Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

(1)

TRI WAHYU NUGROHO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul “DAMPAK KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI INDONESIA”, merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2006

Tri Wahyu Nugroho NRP. A151030091 / EPN


(3)

TRI WAHYU NUGROHO. 2006. Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia (ARIEF DARYANTO sebagai Ketua dan D.S. PRIYARSONO sebagai Anggota Komisi Pembimbing)

Kebijakan pemerintah yang diterapkan di sektor pertanian memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan para pelaku yang terlibat di sektor pertanian secara langsung maupun tak langsung. Dampak kebijakan pembangunan di sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan selama ini perlu diketahui dan dievaluasi, sehingga ke depan dapat diambil kebijakan pembangunan pertanian yang strategis dan mampu menjadi solusi terhadap masalah tingginya tingkat kemiskinan.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dampak kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan di Indonesia. Untuk menjawab tujuan tersebut, digunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model sistem persamaan simultan dengan pendugaan menggunakan metode 2SLS. Hasil pendugaan parameter model kemudian digunakan untuk melakukan simulasi skenario kebijakan yang relevan.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa kemiskinan di perkotaan dapat dikurangi dengan pendekatan peningkatan kebijakan tingkat upah riil, peningkatan pertumbuhan ekonomi, penambahan belanja pemerintah di sektor jasa dan peningkatan stok pangan nasional. Hasil parameter dugaan menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap peubah endogen kemiskinan di perkotaan. Sementara itu, kemiskinan di pedesaan dapat ditekan dengan pendekatan peningkatan kebijakan peningkatan tingkat upah riil, pertumbuhan ekonomi, peningkatan belanja pemerintah di sektor pertanian, harga komoditas pertanian dan produksi pertanian, sedangkan inflasi dan krisis ekonomi memberikan pengaruh posit if terhadap peningkatan angka kemiskinan di pedesaan.

Kombinasi kebijakan meningkatkan luas areal dan peningkatan kredit pertanian masing-masing 10 persen, serta menurunkan suku bunga sebesar 2 persen merupakan kombinasi kebijakan yang memberikan pengaruh paling besar terhadap pengentasan kemiskinan, yaitu sebesar 4.30 persen. Kombinasi kebijakan ini membawa pengaruh yang sangat besar bagi pengentasan kemiskinan di pedesaan, yaitu sebesar 4.66 persen. Kombinasi kebijakan ini mampu mendorong produksi sebesar 5.01 persen dan memperbaiki harga komoditas pertanian sebesar 1.97 persen.


(4)

ABSTRACT

TRI WAHYU NUGROHO. 2006. Impact of Agricultural Development Policy on Poverty Reduction in Indonesia (ARIEF DARYANTO as Chairman, and D.S. PRIYARSONO as Members of the Advisory Committe)

Government policy applied in agricultural sectors, giving opportunity for welfare improvement and poverty reduction of all perpetrator in concerned agricultural sector directly and also indirectly. Impact of agriculture development policy on poverty reductionduring the time it is important to know and evaluated, so that necessary action can be taken a strategic agriculture development policy and able to become solution about height problem of poverty level.

This study aims at analyzing the impact of agricultural development policy on poverty reduction in Indonesia. To reach this objective, a simultaneous equations model is constructed and estimated using the 2SLS method. Simulations of a set of policy scenarios are undertaken based on estimeted parameters of the model.

The result of this research show that urban poverty can to reduced by improvement policy of real wage rate, improvement of economic growth, goverment expenditure in service sector and improvement of nasional food stock. Furthermore, rural poverty can be depressed by improvement of real wage rate, economic growth, goverment expenditure on agriculture, price of agriculture commodity and improvement of agricultural production. While for the economic crisis and inflation give positive influence to poorness number improvement in rural.

Policy combination to increase of areal agriculture and credit improvement each 10 percent, and also degrade rate of interest equal to 2 percent representing policy combination giving biggest influence to poverty reduction, that is equal to 4.30 percent. This Policy combination bring influence for poverty reduction in rural, that is equal to 4.66 percent. This policy combination also able to push production of equal to 5.01 percent and repair of agriculture commodity price equal to 1.97 percent.


(5)

Oleh :

TRI WAHYU NUGROHO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Judul Penelitian : Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

Nama : Tri Wahyu Nugroho Nomor Pokok : A. 151030091

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec.

Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS .

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS .


(7)

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian dengan judul : Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.

Secara umum studi ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan pembangunan pertanian yang telah dilakukan selama ini terhadap pengentasan kemiskinan. Hasil penelitian ini mampu mendeteksi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Selain itu juga diperoleh hasil pilihan kebijakan pembangunan pertanian yang strategis khususnya berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Arief Daryanto, M.Ec. dan Dr. Ir. D.S. Priyarsono, MS. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan masukan dan arahan yang konstruktif. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Isang Gonarsyah selaku penguji dan Prof. Bonar M. Sinaga selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah memberikan arahan yang membangun. Di samping itu, ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan juga kepada kedua Orang Tua, Kakak dan Adik atas do’a, restu dan kasih sayangnya. Serta tak lupa kepada dik Haning, terima kasih atas kesetiaan dan kesabaranmu menunggu. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan pada rekan-rekan Tim Hibah Pascasarjana, teman-teman EPN angkatan 2003, serta semua pihak yang telah membantu dalam bentuk bahan pendukung penelitian, saran dan waktu untuk berd iskusi, sehingga karya ini bisa terselesaikan.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2006


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ngawi pada tanggal 18 Mei 1979 sebagai anak ketiga dari empat bersaudara, anak pasangan Koesnanto, SPd. dan Astuti Hariniwati.

Tahun 1997 penulis lulus dari SMA Negeri Maospati, Magetan, Jawa Timur dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Pada tahun 2003 penulis diterima menjadi mahasiswa Sekolah Pascasarjana (jenjang Magister) pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis aktif di Forum Wacana Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Pada saat ini penulis menjadi staf pengajar di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang.


(9)

©

Hak cipta milik Tri Wahyu Nugroho, tahun 2006

H ak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya


(10)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... IV DAFTAR GAMBAR ... V DAFTAR LAMPIRAN ... VI

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah Penelitian ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Ruang Lingkup Penelitian... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Kebijakan Pembangunan Pertanian ... 11

2.1.1. Kebijakan Harga... 12

2.1.2. Kebijakan Pasar ... 16

2.1.3. Kebijakan Input ... 16

2.1.4. Kebijakan Perkreditan ... 19

2.1.5. Kebijakan Mekanisasi Pertanian ... 19

2.1.6. Kebijakan Reformasi Agraria... 20

2.1.7. Kebijakan Penelitian Pertanian ... 22

2.1.8. Kebijakan Irigasi ... 23

2.2. Kemiskinan ... 23

2.3. Keterkaitan Variabel Makroekonomi... 30

2.3.1. Keseimbangan Pendapatan Nasional ... 30

2.3.2. Nilai Hasil Produksi dan Harga... 35

2.3.3. Ekspor – Impor... 36

2.3.4. Kebijakan Fiskal dan Moneter ... 40

2.3.5. Kebijakan Fiskal dan Moneter untuk Pengentasan Kemiskinan .41 2.3. Hasil Penelitian Terdahulu ... 43


(11)

ii

III. METODE PENELITIAN... 45

3.1. Kerangka Pemikiran ... 45

3.2. Hipotesis P enelitian ... 47

3.3. Sumber Data ... 48

3.4. Spesifikasi Model... 48

3.5. Prosedur Analisis ... 64

3.5.1. Identifikasi Model ... 64

3.5.2. Metode Pendugaan Model... 66

3.5.3. Validasi Model ... 67

3.5.4. Simulasi Model ... 68

IV. GAMBARAN UMUM KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN ... 71

4.1. Sejarah Pembangunan Pertanian Indonesia... 71

4.1.1. Masa Orde Lama... 72

4.1.2. Masa Orde Baru ... 74

4.1.3. Masa Orde Reformasi ... 79

4.2. Dinamika Kebijakan Pembangunan Pertanian Indonesia ... 81

4.2.1. Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian... 81

4.2.2. Pergeseran Tenaga Kerja Pertanian ... 87

4.2.3. Peranan Kelembagaan dalam Pembangunan Pertanian ... 89

4.2.4. Kontribusi Pembangunan Sektor Pertanian Terhadap Pembangunan Ekonomi ... 98

4.3. Kemiskinan di Indonesia... 100

4.4. Pembangunan Pertanian dan Pengentasan Kemiskinan ... 102

V. ANALISIS MODEL PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN ... 105

5.1. Analisis Umum Pendugaan Model... 105

5.2. Dugaan Parameter Persamaan Stuktural... 107

5.2.1. Produksi Pertanian ... 107

5.2.2. Investasi Pertanian ... 109

5.2.3. Tenaga Kerja Sektor Pertanian ... 111


(12)

iii

5.2.5. Ekspor Komoditas Pertanian ... 114

5.2.6. Impor Komoditas Pertanian ... 115

5.2.7. Kemiskinan di Perkotaan ... 117

5.2.8. Kemiskinan di Pedesaan ... 119

5.2.9. Stok Pangan Nasional ... 121

5.2.10. Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian ... 122

5.2.11. GDP Sektor Pertanian... 123

5.2.12. Penerimaan Pemerintah ... 125

5.2.13. Pajak Total ... 126

5.2.14. Konsumsi Sektor Pertanian ... 127

5.2.15. Penawaran Uang ... 128

5.2.16. Inflasi... 129

5.2.17. Kemiskinan Total ... 131

5.2.18. GDP Total... 131

VI. ANALISIS SIMULASI KEBIJAKAN ... 133

6.1. Validasi Model ... 133

6.2. Evaluasi Alternatif Kebijakan Tunggal Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan ... 135

6.3. Evaluasi Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Pengentasan Kemiskinan ... ...141

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 147

7.1. Kesimpulan ... 147

7.2. Implikasi Kebijakan ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 152


(13)

iv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Indikator Kemiskinan Indonesia ... 7

2. Pertumbuhan Sektor Pertanian Indonesia Tahun 1967-2001 ... 71

3. Persentase Pekerja yang Keluar Sektor Pertanian ... 88

4. Produksi Pertanian pada Awal Pelita I (Tahun 1969) dan Pelita V (Tahun 1992) ... 92

5. Pangsa Sektor Pertanian Dalam Struktur Ekonomi Indonesia ... 99

6. Jumlah Penduduk Miskin Menurut Sektor Pekerjaan Utamanya... 102

7. Hasil Pendugaan Parameter Produksi Pertanian ... 107

8. Hasil Pendugaan Parameter Investasi di Sektor Pertanian ... 109

9. Hasil Pendugaan Parameter Tenaga Kerja di Sektor Pertanian...111

10. Hasil Pendugaan Para meter Harga Komoditas Pertanian ... 112

11. Hasil Pendugaan Parameter Ekspor Komoditas Pertanian ... 114

12. Hasil Pendugaan Parameter Impor Komoditas Pertanian ... 115

13. Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Perkotaan ... 117

14. Hasil Pendugaan Parameter Kemiskinan di Pedesaan ... 119

15. Hasil Pendugaan Parameter Stok Pangan Nasional ... 121

16. Hasil Pendugaan Parameter Belanja Pemerintah di Sektor Pertanian ... 122

17. Hasil Pendugaan Parameter GDP Sektor Pertanian ... 123

18. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Pemerintah... 125

19. Hasil Pendugaan Parameter Pajak Total ... 126

20. Hasil Pendugaan Parameter Konsumsi Sektor Pertanian... 127

21. Hasil Pendugaan Parameter Penawaran Uang ... 128

22. Hasil Pendugaan Parameter Inflasi ... 130

23. Hasil Pengujian Validasi Model Dampak Kebijakan Pembangunan Pertanian Terhadap Pengentasan Kemiskinan ... 134

24. Dampak Alternatif Kebijakan Tunggal Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Terhadap Perubahan Nilai Rata-rata Peubah Endogen Pada Periode 1984 – 2003... 136

25. Dampak Alternatif Kombinasi Kebijakan Pembangunan Pertanian dan Beberapa Indikator Ekonomi Lainnya Terhadap Perubahan Nilai Rata-rata Peubah Endogen Pada Periode 1984 – 2003 ... 142


(14)

v

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Diagram Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Lapangan

Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Tahun 2003 ... 5

2. Dampak Stabilisasi Harga Akibat Pergeseran Penawaran Terhadap Kesejahteraan ...14

3 . Kurva Respon Penggunaan Pupuk Nitrogen dan Bibit Unggul Terhadap Hasil Panen Padi... 17

4. Kurva Kuznets Berbentuk “U” Terbalik ... 28

5. Keterkaitan Beragam Faktor dalam Lingkaran Setan Kemiskinan ... 29

6. Keseimbangan Perekonomian ... 32

7 Dampak Tarif Impor... 38

8 Pengenaan Pajak Ekspor... 39

9. Alur Pemikiran Penelitian ... 46

10. Hubungan Antar Peubah dalam Penelitian ...63

11. Tahapan : Langkah-langkah dan Umpan Balik dalam Penelitian Ekonometrika ... 65

12. Garis Waktu Peramalan... 68


(15)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Program Model Pembangunan Pertanian dan Peng entasan Kemiskinan di Indonesia ... 157 2. Hasil Pendugaan Parameter Model Pembangunan Pertanian dan

Pengentasan Kemiskinan di Indonesia... 160 3 . Program Validasi Model dan Simulasi Dasar... 176 4. Hasil Validasi Model dan Nilai Simulasi Dasar... 178


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang komplek s, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan telah dilakukan secara besar-besaran. Kebijakan merupakan kontrol pemerintah, dan besarnya intervensi dari kebijakan tersebut merupakan keleluasaan pemerintah atas hajat hidup orang banyak, khususnya terhadap mata pencaharian masyarakat (Ellis, 1992).

Indonesia sebagai negara yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani, sudah selayaknya mengarahkan kebijakan pembangunan untuk meningkatkan dan memperkokoh sektor pertanian. Modal sumberdaya manusia di sektor peretanian yang melimpah di Indonesia seharusnya mampu dijadikan sebagai modal penting dalam pembangunan ekonomi yang berbasiskan pertanian. Trasformasi struktural dalam pembangunan ekonomi Indonesia yang diarahkan pada pembangunan industri berbasis teknologi tinggi sebagai sektor unggulan, mengakibatkan banyak tenaga kerja dari sektor pertanian terserap ke sektor industri dan jasa, meskipun tenaga kerja yang dipakai tersebut adalah tenaga kerja yang tidak siap pakai untuk sektor industri. Maka, hal ini berakibat semakin berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian (Prawira, 2004).

Kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang telah dilakukan selama ini tentunya membawa pengaruh terhadap perekonomian sebagian besar masyarakat. Pengaruh yang ditimbulkan dari adanya kebijakan pemerintah selama ini, tentunya membawa konsekuensi baik yang positif maupun negatif. Secara umum


(17)

apabila kita cermati kebijakan pemerintah sejak masa orde baru, maka seharusnya pertanian merupakan sektor penopang dalam pembangunan perekonomian secara menyeluruh, namun yang terjadi justru sebaliknya. Selama satu dekade tarakhir sektor pertanian mengalami perkembangan yang lambat dibandingkan dengan sektor jasa dan manufaktur. Proses transformasi struktural yang diharapkan dengan meletakkan sektor pertanian sebagai basis perekonomian justru ditinggalkan.

Jumlah penduduk Indonesia menurut Rajasa (2002), cenderung meningkat dari 206 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 220 juta jiwa pada tahun 2002, dapat menimbulkan beberapa permasalahan pokok seperti ketersediaan pangan, papan, jaminan kesehatan, dan kelestarian sumberdaya alam. Khusus dalam bidang pertanian dan pangan masalah yang dihadapi adalah masalah produksi pangan/pertanian yang belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga masih dilakukan impor, masalah daya saing produk pangan yang lemah baik di pasar lokal maupun internasional, dan masalah tingkat kesejahteraan petani yang jauh dari memadai.

Uraian di atas mengindikasikan bahwa sektor pertanian kita belum menjadi primadona atau andalan dalam proses pembangunan bangsa demi kesejahteraan rakyat banyak. Maksudnya adalah bahwa sektor pertanian kita belum memiliki kemampuan untuk mengembangkan atau mendayagunakan keunggulan komparatif yang dimilikinya.

Dalam paradigma ekonomi pembangunan, sebenarnya telah diketahui secara luas bahwa terdapat paradoks pembangunan (development paradox) yang sangat mengganggu. Negara-negara maju, yang mengandalkan industri, yang


(18)

3

berteknologi tinggi, yang memiliki tingkat penghasilan per kapita sangat besar umumnya memproteksi petaninya, yang hanya sedikit jumlahnya. Sedangkan negara-negara miskin yang berbasis pertanian seperti Indonesia justru tidak berp ihak terhadap petaninya sendiri, sehingga kemiskinan yang terjadi khususnya di sektor pertanian menjadi semakin bertambah.

Krisis ekonomi di Indonesia yang terus berlangsung mulai tahun 1997 telah menimbulkan pemikiran kembali tentang pengentasan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia, yang berlangsung sekitar 30 tahun telah berhasil menurunkan angka kemiskinan absolut secara signifikan. Mulai tahun 1970-an hingga awal 1990-an, angka kemiskinan berhasil diturunkan sebesar 50 persen. Namun, sejak krisis berlangsung mulai pertengahan 1997, angka kemiskinan naik dua kali lipat, sehingga menghapus prestasi tersebut, dan membuat upaya pengentasan kemiskinan kembali menjadi sesuatu yang mendesak untuk dilaksanakan dengan serius (Sumarto, et al, 2004).

Masyarakat miskin umumnya menghadapi permasalahan terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya peluang mengembangkan usaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga. Keterbatasan modal, kurangnya keterampilan, dan pengetahuan, menyebab kan masyarakat miskin hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan peluang yang sempit untuk mengembangkan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini seringkali menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang memiliki


(19)

resiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya.

Tingginya jumlah pekerja di sektor kurang produktif berakibat pada rendahnya pendapatan, sehingga mereka tergolong miskin atau tergolong pada pekerja dengan pendapatan yang rentan menjadi miskin (nearly poor). Data Sakernas menunjukkan tingginya angka setengah pengangguran (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) yang mencapai 31.4 persen pada tahun 2003. Berdasarkan sektor usaha, pekerja setengah pengangguran tersebut sebagian besar bekerja di sektor pertanian yang terdapat di perdesaan. Jumlah pekerja informal terus meningkat sejak adanya krisis, dari 58.5 juta pada tahun 2001 meningkat sebesar 1.5 juta (1 juta d i daerah perdesaan dan 0.5 juta di perkotaan) sehingg a pada tahun 2002 menjadi 60 juta. Pada tahun 2003 meningkat sebesar 1.2 juta (0.5 juta di daerah perdesaan dan 0.7 juta perkotaan) sehingga jumlah total menjadi 61.2 juta. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya pangsa lapangan kerja di sektor pertania n dari 40.1 persen tahun 1997 menjadi 43.3 persen tahun 2001, disertai dengan menurunnya pangsa lapangan kerja bergaji dari 35.5 persen tahun 1997 menjadi 33.3 persen tahun 2002, dan menurunnya lapangan kerja di sektor manufaktur dari 2.8 persen pada periode 1994-1997 menjadi 0.6 persen pada periode 1998-2001 (Bappenas, 2005 ).

Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan. Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan yang terlalu rendah, tanpa sistem kontrak atau dengan sistem kontrak yang sangat


(20)

5

89.7

84.9

77.5 75.6 75.5 74.3

73.7 73.2 69.7 68.7 68.6

67.5 67.2 66.3 65.9 65.2 64.0

59.6 58.9 58.6 58.5 57.4 55.5 55.5 55.0 53.7

45.8 45.2 42.7

7.2

9.1

16.0

18.5 16.1 16.9 20.6 19.1

17.7 22.4 17.4 21.4 22.4

26.5 22.0 22.6 29.2

33.2 26.4 26.3 25.8 30.4

26.1 30.6 26.9 30.3

37.9 39.8 41.1 3.2 57.1 0% 20% 40% 60% 80% 100% Papu a NTT

Maluku Gorontalo Lam

pung

Kalimantan Tengah Bengkulu Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah

Sulawesi Utara Sulawesi Selatan

Riau NAD

Sumatera Selatan Kalimantan Barat NTB Maluku Utara

Kalimantan Timur Jambi

Kalimantan Selatan Jawa Timur

Sumatera Utara Ja wa T

enga h Sumatera Barat

Bali DI Yo

gyak arta Bangka Belitung

Banten Jawa Barat DKI Jakarta

Tidak Bekerja (%) Bekerja di Industri (%) Bekerja di bidang Jasa (%) Bekerja di Pertanian (%) lemah dalam hal terhadap kepastian hubungan kerja yang berkelanjutan. Ketidakjelasan mengenai hak-hak mereka dalam bekerja menyebabkan kurangnya perlindungan terhadap keselamatan dan kesejahteraan mereka di lingkungan kerja.

Sumber : Bappenas, 2005

Gambar 1. Diagram Distribusi Persentase Penduduk Miskin Menurut Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Tahun 2003

Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai oleh pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan. Oleh karena itu, kemiskinan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Melihat dari diagram di atas kita bisa mencermati bahwa distribusi penduduk miskin sebagian besar berada pada sektor pertanian. Maka dari itu, perlu dilakukan suatu kajian terhadap dampak kebijakan pembangunan pertanian yang telah dilakukan selama ini terhadap pengentasan kemiskinan, sehingga diharapkan mampu memberikan solusi terbaik bagi penentuan kebijakan pembangunan pertanian ke depan.


(21)

1.2. Perumusan Masalah Penelitian

Kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia telah mengalami berbagai modifikasi. Mulai dari program penyaluran kredit usaha tani yang telah mengalami beberapa kali perubahan format dalam penyalurannya. Selain itu masalah subsidi pupuk mengalami penurunan dari 4.4 persen dari total investasi pertanian pada tahun 1985 menjadi 0.7 persen pada tahun 2000, kemudian masalah penentuan harga dasar gabah serta proteksi perdagangan komoditas pertanian juga mengalami fluktuasi yang dinamis pada beberapa tahun terakhir. Sementara itu kebijakan terhadap penguasaan lahan petani semakin lama semakin menipis, hal ini menyebabkan semakin tingginya tingkat ketidakpastian dalam berusahatani. Dengan semakin tingginya tingkat ketidakpastian tersebut, mengakibatkan semakin rendahnya insvestasi di sektor pertanian yang pada akhirnya akan menurunkan kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang ditunjukkan dengan penurunan kontribusi sebesar 57.1 persen pada tahun 1965 menjadi 17 persen pada tahun 2000 (Arifin, 2004).

Semakin menurunnya tingkat kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, akan mengancam pada semakin tingginya angka kemiskinan yang terjadi di sektor ini, sementara itu sektor industri dan jasa tidak mampu menampung suplai tenaga kerja dari sektor pertanian. Pada kondisi ketidakmampuan sektor industri dan jasa dalam menampung limpahan tenaga kerja dari sektor pertanian, maka akan mengakibatkan semakin tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan secara menyeluruh.

Pengentasan kemiskinan merupakan agenda utama dalam pembangunan ekonomi khususnya berkaitan dengan pemerataan distribusi pendapatan dan


(22)

7

pemenuhan konsumsi masyarakat. Hal tersebut juga merupakan agenda utama bagi pembangunan di negara-negara dunia ketiga yang tercantum dalam poin pertama Millenium Development Goals yaitu pengentasan kemiskinan dan penghapusan kelaparan . Sementara itu, melihat proporsi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia mengalami peningkatan yang sangat tajam saat krisis ekonomi dan sampai saat ini belum mengalami penurunan yang signifikan, hal tersebut bisa ditunjukkan pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1. Indikator Kemiskinan Indonesia

(%)

Indikato r 1990 1993 1996 1999 2002

Proporsi penduduk di bawah garis kemiskinan (P0)

15.08 13.67 17.55 23.43 18.20

Indeks Jurang Kemiskinan (P1) Indeks Kerentanan (P2)

Rasio jurang kemiskinan (P1/P0*100) 2.68 0.74 17.77 3.85 1.11 28.16 1.75 0.42 9.97 4.33 1.23 18.48 3.01 0.79 16.54 Kontribusi orang miskin dalam

konsumsi nasional

9.25 9.05 8.73 9.62 9.10 Proporsi populasi di bawah tingkat

minimum terhadap konsumsi energi makanan

69.50 71.70 68.09 73.86 64.58

Sumber : Susenas Consumption Module 2002

Dalam mengkaji masalah kemiskinan yang terjadi kita perlu mengetuhui faktor-faktor penyebab timbulnya kemiskinan, sehingga dari pendeteksian terhadap faktor penyebab tersebut, kita bisa mengetahui langkah atau kebijakan yang harus diambil ke depan khususnya berkaitan dengan strategi pengentasan kemiskinan.

Dalam proses pembangunan ekonomi, keterlibatan pemerintah sebagai pengambil kebijakan sangatlah penting. Pengaturan tingkat harga, pemberian subsidi dan insentif bagi sektor produksi sangat menunjang peningkatan produksi nasional. Begitu pula di sektor pertanian, peran pemerintah sangatlah diperlukan


(23)

khususnya guna mengatur kebijakan yang berkaitan dengan penyediaan sarana produksi bagi petani misalnya melalui subsidi pupuk dan bibit. Peran pemerintah diperlukan dalam mengendalikan harga komoditas pertanian baik harga atap maupun harga dasar. Selain itu , peran pemerintah juga sangat vital dalam memproteksi komoditas pertanian produksi dalam negeri terhadap maraknya produk pertanian impor. Sementara itu, masih banyak lagi kebijakan pemerintah yang bersinggungan secara langsung maupun tak langsung dengan sektor pertanian.

Keterlibatan pemerintah dalam mengintervensi sektor pertanian memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan para pelaku yang terlibat di sektor pertanian secara langsung maupun tak langsung. Namun intervensi yang berwujud kebijakan yang telah dilakukan selama ini mengindikasikan adanya ketimpangan dalam pendistribusian peluang bagi pemerataan kesejahteraan. Sektor pertanian yang mendominasi proporsi golongan tenaga kerja miskin, ternyata sampai saat ini belum mampu bergerak secara signifikan dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Dampak kebijakan di sektor pertanian terhadap pengentasan kemiskinan perlu diketahui dan dievaluasi, sehingga ke depan dapat diambil beberapa kebijakan pembangunan pertanian yang strategis dan mampu menjadi solusi terhadap masalah tingginya tingkat kemiskinan khususnya di sektor pertanian.

Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk merespon persoalan -persoalan yang telah diuraikan di atas. Secara khusus akan mengkaji bagaimana peran kebijakan pertanian yang digulirkan pemerintah mampu mendorong secara


(24)

9

optimal sebagai upaya pengentasan kemiskinan. Pada penelitian ini dibangun suatu kerangka berfikir yang dituangkan dalam model persamaan simultan yang mengkaji dan memformulasikan interaksi antara kebijakan pembangunan pertanian dengan variabel-variabel makroekonomi lainnya dalam suatu sistem yang dinamis.

Dari uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji, yaitu :

1. Bagaimana dinamika kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia serta kaitannya dengan upaya pengentasan kemiskinan.

2. Faktor-faktor apa saja yang turut mempengaruhi kemiskinan di perkotaan dan pedesaan.

3. Seberapa besar dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel perekonomian lainnya terhadap kemiskinan di Indonesia.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian rumusan permasalahan penelitian di atas, maka dirumuskan beberapa tujuan penelitian yaitu :

1. Mendeskripsikan kebijakan pembangunan pertanian dan pengentasan kemiskinan d i Indonesia.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di perkotaan dan pedesaan.

3. Menganalisis dampak kebijakan pembangunan pertanian dan beberapa variabel ekonomi terhadap p engentasan kemiskinan di Indonesia .


(25)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah adanya pemahaman yang menyeluruh dan terarah terhadap peran atau kontribusi yang diberikan sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi, khususnya menyangkut masalah pengentasan kemiskinan, baik ditinjau dari peningkatan pendapatan perkapita maupun kemampuan pemenuhan konsumsi untuk pangan . Dari penelitian ini juga bisa dideteksi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Selain itu hasil simulasi kebijakan diharapkan akan mampu memperoleh pilihan kebijakan pembangunan pertanian yang strategis khususnya berkaitan dengan upaya pengentasan kemiskinan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini kebijakan pembangunan pertanian yang dimaksudkan adalah antara lain kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan penguasaan lahan, kebijakan pembangunan sarana irigasi, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi pertanian dan kebijakan pengembangan penelitian pertanian. Selain kebijakan di sektor pertanian ini juga dikaji mengenai kebijakan makro ekonomi, seperti kebijakan fiskal dan moneter.

Sub sektor yang akan dimasukkan dalam variabel penelitian ini khususnya adalah sub sektor pertanian tanaman pangan, kar ena sebagian besar petani miskin berada pada sub sektor ini, yaitu sekitar 23.77 persen , sedangkan dalam sektor peternakan, perikanan dan kehutanan rata-rata jumlah orang miskin berada di bawah 5 persen. Kebijakan pembangunan pertanian yang akan dianalisis lebih banyak menyangkut pada sub sektor pertanian tanaman pangan, sehingga dampak langsung dari penerapan kebijakan pembangunan pertanian terhadap pengentasan kemiskinan dapat lebih mudah dideteksi.


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kebijakan Pembangunan Pertanian

Secara umum alat utama kebijakan pertanian diwujudkan melalui anggaran belanja pemerintah di sektor pertanian. Pembiayaan fiskal sangat penting untuk membuat berbagai macam tujuan di dalam pembangunan pertanian. Beberapa hal yang menyangkut format anggaran sektor pertanian merupakan investasi di dalam pembangunan infrastruktur sektor pertanian yang diwujudkan untuk tujuan seperti penyediaan irigasi, penyimpanan hasil panen, pemasaran dan transportasi, serta mengarahkan penyaluran kredit ke petani, pembiayaan perluasan riset dan produksi benih, membiayai defisit yang terjadi akibat program pembelian dari petani dengan harga mahal dan melakukan penjualan ke konsumen dengan harga yang lebih rendah, dan beberapa program pendukung lainnya (Norton, 2004).

Sementara itu menurut Ellis (1992), kebijakan pembangunan pertanian diidentifikasi menggunakan pendekatan pengaruh yang dirancang khususnya terhadap sistem pertanian mikro. Kebijakan pertanian di sini dikaitkan dengan masalah output dan input pertanian, kebijakan tersebut antara lain : kebijakan harga, kebijakan pasar, kebijakan input, kebijakan perkreditan, kebijakan mekanisasi, kebijakan reformasi agraria, kebijakan penelitian, dan kebijakan irigasi.


(27)

2.1.1. Kebijakan Harga

Kebijakan harga di sini adalah kebijakan harga output pertanian. Secara umum kebijakan harga output pertanian ini memiliki tiga fungsi utama di dalam sistem ekonomi. Ketiga fungsi tersebut antara lain : (1) untuk mengalokasikan sumberdaya pertanian secara merata, (2) untuk mendistribusikan pendapatan, dan (3) mendorong investasi dan formasi modal di sektor pertanian (Mellor dan Ahmed, 1988). Selain itu fungsi dari kebijakan harga output pertanian juga bisa dideskripsikan sebagai isyarat, insentif dan instrumen untuk alokasi sumberdaya dan pendapatan secara merata.

Tiga tujuan utama dari kebijakan harga output pertanian adalah : pertama, untuk mempengaruhi output pertanian; kedua, untuk mencapai perubahan pada sisi distribusi pendapatan; dan yang ketiga adalah untuk mempengaruhi kontribusi sektor pertanian pada semua proses pembangunan ekonomi (Norton, 2004).

Sementara itu Ellis (1992), juga menyebutkan bahwa instrumen dari kebijakan harga ini merupakan intervensi pemerintah yang bisa dilakukan dengan berbagai jalan. Instrumen disini dikelompokkan mengarah pada masing-masing tipe dampak pada tingkat dan stabilitas harga pertanian. Deskripsi dari instrumen kebijakan harga diikuti oleh beberapa observasi yang dikonsentrasikan pada interaksi antar instrumen, dan hubungan antara instrumen dengan tujuan. Instrumen tersebut antara lain adalah instrumen kebijakan harga itu sendiri, kebijakan nilai tukar, kebijakan pajak dan subsidi dan kebijakan atau intervensi langsung yaitu seperti memberikan batasan harga dasar pada komoditas pertanian tertentu pada saat panen.


(28)

13

Kebijakan harga dalam bidang pertanian berkaitan erat dengan kebijaksanaan dagang. Langkah-langkah yang diambil dalam perdagangan luar negeri dapat mempengaruhi baik harga di dalam maupun di luar negeri, sebaliknya kebijakan harga produk pertanian dapat mempengaruhi volume dan komposisi dagang. Kecuali untuk pembayaran defisit, bantuan ekspor diperlukan untuk menunjang harga produsen di negara-negara surplus, sedangkan dukungan impor diperlukan apabila harga konsumen harus dilindungi dari keadaan kekurangan pangan.

Jenis pokok dari kebijakan harga dalam pertanian masuk dalam dua kategori, yaitu stabilitas harga dan penetapan tingkat harga (perlindungan harga), kebijakan akhir -akhir ini ditujuk an untuk mendukung kelompok tertentu (produsen dan konsumen) pada sasaran produksi, anggaran atau akumulasi devisa tertentu.

Stabilisasi harga menurut Ellis (1992) adalah salah satu hal yang akan dijadikan alasan umum bagi pemerintah untuk melakukan intervensi pada pasar pertanian, dan hal ini merupakan ciri yang sangat kuat adanya suatu kebijakan pertanian baik yang ada di negara maju maupun di negara berkembang. Intervensi pada pasar pertanian ini dilakukan karena pasar bebas pada produk pertanian terkenal cenderung memiliki harga yang fluktuatif.

Analisis sederhana dari stabilisasi harga dapat dijelaskan menggunakan keseimbangan parsial yang ditunjukkan pada Gambar 2 berikut :


(29)

Gambar 2 . Dampak Stabisasi Harga Akibat Pergeseran Penawaran Terhadap Kesejahteraan

Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa :

1. Jika terjadi kekurangan penawaran, yang biasa terjadi ada musim paceklik maka penawaran akan turun menuju S2. Hal tersebut mengakibatkan harga meningkat menjadi P2. Penjualan dari stok penyangga akan mengembalikan menuju Pe.

Consumer surplus gain = a + b

Producer surplus loss = a

Buffer stock income = d + g (dari hasil penjualan)

2. Jika terjadi kelebihan penawaran, yang biasa terjadi saat panen maka penawaran akan bergeser menuju S1 dan harga akan jatuh menuju P1. Penjualan yang dilakukan oleh stok penyangga akan mengembalikan harga pada Pe.

Consumer surplus loss = c + d + e

Producer surplus gain = c + d + e + f

Q2 Qe Q1

d f

D

e b P

a

c

Q 0

P1 Pe P2

S2

Se


(30)

15

Buffer stock costs = e + f + h (dari biaya pembelian)

3. Posisi akhir pada keseimbangan antara kesejahteraan dan perubahan sumberdaya adalah sebagai berikut :

Buffer stock cancels out : d + g = e + f + h

Consumer surplus loss : d (sebab c + e = a + b)

Producer surplus gain : d + e + f

Net welfare gain : e + f (pertambahan untuk produsen)

Kebijakan harga barang hasil pertanian yang tepat memegang peranan kunci dalam pembangunan suatu perekonomian yang terbelakang. Harga barang pertanian sangat rawan terhadap keadaan permintaan dan penawaran. Karena

output pertanian merupakan 50 persen dari produk nasional, maka tingkat harga

pada umumnya ditentukan oleh perilaku harga barang pertanian. Kebijakan harga barang pertanian tersebut harus bertujuan mengurangi fluktuasi harga, sehingga mengurangi kerugian produsen akibat jatuhnya harga secara tajam karena hasil panen yang melimpah, dan meminimumkan konsumen akibat naiknya harga secara tajam karena kegagalan panen atau kelangkaan persediaan. Untuk kebijakan harga harus serba mencakup berbagai tindakan sejak produksi hasil pertanian sampai pada distribusinya. Tujuan penting dari kebijakan pertanian adalah untuk menentukan harga minimum dan maksimum semua barang hasil pertanian untuk kebutuhan pangan pokok. Kebijakan harga yang baik juga mencakup pengadaan cadangan penyangga dan pengoperasian melalui penjualan dan pembelian serupa harus diusahakan oleh negara dan organ -organnya (Jhingan, 2002).


(31)

2.1.2. Kebijakan Pasar

Tujuan dari kebijakan pemerintah pada pemasaran komoditas pertanian tidak mencakup persepsi tentang struktur, perilaku dan bentuk dari hubungan pemasaran swasta/individu. Tujuan utama dari kebijakan pemasaran ini antara lain : (1) untuk memproteksi petani dan konsumen dari perdagangan yang bersifat menghisap, (2) untuk menstabilkan atau bahkan meningkatkan harga di tingkat petani, (3) untuk mengurangi margin pemasaran, (4) untuk meningkatkan kualitas dan memberikan standar minimum, dan (5) untuk meningkatkan ketahanan pangan (Ellis, 1992).

Pada intinya kebijakan pasar ini bertujuan untuk memperpendek rantai pemasaran komoditas pertanian, sehingga produsen dan konsumen tidak mengalami kerugian akibat permainan harga di tingkat pedagang. Maka dari itu, pemerintah melakukan intervensi kebijakan ini melalui lembaga penyangga untuk membeli hasil pertanian dari petani, seperti misalnya Bulog. Selain itu pemerintah juga bisa membentuk lembaga pemasaran di tingkat petani sendiri. Kemudian pemerintah juga bisa mengambil peran lewat penerangan tentang informasi pasar.

2.1.3. Kebijakan Input

Variabel kebijakan input memiliki tiga dimensi utama. Pertama, adalah pengendalian tingkat harga pada variabel input, dan kebijakan ini difokuskan untuk mempengaruhi harga yang harus dibayarkan oleh petani untuk keperluan input usahataninya, seperti untuk membeli pupuk dan pestisida. Kedua, adalah mengenai sistem distribusi variabel input, jenis kebijakan ini lebih dikonsentrasikan pada modifikasi sistem aliran / distribusi input kepada petani.


(32)

17

Ketiga, adalah sistem informasi yang baik kepada petani tentang tipe, kuantititas, dan kombinasi input yang tepat untuk sistem usahatani.

Proporsi utama kebijakan subsidi input dan sistem penyalurannya dapat diambil dari referensi spesifik tentang pupuk dan bibit unggul. Pupuk kimiawi serta penggunaan bibit unggul dijadikan suatu variabel penting karena memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan produksi dibandingkan input yang lain. Pemberian subsidi pupuk dan bibit baru yang dilakukan di India mampu meningkatkan has il beras nasionalnya dari 0.8 juta ton pada tahun 1965 menjadi 7.7 juta ton pada tahun 1983. Berikut dapat dilihat pada Gambar 3 tentang pengaruh optimalisasi penggunaan pupuk nitrogen (Urea) dan bibit unggul pada peningkatan hasil padi. Kurva yang menggunakan varietas unggul dan penggunaan pupuk nitrogen lebih optimal akan memberikan hasil yang lebih tinggi (Ellis, 1992).

Gambar 3 . Kurva Respon Penggunaan Pupuk Nitrogen dan Bibit Unggul Terhadap Hasil Panen Padi

Hasil padi(ton/ha)

Varietas tradisional 8

7

6

2 3 4 5

1

600 500

400 300

200 100

0

Varietas unggul


(33)

Kebijakan input ini dilakukan untuk memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh bahan baku untuk usahataninya, misalnya untuk pemenuhan kebutuhan bibit, pestisida dan pupuk. Kebijakan input ini secara umum didominasi oleh kebijakan masalah pupuk.

Pupuk merupakan sarana produksi utama bagi peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pertanian, maka dari itu barang sangat dibutuhkan oleh petani dalam bercocok tanam. Semakin meningkatnya jumlah penduduk yang berarti semakin meningkatnya permintaan akan pangan dan keberadaan lahan pertanian yang semakin sempit, memaksa pemerintah untuk mentargetkan peningkatan produksi pangan nasional. Maka dari itu tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain meningkatkan produksi pangan nasio nal dengan intensifikasi pertanian .

Harga pupuk yang tinggi, mengakibatkan petani mengalami kendala dalam pemenuhan untuk optimalisasi usahataninya. Namun karena pemerintah terdesak untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang semakin meningkat, seperti yang diungkapkan di atas, maka pemerintah memberikan subsidi untuk pupuk, sehingga diharapkan petani dapat menjangkaunya dan optimalisasi produksi dapat dilakukan.

Apabila pemerintah mengeluarkan regulasi untuk mengurangi atau bahkan mencabut secara keseluruhan terhadap pupuk maka akan berakibat semakin lemahnya produksi pangan nasional. Hal tersebut disebabkan petani akan mengambil keputusan untuk beralih profesi, karena berusahatani akan semakin tidak menguntungkan. Maka secara tidak langsung akan mengakibatkan rendahnya produktivias pangan nasional (Simatupang, 2004).


(34)

19

2.1.4. Kebijakan Perkreditan

Bagian penting dari kebijakan kredit pertanian yang paling sering ditemui di negara-negara berkembang ialah kebijakan penetapan tingkat bunga yang rendah, yang biasanya berhubungan erat dengan kebijaksanaan harga dan pajak usahatani. Tingkat bunga yang rendah pada umumnya menunjukkan pengaruh yang negatif. Sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya, tingkat bunga yang rendah menimbulkan kesulitan untuk merangsang simpanan deposito. Hal ini menghambat bank untuk menambah modal yang dimilikinya dan mendorong lembaga-lembaga menjadi semakin bergantung pada subsidi pemerintah. Pertumbuhan kredit menurun dan efektifitas bank terhambat.

Sehubungan dengan alokasi sumber-sumber dana, tingkat bunga yang rendah akan menurunkan standar pemilihan dan menyebabkan investasi dengan produktivitas yang semakin lebih rendah. Secara keseluruhan ini mengakibatkan pengurangan produktivitas. Bahkan rendahnya tingkat bunga mengubah rasio faktor harga demi kepentingan modal, ini akan mendorong usaha produksi dan teknologi yang padat modal dan mempunyai pengaruh negatif terhadap pengurangan serta perkembangan teknologi yang tepat (Heinz, 1988).

2.1.5. Kebijakan Mekanisasi Pertanian

Kebijakan mekanisasi pertanian ini merupakan bentuk kebijakan kepedulian dari pemerintah untuk meningkatkan efisiensi usahatani. Kegiatan mekanisasi ini merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dengan ditunjang mesin untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi energi manusia dalam mengolah lahan pertaniannya.


(35)

Mekanisasi pertanian ini lebih lanjut dibedakan menjadi bentuk yaitu mekanisasi bergerak dan tidak bergerak. Mekanisasi yang bergerak yang dimaskud di sini seperti traktor pengolah lahan, sedangkan mekanisasi yang tidak bergerak dicontohkan seperti pompa air. Kebijakan mekanisasi pertanian ini pada intinya adalah memberikan efisiensi terhadap komponen tenaga kerja, sehingga petani akan lebih efisien dan memberikan hasil yang lebih cepat (Ellis, 1992).

2.1.6. Kebijakan Reformasi Agra ria

Pengertian reformasi agraria/landreform secara luas mencakup pengaturan hubungan manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi, dan kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004).

Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah pemerataan kesempatan yang menyangkut pemanfaatan lahan bagi warga masyarakat sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas dasar tersebut tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi :

1. Pemerataan pemilikan dan penggarapan lahan. Pemilikan dicegah untuk tidak terpusat pada segelintir orang, yang menyebabkan menurunnya produktivitas lahan. Program landreform merupakan usaha meningkatkan produktivitas, usaha distribusi penguasaan lahan serta usaha mengubah landless menjadi pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat.

2. Penentuan luas penguasaan lahan yang memungkinkan pemiliknya dapat memaksimumkan manfaatnya (skala usaha).


(36)

21

3. Pengaturan hubungan pemilik-penggarap (UU bagi hasil, dan lain-lain). 4. Penyebaran informasi/peraturan yang menyangkut pertanahan kepada

masyarakat.

5. Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan.

6. Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri, pemukiman, hutan lindung, dan lain-lain).

Adapun tujuan dari landreform adalah : (1) penyebaran/pemerataan pemilikan lahan sehingga terjadi pemerataan pendapatan, (2) peningkatan produktivitas pertanian, dan (3) peningkatan pendapatan nasional. Berdasarkan pengertian dan tujuan dari landreform, dapat dikemukakan beberapa keuntungan dari landreform, yaitu :

1. Pendapatan petani meningkat sehingga daya belinya juga meningkat. Peningkatan pendapatan tersebut diharapkan dapat merubah status buruh tani menjadi pemilik tanah.

2. Industri berkembang.

3. Secara multiplier akan meningkatkan GNP.

Hal-hal di atas perlu menjadi perhatian karena kondisi pengusaan lahan di Indonesia yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian mengalami penurunan luasan yang banyak akibat adanya konversi lahan (S ilitonga, et al, 1995).

Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin bermasalah. Hasil Sensus Pertanian menunjukkan bahwa penyebab penyempitan lahan sawah di Jawa antara lain konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian terutama untuk pembangunan kawasan pemukiman.


(37)

Konversi lahan ini, terutama Jawa sebagai gudang pangan nasional, menyebabkan gangguan yang serius dalam pengadaan pangan nasional. Konversi lahan sawah yang tidak terkendali akan dapat menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian dan pedesaan serta penurunan hilangnya aset pertanian bernilai tinggi. Akhir-akhir ini berkembang kecenderungan yang menunjukkan bahwa pertumbuhan hasil panen padi per hektar mengalami stagnasi akibat kejenuhan teknologi. Dalam situasi tersebut maka upaya untuk menekan “kehilangan produksi pangan” akibat konversi lahan sawah menjadi lebih penting. Untuk kasus di Jawa, memang sulit menghindari kenaikan lahan untuk kegiatan non pertanian, sedangkan lahan yang tersedia sangat terbatas. Atas pertimbangan itu, diperlukan upaya mengarahkan proses konversi lahan pada lahan pertanian yang kurang produktif, sedangkan lahan pertanian produktif dicadangkan bagi produksi pangan (Irawan, 2001).

2.1.7. Kebijakan Penelitian Pertanian

Kebijakan penelitian ini adalah kebijakan mengenai peraturan pemerintah di dalam melakukan pendekatan alternatif untuk mengembangkan dan menyebarkan teknologi pertanian yang baru kepada rumah tangga petani.

Ada beberapa dimensi yang termasuk dalam pengertian kebijakan penelitian ini. Pengembangan teknologi pertanian yang baru merupakan faktor utama untuk menunjang inovasi. Hal ini masuk dalam penetuan kekuatan topik penelitian, lembaga penelitian, pengalokasian sumberdaya dalam penelitian, manajemen penelitian dan hasil penelitian.


(38)

23

Penyebaran teknologi pertanian baru yang menjadi faktor utama dalam ukuran keberhasilannya adalah tingkat adopsi teknologi ditingkatan petani. Hal ini termasuk berkaitan dengan tingkatan lahan dan hambatan perekonomian yang juga ikut mempengaruhi adopsi teknologi (Ellis, 1992).

2.1.8. Kebijakan Irigasi

Dalam proses budidaya yang berkesinambungan tentunya tidak bisa dilepaskan dari irigasi. Kebijakan pembangunan sarana irigasi merupakan jawaban untuk adanya efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan usahatani, sehingga dapat mengurangi ketergantungan pada alam yang berupa hujan. Dengan adanya irigasi yang lancar maka akan memungkinkan petani untuk berproduksi di berbagai musim.

Dengan membangun sarana irigasi yang baik dan tertata juga akan menunjang keseimbangan lingkungan yang baik. Akan tetapi apabila pembangunan sarana irigasi tidak memperhatikan keseimbangan ekosistem maka akan merusak habitat alami, seperti misalnya konstruksi sistem irigasi akan menyebabkan kekeringan dan bahkan banjir pada area-area baru. Namun demikian, kerana kebutuhan akan pangan semakin tinggi maka tidak ada pilihan lain untuk tetap memprioritaskan pada pem enuhan permintaan pangan, maka dari itu pembangunan sarana irigasi sangatlah diperlukan (Norton, 2004).

2.2. Kemiskinan

Dalam konteks strategi penanggulangan kemiskinan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, lak i-laki


(39)

dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak -hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat.

Hak-hak dasar terdiri dari hak-hak yang dipahami masyarakat miskin sebagai hak mereka untuk dapat menikmati kehidupan yang bermartabat dan hak yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Hak-hak dasar tidak berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi satu sama lain sehingga tidak terpenuhinya satu hak dapat mempengaruhi pemenuhan hak lainnya.

Dengan diakuinya konsep kemiskinan berbasis hak, maka kemiskinan dipandang sebagai suatu peristiwa penolakan atau pelanggaran hak dan tidak terpenuhinya hak. Kemiskinan juga dipandang sebagai proses perampasan atas daya rakyat miskin. Konsep ini memberikan pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini


(40)

25

memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghormati, melindungi d an memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.

Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks, bersifat multidimensi dan tidak dapat secara mudah dilihat dari suatu angka absolut. Luasnya wilayah dan sangat beragamnya budaya masyarakat menyebabkan kondisi dan permasalahan kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki. Kondisi dan permasalahan kemiskinan secara tidak langsung tergambar dari fakta yang diungkapkan menurut persepsi dan pendapat masyarakat miskin itu sendiri, berdasarkan temuan dari berbagai kajian, dan indikator sosial dan ekonomi yang dikumpulkan dari kegiatan sensus dan surv ei (Bappenas , 2005).

Sejak tahun 1976 Badan Pusat Statistik (BPS) membuat perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan, perkotaan dan propinsi di Indonesia) dengan berpatokan pada pengeluaran rumah tangga menurut data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional). Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap ‘dasar’ dan diperlukan selama jangka waktu tertentu agar dapat hidup secara layak. Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan. Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan:


(41)

1. biaya untuk memperoleh makanan dengan kandungan 2100 kalori per kapita per hari; dan

2. biaya untuk memperoleh bahan bukan makanan yang dianggap dasar, seperti pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi dan pendidikan

Tolok ukur individu dikatakan miskin memang masih menjadi perdebatan, ada yang menyebutkan bahwa kemiskinan diukur dari tingkat pendapatan di bawah 1 $ US / hari, di lain pihak ada yang menggunakan ukuran konsumsi kalori per hari yaitu sebanyak 2100 kalori, bahkan beberapa waktu yang lalu pemerintah memakai salah satu indikator kemiskinan adalah rumah yang tidak di plester (berlantaikan tanah) sehingga mengadakan program plesterisasi. Perbedaan terminologi di atas secara general sebenarnya memilki tujuan yang sama yaitu adanya ketidakmampuan untuk mencapai kesejahteraan (Kelompok Kerja Pro penas, 2002).

Kemiskinan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural yang terjadi terus-menerus dan kemiskinan sementara (transient poverty) yang ditandai dengan menurunnya pendapatan masyarakat secara sementara sebagai akibat dari perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi kondisi krisis dan bencana alam. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, pendidikan dan kesehatan, kemampuan berusaha, dan mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi sehingga menumbuhkan perilaku miskin. Selain itu, perilaku miskin ditandai pula oleh perlakuan diskriminatif, perasaan ketakutan dan kecurigaan serta sikap apatis dan


(42)

27

fatalistis. Dalam kaitan itu, upaya penanggulangan kemiskinan terkait erat dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan penyediaan berbagai kebutuhan pokok dengan biaya yang terjangkau sehingga secara bertahap mereka dapat meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan peluang yang terbuka (Heinz, 1988).

Secara umum upaya penanggulangan kemiskinan ada dua strategi utama yang ditempuh. Pertama, melakukan berbagai upaya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan melindungi keluarga dan kelompok masyarakat yang meng alami kemiskinan sementara akibat dampak negatif krisis ekonomi dan kemiskinan struktural. Kedua, melakukan berbagai upaya untuk membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan struktural, antara lain, memberdayakan mereka agar mempunyai kemampuan yang tinggi untuk melakukan usaha, dan mencegah terjadinya kemiskinan baru.

Gross National Product (GNP) yang selama ini menjadi indikator keberhasilan pembangunan suatu negara ternyata terkadang menyesatkan. Menurut Kuznets mengemukakan bahwa pola pertumbuhan historis negara maju pada tahap -tahap awal pertumbuhannya mengalami penurunan tingkat kesejahteraan, namun pada akhirnya akan membaik secara perlahan dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Observasi inilah yang dikenal secara luas sebagai kurva Kuznetz “U-terbalik”. Konsep tersebut memperoleh namanya dari bentuk rangkaian perubahan longitudinal (antar waktu) atas distribusi pendapatan (yang diukur dengan koefisien Gini) sejalan dengan pertumbuhan GNP per kapita (Todaro, 1999).


(43)

Koefisien Gini

Kemiskinan berdampak pada kondisi keadaan kurang gizi dan tingkat kesakitan (morbiditas), dan hal ini merupakan suatu lingkaran setan yang akan membuat kondisi suatu bangsa semakin terpuruk. Masih relatif tingginya masalah-masalah gizi masyarakat itu menunjukkan bahwa aspek kemampuan ekonomi (daya beli) berpengaruh paling dominan dalam timbulnya masalah gizi masyarakat, disamping adanya faktor kurang sadar gizi, kondisi lingkungan sanitasi dan keterbatasan akses bagi golongan masyarakat yang kurang mampu. Kemampuan ekonomi keluarga yang rendah itu tidak terlepas dari faktor keterbatasan lapangan kerja, termasuk keterbatasan dalam hal kemampuan psikomotorik dan kognitif yang dapat dikembangkan untuk memperluas peluang mendapatkan tambahan pendapatan. Berikut ini gambaran keterkaitan beragam faktor dalam lingkaran setan kemiskinan, dimana faktor kekurangan gizi masuk di dalamnya (Todaro, 1999).

Dampak dari kondisi kurang gizi pada jangka waktu lama akan tercermin pada beragam maslaah gizi masyarakat dan pada gilirannya menyangkut langsung pada sumberdaya insani yang memprihatinkan, yakni rendahnya produktivitas fisik, mental (ketahanan menerima stres) dan intelektual (kecerdasan) (Sitorus, 1996).

0,50 0,35 0,25 0,75

0 GNP Per Kapita


(44)

29

Gambar 5. Keterkaitan Beragam Faktor dalam “Lingkaran Setan” Kemiskinan

Kelaparan kronis menyebabkan kemunduran intelektual, menghalangi pertumbuhan produktifitas dan menjadi penyebab utama timbulnya penyakit, sehingga orang atau komonitas menjadi tidak mampu untuk merealisasikan potensi yang dimilikinya. Kelaparan dan kekurangan nutrisi/gizi mikro diperkirakan akan menurunkan kapasitas belajar sampai dengan lebih dari 10%. Untuk keluarga miskin, kelaparan yang dihubungkan dengan kondisi sakit merupakan biaya yang tinggi bagi rumah tangga dan meningkatkan beban terhadap kesehatan anggota keluarga. Penyakit merupakan tambahan beban kesulitan yang sangat berarti.

Ada dua indikator yang direkomendasikan dalam memonitor keberlangsungan pencapaian target untuk mengurangi kelaparan, yaitu meratanya bobot yang rendah pada anak-anak berusia di bawah lima tahun dan proporsi dari

Cadangan dana/sumber daya

terbatas

Miskin gizi, kesehatan dan asset

Status gizi dan kesehatan rendah

Pendidikan rendah

Kelahiran tinggi :

future security

Produktifitas (fisik, mental dan intelektual) rendah

Keterjaminan pangan (food security) rendah

Pendapatan rendah

Akses terhadap pekerjaaan rendah Kemampuan kognitif

dan psikomotorik rendah


(45)

populasi di bawah tingkat minimum menu konsumsi energi (Kelompok Kerja Propenas, 2002).

2.3. Keterkaitan Variabel Makroekonomi

2.3.1. Keseimbangan Pendapatan Nasional

Keseimbangan pendapatan nasional dicerminkan oleh keseimbangan internal dan eksternal secara simultan. Keseimbangan internal terjadi apabila dalam pasar barang dan pasar uang terjadi keseimbangan. Sedangkan keseimbangan eksternal terjadi jika neraca perdagangan sama dengan neraca modal asing (net capital flow).

Secara teoritis proses terbentuknya keseimbangan pendapatan nasional tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Pendapatan nasional yang dihitung berdasarkan sisi pengeluaran didefinisikan sebagai penjumlahan dari pengeluaran konsumsi rumah tangga, ditambah pengeluaran investasi swasta, ditambah pengeluaran pemerintah, dan ditambah ekspor neto. Sedangkan pendapatan yang siap dibelanjakan (disposible income) adalah pendapatan nasional dikurangi pajak (Glahe, 1977). Secara matematis dapat dijelaskan sebagai berikut :

Y = C + I + G + ( X – M ) ...(1) YD = Y – T ...(2) dimana :

Y = Pendapatan nasional

C = Pengeluaran konsumsi rumah tangga I = Pengeluaran investasi swasta

G = Pengeluaran Pemerintah X = Ekspor

I = Impor

YD = Pendapatan yang siap dibelanjakan T = Penerimaan Pajak


(46)

31

Besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga didefinisikan sebagai pendapatan yang siap dibelanjakan dikurangi tabungan rumah tangga (S), secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

C = YD – S ...(3) Sedangakan dari sisi penerimaan secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut :

Y = C + S + T ...(4) Keseimbangan umum terjadi apabila persamaan (1) sama dengan persamaan (4), yaitu :

C + I + G + X – M = C + S + T atau I + G + X = S + T + M ...(5) Persamaan (5) merupakan persamaan keseimbangan di pasar barang. Keseimbangan tersebut membentuk kurva IS yang ditunjukkan pada gambar 6d. Pada Gambar 6d juga terdapat kurva LM yang menunjukkan keseimbangan di pasar uang yang terbentuk dari keseimbangan permintaan uang (MD) dan penawaran uang (MS) (Gambar 6e).

Berdasarkan teori Keynes permintaan uang adalah mempunyai tiga motif atau tujuan, yaitu : (1) permintaan uang untuk tujuan trans aksi, (2) permintaan uang untuk tujuan berjaga-jaga, dan (3) permintaan uang untuk tujuan spekulasi. Permintaan uang untuk tujuan transak si dan berjaga merupakan fungsi dari pendapatan, sedangkan permintaan uang untuk tujuan spekulasi merupakan fungsi dari tingkat suku bunga yang secara teoritis dapat ditulis sebagai berikut :

Mt = f (Y) ...(6) Mj = f (Y) ...(7) Msp = f (r) ...(8)


(47)

(a) (b) (c) (d) (e) (f) (h) (i) (g)

S, T, M S+T+M

S+T+M

450

Y Y

Y Y I+G+X I+G+X r IS LM r r MS MD M Y N N Y W NS ND Y=f(N)

Gambar 6. Keseimbangan Perekonomian AD EB AS P P 450 EB


(48)

33

MD = Mt + Mj + Msp ...(9) Keseimbangan terjadi apabila :

MS = MD ...(10) dimana :

Mt = Permintaan uang untuk transaksi Mj = Permintaan uang untuk berjaga-jaga Msp = Permintaan uang untuk spekulasi MD = Total permintaan uang

MS = Total penawaran uang Y = Pendapatan nasional r = Tingkat suku bunga

Persamaan (10) merupakan keseimbangan di pasar uang dan membentuk kurva LM. Keseimbangan internal terjadi apabila terjadi keseimbangan di pasar barang dan pasar uang atau (IS = LM) yang akan menentukan tingkat pendapatan nasional yang diukur dari sisi pengeluaran yang ditunjukkan oleh kurva permintaan agregat (Gambar 6f).

Perubahan-perubahan dalam aktivitas konsumsi, tabungan, pajak, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor dan impor akan merubah kurva IS yang selanjutnya akan merubah permintaan agregat. Begitu pula perubahan -perubahan dalam aktivitas moneter baik dari sisi permintaan maupun penawaran uang akan merubah kurva LM yang selanjutnya akan merubah permintaan agregat.

Keseimbangan dalam pasar barang dan pasar uang ini akan menentukan tingkat bunga. Kebijakan fiskal dicerminkan oleh pergeseran kurva IS, sedangkan kebijakan pemerintah dari segi moneter dicerminkan pada kurva LM.

Pendekatan pendapatan nasional tersebut didasarkan pada sisi pengeluaran, sehingga sulit digunakan untuk mengevaluasi perubahan -perubahan dalam sisi produksi. Pendapatan Nasional apabila diukur dari sisi produksi


(49)

ditunjukkan pada Gambar 6h. Dalam teori makro Glahe (1977), fungsi produksi agregat didefinis ikan sebagai berikut :

Y = f ( K, L, T, N) ...(11) dimana :

Y = Pendapatan nasional K = Modal

L = Lahan T = Teknologi N = Tenaga Kerja

Dalam jangka pendek diasumsikan bahwa K, T, L adalah tetap sehingga hanya N yang menjadi variabel input. Oleh karena itu fungsi produksi agregat dituliskan menjadi :

Y = f (N) ...(12) Mengacu pada teori makro ekonomi dan mengasumsikan pen awaran tenaga kerja elastis sempurna (perfectly elastic) pada upah W dan harga produk perusahaan adalah konstan pada P, maka keuntungan perusahaan dapat disajikan sebagai berikut :

p = (P.Y) – (W.N) ...(13) Keuntungan maksimum terjadi apabila turunan pertama dari fungsi keuntungan adalah nol, sehingga dp/dN = P.dY/dN – W = 0, dengan asumsi turunan kedua terpenuhi. Oleh karena dY/dN = MPn adalah produk marginal dari tenaga kerja, maka :

W = P.MPn ...(14) Persamaan (14) ini merupakan permintaan tenaga kerja yang digambarkan sebagai kurva permintaan tenaga kerja (ND) dalam Gambar 6i. Perubahan harga (P) akan menyebabkan pergeseran pada kurva permintaan tenaga kerja (ND). Jika


(50)

35

diasumsikan bahwa upah tenaga kerja (W) bersifat kaku terhadap perubahan harga dalam jangka pendek sebagaimana asumsi Keynes, maka adanya perubahan harga (P) akan terjadi perubahan dalam pasar tenaga kerja akibatnya akan terjadi perubahan permintaan tenaga kerja, sehingga akan menyebabkan perubahan jumlah produksi. Begitu pula apabila terjadi perubahan tenaga kerja akibat naiknya jumlah penduduk dan angkatan kerja, juga akan menyebabkan perubahan permintaan tenaga kerja.

Penempatan kurva keseimbangan eksternal (EB) pada Gambar 6d dan 6f, maka akan diperoleh keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal dan eksternal pada Gambar 6d adalah EB = IS = LM, dimana jika EB > (IS =LM) menunjukkan perekonomian dalam keadaan surplus, sebaliknya jika EB < (IS=LM) menunjukkan perekonomian dalam keadaan defisit, yang umumnya dilakukan dalam evaluasi jangka pendek. Sedangkan dalam jangka panjang keseimbangan internal dan eksternal ditunjukkan dalam Gambar 6f yaitu AS =AD = EB, dimana jika EB > (AS=AD) menunjukkan perekonomian dalam keadaan surplus, sebaliknya jika EB < (AS=AD) menunjukkan perekonomian dalam keadaan defisit (Glahe, 1977).

2.3.2. Nilai Hasil Produksi dan Harga

Asnawi (2005), dalam tulisannya menyatakan bahwa secara garis besar perhitungan pendapatan nasional dari sisi nilai produksi (Q) dirumuskan sebagai penjumlahan dari nilai produksi sektor dan sub sektor (Qij) :

Q = ? Qij ...(15) dimana : Q = Total produksi


(1)

Th e SAS Sy s t e m

Th e SYSLI N Pr o c e d u r e Two - St a g e Le a s t Sq u a r e s Es t i ma t i o n

Mo d e l I NF De p e n d e n t Va r i a b l e I NF La b e l I n f l a s i

An a l y s i s o f Va r i a n c e

Su m o f Me a n

So u r c e DF Sq u a r e s Sq u a r e F Va l u e Pr > F

Mod e l 4 3 4 6 1 . 2 7 1 8 6 5 . 3 1 7 8 1 0 . 1 3 0 . 0 0 0 5 Er r o r 1 4 1 1 9 5 . 5 2 3 8 5 . 3 9 4 4 8

Co r r e c t e d To t a l 1 8 4 6 5 6 . 7 9 4

Ro o t MSE 9 . 2 4 0 9 1 R- Sq u a r e 0 . 74 3 2 7 De p e n d e n t Me a n 1 1 . 8 3 6 8 4 Ad j R- Sq 0 . 6 6 9 9 2 Co e f f Va r 7 8 . 0 6 9 0 8

Pa r a me t e r Es t i ma t e s

Pa r a me t e r St a n d a r d Va r i a b l e Va r i a b l e DF Es t i ma t e Er r o r t Va l u e Pr > | t | La b e l

I n t e r c e p t 1 - 6 . 4 1 4 8 5 9 . 8 4 8 0 7 1 - 0 . 6 5 0 . 5 2 5 3 I n t e r c e p t GDPT 1 0 . 0 0 0 3 4 9 0 . 0 0 0 0 7 0 5 . 0 2 0 . 0 0 0 2 GDP To t a l MSR 1 - 0 . 0 0 2 8 4 0 . 0 0 0 5 1 4 - 5 . 5 3 <. 0 0 0 1 Pe n a wa r a n Ua n g ER 1 0 . 0 0 5 7 9 2 0 . 0 0 1 5 7 8 3 . 6 7 0 . 0 0 2 5 Ni l a i Tu k a r

DK 1 5 . 8 5 7 5 2 0 1 1 . 2 7 8 8 5 0 . 5 2 0 . 6 1 1 6 Du mmy Kr i s i s Ek o n o mi

Du r b i n - Wa t s o n 2 . 8 9 8 1 7 1 Nu mb e r o f Ob s e r v a t i o n s 1 9 Fi r s t - Or d e r Au t o c o r r e l a t i o n - 0 . 4 5 0 3 6


(2)

Lampiran 3. Program Validasi Model dan Simulasi Dasar

PROC

SIMNLIN

DATA=ANALISIS STATS SIMULATE OUTPREDICT THEIL OUT=HASIL;

ENDOGENOUS PROAR INVAR LABA PA EXAR IMAR UPOV RPOV SPN GEAR GR TTAXR

FCONR MSR INF TPOV GDPT GDPA;

INSTRUMENTS LA IRI CRER RISR MEC SUBFR WPAR IRD ER TAXIR TAXER IHEA

IHIA WAGER EGRO GESR GEMR INVTR TW WOILR KAR

POP GDS GDPA GDPN YD LPROAR LINVAR LLABA LPA LEXAR LIMAR

LUPOV LRPOV LSPN LGEAR LGR LGDPA LTTAXR LFCONR;

Parm a0

-6830.79

a1

2.790628

a2

-14.8022

a3

0.705835

a4

-4.75941

a5

4.975E-7

a6

0.095814

a7

88.67491

a8

0.133007

b0 -

1394.14

b1

7101.627

b2

442.6767

b3

0.017501

b4 -

1725.93

b5 -

21396.8

b6

0.880448

c0

15.48181

c1 -

0.00001

c2

0.005296

c3

0.667044

d0

1.265338

d1 -

0.00001

d2

0.000275

d3 -

6.4E-6

d4 -

0.00002

d5

0.655699

e0 -

272.388

e1

0.013962

e2 -

25.5735

e3

0.610861

e4 -

0.10084

e5

2.841887

e6

0.014488

e7

0.230864

f0

879.4443

f1

0.031060

f2

0.033715

f3 -

0.65963

f4 -

13.8746

f5

703.5177

f6 -

0.41307

f7

0.766733

g0

4.786854

g1

-2.72E-6

g2

-0.17378

g3

-0.00007

g4

6.484E-7

g5

-0.00070

g6

0.043954

g7

3.087323

g8

0.358871

h0

38.60594

h1

-0.00003

h2

-0.62783

h3

-3.48965

h4

0.03122

h5

-4.93143

h6 -

8.55E-9

h7

1.128666

h8

0.369147

i0

2382.569

i1

0.012027

i2 -

0.55683

i3

0.15496

i4 -

8.09259

i5

0.429035

j0

0.433816

j1

-0.01676

j2

-5.55E-7

j3

-0.07625

j4

0.886760

k0

168296.3

k1

1571.421

k2

25820.63

k3

0.292503

k4

0.601478

k5

1.597047

k6

0.117956

l0 -

63583.1

l1

0.965320

l2

0.333305

l3

0.970292

l4

0.775121

m0 -

12172.5

m1 -

0.02700

m2

0.174107

m3

3850.828

m4

0.257616

n0 -

7916.61

n1

0.805522

n2

0.016068

n3

0.046631

o0 -

3228.80

o1 -

461.775

o2

2.047949

o3

0.133135

p0 -

6.41485

p1

0.000349

p2 -

0.00284

p3

0.005792

p4

5.857520

;

PROAR = a0 + a1*LA + a2*IRI + a3*CRER + a4*SUBFR + a5*MEC +

a6*INVAR + a7*RISR + a8*LPROAR;

INVAR = b0 + b1*PA + b2*LABA + b3*YD + b4*IRD + b5*DK + b6*LINVAR;

LABA = c0 + c1*WAGER + c2*POP + c3*LLABA;

PA

= d0 + d1*PROAR + d2*INF + d3*ER + d4*IMAR + d5*LPA;

EXAR = e0 + e1*ER + e2*TAXER + e3*WPAR + e4*IHEA + e5*PA + e6*PROAR +

e7*LEXAR;

IMAR = f0 + f1*ER + f2*TAXIR + f3*WPAR + f4*IHIA + f5*PA + f6*SPN +

f7*LIMAR;

UPOV = g0 + g1*WAGER + g2*EGRO + g3*GESR + g4*GEMR + g5*SPN + g6*INF

+ g7*DK + g8*LUPOV;

RPOV = h0 + h1*WAGER + h2*EGRO + h3*GEAR + h4*INF + h5*PA + h6*PROAR

+ h7*DK + h8*LRPOV;

SPN = i0 + i1*PROAR + i2*EXAR + i3*IMAR + i4*POP + i5*LSPN;

GEAR = j0 + j1*INF + j2*GR + j3*DK + j4*LGEAR;


(3)

GR

= l0 + l1*GDS + l2*TTAX + l3*WOILR + l4*LGR;

TTAXR = m0 + m1*GDPT + m2*INVTR + m3*TW + m4*LTTAXR;

FCONR = n0 + n1*PROAR + n2*YD + n3*LFCONR;

MSR = o0 + o1*IRD + o2*ER + o3*GDPT;

INF = p0 + p1*GDPT + p2*MSR + p3*ER + p4*DK;

TPOV = UPOV+RPOV;

GDPT = GDPA+GDPN;

range tahun =

1984

to

2003

;

RUN

;


(4)

Th e SAS Sy s t e m

Th e SI MNLI N Pr o c e d u r e

Mo d e l Su mma r y

Mo d e l Va r i a b l e s 1 8 En d o g e n o u s 1 8 Pa r a me t e r s 1 0 0 Ra n g e Va r i a b l e Ta h u n Eq u a t i o n s 1 8 Nu mb e r o f St a t e me n t s 1 8

Th e SAS Sy s t e m

Th e SI MNLI N Pr o c e d u r e Si mu l t a n e o u s Si mu l a t i o n

Th e SAS Sy s t e m

Th e SI MNLI N Pr o c e d u r e Si mu l t a n e o u s Si mu l a t i o n

Da t a Se t Op t i o n s

DATA= ANALI SI S OUT= HASI L

So l u t i o n Su mma r y

Va r i a b l e s So l v e d 1 8 So l u t i o n Ra n g e Ta h u n Fi r s t 1 9 8 4 La s t 2 0 0 3 So l u t i o n Me t h o d NEWTON CONVERGE= 1 E- 8 Ma x i mu m CC 7 . 0 3 E- 1 5 Ma x i mu m I t e r a t i o n s 1 To t a l I t e r a t i o n s 1 9 Av e r a g e I t e r a t i o n s 1

Ob s e r v a t i o n s Pr o c e s s e d

Re a d 2 0 So l v e d 1 9 Fa i l e d 1


(5)

Th e SI MNLI N Pr o c e d u r e Si mu l t a n e o u s Si mu l a t i o n So l u t i o n Ra n g e Ta h u n = 1 9 8 4 To 2 0 0 3

De s c r i p t i v e St a t i s t i c s

Ac t u a l Pr e d i c t e d

Va r i a b l e N Ob s N Me a n St d De v Me a n St d De v La b e l

PROAR 1 9 1 9 3 2 4 3 6 . 4 1 3 6 6 3 . 0 3 2 5 0 8 . 8 1 3 5 2 4 . 5 Pr o d u k s i Pe r t a n i a n I NVAR 1 9 1 9 9 8 9 3 8 . 6 4 6 6 2 5 . 5 9 9 7 8 0 . 3 4 6 0 6 5 . 7 I n v e s t a s i Pe r t a n i a n LABA 1 9 1 9 3 9 . 1 0 3 7 2 . 4 5 1 3 4 0 . 0 2 6 1 1 . 7 7 5 7 Te n a g a Ke r j a Pe r t a n i a n PA 1 9 1 9 2 . 3 0 5 5 0 . 4 1 8 8 2 . 3 6 6 5 0 . 3 8 9 9 I n d e k s Ha r g a Pe r t a n i a n EXAR 1 9 1 9 3 5 0 . 6 1 5 7 . 7 3 5 1 . 9 1 5 1 . 4 Ek s p o r Ko mo d i t a s Pe r t a n i a n I MAR 1 9 1 9 9 4 6 . 6 5 0 5 . 4 9 9 2 . 4 4 8 7 . 3 I mp o r Ko mo d i t a s Pe r t a n i a n UPOV 1 9 1 9 5 . 4 7 2 8 1 . 2 2 3 3 5 . 4 5 8 0 1 . 0 3 7 2 Ke mi s k i n a n d i Pe r k o t a a n RPOV 1 9 1 9 1 1 . 3 3 8 7 2 . 5 8 3 1 1 1 . 2 3 9 2 2 . 4 8 0 4 Ke mi s k i n a n d i Pe d e s a a n SPN 1 9 1 9 1 5 8 2 . 4 3 3 1 . 8 1 5 7 5 . 5 3 1 2 . 1 St o k Pa n g a n Na s i o n a l

GEAR 1 9 1 9 3 8 9 9 . 0 1 3 1 2 . 3 3 7 9 4 . 1 8 1 1 . 5 Be l a n j a Pe me r i n t a h d i Se k t o r Pe r t a n i a n GR 1 9 1 9 1 0 4 0 7 4 1 0 1 6 5 5 1 1 2 1 8 4 1 1 9 5 9 7 Pe n e r i ma a n

Pe me r i n t a h TTAXR 1 9 1 9 4 6 6 1 9 . 3 2 0 2 4 6 . 5 4 6 6 0 6 . 3 1 9 7 0 5 . 0 Pa j a k To t a l FCONR 1 9 1 9 2 6 3 5 9 . 8 9 7 1 1 . 0 2 6 4 1 8 . 1 9 3 4 9 . 7 Ko n s u ms i u n t u k Pe r t a n i a n MSR 1 9 1 9 5 0 2 0 6 . 2 1 7 7 9 6 . 1 5 0 2 7 7 . 6 1 6 8 4 0 . 1 Pe n a wa r a n Ua n g I NF 1 9 1 9 1 1 . 8 3 6 8 1 6 . 0 8 4 5 1 1 . 8 7 4 8 1 1 . 8 7 9 3 I n f l a s i

TPOV 1 9 1 9 1 6 . 8 1 1 5 3 . 6 1 7 5 1 6 . 6 9 7 2 3 . 4 5 0 3 Ke mi s k i n a n To t a l GDPT 1 9 1 9 3 8 5 7 5 9 1 0 7 2 5 4 3 8 6 2 9 4 1 0 2 1 4 4 GDP To t a l GDPA 1 9 1 9 1 1 6 2 3 7 2 9 9 7 5 . 1 1 1 6 7 7 2 2 6 9 7 0 . 5 GDP Pe r t a n i a n

St a t i s t i c s o f f i t

Me a n Me a n % Me a n Ab s Me a n Ab s RMS RMS %

Va r i a b l e N Er r o r Er r o r Er r o r % Er r o r Er r o r Er r o r R- Sq u a r e

PROAR 1 9 7 2 . 4 3 8 2 0 . 6 2 9 2 1 2 6 0 . 4 5 . 2 0 4 1 1 7 2 8 . 0 8 . 3 3 4 2 0 . 9 8 3 1 I NVAR 1 9 8 4 1 . 7 2 . 3 1 5 0 6 7 1 7 . 0 9 . 4 2 1 9 7 9 9 4 . 8 1 3 . 6 3 8 7 0 . 9 6 9 0 LABA 1 9 0 . 9 2 2 4 2 . 5 4 9 6 1 . 5 1 8 5 4 . 0 2 3 9 1 . 8 5 3 6 5 . 0 4 4 8 0 . 3 9 6 4 PA 1 9 0 . 0 6 1 0 2 . 9 6 4 2 0 . 0 7 5 1 3 . 47 0 6 0 . 0 8 5 7 3 . 9 7 3 1 0 . 9 5 5 8 EXAR 1 9 1 . 2 2 8 6 1 . 6 8 6 2 3 3 . 4 8 9 7 1 2 . 0 8 4 7 4 2 . 7 7 8 9 1 7 . 1 6 9 4 0 . 9 2 2 3 I MAR 1 9 4 5 . 7 9 0 7 7 . 9 0 2 5 1 5 1 . 7 1 9 . 3 0 3 1 2 1 1 . 9 2 5 . 9 3 8 6 0 . 8 1 4 5 UPOV 1 9 - 0 . 0 1 4 8 0 . 9 0 8 3 0 . 3 8 3 6 7 . 2 9 2 7 0 . 5 6 1 9 1 1 . 7 5 3 0 0 . 7 7 7 3 RPOV 1 9 - 0 . 0 9 9 5 - 0 . 6 9 9 1 0 . 4 5 1 2 3 . 8 4 6 5 0 . 5 9 3 8 4 . 8 4 2 3 0 . 9 4 4 2 SPN 1 9 - 6 . 9 2 2 3 0 . 0 5 3 4 9 7 . 2 8 9 6 6 . 4 9 1 3 1 1 5 . 9 8 . 1 2 1 1 0 . 8 7 1 2 GEAR 1 9 - 1 0 4 . 9 2 . 8 5 2 1 8 1 5 . 0 1 9 . 9 4 5 9 1 2 0 3 . 9 2 8 . 2 1 2 9 0 . 1 1 1 5 GR 1 9 8 1 0 9 . 8 - 4 . 3 2 1 7 1 4 4 2 9 . 1 1 7 . 7 3 2 6 2 1 7 9 4 . 1 2 7 . 7 0 4 1 0 . 9 5 1 5 TTAXR 1 9 - 1 2 . 9 8 1 0 - 0 . 6 7 9 0 3 5 9 6 . 0 8 . 7 5 3 3 4 9 1 0 . 6 1 2 . 6 7 4 5 0 . 9 3 79 FCONR 1 9 5 8 . 2 7 7 6 1 . 5 3 9 1 1 9 7 9 . 0 8 . 5 6 9 7 2 6 1 9 . 2 1 2 . 5 4 1 9 0 . 9 2 3 2 MSR 1 9 7 1 . 3 1 8 7 1 . 3 0 8 8 2 5 3 6 . 5 5 . 9 2 9 5 3 3 9 6 . 9 8 . 2 9 0 3 0 . 9 6 1 5 I NF 1 9 0 . 0 3 8 0 6 1 . 0 8 5 7 5 . 9 1 1 8 1 0 5 . 8 8 . 8 3 9 9 2 8 0 . 6 0 . 6 8 1 2 TPOV 1 9 - 0 . 1 1 4 3 - 0 . 5 2 2 4 0 . 4 2 7 9 2 . 3 8 3 8 0 . 6 3 4 2 3 . 4 0 4 2 0 . 9 6 7 6 GDPT 1 9 5 3 5 . 6 0 . 6 6 0 2 9 5 5 3 . 3 2 . 6 8 2 8 1 3 4 5 2 . 7 4 . 0 7 5 1 0 . 9 8 3 4 GDPA 1 9 5 3 5 . 6 1 . 9 2 7 9 9 5 5 3 . 3 8 . 8 5 3 4 1 3 4 5 2 . 7 1 3 . 3 4 0 4 0 . 7 8 7 4

Th e i l Fo r e c a s t Er r o r St a t i s t i c s MSE De c o mp o s i t i o n Pr o p o r t i o n s

Co r r Bi a s Re g Di s t Va r Co v a r I n e q u a l i t y Co e f Va r i a b l e N MSE ( R) ( UM) ( UR) ( UD) ( US) ( UC) U1 U

PROAR 1 9 2 9 8 6 1 2 7 0 . 9 9 0 . 0 0 0 . 0 0 1 . 0 0 0 . 0 1 0 . 9 9 0 . 0 4 9 3 0 . 0 2 4 6 I NVAR 1 9 6 3 9 1 7 3 6 3 0 . 9 8 0 . 0 1 0 . 0 0 0 . 9 9 0 . 0 0 0 . 9 8 0 . 0 7 3 4 0 . 0 3 6 6 LABA 1 9 3 . 4 3 6 0 0 . 7 4 0 . 2 5 0 . 0 0 0 . 7 5 0 . 1 3 0 . 6 3 0 . 0 4 7 3 0 . 0 2 3 4 PA 1 9 0 . 0 0 7 3 4 0 . 9 9 0 . 5 1 0 . 0 8 0 . 4 1 0 . 1 1 0 . 3 8 0 . 0 3 6 6 0 . 0 1 8 1 EXAR 1 9 1 8 3 0 . 0 0 . 9 6 0 . 0 0 0 . 0 0 1 . 0 0 0 . 0 2 0 . 9 8 0 . 1 1 1 8 0 . 0 5 6 0 I MAR 1 9 4 4 8 8 7 . 5 0 . 9 1 0 . 0 5 0 . 0 2 0 . 9 4 0 . 0 1 0 . 9 5 0 . 1 9 8 6 0 . 0 9 7 8 UPOV 1 9 0 . 3 1 5 7 0 . 8 8 0 . 0 0 0 . 0 1 0 . 9 9 0 . 1 0 0 . 9 0 0 . 1 0 0 3 0 . 0 5 0 4 RPOV 1 9 0. 3 5 2 6 0 . 9 7 0 . 0 3 0 . 0 0 0 . 9 7 0 . 0 3 0 . 9 4 0 . 0 5 1 1 0 . 0 2 5 7 SPN 1 9 1 3 4 3 2 . 3 0 . 9 3 0 . 0 0 0 . 0 0 1 . 0 0 0 . 0 3 0 . 9 7 0 . 0 7 1 8 0 . 0 3 6 0 GEAR 1 9 1 4 4 9 4 6 0 0 . 4 0 0 . 0 1 0 . 0 5 0 . 9 4 0 . 1 6 0 . 8 3 0 . 2 9 3 4 0 . 1 5 0 9 GR 1 9 4 . 7 4 9 8 E8 1 . 0 0 0 . 1 4 0 . 6 8 0 . 1 9 0 . 6 4 0 . 2 2 0 . 1 5 1 8 0 . 0 7 1 4 TTAXR 1 9 2 4 1 1 4 2 6 9 0 . 9 7 0 . 0 0 0 . 0 0 1 . 0 0 0 . 0 1 0 . 9 9 0 . 0 9 7 0 0 . 0 4 8 6 FCONR 1 9 6 8 6 0 3 1 8 0 . 9 6 0 . 0 0 0 . 0 0 1 . 0 0 0 . 0 2 0 . 9 8 0 . 0 9 3 5 0 . 0 4 6 8 MSR 1 9 1 1 5 3 9 1 8 7 0 . 9 8 0 . 0 0 0 . 0 3 0 . 9 7 0 . 0 8 0 . 9 2 0 . 0 6 4 0 0 . 0 3 2 0 I NF 1 9 7 8 . 1 4 4 1 0 . 8 3 0 . 0 0 0 . 0 3 0 . 9 7 0 . 2 1 0 . 7 9 0 . 4 5 0 4 0 . 2 4 4 2 TPOV 1 9 0 . 4 0 2 2 0 . 9 8 0 . 0 3 0 . 0 3 0 . 94 0 . 0 7 0 . 9 0 0 . 0 3 6 9 0 . 0 1 8 5 GDPT 1 9 1 . 8 0 9 7 E8 0 . 9 9 0 . 0 0 0 . 1 0 0 . 9 0 0 . 1 4 0 . 8 6 0 . 0 3 3 7 0 . 0 1 6 8 GDPA 1 9 1 . 8 0 9 7 E8 0 . 8 9 0 . 0 0 0 . 0 0 1 . 0 0 0 . 0 5 0 . 9 5 0 . 1 1 2 3 0 . 0 5 6 2


(6)

Th e SI MNLI N Pr o c e d u r e Si mu l t a n e o u s Si mu l a t i o n

So l u t i o n Ra n g e Ta h u n = 1 9 8 4 To 2 0 0 3

Th e i l Re l a t i v e Ch a n g e Fo r e c a s t Er r o r St a t i s t i c s

Re l a t i v e Ch a n g e MSE De c o mp o s i t i o n Pr o p o r t i o n s

Co r r Bi a s Re g Di s t Va r Co v a r I n e q u a l i t y Co e f Va r i a b l e N MSE ( R) ( UM) ( UR) ( UD) ( US) ( UC) U1 U

PROAR 1 8 0 . 0 0 3 5 7 0 . 9 1 0 . 0 0 0 . 0 2 0 . 9 8 0 . 0 0 1 . 0 0 0 . 3 8 2 1 0 . 1 9 3 2 I NVAR 1 8 0 . 0 1 1 3 0 . 8 2 0 . 0 2 0 . 1 9 0 . 7 9 0 . 0 3 0 . 9 6 0 . 6 0 5 5 0 . 2 9 2 3 LABA 1 8 0 . 0 0 2 1 0 0 . 7 6 0 . 1 9 0 . 1 0 0 . 7 1 0 . 3 9 0 . 4 1 0 . 7 5 6 3 0 . 4 3 2 9 PA 1 8 0 . 0 0 1 5 3 0 . 3 8 0 . 5 3 0 . 0 8 0 . 3 9 0 . 0 2 0 . 4 5 0 . 9 8 3 0 0 . 3 8 5 1 EXAR 1 8 0 . 0 1 9 7 0 . 6 7 0 . 0 0 0 . 1 0 0 . 9 0 0 . 0 1 0 . 9 9 0 . 7 5 4 9 0 . 3 9 1 5 I MAR 1 8 0 . 0 5 1 3 0 . 7 6 0 . 0 8 0 . 2 2 0 . 7 0 0 . 0 3 0 . 8 9 0 . 7 7 4 4 0 . 3 6 3 7 UPOV 1 8 0 . 0 1 2 0 0 . 9 2 0 . 0 1 0 . 2 6 0 . 7 3 0 . 4 6 0 . 5 3 0 . 4 4 5 3 0 . 2 6 2 8 RPOV 1 8 0 . 0 0 2 5 9 0 . 9 6 0 . 0 4 0 . 0 2 0 . 9 5 0 . 0 7 0 . 9 0 0 . 2 6 9 7 0 . 1 3 9 7 SPN 1 8 0 . 0 0 6 4 4 0 . 4 1 0 . 0 0 0 . 0 0 1 . 0 0 0 . 4 6 0 . 5 4 0 . 8 8 4 8 0 . 6 0 2 0 GEAR 1 8 0 . 1 2 0 1 0 . 6 7 0 . 0 1 0 . 0 2 0 . 9 7 0 . 0 9 0 . 9 1 0 . 7 3 5 3 0 . 4 1 4 0 GR 1 8 0 . 0 6 9 7 0 . 7 6 0 . 0 2 0 . 7 5 0 . 2 2 0 . 4 8 0 . 5 0 0 . 9 9 5 1 0 . 3 9 6 2 TTAXR 1 8 0 . 0 0 9 6 4 0 . 6 6 0 . 0 0 0 . 0 1 0 . 9 9 0 . 1 3 0 . 8 7 0 . 5 7 6 7 0 . 3 0 9 0 FCONR 1 8 0 . 0 1 0 6 0 . 8 2 0 . 0 0 0 . 0 1 0 . 9 9 0 . 0 5 0 . 9 5 0 . 5 5 7 6 0 . 2 9 6 7 MSR 1 8 0 . 0 0 6 5 2 0 . 7 5 0 . 0 0 0 . 0 4 0 . 9 6 0 . 0 3 0 . 9 7 0 . 5 7 7 2 0 . 2 9 9 2 I NF 1 8 0 . 5 9 5 0 0 . 8 7 0 . 0 0 0 . 0 2 0 . 9 7 0 . 0 1 0 . 9 8 0 . 4 7 9 7 0 . 2 4 7 6 TPOV 1 8 0 . 0 0 1 4 1 0 . 9 8 0 . 0 5 0 . 1 8 0 . 7 7 0 . 2 5 0 . 7 0 0 . 2 0 3 4 0 . 1 0 7 2 GDPT 1 8 0 . 0 0 0 7 3 6 0 . 9 3 0 . 0 0 0 . 0 5 0 . 9 5 0 . 1 6 0 . 8 4 0 . 3 0 0 0 0 . 1 5 8 2