Fortifikasi Ekstrak Lerak dengan Mineral Mix (Ca, Mg, P, dan S) serta Pengaruhnya terhadap Karakteristik Fermentasi dan Sintesis Protein Bakteri In vitro.

(1)

4 ABSTRACT

Fortification Lerak (Sapindus rarak) Extract with Mineral Mix (Ca,Mg, P and S) and its Effects on Fermentation Characteristics and

Bacterial Protein Synthesis In vitro Nur Aizah, Sri Suharti, Dwi Margi Suci

The aims of this study was to evaluate the use of lerak (S. rarak) extract on fermentation and bacterial protein synthesis in the in vitro fermentation of different ratio of forage and concentrate. The design of experiment was factorial block design (3x3) with 2 factors were: ratio of forage and concentrate (70:30, 50:50, 30:70) and kind of supplements (0, 1mg/ml lerak extract and 1mg/ml lerak extract+mineral mix). The content of each mineral mix (Ca, P, Mg, and S) are respectively 0,54; 0,37; 0,23 and 0,1%, based on NRC reference 1994. The differences between mean values were analyzed using Duncan’s new multiple range test (DMRT). Dry matter and organic matter degradability were evaluated after 48 h incubation. Total volatile fatty acid (VFA), NH3 concentration, total bacterial, protozoal population, and bacterial protein synthesis were measured at 4 h incubation. The result showed There was not interaction between ratio of forage:concentrate and kind of suplements. The addition of lerak exctract (1 mg/ml) did not decrease dry matter digestibility, organic matter digestibility, NH3 concentration, total bacterial population, VFA total production. However, it decreased protozoal population and increased bacterial protein synthesis. The addition of mineral mix (Ca, Mg, P and S) in lerak exctract (1 mg/ml) did not increase dry matter digestibility, organic matter digestibility, NH3 concentration, total bacterial population, VFA total production. However, it decreased protozoal population and increased bacterial protein synthesis in the in vitro fermentation. The difference ratio of forage and concentrate did not increase dry matter digestibility, organic matter digestibility, NH3 concentration and total bacterial population. The increased of concentrate ratio in the diet protozoal population decreased but VFA total production and bacterial protein synthesis was increased.


(2)

14 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan ternak ruminansia untuk mencerna pakan serat ditentukan oleh populasi mikroba rumen. Mikroba rumen sebagian besar dihuni oleh bakteri. Jumlah bakteri dalam rumen mencapai 109 sel/ml sedangkan jumlah protozoa dalam rumen lebih sedikit dari bakteri yaitu sekitar 106 sel/ml. Adanya bakteri dan protozoa yang hidup dalam rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna ransum yang mengandung serat kasar tinggi. Jika populasi protozoa tidak terkendali dapat menurunkan jumlah populasi bakteri dan mempengaruhi suplai protein asal bakteri. Populasi protozoa dalam rumen dapat ditekan dengan menggunakan agen defaunasi. Salah satu agen defaunasi yang dapat digunakan untuk menekan populasi protozoa adalah saponin yang merupakan hasil metabolisme sekunder tanaman.

Lerak (Sapindus rarak) merupakan salah satu jenis tanaman yang mengandung saponin. Buah lerak diekstraksi menggunakan metanol mengandung saponin yang dapat mempengaruhi perkembangan protozoa, karena saponin mampu membentuk ikatan dengan sterol yang terkandung dalam dinding sel protozoa, sehingga mempengaruhi tegangan permukaan membran sel protozoa dan mengakibatkan pecahnya dinding sel sehingga protozoa mengalami kematian atau lisis. Sementara itu, membran sel bakteri tahan terhadap saponin karena dinding utamanya merupakan peptidoglikan. Hasil penelitian sebelumnya secara in vivo, menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak lerak 200 mg/kg pada ransum sapi potong yang berbasis hijauan tinggi, dapat meningkatkan produksi VFA dan proporsi propionat, namun belum dapat meningkatkan sintesis protein mikroba rumen, hal ini dikarenakan rendahnya kandungan mineral seperti sulfur dan fosfor dalam ransum berbasis hijauan tinggi. Penambahan mineral mix (Ca, P, Mg dan S) perlu dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan sel mikroba rumen dan mencerna serat secara maksimal oleh bakteri selulolitik serta menstimulir produksi VFA. Hasil penelitian sebelumnya secara in vivo menunjukkan bahwa penambahan mineral mix (Ca, P, Mg, dan S) nyata meningkatkan konsentrasi total VFA dibandingkan dengan pemberian mineral secara individu.


(3)

15 Penambahan suplemen ekstrak lerak dan ekstrak lerak yang difortifikasi dengan mineral mix diharapkan dapat memodifikasi hasil fermentasi mikroba dalam rumen pada jenis rasio pakan hijauan dan pakan penguat yang berbeda (30:70, 50:50, dan 70:30). Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang banyak menghasilkan buah lerak yang dapat dimanfatkan sebagai suplemen untuk pakan ternak. Penelitian ini bertujuan untuk nmengevaluasi peranan ekstrak lerak yang difortifikasi dengan mineral mix (Ca, P, Mg dan S) serta pengaruhnya terhadap karakteristik fermentasi dan sintesis protein bakteri, sehingga dapat mengoptimalkan aktivitas fermentasi dalam rumen dan meningkatkan suplai protein asal mikroba pada ternak.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh ekstrak lerak dan ekstrak lerak yang di fortifikasi dengan mineral (Ca, P, Mg, dan S) pada rasio hijauan dan pakan penguat berbeda (30:70, 50:50, 70:30) dan pengaruhnya terhadap karakteristik fermentasi dan sintesis protein bakteri rumen secara in vitro.


(4)

16 TINJAUAN PUSTAKA

Lerak (Sapindus rarak)

Lerak (S. rarak) merupakan jenis tumbuhan yang berasal dari Asia Tenggara yang dapat tumbuh dengan baik pada hampir semua jenis tanah dan keadaan iklim, dari daratan rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 450-1500 m dari permukaan laut. Menurut Afriastini (1990), bahwa lerak (S. rarak) diklasifikasikan sebagai berikut.

Taksonomi tanaman lerak yaitu: Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledons Sub kelas : Rosidae Bangsa : Sapindales Suku : Sapindaceae Marga : S a p in d u s

Jenis : Sapindus mukorossi

Gambar 1. Buah Tanaman Lerak (Plantus, 2008)

Bentuk daun lerak bundar telur, perbungaan majemuk, malai, terdapat di ujung batang warna putih kekuningan. Bentuk buah seperti kelereng kalau sudah tua atau masak, warnanya coklat kehitaman, permukaan buah licin atau mengkilat, bijinya bundar berwarna hitam. Daging buah sedikit berlendir dan aromanya wangi (Plantus, 2008).

Pengujian secara kualitatif senyawa yang terdapat pada daging buah diantaranya adalah triterpen, alkaloid, steroid, antrakinon, tanin, fenol, flavonoid, dan minyak atsiri (Sunaryadi, 1999). Wina et al. (2005) menyatakan bahwa kulit buah, biji, kulit batang dan daun lerak mengandung saponin dan flavonoid, sedangkan kulit buah juga mengandung alkaloida dan polifenol. Kulit batang dan daun tanaman lerak mengandung tanin. Senyawa aktif yang telah diketahui dari buah lerak adalah senyawa–senyawa dari golongan saponin dan sesquiterpen.


(5)

Saponin

Berdasarkan struktur kimianya, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas streroid, kelas steroid alkaloid, dan kelas triterpenoid (Wallace et al., 2002). Saponin yang merupakan suatu glikosida banyak terdapat pada beberapa tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas dan tahap pertumbuhan. Sifat yang khas dari saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, beracun bagi binatang berdarah dingin, mempunyai aktivitas hemolisis (merusak sel darah merah), tidak beracun bagi binatang berdarah panas, mempunyai sifat anti eksudatif dan mempunyai sifat anti inflamatori. Beberapa jenis saponin tertentu bekerja sebagai antimikroba, saponin tertentu menjadi penting dan dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson, 1995).

Saponin sebagian besar terkandung dalam tanaman, namun saponin juga terkandung dalam beberapa jenis hewan seperti sea cucumber. Saponin yang terkandung dalam tanaman banyak ditemukan pada bagian akar, umbi, kulit pohon, biji dan buah. Mayoritas saponin yang terdapat di alam terutama pada tumbuhan jenis saponin triterpen. Saponin terdapat pada berbagai spesies tanaman, baik tanaman liar maupun tanaman budidaya. Saponin juga banyak ditemukan dalam tanaman yang digunakan sebagai hijauan pakan ternak ruminansia dan jenis tanaman lain yang berpotensi sebagai macam spesies Sapindus (Wina etal., 2005).

Spesies tanaman Sapindus seperti Sapindus saponaria, S. rarak, S. emarginatus, S. drummonii dan S. delavay pada umumnya mempunyai kandungan saponin yang tinggi. Salah satu jenis Sapindus yang mempunyai kandungan saponin tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai imbuhan pakan pada ruminansia adalah S. rarak (lerak). Buah dalam bentuk hasil ekstraksi dengan metanol telah dilaporkan mengandung saponin dengan kadar tinggi daripada buahnya yang tanpa diekstrak (Thalib, 2004), hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Suharti et al. (2009) yang menggunakan buah lerak (S. rarak) yang diekstraksi dengan air pada konsentrasi 3 dan 5% kandungan saponinnya dan buah lerak yang diekstraksi dengan metanol dengan kandungan saponin 81,5%. Buah lerak dalam ekstraksi metanol dapat mematikan hampir seluruh populasi protozoa uji dalam waktu 30 menit, sedangkan pada konsentrasi 3% ekstrak air tepung lerak dapat menurunkan populasi protozoa sampai 89%. Namun demikian, ekstrak air tepung lerak dengan konsentrasi 5% sudah efektif mematikan hampir seluruh protozoa pada waktu 60 menit, hal ini membuktikan bahwa lerak dalam


(6)

bentuk ekstrak air tepung lerak dengan konsentrasi 5% dapat dijadikan agen defaunasi pada protozoa rumen. Menurut Sunaryadi (1999) mengandung saponin total hasil ekstraksi tanaman lerak banyak terdapat di bagian daging buah yaitu sekitar 48,87%.

Pengaruh Saponin terhadap Sistem Rumen

Pemanfaatan tanaman yang mengandung saponin akhir-akhir ini sudah mulai berkembang sebagai alternatif penggunaan bahan-bahan kimia industri/sintetik untuk menekan populasi protozoa dalam rumen (Thalib, 2004). Saponin mempunyai pengaruh yang lebih menguntungkan pada ternak ruminansia dibandingkan pada ternak non ruminansia. Pemberian bahan yang mengandung saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan dan kesehatan ternak. Saponin dapat meningkatkan sintesis protein mikroba rumen dan menurunkan degradabilitas protein dalam rumen. Penurunan degradasi protein dalam rumen dapat terjadi karena terbentuknya kompleks protein-tanin yang sedikit tercerna dan terkait dengan kemampuan saponin sebagai agen defaunasi yang menyebabkan penurunan total populasi prozoa rumen. Saponin dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan terjadinya ikatan antara saponin dengan sterol pada permukaan membran sel protozoa, menyebabkan membran pecah, sel lisis dan mati. Keberadaan kolesterol pada membran sel eukariotik (termasuk protozoa) dan tidak terdapat pada sel bakteri prokariotik, memungkinkan protozoa rumen lebih rentan terhadap saponin karena saponin mempunyai daya tarik menarik terhadap kolesterol. Populasi bakteri rumen tidak mengalami gangguan karena disamping bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat berikatan dengan saponin, bakteri mempunyai kemampuan untuk memetabolisme faktor antiprotozoa tersebut yang menghilangkan rantai karbohidtrat (Suparjo, 2008).

Secara kimia saponin memiliki diversifikasi struktur yang luas dan senyawa-senyawa saponin tertentu dengan sifat surfaktannya dapat menyebabkan terjadinya lisis pada dinding sel protozoa, dengan demikian dapat digunakan untuk defaunasi protozoa. Penelitian Thalib (2004) menyatakan bahwa ekstrak buah Sapindus rarak digunakan untuk menghambat produksi gas CH4, dan efektivitasnya sebagai inhibitor metanogenesis

Mikroba Rumen

Mikroba yang terdapat dalam rumen dibagi menjadi empat jenis mikroorganisme anaerob yaitu bakteri, protozoa, fungi dan mikroorganisme lainnya seperti virus. Penghuni rumen yang fungsional paling penting adalah bakteri, dalam 1 ml cairan rumen terkandung 109 sampai 1010 sel dan merupakan 5-10% masa kering isi perut besar (Schlegel, 1994).


(7)

Jumlah protozoa dalam rumen lebih sedikit bila dibanding dengan jumlah bakteri yaitu sekitar 106 sel/ml. Ukuran tubuhnya lebih besar dengan panjang tubuh berkisar antara 20-200 mikron, oleh karena biomassa total dari protozoa hampir sama dengan biomassa total bakteri (McDonald etal., 2002).

Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas populasi mikroba rumen adalah temperatur, pH, kapasitas buffer, tekanan osmotik, kandungan bahan kering dan potensial oksidasi reduksi (Dehority, 2004). Pola pertumbuhan bakteri dan protozoa rumen dipengaruhi oleh pola fermentasi yang ditunjukkan oleh proporsi molar VFA dan pH rumen. Perkembangan populasi mikroba rumen terutama bakteri rumen akan dibatasi oleh kadar amonia, karena amonia sangat diperlukan oleh bakteri sebagai sumber N untuk membangun selnya dan sifat predasi dari protozoa (Preston dan Leng, 1987).

Kekurangan mineral sulfur (S) dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan mikroba terutama fungi yang keberadaannya bergantung pada keberadaan sulfida. Indikasi kebutuhan mineral fospor (P) untuk bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bakteri lainnya, kemungkinan kekurangan P akan mengurangi keseluruhan populasi mikroba rumen. Kalsium dan magnesium diperlukan untuk pertumbuhan bakteri (Bakrie et al., 1996). Protozoa Rumen

Protozoa merupakan mikroorganisme yang ada dalam rumen dengan jumlah lebih sedikit jika dibandingkan dengan bakteri yaitu sekitar 1 juta/ml (McDonal et al., 2002). Pada ruminansia, protozoa yang bersilia berkembang di dalam rumen dan membantu pencernaan zat–zat makanan dari rumput-rumputan yang kaya akan serat kasar. Protozoa jenis Holotrica

terutama memecah gula terlarut seperti glukosa, maltosa, sukrosa dan pati terlarut dan melepaskan asam asetat, asam butirat, asam laktat, CO2, H2 dan amilopektin. Amilopektin sebagai simpanan energi bagi protozoa digunakan apabila substrat dalam lingkungan rumen berkurang.

Keadaan kelaparan atau kekurangan makanan jangka lama merupakan faktor utama penyebab berkurangannya jumlah protozoa secara drastis. Protozoa mempunyai kemampuan sangat kecil untuk mensintesa asam amino dan vitamin B kompleks. Protozoa memperoleh dua golongan zat makanan tersebut dari bakteri dan dapat menghidrogenasi asam–asam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh (Arora, 1989). Sebagian besar protozoa memakan bakteri untuk memperoleh sumber nitrogen dan mengubah protein bakteri menjadi protein protozoa, bersama dengan itu memperoleh tambahan sumber protein dan pati dari ingesta rumen.


(8)

Protozoa berpengaruh pada pola fermentasi rumen dengan cara mencerna partikel-partikel pati yang menyebabkan kadar VFA rendah dan menyebabkan perubahan rasio butirat dan propionat juga berubah (Arora, 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi populasi protozoa adalah jenis pakan, bangsa ternak, konsentrasi NH3, VFA rumen, pH rumen dan sintesis pemberian pakan (Arora, 1989) dan frekuensi pemberian pakan (Dehority 2001).

Suharti et al. (2009) menyatakan bahwa buah biji lerak yang diekstrasikan dengan metanol mengandung senyawa aktif saponin yang sangat tinggi yaitu sebesar 81,5% BK. Senyawa saponin diketahui dapat memodifikasi mikroba rumen dengan menekan pertumbuhan protozoa (defaunasi) secara parsial. Pemberian ekstrak lerak 200 mg/kg BB pada sapi potong yang mendapatkan ransum hijauan tinggi (70%) menurunkan populasi protozoa dan kosentrasi NH3 dalam rumen pada fermentasi in vivo. Penurunan populasi protozoa mempunyai beberapa implikasi yaitu perubahan keragaman bakteri rumen karena penurunan populasi protozoa dengan penambahan ektrak lerak. Sensitifitas protozoa terhadap ekstrak lerak dapat dikarenakan kemampuan saponin dari ekstrak lerak dalam mengikat sterol sehingga saponin tersebut akan mengikat sterol pada membran protozoa dan menyebabkan kerusakan membran yang menyebabkan lisis atau kematian.

Bakteri Rumen

Bakteri merupakan biomassa terbesar di dalam rumen, terdapat sekitar 50% dari total bakteri hidup bebas dalam cairan rumen dan sekitar 30-40% menempel pada partikel makanan. Beberapa jenis bakteri dari spesies Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus, Corynebacterium, Lactobacillus, Fusobacterium dan Propionibacteriun menempel pada epitel dinding rumen, disamping itu terdapat spesies bakteri metanogen yang hidup menempel pada protozoa (Dehority, 2004).

Spesies-spesies bakteri dan protozoa yang berbeda saling berinteraksi melalui hubungan simbiosa dan menghasilkan produk-produk yang khas seperti selulosa, hemiselulosa, dan pati melalui pencernaan polimer tumbuhan. Bakteri rumen spesies tertentu seperti Ruminococcus flavifaciens, R. albus, Butyrivibrio fibrisolvens, dan Selenomonas ruminantium bertanggung jawab dalam fermentasi pregastrik membentuk asetat, propionat, butirat, CO2 dan H2. Fermentasi akan diikuti meningkatnya pertumbuhan mikroba dan sintesis protein sel sebagai sumber protein untuk ternak. Bakteri dalam rumen mampu mensintesis vitamin-vitamin golongan B komplek (Arora, 1989). Berbagai macam tipe bakteri terdapat di dalam rumen dan masing-masing memiliki fungsi berbeda sehingga berbagai karbohidrat kompleks dapat diubah menjadi asam organik dan dapat dimanfaatkan oleh ternak


(9)

ruminansia. Bakteri menempel pada partikel pakan kasar dan perlahan-lahan mengikis material tercerna (Arora, 1989).

Interaksi antara mikroorganisme juga terjadi dalam rumen yang tergantung pada kondisi pakan. Pada ransum yang bahan dasarnya pakan serat bermutu rendah, protozoa cenderung memangsa bakteri. Protozoa dan bakteri di dalam rumen selalu bersaing dalam menggunakan beberapa nutrien yang diberikan. Apabila kondisi suplai makanan kurang menguntungkan, protozoa akan memakan bakteri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga populasi bakteri dalam rumen akan berkurang. Hal ini karena peranan bakteri rumen memiliki fungsi yang sangat penting terhadap fermentasi serat dan tanaman berpolimer (Arora, 1989).

Beberapa penelitian yang mengevaluasi tanaman sumber saponin untuk menekan populasi protozoa juga telah banyak dilaporkan. Wang et al. (1998) melaporkan adanya aktivitas antiprotozoa dari ekstrak Yucca dalam percobaan dengan Rusitec dan adanya peningkatan aktivitas protease mikroba rumen. Thalib et al. (1996) melaporkan bahwa ekstrak methanol buah lerak menyebabkan 57% penurunan jumlah protozoa dan 69% meningkatkan populasi bakteri yang mengakibatkan perbaikan efisiensi konversi pakan dan pertumbuhan bobot hidup ternak domba. Senyawa tersebut dapat digunakan sebagai bahan suplemen dalam mengendalikan pertumbuhan protozoa rumen untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Diperkirakan ekstrak saponin buah lerak berdaya defaunasi sangat tinggi sehingga takaran pemakaian ppm (mg/kg) cukup efektif untuk mengurangi populasi protozoa, tanpa merugikan aktifitas fermentasi bakteri rumen (Sunaryadi, 1999). Sementara itu, protozoa sering memangsa bakteri rumen untuk memenuhi kebutuhan proteinnya (Hart et al., 2008).

pH Rumen

Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dengan temperature 38-420C. Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah, pH dipertahankan oleh adanya absorpsi asam lemak dan amonia. Saliva yang masuk kedalam rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Saliva bertipe cair, berfungsi sebagai penyangga (buffer), hasil fermentasi mikroba rumen. Selain itu juga saliva merupakan zat pelumas dan merupakan surfactant yang membantu didalam proses mastikasi dan ruminasi. Saliva mengandung elektrolit-elektrolit tertentu seperti Na, K, Ca, Mg, P, dan urea yang mempertinggi kecepatan fermentasi mikroba. Sekresi saliva dipengaruhi oleh


(10)

bentuk fisik pakan, kandungan bahan kering, volume cairan isi perut dan stimulasi psikologis ( Arora, 1989 ).

Sunaryadi (1999) menyatakan bahwa pada pH cairan rumen lebih kecil dari 6,2 maka kecernaan serat mulai terganggu. Penurunan pH diduga karena perlakuan defaunasi mengurangi populasi protozoa, sehingga pemanfaatan produk fermentasi rumen tertentu asam laktat menjadi berkurang, mengakibatkan terjadinya akumulasi asam laktat yang diproduksi oleh bakteri pembentukan asam laktat, sehingga pH cairan rumen menjadi turun.

Volatile Fatty Acid (VFA)

Proses pencernaan karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan energi barupa asam-asam lemak atsiri (VFA) antara lain yang utama yaitu asetat, propionat, butirat, valerat dan format dengan perbandingan di dalam rumen berkisar pada 50-70% asetat, 17-21% propionat, 14-20% butirat, valerat dan format hanya terdapat dalam jumlah kecil (Schlegel, 1994). VFA dapat diperoleh dari proses hidrolisis lemak oleh bakteri lipolitik manjadi asam lemak dan glikserol, kemudian gliserol tersebut difermentasikan lebih lanjut menjadi asetat, propionat, butirat dan valerat. VFA juga merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen. Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai batas ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998).

Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Polisakarida di dalam rumen dihidrolisa menjadi monosakarida, seperti glukosa difermentasi menjadi VFA berupa asetat, propionat, butirat, dan gas CH4 serta CO2. VFA diserap melalui dinding rumen melalui penonjolan-penonjolan yang menyerupai jari yang disebut vili. Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung retikulo-rumen yang masuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya 5% diserap di usus halus (McDonal et al., 2002). Proses metabolisme karbohidrat dan pembentukan VFA pada ternak ruminansia disajikan pada Gambar 3.

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sebagian besar VFA diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian besar butirat termetabolisme dalam dinding rumen. VFA yang terbentuk merupakan sumber energi yang merupakan salah satu ciri khas enzim mikroba (S) dan sebagian lagi di omasum. Selanjutnya


(11)

pakan yang tidak tercerna disalurkan ke dalam abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim-enzim pencernaan sama seperti yang terjadi pada hewan monogastrik.

Menurut Abreu et al., (2004), melaporkan bahwa pemberian buah Sapindus saponaria

yang mengandung saponin, tidak menurunkan populasi protozoa, namun secara keseluruhan dapat memperbaiki profil VFA, dan efisiensi fermentasi oleh mikroba rumen. Suharti (2010), menyatakan bahwa penambahan ekstrak lerak sebesar 1 mg/ml menurunkan nilai pH sampai 6,25 pada inkubasi 48 jam. Meskipun penggunaan ekstrak lerak tidak mempengaruhi kosentrat VFA total, namun produksi propionat meningkat, sementara produksi asetat, butirat, isovalerat dan valerat menurun.

Selulosa Pati

Selubiosa Maltosa Isomaltosa

Glukosa-1-phosphat Glukosa

Glukosa-6-phosphat

Pektin Asam Uronat Sukrosa

Hemiselulosa Pentosa Fruktosa-6-phosphat Fruktosa Fruktan Pentosa Fruktan-1,6-diphosphat

Asam Piruvat

Format Asetil CoA Laktan Oksaloasetat Metilmalonil CoA Malonil Asetoasetil Laktil Malat

CO2 H2 CoA CoA CoA

Metan β-Hidroksibutiril Akrilil Fumarat CoA CoA

Asetil phosphat

Krotonil Propionil Suksinat Suksinil CoA CoA CoA

Butiril CoA


(12)

Gambar 2. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002).

Kondisi tersebut menurunkan proporsi asetat dan butirat dengan pemberian ekstrak lerak 1 mg/ml diduga disebabkan oleh terjadinya perubahan pola fementasi yang mempengaruhi propionat. Pada sistem metabolisme rumen, karbohidrat pakan (termasuk serat pakan) akan diubah menjadi asam piruvat yang selanjutnya terbagi menjadi 2 jalur yaitu diubah manjadi laktat untuk pembentukan propionat dan jalur lain dirubah menjadi asetil koenzim A untuk pembentukan asetat dan butirat. Maka hal tersebut mengakibatkan perubahan komposisi bakteri rumen akibat pemberian ekstrak lerak dapat mengarahkan pembentukan laktat dari piruvat yang selanjutnya dirubah menjadi propionat.

Penambahan saponin dan senyawa mirip saponin telah diketahui dapat meningkatkan konsentrasi propionat dan rasio relatifnya terhadap total VFA dalam rumen khususnya ketika saponin dengan konsentrasi tinggi diberikan (Wina et al., 2005). Saponin yang diekstrak dari keseluruhan buah dan biji lerak yang dievaluasi dapat meningkatkan produksi propionat tanpa menurunkan produksi total VFA (Suharti, 2010). Propionat merupakan sumber energi utama bagi ternak pedaging melalui proses glukoneogenesis (Murray et al., 2006), sehingga peningkatan konsentrasi propionat akan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan oleh ternak.

Amonia (NH3)

Seluruh protein yang berasal dari makanan pertama kali dihidrolisa oleh mikroba rumen. Hidrolisa protein menjadi asam amino diikuti oleh proses deaminasi untuk membebaskan amonia (NH3). Sumber lain amonia dalam rumen adalah melalui hidrolisa urea yang dapat berasal dari saliva atau makanan (Arora, 1989).

Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sistem protein mikroba (Sakina, 2005). Menurut Astuti etal., (1993), sumbangan NH3 pada ternak ruminansia sangat penting mengingat bahwa prekursor protein mikroba adalah amonia dan senyawa sumber karbon, makin tinggi kadar NH3 di rumen maka kemungkinan makin banyak protein mikroba yang terbentuk sebagai sumber protein dalam tubuh. Konsentrasi nitrogen amonia sebesar 5 mg persen setara dengan 3,57 mM sudah mencukupi kebutuhan nitrogen mikroba. Amonia hasil fermentasi tidak semuanya disintesis menjadi protein mikro, sebagian akan diserap ke dalam darah. Amonia yang dikeluarkan melalui urine dan yang lainnya dibawa ke kelenjar saliva. Proses metabolisme protein dan pembentukan amonia (NH3) ditunjukkan pada Gambar 4.


(13)

Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Konsentrasi amonia berbeda-beda diantara jenis ternak ruminansia tergantung kemampuan mikroba rumennya. Menurut Suharti et al., (2009), menyatakan bahwa secara in vivo

konsentrasi NH3 menurun dengan ekstrak lerak pada level 200 mg/kg BB pada sapi potong. Hal ini diduga terkait dengan aktivitas saponin buah lerak sebagai agen defaunasi. Protozoa merupakan proteolitik aktif, sehingga penghambatan populasi protozoa dapat menurunkan konsentrasi NH3. Laju degradasi protein pakan dan N bukan protein juga menentukan kosentrasi NH3 dalam rumen. Selain itu, dengan terhambatnya protozoa diduga penggunaan NH3 oleh bakteri meningkat dan akibatnya konsentrasi dalam rumen akan turun.

Pakan Endogenous Protein

Protein Non-protein N

Sulit Mudah Non-protein N Didegradasi Didegradasi

Enzim protease Peptida Enzim peptidase

Deaminasi Asam Amino Amonia Protein Mikroba

Dicerna di Usus

Halus Diekskresikan (urine)

Protein Pakan Endogenous Protein

Gambar 3. Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002).

Berdasarkan hasil penelitian Thalib (2004) yang menyatakan bahwa suplementasi ekstrak metanol lerak dalam bentuk serbuk (80 mg/ 100 ml dengan kadar saponin 15%) pada ransum domba menghasilkan konsentrasi NH3 yang tidak berbeda dengan kontrol. Namun, Wina et al., (2006) melaporkan bahwa suplementasi ekstrak metanol daging buah lerak

Kelenjar Saliva

Hati NH3 Urea


(14)

dengan taraf 0,42 dan 0,72 g/kg BB dalam ransum domba yang tersusun dari rumput gajah dan pollard (65:35) nyata menurunkan konsentrasi NH3.

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Kecernaan in vitro adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mencampurkan cairan rumen dengan larutan buffer (untuk mensimulasi saliva) dan sampel, seluruh cairan ini ditempatkan dalam tabung fermentor. Kombinasi ini kemudian difermentasi pada temperatur rumen yaitu 39º C selama waktu tertentu biasanya 24 sampai 48 jam (Pond et al., 1995). Tilley dan Terry (1963) memperkenalkan metode two stage, metode ini paling banyak digunakan untuk mengukur kecemaan in vitro. Tahap pertama ialah inkubasi dalam larutan

buffer cairan rumen selama 48 jam dalam kondisi anaerob, kemudian dilanjutkan tahap kedua yaitu pemberian pepsin dan inkubasi selama 48 jam (Tilley dan Terry, 1963; McDonald et al., 2002).

Menurut Putra (2006), bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik dipengaruhi oleh faktor pakan dan jenis mikroba. Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami pakan dalam alat pencernaan, perubahan tersebut berupa penghalusan pakan menjadi butiran-butiran atau partikel kecil. Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang menentukan kualitas pakan. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002). Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh pencampuran sampel pakan, cairan rumen, pH, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan larutan penyangga (Selly, 1994). Derajat keasaman pH cairan pencernaan ruminansia, sedangkan faktor yang mempengaruhi degradasi ransum dalam saluran pencernaan ruminansia adalah struktur makanan, ruminasi, produk saliva, dan pH optimum (Anggorodi, 1994).

Penelitian Hess et al., (2003) menunjukkan hasil yang sama bahwa kecernaan bahan organik ransum yang disuplementasi ekstrak Sapindus saponaria sebanyak 100 mg/g BK (kandungan saponin 12% BK) ke dalam ransum menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan kontrol. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Thalib (2004), menyatakan bahwa suplementasi ekstrak metanol lerak dalam bentuk serbuk (80 mg/ 100 ml dengan kadar saponin 15%) pada ransum domba menunjukkan nilai kecernaan yang tidak berbeda dengan kontrol. Begitu juga dengan nilai kecernaan bahan kering dari hasil penelitian Kurniawati (2009), menyatakan bahwa ransum yang diberi tambahan ekstrak lerak dengan taraf 0,09% dan 0,18% dalam bentuk pakan blok tidak signifikan mempengaruhi kecernaan bahan kering (KCBK) dan menunjukkan nilai hasil yang sama dengan ransum kontrol. Hal tersebut


(15)

menandakan bahwa suplementasi ekstrak lerak tidak mempengaruhi kecernaan pakan dan aktivitas mikroba rumen dalam mencerna pakan.

Sintesis Protein Mikoba Rumen

Menurut Suryapratama (2005), bahwa semakin tinggi penggunaan rumput dalam pakan ternak ruminansia, semakin rendah sintesis protein mikroorganismenya. Hal tersebut karena prekursor untuk sintesis protein mikroba semakin berkurang sebagai akibat kualitas rumput lapang lebih rendah daripada konsentrat. Pemberian konsentrat sebagai pakan ternak dalam jumlah tertentu sangat diperlukan sebagai penambah asupan nutrien yang baik dan membantu meningkatkan kecernaan dalam sistem rumen, karena kandungan nutrien utama dalam konsentrat merupakan protein tinggi. Kandungan protein kosentrat mengalami proses degradasi di dalam rumen oleh enzim proteolitik menjadi asam-asam amino, kemudian sebagian besar asam-asam amino mengalami katabolisme menjadi asam-asam organik, amonia dan CO2. Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba (Arora, 1989). Sekitar 3,5-14 mM amonia (NH3) digunakan oleh mikroba rumen sebagai sumber N untuk proses sintesis selnya. Menurut McDonald et al., (2002) bahwa konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM.

Menurut McSweeney (2001) keberadaan amonia dalam rumen dapat meningkatkan sintesis protein mikroba, demikian juga keberadaan penambahan suplemen mineral Sulfur dalam pakan yang berhubungan dengan penambahan urea N juga dapat membantu dalam meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba dalam rumen. Namun suplemen Sulfur yang ditambahkan untuk memaksimalkan pertumbuhan protein mikroba (3.8 mg S l-1) lebih rendah daripada konsentrasi amonia dalam rumen (60-80 mg N l-1) (Kandylis, 1981).

Suharti (2010) menyatakan bahwa pemberian ekstrak lerak sampai level 200 mg/kg BB belum dapat meningkatkan sintesis protein mikroba pada sapi potong yang mendapatkan rumput lapang dalam jumlah tinggi. Walaupun pemberian ekstrak lerak sudah dapat meningkatkan produksi VFA yang merupakan sumber energi dan kerangka karbon untuk sintesis bakteri, namun konsentrasi NH3 rumen rendah (4 mM), hal ini menyebabkan kurang seimbangnya rasio protein/energi (P/E) yang sangat menentukan dalam sintesis protein bakteri. Selain itu, proses sintesis protein bakteri juga dipengaruhi oleh konsentrasi trace minerals dan vitamin (Karsli et al., 2000). Mineral sulfur (S) telah diketahui mempengaruhi


(16)

pertumbuhan bakteri terutama untuk sintesis metionin dan sintesis yang berkisar antara 0,11-0,2% dari total pakan dan tergantung pada status ternak. Selain itu, mineral sulfur juga mengakibatkan lignin pada pakan berserat akan terhidrolisis sehingga kecernaan bahan organik akan meningkat. Mineral fosfor juga sangat diperlukan untuk ATP dan sintesis protein oleh mikroba. Suharti (2010) menyatakan bahwa jika hijauan yang digunakan berupa rumput lapang dengan kandungan mineral sulfur dan fosfatnya relatif rendah, maka defisiensi mineral tersebut juga berpengaruh terhadap sintesis protein bakteri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengaruh saponin terhadap sintesis protein mikroba sangat bervariasi tergantung pada sumber saponin dan level saponin yang digunakan.

Mineral (Ca, P, Mg, dan S)

Mineral adalah elemen yang dibutuhkan makhluk hidup sebagai nutrien (Cheeke, 1999). Mineral berperan dalam optimalisasi bioproses dalam rumen dan metabolisme zat-zat makanan. Mineral mikro dan makro di dalam alat pencernaan ternak dapat saling berinteraksi positif atau negatif dan faktor lainnya seperti asam fitat, serat kasar, dan zat-zat lainnya dapat menurunkan ketersediaan mineral (Muhtarudin, 2003 dan Muhtarudin et al., 2003).

Hogan (1996) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan yang optimal, mikroba rumen membutuhkan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S). Menurut Maramis dan Evitayani (2001) bahwa suplementasi mineral Ca, P, S dan Mg berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan aktifitas mikroba pencerna dalam rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Komisarczuk dan Durand (1991) bahwa sulfur penting bagi pencernaan serat dalam rumen. Suplai sulfur yang cukup dapat mengoptimalkan degradasi selulosa melalui stimulasi spesifik bakteri selulolitik, aktifitas protozoa ciliata dan fungi anaerob rumen. Maramis dan Evitayani (2009) menyatakan bahwa kombinasi suplementasi mineral Ca, P, Mg dan S yang ditambahkan ke dalam ransum jerami padi 60% dan kosentrat 40%, tidak mempengaruhi pH dan konsentrasi NH3-N, namun memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan konsentrasi total VFA. Konsentrasi total VFA pada ransum yang hanya di suplementasi mineral Ca dan P serta yang hanya dikombinasi dengan mineral Mg, P dan S menurunkan konsentrasi VFA. Konsentrasi NH3-N dan total VFA yang tertinggi diperoleh pada ransum jerami padi 60% dan kosentrat 40% dengan penambahan komponen mineral mix (Ca, P, Mg dan S), namun yang memiliki peranan yang cukup baik adalah konsentrasi NH3-N berada diatas konsentrasi optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen. Adapun


(17)

sumber mineral Ca dan P digunakan CaCO3 dan CaHPO42H2O, untuk Mg digunakan MgO dan sebagai sumber mineral S digunakan Na2SO3.

Menurut McSweeney (2007), keberadaan amonia dalam rumen dapat meningkatkan sintesis protein mikroba, demikian juga keberadaan penambahan suplemen mineral Sulfur dalam pakan yang berhubungan dengan penambahan urea N juga dapat membantu dalam meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba dalam rumen. Namun suplemen Sulfur yang ditambahkan untuk memaksimalkan pertumbuhan protein mikroba (3.8 mg S l-1) lebih rendah daripada konsentrasi amonia dalam rumen (60-80 mg N l-1) (Kandylis, 1981). Berdasarkan acuan buku Beef Cattle Animal of Nutrition, bahwa kebutuhan mineral (Ca, P, Mg dan S) untuk sapi potong dalam masa pertumbuhan adalah berturut-turut (0,54; 0,37; 0,23 dan 0,1%) (NRC, 1994).

Mekanisme peran mineral kalsium (Ca), posfor (P), magnesium (Mg) dan sulfur (S) sangat diperlukan untuk pertumbuhan sel mikroba rumen dan mencerna serat secara maksimal oleh bakteri selulolitik serta menstimulir produksi VFA. Mineral Ca juga berperan dalam menjaga stabilitas struktur dinding sel, defisiensi mineral ini dapat menyebabkan kerusakan pertumbuhan dan proses-proses metabolisme yang membutuhkan Ca. mineral P esensial untuk semua mikroorganisme karena merupakan bagian integral dari nukleotida dan beberapa koenzim. Sekitar 80 % dari total P dalam bakteri rumen terdapat dalam asam nukleat dan 10 % pada posfolipid. Level 100 mg/liter dari P yang tersedia dalam rumen mencukupi untuk pertumbuhan bakteri dan aktivitas selulolitik. Mineral Mg sangat penting untuk berbagai proses seluler sehingga diperlukan oleh semua mikroorganisme. Sejumlah besar mineral S terdapat dalam asam amino yang mengandung S dalam protein mikroba. Selain itu, mineral S juga esensial bagi bakteri selulolitik untuk memperoleh kecernaan serat yang optimal diperlukan 10–20 ppm S dalam cairan rumen (Maramis dan Evitayani, 2009).


(18)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Ilmu Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Waktu penelitian ini berlangsung dari bulan Februari sampai Juni 2011.

Materi Bahan

Bahan yang digunakan untuk pembuatan sampel ransum perlakuan adalah hijauan segar (rumput lapang), pakan penguat, ekstrak lerak, dan cairan rumen. Bahan-bahan lain yang dibutuhkan dalam penelitian adalah larutan McDougall, larutan HgCl2 jenuh, gas CO2, media BHI (Brain Heart Infusion), media tumbuh yang spesifik, media pengencer, agar bacto, aquades, larutan buffer fosfat NaCl 0,005 M pH 7,2. Bahan untuk uji VFA antara lain larutan NaOH 0,5N, larutan HCl 0,5N, H2SO4 15%, NaCl 1%, HCl 1%, HCl 10% dan mineral (Ca, P, Mg, dan S). Bahan yang digunakan untuk uji NH3 antara lain asam borat (H3BO3), vaselin, indikator phenolphthalien (PP), Na2CO3 jenuh, H2SO4 0,005 N dan Na2SO4. Bahan yang digunakan untuk pengukuran pH rumen adalah alat pengukur pH meter.

Cairan Rumen

Cairan rumen yang digunakan berasal dari sapi potong yang dipasang fistula pada bagian rumen yang dipelihara di Laboratoriun Lapang Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain neraca analitik, eksikator, tabung film, botol plastik ukuran sedang counting chamber, kain penyaring, shaker waterbath, autoclave, penangas air, roller tube, termos, kain belacu, karet berventilasi, cawan Conway, sentrifus, vakum, labu penyuling, labu Erlenmeyer, tabung Hungate, tanur, gegep, magnetic stirrer, destilator, timbangan digital, buret, kondensor, tabung fermentor, tabung reaksi, tutup karet, pipet volumetik, mikroskop, bulp dan cawan porselen.


(19)

Ekstraksi Lerak

Ekstraksi lerak diperoleh dengan cara mengekstraksi buah lerak dengan metanol. Buah lerak dibersihkan, dikeringkan selama 30-36 jam (45oC), setelah itu dikeringkan dengan menggunakan oven (60oC). Buah lerak yang sudah kering digiling lalu dimaserasi dengan perbandingan tepung lerak dan metanol 1 : 4. Hasil maserasi disaring dengan menggunakan kertas saring, kemudian supernatan yang dihasilkan dikeringbekukan agar menjadi bubuk menggunakan alat freezer dryer (Wina et al., 2006).

Pengukuran KCBK dan KCBO

Analisis KCBK dan KCBO pada penelitian ini menggunakan metode (Tilley & Terry, 1963). Pembuatan Larutan Pepsin. Sebanyak 2,8 gram pepsin (1:7000) dilarutkan dalam 850 ml air bebas ion, kemudian ditambahkan 17,8 ml HCl pekat dan campuran dimasukkan ke dalam labu takar. Air ditambahkan hingga permukaan mencapai tanda tera.

Pengukuran KCBK dan KCBO. Sampel dalam tabung fermentor yang sudah diinkubasi 48 jam dan ditetesi HgCl2 disentrifusi dengan kecepatan 2500 rpm selama 20 menit. Supernatan dan endapan dipisahkan, kemudian endapan yang terbentuk ditambahkan 50 ml larutan pepsin-HCl 0,2%. Campuran tersebut diinkubasi selama 48 jam tanpa tutup karet. Setelah 48 jam campuran endapan-pepsin disaring menggunakan kertas saring whatman No.41 dengan bantuan pompa vacum. Hasil saringan (residu) dimasukkan ke cawan porselen yang sebelumnya sudah diketahui bobot kosongnya. Bahan kering diperoleh dengan cara mengeringkan sampel dalam oven 105oC selama 24 jam. Selanjutnya bahan dalam cawan dipijarkan atau diabukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450-600oC. Sebagai blanko digunakan residu asal fermentasi tanpa sampel ransum perlakuan.

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO) dihitung dengan rumus:

BK sampel (BK residu – BK blanko) x 100% % KCBK =

BK sampel

BO sampel (BO residu – BO blanko) x 100% % KCBO =

BO sampel


(20)

Pengukuran konsentrasi NH3 menggunakan metode Mikrodifusi Conway (General Laboratory Procedures, 1966). Sebelum digunakan bibir cawan Conway diolesi dengan vaselin. Supernatan yang dihasilkan dari proses fermentasi dengan inkubasi 4 jam diambil 1 ml, kemudian ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan Conway, pada ujung satunya dimasukkan 1 ml Na2CO3 jenuh. Antara supernatan dan NaCO3 tidak boleh bercampur. Larutan asam borat berindikator sebanyak 1 ml ditempatkan dalam cawan kecil yang terletak di tengah cawan Conway, kemudian cawan Conway langsung ditutup rapat hingga kedap udara. Setelah itu cawan Conway digoyang-goyangkan hingga supernatan dan NaCO3 tercampur rata, dan dibiarkan dalam suhu ruang selama 24 jam. Setelah 24 jam asam borat berindikator dititrasi dengan H2SO4 0,005 N sampai terjadi perubahan warna dari biru menjadi merah.

Konsentrasi NH3 dihitung dengan rumus:

NH3 (Mm) = Volume H2SO4 x N. H2SO4 x 1000 Berat sampel x BK sampel Prosedur Pengukuran Konsentrasi VFA

Pengukuran konsentrasi VFA dengan menggunakan metode steam destilasi (General Laboratory Procedures, 1966). Prosedur pengukuran VFA, pertama dipersiapkan alat destilasi yaitu dengan mendidihkan air dan mengalirkan air ke kondensor atau pendingin. Kemudian masukkan 5 ml sampel yang diinkubasi pada jam ke-4 dan 1 ml H2SO4 15% ke dalam tabung destilasi. Kemudian dilanjutkan dengan proses destilasi, proses destilasi dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang berisi air mendidih. Uap air panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi di dalam pendingin. Destilasi ditampung dengan labu Erlenmeyer 500 ml yang telah terisi 5 ml NaOH 0,5 N. Proses destilasi selesai pada jumlah destilasi yang tertampung ditambahkan indikator phenolphthalein (PP) sebanyak 2-3 tetes, lalu dititrasi dengan HCl 0,5 N sampai terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi bening. Konsentrasi VFA dapat diukur dengan rumus :

Konsentrasi VFA total (mM) = (a-b) x N.HCL X 1000/5ml

Berat sampel x BK sampel

a = volume titrasi blanko b = volume titrasi contoh

Pengujian proporsi molar VFA menggunakan metode gas kromatografi dengan salicilic acid sebagai standar. Pengujian dilakukan di Pusat Penelitian Pengembangan Ternak, Bogor.


(21)

Menghitung Populasi Protozoa

Perhitungan populasi protozoa dilakukan dengan menggunakan counting chamber

dengan larutan garam formalin (formalin salin) yang dibuat dari campuran formalin dengan NaCl fisiologis (Ogimoto salin) 0,9% dalam 100 ml larutan (Ogimoto dan Imai, 1981). Sebanyak 1 ml larutan formalin salin dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan dicampur dengan cairan rumen segar atau rumen yang telah mengalami inkubasi 4 jam, dengan perbandingan 1 : 1 atau sebanyak 1 ml cairan rumen ditambah 1 ml larutan garam formalin, kemudian diaduk secara merata. Sampel cairan diteteskan pada counting chamber sebanyak 2 tetes dan ditutup dengan cover glass sampai rata. Counting chamber yang digunakan mempunyai ketebalan 0,1 mm, dengan luas kotak terkecil 0,0625 mm yang terdapat 16 kotak dan kotak yang dibaca sebanyak 5 kotak. Populasi protozoa diamati dengan mikroskop lensa obyektif dengan pembesaran 40x dan okuler 10x.

Populasi protozoa dihitung dengan rumus :

Populasi protozoa = 1 x 1000 x C x Fp 0,1 x 0,0625 x 16 x 5

Keterangan: C = jumlah koloni yang dihitung Fp = faktor pengencer

Perhitungan Populasi Bakteri Total

Populasi bakteri dihitung dengan metode pencacahan koloni bakteri hidup. Prinsip perhitungannya adalah cairan rumen diencerkan secara serial, lalu disimpan dalam tabung

Hungate. Media tumbuh yang digunakan untuk menghitung populasi bakteri total adalah media BHI (Brain Heart Infusion). Pembuatan media BHI yaitu dengan cara mencampurkan bahan-bahan seperti BHI powder, glukosa, sellulobiosa, pati, cystein, hemin dan resazurin, kemudian dimasukkan ke dalam botol yang telah disterilkan dengan autoclave. Campuran tersebut dipanaskan sampai terjadi perubahan warna dari coklat kekuningan menjadi coklat kemerahan dan berubah kembali menjadi coklat kekuningan, setelah itu didinginkan dan dialiri dengan gas CO2. Media BHI anaerob dimasukkan ke dalam tabung Hungate yang sebelumnya telah diisi bacto agar sebanyak 0,150 gram dengan volume masing-masing 4,9 ml.


(22)

Sampel (cairan rumen yang telah mengalami perlakuan dan inkubasi 4 jam) dipipet 0,05 ml dimasukkan ke dalam media pengencer. Pengenceran dilakukan sebagai berikut: 0,05 ml kultur bakteri dimasukkan ke dalam 4,95 ml media pengencer. Selanjutnya dari media pengencer diambil kembali sebanyak 0,05 ml, lalu dimasukka ke dlam 4,95 ml media pengencer berikutnya, sehingga terdapat pengenceran 10-2, 10-4, 10-6 dan 10-8. Dari masing-masing seri tabung pengenceran diambil sebanyak 0,1 ml, kemudian dimasukkan ke media agar dan diputar sambil dialiri air pada roller, agar media dapat menjadi padat secara merata. Selanjutnya bakteri diinkubasi selama 24 jam.

Perhitungan populasi bakteri dilakukan dengan rumus: Populasi bakteri = Jumlah Koloni

0,05 x 10-x x 0,1 Keterangan : x = tabung seri pengenceran ke-x Perhitungan Sintesis Protein Bakteri

Perhitungan Sintesis Protein Bakteri menggunakan metode Makkar et al., (1981)

(Biochemistry Laboratory Procedures), dilanjutkan dengan menggunakan metode Lowry’s (Lowry’s et al., 1951). Adapun tahapan pekerjaan sebagai berikut :

1.) Pembuatan Reagen pembentukan kompleks

Reagen pembentukan kompleks dibuat dengan cara terlebih dahulu membuat tiga jenis larutan. Larutan A yaitu 2%b/v Na2CO3 dalam akuades. Larutan B yaitu 1%b/v CuSO4.5H2O dalam akuades. Dan larutan C yaitu 2%b/v Kalium Natrium tartrat dalam akuades. Ketiga larutan-larutan tersebut kemudian dicampur menjadi satu dengan perbandingan 100:1:1.

2.) Larutan NaOH 2N

3.) Pembuatan Reagen Folin-Ciocalteu

Reagen Folin-Ciocalteu dibuat dengan cara 100 g sodium tungstate dimasukkan ke dalam labu erlemeyer berukuran 500 ml, ditambah 25 g sodium molibdate, 700 ml akuades, 50 ml asam phosphate, dan 100 ml HCl. Campuran direfluks selama 10 jam, tambahkan 150 ml lithium sulfat, 50 ml akuades dan beberapa tetes bromine (Br2). Campuran (tanpa pendingin) didihkan sekitar 15 menit (hingga kelebihan bromine habis). Campuran dinginkan


(23)

kembali, lalu diencerkan dengan akuades hingga 1 L, dan campuran disaring (filtrat berwarna kehijauan). Sebelum digunakan, campuran diencerkan 1 bagian filtrat dengan 5 bagian akuades.

Prosedur pengukuran sintesis protein mikroba, mula-mula dipersiapkan alat destilasi yaitu dengan memasukkan cairan rumen sebanyak 20 ml, didestiler dengan kecepatan 400 rpm selama 45 detik. Hal ini bertujuan untuk memisahkan antara bakteri dengan sampel. Sampel kemudian disentrifuse pada 408 gravitasi selama 5 menit, yang bertujuan untuk menurunkan jumlah populasi protozoa dalam cairan rumen dan juga untuk menghilangkan partikel pakan yang masih tersisah.

Aliquot (cairan rumen yang telah disentrifuse pada 408 gravitasi, dengan penururnan jumlah populasi proptozoa yang juga terpisah dari partikel pakan) diambil sebanyak 10 ml dan ditambahkan TCA (tricloro acetic acid) 64,5% sebanyak 2,5 ml pada masing-masing sampel. Sampel kemudian disentrifuse 15.000 rpm selama 20 menit, setelah itu supernatan dibuang dan diperoleh sel/endapan yang diambil dan dicuci dengan air destilasi. Sel/endapan kemudian disentrifuse kembali dengan 15.000 rpm selama 20 menit. Hasil yang diperoleh berupa supernatan dan sel/endapan, supernatan dibuang kembali yang dibutuhkan hanya sel/endapan saja, endapan tersebut ditambahkan larutan NaOH 0,25N sebanyak 30 ml. Endapan dipanaskan dengan air mendidih selama 10 menit. Supernatan yang dihasikan diambil untuk dikoleksi dari masing-masing sampel sebanyak 1 ml untuk analisis protein

mikroba dilanjutkan dengan metode Lowry’s.

Sampel yang diambil dari masing-masing perlakukan sebanyak 1 ml masih dalam bentuk endapan, maka terlebih dahulu diencerkan dengan NaOH 2N sebanyak 1 ml, kemudian dihidrolisis pada 100o C selama 10 menit pada penangas air. Sampel lalu dinginkan pada suhu ruangan, tambahkan 5 ml reagen pembentukan kompleks. Biarkan larutan selama 10 menit pada suhu kamar. Tambahkan 0,5 ml reagen Folin-Ciocalteu, lalu homogenkan dengan vortex, biarkan selama 30-60 menit (jangan sampai lebih dari 60 menit). Kemudian baca absorbansi pada 660 nm jika konsentrasi protein di bawah 500 µg/ml atau 550 nm jika konsentrasi protein antara 100-2000 µg/ml.

Rancangan Percobaan Perlakuan Penelitian

Penelitian dilakukan secara in vitro, dengan pakan yang digunakan dalam bentuk campuran antara rumput gajah dan pakan penguat. Masing-masing perbandingan rasio hijauan dan pakan penguat adalah 30:70, 50:50 dan 70:30. Setiap perbandingan rasio hijauan


(24)

dan pakan penguat mendapatkan perlakuan yaitu 0 (sebagai kontrol), penambahan ekstrak lerak (1 mg/ml) dan ekstrak lerak (1 mg/ml) yang difortifikasi dengan mineral mix (Ca, P, Mg, dan S). Kandungan masing-masing mineral mix (Ca, P, Mg, dan S) berturut-turut adalah 0,54%, 0,37%, 0,23%, dan 0,1%, berdasarkan acuan NRC 1994. Susunan ransum percobaan adalah sebagai berikut:

0

R : K = 70 : 30 ekstrak lerak (1 mg/ml)

ekstrak lerak (1 mg/ml) plus mineral mix 0

R : K = 50 : 50 ekstrak lerak (1 mg/ml)

ekstrak lerak (1 mg/ml) plus mineral mix

0

R : K = 30 : 70 ekstrak lerak (1 mg/ml)

ekstrak lerak (1 mg/ml) plus mineral mix Ket :

R : Rumput

K : Kosentrat

mineral mix : Mineral (Ca, P, Mg, dan S) yang difortifikasi dalam ekstrak lerak

Model

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 3x3 denga 4 ulangan dan masing-masing sampel dibuat duplo. Faktor pertama adalah rasio rumput dengan pakan penguat (70:30, 50:50, 30:70), dan faktor kedua adalah jenis pemberian supleman (0, ekstrak lerak 1 mg/ml dan ekstrak lerak 1 mg/ml + mineral mix). Model matematika yang digunakan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1991).

Yijk = µ + τi + ßj+ (τß)ij + ρk + εijk Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j dan kelompok ke-k µ = Nilai rataan umum

i = Efek perlakuan ke-i

βj = Efek kelompok ke-j


(25)

ρk = Pengaruh aditif dari kelompok dan diasumsikan bersifat aditif ijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0, 2 )

Perubahan yang Diamati

Perubahan yang diamati selama penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Kecernaan bahan kering dan kecernaan bahan organik yang dianalisis dengan menggunakan metode (Tilley and Terry, 1963)

2) Konsentrasi NH3 (Amonia) yang diukur dengan menggunakan metode Mikrodifusi

Conway (General Laboratory Procedures, 1966)

3) Konsentrasi VFA (Volatile Fatty Acids) yang diukur dengan menggunakan Teknik Destilasi Uap (General Laboratory Procedures, 1966)

4) Populasi protozoa total yang dihitung dengan metode Ogimoto dan Imai (1981)

5) Populasi bakteri total yang dihitung dengan menggunakan metode Ogimoto dan Imai (1981)

6) Sintesis protein bakteri yang diukur dengan menggunakan metode Makkar et al., (1981) (Biochemistry Laboratory Procedures), dilanjutkan dengan menggunakan metode


(26)

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

Mutu hijauan yang ada di Indonesia cukup rendah, sehingga penggunaan hijauan harus diimbangi dengan pakan penguat sebagai sumber energi dan mineral. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan menambahkan senyawa saponin asal tanaman untuk memodifikasi fermentasi rumen dan menambahkan mineral.

Ekstrak lerak yang dipakai pada penelitian ini merupakan hasil ekstraksi buah lerak dan biji lerak dengan menggunakan pelarut metanol. Ekstrak lerak berbentuk serbuk dan mempunyai kandungan saponin yang sangat tinggi, dan juga mengandung tanin. Kandungan saponin dalam tepung lerak sebesar 3,87%, sedangkan dalam ekstrak metanol lerak sangat besar yaitu 81,5%, hampir 21 kalinya dibandingkan dengan saponin dalam tepung lerak (Suharti et al., 2009). Senyawa saponin diketahui dapat memodifikasi mikroba rumen dengan menekan pertumbuhan protozoa (defaunasi) secara parsial. Sementara itu, protozoa sering memangsa bakteri rumen untuk memenuhi kebutuhan protein (Guiterrez 2007, Hart et al.,

2008). Pengujian pada penelitian ini dilakukan secara in vitro, pada suhu 39o C anaerob dengan kisaran pH 6,5-6,9, dimana kondisi tersebut menyerupai kondisi dalam rumen. Substrat yang digunakan dalam pengujian secara in vitro terdiri dari rumput lapang yang telah dikeringkan dan dihaluskan (BK 93,16%), pakan penguat (88,22%) dan suplementasi (penambahan lerak saja maupun lerak yang di fortifikasi dengan mineral mix). Komposisi suplementasi yang digunakan terdiri dari ekstrak lerak yang telah dihaluskan (BK 87,45%) dan mineral mix (Ca, Mg, S dan P).

Komposisi pakan penguat yang digunakan yaitu dedak padi, tetes, limbah roti, kulit kopi, kulit kacang, onggok dan dedak gandum, sedangkan hijauan yang digunakan yaitu rumput gajah. Komposisi nutrien bahan yang digunakan dalam penyusunan ransum dapat dilihat pada Tabel 1.

Penggunaan ekstrak lerak pada penelitian ini dikombinasikan dengan mineral mix (Ca, P, Mg dan S) yang ditambahkan pada substrat dengan rasio ransum (rumput dan pakan penguat) yaitu 70:30, 50:50 dan 30:70. Sumber mineral yang dipergunakan sebagai perlakuan dalam penelitian ini berasal dari hijauan, pakan penguat dan mineral komersial. Penyusunan kandungan mineral ini dihitung berdasarkan kandungan mineral substrat hijauan dan pakan penguat kemudian disesuaikan dengan komposisi mineral masing-masing ransum. Kekurangan mineral (Ca, P, Mg dan S) dipenuhi dengan menambahkan mineral komersial


(27)

sesuai dengan acuan NRC (1994). Komposisi mineral masing-masing perlakuan tercantum pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi Nutrien Hijauan, Pakan Penguat dan Total Ransum yang Digunakan sebagai Subtrat Fermentasi In vitro

Nutrien Rumput Pakan

penguat Substrat 1* Substrat 2* Substrat 3*

NRC (%) Gajah H:K = 70:30 H:K= 50:50 H:K = 30:70 1994

--- (100%BK) ---

Abu 8,98 8,52 8,85 8,75 8,66 -

PK 13,41 19,16 15,13 16,28 17,43 -

SK 40,26 25,49 35,83 32,88 29,92 -

LK 0,12 3,80 1,22 1,96 2,69 -

Beta-N 37,23 42,24 38,73 39,73 40,73 -

Ca 0,15 0,28 0,19 0,22 0,24 0,54

P 0,27 0,36 0,30 0,32 0,33 0,37

Mg 0,12 0,08 0,11 0,10 0,09 0,23

S 0,06 0,01 0,05 0,04 0,03 0,1

TDN 49,02 63,77 53,44 56,40 59,35 -

Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2011)

TDN (Hardi et al., 1980) = 92.64-3.338(SK)-6.945(LK)-0.762(BetaN)+1.115(PK)+0.03(SK)2 -0.133(LK)2+0.036(SK)(BETA-N)+0.100(LK)(PK)-0.022(LK)2(PK)

*Hasil perhitungan

BK = Bahan Kering Ca = Kalsium

PK = Protein Kasar P = Poshor

SK = Serat Kasar Mg = Magnesium

LK = Lemak Kasar S = Sulfur

Beta-N = Bahan ekstrak tanpa Nitrogen TDN = Total Digestible Nitrogen

Tabel 2. Penambahan Komposisi Mineral Perlakuan yang Terdapat dalam Ransum Percobaan

Mineral Sumber

Mineral yang ditambahkan (mg) Ransum 1

H:K = 70:30

Ransum 2 H:K= 50:50

Ransum 3 H:K = 30:70

Kalsium (Ca) CaCl2 10,18 9,57 8,96

Phospor (P) KH2PO4 4,34 3,73 3,11

Magnesium

(Mg) MgSO4 3,33 3,14 2,95

Sulfur (S) Na2S2O5 3,27 3,86 4,45

Fungsi maupun tujuan dari penambahan mineral mix (Ca, P, Mg dan S) ini diantaranya untuk memelihara keseimbangan mikroba terutama fungi yang keberadaannya bergantung pada keberadaan sulfida untuk mensintesis protein mikroba (Bakrie et al., 1996). Selanjutnya dijelaskan bahwa konsentrasi sulfur dalam pakan mempengaruhi pertumbuhan


(28)

mikroba (Sniffen and Robinson, 1987 dalam Pathak, 2008). Mineral sulfur merupakan kebutuhan esensial bagi bakteri rumen karena sel bakteri kaya akan kandungan asam amino yang mengandung sulfur seperti metionin dan sistein (NRC, 1996). Pembatasan asupan dari sulfur akan membatasi sintesis protein mikroba, mineral lain yang mempengaruhi sintesis protein mikroba adalah fosfor, karena fosfor dibutuhkan untuk sintesis ATP dan protein oleh mikroba rumen. Sintesis protein mikroba dapat terhambat karena suplai P yang tidak mencukupi untuk pertumbuhan mikroba (Pathak, 2008).

Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak lerak 1 mg/ml pada ransum sapi potong dengan hijauan tinggi, dapat meningkatkan produksi VFA total dan proporsi propionat, namun belum dapat meningkatkan sintesis protein mikroba rumen. Hal ini di duga karena rendahnya kandungan mineral mikroba seperti sulfur dan fosfor dalam ransum berbasis hijauan tinggi (Suharti, 2010).

Populasi Protozoa dan pH Rumen

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ekstrak lerak baik yang ditambah mineral mix maupun tanpa penambahan mineral mix nyata (P<0,05) menurunkan populasi protozoa dibandingkan kontrol. Peningkatan rasio pakan penguat juga nyata (P<0,05) menurunkan populasi protozoa dibandingkan kontrol. Tidak ada interaksi antara rasio hijauan dan pakan penguat dengan jenis suplemen yang digunakan (Tabel 3).

Penurunan protozoa akibat pemberian ekstrak lerak diduga karena saponin yang terkandung dalam ekstrak lerak dapat mempengaruhi pertumbuhan protozoa. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Suharti (2010), yang menyatakan bahwa secara in vitro

populasi total protozoa menurun dengan pemberian ekstrak lerak dengan taraf 1 mg/ml pada semua waktu inkubasi yang diamati. Sensitivitas protozoa terhadap ekstrak lerak diduga karena tingginya kemampuan saponin dari ekstrak lerak dalam mengikat sterol sehingga saponin tersebut akan mengikat sterol pada membran protoza dan menyebabkan kerusakan yang menyebabkan lisis atau kematian. Pemberian ekstrak lerak yang di fortifikasi dengan mineral mix (Ca, Mg, S dan P) juga nyata menurunkan populasi protozoa, sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian mineral mix (Ca, Mg, S dan P) bersama ekstrak lerak berperan secara efektif dalam penekanan populasi protozoa yang mana juga dapat meningkatkan efisiensi pembentukan protein mikroba.

Protozoa merupakan salah satu mikroba rumen yang ikut berperan dalam fermentasi pakan dalam sistem rumen. Protozoa berkembang di dalam rumen dalam kondisi anaerob dan


(29)

mempengaruhi proses fermentasi karbohidrat pakan. Protozoa penting keberadaannya karena dapat menstabilkan pH saat fermentasi berlangsung sehigga dapat berfungsi sebagai penyangga (Arora, 1989). Perkembangan protozoa dalam rumen juga sangat dipengaruhi kondisi pH rumen, rendahnya pH rumen dapat mengurangi populasi protozoa secara drastis. Tabel 3. Rataan Populasi Protozoa Total pada Perlakuan in vitro

Parameter Substrat Rasio (H:K)

Level Suplementasi

Rataan ±SD

0 1mg/ml ekstrak

lerak

1mg/ml ekstrak lerak+ mineral

mix

Protozoa (Log 10/ml)

70:30 4,47 ± 0,03 4,28 ± 0,14 4,26 ± 0,13 4,34 ± 0,06 50:50 4,35 ± 0,10 4,19 ± 0,03 4,27 ± 0,20 4,27 ± 0,09 30:70 4,29 ± 0,21 4,07 ± 0,32 4,19 ± 0,22 4,19 ± 0,06 Rataan±SD 4,37 ± 0,09a

4,18 ± 0,15b 4,24 ± 0,05a Keterangan : H = Hijauan, K = Pakan penguat

Superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05).

Penurunan populasi protozoa mempunyai beberapa implikasi yaitu perubahan keragaman bakteri rumen, penurunan metan dan peningkatan sintesis protein mikroba. Perubahan keragaman bakteri rumen juga terjadi akibat penurunan populasi protozoa dengan penambahan ekstrak lerak. Penghambatan populasi protozoa juga dapat aktivitas sebagai bakteri metanogen karena protozoa merupakan inang bagi metanogen dalam proses transfer H2. Telah diketahui bahwa protozoa sering memangsa bakteri untuk memenuhi kebutuhan proteinnya, sehingga penghambatan populasi protozoa dapat meningkatkan aktivitas sintesis protein mikroba serta aliran N yang menuju usus halus. Hal ini mengakibatkan meningkatnya N yang diretensi oleh tubuh ternak (Suharti, 2010).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan variasi pengaruh saponin terhadap populasi protozoa pada percobaan in vivo. Penelitian Hess et al. (2003) menunjukkan bahwa suplementasi saponin yang berasal dari Sapindus saponaria sebanyak 100 mg/g BK (kandungan saponin 12% BK) ke dalam ransum pada inkubasi 24 jam dapat menurunkan populasi protozoa hingga 54%. Saponin dapat menghambat jumlah maupun komposisi spesies protozoa secara in vitro. Patra et al. (2006) menyatakan bahwa saponin yang diekstraksi dari Acacia conciema dengan air, metanol maupun etanol dapat menghambat pertumbuhan protozoa. Aktivitas protozoa dari saponin merupakan pengaruh yang konsisten dalam ekosistem rumen, namun masih belum jelas spesies-spesies protozoa yang sensitif terhadap saponin. Saponin dari ekstrak lerak terbukti menurunkan populasi protozoa dan efektif sebagai agen defaunasi parsial dalam rumen tanpa kehilangan aktivitas antiprotozoanya dalam waktu 27 hari (Wina et al., 2006).


(30)

Konsentrasi Amonia (NH3)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian ekstrak lerak baik yang ditambah mineral mix maupun tanpa penambahan mineral mix tidak nyata (P>0,05) meningkatkan konsentrasi NH3 (Tabel 3). Perbedaan rasio hijauan dan pakan penguat tidak mempengaruhi konsentrasi NH3 (P>0,05). Tidak ada interaksi antara rasio hijauan dan pakan penguat dengan jenis suplementasi yang digunakan di dalam rumen secara in vitro (Tabel 4). Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan ekstrak lerak dengan taraf 1 mg/ml maupun ekstrak lerak yang di fortifikasi dengan mineral mix tidak mempengaruhi aktivitas mikroba rumen dalam metabolisme protein. Tanin dalam ekstrak lerak tidak mempengaruhi kecernaan protein. Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi amonia antara lain adalah kelarutan bahan pakan, jumlah protein dalam ransum, sumber nitrogen dalam ransum dan waktu setelah pemberian pakan (Arora, 1989). Protein di dalam rumen akan dirombak oleh enzim protease yang dihasilkan oleh mikroba proteolitik menjadi oligopeptida (Sutardi, 1980). Oligopeptida yang terbentuk ini ada yang dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk pertumbuhannya, ada yang langsung masuk ke usus, sebagian lagi ada yang dihidrolisa menjadi asam amino. Sebagian asam amino yang dihasilkan ada yang diserap dalam dinding rumen, ada yang masuk ke dalam usus, ada yang langsung dimanfaatkan oleh mikroba rumen dan ada yang mengalami deaminasi menjadi asam alfa keto yang menghasilkan amonia dan CO2. Amonia di dalam rumen merupakan hasil degradasi asam amino pakan atau berasal dari nitrogen bukan protein (Forbes dan France, 1993; Arora, 1995). Amonia di dalam rumen merupakan bahan yang berguna untuk pembentukan protein mikroba di dalam rumen. Selain itu, fermentasi protein juga menghasilkan volatile fatty acid (VFA). Konsentrasi NH3 rumen merupakan salah satu cara untuk menilai fermentabilitas protein pakan dan erat kaitannya dengan populasi mikroba rumen. Di dalam rumen, protein dihidrolisis pertama kali oleh mikroba rumen. Tingkat hidrolisis protein tergantung dari daya larut protein menjadi asam amino yang diikuti oleh proses deaminasi untuk membebaskan kadar NH3 (McDonald et al., 2002). Semakin meningkat kandungan protein kasar ransum dapat menyebabkan produksi NH3 juga meningkat (Parakkasi, 1999).

Rataan konsentrasi NH3 yang dihasilkan dari semua perlakuan berkisar antara 8,60-10,48 mM dan nilai tersebut masih optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen. McDonald et al., (2002) menyatakan bahwa konsentrasi NH3 yang optimal untuk menunjukkan sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM. Nolan (1993) menyatakan bahwa amonia merupakan sumber nitrogen utama dan sangat penting


(31)

untuk sintesis protein mikrooganisme rumen. Penambahan suplementasi ekstrak lerak maupun ekstrak lerak yang di fortifikasi dengan mineral mix pada penelitian ini tidak nyata meningkatkan konsentraasi NH3.

Tabel 4. Rataan Konsentrasi Amonia (NH3) pada Perlakuan in vitro Parameter

Rasio Substrat

(H:K)

Level Suplementasi

Rataan ± SD

0 1mg/ml ekstrak

lerak

1mg/ml ekstrak lerak+ mineral

mix

NH3 (mM)

70:30 8,51±2,03 9,58±2,23 7,71±1,66 8,60 ± 0,29 50:50 7,74±1,79 11,09±11,09 9,90±4,02 9,58 ± 1,11 30:70 10,03±3,75 8,78±8,78 12,63±12,63 10,48 ± 1,22 Rataan ±SD 8,76 ± 1,07 9,82 ± 0,78 10,08 ± 1,22

Keterangan : H = Hijauan, K = Pakan penguatt

Pada kolam yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05)

Hal yang sama dengan penelitian Thalib (2004) yang menyatakan bahwa suplementasi ekstrak metanol lerak dalam bentuk serbuk (80 mg/100 ml dengan kadar saponin 15%) pada ransum domba menghasilkan konsentrasi NH3 yang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Namun hasil penelitian tersebut tidak sama dengan hasil penelitian Wina et al., (2005a), menyatakan suplementasi ekstrak metanol sapindus rarak dengan taraf 0,25; 0,5; 1,0; 2,0 dan 4,0 mg/ml dalam ransum yang tersusun dari rumput gajah dan pollard (7:3) signifikan menurunkan konsentrasi NH3. Maramis dan Evitayani (2009) menyatakan bahwa suplementasi mineral Ca, Mg, S dan P tidak mempengaruhi pH dan konsentrat NH3-N, dengan rataan nilai konsentrasi NH3-N berkisar 7,77-8,88 mg/100ml.

Konsentrasi Volatille Fatty Acid (VFA)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ekstrak lerak baik yang ditambah mineral mix maupun tanpa penambahan mineral mix tidak nyata (P>0,05) menurunkan konsentrasi VFA total. Peningkatan rasio pakan penguat nyata meningkatkan (P<0,05) konsentrasi VFA total terhadap kontrol. Tidak ada interaksi antara rasio hijauan dan pakan penguat dengan jenis suplemen yang digunakan (Tabel 5). Hal ini menandakan bahwa konsentrasi VFA total tidak dipengaruhi oleh suplemen ekstrak lerak dan mineral mix yang ditambahkan ke dalam substrat. Produksi VFA total dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat karbohidrat, kecernaan bahan kering dan nutrien pakan. Terlihat pada kecernaan bahan kering dan bahan organik yang tidak meningkat dengan penambahan suplemen ekstrak lerak saja maupun ekstrak lerak yang di tambahkan mineral mix.


(32)

Hal yang berbeda dengan penelitian Suharti (2010), menyatakan bahwa penggunaan ekstrak lerak sampai level 0,8 mg/ml dapat meningkatkan produksi VFA total pada berbagai rasio hijauan tinggi. Xu et al. (2010), menyatakan bahwa pada rasio hijauan sedang dan rendah (H:K=50:50 dan 10:90), pemberian saponin dari ekstrak lerak Y. Schidigera 0,11 mg/ml secara in vitro tidak mempengaruhi konsentrasi VFA total dan propionat VFA kecuali butirat yang cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa saponin belum dikatakan efektif dalam memodifikasi fermentasi rumen pada pakan yang mengandung pakan penguat sedang sampai tinggi (90%). Proses fermentasi karbohidrat oleh mikroba rumen menghasilkan energi berupa asam-asam lemak astiri (VFA) antara lain yang utama yaitu asam asetat, asam propionat, asam butirat merupakan tiga asam lemak terbang tertinggi di rumen, VFA dianggap sebagai faktor utama yang mempengaruhi produksi ternak ruminansia (McDonald et al., 2002). Menurut Arora (1989), peran VFA sangat penting sebagai sumber energi, VFA juga merupakan sumber kerangka karbon untuk membentuk protein mikroba. Tabel 5. Rataan Konsentrasi VFA pada Fermentasi In Vitro 4 jam

Parameter

Rasio Ssubstrat

(H:K)

Level Suplementasi

Rataan ± SD

0 1mg/ml

ekstrak lerak

1mg/ml ekstrak lerak+ mineral

mix

VFA (mM)

70:30 169,94±41,44 164,40±31,34 112,29±41,46 148,88±5,84ab 50:50 144,52±14,74 127,38±24,98 114,52±30,46 128,81±7,98b 30:70 159,77±19.91 153,87±29,02 188,71±11,29 167,45±8,87a Rataan±SD 158,08±14,16 148,55±8,87 138,51±15,27

Keterangan : H = Hijauan, K = Pakan penguat

Superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan (P<0,05)

Mineral kalsium (Ca), posfor (P), magnesium (Mg) dan sulfur (S) sangat diperlukan untuk pertumbuhan sel mikroba rumen dan mencerna serat maksimal oleh bakteri selulolitik serta menstimulir produksi VFA (Church, 1988). Penambahan suplementasi mineral mix (Ca, Mg, S dan P) pada penelitian ini tidak nyata menurunkan konsentrasi VFA total, penambahan mineral mix (mineral komersial) yang di fortifikasi dengan ekstrak lerak tidak efektif. Hal ini diduga karena saponin yang terkandung dalam ekstrak lerak mengikat keberadaan penambahan mineral mix (mineral komersial) dalam rumen. Suparjo (2000), menyatakan bahwa saponin dapat mengganggu penyerapan mineral dan vitamin, hal ini berbeda dengan hasil penelitian Maramis dan Evitayani (2009), menyatakan bahwa konsentrasi VFA total pada ransum (60% jerami padi + 40% pakan penguat) yang di suplementasi Ca, Mg, S dan P meningkat jika di bandingkan dengan kontrol, dengan rataan konsentrasi 56,13-80,43 mM.


(33)

Pada penelitian ini memiliki rataan konsentrasi VFA total berkisar 128,81-167,45 mM, hasil tersebut masih berada dalam kisaran normal untuk mendukung sintesis protein mikroba. Menurut McDonald et al. (2002), produksi VFA total yang dapat mendukung proses sintesis protein mikroba yaitu 70-150 mM.

Populasi Bakteri

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian ekstrak lerak baik yang di fortifikasi dengan mineral mix (Ca, Mg, S dan P) maupun yang hanya diberikan ekstrak lerak saja tidak nyata (P>0,05) meningkatkan populasi bakteri. Perbedaan rasio hijauan dan pakan penguat juga tidak nyata (P<0,05) meningkatkan populasi bakteri dibandingkan kontrol. Tidak ada interaksi antara rasio hijauan dan pakan penguat dengan jenis suplementasi yang digunakan (Tabel 6). Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa pada penelitian ini dengan penambahan ekstrak lerak mengandung saponin masih belum cukup optimum berperan dalam menstimulir perkembangan populasi bakteri. Berdasarkan populasi bakteri terlihat bahwa kandungan saponin dan senyawa-senyawa lain yang terdapat dalam ekstrak lerak tidak mengganggu populasi bakteri rumen. Suharti (2010) menyatakan bahwa pemberian ekstrak lerak sampai level 0,8 mg/ml tidak meningkatkan populasi bakteri total terhadap kontrol. Namun persentase bakteri P. ruminicola dari total bakteri meningkat dengan pemberian ekstrak lerak, R. albus juga mempunyai kecenderungan meningkat, sementara itu bakteri F. succinogenes tidak berbeda antara perlakuan. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Thalib (2004), bahwa penambahan ekstrak metanol lerak (saponin 15%) ke dalam pakan (rumput raja) sebanyak (80 mg/100ml) pada inkubasi 48 jam dapat menurunkan populasi protozoa sampai 79% dan meningkatkan populasi bakteri sekitar 39% dari kontrol.

Tabel 6. Rataan Populasi Bakteri Total pada Perlakuan in vitro

Parameter

Rasio Substrat

(H:K)

Level Suplementasi

Rataan±SD

0 1mg/ml ekstrak

lerak

1mg/ml ekstrak lerak+mineral

mix

Bakteri (Log 10 CFU/ml)

70:30 9,94±0,33 9,69±0,64 9,95±0,41 9,86 ± 0,16 50:50 9,73±0,33 9,85±0,55 9,96±0,27 9,84 ± 0,15 30:70 9,71±0,47 10,09±0,23 9,87±9,87 9,89 ± 0,19 Rataan ±SD 9,79±0,08 9,88±0,22 9,93±0,17


(34)

Keterangan : H = Hijauan, K = Pakan penguat

Pada kolom yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan (P>0,05)

Peran sulfur penting bagi pencernaan serat dalam rumen. Suplai sulfur yang cukup dapat mengoptimalkan degradasi selulosa yang diantaranya melalui stimulasi spesifik bakteri selulolitik, aktivitas protozoa dan fungi anaerob. Selain mineral sulfur, phospor juga merupakan mineral yang penting untuk pertumbuhan mikroba dan untuk menjaga integritas membran sel maupun dinding sel. Begitu juga dengan penambahan mineral Mg dan Ca diperlukan untuk pertumbuhan sel mikroba rumen dan mencerna serat secara maksimal oleh bakteri selulolitik serta menstimulir produksi VFA (Maramis dan Evitayani (2009). Penambahan mineral mix dalam substrat perlakuan tidak nyata meningkatkan populasi bakteri jika dibandingkan dengan kontrol. Berbeda dengan penelitian Maramis dan Evitayani (2009), bahwa peningkatan bakteri total yang diindikasi pada kecernaan fraksi serat pada ransum (60% jerami padi+40% pakan penguat) dipengaruhi dengan penambahan mineral mix (Ca, Mg, S dan P) terhadap pertumbuhan dan aktifitas mikroba pencerna dalam rumen.

Rumen merupakan tempat hidup berbagai macam tipe bakteri dimana bakteri tersebut berperan dalam proses mendegradasi berbagai komponen pakan. Interaksi antara bakteri dengan mikroba rumen lainnya menghasilkan efek sinergis dalam memproduksi hasil fermentasi seperti VFA dan protein mikroba di dalam rumen (Kamra, 2005). Pada ransum yang bahan dasarnya pakan serat bermutu rendah, protozoa cenderung memangsa bakteri. Protozoa dan bakteri di dalam rumen selalu bersaing dalam menggunakan beberapa nutrien yang diberikan. Apabila kondisi suplai makanan kurang menguntungkan, protozoa akan memakan bakteri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga populasi bakteri dalam rumen akan berkurang. Karena peranan bakteri rumen memiliki fungsi yang sangat penting terhadap fermentasi serat dan tanaman berpolimer (Arora, 1989).

Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik (KCBK & KCBO)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian ekstrak lerak baik yang ditambah mineral mix maupun tanpa penambahan mineral mix tidak nyata (P>0,05) menurunkan KCBK dan KCBO. Perbedaan rasio hijauan dan pakan penguat tidak mempengaruhi (P>0,05) KCBK dan KCBO. Tidak ada interaksi antara rasio hijauan dan pakan penguat dengan jenis suplemen yang digunakan (Tabel 7). Hal ini menandakan bahwa suplementasi ekstrak lerak, baik dengan penambahan mineral mix maupun tanpa penambahan mineral mix, tidak mempengaruhi kecernaan pakan dan aktivitas mikroba rumen dalam mencerna pakan.


(1)

Schlegel, H.G dan K. Schmidt.1994. Mikrobiologi Umum. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal 470.

Suharti, S., D. A. Astuti & E. Wina. 2009. Nutrient digestibility and beef cattle performance fed by lerak (Sapindus rarak) meal in concentrate ration. JITV 14(3): 200-207.

Suharti, S. 2010. Modifikasi keragaman mikroba dan fermentasi rumen sapi dengan pemberian saponin dengan pemberian saponin lerak (Sapindus rarak). Disertasi. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suharti, S. D. A. Astuti, E. Wina, & T. Toharmat. 2011. Rumen microbial population in the

in vitro fermentation of different ratio of forage and concentrate in the presence of whole lerak (Sapindus rarak) fruit ekstrak. Asiant-Aust. J. Anim. Sci. 24(8): 1086-1091.

Sunaryadi. 1999. Ekstraksi dan isolasi buah lerak (Sapindus rarak) serta

pengujian daya defaunasinya. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Suparjo. 2008. Saponin, peran dan pengaruhnya bagi ternak dan manusia.

Laboratorium Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Jambi.

http//:jojo66.wordpress.com. [29 Desember 2008].

Sutardi, T. 1980. Ketahanan protein makanan terhadap degradasi oleh mikroba

Rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produksi ternak. Prosiding Seminar dan Penunjang Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan. Lembaga Penelitian Peternakan, Bogor.

Thalib A, M. Wrohoinug, M. Sabrani, Y. Widiawati & D. Suherman.1994. The use of methanol extracted Sapindus rarak fruit as a defaunating agent of rumen protozoa. Ilmu dan Peternakan 7: 17-21.

Thalib. 2004. Uji efektivitas saponin buah sapindus rarak sebagai inhibitor

Metanogenesis secara in vitro. J. Ilmu Ternak dan Veteriner 9 (3): 164-171. Tilley, J. M. A. & R. A. Terry. 1963. A. Two-stage technique for the in-vitro digestion of

forage corps. J. British Grassland Soc. 18: 104-111.

Wallace, R. J. 2004. Antimicrobial properties of plant secondary metabolites. Proc. Nut. Soc. 63: 621-629.

Wina, E., S. Muetzel, E.M. Hoffmann, H.P.S. Makkar & K. Becker. 2005. Saponin containing methanol extract of Sapindus rarak affect microbial fermentation, microbial activity and microbial community structure in vitro. Anim. Feed. Sci. Technol. 121: 59-174.

Wina, E., S. Muezel, & K. Becker,. 2006. Effects of daily and interval feeding of Sapindus rarak saponins on Protozoa, rumen fermentation parameters and digestibility in sheep. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 19(11): 1580-1587.


(2)

Lampiran 1. Komposisi dan Cara Pembuatan Larutan McDougall

Cara untuk membuat larutan 1600 ml, sebanyak 1500 ml air destilasi dimasukkan ke dalam labu takar yang bervolume 2 liter lalu dimasukkan bahan-bahan sebagai berikut: NaHCO3 (15,68 g), NaHPO4.7H2O (11,2 g), KCl (0,912 g), NaCl (0,752 g), MgSO4.7H2O (0,2 g) dan CaCl2 0,064 g). CaCl2 ditambahkan paling akhir setelah bahan lainnya larut semurna. Kemudian leher labu di cuci dengan air destilasi hingga permukaan air mencapai 1600 ml. Campuran lalu dialiri dengan gas CO2 secara perlahan-lahan dengan cara melewatkan dengan tujuan menurunkan pH hinga mencapai 6,8.

Lampiran 2. Komposisi dan Cara Pembuatan Larutan Pepsin Pepsin powder 3,146 g

HCl (pekat) 19,58 ml


(3)

Cara pembuatan : semua bahan masukkan ke dalam labu Erlemayer ukuran 2000 ml, kemudian ditambahkan aquades sampai volume 1100 ml hingga semua bahan menjadi homogen.

Lampiran 3. Komposisi dan Pembuatan Garam Formalin

Formalin 35 % 10 ml

Tripan Blue 0,3 g

NaCl 8 g

Aquades 90 ml

Cara Pembuatan : larutkan NaCl dalam aquades beberapa ml, campurkan seluruh bahan dan homogenkan hingga larut.

Lampiran 4. Komposisi dan Pembuatan Media Agar 1. Media BHI (Brain Heart Infusion)

BHI powder 3,70 g

Glukosa 0,05 g

Selebiosa (CMC) 0,05 g

Starch 0,05 g

Cystein 0,05 g

Hemin (0,05%) 0,5 ml

Resazurin 0,05 ml

Aquades

Cara pembuatan : semua bahan dimasukkan kecuali cystein ke dalam botol Scotch, kemudian ditambahkan aquades sampai volume 100 ml. Larutan tersebut dimasak sampai mendidih dan didinginkan sambil dialirkan gas CO2, setelah larutan dingin, cystein dimasukkan. Larutan dicek pH 4 dan pH 7 sampai media pH 7, kemudian dialiri gas CO2 hingga berubah warna dari merah menjadi kuning.

2. Media pengenceran

Larutan Mineral I 7,5 ml Larutan Mineral II 7,5 ml

Cystein 0,05 g

Na2CO3 0,3 g

Resazurin (0,1%) 0,1 ml

Aquades 100 ml


(4)

K2HPO4 0,6 g

Aquades 100 ml

b. Larutan Mineral II

KH2PO4 0,6 g

NaCl 0,25 g

CaCl2 0,12 g

(NaH4)2SO4 1,2 g MgSO4.7H2O 0,25 g

Aquades 100 ml

Lampiran 5. Pembuatan larutan Pepsin 0,2%

Sebanyak 3,146 g pesin (1:10000) dilarutkan dalam 1000 ml air destilasi. Kemudian ditambahkan 19,58 ml HCl pekat dan campuran dimasukkan ke dalam labu takar. Air ditambahkan hingga permukaannya mencapai tanda tera.

Lampiran 6. Pembuatan Asam Borat Berindikator

Asam borat berindikator terdiri atas 2 larutan yaitu larutan A dan larutan B. Larutan A dibuat dengan melarutkan 4 gr asam borat (H3BO3) ilarutkan dalam aquades 70 ml dan dipanaskan diatas penangas air sehingga semua kristal H2BO3 terlarut. Setelah didinginkan, larutan dimasukkan ke dalam takar 100 ml. Larutan B dibuat dengan melarutkan 66 mg Brom Cresol Green (BCF) dan 33 mg Methyl Red (MR) dalam labu takar 100 ml, kemudian ditambahkan alkohol 95% sedikit demi sedikit sehingga semua bahan terlarut sempurna lalu ditambahkan alkohol 95% hingga tanda tera. Selanjutnya, 20 ml larutan B dimasukkan ke dalam larutan A yang sudah dingin dalam labu takar, kemudian ditambahkan aquades hingga tanda tera.


(5)

1. Kecernaan Bahan Kering dan Kecernaan Bahan Organik

Sumber Parameter Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F Sig.

Model terkoreksi KCBK 683.011

a

11 62.092 2.946 .013

KCBO 685.599b 11 62.327 1.721 .129

Intersep KCBK 113528.564 1 113528.564 5.386E3 .000

KCBO 115620.401 1 115620.401 3.192E3 .000

kelompok KCBK 510.947 3 170.316 8.080 .001

KCBO 424.547 3 141.516 3.907 .021

Rasio Pakan KCBK 75.218 2 37.609 1.784 .190

KCBO 124.165 2 62.083 1.714 .201

Suplementasi KCBK 45.271 2 22.635 1.074 .358

KCBO 124.812 2 62.406 1.723 .200

Rasio * Sup KCBK 51.575 4 12.894 .612 .658

KCBO 12.075 4 3.019 .083 .987

Galat KCBK 505.902 24 21.079

KCBO 869.360 24 36.223

Total KCBK 114717.477 36

KCBO 117175.360 36

Total Koreksi

KCBK 1188.913 35

KCBO 1554.959 35

Uji lanjut Duncan a. KCBK

b. KCBO

Ket : hasil analisa sidik ragam suplementasi pada KCBO tidak nyata (P>0,05) sehingga data yang ditampilkan hanya pada (P<0,1)

2. Populasi Bakteri Total

Rasio N

Subset, alfa=0,05 dan alfa=0,1

1

1 12 54.16

2 12 56.78

3 12 57.53

Sig. .101

Suplementasi N

Subset, alfa=0,05 dan alfa=0,1

1

2 12 55.26

3 12 55.48

1 12 57.74

Sig. .223

Suplementasi N Subset, alfa =0,1

1 2

2 12 54.27

3 12 56.95 56.95

1 12 58.80

Sig. .286 .458

Rasio Pakan N

Subset, alfa=0,05 dan alfa=0,1

1

1 12 54.89

2 12 55.89

3 12 59.23


(6)

Sumber Parameter Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F

Model terkoreksi 1.132a .103 11 .516 .874

Intersep 3479.230 3479.230 1 1.744E4 .000

Kelompok .633 .211 3 1.058 .385

Rasio Pakan .078 .039 2 .196 .823

Suplementasi .258 .129 2 .646 .533

Rasio * Suplemen .163 .041 4 .205 .933

Galat 4.788 .199 24

Total 3485.150 36

Total Koreksi 5.920 35

Uji lanjut Duncan Bakteri Total

Rasio Pakan N Subset, alfa=0,05

1

1 12 9.7650

3 12 9.8608

2 12 9.8667

Sig. .605

3. Protozoa Total

Sumber Parameter Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F

Model terkoreksi 1.028a .079 13 7.641 .000

Intersep 654.678 654.678 1 6.329E4 .000

Kelompok .508 .169 3 16.370 .000

Rasio Pakan .153 .076 2 7.383 .004

Suplementasi .215 .107 2 10.377 .001

Rasio * Suplemen .152 .025 6 2.450 .057

Galat .228 .010 22

Total 655.933 .079 36

Total Koreksi 1.255 35

Suplementasi N Subset,alfa=0,05

1

1 12 9.7208

3 12 9.8450

2 12 9.9267