Analisis Perbandingan Tiga Klon Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Berdasarkan Karakteristik Fenotipe dan Kandungan Senyawa Fenolik

i

ANALISIS PERBANDINGAN TIGA KLON TORBANGUN
(Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
BERDASARKAN KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN
KANDUNGAN SENYAWA FENOLIK

ELVA HASNA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perbandingan
Tiga Klon Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Berdasarkan
Karakteristik Fenotipe dan Kandungan Senyawa Fenolik adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013
Elva Hasna
NIM F24080123

4

ABSTRAK
ELVA
HASNA.

Analisis
Perbandingan
Tiga
Klon
Torbangun
(Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Berdasarkan Karakteristik Fenotipe dan
Kandungan Senyawa Fenolik. Dibimbing oleh NURI ANDARWULAN dan
SANDRA ARIFIN AZIZ.
Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) merupakan salah satu
sayuran berkhasiat obat yang dikonsumsi di Indonesia. Khasiat merupakan efek
dari komponen bioaktif yang berada dalam tanaman, yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan. Pada penelitian ini dilakukan perbandingan tiga klon torbangun
berdasarkan karakteristik fenotipe, fenolik, serta dikuatkan dengan PLS-DA
(Partial Least Square - Discriminant Analysis). Dari hasil identifikasi fenotipe
menggunakan deskriptor torbangun yang disusun berdasarkan panduan dari
IPGRI diketahui bahwa terdapat dua tipe torbangun: klon A merupakan torbangun
bertipe daun tebal, sedangkan klon B dan C bertipe daun tipis. Namun, ketiga klon
berbeda signifikan dalam kuantitas total fenolnya, yaitu antara 78.68-149.78 mg
GAE/100 g BK. Lain halnya dengan kadar total antosianin yang tidak berbeda
signifikan pada klon A dan C, dengan kisaran konsentrasi antara 0.08-0.18 mg

C3GE/100 g BK. Metode ekstraksi dan hidrolisis flavonoid yang dilakukan, yaitu
selama 2 jam, [HCl] 1.2 M (metode flavonol) dan selama 4 jam, [HCl] 2.0 M
(metode flavon). Dengan kedua metode tersebut kelima flavonoid utama
(myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin, dan apigenin) berhasil dikuantifikasi,
dimana kadar yang diperoleh bervariasi mulai 2.35 hingga 86.87 mg/100 g BK.
Luteolin diketahui merupakan flavonoid terbanyak yang teridentifikasi, sedangkan
yang terendah adalah myricetin. Hasil PLS-DA terhadap data spektrum HPLC
yang diperoleh dari kedua metode tersebut mengilustrasikan perbedaan
karakteristik flavonoid dari ketiga klon. Dari metode flavonol, senyawa marker
klon A adalah unknown peak-4 dan 6; senyawa marker klon B adalah myricetin
dan quercetin; sedangkan klon C hanya kaempferol. Dari metode flavon, diketahui
bahwa senyawa marker dari klon A adalah apigenin, kaempferol, unknown peak4, dan 6; bagi klon B, yaitu myricetin dan quercetin; sedangkan bagi klon C, yaitu
kaempferol.
Kata kunci: Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng, torbangun, flavonoid,
flavonol, flavon, fenol, antosianin, PLS-DA

5

ABSTRACT
ELVA HASNA. Comparative Analysis of Three Clones Torbangun

(Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) Based on Phenotype Characteristics
and Phenolics Content. Supervised by NURI ANDARWULAN and SANDRA
ARIFIN AZIZ.
Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng) is a medicinal
vegetable consumed in Indonesia. Efficacy of bioactive components within the
plant are influenced by environmental factors. In this study, comparison of three
clones of torbangun (A, B, and C clones) were analysed through its phenotype and
phenolic characteristics, then strengthened by PLS-DA (Partial Least Square Discriminant Analysis). Initially, the results of the phenotype identification using
torbangun descriptor, which was prepared under IPGRI guidelines, showed two
types of torbangun: A clone is a thick-leaved torbangun, whereas clones B and C
were thin-leaved. These three clones differed significantly in total phenolics
content, between 78.68-149.78 mg GAE/100 g DB. Total anthocyanins content
was not significantly different in clones A and C, the concentrations are between
0.08-0.18 C3GE/100 mg g DB. Methods of extraction and hydrolysis of
flavonoids are flavonol method (2 hours extraction, [HCl] 1.2 M) and flavon
method (4 hours extraction, [HCl] 2.0 M). Both methods were successfully
quantified the five main flavonoids (myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin,
and apigenin), where the contents obtained varied from 2.35-86.87 mg/100 g DB.
Luteolin was the highest identified flavonoid, while the lowest one was myricetin.
PLS-DA of HPLC flavonoids spectral data which obtained from both methods,

illustrated the different characteristics of the three clones torbangun. In flavonol
method, the marker compounds for A clone were unknown peak-4 and 6; while
marker compounds for B clone were myricetin and quercetin, and C clone had
only kaempferol. In flavone method, the marker compounds of A clone were
apigenin, kaempferol, unknown peak-4, and 6; for B clone, myricetin and
quercetin; whereas C clone had only kaempferol.
Keywords: Plectranthus amboinicus (Lour). Spreng, torbangun, flavonoids,
flavonol, flavone, anthocyanins, phenolics, PLS-DA.

6

7

ANALISIS PERBANDINGAN TIGA KLON TORBANGUN
(Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
BERDASARKAN KARAKTERISTIK FENOTIPE DAN
KANDUNGAN SENYAWA FENOLIK

ELVA HASNA


Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

8

9
Judul Skripsi :

Nama
NIM


:
:

Analisis Perbandingan Tiga Klon Torbangun (Plectranthus
amboinicus (Lour.) Spreng) Berdasarkan Karakteristik
Fenotipe dan Kandungan Senyawa Fenolik
Elva Hasna
F24080123

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si
Pembimbing I

Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz M.S
Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Feri Kusnandar M.Sc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

10

PRAKATA
Alhamdulillahilladzi bi ni’matiHi tatimmush-shalihat. Puji dan syukur
penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia dan
pertolongan-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.
Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret
2012 hingga Februari 2013 ini ialah flavonoid, dengan judul Analisis
Perbandingan Tiga Klon Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
Berdasarkan Karakteristik Fenotipe dan Kandungan Senyawa Fenolik.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan
M.Si dan Ibu Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz M.S selaku pembimbing, serta Ibu Dr.
Nancy Dewi Yuliana, S.TP, M.Sc. yang telah menjadi penguji dan memberi
banyak masukan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Mbak
Ria Noviar, Mbak Ria CN, dan Mbak Irin yang telah membantu dan memberi
masukan selama proses analisis kimia, Ibu Sekaryati yang telah banyak membantu

penulis selama di lapangan. Ungkapan terima kasih juga saya sampaikan kepada
Papa, Ibu, serta adik saya atas segala doa dan kasih sayangnya. Tak lupa kepada
teman-teman sebimbingan (Hilda, Atikah, Harum), juga teman-teman ITP 45
yang selalu memberi dukungan terutama Lathifah, Intan, Diah, serta teman-teman
lab mikrobiologi-SEAFAST (Riyah, Yani, Sarah, dan Ranti). Semoga Allah
membalas kebaikan kalian dengan yang lebih baik.
Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memperberat
timbangan kebaikan bagi penulis dan pembimbing di akhirat kelak. Shalawat dan
salam semoga tercurah atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kepada keluarganya, para sahabatnya, serta umatnya yang setia hingga akhir
zaman.

Bogor, Mei 2013
Elva Hasna

11

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xiii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian


2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Torbangun

2

Komponen Bioaktif

6

Partial Least Square – Discriminant Analysis
METODE PENELITIAN

12
12

Bahan Penelitian

12

Peralatan Penelitian

13

Lokasi dan Waktu Penelitian

14

Prosedur Penelitian

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

28

Identifikasi Tiga Klon Torbangun Secara Agronomis

28

Komponen Bioaktif Tanaman Torbangun

32

SIMPULAN DAN SARAN

49

Simpulan

50

Saran

50

DAFTAR PUSTAKA

51

LAMPIRAN

55

RIWAYAT HIDUP

81

12

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7

Kandungan gizi daun torbangun
Hasil analisis kualitatif buah takokak
Spesifikasi HPLC
LOD kelima senyawa flavonoid
Perbandingan morfologi tanaman torbangun
Linieritas standar dan limit deteksinya
Kadar senyawa flavonol dan flavon yang terdeteksi dari tiga klon
torbangun (mg/100 g BK)
8 Perbandingan kadar flavonoid sampel daun torbangun dengan daun
katuk
9 Peak yang terdeteksi pada tiga klon daun torbangun
10 Senyawa marker dari tiap klon dan metode

5
6
13
18
32
38
41
42
44
46

DAFTAR GAMBAR
1 Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
2 Struktur dasar antosianin (Sumber: Lee et al. 2005)
3 Struktur dasar flavonoid dan ringkasan struktur flavonol dan flavon
yang diidentifikasi
4 Ukuran pucuk yang dipanen
5 Alat refluks berkondensor spiral yang digunakan
6 Persiapan sampel
7 Prosedur analisis total fenol
8 Prosedur analisis total antosianin
9 Prosedur pembuatan ekstrak flavonol
10 Prosedur pembuatan ekstrak flavon
11 Prosedur pembuatan larutan standar flavonoid
12 Alur penentuan konsentrasi standar flavonoid
13 Keadaan lahan pembudidayaan torbangun
14 Ketiga klon torbangun yang digunakan dalam penelitian
15 Penampang daun dari ketiga klon torbangun (ki-ka: klon A, B, dan C)
16 Diagram total fenol tiga klon torbangun.
17 Perubahan struktur antosianin pada pH berbeda (diadaptasi dari Lee et
al. 2005)
18 Diagram total antosianin tiga klon torbangun (diekspresikan dalam
cyanidin-3-glucoside/C3G)
19 Tipikal kromatogram standar campuran (konsentrasi 10 ppm, kecuali
apigenin [20 ppm])
20 Tipikal kromatogram klon B yang dihasilkan dari metode ekstraksi dan
hidrolisis flavonol (atas) dan flavon (bawah)
21 Profil senyawa flavonol dan flavon pada tiga klon torbangun
22 Kromatogram HPLC tipikal untuk senyawa flavonoid dari tiap klon dan
waktu reaksi. Peak: myricetin (M), quercetin (Q), kaempferol (K),
luteolin (L), apigenin (A), unknown peaks didefinisikan dengan nomor
1-9.

3
8
9
15
17
21
22
23
24
25
26
27
29
29
30
34
36
36
38
40
41

45

13
23 (a) Score SP dan (b) Loading SP PLS-DA dari spektrum HPLC
torbangun klon A, B, dan C dengan metode hidrolisis flavonol.
24 (a) Score SP dan (b) Loading SP PLS-DA dari spektrum HPLC
torbangun klon A, B, dan C dengan metode hidrolisis flavon.

48
49

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

Dokumen hasil identifikasi/determinasi tumbuhan
Tata letak pembudidayaan tanaman di lahan
Deskriptor torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
Kadar air ketiga klon daun torbangun segar
Kadar air ketiga klon daun torbangun setelah freeze drying
Kurva standar asam galat
Total fenol ketiga klon daun torbangun
Hasil ANOVA total fenol (BK)
Total antosianin tiga klon daun torbangun
Hasil ANOVA total antosianin (BK)
Kurva standar flavonoid (myricetin, quercetin, kaempferol, luteolin,
dan apigenin)
12 Kadar flavonoid ketiga klon daun torbangun dengan lama reaksi 2 jam,
konsentrasi HCl 1.2 M
13 Kadar flavonoid ketiga klon daun torbangun dengan lama reaksi 4 jam,
konsentrasi HCl 2.0 M
14 Hasil ANOVA kadar flavonoid (BK)

55
56
57
63
64
65
66
67
68
69
71
73
74
75

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng.) merupakan salah satu
tanaman obat (medicinal plants) yang daunnya telah digunakan
selama ratusan tahun oleh masyarakat Batak sebagai sayuran untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI yang telah terbukti pada manusia
(Damanik et al. 2006). Daun torbangun juga dikonsumsi sebagai sayuran oleh
masyarakat suku Batak secara umum, tidak hanya oleh ibu-ibu pasca melahirkan.
Selain itu, efek farmakologis dari daun ini juga telah dikenal, antara lain sebagai
penurun panas (antipiretik), antiseptik, peluruh angin (karminatif), penghilang
rasa nyeri (analgesik), pengobat batuk, sakit tenggorokan, hidung tersumbat, serta
rematik (Wijayakusuma 2006; Dalimartha 2008; Grace 2011).
Berbagai macam khasiat dari tanaman tersebut berkaitan dengan komponen
bioaktifnya (Polya 2003). Komponen bioaktif adalah zat-zat ekstranutrisi yang
biasa terdapat dalam jumlah sedikit di dalam makanan. Pengonsumsian senyawa
ini dapat meningkatkan status kesehatan, serta mengurangi risiko penyakitpenyakit kronis seperti kanker, penyakit jantung koroner, stroke, dan mungkin
juga penyakit Alzheimer (Denny dan Buttriss 2005). Masih banyak informasi
yang diperlukan untuk mengevaluasi kemanfaatannya bagi kesehatan, salah
satunya mengenai kuantitas komponen bioaktif dalam bahan pangan.
Analisis menunjukkan bahwa torbangun mengandung komponen bioaktif
antara lain alkaloid, terpenoid, saponin, tanin, dan flavonoid (Sathasivam dan
Elangovan 2011; Kundu et al. 2011; dan Thenmozhi et al. 2011).
Roshan et al. (2009) menuliskan bahwa senyawa flavonoid yang dikandung
tanaman ini antara lain apigenin, luteolin, dan quercetin.
Jayadeepa (2011) menyatakan bahwa flavonoid seperti quercetin dan
kaempferol berpotensi mengaktifkan reseptor prolaktin untuk menginduksi sekresi
ASI. Oleh karena itu, penelitian ini dikerucutkan pada senyawa flavonoid, yang
merupakan bagian dari senyawa fenolik. Lebih lanjut, flavonoid terbutkti
mencegah oksidasi LDL secara in vitro. Studi in vivo dan in vitro menunjukkan
bahwa senyawa flavonol dalam diet dapat menghambat kanker pada manusia
dengan perannya sebagai antioksidan dalam plasma darah (Hollman dan Katan
1999). Dari sekian banyak kelas senyawanya, flavonoid yang dominan terkandung
dalam sayuran dan dipelajari secara luas dalam studi antikarsinogenesis, antara
lain flavonol; yaitu quercetin, kaempferol, dan myricetin; dan flavon; yaitu
apigenin dan luteolin (Hertog 1992b dan Lee 2000).
Bagian dari kelompok flavonoid yang kerap diidentifikasi karena
kemampuannya sebagai antioksidan adalah senyawa antosianin. Kahkonen dan
Heinonen (2003) menyatakan bahwa kemampuan antioksidan dari antosianin
dapat disandingkan dengan katekin, flavonol (quercetin dan rutin), asam galat,
kafeat, serta klorogenat. Senyawa ini pewarna paling penting yang tersebar luas
dalam tumbuhan. Pigmen berwarna kuat dan larut dalam air ini menimbulkan
hampir semua warna merah, ungu, dan biru pada bunga, daun, dan buah dari
tumbuhan tinggi. Secara kimia, semua antosianin merupakan turunan suatu
struktur aromatik tunggal, yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen

2
sianidin dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil, atau dengan
metilasi atau glikosilasi (Harborne 1984).
Objek yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah tiga klon (tanaman yang
didapat dari perbanyakan secara vegetatif) tanaman torbangun berbeda fenotipe
yang dapat ditemukan di toko-toko tanaman obat. Masing-masing klon diberi
identitas A, B, dan C. Perbedaan fenotipe yang mudah diamati dari ketiga klon
tanaman torbangun ini adalah pada ukuran dan tebal daun, serta warna batangnya.
Istilah klon berarti kelompok tanaman yang berasal dari induk yang sama dan
disebarkan secara aseksual (vegetatif), seperti penyetekan, pencangkokan,
pembelahan, atau penyambungan (grafting) (Reed 2007).
Kandungan komponen bioaktif dalam tanaman terutama dipengaruhi oleh
faktor lingkungan seperti iklim, tanah, dan pemupukan. Namun, variasi atau
perbedaan genetik memegang peran yang paling penting (Bernhoft 2010).
Oleh sebab itu, dalam penelitian ini peneliti melakukan kontrol terhadap
lingkungan hidup tanaman torbangun yang berasal dari tiga klon berbeda.
Dari ketiga klon tanaman ini dapat dipelajari lebih lanjut perbedaan senyawa
bioaktif yang dikandung.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perbandingan tiga klon
torbangun berdasarkan karakteristik fenotipe, data kuantitatif senyawa fenolik,
serta menganalisis spektrum hasil HPLC dengan metode PLS-DA untuk
memperkuat karakterisasinya.

TINJAUAN PUSTAKA
Torbangun
Botani dan Taksonomi Torbangun
Torbangun berasal dari famili Lamiaceae, genus Plectranthus (ITIS 2012).
Peringkat taksonominya adalah sebagai berikut:
Kingdom
Subkingdom
Superdivisi
Divisi
Kelas
Subkelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies

: Plantae
: Tracheobionta
: Spermatophyta
: Magnoliophyta
: Magnoliopsida
: Asteridae
: Lamiales
: Lamiaceae
: Plectranthus L'Hér.
: Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng.

3
Tanaman ini memiliki beberapa sinonim secara botani, yaitu Coleus
amboinicus Lour., Solenostemon scutellarioides (L.) Codd (ITIS 2012), Coleus
aromaticus Benth., Coleus carnosus Hassk., Coleus suborbiculata Zoll & Mor.,
Plectranthus aromaticus (Benth.) Roxb (Dalimartha 2008). Dari keseluruhan
sinonim nama botaninya, torbangun secara resmi memiliki nama latin
Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng. yang berlaku secara internasional
(ITIS 2012).
Dalam Bahasa Inggris, torbangun dikenal dengan beragam nama, seperti
country-borage, Cuban-oregano, French-thyme, Indian-borage, Indian-mint,
Mexican-mint, soup-mint, dan Spanish-thyme.
Dalam bahasa lain, tanaman ini juga dikenal dengan nama berbeda seperti
oreille (Prancis), Jamaica-thymian (Jerman), orégano (Spanyol), orégano de
cartagena (Kuba), torongil de limon (Filipina), kryddkarlbergare (Swedia)
(GRIN 2010). Sedangkan, di Indonesia sendiri penamaannya juga beragam untuk
daerah yang berbeda, seperti torbangun atau bangun-bangun, daun jinten, daun
ati-ati, sukan, dan tramun di daerah Sumatera; acerang, ajeran (Sunda), daun
jinten, daun kucing (Jawa), daun kambing, dan majha nereng (Madura) di daerah
Jawa; iwak (Bali), golong (Flores), dan kumu etu (Timor) di daerah Nusa
Tenggara (Dalimartha 2008).

Gambar 1 Torbangun (Plectranthus amboinicus (Lour.) Spreng)
Torbangun (Gambar 1) tergolong tanaman berhabitus herba (Joy et al. 1998).
Istilah herba berarti tanaman tak berkayu yang tumbuh tidak jauh dari tanah
seperti pohon pada umumnya (Rice-Evans dan Packer 2003). Tumbuhan terna
(tidak berkayu) ini berbatang lunak, tetapi pangkalnya seringkali berkayu, menaik
tinggi hingga 1 meter. Batangnya beruas, ruas yang menyentuh tanah akan keluar
akar, batang muda berambut kasar, berwarna hijau pucat. Daun tunggal tebal
berdaging, bertangkai, letak berhadapan bersilang. Helaian daun berbentuk bulat
telur, ujung dan pangkal runcing, tepi bergerigi sampai beringgit kecuali bagian
pangkalnya, pertulangan menyirip dan bercabang-cabang membentuk gambaran
seperti jala, permukaan berambut tebal seperti beledu berwarna putih,

4
panjang 5-7 cm, lebar 4-6 cm, warna hijau muda, jika diremas berbau harum.
Permukaan majemuk berupa tandan dengan panjang 20 cm, keluar dari ujung
percabangan dan ketiak daun, berwarna biru keunguan. Biji keras, berbentuk pipih,
berwarna cokelat muda. Perbanyakan torbangun dilakukan dengan stek batang
atau biji (Dalimartha 2008). Torbangun memiliki bunga yang dalam bentuk
mayang, yang memuat sekitar 10-20 bunga dalam satu mayang. Pada bunganya
dipenuhi rambut halus. Satu mayang berukuran sekitar 10-20 cm. Tangkai bunga
berbentuk ramping, panjangnya hanya mencapai 5 mm. Kelopak bunganya
berbentuk lonceng, sekitar 1.5-4 mm. Mahkota bunga berwarna biru pucat,
lembayung muda, hingga merah muda, berukuran 8-12 mm. Filamen benang sari
menyatu dalam sepal (Joshi 2013).
Torbangun mudah tumbuh pada kondisi kering dan area semiteduh. Demikian pula pada daerah sub-tropis dan tropis, iklim dingin, di dalam
pot, di dalam ruangan, atau pada lokasi terlindung yang hangat saat musim dingin
(Grace et al. 2011). Dalimartha (2008) menyatakan bahwa tanaman ini biasa
tumbuh liar di pegunungan atau tempat-tempat lainnya yang terlindung, terkadang
ditanam di halaman dan kebun sebagai tanaman obat.
Terdapat berbagai literatur mengenai asal tanaman torbangun.
Kundu et al. (2011) menyatakan bahwa spesies ini berasal dari India dan
Mediterania. Germplasm Resources Information Network-GRIN (2010), sebuah
proyek perangkat lunak online dari National Genetic Resources Program USDA
yang menangani basis data dari seluruh koleksi plasma nutfah yang dimiliki
National Plant Germplasm System, menuliskan bahwa tanaman torbangun berasal
dari Afrika atau Asia. Lain halnya dengan Integrated Taxonomic Information
System/ITIS (2011), yang menginformasikan bahwa tanaman tersebut berasal dari
Karibia, Benua Amerika, dan Hawai. Dalimartha (2008) menyatakan bahwa
torbangun diperkirakan berasal dari India kemudian tersebar di kawasan tropika
dan pantropika.
Metabolisme Sekunder Tumbuhan dan Perkembangbiakan Vegetatif
Tanaman Torbangun
Metabolisme utama pada tumbuhan, atau biasa disebut metabolisme primer,
merupakan jalur metabolisme yang menghasilkan produk berupa polisakarida,
protein, lemak, dan senyawa lainnya yang digunakan untuk kebutuhan hidup
tumbuhan tersebut. Metabolit primer seringkali merupakan senyawa nutrisional
bagi manusia. Lain halnya dengan metabolisme sekunder, produknya dapat
berupa alkaloid, antosianin, flavonoid, quinon, lignan, steroid, dan terpenoid.
Disebut “metabolisme sekunder” karena produknya dihasilkan melalui jalur
turunan dari metabolit primer (Oksman-Caldentey 2002). Jumlah besar dari
metabolit sekunder ini memiliki cakupan efikasi yang beragam, baik yang bersifat
racun maupun kuratif terhadap kesehatan (Bernhoft 2010). Menjaga kesehatan
agar tetap optimal dan mereduksi risiko berkembangnya jumlah penyakit
degeneratif merupakan landasan pesatnya studi tentang hal ini. Dalam berbagai
pustaka, istilah metabolit sekunder tanaman dapat berkembang menjadi fitokimia
(phytochemical) atau komponen bioaktif (bioactive compound).
Perkembangan vegetatif pada tanaman dapat dilakukan dengan cara
penyetekan, pencangkokan, pembelahan, atau penyambungan pucuk (grafting)
(Reed 2007). Torbangun merupakan salah satu tanaman yang dapat diperbanyak

5
dengan cara penyetekan (Joy et al. 1998). Istilah klon berkaitan dengan varietas
dan kultivar. Sekelompok tanaman dikatakan satu klon yang memiliki gen identik
jika berasal dari satu individu, yang direproduksi secara vegetatif. Klon
merupakan tipe spesifik dari sebuah kultivar, tetapi kultivar belum tentu dikatakan
satu klon, karena kultivar dapat dihasilkan secara seksual (dengan biji) atau secara
aseksual (Pittenger 2004). Oleh karena itu, istilah klon digunakan dalam
penelitian ini.
Fitonutrien Torbangun
Bagian yang biasa dikonsumsi dari tanaman torbangun adalah bagian
daunnya (Joy et al. 1998), yang memiliki rasa agak pedas, agak asam, getir,
membuat rasa tebal di lidah, serta berbau tajam (khas torbangun)
(Dalimartha 2008). Analisis proksimat untuk menunjukkan bahwa dalam setiap
100 g edible portion daun torbangun terkandung kalsium dan total karoten yang
cukup tinggi, berturut-turut 279 g dan 13288 µg (Mahmud et al. 1990). Adapun
zat gizi lain yang terkandung dalam daun torbangun dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Kandungan gizi daun torbangun
No

Zat Gizi

1.
Energi
2.
Protein
3.
Lemak
4.
Hidrat arang
5.
Serat
6.
Abu
7.
Kalsium
8.
Fosfor
9.
Zat Besi
10
Karoten Total
11.
Vit A
12.
Vit B1
13.
Vit C
14.
Air
Sumber: Mahmud et al. (1990)

Kadar per 100 g edible portion
daun torbangun
27 kal
1.3 g
0.6 g
4.0 g
1.0 g
1.6 g
279 g
40 g
13.6 g
13288 µg
0 SI
0.16 mg
5.1 mg
92.5 g

Fitokimia Torbangun
Fitokimia atau komponen bioaktif merupakan unsur ekstranutrisi yang
biasa terdapat dalam jumlah sedikit dalam makanan. Senyawa-senyawa ini banyak
dipelajari secara
intensif
mengenai
efeknya
terhadap
kesehatan
(Kris-Etherthon et al. 2002). Hal ini karena senyawa tersebut mampu
meningkatkan status kesehatan, mengurangi risiko penyakit-penyakit kronis
seperti kanker, penyakit jantung koroner, stroke, dan mungkin juga penyakit
Alzheimer (Denny dan Buttriss 2005). Komponen bioaktif pada tanaman dapat
didefinisikan sebagai metabolit sekunder tumbuhan yang memunculkan efek
farmakologis atau toksikologi pada manusia dan hewan, dimana zat tersebut tidak
dibutuhkan untuk fungsi sehari-hari dari tanaman (Bernhoft 2010).

6
Selain bermanfaat dari segi nilai gizi, mengonsumsi daun torbangun juga
bermanfaat dari segi fitokimia yang terkandung di dalamnya. Analisis bahan
secara kualitatif dengan kromatografi lapis tipis yang dilakukan Sathasivam dan
Elangovan (2011), serta dikuatkan pula oleh Kundu et al. (2011), dan
Thenmozhi et al. (2011), bahwa secara kualitatif daun torbangun mengandung
senyawa alkaloid, terpenoid, saponin, tanin, dan flavonoid (Tabel 2).
Roshan et al. (2009) dalam jurnal ulasannya tentang tanaman torbangun
menuliskan bahwa tanaman ini mengandung beragam senyawa flavonoid, antara
lain apigenin, luteolin, dan quercetin.
Tabel 2 Hasil analisis kualitatif buah takokak
Senyawa
Alkaloid
Terpenoid
Saponin
Tanin
Flavonoid

Referensi

Etanol
+
+
+
+
+
Sathasivam dan
Elangovan
(2011)

Pelarut
Petroleum KloroEter
form
+
+
+
-

Metanol
+
+
+
+

Kundu et al. (2011)

Air
+
+
+

Air
+
+
+
+

Etanol
+
+
+
+

Thenmozhi
et al. (2011)

Efikasi Torbangun
Wanita-wanita suku Batak di Simalungun, Sumatera Utara, memiliki
kepercayaan yang telah bertahan selama ratusan tahun bahwa daun torbangun
yang dimasak menjadi sup, dengan campuran ikan atau ayam, dapat
meningkatkan produksi ASI. Di daerah tersebut, wanita yang baru melahirkan
biasa mengonsumsi sup torbangun minimal selama satu bulan (Damanik 2009).
Selain oleh ibu-ibu pasca melahirkan, sayur torbangun juga biasa dikonsumsi oleh
masyarakat suku Batak secara umum. Selain itu, efek farmakologis dari daun ini
juga telah dikenal, antara lain sebagai penurun panas (antipiretik), antiseptik,
peluruh angin (karminatif), penghilang rasa nyeri (analgesik), pengobat batuk,
sakit tenggorokan, hidung tersumbat, serta rematik (Wijayakusuma 2006;
Dalimartha 2008; dan Grace 2011).

Komponen Bioaktif
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya oleh Kris-Etherthon et al.
(2002), komponen bioaktif merupakan unsur ekstranutrisi yang biasa terdapat
dalam jumlah sedikit dalam makanan. Walaupun terdapat dalam jumlah sedikit,
peranan senyawa-senyawa ini dalam menjaga kesehatan tidak dapat diabaikan,
terutama peran potensialnya dalam menjaga kesehatan yang optimal dan
menurunkan risiko penyakit degeneratif (Dreosti 2000).

7
Senyawa Fenolik
Senyawa fenol merupakan metabolit sekunder yang disintesis tanaman
selama perkembangan normal, sebagai respon terhadap stres seperti infeksi, luka,
radiasi ultraviolet, dan sebagainya. Senyawa ini tersebar luas pada tanaman dan
merupakan metabolit sekunder yang melimpah dalam tumbuhan, dengan lebih
dari 8000 struktur fenol yang telah diketahui, bentuk molekul beragam dari yang
sederhana seperti asam fenolat hingga substansi yang sangat terpolimerasi seperti
tanin. Dalam tanaman fenolat berperan dalam pertahanan terhadap radiasi
ultraviolet atau agresi patogen, parasit, dan predator, sebagaimana kontribusinya
dalam pemberian warna bagi tanaman.
Komponen ini tersebar dalam seluruh organ tumbuhan dan merupakan
bagian dari diet manusia. Fenol merupakan konstituen yang tersebar luas dalam
makanan nabati (buah-buahan, sayuran, sereal, zaitun, kacang-kacangan, coklat,
dll) dan minuman (teh, kopi, bir, anggur, dll), dan sebagian mempengaruhi sifat
organoleptik keseluruhan makanan nabati. Contohnya, kontribusi senyawa fenol
dalam rasa pahit dan rasa asam buah dan jus buah, karena interaksi antar-fenolat,
terutama procyanidin, dan glikoprotein dalam air liur (Naczk dan Shahidi 2004).
Komponen fenol juga berpengaruh pada penampakan pangan, seperti timbulnya
warna gelap yang berkaitan dengan fenomena browning pada produk buahbuahan dan sayuran (Lee 2000).
Istilah senyawa fenolik meliputi aneka ragam senyawa yang berasal dari
tumbuhan, yang mempunyai ciri yang sama, yaitu cincin aromatik yang
mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Senyawa fenol cenderung mudah larut
dalam air karena umumnya seringkali berikatan dengan gula sebagai glikosida,
biasanya terdapat dalam vakuola sel (Harborne 1984).
Struktur kimia fenolat dari tanaman bervariasi mulai yang sederhana hingga
yang terpolimerasi seperti asam fenolat, fenilpropanoat, antosianin, tanin, dan
lain-lain. Senyawa ini juga ada yang terkompleks dengan karbohidrat, protein,
serta komponen lainnya, dimana senyawa fenol yang memiliki berat molekul yang
tinggi menjadi agak sulit larut. Oleh karena itu, hasil ekstrak fenolik dari tanaman
merupakan campuran dari kelompok senyawa fenol yang berbeda, tergantung dari
sistem pelarut yang digunakan Metode kimia dan alat analisis seperti kromatografi
dan spektrofotometri digunakan untuk kuantifikasi senyawa ini.
Metode ekstraksi fenol dipengaruhi oleh substansi kimia dasar, metode
ekstraksi, ukuran partikel sampel, waktu dan kondisi penyimpanan, serta senyawa
lain yang mempengaruhinya. Fenolik dapat diekstrak dari sampel segar, beku,
atau yang telah dikeringkan. Umumnya, sebelum ekstraksi sampel tanaman
digiling dan dihomogenisasi, yang sebelumnya telah dikeringkan dengan oven
udara atau freeze dryer. Kelarutan senyawa fenolik dipengaruhi oleh polaritas
pelarut yang digunakan, tingkat kepolimeran fenolik, interaksi senyawa fenolik
dengan komponen lainnya yang terdapat dalam pangan, dan ikatan dengan
substansi yang sulit larut. Oleh karena itu, tidak ada prosedur yang sangat
sempurna/sesuai untuk mengekstrak seluruh senyawa fenolik maupun kelompok
fenolik tertentu dari sampel tanaman. Metanol, etanol, aseton, air, etil-asetat,
hingga pelarut yang jarang dipakai seperti propanol, dimetilformamide, dan
campurannya sering digunakan dalam mengekstraksi komponen fenolik.
Periode ekstraksi yang telah dilakukan bervariasi dari 1 menit hingga
24 jam. Waktu ekstraksi yang semakin lama meningkatkan kemampuan fenolik

8
untuk teroksidasi tanpa perlu menambahkan reagen. Deshpande, dalam
disertasinya yang dikutip Naczk dan Shahidi (2004), mendemonstrasikan bahwa
waktu optimum untuk ekstraksi senyawa fenolik kacang kering adalah sekitar
50-60 menit.
Antosianin
Senyawa antosianin merupakan bagian dari senyawa flavonoid yang
mencakup berbagai warna termasuk biru, ungu, magenta violet, merah, dan
oranye. Antosianin terdapat paling banyak dalam buah beri dan anggur, serta
terdapat dalam anggur merah, sereal jenis tertentu, dan beberapa sayuran dan akar
seperti kubis, kacang, bawang, dan lobak. Sianidin adalah antosianin yang paling
umum terdapat dalam makanan (Erdman 2007).
Molekul antosianin terdiri dari aglikon antosianidin dan beberapa gugus
gula. Satu atau lebih molekul gula dapat dihubungkan dengan antosianidin
melalui ikatan glikosidik. Terdapat lebih dari 600 jenis antosianin di alam.
Warnanya yang cerah dan kelarutannya yang tinggi dalam air, antosianin menjadi
pigmen alami yang potensial untuk menggantikan pewarna makanan buatan
(Mazza 1993). Struktur senyawa antosianin dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur dasar antosianin (Sumber: Lee et al. 2005)
Selain berfungsi sebagai pewarna, antosianin dalam makanan juga memiliki
kapasitas antioksidan untuk meningkatkan status kesehatan, antosianin
diyakini mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler. Antosianin berperan sebagai
antioksidan karena dapat menyumbang atom hidrogen kepada radikal bebas yang
sangat reaktif untuk menghambat reaksi berantai radikal bebas (Rice-Evans et al.
2009). Konsumsi makanan yang kaya antosianin dapat meningkatkan status
kesehatan dan mencegah penyakit tertentu, termasuk penyakit kardiovaskuler dan
beberapa penyakit peradangan (Huang 2009).
Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa fenolik dengan aktivitas antioksidan tinggi
yang terdapat dalam buah-buahan, sayuran, dan tanaman lainnya, terkonsentrasi
pada biji, kulit buah, kulit kayu, dan bunga (Erdman 2007 dan Miller 1996).
Flavonoid berfungsi sebagai pigmen bagi warna kuning, oranye, dan merah pada

9
tanaman berbunga, sebagai faktor pertumbuhan, perkembangan, serta pertahanan
bagi tanaman (Erdman 2007).
Dalam makanan, flavonoid muncul dalam berbagai bentuk dan berkonjugasi
kompleks dengan gula dan asam organik (Lee 2000). Glukosa merupakan bentuk
gula yang paling sering ditemukan terikat dengan flavonoid; tetapi galaktosa,
ramnosa, xilosa, arabinosa dan berbagai bentuk gula lainnya juga sering
ditemukan terikat dengan flavonoid (Markham 1982).
Flavonoid merupakan komponen berkarbon 15/C15 (C6-C3-C6), sebagai
aglikon atau glikosida yang berikatan dengan beragam jenis gula seperti
arabinosa, glukosa, galaktosa, ramnosa, dan xilosa (Lee 2000). Struktur kimia
dasar flavonoid dapat dilihat pada Gambar 3. Secara struktural, flavonoid terdiri
dari 2 cincin aromatik (cincin A dan B) yang dihubungkan oleh sebuah cincin
heterosiklik berkarbon 3 yang teroksigenasi (cincin C). Variasi dari struktur
umum cincin C heterosiklik (dipengaruhi kondisi oksidasi dan gugus fungsional
dari cincin C pusat) membuat flavonoid terklasifikasi sebagai flavonol, flavon,
flavanon, flavan-3-ol (flavan), flavanol, dan antosianin (Erdman 2007). Variasi
struktur dari tiap kelompok ini disebabkan tingkat dan pola hidroksilasi,
metoksilasi, prenilasi, atau glikosilasi yang berbeda (Naczk dan Shahidi 2004).
Keterikatan cincin C dengan cincin B pada karbon ke-2 disebut isoflavon.
Proantosianidin merupakan oligomer dari flavan-3-ol. Antosianidin dibedakan
dari flavonoid lain dalam kelas terpisah berdasarkan kemampuannya untuk
membentuk kation flavylium.
Senyawa
X
R1
R2
Flavonol yang diidentifikasi
Myricetin
OH
OH
OH
Quercetin
OH
OH
H
Kaempferol OH
H
H
Flavon yang diidentifikasi
Luteolin
H
OH
H
Apigenin
H
H
H
Sumber: Hertog et al. (1992b)
Gambar 3 Struktur dasar flavonoid dan ringkasan struktur flavonol dan flavon
yang diidentifikasi
Gugus hidroksil fungsional terdapat pada semua cincin yang memiliki sisi
yang berpotensi untuk berikatan dengan karbohidrat. Flavonoid yang terikat
dengan satu atau lebih molekul gula dikenal sebagai glikosida, sedangkan
flavonoid yang tidak terikat ke molekul gula disebut aglikon. Kecuali untuk
flavan-3-ol, flavonoid terkandung dalam tanaman dan sebagian besar makanan
dalam bentuk glikosida. Struktur flavonoid akan semakin kompleks dengan
terikatnya gugus asetil dan malonil dengan gugus gula (Erdman 2007).
Flavonol dan flavon merupakan komponen yang memiliki fungsi sebagai
antioksidan dan menghentikan reaksi berantai radikal bebas dalam dalam bahan
pangan. Flavonol merupakan flavonoid yang paling tersebar luas pada makanan,
flavonol yang paling banyak terdapat dalam pangan adalah quercetin, kemudian

10
kaempferol, sedangkan myricetin termasuk komponen yang biasa terdapat dalam
sayuran (Lee 2000). Sumber utama dari ketiga flavonol ini adalah bawang,
kangkung keriting, brokoli, bluberi, tomat, dan teh. Flavon terdapat dalam jumlah
yang lebih sedikit dibanding flavonol dalam buah dan sayuran. Jenis flavon yang
dominan terdapat dalam bahan pangan adalah luteolin dan apigenin.
Sumber utamanya adalah peterseli dan seledri (Erdman et al. 2007).
Seluruh flavonoid ini merupakan komponen yang dipelajari secara luas dalam
studi antikarsinogenesis (Hertog et al. 1992a).
Flavonoid pada tumbuhan sangat bervariasi komposisinya karena perbedaan
faktor genetik, iklim, kualitas tanah, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Seleksi
dan kultivasi yang terkontrol merupakan langkah awal untuk menghasilkan
konsentrasi yang konsisten dari komponen tertentu. Langkah kedua, yaitu produk
yang dihasilkan dari ekstraksi komponen herbal dengan pelarut haruslah dikontrol
secara hati-hati untuk memisahkan komponen yang penting bagi fungsi dan
efikasi (khasiat) produk.
Sebagian besar flavonoid memiliki aktivitas sebagai anti-inflamasi, antialergi, anti-gumpal, imunomodulator, dan anti-tumor. Selain itu, flavonoid juga
berfungsi menghambat beberapa enzim, termasuk lipoksigenase, fosfolipase A2,
protein kinase, dan lain-lain (Rice-Evans 2003).
A. Ekstraksi Senyawa Flavonoid dari Tumbuhan
Flavonoid umumnya terdapat dalam bentuk O-glikosida, dimana satu atau
lebih dari gugus hidroksil flavonoidnya terikat dengan satu atau lebih gula dengan
ikatan hemiasetal yang labil terhadap asam. Dalam identifikasinya, sering
dilakukan proses glikosilasi dengan tujuan menurunkan kereaktifan dan membuat
senyawa flavonoid lebih larut air. Flavonoid umumnya berada di bagian vakuola
dari tanaman.
Selain dalam bentuk O-glikosida, flavonoid juga dapat berikatan dengan
gula dari gugus karbonnya. Kondisi ini diistilahkan dengan C-glikosida. Gula
berikatan langsung dengan inti gugus benzen dari flavonoid, dimana ikatan
tersebut merupakan ikatan yang lebih tahan asam. Ikatan jenis ini umumnya
ditemukan hanya pada karbon nomor 6 atau 8 dari inti flavonoid. Jenis gula yang
terikat juga lebih sedikit dibanding gula yang terikat dengan O-glikosida. Jenis
flavonoid yang terikat pun lebih terbatas, semisal apigenin, luteolin, chrysoeriol,
kaempferol, naringenin, daidzein, dan genistein (Markham 1982).
Terdapatnya flavonoid dalam bentuk terikatnya mendasari langkah awal
dari analisis bagi senyawa tersebut, yaitu dengan melakukan proses glikosilasi.
Proses ini dilakukan menggunakan panas dan asam, seperti yang disarankan oleh
Harborne (1984). Bentuk ikatan glikosida dari flavonoid yang dapat berupa
O-glikosida atau C-glikosida, dimana ikatan O-glikosida lebih tidak tahan asam
dibanding C-glikosida, kemudian menjadi dasar penentuan konsentrasi asam yang
efektif digunakan untuk senyawa flavonoid tertentu. Optimisasi konsentrasi asam
dan waktu reaksi yang digunakan telah diteliti oleh Hertog et al. (1992b)
seperti yang akan dipaparkan selanjutnya pada bab Metode.

11
B. Identifikasi Senyawa Flavonoid
Senyawa flavonoid pada sayuran, dewasa ini banyak dipelajari dan
dianalisis dengan metode HPLC (Andarwulan et al. 2010, 2012; Hertog et al
1992a). HPLC merupakan teknik analisis yang cepat, serta memiliki presisi dan
akurasi yang tinggi dalam memisahkan campuran menjadi zat tunggal
(Nollet 2000). HPLC termasuk metode analisis kromatografi, yang menurut
definisi IUPAC (International Union of Pure and Applied Chemistry), merupakan
metode separasi fisik dimana komponen yang akan dipisahkan dialirkan di antara
dua fase, yaitu fase yang tetap (fase diam) dan fase yang bergerak ke arah yang
telah ditentukan (fase gerak) (Ettre 1993).
Komponen utama dari HPLC adalah pompa, injektor, kolom, detektor dan
rekorder/integrator/sistem data. Terdapat berbagai cara pengklasifikasian jenisjenis HPLC. Jika didasarkan pada cara pemisahannya, terdapat lima tipe HPLC
menurut Rounds dan Gregory (1998), yaitu HPLC tipe normal phase, reversed
phase, ion exchange, size exclusion, serta pemisahan yang berdasarkan afinitas.
Pada berbagai penelitian tentang pemisahan senyawa flavonoid, sistem yang
digunakan berbasis pada kromatografi reversed phase dengan silika C18 sebagai
fase yang terikat pada kolom. Sebagian besar metode HPLC untuk analisis fenolik
pada pangan menggunakan eluen isokratik dengan mengunakan campuran pelarut
asam asetat, format, atau fosfat dengan metanol atau asetonitril sebagai larutan
organik. Variasi kekuatan solven yang digunakan sebagai gradien elusi dan waktu
yang dibutuhkan untuk analisis bergantung pada jumlah dan jenis komponen
fenolik pada matriks pangan. Untuk sampel yang kompleks, seringkali dibutuhkan
beberapa tahap gradien. Namun, untuk ekstrak yang telah dipurifikasi sebagian
atau ekstrak kasar yang hanya mengandung sedikit komponen dengan polaritas
yang sama dapat digunakan metode isokratik (Lee 2000). Agar pemisahan
komponen target dari sampel dapat berhasil dengan baik, ada dua metode elusi
yang biasa digunakan, yaitu elusi isokratik dan elusi gradien. Tipe elusi isokratik
adalah eluen yang menggunakan satu pelarut dari awal hingga akhir. Sedangkan,
elusi gradien adalah eluen yang menggunakan campuran dua atau lebih pelarut
yang berbeda sehingga komposisi fase gerak berubah seiring waktu. Pelarut
diganti mulai dari yang memiliki kemampuan elusi paling rendah hingga yang
paling tinggi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan resolusi dan
mempersingkat waktu elusi (Rubinson 2000).
Lebih dari 70 % teknik pemisahan dengan HPLC menggunakan tipe
reversed phase. Fase diamnya terbuat dari silika dengan fase terikatnya berupa
octadecylsilyl (ODS) yang merupakan salah satu bahan reversed-phase yang
banyak digunakan. HPLC reversed phase menggunakan fase gerak polar,
biasanya berupa campuran air dengan metanol, asetonitril, atau tetrahidrofuran.
Larutan tersebut tertahan karena interaksi hidrofobik dengan fase diam non-polar
dan terelusi untuk menurunkan polaritas (meningkatkan hidrofobisitas)
(Rounds dan Gregory 1998).
Flavonoid, yang merupakan salah satu bagian dari komponen fenolik,
memiliki ikatan aromatik sehingga dapat diserap dengan baik pada panjang
gelombang sinar UV. Panjang gelombang untuk komponen ini berada pada
kisaran 320-380 nm dan 240-270 nm (Lee 2000).
Sayuran merupakan sumber pangan yang utama untuk flavonol.
Di dalamnya banyak terkandung glikosida quercetin, juga glikosida lain seperti

12
kaempferol, luteolin, dan apigenin. Flavonol dan flavon merupakan bagian dari
flavonoid yang penting karena memiliki aktivitas antioksidan (Lee 2000).
Panjang gelombang UV maksimum dan urutan elusi untuk flavonol dan
flavon sebagaimana yang dikutip Lee (2000) dari Justesen et al. (1998) adalah
sebagai berikut: myricetin 375 nm, quercetin 374 nm, kaempferol 366 nm, luteolin
351 nm, apigenin 341 nm. Lee (2000) melanjutkan bahwa kuantifikasi quercetin
lebih sulit dibanding aglikon lainnya karena lebih tidak stabil. Degradasi
komponen dapat dicegah dengan pendinginan tabung sampel, pelindungan vial
dari cahaya UV, serta penyiapan standar yang baru untuk setiap analisis.
Hertog et al. (1992b) mengembangkan metode identifikasi yang cepat
dengan HPLC untuk kuantifikasi lima komponen besar dari aglikon flavonoid
(quercetin, kaempferol, myricetin, luteolin, apigenin) untuk sayuran dan buah
yang dikeringbekukan. Pada prinsipnya, sampel diekstrak kemudian dihidrolisis
asam untuk memecah gula, kemudian dianalisis jumlahnya dengan HPLC.
Identifikasi senyawa flavonoid dilakukan dengan menggunakan fase gerak 25 %
asetonitril dalam buffer fosfat 0.025 M, laju aliran 0.9 ml/menit. Kolom yang
digunakan adalah kolom HPLC C18 phase, Develosil ODS-UG-3.
Partial Least Square – Discriminant Analysis
Partial Least Square – Discriminant Analysis (PLS-DA) merupakan salah
satu metode analisis multivariat yang dapat mempertajam pemisahan antara
kelompok pengamatan. PLS-DA dihasilkan dari pemutaran komponen PCA
(Principal Components Analysis) sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan
pemisahan maksimum antarkelas. Dari PLS-DA dapat diketahui variabel mana
yang memisahkan sampel berdasarkan kelas-kelas tersebut. PLS-DA termasuk
dalam PLS-regresi klasik, di mana variabel respon kategori mengekspresikan
keanggotaan kelas pada unit statistik. Oleh karena itu, PLS-DA tidak
memungkinkan variabel respon selain variabel untuk mendefinisikan kelompok
(CAMO 2013).
Seperti halnya PCA, PLS-DA menghasilkan dua plot grafik, yaitu score plot
dan loading plot. Score plot menggambarkan hubungan antara sampel
yangdiamati, sedangkan loading plot merupakan rangkuman dari variabel (misal:
waktu retensi). Loading plot digunakan untuk menginterpretasikan pola yang
tergambar pada score plot. Kedua plot ini bersifat komplementer satu sama lain.
Arah dari plot yang satu berkorelasi dengan arah yang sama pada plot lainnya
(Umetrics 2006).

METODE PENELITIAN
Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan untuk
pembudidayaan tanaman dan bahan untuk analisis. Bahan yang digunakan untuk
pembudidayaan tanaman adalah bibit torbangun dari tiga klon berbeda. Dua klon
(klon A dan B) didapat dari “Sringanis” (toko tanaman obat di Cipaku, Bogor),

13
satu klon (klon C) dari kebun pribadi keluarga bersuku Batak yang berdomisili di
Bekasi. Bahan-bahan yang digunakan adalah etanol, metanol, reagen FolinCiocalteu, HCl, Na2CO3, Na2COOH, KCl, dan KH2PO4 dari Merck (Darmstadt,
Germany). TBHQ (Tertiary Butyl Hydroquinone), asam galat, standar quercetin,
kaempferol, myricetin, apigenin, dan luteolin dari Sigma-Aldrich (St. Louis, MO,
USA). Acetonitril HPLC grade, metanol HPLC grade, dan water HPLC grade
dari JT Baker (Phillipsburg, NJ, USA).
Peralatan Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat untuk
budidaya tanaman, alat-alat persiapan sampel, dan alat untuk analisis. Alat yang
digunakan untuk budidaya tanaman, yaitu alat-alat pertanian, polibag kecil untuk
persemaian, gunting, cutter, pupuk kandang, arang sekam, paranet, plastik UV,
bambu, kawat, serta paku. Alat-alat yang digunakan untuk persiapan sampel
adalah plastik tahan panas ukuran 2 kg, tray plastik, freezer, freeze dryer, blender
kering, plastik klip, serta toples kedap udara untuk penyimpanan sampel bubuk
kering beku. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah oven, neraca analitik,
desikator, gegep, sudip, cawan aluminium, gelas piala, erlenmeyer, gelas ukur,
mikropipet, labu takar, tabung reaksi bertutup beserta raknya, alumunium foil,
botol gelap ukuran kecil (5-10 ml) dan besar (100-500 ml), magnetic stirrer,
batang pengaduk, botol semprot, parafilm, sonikator, sentrifus, tabung sentrifus,
alat vorteks, syringe, syringe filter selulosa 0.45 µm (Minisart, Sartorius Stedim
Biotech, Germany).
Tabel 3 Spesifikasi HPLC
Komponen HPLC
Solvent cabinet
Degasser
Pump
Detector UV-Vis
Manual injector
Injector
Syringe
Column
Mobile phase
Flow rate

Tipe
Shimadzu LC-20 AD
Shimadzu DGU-20A5
Shimadzu LC-20 AD
Shimadzu SPD-20A
Hewlett Packard Series 1100
Rheodyne 20 µl
Agilent Technologies, LC 50 µl
C-18 phase; Develosil ODS-UG-3, Nomura Chemical
25% acetonitrile in 0.025 M KH2PO4
0.9 ml/min (isocratic)

Instrumen yang digunakan yaitu spektrofotometer (Shimadzu UV-2450,
UV-Vis Spectrophotometer, Kyoto, Japan), High Performance Liquid
Chromatography LC-2040 (Shimadzu, Kyoto, Japan) yang dilengkapi dengan
detektor UV–Vis Shimadzu SPD-20A (Shimadzu, Kyoto, Japan) dan kolom
reversed phase Develosil ODS-UG-3 (4.6 mm i.d.; 75 mm) (Nomura Chemical,
Seto, Japan) (Tabel 3).

14
Lokasi dan Waktu Penelitian
Secara garis besar, penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap
budidaya tanaman torbangun di Kampung Konservasi Toga, Gunung Leutik, Desa
Benteng, Bogor; dan tahap analisis kimia di Food Chemistry Laboratory
SEAFAST (South East Asia Food Agricultural Science and Technology) Center,
Institut Pertanian Bogor. Tahap budidaya tanaman dilaksanakan mulai Maret
hingga Mei 2012, sedangkan tahap analisis kimia dilakukan sejak Mei 2012
hingga Februari 2013.
Prosedur Penelitian
Dalam penelitian ini dilakukan tiga tahap penelitian, yaitu tahap budidaya,
tahap identifikasi fenotipe, dan tahap analisis komponen bioaktif dari tiga klon
tanaman torbangun. Penjabaran ketiga tahap tersebut adalah sebagai berikut:
Tahap Budidaya
Tahap awal yang akan dilakukan pada penelitian ini adalah tahap
pembudidayaan tanaman torbangun klon A, B, dan C. Ketiga klon tanaman ini
diidentifikasi oleh Pusat Penelitian Biologi (Lampiran 1), kemudian
dibudidayakan di Kampung Konservasi Toga, Gunung Leutik, Desa Benteng,
Bogor. Setiap klon torbangun dibudidayakan di bedeng seluas 1 m x 4.5 m,
sebanyak 42 stek. Tata letak pembudidayaan stek torbangun di lahan disajikan
pada Lampiran 2.
Persiapan bibit. Penanaman dilakukan saat musim kemarau. Sebelum
penanaman di bedeng, terlebih dahulu dilakukan penyemaian stek yang memiliki
tiga buku pada polibag kecil berisi media tanam. Media tanam dimasukkan ke
dalam polibag hingga memenuhi ¾ volumenya. Bibit disiapkan lebih banyak dari
kebutuhan untuk keperluan penyulaman tanaman yang dilakukan jika tanaman
mati. Persemaian bibit ini dilakukan di tempat yang diberi naungan, disiram setiap
dua hari sekali.
Persiapan media tanam dan pupuk. Media tanam yang digunakan adalah
campuran tanah, arang sekam, dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1:1.
Dosis pupuk kandang yang dipakai adalah 1 ton/ha.
Penanaman. Setelah kira-kira 14 hari disemai dalam polibag, bibit yang
akarnya sudah cukup kuat dipindahkan ke bedeng dengan jarak tanam 30 cm.
Media tanam yang digunakan pada penanaman sama dengan yang digunakan pada
persemaian agar air lebih lama tertahan dalam media tanam karena penanaman
dilakukan ketika musim kemarau (Maret-Juni).
Pembuatan naungan. Paranet 60 % dipasang pada bagian atas dan
sekeliling lahan membentuk rumah berukuran 5x2.2 m, tinggi sekitar 2 m. Paranet
60 % berarti cahaya yang ditahan adalah 60 %, yang lolos sebesar 40 %.
Pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan selama budidaya
tanaman, yaitu penyiraman dan penyiangan gulma. Penyiraman dilakukan pada
sore hari setiap 2 hari sekali. Penyulaman tanaman diambil dari bibit yang telah
dipersiapkan lebih. Pengendalian hama dilakukan secara manual setiap dua hari
sekali.

15
Pengamatan. Pengamatan pertumbuhan tanaman dilakukan saat usia panen,
yaitu kira-kira delapan minggu. Peubah yang diamati mengacu pada deskriptor
tanaman yang dibuat pada tahap identifikasi fenotipe.
Pemanenan. Tahap ini dilakukan pada saat tanaman dan daun torbangun
mencapai ukuran yang cukup besar untuk dipanen (sekitar 8 minggu). Bagian
yang dipanen dari tanaman adalah bagian daun utuh (tidak terserang hama), yang
tumbuh sekitar 10 cm dari pucuk (Gambar 4). Sampel yang digunakan adalah
daun hingga batang daunnya (porsi edibel).

Gambar 4 Ukuran pucuk yang dipanen
Tahap Identifikasi Fenotipe
Identifikasi fenotipe dilakukan dengan cara mengamati morfologi dari
ketiga klon torbangun yang digunakan. Identifikasi dilakukan secara keseluruhan,
mulai dari akar, batang, daun, hingga bunganya, dengan kriteria yang telah
ditetapkan dalam lembar deskriptor tanaman yang dimodifikasi dari deskriptor
tanaman pala (Marzuki 2007). Deskriptor torbangun dapat dilihat di Lampiran 3.
Setiap klon diambil gambarnya untuk perbandingan secara visual.
Tahap Analisis Kimia Komponen Bioaktif
A. Persiapan Sampel (Andarwulan et al. 2010)
Sampel yang digunakan adala