Bioaksesibilitas Nanoemulsi Vitamin A Dari Minyak Jagung Dan Minyak Kelapa Murni Serta Aplikasinya Sebagai Fortifikan Pada Flake Singkong

ARJANA

i

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Bioaksesibilitas
Nanoemulsi Vitamin A dari Minyak Jagung dan Minyak Kelapa Murni Serta
Aplikasinya Sebagai Fortifikan Pada Flake Singkong adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016

Astya Rizki Nilamsari
NIM F251130301


i

ii

RINGKASAN
ASTYA RIZKI NILAMSARI. Bioaksesibilitas Nanoemulsi Vitamin A dari
Minyak Jagung dan Minyak Kelapa Murni serta Aplikasinya sebagai Fortifikan
pada Flake Singkong.Dibimbing oleh NUGRAHA EDHI SUYATMA,
NURHENI SRI PALUPI, dan HOERUDIN.
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan salah satu masalah malnutrisi di
Indonesia. Penanganan KVA dapat dilakukan dengan fortifikasi pada produk
pangan. Singkong merupakan salah satu komoditi terbesar yang dihasilkan oleh
petani Indonesia. Pembuatan flake dengan bahan utama singkong dapat menjadi
media fortifikasi vitamin A. Sifat vitamin A yang larut lemak bertentangan
dengan sifat bahan baku flake yang larut air. Emulsifikasi melarutkan vitamin A
dalam air dapat membantu mencampurkan vitamin A dalam produk berbasis air.
Nanoemulsi vitamin A, dapat meningkatkan bioaksesibilitas vitamin A. Nilai
bioaksesibilitas akan mempengaruhi nilai bioavailabilitas, karena berbanding
lurus. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai bioaksesibilitas adalah jenis
minyak pembawa dan jenis emulsifier.

Penelitian ini menggunakan minyak kelapa murni (VCO) dan minyak
jagung sebagai minyak pembawa. Tween 20 dengan konsentrasi 3% dan 6%
digunakan sebagai emulsifier. Nanoemulsi vitamin A digunakan sebagai fortifikan
dalam flake singkong untuk menjadi salah satu solusi KVA di Indonesia yang
berbasis pangan sumber daya lokal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A terbaik yang dipengaruhi oleh
jenis minyak pembawa dan konsentrasi emulsifier serta pengaplikasiannya pada
flake singkong.
Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, tahap pertama adalah untuk
pembuatan nanoemulsi vitamin A beserta pengujiannya meliputi uji stabilitas baik
fisik dan kimia, serta profil nanoemulsi vitamin A. Tahap kedua adalah pengujian
bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A menggunakan metode in vitro. Tahap
ketiga adalah aplikasi nanoemulsi vitamin A sebagai fortifikan pada flake
singkong.
Hasil penelitian menunjukkan ukuran terkecil nanoemulsi vitamin A
adalah 115.60 nm dengan VCO sebagai minyak pembawa dan ukuran terbesar
nanoemulsi vitamin A adalah 144.36 nm dengan minyak jagung sebagai minyak
pembawa. Uji stabilitas secara fisik dan kimia menunjukkan bahwa selama
penyimpanan lima hari dengan metode freeze thaw nanoemulsi vitamin A tetap
stabil. Pengujian bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A dengan metode in vitro

menunjukkan bahwa menggunakan jenis minyak yang berbeda memiliki hasil
ragam yang berbeda nyata berbeda nyata (p0.05), sedangkan flake singkong dengan penambahan nanoemulsi vitamin A
secara keseluruhan dapat diterima oleh panelis melalui uji organoleptik.
Kata kunci: nanoemulsi vitamin A, bioaksesibilitas, emulsifier, fortifikasi, flake
singkong.

ii

iii

SUMMARY
ASTYA RIZKI NILAMSARI. Bioaccessibility of Nanoemulsi vitamin Aon using
Corn Oil and Virgin Coconut Oil and The Fortification as Fortification on
Cassava Flake. Supervised by NUGRAHA EDHI SUYATMA, NURHENI SRI
PALUPI, and HOERUDIN.
Deficiency of vitamin A is one of malnutrition problems in Indonesia that
currently happened. Fortification could solve the problem or prevent vitamin A
deficiency. Cassava flake is one of breakfast cereal type which made from cassava
and it could be a good carrier for vitamin A fortification. But vitamin A is fat
soluble and cassava flake is water soluble bases. Emulsion could improve the

mixing between oil phase and water phase, but conventional emulsion has poor
stabilitation.Nanoemulsion would improve the emulsion stabilitation and
increased the bioaccessibility. Good bioaccessibility is important thing for
delivery sytem research, because of bioaccessibility linearity with bioavailability.
Some factors which influence bioaccessibility are carrier oil type and emulsifier
type.
Virgin Coconut Oil (VCO) and corn oil was used in this research as carrier
oil, and also Tween 20 as emulsifier. This research used different concentration of
Tween 20 as a treatment, 3% and 6% tween 20. Nanoemulsion of vitamin A act as
fortification to cassava flake to solve vitamin A deficiency problem. Aim of this
study is to determine bioaccessibility of nanoemulsi vitamin A on influence by
carrier oil and surfactant concentration and the application in cassava flake as
fortificant.
This study consist of three stage, the first is nanoemulsi vitamin Aon
production and determination of their stabilitation and properties. The next stage
is determination the bioaccessibility of nanoemulsi vitamin A by in vitro method.
The last stage is application of nanoemulsi vitamin A to the cassava flake as
fortificant.
The result showed NV6 has the smallest particle droplets and NC3 has the
largers particle droplet. The smallest particle size is 115.60nm that used VCO as

carrier oil and the largest particle size is 144.36 nm was used corn oil as carrier
oil. Stabilization of nanoemulsi vitamin Aon with freeze and thaw treatment
showed good stabilization for 5 days storage. From bioaccessibility determination,
NV3 has the highest bioaccessibility. Bioaccessibility of nanoemulsi vitamin A
using different types of carrier oil has significantly different (p0.05) between cassava flake with formulas and control, but overall,
all the panellis could accept the products.
Keywords: vitamin A nanoemulsion, bioaccesibility, stabilitation, fortification,
cassava flake.

iii

iv

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan,penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan

kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

iv

i

BIOAKSESIBILITAS NANOEMULSI VITAMIN A DARI MINYAK
JAGUNG DAN MINYAK KELAPA MURNI SERTA APLIKASINYA
SEBAGAI FORTIFIKAN PADA FLAKE SINGKONG

ASTYA RIZKI NILAMSARI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

i

ii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Sukarno, MSc.

ii

i

Judul Tesis
Nama
NIM

: Bioaksesibilitas Nanoemulsi Vitamin A dari Minyak Jagung dan
Minyak Kelapa Murni serta Aplikasinya sebagai Fortifikan pada

FlakeSingkong
: Astya Rizki Nilamsari
: F251130301
Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.TP, DEA
Ketua

Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, Msi
Anggota

Hoerudin, SP, M.Food.st, PhD
Anggota
Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Pangan

Dr. Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum


Tanggal Ujian : 21 Juni 2016

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Lulus :

i

ii

ii

i

PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas nikmat dan
karunia yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini. Penulis tak lupa mengucapkan terimakasih kepada para
pembimbing dan penguji. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, STP. DEA selaku ketua
komisi pembimbing yang di sela kesibukannya masih memberikan perhatiannya
sehingga penulis sampai ketahap ini. Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi selaku
pembimbing kedua penulis dengan kasih sayang seorang ibu yang diberikan pada
penulis, penulis mampu mengahadapi semua masalah dari nasihatnya. Dan tak
lupa penulis ucapkan terimakasih kepada pembimbing ketiga bapak Hoerudi, SP,
MFoodSt, PhD yang telah menerima penulis dan mempercayakan penulis dalam
bergabung dalam proyek penelitiannya. Dr. Ir. Sukarno, MSc. Selaku penguji
yang luar biasa membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akir ini. Tak lupa
penulis ucapkan terimakasih kepada Balai Besar Pasca Panen Pertanian Bogor
yang telah mefasilitasi sebagian besar penelitian penulis dan mendanai sebagian
besar penelitian penulis, serta keluarga besar Balai Pertanian Pasca Panen Bogor
yang telah mengisi kehidupan penelitian dan banyak membantu penulis. Penulis
juga mengucapkan banyak terimakasih kepada orangtua, Drs. Rodhi As’ad, MM
dan Dra. Lys Setyawati yang selalu tak henti-hentinya memberikan kasih sayang,
dan doa hingga penulis menuju tahap ini. Tak lupa penulis juga sampaikan
terimakasih kepada suami, Rangga Chrisna Megantara, ST yang selalu
memberikan kasih sayang dan kesabarannya dalam menemani penulis dalam
menyusun tesis dan selalu mendoakan kesuksesan penulis. Kepada para saudara,

sahabat dan kerabat yang telah memberikan dukungan dan bantuannya kepada
penulis.
Akhir kata, penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membatu dalam penyusunan tesis ini.

Bogor, Agustus 2016

Astya Rizki Nilamsari

i

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
3
DAFTAR GAMBAR
3
DAFTAR LAMPIRAN
Error! Bookmark not defined.
1 PENDAHULUAN
Error! Bookmark not defined.
Latar Belakang
Error! Bookmark not defined.
Perumusan Masalah
Error! Bookmark not defined.
Tujuan Penelitian
Error! Bookmark not defined.
Hipotesis
Error! Bookmark not defined.
Manfaat Penelitian
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Error! Bookmark not defined.
Vitamin A
Error! Bookmark not defined.
Nanoemulsi
Error! Bookmark not defined.
Bioaksesibilitas
Error! Bookmark not defined.
Teknologi Fortifikasi Vitamin A
Error! Bookmark not defined.
Proses Produksi Flake Singkong
Error! Bookmark not defined.
3 METODE
Error! Bookmark not defined.
Waktu dan Tempat Penelitian
Error! Bookmark not defined.
Bahan
Error! Bookmark not defined.
Alat
Error! Bookmark not defined.
Tahapan Penelitian
Error! Bookmark not defined.
Karakterisasi Nanoemulsi vitamin A Error! Bookmark not defined.
Uji Bioaksesibilitas Nanoemulsi vitamin A
Error! Bookmark not
defined.

Fortifikasi Nanoemulsi dalam Flake Singkong Error! Bookmark not
defined.

Prosedur Analisa
Error! Bookmark not defined.
Uji Kimia
Error! Bookmark not defined.
HCN
Error! Bookmark not defined.
Vitamin A
Error! Bookmark not defined.
Uji Bioaksesibilitas
Error! Bookmark not defined.
Uji Fisik
Error! Bookmark not defined.
Uji Stabilitas
Error! Bookmark not defined.
Pengujian profil nanoemulsi vitamin A Error! Bookmark not
defined.

Pengujian morfologi vitamin A nanoemusli Error! Bookmark
not defined.

4

Uji Tekstur flake singkong
Error! Bookmark not defined.
Uji Warna flake singkong
Error! Bookmark not defined.
Uji Organoleptik
Error! Bookmark not defined.
Analisis Data
Error! Bookmark not defined.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Error! Bookmark not defined.
Karakterisasi Nanoemulsi vitamin A
Error! Bookmark not defined.
Stabilitas Nanoemulsi vitamin A
Error! Bookmark not defined.
Bioaksesibilitas Nanoemulsi vitamin A
Error! Bookmark not defined.

ii

iii

Fortifikasi Nanoemulsi vitamin A dalam Flake Singkong Error! Bookmark
not defined.

5

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.

Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
Error! Bookmark not defined.
DAFTAR TABEL

1 Sifat Kimia Fisika dari Jenis-Jenis Vitamin A Error! Bookmark not defined.
2 RDI vitamin A dalam satuan RE
Error! Bookmark not defined.
3 Pembuatan Nanoemulsi: jenis emulsifier dan minyak
Error! Bookmark not
defined.
4 Produksi dan konsumsi sereal disuluruh dunia Error! Bookmark not defined.
5 Komponen kimia singkong
Error! Bookmark not defined.
6 Karakteristik nanoemulsi vitamin A
Error! Bookmark not defined.
7 Komposisi Asam Lemak minyak pembawa
Error! Bookmark not defined.
8 Karakterisasi profil nanoemulsi vitamin A setelah masa penyimpanan Error!
Bookmark not defined.
9 Kandungan HCN pada sampel
Error! Bookmark not defined.
10 Kandungan vitamin A pada flake singkong Error! Bookmark not defined.
11 Nilai organoleptik flake singkong
Error! Bookmark not defined.
12 Nilai warna flake singkong
Error! Bookmark not defined.
13 Nilai kekerasan flake singkong
Error! Bookmark not defined.

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur kimia vitamin A dan beta-karoten.
Error! Bookmark not defined.
2 Struktur retinil palmitat
Error! Bookmark not defined.
3 Peta penyebaran KVA didunia pada tahun 1995Error! Bookmark not defined.
4 Macam pembentukan emulsi
Error! Bookmark not defined.
5 Struktur tween 20
Error! Bookmark not defined.
6 Mekanisme pemilihan jenis emulsifier berdasarkan nilai HLB
Error!
Bookmark not defined.
7 Mekanisme in vitro bioaksesibilitas
Error! Bookmark not defined.
8 Proses pembuatan nanoemulsi vitamin A
Error! Bookmark not defined.
9 Proses in vitro bioaksesibilitas
Error! Bookmark not defined.
10 Proses pembuatan flake singkong terfortifikasi nanoemulsi vitamin A Error!
Bookmark not defined.
11 Morfologi nanoemulsi vitamin A
Error! Bookmark not defined.
12 Nanoemulsi vitamin A selama penyimpanan Error! Bookmark not defined.
13 Konsentrasi vitamin A selama penyimpanan Error! Bookmark not defined.
14 Bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A
Error! Bookmark not defined.
15 Total bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A Error! Bookmark not defined.

iii

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Vitamin A merupakan salah satu mikro mineral yang tidak dapat
diproduksi didalam tubuh, tetapi sangat dibutuhkan oleh tubuh.Vitamin A
mempengaruhi fungsi penglihatan dan sistem imun tubuh. WHO/UNICEF pada
tahun 1996 melaporkan bahwa FAO/WHO menyatakan masih terdapat sekitar
250 juta anak-anak yang menderita kekurangan vitamin A (KVA), dengan total
50% tinggal disekitar Asia Selatan (Viveka 2001). KVA dapat menyebabkan
gangguan kesehatan pada penglihatan, menghambat tumbuh kembang anak-anak,
gangguan sistem imun, perkembangan janin dan reproduksi serta dapat
mengakibatkan penyakit serius yang dapat berujung pada kematian jika tidak
mendapatkan penanganan serius.
Prevalensi xeropthalmia di Indonesia pada tahun 1992 sebesar 0.33%, dan
data pada tahun 2006 pada 10 kota di 10 provinsi menunjukkan prevalensi
xerophthalmia sebesar 0.13% (Kemenkes 2014). KVA dapat terjadi melalui
beberapa faktor antara lain adalah banyaknya asupan vitamin A yang dikonsumsi,
seberapa banyak vitamin A yang dapat diserap oleh tubuh dan efektivitas konversi
provitamin A menjadi vitamin A (Lorch 2005).
Pencegahan KVA dapat dilakukan dengan melakukan pengarahan hidup
sehat seperti perubahan pola konsumsi pangan harian yang harus seimbang untuk
memenuhi zat-zat gizi dalam tubuh, suplementasi vitamin A dalam kapsul yang
diberikan pada bayi dengan dosis yang berbeda-beda dengan jangka waktu
tertentu dan fortifikasi vitamin A kedalam produk pangan yang sering dikonsumsi
(Mc. Laren 2001). Indonesia telah melakukan fortifikasi vitamin A kedalam
beberapa produk pangan antara lain minyak goreng, mentega dan MSG. Berbagai
variasi produk pangan dapat berpotensi menjadi media yang baik untuk fortifikasi
vitamin A yaitu tepung, margarin, sereal, gula dan MSG.
Sereal secara alami tidak mengandung vitamin A, tetapi dapat berpotensi
menjadi media yang baik untuk fortifikasi vitamin A pada negara berkembang
(Wesley 2004). Salah satu produk pengembangan Balai Besar Pertanian Pasca
Panen Bogor adalah flake singkong yang dapat menjadi media fortifikasi vitamin
A dengan bahan utama adalah singkong. Bentuk vitamin A yang sering digunakan
dalam fortifikasi produk antara lain retinil asetat, retinil palmitat, dan β-karoten.
Retinil palmitat merupakan bentuk vitamin A yang sering digunakan dalam
fortifikasi produk karena memiliki stabilitas yang bagus (Wesley 2004).
Vitamin A memiliki sifat larut lemak, sensitif oksigen dan cahaya,
kelemahan fisik vitamin A menjadikan vitamin A tidak mudah diaplikasikan
dalam produk pangan yang umumnya berbasis air. Pembuatan emulsi vitamin A
menjadi salah satu upaya melarutkan vitamin A kedalam produk pangan yang
berbasis air. Emulsi vitamin A terbuat dari campuran minyak pembawa dengan
vitamin A dan larutan emulsifier. Emulsi vitamin A merupakan jenis emulsi
minyak dalam air (O/W) dimanadroplet minyak akan terdispersi dan
dienkapsulasi dalam gumpalan air. Pembuatan emulsi vitamin A secara manual
atau pencampuran dengan kecepatan tinggi menghasilkan emulsi yang mudah
teragregasi atau terjadi pemisahan fase air dan fase minyak. Pembuatan emulsi

2

dengan mengecilkan ukuran droplet hingga nano meter dengan menggunakan
homogenizer tekanan tinggi akan menghasilkan ukuran droplet emulsi dalam
ukuran nano.
Penggunaan teknologi nano dalam sistem emulsi ini memiliki banyak
keunggulan terutama dibidang pangan. Nanoemulsi dapat memperbaiki atau
meningkatkan sifat-sifat komponen bioaktif, contohnya kestabilan kinetika dan
memperbaiki penyerapan komponen bioaktif tersebut. Chen dan Wagner (2004)
menyatakan bahwa dengan memproduksi nanoemulsi vitamin E ukuran partikel
sekitar 100 nm dengan High Pressure Homoginezer (HPH), vitamin E nanoemulsi
memiliki kestabilan yang bagus pada minuman. Stabilitas nanoemulsi yang baik
adalah pembentukan nanoemulsi tanpa terjadi sedimentasi, pemisahan fase,
penggumpalan dan pengendapan (Gupta et al 2016). Pembuatan nanoemulsi juga
dapat mempengaruhi penyerapan dalam tubuh, dengan ukuran droplet yang relatif
kecil akan meningkatkan kontak antara komponen bioaktif dengan membran
intestinal. Selain itu, pembuatan nanoemulsi dapat memperbaiki sifat fisik vitamin
A yang sensitif terhadap oksigen dan sinar UV.
Beberapa penelitian telah menjelaskan bahwa pembuatan emulsi dengan
menggunakan nanoteknologi dapat meningkatkan bioaksesibilitas suatu senyawa
bioaktif dan jika dilakukan nanoenkapsulasi setelah proses nanoemulsi akan
memperbaiki bioavailabilitiasnya. Date dan Nagarsenker (2007), membuat
nanoemulsi untuk nanoenkapsulasi cefpodoxime proxetil (CFP) yang merupakan
antibiotik dengan bioavailabilitas rendah. Nanoemulsi CFP dapat meningkatkan
kelarutan CFP dan melindungi dari degradasi CFP. Yang (2012) dalam
disertasinya menyatakan bahwa dengan menanoemulsikan β-karoten dapat
memperbaiki bioaksesibilitas β-karoten dan setelah dilakukan nanoenkapsulasi
dapat meningkatkan bioavailabilitasnya.
Dalam pembuatan nanoemulsi vitamin A, dibutuhkan minyak pembawa
yang dapat melarutkan vitamin A. Jenis minyak pembawa akan mempengaruhi
pelepasan vitamin A dalam matrik pangan (bioaksesibilitas) dalam tubuh. Cheng
et al (2012) menyatakan bioaksesibilitas β-karoten akan lebih tinggi jika
menggunakan minyak jagung dibandingkan dengan miglyol dan minyak jeruk.
Minyak jagung merupakan minyak pembawa yang sering digunakan dalam
pembuatan nanoemulsi vitamin larut lemak. Bioaksesibilitas nanoemusi β-karoten
dengan minyak jagung sebagai minyak pembawa dapat meningkat sebesar 76%
dibandingkan dengan minyak lemon murni (Rao, 2013). Minyak pembawa lain
yang sering digunakan adalah VCO, menurut Sanjeewni 2013 menyatakan bahwa
VCO merupakan minyak yang sangat terkenal didalam dunia penelitian dan juga
di masyarakat, VCO memiliki efek kesehatan dan juga karakteristik spesial.
Selain jenis minyak pembawa, jenis emulsifier juga sangat diperhatikan dalam
pembuatan nanoemulsi. Polisorbat 20 atau yang dikenal sebagai tween 20
merupakan salah satu jenis emulsifier yang sering digunakan bersama minyak
sayur dan untuk senyawa bioaktif jenis karotenoid. Jumlah antara emulsifier dan
jenis minyak pembawa dapat mempengaruhi kestabilan dan bioaksesibilitas
nanoemulsi.
Parameter keberhasilan pembuatan nanoemulsi adalah ukuran droplet
partikel antara 50-500nm, ζ-potensial lebih dari ±30mV menggunakan Particle
Size Analyzer (PSA) dan pengukuran bioaksesibilitas. Penentuan bioaksesibilitas

2

3

dapat menggunakan metode in vitro yang mereplikasi kondisi dalam tubuh dengan
bantuan ezim-enzim percernaan.

Perumusan Masalah
Vitamin A memiliki sifat larut dalam lemak sehingga sulit untuk
mengaplikasikan pada produk pangan yang berbasis larut air. Dalam mengurangi
masalah KVA yang terjadi di Indonesia, fortifikasi vitamin A dalam produk sereal
sarapan pagi berbasis singkong adalah salah satu solusi yang tepat. Flake
singkong dapat menjadi media fortifikasi dan mendukung program ketahanan
pangan berbasis sumber daya lokal. Pembuatan nanoemulsi vitamin A dapat
mempermudah pencampuran vitamin A dengan adonan flake singkong.
Pembuatan nanoemulsi vitamin A, akan meningkatkan nilai bioaksesibilitas dari
vitamin A tersebut. Bioaksesibilitas merupakan salah satu keunggulan pembuatan
nanoemulsi vitamin A, dengan memperbesar luas permukaan vitamin A dan lebih
bersifat hidrofobik karena pembentukan emulsi, diharapkan akan memperbesar
kemungkinan vitamin A yang dapat keluar dari matriks pangan. Peningkatan nilai
bioaksesibilitas dapat berpengaruh pada peningkatan nilai bioavailabilitas vitamin
A, sehingga dapat memecahkan permasalahan kekurangan vitamin A yang terjadi
di Indonesia. Bioaksesibilitas dapat dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
menyusun nanoemulsi vitamin A seperti jenis minyak pembawa dan juga jenis
emulsifier yang digunakan.

Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Menentukan formula nanoemulsi vitamin A yang stabil baik secara fisik
dan kimia serta profil nanoemulsinya.
2. Menguji bioaksesibilitas nanoemulsi vitamin A berdasarkan jenis minyak
dan konsentrasi emulsifier.
3. Mendapatkan formula fortifikan nanoemulsi vitamin A yang tepat untuk
fortifikasi flake singkong berdasarkan uji organoleptik.

Hipotesis
Nanoemulsi vitamin A menggunakan VCO sebagai minyak pembawa
memiliki stabilitas yang lebih baik dan bioaksesibilitas yang lebih tinggi.
Fortifikasi nanoemulsi vitamin A dalam flake singkong dapat memenuhi jumlah
standar fortifikasi vitamin A.

4

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan fortifikasi nanoemulsi
vitamin A pada produk pengembangan flake singkong dan dapat memberikan
informasi tentang kelemahan dan kelebihan nanoemulsi vitamin A.

4

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Vitamin A
Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam
lemak atau pelarut lemak. Secara luas vitamin A merupakan nama generik yang
menyataka suatu retinoid dan prekursor/ provitamin A/ karotenoid yang
mempunyai aktivitas biologis sebagai retinol. Didalam tubuh, vitamin A berfungsi
dalam beberapa bentuk ikatan kimia aktif, yaitu: retinol (bentuk alkohol), retinal
(aldehida) dan asam retinoat (bentuk asam)(Almatsier 2003). Struktur ketiga
bentuk vitamin A dan provitaminnya betakaroten dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Struktur kimia vitamin A dan beta-karoten.

Gambar 2 Struktur retinil palmitat (Anonim, 2014a)
Bentuk kimiawi vitamin A berupa retinol, retinal, ester retinil dan asam
retinoat. Jika dibandingkan dengan retinol murni, vitamin A asetat dan palmitat
memiliki kestabilan yang lebih baik. Vitamin A palmitat lebih stabil terhadap
pemanasan jika dibandingkan dengan vitamin A asetat (Bagriansky dan Ranum
1998). Sifat-sifat kimia dan fisika dari retinol dan retinil palmitat dapat dilihat
pada Tabel 1 dan gambar struktur retinil palmitat pada Gambar 2.
Vitamin A pada umumnya stabil terhadap panas, asam dan alkali namun
sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu
tinggi bersama udara, sinar dan lemak yang sudah tengik. Stabilitas vitamin A
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: bentuk vitamin A itu
sendiri,keberadaan katalis/kontaminan/logam-logam, keberadaan inhibitor (BHA,
BHT dan sebagainya), keberadaan air, tingkat keasaman (pH), keberadaan
oksigen, paparan suhu, paparan cahaya (terutama ultraviolet), dan waktu
(Hariyadi 2002).
Vitamin A adalah salah satu mikro mineral yang tidak dapat diproduksi
didalam tubuh, tetapi sangat dibutuhkan. Kekurangan vitamin A (KVA)
merupakan salah satu faktor utama penyebab kebutaan pada anak-anak dan dapat

6

meningkatkan resiko terserang penyakit bahkan sampai kematian.WHO/UNICEF
pada tahun 1996 melaporkan bahwa FAO/WHO menyatakan masih terdapat
sekitar 250 juta anak-anak yang menderita kekurangan vitamin A, dengan 50%
nya tinggal disekitar Asia Selatan (Viveka 2001). Gambar penyebaran KVA di
seluruh dunia pada tahun 1995 dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 1 Sifat Kimia Fisika dari Jenis-Jenis Vitamin A
Sifat Kimia Fisika
Retinol
Retinil Palmitat
Bentuk
Kristal kuning
Kristal, amorf atau
cairan
kental
berwarna kuning
Rumus Kimia
C20H30O
C36H60O2
Bobot Molekul
286,46
524,88
Absorbsi UV :
maks. (etanol)
325 nm
325 nm
Flourosensi:
eksitasi
325 nm
325 nm
emisi
470 nm
470 nm
Sumber :Eitenmiller et al. 2008

Kronis

Resiko rendah

Resiko tinggi

Tidak ada data

Resiko sedang

Tidak ada masalah

Gambar 3 Peta penyebaran KVA didunia pada tahun 1995 (WHO 1995)
Studi yang dilakukan oleh Nutrition and Health Surveillance System
(NSS), Departemen Kesehatan, tahun 2001 menunjukkan sekitar 50% anak
Indonesia usia 12-23 bulan tidak mengkonsumsi vitamin A dengan cukup dari
makanan sehari-hari. Di Indonesia prevalensi xeropthalmia pada tahun 1992
sebesar 0.33%, dan data pada tahun 2006 pada 10 kota di 10 provinsi
menunjukkan prevalensi xerophthalmia sebesar 0.13% (Kemenkes 2014).
Kebutuhan dasar vitamin A berbeda-beda untuk setiap kelompok umur
dan jenis kelamin.Tabel 2 memperlihatkan konsumsi harian rata-rata vitamin A
pada setiap jenis kelompok umur. Batas aman konsumsi vitamin A adalah jumlah

6

7

vitamin A yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya defisiensi vitamin A yang
akan mempengaruhi pertumbuhan dan reproduksi, sedangkan batas aman adalah
jumlah konsumsi vitamin A setiap harinya yang akan memelihara kesehatan tubuh
mulai dari pertumbuhan, reproduksi dan kesehatan lainnya.
Tabel 2 RDI vitamin A dalam satuan RE
FAO/WHO (1988)
Kelompok
Batas
Batas
Minimal
Aman
Bayi
0-0.5 tahun
180
350
0.5-1 tahun
180
350
Anak-anak
1-6 tahun
200
400
6-10 tahun
250
400
10-12 tahun
300
500
12-15 tahun
350
600
Wanita
15-18 tahun
330
500
18+
270
500
Wanita Hamil
370
600
Wanita Menyusui
450
850
Sumber : Viveka 2001

Nanoemulsi
Nanoemulsi adalah suatu sistem dispersi koloid berisikan dua cairan yang
tidak dapat dicampurkan, salah satu cairan akan terdispersi dalam cairan lainya
dengan ukuran droplet sekitar 50-1000 nm (Sanguansri and Augustin 2006).
Terdapat dua basis pembentukan emulsi, yang pertama adalah emulsi minyak
dalam air, yaitu droplet minyak akan terdispersi dan dienkapsulasi dalam
gumpalan air dan yang kedua adalah emulsi air dalam minyak, droplet air akan
terdispesi dan dienkapsulasi dalam minyak (Popescu 2010). Basis pembentukan
emulsi dapat dilihat pada Gambar 4.
Penggunaan teknologi nano dalam sistem emulsi memiliki banyak
kelebihan terutama dibidang pangan. Nanoemulsi dapat memperbaiki atau
meningkatkan sifat-sifat komponen bioaktif, misalnya kestabilan kinetika dan
memperbaiki penyerapan. Chen and Wagner (2004) menyatakan bahwa
memproduksi nanoemulsi vitamin E dengan ukuran partikel sekitar 100nm
menggunakanHigh Pressure Homoginezer (HPH), vitamin E memiliki kestabilan
yang bagus pada minuman. Selain stabilitas yang bagus, pembuatan nanoemulsi
dapat mempengaruhi penyerapan dalam tubuh, karena ukuran droplet yang relatif
kecil akan meningkatkan kontak antara komponen bioaktif dengan membran
intestinal.
Pembuatan nanoemulsi umumnya menggunakan metode emulsifikasi
berenergi tinggi seperti homogeninasi dengan kecepatan tinggi, homogenisasi
dengan tekanan tinggi, ultrasonikasi, dan mikrofluidisasi. Metode-metode ini akan

8

memproduksi ukuran droplet paling kecil dengan menggunakan energi yang
tersedia dalam waktu yang lebih singkat dan akan menghasilkan aliran yang
sangat homogen (Silva et al.2011).
a

b

Air

Minyak

Air

Minyak

Gambar 4 Macam pembentukan emulsi, emulsi minyak dalam air (a), emulsi air
dalam minyak (b) (Anonim 2014b)
HPH merupakan salah satu alat yang dapat menggabungkan antara
tekanan tinggi dan shear stress tinggi yang akan menghasilkan ukuran partikel
dalam bentuk nano. Penggunaan HPH dalam pembuatan nanoemulsi selain
berfungsi untuk mendapatkan ukuran droplet yang kecil, juga dapat memperbaiki
sifat dan meningkatkan kestabilan dari sistem emulsi itu sendiri. Yuan et al.
(2008) menyatakan dengan menggunakan HPH dalam pembuatan nanoemulsi βkaroten menghasilkan uuran droplet sekitar 120-177nm dan selama penyimpanan
pada suhu 25oC, β-karoten akan mulai terdegradasi pada minggu keempat.
Pembuatan nanoemulsi tidak pernah lepas dari penggunaan emulsifier.
Berbagai jenis emulsifier digunakan dalam pembuatan nanoemulsi, baik
emulsifier alami seperti whey protein, maupun emulsifier sintetis dari golongan
polisorbat. Polisorbat adalah suatu subtansi yang dihasilkan dengan mereaksikan
ester asam lemak sorbitan dengan etilen oksida. Polisorbat secara luas telah
banyak digunakan sebagai emulsifier, dispersen dan pelarut dalam makanan
seperti kue di negara-negara Eropa dan Amerika. Terdapat beberapa jenis
polisorbat yang sering digunakan salah satunya adalah polisorbat 20 atau yang
sering disebut tween 20.
Tween 20 tersusun atas beberapa gugus hidroksil dari sorbitol dan sorbitol
anhidrat yang teresterifikasi. Penyusun utama tween 20 adalah asam laurat yang
akan dikondensasikan dengan 20 molekul etilen oksida. Yuan et al. (2008)
melaporkan bahwa pada pembuatan nanoemulsi β-karoten dengan emulsifier
tween 20, 40, 60 dan 80, nanoemulsi yang memiliki ukuran droplet terkecil
menggunakan tween 20 sebagai emulsifiernya. Struktur tween 20 ditunjukkan
pada Gambar 5.
Pemilihan bahan emulsifier berdasarkan nilai Hidrophilic Lipophilic
Balance (HLB). Emulsifier jenis tween memiliki nilai HLB lebih tinggi jika
dibandingakn dengan jenis Span. Nilai HLB yang lebih tinggi menunjukkan
kecenderungan sifat emulsifier lebih mendekati hidrofilik. (ICI, 1997)
menyatakan untuk sistem emulsi O/W menggunakan emulsifier dengan nilai HLB
antara 8-18, sedangkan tween 20 memiliki nilai HLB sevesar 16.7 atau 84%
8

9

bersifat hidrofilik. Nilai HLB emulsifier maksimal adalah 20 menurut sistem ICI.
Pemilihan jenis emulsifier untuk sistem emulsi berdasarkan nilai HLB dapat
dilihat pada Gambar 6.

Gambar 5 Struktur tween 20(Anonim 2014c)
Tujuan pembuatan nanoemulsi adalah untuk mempermudah penyerapan
komponen bioaktif, mineral ataupun vitamin di dalam tubuh. Salah satu faktor
utama dalam keberhasilan penyerapan nanoemulsi adalah jenis minyak media
yang digunakan. Cheng et al.(2012) mengemukakan bahwa jenis minyak dapat
mempengaruhi bioaksesibilitas nanoemulsi β-karoten. Nanoemulsi β-karoten
memiliki bioaksesibilitas tertinggi dengan menggunakan minyak jagung sebagai
minyak medianya dibandingkan dengan miogliol 812 dan minyak jeruk.Minyak
jeruk tidak memiliki nilai bioaksesibilitas, sedangkan miogliol memiliki niali
bioaksesibilitas sebesar 2% dan minyak jagung memiliki nilai bioaksesibilitas
sebesar 66%. Tingginya nilai bioaksesiblitas sangat berpengaruh dengan daya
serap vitamin A dalam tubuh, karena bioaksesibilitas memiliki korelasi positif
dengan bioavabilitas.

Gambar 6 Mekanisme pemilihan jenis emulsifier berdasarkan nilai HLB
(ICI 1997)
Penggunaan media minyak sebagai fase minyak dalam sistem emulsi
menggunakan dua jenis minyak, minyak yang dapat dicerna dan minyak yang
tidak dapat dicerna. Minyak yang dapat dicerna akan mengahsilkan nilai
bioaksesibilitas lebih tinggi jika dibandingkan dengan minyak yang tidak dapat
dicerna. Minyak yang digunakan dalam pembuatan sistem emulsi terutama dalam

10

pembuatan nanoemulsi adalah jenis minyak sayur seperti minyak biji bunga
matahari, minyak kedelai, minyak jagung, minyak kelapa, minyak kelapa sawit
dan juga VCO.Minyak sayur dalam pembuatan nanoemulsi sering dibandingkan
dengan minyak yang tidak dapat dicerna seperti miogliol dan minyak jeruk.
Minyak jagung merupakan minyak sayur yang sering digunakan sebagai
media pembawa untuk pebuatan nanoemulsi komponen bioaktif yang larut dengan
lemak. Minyak jagung memiliki koponen utama berupa asam linoleat sebesar
31.52%, asam elaidat 31.30%, asam palmitat 26.86% dan asam stearate sebesar
4.68% (Erawati 2014). Minyak jagung juga digunakan dalam pembuatan sistem
emulsi obat yang bersifat hidrofobik.

Referensi
Cheng et
al (2012)

Yang
(2012)

Silva et
al (2011)

Dijaz
(2013)

Tabel 3 Pembuatan Nanoemulsi: jenis emulsifier dan minyak
Jenis
Media
Jenis
Emulsifier
Hasil
Nanoemulsi
Pembawa Emulsi
β-karoten
Tween 20 Minyak
Minyak Kestabilan terhadap
jeruk
dalam
agregasi dan oksidasi
Minyak
air
lebih baik
jagung
Bioaksesibilitas dan
Miglyol
Bioavailabilitas
812
meningkat
Bioavailabilitas dan
bioaksesibilitas
terbaik pada minyak
jagung.
β-karoten Tween 80 MCT
Minyak Bioaksesibilitas
Minyak
dalam
meningkat dan lebih
kelapa
air
bagus setelah
sawit
dilakukan
enkapsulasi
Minyak kelapa sawit
lebih baik dalam
melepaskan βkaroten dari formula
nanoemulsi
β-karoten
Tween 20 n-heksan Minyak Distribusi ukuran
dalam
partikel dan stabilitas
air
secara fisik stabil,
tetapi stabilitas
secara kimia tidak
stabil selama
penyimpanan
Retinil
Tween 80 Minyak Minyak 90% sampel stabil
palmitat
biji bunga dalam
pada berbagai suhu
matahari air
(4oC, 45oC dan suhu
ruang)

Selain minyak jagung, VCO merupakan minyak yang sedang
dikembangkan dalam pembuatan emulsi. VCO memiliki potensi lebih tinggi

10

11

kandungan antioksidannya jika dibandingkan dengan minyak kelapa yang
dimurnikan (Marina 2009). Kandungan asam lemak rantai sedang yang dominan
pada VCO dapat membantu mengurangi total kolestrol, trigliserida, fosfolipid,
LDL, dan tingkat kolesterol VLDL serta dapat meningkatkan kandungan HDL
dalam serum (Sanjeewani 2013). Kadungan VCO didominasi asam lemak rantai
pendek yaitu asam laurat sebanyak 32.41% dan asam miristat 24.15%, kandungan
asam lemak lain yang terdapat dalam VCO adalah asam palmitat sebanyak
15.68%, asam linoleat 2.29%, asam elaidat 11.06% dan asam stearat sebanyak
5.22% (Erawati 2014).
Perbedaan jenis minyak yang digunakan antara VCO dan minyak jagung
selain berpengaruh dalam sistem pencernaan, dapat juga mempengaruhi sifat fisik
dari nanoemulsi. Minyak jagung akan memberikan warna yang lebih keruh pada
sistem emulsi sedangkan VCO akan memberikan warna yang lebih jernih. Minyak
jagung memiliki ranta ataom C yang lebih panjang daripada VCO, sehingga akan
menghasilkan droplet yang lebih besar dan transparasinya akan menurun (Erawati
2014).
Bioaksesibilitas
Bioaksesibilitas merupakan jumlah nutrisi yang berpotensi tersedia untuk
penyerapan, tergantung pada jumlah yang terkandung dan pelepasan dari matriks
makanan. Model In vitro telah dikembangkan selama bertahun-tahun dan telah
disempurnakan untuk menentukan bioaksesibilitas dan bioavailabilitas suatu
nutrisi yang terkandung dalam suatu makanan (Etcheverry et al. 2005). Model In
vitro meniru kondisi saluran pencernaan dapat dibedakan menjadi dua metode
berupastatis atau dinamis.
Menurut Reboul (2006) model statis memiliki langkah-langkah yang
umumnya sama dengan model lainnya. Fase perut bagian atas usus kecil
disimulasikan dengan penambahan jumlah garam fisiologis dan enzim serta
dilakukan penyesuaian pH dan inkubasi pada 37°C. Selama fase lambung, sampel
diinkubasi pada pH lambung dengan menambahkan enzim lambung seperti
pepsin.
Bagian atas dari usus kecil, duodenum, akan disimulasikan dengan
meningkatkan pH dan menambahkan enzim pancreas dan garam empedu.
Beberapa model mencakup fase pencernaan oral dengan mensimulasikan
pengunyahan dan menambahkan amilase (Bengtsson et al. 2010).
Sedangkan untuk model dinamis, seperti model gastro-intestinal (TIM)
prinsip-prinsip dasar yang digunakan sama, tetapi tingkat kompleksitas lebih
tinggi dengan menggunakan kondisi yang menyerupai kondisi didalam saluran
pencernaan (Minekus et al. 1999). Model TIM terdiri dari empat bagian, lambung,
duodenum, jejunum dan ileum, dan beberapa penelitian juga menkombinasikan
dengan bagian kolon. Perbedaan utama model dinamis dibandingkan dengan
model statis adalah simulasi gerak peristaltik lebih terkontrol, perubahan pH
bertahap, kadarenzim,dll.
Beberapa model invitro mensimulasikan keadaan berpuasa pada saluran
pencernaan manusia, tetapi kondisi ini sering berbeda dari kondisi sebenarnya
(Reboul et al. 2006). Untuk mereplika kondisi tersebut pada model in vitro,
inkubasi lambung dimulai pada pH4 yang kemudian pH diturunkan menjadi 2
untuk inkubasi lambung selanjutnya. Dalam penelitian ini menggunakan metode

12

in vitro statis dengan 2-3 fase yang digunakan. Fase pertama yang digunakan
adala fase oral. Tujuan dari fase oral adalah untuk mensimulasikan pengunyahan
dan pencampuran makanan dengan air liur dengan ditambahkan amilase. Amilase
akan mengkatalisis pati menjadi gula. Fase kedua adalah fase lambung yang
akanditambahkan larutan pepsin dengan mengkondisikan pH lambung dengan
penambahan HCl, dan fase terakir adalah fase usus dengan menambahkan larutan
pankreatin dan garam empedu. Mekanisme perlakuan proses in vitro dapat dilihat
pada Gambar 7. Untuk tindakan pencegahan oksidasi, pada model in vitro statis
umumnya ditambahkan antioksidan dan nitrogen (Svelander 2011).
Pengukuran bioaksesibilitas secara in vitro memiliki kelemahan dan
kelebihan menurut Failla (2008) yaitu, tidak memerlukan biaya besar dan
teknikya sangat sederhana dan peralatan standar di laboratorium sudah dapat
melakukan in vitro. Kelemahan menggunakan metode In vitro yaitu terdapat
beberapa aktivitas enzim dalam eksokrin pankreas tidak terdapat dalam
pankreatin, fase oral sebagian besar tidak dilakukan meskipun telah disiapkan
untuk ditambahkan, dan fase pencernaan besar umumnya tidak dilakukan.
Homogenisasi
sampel
Saliva sintetik

α-amilase

Pencernaan oralpH6.8, 10 min, 37oC
1N Hcl

pepsin

Pencernaan lambung pH 2.5, 60 min, 37oC
1M NaHCO3

Bile ekstrak, Pankreatin, Lipase

Pencernaan usus haluspH 6.5, 120 min, 37oC

Penyaring 0.22 m
Sentrifugasi 6000rpm, 45 min, 4oC
Fraksi michelle

Gambar 7 Mekanisme in vitro bioaksesibilitas (Failla 2008)
Teknologi Fortifikasi Vitamin A
Fortifikasi pangan dengan zat gizi mikro merupakan teknologi yang valid
untuk mengurangi permasalahan kekurangan zat gizi mikro. Dalam beberapa
kasus, fortifikasi pangan dapat memperkuat dan mendukung program
pengembangan nutrisi. Salah satunya adalah fortifikasi vitamin A pada beberapa

12

13

produk pangan seperti yang dilakukan oleh pemerintah Filipina. Filipina
memfortifikasi monosodium glutamat (MSG) dengan vitamin A, terbukti
memberikan efek positif dapat menurunkan kematian pada anak-anak,
memperbaiki pertumbuhan dan tingkat hemoglobin pada anak-anak. Selain MSG,
pemerintah Filipina juga memfortifikasi tepung terigu dengan vitamin A dan
dikonsumsikan sebagai kue pada anak-anak sekolah selama 30 minggu dan
terbukti dapat menaikkan tingkat penyimpanan vitamin A dalam tubuh (WHO
2006).
Vitamin A merupakan vitamin yang bersifat larut lemak sehingga lebih
mudah bercampur dengan pangan berbasis lemak dan minyak. Ketika bahan
pangan pembawa berbasis kering atau air, pembuatan enkapsulasi vitamin sangat
dibutuhkan. Berdasarkan kondisi ini, fortifikasi vitamin A dibedakan menjadi dua
yaitu, bentuk minyak yang dapat secara langsung ditambahkan dalam pangan
berbasis lemak, atau dibentuk menjadi emulsifier pada produk pangan yang
berbasis air dan bentuk kering yang dapat dicampurkan kedalam pangan atau
didespersikan dalam air.
Fortifikasi vitamin A dalam produk dapat menggunakan vitamin A
berbentuk retinil palmitat, β-karoten dan retinil asetat.Dalam bentuk β-karoten
hanya ditambahkan pada produk tertentu, karena dapat mempengaruhi warna
produk, penggunaan β-karoten biasa pada produk margarin dan mentega untuk
membantu memberikan warna. Penggunaan retinil palmitat lebih disukai dalam
produk sereal dan tepung karena memiliki kestabilan yang bagus pada
pengaplikasiannya. Sedangkan vitamin A dalam bentuk retinil asetat lebih disukai
untuk bahan berbasis larut lemak. Penambahan vitamin A kedalam pangan
berbasis sereal sebanyak 12 ppm untuk memenuhi kebutuhan 100% vitamin A.
Sedangkan estimasi rata-rata kebutuhan vitamin A menurut FAO sebesar 1390 IU
(Wesley dan Ranum 2004).
Fortifikasi produk dapat memeberikan pengaruh pada kualitas produk dan
juga penerimaan produk meliputi penampakan dan warna, flavor dan aroma, daya
simpan, rasa dan mouthfeel, dan faktor sensori yang dipertimbangkan dalam
melakukan fortfikasi mikronutrisi adalah, harga fortifikan, beberapa mikronutrisi
yang dibutuhkan dalam diet lebih mahal jika dibandingkan dengan lainnya, seperti
contohnya adalah vitamin A, penambahan vitamin A dalam suatu produk pangan
dapat seharga penambahan 10 mikronutrisi yang mempunyai harga paling murah.
Selain itu pengeluaran biaya yang mahal dapat ditemukan pada fortifikasi vitamin
C, kalsium, magnesium, biotin, vitamin E dan asam pantotenat.
Stabilitas umumnya menjadi masalah dalam fortifikasi vitamin C, karena
vitamin C akan hilang sepenuhya dalam produk fermentasi yang dibakar. Semua
vitamin kecuali niacin akan mengalami kehilangan aktivitasnya, sedangkan
mineral tidak mengalami kehilangan aktivitasnya. Keamanan fortifiksai menjadi
perhatian utama jika menambahkan mikronutrisi seperti tembaga dan selenium.
Penerimaan produk yang berhubungan dengan flavor adalah pembatasan
penggunaan magnesium dan yang mengandung garam zink. Harmonisasi
perdagangan sering diinginkan untuk negara yang mengadopsi standar fortifikasi
yang digunakan negara lain di wilayahnya yang memperdagangkan tepung dan
produk yang dioven.

14

Proses Produksi Flake Singkong
Semakin meningkatnya populasi dunia menjadikan sereal sebagai salah
satu makanan yang sering dikonsumsi. Sereal menggantikan pangan hewani yang
kaya sumber vitamin A dan besi. Sereal hampir menjadi makanan wajib seiring
pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Konsumsi sereal tidak memberikan
nutrisi yang cukup pada tubuh karena sereal memiliki mikronutrisi yang rendah
jika dibandingkan dengan pangan hewani yang kaya sumber nutrisi seperti besi
dan vitamin B12.
Sereal telah menjadi makanan pokok karena sereal merupakan pangan
serbaguna, rasanya enak, tersedia dengan mudah dipasaran, harganya terjangkau
dan mudah diterima oleh semua lapisan masyarakat. Masyarakat mengkonsumsi
sereal setiap hari dan dikonsumsi semua umur bahkan balita. Tidak terdapat
larangan baik dari segi agama maupun dari segi budaya masyarakat untuk
menkonsumsi sereal, hal ini menjadi alasan kuat sereal terus dikonsumsi dan
produksinya terus meningkat setiap tahunnya. Data peningkatan konsumsi sereal
di dunia dapat dilihat pada Tabel 4. Bahan dasar pembuatan sereal merupakan
tepung terigu dan tepung jagung yang mudah ditemukan dan harganya terjangkau
walupun bahan dasarnya diperoleh dengan diimpor dari negara lain.
Tabel 4 Produksi dan konsumsi sereal disuluruh dunia
Produksi
Konsumsi dunia/kapita
Jenis
panen dunia Sebagai pangan Sebagai energi Sebagai proteim
sereal
Juta metric
Kg/orang/tahun Kkal/orang/hari Gram/orang/hari
ton
Jagung
593
19.1
157
3.8
Gandum
585
69.4
535
15.8
Padi
400
57.6
576
10.7
Barley
140
1.1
8
0.2
Millet
29
3.4
20
0.7
Sorghum
58
4.2
35
1.0
total
1,862
157.2
1356
32.7
Sumber : FAO
Flake merupakan bentuk pertama dari produk sereal siap santap.
Pengeringan pati yang telah mengalami gelatinisasi merupakan prinsip dasar
sereal sarapan instan berbentuk flake ini. Pati kering tersebut masih memiliki
kemampuan untuk menyerap sejumlah air dalam jumlah yang besar. Setelah air
terserap ke dalam pati, maka pati/ serealia tersebut dapat langsung dikonsumsi
(Felicia 2006).
Dalam pembuatan Flake bahan baku yang paling umum digunakan adalah
tepung terigu dan tepung jagung, akan tetapi banyak bahan lain yang juga
digunakan seperti tepung beras, kentang, gandum hitam, barley, oat, sorgum,
singkong, tapioka, dan tepung kacang-kacangan (Estiasih dan Ahmadi 2009). Di
Indonesia, singkong menjadi makanan bahan pangan pokok setelah beras dan
jagung. Dengan perkembangan teknologi, ketela pohon dijadikan bahan dasar
pada industri makanan dan bahan baku industri pakan. Selain itu digunakan pula

14

15

pada industri obat-obatan. Adapun komposisi kimia ubi kayu atau singkong dapat
dilihat pada Tabel 5.
Flake singkong merupakan salah satu produk pengembangan Balai
Besar Pertanian Bogor yang dibuat dalam rangka diversifikasi pangan lokal
dengan berbahan utama singkong, berwarna coklat dan berbentuk pipih. Flake
singkong sengaja dipilih dalam menyediakan media fortifikasi untuk vitamin A
untuk mengatasi KVA di Indonesia. Pembuatan flake singkong dilakukan secara
manual menggunakan oven dan fortifikasi dilakukan pada tahap pencampuran
adonan flakesebelum proses pengovenan.
Tabel 5 Komponen kimia singkong
Komponen
Kadar
Kalori
146.00 kal
Air
62.50 g
Fosfor
40.00 mg
Karbohidrat
34.00 g
Kalsium
33.00 mg
Vitamin C
30.00 mg
Protein
1.20 g
Besi
0.70 mg
Lemak
0.30 g
Vitamin B1
0.06 mg
Sumber :Koswara (2009)

16

3 METODE

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Mei 2015
di Laboratorium Kimia, Mikrobiologi, Nanoteknologi, dan Pengolahan Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor.
Bahan
Bahan-bahan utama yang dibutuhkan dalam proses pembuatan
nanoemulsi dan uji bioaksesibilitas meliputi, retinil palmitat diperoleh dari
SIGMA-ALDRICH (Steinheim, Jerman), Tween20 diperoleh dari Merck
(Darmstadt, Jerman), minyak jagung diperoleh dari minimarket (Bogor,
Indonesia) dan VCO diperoleh dari apotek Naga (Bogor, Indonesia). Semua bahan
disediakan oleh Balai Besar Pasca Panen Pertanian Bogor Indonesia. Pankreatin
terdiri dari tripsin, amilase dan lipase, ribonuklease, dan protease. Empedu ekstrak
babi, α-amilase pankreas babi (aktivitas ≥10 unit/mg, tipe VI-B), lipase dari
pankreas babi (TipeVI-S, aktivitas ≥20,000 unit/mg), bubuk pepsin dari mukosa
lambung babi (aktivitas ≥250 unit/mg). Semua enzim pencernaan diperoleh dari
SIGMA-ALDRICH (Steinheim, Jerman).
Proses pembuatan flake singkong dibutuhkan bahan-bahan meliputi
tepung singkong ukuran 100 mesh yang berasal dari cip singkong ADIRA 1 yang
diperoleh dari pulau Madura provinsi Jawa Timur, garam, gula, mentega, baking
powder, kuning telur, coklat bubuk, coklat blok, susu bubuk, maltodekstrin, air
dan nanoemulsi vitamin A.

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain homogenizer
ultratax (IKA, T25D, Jerman), Homogenisasi Tekanan Tinggi (HPH)
(GEANiroSoavi, PandaPLUS, Italia), Particle Size Analizer (Malvern, nanozetasizer ZS, Inggris), pH meter HANNA instruments HI 2211, Jepang),
inkubator bergoyang (IKA, Werke KS-501D, Jerman), spektrofotometri (Agilent
Technologies, Cary 60 UV-Vis, USA), sentrifus(Zentrifugen, D78532-1605,
Jerman), Ultra Perfomance Liquid Chromatography (UPLC) (Acquity Waters, H
Series, Singapura), Transmission Electron Microscope (TEM) (Fei, Tecnai G2
Spirit, USA), chromameter(Minolta, CR-300, Jepang), texture analyzer
(Brookfield, CT3, USA), oven (Memmert, USA), vortex (TRIO HM-2F, USA),
cawan porselin, tabung reaksi Pyrex, gelas ukur Pyrex 50 mL, 100 mL, dan 50
0mL, labu erlenmeyer Pyrex, mikropipet, aluminium foil, dan sudip.

16

17

Tahapan Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, penelitian utama I, penelitian
utama II, dan penelitian utama III.

Karakterisasi Nanoemulsi vitamin A (Fisik, Kimia dan Stabilitas)
Pada tahap ini pembuatan nanoemulsi vitamin A dengan 4 formulasi.
Pembuatan nanoemulsi vitamin A diawali dengan pembuatan premiks emulsi
yang terdiri dari fase minyak yang terbuat dari retinil palmitat dan minyak
pembawa (VCO dan minyak jagung) dan fase air yang terbuat dari surfaktan dan
air dengan konsentrasi surfaktan 3% dan 6%. Formulasi nanoemulsi vitamin A
modifikasi metode Vladisavljevic (2010). Fase minyak dan fase air dicampur
menggunakan ultraturax yang menghasilkan premiks emulsi. Untuk menghasilkan
nanoemulsi vitamin A, premix emulsi diproses dengan menggunakan HPH untuk
mendapatkan ukuran nano. Tahap pembuatan nanoemulsi dapat dilihat pada
Gambar 8.
Tween 20 (3%) + air (94%)

Homogenasi dengan ultraturax (11000 rpm; ± 3 menit)
Minyak Pembawa (VCO/ minyak
jagung 3% + retinil palmitat 0.1%
Homogenasi dengan ultraturax (11000 rpm; ± 7 menit)

Premiks emulsi

Homogenasi dengan HPH (500 bar; 10 siklus)

Vitamin A nanoemulsi
Gambar 8 Proses pembuatan nanoemulsi vitamin A

18

Nanoemulsi vitamin A diuji ukuran diameter droplet, ζ-potensial,
distribusi ukuran partikel (PDI) menggunakan PSA dengan pengenceran 1:20
untuk mengurangi pembacaan yang bertumpuk. Morfologi partikel nanoemulsi
dapat diuji menggunakan TEM dengan teknik pewarnaan. Stabilitas nanoemulsi
secara fisik dilakukan dengan menggunakan metode freeze and thawmodifikasi
dengan menggunakan suhu -4oC selama 20 jam dan 20oC selama 2 jam yang
dilakukan secara kontinyu selama 5 hari. Pengujian stabilitas secara fisik
dilakukan dengan menggunakan PSA dan pengujian secara kimia menggunakan
UPLC dengan mengukur vitamin A sebelum dan sesudah proses stabilitas.

Uji Bioaksesibilitas Nanoemulsi vitamin A
Penelitian utama II dilakukan uji bioaksesibilitas tiap formula nanoemulsi
vitamin A. Uji bioaksesibilitas menggunakan spektofotometri dan metode in vitro.
Metode in vitro memodifikasi metode in vit