke waktu.
Perubahan ini tak hanya menyangkut perubahan harga, tetapi perubahan dalam apa yang
dibutuhkan orang untuk hidup layak dari masa ke masa dalam masyarakat yang sedang
mengalami perubahan. Sajogyo juga menambahkan bahwa garis kemiskinan yang
relevan untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah yang langsung
merefleksikan kebutuhan hidup terpenting, dalam hal ini kecukupan pangan.
Kemiskinan menurut jenisnya dibagi menjadi dua, yaitu (1) kemiskinan relatif
dan (2) kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat
berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan
yang lainnya. Contohnya seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada suatu daerah
tertentu bisa jadi yang termiskin di daerah lainnya. Sementara itu kemiskinan absolut
adalah kemiskinan yang diderita seseorang atau keluarga apabila hasil pendapatannya
berada di bawah garis kemiskinan serta pendapatan mereka tidak cukup untuk

8
memenuhi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan,
dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. (Beik et al 2013)
Dalam hal ini yang membedakan antara kemiskinan absolut dan kemiskinan
relatif yaitu terletak pada standar penilaiannya. Jika kemiskinan relatif, standar
penilaiannya ditentukan secara subyektif oleh masyarakat setempat. Sedangkan untuk
standar penilaian kemiskinan absolut ditentukan dari kehidupan minimum yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan, baik makanan maupun
non makanan (garis kemiskinan).
Konsep kemiskinan dalam Islam merujuk pada pengertian kemiskinan absolut
yang selama ini berkembang yaitu diukur dari ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
dasar. Selanjutnya, dalam konsep Islam kemiskinan absolut dibangun atas dua indikator
yaitu kemiskinan secara material dan kemiskinan secara spiritual. Kemiskinan material
didasarkan pada ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan material sepenuhnya,
sedangkan kemiskinan spiritual didasarkan pada ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan spiritual minimal seperti pelaksanaan ibadah-ibadah wajib. Apabila suatu
rumah tangga mengalami kemiskinan material dan kemiskinan spiritual, maka rumah
tangga tersebut dapat dikatakan mengalami kemiskinan absolut. Kemiskinan dalam
Islam lebih bersifat multidimensional karena tidak hanya mengaitkan konsep
kemiskinan pada aspek material semata melainkan juga melibatkan aspek spiritual
(Beik et al 2013).
Definisi Pembiayaan Syariah
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa
transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewamenyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik,
transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’, transaksi
pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh, dan transaksi sewa-menyewa jasa
dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan
dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau
bagi hasil.
Secara teori, ada tiga hal yang menjadi penciri dari pembiayaan berbasis syariah,
yaitu (1) bebas bunga, (2) berprinsip bagi hasil dan risiko, dan (3) perhitungan bagi
hasil tidak dilakukan di muka. Berbeda dengan kredit konvensional yang
memperhitungkan suku bunga di depan, ekonomi syariah menghitung hasil setelah
periode transaksi berakhir. Hal ini berarti dalam pembiayaan syariah pembagian hasil
dilakukan setelah ada keuntungan riil, bukan berdasar hasil perhitungan spekulatif.
Sistem bagi hasil ini dipandang lebih sesuai dengan iklim bisnis yang memang
mempunyai potensi untung dan rugi. (Anonim 2005).
Prospek Pembiayaan Syariah bagi Pertanian
Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Pembiayaan dan
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementerian Pertanian pada tahun
2011, terdapat beberapa pola pembiayaan yang telah dibentuk sehingga dapat menjadi

9
rujukan bagi para pelaku usaha pertanian dalam menetapkan bentuk pembiayaan yang
lebih sesuai bagi setiap usaha di berbagai subsektornya. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pembiayaan syariah sangat fleksibel diterapkan pada semua subsektor
agribisnis/pertanian.
Data mengenai pola-pola pembiayaan syariah pada sektor pertanian dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3 Peluang pembiayaan di masing-masing sub-sektor pertanian
Proses/subsistem
Hulu

Budi daya

Kegiatan
Penyediaan lahan
Penyediaan pupuk dasar
Penyediaan benih
Penyediaan pestisida/fungisida
Penyediaan alat dan mesin (alsin)
berupa traktor atau ternak kerja
Alat tanam/semprot
Penyediaan pupuk/obat-obatan
Pengairan intensif
Pemasaran padi/gabah

Hilir

Penyediaan alsin pascapanen
(Rice
Milling
Unit)
dan
pengolahan
Seluruh proses
(hulu-hilir)

produksi Permodalan perkongsian (pelaku
usaha dan lembaga keuangan)
Permodalan sepenuhnya lembaga
keuangan

Akad
Ijarah
1. Murabahah
2. Istisna’
3. IMBT

1. Murabahah
2. Istisna’
3. Murabahah
4. Istisna’
Musyaqah
1. Salam
2. Murabahah
3. Murabahah
4. IMBT
5. Istisna’
Musyarakah
Mudharabah

Sumber: Kementerian Pertanian RI 2011

Menurut Ashari dan Saptana (2005), terdapat beberapa hal yang melandasi prospek
pembiayaan syariah untuk sektor pertanian, yaitu:
1. Karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian. Skim
pembiayaan syariah terutama bagi hasil, sangat sesuai dengan sifat bisnis pertanian
sehingga lebih memberikan rasa keadilan.
2. Skim pembiayaan syariah sudah dipraktikkan secara luas oleh petani di Indonesia.
Secara budaya masyarakat petani sudah mengenal model pembiayaan yang
menyerupai sistem syariah seperti sistem maro dan mertelu. Petani akan lebih
mudah dan cepat memahami konsep pembiayaan syariah karena secara historis
maupun faktual skim tersebut pernah atau masih dipraktikkan.
3. Luasnya cakupan usaha di sektor agribisnis/pertanian. Semua subsistem agribisnis
memungkinkan untuk menggunakan pembiayaan dengan model syariah, demikian
juga dilihat dari ragam komoditas.
4. Produk pembiayaan syariah cukup beragam.
5. Tingkat kepatuhan petani dan karakteristik petani yang positif. Pertanian banyak
digeluti oleh petani kecil di pedesaan yang cukup taat beragama. Adanya skim

10
pembiayaan yang sesuai dengan ajaran agama diharapkan secara emosional akan
mempermudah petani dalam menerima sistem pembiayaan syariah.
6. Usaha di sektor pertanian merupakan bisnis riil. Hal ini sesuai dengan prinsip
pembiayaan syariah yang menitikberatkan pada pembiayaan sektor riil dan justru
melarang pembiayaan sektor yang spekulatif.
7. Mengandung nilai yang bersifat universal dan tidak eksklusif sehingga akan
mempermudah penerimaan konsep pembiayaan syariah oleh semua lapisan
masyarakat, tanpa memandang latar belakang agama, suku, ras, dan golongan.
Konsep Efektivitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015), efektif didefinisikan sebagai
upaya yang berhasil guna. Keefektifan atau efektivitas berarti melakukan perbuatan atau
proses yang berhasil guna atau yang benar. Menurut Anjani (2013), efektivitas pada
dasarnya mengacu pada sebuah keberhasilan atau pencapaian tujuan. Efektivitas dapat
digambarkan dengan 4 hal, yaitu:
1. Mengerjakan sesuatu dengan benar sesuai dengan rencana dan aturan yang
berlaku.
2. Mencapai tingkat di atas pesaing yang mampu menjadi yang terbaik
dibandingkan
dengan para pesaing.
3. Membawa hasil ketika apa yang telah dikerjakan mampu memberikan manfaat
bagi orang/pihak lain.
4. Mampu menangani tantangan masa depan.
Efektivitas dapat diartikan sebagai hubungan antara keluaran (output) suatu
pusat pertanggungjawaban dengan sasaran yang harus dicapai. Semakin besar
kontribusi output yang dihasilkan terhadap pencapaian sasaran, maka semakin efektif
pusat pertanggungjawaban (Agustina 2010). Hal terpenting yang perlu diperhatikan
adalah efektivitas tidak menyatakan tentang berapa besar biaya yang telah dikeluarkan
untuk mencapai tujuan tersebut tetapi efektivitas hanya melihat apakah suatu pekerjaan
atau kegiatan telah mencapai tujuan yang ditetapkan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aryanti (2006) dalam Azzahrah
(2014), efektivitas pembiayaan dapat dinilai dari prosedur pembiayaan dan dampak
pembiayaan teradap kondisi usaha. Prosedur pembiayaan terdiri dari mekanisme
pengajuan, penyaluran dan pengembalian, sedangkan dampak pembiayaan terdiri dari
peningkatan pendapatan, keuntungan, dan kondisi usaha. Menurut Ita dan Rahman
(2011), terdapat tiga tahapan penting dalam prosedur pembiayaan Mudharabah yaitu
analisis dan evaluasi pembiayaan, pengusulan, dan persetujuan pembiayaan.

Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa penelitian yang menganalisis efektivitas dari pembiayaan
syariah dan dampak pembiayaan terhadap peningkatan pendapatan masyarakat pesisir.
Hal tersebut dapat dilihat dari penelitian-penelitian pada Tabel 4 dan Tabel 5.

11
Tabel 4 Ringkasan hasil penelitian terdahulu
Peneliti
Azzahrah
(2014)

Judul dan Model Penelitian
Analisis
Faktor-Faktor
yang
Memengaruhi
Permintaan
Pembiayaan
Mudharabah bagi UMKM
dan Efektivitas Pembiayaan
bagi UMKM : Studi Kasus
: BMT X Jakarta
Metode
:
Analisis
deskriptif
dan
Path
Analysis

Hasil Penelitian
Permintaan pembiayaan Mudharabah
pada BMT X Jakarta secara signifikan
dipengaruhi oleh pendapatan usaha
sebelum
mendapat
pembiayaan
Mudharabah sebesar 0.47%, margin
pembiayaan sebesar 0.12% dan besaran
agunan sebesar 0.36%. Efektivitas
pembiayaan Mudharabah yang diberikan
pada BMT X Jakarta berdasarkan hasil
penilaian responden dapat dikategorikan
pada kriteria cukup efektif.

Anjani (2013)

Analisis
Efektivitas
Pembiayaan Syariah bagi
Sektor Pertanian pada
KBMT
Ibadurrahman,
Ciawi, Bogor
Metode : Skala Likert

Efektivitas pembiayaan pada KBMT
Ibaadurrahman
berdasarkan
hasil
penilaian responden dapat dikategorikan
efektif. Akan tetapi, pada tahap
pencairan
dan
pengembalian
pembiayaan masih memiliki nilai
efektivitas yang cukup rendah. Hal ini
disebabkan
oleh
pihak
KBMT
Ibaadurrahman masih belum optimal
dalam memberikan pelayanannya dalam
pencairan pendanaan.

Ariansyach
(2009)

Pengaruh
Program
Pemberdayaan
Ekonomi
Masyarakat Pesisir (PEMP)
terhadap
Pendapatan
Masyarakat
Pesisir
Kabupaten
Sukabumi,
Provinsi Jawa Barat
Metode : Uji t Berpasangan

Pengaruh Program PEMP dari sisi
ekonomi terlihat dari penggunaan dana
DEP bergulir untuk biaya usaha yang
berpengaruh nyata pada peningkatkan
pendapatan masyarakat peserta program.
Terjadi rata-rata peningkatan biaya
usaha pada keseluruhan responden
adalah
sebesar
30.27
persen,
peningkatan biaya usaha ini ternyata
mampu meningkatkan pendapatan ratarata perbulan sebesar 31.19 persen atau
rata-rata Rp2 258 000,- dari pendapatan
awal seluruh responden sebelum
mengikuti program PEMP. Terhadap sisi
sosial, tidak terlihat pengaruh nyata dari
program PEMP.

12
Tabel 5 Ringkasan hasil penelitian terdahulu (lanjutan)
Peneliti
Wina (2009)

Judul dan Model Penelitian
Analisis pengaruh pendayagunaan
zakat, infaq, dan shadaqah sebagai
modal kerja terhadap indikator
kemiskinan
dan
pendapatan
mustahiq (Studi Kasus Desa
Ciaruteun
Ilir,
Kecamatan
Cibungbulang, Kabupaten Bogor)
Metode : OLS, FGT Index

Hasil Penelitian
Pada taraf nyata 1 persen, variabel-variabel
yang berpengaruh secara signifikan dan
positif terhadap pendapatan per kapita
mustahiq adalah pendapatan mustahiq yang
diperoleh dari usaha yang menggunakan dana
dari Program Ikhtiar dan variabel dummy
keaktifan bekerja mustahiq. Besarnya
modal/pembiayaan yang diterima dan
banyaknya mustahiq melakukan pembiayaan
melalui Program Ikhtiar tidak memiliki
dampak yang signifikan terhadap pendapatan
per kapita mustahiq.

Rodiana (2014)

Efektivitas Penerapan Bayar
Pascapanen pada Pengembalian
Pembiayaan Akad Murabahah
Pertanian Padi di BMT As
Salam, Kramat, Demak
Metode : Regresi Logistik,
Skala Likert

Khaleequzzama
n, Shirazi (2013)

Islamic Microfinance – An
Inclusive Approach with Special
Reference to Poverty Eradication
in Pakistan

Hasil penelitian menunjukkan alasan
memilih sistem pembayaran berpengaruh
signifikan terhadap pilihan petani padi.
Penerapan sistem yarnen sudah efektif di
seluruh tahapan pembiayaan dan
memberi dampak positif pada usahatani
anggota.
Hasil penelitian ini merekomendasikan
perlunya memperluas lingkup lembaga
keuangan syariah melalui diversifikasi
produk, inovasi dan downscaling operasi
bank syariah yang menghubungkan
lembaga keuangan mikro, khususnya
untuk sumber dana, penasihat Syariah,
dan transfer teknologi. Peran inklusi
keuangan juga dibutuhkan dalam proses
pengentasan kemiskinan, membangun
aset segmen target yang bisa membawa
perubahan sosial-ekonomi dalam hidup
masyarakat miskin

Effendi J (2013)

The Role of Islamic
Microfinance in Poverty
Alleviation and Environmental
Awareness in Pasuruan, East
Java, Indonesia

Hasil penelitian dari peran Lembaga
Keuangan Mikro (LKM) syariah dan
konvensional
dalam
mengentaskan
kemiskinan mengungkapkan bahwa kedua
jenis lembaga memiliki efek positif pada
pengentasan kemiskinan. Namun efek dari
lembaga keuangan syariah sedikit lebih baik
dari lembaga keuangan konvensional. Sistem
penyaringan yang digunakan oleh LKM
Syariah memiliki dampak yang signifikan
pada kemampuan LKM Syariah untuk
menghindari risiko kredit yang dihadapi oleh
LKM konvensional, sebagaimana juga
perkembangan usaha kliennya.

13
Adapun poin penting yang membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu
adalah sebagai berikut.
1. Penelitian yang membahas tentang dampak pembiayaan syariah terhadap
pengentasan kemiskinan petani pada umumnya dilakukan pada sektor pertanian
bercocok tanam (padi, palawija, dan lain-lain). Penelitian tentang dampak
pembiayaan syariah pada sektor perikanan masih jarang dilakukan.
2. Penelitian yang membahas dampak pembiayaan terhadap perkembangan usaha
perikanan pada umumnya merupakan pembiayaan kredit yang masih berbasis
bunga.
3. Penelitian yang membahas tentang dampak pembiayaan syariah terhadap
perkembangan usaha tani pada umumnya hanya berfokus pada aspek
pemberdayaan petani dengan pemberian modal produktif saja tanpa melihat
lebih rinci faktor-faktor non finansial yang juga memiliki pengaruh terhadap
perkembangan usaha tani. Bagaimanapun, permasalahan pertanian di Indonesia
adalah permasalahan yang kompleks yang belum tentu dapat diselesaikan hanya
dengan pemberian modal produktif bagi para petani.

Kerangka Pemikiran
Perikanan merupakan sektor yang memiliki potensi yang sangat besar di
Indonesia. Hal tersebut dapat dipahami dari fakta bahwa Indonesia merupakan negara
maritim yang kaya akan sumberdaya lautnya. Salahsatu faktor penting yang dibutuhkan
pelaku usaha perikanan guna mendukung berkembangnya sektor ini adalah modal.
Karakteristik pelaku usaha perikanan yang masih miskin tentu menjadi penghambat
dalam mendapatkan akses permodalan yang tepat. Oleh karena itu diperlukan model
pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik usaha perikanan.
Pembiayaan dengan skim bagi hasil yang sesuai syariah merupakan salahsatu
model yang tepat bagi pelaku usaha perikanan ini. Skim bagi hasil menawarkan skema
yang lebih adil bagi pelaku usaha perikanan karena adanya pembagian keuntungan
risiko dan keuntungan yang disepakati bersama. Pada akhirnya, perlu diteliti efektivitas
pembiayaan dengan skim bagi hasil secaara keseluruhan untuk menunjukkan
pencapaian tujuan penerapan sistem ini. Selain itu perlu juga diuraikan faktor-faktor
non finansial yang berpengaruh terhadap kegagalan usaha perikanan. Pada akhirnya,
perlu dianalisis apakah pembiayaan dengan skim bagi hasil ini dapat menjadi solusi
tunggal guna mengentaskan kemiskinan pelaku usaha perikanan di tengah kompleksnya
permasalahan di sektor ini yang sebenarnya tak hanya disebabkan faktor finansial saja.
Adapun kerangka penelitian ini adalah sebagai berikut.

14

Potensi subsektor perikanan
Keterbatasan akses modal masyarakat pesisir dan petambak

Pembiayaan informal berbasis bunga
Kekurangan : petani terjerat utang
berkepanjangan akibat bunga yang tinggi

Program kredit pemerintah
Kekurangan : Hanya bersifat bantuan dan
belum mampu menjangkau pelaku usaha
perikanan yang kecil

Sistem Pembiayaan Syariah (bagi hasil)

Analisis efektivitas pembiayaan yang
dikelola Kemitraan Bumidipa

Analisis faktor-faktor penyebab kegagalan
budi daya udang petani

Analisis dampak Kemitrraan
Bumidipa terhadap pendapatan
petambak udang

Rekomendasi

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

15

METODE
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yang bersifat
kualitatif dan kuantitatif. Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam
terhadap informan kunci dari pihak yang terlibat dalam kemitraan dan responden.
Informan dalam penelitian ini adalah Ketua Perhimpunan Petambak Udang Windu
(P3UW) Dipasena, Ketua Koperasi Petambak Bumi Dipasena (KPBD), Kepala KCP
Bank Syariah Mandiri Tulang Bawang, Kepala Biro Budi Daya P.T. Bumi Dipa dan
Kepala Bidang Community Development (Comdev) P.T. Bumi Dipa. Adapun responden
terdiri dari 100 petambak yang menjadi anggota Kemitraan Bumi Dipa. Data sekunder
diperoleh dari laporan keuangan Kemitraan Bumi Dipa, Kementerian Perikanan dan
Kelautan, Biro Pusat Statistik, buku, jurnal, skripsi terkait serta data lainnya yang dapat
membantu ketersediaan data.

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Kemitraan Bumi Dipa yang beroperasi di
Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Penentuan
lokasi dilakukan secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan bahwa
Kemitraan Bumi Dipa merupakan program pembiayaan perikanan tambak udang yang
menggunakan skim bagi hasil yang sesuai syariah, dan masih tergolong cukup baru.
Hal inilah yang menyebabkan perlunya dilakukan evaluasi terhadap sistem yang sudah
berjalan melalui penelitian ini sehingga dapat memberikan rekomendasi untuk
mengembangkan sistem yang ada dengan lebih baik lagi. Penelitian dilakukan pada
bulan April hingga Mei 2015.

Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode studi kasus (case
study) kepada para petambak yang menjadi sampel penelitian. Pendekatan studi kasus
adalah penelitian yang dilakukan untuk mengeksplorasi atau menjelaskan fenomena
dalam konteks tertentu dengan berbagai sumber data. Kasus yang diteliti adalah
Kemitraan Bumi Dipa yang terdapat di Kecamatan Rawajitu Timur Kabupaten Tulang
Bawang.
Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah key informant
(informan kunci) dan responden. Key informant memberikan informasi mendalam
tentang seluk-beluk Kemitraan Bumi Dipa serta faktor-faktor yang berpotensi
menyebabkan kegagalan budi daya anggota kemitraannya. Sedangkan informasi
responden dikumpulkan dan dimodelkan untuk menganalisis efektivitas pembiayaan
yang dikelola oleh Kemitraan Bumi Dipa serta dampak pembiayaan terhadap
pengentasan kemiskinan petambak udang di wilayah Dipasena, Kecamatan Rawajitu
Timur. Untuk menganalisis efektivitas pembiayaan digunakan skala likert sedangkan
untuk mengukur dampak pembiayaan digunakan Indeks Sen.

16
Selain itu, untuk mendukung penelitian digunakan juga data sekunder yang
berkaitan dengan kondisi wilayah Kecamatan Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang
Bawang. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik serta survei terhadap
wilayah Dipasena yang pernah dilakukan sebelumnya. Kajian pustaka juga dilakukan
guna mendukung penelitian.
Penentuan sampel dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling dan
snowball sampling. Purposive sampling adalah metode pengambilan sampel dengan
mengambil responden tertentu yang menjadi sampel penelitian yang didasarkan pa