Analisis Dampak Perubahan Alokasi Investasi Pemerintah Daerah terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kalimantan Barat

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN ALOKASI INVESTASI
PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PENGENTASAN
KEMISKINAN DI KALIMANTAN BARAT

MUROHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Dampak
Perubahan Alokasi Investasi Pemerintah Daerah terhadap Pengentasan
Kemiskinan di Kalimantan Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, April 2014

Murohman
NRP H151114164

RINGKASAN
MUROHMAN. Analisis Dampak Perubahan Alokasi Investasi Pemerintah Daerah
terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kalimantan Barat. Dibimbing oleh
MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL dan ALLA ASMARA.
Kalimantan Barat merupakan provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan
sebesar 8.07 persen dengan jumlah penduduk miskin sebesar 359.5 ribu jiwa pada
tahun 2012. Tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat lebih rendah dari rata-rata
nasional, namun tingkat kemiskinan dan jumlah absolut penduduk miskin di
Kalimantan Barat masih cukup tinggi dan lebih besar jika dibandingkan dengan
provinsi lain di Kalimantan. Selain itu penurunan tingkat kemiskinan mengalami
perlambatan dan mempunyai tendensi mengalami peningkatan. Pengentasan
kemiskinan perlu dipercepat karena kemiskinan menjadi beban sosial dan
ekonomi bagi pemerintah dan pemborosan sumber daya sehingga menimbulkan
inefisiensi dalam perekonomian. Trickle down effect merupakan fenomena

ekonomi dalam pembangunan untuk mencapai pemerataan pendapatan dan
mengurangi tingkat kemiskinan. Optimalisasi trickle down effect memerlukan
peran pemerintah dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Keterbatasan investasi pemerintah daerah dalam menstimulasi perekonomian
membuat pemerintah daerah harus mengefektifkan alokasi pengeluarannya untuk
mengurangi kemiskinan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak perubahan alokasi
investasi pemerintah daerah dalam mereduksi kemiskinan. Alat analisis yang
digunakan untuk mencapai tujuan dari penelitian adalah analisis pengganda
(multiplier analysis) Input Output yang dikembangkan oleh Miyazawa (1968).
Input Output Miyazawa digunakan untuk mengetahui dampak sosial perubahan
output pada distribusi pendapatan. Sedangkan analisis pengentasan kemiskinan
dalam penelitian ini mengadopsi indeks kemiskinan FGT (Foster-GreerThorbecke) yang didekomposisi sebagai dampak perubahan output sektor
ekonomi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan alokasi investasi
pemerintah daerah selama ini kurang efektif dalam mengentaskan kemiskinan di
Kalimantan Barat. Penurunan kemiskinan yang terjadi di Kalimantan Barat
cenderung sebagai akibat berlakunya mekanisme trickle down effect. Alokasi
investasi pemerintah daerah akan lebih efektif dalam mengentaskan kemiskinan
jika alokasi investasi berbasis kemiskinan. Alokasi investasi pemerintah lebih

efektif mempengaruhi laju penurunan kemiskinan jika dialokasikan lebih besar
pada sektor pertanian. Pengembangan sektor pertanian efektif mengurangi jumlah
penduduk miskin di Kalimantan Barat karena dapat menyerap tenaga kerja yang
banyak dan memberikan pendapatan bagi penduduk miskin. Investasi pada sektor
pertanian juga membuat jarak kemiskinan di pedesaan dan perkotaan tidak
semakin melebar. Peningkatan investasi swasta dan realokasi investasi pemerintah
daerah merupakan kebijakan yang diperlukan dengan memberikan prioritas
alokasi untuk pengembangan sektor pertanian.
Kata kunci: Kemiskinan, Investasi pemerintah daerah, Analisis dekomposisi
multiplier

SUMMARY
MUROHMAN. Analysis of the Change in Public Investment Allocation Effect to
Poverty Alleviation in Kalimantan Barat. Under direction of MANUNTUN
PARULIAN HUTAGAOL and ALLA ASMARA.
Kalimantan Barat Province has poverty rate of 8.07 percent with 359.5
thousand poor people in 2012. Although this poverty rate is below the national
rate but it still the highest among its surrounding provinces in Kalimantan,
especially in absolute poverty rate and number of poors. Furthermore, the
reduction of poverty rate become sluggish and tend to increase. Poverty

alleviation needs to be accelerated since it becomes a socio-economic burden for
the government and leads to an economic inefficiency. Trickle down effect
mechanism is an economic phenomena in the development process to reach
equitable income distribution and to reduce poverty. Optimization of the trickle
down effect requires the government's role in achieving inclusive growth. Limited
resources of local public investment in stimulating the economy make the
government have to effectively allocate its spending to reduce poverty.
This study aims to analyze the change of public investment policy to reduce
poverty. Tools of analysis used to achieve the goals in this study is multiplier
Input-Output analysis developed by Miyazawa (1968). The Miyazawa InputOutput is not only useful to analyze the linkage of industrial sectors but also
useful to observe the social impacts on income distribution. While the poverty
reduction analysis using poverty index FGT (Foster-Greer-Thorbecke) which
decomposed to find the impact of changes in output.
The study shows that the public investment allocation policy has been less
effective in reducing poverty in Kalimantan Barat. The decline of poverty tend to
be the result of the trickle down effect mechanism. Public investment allocation
will be more effective in alleviating poverty if it based on pro-poor investment
allocation. Public investment will be a lot effective if it is allocated mostly in
agriculture sector. Development in agricultural sectors can effectively reduce
poverty by providing more jobs and delivering income to the poors. It can also

reduce the gap between the urban and the rural poor. Improvement in private
investment and public investment reallocation are the necessary policy in term of
reducing poverty by giving more priority on agriculture improvement.
Keywords: Poverty, Public investment, Multiplier decomposition analysis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN ALOKASI INVESTASI
PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PENGENTASAN
KEMISKINAN DI KALIMANTAN BARAT

MUROHMAN


Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Heru Margono, MSc

Judul Tesis

:

Analisis Dampak Perubahan Alokasi Investasi Pemerintah
Daerah terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kalimantan Barat


Nama

:

Murohman

NRP

:

H151114164

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir M Parulian Hutagaol, MS
Ketua

Dr Alla Asmara, SPt, MSi

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 8 April 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil

diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pengentasan
kemiskinan, dengan judul Analisis Dampak Perubahan Alokasi Investasi
Pemerintah Daerah terhadap Pengentasan Kemiskinan di Kalimantan Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Manuntun Parulian
Hutagaol, MS, dan Bapak Dr Alla Asmara, SPt, MSi selaku pembimbing, serta
Bapak Dr Heru Margono, Msc dan Dr Lukytawati Anggraeni, SP, MSi yang telah
banyak memberikan saran. Di samping itu Penulis juga mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS
Provinsi Kalimantan Barat, dan Kepala BPS Kabupaten Landak yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program
Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB;
staf BPS Provinsi Kalimantan Barat dan BPS Kabupaten Landak yang telah
membantu selama pengumpulan data dalam penelitian ini; serta ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr Ir R Nunung
Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu
Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri penulis, Nur Asih
Kurniawati, SST beserta anak-anakku (Rizal, Fadil, dan Nabila) atas cinta,
kesabaran, do’a, serta dorongan semangatnya; orangtua dan mertua beserta
seluruh keluarga, atas segala doa dan dukungannya; serta untuk seluruh rekanrekan Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi kelas BPS Batch 4, terimakasih atas

masukan yang telah diberikan.
Semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua
pihak yang membutuhkan.

Bogor, April 2014
Murohman

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi


1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permasalahan
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
7
11
11
11

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Kemiskinan
Pengeluaran Pemerintah
Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi, Ketimpangan Pendapatan,
dan Kemiskinan
Peranan Pemerintah dalam Perekonomian dan Pengentasan
Kemiskinan
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian

12
12
12
13

3 METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Analisis Deskriptif
Analisis Input Output
Penyusunan Input Output Miyazawa
Konsumsi Rumah Tangga
Input Primer
Metode Analisis
Analisis Pengganda
Analisis Keterkaitan
Analisis Dampak
Analisis Pengentasan Kemiskinan
Simulasi Kebijakan

24
24
24
24
25
27
27
28
28
31
32
33
34

4 GAMBARAN UMUM
Kondisi Perekonomian Kalimantan Barat
Struktur Ekonomi
Ketenagakerjaan
Distribusi Pendapatan

36
36
36
38
38

14
17
20
22
23

Kondisi Kemiskinan Kalimantan Barat
Pengeluaran Pemerintah
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Peranan Sektor Ekonomi terhadap Perekonomian Kalimantan Barat
Peranan Sektor Ekonomi terhadap Output, Distribusi Pendapatan, dan
Penyerapan Tenaga Kerja
Keterkaitan Antar Sektor Ekonomi
Peranan Sektor Ekonomi terhadap Pengentasan Kemiskinan
Dampak Kebijakan Investasi Pemerintah Daerah terhadap Perekonomian
dan Pengentasan Kemiskinan

39
42
44
44
44
48
50
53

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

57
57
57

DAFTAR PUSTAKA

59

LAMPIRAN

62

RIWAYAT HIDUP

74

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16

Persentase Penduduk Miskin di Kalimantan 2007-2012
Persentase Pengangguran di Kalimantan 2008-2012
Upah Minimum Provinsi di Kalimantan 2009-2013
Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Penggunaan
Tahun 2008-2012 (persen)
Alokasi Belanja Modal dan Persentase Kemiskinan Menurut Sektor
Ekonomi di Kalimantan Barat 2009-2012
Model Input Output Miyazawa
Multiplier Effect Menurut Tipe Dampak
Distribusi PDRB Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2012
(persen)
Pertumbuhan PDRB Menurut Sektor Ekonomi Tahun 2008-2012
(persen)
Persentase Penduduk Umur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut
Lapangan Usaha Tahun 2007-2011
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, P1, P2, dan Garis
Kemiskinan di Kalimantan Barat 2002-2012
Persentase Penduduk Miskin Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi
yang Ditamatkan di Kalimantan Barat 2002-2011
Persentase Penduduk Miskin Menurut Status Pekerjaan di Kalimantan
Barat 2003-2011
Jumlah Pengeluaran Pemerintah Daerah
di Kalimantan Barat
menurut Jenis Belanja Tahun 2008-2013 (milyar rupiah)
Pengganda Output Sektor Ekonomi
Pengganda Pendapatan Rumah Tangga pada Sektor Ekonomi

2
4
5
6
9
26
29
36
37
38
40
41
42
43
44
46

17
18
19
20
21

Pengganda Tenaga Kerja pada Sektor Ekonomi (orang/milyar rupiah)
Keterkaitan ke Belakang (Backward Lingkage) dan ke Depan
(Forward Lingkage) Sektor-sektor Ekonomi
Rata-rata pendapatan penduduk dan elastisitas indeks kemiskinan
menurut wilayah di Kalimantan Barat
Perubahan indeks kemiskinan (P0, P1, dan P2) menurut tipe dampak
Dampak Investasi Pemerintah Terhadap Output, Tenaga Kerja,
Pendapatan Rumah Tangga, dan Indeks Kemiskinan

47
49
50
52
53

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8

Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Menurut Wilayah di
Kalimantan Barat
Perkembangan Realisasi Pengeluaran Pemerintah dan Tingkat
Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat 2002-2012
Kurva Kuznets “U-Terbalik”
Hubungan antara Kemiskinan, Tingkat Pendapatan Agregat dan
Distribusi Pendapatan
Pergeseran Kurva Aggregate Demand
Kerangka Pemikiran Penelitian
Dampak Permintaan Akhir terhadap Output dan Pendapatan Rumah
Tangga
Perkembangan Gini Rasio Antar Provinsi di Pulau Kalimantan Tahun
2007-2012

3
7
15
16
19
23
32
39

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan
Menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2012 (milyar rupiah)
Proporsi Pengeluaran Pemerintah Daerah di Kalimantan Barat
menurut Jenis Belanja Tahun 2008-2013 (persen)
Peningkatan Belanja Modal Pemerintah Daerah Menurut Sektor
Ekonomi di Kalimantan Barat (milyar rupiah)
Indeks Backward Lingkage dan Forward Lingkage
Tabel Input-Output Model Miyazawa Provinsi Kalimantan Barat
Tahun 2010 (juta rupiah)
Matrik Koefisien Langsung Model Miyazawa
Matrik Kebalikan Model Miyazawa
Perubahan insiden kemiskinan (P0) menurut tipe dampak dan wilayah
di Kalimantan Barat
Perubahan indeks kedalaman kemiskinan (P1) menurut tipe dampak
dan wilayah di Kalimantan Barat
Perubahan indeks keparahan kemiskinan (P2) menurut tipe dampak
dan wilayah di Kalimantan Barat

62
62
63
64
65
67
69
71
72
73

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan akhir dari setiap negara melaksanakan pembangunan adalah
menuju pada peningkatan kemakmuran masyarakat secara luas dan pemerataan
kesejahteraan. Kenaikan kesejahteraan masyarakat suatu negara salah satunya
dicerminkan melalui pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita masyarakat
yang tinggi. Pendapatan perkapita merupakan indikator yang sering digunakan
sebagai tolok ukur kinerja perekonomian secara keseluruhan walaupun tidak
menggambarkan kesejahteraan masyarakat secara utuh. Faktor penting yang
diabaikan dalam mengukur kesejahteraan dengan menggunakan pendapatan
perkapita adalah distribusi pendapatan, yaitu bagaimana keseluruhan pendapatan
yang diperoleh didistribusikan kepada masyarakat. Tidak meratanya distribusi
pendapatan memicu terjadinya ketimpangan pendapatan yang merupakan awal
munculnya masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan lebih
berarti jika diikuti oleh pemerataan hasil-hasil pembangunan.
Dudley Seers 1 mengangkat isu yang mendasar tentang arti pembangunan
ekonomi dengan mempertanyakan, apa yang terjadi dengan kemiskinan,
pengangguran, dan ketidakmerataan. Penurunan yang terjadi pada ketiga hal
tersebut menunjukkan adanya kinerja yang semakin membaik yang berarti
pembangunan ekonomi sedang terjadi pada suatu wilayah. Namun sebaliknya, jika
satu atau dua dari ketiga masalah tersebut kinerjanya semakin memburuk, maka
belum dapat dikatakan telah terjadi pembangunan ekonomi pada suatu wilayah,
sekalipun terjadi peningkatan pendapatan perkapita (Arsyad 2010). Kemiskinan
merupakan masalah pembangunan yang dihadapi oleh semua negara termasuk di
Indonesia. Pengentasan kemiskinan menjadi tujuan akhir dari sebuah proses
pembangunan sebagai bentuk pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat.
Pemberantasan kemiskinan dalam konteks negara kesatuan Republik
Indonesia telah diatur dengan tegas dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945
(UUD 1945) bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Namun
demikian dalam prakteknya kebijakan pemerintah belum mencerminkan
pelaksanaan amanat Undang-Undang Dasar, bahkan kebijakan pemerintah justru
menimbulkan dampak terjadinya kemiskinan struktural yang ditunjukkan oleh
adanya ketimpangan pendapatan yang semakin tinggi dalam masyarakat.
Kemiskinan dan ketimpangan mempunyai dampak sosial dalam kehidupan
masyarakat. Tingginya tingkat kejahatan/kriminal, kerusuhan, anak jalanan,
prostitusi dan perdagangan manusia, serta munculnya permukiman kumuh (slum
area) merupakan penyakit sosial yang dapat dipicu oleh adanya kemiskinan dan
ketimpangan di masyarakat. Selain itu kemiskinan menunjukkan adanya
inefisiensi dalam perekonomian. Sumberdaya yang ada belum digunakan secara
maksimal dalam perekonomian, yang ditunjukkan oleh adanya pengangguran dan
pemberian upah yang rendah pada tenaga kerja.

1

Dudley Seers (1920-1983), direktur Institute of Development Studies University of Sussex, UK
(1967-1972) dalam kritiknya mempertanyakan pendekatan neoklasik dalam pembangunan dengan
memberikan perhatian lebih besar dalam pembangunan sosial dibanding hanya pendekatan
pertumbuhan ekonomi.

2

Ketimpangan pendapatan atau perbedaan pendapatan yang terjadi antara
penduduk miskin dan non miskin dapat dikurangi melalui mekanisme penetesan
ke bawah (trickle down effect) hasil pembangunan. Mekanisme ini akan
memberikan keseimbangan baru dalam pemerataan pendapatan yang diperoleh
dalam perekonomian. Peningkatan pendapatan dalam perekonomian dapat
diwujudkan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, sedangkan pemerataan
pendapatan terwujud jika pertumbuhan ekonomi didistribusikan secara merata
kepada pemilik faktor produksi. Pengentasan kemiskinan dilakukan bukan hanya
menjaga pertumbuhan ekonomi tetap tinggi, namun juga komposisi dari
pertumbuhan ekonomi sehingga memberikan manfaat dalam mengurangi jumlah
penduduk miskin (pro poor growth).
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
mempunyai letak strategis. Wilayah daratnya berbatasan langsung dengan negara
Malaysia yang sudah memiliki pintu perbatasan antarnegara yang resmi.
Sedangkan wilayah lautnya dilintasi oleh pelayaran perdagangan internasional.
Kondisi demikian membuat Kalimantan Barat memiliki keunggulan secara
geografis, namun di sisi lain kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat
masih tertinggal dengan daerah lain.
Tabel 1 Persentase Penduduk Miskin di Kalimantan 2007-2012
Tahun
Provinsi
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Kalimantan Barat
12.91
11.07
9.30
9.02
8.60
8.07
Kalimantan Tengah
9.38
8.71
7.02
6.77
6.56
6.35
Kalimantan Selatan
7.01
6.48
5.12
5.21
5.29
5.04
Kalimantan Timur
11.04
9.51
7.73
7.66
6.77
6.53
Indonesia
16.58
15.42
14.15
13.33
12.49
11.81
Sumber: BPS 2013 (diolah)
Tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat sebesar 8.07 persen dengan
jumlah penduduk miskin sebesar 359.5 ribu jiwa pada tahun 2012. Kemiskinan di
Kalimantan Barat masih cukup tinggi walaupun bukan yang terburuk. Tingkat
kemiskinan di Kalimantan Barat lebih rendah dari rata-rata nasional sebesar 11.81
persen, namun demikian tingkat kemiskinan dan jumlah absolut penduduk miskin
di Kalimantan Barat masih cukup tinggi dan lebih besar jika dibandingkan dengan
provinsi lain di Kalimantan (BPS 2013a). Pada tahun 2012 persentase penduduk
miskin di Kalimantan Barat masih lebih tinggi daripada provinsi Kalimantan
Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur berturut-turut sebesar 6.35%,
5.04%, dan 6.53%. Selain masih tingginya jumlah penduduk miskin di
Kalimantan Barat penurunan tingkat kemiskinan mengalami perlambatan dan
mempunyai tendensi mengalami peningkatan 2. Pada tahun 2009 penurunan
kemiskinan di Kalimantan Barat mulai mengalami perlambatan.

2

Persentase penduduk miskin di Kalimantan Barat pada bulan Maret 2013 sebesar 8,24 persen,
mengalami kenaikan sebesar 0,07 persen dibandingkan kemiskinan bulan Maret 2012 (Berita
Resmi Statistik No. 39/07/61Th. XVI, 1 Juli 2013).

3

16
14
12
Persen

10
8
6
4
2
0
2007

2008
Kota

2009

2010
2011
Tahun
Desa
Kota+Desa

2012

Sumber: BPS 2013 (diolah)
Gambar 1 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Menurut Wilayah di
Kalimantan Barat
Kemiskinan dapat ditimbulkan oleh kebijakan yang bias. Jumlah penduduk
miskin di daerah pedesaan masih cukup banyak dibandingkan dengan daerah
perkotaan. Pada tahun 2012 persentase penduduk miskin yang tinggal di pedesaan
sebesar 9.08% atau sebanyak 282 ribu jiwa penduduk miskin berada di pedesaan,
sedangkan persentase penduduk miskin yang tinggal di perkotaan sebesar 5.74%
atau sebanyak 77 ribu jiwa penduduk miskin berada di perkotaan. Selama periode
2007-2012 kemiskinan di perkotaan mengalami penurunan yang lebih cepat
daripada di pedesaan. Tingginya tingkat kemiskinan di pedesaan disebabkan
kebijakan pembangunan bias perkotaan dan sektor industri, sementara alokasi
anggaran sektor pertanian menurun drastis (Sajogyo 2002). Kebijakan ini dinilai
keliru karena memarginalkan hak masyarakat dan menumbuhkan kantongkantong kemakmuran masyarakat perkotaan di tengah kemiskinan masyarakat
pedesaan (Sudaryanto dan Rusastra 2006).
Kemiskinan besifat multidimensional dan memiliki banyak aspek. Dimensi
kemiskinan termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air perumahan yang
sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah
(Arsyad 2010). Kualitas pemenuhan kebutuhan hidup yang rendah tersebut
merupakan cerminan dari rendahnya daya beli masyarakat. Daya beli yang rendah
berarti tingkat konsumsi penduduk masih dibawah garis kemiskinan yang
membedakannya antara golongan penduduk miskin dan tidak miskin. Konsumsi
barang dan jasa sangat ditentukan oleh pendapatan yang diperoleh penduduk.
Semakin tinggi pendapatan yang diperoleh maka semakin tinggi kesempatan
untuk terlepas dari kemiskinan. Rendahnya daya beli yang dialami oleh penduduk
miskin karena mereka tidak memiliki pendapatan atau pendapatan yang diperoleh
masih rendah.
Rumah tangga miskin erat kaitannya dengan pendapatan tenaga kerja, dan
pendapatan tenaga kerja tergantung pada struktur umur, tingkat partisipasi
angkatan kerja, status pekerjaan, dan tingkat upah (Lipton dan Ravallion 1993).
Partisipasi angkatan kerja dalam menciptakan pendapatan dapat dilihat dari

4

jumlah penduduk yang bekerja, sedangkan penduduk yang tidak mempunyai
pendapatan terlihat dari tingkat pengangguran dalam angkatan kerja.
Pengangguran merupakan salah satu indikasi kemiskinan dalam rumah tangga.
Tabel 2 Persentase Pengangguran di Kalimantan 2008-2012
Provinsi
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Indonesia
Sumber: BPS 2013 (diolah)

2008
5.95
4.69
6.55
11.26
8.43

2009
5.54
4.58
6.56
10.96
8.01

2010
5.06
4.01
5.57
10.28
7.28

2011
4.43
3.10
5.43
10.03
6.68

2012
3.42
2.94
4.79
9.10
6.23

Tingginya angka pengangguran tidak hanya menimbulkan masalahmasalah di bidang ekonomi, melainkan juga menimbulkan berbagai masalah di
bidang sosial, seperti kemiskinan dan kerawanan sosial. Persentase pengangguran
di Kalimantan Barat pada tahun 2012 sebesar 3.42 persen atau mengalami
penurunan sebesar 1.01 persen dibandingkan keadaan tahun sebelumnya yang
besarnya 4.43 persen. Secara umum selama periode 2008-2012 tingkat
pengangguran di Kalimantan Barat telah mengalami penurunan sebesar 2.53
persen atau mengalami penurunan rata-rata 0.51 persen pertahun. Selama periode
2008-2012 tingkat pengangguran di berbagai provinsi di Kalimantan secara umum
mengalami penurunan. Penurunan terbesar terjadi di Provinsi Kalimantan Barat
dan terendah di Provinsi Kalimantan Tengah. Tingkat penganguran di Kalimantan
Barat jika dibandingkan dengan provinsi lain di Kalimantan dan Indonesia sudah
cukup rendah 3 dimana pada tahun 2012 nilainya hanya diatas Provinsi Kalimantan
Tengah. Kalimantan Barat memiliki tingkat pengangguran yang rendah dan
tingkat kemiskinan yang tinggi jika dibandingkan dengan provinsi lain di
Kalimantan. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar tenaga kerja bekerja pada
sektor pertanian yang melibatkan hampir seluruh anggota keluarga dengan
penghasilan yang rendah dan tidak mencukupi kebutuhan keluarga, sehingga
walaupun tingkat penganguran rendah namun mereka tetap miskin (Yakoub
2012). Walaupun tingkat pengangguran cukup rendah namun upaya dalam
mengurangi jumlah pengangguran masih menjadi solusi yang efektif dalam
mengurangi jumlah penduduk miskin di Kalimantan Barat.
Faktor lain yang berhubungan dengan tingkat kemiskinan adalah balas jasa
faktor yang diperoleh pekerja dalam proses produksi. Rendahnya upah yang
diterima oleh para pekerja membuat rumah tangga rentan terhadap kemiskinan
begitu juga sebaliknya. Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat

3

Pada perekonomian yang berfluktuasi tingkat pengangguran tidak pernah mendekati nol, asumsi
bahwa perekonomian selalu menyerap tenaga kerja sepenuhnya (full employment) pada
kenyataannya menghadapai masalah pengangguran. Tingkat pengangguran alamiah pada negara
maju rata-rata antara 5–6% (Mankiw 2007).

5

besaran upah yang diterima oleh para pekerja adalah Upah Minimum Provinsi
(UMP) 4.
Tabel 3 Upah Minimum Provinsi di Kalimantan 2009-2013 (rupiah)
Tahun
Provinsi
2009
2010
2011
2012
2013
Kalimantan Barat

705 000

741 000

802 500

900 000 1 060 000

Kalimantan Tengah

873 089

986 500 1 134 580 1 327 459 1 553 127

Kalimantan Selatan

930 000 1 024 500 1 126 000 1 225 000 1 337 500

Kalimantan Timur
955 000 1 002 000 1 084 000 1 177 000 1 762 073
Sumber: Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2013 (diolah)
Setiap tahun UMP mengalami perubahan yang besarnya ditentukan
melalui kesepakatan antara kelompok pengusaha dengan buruh dalam Dewan
Pengupahan yang berada di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Selama
periode 2009-2013 UMP Kalimantan Barat yang ditetapkan dalam Dewan
Pengupahan mengalami peningkatan dari sebesar Rp. 750 ribu menjadi Rp. 1 060
ribu. Kenaikan upah minimum ini seiring dengan naiknya Kebutuhan Hidup
Layak (KHL) dari penduduk di Kalimantan Barat. Selama tahun 2009-2013
Kalimantan Barat merupakan provinsi dengan UMP terendah jika dibandingkan
dengan provinsi lain di Kalimantan. Provinsi Kalimantan Timur merupakan
provinsi dengan UMP tertinggi diantara provinsi lain di Kalimantan yaitu sebesar
Rp. 1 762 ribu pada tahun 2013. UMP yang rendah merupakan cerminan
rendahnya tingkat upah atau balas jasa faktor bagi buruh atau tenaga kerja pada
sektor formal. Selain tingkat upah pekerja formal yang rendah struktur
ketenagakerjaan di Kalimantan Barat yang didominasi oleh penduduk yang
bekerja di sektor pertanian membuat balas jasa faktor yang diterima dalam rumah
tangga menjadi rendah. Sektor pertanian merupakan sektor ekonomi dengan
proses produksi yang dilakukan secara tradisional dengan lahan yang terbatas.
Sebagian besar pekerja di pertanian berstatus bekerja sendiri atau dibantu oleh
pekerja keluarga yang membantu kepala keluarga untuk memperoleh pendapatan.
Hal ini membuat produktifitas dan pendapatan yang diperoleh rumah tangga
pertanian menjadi rendah. Rendahnya pendapatan yang akan diterima oleh para
pekerja membuat daya beli pekerja menjadi rendah. Kondisi demikian
menyebabkan rumah tangga dengan pendapatan yang rendah rentan terhadap
kemiskinan.
Upaya peningkatan pendapatan dalam rumah tangga dapat dilakukan
melalui peningkatan balas jasa faktor baik dalam bentuk upah maupun surplus
usaha dalam rumah tangga. Peningkatan balas jasa faktor dalam bentuk upah
tenaga kerja pada sektor formal tergantung pada kesepakatan penetapan upah.
Namun kebijakan menaikkan upah minimum justru akan mengakibatkan
pengurangan total penyerapan tenaga kerja sektor formal (SMERU 2002).
4

Beberapa kajian telah menunjukkan bahwa kebijakan upah minimum tidak hanya berdampak
pada upah pekerja dengan tingkat upah disekitar upah minimum, tetapi juga berdampak pada
seluruh distribusi upah (SMERU 2002).

6

Tuntutan terhadap peningkatan upah sering mengakibatkan adanya pemutusan
hubungan kerja (PHK) sebagai akibat kemampuan bayar dari perusahaan yang
rendah. Tanpa adanya peningkatan produksi perusahaan dituntut untuk
meningkatkan upah pekerja. PHK hanya akan menambah jumlah pengangguran
dan mengurangi jumlah pendapatan yang diperoleh rumah tangga. Peningkatan
upah dan surplus usaha dalam rumah tangga dapat dilakukan melalui peningkatan
produksi. Peningkatan produksi akan meningkatkan balas jasa faktor yang
merupakan nilai tambah dalam produksi. Peningkatan nilai tambah berarti terjadi
pertumbuhan ekonomi. Pengembangan sektor ekonomi diperlukan sebagai upaya
peningkatan pendapatan yang akan diperoleh rumah tangga.
Tabel 4 Distribusi PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Penggunaan Tahun
2008-2012 (persen)
Jenis Pengeluaran
Konsumsi Rumahtangga
Konsumsi Lembaga Swasta Nirlaba
Konsumsi Pemerintah
PMTB
Perubahan Stok
Ekspor Barang dan Jasa
Impor Barang dan Jasa
Jumlah
Pertumbuhan Ekonomi

2008

2009

2010

2011

2012

51.72
0.93
12.15
26.66
2.36
34.85
28.67
100.00
5.45

53.19
0.95
12.62
26.62
1.39
31.09
25.86
100.00
4.80

53.88
0.94
12.93
26.77
1.42
31.74
27.67
100.00
5.47

53.59
0.94
12.45
27.16
1.66
34.12
29.92
100.00
5.97

52.91
0.96
12.44
28.07
3.65
30.71
28.73
100.00
5.83

Sumber: BPS 2013c
Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi jika terdapat peningkatan permintaan
agregat terhadap produksi barang dan jasa. Komponen permintaan agregat terdiri
atas konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan ekspor barang
dan jasa. Peningkatan permintaan produksi barang dan jasa pada sektor ekonomi
berakibat pertumbuhan pada sektor ekonomi tersebut dan sektor ekonomi lain
yang berhubungan dalam proses produksinya.
Permintaan akhir terhadap produksi barang dan jasa dibedakan menjadi
permintaan akhir dalam dan luar wilayah Kalimantan Barat. Permintaan akhir
dalam wilayah (domestik) terdiri dari pengeluaran konsumsi rumah tangga dan
lembaga nirlaba, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto (PMTB),
serta perubahan stok (inventori), sedang permintaan akhir yang berasal dari luar
wilayah berupa ekspor. Selama periode 2008-2012 PDRB berdasarkan
pengeluaran tidak mengalami perubahan struktur. Pengeluaran konsumsi rumah
tangga masih menjadi penyumbang utama dalam pengeluaran PDRB. Selama
periode 2008-2011 kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap PDRB mengalami
peningkatan dari sebesar 51.72 persen menjadi sebesar 53.59 persen, namun pada
tahun 2012 kontribusinya telah mengalami penurunan. Kontribusi pengeluaran
pada pembentukan PDRB yang cukup besar juga terjadi pada PMTB dan
pengeluaran konsumsi pemerintah masing-masing sebesar 28.07 persen dan 12.44
persen pada tahun 2012. PMTB sebagai bentuk investasi baik yang dilakukan
pemerintah dan swasta selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan
kontribusi dari sebesar 26.66 persen pada tahun 2008 menjadi sebesar 28.07
persen pada tahun 2012. Penurunan terbesar kontribusi pembentukan PDRB
terjadi terhadap ekspor produksi barang dan jasa ke luar wilayah. Selama periode

7

2008-2012 ekspor di Kalimantan Barat mengalami penurunan dari sebesar 34.85
persen pada tahun 2008 menjadi sebesar 30.71 persen pada tahun 2012.
Penurunan kontribusi ekspor ini juga diikuti oleh pertumbuhan ekspor yang
negatif pada tahun 2009 dan 2012 (BPS 2013c). Penurunan ini berkaitan dengan
permintaan ekspor, khususnya komoditas hasil perkebunan, seperti sawit dan karet
serta pertambangan batu bara yang terkena dampak pelemahan di pasar dunia 5.
Menurut Nasoetion (1993) kemiskinan dalam sudut pandang ekonomi
merupakan cermin dari rendahnya permintaan agregat (agregat demand).
Permintaan agregat yang rendah akan mengurangi insentif untuk mengembangkan
produksi dan pendapatan tenaga kerja sebagai balas jasa faktor produksi.
Penurunan kemiskinan terjadi jika terdapat pertumbuhan ekonomi, namun
demikian besarnya penurunan kemiskinan ditentukan oleh komposisi
pertumbuhan sektor ekonomi dimana penduduk miskin terbesar berada (Ravallion
dan Datt 2002). Pertumbuhan ekonomi sektoral ditentukan oleh komposisi
sektoral dari permintaan agregat. Pengeluaran pemerintah merupakan satu-satunya
komponen permintaan agregat yang dapat digunakan untuk mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada penduduk miskin (pro poor growth).
Pemerintah secara langsung dapat mengontrol komposisi pengeluarannya untuk
mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian yang tumbuh pesat.
14.000

0

12.000

2
4
6

8.000

8

6.000

10

Persen

Miliar Rp.

10.000

12

4.000

14
2.000

16

0

18

Tahun
Pengeluaran Pemerintah

Tingkat Kemiskinan

Sumber: DJPK dan BPS 2013 (diolah)
Gambar 2 Perkembangan Realisasi Pengeluaran Pemerintah dan Tingkat
Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Barat 2002-2012
Pada kondisi perekonomian yang relatif stabil pengeluaran pemerintah
mempunyai hubungan yang berlawanan arah dengan tingkat kemiskinan
(Mehmood dan Sadiq 2010). Peningkatan pengeluaran pemerintah akan diikuti
oleh penurunan tingkat kemiskinan. Selama periode 2002-2012 pengeluaran
5

Dr Ir Lukita Dinarsyah Tuwo MA, Wakil Menteri Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas
dalam Musyawarah Pembangunan Provinsi Kalbar, di Grand Mahkota Hotel Pontianak, Kamis, 11
April 2013 (www.equator-news.com).

8

pemerintah daerah Kalimantan Barat mengalami peningkatan dari sebesar 2.41
triliun rupiah menjadi sebesar 13.26 triliun rupiah (DJPK 2013) dan tingkat
kemiskinan mengalami penurunan dari sebesar 15.46 persen menjadi sebesar 8.07
persen (BPS 2013). Tingkat kemiskinan di Kalimantan Barat selama periode
2002-2012 mengalami penurunan, namun demikian pola penurunan tingkat
kemiskinan mengalami perlambatan. Hal ini menunjukkan biaya pengentasan
kemiskinan di Kalimantan Barat semakin mahal atau manfaat pengeluaran
pemerintah dalam mengurangi jumlah penduduk miskin semakin berkurang.
Biaya pengentasan kemiskinan yang semakin mahal mengindikasikan sumberdaya
yang dimiliki oleh pemerintah daerah belum banyak digunakan untuk
menciptakan program-program yang berkaitan dengan pengurangan kemiskinan.
Permasalahan
Pengentasan kemiskinan di Indonesia dapat dilakukan melalui tiga cara,
yaitu membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi rakyat miskin, membuat
layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin, dan membuat pengeluaran
pemerintah bermanfaat bagi rakyat miskin (World Bank 2006). Perlambatan
penurunan kemiskinan merupakan indikasi terjadinya kemiskinan yang kronis
(cronic poverty). Kemiskinan kronis membutuhkan kebijakan pengentasan
kemiskinan yang berbeda dengan kemiskinan yang bersifat sementara (transient
poverty). Pengentasan kemiskinan kronis bukan sekedar pemberian bantuan sosial,
baik dalam bentuk bantuan tunai (BLT dan PKH) maupun subsidi bagi penduduk
miskin (BOS, Raskin, dan Jamkesmas) yang akan membebani pemerintah dalam
bentuk pengeluaran non produktif. Upaya pengentasan kemiskinan pada kondisi
ini yaitu dengan memperbaiki dan meningkatkan pendapatan bagi penduduk
miskin secara berkelanjutan (sustainable) melalui pertumbuhan ekonomi yang
berkeadilan (inclusive growth).
Sejak lama pemerintah mengandalkan mekaniskme trickle down effect
dalam mengurangi kemiskinan, dimana pemerintah memacu pertumbuhan
ekonomi dengan harapan dapat mengurangi kemiskinan melalui peningkatkan
pendapatan. Pertumbuhan ekonomi salah satunya dipengaruhi oleh investasi baik
oleh swasta maupun oleh pemerintah. Investasi yang dilakukan oleh pemerintah
tidak secara langsung dapat menurunkan kemiskinan. Investasi merupakan
penggerak pertumbuhan ekonomi dan adanya pertumbuhan ekonomi merupakan
peningkatan pendapatan bagi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang
memberikan dampak terhadap kemiskinan dipengaruhi oleh komposisi
pertumbuhan sektoral. Pertumbuhan pada sektor ekonomi dimana penduduk
miskin terkonsentrasi akan memberikan dampak pengurangan kemiskinan yang
lebih besar daripada pertumbuhan sektor ekonomi lainnya (Ames et al. 2001)
sehingga pemerintah harus menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi yang
dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat, termasuk penduduk miskin (pro
poor growth) (Mawardi dan Sumarto 2003).
Pelaksanaan Otonomi Daerah telah memberi kebebasan kepada
pemerintah daerah dalam mengalokasikan anggarannya untuk kepentingan
pembangunan daerah. Kebijakan fiskal merupakan salah satu instrumen penting
untuk mencapai kestabilan makroekonomi. Pengeluaran pemerintah diharapkan
dapat memberikan stimulasi pada pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan

9

produksi, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan menjadi lebih
merata dan mengurangi masalah pembangunan yaitu pengangguran dan
kemiskinan. Sudah menjadi konsensus bersama bahwa pertumbuhan menjadi
syarat yang diperlukan (necesarry condition) untuk menurunkan kemiskinan,
namun belum menjadi syarat kecukupan (sufficient condition). Pertumbuhan
ekonomi yang berdiri sendiri ibarat pisau yang akan berkurang ketajaman atau
manfaatnya bagi pengentasan kemiskinan (Kakwani et al. 2004). Pengentasan
kemiskinan akan mampu berjalan lebih efektif jika pertumbuhan yang dihasilkan
diimbangi dengan kebijakan redistribusi pendapatan, aset, kekayaan serta
ketrampilan yang akan membawa pada kondisi distribusi yang lebih merata
(Bourguignon 2004).
Pemerintah mempunyai peran dalam pertumbuhan ekonomi dengan
mempengaruhi proses produksi sektor ekonomi melalui investasi pemerintah.
Belanja modal merupakan bentuk investasi pemerintah yang secara langsung
dapat digunakan untuk mengembangkan sektor ekonomi. Setiap tahun belanja
modal pemerintah mengalami peningkatan namun proporsi belanja modal
pemerintah daerah terhadap seluruh pengeluaran pemerintah Kalimantan Barat
selama tahun 2009-2012 mengalami penurunan. Belanja modal pemerintah daerah
sebagian besar digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan pengembangan
sektor jasa lainnya dengan rata-rata sebesar 14.29% dan 8.61% selama 2009-2012.
Peningkatan alokasi belanja modal dan besarnya proporsi belanja modal dalam
periode tersebut merupakan cermin dari besarnya perhatian pemerintah terhadap
pembangunan infrastruktur. Selain dimaksudkan untuk meningkatkan akses
masyarakat terhadap pelayanan dasar, alokasi belanja modal yang besar pada
pembangunan infrastruktur juga dimaksudkan untuk dapat mendukung dan
mendorong pertumbuhan ekonomi, menekan inflasi, serta mendorong distribusi
barang.
Tabel 5 Alokasi Belanja Modal dan Persentase Kemiskinan Menurut Sektor
Ekonomi di Kalimantan Barat 2009-2012
Belanja Modal (%)
Sektor Ekonomi
Pertanian
Pertambangan
Industri
Listrik, Gas, Air
Minum
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi dan
Komunikasi
Keuangan dan Jasa
Jasa Lainnya
Total

Kemiskinan (%)

2009

2010

2011

2012

1.59
0.06
0.02

1.21
0.18
0.00

1.63
0.14
0.05

1.20
0.14
0.00

Ratarata
1.41
0.13
0.02

2009

2010

2011

2012

7.58
0.34
0.23

7.61
0.32
0.60

6.72
0.15
0.20

5.90
0.33
0.36

Ratarata
6.95
0.29
0.35

0.00
16.59
0.21

0.00
14.66
0.12

0.00
13.75
0.14

0.00
12.16
0.19

0.00
14.29
0.17

0.00
0.42
0.36

0.00
0.28
0.11

0.00
0.89
0.24

0.00
0.78
0.18

0.00
0.59
0.22

0.77
0.04
9.28
28.58

1.05
0.04
7.57
24.83

0.66
0.04
8.05
24.46

0.42
0.24
9.53
23.88

0.73
0.09
8.61
25.44

0.02
0.00
0.36
9.30

0.04
0.00
0.07
9.02

0.05
0.00
0.34
8.60

0.19
0.00
0.32
8.07

0.07
0.00
0.27
8.75

Sumber: DJPK dan BPS 2013(diolah)
Pemerintah daerah memerlukan informasi kemiskinan menurut sektor
ekonomi untuk membuat kebijakan investasi yang berbasis kemiskinan. Kebijakan

10

investasi berbasis kemiskinan digunakan untuk mempercepat program
pengentasan kemiskinan sebagai usaha optimalisasi trickle down effect. Jika
dibandingkan dengan proporsi penduduk miskin menurut sektor lapangan usaha,
proporsi belanja modal pada sektor dimana penduduk miskin paling banyak
berada masih relatif kecil dimana belanja modal untuk pertanian rata-rata hanya
sebesar 1.41% selama 2009-2012. Pertanian menjadi sektor yang diharapkan
mampu mengurangi tingkat kemiskinan, tetapi alokasi anggaran untuk sektor
pertanian masih sangat kecil. Salah satu karakteristik penduduk miskin secara
spesifik sebagian besar tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian dominan
berusaha sendiri di sektor pertanian (Pasaribu 2006) dan pengembangan sektor
pertanian menjadi sangat penting dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan
(Yudhoyono 2004, Datt dan Ravallion 1996, serta Matsuyama 1992).
Pertumbuhan ekonomi, perluasan kesempatan kerja, dan pengentasan
kemiskinan, dapat terwujud dengan peningkatan belanja pemerintah. Di sisi lain
anggaran belanja modal pemerintah daerah Kalimantan Barat, selain mengalami
masalah kurangnya anggaran, juga terdapat masalah alokasi anggaran yang
terindikasi belum tepat untuk mengurangi kemiskinan (pro poor budgeting).
Komposisi pengeluaran pemerintah menjadi
instrumen penting dalam
pembangunan ekonomi (Paternostro et al. 2007), hal ini berarti bahwa realokasi
belanja pemerintah antar sektor dan atau sektor-sektor ekonomi berpotensi untuk
peningkatan pertumbuhan dan perluasan kesempatan kerja (BKF 2010) sehingga
usaha untuk menurunkan kemiskinan dapat dicapai. Struktur ekonomi dan pola
pertumbuhan sektor ekonomi menjadi tantangan bagi pemerintah untuk
menentukan kebijakan makroekonomi (sosial dan sektoral) yang mendorong
pengurangan kemiskinan (Dewbre et al. 2011).
Pengentasan kemiskinan perlu dipercepat karena menjadi beban ekonomi
bagi pemerintah dan pemborosan sumber daya (tenaga kerja) sehingga
menimbulkan inefisiensi dalam perekonomian. Keterbatasan anggaran membuat
pemerintah daerah kesulitan dalam ekspansi fiskal dan menentukan strategi
pembangunan, padahal tingkat kemiskinan masih cukup tinggi dan mengalami
perlambatan. Komposisi dan pertumbuhan output sektor ekonomi merupakan
determinan penting dalam pengurangan kemiskinan (Lipton dan Ravallion 1993),
sehingga informasi tentang sektor ekonomi yang efektif dalam mengurangi
kemiskinan diperlukan sebagai dasar perencanaan dan realokasi investasi
pemerintah daerah.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana investasi
pemerintah daerah dalam bentuk belanja modal mampu mereduksi kemiskinan,
melalui dinamika pertumbuhan output, penyerapan tenaga kerja, dan distribusi
pendapatan dalam perekonomian Kalimantan Barat. Berdasarkan uraian diatas,
pokok permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakah kebijakan alokasi investasi pemerintah daerah selama ini sudah efektif
dalam mengentaskan kemiskinan di Kalimantan Barat.
2. Bagaimana strategi alokasi investasi pemerintah daerah yang lebih efektif
dalam mengentaskan kemiskinan di Kalimantan Barat.

11

Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengkaji efektifitas alokasi investasi pemerintah daerah selama ini terhadap
pengentasan kemiskinan di Kalimantan Barat.
2. Mengkaji strategi alokasi investasi pemerintah daerah yang lebih efektif dalam
pengentasan kemiskinan di Kalimantan Barat.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat.
Pertama, bagi pengambil kebijakan di tingkat pemerintahan daerah, dengan
mengetahui pengaruh perubahan output sektor ekonomi terhadap kemiskinan
dapat menjadi landasan dalam perumusan kebijakan sektoral dalam pembangunan
ekonomi yang berpihak pada golongan rumah tangga miskin. Selain itu
diharapkan dari hasil penelitian ini pemerintah daerah dapat mengambil langkahlangkah untuk dapat meminimalisasi dampak buruk akibat permintaan akhir
berupa investasi pemerintah terhadap perekonomian daerah secara keseluruhan.
Kedua, bagi peneliti lain, diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi bagi
penelitian sejenis mengenai permasalahan kemiskinan.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup analisis dalam penelitian mencakup dua hal. Pertama,
mengkaji efektifitas alokasi investasi pemerintah daerah selama ini terhadap
pengentasan kemiskinan. Kedua, mengkaji alokasi investasi pemerintah daerah
yang lebih efektif dalam pengentasan kemiskinan. Pengeluaran pemerintah untuk
investasi dapat dikelompokkan menjadi pengeluaran investasi produktif yang
bersifat langsung dan tidak langsung. Investasi pemerintah daerah yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah investasi pemerintah yang bersifat langsung
berupa belanja modal. Sedangkan investasi pemerintah yang bersifat tidak
langsung seperti pengeluaran untuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia
tidak dicakup dalam penelitian ini. Pengeluaran investasi pemerintah yang
diidentikkan dengan belanja modal tidak hanya ditujukkan oleh belanja modal itu
sendiri, tetapi mempunyai pengertian yang lebih luas. Penggunaan data belanja
modal pemerintah daerah sebagai bentuk investasi pemerintah daerah berdasarkan
pada ketersediaan data investasi pemerintah pada sektor ekonomi di provinsi
Kalimantan Barat. Pemerintahan daerah dan wilayah yang menjadi penelitian
adalah pemerintahan daerah tingkat I dan II di Provinsi Kalimantan Barat yang
terdiri dari 14 kabupaten/kota.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Kemiskinan
Pada tahun 1990, World Bank mendefinisikan kemiskinan sebagai
ketidakmampuan dalam memenuhi standar hidup minimal. Kemudian pada tahun
tahun 2004, World Bank menguraikan kembali definisi kemiskinan secara lebih
detail yaitu:
“Kemiskinan adalah kelaparan. Kemiskinan adalah ketiadaan tempat
tinggal. Kemiskinan adalah sakit dan tidak mampu untuk periksa ke
dokter. Kemiskinan adalah tidak mempunyai akses ke sekolah dan tidak
mengetahui bagaimana caranya membaca. Kemiskinan adalah tidak
mempunyai pekerjaan dan khawatir akan kehidupan di masa yang akan
datang. Kemiskinan adalah kehilangan anak karena penyakit yang
disebabkan oleh air yang tidak bersih. Kemiskinan adalah
ketidakberdayaan, ketiadaaan keterwakilan dan kebebasan”.
Tidak jauh berbeda dengan definisi World Bank, UNDP juga
mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi kekurangan pendapatan dan kesulitan
ekonomi. Namun, kemiskinan juga dipandang sebagai suatu keadaan dimana
kurangnya akses terhadap pendidikan, kesehatan atau air minum yang bersih, atau
untuk mempengaruhi proses politik dan faktor lainnya yang penting bagi manusia.
Dengan kata lain, UNDP memandang kemiskinan sebagai suatu masalah
multidimensi yaitu tidak hanya terbatas pada kekurangan pendapatan dan sumber
daya ekonomi.
Definisi kemiskinan lainnya juga dapat didasari pada jenis kemiskinan
secara konseptual yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan
absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar (Todaro 2006). Kemiskinan secara
absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan seseorang untuk mendapatkan
sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok minimum seperti
pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk
bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran
finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut
dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Dengan demikian, maka penduduk
dikatakan miskin secara absolut jika pendapatannya di bawah garis kemiskinan.
Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif didefinisikan
sebagai kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum
mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan
ketimpangan distribusi pendapatan (BPS 2009). Standar minimum disusun
berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian
terfokus pada golongan penduduk “termiskin”, misalnya 20 persen atau 40 persen
lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan
atau pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan
demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi
pendapatan/pengeluaran penduduk sehingga dengan menggunakan definisi ini
berarti “orang miskin selalu hadir bersama kita”. Dalam hal mengidentifikasi dan
menentukan sasaran penduduk miskin, maka garis kemiskinan relatif cukup untuk

13

digunakan, dan perlu disesuaikan terhadap tingkat pembangunan negara secara
keseluruhan. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan
tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak mencerminkan tingkat
kesejahteraan yang sama.
Adapun definisi kemiskinan yang banyak digunakan di Indonesia terutama
dalam pengukuran kemiskinan secara nasional adalah definisi yang dikembangkan
oleh BPS. Definisi kemiskinan BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar
(basic needs approach). Dengan pendekatan ini kemiskinan dikonseptualisasikan
sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, baik kebutuhan dasar
makanan (2100 kcal/cap/hari) maupun kebutuhan dasar bukan makanan. Menurut
BPS, komponen kebutuhan dasar terdiri dari pangan dan bukan pangan yang
disusun menurut daerah perkotaan dan perdesaan berdasarkan hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS). Adapun jenis pangan yang diperhitungkan
sebagai kebutuhan dasar adalah padi-padian dan hasil-hasilnya, ubi-ubian dan
hasil-hasilnya, ikan dan hasil-hasil ikan lainnya, daging, telur, susu dan hasil dari
susu, sayur-sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, konsumsi lainnya, makanan
yang sudah jadi, minuman yang mengandung alkohol, tembakau, dan sirih.
Sedangkan jenis kebutuahan dasar bukan pangan adalah perumahan, bahan bakar,
penerangan, dan air; barang-barang dan jasa; pakaian, alas kaki, dan tutup kepala;
barang-barang yang tahan lama; keperluan pesta dan upacara.
Pengeluaran Pemerintah
Pengeluaran
pemerintah
mencerminkan
kebijakan
pemerintah.
Pengeluaran pemerintah menyangkut pengeluaran untuk membiayai programprogram untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pembangunan.
Anggaran belanja rutin memegang peranan penting untuk menunjang kelancaran
mekanisme sistem pemerintahan serta upaya peningkatan efisiensi dan
produktivitas yang menunjang tercapainya sasaran dan tujuan setiap tahap
pembangunan. Pengeluaran rutin yaitu pengeluaran yang digunakan untuk
pemeliharaan dan penyelenggaraan pemerintah yang meliputi belanja pegawai,
belanja barang, pembayaran bunga utang, subsidi dan pengeluaran rutin lainnya.
Melalui pengeluaran rutin, pemerintah dapat menjalankan misinya d