Pengaruh Penambahan IAA dan Kinetin terhadap Pertumbuhan Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) Varietas Pitaloka secara in vitro

PENGAR
RUH PENA
AMBAHA
AN IAA DAN KINE
ETIN TER
RHADAP
PERTUM
MBUHAN
N KRISAN
N (Dendran
nthema graandiflora Tzvelev)
T
VARIETA
AS PITAL
LOKA SECARA IN
N VITRO

KRISTIA
ANTO NUG
GROHO
A

A240700177

DEP
PARTEME
EN AGRO
ONOMI DA
AN HORT
TIKULTU
URA
FAKULT
TAS PERT
TANIAN
INS
STITUT P
PERTANIA
AN BOGO
OR
2012

RINGKASAN

KRISTIANTO NUGROHO. Pengaruh Penambahan IAA dan Kinetin
terhadap Pertumbuhan Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) Varietas
Pitaloka secara in vitro. (Dibimbing oleh NURHAYATI A. MATTJIK).
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mempelajari pengaruh konsentrasi
IAA dan kinetin terhadap pertumbuhan krisan varietas Pitaloka secara in vitro dan
mempelajari bagaimana interaksi antara kedua zat pengatur tumbuh tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman 3
Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor pada bulan Februari hingga Mei 2012.
Penelitian dilakukan menggunakan rancangan perlakuan faktorial yang
disusun dalam Rancangan lingkungan Acak Lengkap (RAL) dengan dua faktor
yaitu konsentrasi IAA dan konsentrasi kinetin. Perlakuan konsentrasi IAA terdiri
atas tiga taraf yaitu 0 mg/l, 0.5 mg/l, dan 1.0 mg/l sedangkan konsentrasi kinetin
terdiri atas empat taraf yaitu 0 mg/l, 0.5 mg/l, 1.0 mg/l, dan 1.5 mg/l sehingga
terdapat 12 kombinasi perlakuan. Tiap perlakuan diulang sebanyak 10 kali
sehingga terdapat 120 satuan percobaan.
Hasil percobaan selama tahap kultur in vitro menunjukkan bahwa
penambahan auksin tidak berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah tunas,
jumlah buku, jumlah daun, jumlah akar, panjang akar, dan tinggi planlet.
Penambahan kinetin menunjukkan pengaruh nyata terhadap jumlah akar, panjang

akar, dan tinggi planlet, serta berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tunas,
jumlah daun, dan jumlah buku. Interaksi antara IAA dan kinetin berpengaruh
nyata terhadap jumlah buku dan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah akar,
panjang akar, dan tinggi planlet.
Penambahan konsentrasi kinetin hingga 1 mg/l menghasilkan rata-rata
jumlah tunas dan jumlah daun terbanyak yaitu 3.18 tunas dan 16.77 daun.
Kombinasi antara IAA 1 mg/l dengan kinetin 1 mg/l menghasilkan rata-rata
jumlah buku terbanyak yaitu 14.14 buku. Perlakuan kontrol (MS0) menghasilkan
rata-rata jumlah akar terbanyak yaitu 11.5 akar.

Rata-rata panjang akar terpanjang juga diperoleh pada perlakuan kontrol
yaitu 9.73 cm, sedangkan rata-rata planlet tertinggi diperoleh pula pada perlakuan
kontrol yaitu 8.12 cm.

i

PENGARUH PENAMBAHAN IAA DAN KINETIN TERHADAP
PERTUMBUHAN KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev)
VARIETAS PITALOKA SECARA IN VITRO


Skripsi sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

KRISTIANTO NUGROHO
A24070017

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012

ii

Judul

: PENGARUH
KINETIN

PENAMBAHAN

TERHADAP

IAA

DAN

PERTUMBUHAN

KRISAN (Dendranthema grandiflora Tzvelev)
VARIETAS PITALOKA SECARA IN VITRO
Nama

: KRISTIANTO NUGROHO

NIM

: A24070017

Menyetujui,
Pembimbing


Prof. Dr. Ir. Nurhayati Ansori Mattjik, MS.
NIP. 19460807 197301 2 001

Mengetahui,
Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura
Fakultas Pertanian IPB

Dr. Ir. Agus Purwito, MSc. Agr
NIP. 19611101 198703 1 003

Tanggal lulus :

iii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 24 Desember 1989. Penulis
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sarwono dan Ibu
Nur Siti.

Riwayat pendidikan penulis dimulai tahun 1995 di SDN Aren Jaya 8
Bekasi Timur. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikannya di SMP
Negeri 3 Bekasi hingga tahun 2004. Selanjutnya penulis menyelesaikan studi di
SMA Negeri 1 Bekasi pada tahun 2007. Penulis diterima di Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun
2007. Semasa kuliah penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah
Biologi TPB.

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi
kekuatan dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Pengaruh Penambahan IAA dan Kinetin terhadap Pertumbuhan
Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) varietas Pitaloka secara in vitro
dengan sebaik mungkin. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat
kelulusan bagi mahasiswa Mayor Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Tiada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa skripsi ini mungkin

masih memiliki banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu penulis
menyampaikan permohonan maaf atas segala kekurangan yang ada. Semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

v

UCAPAN TERIMA KASIH
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis memperoleh bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Nurhayati A. Mattjik, MS. sebagai dosen pembimbing skripsi,
atas bimbingan dan arahan selama kegiatan penelitian ini berlangsung.
2. Prof. Dr. Ir. Bambang S. Purwoko, M.Sc. selaku pembimbing akademik
yang telah memberi arahan dan bimbingan akademik selama masa kuliah,
juga atas bantuan ZPT kinetin untuk penelitian ini.
3. Dr. Dewi Sukma, SP, M.Si dan Dr. Ir. Syarifah Iis Aisyah, MSc.Agr.

sebagai dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk
perbaikan skripsi ini.
4. Yayasan Bogor International Club, melalui wakilnya Ibu Ratna Rosiana
Budiman, atas bantuan dana beasiswa untuk kegiatan penelitian ini
5. Bapak, Ibu, serta kakak-kakak yang selalu memberikan dukungan baik
moril maupun materil kepada penulis.
6. Rekan kerja di Laboratorium Kultur Jaringan 3, antara lain Teh Iif, Mas
Deni, Bi Acih, Pak Nur Arifin, Neneng, Rara Puspita, Mbak Sandra, serta
Mbak Iin, atas bantuan dan kerjasamanya.
7. Seluruh rekan-rekan AGH angkatan 44 dan 45, terima kasih atas
persahabatan dan kerja samanya selama ini.

vi

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL.............................................................................................viii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xi
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1 

Latar Belakang ........................................................................................... 1 
Tujuan ........................................................................................................ 3 
Hipotesis .................................................................................................... 4 
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 5 
Botani Tanaman Krisan ............................................................................. 5 
Syarat Tumbuh Tanaman Krisan…………………………………………7 
Varietas Tanaman Krisan Indonesia......................................................... 10 
Kultur Jaringan Tanaman ......................................................................... 11
Kultur Jaringan Krisan………………………………………………….12
Media Kultur Jaringan…………………………………………………..14 
Zat Pengatur Tumbuh .............................................................................. 15 
Auksin ...................................................................................................... 16 
Sitokinin................................................................................................... 19 
BAHAN DAN METODE ................................................................................. 22 
Tempat dan Waktu ................................................................................... 22 
Bahan dan Alat......................................................................................... 22 
Metode Penelitian .................................................................................... 22 
Pelaksanaan ............................................................................................. 23 
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 26 
Kondisi Umum ........................................................................................ 26

Pembahasan Umum ................................................................................. 27 
Jumlah Tunas ........................................................................................... 28 
Jumlah Buku ............................................................................................ 30 
Jumlah Daun ............................................................................................ 32 
Jumlah Akar ............................................................................................. 35 
Panjang Akar............................................................................................ 37 
Pembentukan Kalus ................................................................................. 39 
Tinggi Planlet ........................................................................................... 41 
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 44 
Kesimpulan .............................................................................................. 44 
Saran ........................................................................................................ 44 
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 45 

vii

LAMPIRAN ...................................................................................................... 48 

viii

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Jumlah Tunas pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 29

2. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Tunas pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 29

3. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Jumlah Buku pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 31

4. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Buku pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 31

5. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Buku pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 32

6. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Jumlah Daun pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 33

7. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Daun pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 33

8. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Jumlah Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 36

9. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Jumlah Akar pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 36

10. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Jumlah Akar pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 36

11. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Panjang Akar pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 37

12. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Panjang Akar pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 38

13. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Panjang Akar pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 39

ix

14. Persentase Eksplan Membentuk Kalus dari Tiap Perlakuan
pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka.................................... 40

15. Hasil uji F Pengaruh Konsentrasi IAA dan Kinetin terhadap
Tinggi Planlet pada Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............. 41

16. Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap Tinggi Planlet pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 42

17. Pengaruh Interaksi IAA dan Kinetin terhadap Tinggi Planlet pada
Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka............................................ 42

x

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Bentuk bunga krisan : (A). Tipe Pompon, (B). Tipe Button,
(C). Tipe Decorative, (D) Tipe Single................................................7
2. Bentuk bunga krisan : (A). Tipe Spoon, (B). Tipe Quill,
(C). Tipe Anemone, (D). Tipe Spider................................................ 8
3. Krisan Varietas Pitaloka..................................................................... 11
4. Skema Biosintesis IAA...................................................................... 17
5. Skema Pembentukan Sitokinin Melalui
Lintasan Asam Mevalonat…………………………………………. 20
6. Gejala Kontaminasi Selama Masa Kultur.......................................... 26
7. Tunas yang terbentuk pada kultur in vitro krisan
varietas Pitaloka perlakuan kinetin 0.5 mg/l pada 1 MSK………….28
8. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap
Jumlah Tunas Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
pada 9 MSK……………………………………………………….. 30
9. Analisis Regresi Pengaruh Konsentrasi Kinetin terhadap
Jumlah Tunas Kultur in vitro Krisan Varietas Pitaloka
pada 9 MSK……………………………………………………….. 34
10. Akar yang terbentuk pada kultur in vitro krisan varietas Pitaloka
perlakuan IAA 1 mg/l pada 1 MSK……………………………….. 35
11. (A). Kalus Berakar yang Terbentuk pada Perlakuan IAA 0.5 mg/l
dan (B). Kalus Bertunas yang Terbentuk pada Perlakuan
Kinetin 1.5 mg/l……………………………………………………. 41
12. Planlet yang terbentuk pada perlakuan kontrol pada 9 MSK……... 43

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor

Halaman

1. Deskripsi Krisan Varietas Pitaloka.................................................... 49
2. Komposisi Media Murashige dan Skoog………………………….. 50
3. Rumus Konversi dari ppm ke μM…………………………………. 51
4. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Jumlah Tunas pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………. 52
5. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Jumlah Daun pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………. 52
6. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Jumlah Buku pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………. 53
7. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Jumlah Akar pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………. 53
8. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Tinggi Planlet pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………..54
9. Sidik Ragam Pengaruh IAA, Kinetin, dan Interaksinya
terhadap Panjang Akar pada Kultur in vitro Krisan
varietas Pitaloka……………………………………………………..54

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Tanaman hias merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki
prospek ekonomi yang menguntungkan. Pemanfaatan tanaman hias dapat berupa
tanaman hias dalam pot yang digunakan untuk memperindah halaman rumah atau
mempercantik dekorasi ruangan. Cara lain pemanfaatan tanaman hias ialah dalam
bentuk bunga potong segar yang permintaannya saat ini kian bertambah seiring
dengan perkembangan pola pikir masyarakat akan nilai-nilai keindahan dan
estetika. Hal ini terlihat dari tingginya permintaan akan bunga potong segar, baik
digunakan sebagai hiasan di rumah, di kantor, di hotel maupun dalam acara-acara
tertentu seperti pernikahan, wisuda, upacara keagamaan, hingga kematian.
Kondisi geografis Indonesia yang memiliki dataran tinggi dengan kondisi udara
yang sejuk membuat agribisnis tanaman hias berkembang semakin pesat.
Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev) merupakan salah satu jenis
tanaman hias yang memiliki angka permintaan cukup tinggi di masyarakat. Sentra
produksi krisan kini mulai tersebar di beberapa daerah di Indonesia antara lain di
kawasan Cipanas-Cianjur, Lembang (Jawa Barat); Bandungan (Jawa Tengah);
Batu (Jawa Timur); Brastagi (Sumatera Utara); Bukit Tinggi (Sumatera Barat);
Pagar Alam (Sumatera Selatan); Bali; hingga Tomohon (Sulawesi Utara) (Hadi,
2008). Badan Pusat Statistik (2009) mencatat bahwa produksi bunga potong
krisan pada tahun 2009 mencapai 107 847 072 tangkai, meningkat 8 688 130
tangkai dari tahun sebelumnya. Produksi bunga potong krisan bahkan jauh lebih
tinggi dibanding bunga potong tanaman lain seperti anggrek, gladiol, mawar,
sedap malam, dan gerbera (BPS, 2009). Tingginya angka produksi bunga potong
krisan menunjukkan besarnya tingkat permintaan masyarakat akan bunga potong
tersebut.
Meskipun agribisnis tanaman krisan nampak begitu menjanjikan, namun
kenyataannya upaya produksi tanaman krisan di Indonesia dihadapkan pada
beberapa permasalahan. Hingga akhir periode 1990an Indonesia belum mampu
memproduksi bibit tanaman krisan sendiri dan masih mengandalkan pasokan bibit

2

dari luar negeri. Selama ini bibit krisan diimpor dari negara seperti Belanda,
Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang yang selain harganya mahal juga
memerlukan kompensasi pembayaran royalti 10% untuk tiap harga jual
per tangkainya bila tanaman tersebut diperbanyak secara komersial (Syaifan,
2010). Pembiakan tanaman krisan dapat berlangsung secara generatif maupun
vegetatif. Menurut Kofranek (1992), bila tanaman krisan dibiakkan secara
generatif dari benih, maka akan terjadi segregasi yang menghasilkan keturunan
dengan beragam bentuk bunga, padahal keseragaman bentuk dan warna bunga
menjadi salah satu kriteria penting dalam pemasaran tanaman krisan. Hingga kini
pembiakan secara vegetatif melalui stek pucuk menjadi pilihan utama yang
digunakan oleh para produsen krisan di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu semakin tingginya permintaan konsumen akan
bunga potong krisan membuat para produsen harus mampu menyediakan bibit
tanaman krisan yang seragam serta bebas penyakit dalam jumlah yang besar dan
dalam waktu yang relatif singkat. Oleh karena itu upaya pembiakan secara in vitro
melalui teknik kultur jaringan dapat menjadi salah satu alternatif. Menurut
Gunawan (1992), kelebihan teknik kultur jaringan yaitu mampu memproduksi
tanaman dalam jumlah besar dengan waktu yang relatif singkat, tanaman yang
diperoleh juga terbebas dari patogen, dan teknik kultur jaringan dapat pula
diterapkan dalam pemuliaan tanaman terutama bila cara konvensional dihadapkan
pada hambatan alamiah. Chawla (2002) menambahkan, melalui teknik kultur
jaringan dibutuhkan penggunaan lahan yang lebih sedikit, bahan perbanyakan
tanaman yang dibutuhkan juga tidak terlalu banyak dan tidak merusak tanaman
induk, kualitas produk yang dihasilkan lebih konsisten dan dapat dihasilkan terus
menerus, dan di bawah kondisi terkontrol lebih sesuai dengan permintaan pasar.
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan perbanyakan
secara in vitro ialah penambahan zat pengatur tumbuh. Auksin dan sitokinin
merupakan dua kelompok zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam
perbanyakan tanaman secara in vitro (Gunawan, 1992). Efek fisiologi auksin bagi
tanaman yaitu dalam hal pemanjangan sel, fototropisme, dominansi apikal, inisiasi
dan pemanjangan akar, produksi etilen, serta pertumbuhan buah (Arteca, 1996).
Peran sitokinin sendiri bagi tanaman antara lain mengatur pembelahan sel dan

3

diferensiasi jaringan, pembesaran dan pemanjangan sel, perkembangan tunas dan
pucuk, pemeliharaan sintesis asam nukleat dan protein, ikut mengendalikan
perkecambahan pada benih, menyokong translokasi nutrisi dan substansi organik,
serta menghambat terjadinya senescence dengan mencegah terjadinya degradasi
klorofil (Weaver, 1972; Arteca, 1996).
Menurut Windasari (2004), pemberian NAA pada konsentrasi 0.1 mg/l
memberikan hasil yang optimum untuk jumlah daun dan tinggi planlet krisan
varietas Delano Red, sedangkan pemberian kinetin hingga 2.5 mg/l menunjukkan
pengaruh yang baik bagi jumlah daun, namun pertumbuhan akar planlet menjadi
terhambat. Maryani dan Zamroni (2005) memperoleh hasil bahwa kombinasi IAA
1 mg/l dengan BAP 1 mg/l menghasilkan jumlah tunas terbanyak pada
perbanyakan krisan secara in vitro. Penelitian yang dilakukan oleh Syaifan (2010)
terhadap dua varietas krisan yaitu Puspita Nusantara dan Puspita Asri
menunjukkan bahwa pemberian BA 4.44 μM mendorong terbentuknya jumlah
daun per eksplan yang terbanyak, sedangkan pemberian BA 6.66 μM
menghasilkan jumlah tunas terbanyak.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan dua jenis zat pengatur
tumbuh yaitu IAA dan kinetin untuk melihat bagaimana pengaruh penambahan
kedua zat pengatur tumbuh tersebut dalam memacu pertumbuhan krisan varietas
Pitaloka secara in vitro. Konsentrasi IAA yang digunakan ialah 0 mg/l, 0.5 mg/l,
dan 1.0 mg/l, sedangkan konsentrasi kinetin yang digunakan ialah 0 mg/l, 0.5
mg/l, 1.0 mg/l, dan 1.5 mg/l.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi IAA dan
kinetin terhadap pertumbuhan krisan varietas Pitaloka secara in vitro dan
mempelajari bagaimana interaksi antara kedua zat pengatur tumbuh tersebut.
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk memperoleh komposisi media yang
terbaik untuk perbanyakan krisan varietas Pitaloka secara in vitro.

4

Hipotesis
1.

Akan diperoleh konsentrasi IAA yang baik untuk pertumbuhan krisan varietas
Pitaloka secara in vitro.

2.

Akan diperoleh konsentrasi kinetin yang baik untuk pertumbuhan krisan
varietas Pitaloka secara in vitro.

3.

Terdapat interaksi antara konsentrasi IAA dan kinetin yang berpengaruh baik
terhadap pertumbuhan krisan varietas Pitaloka secara in vitro.

5

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Krisan
Krisan (Dendranthema grandiflora Tzvelev. sinonim Chrysanthemum
morifolium Ramat.) merupakan tanaman hias berbentuk perdu yang telah
dibudidayakan di Cina sejak 2000 tahun lalu (Boodley, 1998). Pada tahun 797 M
bunga krisan dijadikan simbol kekaisaran Jepang dengan julukan Queen of the
East (National Chrysanthemum Society, 2003). Selain sebagai tanaman hias,
krisan juga dikenal sebagai salah satu tanaman obat dalam literatur pengobatan
tradisional Cina. Akarnya dapat digunakan sebagai penghilang sakit kepala, tunas
muda dan mahkota bunganya dapat dimakan sebagai salad, dan daunnya
digunakan sebagai minuman untuk kesehatan (National Chrysanthemum Society,
2003). Penelitian yang dilakukan oleh Pin et al. (1999) pada Chrysanthemum
morifolium, menunjukkan bahwa ekstrak bunga krisan jenis tersebut memiliki
kandungan antioksidan yang cukup tinggi. Penelitian Zhu et al. (2005)
menunjukkan bahwa minyak esensial yang terdapat pada bunga Chrysanthemum
indicum

memiliki

kemampuan

menghambat

pertumbuhan

15

macam

mikroorganisme.
Pada tahun 1795 tanaman krisan dibawa ke daratan Eropa (Hadi, 2008).
Ahli botani Swedia yang dikenal pula sebagai Bapak Taksonomi, Carolus
Linnaeus, memberikan nama Chrysanthemum sebagai genus tanaman ini yang
merupakan perpaduan dari kata Yunani chrysos yang berarti emas dan anthemon
yang bermakna bunga (National Chrysanthemum Society, 2003). Sejak saat itulah
nama Chrysanthemum digunakan secara luas untuk menyebut genus tanaman ini.
Selanjutnya pada tahun 1843 Robert Fortune membawa ke Inggris salah satu jenis
krisan yang menjadi tetua krisan jenis spray dan pompon; dan pada tahun 1889
Elmer D. Smith di Amerika Serikat mulai melakukan persilangan untuk
menghasilkan varietas baru krisan untuk diperjualbelikan (Kofranek, 1992).
Di Amerika Serikat sendiri, tanaman krisan menjadi sedemikian terkenal,
bahkan menurut Boodley (1998) krisan merupakan tanaman pot penghasil dollar
terbanyak kedua setelah kastuba. Boodley (1998) menyatakan bahwa alasan

6

popularitas krisan terutama karena tanaman ini memiliki bentuk dan warna petal
bunga yang beraneka ragam mulai dari kuning keemasan, merah, merah muda,
ungu, dan putih. Dalam sistem klasifikasi terbaru, beberapa anggota genus
Chrysanthemum berganti nama menjadi Dendranthema. Berikut merupakan
klasifikasi krisan:
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Ordo

: Asterales

Famili

: Asteraceae

Genus

: Dendranthema

Spesies

: Dendranthema grandiflora Tzvelev.

Krisan memiliki bentuk bunga yang beragam. Oleh karena itu
pengelompokkan krisan seringkali dilakukan berdasarkan bentuk bunganya.
National Chrysanthemum Society dalam Crockett (1972) membuat klasifikasi
sebagai berikut :
1. Tipe Pompon, memiliki diameter bunga antara 3-5 cm. Berbunga
sepanjang musim gugur. Bunga berbentuk seperti bola, bagian piringan
bunganya ada yang berwarna kuning, berupa cincin petal tunggal maupun
ganda.
2. Tipe Button, memiliki diameter bunga kurang dari 3 cm, memiliki petal
yang memeluk piringan bunga begitu erat sehingga nampak seperti pernah
dipangkas. Berbunga pada musim gugur.
3. Tipe Decorative, memiliki diameter bunga antara 5-10 cm. Berbunga pada
akhir musim panas hingga akhir musim gugur. Bentuknya menyerupai tipe
pompon namun bagian tepi bunga lebih panjang.
4. Tipe Single, memiliki petal tunggal dengan piringan bunga berbentuk
datar.

7

Gambar 1.

A

B

C

D

Bentuk bunga krisan : (A). Tipe Pompon, (B). Tipe Button, (C).
Tipe Decorative, (D) Tipe Single (Sumber : Gambar A, B, C
berasal dari www. mums.org, Gambar D berasal dari
www.cyrosellaflower.wordpress.com

Selain keempat tipe tersebut, masih terdapat tipe lain menurut Crockett
(1972) yang kurang umum direkomendasikan karena waktu mekarnya yang
terlambat yaitu pada akhir musim gugur atau awal musim dingin sehingga
memerlukan perlindungan di rumah kaca, antara lain :
1. Tipe Spoon, memiliki diameter bunga antara 7-12 cm, memiliki tabung
petal dengan ujung tiap petal mengembang mejadi bagian yang berbentuk
seperti sendok. Warna pada bagian ujung petalnya lebih cerah dibanding
bagian petal lainnya.
2. Tipe Quill, mirip dengan tipe spoon namun bagian ujung petalnya tertutup.
3. Tipe Anemone, memiliki bagian dasar piringan bunga yang berbentuk
seperti bantalan.
4. Tipe Spider, memiliki petal yang unik dan panjang serta melengkung ke
atas.

8

Gambar 2.

A

B

C

D

Bentuk bunga krisan : (A). Tipe Spoon, (B). Tipe Quill, (C). Tipe
Anemone, (D). Tipe Spider. (Sumber :www.mums.org )

Syarat Tumbuh Tanaman Krisan
Krisan merupakan tanaman yang berasal dari daerah subtropis sehingga
memerlukan lingkungan yang cukup sejuk untuk dapat tumbuh dengan baik.Di
daerah subtropis menurut Crockett (1977), krisan dapat tumbuh dengan baik pada
suhu siang di bawah 200C sedangkan pada malam hari antara 4-100C. Menurut
BBPP Lembang (1999), suhu untuk pertumbuhan krisan pada siang hari di daerah
tropis adalah 20-280 C dan pada malam hari sekitar 15-200C, dengan kelembapan
udara 90-95% pada awal pertumbuhan dan kelembapan udara 70-80% setelah
tanaman cukup dewasa. Di Indonesia krisan dapat tumbuh dengan baik pada
daerah dengan ketinggian 600-1200 mdpl.
Menurut Boodley (1998), media untuk penanaman krisan dapat berupa
campuran tanah lempung, Sphagnum peat moss, dan perlite dengan perbandingan
1:1:1. Campuran media tersebut memiliki drainase dan aerasi yang baik sehingga

9

tidak terlalu berat dan dapat disterilisasi dengan mudah (Boodley, 1998).
Penanaman dilakukan dengan kerapatan 64 tanaman/m2 pada musim hujan dan
72-80 tanaman/m2 pada musim kemarau (BBPP Lembang, 1999). Tanaman krisan
membutuhkan air dalam jumlah yang memadai, namun tanaman krisan tidak
tahan terhadap terpaan air hujan. Oleh karena itu menurut BBPP Lembang (1999),
untuk budidaya krisan di daerah dengan curah hujan tinggi dibutuhkan bangunan
rumah plastik
Tanaman krisan merupakan tanaman hari pendek dengan batas kritis
panjang hari (critical daylength) sekitar 14.5 jam (Boodley, 1998). Tanaman
krisan akan berbunga bila panjang hari yang diterima kurang dari batas kritisnya
dan akan tetap berada dalam fase vegetatif selama panjang hari yang diterima
melebihi batas kritisnya. Indonesia merupakan negara tropis dengan panjang siang
dan malam yang relatif sama yaitu 12 jam. Oleh karena itu tanaman krisan perlu
mendapat perlakuan khusus selama masa pertumbuhannya. Untuk memacu
pertumbuhan selama fase vegetatif, biasanya dilakukan pemberian cahaya buatan
3-4 jam setiap malam selama 4-5 minggu (tergantung varietas) dengan
menggunakan lampu TL atau lampu pijar (BBPP Lembang, 1999). Menjelang fase
generatif, pemberian cahaya buatan dihentikan karena untuk merangsang
pembungaan pada krisan dibutuhkan lama penyinaran yang kurang dari titik
kritisnya.
Selain dipengaruhi oleh lama penyinaran, pembungaan pada krisan juga
dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Menurut Boodley (1998), untuk pembungaan
pada krisan dibutuhkan suhu malam pada kisaran 15.5-16.50C dan suhu siang
antara 18.5-210C. Pembungaan krisan akan terhambat pada suhu siang di atas
27.50C. Untuk memperbaiki kualitas warna bunga, biasanya suhu pada malam
hari diturunkan hingga 130C pada sepuluh hari menjelang tanaman siap dipanen
(Boodley, 1998).
Seperti halnya tanaman hias pada umumnya, tanaman krisan juga memiliki
beberapa hama dan penyakit yang sering menyerang. Menurut Boodley (1998)
hama yang sering menyerang krisan antara lain kutu daun (Aphid), thrips, kupukupu putih (whitefly), mealy bug, dan red spider mites. Penyakit yang sering
menyerang tanaman krisan menurut Boodley (1998) antara lain :

10

-

Bercak daun akibat cendawan Septoria chrysanthemella, yang dapat
menyebabkan bercak-bercak hitam pada daun dan menghambat proses
fotosintesis.

-

Bakteri Erwinia chrysanthemi dan cendawan Verticillium alboatrum yang
menyebabkan layu pada tanaman. Pencegahannya dapat dilakukan melalui
sterilisasi media tumbuh, penggunaan kultivar yang resisten, dan aplikasi
kultur meristem.

-

Bercak pada petal bunga yang menyebabkan hilangnya nilai keindahan
bunga akibat serangan Botrytis cinerea. Pencegahan dilakukan dengan
memperbaiki ventilasi dan pergerakan udara di dalam rumah kaca/plastik
serta membuang kuncup bunga yang telah terserang bercak.

Varietas Tanaman Krisan Indonesia
Tanaman krisan diintroduksikan ke Indonesia pada tahun 1800 dan mulai
dikembangkan secara komersial pada tahun 1940 (Hadi, 2008). Menurut Hadi
(2008), jenis dan varietas tanaman krisan di Indonesia umumnya merupakan
hibrida yang berasal dari Belanda, Amerika Serikat dan Jepang. Jenis krisan yang
ditanam di Indonesia antara lain berupa:
a) Krisan lokal (krisan kuno) yang berasal dari luar negeri, tetapi telah lama
beradaptasi di Indonesia dan telah dianggap sebagai krisan lokal. Ciri-cirinya
ialah mampu berbunga pada hari netral dengan siklus hidup antara 7-12 bulan
dalam satu kali penanaman. Contohnya Chrysanthemum maximum berbunga
kuning yang banyak ditanam di Lembang.
b) Krisan introduksi (krisan modern atau krisan hibrida). Krisan ini bersifat hari
pendek dan memiliki siklus hidup semusim. Contoh krisan ini adalah
Chrysanthemum indicum var. Dark Flamingo, C. indicum var. Dolaroid,
C. indicum var. Indianapolis, dan sebagainya.
Untuk menghindari ketergantungan hibrid krisan dari luar negeri, maka
Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) mulai menghasilkan varietas baru melalui
persilangan atau radiasi sinar gamma. Beberapa varietas krisan yang telah

11

dihasilkan oleh Balithi di antaranya varietas Puspita Nusantara, Dewi Ratih,
Candra Kirana, Puspita Asri, Cut Nyak Dien, Nyi Ageng Serang, Dewi Sartika,
Sakuntala, Purbasari, dan Pitaloka.
Varietas Pitaloka merupakan varietas keluaran Balithi dengan nomor klon
Balithi 13.14. Varietas ini merupakan hasil persilangan tetua 880077 dengan
Klondike. Varietas ini dirilis pada tahun 2000 berdasarkan S.K. Menteri Pertanian
No. 73 tahun 2000, dengan tim pemulia Budi Marwoto, dkk. Varietas Pitaloka
memiliki bunga tipe anemone dan jenis bunga spray dengan warna bunga pita
ungu dan diameter bunga pita 4.6 cm. Umur tanaman antara 80-100 hari, adaptif
pada dataran sedang hingga tinggi, dan bunganya memiliki masa kesegaran
hingga 14 hari (deskripsi varietas pada Lampiran 1).

Gambar 3. Krisan varietas Pitaloka
(SumberKultur
: www.balithi.litbang.deptan.go.id)
Jaringan Tanaman

Kultur Jaringan Tanaman
Kultur jaringan tanaman merupakan suatu metode untuk mengisolasi
bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ,
serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian tersebut dapat
memperbanyak

diri

dan

beregenerasi

menjadi

tanaman

utuh

kembali

(Gunawan, 1992). Caponetti et al. (2005) menyatakan bahwa prinsip dasar kultur
jaringan ialah kemampuan komponen tubuh tanaman (organ, jaringan, atau sel)
untuk ditumbuhkan secara terpisah dalam suatu media in vitro menjadi tanaman
yang utuh kembali. Menurut Zulkarnain (2009), teknik kultur jaringan memiliki
beberapa keuntungan yaitu dapat menghasilkan jutaan klon dalam waktu setahun

12

hanya dari sejumlah kecil material awal, menawarkan suatu alternatif bagi
spesies-spesies yang resisten terhadap sistem perbanyakan vegetatif konvensional,
adanya suatu kemungkinan untuk mempercepat pertukaran bahan tanaman di
tingkat internasional, dan perbanyakan dengan teknik kultur jaringan tidak
bergantung pada musim.

Kultur Jaringan Krisan
Krisan merupakan salah satu jenis tanaman yang telah banyak diteliti
perbanyakannya secara kultur jaringan. Kemampuan krisan untuk dapat tumbuh
dengan mudah pada media tanam in vitro membuat tanaman ini menjadi topik
populer yang diteliti banyak orang selama lima tahun belakangan ini. Selain itu,
produk bunga potongnya yang masih mendominasi pasar di Indonesia membuat
penelitian kultur jaringan krisan masih terus dikembangkan.
Penelitian kultur jaringan krisan sebagian besar berkisar tentang
konsentrasi zat pengatur tumbuh yang efektif terhadap pertumbuhan krisan secara
in vitro. Penelitian lain ialah seputar penggunaan iradiasi sinar radioaktif untuk
menghasilkan tanaman krisan yang mengalami variasi somaklonal sehingga
diperoleh tanaman krisan dengan warna bunga yang baru. Penelitian ke arah
embriogenesis somatik pada krisan sangat jarang dilakukan terutama karena
proses embriogenesis membutuhkan waktu yang lebih lama sehingga dirasakan
kurang ekonomis.
Pada tahun 2004, Windasari meneliti tentang pemberian NAA dan kinetin
terhadap pertumbuhan krisan varietas Delano Red secara in vitro. Windasari
(2004) memperoleh hasil bahwa pemberian NAA pada konsentrasi 0.1 mg/l
memberikan hasil yang optimum untuk jumlah daun dan tinggi planlet krisan
varietas Delano Red, sedangkan pemberian kinetin hingga 2.5 mg/l menunjukkan
pengaruh yang baik bagi jumlah daun, namun pertumbuhan akar planlet menjadi
terhambat. Kombinasi NAA 0.1 mg/l dengan kinetin 2.5 mg/l memberikan hasil
tertinggi untuk jumlah tunas dan jumlah buku, namun eksplan hanya membentuk
kalus pada bagian bawahnya dan tidak mampu berakar.

13

Maryani dan Zamroni (2005), memperoleh hasil bahwa kombinasi IAA
1 mg/l dengan BAP 1 mg/l menghasilkan jumlah tunas terbanyak pada
perbanyakan krisan secara in vitro, namun pemberian IAA dan BAP tidak
berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas. Penelitian yang dilakukan oleh Syaifan
(2010) terhadap dua varietas krisan yaitu Puspita Nusantara dan Puspita Asri
menunjukkan bahwa pemberian BA 4.44 μM mendorong terbentuknya jumlah
daun per eksplan yang terbanyak, sedangkan pemberian BA 6.66 μM
menghasilkan jumlah tunas terbanyak. Pada penelitian yang dilakukan Syaifan
(2010), perlakuan kontrol (tanpa ZPT) mampu menghasilkan tunas tertinggi dan
panjang ruas terpanjang.
Penelitian mengenai penggunaan iradiasi sinar gamma secara in vitro
dilakukan oleh Sari (2011) terhadap krisan varietas Puspita Nusantara, Puspita
Asri, Cut Nyak Dien, dan Dewi Ratih. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis radiasi
sinar gamma 0.5 krad atau lebih ternyata mampu menginduksi keragaman
somaklonal pada keempat varietas tersebut. Maharani (2011) juga melakukan
penelitian iradiasi sinar gamma secara in vitro pada krisan varietas Puspita
Nusantara dan Dewi Ratih. Hasilnya menunjukkan bahwa dosis iradiasi sinar
gamma 20 Gy mampu meningkatkan keragaman (bentuk, ukuran, dan warna
daun) krisan kedua varietas tersebut. Mutan yang dihasilkan memiliki bentuk
daun yang kecil, tepi daun tak bergerigi, serta warna daun menjadi variegata.
Penelitian embriogenesis somatik terhadap 23 varietas krisan pernah
dilakukan oleh May dan Trigiano (1991) antara lain terhadap varietas Adorn,
Ballarina, Iridon, Goldmine, Fortune, Salmon Charm, dan sebagainya. Eksplan
yang digunakan berupa potongan daun yang ditanam pada media Murashige dan
Skoog (MS) dengan tambahan 2,4-D 1 mg/l dan BAP 0.2 mg/l. Embrio somatik
terbentuk secara langsung pada media yang mengandung sukrosa dengan
konsentrasi antara 9-18%, dan diinkubasi pada kondisi gelap selama 28 hari
dilanjutkan dengan kondisi terang selama 10 hari. Embrio yang diregenerasikan
mampu membentuk tanaman dengan karakter yang sama dengan induknya.

14

Media Kultur Jaringan
Media merupakan salah satu komponen penting dalam kultur jaringan
tanaman. Keberhasilan kultur jaringan tanaman sebagian besar bergantung pada
ketepatan komposisi media yang digunakan (Evans et al., 2003). Media tersebut
akan berperan dalam menyediakan lingkungan fisik bagi pertumbuhan sel dan
jaringan atau dengan kata lain, media memiliki fungsi seperti tanah yang
menyokong pertumbuhan suatu tanaman. Selain itu, media juga berperan
menyediakan nutrisi bagi sel atau jaringan sehingga mampu mengalami
pembelahan dan membentuk organ tanaman secara lengkap.
Menurut Chawla (2002), sangatlah penting untuk mengetahui jenis
tanaman apa yang digunakan serta tujuan akhir apa yang diharapkan dari eksplan
yang ditumbuhkan secara in vitro tersebut, karena dari pengetahuan akan kedua
faktor itulah maka kita bisa menentukan jenis media apa yang dapat digunakan
dengan tepat. Selanjutnya, nutrisi dalam media kultur jaringan meliputi komposisi
dari garam-garam mineral yang ditambahkan, sumber karbon, vitamin,
fitohormon, dan suplemen organik lainnya (Chawla, 2002).
Sel, jaringan dan organ hanya akan tumbuh pada kultur yang disuplai
nutrisi yang sesuai (Thomas dan Davey, 1975). Oleh karena itu, kultur jaringan
tanaman membutuhkan suplai dari beberapa komponen anorganik secara
berkelanjutan (Dodds dan Roberts, 1995). Sumber hara makro dan mikro bagi
tanaman diperoleh dari garam-garam anorganik yang ditambahkan ke dalam
media. Menurut Zulkarnain (2009) unsur hara nitrogen dapat diberikan dalam
bentuk garam KNO3 atau NH4NO3; sedangkan fosfor dapat diperoleh dalam
bentuk NaH2PO4.H2O atau KH2PO4; untuk unsur kalium diberikan melalui garam
KCl, KNO3, atau KH2PO4. Kebutuhan akan magnesium dan belerang dapat
diperoleh

melalui

MgSO4.7H2O,

kebutuhan

akan

seng

diperoleh

dari

ZnSO4.7H2O, kebutuhan tembaga berasal dari CuSO4.5H20, kebutuhan mangan
didapat dari MnSO4.H2O, unsur boron dapat terpenuhi melalui penambahan
H3BO3, serta molibdenum diperoleh dari Na2MoO4.2H20 atau dari Molibdenum
trioksida (Evans et al., 2003). Unsur besi memiliki masalah kelarutan sehingga
biasanya stok larutan besi disiapkan dalam bentuk kelat sebagai garam natrium
ferric ethylenediamine tetra-acetic (NaFeEDTA) (Dodds dan Roberts, 1995).

15

Sebagai sumber karbon biasa digunakan sukrosa atau glukosa (Chawla,
2002). Konsentrasi sukrosa yang biasa digunakan berkisar antara 2-5%. Menurut
Gunawan (1992), fruktosa dan galaktosa kurang efektif digunakan sebagai sumber
karbon sedangkan manosa dan laktosa merupakan jenis karbohidrat yang paling
tidak efektif. Vitamin ditambahkan sebagai penyusun kofaktor bagi enzim yang
berperan dalam berbagai prosesmetabolisme (Zulkarnain, 2009). Menurut
Evans et al. (2003), peranan vitamin bagi sel tanaman dan kultur jaringan tidaklah
terlalu esensial, kecuali vitamin B1 (thiamine), namun sejumlah vitamin seperti
nicotinic acid (niasin), pyridoxine HCl (B6), asam folat (B11), asam panthotenat,
biotin, vitamin C, dan vitamin E sering ditambahkan ke dalam media. Senyawa
gula alkohol seperti myo-inositol terkadang ditambahkan ke dalam media kultur
tanaman monokotil, Gymnospermae, dan beberapa tanaman dikotil (Evans et al.,
2003). Penambahan myo-inositol ke dalam media berperan dalam memperbaiki
pertumbuhan dan morfogenesis jaringan yang dikulturkan (Gunawan, 1992).
Selain senyawa organik yang konstitusinya jelas, terkadang ke dalam
media kultur jaringan juga ditambahkan persenyawaan yang kompleks yang
komposisinya berbeda dari sumber yang satu dengan yang lainnya seperti air
kelapa, casein hydrolisate, ekstrak ragi, jus tomat, dan ekstrak pisang
(Gunawan, 1992). Bila ditinjau dari sudut ilmiah, Zulkarnain (2009) menyatakan
bahwa penggunaan ekstrak alami masih dapat dianjurkan dan kehadiran senyawasenyawa tersebut tak dapat diabaikan begitu saja apabila ternyata senyawasenyawa murni tidak dapat memenuhi apa yang diharapkan.

Zat Pengatur Tumbuh
Hormon tumbuhan (fitohormon) dapat didefinisikan sebagai senyawa
organik selain nutrisi yang dihasilkan di suatu bagian tubuh tumbuhan untuk
kemudian dipindahkan ke bagian lain dan dalam konsentrasi rendah (< 1 µM)
akan memberikan respon secara biokimia, fisiologi, dan morfologi (Moore, 1979;
Salisbury dan Ross, 1995). Hormon yang dihasilkan tumbuhan secara alami dapat
berupa senyawa golongan auksin, sitokinin, giberelin, etilen, asam absisat,
brassinosteroid, asam salisilat, dan asam jasmonat. Senyawa-senyawa tersebut

16

pada mulanya hanya dapat diisolasi dari jaringan tumbuhan namun seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan, beberapa jenis senyawa sintetik yang memiliki
aktivitas menyerupai hormon tumbuhan dapat diproduksi di laboratorium. Kondisi
inilah yang kemudian mengaburkan definisi mengenai hormon tumbuhan, bahwa
senyawa sintetik tersebut juga seringkali disebut sebagai hormon.
Arteca (1996) kemudian membuat batasan mengenai konsep hormon
tumbuhan dengan memberikan tiga syarat suatu senyawa dapat digolongkan
sebagai fitohormon yaitu :
1. Senyawa tersebut disintesis oleh bagian tubuh tumbuhan dan tersebar secara
meluas pada semua anggota kerajaan tumbuhan.
2. Senyawa tersebut menunjukkan aktivitas biologis yang spesifik pada
konsentrasi sangat rendah.
3. Senyawa tersebut mampu menimbulkan respon fisiologis selama masa
pertumbuhan.
Mengenai senyawa sintetik yang memiliki kemampuan serupa dengan hormon
tumbuhan tertentu, Arteca (1996) kemudian menggunakan istilah zat pengatur
tumbuh (plant growth regulator) untuk menyebut senyawa-senyawa tersebut
berdasarkan definisi dari Johannes van Overbeek bahwa zat pengatur tumbuh
merupakan komponen organik selain nutrisi yang pada konsentrasi rendah mampu
memacu, menghambat, atau bahkan mengubah proses fisiologis pada tumbuhan.

Auksin
Auksin berasal dari bahasa Yunani auxein yang berarti meningkatkan dan
istilah ini pertama kali digunakan oleh Frits Went yang menemukan bahwa suatu
senyawa yang belum dapat dicirikan mampu menyebabkan pembengkokan
koleoptil oat ke arah cahaya (Salisbury dan Ross, 1995).Senyawa yang ditemukan
oleh Went tersebut kemudian dikenal sebagai indole-3-acetic acid (IAA). Pada
tahun 1934, KÖgl dan Kostermans mengisolasi IAA dari khamir dan pada tahun
berikutnya

Thimann

berhasil

mengisolasi

IAA

dari

kultur

cendawan

Rhizopus suinus. Haagen-Smit dan koleganya berhasil mengisolasi IAA murni
dari endosperma biji padi yang belum masak pada tahun 1946 (Arteca, 1996).

17

Saat ini asam amino triiptofan diteerima sebagai prekurssor dalam
p
pembentuka
an IAA (Artteca, 1996). Menurut Arteca
A
(19996) terdapatt dua jalur
t
terbentuknya
a IAA darri asam am
mino triptofa
fan, baik saalah satunyya ataupun
k
keduanya
daapat berfungsi pada tanam
man (Gambaar 4).

T
Tryptophan
n

Tryyptophan
decaarboxylase

Trypto
ophan
Tryptophaan
transaminaase

Tryptamine
T
e
Amiine oxidase

Indolle‐3‐
pyruvicc acid

Indolle‐3‐
acetald
dehyde

Indolle‐3‐
aceticc acid

Indole
pyruvatee
decarboxyllase

Indole
acetaldehyyde
dehydrogennase

Indole‐3‐
ethanol

Indole‐3‐
accetaldehyd
de

Indoole ethanol
o
oxydase

Indole
aceetaldehyde
dehyydrogenase

Indole‐3‐
a
acetic acid
d

(a)

(b)

Gambbar 4. Skemaa biosintesis IAA : (a). Jaalur pertamaa (b). Jalur keedua
Menuurut Salisbu
ury dan Rooss (1995), enzim yanng paling ak
ktif dalam
m
mengubah
t
triptofan
meenjadi IAA banyak terddapat pada jjaringan mu
uda seperti
m
meristem
taajuk serta daun dan bbuah yang sedang tum
mbuh.Itulah sebabnya
m
mengapa
jarringan terseb
but diduga sebagai sum
mber dari IA
AA karena berdasarkan
b
h
hasil
pengu
ukuran, kanddungan aukksin paling tinggi ditemukan pad
da jaringan
t
tersebut.Auk
ksin mudah terdegradasii oleh cahayya (Dodds daan Roberts, 1995)
1
serta
o
oleh
enzim IAA oksid
dase (Salibuury dan Ross, 1995). Oleh karenna itu IAA
u
umumnya
diitambahkan dalam mediia kultur jariingan pada kkonsentrasi yang
y
cukup
t
tinggi
antaraa 1-30 mg/l (Dodds
(
dan Roberts,
R
199
95).
Trannspor IAA umumnya
u
beerasal dari daun
d
muda yyang bergerak ke arah
b
bawah
sepan
njang berkas pembuluhh, bahkan au
uksin sintetikk yang dibeerikan pada

18

tanaman juga bergerak serupa dengan IAA (Salisbury dan Ross, 1995). Cara
pengangkutan auksin tersebut menurut Salisbury dan Ross (1995) memiliki
keistimewaan sebagai berikut :
1. Pergerakan auksin berlangsung secara lambat dengan kecepatan 1 cm/jam
di akar dan batang.
2. Pengangkutan auksin berlangsung secara polar pada batang, dengan arah
basipetal (dari pucuk menuju ke dasar), bahkan sekalipun dasar tersebut
berada pada posisi terbalik sedangkan pada akar pengangkutan juga
berlangsung secara polar dengan arah akropetal (mencari pucuk).
3. Pengangkutan auksin membutuhkan adanya energi dalam bentuk ATP,
sehingga keberadaan senyawa apapun yang mampu menghambat respirasi
tanaman

ataupun

ketidakhadiran

oksigen

secara

otomatis

akan

menghambat pergerakan auksin.
Menurut Armini et al. (1992) auksin terutama berperan dalam
pertumbuhan kalus, suspensi sel, dan pertumbuhan akar. Efek fisiologi dari auksin
antara lain terlihat ada proses pemanjangan sel, fototropisme, dominansi apikal,
inisiasi dan pemanjangan akar, produksi etilen, dan pertumbuhan buah (Arteca,
1996).
Menurut Arteca (1996), auksin sintetik telah banyak dijual secara
komersial. Aktivitas auksin sintetik menyerupai IAA namun struktur kimianya
berbeda. Terdapat enam kelas auksin sintetik saat ini yaitu :
1. Turunan indole seperti indole-3-acetic acid (IAA) dan indole-3-butyric
acid (IBA).
2. Turunan asam benzoat seperti dicamba dan 2,3,6-trichlorobenzoic acid.
3. Turunan naftalena seperti α dan β-naphtalene-acetic acid (NAA)
4. Turunan fenoksi seperti 2,4-dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D) dan
2,4,5-trichlorophenoxy acetic acid (2,4,5-T).
5. Turunan naphtoxyacetic acid seperti α dan - naphtoxyacetic acid (NOA)
6. Turunan asam pikolinat seperti picloram
Pemilihan konsentrasi dan jenis auksin ditentukan oleh beberapa faktor
yaitu tipe pertumbuhan dan perkembangan yang dikehendaki (kalus, akar, tunas,
atau regenerasi dinding sel), tingkat taraf auksin di dalam eksplan saat eksplan

19

diambil, kemampuan ekpslan untuk mensintesis auksin secara alami, dan interaksi
antara auksin yang diberikan secara eksogen dengan auksin endogen
(Armini et al., 1992). Misalnya saja auksin jenis IAA begitu mudah teroksidasi,
sehingga penggunaannya dalam media kultur jaringan kurang efektif. NAA dapat
menjadi pilihan alternatif, karena NAA cenderung lebih stabil dan sulit
terdegradasi sehingga penggunaan pada konsentrasi rendah antara 0.1-2.0 mg/l
sudah cukup (Dodds dan Roberts, 1995). Pada proses pembentukan kalus,
umumnya 2,4-D menjadi pilihan utama karena kemampuannya merangsang
pembentukan kalus meskipun tanpa kehadiran sitokinin (Dodds dan Roberts,
1995).

Sitokinin
Menurut Srivastava (2001), sitokinin merupakan senyawa yang secara
alami ditemukan secara bebas di sitoplasma dan juga menjadi komponen
terintegrasi dari beberapa RNAt, di mana senyawa ini mampu meningkatkan
pembelahan sel pada tanaman. Chesworth et al. (1998) menyatakan bahwa
sitokinin menjadi penyusun 10% dari molekul RNAt. Sejarah penemuan sitokinin
bermula pada tahun 1913 saat Gottlieb Haberlandt di Austria menemukan
senyawa tak dikenal yang mampu merangsang pembelahan sel pada kambium
gabus dan membantu pemulihan luka pada umbi kentang yang terpotong. Pada
tahun 1940an Johannes van Overbeek juga menemukan adanya senyawa yang
mampu merangsang pembelahan sel pada endosperma cair buah kelapa (Salibury
dan Ross, 1995). Baru pada tahun 1955, Carlos Miller beserta koleganya yang
bekerja di Laboratorium Skoog dan Strong di Universitas Wisconsin, berhasil
mengisolasi suatu senyawa yang berasal dari sampel DNA ikan herring yang telah
diautoklaf, yang kemudian diberi nama kinetin karena kemampuan senyawa
tersebut dalam menginduksi pembelahan sel (Moore, 1979). Pada tahun 1964
secara hampir bersamaan D.S Letham dan Carlos Miller berhasil mengekstrak
jenis sitokinin lain yaitu zeatin yang bersumber dari endosperma cair jagung
(Salisbury dan Ross, 1995).

20

Saat ini asetil KoA
K
merupaakan senyaw
wa yang menjadi prekurrsor dalam
p
pembentuka
an sitokinin (Arteca, 19996). Asetil KoA sendirri merupakaan senyawa
y
yang
diperolleh dari prosses dekarbokksilasi oksidaatif asam pirruvat sebelum
m senyawa
t
tersebut
mem
masuki sikluus Krebs dalaam rantai resspirasi (Salissbury dan Ross,
R
1995).
S
Selain
berpeeran dalam pembentuka
p
an sitokinin, asetil KoA juga berperran penting
d
dalam
pemb
bentukan gibberelin, karottenoid, dan asam
a
absisatt (Arteca, 19996). Asetil
K
KoA
harus memasuki rangkaian panjang lin
ntasan asam
m mevalonaat sebelum
sitokinin (G
m
memb