Pendekatan matematis pada pembangkitan gelombang internal di Selat Makassar

(1)

PENDEKATAN MATEMATIS PADA PEMBANGKITAN

GELOMBANG INTERNAL DI SELAT MAKASSAR

HADI HERMANSYAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Pendekatan Matematis pada Pembangkitan Gelombang Internal di Selat Makassar adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011 Hadi Hermansyah G551090321


(3)

ABSTRACT

HADI HERMANSYAH. The Mathematical Approach on the Generation of Internal Waves in Makassar Strait. Under supervision of JAHARUDDIN and SISWANDI.

In Makassar strait, which is located between the islands of Kalimantan and Sulawesi, the fascinating phenomena of internal waves can be observed. Internal waves are gravity waves that oscillate within, rather than on the surface of, a fluid medium. Internal waves occur in the interior of water in seas, which exist due to a difference in density of the lower and upper layer of the fluid. Typical characteristics of internal waves are their large wavelength and amplitude. This research aims to derive a dispersion relation based on the basic equations of two-layers fluid, to determine the internal waves in the Makassar Strait, and to create a simulation of generation of the internal waves using the software Mathematica. The results show that the generation mechanism of these internal waves can be formulated based on the Kelvin-Helmholtz dispersion relation for a two-layers fluid. This dispersion relation can also be used as classification criteria of instability of internal waves. Emphasis is given to the types of instability, i.e. temporal and spatial instability. Temporal stability occurs if current velocity in the upper part of fluid is less than its critical velocity. For the spatial instability, internal waves in Makassar strait can be approximated for both layers as deep water waves. The spatially stable region is reached when the frequency of the lower part of fluid is smaller than the critical frequency, or when the frequency of the upper part of fluid is larger than the critical frequency.


(4)

RINGKASAN

HADI HERMANSYAH. Pendekatan Matematis pada Pembangkitan Gelombang Internal di Selat Makassar. Dibimbing oleh JAHARUDDIN dan SISWANDI.

Selat Makassar merupakan selat yang terletak di antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Selat ini juga menghubungkan Laut Sulawesi di bagian utara dengan Laut Jawa yang ada di bagian selatan. Selat Makassar termasuk kategori laut dalam dan merupakan salah satu alur laut kepulauan Indonesia. Terdapat fenomena menarik di selat tersebut yang perlu diamati yaitu munculnya gelombang internal. Gelombang internal adalah gelombang yang terjadi di bawah permukaan laut sehingga tidak teramati secara kasat mata. Keberadaan gelombang internal ini diakibatkan oleh rapat massa air laut yang tidak konstan. Perbedaan rapat massa ini diakibatkan oleh perbedaan suhu dan kadar garam pada setiap lapisan. Gelombang internal merupakan gelombang pada batas antara dua lapisan air dengan rapat massa berbeda. Secara umum, gelombang internal dibangkitkan oleh interaksi dari arus pasang surut (sebagai gaya pembangkit), lapisan fluida, dan topografi dasar dari fluida. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menurunkan suatu relasi dispersi berdasarkan persamaan dasar fluida dua-lapisan; (2) menggunakan relasi dispersi yang diperoleh untuk menentukan gelombang internal di Selat Makassar; dan (3) membuat simulasi pembangkitan gelombang internal di Selat Makassar dengan menggunakan software Mathematica dan menginterpretasikan hasil-hasil numerik yang diperoleh.

Persamaan dasar fluida dua lapisan diturunkan berdasarkan asumsi fluida tak mampat dan tak kental yang tak berotasi. Penurunan persamaan dasar fluida menggunakan hukum kekekalan massa dan hukum kekekalan momentum. Terdapat dua syarat batas, yaitu syarat batas kinematik dan dan syarat batas dinamik. Syarat batas kinematik muncul karena gerak dari partikel fluida itu sendiri. Syarat batas dinamik terjadi karena adanya gaya-gaya yang bekerja pada fluida atau karena adanya kekontinuan tekanan pada masing-masing batas kedua lapisan. Persamaan dasar yang diperoleh berupa persamaan Laplace. Penyelesaian persamaan dasar fluida tersebut diasumsikan berupa gelombang monokromatik, sehingga diperoleh suatu relasi yang merupakan persamaan kuadrat dalam frekuensi gelombang. Penyelesaian dari persamaan kuadrat tersebut merupakan suatu relasi dispersi Kelvin-Helmholtz. Berdasarkan relasi ini diturunkan suatu kriteria pembangkitan dan ketakstabilan gelombang internal.

Dalam penelitian ini difokuskan pada dua bentuk ketakstabilan gelombang internal, yaitu ketakstabilan temporal dan ketakstabilan spasial. Pada ketakstabilan temporal, diasumsikan ketebalan masing-masing fluida berhingga, sehingga diperoleh suatu persamaan untuk menentukan kecepatan arus kritis yang bergantung pada ketebalan dan rapat massa dari kedua lapisan. Kestabilan temporal terjadi bilamana kecepatan arus lapisan atas lebih kecil dari kecepatan arus kritisnya. Selanjutnya, pada ketakstabilan spasial diasumsikan domain fluida kedua lapisan memiliki ketebalan yang cukup besar. Dalam hal ini diperoleh suatu kriteria kestabilan spasial. Kestabilan spasial terjadi bilamana untuk nilai frekuensi gelombang lebih besar dari nol, frekuensi gelombang pada lapisan bawah lebih kecil dari frekuensi kritisnya, dan untuk nilai frekuensi gelombang


(5)

lebih kecil dari nol, frekuensi gelombang pada lapisan atas lebih besar dari frekuensi kritisnya.

Berdasarkan data oseanografi dari Selat Makassar, diturunkan suatu kriteria pembangkitan dan kestabilan gelombang internal di Selat Makassar. Dalam penelitian ini digunakan beberapa asumsi. Pertama, kedalaman pada lapisan atas adalah 300 meter. Ketebalan dipilih berdasarkan kondisi oseanografi Selat Makassar dimana pada ketebalan 300 meter terjadi perubahan kerapatan yang sangat cepat. Ketebalan lapisan bawah diasumsikan 1500 meter. Kedua, kecepatan arus pada lapisan bawah sangat kecil, sedangkan kecepatan arus pada lapisan atas berubah terhadap kedalaman. Ketiga, tegangan permukaan diasumsikan sama dengan nol, dan diasumsikan rapat massa lapisan bawah dan lapisan atas masing-masing adalah 1035 kg/m3 dan 1024 kg/m3.

Hasil dari studi kasus mengenai gelombang internal di Selat Makassar disimpulkan sebagai berikut. Jika kecepatan arus pada lapisan atas dibuat mengecil, maka bilangan gelombang membesar, atau dengan kata lain panjang gelombang yang terjadi semakin mengecil. Jadi, kecepatan fase membesar. Sebagai simulasi, untuk membangkitkan gelombang dengan panjang 50 m dan stabil, maka diperlukan adanya arus dengan kecepatan kurang dari 1.26 m/s. Selain itu, untuk membangkitkan gelombang dengan frekuensi -0.01 Hz dan stabil, maka diperlukan adanya arus dengan kecepatan kurang dari 2.2 m/s. Hasil lainnya, apabila kecepatan arus ditetapkan 1 m/s, maka gelombang akan stabil pada frekuensi antara -0.02 dan 0.12. Dalam hal ini bilangan gelombang menjadi dua kali lipat.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(7)

PENDEKATAN MATEMATIS PADA PEMBANGKITAN

GELOMBANG INTERNAL DI SELAT MAKASSAR

HADI HERMANSYAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Matematika Terapan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

(9)

Judul Tesis : Pendekatan Matematis pada Pembangkitan Gelombang Internal di Selat Makassar

Nama : Hadi Hermansyah NRP : G551090321

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Jaharuddin, M.S. Ketua

Drs. Siswandi, M.Si. Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi S2 Matematika Terapan

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Endar H. Nugrahani, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.


(10)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga tugas akhir yang berjudul “Pendekatan Matematis pada Pembangkitan Gelombang Internal di Selat Makassar” ini bisa terselesaikan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Matematika Terapan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Jaharuddin, M.S. dan Bapak Drs. Siswandi, M.Si. selaku pembimbing, pendidik, dan pengajar yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan, nasehat serta motivasi kepada penulis. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dirjen Dikti yang telah memberikan beasiswa kepada penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor periode 2009 s/d 2011. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada anak dan istri tercinta, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2011


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bima, NTB pada tanggal 19 Juni 1983 dari ayah Aswin Mansyur dan Ibu Siti Khadijah. Penulis merupakan putera kedua dari tiga bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Raba, pada tahun 2002 lulus seleksi masuk UNM Makassar melalui jalur UMPTN dan diterima di Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Statistika Dasar dan Statistika Terapan, serta mata kuliah Aljabar Elementer.

Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan strata satu dan berhasil menjadi wisudawan terbaik pada tingkat universitas untuk kategori sains. Mulai tahun 2006 sampai sekarang, penulis menjadi staf pengajar pada Program Studi Matematika, FMIPA Universitas Cokroaminoto Palopo. Di samping itu, penulis juga menjadi staf pengajar di Program Studi Matematika FMIPA Universitas Lambung Mangkurat mulai tahun 2007-2009.

Pada tahun 2009 penulis diberi kesempatan melanjutkan studi pada Program Studi Matematika Terapan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa dari Dirjen Dikti.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Sistematika Penulisan ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Oseanografi Selat Makassar ... 5

2.1.1 Topografi Selat Makassar... 5

2.1.2 Kecepatan Arus di Selat Makassar ... 5

2.1.3 Profil Kerapatan di Selat Makassar ... 7

2.2 Persamaan Dasar ... 7

2.2.1 Persamaan Dasar Fluida ... 7

2.2.2 Syarat Batas ... 11

2.2.3 Fluida Dua Lapisan ... 13

3 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

3.1 Relasi Dispersi ... 15

3.2 Ketakstabilan Gelombang Internal ... 17

3.3.1 Ketakstabilan Temporal ... 17

3.3.2 Ketakstabilan Spasial ... 18

3.3 Pembangkitan Gelombang Internal di Selat Makassar ... 20

3.4 Ketakstabilan Gelombang Internal di Selat Makassar ... 22

3.4.1 Ketakstabilan Temporal ... 22

3.4.2 Ketakstabilan Spasial ... 23

4 SIMPULAN DAN SARAN ... 27

4.1 Simpulan ... 27

4.2 Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Arus Lintas Indonesia ... 5

2.2 Profil kecepatan arus di Selat Makassar ... 6

2.3 Profil Suhu (merah), Kadar Garam (hijau) dan Kerapatan (biru) serta kerapatan fluida dua lapisan (orange) ... 7

2.4 Laju perubahan massa ... 8

2.5 Perubahan momentum pada arah x ... 9

2.6 Perubahan momentum pada arah y ... 10

2.7 Domain fluida satu lapisan ... 12

2.8 Domain fluida dua lapisan ... 13

3.1 Grafik frekuensi gelombang �(�) ... 21

3.2 Kecepatan Fase Gelombang pada lapisan atas (garis putus-putus dan pada lapisan bawah (garis kontinu) untuk Ua berbeda-beda ... 22

3.3 Daerah ketakstabilan gelombang internal berdasarkan persamaan (3.12) ... 22

3.4 Hubungan frekuensi gelombang dan kecepatan arus ... 23

3.5 Daerah ketakstabilan gelombang internal berdasarkan persamaan (3.17) ... 24

3.6 Hubungan bilangan gelombang dan kecepatan arus untuk �= −0.01 ... 24


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Penurunan persamaan (2.17) ... 30

2 Penurunan persamaan (2.18) ... 30

3 Penurunan persamaan (2.19) ... 31

4 Penurunan persamaan (2.26) ... 33


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selat Makassar merupakan selat yang terletak di antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Selat ini juga menghubungkan Laut Sulawesi di bagian utara dengan Laut Jawa yang ada di bagian selatan. Selat Makassar termasuk kategori laut dalam dan merupakan salah satu alur laut kepulauan Indonesia. Terdapat fenomena menarik di selat tersebut yang perlu diamati, yaitu munculnya gelombang internal. Gelombang internal adalah gelombang yang terjadi di bawah permukaan laut sehingga tidak teramati secara kasat mata. Keberadaan gelombang internal ini diakibatkan oleh rapat massa air laut yang tidak konstan. Perbedaan rapat massa ini diakibatkan oleh perbedaan suhu dan kadar garam pada setiap lapisan. Salah satu contoh gelombang internal adalah gelombang permukaan air yang merupakan gelombang pada batas antara dua fluida dengan rapat massa yang berbeda, yaitu air dan udara. Gelombang internal merupakan gelombang pada batas antara dua lapisan air dengan rapat massa berbeda.

Gelombang internal terbentuk akibat adanya pertemuan antara lapisan-lapisan air laut yang memiliki kerapatan yang berbeda dengan gaya pembangkit yang dapat berasal dari angin, pasang surut atau bahkan gerakan kapal laut. Kerapatan air laut dipengaruhi oleh tiga parameter yaitu kadar garam, suhu, dan tekanan. Perbedaan kerapatan akan mengakibatkan air laut menjadi berlapis-lapis di mana air dengan kerapatan yang lebih besar akan berada di bawah lapisan air dengan kerapatan yang lebih kecil. Kondisi seperti ini menyebabkan adanya batas kedua lapisan fluida (interface) di mana jika terjadi gangguan dari luar (oleh gaya pembangkit yang ada), maka timbul gelombang antarlapisan yang tidak memengaruhi gelombang di permukaan.

Gelombang internal hanya dapat dideteksi dengan cara melakukan pengamatan atau pengukuran langsung pada pycnocline (lapisan di mana kerapatan air laut berubah secara cepat terhadap ketebalan) atau thermocline (lapisan di mana suhu air laut berubah secara cepat terhadap ketebalan) dengan menggunakan sensor-sensor pengukuran suhu dan kadar garam air laut, serta


(16)

2

kecepatan arus. Secara visual, gelombang internal baru bisa dilihat jika dilakukan percobaan di laboratorium atau mengamatinya dari udara atau ruang angkasa dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh (remote sensing).

Secara umum, gelombang internal dibangkitkan oleh interaksi dari arus pasang surut (sebagai gaya pembangkit), lapisan fluida, dan topografi dasar dari fluida.

Pujiana (2005) menjelaskan bahwa gelombang internal di Selat Lombok terbangkitkan pada setiap sisi sill (palung), dan selanjutnya bergerak menjauhi palung. Sisi selatan palung yang curam menyebabkan amplitudo gelombang internal di sisi tersebut lebih besar dibandingkan dengan amplitudo pada sisi utara palung yang landai.

Kajian tentang gelombang internal telah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya oleh Pujiana (2005), yang mengkaji dinamika gelombang internal di Selat Lombok. Dalam penelitian tersebut mekanisme pembangkitan gelombang internal di Selat Lombok dikaji dengan menggunakan model dalam tiga dimensi yang melibatkan pendekatan hidrostatis dan Boussinesq pada persamaan dasarnya. Selain itu, Jaharuddin (2006) mengkaji gelombang soliter internal di Selat Lombok. Dalam penelitian ini kajian matematik gelombang internal dilakukan dengan menurunkan persamaan gerak gelombang internal menggunakan pendekatan metode asimtotik. Penelitian gelombang internal di Selat Lombok juga dilakukan oleh Rachmayani, dkk (2008), yang mengkaji dinamika penjalaran gelombang internal di Selat Lombok. Dalam penelitian tersebut memperlihatkan keberadaan gelombang soliter di bagian utara dan selatan Selat Lombok.

Masalah yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah bagaimana pembangkitan gelombang internal di Selat Makassar. Selat Makassar memiliki peran penting sebagai jalur utama arus lintas Indonesia (Arlindo) yang membawa massa air hangat dari Samudera Pasifik menuju Lautan Hindia (Gordon, et al., 2003; Wajsowicz, et al., 2003). Faktor penting untuk menggambarkan karakteristik atau sifat-sifat massa air adalah suhu, kadar garam dan kerapatan. Kerapatan merupakan komponen utama dalam mengenali massa air pada suatu perairan. Hanya pada masa peralihan musim di bulan April/Mei dan


(17)

3

November/Desember arus yang bergerak ke selatan berbalik ke utara karena pengaruh masuknya gelombang Kelvin dari ekuator Samudera Hindia (Sprintall, 1999). Arlindo memiliki peran penting dalam perubahan iklim dunia dan berpengaruh besar pada dinamika yang terjadi pada Samudera Pasifik dan Samudera Hindia (Sprintall, 2003).

Selat Makassar juga telah diketahui memiliki peran penting pada pertukaran energi dari Samudera Hindia memasuki perairan di kepulauan Indonesia. Massa air laut bergerak dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia melewati selat-selat di perairan Nusantara. Alat pantau dipasang di selat-selat Indonesia guna mengetahui kecepatan arus, massa air dan besaran volumenya. Hasil pantauan pelampung memperlihatkan bahwa massa Arlindo yang melewati Selat Makassar mencapai 9 juta meter kubik per detiknya.

Kajian mengenai gelombang internal di Selat Makassar sangat penting dilakukan untuk mendapatkan perkiraan mengenai frekuensi dan kecepatan gelombang internal. Dalam penelitian ini pembangkitan gelombang internal di Selat Makassar akan memanfaatkan relasi dispersi yang diturunkan dari persamaan dasar fluida dua lapisan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan tambahan khasanah pengetahuan tentang teori pembangkitan gelombang internal, khususnya di Selat Makassar.

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menurunkan suatu relasi dispersi berdasarkan persamaan dasar fluida

dua-lapisan.

2. Menggunakan relasi dispersi yang diperoleh untuk menentukan gelombang internal di Selat Makassar.

3. Membuat simulasi pembangkitan gelombang internal di Selat Makassar dengan menggunakan software Mathematica dan menginterpretasikan hasil-hasil numerik yang diperoleh.


(18)

4

1.3 Sistematika Penulisan

Secara garis besar, penulisan tesis ini di bagi menjadi tiga bagian, yakni bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir tesis. Bagian awal tesis ini secara berturut-turut berisi halaman pernyataan, abstrak, ringkasan, halaman hak cipta, halaman judul, halaman pengesahan, prakata, riwayat hidup, daftar isi, daftar gambar, dan daftar lampiran. Bagian isi terdiri dari lima bab yakni: Bab Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab Tinjauan Pustaka berisi teori yang dijadikan sebagai acuan dalam penelitian yang merupakan tinjauan dari buku-buku pustaka. Dalam bagian ini dibahas tentang oseanografi Selat Makassar, persamaan dasar fluida, syarat batas, dan fluida dua lapisan. Bab Hasil Penelitian dan Pembahasan, berisi penurunan suatu relasi dispersi yang meupakan relasi dispersi Kelvin-Helmholtz, ketakstabilan temporal dan spasial, serta pembangkitan gelombang internal di Selat Makassar. Bab Simpulan dan Saran, berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian ini. Bagian akhir tesis berisikan daftar pustaka yang memberikan informasi tentang buku atau sumber-sumber yang digunakan sebagai acuan dalam penulisan tesis ini dan lampiran-lampiran dari hasil penelitian.


(19)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Oseanografi Selat Makassar 2.1.1. Topografi Selat Makassar

Selat Makassar terletak pada (2052′S, 118027′E) dan (2051′S, 118038′E). Berdasarkan hasil pantauan pada tahun 1997, perkiraan total massa Arlindo yang melewati selat ini adalah 11.3, 9.3 dan 6.6 Sv (1 Sv ≡106 m3

/s). Topografi dan lokasi Selat Makassar diperlihatkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Arus Lintas Indonesia

Selat Makassar memiliki kedalaman sekitar 2000 m dengan lebar 200 km, kecuali di saluran Labani di mana lebarnya berkurang yaitu hanya mencapai 50 km.

2.1.2 Kecepatan Arus di Selat Makassar

Arus adalah proses pergerakan massa air menuju kesetimbangan yang menyebabkan perpindahan horizontal dan vertikal massa air. Gerakan tersebut merupakan resultan dari beberapa gaya yang bekerja dan beberapa faktor yang

Labani Channel


(20)

6

memengaruhinya. Arus laut (sea current) adalah gerakan massa air laut dari satu tempat ke tempat lain baik secara vertikal (gerak ke atas) maupun secara horizontal (gerakan ke samping).

Faktor penting yang memengaruhi kecepatan arus untuk karakteristik oseanografi lokal adalah air pasang. Pasang surut di laut Indonesia sebagian besar dihasilkan oleh perambatan gelombang pasang dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia (Schiller, A., 2004). Jadi, pasang surut di Selat Makassar dihasilkan oleh gelombang pasang dari Samudera Hindia. Pasang surut semi-diurnal (S-2), dengan jangka waktu 12,4 jam dan pasang semi-diurnal dengan jangka waktu 24,8 jam menyebabkan amplitudo terbesar. Berdasarkan data penelitian Susanto et al. (2000) dan Ffield et al. (2000), pasang surut semidiurnal (S-2) dan diurdinal (S-1) menguat selama kurun waktu dua minggu dengan amplitudo sekitar 0,50 m/s.

Pada penelitian ini, data yang berkaitan dengan kecepatan arus di Selat Makassar mengacu pada data pengamatan yang dilakukan oleh Wajsowicz et al pada tahun 1998, yang diukur dengan menggunakan Lowered Acoustic Doppler

Current Profiler (LADCP). Profil kecepatan arus diberikan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Profil kecepatan arus di Selat Makassar

Pada Gambar 2.2 terlihat profil kecepatan arus berupa fungsi linear terhadap kedalaman pada kedalaman antara 500-750 m dan 750-1500 m. Kecepatan arus pada kedalaman di atas 100 m berkisar antara 0.5-1 m/s. Pada kedalaman 300 m, kecepatan arus hanya mencapai 0.2 m/s. Data pengukuran ini juga sesuai dengan data pengukuran yang telah dilakukan oleh Murray & Arief


(21)

7

(1988). Gambar 2.2 juga memperlihatkan bahwa kecepatan arus mulai menunjukkan penurunan yang signifikan pada kedalaman 800 m.

2.1.3. Profil Kerapatan di Selat Makassar

Pada penelitian ini, data profil kerapatan mengacu pada data hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pujiana, dkk (2009). Terdapat perbedaan kerapatan fluida antara lapisan atas dan lapisan bawah, perbedaan tersebut diakibatkan oleh adanya perbedaan kadar garam dan suhu.

Gambar 2.3. Profil Suhu (merah), Kadar Garam (hijau) dan Kerapatan (biru) serta kerapatan fluida dua lapisan (orange)

Pada Gambar 2.3 terlihat bahwa pada ketebalan sampai 300 m lapisan fluida memiliki suhu yang tinggi, pada lapisan di bawah 300 m suhu fluida menunjukkan penurunan yang signifikan sampai 80. Pycnocline, yaitu lapisan di mana kerapatan air berubah secara cepat terhadap ketebalan, terjadi pada kedalaman 300 m. Dengan demikian interface dari kondisi Selat Makassar ditetapkan pada kedalaman 300 m.

2.2 Persamaan Dasar

2.2.1 Persamaan Dasar Fluida

Penurunan persamaan dasar fluida menggunakan hukum kekekalan massa dan hukum kekekalan momentum serta mengikuti alur pada pustaka (Vallis Geoffrey, 2006). Misalkan � menyatakan rapat massa fluida, x dan y masing-masing menyatakan koordinat horizontal dan koordinat vertikal, serta t


(22)

8

menyatakan waktu. Selanjutnya, u dan w masing-masing menotasikan kecepatan partikel dalam arah horizontal dan vertikal. Penurunan persamaan dasar fluida mengacu pada perubahan massa pada elemen fluida satu lapisan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Laju perubahan massa

Berdasarkan Gambar 2.4, � ∆ dan � ∆ masing-masing menyatakan massa yang masuk dari arah horizontal dan vertikal per satuan waktu. Besaran

� +∆ ∆ dan � +∆ ∆ masing-masing menyatakan massa yang keluar dari

arah horizontal dan vertikal per satuan waktu. Jadi, hukum kekekalan massa yang menyatakan bahwa laju perubahan massa pada elemen luas tersebut merupakan selisih massa yang masuk dengan massa yang keluar per satuan waktu dapat dituliskan

∆ ∆ �� = � ∆ + � ∆ − � +∆ ∆ − � +∆ ∆

atau dapat ditulis

∆ ∆ �� = ∆ � − � +∆ +∆ � − � +∆ . (2.1)

Jika kedua ruas pada persamaan (2.1) dibagi dengan ∆ ∆ , maka akan menghasilkan persamaan sebagai berikut

�� � =

� −� +∆

∆ +

� −� +∆

∆ . (2.2) Untuk ∆ →0 dan ∆ →0, maka diperoleh

��

� =−��� −��� . (2.3)

+∆

� � +∆

� +∆


(23)

9

+∆

� � +∆

� +∆

+∆

Jika dinotasikan ∇= � � ,

� dan � = ( , ) serta notasi turunan total � terhadap t, yakni

��

� =��� + ��� + ��� , maka persamaan (2.3) menjadi

��

� =−� ∇ • � (2.4) dengan

∇ • � = � ,� • , =� +� .

Dengan menggunakan asumsi fluida tak termampatkan, yaitu fluida yang mengalir tanpa mengalami perubahan volume atau massa jenis, maka diperoleh

��

� = 0 (2.5) sehingga dari persamaan (2.4) diperoleh

∇ • � = 0. (2.6) Persamaan (2.5) dan (2.6) dapat dituliskan:

� + � + � = 0

ux +wy = 0. (2.7)

Persamaan (2.7) disebut persamaan kontinuitas fluida yang tak termampatkan. Hukum kekekalan momentum menyatakan bahwa laju perubahan momentum adalah selisih momentum yang masuk dengan momentum yang keluar ditambah gaya-gaya yang bekerja pada elemen luasnya.


(24)

10

+∆

� � +∆

� +∆

+∆

Dari Gambar 2.5, laju perubahan momentum dalam elemen luas pada komponen-x adalah

∆ ∆ �� = ∆ � − � +∆ +∆ � − � +∆

+∆ � − � + (2.8) dengan ∆ � − � + menyatakan jumlah gaya yang bekerja pada komponen-x dan P tekanan.

Jika kedua ruas pada persamaan (2.8) dibagi dengan ∆ ∆ , maka untuk

∆ → 0 dan ∆ →0 diperoleh

�(� )

� =−� �� −� �� −��� . (2.9) Dengan menggunakan asumsi fluida tak termampatkan, maka persamaan (2.9) dapat diubah menjadi

�� = −��

� . (2.10) Laju perubahan momentum dalam elemen luas pada komponen-y ditunjukkan oleh Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Perubahan momentum pada arah y

Jika ∆ � − � + +��∆ ∆ merupakan gaya yang bekerja pada komponen-y, dengan g menyatakan percepatan gravitasi, maka laju perubahan momentum dalam elemen luas pada komponen-y dapat ditulis sebagai berikut


(25)

11

∆ ∆ �(� ) =∆ � − � +∆ +∆ � − � ﲊ +∆

+∆ � − � +∆ +��∆ ∆ . (2.11)

Jika kedua ruas pada persamaan (2.11) dibagi dengan ∆ ∆ , maka untuk

∆ →0 dan ∆ →0 diperoleh

�(� )

� =−� �� −� �� −��� +��. (2.12) Dengan menggunakan asumsi fluida tak termampatkan, maka persamaan (2.12) dapat diubah menjadi

�� = −��

� +��. (2.13) Persamaan (2.10) dan (2.13) dapat dituliskan:

� + + +� = 0

� + + +� +��= 0. (2.14) Dari persamaan (2.7) dan (2.14) diperoleh persamaan dasar untuk fluida ideal (fluida tak mampat dan tak kental) sebagai berikut:

� + � + � = 0 ux + wy = 0

� + + +� = 0

� + + +� +�� = 0.

Berdasarkan asumsi irrotational, maka terdapat fungsi � yang merupakan potensial kecepatan yang memenuhi � =∇� atau (u, w) =∇�, sehingga dari persamaan (2.6) diperoleh

�2

� 2 +

�2

� 2 = 0. (2.16)

2.2.2 Syarat Batas

Terdapat dua syarat batas, yaitu syarat batas kinematik dan syarat batas dinamik. Syarat batas kinematik muncul karena gerak dari partikel fluida itu (2.15)


(26)

12

sendiri. Syarat batas dinamik terjadi karena adanya gaya-gaya yang bekerja pada fluida. Perhatikan Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Domain fluida satu lapisan

Misalkan (x, y) menyatakan posisi partikel fluida, dan pada y = 0 merupakan posisi kesetimbangan (posisi keadaan tak terganggu). Selanjutnya, dimisalkan kurva = �0( , ) merupakan batas atas permukaan atau kurva yang membatasi

air dan udara, sehingga S(x,y,t) = 0 , − = 0 adalah persamaan permukaan. Jadi, syarat batas kinematiknya adalah

0 +�� � �0 −

��

� = 0 di =�0 , (2.17)

atau

��0

� +��� ��0

� −��� = 0 di =�0 , .

Persamaan (2.17) disebut syarat batas kinematik pada permukaan fluida. Syarat batas kinematik pada dasar fluida yang rata, misal y=-h adalah

��

� = 0. (2.18) Selanjutnya syarat batas dinamik diperoleh dari persamaan dasar fluida (2.14), yaitu

�� � +

1

2 ∇�

2+��

0= 0 ( 2.19)

pada permukaan = �0( , ).

udara

air

=�0( , )


(27)

13

Persamaan (2.19) disebut syarat batas dinamik pada permukaan fluida. Penurunan persamaan (2.17) – (2.19) dapat dilihat pada Lampiran 1.

2.2.3 Fluida Dua Lapisan

Gambar 2.8. Domain fluida dua lapisan

Misalkan (x, y) menyatakan posisi partikel fluida dua lapisan dan pada y = 0 merupakan posisi kesetimbangan yang memisahkan kedua lapisan fluida. Selanjutnya, dimisalkan lapisan atas pada 0 < y < ha dan lapisan bawah pada

-hb < y < 0, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.8. Kecepatan arus dalam arah

horizontal dinotasikan U0(z). Rapat massa pada lapisan atas dan lapisan bawah

masing-masing dinotasikan � dan � . Simpangan gelombang di batas kedua lapisan dinotasikan dengan � ( , ).

Analog dengan asumsi fluida irrotational pada fluida satu lapisan, pada fluida dua lapisan diperoleh persamaan berikut:

�2

� � 2 +

�2

� 2 = 0, untuk 0 < < ℎ (2.20)

�2

� 2 +

�2

� 2 = 0, untuk − ℎ < < 0. (2.21)

Secara spesifik, domain fluida dua lapisan memenuhi –hb < y < ha. Domain

fluida tersebut dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

� ,� ,� = , : � , < <ℎ +� ,

� ,� = , :−ℎ < < � , .

Kemudian syarat batas kinematik pada =� , diperoleh dari analogi syarat batas permukaan fluida satu lapisan pada persamaan (2.17), yaitu:

= 0

=−ℎ

=ℎ

� �

= ℎ


(28)

14

��

� =∇� .�(1 +�

2 �

� 2) 1/2

dan (2.22) ��

� =∇� .�(1 +�

2 �

� 2) 1/2

.

Penurunan persamaan (2.22) dapat dilihat pada Lampiran 1. Kondisi batas di =� , adalah:

�� � +� � � � = �� � , �� � +� �� � = ��

� . (2.23) Syarat batas dinamik di =� , diperoleh dari kekontinuan tekanan pada batas kedua lapisan fluida, yaitu

� � �� +�� � +�� = � � �� � + �� � +�� +� �2

� 2 , (2.24)

dengan Ua dan Ub masing-masing kecepatan arus pada lapisan atas dan lapisan

bawah, dan � koefisien tegangan permukaan.

Apabila batas bawah di y =−ℎ dan di permukaan = ℎ berupa batas rata, maka:

��

� = 0 pada = ℎ (2.25) ��


(29)

15

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1Relasi Dispersi

Pada bagian ini akan dibahas relasi dispersi untuk gelombang internal pada fluida dua-lapisan.Tinjau lapisan fluida dengan dan berturut-turut merupakan kerapatan fluida pada lapisan atas dan lapisan bawah.Misalkan gelombanginternal yang ditinjau berupa gelombang monokromatik berikut

� ,� =���(� −��),

dengan� merupakan frekuensi gelombang dank menyatakan bilangan gelombang serta A suatu konstanta.Panjang gelombang dapat ditentukan berdasarkan persamaan

�= 2.

Penyelesaian persamaan (2.20) dengan syarat batas sesuai persamaan (2.25) dinyatakan dalam bentuk

� , ,� =� cosh � − ℎ ��� −�� . (3.1a) Kemudian penyelesaian persamaan (2.21) dengan syarat batas sesuai persamaan (2.26) dinyatakan dalam bentuk

� , ,� = � cosh � +ℎ ��� −�� . (3.1b) Penurunan persamaan (3.1a) dan (3.1b) dapat dilihat pada lampiran II.

Jika persamaan (3.1a) disubstitusikan ke dalam kondisi batas kinematik pada persamaan (2.23), maka di y = 0 diperoleh

� � sinh �ℎ �� � −�� =−����� � −�� +� ����� � −�� . (3.2a) Selanjutnya, jika persamaan (3.1b) disubstitusikan ke dalam kondisi batas kinematik pada persamaan (2.23), maka di y = 0 diperoleh

� � sinh �ℎ �� � −�� =−����� � −�� +� ����� � −�� . (3.2b) Berdasarkan persamaan (3.2a) dan (3.2b) diperoleh

� =�� �� − �


(30)

16

� =�� �� − �

� sinh �ℎ . (3.3b) Jika� dan � pada persamaan (3.1a) dan (3.1b) disubstitusikanke dalam kondisi batas dinamik pada persamaan (2.24), maka diperoleh

� ��� cosh⁡(�ℎ )�� � −�� − ��� cosh �ℎ �� � −�� +���� � −�� = � −��� cosh⁡(�ℎ )�� � −��

+��� cosh �ℎ �� � −�� +���� � −��

+�(��)2��� � −�� . (3.4) Jika kedua ruas pada persamaan (3.4) dibagi dengan �� � −�� , maka diperoleh

� ��� cosh⁡(�ℎ ) − ��� cosh �ℎ +��

= � −��� cosh⁡(�ℎ ) +��� cosh �ℎ +��

+��(��)2, atau

Jika bentuk Aadan Ab pada persamaan (3.3a) dan (3.3b) disubstitusikan ke dalam

persamaan (3.5) dan dieliminasikanA, maka diperoleh

� � − � � � �� − �

sinh �ℎ cosh �ℎ +�

= − � � − � � � �� − �

� sinh �ℎ cosh �ℎ +� +� �� 2, atau

Jika persamaan (3.6) dikalikan dengan k, maka diperoleh +��(��)2. (3.5)

� � − � �� cosh �ℎ +�� = − � � − � �� cosh �ℎ +��

� � − � 2 −1

� tanh �ℎ +�

= � � − � 2 1

� tanh �ℎ +� +� ��

2. (3.6)


(31)

17

(3.7) atau

atau

(� +� )�2−2� � � +� � �+�2 � �2+� �2 − �� − +��3= 0,

dengan

� =

tanh �ℎ , � =tanh �ℎ .

Persamaan (3.7) merupakan persamaan kuadrat dalam �dengan penyelesaian dalam bentuk:

� , � =

� � � +� �

� +� ±� +� , (3.8) dengan

= �2 � � +� � 2( + ) �2 � �2+� �2 − �� − +(� +� ) ��3.

Persamaan (3.8) merupakan relasi dispersi dari persamaan dasar fluida ideal yang tak berotasi.Relasi dispersi ini merupakan relasi dispersi Kelvin-Helmholtz (Visser, 2004). Relasi ini yang akan dikaji dalam penelitian ini.

3.2. Ketakstabilan Gelombang Internal

Perubahan amplitudo gelombang sangat berpengaruh pada terjadinya ketakstabilan gelombang internal.Perubahan amplitudo dapat diakibatkan oleh perubahan bilangan gelombang, frekuensi gelombang, dan kecepatan arus.Amplitudo yang meningkat secara terus menerus menyebabkan gelombang internal tidak stabil.

3.2.1. Ketakstabilan Temporal

Ketaksabilan dari gelombang internal ditentukan dari bagian imajiner pada relasi dispersi Kelvin-Helmholtz pada persamaan (3.8). Bagian imajiner dari persamaan (3.8) diperoleh bilamana (� +� )2 < 0, sehingga diperoleh

�2 � � +� � 2( + ) �2 � �2+� �2 − �� −

+(� +� )��3 = 0. (3.9)


(32)

18

Misalkan kecepatan arus pada lapisan bawah sangat kecil (Ub= 0) dan tegangan

permukaan �=0, maka persamaan (3.9) menjadi:

−� � �22+�� − ( + ) = 0. (3.10) Kestabilan temporal dihasilkan dari

−� � �22+�� − ( + ) < 0, atau

�2

>� − (� +� )

�� � .

Nilai kritis dari kestabilan temporal adalah

� ���= � −

(� +� )

�� � . (3.12)

Dengan demikian kestabilan temporal terjadi bilamana |Ua| <Uacrit.

3.2.2. Ketakstabilan Spasial

Misalkan � = 0 dan Ub = 0, maka persamaan (3.7)menjadi

(� +� )�2−2� � � �+�2 � �2 − �� − = 0 (3.13) Persamaan (3.13) merupakan persamaan taklinear terhadap k yang penyelesaiannya secara analitik sulit dilakukan, untuk itu diperlukan beberapa asumsi. Misalkan diasumsikan domain fluida dua lapisan masing-masing memiliki ketebalan yang cukup besar (kha>>0 dan khb>>0), sehingga Sa = dan

Sb= . Berdasarkan asumsi tersebut persamaan (3.13) menjadi

( + )�2−2� � �+�2 �2 − �� − = 0,

atau

�2 �2 − � 2 � �+� − + + �2 = 0. (3.14)

Persamaan (3.14) berupa persamaan kuadrat dalam k dengan penyelesaian dalam bentuk:

� , �,� =

2 � �+� −

2 �2

±

2 � �+� − 2−4 �2 + �2

2 �2 ,


(33)

19

atau

� , �,� =

2 � �+� −

2 �2 ± 4

222+ 4 � �� − +2 − 24 2 + 2

2 �2 ,

atau

� , �,� =

2 � �+� −

2 �2 ± (4

224 2 + )2+ 4 � − �� +2 − 2

2 �2 ,

atau

� , �,� =

2 � �+� −

2 �2 ± (−4 �

2)2+ 4 � − �� +2 − 2

2 �2 . (3.15)

Ketakstabilan dari gelombang internal ditentukan dari bagian imajiner pada persamaan (3.15).Bagian imajiner dari persamaan (3.15) diperoleh bilamana (2 �2)2< 0,sehingga nilai kritis dari kestabilan spasial berbentuk

(4 �2)�2 −4 − �� � − �2 − 2 = 0 (3.16)

Persamaan (3.16) merupakan persamaan kuadrat dalam � dengan penyelesaian dalam bentuk:

� , ��� =

− �

2 � ±

(4 − �� )2+ 4(4 2)2 − 2

2 �2 ,

atau

� , ��� =

− �

2 � ±

16 2 − 222+ 16 2)2 − 2

8 �2 ,

atau

� , ��� =

− �

2 � ±

4� � − + 2


(34)

20

atau

� , ��� =

± + 2 − �

2 � . (3.17) Dengan demikian kestabilan spasial terjadi bilamana � < � ��� (untuk �> 0) dan �> � ��� (untuk � < 0).

3.3. PembangkitanGelombang Internal di Selat Makassar

Pada bagian ini akan diuraikan skenario pembangkitan gelombang internal di Selat Makassar. Skenario tersebut menggunakan relasi dispersi pada persamaan (3.8). Terdapat dua skenario yang akan digunakan, yaitu simulasikecepatan arus dan panjang gelombang internal yang ditinjau pada Selat Makassar.

Berikut ini akan dikaji relasi dispersi pada persamaan (3.8) dengan menggunakan beberapa asumsi yang berdasarkan data oseanografi pada Selat Makassar. Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut:

Asumsi 1.Kedalaman pada lapisan atas adalah 300 meter, sehingga ha = 300m.

Ketebalan ha = 300mdipilih berdasarkan kondisi oseanografi Selat Makassar

dimana pada ketebalan 300 meter terjadi perubahan kerapatan yang sangat cepat. Ketebalan lapisan bawah yang ditinjau adalah hb = 1500m.

Asumsi 2.Kecepatan arus pada lapisan bawah sangat kecil sehingga diasumsikan Ub = 0, sedangkan kecepatan arus pada lapisan atas berubah terhadap kedalaman.

Asumsi 3.Tegangan permukaan diasumsikansama dengan nol, yaitu�= 0.

Asumsi 4. = 1035kg

m3dan = 1024

kg

m3. Hasil ini berdasarkan profil kerapatan yang diberikan pada Gambar 2.3.

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka penyelesaian dari relasi dispersi Kelvin Helmholtz pada persamaan (3.8), yaitu � (�) dan � (�) untuk nilai Uayang berbeda-bedadiberikan dalam Gambar 3.1.


(35)

21

Gambar 3.1.Grafik frekuensi gelombang �(�).

Fungsi�(�)seperti yang diperlihatkan Gambar3.1 menggunakan nilai Uayang berbeda, yaitu: Ua = 0.65, Ua = 0.75 dan Ua = 0.85. Garis putus-putus

memperlihatkan penyelesaian� (�)pada persamaan (3.8) yang merupakan frekuensi gelombang internal yang terjadi di lapisan atas.Garis kontinu memperlihatkan penyelesaian� (�) pada persamaan (3.8) yang merupakan frekuensi gelombang internal yang terjadi di lapisan bawah.

Berdasarkan Gambar 3.1, jika k kecil, maka frekuensi gelombang negatif.Ini berarti gelombang yang terjadi bergerak menjauhi gelombang yang lebih besar.Selain itu, jika kecepatan arus pada lapisan atas mengecil, maka k membesar pada lapisan bawah. Ini berarti panjang gelombang internal yang terjadi semakin mengecil, atau dengan kata lain amplitudo semakin besar. Dengan demikian kecepatan fase juga semakin besar, hal ini konsisten dengan kecepatan fase pada Gambar 3.2.

Karena kecepatan fase didefinisikansebagai � = �(�)

� , maka kecepatan

fasepada lapisan atas adalah � =� (�) dan kecepatan fase pada lapisan bawah adalah � = � (�)

� . Kecepatan fasegelombang dapatdilihat pada Gambar 3.2,

dengan Ua = 0.65, Ua = 0.75 dan Ua = 0.85.

0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

0.05 0.10 0.15

k

Ua=0.85

Ua=0.75


(36)

22

Gambar 3.2.Kecepatan FaseGelombang pada lapisan atas (garis putus-putus dan pada lapisan bawah (garis kontinu) untuk Uaberbeda-beda.

3.4. Ketakstabilan Gelombang Internal di Selat Makassar

Pada bagian ini akan dibahas ketakstabilan dari gelombang internal di Selat Makassar berdasarkan kriteria ketakstabilan temporal dan spasial.

3.4.1. Ketakstabilan Temporal

Berdasarkan persamaan (3.12), diperoleh Gambar 3.3 yang memperlihatkan suatu daerah dimana pada saat nilai Ua tertentu, gelombang menjadi tak stabil.

Gambar 3.3.Daerah ketakstabilan gelombang internal berdasarkan persamaan (3.12).

Gambar 3.3 memperlihatkan bahwa gelombang yang memiliki bilangan gelombang 0.125 (panjang gelombang 50 m) tidak stabil pada daerah dengan

0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

1 1 2

UaCrit

k c

Ua=0.85 Ua=0.75 Ua=0.65

Area tak stabil

k

1.26

0.125


(37)

23

kecepatan arus lebih besar dari 1.26 m/s. Jika kecepatan arusnya kurang dari 1.26 m/s, maka gelombang tersebut akan stabil.

Berdasarkan persamaan (3.8), dapat ditunjukkan hubungan antara frekuensi gelombang dengan daerah kestabilan gelombang dengan k≈ 0.125 seperti diperlihatkan pada Gambar 3.4.

Gambar 3.4.Hubunganfrekuensi gelombang dan kecepatan arus. Pada Gambar 3.4 memperlihatkan bahwa gelombang dengan k≈ 0.125 memiliki frekuensi yang meningkat mendekati kurva linear dengan bertambahnya nilai Ua> 1.26. Dengan kata lain gelombang ini tidak stabil. Berdasarkan Gambar

3.4, bilamana � mengecil dengan � < 1.26,frekuensi gelombang berada pada nilai 0.08-0.11. Dengan kata lain gelombang ini akan stabil.Dengan demikian untuk membangkitkan gelombang dengan panjang 50 m dan stabil, maka diperlukan adanya arus dengan kecepatan kurang dari 1.26 m/s.

3.4.2. Ketakstabilan Spasial

Berdasarkan persamaan (3.17), diperoleh Gambar 3.5 yang memperlihatkan suatu daerah dimana pada saat nilai � dan Ua tertentu,

gelombang menjadi tak stabil.

0.5 1.0 1.5 2.0 2.5

0.10

0.05 0.05 0.10 0.15

Ua

UaCrit -


(38)

24

Gambar 3.5.Daerahketakstabilan gelombang internal berdasarkan

persamaan (3.17)

Gambar 3.5 memperlihatkan bahwa gelombang yang memiliki frekuensi gelombang -0.01 tidak stabil pada daerah dengan kecepatan arus lebih besar dari 2.2 m/s. Jika kecepatan arusnya kurang dari 2.2 m/s, maka gelombang tersebut akan stabil.

Berdasarkan persamaan (3.15), dapat ditunjukkan hubungan antara bilangan gelombang dengan daerah kestabilan gelombang dengan �= −0.01 seperti diperlihatkan pada Gambar 3.6.

Gambar 3.6.Hubunganbilangan gelombang dan kecepatan arus untuk �=

−0.01.

Pada Gambar 3.6 memperlihatkan bahwa gelombang dengan � =−0.01 memiliki bilangan gelombang yang meningkat pada lapisan atas (ka(Ua)) dan

menurun pada lapisan bawah (kb(Ua)), kedua kurva bilangan gelombang seperti

2 4 6 8 10

0.005 0.010

Ua

� �

� �

� � �

k

Ua

Tak stabil Stabil

2.2 -0.01

UaCrit 0.12


(39)

25

yang ditunjukkan dengan garis merah pada Gambar 3.6 bergerak mendekati kurva berwarna biru dengan bertambahnya nilai Ua> 2.2. Dengan kata lain gelombang

ini tidak stabil. Berdasarkan Gambar 3.6, bilamana � mengecil dengan (� < 2.2), maka gelombang ini akan stabil.Dengan demikian untuk membangkitkan gelombang dengan frekuensi -0.01 Hz dan stabil, maka diperlukan adanya arus dengan kecepatan kurang dari 2.2 m/s.

Selanjutnya, berdasarkan persamaan (3.15), dapat ditunjukkan hubungan antara bilangan gelombang dengan daerah kestabilan gelombang dengan Ua = 1

seperti diperlihatkan pada Gambar 3.7.

Gambar 3.7.Kurva k dari ketakstabilan spasial yang bergantung pada �. Pada Gambar 3.7 memperlihatkan bahwa gelombang dengan Ua =1

memiliki bilangan gelombang yang meningkat mendekati kurva linear dengan bertambahnya nilai �> 0.12. Dengan kata lain gelombang ini tidak stabil. Berdasarkan Gambar 3.7, bilamana � mengecil dengan −0.02 <�< 0.12, maka gelombang ini akan stabil. Selanjutnya, bilangan gelombang menurun mendekati kurva linear dengan berkurangnya nilai �< −0.02. Dengan kata lain gelombang ini tidak stabil. Dengan demikian apabila kecepatan arus ditetapkan 1 m/s, maka gelombang akan stabil pada frekuensi antara -0.02 dan 0.12. Dalam hal ini bilangan gelombang menjadi dua kali lipat atau panjang gelombang yang tertentu menjadi setengahnya.

0.2 0.1 0.1 0.2 0.3

0.2

0.1 0.1 0.2 0.3

k Tak stabil

Tak stabil Stabil

bCritaCrit


(40)

(41)

27

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

4.1. Simpulan

Persamaan dasar fluida dua lapisan diturunkan berdasarkan asumsi fluida tak mampat dan tak kental yang tak berotasi.Persamaan dasar yang diperoleh berupa persamaan Laplacedengan kondisi batas dinamik dan kinematik.Penyelesaian persamaan dasar fluida tersebut diasumsikan berupa gelombang monokromatik sehingga diperoleh suatu relasi dispersi Kelvin-Helmholtz.Berdasarkan relasi ini diturunkan suatu kriteria pembangkitan dan ketakstabilan gelombang internal.

Berdasarkan data oseanografi dari Selat Makassar, diturunkan suatu kriteria pembangkitan dan kestabilan gelombang internal di Selat Makassar. Hasil yang diperoleh menyebutkan bahwa jika kecepatan arus pada lapisan atas dibuat mengecil, maka bilangan gelombang membesar, atau dengan kata lain panjang gelombang yang terjadi semakin mengecil. Jadi, kecepatan fase membesar. Sebagai simulasi, untuk membangkitkan gelombang dengan panjang 50 m dan stabil, maka diperlukan adanya arus dengan kecepatan kurang dari 1.26 m/s. Selain itu, untuk membangkitkan gelombang dengan frekuensi -0.01 Hz dan stabil, maka diperlukan adanya arus dengan kecepatan kurang dari 2.2 m/s. Selanjutnya, apabila kecepatan arus ditetapkan 1 m/s, maka gelombang akan stabil pada frekuensi antara -0.02 dan 0.12. Dalam hal ini bilangan gelombang menjadi dua kali lipat.

4.2. Saran

Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan asumsi bahwa tegangan permukaan di Selat Makassar diabaikan.Oleh karena itu, penelitian ini dapat dikembangkan dengan memperhatikan besaran tegangan permukaan di Selat Makassar.Selain itu, hasil-hasil dalam penelitian ini harus diujicobakan pada laboratorium hidrodinamika untuk mengetahui keakuratannya.


(42)

28

DAFTAR PUSTAKA

Funada, Joseph, Wang. 2008. Potential Flows of Viscous and Viscoelastic Fluids. Cambridge University Press: New York.

Gordon, A. L., C. F. Giulivi, and A. G. Ilahude. 2003.Deep topographic barriers within the Indonesian Seas.Deep Sea Res., Part II, 50, 2205–2228.

Hautala, S.H., Sprintall, J., Potemra, J.T., Chong, J.C., Pandoe,W., Bray, N., Ilahude, A.G. 2001. Velocity structure and transport of the Indonesian

Throughflow in the major straitsrestricting flow into the Indian Ocean.J.

Geophysical Research, 106, p.19527-19546.

Jaharuddin.2006. Prediksi Kekuatan Gelombang Soliter Internal di Selat Lombok. Jurnal Matematika dan Aplikasinya5:43-57. Bogor: Departemen Matematika IPB.

Murray, S.P., Arief, D.1988. Throughflow into the Indian Ocean throughthe LombokStrait.Nature, 333, p.444-447.

Murray, S.P., Arief, D.,Kindle, J.C., Hurlburt, H.E. 1990. Characteristics of circulation in an Indonesian Archipelagostrait from hydrography, current measurements and modeling results.Physical Oceanaography of Sea Strait,318, p. 3-23.

Pujiana Kandaga.2005. Dinamika Gelombang Internal Di Selat Lombok.Bandung:

ITB Central LibraryÂ’s CD Collection.

PujianaKandaga, Gordon, Sprintall, Susanto. 2009. Intraseasonal variability in the Makassar Strait thermocline. Journal of Marine Research, 67, 757–777. Rachmayani Rima.2008. Dinamika Penjalaran Gelombang Internal di Selat

Lombok. Jurnal Ilmu Kelautan. Vol. 13 (1): 1 – 12, ISSN 0853 – 7291. Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Saidah, 2006.Gelombang Soliter Internal pada Aliran Tunak. Bogor: Departemen Matematika IPB.

Schiller, A.2004.Effects of explicit tidal forcing in an OGCM on thewater-mass

structure and circulation in the Indonesian throughflow region.Ocean

Modeling, 6, p.31–49.

Vallis Geoffrey. 2006. Atmospheric And Oceanic Fluid Dynamics. New York: Cambridge University Press.

Visser, W.P. 2004.On the generation of internal waves in Lombok Strait through Kelvin-Helmholtz instability. The Netherlands: Department of Applied Mathematics, University of Twente.

WajsowiczRoxana C, GordonArnold L, Field Amy, Susanto R.D. 2003. Estimating transport in Makassar Strait.Deep-Sea Research II 50:2163– 2181.


(43)

(44)

30

Lampiran 1

Penurunan persamaan (2.17)

Dengan asumsi fluida tak termampatkan diperoleh: ��

� = 0 atau ��

� = �� � + �� � + �� � = 0 atau �(�0 , − )

� +

�(�0 , − )

� +

�(�0 , − )

� = 0

atau �0 + �0 − = 0 atau �0 +� �0 − � = 0 atau ��0

� + �� � ��0 � − ��

� = 0.

Lampiran 2

Penurunan persamaan (2.18)

Berdasarkan asumsi fluida tak termampatkan, diperoleh ��

� = 0 atau � =��

� + �� � +

�� � = 0 atau �( −(−ℎ))

� +

�( −(−ℎ))

� +

�( −(−ℎ))

� = 0

atau �( +ℎ)

� +

�( +ℎ)

� +

�( +ℎ)

� = 0

atau w =0 atau ��


(45)

31

Lampiran 3

Penurunan persamaan (2.19)

Tinjau persamaan dasar fluida berikut:

� + + +� = 0

� + + +� = 0

atau

�� = −� �� =−� +��.

Misalkan � = dan � = 0,� , maka persamaan di atas dapat dituliskan dalam bentuk vektor berikut

��� =−∇�+�� (I. 1) atau ��

� =

�� � +

��

� +

�� �

=� � + �

� + � �

=� � + +

=� � + +

=� � + + + ++

=� � + − + 0. + − + �+ ++


(46)

32

=� � +

0 − 0

0

+ ++

=� � +

0 − 0

0

+ � ,� 1 2

2+1 2

2

=� � + � × ∇×� +∇ 1 2 �

2

Misalkan partikel fluida diasumsikan tak berotasi ∇×� = 0 , maka terdapat suatu fungsi skalar �( , , ) yang disebut potensial kecepatan dan memenuhi � =∇� = (� ,� ). Jadi,

��

� =� ∇�+∇ 1 2(�

2+2 (I. 2)

Selanjutnya, substitusikan persamaan (I.2) ke dalam persamaan (I.1), maka diperoleh:

� ∇�+∇ 1 2(�

2 +2 =∇� � +� atau ∇ � �+ 1

2(�

2+2) +

� +� = 0.

Jika kedua ruas persamaan di atas diintegralkan terhadap koordinat ruang, maka diperoleh:

� �+ 1 2(�

2+2) +

�+� = ( )

atau � �+ 1 2(�

2+2) + = −� � atau � �+ 1

2(�

2+2) + = −� � atau � �+ 1

2(�

2+2) + =

Jika tekanan udara konstan, maka tekanan dapat diabaikan, sehingga ∗ = 0.


(47)

33

Selanjutnya, diperoleh:

� �+ 1 2 �

2+2 + = 0

atau �� ∂t +

1 2 ∇�

2+� �0 = 0,

pada permukaan =�0( , ).

Lampiran 4

Penurunan persamaan (2.26)

Dari syarat batas kinematik pada permukaan fluida satu lapisan berikut: �� � + �� � �� � − �� � = 0 diperoleh �� � = �� � − �� � �� � =−�� � �� � + �� � = � � � � � � − �� � 1 =∇� . −��� 1 �2�2 + 1

�2� � 2 + 1

=∇� .� � 2 � 2 + 1

1/2 dan �� � = �� � − �� � �� �


(48)

34

= −��

� ��

� +

�� �

= �

� � �

� � − ��

� 1

= ∇� .

−��� 1 �2�2 + 1

�2� � 2 + 1

= ∇� .� � 2 � 2 + 1


(49)

35

Lampiran 5

Penurunan persamaan (3.1a dan 3.1b)

Tinjau fluida ideal yang tak berotasi (irrotational) yang diberikan pada persamaan (2.20), (2.21), (2.25), dan (2.26) yang dituliskan kembali sebagai berikut:

�2 � � 2 +

�2 �

� 2 = 0, untuk 0 < < ℎ (II. 1) �2

� � 2 +

�2 �

� 2 = 0, untuk − ℎ < < 0. (II. 2) ��

� = 0 pada = ℎ (II. 3) ��

� = 0 pada y =−ℎ . (II. 4) Misalkan penyelesaian persamaan diferensial di atas dinyatakan oleh

� = , (� −� ) (II. 5) dengan , akan ditentukan sebagai berikut. Jika persamaan (II.5) disubstitusikan ke dalam persamaan Laplace (II.1), maka diperoleh

�2

� 2 (� −�

)+

� (� −� )+� �

� (� −� )− �2 �

� (� −� )

+�

2 � 2

(� −� ) = 0

atau

�2 � 2 +

�2 � 2 − �

2 (� −� ) + 2

� (� −� ) = 0. (II. 6) Karena nilai eksponen pada persamaan (II.6) tidak nol, maka koefisien kedua suku pada persamaan tersebut harus nol. Jadi, adalah ∂A/∂x=0, dan

�2 � 2 +

�2 � 2− �

2 = 0.


(50)

36

�2 � 2− �

2 = 0 (II. 7)

Penyelesaian umum dari persamaan (II.7) adalah

= � +� −� , (II. 8) dengan C dan D suatu konstanta. Jadi, potensial kecepatan pada persamaan (II.5) berbentuk

� = � +� −� (� −� ) (II. 9) Berdasarkan syarat batas (II.3) berbentuk

� (ℎ ) = 0, diperoleh

� �ℎ − �� −�ℎ (� −� ) = 0. (II. 10) Karena nilai (� −� ) pada persamaan (II.10) tidak nol, maka

� = 2�ℎ (II. 11) Dengan demikian persamaan (II.9) menjadi

� = � + 2�ℎ −� (� −� )

= �ℎ �( −ℎ )+ −�( −ℎ ) (� −� )

= 2 �ℎ 1

2

�( −ℎ )+ −�( −ℎ ) (� −� )

= 2 �ℎ cosh � − ℎ � −� . (II. 12) Misalkan, 2 �ℎ = , maka persamaan (II.12) dapat ditulis menjadi

� , , = cosh � − ℎ � −� .

Berikut ini akan ditentukan � yang memenuhi persamaan (II.2) dengan syarat batas (II.4). misalkan penyelesaian persamaannya dinyatakan dalam bentuk

� = , (� −� ) (II. 13) dengan , akan ditentukan sebagai berikut. Jika persamaan (II.13) disubstitusikan ke dalam persamaan Laplace (II.2), maka diperoleh

�2 � 2

(� −� )+

� (� −� )+� �

� (� −� )− �2 �

� (� −� )

+�

2 � 2


(51)

37

atau

�2 � 2 +

�2 � 2 − �

2 (� −� )+ 2

� (� −� ) = 0. (II. 14) Karena nilai eksponen pada persamaan (II.14) tidak nol, maka koefisien kedua suku pada persamaan tersebut harus nol. Jadi, adalah ∂B/∂x=0, dan

�2 � 2 +

�2 � 2 − �

2 = 0.

Karena ∂B/∂x=0, maka

�2 � 2 − �

2 = 0 (II. 15)

Penyelesaian umum dari persamaan (II.15) adalah

= � +� −� , (II. 16) dengan C dan D suatu konstanta. Jadi, potensial kecepatan pada persamaan (II.13) berbentuk

� = � +� −� (� −� ) (II. 17) Berdasarkan syarat batas (II.4):

� (−ℎ ) = 0,

diperoleh:

� −�ℎ − �� �ℎ (� −� ) = 0 (II. 18) Nilai (� −� ) pada persamaan (II.18) tidak nol, sehingga:

� = −2�ℎ (II. 19) Dengan demikian persamaan (II.17) menjadi

� = � + −2�ℎ −� (� −� )

= −�ℎ �( +ℎ )+ −�( +ℎ ) (� −� )

= 2 −�ℎ 1

2

�( +ℎ )+ −�( +ℎ ) (� −� )

= 2 −�ℎ cosh � +ℎ � −� (II. 20) Misalkan, 2 −�ℎ = , maka persamaan (II.20) dapat ditulis menjadi:


(1)

=� � +

0 − 0

0

+ ++

=� � +

0 − 0

0

+ � ,� 1 2

2+1 2

2

=� � + � × ∇×� +∇ 1 2 �

2

Misalkan partikel fluida diasumsikan tak berotasi ∇×� = 0 , maka terdapat suatu fungsi skalar �( , , ) yang disebut potensial kecepatan dan memenuhi

� =∇� = (� ,� ). Jadi,

��

� =� ∇�+∇ 1 2(�

2+2 (I. 2)

Selanjutnya, substitusikan persamaan (I.2) ke dalam persamaan (I.1), maka diperoleh:

� ∇�+∇ 1 2(�

2 +2 =∇� � +� atau ∇ � �+ 1

2(�

2+2) +

� +� = 0.

Jika kedua ruas persamaan di atas diintegralkan terhadap koordinat ruang, maka diperoleh:

� �+ 1 2(�

2+2) +

�+� = ( )

atau � �+ 1 2(�

2+2) + = −� � atau � �+ 1

2(�

2+2) + = −� � atau � �+ 1

2(�

2+2) + =

Jika tekanan udara konstan, maka tekanan dapat diabaikan, sehingga ∗ = 0.


(2)

Selanjutnya, diperoleh:

� �+ 1 2 �

2+2 + = 0

atau �� ∂t +

1 2 ∇�

2+� �0 = 0, pada permukaan =�0( , ).

Lampiran 4

Penurunan persamaan (2.26)

Dari syarat batas kinematik pada permukaan fluida satu lapisan berikut:

�� � +

�� �

�� � −

�� � = 0

diperoleh

�� � =

�� � −

�� �

�� �

=−��

� ��

� + ��

= �

� � �

� � − ��

� 1

=∇� .

−��� 1 �2�2 + 1

�2� � 2 + 1

=∇� .� � 2 � 2 + 1

1/2

dan

�� � =

�� � −

�� �

�� �


(3)

= −�� �

�� � +

�� �

= �

� � �

� � − ��

� 1

= ∇� .

−��� 1 �2�2 + 1

�2� � 2 + 1

= ∇� .� � 2 � 2 + 1


(4)

Lampiran 5

Penurunan persamaan (3.1a dan 3.1b)

Tinjau fluida ideal yang tak berotasi (irrotational) yang diberikan pada persamaan (2.20), (2.21), (2.25), dan (2.26) yang dituliskan kembali sebagai berikut:

�2 � � 2 +

�2 �

� 2 = 0, untuk 0 < < ℎ (II. 1) �2

� � 2 +

�2 �

� 2 = 0, untuk − ℎ < < 0. (II. 2) ��

� = 0 pada = ℎ (II. 3) ��

� = 0 pada y =−ℎ . (II. 4)

Misalkan penyelesaian persamaan diferensial di atas dinyatakan oleh

� = , (� −� ) (II. 5)

dengan , akan ditentukan sebagai berikut. Jika persamaan (II.5) disubstitusikan ke dalam persamaan Laplace (II.1), maka diperoleh

�2 � 2

(� −� )+

� (� −� )+� �

� (� −� )− �2 �

� (� −� ) +�

2 � 2

(� −� ) = 0

atau

�2 � 2 +

�2 � 2 − �

2 (� −� ) + 2

� (� −� ) = 0. (II. 6)

Karena nilai eksponen pada persamaan (II.6) tidak nol, maka koefisien kedua suku pada persamaan tersebut harus nol. Jadi, adalah ∂A/∂x=0, dan

�2 � 2 +

�2 � 2− �

2 = 0.


(5)

�2 � 2− �

2 = 0 (II. 7)

Penyelesaian umum dari persamaan (II.7) adalah

= � +� −� , (II. 8)

dengan C dan D suatu konstanta. Jadi, potensial kecepatan pada persamaan (II.5) berbentuk

� = � +� −� (� −� ) (II. 9)

Berdasarkan syarat batas (II.3) berbentuk

� (ℎ ) = 0,

diperoleh

� �ℎ − �� −�ℎ (� −� ) = 0. (II. 10)

Karena nilai (� −� ) pada persamaan (II.10) tidak nol, maka

� = 2�ℎ (II. 11)

Dengan demikian persamaan (II.9) menjadi

� = � + 2�ℎ −� (� −� )

= �ℎ �( −ℎ )+ −�( −ℎ ) (� −� )

= 2 �ℎ 1

2

�( −ℎ )+ −�( −ℎ ) (� −� )

= 2 �ℎ cosh � − ℎ � −� . (II. 12)

Misalkan, 2 �ℎ = , maka persamaan (II.12) dapat ditulis menjadi

� , , = cosh � − ℎ � −� .

Berikut ini akan ditentukan � yang memenuhi persamaan (II.2) dengan syarat batas (II.4). misalkan penyelesaian persamaannya dinyatakan dalam bentuk

� = , (� −� ) (II. 13)

dengan , akan ditentukan sebagai berikut. Jika persamaan (II.13) disubstitusikan ke dalam persamaan Laplace (II.2), maka diperoleh

�2 � 2

(� −� )+

� (� −� )+� �

� (� −� )− �2 �

� (� −� ) +�

2 � 2


(6)

atau

�2 � 2 +

�2 � 2 − �

2 (� −� )+ 2

� (� −� ) = 0. (II. 14)

Karena nilai eksponen pada persamaan (II.14) tidak nol, maka koefisien kedua suku pada persamaan tersebut harus nol. Jadi, adalah ∂B/∂x=0, dan

�2 � 2 +

�2 � 2 − �

2 = 0.

Karena ∂B/∂x=0, maka

�2 � 2 − �

2 = 0 (II. 15)

Penyelesaian umum dari persamaan (II.15) adalah

= � +� −� , (II. 16)

dengan C dan D suatu konstanta. Jadi, potensial kecepatan pada persamaan (II.13) berbentuk

� = � +� −� (� −� ) (II. 17)

Berdasarkan syarat batas (II.4):

� (−ℎ ) = 0,

diperoleh:

� −�ℎ − �� �ℎ (� −� ) = 0 (II. 18)

Nilai (� −� ) pada persamaan (II.18) tidak nol, sehingga:

� = −2�ℎ (II. 19)

Dengan demikian persamaan (II.17) menjadi

� = � + −2�ℎ −� (� −� ) = −�ℎ �( +ℎ )+ −�( +ℎ ) (� −� )

= 2 −�ℎ 1

2

�( +ℎ )+ −�( +ℎ ) (� −� )

= 2 −�ℎ cosh � +ℎ � −� (II. 20)

Misalkan, 2 −�ℎ = , maka persamaan (II.20) dapat ditulis menjadi: