Penapisan dan Identifikasi Senyawa Antijamur Patogen Phellinus lamaoensis dari Jamur Endofit pada Tanaman Obat Asal Cirebon

PENAPISAN DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIJAMUR
PATOGEN Phellinus lamaoensis DARI JAMUR ENDOFIT
PADA TANAMAN OBAT ASAL CIREBON

NOFA MARDIA NINGSIH KASWATI

DEPARTERMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penapisan dan
Identifikasi Senyawa Antijamur Patogen Phellinus lamaoensis dari Jamur Endofit
pada Tanaman Obat Asal Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2013
Nofa Mardia Ningsih K
NIM G84090034

ABSTRAK
NOFA MARDIA NINGSIH KASWATI. Penapisan dan Identifikasi Senyawa
Antijamur Patogen Phellinus lamaoensis dari Jamur Endofit Pada Tanaman Obat
Asal Cirebon. Dibimbing oleh MARIA BINTANG dan ROFIQ SUNARYANTO.
Jamur endofit merupakan jamur yang tumbuh di dalam jaringan tanaman
yang mampu menghasilkan senyawa antibiotik. Penggunaan jamur ini bertujuan
menghasilkan senyawa antijamur yang dapat menghambat pertumbuhan
fitopatogen tanaman kakao jamur Phellinus lamaoensis. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini antara lain, penapisan isolat aktif dengan melakukan uji
aktivitas, purifikasi dengan menggunakan KLT analitik, HPLC analitik dan
identifikasi senyawa aktif menggunakan LC-MS. Isolat jamur endofit yang
digunakan pada penelitian ini berasal dari jaringan daun, bunga dan batang
tanaman obat-obatan asal Cirebon. Pada bagian daun tanaman bandotan
(Ageratum conyzoides L.) ditemukan aktivitas jamur endofit terhadap patogen

Phellinus lamaoensis dengan diameter zona bening dengan tiga kali pengulangan
berturut-turut sebesar 10.52 mm, 10.37 mm dan 9.8 mm. Jamur yang memiliki
aktivitas tersebut bernama Penicillium lagena. Keberadaan senyawa yang mampu
menghambat pertumbuhan Phellinus lamaoensis ditandai dengan adanya dua
puncak pada hasil analisis HPLC. Senyawa aktif ini dicirikan dengan waktu
retensi 10.34 menit dengan serapan maksimum pada panjang gelombang 231.8
nm - 553.2 nm (puncak pertama) dan 12.152 menit dengan serapan maksimum
pada panjang gelombang 229.5 nm - 542 nm (puncak kedua). Senyawa pada
puncak pertama pada analisis LC-MS memiliki bobot molekul 206.0547
gram/mol. Prediksi senyawa pada LC-MS yaitu scoparone, citropten, dan 4Acetoxycinnamic acid.
Kata kunci : bandotan, jamur endofit ,Phellinus lamaoensis

ABSTRACT
NOFA MARDIA NINGSIH KASWATI. Screening and Identification of the
Antifungal Compounds in Endophytic Fungi Isolated from Cirebon’s
Pharmaceutical Plants Againts Phellinus lamaoensis. Supervised by MARIA
BINTANG dan ROFIQ SUNARYANTO.
Endophyte fungal is a fungi that grows in the plant tissue which capable of
producing antibiotics compounds. Intended use of these fungi to produce
antifungal compounds that can inhibit the growth of fitopatogen cocoa plants

Phellinus lamaoensis. The methods used in this study, among others, active
screening isolates with testing activities, using the analytical KLT, analytical
HPLC purification , and identification of active compounds using LC-MS.
Endophytic fungi isolates used in this study comes from the leaf tissue, flowers
and medicinal plants stems from Cirebon. On the leaves of plants bandotan
( ageratum conyzoides l. ) found activity endophyte fungal against pathogenic
Phellinus lamaoensis in diameter clear zone with three times reprocability,
successive 10.52 mm ,10.37 mm, and 9.8 mm. Fungus that has the activity called
Penicillium Lagena. The presence of a compound capable of inhibiting the growth

of Phellinus lamaoensis characterized by the presence of two peaks on the results
of the analysis of HPLC. The first peaks had a retention time at 10.34 min on
231.8-553.2 nm as the optimal wavelength and the second peaks had a retention
time of 12.152 min on 229.5-542 nm. The molecular weight of the first
compound was estimated to be 206.0547 gram/mol on Liquid chromatography–
mass spectrometry (LC-MS) analysis. These compound was predicted as
scoparone, citropten, 4-acetoxycinnamic acid.
Keywords: bandotan (Ageratum conyzoides L.), fungal endophyte, Phellinus
lamaoensis


PENAPISAN DAN IDENTIFIKASI SENYAWA ANTIJAMUR
PATOGEN Phellinus lamaoensis DARI JAMUR ENDOFIT
PADA TANAMAN OBAT ASAL CIREBON

NOFA MARDIA NINGSIH KASWATI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departermen Biokimia

DEPARTERMEN BIOKIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Penapisan dan Identifikasi Senyawa Antijamur Patogen Phellinus
lamaoensis dari Jamur Endofit pada Tanaman Obat Asal Cirebon
Nama

: Nofa Mardia Ningsih Kaswati
NIM
: G84090034

Disetujui oleh

Prof Dr drh Maria Bintang, MS
Pembimbing I

Dr Rofiq Sunaryanto, MSi
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir I Made Artika, MAppSc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat,
nikmat, karunia serta izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
ini. Shalawat beriringkan salam semoga tecurahkan kepada Nabi besar penyampai
risalah Allah Muhammad SAW.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. drh. Maria Bintang ,MS
dan Dr Rofiq Sunaryanto , M Si selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan, motivasi, arahan, inspirasi, ilmu serta kritik kepada penulis. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Rudiyono, Vindhya Tri
Widayanti STP, Anita Widyanti Nugroho STP dan staf Laboratorium
Mikrobiologi Biotek-BPPT yang telah membantu selama penelitian. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada keluarga, dan teman-teman biokimia yang
telah memberikan dukungan moril maupun materil.
Penulis menyadari tentang kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membuat hasil
yang lebih baik. Penulis juga berharap tulisan ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun semua pihak demi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2013
Nofa Mardia Ningsih Kaswati


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

METODE

2


Waktu dan Tempat Penelitian

2

Bahan

2

Alat

2

Prosedur Analisis Data

2

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

SIMPULAN DAN SARAN

7
7
12
18

Simpulan

18

Saran

18

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN


21

RIWAYAT HIDUP

27

DAFTAR TABEL
1 Bobot hasil ekstraksi dan biomasa ekstrak methanol
2 Uji aktivitas 30 fraksi kromatografi kolom

8
9

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

6
7
8
9
10

Isolat aktif F EPCB20.3
Kurva Pertumbuhan Penicillium lagena
Uji aktivitas ekstrak etil asetat terhadap jamur endofit Penicillium lagena
Hasil Kromatogram KLT ekstrak etil asetat Penicillium lagena
Hasil KLT fraksi 4
Kromatogram bioautografi fraksi 4
Kromatogram ekstrak Penicillium lagena sebelum dikolom
Kromatogram fraksi 4 yang aktif
Kromatogram KLT fraksi 4 noda 2
Serapan UV- vis KLT fraksi 4 noda 2

7
7
8
9
10
10
11
11
11
12

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Jamur endofit Penicillium lagena
Komposisi eluen kromatografi kolom
Kurva standar DNS
Analisis gula total dan biomasa Penicillium lagena
Gambar uji aktivitas fraksi 4 kromatografi kolom terhadap Phellinus
lamaoensis
Gambar kromatogram fraksi 4 yang aktif
Uji aktifitas darin noda 2 KLT fraksi 4
Lampiran 8 KLT fraksi 4 yang aktif untuk bioautografi
Bobot molekul senyawa aktif pada fraksi 4 noda 2
Rumus bobot molekul Penicillium lagena

21
21
21
22
23
23
23
24
25
26

PENDAHULUAN
Jamur dapat memproduksi metabolit sekunder sebagai biokontrol terhadap
jamur fitopatogen tanaman. Banyak penelitian terdahulu yang mempelajari
mekanisme kerja dari jamur sebagai biokontrol penyakit tanaman yang
disebabkan oleh jamur fitopatogen. Biokontrol penyakit tanaman mendapat
perhatian yang lebih sebagai alternatif pengendali penyakit tanaman dari bahan
kimia. Biokontrol penyakit tanaman melibatkan pemanfaatan mikroorganisme
yang menguntungkan seperti jamur (kapang dan khamir) maupun bakteri untuk
melawan dan mengendalikan penyakit yang disebabkan patogen tanaman (seperti
bakteri, jamur, dan nematoda) (Tan dan Zou 2001).
Indonesia mempunyai keragaman hayati yang sangat besar, termasuk
didalamnya tanaman obat-obatan. Tanaman obat yang beraneka ragam jenis,
habitus, dan khasiatnya mempunyai peluang besar serta memberi kontribusi bagi
pembangunan. Karakteristik berbagai tanaman obat yang menghasilkan produk
berguna bagi masyarakat memberi peluang untuk dibangun dan dikembangkan
sehingga memiliki manfaat yang lebih. Berbagai keuntungan yang dihasilkan dari
tanaman obat adalah: peningkatan pendapatan, kesejahteraan, keberlanjutan
usaha dan penyerapan tenaga kerja (Kartasapoetra 2004).
Penelitian penggunaan jamur endofit dari tanaman obat merupakan salah
satu upaya untuk menghasilkan senyawa antijamur maupun mikotoksin untuk
melawan patogen yang menyerang tanaman kakao (Theobroma cacao L.) seperti
Phytopthora palmivora dan Phellinus lamaoensis. Fitopatogen ini dapat
menurunkan produksi tanaman kakao di Indonesia. Phytopthora palmivora
merupakan fitopatogen yang menyerang buah pada tanaman kakao. Buah kakao
yang terinfeksi akan menunjukkan gejala pembusukan dan disertai bercak coklat
kehitaman (Meija et al. 2008). Gejala ini biasanya dijumpai pada ujung dan
pangkal buah. Hal ini terjadi karena pada pangkal buah terdapat lekukan yang
menjadi tempat tergenangnya air sehingga spora jamur akan berkecambah dan
menimbulkan infeksi dari pangkal hingga ujung buah. Phellinus lamaoensis
merupakan fitopatogen penyebab busuk akar pada tanaman kakao (Wahyudi
2008). Penularan terjadi langsung antar akar sakit dan sehat. Umumnya jamur ini
menyerang akar tunggang dan selanjutnya menyebar ke akar – akar yang besar.
Survei yang dilakukan di Jawa menunjukan bahwa serangan busuk buah dapat
menurunkan hasil produksi sekitar 26- 56%. Kerugian hasil di beberapa kebun
dapat mencapai diatas 40%. Di Jawa Tengah kerugian dapat mencapai 49.8%,
Jawa Timur 46.43% dan Jawa Barat 42.30%.
Jamur endofit merupakan salah satu dari kelompok mikroba endofit.
Hampir semua jaringan tanaman mengandung mikroba endofit. Mikroba endofit
merupakan mikroorganisme yang dapat tumbuh dalam jaringan tumbuhan tanpa
membahayakan inangnya. Mikroba endofit dapat diisolasi dari jaringan akar,
batang, daun, dan yang paling umum ditemukan adalah dari jenis jamur.
Identifikasi jamur endofit yang banyak dilakukan adalah dengan mengamati
morfologi dari miselia dan konidianya. Beberapa mikroba endofit dapat
menghasilkan senyawa - senyawa bioaktif sebagai senyawa metabolit sekunder
yang memiliki daya antimikroba, antimalaria, antikanker dan sebagainya (Tan dan
Zou 2001). Oleh karena itu Owen dan Hundley (2004) menyebutnya sebagai

2
chemical syintheizer inside plant. Mikroba endofit selain memiliki peranan
penting dalam dunia pengobatan, juga memiliki peranan penting dalam dunia
industri dan pertanian (Strobel 2003).
Penelitian ini bertujuan mendapatkan isolat jamur potensial yang dapat
menghasilkan senyawa aktif antifitopatogen tanaman kakao (Theobroma cacao
L.). Sehingga hasil yang didapatkan dari penelitian ini mampu menjadi referensi
mengenai senyawa antijamur fitopatogen tanaman kakao (Phellinus lamaoensis).

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2013. Kegiatan
ini dilakukan di Balai Pengkajian Bioteknologi Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (Biotek–BPPT) Laboratorium Mikrobiologi Serpong, Tangerang
Selatan.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah isolat jamur endofit dari
jaringan daun, batang dan bunga tanaman obat asal Cirebon (lamtoro ( Leucaena
leucocephala), melinjo (Gnetum gnemon L.), kumis kucing (Orthosiphon
stamineus), pecut kuda (Stachytarpheta jamicensis), patikan kebo ( Euphorbia
hirta ), jengger ayam (Celosia cristata), tapak liman ( Elephantopus scaber L. )
dan bandotan (Ageratum Conyzoides L.)) yang telah tersedia di BPPT-Biotek
Serpong, Tanggerang Selatan, kloroform, akuades, malt extract, yeast extract,
metanol, HCl 4N, NaOH 2N, DNS, alkohol 96 %, potatoes dextrose agar, tepung
beras, glukosa, Soyben meal. KH2PO4 MgSO4 7H2O, kertas cakram (Whatman
No. 1 diameter 6 mm) gliserol, potato exstrak, tripton, NH4NO3, dextrin, metanol
HPLC, dan etil asetat. silika gel 60 (0,063-0,200 mm) ,TLC silica gel 60 F254 ,
glass wool dan nistatin (sebagai kontrol positif).
Alat
Peralatan yang digunakan adalah, oven, autoklaf, alumunium foil, pH meter,
bulb, neraca analitik, Erlenmeyer, tabung reaksi, laminar, stirrer, parafilm, oven,,
shaker, penangas air, rotary vaccum evaporator, tabung sentrifus 50 mL, tabung
rotavapor, spatula, kertas cakram, parafilm, pipa kapiler, kolom, spektrometer,
CAmag UV cabinet II, HPLC analitik (Waters 2695) dan Liquid
chromatography–mass spectrometry (LC-MS (XEVO - G2QTOF (Waters)).
Prosedur Analisis Data
Penapisan Isolat Aktif
Isolat yang digunakan merupakan kultur koleksi Balai Pengkajian
Bioteknologi BPPT. Penapisan jamur endofit dilakukan untuk menentukan dan
memilih isolat-isolat yang memiliki aktivitas antijamur. Penapisan jamur endofit

3
dilakukan dengan melakukan uji pendahuluan terlebih dahulu. Uji pendahuluan
dilakukan dengan cara menumbuhkan isolat pada media PDA dan metode difusi
agar. Kemudian isolat yang tumbuh diambil dengan menggunakan sedotan,
selanjutnya diletakan pada media Potatoes dextrose agar ( PDA) yang telah
dicampurkan dengan fitopatogen jamur
Phellinus lamaoensis. Penapisan
dilakukan sekali ulangan.
Pembuatan Media
Media PDA (Potatoes Dextrose Agar).
Sebanyak 15.6 gram potatoes dextrose agar dilarutkan dalam labu
Erlenmeyer kemudian ditambahkan akuades sampai volume 400 ml. Sterilisasi
selama 15 menit pada suhu 121ºC. Setelah suhu Erlenmeyer mencapai 45ºC,
medium dituangkan ke dalam cawan petri. Pekerjaan dilakukan dalam kondisi
steril.
Media Vegetatif (F1).
Sebanyak 5 gram tepung beras, 5 gram glukosa,10 gram soybean meal, 0.5
gram KH2PO4 , dan 0.25 gram MgSO4 7H2O dimasukkan kedalam bekker glass,
kemudian ditambahkan akuades sampai 500 mL, selanjutnya diaduk dengan
menggunakan stirrer. Disediakan 10 Erlenmeyer 250 mL yang di dalamnya diisi
dengan glass beat, kemudian dmasukan sebanyak 50 mL campuran yang dibuat
sebelumnya, setelah itu disterilisasi selama 15 menit pada suhu 121ºC.
Media Fermentatif F33.
Sebanyak 50 mL gliserol, 500 mL potato extract konsentrasi 20 %, malt
extract 5 gram, yeast extract 5 gram dan tripton 10 gram dimasukan ke dalam
gelas piala, tambahkan air hingga mencapai 1000 mL, kemudian diaduk dengan
menggunakan stirrer, pH diukur hingga 6.5. Campuran dituangkan ke dalam
Erlenmeyer 250 mL sebanyak 50 mL per tabung. Sterilisasi pada suhu 121ºC
pada waktu 15 menit, dan didinginkan pada suhu ruang selama 1 hari.
Media Fermentatif F15.
Sebanyak 30 gram glukosa, 20 mL gliserol, 10 gram dextrin,10 gram malt
extract, 10 gram yeast extract, 1 gram tripton, 1 gram KH2PO4 dan 1 gram
NH4NO3 dimasukkan kedalam gelas piala kemudian ditambahkan air hingga
volumenya menjadi 1000 mL, diaduk menggunakan stirrer, pH diukur hingga 6.5.
Campuran dituangkan kedalam Erlenmeyer 250 mL sebanyak 50 mL setiap
Erlenmeyer, kemudian disterilisasi pada suhu 121ºC selama 15 menit dan
didinginkan pada suhu ruang selam 1 hari.
Regenerasi jamur (Noverita et al. 2009)
Jamur endofit yang digunakan berasal dari tanaman obat asal Cirebon.
Stok kultur didapatkan dari Balai Pengkajian Bioteknologi – Badan Pengkajian
dan Penerapan Teknologi (Biotek-BPPT). Jamur yang berada dalam vial (di
dinginkan pada suhu ruang) kemudian dipindahkan ke media PDA dan diinkubasi
pada suhu 28oC selam 5 hari.
Regenerasi Phellinus lamaoensis
Jamur fitopatogen tanaman kakao Phellinus lamaoensis diregenerasi pada
media PDA. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 28ºC selama 5-7 hari (Noverita et

4
al. 2009). Jamur patogen yang digunakan berasal dari stok kultur Balai
Pengkajian Bioteknologi - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BiotekBPPT), Kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(PUSPIPTEK) Gedung 630, Serpong, Tangerang Selatan.
Kurva Pertumbuhan (Sunaryanto 2011)
Media yang digunakan untuk menentukan kurva pertumbuhan sel fungi
endofit adalah media vegetatif F1 (kode instansi). Sampel dari media F1 diambil
sekitar 10 ml, kemudian disentrifus dengan kecepatan 4000 rpm selama 20 menit.
Sampel mikroba diukur absorbansinya pada panjang gelombang 550 nm untuk
penentuan kadar gula total setiap interval waktu enam jam, kemudian dibuat kurva
pertumbuhan yaitu hubungan antara waktu, kadar biomassa dan gula total.
Pengukuran dilakukan sampai sel mikroba mencapai tahap pertumbuhan stasioner.
Perhitungan Gula Total dengan Metode DNS (Miller 1959)
Sebanyak 0.5 gram sampel ditambahkan 1 mL HCl 4 N dipanaskan selama
20 menit. Setelah dingin ditambahkan 2 mL NaOH 2 N. Sampel diencerkan sesuai
dengan perkiraan konsentrasi gula pereduksi yang terdapat didalam sampel.
Selanjutnya diambil 1 ml dari larutan sebelumnya kemudian ditambahkan 3 mL
DNS dan dipanaskan selama 5 menit. Absorbansi dibaca dengan menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 550 nm.
Inokulasi Jamur Pada Media Vegetatif.
Jamur yang akan ditumbuhkan pada media vegetatif, terlebih dahulu
dimurnikan pada media PDA. Selanjutnya diinokulasikan pada media vegetatif
(F1) (dalam kondisi steril). Satu ose fungi endofit yang telah dimurnikan diambil
dan ditumbuhkan pada media vegetatif, kemudian dikocok dengan kecepatan 150
rpm selama 48 jam.
Fermentasi Fungi (Rahmi 2010).
Media Fermentasi F33 dan Media Fermentasi F15
Fungi yang ditumbuhkan pada media vegetatif diambil sebanyak 10 % dari
volume media yang tersedia. Selanjutnya dimasukkan kedalam media fermentasi
F33 dan media F15 yang sudah dibuat sebelumnya. Kemudian dikocok pada
kecepatan 150 rpm selama 5 hari sesuai dengan pertumbuhannya.
Estraksi Hasil Fermentasi (Rahmi 2010)
Cairan hasil fermentasi yang didapatkan diekstraksi dengan dua tahapan
berbeda. Tujuan dari perbedaan tahapan ini untuk mengetahui senyawa bioaktif
yang diinginkan bersifat intraseluler atau ekstraseluler. Tahapan ekstraksi dimulai
dengan memisahkan antara biomassa sel dengan media fermentasi menggunakan
sentrifugasi kecepatan 8000 rpm selama 15 menit. Endapan yang diperoleh
diekstrak menggunakan pelarut metanol (tahapan 1), sedangkan filtrat diekstrak
menggunakan etil asetat (tahapan 2).
Endapan yang didapatkan ditambah dengan metanol 1:1 (b/v), lalu
dikocok selama 30 menit, selanjutnya disentrifus 8000 rpm selama 15 menit.
Endapan yang didapatkan dihitung sebagai biomassa jamur. Sedangkan filtrat

5
metanol yang diperoleh dipekatkan menggunakan rotary vacuum evaporator, lalu
dikeringkan menggunakan centrifugal concentrator. Selanjutnya ekstrak yang
didapatkan ditimbang massanya.
Selain mengekstraksi senyawa yang ada dalam endapan, penelitian ini juga
mengekstraksi senyawa ekstraseluler yang ada dalam media fermentasi. Media
fermentasi yang telah digunakan tersebut ditambah dengan pelarut etil asetat
dengan rasio 1:1 (v/v). Campuran media dan pelarut tersebut selanjutnya dikocok
selama 30 menit, lalu fase air dan fase etil asetat dipisahkan. Untuk
memaksimalkan ekstraksi, fase air diekstrak bertingkat dengan menambah etil
asetat sebesar 1:1 (v/v) lalu dikocok lagi selama 30 menit. Fase etil asetat dari
ekstraksi pertama dan kedua digabungkan, kemudian dipekatkan menggunakan
rotary vacuum evaporator, dan selanjutnya dikeringkan menggunakan centrifugal
concentrator. Berat ekstrak ekstraseluler ini selanjutnya dihitung menggunakan
neraca analitik.
Uji Aktivitas (Agarry et al. 2007)
Uji aktivitas terhadap Phellinus lamaoensis
Uji aktivitas dilakukan dengan menggunakan metode difusi agar. Ekstrak
kering yang didapatkan pada proses ekstraksi dengan pelarut metanol maupun etil
asetat dibuat konsentrasinya menjadi 10.000 ppm dalam metanol 98.9%. Kertas
cakram (Whatman No. 1 diameter 6 mm) ditetesi 20 µl larutan ekstrak. Setelah
kering, dengan menggunakan
pinset yang steril kertas cakram tersebut
dipindahkan ke media PDA yang sudah diinokulasikan dengan patogen Phellinus
lamaoensis sesuai dengan tanda yang diberikan, kemudian diinkubasi pada suhu
28º C, pertumbuhan jamur diamati setiap hari dengan memperhatikan
terbentuknya zona bening. Zona bening tersebut merupakan tanda adanya
senyawa bioaktif (antijamur) yang dihasilkan oleh mikroorganisme untuk
memproteksi diri terhadap serangan jamur patogen.
Kromatografi Kolom (Adlani 2009 dan Agarry et al. 2007)
Fraksinasi dilakukan terhadap ekstrak metabolit dengan diameter zona
hambat paling besar terhadap jamur fitopatogen tanaman kakao. Kromatografi
kolom dengan elusi bergradien dilakukan dengan menggunakan fase diam silika
gel 60 (0.063-0.200 mm) dan 3 jenis fase gerak (eluen) dari non polar sampai
polar yaitu, kloroform, metanol dan akuades dengan 10 variasi (Lampiran 1).
Eluen untuk packing biasanya digunakan eluen yang akan dielusikan untuk
pertama kali .
Kolom gelas yang telah dibersihkan dipasang tegak lurus pada statip,
kemudian dibilas dengan fase gerak, dikeringkan dan dipasang glass wool pada
bagian bawah kolom. Kolom dengan bagian bawah yang telah dilapisi glass wool
diisi dengan silika gel sebanyak 28 g yang telah disuspensikan dalam fase gerak.
Sebanyak 1 g ekstrak yang akan difraksinasi dilarutkan dalam kloroform
secukupnya, kemudian dicampur dengan 2 g silika gel dan ditambahkan pada
permukaan kolom silika gel sehingga ekstrak tersebut akan dijerap pada
permukaan silika gel. Fraksi yang keluar dari kolom (setiap 50 mL) ditampung
sehingga diperoleh 30 fraksi, dikeringkan dengan rotary vacuum evaporator dan
diuji aktivitas antijamurnya dengan metode difusi agar.

6
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ( Kharismaya 2010)
KLT dilakukan untuk memperoleh eluen yang cocok yang akan digunakan
pada kromatografi kolom. KLT dilakukan dengan cara menotolkan 10 µL ekstrak
pada lempeng KLT yang berukuran 1x10 cm dengan jarak 1 cm dari batas bawah
plat kemudian dielusikan dengan menggunakan eluen yang merupakan komposisi
campuran dari kloroform dan metanol dengan perbandingan tertentu. Setelah
kering dielusi dalam bejana yang telah dijenuhkan dengan eluen hingga eluen
bergerak mencapai batas atas plat KLT (1 cm dari ujung atas plat). Plat hasil elusi
dikeringkan, kemudian bercak yang terbentuk diamati dengan lampu UV (Lamag
UV cabinet) dengan panjang gelombang 254 nm (Mocheva et al. 2002).
Bioautografi dilakukan setelah KLT untuk mengetahui bercak positif yang
mempunyai kemampuan menghambat mikroorganisme uji. Metode bioautografi
sama dengan metode difusi agar yang membedakan adalah plat KLT langsung
ditempelkan pada media agar PDA.
Purifikasi Hasil Fraksi aktif ( Kharismaya 2010)
Dalam tahapan ini, fraksi yang aktif dipurifikasi menggunakan KLT
(penjerap : silica gel 60 F254 ) dengan eluennya kloroform dan metanol.
Selanjutnya noda yang muncul diamati dibawah sinar UV 254 nm. Setelah itu
noda yang muncul dikerok kemudian dilarutkan dengan metanol, lalu disentrifus
dengan kecepatan 13000 rpm dengan suhu 4ºC selama 10 menit, kemudian
filtratnya diambil dan diuji aktivitasnya (Agarry et al. 2007). Filtrat yang
didapatkan selanjutnya diidentifikasi dengan menggunakan HPLC.
Kromatografi
Cair
Kinerja
Tinggi
(KCKT)/High
Performance
Chromatography (HPLC) analitik dan Liquid Chromatography-Mass
Spectrometry (LC-MS) (Adlani 2009).
Untuk mengetahui tingkat kemurnian dari ekstrak metabolit dilakukan
analisis menggunakan KCKT analitik menggunakan “HPLC Water 2695” kolom
fase balik (reversed phase) Symmetry C18 5 µm (4,6 x 250 mm), volume
sampel/injek adalah 10 µL/injek, dengan elusi bergradien 5% sampai 100%
acetonitril selama 35 menit, detektor Photo Dioda Array (PDA) Uv-vis dengan
panjang gelombang 210 nm untuk merunut keberadaan komponen senyawa
(Kazakevich et al. 2007). Fase gerak yang digunakan adalah asetronitril 100% dan
TFA 0.1%. Untuk mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor
digunakan komputer. Komputer mengukur kemudian memplotkan sinyal
elektronik menjadi suatu kromatogram yang selanjutnya dapat digunakan untuk
analisis senyawa yang dihasilkan .
Analisis ekstrak aktif dengan Chromatography-Mass Spectrometer (LC-MS)
Bobot molekul dan rumus molekul senyawa aktif ditentukan dengan
Spektrum LC-MS (ESI positif ion). Ekstrak etil asetat Penicillium lagena dibuat
konsentrasinya menjadi 10.000 ppm dalam pelarut methanol 98.9%. Sebanyak 5
μL larutan diinjeksikan ke dalam LC-MS. Kolom yang digunakan TOF MS ES+.
Laju alir fase gerak 0.3 mL/menit. Eluen yang digunkan yaitu H2O + 0.1 % asam
format, dan asetronitril + 0.1 asam format dengan detector ESI-MS positive ion
mode.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Penapisan Isolat Jamur Endofit Tanaman Obat Asal Cirebon
Penapisan dilakukan pada 30 isolat jamur endofit tanaman obat asal
Cirebon yang berasal dari jaringan daun, batang dan bunga tanaman. Dari 30
isolat yang dilakukan uji pendahuluan, diperoleh satu isolat jamur endofit yaitu FEP-CB- 20.3. Isolat yang mampu menghambat pertumbuhan patogen Phellinus
lamaoensis (Gambar 1) berasal dari daun tanaman bandotan dengan diameter 35
mm.

Gambar 1 Isolat aktif Jamur F-EP-CB- 20.3 terhadap Phellinus lamaoensis

Persen massa volume (%)

Kurva Pertumbuhan Penicillium lagena
Kurva pertumbuhan jamur endofit Penicillium lagena disajikan pada
Gambar 2. Penentuan kurva pertumbuhan ini bertujuan untuk menghasilkan
jumlah sel mikroba yang optimum dan mengetahui waktu fermentasi yang tepat
untuk jamur endofit Penicillium lagena. Gambar 2 memperlihatkan pertumbuhan
yang semakin meningkat dari jam ke-0 sampai jam ke-60 dan selanjutnya
memperlihatkan fase stsioner. Gambar 2 juga menunjukkan bahwa gula total yang
terdapat pada jamur endofit Penicillium lagena semakin menurun dari jam ke- 0
sampai jam ke-60 hingga fase stasioner.
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0
10 20 30 40
Persen masa volum (PMV)

50

60 70 80 (Jam)
Gula Total (mg/ml)

Gambar 2 Kurva pertumbuhan Penicillium lagena

8
Ekstraksi dan Fermentasi Senyawa Bioaktif Jamur Endofit Penicillium
lagena
Tabel 1 menunjukkan hasil ekstraksi dari pelarut metanol dan etil asetat.
Pelarut yang digunakan masing- masing memiliki konsentrasi 98.9%. Dari hasil
ekstraksi didapatkan bobot ekstrak metanol dari endapan dan ekstrak etil asetat
dari filtrat (Tabel 1). Bobot metanol yang didapatkan lebih besar dibandingkan
bobot etil asetat.
Tabel 1 Bobot hasil ekstraksi pelarut etil asetat dan metanol
Jamur

Penicillium
lagena

Media

F33

F15

Ulangan
1

Bobot ekstrak Etil
asetat (gram)
0.0359

Bobot ekstrak
metanol (gram)
0.8727

Biomassa ekstrak
metanol (gram)
1.7911

2

0.0392

1.5026

1.6764

3

0.028

1.5079

1.5663

1

0.0206

0.9507

1.6707

2
3

0.0188
0.0241

0.4513
0.6999

1.5746
1.5216

Uji Aktivitas Jamur Penicillium lagena
Ekstrak etil asetat dan metanol yang didapatkan dari jamur Penicillium
lagena selanjutnya diuji aktivitasnya terhadap fitopatogen Phellinus lamaoensis.
Hasil yang didapatkan, hanya ekstrak jamur dari pelarut etil asetat (ekstraseluler)
pada media F15 yang memiliki aktivitas terhadap fitopatogen Phellinus
lamaoensis Hal ini ditunjukan dengan adanya zona bening yang terbentuk dengan
tiga kali pengulangan berdiameter 10.52 mm, 10.37 mm dan 9.80 mm. Pada tahap
selanjutnya ekstrak yang digunakan untuk proses pemurnian hanya digunakan
eksrak supernatan dari jamur Penicillium lagena.
(Gambar 3).

a

Gambar 3

b

c

Aktivitas ekstrak etil asetat jamur Penicillium lagena terhadap
Phellinus lamaoensis ulangan 1 (a); ulangan 2 (b); ulangan 3 (c)

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) ekstrak etil asetat jamur endofit Penicillium
lagena
KLT bertujuan mencari eluen yang cocok digunakan pada proses
kromatografi kolom. Hasil KLT yang didapatkan menunjukan bahwa kloroform
dan metanol dengan perbandingan 20:1 menunjukkan pola elusi yang

9
menghasilkan noda terbanyak dan memisah dengan pengamatan pola pada sinar
UV 254 nm (Gambar 4).

a

b

c

Gambar 4 Hasil Kromatogram KLT ekstrak etil asetat Penicillium lagena
kloroform dan metanol 20:1 (a) ; kloroform dan metanol 30:1(b);
kloroform dan metanol 40:1 (c)
Kromatografi Kolom Ekstrak Etil Asetat Jamur Penicillium lagena
Kromatografi kolom dilakukan menggunakan silica gel 60 (0.063-0.200)
dengan eluen kloroform, metanol dan air (volum total 150 mL/fraksi) dengan
perbandingan komposisi setiap pelarut berbeda-beda (Lampiran 1). Dari proses
kromatografi kolom ini diperoleh 30 fraksi (Tabel 2). Selanjutnya setiap fraksi
diuji aktivitasnya terhadap patogen Phellinus lamaoensis. Hasil yang didapatkan
dari uji aktivitas terhadap 30 fraksi, diperoleh satu fraksi yang mampu
menghambat pertumbuhan patogen Phellinus lamaoensis (Lampiran 2).
Tabel 2 Uji aktivitas 30 fraksi dari kolom
No

Fraksi

Eluen

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

F1
F1.1
F2
F2.1
F2.2
F3
F3.1
F3.2
F4
F4.1
F4.2
F5
F5.1
F5.2
F6
F6.1
F6.2
F6.3
F7
F7.1
F7.2
F8

Kloroform
Kloroform
Kloroform
Kloroform
Kloroform
Kloroform : Metanol
Kloroform : Metanol
Kloroform : Metanol
Kloroform : Metanol
Kloroform : Metanol
Kloroform : Metanol
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air

Diameter Zona Hambat (mm)
Phellinus lamaoensis
8.72
-

10
No

Fraksi

Eluen

23
24
25
26
27
28
29
30
Kontrol

F8.1
F8.2
F9
F9.1
F9.2
F10
F10.1
F10.2
Kontrol +
Kontrol -

Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Kloroform : Metanol : Air
Nistatin
Metanol

Diameter Zona Hambat (mm)
Phellinus lamaoensis
9.78
-

Kromatografi Lapis Tipis Fraksi 4 Hasil Kromatografi Kolom ekstrak etil
asetat Penicillium lagena terhadap Isolat Jamur Phellinus lamaoensis
Kromatografi lapis tipis dilakukan terhadap fraksi 4 yang mempunyai
aktivitas dalam menghambat pertumbuhan Phellinus lamaoensis. Gambar 5
menunjukan hasil KLT terhadap fraksi 4 yang aktif.

Gambar 5 Hasil KLT fraksi 4 aktif
Hasil Bioautografi Fraksi 4 Aktif ekstrak etil asteat Penicillium lagena
terhadap Phellinus lamaoensis
Hasil bioatografi pada Gambar 6 menujukkan zona bening yang terlalu besar,
sehingga spot yang benar-benar menghasilkan senyawa aktif belum dapat
ditentukan.

Gambar 6 Kromatogram bioautografi fraksi 4 terhadap Phellinus
lamaoensis

11
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Analitik /High Performance Liquid
Chromatography (HPLC)
Gambar 7 menunjukkan ekstrak Penicillium lagena yang aktif. Hal ini
ditandai dengan munculnya beberapa puncak yang memiliki waktu retensi
berbeda. Salah satu puncak pada kromatogram ini memiliki senyawa aktif yang
mampu menghambat pertumbuhan Phellinus lamaoensis.
6.349

1.00
0.80

AU

11.519

1.20

0.60
0.40
0.20
0.00
5.00

10.00
Minutes

15.00

20.00

Gambar 7 Kromatogram ekstrak Penicilium lagena sebelum dikolom

10.114

2.50
2.00

14.704

Gambar 8 menunjukkan hasil analisis HPLC fraksi 4 yang aktif. Hasil
pemurnian belum dapat ditentukan secara spesisifik. Hal ini dikarenakan
munculnya empat puncak dengan waktu retensi yang berbeda-beda.

1.00

8.778

4.751

AU

1.50

0.50
0.00
2.00

4.00

6.00

8.00

10.00 12.00
Minutes

14.00

16.00

18.00

20.00

Gambar 8 Kromatogram fraksi 4 yang aktif

0.40

AU

0.30

12.152

10.340

Gambar 9 menunjukkan kromatogram hasil HPLC fraksi 4 spot 2. Terdapat
dua puncak yang memiliki senyawa antijamur dengan waktu retensi 10.04 menit
dan 12.15 menit.

0.20
0.10
0.00
5.00

10.00

15.00
Minutes

20.00

25.00

Gambar 9 Kromatogram KLT fraksi 4 aktif noda 2

12
Gambar 10 menunjukkan serapan geombang maksimum senyawa
yang terdapat pada fraksi 4 spot 2. Serapan gelombang maksimum pada
puncak pertama sebesar 231–553 nm, sedangkan pada puncak kedua
memiliki serapan gelombang maksimum sebesar 229.5-542.2 nm.
231.8

229.5

0.70

0.35

0.60

0.30

0.50

0.25

0.40

0.20

AU

AU

260.3
0.30

0.15

0.20

0.10

0.10

0.05

553.2

0.00
200.00

0.00
200.00

400.00
nm

a

542.2
519.0
400.00
nm

b

Gambar 10 Serapan gelombang maksimum KLT fraksi 4 noda 2 dengan
waktu retensi 10.34 menit (a); 12.152 menit (b)
Liquid Chromatography-Mass Spectrometry (LC-MS) Fraksi 4 spot 2
Hasil LC-MS menujukkan ada dua puncak yang memiliki bobot molekul
yang berbeda. Senyawa antijamur diduga berada pada puncak yang tingginya
paling dominan yaitu pada puncak pertama. Senyawa antijamur pada puncak
pertama ini memiliki bobot molekul sebesar 206.0547 gram/mol (Lampiran 8).

Pembahasan
Penapisan dan Vegetatif Isolat Jamur Endofit Aktif
Penapisan jamur endofit dilakukan untuk menentukan dan memilih isolatisolat yang memiliki aktivitas antijamur terhadap fitopatogen tanaman kakao
jamur Phellinus lamaoensis. Jamur endofit yang digunakan berasal dari jaringan
bunga, daun dan batang tanaman obat asal Cirebon. Penggunaan tanaman obat
asal Cirebon merupakan salah satu wilayah koleksi tanaman obat Biotek-BPPT.
Banyaknya koleksi tanaman obat BPPT dari berbagai daerah bertujuan untuk
membandingkan keragaman genetik jamur endofit yang tumbuh pada daerah yang
berbeda-beda. Terpilihnya tanaman obat asal Cirebon pada penelitian ini,
dikarenakan daerah ini memiliki program dan kebijakan tanaman obat sejak tahun
2012. Program ini bertujuan meningkatkan produksi dan budidaya tanaman obat
di daerah Cirebon (Abdibiof 2003).

13
Jamur endofit menghasilkan berbagai senyawa yang memiliki aktivitas
biologi, diantaranya alkaloid, terpenoid, dan fenolik (Tan 2001). Fungi endofit
yang tumbuh pada jaringan tanaman obat dapat menghasilkan senyawa yang
memiliki khasiat sama dengan tumbuhan inangnya, walaupun jenis senyawanya
berbeda. Bahkan, senyawa yang dihasilkan fungi endofit seringkali memiliki
aktivitas yang lebih besar dibandingkan aktivitas senyawa dari tumbuhan
inangnya (Prihatiningtias 2005). Tanaman obat yang digunakan diantaranya,
lamtoro ( Leucaena leucocephala), melinjo (Gnetum gnemon L.), kumis kucing
(Orthosiphon stamineus), pecut kuda (Stachytarpheta jamicensis), patikan kebo
( Euphorbia hirta ), jengger ayam (Celosia cristata), tapak liman ( Elephantopus
scaber L. ) dan bandotan (Ageratum Conyzoides L.). Dari tiga puluh isolat jamur
endofit tanaman obat asal cirebon yang diskrining, didapatkan satu isolat yang
aktif terhadap fitopatogen Phellinus lamaoensis yaitu jamur Penicillium lagena
(Lampiran 1). Pencillium lagena merupakan salah satu jamur yang berasal dari
kelas Deuteromycetes memiliki kemampuan dalam menghasilkan senyawa
antijamur. Isolat tersebut berasal dari jaringan daun tanaman bandotan (Ageratum
conyzoides L.). Kemampuan menghambat dari isolat ini ditunjukkan dengan
terbentuknya zona bening disekitar isolat (Gambar 1 dan Gambar 3).
Sebelum diaplikasikan isolat jamur endofit Penicillium lagena
diperbanyak dengan cara vegetatif, media yang digunakan adalah FI (kode
instansi). Media ini kaya akan sumber karbon yang berasal dari tepung beras,
asam amino dari soybean meal, KH2PO4 dan MgSO47H2O. Menurut Ahmad
(2002) media lokal tepung beras memberikan hasil yang lebih baik dalam
memperbanyak jamur, KH2PO berfungsi untuk metabolisme energi, sebagai
penstabilisasi membran sel, dan pengaturan produksi, sedangkan MgSO47H2O
berfungsi dalam pembentukan protein.
Kurva Pertumbuhan Penicillium lagena
Sebelum dilakukan proses fermentasi, terlebih dahulu dilakukan penentuan
kurva vegetatif isolat jamur Penicillium lagena . Kurva pertumbuhan vegetatif
digunakan untuk menentukan waktu yang paling tepat untuk transfer dari kultur
vegetatif ke kultur fermentatif (Sunaryanto 2011) yaitu pada saat mendekati akhir
dari fase pertumbuhan. Kultur vegetatif bertujuan untuk memperbanyak sel yang
akan digunakan sebagai inokulum pada proses fermentasi. Medium yang
digunakan biasanya didesain untuk perbanyakan sel (Sunaryanto 2011).
Kurva pertumbuhan jamur dapat dipisahkan menjadi empat fase utama :
fase lag, fase pertumbuhan eksponensial, fase stationer dan fase penurunan
populasi (Dianursanti 2012). Fase-fase tersebut mencerminkan keadaan jamur
dalam kultur pada waktu tertentu. Penentuan fase stasioner Penicillium lagena
dilihat pada kurva pertumbuhan (Gambar 2). Pada fase lag, jamur Penicillium
lagena mulai menyesuaikan kondisi dan medium fermentasi. Pada fase ini belum
terjadi pertumbuhan sel. Setelah fase lag selesai selanjutnya masuk pada fase
pertumbuhan. Fase pertumbuhan atau exponensial terjadi pada rentang waktu jam
ke-6 sampai dengan jam ke-54. Pada kurva pertumbuhan jamur Penicillium
lagena ini, terlihat konsumsi gula yang menurun dan pertumbuhan sel yang cepat
(Lampiran 4). Konsumsi gula oleh mikroba mengakibatkan terbentuknya asamasam organik hasil hidrolisis gula yang dapat menurunkan derajat keasaman
medium (Sanchez et al. 2010). Apabila dilihat dari rentang waktu fase

14
eksponensial maka proses pemanenan sel vegetatif untuk inokulum pada proses
fermentasi dilakukan pada jam ke-42 sampai dengan jam ke-54 rentang waktu
akhir fase pertumbuhan. Pertumbuhan fungi mulai memasuki fase stasioner pada
jam ke-60 sampai jam ke-72 atau hari ke-3. Pada jam ke-72 seharusnya fungi
mengalami penurunan biomasa, akan tetapi pada jam ke-72 pada Gambar 2,
biomasa jamur mengalami peningkatan. Hal ini diduga jamur mengalami
pertumbuhan yang tidak stabil.
Fermentasi dan Ekstraksi Isolat Jamur Aktif
Fermentasi adalah suatu proses dimana terjadi perubahan komponen
kimiawi dari substrat organik sebagai akibat dari adanya aktivitas metabolisme
mikroorganisme secara aerob maupun anaerob. Penentuan medium sebagai nutrisi
yang paling tepat untuk suatu proses fermentasi jamur memerlukan penelitian
yang cermat. Nutrisi harus diformulasikan untuk menunjang sintesis produk yang
diinginkan, baik berupa biomassa sel maupun metabolit tertentu. Namun pada
dasarnya semua mikroorganisme membutuhkan air, sumber energi, karbon,
nitrogen, mineral, dan vitamin untuk nutrisinya serta oksigen untuk proses aerobik
(Waites et al. 2001)
Nutrisi harus diformulasikan untuk menunjang sintesis produk yang
diinginkan, baik berupa biomassa sel maupun metabolit tertentu. Secara teknis
perbanyakan inokulum dan tahapan fermentasi memerlukan formulasi media yang
berbeda (dalam hal ini F15 dan F33). Untuk target produk berupa biomassa atau
metabolit primer, media yang digunakan adalah media yang dapat
mengoptimalkan pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan untuk produk target
berupa metabolit sekunder, maka diperlukan media yang dapat merangsang
pertumbuhan awal, diikuti dengan kondisi yang dapat mengoptimalkan produksi
metabolit sekunder (Waites et al. 2001).
Fermentasi pada penelitian kali ini dilakukan terhadap isolat aktif jamur
endofit Penicillium lagena yang diperoleh dari hasil vegetatif sebelumnya, dimana
jamur yang didapatkan ini berpotensi sebagai senyawa antijamur fitopatogen
Phellinus lamaoensis. Setiap jamur difermentasi dengan menggunakan media
F33 dan media F15. Media F33 kaya akan sumber pepton yang berasal dari tripton
dan yeast extract tetapi kurang sumber karbon yang berasal dari dextrin,
sedangkan media F15 selain mengandung sumber nitrogen juga kaya akan sumber
karbon yang berasal dari glukosa dan dekstrin. Dalam hal ini produksi senyawa
antijamur pada media yang mengandung sumber karbon dan nitrogen lebih
optimal daripada media yang hanya mengandung sumber nitrogen (Gao et al.
2009).
Ekstraksi dan Uji Aktivitas Isolat Jamur Penicillium lagena
Ekstraksi merupakan proses pelarutan senyawa kimia yang bersifat terlarut
dari bahan yang tidak terlarut menggunakan pelarut cair. Ekstraksi dapat
menggunakan beberapa pelarut yang berbeda kepolarannya untuk memisahkan
suatu senyawa antimikroba yang diinginkan dari senyawa kimia lainnya.
Perbedaan kepolaran tersebut merepresentasikan sifat kepolaran dari senyawa
antimikroba yang diperoleh (Muliana 2007). Ekstraksi dilakukan secara maserasi
bertingkat menggunakan dua pelarut yaitu metanol 98,9% dan etil asetat 98,9%
dengan perbandingan 1:1 (v/v). Pelarut ini umum digunakan dalam mengekstraksi

15
kultur jamur endofit (Sharker et al 2006). Pelarut ini juga memiliki sifat yang
polar dan semi polar, harganya yang murah, mudah didapatkan serta kekuatan
ekstraksinya yang tinggi pada tanaman (Hughes 2002). Penggunaan metanol
sebagai pelarut akan menghasilkan ekstrak yang lebih kental, produksi minyak
yang lebih banyak dan aroma serta warna yang lebih kuat dibandingkan dengan
etil asetat.
Hasil ekstraksi ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain kondisi
alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi, ukuran partikel sampel, kondisi dan
waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, serta perbandingan jumlah pelarut
terhadap jumlah sampel (Khopkar 2003). Pada penelitian ini ekstrak metanol
paling tinggi dibandingkan ekstrak etil asetat baik ekstrak yang berasal dari media
F33 maupun media F15 seperti terlihat pada Tabel 1. Ekstrak yang didapatkan
kemudian diuji aktivitasnya dalam menghambat pertumbuhan fitopatogen
Phellinus lamaoensis.
Uji Aktivitas terhadap Phellinus lamaoensis
Uji aktivitas ekstrak jamur endofit tanaman bandotan dilakukan dengan
menggunakan metode kertas cakram melalui difusi agar. Prinsip dari metode ini
adalah mendifusikan secara bebas senyawa uji yang telah diketahui
konsentrasinya ke seluruh media agar yang digunakan. Menurut Scorzoni et al.
(2007) difusi agar mempunyai makna pergerakan molekul pada matrik gel agar
ketika media agar dibiarkan memadat. Pada metode ini digunakan kertas cakram
silinder (Whatman No. 1 diameter 6 mm) yang ditempatkan di atas permukaan
agar. Terbentuknya zona bening di sekitar kertas cakram, menunjukkan bahwa
ekstrak yang di uji memiliki aktivitas dalam menghambat pertumbuhan patogen
yang diujikan. Zona hambat yang dihasilkan bergantung pada konsentrasi
senyawa aktif yang berdifusi ke dalam agar. Selain itu, juga dapat dipengaruhi
oleh volatilisasi dari senyawa uji, ukuran kertas cakram, jumlah senyawa yang
digunakan, adsorpsi oleh kertas cakram, tipe agar, kandungan agar, pH, volume
agar, dan strain mikroorganisme yang digunakan (Scorzoni et al. 2007).
Uji aktivitas daya hambat ekstrak kasar metabolit yang dihasilkan oleh
jamur endofit tanaman bandotan dilakukan terhadap fitopatogen Phellinus
lamaoensis. Hasil uji aktivitas yang didapatkan menunjukkan bahwa dari ekstrak
metanol dan ekstrak etil asetat jamur endofit Penicillium lagena yang di uji
terhadap Phellinus lamaoensis , didapatkan ekstrak etil asetat (ekstraseluler) dari
supernatan media F15 jamur endofit Penicillium lagena yang memiliki
kemampuan menghambat pertumbuhan fitopatogen tersebut (Gambar 3). Pada
tahap selanjutnya ekstrak yang digunakan untuk proses pemurnian hanya
digunakan eksrak etil asetat(supernatan) dari jamur Penicillium lagena.
Kromatografi Kolom dan Uji Aktivitas Fraksi yang Aktif
Ekstrak etil asetat kemudian dimurnikan menggunankan kromatografi
kolom. Prinsip dari kromatografi kolom, senyawa-senyawa polar dalam campuran
yang melalui kolom akan melekat lebih lama pada silika yang bersifat polar jika
dibandingkan dengan senyawa-senyawa non polar. Oleh karena itu, senyawa yang
bersiifat non polar akan lebih cepat melewati kolom (Rahmi 2010).
Hasil kromatografi kolom jamur Penicillium lagena disajikan pada Tabel 2.
Selanjutnya dilakukan uji aktivitas dari fraksi-fraksi yang didapatkan terhadap

16
Phellinus lamaoensis. Dari 30 fraksi, didapatkan satu fraksi yang aktif terhadap
Phellinus lamaoensis. Fraksi tersebut yaitu fraksi F4 dengan diameter zona bening
sebesar 8.72 mm. Diameter zona bening yang didapatkan mendekati nilai
diameter zona bening nistatin dengan konsentrasi 10.00 ppm (kontrol positif)
sebesar 9.78 mm. Nistatin merupakan senyawa yang mampu menghambat
pertumbuhan jamur (Kaewchai et al. 2009). Diduga senyawa antijamur yang
dihasilkan oleh isolat jamur Penicillium lagena bersifat semi polar, dikarenakan
memiliki aktivitas pada fraksi yang mengandung kloroform lebih banyak
(Lampiran 2), aktif pada ekstrak yang berasal dari pelarut etil asetat, dan pada
proses KLT pelarut dengan perbandingan kloroform (semipolar) lebih dominan
dibandingkan metanol (polar) mempunyai pola elusi yang terpisah dengan baik.
Fraksi yang aktif ini kemudian dilihat profil kromatogram senyawanya melalui
HPLC analitik untuk membandingkan profil senyawanya dan tingkat
kemurniannya.
Bioautografi dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT) fraksi yang aktif
Untuk melakukan uji bioautografi, komponen fraksi yang aktif dipisahkan
dengan menggunakan KLT dengan fase diamnya silika 60 F254 dan damati pada
panjang gelombang 254 nm (Kharismaya 2010). Adsorben atau fase diam pada
lempeng KLT yang digunakan terbuat dari silika gel yang partikelnya berukuran
antara 5-17 µm dengan ukuran pori 60 Å dan ketebalan 0.25 mm. Lempeng KLT
tersedia dengan indikator fluoresens, misalnya mangan yang diaktivasi seng
silikat atau fosfor yang akan memancarkan warna fluorosensi hijau ketika
diradiasikan dengan cahaya UV pada panjang gelombang 254 nm. Senyawa yang
menyerap cahaya UV akan terlihat berupa spot berwarna gelap (Braithwaite et al.
1999).
Pada pemisahan ini digunakan eluen yang sebelumnya diperoleh dari hasil
KLT ekstrak etil asetat Penicillium lagena (kloroform : metanol) sebesar 20:1
(v/v) yang memiliki pola elusi dan menghasilkan noda terbanyak dan memisah
dengan pengamatan pola pada sinar uv 254 nm (Gambar 3). Pemilihan jenis eluen
yang berbeda kepolarannya dalam KLT dapat digunakan untuk menguji suatu
senyawa yang belum diketahui identitasnya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
polaritas dari suatu senyawa uji (Yulia 2007). Fraksi hasil pemisahan kemudian di
bioautografi untuk melihat keberadaan senyawa yang aktif. Hasil bioautografi
menunjukkan bahwa senyawa aktif dari jamur endofit Penicillium lagena berada
pada fraksi 4 (Gambar 6). Keberadaan senyawa aktif secara pasti belum dapat
ditentukan. Hal ini disebabkan zona bening yang terbentuk terlalu besar pada
setiap noda hasil KLT. Dimana pada bagian tengah dari plat KLT yang bukan
merupakan bercak senyawa memiliki aktivitas penghambatan terhadap Phellinus
lamaoensis.
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Analitik /High Performance Liquid
Chromatography (HPLC) dan LC-MS
Ekstrak etil asetat dari supernatan jamur Penicillium lagena yang memiliki
aktivitas antijamur terhadap Phellinus lamaoensis ditunjukkan pada kromatogram
HPLC analitik Gambar 7. Penggunaan Kromatografi cair kinerja tinggi
(KCKT)/High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dikarenakan
kemampuan daya pisah atau resolusi pemisahannya yang tinggi dan

17
selektifitasnya sangat baik serta banyaknya solute yang dapat dipisahkan dengan
metode ini (Hendayana 2006). Hasil analisis ekstrak supernatan menunjukkan
beberapa puncak yang salah satu puncak tersebut merupakan senyawa aktif. Pada
tahap selanjutnya dilakukan anilisis terhadap fraksi yang didapatkan dari
pemurnian kromatografi kolom. Analisis dilakukan pada fraksi yang memiliki
aktivitas antijamur terhadap fitopatogen Phellinus lamaoensis yaitu pada fraksi 4
(Lampiran 5).
Untuk mengetahui profil kromatogram hasil pemurnian pada fraksi 4 yang
aktif dianalisis menggunakan HPLC (KCKT) analitik. Fase diam KCKT
menggunakan kolom C-18 yang bersifat non polar dan fase geraknya bersifat
polar (asetronitril 100% dan TFA 0.1%). Puncak senyawa yang sifatnya polar
akan terlihat terlebih dahulu pada kromatogram dan memiliki waktu retensi yang
lebih sedikit, sedangkan senyawa yang bersifat non polar akan terikat kuat dengan
fase diam sehingga puncaknya akan terlihat pada saat mendekati menit terakhir
waktu retensi keseluruhan (Clark 2007).
Hasil HPLC pada fraksi 4 menunjukkan bahwa senyawa aktif hasil
pemurnian belum dapat ditentukan secara spesifik. Hal ini disebabkan munculnya
empat puncak dengan waktu retensi yang berbeda-beda (Gambar 9), sedangkan
berdasarkan kepolaran fraksi aktif diduga senyawa antijamur berada pada menit
pertengahan waktu retensi. Hasil ini sama dengan penelitian sebelumnya yang
menyatakan bahwa jamur endofit isolat F-AE-PP-8.3 fraksi aktif (10-15) yang
memiliki aktivitas terhadap Phellinus lamaoensis, menghasilkan puncak-puncak
yang terkesan menyatu pada awal waktu retensi, akan tetapi pada penelitian ini,
berdasarkan kepolaran fraksi aktif jamur endofit isolat F-AE-PP-8.3 senyawa
yang mampu menghambat pertumbuhan Phellinus lamaoensis berada pada menit
awal waktu retensi (Rahmi 2010). Selanjutnya fraksi 4 yang aktif ini dilakukakan
pemurnian kembali dengan KLT. Noda fraksi 4 (dengan empat kali penotolan)
(Lampiran 8), dengan memperhatikan nilai Rf yang sama kemudian dikikis lalu
dilarutkan dengan menggunakan metanol HPLC, selanjutnya disentrifus dengan
kecepatan 13000 rpm selama 10 menit dengan suhu 4 ºC, kemudian diuji
aktivitasnya kembali (Lampiran 7). Menurut Margino (2008), apabila terdapat
noda dengan nilai Rf yang hampir sama, maka kemungkinan besar komponen
tersebut berasal dari kelompok senyawa yang sama. Hasil yang didapatkan, fraksi
4 pada noda ke-2 (Lampiran 6) pada KLT mememiliki kemampuan dalam
menghambat pertumbuhan Phellinus lamaoensis dengan diameter 14.05 mm
(Lampiran 7). Untuk mengetahui profil kromatogram hasil pemurnian, maka
fraksi 4 noda 2 ini dianalisis kembali menggunakan HPLC analitik.
Kromatogram hasil pemurniannya menunjukan bahwa keberadaan senyawa
antijamur belum dapat ditentukan secara pasti. Hal ini dikarenakan terdapat dua
puncak pada kromatogram hasil pemurnian. Senyawa yang mampu menghambat
pertumbuhan Phellinus lamaoensis ditandai dengan adanya dua puncak yang
terlihat pada Gambar 9. Senyawa aktif ini dicirikan dengan waktu retensi 10.34
menit dengan serapan maksimum pada panjang gelombang 231.8 nm -553.2 nm
(puncak pertama) dan 12.152 menit dengan serapan maksimum pada panjang
gelombang 229.5 nm – 542 nm (puncak kedua) (Gambar 10). Hasil KCKT
an