Pola Pengelolaan Kawasan Hutan Berdasarkan Karakteristik Hidrologi di Daerah Aliran Sungai Konto Hulu, Malang - Jawa Timur, Studi Kasus Sub Daerah Aliran Sungai Manting
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Waduk Selorejo, yang diresmikan penggunaannya tahun 1970, mempunyai
peranan yang sangat penting dalam upaya penyelamatan lingkungan, peningkatan
taraf hidup masyarakat serta menunjang pembangunan sektor lain. Waduk seluas
3.8 km2 ini berkapasitas maksimum 62 300 000 m3, dibangun untuk mengendalikan
banjir Sungai Brantas bagian hilir. Kapasitas menahan banjir maksimum 1000
tahunan dirancang sebesar 920 m3/detik yang dapat dikendalikan menjadi 360
m34detik dan banjir 200 tahunan sebesar 700 m3/detik dapat dikendalikan menjadi
260 m3/detik. Selain itu, waduk ini juga dapat memenuhi kebutuhan air lahan persawahan seluas 5 700 ha dengan tambahan debit maksimum di musim kemarau
4.0 m3/detik serta suplai tenaga listrik dengan daya terpasang 4.5 MW atau sekitar
49 juta KWh setiap tahun (Perum Jasa Tirta, 1992). Untuk memelihara keberlanjutan fungsi waduk ini, maka upaya pengamanan daerah alirannya mutlak diperlukan agar kondisi hidroorologisnya tetap dapat dipertahankan pada tingkat optimal.
Daerah aliran Waduk Selorejo meliputi kawasan DAS Konto Hulu seluas
233 km2 mencakup wilayah Kecamatan Ngantang dan Pujon di Kabupaten Malang,
Jawa Timur. Sesuai rancangan teknisnya, waduk ini dibangun pada dead storage
sediment sebesar 7 700 000 m3 atau sekitar 60 000 m3/tahun. Nilai ini setara
dengan rataan kedalaman daerah alirannya sekitar 0.30 mmltahun. Mempertimbangkan keefisienan perangkap (trap @ciency) waduk sebesar 92 % (Brabben,
1979), maka hasil sedimen yang diperkenankan memasuki waduk adalah 0.33
mmjtahun, setara dengan rataan laju erosi daerah alirannya 2.69 mmltahun atau
29.32 tonlhaltahun. Namun berdasarkan hasil pemantauan selama periode tahun
1973-1986, laju sedimentasi waduk mencapai 506 294 m3/tahun (Perum Jasa Tirta,
1992), setara dengan rataan laju erosi daerah alirannya 19.52 mmltahun. Nilai ini
4
$6.3 kali lebih tinggi dibanding laju erosi yang tercatat pada tahun 1960 sebesar
1.2 mm/t.hun (Sudibyakto, 1991). Rataan rasio debit aliran (maksimum terhadap
minimum) Sungai Konto Hulu juga cenderung meningkat dari 4.17 pada periode
tahun 1915-1942 menjadi 10.8 periode 195 1- 1972 (Brabben, 1978). Ini menunjuk. kan
bahwa kondisi hidroorologis DAS Konto Hulu sangat memprihatinkan yang
mengancam pengurangan umur efektif waduk atau paling tidak membutuhkan biaya
pemeliharaan yang cukup tinggi.
Hasil pengamatan Proyek Kali Konto yang bekerja sejak tahun 1979 menunjukkan bahwa kondisi yang parah di DAS Konto Hulu terjadi akibat konversi dan
perambahan hutan yang berlangsung sejak lama. Pada periode 10 tahun terakhir
(1979- 1989), konversi hutan lindung berkisar 2.57
- 13.30 % per tahun.
Kawasan hutan di DAS Konto Hulu meliputi luas 17 327 ha (72.8 %) dan
14 112 ha (60.57 %) diantaranya adalah kawasan hutan lindung. Sekitar 5 894 ha
(41.77 %) kawasan ini berubah menjadi semak dan 791 ha (5.60 %) menjadi tegal-
an, sehingga secara aktual luas hutan lindung saat ini hanya 7 427 ha (52.63 %).
Kondisi hutan lindung inipun sangat memprihatinkan di mana sekitar 50 % arealnya
mempunyai tingkat penutupan lebih 50 % dan 10 % berpenutupan kurang 20 %.
Diperkirakan 25 % pohonnya telah dieksploitasi dengan laju pengurangan luas
bidang dasar 8 % per tahun (Proyek Kali Konto, 1987). Dalam kaitan ini, Balai
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Brantas m e m n g arahan penggunaan lahan di wilayah ini dengan menetapkan areal hutan lindung seluas 8 250 ha
dan Perurn Perhutani melaksanakan reboisasi dengan pola turnpangsari.
Adanya kecenderungan pengurangan dan penurunan kualitas kawasan hutan
di DAS Konto Hulu perlu mendapat perhatian demi penyelamatan dan keberlangsungan fungsi Waduk Selorejo. Untuk itu, diperlukan suatu kajian pengelolaan
kawasan hutan di wilayah ini yang didasarkan atas pertimbangan hidroorologisnya.
Penelitian dilakukan dengan memilih Sub DAS Manting sebagai studi kasus.
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Sub DAS Manting yang terletak di bagian hulu DAS Konto Hulu, seluruh
arealnya merupakan kawasan hutan. Pola tata guna lahannya meliputi hutan
alam, semak sebagai hasil suksesi hutan alam akibat perambahan serta hutan
tanaman dan tumpangsari sebagai hasil pelaksanaan reboisasi kawasan hutan
oleh Perum Perhutani. Curah hujan tahunan berkisar 2 500 mm, topografi
berbukit sampai bergunung dan jenis tanah dominan Andosol. Kondisi ini serupa dengan kawasan hutan lainnya di bagian hulu DAS Konto Hulu sehingga
secara umum dapat digunakan sebagai lokasi penelitian mewakili kawasan
hutan di wilayah ini.
2.
Tingkat kerusakan hutan di Sub DAS Manting cukup parah yang ditandai oleh
struktur vegetasi yang sangat terbuka, terdapat celah besar dengan luas bidang
dasar 15 - 30 m2/ha dan tingkat penutupan antara 20 - 40 %. Hal ini menyebabkan perubahan kondisi hidroorologisnya. Pada periode tahun 1987 - 1989
rasio debit aliran (bandingan debit aliran sungai maksimum dan minimum) dan
koefisien alirannya (bandingan debit aliran dan curah hujan) cukup tinggi dan
cenderung meningkat. Hasil interpretasi data pada tiga Sub DAS sasaran penelitian Proyek Kali Konto menunjukkan bahwa rasio debit aliran tahunan di Sub
DAS Coban Rondo Hulu (1 170 ha) menurun dari 6.10 pada tahun 1987 menjadi 3.86 pada tahun 1989 dan koefisien alirannya meningkat dari 0.28 menjadi
0.32. Di Sub DAS Sayang Hulu (341 ha) rasio debit aliran meningkat dari
7.06 menjadi 9.00 dan koefisien alirannya 0.45 menjadi 0.54. Di Sub DAS
Manting rasio debit aliran meningkat dari 7.96 menjadi 14.44 dan koefisien
alirannya 0.78 menjadi 0.80. Ini menunjukkan bahwa Sub DAS Manting memperlihatkan kecenderungan penurunan kondisi hidrologis yang nyata sebagai
gambaran labilitas daerah alirannya deh penurunan kualitas hutannya (diolah
dari data Balai RLKT DAS Brantas, 198811989; Suharto 1989; Proyek Kali
Konto, 1991).
3. Kontribusi areal terhadap aliran di Sub DAS Manting lebih tinggi dibanding
kawasan lain di bagian hulu serta nilai rataan DAS Konto Hulu. Dari total
aliran terukur selama bulan Oktober 1988 sampai Maret 1989 menunjukkan
bahwa kontribusi areal Sub DAS Manting (460 ha) adalah 27 297 m3/ha, Sub
DAS Coban Rondo (2 162 ha) 3 938 m3/ha dan Sub DAS Sayang (1 233 ha)
3 126 m31ha, sementara rataan DAS Konto Hulu 8 511 m3/ha. Ini menunjukkan bahwa Sub DAS Manting menyumbang sekitar 8 kali lebih besar dari area1
lain di bagian hulu dan sekitar 3 kaii lebih besar dari nilai mtaan &nth aliran
Waduk Selorejo (diolah dari data Suharto, 1989; Proyek Kali Konto, 1991).
4. Total sedimen (sediment load dan bed load) yang terukur di Sub DAS Manting
selama bulan Oktober 1988 sampai Maret 1989 adalah 9.74 ton/hr, setara
dengan rataan erosi daerah alirannya sebesar 36.71 tonha atau 5.2 mm. Nilai
ini sekitar 2 kali lebih besar dari nilai rataan laju erosi tahunvr ymg diper-
kenankan di daerah aliran Waduk Selorejo (diolah dari data Suharto, 1989).
Tujuan dan Kegunaan Peaelitirrn
Penelitian bertujuan untuk meranwing pola pengetolmn kawasan hutan di
Sub DAS Manting berdasarkan karstkferistik hidroorologi.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai:
1. Bahan pertimbangan Pemerintah Daerah Tingkat 11 Kabupaten Malang dalam
perencanaan pengembangan wilayah Tingkat I1 Kabupaten Malang
2. Bahan pertimbangan Perum Perhutani Unit I1 Malang dalam mengelola kawasan hutan di DAS Konto Hulu
3. Bahan pertimbangan Sub Balai Rehabil itasi Lahan dan Konservasi Tanah
Wilayah V1 Malang dalam penataan kawasan DAS Konto Hulu
4.
Bahan pertimbangan pi hak Proyek Wduk Selorejo dalam rangka penyelamatan
Waduk Selorejo.
-
5. Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan metode
analisis yang berbasis sistem dengan mu1ti kriteria.
Hipotesis
Dalam penelitian ini diajukan beberapa hipotesis sebagai bcrikut:
1.
Pengeblaan kawasan hutan Sub DAS Manting - DAS Konto Hulu &an memperbaiki kondisi hidroorologisnya.
2.
Reboisasi melalui pola tumpangsari dan teknik konservasi tanah dan air yang
sesuai di kawasan hutan produksi terbatils di Sub DAS Manting - DAS Konto
Hulu akan memperbaiki kondisi hidroorologisnya serta meningkatkan pendapatan pesanggem.
KERANGKA PEMIKIRAN
Sub DAS Manting yang luasnya 460 ha, seluruh arealnya merupakan kawasan hutan. Akibat proses degradasi maka luas hutan alamnya s a t ini berkurang
menjadi 318.66 ha atau 69.26 %, selebihnya semak 18.53 % hasil suksesi alamiah
sera hutan tanaman 5.54 % dan tumpangsari 6.67 % hasil reboisasi Perum Perhu-
tani Unit I1 Malang. Berhubung kondisi hidroorologis Sub DAS ini makin menurun maka diperlukan pengelolaan kawasan hutannya. Model pengelolaa~yadiarahkan untuk mengetahui luas kawasan lindung dan hutan produlrsi yang layak
berdasarkan tolok ukur layak tata air serta layak erosi dan sedimentmi.
Sebagian area1 di bagian hilir Sub DAS Manting dikeiola oleh Penrm Perhutani melalui program reboisasi dengan pola HTI yang melibatkan masyrrrakat
setempat dalam sistim tumpangsari. Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan
bahwa terdapat variasi pda tanam dan tindakan pengelotaan yang diterapkan okh
pesanggem yang juga akan mempengaruhi kondisi hidrootologis Sub DAS ini. Sehingga untuk mendapatkan bentuk pola tanam serta tindakan pengelolerrn yang
layak diterapkan, selain kelayakan hidroorologisnya perlu pula rnempertimbangkan
aspek pendapatan pesanggem. Dengan demikian, rancangan pengeldaan kawasan
hutan di wilayah ini seam umum rnempertimbangkan tiga tdok ukur, yaitu layak
tata air, layak erosi dan sedimentasi serta layak pendapatan.
Kompleksnya permasalahan yang dih;ladapi yang rnetibatkan sejumlah komponen ekosistem DAS maka model pengelolaan kawasan hutan di wilayah ini dirancang dengan menggunakan pendekatan sistem dengan teknik skenario, menurut
tahapan kerja pada Gambar 1. Rancangan modelnya terdiri dari tiga sub model,
yaitu Sub Model Hidrologi, Sub Model Erosi-Sedimentllsi dan Sub Model Ekonomi
yang berorientasi pada pendapatan pesanggem dalam pola tumpangsari. Struktur
model secara hipotetik diskemakan pada Gambar 2.
/
Analisis Kebutuhan
1
Formulasi Masalah
i
1
I
v
Identifikasi sistem
I
v
I
Validasi Model
I
I
I
I
Eksperimentasi
I
Implementasi Model
(
Pemantauan
I
Gambar 1. Bagan Alir Pendekatan Sistem Sebagai Metode
Pemecahan Masalah (Soerianegara, 1977')
Pemodelan sistmnya dikembangkan dari konsep hubungan antar komponen
pada Gambar 3 clan rumusan diagram kotak hitamnya pgda Gambar 4.
Struktur dasar Sub Model Hidroiogi dirmcang dengan memodifikasi Model
Hidrologi Stanford 1V (Crawford dan Linsley, 1966) yang diskemakan pada
Gambar 5 . M9sukan utama model ini adalah curah hujan dan unsur cuaca sebagai
masukan situasional dan bentuk pemanfaatan hutan sebagai masukan kebijakan.
Keiuaran model adalah perilaku debit aliran yang ditunjukkan oleh tampilan hidrografnya.
Skenario Pengelolaan
Kawasan Hutan
SUB MODEL
HIDROLOGI
-
SUB MODEL
EROSI-SEDIMENTASI
-
SUB MODEL
EKONOMI
Respon Hidroorologis dan
Pendapatan Pesanggem
Garnbar 2. Struktur Model Peqplolaan Kawasan Hutan
di Sub DAS Manting
Melalui teknik simulasi (Gambar 6) dilakukan penyesuaian konstanta-konstanta aliran, formula atau model sistemnya, sampai tampilan hidrograf hasi! simula-
si secara statistik tidak berbeda dengan hidrograf aktual. Dengan demikian rancangan model hidrologi dinilai sah digunakan dalam analisis lebih Ianjut.
Model hidrologi yang sah selanjutnya digunakan sebagai bagian model
pengelolaan. Tolok ukur keluaran yang digullllkan adafah mfo debit aliran, yaitu
bandingan debit maksimum terhdap minimum. Skewio pengelolaan yang memperlihatkan rasio debit atiran yang minimum mengimplikasikan proporsi luas
lcawasan lindung dan hutan produksi terbat9s yang efektif di Sub DAS Manting.
Sub Model Erosi-Sedimentasi dirancang menurut struktur model USLE
(W ischmeier dan Smith, 1978) dan konsep Nisbah Limpah Sedimen (Robinson,
1979; Roehl dalam Dunne, 1977) (Gambar 7). Model ini bekerja untuk menduga
besarnya laju erosi dan hasil sedimen. Tolok ukur yang digunakan adalah laju
Intersepsi,
Evapotranspirasi
transpirasi
I
naman
Usaha
KTA
1
permuk
air bawah
.
bwh.pmk
-
>
I
tasi
*--b
b
usaha tum-
tas lahan
1
Pendapatan pesanggem
Gambar 3. Diagram Lingkar Sebab Akibat Komponen Sistem
Sub DAS Manting
Kondisi ekologis
Peraturan pemerintah
MASUKAN TAK TERKONTROL
Curah hujan
Unsur cuaca
Sifat tanah
Pasar
I
Pemanfaatan hutan
Tindakan konservasi
tanah dan air
IOglUIARAN
I
b-
--
DIIl9GIHKAN
Rasio debit rendah
Erosi-sedimentasi rendah
Pendapatan pesanggem
t inggi
Aliran permukaan tinggi
Infiltrasi rendah
Erosi melebihi TSL
I
Perum Perhutani Unit I1
Pemda Tkt 11 Malang
BRLKT Wilayah VI Malang
Gambar 4. Diagram Kotak Hitam Model Pengelolaan Kawasan Hutan
di Sub DAS Manting
........................................................
-cn-u
,
I
.
*
I
cn
-em-
DDX
ZECP
DDD
ISI
I
D
.
cn-.-.
v,
m z x
LO--,w
cnmx.
-zmT
1
I U
I
8
*
MU)
-mwv
=E
lW-0
L
1 vv
5s
I
I
vvv
I
I
d
L
i
B
-0
m
-
UJ
zoo%-.
===
EEZ
cr-0
L
--
z z
i
Cn
I
-
rncn
w-
zs
XZ1
Lf
3z
==
cr w
t-'
t-'
+
M e ~ p e l a j a r i peri 1 a k u si stem DAS aktual
*
I
P e n y u r u n a n program k o ~ p u t e r
I
Pendusaan p a r a ~ e t e r l
I
v
S imul as i
i n g a n hasjl simulasi
I dPeenwsbaan n dper1
l a k u slstcm aktual I
Model d i t e r i m a
I
I
I).
+
flodcl d a p a t dipakai untuk memecahkan m a s a l a h
S e l e s a i
Gambar 6. Diagram Alir Proses Simulasi
I
P1
Sifat tanah
Kapasitas infiltrasi
Pengelolaan lahan
Aliran permukaan
Kemiringan lereng
Panjang lereng
Daya dukung tanah
Tanaman penutup
Nilai penggunaan
(Teknik pemakaian)
Pengelolaan lahan
Energi
I
NLS
Perlindungan
I
Resistensi
v
I
Gambar 7. Struktur Dasar Model Erwi-Sedimentasi
(dikembangkan dari Morgan, 1979 dan
Robinson, 1979)
kehilangan tanah ymg masih dapat dibiatkan (tokrcrble soil loss, TSL) menurut
konsep Harner (1982) dengan mempertimbangkan hasil penelitian Hardjowigeno
(1987) wrta h a i l sedimen yang diperkenankan memasuki Waduk Seiorejo sesuai
dead storage sediment waduk. Skenario pengelolaan yang memberikan laju kehi-
langan tanah yang lebih kecil atau sama dengan TSL serta laju sedimentasi lebih
kecil atau sama dengan laju sedimen disain Wduk Selorejo dinilai la
sedimentasi.
Sub Model Ekonomi dirancang untuk mengetahui besarnya pendapatan
pesanggem pada setiap pola tanam dalam sistem tumpangsari serta kontribusinya
terhadap total pendapatan keluarga.
Tipe-tipe kegiatan ekonomi sebagai hasil interaksi masyarakat dengan ekosistem hutan ditelusuri menurut konsep Rambo (1981) dan Vayda (1983) melalui
pendekatan konseptual dan Kontekstual Progresif. Melalui pendekatan ini, kegiatan ekonomi (khususnya) sebagai hasil interaksi sistem sosial masyarakat dengan
ekosistem hutan dalam mempertukarkan energi, materi dan informasi, dapat diidentifikasi.
Pendapatan pesanggem d ihitung berdasarkan selisih nilai penerimaan
dengan pengeluaran pada setiap pola tanam selama setahun. Tolok ukur yang
digunakan adalah tingkat pendapatan. Pola tanam yang memberikan pendapatan
yang tinggi dinilai layak ekonomi dan sesuai diterapkan oleh pesanggem di lafaan
tumpangsari.
Dalam menetapkan skenario pengelolaan yang layak diterapkan digunakan
analisis keputusan dengan teknik comparativepelformance index, CPI (Eriyatno,
1990). Pada analisis ini, sejumlah skenario merupakan masukan model yang
masing-masing akan memberikan nilai kriteria berdasarkan tolok ukur yang digunakan. Dengan teknik ini, ditetaplcan bentuk skemio pengelolaan yang layak berdasarkan kriteria rasio debit minimum, laju erosi dan sedimentasi minimum dan
tingkat pendapatan maksimum.
Agar komunikasi timbal balik antara model dan pengguna model lebih efektif, maka rancangan model dirakit menurut teknik Sistem Penunjang Keputusan
(decision support system) yang struktur dasarnya disajikan pada Gambar 8. Basis
datanya menggunakan bahasa pemrograman d'Base Three Plus dan basis modelnya
dengan Microsoft Quick Basic.
Basis
Mode 1
Sistem Manajemen
Sistem Manajemen
Sistem Pengolahan
Sistem Manajemen
I
T
A
I
I
PENGGUNA
I
Gambar 8. Struktur Dasar Sistem Penunjang Keputusan
(Eriyatno, 1990)
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Peranan Hutan
Hutan tergolong sumberdaya alam hayati dapat pulih, yang dalarn UridangUndang No. 5 nhun 1967 diartikan sebagai lapangan bertumbuhan pohon-pohon
yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam
lingkungan. Hutan berperan sangat penting dafam berbagai aspek kehidupan
manusia baik aspek ekonomi maupun sosiai budaya. Berkaitan dengan fungsi
h ~ ~ ~ ~ o l o g imaka
s n y pengertian
a
hutan lebih mengarah kepada pengertian kawasan hutan lindung.
Kittredge (1948) mengartikan hutan lindung sebagai kawasan yang ditumbuhi sebagian atau seluruhnya oleh vegetasi berkayu, yang terutama dikelota atas
dasar pengaruh yang menguntungkan terhadap pergerakan air dan tanah. Dalam
Undang-Undang No.5 tahun 1967 dan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990
disebutkan bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang rnemiliki sifat Uas
yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar mupun dihilirnya
sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memeliharrr kesuburan
tanah. Selanjutnya disebutkan bahwa kawasan ini perlu dibina d m dipcrtahankan
sebagai hutan dem'
penutupan vcgetasi
say.taap gum
kepentingn hidroom-
log i . Tata cara penentuannya diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian
No. 837/KptsfUm/11/ 1980, yaw mempertimbangkan fhktor-faktor lereng lapang-
an, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap e m i dan inensitas hujan.
Hutan berperan dalam pengaturan dan pengendalian hasil air, meliputi
kuantitas, kualitas dan waktu penyediaan air, yang ketiganya merupakan atribut
penentu mutu DAS (Hewlett dan Nutter (1x9). Sehubungan dengan peranan ini,
maka Kittredge (1948) memperluas pengertian managemen hutan lindung sebagai
managemen DAS (watershed management).
17
Kuantitas air diartikan sebagai volume hasil air sementara waktu penyediaan
air menyangkut pengaturan alirannya. Sebaran hutan dalam DAS berpengaruh
terhadap kedua ciri ini karena secara langsung akan menentukan nilai komponen
inmepsi dan evapotranspirasi, yang selanjutnya menentukan besarnya air yang
sampai Cepermukaan tanah dan terserap kedalam tanah. Apabih hasil air dipisahkan kedalam komponen-komponen aliran permukaan (direct rum@'), aliran bawah
permukaan (inteflow) dan aliran air bawah tanah (grosmdwaterflow) (Schulz,
1980), maka terdapat kecenderungan bahwa makin luas kawasm hutan dalam suatu
wilayah ekologis, dalam pengertian DAS, akan menurunkan volume aliran permukaan (r = - 0.9055), meningkatkan aliran bawah permukaan (r = 0.6422) dan
aiiran air bawah tanah (r = 0.8656) (diolah dari data hasil pemlitkn Murtiiaksono,
1987; Dian Wibawa, 1983; Sinukaban dan Zubair, 1988; Proyeit Kali Konto,
1991). Ini menunjukkan bahwa hutan berperan dalam peninglcatrn infilmi dan
perkolasi yang akan meningkatkan jumlah air yang bergerak kc cadangan daerah
bawah permukaan (lower zone storage), sehingga penyediaan air di sungai terjadi
dalam skala normal melalui lebih banyak aliran bawah permukaan dan diran air
bawah tanah.
Suatu ekosistem DAS yang utuh mempunyai dun sumber ham utama, yaitu
masukan komponen m c m d o g i dan hasil petslpukan m i d primer dan sekunder
yang diendapkan. Sumber k d u a irdrlah yang paling bear dan hutan berperan
sebagai penyedia dan penyimpan mineral dalam biomasnya. Melalui proses
p m b a k a n di zone rimfir, disediakan sejumiah hara dan bahan organik dalam
tanah yang tersed ia untuk diangkut melalui gerakan air-sedimen. Karena hutan
berperan dalam menekan aSiran permukaan, maka pada hutan yang tidak terganggu
penyirnpanan dan .daur ulang ham berlangsung sangat efektif sehingga memperbaiki
kuaiitas hasil air (Bormann dan Likens, 1981).
Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai didefenisikan sebagai wilayah yang terletak di atas
suatu titik pada suatu sungai yang oleh batas-batas topografi mengatirkan air
yang jatuh diatasnya ke dalam sungai yang sama dan melalui titik )iang sama pada
sungai tersebut (Arsyad, Pryanto dan Nasution, 1985). Karena didalamnya beriangsung aktivitas interaktif yang dinamis dan spesifik dari sejumlah komp~nen
penyusunnya, maka DAS dapat dipandang sebagai suatu wifayah ekologis atau eko&ern
yang aktivitasnya dibatasi sepenuhnya dari wilayah ekologis lainnya.
Ekosistem DAS mempunyai karakteristik yang spesifik berkaitan dengan
kondisi faktor-faktor fisik-biologis seperti curah hujan, evapotranspirasi, infiltrasi,
aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran air bawah tanah dan alirsrn
sungai. Faktor-faktor tersebut erat kaitannya dengan urrsur-unsur utamanya seperti
sifat-sifat tanah, tipe vegetasi penutup, Iws dan letak, topogmfi dan mur pengelolaan, yang akan memperlihatkan perilaku hidroorologi yang berbeda dari ekosistem
DAS lainnya.
Karakteristik hujan dan aliran permukaan akan mencerminkan potensi
penyediaan energi dalam proses erosi-sedimentasi. Jika dikaitkan dengan unsur-
unsur utama DAS, maka akan memperlihatkan periiaku erosi dan sedirnentasi yang
spesifik. Potensi sumberdaya yang spesifik akan memungkinkan munculnya berbagai tipe kegiatan ekonomi sehingga DAS juga meqakan suatu wilayah pengembangan ekonomi. Dengan demikian, DAS dapat ditingkatkan kepentingannya menjadi sentra pengembangan konsep &lam mengumpulkan sejumlah informasi yang
relevan untuk perencanaan sehingga merupakan satu unit pengembangan wilayah.
Berdasarkan ciri tersebut di atas, maka secara ekologis DAS dapat dipandang
sebagai satu sistem hidrologi ;sistem erosi-sedimentasi dan sistem bio-ekonomi
yang dapat di analisis secara terpisah atau gabungan melalui pendekatan sistem
(Gil, 1979; Haeruman, 1985).
Sistem Hdrotogi
Gerakan air di alam mengikuti satu siklus yang diatur menurut kaidahkaidah alami dan bagian dari siklus air di bumi di atur dalam suatu sistem DAS.
Konsep pengembangan model h idrologi di DAS d idasarkan pada prinsip
konservasi massa dan energi (Woolhiser dan Brakensiek, 1982). Seluruh proses
aliran akan mencapai keseimbangan yang secara hipotetik mengikuti proses pada
Gambar 9. Prosesnya meliputi dua daerah pergerakan yaitu di atas dan di bawah
permukaan tanah (Viessman et al., 1977).
Gambar 9. Konse Keseimba an Air (dikembangkan
dari
lhiser dan rakensiek, 1982)
&
Yi
Gerakan air harus memenuhi hukum konservasi mas= yang menyatakan
bahwa pada suatu interval waktu tertentu besarnya perubahan dalam simpanan
harus sama dengan selisih jumlah air yang masuk dan air keluar ( W l h i s e r dan
Brakensiek, 1982). Prinsip ini dinyatakan secara mtematik menurut persamaan:
di mana 6s adalah perubahan dalam simpanan, I adalah aliran masuk, 0 adalah
aliran keluar dan t adalah selang waktu.
Keseimbangan air di DAS dapat dituliskan:
di mana R adalah Curah hujan, GUZS adalah perubahan simpanan daerah atas permukaan, GLZS adalah perubahan simpanan daerah bawah permukaan, 6S adalah
perubahan simpanan dalam DAS, Q adalah aliran permukaan, Q, adalah aliran
bawah permukaan, Qgadalah aliran air bawah tanah, E adalah evapotnn~pirasi,
dan d adalah kedalarnan LZS.
Selwuh proses aliran di DAS dapat ditelusuri menurut skema pada Gambar
5 (Crawford dan Linsley, 1966). Curah hujan sebagai masukan sistem DAS akan
did-ikan
kedalarn komponen aliran menurut bentuk dala mekanisme berikut:
Intersepsi dan Suplai Air ke Permukaan 'IBnah
Bentuk kehilangan air pertama dalam siklusnya di bumi adalah intersepsi,
yaitu proses pencegatan air hujan oleh bentuk-bentuk penahanan di permukaan
bumi. Di DAS, bentuk penahanan yang penting adalah vegetasi sehingga dalam
studi-studi hidrologi vegetasi selalu menjadi perhatian utama dalam perhitungan kehilangan intersepsi.
Intersepsi merupakan fungsi dari iklim dan vegetasi. Faktor iklim yang
berpengaruh meliputi jumlah dan intensitas hujan serta faktor yang menentukan
tinplkat evaporasi seperti suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin,
sementara faktor vegetasi meliputi jenis, kerapatan tajuk serta sifat dan susunan
daun yang menentukan kapasitas simpanan intersepsi (Horton, 1919; Leyton dan
Sejumiah metode teiah dikenalkan untuk menetapkan besarnya laju intersepsi dan untuk tujuan-tujuan praktis, laju intersepsi dapat ditentukan menurut hubungan (Leyton, Reynold dan Thompson, 1969; Aston, 1979; Gash, 1979; Sinukaban
dan Zubair, 1988).
eli mana SEP adalah intersepsi (harian atau bulanan), CH adalah curah hujan
( h i a n atau bulanan), a dan b adalah kostanta yang ditetaphn secarsr statistik.
Hujan yang tidak tertahan oleh tajuk akan jatuh sebagai lolosan tajuk
(throughfall) dan aliran batang (ste@bv) yang mensuplai air ke permukaan tanah
(Roitzsch dan Masrur, 1969). Menurut perhitungan kontinuitas m a h suphi air
pxmukaan (net rainfall) merupakan selisih curah hujan dengan in@rscpsi.
Infrltrasi, Simpanan Pennukaan dm Simpanan Bawah Permukaju~
Suplai air ke permukaan dialokasikan kedalam komponen aliran yang seam
hipotetik mengikuti proses pada Gambar 10. Suplai air ke pe'rmukaan dapat diabsorpsi oleh tanah melalui proses infiltrasi, mengisi degresi permukaan (&pression
storage) atau mengalir di atas permukaan tanah (Huggins dan Burney, 1982). Pada
akhir proses, bagian air &lam simpanan permukaan akan betgerak ke dalam tanah
melaiui infiltrasi tertunda (delayed it@&&).
Faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi air permukaan meliputi laju
suplai air, kapasitsts infiltrasi maksimum d m tingkat aliran &lam tanah. Nilai
kapasitas infiltrasi dan tingkat aliran pada suatu interval waktu bergantung pada
kadar air tanah. Makin tinggi kadar air tanah makin rendah kapasitas infiltrasi
sehingga aliran dalam tanah akan stabil oleh pengurangan hisapan matriks (Horton,
1940; Philip, 1957; Crawford dan Linsley, 1%6).
Suplai Air ke
Permukaan Tanah
I
Suplai Awal
(icf)
1. Infiltrasi
langsung
2. Simpanan
depresi
I
v
7
I
Suplai Netto
(i>f)
1. Detensi per-
rnukaan
2. Aliran permukaan
v
II
Suplai Akhir
(icf)
I
1. Infiltrasi
genangan
2. Infiltrasi
supl.akhir
Gambar 10. Skema Proses Alokasi Air Permukaan
(i =intensitas SA; f =laju infiltrasi)
Crawford dan Linsley (1966) menetapkan nilai infiltrasi di DAS menurut
hwa distribusi kumulatif kapasitas infiltrasi yang dikembngkan dati data hasil
pengukuran infiltrometer sccara simultan oleh Burghy dan Luthin (1956). Kapasitas
infrlmi bervariasi dari titik ke titik mengikuti pola distribusi kumulatif linear yang
bergerak dari titik 0 ke suatu nilai maksimum. Sebagian dari air infiltrasi akan
bergerak ke simpanan daerah b a d permukaan clan simpanan air tanah clan sebagian mempunyai kontribusi ke aliran bawd permukaan. Dengan demikian diperoieh tiga bentuk alokasi air permukaan yaitu infiltmi langsung, peningkatan
simpanan pennukaan dan peningkatan simpanan b a d p~mukaan(Gambar 11).
Aliran permukaan (overland flow) adalah bagian hujan yang mengalir di
permukaan tanah sebelum mencapai sungai (Chow, 1988). Bagign ini merupakan
hujan kbih yang terjadi pada saat laju hujan melebihi laju infiltrasi (Schulze, 1966;
Rajedran dan Mein, 1986).
Infiltrasi
Persen areal dengan kapasitas infiltrasi
yang sama atau iebii kecil dari nilai
yang ditunjukkan
Gambar I I . Wiasi Kapasitas Infiltrasi, Simpanan Permukmn dan
Simpanan Bawah Permukaan (Crawford dan Linsley, 1966)
Aliran permukaan terjadi dari simpanan permukaan yang mengalir setelah
kapasitas simpanan permukaan serta suatu kedaiaman tertcntu yang d h t d t h oleh
air untuk dapat mengalir, dipenuhi.
Infiltrasi tertunda dan evaporasi juga terjadi dari simpaturn permukaan.
Dengan mengabailcan evaporasi selama hujan, maka aliran permulam nrerupzrlurn
bagian simpanan permukaan setelah infiltrasi tertunda, kapasitas simpanan, serta
kedalaman air untuk mengalir, dipenuhi.
Aliran B a w h Famuban dan Aliran Air h w a b %nab
Simpanan b a d permukaan (sub surfmce s t o w ) disuplai oleh air infiltrasi
yang mtahan di b a d permukaan (irote-
&ention) okh pengaruh sifitt tarah.
Bagian air yang tidak tertahan yaitu infiltrasi langsung dan infiltrasi tertunda akan
mengisi simpanan air bawah tanah (groundwaterstorage) melalui perkolasi.
Simpanan bawah permukaan dan simpanan air bawah tanah akan mensuplai
aliran sungai melalui aiiran bawah permukaan (interflow)dan aliran air bawah
tanah (gr~~~ndwaterflow).
Besarnya sumbangan kedua komponen ini dikontrol
oleh laju reszsi alirannya yang dapat ditetapkan menurut persitmaan (Horton 1938
ddam Chow, 1964):
Q, = Qo * k:
log Q, = log Qo + t log kr
atau
di mana Q, adalah debit pada waktu t (m3/dtk), Qo adalah debit sebelumnya
(m3/dtk) dan kr adalah konstanta laju resesi aliran.
Gerakan air bawah tanah dapat ditelwuri menurut konsep Darcy (Todd,
1980) yang diturunkan menurut model:
di mana Q adalah aliran air bawah tanah, k adalah konduktivitas hidraulik, A
adalah luas penampang aliran dm 6h/N adalah gradien energi aliran.
Dalam pengembangan model aliran air bawah tanah, luas penampang aliran
diasumsikan proporsional dengan tingkat simpanan air bawah tanah sedangkan
gradien aliran diduga sebagai gradien dasar ditambah &@an suatu peubah gradien
yang bergantung pada perubahan air bawah tanah (Crawford dan Linsiey, 1966).
Dengan demikian, prsamaan aliran air bawah tanah dapat dinyatakan dalam
bentuk paximaan:
GWF
= PGWF * (1.0
+ (KV*SGW)) * GWS
di mana GWF adalah aliran air bawah tanah, ffiWF adalah parameter yang
proporsional dengan konduktivitas hidraulik yang nilainya bergantung pada laju
resesi aiiran, GWS adalah simpanan air bawah tanah, SGW adalah gradien air
bawah tanah dan KV adalah parameter yang mengontrol laju resesi aliran.
Aliran Sungai
Hasil akhir dari tanggapan DAS terhadap masukan curah hujan dan unsur
cuaca untuk satu jangka waktu tertentu ditunjukkan oleh tampilan hidtograf alimn
sungainya yang dalam studi-studi hidrologi dinilai penting sebagai penyedia informasi berbagai proses aliran (Wilson, 1970; Boughton dan Freebairn, 1985).
Hidrograf aliran sungai merupakan gambaran fluktuasi aliran secara kontinyu sebagai pengaruh integral peubah-peubah fisiografis dan hidrometeorolugis
(Chow et al., 1988). Komponen hidrograf meliputi (1) aliran perrnukaan, (2) aliran bawah permukaan, (3) aliran air bawah tanah cfan (4) curah hujan yang jatuh di
atas sungai (Chow, 1964). Dalam studi-studi hidrologi secara umum, komponen
ke empat ini seringkali diabaikan karena nilainya relatif kecil dibandittg &ngm ke
riga komponen lainnya.
Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah proses kehilangan air dari bentuk penahanan di
permukaan termasuk tanah dan vegetasi (evaporasi) serta transpimi tanaman. Dua
istilah yang sering digunakan yaitu evapotranspirasi potensial dan aktual. Pada
areal di mana air tidak merupakan faktor pembatas maka evapotrampirasi aktualnya akan sebanding dengan nilai potensialnya. Di atas l h n , air seringkali menjadi faktor pembatas, dan nilai evapotranspirasi aktualnya akan menurun dari nilai
potensialnya.
Evapotranspirasi dikontrol oleh tiga kondisi, yaitu (1) kemampuan udara
menyerap air, (2) energi yang tersedia untuk panas laten yang digunakan dalam
proses evaporasi dan transpirasi, dan (3) derajat turbulensi udara yang penting
untuk menggantikan udara jenuh dekat permukaan dengan udara yang tidak jenuh
diatasnya (Nieuwolt, 1982).
Sejumlah penel iti mengernbangkan persamaan empirik untuk menduga
besarnya evapotranspirasi potensisl. Penman (1956) mengembangkan metode
pendugaan dengan menggunakan prinsip keseimbangan energi dan acrodinamik,
Blaney dan Criddle (1962) dengan metode panas efektif, Thornthwaite (1957)
menggunakan suhu udara sebagai refleksi sejumlah unsur cuaca, dan metode radiasi
(Doorenbos dan Pruitt, 1987) menggunakan konsep keseimbangan energi. Be&sarican data yang tersedia secara umum di Indonesia, maka dari semua metode
pendugaan yang disebutkan di atas, metode Thorntwaite lebih memungkinkan digunakan secara luas.
Thornthwaite (Thornthwaite dan Mather, 1957) menduga evapotranspirasi
potensial menurut hubungan:
ETP = f (T, 1,a)
di mana ETP adalah evapotranspirasi potensial, T adalah suhu udara, I adalah
indeks panas dan a adalah konstanta sebagai fungsi dari suhu udara.
Selanjutnya evapotranspirasi aktualnya ditetapkan dengan mempertimbangkan besarnya curah hujan dan cadangan air tanah. Apabila curah hujan lebih
besar atau sama dengan evapotrawpirasi potensial maka evapotranspirasi aktdnya
sebanding Qengan evapotranspirasi potonsial dan bila lebih kacil maka evapotransp i m i aktualnya sebancEing dengan curah hujan ditambah dengan penrbahan cadangan air tanah.
Sistem Erosi dan Sedimentasi
Erosi merupakan proses kehilangan tanah oleh pengaruh faktor luar seperti
air, angin, dan manusia sebagai faktor anthropogenic yang nyata. Dalam prosesnya
partikel tanah dipisahkan dan diangkut oleh kekuatan energi pengerosi. Selanjutnya
tanah yang terangkut diendapkan di tempat-tempat yang dilaluinya sewaktu melemahnya tenaga pengerosi, di sungai, waduk atau laut (Foster dan Meyer, 1977;
Holy, 1980).
Model Erosi
Dua faktor utama yang mempengaruhi bekerjanya erosi yaitu erosivitas
yang menggambarkan kemampuan agen pengerosi mendispersi dan mengangkut
partikel tanah dan erodibilitas yang menggambarkan kepekaa tanah terhadap
e m g i pengermi (Morgan, 1979; Jansson, 1982).
Energi erosivitas diperoleh dari curah hujan dan aliran perm-.
Curah
hujan memiliki energi potensial oleh pengmh massa dan pcroepltan gravitasi dan
dirubah menjadi energi kinetik sebagai energi pengged yang nrendispetsi dan
memindahkan partikel tanah (Morgan, 1979). Emgi kinetik mempunyai korelasi
yang tinggi dengan intensitas hujan selama 30 rnenit (Wimeier, 1%9; Bertmd
dan Sor, 1962; Sor dan Bertrand, 1962). Energi kin& Wan germukaan diperokh dari massa dan kecepatannya yang dipakai untuk m e n p g k a pertiltel W.
Menurut hukum fisika, energi ini akan meningkat dengan meningkatnya kemiringan
dan panjang lereng oleh (1) pengurangan infiltrasi, (2) peningkatnn jrrtk tempuh
dan (3) peningkatan volume aiiran permukoan ( D r k l dan Osborn, 1968; Jansson,
1982).
Tanah mempunyai sifat kepekaan terhadap energi pengerusi, betkaitan
dengan kondisi agregat serta ciri hidrologis yang menentukan kemudahan dispeni
dan infiltrasi (Bertrand, Barnett dan Rogers, 1964; Gabriels, Hartman dan De
B d t , 1974). Secara praktis, nilainya dapat ditentukan berdasarkan tipe tekstur,
struktur, permeabititas serta kandungan bahan organik dalam tanah (Wischmeier,
Johnson dan cross. 1%9).
Faktor pengelolaan tanah adalah masukan yang akan memanipulasi kekuatan
erosivitas dan erodibilitas (Morgan, 1979). Faktor ini met iputi semua tindakan
pengelolaan yang diperlakukan terhadap tanah dan vegetasi.
Model pendugaan erosi yang banyak digunakan saat ini adalah Model USLE
(Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith
(1978). Skema deskriptifnya ditunjukkan pada Gambar 12 dan dugaan enwi ditentuhn menurut fungsi hubungan:
EROSI = f (EROSIV, ERODI, TOPOG, TAN, KON)
EROSIV = f (Hujan)
ERODI = f (Tekstur, Struktur, Bahan Organik, Permeabilitas)
TOPOG = f (Kemiringan lereng, Panjang lerens)
TAN = f (Jenis tanaman, Urutan tulaman)
KON = f (Tindakan k o m i tanah)
di mana EROSI adalah laju kehilangan tanah, EROSIV adalah faktor erosivitas,
ERODI adalah faktor erodibilitas, TOPOG adalah faktor panjang dan kemiringan
lereng, TAN adalah faktor penutupan dan pengelolaan tanaman d m KON adalah
faktor tindakan komemsi tanah.
Kehilangan 'Ibnab yang Dapat Dibiarkan
Usaha pengendalian erosi melalui berbagai tindakan konscrvasi tanah dan
air dimaksudkan untuk menekan laju crosi sampai pada tingkat yang masih dapat
dibiarkan (TSL) . Konsep ini memberikan keuntungan yaitu pekerjaan dan biaya
lebih ringan, produktivitas tanah tetap terjamin dan lebih leluasa memilih alternatif
pemanfaatan yang sesuai. Oleh karena itu konsep TSL mempunyai implikasi sosial
dan ekonomi (Mannering, 1981; McComack dan Young, 1981).
Kelas Tekstur
FPERM
FMAT
FSTRUK
FBORG
r
r
r
I
v
I
I
1
Faktor Erodibilitas
Faktor Lereng
I
I
E
Faktor Erosivitas
F
Faktor Tanaman
I
EROSI
-
Faktor Konservasi
i
r
i
r
i
1
1
1
1
1
Prediksi kehilangan tanah
EROSIV
ERODI * T O W
TANAM
KON
Gambar 12. %hapan Prediksi Kehilangan ?turah
(Wdan Dent, 1983)
Penetapan TSL mempertimbangkan faktor kedalaman tanah bagi pertumbuhan tanaman optimal (McComac dan Young, 1981) dan laju perkembangan
morfogenesis tanah (Khonke dan Bertrand, 1959). Peneliti lain mengrrsulkan untuk
ntempettimbangkan sifat-sifat tanah serta sifat-sifat lain yang mempengaruhi perkembangan akar tanaman, kehilangan bahan orggnik dan hara serta tingkat teknologi yang diterapkan (El-Swaify, Arsyad dan Krisnarajah, 1982).
Hamer (1982) mengenalkan konsep TSL dengan mempertimbangkan umur
guna tanah yaitu waktu yang diperlukan untuk habis tererosinya suatu kedalaman
tanah. Pada konsep ini, laju TSL ditentukan menurut fungsi hubungan:
TSL = f (KE, FKT, UCX)
di mana TSL adalah laju erosi yang masih dapat dibiarkan, KE adalah kedaiaman
efektif, FKT adalah faktor kedalaman tanah dan UGI' adalah umur guna tanah.
Model Sedimentasi
Sedimentasi merupakan proses lanjutan dari erosi di mana material hasil
erosi diendapkan pada tempat-tempat yang dilaluinya, di sungai, waduk atau laut.
Laju pengendapan berubah setiap saat bergantung pada kecepatan aliran (Sengupta,
1979). Jumlah sedimen yang masuk ke sungai, waduk atau laut, bergantung pada
rantai proses erosi-pengangkutan-sedimentasidan intensitas pengangkutan d i m e n
dipengaruhi oleh kondisi topografi, penutupan serta sifat-sifat tlinah (Baron et al.,
1980; Foster dan Lane, 1981).
Tidak semua tanah tererosi akan mencapai titik pengukuran. Jumlah tanah
krerosi yang menjadi bagian sedimentasi dinyatakan sebagai nisbah limpah sedi-
men (sediment delivery ratio, N U ) yaitu bandingan jumlah sedimen yang terukur
terhadap jumlah tanah tererosi (Robinson, 1979). ASCE (1975 dalam Robinson,
1979) mendapatkan hubungan antara NLS dengan luas DAS dan untuk DAS berukuran kecil nilai NLS dapat mencapai 50 hingga 90 % (Wiersum, 1979).
Tingkat scdimentasi dibedakan atas sedirnentasi potensial dan aktual. Sedimentasi potensial adalah jumlah sedimen yang masuk ke sungai, waduk atau laut,
sementara sedimentasi aktual adalah jumlah sedimen yang mengendap di sungai,
waduk atau laut. Model sedimentasi dikembangkan menurut fungsi hubungan:
SEDPCrr = f (EROSI, NLS)
NLS = f (LUDAS, TOPOGRAFI, PENGGUNAAN LAHAN)
SEDAK = f (SEDPCrr, TRAP)
31
di mana SEDPOT adalah sedimentasi potensial, EROSI adalah laju kehilangan
tanah aktual, NLS adalah nisbah limpah sedimen, LUDAS adalah luas DAS,
SEDAK adalah sedimentasi aktual, TRAP adalah keefisienan perangkap.
Model sedimentasi dapat pula dikembangkan melalui fungsi hubungan tinggi
muka air, debit dan sedimen untuk memperoleh kurva penelusuran sedimen
(sediment rating curve). Selanjutnya laju sedimentasi dapat diduga melalui hubungan sedimen dengan debit secara kontinyu.
Sistem Sosial-Ekonomi
Dinamika sistem sosial-ekonomi dan termasuk budaya suatu masyarakat
sangat d itentukan oleh kondisi ekosistem di mana masyarakat tersebut berinterahi
serta masukan dari sistem lain di luar sistem sosial-ekonominya. Pada masyarakat
pedesaan (tinjauan khusus masyarakat di sekitar hutan) intensitas interaksinya
umumnya didorong oleh tuntutan-tuntutan ekonomi yang mendesak. Hasil-hail
penelitian sebelumnya memberi petunjuk bertafian dengan konteks petmasalahan
ini dengan sejumlah konsekuensi tekanan terhadap sumberdaya (khususnya sum-
berdaya hutan di Jawa) yang makin tinggi (Pranowo, 1985; Tatuh, 1992). Bagairnanapun, karena dalam interaksi terlibat sejumlah komponen ekosistem lain seperti
vegetasi dan tanah yang mempunyai fungsi hidroorologis yang penting, maka
aktiv i tas interaksi dipandang mempunyai konsekuensi terhadap perubahan kondisi
hidroorologis ekosistem. Karena itu, dengan pertimbangan kernanfaatan sumberdaya hutan, baik bagi kepentingan pelestarian maupun kebutuhan peningkatan
kesejah teraan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, maka karakterisasi
sistem sosial serta tipe-tipe ekonomi yang mendasari dan yang timbul dari aktivitas
interaksi sangat d iperlukan sebagai pertimbangan mendasar dalam kebijakan pengelolaan.
Untuk tujuan-tujuan praktis, Rambo (1981) menyarankan suatu pendekatan
konseptuai sebagai mode1 kajian yang konsepnya digambarkan menurut skema pada
Gambar 13. Dia memandang segenap aktivitas manusia, pranata soaial dan unsurunsur budaya berada dalam satu kesatuan yang integral, yakni sistem sosial.
Sistem sosial inilah yang selanjutnya berinteraksi dengan ekosistem alarn mengikuti
pols hubungan timbal balik dalam mempertukarkan energi, materi dan informasi.
5
Baik sistem sosial maupun ekosistem alam keduanya merupakan sistem terbuka
yang menerima masukan dan memberi keluaran dari dan ke sistem sosial dan
ekosistem lain.
Selanjutnya Vayda (1983) rnengenalkan konsep pendekamn tanpa memperdulikan pemisahan yang jelas sistem sosial dari ekosistem alam dan menyarankan
bahwa kajian interalwi masyarakat dan ckosistem diawali d e w suatu pertimbangan pertnasalahan, yaitu suatu kegiatan masyarakat tertentu, pada kondisi ekosistem
tettentu dan pada waktu tertentu. Melalui langkah awal ini kemudian ditelwuri
hubungan sebab akibat secara progresif berkonteks temporal dan spasial.
Tanpa melihat perbedaan pendekatannya, kedua konsep di atas dapat digunakan bersama-sama dalam mengkaji interaksi masyarakat dengan ekosistem
alamnya. bgaimanapun, gejolak yang terjadi dalam sistem sosial akan mempengaruhi internitas' inttraksinya dan terdapat pola yang dominan yang dinilai penting
sebagai penggmtk intensitas intemksi terscbut. Pranowo (1985) dari hrtsil penelitiannya menunjukkan bahwa terjadi proses perubahan ekologi pada masyarakat
Kawastu di lereng Gunung Merapi Jawa Timur sejak mereka lepas dari sistem perladangan karena ditetapkannya sebagian wilayahnya menjadi hutan lindung. Walaupun aktivitas masyarakat Kawastu tidak lagi ditandai dengan pembukaan hutan,
namun tidak berarti bahwa ketergatungan mereka lepas sama sekali dari ekosistem
hutan. Dengan cara yang lain, mereka masih tetap memanfaatkan kawasan hutan
Masukan dari
sistem
sosial l a . 7 1
r
Energi, Materi
I
T
A
-
I
t
SISTEM
SOSIAL
Informasi
Iv
I
Seleksi
Masukan dari
ekosistem
lain
r
T
I
-
EKOS ISTEM
ALAM
Adapt as i
I
I
J i
Keluaran ke
t
sistem
sosial lain
I
Informas i
Energi , Materi
I
I
Keluaran ke
ekosistem
lain
Gambar 13. Interaksi Sistem Sosial dan Ekosistem
(disederhanakan dari Rarnbo, 1991)
sebagai pendukung ekonomi keluarga. Dua kegiatan utama yang dicatat, yaitu
pengambilan kayu bakar dan rumput makatlgn ternak yang d k a a h n angat besar
pengaruhnya terhadap ekosistem hutan. Kodisi seperti ini juga terjlmdi di wilayah
lain d i Jawa, seperti masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan DAS
Konto Hulu, oleh desakan kebutuhan kayu bakar serta perkembangan ussha tcmak
dalam memacu perekonomian masyarakat yang penyediaan pakrurnya bersumber
dari hutan (Smiet, 1989). Nampak bahwa bagi masyardcat yang bermukim disekitar hutan, pemenuhan kebutuhannya sebagian masih bemmpu p d a hutan.
Melalui k o m p Rambo (1981) dan Vayda (1983) @at ditelusuri aktivitas
sosial y a w merangsang dan t i p - t i p ckonomi yang timbul daiam upslya peningkatan kesejahteraan m y a r a k a t yang secara tangsung atau t W c langsung mempunyai
k o m k u e w i penting terhadap ekosistem alam. Selanjutnya, scaua kuantitatif nilai
interaksi dapat diaktualisasikan dalam bentuk m y a penclapatan dengan mempertimbangkan besarnya penerimaan dan pengeluaran dari setiap tipe ekonomi.
Secara umum penerimaan dari suatu kegiatan ekonomi (khususnya usahatani
dan ternak) adalah nilai uang yang diterima dari penjuaian hasil produksi (farm
receipt) dan pengeluaran adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian
barang dan jasa dalam proses poduksi (farmpayment). Selisih antara penerimaan
dan pengeluaran tunai merupakan pendapatan tunai (farm net cashf2ow) (Dillon
dan Hardaker, 1986). Mengikuti konsep Randall (1981) konsep di atas dapat dinyatai
Latar Belakang
Waduk Selorejo, yang diresmikan penggunaannya tahun 1970, mempunyai
peranan yang sangat penting dalam upaya penyelamatan lingkungan, peningkatan
taraf hidup masyarakat serta menunjang pembangunan sektor lain. Waduk seluas
3.8 km2 ini berkapasitas maksimum 62 300 000 m3, dibangun untuk mengendalikan
banjir Sungai Brantas bagian hilir. Kapasitas menahan banjir maksimum 1000
tahunan dirancang sebesar 920 m3/detik yang dapat dikendalikan menjadi 360
m34detik dan banjir 200 tahunan sebesar 700 m3/detik dapat dikendalikan menjadi
260 m3/detik. Selain itu, waduk ini juga dapat memenuhi kebutuhan air lahan persawahan seluas 5 700 ha dengan tambahan debit maksimum di musim kemarau
4.0 m3/detik serta suplai tenaga listrik dengan daya terpasang 4.5 MW atau sekitar
49 juta KWh setiap tahun (Perum Jasa Tirta, 1992). Untuk memelihara keberlanjutan fungsi waduk ini, maka upaya pengamanan daerah alirannya mutlak diperlukan agar kondisi hidroorologisnya tetap dapat dipertahankan pada tingkat optimal.
Daerah aliran Waduk Selorejo meliputi kawasan DAS Konto Hulu seluas
233 km2 mencakup wilayah Kecamatan Ngantang dan Pujon di Kabupaten Malang,
Jawa Timur. Sesuai rancangan teknisnya, waduk ini dibangun pada dead storage
sediment sebesar 7 700 000 m3 atau sekitar 60 000 m3/tahun. Nilai ini setara
dengan rataan kedalaman daerah alirannya sekitar 0.30 mmltahun. Mempertimbangkan keefisienan perangkap (trap @ciency) waduk sebesar 92 % (Brabben,
1979), maka hasil sedimen yang diperkenankan memasuki waduk adalah 0.33
mmjtahun, setara dengan rataan laju erosi daerah alirannya 2.69 mmltahun atau
29.32 tonlhaltahun. Namun berdasarkan hasil pemantauan selama periode tahun
1973-1986, laju sedimentasi waduk mencapai 506 294 m3/tahun (Perum Jasa Tirta,
1992), setara dengan rataan laju erosi daerah alirannya 19.52 mmltahun. Nilai ini
4
$6.3 kali lebih tinggi dibanding laju erosi yang tercatat pada tahun 1960 sebesar
1.2 mm/t.hun (Sudibyakto, 1991). Rataan rasio debit aliran (maksimum terhadap
minimum) Sungai Konto Hulu juga cenderung meningkat dari 4.17 pada periode
tahun 1915-1942 menjadi 10.8 periode 195 1- 1972 (Brabben, 1978). Ini menunjuk. kan
bahwa kondisi hidroorologis DAS Konto Hulu sangat memprihatinkan yang
mengancam pengurangan umur efektif waduk atau paling tidak membutuhkan biaya
pemeliharaan yang cukup tinggi.
Hasil pengamatan Proyek Kali Konto yang bekerja sejak tahun 1979 menunjukkan bahwa kondisi yang parah di DAS Konto Hulu terjadi akibat konversi dan
perambahan hutan yang berlangsung sejak lama. Pada periode 10 tahun terakhir
(1979- 1989), konversi hutan lindung berkisar 2.57
- 13.30 % per tahun.
Kawasan hutan di DAS Konto Hulu meliputi luas 17 327 ha (72.8 %) dan
14 112 ha (60.57 %) diantaranya adalah kawasan hutan lindung. Sekitar 5 894 ha
(41.77 %) kawasan ini berubah menjadi semak dan 791 ha (5.60 %) menjadi tegal-
an, sehingga secara aktual luas hutan lindung saat ini hanya 7 427 ha (52.63 %).
Kondisi hutan lindung inipun sangat memprihatinkan di mana sekitar 50 % arealnya
mempunyai tingkat penutupan lebih 50 % dan 10 % berpenutupan kurang 20 %.
Diperkirakan 25 % pohonnya telah dieksploitasi dengan laju pengurangan luas
bidang dasar 8 % per tahun (Proyek Kali Konto, 1987). Dalam kaitan ini, Balai
Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Brantas m e m n g arahan penggunaan lahan di wilayah ini dengan menetapkan areal hutan lindung seluas 8 250 ha
dan Perurn Perhutani melaksanakan reboisasi dengan pola turnpangsari.
Adanya kecenderungan pengurangan dan penurunan kualitas kawasan hutan
di DAS Konto Hulu perlu mendapat perhatian demi penyelamatan dan keberlangsungan fungsi Waduk Selorejo. Untuk itu, diperlukan suatu kajian pengelolaan
kawasan hutan di wilayah ini yang didasarkan atas pertimbangan hidroorologisnya.
Penelitian dilakukan dengan memilih Sub DAS Manting sebagai studi kasus.
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:
1. Sub DAS Manting yang terletak di bagian hulu DAS Konto Hulu, seluruh
arealnya merupakan kawasan hutan. Pola tata guna lahannya meliputi hutan
alam, semak sebagai hasil suksesi hutan alam akibat perambahan serta hutan
tanaman dan tumpangsari sebagai hasil pelaksanaan reboisasi kawasan hutan
oleh Perum Perhutani. Curah hujan tahunan berkisar 2 500 mm, topografi
berbukit sampai bergunung dan jenis tanah dominan Andosol. Kondisi ini serupa dengan kawasan hutan lainnya di bagian hulu DAS Konto Hulu sehingga
secara umum dapat digunakan sebagai lokasi penelitian mewakili kawasan
hutan di wilayah ini.
2.
Tingkat kerusakan hutan di Sub DAS Manting cukup parah yang ditandai oleh
struktur vegetasi yang sangat terbuka, terdapat celah besar dengan luas bidang
dasar 15 - 30 m2/ha dan tingkat penutupan antara 20 - 40 %. Hal ini menyebabkan perubahan kondisi hidroorologisnya. Pada periode tahun 1987 - 1989
rasio debit aliran (bandingan debit aliran sungai maksimum dan minimum) dan
koefisien alirannya (bandingan debit aliran dan curah hujan) cukup tinggi dan
cenderung meningkat. Hasil interpretasi data pada tiga Sub DAS sasaran penelitian Proyek Kali Konto menunjukkan bahwa rasio debit aliran tahunan di Sub
DAS Coban Rondo Hulu (1 170 ha) menurun dari 6.10 pada tahun 1987 menjadi 3.86 pada tahun 1989 dan koefisien alirannya meningkat dari 0.28 menjadi
0.32. Di Sub DAS Sayang Hulu (341 ha) rasio debit aliran meningkat dari
7.06 menjadi 9.00 dan koefisien alirannya 0.45 menjadi 0.54. Di Sub DAS
Manting rasio debit aliran meningkat dari 7.96 menjadi 14.44 dan koefisien
alirannya 0.78 menjadi 0.80. Ini menunjukkan bahwa Sub DAS Manting memperlihatkan kecenderungan penurunan kondisi hidrologis yang nyata sebagai
gambaran labilitas daerah alirannya deh penurunan kualitas hutannya (diolah
dari data Balai RLKT DAS Brantas, 198811989; Suharto 1989; Proyek Kali
Konto, 1991).
3. Kontribusi areal terhadap aliran di Sub DAS Manting lebih tinggi dibanding
kawasan lain di bagian hulu serta nilai rataan DAS Konto Hulu. Dari total
aliran terukur selama bulan Oktober 1988 sampai Maret 1989 menunjukkan
bahwa kontribusi areal Sub DAS Manting (460 ha) adalah 27 297 m3/ha, Sub
DAS Coban Rondo (2 162 ha) 3 938 m3/ha dan Sub DAS Sayang (1 233 ha)
3 126 m31ha, sementara rataan DAS Konto Hulu 8 511 m3/ha. Ini menunjukkan bahwa Sub DAS Manting menyumbang sekitar 8 kali lebih besar dari area1
lain di bagian hulu dan sekitar 3 kaii lebih besar dari nilai mtaan &nth aliran
Waduk Selorejo (diolah dari data Suharto, 1989; Proyek Kali Konto, 1991).
4. Total sedimen (sediment load dan bed load) yang terukur di Sub DAS Manting
selama bulan Oktober 1988 sampai Maret 1989 adalah 9.74 ton/hr, setara
dengan rataan erosi daerah alirannya sebesar 36.71 tonha atau 5.2 mm. Nilai
ini sekitar 2 kali lebih besar dari nilai rataan laju erosi tahunvr ymg diper-
kenankan di daerah aliran Waduk Selorejo (diolah dari data Suharto, 1989).
Tujuan dan Kegunaan Peaelitirrn
Penelitian bertujuan untuk meranwing pola pengetolmn kawasan hutan di
Sub DAS Manting berdasarkan karstkferistik hidroorologi.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai:
1. Bahan pertimbangan Pemerintah Daerah Tingkat 11 Kabupaten Malang dalam
perencanaan pengembangan wilayah Tingkat I1 Kabupaten Malang
2. Bahan pertimbangan Perum Perhutani Unit I1 Malang dalam mengelola kawasan hutan di DAS Konto Hulu
3. Bahan pertimbangan Sub Balai Rehabil itasi Lahan dan Konservasi Tanah
Wilayah V1 Malang dalam penataan kawasan DAS Konto Hulu
4.
Bahan pertimbangan pi hak Proyek Wduk Selorejo dalam rangka penyelamatan
Waduk Selorejo.
-
5. Pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan metode
analisis yang berbasis sistem dengan mu1ti kriteria.
Hipotesis
Dalam penelitian ini diajukan beberapa hipotesis sebagai bcrikut:
1.
Pengeblaan kawasan hutan Sub DAS Manting - DAS Konto Hulu &an memperbaiki kondisi hidroorologisnya.
2.
Reboisasi melalui pola tumpangsari dan teknik konservasi tanah dan air yang
sesuai di kawasan hutan produksi terbatils di Sub DAS Manting - DAS Konto
Hulu akan memperbaiki kondisi hidroorologisnya serta meningkatkan pendapatan pesanggem.
KERANGKA PEMIKIRAN
Sub DAS Manting yang luasnya 460 ha, seluruh arealnya merupakan kawasan hutan. Akibat proses degradasi maka luas hutan alamnya s a t ini berkurang
menjadi 318.66 ha atau 69.26 %, selebihnya semak 18.53 % hasil suksesi alamiah
sera hutan tanaman 5.54 % dan tumpangsari 6.67 % hasil reboisasi Perum Perhu-
tani Unit I1 Malang. Berhubung kondisi hidroorologis Sub DAS ini makin menurun maka diperlukan pengelolaan kawasan hutannya. Model pengelolaa~yadiarahkan untuk mengetahui luas kawasan lindung dan hutan produlrsi yang layak
berdasarkan tolok ukur layak tata air serta layak erosi dan sedimentmi.
Sebagian area1 di bagian hilir Sub DAS Manting dikeiola oleh Penrm Perhutani melalui program reboisasi dengan pola HTI yang melibatkan masyrrrakat
setempat dalam sistim tumpangsari. Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan
bahwa terdapat variasi pda tanam dan tindakan pengelotaan yang diterapkan okh
pesanggem yang juga akan mempengaruhi kondisi hidrootologis Sub DAS ini. Sehingga untuk mendapatkan bentuk pola tanam serta tindakan pengelolerrn yang
layak diterapkan, selain kelayakan hidroorologisnya perlu pula rnempertimbangkan
aspek pendapatan pesanggem. Dengan demikian, rancangan pengeldaan kawasan
hutan di wilayah ini seam umum rnempertimbangkan tiga tdok ukur, yaitu layak
tata air, layak erosi dan sedimentasi serta layak pendapatan.
Kompleksnya permasalahan yang dih;ladapi yang rnetibatkan sejumlah komponen ekosistem DAS maka model pengelolaan kawasan hutan di wilayah ini dirancang dengan menggunakan pendekatan sistem dengan teknik skenario, menurut
tahapan kerja pada Gambar 1. Rancangan modelnya terdiri dari tiga sub model,
yaitu Sub Model Hidrologi, Sub Model Erosi-Sedimentllsi dan Sub Model Ekonomi
yang berorientasi pada pendapatan pesanggem dalam pola tumpangsari. Struktur
model secara hipotetik diskemakan pada Gambar 2.
/
Analisis Kebutuhan
1
Formulasi Masalah
i
1
I
v
Identifikasi sistem
I
v
I
Validasi Model
I
I
I
I
Eksperimentasi
I
Implementasi Model
(
Pemantauan
I
Gambar 1. Bagan Alir Pendekatan Sistem Sebagai Metode
Pemecahan Masalah (Soerianegara, 1977')
Pemodelan sistmnya dikembangkan dari konsep hubungan antar komponen
pada Gambar 3 clan rumusan diagram kotak hitamnya pgda Gambar 4.
Struktur dasar Sub Model Hidroiogi dirmcang dengan memodifikasi Model
Hidrologi Stanford 1V (Crawford dan Linsley, 1966) yang diskemakan pada
Gambar 5 . M9sukan utama model ini adalah curah hujan dan unsur cuaca sebagai
masukan situasional dan bentuk pemanfaatan hutan sebagai masukan kebijakan.
Keiuaran model adalah perilaku debit aliran yang ditunjukkan oleh tampilan hidrografnya.
Skenario Pengelolaan
Kawasan Hutan
SUB MODEL
HIDROLOGI
-
SUB MODEL
EROSI-SEDIMENTASI
-
SUB MODEL
EKONOMI
Respon Hidroorologis dan
Pendapatan Pesanggem
Garnbar 2. Struktur Model Peqplolaan Kawasan Hutan
di Sub DAS Manting
Melalui teknik simulasi (Gambar 6) dilakukan penyesuaian konstanta-konstanta aliran, formula atau model sistemnya, sampai tampilan hidrograf hasi! simula-
si secara statistik tidak berbeda dengan hidrograf aktual. Dengan demikian rancangan model hidrologi dinilai sah digunakan dalam analisis lebih Ianjut.
Model hidrologi yang sah selanjutnya digunakan sebagai bagian model
pengelolaan. Tolok ukur keluaran yang digullllkan adafah mfo debit aliran, yaitu
bandingan debit maksimum terhdap minimum. Skewio pengelolaan yang memperlihatkan rasio debit atiran yang minimum mengimplikasikan proporsi luas
lcawasan lindung dan hutan produksi terbat9s yang efektif di Sub DAS Manting.
Sub Model Erosi-Sedimentasi dirancang menurut struktur model USLE
(W ischmeier dan Smith, 1978) dan konsep Nisbah Limpah Sedimen (Robinson,
1979; Roehl dalam Dunne, 1977) (Gambar 7). Model ini bekerja untuk menduga
besarnya laju erosi dan hasil sedimen. Tolok ukur yang digunakan adalah laju
Intersepsi,
Evapotranspirasi
transpirasi
I
naman
Usaha
KTA
1
permuk
air bawah
.
bwh.pmk
-
>
I
tasi
*--b
b
usaha tum-
tas lahan
1
Pendapatan pesanggem
Gambar 3. Diagram Lingkar Sebab Akibat Komponen Sistem
Sub DAS Manting
Kondisi ekologis
Peraturan pemerintah
MASUKAN TAK TERKONTROL
Curah hujan
Unsur cuaca
Sifat tanah
Pasar
I
Pemanfaatan hutan
Tindakan konservasi
tanah dan air
IOglUIARAN
I
b-
--
DIIl9GIHKAN
Rasio debit rendah
Erosi-sedimentasi rendah
Pendapatan pesanggem
t inggi
Aliran permukaan tinggi
Infiltrasi rendah
Erosi melebihi TSL
I
Perum Perhutani Unit I1
Pemda Tkt 11 Malang
BRLKT Wilayah VI Malang
Gambar 4. Diagram Kotak Hitam Model Pengelolaan Kawasan Hutan
di Sub DAS Manting
........................................................
-cn-u
,
I
.
*
I
cn
-em-
DDX
ZECP
DDD
ISI
I
D
.
cn-.-.
v,
m z x
LO--,w
cnmx.
-zmT
1
I U
I
8
*
MU)
-mwv
=E
lW-0
L
1 vv
5s
I
I
vvv
I
I
d
L
i
B
-0
m
-
UJ
zoo%-.
===
EEZ
cr-0
L
--
z z
i
Cn
I
-
rncn
w-
zs
XZ1
Lf
3z
==
cr w
t-'
t-'
+
M e ~ p e l a j a r i peri 1 a k u si stem DAS aktual
*
I
P e n y u r u n a n program k o ~ p u t e r
I
Pendusaan p a r a ~ e t e r l
I
v
S imul as i
i n g a n hasjl simulasi
I dPeenwsbaan n dper1
l a k u slstcm aktual I
Model d i t e r i m a
I
I
I).
+
flodcl d a p a t dipakai untuk memecahkan m a s a l a h
S e l e s a i
Gambar 6. Diagram Alir Proses Simulasi
I
P1
Sifat tanah
Kapasitas infiltrasi
Pengelolaan lahan
Aliran permukaan
Kemiringan lereng
Panjang lereng
Daya dukung tanah
Tanaman penutup
Nilai penggunaan
(Teknik pemakaian)
Pengelolaan lahan
Energi
I
NLS
Perlindungan
I
Resistensi
v
I
Gambar 7. Struktur Dasar Model Erwi-Sedimentasi
(dikembangkan dari Morgan, 1979 dan
Robinson, 1979)
kehilangan tanah ymg masih dapat dibiatkan (tokrcrble soil loss, TSL) menurut
konsep Harner (1982) dengan mempertimbangkan hasil penelitian Hardjowigeno
(1987) wrta h a i l sedimen yang diperkenankan memasuki Waduk Seiorejo sesuai
dead storage sediment waduk. Skenario pengelolaan yang memberikan laju kehi-
langan tanah yang lebih kecil atau sama dengan TSL serta laju sedimentasi lebih
kecil atau sama dengan laju sedimen disain Wduk Selorejo dinilai la
sedimentasi.
Sub Model Ekonomi dirancang untuk mengetahui besarnya pendapatan
pesanggem pada setiap pola tanam dalam sistem tumpangsari serta kontribusinya
terhadap total pendapatan keluarga.
Tipe-tipe kegiatan ekonomi sebagai hasil interaksi masyarakat dengan ekosistem hutan ditelusuri menurut konsep Rambo (1981) dan Vayda (1983) melalui
pendekatan konseptual dan Kontekstual Progresif. Melalui pendekatan ini, kegiatan ekonomi (khususnya) sebagai hasil interaksi sistem sosial masyarakat dengan
ekosistem hutan dalam mempertukarkan energi, materi dan informasi, dapat diidentifikasi.
Pendapatan pesanggem d ihitung berdasarkan selisih nilai penerimaan
dengan pengeluaran pada setiap pola tanam selama setahun. Tolok ukur yang
digunakan adalah tingkat pendapatan. Pola tanam yang memberikan pendapatan
yang tinggi dinilai layak ekonomi dan sesuai diterapkan oleh pesanggem di lafaan
tumpangsari.
Dalam menetapkan skenario pengelolaan yang layak diterapkan digunakan
analisis keputusan dengan teknik comparativepelformance index, CPI (Eriyatno,
1990). Pada analisis ini, sejumlah skenario merupakan masukan model yang
masing-masing akan memberikan nilai kriteria berdasarkan tolok ukur yang digunakan. Dengan teknik ini, ditetaplcan bentuk skemio pengelolaan yang layak berdasarkan kriteria rasio debit minimum, laju erosi dan sedimentasi minimum dan
tingkat pendapatan maksimum.
Agar komunikasi timbal balik antara model dan pengguna model lebih efektif, maka rancangan model dirakit menurut teknik Sistem Penunjang Keputusan
(decision support system) yang struktur dasarnya disajikan pada Gambar 8. Basis
datanya menggunakan bahasa pemrograman d'Base Three Plus dan basis modelnya
dengan Microsoft Quick Basic.
Basis
Mode 1
Sistem Manajemen
Sistem Manajemen
Sistem Pengolahan
Sistem Manajemen
I
T
A
I
I
PENGGUNA
I
Gambar 8. Struktur Dasar Sistem Penunjang Keputusan
(Eriyatno, 1990)
TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian dan Peranan Hutan
Hutan tergolong sumberdaya alam hayati dapat pulih, yang dalarn UridangUndang No. 5 nhun 1967 diartikan sebagai lapangan bertumbuhan pohon-pohon
yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam
lingkungan. Hutan berperan sangat penting dafam berbagai aspek kehidupan
manusia baik aspek ekonomi maupun sosiai budaya. Berkaitan dengan fungsi
h ~ ~ ~ ~ o l o g imaka
s n y pengertian
a
hutan lebih mengarah kepada pengertian kawasan hutan lindung.
Kittredge (1948) mengartikan hutan lindung sebagai kawasan yang ditumbuhi sebagian atau seluruhnya oleh vegetasi berkayu, yang terutama dikelota atas
dasar pengaruh yang menguntungkan terhadap pergerakan air dan tanah. Dalam
Undang-Undang No.5 tahun 1967 dan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990
disebutkan bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang rnemiliki sifat Uas
yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar mupun dihilirnya
sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memeliharrr kesuburan
tanah. Selanjutnya disebutkan bahwa kawasan ini perlu dibina d m dipcrtahankan
sebagai hutan dem'
penutupan vcgetasi
say.taap gum
kepentingn hidroom-
log i . Tata cara penentuannya diatur dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian
No. 837/KptsfUm/11/ 1980, yaw mempertimbangkan fhktor-faktor lereng lapang-
an, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap e m i dan inensitas hujan.
Hutan berperan dalam pengaturan dan pengendalian hasil air, meliputi
kuantitas, kualitas dan waktu penyediaan air, yang ketiganya merupakan atribut
penentu mutu DAS (Hewlett dan Nutter (1x9). Sehubungan dengan peranan ini,
maka Kittredge (1948) memperluas pengertian managemen hutan lindung sebagai
managemen DAS (watershed management).
17
Kuantitas air diartikan sebagai volume hasil air sementara waktu penyediaan
air menyangkut pengaturan alirannya. Sebaran hutan dalam DAS berpengaruh
terhadap kedua ciri ini karena secara langsung akan menentukan nilai komponen
inmepsi dan evapotranspirasi, yang selanjutnya menentukan besarnya air yang
sampai Cepermukaan tanah dan terserap kedalam tanah. Apabih hasil air dipisahkan kedalam komponen-komponen aliran permukaan (direct rum@'), aliran bawah
permukaan (inteflow) dan aliran air bawah tanah (grosmdwaterflow) (Schulz,
1980), maka terdapat kecenderungan bahwa makin luas kawasm hutan dalam suatu
wilayah ekologis, dalam pengertian DAS, akan menurunkan volume aliran permukaan (r = - 0.9055), meningkatkan aliran bawah permukaan (r = 0.6422) dan
aiiran air bawah tanah (r = 0.8656) (diolah dari data hasil pemlitkn Murtiiaksono,
1987; Dian Wibawa, 1983; Sinukaban dan Zubair, 1988; Proyeit Kali Konto,
1991). Ini menunjukkan bahwa hutan berperan dalam peninglcatrn infilmi dan
perkolasi yang akan meningkatkan jumlah air yang bergerak kc cadangan daerah
bawah permukaan (lower zone storage), sehingga penyediaan air di sungai terjadi
dalam skala normal melalui lebih banyak aliran bawah permukaan dan diran air
bawah tanah.
Suatu ekosistem DAS yang utuh mempunyai dun sumber ham utama, yaitu
masukan komponen m c m d o g i dan hasil petslpukan m i d primer dan sekunder
yang diendapkan. Sumber k d u a irdrlah yang paling bear dan hutan berperan
sebagai penyedia dan penyimpan mineral dalam biomasnya. Melalui proses
p m b a k a n di zone rimfir, disediakan sejumiah hara dan bahan organik dalam
tanah yang tersed ia untuk diangkut melalui gerakan air-sedimen. Karena hutan
berperan dalam menekan aSiran permukaan, maka pada hutan yang tidak terganggu
penyirnpanan dan .daur ulang ham berlangsung sangat efektif sehingga memperbaiki
kuaiitas hasil air (Bormann dan Likens, 1981).
Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai didefenisikan sebagai wilayah yang terletak di atas
suatu titik pada suatu sungai yang oleh batas-batas topografi mengatirkan air
yang jatuh diatasnya ke dalam sungai yang sama dan melalui titik )iang sama pada
sungai tersebut (Arsyad, Pryanto dan Nasution, 1985). Karena didalamnya beriangsung aktivitas interaktif yang dinamis dan spesifik dari sejumlah komp~nen
penyusunnya, maka DAS dapat dipandang sebagai suatu wifayah ekologis atau eko&ern
yang aktivitasnya dibatasi sepenuhnya dari wilayah ekologis lainnya.
Ekosistem DAS mempunyai karakteristik yang spesifik berkaitan dengan
kondisi faktor-faktor fisik-biologis seperti curah hujan, evapotranspirasi, infiltrasi,
aliran permukaan, aliran bawah permukaan, aliran air bawah tanah dan alirsrn
sungai. Faktor-faktor tersebut erat kaitannya dengan urrsur-unsur utamanya seperti
sifat-sifat tanah, tipe vegetasi penutup, Iws dan letak, topogmfi dan mur pengelolaan, yang akan memperlihatkan perilaku hidroorologi yang berbeda dari ekosistem
DAS lainnya.
Karakteristik hujan dan aliran permukaan akan mencerminkan potensi
penyediaan energi dalam proses erosi-sedimentasi. Jika dikaitkan dengan unsur-
unsur utama DAS, maka akan memperlihatkan periiaku erosi dan sedirnentasi yang
spesifik. Potensi sumberdaya yang spesifik akan memungkinkan munculnya berbagai tipe kegiatan ekonomi sehingga DAS juga meqakan suatu wilayah pengembangan ekonomi. Dengan demikian, DAS dapat ditingkatkan kepentingannya menjadi sentra pengembangan konsep &lam mengumpulkan sejumlah informasi yang
relevan untuk perencanaan sehingga merupakan satu unit pengembangan wilayah.
Berdasarkan ciri tersebut di atas, maka secara ekologis DAS dapat dipandang
sebagai satu sistem hidrologi ;sistem erosi-sedimentasi dan sistem bio-ekonomi
yang dapat di analisis secara terpisah atau gabungan melalui pendekatan sistem
(Gil, 1979; Haeruman, 1985).
Sistem Hdrotogi
Gerakan air di alam mengikuti satu siklus yang diatur menurut kaidahkaidah alami dan bagian dari siklus air di bumi di atur dalam suatu sistem DAS.
Konsep pengembangan model h idrologi di DAS d idasarkan pada prinsip
konservasi massa dan energi (Woolhiser dan Brakensiek, 1982). Seluruh proses
aliran akan mencapai keseimbangan yang secara hipotetik mengikuti proses pada
Gambar 9. Prosesnya meliputi dua daerah pergerakan yaitu di atas dan di bawah
permukaan tanah (Viessman et al., 1977).
Gambar 9. Konse Keseimba an Air (dikembangkan
dari
lhiser dan rakensiek, 1982)
&
Yi
Gerakan air harus memenuhi hukum konservasi mas= yang menyatakan
bahwa pada suatu interval waktu tertentu besarnya perubahan dalam simpanan
harus sama dengan selisih jumlah air yang masuk dan air keluar ( W l h i s e r dan
Brakensiek, 1982). Prinsip ini dinyatakan secara mtematik menurut persamaan:
di mana 6s adalah perubahan dalam simpanan, I adalah aliran masuk, 0 adalah
aliran keluar dan t adalah selang waktu.
Keseimbangan air di DAS dapat dituliskan:
di mana R adalah Curah hujan, GUZS adalah perubahan simpanan daerah atas permukaan, GLZS adalah perubahan simpanan daerah bawah permukaan, 6S adalah
perubahan simpanan dalam DAS, Q adalah aliran permukaan, Q, adalah aliran
bawah permukaan, Qgadalah aliran air bawah tanah, E adalah evapotnn~pirasi,
dan d adalah kedalarnan LZS.
Selwuh proses aliran di DAS dapat ditelusuri menurut skema pada Gambar
5 (Crawford dan Linsley, 1966). Curah hujan sebagai masukan sistem DAS akan
did-ikan
kedalarn komponen aliran menurut bentuk dala mekanisme berikut:
Intersepsi dan Suplai Air ke Permukaan 'IBnah
Bentuk kehilangan air pertama dalam siklusnya di bumi adalah intersepsi,
yaitu proses pencegatan air hujan oleh bentuk-bentuk penahanan di permukaan
bumi. Di DAS, bentuk penahanan yang penting adalah vegetasi sehingga dalam
studi-studi hidrologi vegetasi selalu menjadi perhatian utama dalam perhitungan kehilangan intersepsi.
Intersepsi merupakan fungsi dari iklim dan vegetasi. Faktor iklim yang
berpengaruh meliputi jumlah dan intensitas hujan serta faktor yang menentukan
tinplkat evaporasi seperti suhu udara, kelembaban udara dan kecepatan angin,
sementara faktor vegetasi meliputi jenis, kerapatan tajuk serta sifat dan susunan
daun yang menentukan kapasitas simpanan intersepsi (Horton, 1919; Leyton dan
Sejumiah metode teiah dikenalkan untuk menetapkan besarnya laju intersepsi dan untuk tujuan-tujuan praktis, laju intersepsi dapat ditentukan menurut hubungan (Leyton, Reynold dan Thompson, 1969; Aston, 1979; Gash, 1979; Sinukaban
dan Zubair, 1988).
eli mana SEP adalah intersepsi (harian atau bulanan), CH adalah curah hujan
( h i a n atau bulanan), a dan b adalah kostanta yang ditetaphn secarsr statistik.
Hujan yang tidak tertahan oleh tajuk akan jatuh sebagai lolosan tajuk
(throughfall) dan aliran batang (ste@bv) yang mensuplai air ke permukaan tanah
(Roitzsch dan Masrur, 1969). Menurut perhitungan kontinuitas m a h suphi air
pxmukaan (net rainfall) merupakan selisih curah hujan dengan in@rscpsi.
Infrltrasi, Simpanan Pennukaan dm Simpanan Bawah Permukaju~
Suplai air ke permukaan dialokasikan kedalam komponen aliran yang seam
hipotetik mengikuti proses pada Gambar 10. Suplai air ke pe'rmukaan dapat diabsorpsi oleh tanah melalui proses infiltrasi, mengisi degresi permukaan (&pression
storage) atau mengalir di atas permukaan tanah (Huggins dan Burney, 1982). Pada
akhir proses, bagian air &lam simpanan permukaan akan betgerak ke dalam tanah
melaiui infiltrasi tertunda (delayed it@&&).
Faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi air permukaan meliputi laju
suplai air, kapasitsts infiltrasi maksimum d m tingkat aliran &lam tanah. Nilai
kapasitas infiltrasi dan tingkat aliran pada suatu interval waktu bergantung pada
kadar air tanah. Makin tinggi kadar air tanah makin rendah kapasitas infiltrasi
sehingga aliran dalam tanah akan stabil oleh pengurangan hisapan matriks (Horton,
1940; Philip, 1957; Crawford dan Linsley, 1%6).
Suplai Air ke
Permukaan Tanah
I
Suplai Awal
(icf)
1. Infiltrasi
langsung
2. Simpanan
depresi
I
v
7
I
Suplai Netto
(i>f)
1. Detensi per-
rnukaan
2. Aliran permukaan
v
II
Suplai Akhir
(icf)
I
1. Infiltrasi
genangan
2. Infiltrasi
supl.akhir
Gambar 10. Skema Proses Alokasi Air Permukaan
(i =intensitas SA; f =laju infiltrasi)
Crawford dan Linsley (1966) menetapkan nilai infiltrasi di DAS menurut
hwa distribusi kumulatif kapasitas infiltrasi yang dikembngkan dati data hasil
pengukuran infiltrometer sccara simultan oleh Burghy dan Luthin (1956). Kapasitas
infrlmi bervariasi dari titik ke titik mengikuti pola distribusi kumulatif linear yang
bergerak dari titik 0 ke suatu nilai maksimum. Sebagian dari air infiltrasi akan
bergerak ke simpanan daerah b a d permukaan clan simpanan air tanah clan sebagian mempunyai kontribusi ke aliran bawd permukaan. Dengan demikian diperoieh tiga bentuk alokasi air permukaan yaitu infiltmi langsung, peningkatan
simpanan pennukaan dan peningkatan simpanan b a d p~mukaan(Gambar 11).
Aliran permukaan (overland flow) adalah bagian hujan yang mengalir di
permukaan tanah sebelum mencapai sungai (Chow, 1988). Bagign ini merupakan
hujan kbih yang terjadi pada saat laju hujan melebihi laju infiltrasi (Schulze, 1966;
Rajedran dan Mein, 1986).
Infiltrasi
Persen areal dengan kapasitas infiltrasi
yang sama atau iebii kecil dari nilai
yang ditunjukkan
Gambar I I . Wiasi Kapasitas Infiltrasi, Simpanan Permukmn dan
Simpanan Bawah Permukaan (Crawford dan Linsley, 1966)
Aliran permukaan terjadi dari simpanan permukaan yang mengalir setelah
kapasitas simpanan permukaan serta suatu kedaiaman tertcntu yang d h t d t h oleh
air untuk dapat mengalir, dipenuhi.
Infiltrasi tertunda dan evaporasi juga terjadi dari simpaturn permukaan.
Dengan mengabailcan evaporasi selama hujan, maka aliran permulam nrerupzrlurn
bagian simpanan permukaan setelah infiltrasi tertunda, kapasitas simpanan, serta
kedalaman air untuk mengalir, dipenuhi.
Aliran B a w h Famuban dan Aliran Air h w a b %nab
Simpanan b a d permukaan (sub surfmce s t o w ) disuplai oleh air infiltrasi
yang mtahan di b a d permukaan (irote-
&ention) okh pengaruh sifitt tarah.
Bagian air yang tidak tertahan yaitu infiltrasi langsung dan infiltrasi tertunda akan
mengisi simpanan air bawah tanah (groundwaterstorage) melalui perkolasi.
Simpanan bawah permukaan dan simpanan air bawah tanah akan mensuplai
aliran sungai melalui aiiran bawah permukaan (interflow)dan aliran air bawah
tanah (gr~~~ndwaterflow).
Besarnya sumbangan kedua komponen ini dikontrol
oleh laju reszsi alirannya yang dapat ditetapkan menurut persitmaan (Horton 1938
ddam Chow, 1964):
Q, = Qo * k:
log Q, = log Qo + t log kr
atau
di mana Q, adalah debit pada waktu t (m3/dtk), Qo adalah debit sebelumnya
(m3/dtk) dan kr adalah konstanta laju resesi aliran.
Gerakan air bawah tanah dapat ditelwuri menurut konsep Darcy (Todd,
1980) yang diturunkan menurut model:
di mana Q adalah aliran air bawah tanah, k adalah konduktivitas hidraulik, A
adalah luas penampang aliran dm 6h/N adalah gradien energi aliran.
Dalam pengembangan model aliran air bawah tanah, luas penampang aliran
diasumsikan proporsional dengan tingkat simpanan air bawah tanah sedangkan
gradien aliran diduga sebagai gradien dasar ditambah &@an suatu peubah gradien
yang bergantung pada perubahan air bawah tanah (Crawford dan Linsiey, 1966).
Dengan demikian, prsamaan aliran air bawah tanah dapat dinyatakan dalam
bentuk paximaan:
GWF
= PGWF * (1.0
+ (KV*SGW)) * GWS
di mana GWF adalah aliran air bawah tanah, ffiWF adalah parameter yang
proporsional dengan konduktivitas hidraulik yang nilainya bergantung pada laju
resesi aiiran, GWS adalah simpanan air bawah tanah, SGW adalah gradien air
bawah tanah dan KV adalah parameter yang mengontrol laju resesi aliran.
Aliran Sungai
Hasil akhir dari tanggapan DAS terhadap masukan curah hujan dan unsur
cuaca untuk satu jangka waktu tertentu ditunjukkan oleh tampilan hidtograf alimn
sungainya yang dalam studi-studi hidrologi dinilai penting sebagai penyedia informasi berbagai proses aliran (Wilson, 1970; Boughton dan Freebairn, 1985).
Hidrograf aliran sungai merupakan gambaran fluktuasi aliran secara kontinyu sebagai pengaruh integral peubah-peubah fisiografis dan hidrometeorolugis
(Chow et al., 1988). Komponen hidrograf meliputi (1) aliran perrnukaan, (2) aliran bawah permukaan, (3) aliran air bawah tanah cfan (4) curah hujan yang jatuh di
atas sungai (Chow, 1964). Dalam studi-studi hidrologi secara umum, komponen
ke empat ini seringkali diabaikan karena nilainya relatif kecil dibandittg &ngm ke
riga komponen lainnya.
Evapotranspirasi
Evapotranspirasi adalah proses kehilangan air dari bentuk penahanan di
permukaan termasuk tanah dan vegetasi (evaporasi) serta transpimi tanaman. Dua
istilah yang sering digunakan yaitu evapotranspirasi potensial dan aktual. Pada
areal di mana air tidak merupakan faktor pembatas maka evapotrampirasi aktualnya akan sebanding dengan nilai potensialnya. Di atas l h n , air seringkali menjadi faktor pembatas, dan nilai evapotranspirasi aktualnya akan menurun dari nilai
potensialnya.
Evapotranspirasi dikontrol oleh tiga kondisi, yaitu (1) kemampuan udara
menyerap air, (2) energi yang tersedia untuk panas laten yang digunakan dalam
proses evaporasi dan transpirasi, dan (3) derajat turbulensi udara yang penting
untuk menggantikan udara jenuh dekat permukaan dengan udara yang tidak jenuh
diatasnya (Nieuwolt, 1982).
Sejumlah penel iti mengernbangkan persamaan empirik untuk menduga
besarnya evapotranspirasi potensisl. Penman (1956) mengembangkan metode
pendugaan dengan menggunakan prinsip keseimbangan energi dan acrodinamik,
Blaney dan Criddle (1962) dengan metode panas efektif, Thornthwaite (1957)
menggunakan suhu udara sebagai refleksi sejumlah unsur cuaca, dan metode radiasi
(Doorenbos dan Pruitt, 1987) menggunakan konsep keseimbangan energi. Be&sarican data yang tersedia secara umum di Indonesia, maka dari semua metode
pendugaan yang disebutkan di atas, metode Thorntwaite lebih memungkinkan digunakan secara luas.
Thornthwaite (Thornthwaite dan Mather, 1957) menduga evapotranspirasi
potensial menurut hubungan:
ETP = f (T, 1,a)
di mana ETP adalah evapotranspirasi potensial, T adalah suhu udara, I adalah
indeks panas dan a adalah konstanta sebagai fungsi dari suhu udara.
Selanjutnya evapotranspirasi aktualnya ditetapkan dengan mempertimbangkan besarnya curah hujan dan cadangan air tanah. Apabila curah hujan lebih
besar atau sama dengan evapotrawpirasi potensial maka evapotranspirasi aktdnya
sebanding Qengan evapotranspirasi potonsial dan bila lebih kacil maka evapotransp i m i aktualnya sebancEing dengan curah hujan ditambah dengan penrbahan cadangan air tanah.
Sistem Erosi dan Sedimentasi
Erosi merupakan proses kehilangan tanah oleh pengaruh faktor luar seperti
air, angin, dan manusia sebagai faktor anthropogenic yang nyata. Dalam prosesnya
partikel tanah dipisahkan dan diangkut oleh kekuatan energi pengerosi. Selanjutnya
tanah yang terangkut diendapkan di tempat-tempat yang dilaluinya sewaktu melemahnya tenaga pengerosi, di sungai, waduk atau laut (Foster dan Meyer, 1977;
Holy, 1980).
Model Erosi
Dua faktor utama yang mempengaruhi bekerjanya erosi yaitu erosivitas
yang menggambarkan kemampuan agen pengerosi mendispersi dan mengangkut
partikel tanah dan erodibilitas yang menggambarkan kepekaa tanah terhadap
e m g i pengermi (Morgan, 1979; Jansson, 1982).
Energi erosivitas diperoleh dari curah hujan dan aliran perm-.
Curah
hujan memiliki energi potensial oleh pengmh massa dan pcroepltan gravitasi dan
dirubah menjadi energi kinetik sebagai energi pengged yang nrendispetsi dan
memindahkan partikel tanah (Morgan, 1979). Emgi kinetik mempunyai korelasi
yang tinggi dengan intensitas hujan selama 30 rnenit (Wimeier, 1%9; Bertmd
dan Sor, 1962; Sor dan Bertrand, 1962). Energi kin& Wan germukaan diperokh dari massa dan kecepatannya yang dipakai untuk m e n p g k a pertiltel W.
Menurut hukum fisika, energi ini akan meningkat dengan meningkatnya kemiringan
dan panjang lereng oleh (1) pengurangan infiltrasi, (2) peningkatnn jrrtk tempuh
dan (3) peningkatan volume aiiran permukoan ( D r k l dan Osborn, 1968; Jansson,
1982).
Tanah mempunyai sifat kepekaan terhadap energi pengerusi, betkaitan
dengan kondisi agregat serta ciri hidrologis yang menentukan kemudahan dispeni
dan infiltrasi (Bertrand, Barnett dan Rogers, 1964; Gabriels, Hartman dan De
B d t , 1974). Secara praktis, nilainya dapat ditentukan berdasarkan tipe tekstur,
struktur, permeabititas serta kandungan bahan organik dalam tanah (Wischmeier,
Johnson dan cross. 1%9).
Faktor pengelolaan tanah adalah masukan yang akan memanipulasi kekuatan
erosivitas dan erodibilitas (Morgan, 1979). Faktor ini met iputi semua tindakan
pengelolaan yang diperlakukan terhadap tanah dan vegetasi.
Model pendugaan erosi yang banyak digunakan saat ini adalah Model USLE
(Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith
(1978). Skema deskriptifnya ditunjukkan pada Gambar 12 dan dugaan enwi ditentuhn menurut fungsi hubungan:
EROSI = f (EROSIV, ERODI, TOPOG, TAN, KON)
EROSIV = f (Hujan)
ERODI = f (Tekstur, Struktur, Bahan Organik, Permeabilitas)
TOPOG = f (Kemiringan lereng, Panjang lerens)
TAN = f (Jenis tanaman, Urutan tulaman)
KON = f (Tindakan k o m i tanah)
di mana EROSI adalah laju kehilangan tanah, EROSIV adalah faktor erosivitas,
ERODI adalah faktor erodibilitas, TOPOG adalah faktor panjang dan kemiringan
lereng, TAN adalah faktor penutupan dan pengelolaan tanaman d m KON adalah
faktor tindakan komemsi tanah.
Kehilangan 'Ibnab yang Dapat Dibiarkan
Usaha pengendalian erosi melalui berbagai tindakan konscrvasi tanah dan
air dimaksudkan untuk menekan laju crosi sampai pada tingkat yang masih dapat
dibiarkan (TSL) . Konsep ini memberikan keuntungan yaitu pekerjaan dan biaya
lebih ringan, produktivitas tanah tetap terjamin dan lebih leluasa memilih alternatif
pemanfaatan yang sesuai. Oleh karena itu konsep TSL mempunyai implikasi sosial
dan ekonomi (Mannering, 1981; McComack dan Young, 1981).
Kelas Tekstur
FPERM
FMAT
FSTRUK
FBORG
r
r
r
I
v
I
I
1
Faktor Erodibilitas
Faktor Lereng
I
I
E
Faktor Erosivitas
F
Faktor Tanaman
I
EROSI
-
Faktor Konservasi
i
r
i
r
i
1
1
1
1
1
Prediksi kehilangan tanah
EROSIV
ERODI * T O W
TANAM
KON
Gambar 12. %hapan Prediksi Kehilangan ?turah
(Wdan Dent, 1983)
Penetapan TSL mempertimbangkan faktor kedalaman tanah bagi pertumbuhan tanaman optimal (McComac dan Young, 1981) dan laju perkembangan
morfogenesis tanah (Khonke dan Bertrand, 1959). Peneliti lain mengrrsulkan untuk
ntempettimbangkan sifat-sifat tanah serta sifat-sifat lain yang mempengaruhi perkembangan akar tanaman, kehilangan bahan orggnik dan hara serta tingkat teknologi yang diterapkan (El-Swaify, Arsyad dan Krisnarajah, 1982).
Hamer (1982) mengenalkan konsep TSL dengan mempertimbangkan umur
guna tanah yaitu waktu yang diperlukan untuk habis tererosinya suatu kedalaman
tanah. Pada konsep ini, laju TSL ditentukan menurut fungsi hubungan:
TSL = f (KE, FKT, UCX)
di mana TSL adalah laju erosi yang masih dapat dibiarkan, KE adalah kedaiaman
efektif, FKT adalah faktor kedalaman tanah dan UGI' adalah umur guna tanah.
Model Sedimentasi
Sedimentasi merupakan proses lanjutan dari erosi di mana material hasil
erosi diendapkan pada tempat-tempat yang dilaluinya, di sungai, waduk atau laut.
Laju pengendapan berubah setiap saat bergantung pada kecepatan aliran (Sengupta,
1979). Jumlah sedimen yang masuk ke sungai, waduk atau laut, bergantung pada
rantai proses erosi-pengangkutan-sedimentasidan intensitas pengangkutan d i m e n
dipengaruhi oleh kondisi topografi, penutupan serta sifat-sifat tlinah (Baron et al.,
1980; Foster dan Lane, 1981).
Tidak semua tanah tererosi akan mencapai titik pengukuran. Jumlah tanah
krerosi yang menjadi bagian sedimentasi dinyatakan sebagai nisbah limpah sedi-
men (sediment delivery ratio, N U ) yaitu bandingan jumlah sedimen yang terukur
terhadap jumlah tanah tererosi (Robinson, 1979). ASCE (1975 dalam Robinson,
1979) mendapatkan hubungan antara NLS dengan luas DAS dan untuk DAS berukuran kecil nilai NLS dapat mencapai 50 hingga 90 % (Wiersum, 1979).
Tingkat scdimentasi dibedakan atas sedirnentasi potensial dan aktual. Sedimentasi potensial adalah jumlah sedimen yang masuk ke sungai, waduk atau laut,
sementara sedimentasi aktual adalah jumlah sedimen yang mengendap di sungai,
waduk atau laut. Model sedimentasi dikembangkan menurut fungsi hubungan:
SEDPCrr = f (EROSI, NLS)
NLS = f (LUDAS, TOPOGRAFI, PENGGUNAAN LAHAN)
SEDAK = f (SEDPCrr, TRAP)
31
di mana SEDPOT adalah sedimentasi potensial, EROSI adalah laju kehilangan
tanah aktual, NLS adalah nisbah limpah sedimen, LUDAS adalah luas DAS,
SEDAK adalah sedimentasi aktual, TRAP adalah keefisienan perangkap.
Model sedimentasi dapat pula dikembangkan melalui fungsi hubungan tinggi
muka air, debit dan sedimen untuk memperoleh kurva penelusuran sedimen
(sediment rating curve). Selanjutnya laju sedimentasi dapat diduga melalui hubungan sedimen dengan debit secara kontinyu.
Sistem Sosial-Ekonomi
Dinamika sistem sosial-ekonomi dan termasuk budaya suatu masyarakat
sangat d itentukan oleh kondisi ekosistem di mana masyarakat tersebut berinterahi
serta masukan dari sistem lain di luar sistem sosial-ekonominya. Pada masyarakat
pedesaan (tinjauan khusus masyarakat di sekitar hutan) intensitas interaksinya
umumnya didorong oleh tuntutan-tuntutan ekonomi yang mendesak. Hasil-hail
penelitian sebelumnya memberi petunjuk bertafian dengan konteks petmasalahan
ini dengan sejumlah konsekuensi tekanan terhadap sumberdaya (khususnya sum-
berdaya hutan di Jawa) yang makin tinggi (Pranowo, 1985; Tatuh, 1992). Bagairnanapun, karena dalam interaksi terlibat sejumlah komponen ekosistem lain seperti
vegetasi dan tanah yang mempunyai fungsi hidroorologis yang penting, maka
aktiv i tas interaksi dipandang mempunyai konsekuensi terhadap perubahan kondisi
hidroorologis ekosistem. Karena itu, dengan pertimbangan kernanfaatan sumberdaya hutan, baik bagi kepentingan pelestarian maupun kebutuhan peningkatan
kesejah teraan masyarakat yang bermukim di sekitar hutan, maka karakterisasi
sistem sosial serta tipe-tipe ekonomi yang mendasari dan yang timbul dari aktivitas
interaksi sangat d iperlukan sebagai pertimbangan mendasar dalam kebijakan pengelolaan.
Untuk tujuan-tujuan praktis, Rambo (1981) menyarankan suatu pendekatan
konseptuai sebagai mode1 kajian yang konsepnya digambarkan menurut skema pada
Gambar 13. Dia memandang segenap aktivitas manusia, pranata soaial dan unsurunsur budaya berada dalam satu kesatuan yang integral, yakni sistem sosial.
Sistem sosial inilah yang selanjutnya berinteraksi dengan ekosistem alarn mengikuti
pols hubungan timbal balik dalam mempertukarkan energi, materi dan informasi.
5
Baik sistem sosial maupun ekosistem alam keduanya merupakan sistem terbuka
yang menerima masukan dan memberi keluaran dari dan ke sistem sosial dan
ekosistem lain.
Selanjutnya Vayda (1983) rnengenalkan konsep pendekamn tanpa memperdulikan pemisahan yang jelas sistem sosial dari ekosistem alam dan menyarankan
bahwa kajian interalwi masyarakat dan ckosistem diawali d e w suatu pertimbangan pertnasalahan, yaitu suatu kegiatan masyarakat tertentu, pada kondisi ekosistem
tettentu dan pada waktu tertentu. Melalui langkah awal ini kemudian ditelwuri
hubungan sebab akibat secara progresif berkonteks temporal dan spasial.
Tanpa melihat perbedaan pendekatannya, kedua konsep di atas dapat digunakan bersama-sama dalam mengkaji interaksi masyarakat dengan ekosistem
alamnya. bgaimanapun, gejolak yang terjadi dalam sistem sosial akan mempengaruhi internitas' inttraksinya dan terdapat pola yang dominan yang dinilai penting
sebagai penggmtk intensitas intemksi terscbut. Pranowo (1985) dari hrtsil penelitiannya menunjukkan bahwa terjadi proses perubahan ekologi pada masyarakat
Kawastu di lereng Gunung Merapi Jawa Timur sejak mereka lepas dari sistem perladangan karena ditetapkannya sebagian wilayahnya menjadi hutan lindung. Walaupun aktivitas masyarakat Kawastu tidak lagi ditandai dengan pembukaan hutan,
namun tidak berarti bahwa ketergatungan mereka lepas sama sekali dari ekosistem
hutan. Dengan cara yang lain, mereka masih tetap memanfaatkan kawasan hutan
Masukan dari
sistem
sosial l a . 7 1
r
Energi, Materi
I
T
A
-
I
t
SISTEM
SOSIAL
Informasi
Iv
I
Seleksi
Masukan dari
ekosistem
lain
r
T
I
-
EKOS ISTEM
ALAM
Adapt as i
I
I
J i
Keluaran ke
t
sistem
sosial lain
I
Informas i
Energi , Materi
I
I
Keluaran ke
ekosistem
lain
Gambar 13. Interaksi Sistem Sosial dan Ekosistem
(disederhanakan dari Rarnbo, 1991)
sebagai pendukung ekonomi keluarga. Dua kegiatan utama yang dicatat, yaitu
pengambilan kayu bakar dan rumput makatlgn ternak yang d k a a h n angat besar
pengaruhnya terhadap ekosistem hutan. Kodisi seperti ini juga terjlmdi di wilayah
lain d i Jawa, seperti masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan DAS
Konto Hulu, oleh desakan kebutuhan kayu bakar serta perkembangan ussha tcmak
dalam memacu perekonomian masyarakat yang penyediaan pakrurnya bersumber
dari hutan (Smiet, 1989). Nampak bahwa bagi masyardcat yang bermukim disekitar hutan, pemenuhan kebutuhannya sebagian masih bemmpu p d a hutan.
Melalui k o m p Rambo (1981) dan Vayda (1983) @at ditelusuri aktivitas
sosial y a w merangsang dan t i p - t i p ckonomi yang timbul daiam upslya peningkatan kesejahteraan m y a r a k a t yang secara tangsung atau t W c langsung mempunyai
k o m k u e w i penting terhadap ekosistem alam. Selanjutnya, scaua kuantitatif nilai
interaksi dapat diaktualisasikan dalam bentuk m y a penclapatan dengan mempertimbangkan besarnya penerimaan dan pengeluaran dari setiap tipe ekonomi.
Secara umum penerimaan dari suatu kegiatan ekonomi (khususnya usahatani
dan ternak) adalah nilai uang yang diterima dari penjuaian hasil produksi (farm
receipt) dan pengeluaran adalah jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian
barang dan jasa dalam proses poduksi (farmpayment). Selisih antara penerimaan
dan pengeluaran tunai merupakan pendapatan tunai (farm net cashf2ow) (Dillon
dan Hardaker, 1986). Mengikuti konsep Randall (1981) konsep di atas dapat dinyatai