Correlation between DNA methylation and expression of the MADS-box genes on mantled fruit of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) clonal plants.

HUBUNGAN METILASI DNA DAN EKSPRESI GEN
MADS BOX DENGAN BUAH MANTEL PADA TANAMAN
KLONAL KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

MAHARANI ANISCHAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul Hubungan Metilasi
DNA dan Ekspresi Gen MADS-box dengan Buah Mantel pada Tanaman Klonal
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) adalah karya saya bersama komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013

Maharani Anischan
NRP P051100161

RINGKASAN

MAHARANI ANISCHAN. Hubungan Metilasi DNA dan Ekspresi Gen MADSbox dengan Buah Mantel pada Tanaman Klonal Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.). Dibimbing oleh SUHARSONO dan NURITA TORUAN-MATHIUS.
Buah mantel pada tanaman klonal kelapa sawit skala besar sangat
berpengaruh terhadap produktivitas minyak. Fenotip mantel disebabkan oleh
perubahan epigenetik yang melibatkan metilasi DNA dan gen MADS-box yang
menyandikan transformasi homeotik organ reproduksi. Penelitian ini bertujuan
untuk memanfaatkan teknik Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC)
untuk mengetahui tingkat metilasi yang menentukan abnormalitas buah dan
Quantitative Real Time PCR (qPCR) untuk mengetahui hubungan abnormalitas
buah dengan ekspresi gen MADS-box.
Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu analisis metilasi DNA dan
analisis ekspresi gen MADS-box. Bahan yang digunakan adalah buah muda

normal dan buah muda mantel dengan abnormalitas sangat berat. Buah mantel
dikelompokkan menjadi dua, yaitu buah mantel yang terdapat di dalam tandan
(Abn m) dan buah mantel yang terdapat di luar tandan (Abn).
Analisis ekspresi gen dilakukan dengan melakukan analisis mRNA dan
analisis metilasi dilakukan terhadap DNA genom total. Untuk analisis ekspresi
gen, mRNA digunakan sebagai cetakan untuk mensintesis cDNA. Masing-masing
percobaan dilaksanakan dengan dua kali ulangan, untuk setiap gen dan cDNA.
Ekspresi dari gen target dibandingkan dengan EF1-α1 sebagai gen pembanding.
Berdasarkan efisiensi qPCR dengan membandingkan gen target dan gen
pembanding, dari 11 gen yang diuji, yaitu: EgSQUA1, EgSQUA3, EgFUL,
EgGLO1, EgGLO2, EgDEF1, EgAG2, EgAGA, EgAGL6, EgF-box dan EgRING,
hanya tiga gen, yaitu EgAG2, EgAGA dan EgAGL6 yang memenuhi syarat untuk
analisis qPCR. Ekspresi gen EgAG2 tidak berbeda antara buah mantel dan buah
normal, sedangkan ekspresi gen EgAGA dan EgAGL6 antara buah mantel dan
buah normal berbeda. Ekspresi gen EgAGA lebih tinggi di buah mantel daripada
di buah normal, sedangkan ekspresi gen EgAGL6 lebih rendah di buah mantel tua
daripada di buah mantel muda dan buah normal.
Pemotongan DNA genom dengan enzim S1 Nuklease dan UPLC
menunjukkan adanya hipermetilasi pada buah mantel sebesar 18.33-19.55%
dibandingkan dengan buah normal sebesar 5.67%. Peningkatan level metilasi

salah satunya ditunjukkan oleh penurunan yang nyata dari level ekspresi gen
EgAGL6 pada buah mantel. Gen ini diduga terlibat dalam perkembangan buah
mantel.
Kata kunci: metilasi DNA, gen MADS-box, buah mantel, quantitative real-time
PCR

SUMMARY

MAHARANI ANISCHAN. Correlation between DNA Methylation and
Expression of the MADS-box Genes on Mantled Fruit of Oil Palm (Elaeis
guineensis Jacq.) Clonal Plants. Supervised by SUHARSONO and NURITA
TORUAN-MATHIUS.
The presence of abnormal mantled fruit on large scale clonal production of
oil palm had trully affected the oil productivity. Mantled phenotype is likely to be
that of an epigenetic change involving DNA methylation and the MADS-box
transcription factor genes which encoded floral organ homeotic transformation.
We developed an Ultra Performance Liquid Chromatography (UPLC) to quantify
the degree of methylation related to fruit abnormality and Quantitative Real-Time
PCR (qPCR) to know the correlation between the expression of the MADS-box
genes with mantled fruit abnormality.

This study were consist of two experiments, the DNA methylation analysis
and the MADS-box genes expression analysis. Materials used in this study were
the young fruit of both normal and mantled with very heavy type of abnormality.
Abnormal mantled fruit were grouped into two types, one is taken from inside
(Abn m) and other is from outside the bunch (Abn).
In gene expression analysis, cDNA used as the template for qPCR were
obtained from the reverse transcription of the mRNA, while methylation analysis
performed on total DNA genomic. The research for each gene and cDNA were
conducted in two replications. The expression of the target genes were compared
to EF1-α1 as the reference gene.
Based on qPCR efficiency by comparing the target genes with the reference
gene, from 11 genes that have been tested, i.e EgSQUA1, EgSQUA3, EgFUL,
EgGLO1, EgGLO2, EgDEF1, EgAG2, EgAGA, EgAGL6, EgF-box and EgRING,
only three genes are qualified for qPCR analysis, i.e EgAG2, EgAGA and
EgAGL6. EgAG2 expression was not different in both mantled and normal fruit,
while EgAGA expression was higher in mantled and EgAGL6 expression was
significantly lower in outside-bunched mantled fruit (Abn).
Nuclease S1 digestion and UPLC revealed the genome-wide increasing in
DNA methylation on mantled fruit (18.33-19.55%) compared to its normal
counterparts (5.67%). This increased in global DNA methylation showed by the

significant decreased in EgAGL6 transcript level on mantled fruit. This gene is
assumed to be involved in the development of mantled fruit.
Key words: DNA methylation, MADS-box genes, mantled fruit, quantitative realtime PCR.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

HUBUNGAN METILASI DNA DAN EKSPRESI GEN
MADS-BOX DENGAN BUAH MANTEL PADA TANAMAN
KLONAL KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.)

MAHARANI ANISCHAN


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Bioteknologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA

Judul Penelitian

Nama
NIM

: Hubungan Metilasi DNA dan Ekspresi Gen MADS-box
dengan Buah Mantel pada Tanaman Klonal Kelapa Sawit

(Elaeis guineensis Jacq.)
: Maharani Anischan
: P051100161

Disetujui oleh,
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Ketua

Dr Ir Nurita Toruan-Mathius, MS
Anggota

Diketahui oleh,

Ketua Program Studi
Bioteknologi

Dekan Sekolah Pascasarjana


Prof Dr Ir Suharsono, DEA

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

Tanggal Ujian:23 Agustus 2013

Tanggal Lulus:

Judul Penelitian

Nama
NIM

Hubungan Metilasi DNA dan Ekspresi Oen MADS-box
dengan Buah Mantel pada Tanaman Kional Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.)
Maharani Anischan
P051100161

Disetujui oIeh,

Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Ketua

rita Toruan-Mathius MS
Anggota

Diketahui oIeh,

Ketua Program Studi
Bioteknologi

Prof Dr Ir Suharsono, DEA
Tanggal Ujian:23 Agustus 2013

Tanggal Lulus:

2 2 NO J 1013


\

PRAKATA

Puji serta syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat
Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul
“Hubungan Metilasi DNA dan Ekspresi Gen MADS-box dengan Buah Mantel
pada Tanaman Klonal Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)”.
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada:
1.
Prof Dr Ir Suharsono, DEA sebagai ketua komisi pembimbing dan Dr
Nurita Toruan-Mathius, MS sebagai anggota komisi pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan ilmunya kepada penulis.
2.
Dr Ir Aris Tjahjoleksono, DEA selaku dosen penguji luar komisi yang telah
memberikan saran dan masukan demi kesempurnaan tesis ini.
3.
Bakrie Center Foundation yang telah memberikan beasiswa pendidikan,
hingga penulis dapat menyelesaikan studi pada program Pascasarjana
Bioteknologi di IPB.

4.
PT. SMART, Tbk. yang telah memberikan dana dan fasilitas untuk
pelaksanaan penelitian ini.
5.
Andree Sunanjaya Kusnandar, S.Si yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melaksanakan sebagian dari proyek penelitiannya.
6.
Keluarga besar laboratorium Genomik dan Transkriptomik, PT. SMART,
Tbk. di Bogor yang telah banyak memberikan bantuan atas kelancaran
penelitian ini.
7.
Kedua orangtua beserta kakak-kakak yang telah memberikan begitu banyak
perhatian, dukungan dan do’anya kepada penulis.
8.
Segenap sahabat mahasiswa S2 Bioteknologi IPB angkatan 2010 yang telah
banyak memberikan motivasi dan bantuannya.
9.
Segenap karyawan serta staff administrasi Program Studi Bioteknologi IPB,
yang telah banyak membantu penulis dalam proses administrasi.
Serta semua pihak yang telah banyak memberikan motivasi, dan dukungannya
serta menjadi inspirasi bagi penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2013
Maharani Anischan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Kelapa Sawit
Faktor Transkripsi
Gen MADS-box
Metilasi DNA dan Ekspresi Gen
3 METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Bahan
Prosedur Kerja
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi RNA Total
Sintesis cDNA Utas Tunggal
Penentuan Ekspresi Gen dengan qPCR
Isolasi DNA Genomik
Pencacahan DNA Genomik dengan Enzim S1 Nuklease
Kuantifikasi Metilasi dengan UPLC
Hubungan Metilasi DNA dengan Ekspresi Gen
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Halaman
ix
x
x
1
1
2
3
3
7
8
10
15
15
15
15
23
23
24
25
32
33
34
35
37
37
37
38
45
51

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5

Komposisi buah Dura, Tenera dan Pisifera
Rasio absorbansi RNA total serta Rasio 28 S:18S rRNA
Validasi qPCR Gen MADS-box
Perhitungan BNT EgAGL6, EgAG2 dan EgAGA
Hasil pembacaan sampel DNA genomik pada spektrofotometer

Halaman
4
24
25
29
33

DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11

12
13
14
15
16
17
18
19
20

Buah kelapa sawit
Potongan melintang pada buah kelapa sawit regeneran
Domain faktor transkripsi
Struktur domain MIKC pada gen MADS-box
Model penentuan identitas struktur bunga berdasarkan ekspresi gen
MADS-box yang saling tumpang-tindih
Metilasi pada basa sitosin
Proses qPCR yang diamatidari peningkatan sinyal fluoresen
Alur Penelitian
RNA Total buah kelapa sawit hasil elektroforesis Qiaxcel
Hasil amplifikasi EgACT1
Posisi Primer ActF dan ActR yang didisain dari gen aktin kelapa
sawit EgACT1 pada ekson 1 dan ekson 2 dari gen aktin kedelai pSAc3
(Shah et al. 1982)
Deteksi sinyal EgSQUA1 pada buah kelapa sawit.
Hasil elektroforesis EgGLO2 menghasilkan pita yang tidak spesifik
Deteksi sinyal NTC pada EgFbox, EgRING dan EgDEF1
Ekspresi gen EgAG2, EgAGA dan EgAGL6 pada buah kelapa sawit
Abn dan Abn m terhadap Normal
Hasil elektroforesis DNA genomik buah kelapa sawit
Hasil pencacahan DNA genomik oleh enzim Nuclease S1
Pola peak kandungan metilsitosin (5-mC) pada buah normal dan
abnormal
Perbandingan kandungan 5-metil-sitidin antara buah normal dan
abnormal
Hasil Pembacaan Metilasi DNA genom dengan UPLC

4
6
7
8
10
11
13
16
23
24

25
26
28
28
30
33
33
34
34
50

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1
2
3
4

Data kurva standar
Plot ∆CT melawan log amount template kurva standar
Kesamaan cDNA beberapa gen MADS-box
(Sumber: Tranbarger et al. 2011)
Hasil Pembacaan Metilasi DNA genom dengan UPLC

45
47
49
50

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kelapa sawit merupakan tanaman utama perkebunan di Indonesia. Hal ini
ditunjukkan oleh peningkatan luasan areal perkebunan dan jumlah ekspor
komoditas ini dari tahun ke tahun (BPS 2009). Indonesia juga merupakan negara
penghasil minyak sawit terbesar dunia saat ini karena hampir 9 Mha luas areal
perkebunan kelapa sawit Indonesia menghasilkan lebih dari 80% total minyak
sawit dunia (FAO Statistik 2013).
Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan produksi adalah penyediaan
bibit berkualitas dengan produktivitas tinggi. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
perbanyakan klonal dari varietas unggul kelapa sawit dengan teknik kultur
jaringan. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan teknologi kultur jaringan
adalah timbulnya abnormalitas pada organ reproduktif diantaranya buah mantel
yang disebabkan oleh adanya variasi somaklonal (Corley et al. 1986). Pada bunga
ditemukan suatu struktur menyerupai karpel yang menggantikan stamen dan
berbentuk seperti “pembungkus” pada buah (Adam et al. 2005). Menurut Hetharie
(2008) pengaruh buah mantel pada produksi minyak dapat sangat besar, yaitu
menurun sekitar 20-30% dibandingkan dengan buah normal. Hal ini disebabkan
oleh akumulasi minyak yang sangat sedikit pada mesokarp buah mantel. Bahkan
pada kasus buah mantel berat, mesokarp buah berubah menjadi jaringan yang
sangat keras.
Variasi somaklonal diartikan sebagai variasi genetik dan fenotipik di antara
tanaman-tanaman yang diperbanyak secara klonal dari satu klon donor tunggal.
Variasi ini salah satunya melibatkan perubahan ploidi (Kaeppler et al. 2000),
namun Rival et al. (1997) tidak menemukan adanya perubahan pada level ploidi
antara regeneran tanaman kelapa sawit normal maupun abnormal.
Variasi sekuens juga dapat muncul melalui proses kultur (Kaeppler et al.
2000). Pencarian penanda molekuler untuk fenotip mantel kelapa sawit telah
dilakukan melalui analisis RAPD (Rival et al. 1998), AFLP (Matthes et al. 2001)
dan RFLP (Jaligot et al. 2002), namun juga belum berhasil menemukan pita DNA
spesifik yang dapat membedakan tanaman yang berbuah normal dengan abnormal
secara universal.
Rao & Donought (1990) mengamati adanya suatu derajat yang signifikan
dari pembalikan fenotip abnormal menjadi normal. Hal ini mengindikasikan
adanya epigenetik. Menurut Kaeppler et al. (2000) epigenetik melibatkan
perubahan ekspresi gen yang dapat balik (reversible), namun bukan disebabkan
oleh aberasi kromosom atau perubahan pada sekuens DNA.
Bollati & Baccarelli (2010) menyatakan bahwa metilasi DNA merupakan
salah satu mekanisme yang terlibat dalam epigenetik. Hal ini dibuktikan oleh
terdeteksinya global dan sekuens-spesifik hipometilasi DNA melalui analisis
HPLC pada kalus (Jaligot et al. 2000) dan MSAP (Methylation-Sensitive
Amplified Polymorphism) pada daun (Matthes et al. 2001) regeneran kelapa sawit
yang menunjukkan fenotip abnormal. Tregear et al. (2002) menduga bahwa
terdapat sejumlah kecil gen tertentu yang sangat sensitif terhadap perubahan
metilasi pada kelapa sawit mantel.

2

Rival et al. (2000) melaporkan bahwa penurunan dalam metilasi DNA ini
tidak satupun dapat dijelaskan oleh perubahan dalam level trankripsi dari tiga gen
utama Metiltransferase DNA, sehingga gen-gen ini dapat dikatakan tidak terlibat
langsung dalam pembentukan fenotip abnormal. Kubis et al. (2003) juga
menyatakan bahwa perubahan dalam status metilasi elemen transposable pada
regeneran kelapa sawit juga tidak terdeteksi. Oleh sebab itu diperlukan metode
lain untuk menerangkan status metilasi DNA.
Fenotip mantel disebabkan oleh modifikasi epigenetik yang mengubah pola
ekspresi dari sejumlah gen yang terlibat dalam pembungaan dan perkembangan
buah (Shearman et al. 2012). Proses organogenesis bunga (Adam et al. 2007a)
dan perkembangan buah (Tranbarger et al. 2011) kelapa sawit didasarkan pada
peranan faktor transkripsi, yaitu gen MADS-box. Menurut Elliot & Elliot (2009)
metilasi salah satunya dapat terjadi di level faktor transkripsi.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui hubungan antara abnormalitas
buah kelapa sawit akibat metilasi dengan ekspresi beberapa gen MADS-box. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kuantitas metilasi
yang menentukan tingkat abnormalitas pada buah serta hubungannya dengan gen
MADS-box yang terekspresi pada buah abnormal. Informasi tersebut dapat
dimanfaatkan untuk mendapatkan pemecahan permasalahan abnormalitas pada
kelapa sawit.
Qualitative Real Time Polymerase Chain Reaction (qPCR) adalah suatu
teknik yang paling sensitif untuk deteksi dan kuantifikasi ekspresi gen yang ada
pada saat ini (Kubista et al. 2006). Yang et al. (2011) menggunakan metode Ultra
Performance Liquid Chromatography (UPLC) untuk menetapkan status metilasi
DNA.

Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah (i) mengkuantifikasi level ekspresi beberapa
gen MADS-box, (ii) menghitung level metilasi DNA genom dan (iii) menerangkan
hubungan antara tingkat abnormalitas akibat metilasi dengan ekspresi gen MADSbox yang ada pada buah mantel.

3

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit adalah tanaman monokotil yang termasuk ke dalam famili
Arecaceae, tribe Cocoseae, subtribe Elaeidinae dan genus Elaeis. Nama Elaeis
diambil dari bahasa Yunani, elaia, untuk olive (buah zaitun), sedangkan nama
spesifik guineensis untuk kelapa sawit merujuk kepada pohon yang ditemukan
oleh Jacquin di Teluk Guinea (Jacquemard 1998). Saat ini ada tiga spesies Elaeis,
yaitu Elaeis guineensis dari Afrika yang dikenal sebagai kelapa sawit, dan dua
spesies asli dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah, yaitu E. oleifera dan E.
odora. Dari ketiga spesies ini E. guineensis merupakan spesies ekonomi paling
utama (Corley & Tinker 2003).
Kelapa sawit merupakan penghasil minyak nabati. Minyak dihasilkan dari
dua bagian buah, yaitu dari mesokarp disebut crude palm oil (CPO) atau minyak
sawit, dan dari kernel disebut kernel palm oil (KPO) (Hartley 1988). Menurut Koh
et al. (2009) kelapa sawit Afrika (E. guineensis Jacq.) adalah sumber utama
minyak nabati dunia. Hal ini disebabkan oleh minyak yang dihasilkan mencapai
lebih dari 6.5 ton per hektar (tertinggi dari semua tanaman oleaginous) serta
luasnya areal yang diperuntukkan bagi perkebunannya.
Buah kelapa sawit termasuk jenis buah sesil drupe atau buah berbiji satu
yang dibungkus oleh daging buah dari berbagai bentuk mulai dari bulat hingga
ovoid atau memanjang. Panjang buah berkisar dari 2 sampai 7 cm. Buah terdiri
atas eksokarp (kulit) yang tipis, mesokarp (daging) yang berminyak, endokarp
(cangkang) yang keras dan suatu endosperm berminyak (kernel). Endokarp dan
kernel merupakan bagian dari biji (Ng et al. 2003). Selain mengandung minyak
yang jumlahnya mencapai 80% berat kering buah (Murphy 2009), mesokarp juga
mengandung 11-21% materi berserat (Ng et al.2003) serta kaya akan karotenoid.
CPO adalah sumber provitamin A terbanyak (Sambanthamurthi et al. 2000).
Secara anatomi, buah didefinisikan sebagai ovari yang telah matang dan
terkadang membawa sebagian atau bahkan keseluruhan dari jaringan karpel yang
ada pada bunganya (Giovannoni 2004). Perkembangan buah terjadi setelah
pembuahan seiring dengan pematangan biji. Proses ini diawali dengan
pembesaran buah melalui pembelahan dan penambahan volume sel. Embrio
kemudian matang dan biji mengakumulasi cadangan makanan, mengalami
desikasi dan kehilangan air, sampai akhirnya buah matang. Proses pematangan
disertai dengan perubahan dalam hal rasa, tekstur, warna dan aroma (White 2002).
Tranbarger et al. (2011) menyatakan bahwa terdapat lima fase dalam
perkembangan mesokarp buah kelapa sawit, yaitu:
1. Pembelahan sel antiklinal dan ekspansinya seiring dengan peningkatan
awal dalam berat serta ukuran buah. Fase ini terjadi antara 30-60 DAP
(Day After Pollination),
2. Periode transisi yang dikarakterisasi oleh suatu fase lag dalam
pengakumulasian berat segar serta puncak akumulasi IAA dan
konjugatnya. Fase ini terjadi antara 60-100 DAP,
3. Akhir periode transisi yang ditandai oleh penurunan dalam metabolit
auksin, gibberelin dan sitokinin. Fase ini terjadi antara 100-120 DAP,

4

4. Peningkatan berat segar mesokarp dan awal pengakumulasian lipid yang
terjadi seiring dengan permulaan pematangan pada 120 DAP,
5. Akumulasi lipid dan karotenoid serta sejumlah kecil metabolit hormon
(auksin, gibberelin, sitokinin atau etilen) yang terjadi antara 120-140 DAP,
6. Merupakan fase pemasakan yang ditandai dengan peningkatan hormon
ABA dan etilen serta berat segar dan berat kering buah, pelepasan dinding
sel terkait proses pemasakan dalam mesokarp, serta akumulasi lipid dan
karotenoid dalam mesokarp. Puncaknya adalah pada 160 DAP, yaitu
ketika akumulasi lipid dalam organel subseluler mengisi volume sel dan
sel mesokarp telah diisi oleh bagian-bagian yang jelas, seperti kromoplast
yang kaya akan karotenoid.
Struktur internal dari buah bervariasi terutama dalam hal ketebalan
cangkang, seperti ditunjukkan pada Gambar 1 dan Tabel 1 (Hardon 1955).
Menurut Paranjothy (1984) ketebalan cangkang dikendalikan oleh gen tunggal.
Tiga tipe buah yang berada di bawah kontrol monogenik dan menjadi dasar untuk
pengelompokan minyak sawit, yaitu (1) Dura yang bersifat homozigous (ShSh)
dengan cangkang tebal (2-8 mm), (2) Tenera yang bersifat heterozigous (Shsh)
dengan cangkang tipis (0.5-4.0 mm) dan (3) Pisifera yang bersifat homozigous
(shsh) dengan tanpa cangkang.
Lubang perkecambahan
E
Emb
m
b

Penampang melintang
Kulit
Cangkang
Mesokarp
E
m

Kernel
Pisifera

Dura

Tenera

Gambar 1 Buah kelapa sawit
Tabel 1 Komposisi buah Dura, Tenera dan Pisifera
Kandungan bagian buah (%)
Ketebalan Cangkang
Tipe
Mesokarp
Cangkang
(mm)
Pisifera
Tidak Ada
Dura
20 – 65*
25 – 45
2.0 – 8.0
Tenera**
60 – 90
4 – 20
0.5 – 4.0
*Pada Deli Dura dari Far East lebih dari 65% **Hibrid dari Pisifera yang tidak bercangkang dan
Dura yang bercangkang tebal.

5

Berdasarkan warna buah maka spesies E. guineensis dikelompokkan atas (1)
Nigrescens, yaitu buah berwarna ungu hingga hitam di bagian apex dan tidak
berwarna di bagian dasar saat umur buah masih muda dan menjadi merah
kekuningan (orange) saat matang, (2) Virescens, yaitu buah berwarna hijau saat
muda dan menjadi orange saat matang, (3) Albescens, yaitu buah berwarna
kuning pucat dan tembus cahaya, karena mengandung sedikit karoten pada
mesokarp, dan (4) Poissoni, yaitu sering disebut buah mantel atau buah dengan
karpel tambahan atau mempunyai lebih dari satu biji dalam buah (Hartley 1988).
Karakteristik biologis dari kelapa sawit berupa (1) siklus hidup yang
panjang (Lubis 1992), (2) tidak memiliki bentuk reproduksi vegetatif alami (Khoo
et al. 1999) serta (3) tingginya tingkat heterogenitas di antara hibrid-hibrid kelapa
sawit (Asmono et al. 2000). Hal ini menyebabkan strategi pembibitan
konvensional akan memakan waktu lama dan membutuhkan perlakuan yang
intensif. Propagasi klonal dari tanaman kelapa sawit unggul melalui kultur
jaringan telah dikembangkan untuk bibit atau sumber bahan tanam (Khaw et al.
1999).
Menurut Khoo et al. (1999) bibit yang berasal dari klon hasil kultur jaringan
menunjukkan hasil lebih baik dari bibit yang berasal dari biji. Lubis (1992)
menyatakan bahwa tanaman hasil kultur jaringan menghasilkan jumlah tandan
buah lebih banyak, berat tandan lebih tinggi dan waktu produksi yang lebih cepat.
Duran-Gasselin et al. (1993) melaporkan bahwa kelapa sawit hasil kultur jaringan
meningkatkan produksi minyak sawit mentah (MSM) sebesar 12% sampai 30%
dibandingkan dengan tanaman yang berasal dari benih hibrida. Soh et al. (2001)
juga menyatakan bahwa minyak yang dihasilkan mengalami peningkatan 20%
sampai 30% dibandingkan dengan bahan tanam hasil perbanyakan secara
generatif.
Protokol kultur jaringan pada dasarnya menyebabkan penghentian aktivitas
secara tiba-tiba saat jaringan eksplan diambil dari tanaman donor. Selain itu juga
terjadi perubahan kondisi lingkungan eksplan. Penggunaan zat pengatur tumbuh
pada level tinggi juga dapat memicu proses redifferensiasi atau bahkan
dedifferensiasi dari jaringan eksplan (Rival 2000). Istilah variasi somaklonal
diberikan pada fenotip baru yang muncul secara acak dalam suatu lini sel somatis,
khususnya setelah propagasi klonal in-vitro (Jaligot et al. 2010).
Corley et al. (1986) mengungkapkan bahwa 5 sampai 10% proporsi kelapa
sawit yang berasal dari embrio somatik memperlihatkan fenotip varian somaklon
bersayap (mantled). Beberapa klon asal kultur jaringan menghasilkan bunga
abnormal dengan feminisasi bagian bunga jantan maupun bunga betina. Adam et
al. (2005) melaporkan bahwa morfologi mantel terjadi karena transformasi stamen
pada bunga jantan dan staminode (vestigial stamen) pada bunga betina menjadi
struktur yang menyerupai karpel.
Menurut Adam et al. (2007a) pada bunga mantel jantan, transformasi
stamen menjadi pseudokarpel berakibat pada sterilitas karena tidak terbentuk
pollen. Sedangkan pada bunga mantel betina, fertilisasi pada kasus abnormal yang
lebih ringan akan menghasilkan buah yang fertil. Namun pada kasus abnormal
yang lebih berat akan menghasilkan buah partenokarpi atau perkembangan yang
tertahan. Hartley (1988) menyatakan bahwa buah kelapa sawit yang mempunyai
karpel tambahan disebut buah mantel.

6

Menurut Hetharie (2008) karakterisasi tingkat abnormalitas pada buah
mantel didasarkan atas batasan antara karpel tambahan dengan karpel utama,
kondisi mesokarp serta keberadaan biji. Pada buah normal tidak ada karpel
tambahan, mesokarp berdaging dan mempunyai biji. Pada buah abnormal ringan
ada karpel tambahan namun batasannya dengan karpel utama hanya tampak di
bagian apeks, mesokarp berdaging dan masih mempunyai biji. Pada buah
abnormal berat batasan antar karpel tambahan dan utama terlihat sangat jelas dari
bagian ujung hingga tengah buah, mesokarp masih berdaging dan mempunyai biji.
Pada buah abnormal sangat berat karpel tambahan terpisah dari karpel utama
dimulai dari ujung hingga ke sepertiga pangkal buah, mesokarp berserat bahkan
berkayu serta tidak memiliki biji (Gambar 2).

Gambar 2 Potongan melintang pada buah kelapa sawit regeneran. N, buah
normal; M-, buah mantel ringan; M, buah mantel berat; sc,
supernumerary carpel (Sumber: Jaligot et al. 2000)
Timbulnya varian fenotip mantel ini hanya sekitar 5% dari kelapa sawit
yang berasal dari kultur jaringan. Namun variasi yang dihasilkan bersifat sangat
luas dan tidak dapat diprediksi, tergantung pada tanaman induk dan kondisi kultur
in-vitro (Euwens et al. 2002). Tingkat abnormalitas sangat beragam, antara kelapa
sawit yang berasal dari progeni klonal yang sama, antara infloresens yang tumbuh
pada pohon yang sama, atau antara bunga yang menyusun infloresens yang sama.
Suatu pembalikan yang spontan dan bertahap teramati di lapangan dan durasinya
bergantung pada tingkat keparahan abnormalitas semula (Rizal & Parveez 2005).
Hal ini mengindikasikan epigenetik (Tregear et al. 2002). Epigenetik adalah suatu
fenomena yang berhubungan dengan perubahan ekspresi gen yang dapat kembali
pulih tetapi bukan karena perubahan sekuens DNA (Kaeppler et al. 2000).
Pembalikan fenotip abnormal menuju normal memerlukan waktu bertahuntahun. Periode non-produktif ini ditambahkan pula dengan masa 2 sampai 3 tahun
perkembangan embrio somatik in-vitro serta 5 tahun kemudian sampai tanaman
matang secara reproduktif. Abnormalitas pada organ reproduktif hanya dapat
diketahui setelah tanaman berbunga atau berbuah. Akibatnya, abnormalitas mantel
tidak hanya mengakibatkan penurunan dalam hal produksi minyak namun juga
membuang waktu, area tanam dan infrastuktur bioteknologi (Jaligot et al. 2010).
Rival et al. (1997) mencoba menelusuri penyebab adanya varian somaklonal
mantel ini melalui analisis aliran sitometri dan tidak menemukan adanya
perubahan level ploidi pada fenotip abnormal kelapa sawit. Kubis et al. (2003)

7

menyatakan bahwa fenotip mantel tidak disebabkan oleh pengaturan kembali
elemen transposon. Rival et al. (1998) juga tidak menemukan polimorfisme DNA
yang dapat dihubungkan dengan fenotip mantel.
Fenotip mantel melibatkan transformasi homeotik organ bunga (Adam et al.
2005). Homeosis adalah penggantian sebagian atau keseluruhan dari salah satu
organ dengan organ yang lain (Lehmann & Sattler 1992). Menurut Bowman et al.
(1991) berdasarkan analisis genetik dari homeotik floral mutan, ditemukan bahwa
sedikit perubahan dalam pola ekspresi gen MADS-box akan menentukan
perubahan struktur bunga secara keseluruhan.

Faktor Transkripsi
Gen adalah unit hereditas, bagian kecil dari DNA yang membawa kode
informasi untuk sekuens asam amino dari satu rantai polipeptida (pada umumnya)
atau untuk menghasilkan molekul RNA non-coding. Suatu gen tidak berperan
langsung dalam sintesis protein. Pada eukariot, DNA berada dalam nukleus
sedangkan sintesis protein berlangsung di sitoplasma, sehingga keduanya tidak
pernah bertemu. Suatu gen mengatur sintesis protein dengan cara mengirimkan
kopi RNA yang mengandung kode informasi dari gen tersebut ke sitoplasma.
Proses ini disebut transkripsi dan kopi RNA yang dihasilkan disebut messenger
RNA (mRNA). Transkripsi adalah proses penting sebelum gen diekspresikan
(Elliot & Elliot 2009).
Gen diinisiasi untuk menjalani transkripsi pada sekuens promoter dan RNA
polimerase akan menempel di sekuens tersebut. Pada eukariot, RNA polimerase
tidak berinisiatif untuk hadir begitu ada sekuens yang dikenalinya, melainkan
diperintah oleh protein-protein (faktor transkripsi) yang terpasang terlebih dahulu
pada sekuens elemen kontrol yang ada di daerah promoter (Gambar 3, Elliot &
Elliot 2009).
Faktor transkripsi adalah protein yang menempel pada elemen kontrol dari
gen eukariot dan bertanggung jawab untuk mengontrol tahap inisiasi transkripsi.
Suatu faktor transkripsi didisain agar dapat menempel pada sekuens kontrol
elemennya. Beberapa faktor transkripsi diaktifkan hanya apabila menerima sinyal
yang tepat dari lingkungan, misalnya yang berasal dari hormon (Elliot & Elliot
2009).
Domain Aktivasi

Faktor Transkripsi

Domain Pengikatan DNA

Elemen Kontrol DNA

Gambar 3 Domain faktor transkripsi (Sumber: Elliot & Elliot 2009)

8

Faktor transkripsi merupakan regulator penting dalam proses seluler dan
kompleksitas organisme hidup memerlukan sejumlah besar faktor transkripsi.
Faktor transkripsi memiliki peranan penting dalam gene networks, yaitu dengan
berinteraksi dan mengatur gen lain (Riechmann & Ratcliffe 2000). Sebagian besar
faktor transkripsi yang mengatur perkembangan pada tanaman mulai dari akar
hingga bunga serta perkembangan buah, disandikan oleh gen MADS-box (Becker
& Theissen 2003).
Gen MADS-box
Gen MADS-box dinamai dari singkatan huruf awal empat anggota
pertamanya, yaitu Minichromosome maintenance 1 (MCM1; dari ragi),
AGAMOUS (AG; dari Arabidopsis thaliana), DEFICIENS (DEF; dari
Antirrhinum majus) dan Serum response factor (SRF; dari manusia) (SchwarzSommer et al. 1990; Shore & Sharrocks 1995). Menurut Alvarez-Buylla et al.
(2000b) famili gen MADS-box dapat dibagi ke dalam dua kelas utama, yaitu Tipe
I dan Tipe II. Kedua tipe gen ini ditemukan pada hewan, jamur dan tanaman.
Namun fungsi gen MADS-box tipe I pada tanaman belum diketahui karena seluruh
gen MADS-box tanaman yang sejauh ini telah berhasil dikarakterisasi dan
berperan dalam perkembangan tanaman adalah termasuk dalam tipe II.
Faktor transkripsi dikelompokkan ke dalam suatu famili berdasarkan
struktur dan interaksi faktor transkripsi tersebut dengan daerah spesifik DNA yang
akan ditempelinya (Luscombe et al. 2000). Gen yang termasuk dalam MADS-box
tipe II tanaman memperlihatkan kemiripan struktur domain yang disebut struktur
domain MIKC, antara lain mencakup domain: MADS (M-), intervening (I-),
keratin-like (K-) dan C-terminal (C-). Gen MADS-box tipe II tanaman selanjutnya
dikenal dengan sebutan gen MIKC (Gambar 4) (Munster et al. 1997). Menurut
Liu et al. (2001) faktor transkripsi tersusun atas empat daerah fungsional
berdasarkan analisis struktur proteinnya, yaitu daerah pengikatan DNA, daerah
regulasi transkripsi, daerah dimerisasi dan daerah lokalisasi inti. Dengan keempat
daerah ini maka faktor transkripsi dapat melakukan fungsinya.
penempelan pada
DNA

mengandung karakteristik
motif C-terminus
interaksi antar protein

Gambar 4 Struktur domain MIKC pada gen MADS-box (Sumber: Munster
et al. 1997)
Domain MADS (M-) disandikan oleh sekuens motif yang terkonservasi
(Schwarz-Sommer et al. 1990) dengan panjang yang bervariasi. Namun panjang
khasnya ada pada kisaran 168 hingga 180 bp. Hal ini berarti domain MADS
menyandikan 56 hingga 60 asam amino (Lamb & Irish 2003). Domain MADS
merupakan daerah yang paling konservatif dalam protein MADS-box (Riechmann
et al. 1996). Sekuens motif dari domain MADS yang konservatif, selain

9

merupakan faktor utama yang menentukan penempelan pada DNA elemen
kontrol, juga berperan dalam dimerisasi dan pengikatan faktor aksesori (Shore &
Sharrocks 1995). Domain MADS (M-) berikatan dengan sequens DNA yang
memiliki kesamaan yang tinggi terhadap motif CC(A/T) 6 GG yang disebut CarGbox (West et al. 1997).
Domain-I yang relatif tidak konservatif menjadi penentu untuk
pembentukan dimer selektif yang terlibat dalam pengikatan DNA. Domain-I yang
terdapat pada seluruh protein MADS-box bervariasi dalam sekuens dan panjang
(27 hingga 42 residu amino) (Riechmann & Meyerowitz 1997). Domain-K
(keratin-like) ditunjukkan oleh suatu jarak reguler yang konservatif dari residu
hidrofobik (Shore & Sharrocks 1995). Fungsinya adalah memediasi interaksi antar
protein dan memulai dimerisasi melalui interaksi antar K-box yang ada pada
protein-protein yang akan berdimer (Fan et al. 1997). Menurut Liu et al. (2001)
daerah dimerisasi didefinisikan sebagai tempat bersatunya semua faktor
transkripsi yang terlibat dalam regulasi gen tertentu.
Domain-C yang terletak pada daerah C-terminus protein MADS-box (yang
kaya glutamin) merupakan daerah yang paling variabel baik dalam hal sekuens
ataupun panjang. Domain ini terlibat dalam proses aktivasi transkripsi atau
pembentukan kompleks multimerik faktor transkripsi (Cho et al. 1999).
Perluasan pada daerah C-terminus ini mengandung ≈ 30 asam amino (Shore
& Sharrocks 1995). Menurut Liu et al. (2001) daerah regulasi transkripsi dibagi
menjadi dua jenis, yaitu yang bersifat mengaktifkan dan yang menghambat
transkripsi. Daerah yang mengaktifkan transkripsi biasanya tersusun oleh asam
amino yang bersifat asam seperti prolin dan glutamin, sedangkan asam amino
penyusun daerah penghambat transkripsi sampai sekarang belum jelas.
Protein MADS-box menempel pada DNA sebagai dimer. Struktur ini dapat
berupa interaksi antara monomer dari protein yang sama membentuk homodimer
atau antara monomer protein yang berbeda membentuk heterodimer. Sebagai
contoh, protein SRF membentuk homodimer saat menempel secara in vitro pada
DNA (Pellegrini et al. 1995), sedangkan protein MADS-box APETALA3 (AP3)
dan PISTILLATA (PI) pada Arabidopsis merupakan heterodimer (Riechmann et
al. 1996), namun beberapa protein MADS-box juga dapat membentuk kompleks
yang lebih besar dalam mengatur perkembangan. Pada ragi, protein SQUA yang
homodimer bergabung dengan DEF dan GLO yang merupakan heterodimer untuk
menjalankan fungsi yang sama. Kompleks ini memperlihatkan afinitas
penempelan yang lebih tinggi dibandingkan dengan saat masing-masingnya
berdiri sendiri sebagai homodimer atau heterodimer (Egea-Cortines et al. 1999).
Anggota famili gen MADS-box terlibat dalam beberapa aspek
perkembangan pada tanaman dan merupakan dasar untuk diversifikasi morfologi,
terutama dalam organ reproduksi (Theissen et al. 2000). Gen MADS-box berperan
penting dalam perkembangan bunga berdasarkan model kuartet atau model
ABCDE (Theissen 2001). Model ini dijelaskan berdasarkan hipotesis bahwa
pembentukan lingkaran konsentris (whorl) pada organ bunga diatur oleh
kombinasi dari ekspresi satu set gen yang saling tumpang tindih (overlapping)
(Zhao et al. 2010; Gambar 5).
Gen penentu identitas pembungaan dibagi ke dalam lima kelas yang
berbeda, antara lain gen kelas A, B, C, D dan E yang berperan dalam lima fungsi
homeotik yang berbeda, yaitu A menentukan sepal (daun kelopak), A + B + E

10

menentukan petal (mahkota), B + C + E menentukan stamen (organ bunga jantan),
C + E menentukan karpel (organ bunga betina), dan C + D + E menentukan ovul
(bakal biji) dalam karpel (Theiβen 2001, Gambar 5).

Gambar 5 Model penentuan identitas struktur bunga berdasarkan ekspresi
gen MADS-box yang saling tumpang tindih. CAL, daun kelopak;
COR, mahkota bunga; AN, organ bunga jantan; GY, organ
bunga betina; OV, bakal biji (Sumber: Adam et al. 2007b)
Sebagai konsekuensi dari fungsi tumpang-tindihnya, inaktivasi dari salah
satu gen yang berperan dalam fungsi A, B atau C akan berakibat pada
“overflowing” dari organ tetangganya (Zhao et al. 2010). Contoh tanaman yang
paling sesuai untuk menggambarkan fenotip bunga mantel kelapa sawit adalah
tanaman yang memiliki fungsi-B yang tidak sempurna, yaitu untuk fungsi petal
dan stamen yang digantikan oleh sepal (fungsi A) dan karpel (fungsi C) (Coen &
Meyerowitz 1991). Pada regeneran bunga mantel tanaman kelapa sawit, stamen
atau staminode residual bunga jantan dan stamen pada bunga betina
ditransformasi menjadi karpeloid dan karpel (Adam et al. 2005). Menurut Becker
& Theissen (2003) gen-gen class A, B, C, D dan E yang telah diketahui terbagi ke
dalam clade masing-masing berdasarkan kemiripan sekuens, antara lain
SQUAMOSA (kelas A), DEFICIENS (kelas B), GLOBOSA (kelas B),
AGAMOUS (kelas C dan D) dan AGL2-like (kelas E).
Pada infloresens bunga mantel kelapa sawit, level ekspresi seluruh gen
MADS-box menunjukkan penurunan. Penurunan pada seluruh gen MADS-box ini
disebabkan oleh regulasi yang terjadi antar gen MADS-box. Didasarkan pada fakta
bahwa mereka menempeli situs yang sama, yaitu CarG-box (Adam et al.2007a).

Metilasi DNA dan Ekspresi Gen
Metilasi adalah penambahan gugus metil ke posisi karbon kelima pada basa
sitosin yang dikatalisis oleh enzim Metiltranferase (Lewin 2008, Gambar 6).
Metilasi terjadi pada situs gen yang spesifik. Umumnya gugus metil ditemukan
pada situs CG. Apabila residu Sitosin (C) pada sekuens pendek palindromik di
kedua utas DNA mengalami metilasi, situs itu disebut fully methylated. Namun
apabila hanya salah satu dari kedua utas DNA yang termetilasi, situs itu disebut
hemimethylated (Lewin 2008).

11

CH3

(a)

(b)

Gambar 6 Metilasi pada basa sitosin. (a) Struktur Sitosin; (b) Struktur
Metilsitosin (Sumber: Elliot & Elliot 2009)
Ada dua jenis enzim metiltransferase. Keduanya menggunakan Sadenosilmetionin (SAM) sebagai donor metil, yaitu de novo methyltrasferase dan
maintenance methyltransferase. Saat replikasi DNA, enzim maintenance
methyltransferase bekerja mengkopi pola metilasi utas DNA induk ke utas DNA
anak yang mengandung pasangan GC komplementer. Dengan demikian dalam
pembelahan sel, pola metilasi diturunkan. Namun pola metilasi ini tidak selalu
diturunkan pada generasi selanjutnya, karena adanya proses demetilasi setelah
fertilisasi.
Enzim de novo methyltransferase bekerja menghadirkan pola metilasi yang
baru selama perkembangan organisme. Pola tersebut juga dapat berubah sewaktuwaktu. Hal ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus pola metilasi
“terkunci” dan terkadang diturunkan dengan “tidak stabil” oleh keturunannya.
Kejadian ini disebut genetic imprinting, yang merupakan salah satu kasus pada
kontrol epigenetik (Elliot & Elliot 2009).
Phillips et al. (1990) menyatakan bahwa keragaman somaklonal diduga
berhubungan erat dengan perubahan pola metilasi DNA selama dalam kultur.
Salah satu metode untuk memperkirakan status metilasi DNA adalah dengan
menggunakan prinsip kromatografi untuk memfraksinasi nukleotida-nukleotida
yang termetilasi dan pengukuran spektrofotometri untuk kuantifikasi. Metode ini
memungkinkan untuk menentukan persentase nukleotida yang termetilasi
(Mohan-Jain et al. 2002).
Metilasi DNA dapat ditentukan dengan cara analitis setelah sebelumnya
DNA dihidrolisis terlebih dahulu secara enzimatik atau dengan asam. Nuklease
adalah enzim yang memotong, memendekkan atau mendegradasi molekul asam
nukleat. Nuklease mendegradasi molekul DNA dengan memecah ikatan
fosfodiester yang menghubungkan satu nukleotida dengan nukleotida berikutnya
pada utas DNA (Brown 1991).
Berdasarkan aktivitasnya terdapat dua kelas utama nuklease yaitu
eksonuklease yang aktif pada bagian ujung molekul asam nukleat dan
endonuklease yang memotong rantai asam nukleat dari dalam.
Deoksiribonuklease memotong rantai DNA sedangkan ribonuklease memotong
rantai RNA. Pemotongan tersebut menghasilkan torehan (titik) dalam sebuah
molekul DNA berutas ganda serta menyebabkan hilangnya ikatan fosfodiester
antara dua nukleotida yang berdekatan dalam satu utas (Rittie & Perbal 2008).
Status metilasi DNA dapat diperkirakan dengan menggunakan metode High
Performance Liquid Chromatography (HPLC), namun jalannya proses analisis
sering memakan waktu lama sehingga membatasi keluaran hasil dari sampel.

12

Perbaikan dalam waktu analisis diperoleh dengan Ultra Performance Liquid
Chromatography (UPLC) (Swartz 2005).
UPLC adalah metode pemisahan analitik yang merupakan perluasan dari
metode HPLC dalam hal kecepatan, sensitivitas dan resolusi. Teknologi ini
memberi keuntungan maksimal dari prinsip kromatografi, karena proses
pemisahan terjadi menggunakan kolom yang berisi partikel yang lebih kecil dan
laju alir yang lebih tinggi untuk meningkatkan kecepatan dan mengurangi waktu
running, serta menghasilkan resolusi dan sensitifitas yang lebih besar (Swartz
2005; Alexander 2008).
Metilasi DNA diimplikasikan pada pengaturan ekspresi gen (Elliot & Elliot
2009). Gardner et al. (1991) menyatakan bahwa ada korelasi antara level ekspresi
gen dengan derajat metilasi, yaitu apabila metilasi rendah maka ekspresi gen
tinggi atau sebaliknya.
Metilasi memiliki target, diantaranya promoter gen adalah target yang
paling umum. Gen tidak aktif ketika promoter termetilasi, tetapi aktif apabila
promoter tidak termetilasi (Lewin 2008). Metilasi pada promoter suatu gen juga
dapat memblokir pengikatan faktor transkripsi pada daerah promoter tersebut
(Elliot & Elliot 2009). Metilasi dan demetilasi sitosin pada daerah promoter
merupakan mekanisme yang penting dalam meregulasi ekspresi gen pada sel dan
jaringan spesifik (Renkens et al. 1992). Ehrlich & Ehrlich (1993) mengemukakan
bahwa metilasi juga dapat menyebabkan terjadinya penarikan metil-DNA binding
protein dan histon deasetilase yang akan mengubah struktur kromatin (chromatin
remodelling) di sekitar daerah awal transkripsi pada gen sehingga menjadikan
kromatin menutup kembali. Kedua mekanisme tersebut akan menghambat
transkripsi dan menyebabkan gen inaktif.
Tingkat transkripsi dari gen dapat digunakan untuk mengetahui fungsi gen.
Salah satu metode untuk mengidentifikasi perbedaan ekspresi gen adalah dengan
membandingkan level transkrip mRNA (Mohan-Jain et al. 2002). Qualitative
Real Time Polymerase Chain Reaction (qPCR) adalah suatu teknik yang paling
sensitif untuk deteksi dan kuantifikasi mRNA yang ada pada saat ini (Kubista et
al. 2006).
Dibandingkan dengan dua teknik kuantifikasi level mRNA lainnya,
Northern blot analysis dan RNase protection assay, qPCR dapat digunakan untuk
mengkuantifikasi sampel dalam jumlah yang lebih kecil. Teknik ini juga cukup
sensitif untuk mengkuantifikasi RNA dari sel tunggal (Biederman et al. 2004).
Real Time PCR adalah teknik paling sensitif dalam memonitor ekspresi gen,
namun hanya memungkinkan untuk mendeteksi kopi tunggal transkrip mRNA.
Tahap awal meliputi isolasi RNA total atau mRNA diikuti dengan sintesis cDNA
sedangkan tahap kedua adalah amplifikasi cDNA menggunakan primer PCR
khusus (Mohan-Jain et al. 2002).
Qualitative Real Time PCR (qPCR) berbeda dari PCR konvensional karena
didasarkan atas deteksi dan kuantifikasi pancaran fluoresens oleh produk PCR
selama proses amplifikasi (Kubista et al. 2006). Salah satu reporter fluoresens
yang biasa digunakan dalam RT PCR, yaitu SYBR Green. SYBR Green akan
berfluoresens hanya apabila menempel pada DNA utas ganda. Penggunaan SYBR
Green relatif lebih mudah karena tidak membutuhkan desain probe (Dorak 2006).
Reporter fluoresens akan meningkat sampai pada jumlah yang dapat
terdeteksi oleh qPCR dan digambarkan dalam bentuk kurva amplifikasi. Kurva

13

amplifikasi mengandung beberapa informasi penting, yaitu (1) Threshold, adalah
daerah deteksi pada saat jumlah reporter fluoresens pertama kali dapat dideteksi
oleh mesin qPCR. Agar hasil perhitungan lebih akurat, threshold berada pada fase
eksponensial, (2) Cycle Threshold (C T ), yaitu siklus pada proses PCR saat jumlah
reporter fluoresens berpotongan dengan garis threshold yang ditetapkan untuk
perhitungan pada qPCR, (3) Rn, yaitu jumlah reporter fluoresens yang terdeteksi,
dan (4) Cycle, yaitu jumlah siklus yang digunakan dalam proses PCR (Applied
Biosystem 2007) (Gambar 7).

Gambar 7 Proses qPCR yang diamati dari peningkatan sinyal fluoresens
(Sumber: Dorak 2006)
Kesalahan yang spesifik mudah sekali terjadi dalam reaksi qPCR dan
mempengaruhi jumlah material awal di antara sampel. Hal ini khususnya
berkaitan dengan sampel yang diperoleh dari individu yang berbeda dan akan
menyebabkan mis-interpretasi dari profil ekspresi gen target yang dimaksud. Cara
yang umum untuk meminimalisasi kesalahan ini serta untuk mengkoreksi variasi
antar sampel adalah dengan mengamplifikasi suatu RNA seluler lain yang
berperan sebagai pembanding internal, bersamaan dengan amplifikasi gen target
yang diinginkan. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa level ekspresi dari
gen normalisator tersebut tidak berubah pada setiap sampel (Dean et al.2002).
Suatu standar internal yang ideal haruslah terekspresi dalam level yang
konstan di antara jaringan yang berbeda, bagian siklus sel ataupun pada tiap tahap
perkembangan, serta tidak terpengaruh oleh perlakuan eksperimental apapun.
Jenis gen seperti ini disebut housekeeping genes. Housekeeping genes mengkode
protein yang umumnya berfungsi dalam metabolisme sel dasar (Blake et al.
2003). Aktin bersama-sama dengan gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
(GADPH), tubulin, siklofilin, elongation factor 1-α (ef-1α), ubikuitin, dan 18
Svedberg Units (S) rRNA (18S rRNA), terekspresi secara konstitutif dan terlibat
dalam fungsi housekeeping dasar yang dibutuhkan dalam pemeliharaan sel. Oleh
sebab itu, mereka umumnya digunakan sebagai kontrol endogenous internal untuk
menormalisasi studi ekspresi gen (Sturzenbaum et al. 2001).
Elongation factor-1α (EF-1α) adalah sebuah protein yang mengikat
aminoasil-transfer RNA ke ribosom selama proses sintesis protein. Protein ini
telah ditetapkan sebagai kontrol invariant yang baik untuk menyesuaikan
perbedaan akibat kesalahan pemipetan (tube-to-tube loading) atau degradasi
(Dostal et al. 1994). Adam et al. (2007a) menggunakan gen EF1-α1 (nomor

14

aksesi AY550990) sebagai standar internal dari reaksi semikuantitatif RT-PCR
pada penelitiannya terhadap abnormalitas kelapa sawit.
Terdapat dua macam perhitungan yang dapat dilakukan dengan Real Time
PCR, yaitu (1) kuantitasi absolut yang digunakan untuk mengetahui jumlah
molekul DNA yang ingin diketahui dengan menggunakan kurva standar yang
sudah diketahui jumlah molekul DNA-nya, (2) kuantitasi relatif yang digunakan
untuk mengetahui jumlah molekul DNA yang tidak diketahui dengan
membandingkannya dengan sampel DNA yang lain yang digunakan sebagai
pembanding (Applied Biosystem 2007).
Metode ΔΔC T Relative Quantification (Livak & Schmittgen 2001)
melibatkan pembandingan nilai C T dari gen target dengan gen pembanding,
sehingga hasil akhir yang diperoleh hanya berupa rasio ekspresi gen target pada
jaringan yang abnormal terhadap jaringan normal (kalibrator) serta relatif terhadap
normalisator, yaitu gen pembanding. Hal ini disebabkan oleh ekspresi gen
pembanding sebagai standar internal yang berada pada level konstan pada setiap
sampel yang berbeda dan tidak terpengaruh oleh perlakuan eksperimental apapun.
Dengan demikian rasio gen target terhadap gen referensi hanya akan bervariasi
tergantung pada ekspresi gen target (Blake et al. 2003).

15

METODOLOGI

Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2012 sampai April 2013 di
Laboratorium Genomik dan Transkriptomik, Departemen Bioteknologi, PT.
SMART Tbk., Bogor.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah muda normal dan
buah muda mantel dengan tipe abnormalitas sangat berat. Buah abnormal
dikelompokkan menjadi dua, yaitu buah abnormal yang diambil dari dalam tandan
(Abn m) dan buah abnormal yang diambil dari luar tandan (Abn). Umur buah di
bagian luar tandan lebih tua dibandingkan dengan umur buah di bagian dalam
tandan. Buah berasal dari regeneran kelapa sawit Tenera berumur 15 tahun yang
diambil dari perkebunan Socfindo. Primer gen MADS-box dan EF1-α1 diperoleh
dari Kusnandar et al.(belum dipublikasikan).
Prosedur Kerja
Penelitian ini terdiri dari dua eksperimen, yaitu (1) Analisis Ekspresi Gen
MADS-box dan (2) Analisis Metilasi DNA. Alur penelitian disajikan pada Gambar
8.
1)
Persiapan Sampel
Beberapa potongan tandan buah mantel dan buah normal yang masih muda
diambil langsung dari kebun kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan
diberi label.
Khusus buah untuk sampel RNA, diambil dari potongan tandan buah,
dibersihkan, kemudian dipotong menjadi bagian kecil dan dimasukkan ke dalam
Eppendorf yang telah diisi dengan larutan RNA later sebanyak ½ volume sampai
sampel terendam. Sampel kemudian dibawa ke laboratorium di Bogor dan
disimpan segera di dalam freezer bersuhu -20 0C sebelum diperlakukan lebih
lanjut. Sampel dapat bertahan selama 7 hari dalam suhu ruang (selama
pengiriman).
2)

Analisis Ekspresi Gen MADS-box

Ekspresi gen MADS-box pada buah abnormal dan buah normal dihitung
dengan menggunakan metode Quantitative Real-Time PCR (qPCR). DNA yang
digunakan sebagai cetakan diperoleh dari proses transkripsi balik mRNA yang ada
dalam RNA total menjadi cDNA. qPCR dilakukan dengan menggunakan EF1-α1
sebagai gen pembanding dan hasil qPCR divalidasi dengan kurva standar.
Analisis hasil dilakukan dengan metode ΔΔ C T Relative Quantification (Livak &
Schmittgen 2001).

16

Tingk