Kajian Permukiman Daerah Aliran Sungai Studi Kasus: Krueng Langsa
KAJIAN PERMUKIMAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
STUDI KASUS: KRUENG LANGSA
TESIS
OLEH
BAIHAKI AHYAT
087020006/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
KAJIAN PERMUKIMAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
STUDI KASUS:
KRUENG LANGSA
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister Teknik
Dalam Program Studi Magister Teknik Arsitektur
Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara
OLEH
BAIHAKI AHYAT
087020006/AR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(3)
PERNYATAAN
KAJIAN PERMUKIMAN DAERAH ALIRAN SUNGAI
STUDI KASUS:
KRUENG LANGSA
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini
dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Februari 2012
(4)
Judul Tesis
:
Kajian Permukiman Daerah Aliran Sungai
Studi Kasus: Krueng Langsa
Nama Mahasiswa
:
Baihaki Ahyat
Nomor Pokok
:
087020006/AR
Program Studi
:
Teknik Arsitektur
Bidang Kekhususan :
Manajemen Pembangunan Kota
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Julaihi Wahid B.Arch,M.Arch,PhD) (Ir. Samsul Bahri, MT
Ketua Anggota
)
Ketua Program Studi
Dekan
(5)
Telah diuji pada
Tanggal: 18 Februari 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Julaihi Wahid, B.Arch, M.Arch, PhD
Anggota
: 1. Ir. Samsul Bahri, MT
2. Ir. Novrial, M.Eng
3. Salmina W Ginting, ST, MT
4. Ir. N. Vinky Rahman, MT
(6)
Laju pertumbuhan penduduk baik karena urbanisasi ataupun perkembangan
alamiah, telah meningkatkan kebutuhan akan sarana hunian. Daerah Aliran Sungai
adalah salah satu lokasi alternatif yang sering dijadikan tempat hunian. Pada
perkembangan selanjutnya, akan muncul berbagai karakteristik sesuai dengan daerah
dimana hunian tersebut berkembang. Penelitian akan mengkaji berbagai karakteristik
permukiman yang ada di sepanjang Daerah Aliran Sungai. Kawasan Studi yang
dipilih adalah Gampong Jawa dan Gampong Teungoh yang berada di daerah aliran
Krueng Langsa Kabupaten Langsa Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Metode
penelitian yang dilakukan adalah deskriptif evaluatif, melalui observasi, kuisioner,
dan wawancara.
ABSTRAK
Berdasarkan hasil analisis, ternyata masyarakatnya masih menganut sistem
pemerintahan Adat yang masih tetap berpedoman pada naskah Kanun Syara’
Kesultanan Aceh serta memegang adat Aceh yang tercantum dalam Hadih Maja
sebagai pedoman dalam pergaulan masyarakat. Tata nilai dan kepercayaan yang
berkembang pada masyarakat adalah adat Aceh Besar dan Islam. Masyarakat pada
umumnya menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral, memperhitungkan
hubungan kekerabatan baik pada pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Sebagian
besar penduduk, bertempat tinggal di rumah
peunulang
, yaitu rumah warisan mertua
mereka, yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk laki-laki menikah
dengan wanita sesama warga.
(7)
ABSTRACT
The rate of population growth either because of urbanization or natural
development, has increased the need for shelter facility. The watershed is one of the
locations which are often made to be an alternative place of shelter. In further
development, various characteristics will appear in according with the areas where
the settlement develops. This study will assess various characteristics of the existing
settlements along the watershed. The study areas chosen were Gampong Jawa and
Gampong Teungoh located in the watershed area of Krueng Langsa, Langsa District,
Nanggroe Aceh Darussalam Province. The research method done where the
descriptive evaluative method through observations, questionnaire distribution, and
interviews.
Based on the result of the analysis, the people of this area still embrace the
traditional (adat) system of government that still use the manuscripts Kanun Syara’
of Aceh Sultanate, and held the customary law of Aceh contained in Hadih Maja as a
guide in the association community. Values and beliefs that developed in the
community is that of Aceh Besar traditional culture and Islamic Teaching. The
communities usually draw their line of descendant based on the principle of bilateral
by putting kinship relationships into account both the male and the female party.
Most of the populations, residing at peunulang home inherited from their
parents-in-law, indicate that most of their male resident married to the female of the same tribe.
Keywords: Settlement, Watershed,
Characteristics
(8)
KATA PENGANTAR
Penyusun mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan karuniaNya atas terselesaikannya laporan penelitian ini serta tidak lupa pula
penulis haturkan kepada junjungan kami Nabi Besar Muhammad SAW. Penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini dengan judul ”Kajian Permukiman Pada Daerah Aliran
Sungai” dengan studi kasus Krueng Langsa. Penelitian ini disusun untuk memenuhi
persyaratan Mata Kuliah PPs – 699 Tesis pada Program Magister Teknik Arsitektur,
Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara,
Bapak Prof. Dr. dr.
Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Ir.
MSME, Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Ibu Dr. Ir. Dwira Nirfalini
Aulia, MSc, Sekretaris Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Ibu Beny
Octofryana Yousca Marpaung, ST, MT, PhD, Koordinator Manajemen Pembangunan
Kota, Bapak Achmad Delianur Nasution, ST, MT, IAI.
Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen
Pembimbing I, Bapak A/Prof. Julaihi Wahid, B. Arch, M. Arch, PhD, atas bimbingan
dan dukungan penuh dalam menyelesaikan penelitian ini. Dosen Pembimbing II,
Bapak Ir. Samsul Bahri, MT, atas bimbingan dan dukungan penuh dalam
menyelesaikan penelitian ini. Para Staff Pengajar dan Penguji Magister Teknik
(9)
materi perkuliahan dan masukan-masukan yang sangat berarti dalam menyelesaikan
penelitian ini. Ibu Novi Yanthi staff administrasi Program Magister Teknik Arsitektur
Universitas Sumatera Utara atas administrasi yang baik selama ini.
Tesis ini kupersembahkan kepada Kedua orangtua yang sangat kukasihi, Bapak
Ahmad Cut Ali (Alm.) dan Ibu Nurhayati, Keluarga besar Mertuaku: Suharjo Ahmad,
Isteriku tercinta Yopie Ferayanti, SE dan anak-anakku Geubrina Batrisyia dan Hanny
Fathia Asyura. Abang-abangku Sarkawi Ahyat, SE, M. Ikhsan Ahyat, SSTP, MAP,
dan Benny Sudrajat, ST, Adik-adikku Munawir Ahyat, SE, M. Ridha Ahyat, Amd,
Rian Arizona.
Penulis juga berterimakasih kepada Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Kepala
Bidang Bina Marga, Staf dan teman-temanku di bidang Bina Marga Dinas Pekerjaan
Umum Kecamatan Aceh Tamiang, Kepala Biro Pusat Statistik beserta Staf
Kecamatan Aceh Tamiang, serta Rekan-rekan Magister Manajemen Pembangunan
Kota angkatan 2008: Lucy, Arfan, Asmadi, Bernas, Raimundus, Jayadin, Hendra,
Muara, Yani, Sahid, Erwin, Amsuardiman, Armelia atas kebersamaan dan kerjasama
yang sudah terjalin selama ini. Juga kepada para pendukung aktifitas kampus:
Fotocopy jurusan Arsitektur (Pak Jojo), Kantin S1 Arsitektur (Bang Adi), Hotspot A
Mild dan Kantin Pasca Sarjana USU.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari terdapat
kekurangan-kekurangan yang diharapkan dapat disempurnakan atas bimbingan dan masukan dari
pembimbing, penguji, dan pembaca.
(10)
Akhir kata, semoga makalah ini dapat diterima dan memberi manfaat bagi semua
pihak yang membutuhkannya. Atas perhatian dan kesempatannya diucapkan banyak
terima kasih.
Medan, Februari 2012
Penyusun,
Baihaki Ahyat
NIM: 087020006
(11)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Baihaki Ahyat
Alamat
: Jalan Islamic Center Lorong PMI No. 5 Langsa
Agama
: Islam
Tempat/Tanggal Lahir
: Langsa, 10 Mei 1978
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Anak ke
: 3 dari 8
Warga Negara
: Indonesia
Nama Ayah
: Ahmad Cut Ali (Alm.)
Nama Ibu
: Nurhayati
Nama Istri
: Yopie Ferayanti, SE.
Nama Anak
: Geubrina Batrisyia
Hanny Fathia Asyura
Pendidikan Formal
: SD Negeri 6 Langsa
(tamat tahun 1990)
SMP Negeri 5 Langsa
(tamat tahun 1993)
SMA Negeri 3 Langsa
(tamat tahun 1996)
DIII Politeknik Negeri Medan
(tamat tahun 1999)
Sarjana Teknik Sipil Tri Karya
(tamat tahun 2005)
(12)
DAFTAR ISI
ABSTRAK
... i
ABSTRACT
... ii
KATA PENGANTAR
... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
... vi
DAFTAR ISI
... vii
DAFTAR GAMBAR
... xii
DAFTAR TABEL
... xiii
1.1 Latar Belakang ... 1
BAB I
PENDAHULUAN
... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan Penelitian ... 3
1.4 Manfaat Penelitian ... 4
1.5 Skematik Pemikiran ... 5
2.1 Rumah sebagai Wujud Fisik Kebudayaan ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
... 6
2.2 Pengertian Perumahan dan Permukiman ... 7
(13)
2.2.2 Pengertian permukiman ... 10
2.3 Interaksi Permukiman dan Lingkungan ... 11
2.4 Tipomorfologi Permukiman ... 13
2.5 Permukiman sebagai Wadah Lingkungan Binaan ... 14
2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS) ... 15
2.7 Karakteristik Permukiman Daerah Aliran Sungai ... 16
2.8 Elemen-elemen Pembentuk Pola Ruang Kota Pinggiran Sungai ... 18
2.9 Perkembangan Permukiman Daerah Aliran Sungai ... 19
2.10 Macam-macam Pola Permukiman ... 20
2.11 Struktur Ruang ... 21
3.1 Lokasi Penelitian ... 26
BAB III METODA ANALISIS
... 26
3.2 Pembatasan Wilayah Kajian ... 26
3.3 Metode Penelitian ... 34
3.3.1 Populasi, sampel dan teknik sampling ... 34
3.3.2 Metoda analisis data ... 36
3.3.3 Analisa tata guna lahan ... 37
3.3.4 Analisa ruang budaya ... 38
3.3.5. Analisa pola tata ruang rumah ... 38
(14)
BAB IV TINJAUAN LOKASI
... 40
4.1 Profil Wilayah ... 40
4.2 Geografis ... 40
4.3 Orientasi Wilayah ... 42
4.4 Kependudukan ... 43
4.4.1 Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk ... 43
4.4.2 Sebaran dan Kepadatan Penduduk ... 43
4.4.3 Etnik dan Budaya ... 45
4.5 Perekonomian ... 46
4.6 Sarana dan Prasarana Permukiman ... 47
4.6.1 Komponen air bersih ... 47
4.6.2 Komponen persampahan ... 47
4.6.3 Komponen sanitasi/limbah cair ... 48
4.6.4 Komponen drainase ... 48
4.6.5 Komponen jalan ... 48
4.6.6 Pemerintahan ... 48
4.7 Konsep Bermukim Masyarakat Aceh ... 50
BAB V ANALISIS PERMUKIMAN PADA ALIRAN KRUENG
5.1 Karakteristik Sosial Budaya ... 52
LANGSA
... 52
(15)
5.4 Kehidupan Ekonomi ... 57
5.5 Kehidupan Budaya dan Religi ... 59
5.6 Tata Guna Lahan ... 61
5.6.1 Perairan ... 61
5.6.2 Hutan ... 62
5.6.3 Pertanian ... 63
5.6.4 Infrastruktur ... 64
5.6.5 Tanah kosong ... 64
5.7 Peletakan Elemen ... 65
5.7.1 Pembagian ruang ... 69
5.7.2 Ruang budaya ... 69
5.7.3 Berdasarkan ritual ... 71
5.8 Pola Tata Ruang Tempat Tinggal ... 74
5.8.1 Struktur tata ruang tempat tinggal ... 75
5.8.2 Pola tata bangunan ... 78
5.9 Pola dan Struktur Ruang Permukiman ... 79
5.9.1 Pola dan struktur ruang permukiman
Gampong
Jawa
... 79
5.9.2 Pola dan struktur ruang permukiman
Gampong
Teungoh
... 80
5.9.3 Karakteristik permukiman ... 82
5.9.4 Kondisi permukiman ... 83
5.9.5 Penyediaan air bersih ... 83
5.9.6 Sistem pembuangan air limbah ... 84
5.10 Karakteristik Pengembangan Kawasan
Gampong
(16)
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
... 86
6.1 Kesimpulan ... 86
6.1.1 Karakteristik
Gampong Teungoh dan Gampong
Jawa
... 86
6.1.2 Perkembangan kawasan permukiman
Gampong
Teungoh dan Gampong Jawa
... 87
6.2 Saran ... 88
DAFTAR PUSTAKA
... 90
LAMPIRAN
(17)
DAFTAR GAMBAR
1.1
Skematik pemikiran ... 5
Nomor
Judul
Halaman
2.1
Hubungan tiga wujud fisik kebudayaan pada rumah ... 8
2.2
Interaksi permukiman dan lingkungan ... 13
2.3
Pola permukiman sub kelompok komunitas ... 20
2.4
Pola permukiman
face to face
... 21
2.5
Pola permukiman linier ... 21
2.6
Pola permukiman
clustered
... 22
2.7
Pola permukiman kombinasi ... 23
2.8
Pola permukiman mengelompok ... 24
2.9
Pola permukiman menyebar ... 24
2.10 Pola permukiman memanjang ... 25
3.1
Lokasi penelitian dalam wilayah Kabupaten Langsa ... 27
3.2
Peta
Gampong Jawa
... 28
3.3
Citra satelit
Gampong Jawa
... 29
(18)
3.6
Pembatasan wilayah studi di
Gampong Jawa
... 32
3.7
Pembatasan wilayah studi di
Gampong Teungoh
... 33
4.1
Peta wilayah Kota Langsa ... 43
5.1
Kelembagaan di
Gampong Teungoh dan Gampong Jawa
... 53
5.2
Kelompok hunian kekerabatan ... 56
5.3
Orientasi bangunan di
Gampong Jawa
... 58
5.4
Orientasi bangunan di
Gampong Teungoh
... 58
5.5
Tata guna lahan
Gampong Jawa
... 67
5.6
Tata guna lahan
Kampung Teungoh
... 68
5.7
Hirarki ruang
Gampong Teungoh
... 70
5.8
Hirarki ruang
Gampong Jawa
... 70
5.9
Pergerakan penduduk
Gampong Teungoh dan Gampong Jawa
dalam
home range
... 71
5.10 Pembagian ruang
Rumoh Aceh
... 77
5.11 Struktur ruang linier sebagai awal struktur ruang permukiman ... 80
5.12 Pola dan struktur ruang permukiman
Gampong Jawa
saat ini ... 80
5.13 Struktur ruang linier dan
clustered
sebagai awal struktur ruang
permukiman ... 81
(19)
DAFTAR TABEL
4.1 Luas wilayah Kota Langsa ... 41
Nomor Judul Halaman 4.2 Desa pada masing-masing kecamatan di Kota Langsa ... 41
4.3 Jumlah penduduk Kota Langsa akhir tahun 2009 ... 44
4.4 Sebaran dan kepadatan penduduk ... 45
4.5 Frekwensi pengenalan Hadih Maja ... 45
4.6 Frekwensi penerapan adat Aceh ... 46
5.1 Frekuensi lama huni ... 54
5.2 Status rumah ... 55
5.3 Frekuensi pekerjaan ... 59
5.4 Frekuensi penganut berbagai agama resmi ... 60
5.5 Frekuensi penerapan Adat Aceh ... 60
(20)
Laju pertumbuhan penduduk baik karena urbanisasi ataupun perkembangan
alamiah, telah meningkatkan kebutuhan akan sarana hunian. Daerah Aliran Sungai
adalah salah satu lokasi alternatif yang sering dijadikan tempat hunian. Pada
perkembangan selanjutnya, akan muncul berbagai karakteristik sesuai dengan daerah
dimana hunian tersebut berkembang. Penelitian akan mengkaji berbagai karakteristik
permukiman yang ada di sepanjang Daerah Aliran Sungai. Kawasan Studi yang
dipilih adalah Gampong Jawa dan Gampong Teungoh yang berada di daerah aliran
Krueng Langsa Kabupaten Langsa Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Metode
penelitian yang dilakukan adalah deskriptif evaluatif, melalui observasi, kuisioner,
dan wawancara.
ABSTRAK
Berdasarkan hasil analisis, ternyata masyarakatnya masih menganut sistem
pemerintahan Adat yang masih tetap berpedoman pada naskah Kanun Syara’
Kesultanan Aceh serta memegang adat Aceh yang tercantum dalam Hadih Maja
sebagai pedoman dalam pergaulan masyarakat. Tata nilai dan kepercayaan yang
berkembang pada masyarakat adalah adat Aceh Besar dan Islam. Masyarakat pada
umumnya menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral, memperhitungkan
hubungan kekerabatan baik pada pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Sebagian
besar penduduk, bertempat tinggal di rumah
peunulang
, yaitu rumah warisan mertua
mereka, yang menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk laki-laki menikah
dengan wanita sesama warga.
(21)
ABSTRACT
The rate of population growth either because of urbanization or natural
development, has increased the need for shelter facility. The watershed is one of the
locations which are often made to be an alternative place of shelter. In further
development, various characteristics will appear in according with the areas where
the settlement develops. This study will assess various characteristics of the existing
settlements along the watershed. The study areas chosen were Gampong Jawa and
Gampong Teungoh located in the watershed area of Krueng Langsa, Langsa District,
Nanggroe Aceh Darussalam Province. The research method done where the
descriptive evaluative method through observations, questionnaire distribution, and
interviews.
Based on the result of the analysis, the people of this area still embrace the
traditional (adat) system of government that still use the manuscripts Kanun Syara’
of Aceh Sultanate, and held the customary law of Aceh contained in Hadih Maja as a
guide in the association community. Values and beliefs that developed in the
community is that of Aceh Besar traditional culture and Islamic Teaching. The
communities usually draw their line of descendant based on the principle of bilateral
by putting kinship relationships into account both the male and the female party.
Most of the populations, residing at peunulang home inherited from their
parents-in-law, indicate that most of their male resident married to the female of the same tribe.
Keywords: Settlement, Watershed,
Characteristics
(22)
BAB I
1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN
Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan binaan merupakan bagian pula dari lingkungan hidup. Menyadari adanya hubungan timbal balik antara permukiman di satu pihak dan kependudukan serta lingkungan hidup dilain pihak maka sangatlah penting agar berbagai langkah kebijaksanaan di bidang permukiman, kependudukan dan lingkungan hidup berjalan dalam hubungan yang serasi dan saling tunjang (Wiradisuria dalam Budihardjo, 1992).
Konsep tata ruang dalam lingkungan permukiman, berkaitan erat dengan manusia dengan seperangkat pikiran dan perilakunya, yang bertindak sebagai subjek yang memanfaatkan ruang-ruang yang ada dalam hubungan kepentingan kehidupannya. Dalam hal ini, gagasan pola aktivitas suatu masyarakat yang merupakan inti dari sebuah kebudayaan, menjadi faktor utama dalam proses terjadinya bentuk rumah dan lingkungan suatu hunian (Rapoport, 1969:46).
Manusia mengenal permukiman diperkirakan sejak masa mesolitik. Mereka bermukim secara mengelompok di tempat-tempat yang keadaan alamnya dapat memenuhi kehidupan, misalnya di gua-gua yang dekat dengan sumber makanan atau tempat-tempat terbuka di pinggir sungai, danau, atau pantai (Soejono, 1992: 155 - 156). Pada masa neolitik, yaitu ketika sudah dikenal bercocok tanam, mulai ada tanda-tanda hidup menetap di suatu perkampungan sederhana yang didiami secara berkelompok oleh beberapa keluarga.
(23)
Kegiatan-kegiatan dalam kehidupan perkampungan yang terutama ditujukan untuk mencukupi kebutuhan bersama, mulai diatur dan dibagi antar anggota masyarakat (Soejono, 1992: 167-168). Pada masa ini pun juga merupakan awal dikenalnya suatu sistem organisasi sosial. Permukiman yang semula hanya sederhana lama-kelamaan berkembang hingga pada keadaan yang mapan (menjadi suatu kota). Perkembangan permukiman hingga menjadi suatu kota seiring dengan perkembangan peradaban manusia pendukungnya.
Laju pertumbuhan penduduk baik karena urbanisasi ataupun perkembangan alamiah di daerah perkotaan, telah meningkatkan kebutuhan akan sarana dan prasarana khususnya kebutuhan akan tempat hunian. Tepian kali adalah salah satu lokasi alternatif yang sering dijadikan tempat hunian oleh masyarakat berpenghasilan rendah, dengan alasan dekat dengan sumber ekonomi serta tingginya harga lahan di pusat kota.
Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang, memiliki masalah perkotaan yang sangat kompleks. Sebagai salah satu ciri negara berkembang adalah sangat pesatnya perkembangan penduduk perkotaan terutama kota-kota besar dari negara tersebut, sebagai akibat dari tingginya angka pertumbuhan penduduk dan urbanisasi. Kaum urban dari kalangan miskin, biasanya menyasar pinggiran kota atau di sepanjang daerah aliran sungai yang belum memiliki fasilitas ruang kota, agar lebih murah.
Selanjutnya kantong-kantong permukiman, terutama di sepanjang daerah aliran sungai ini menjadi lebih berkembang karena adanya pola jaringan komunitas yang mantap. Akibatnya adalah munculnya permukiman kelompok sosial kota terpinggirkan, yang tidak terencana, tidak memiliki fasilitas infrastruktur, yang semakin lama semakin berkembang secara alami dan akhirnya tumbuh tidak terkendali menjadi wilayah permukiman yang serba
(24)
semrawut dan kumuh. Lingkungan permukiman yang tidak terencana dengan baik dan semrawut ini tentu memerlukan penanganan agar tidak merusak wajah kota.
1.2 Rumusan Masalah
Dari belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan bahwa akibat perkembangan sebuah kota, akan menimbulkan permukiman-permukiman baru, terutama di daerah pinggiran kota atau di sepanjang daerah aliran sungai. Perkembangan ini selanjutnya akan dikaji lebih mendalam agar selanjutnya dapat diketahui gambaran karakteristik kawasan permukiman tersebut. Berbagai karakteristik kawasan permukiman ini akan berbeda akibat pengaruhi peran budaya dan perilaku penghuni.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui karakteristik permukiman yang berkembang di sepanjang daerah aliran sungai.
2. Untuk mengetahui sejauh mana peran budaya mempengaruhi karakteristik permukiman tersebut.
3. Untuk menentukan arah pengembangan kawasan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan permukiman pada daerah aliran sungai yang menjadi objek penelitian.
1.4 Manfaat Penelitian
(25)
1. Untuk menambah pengetahuan tentang perkembangan kota dan permukiman, serta karakteristik permukiman yang ada pada daerah aliran sungai, serta hal-hal yang mempengaruhinya.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah dalam menangani permasalahan permukiman kota, terutama permukiman di sepanjang daerah aliran sungai.
3. Sebagai bahan masukan bagi para stake holder yang terlibat dalam pengelolaan permukiman terutama bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah di sepanjang daerah aliran sungai.
(26)
1.5 Skematik Pemikiran
Dalam menyelesaikan kajian ini, diperlukan skematik pemikiran seperti dalam gambar 1.1.
Gambar 1.1 Skematik pemikiran
Perkembangan Kota Langsa
Kekurangan Perumahan Permukiman
Tingginya Harga Lahan Perkotaan Dekat dengan
Sumber Ekonomi
Permukiman di Sepanjang Daerah Aliran Sungai
Karakteristik Permukiman Daerah Aliran Sungai
Survei Lapangan
Pengolahan Data Kajian Permukiman Pada
Daerah Aliran Sungai
Karakteristik Permukiman Daerah Aliran Sungai di
Studi Literatur
(27)
BAB II
2.1 Rumah sebagai Wujud Fisik Kebudayaan
TINJAUAN PUSTAKA
Budaya menurut Amos Rapoport didefinisikan sebagai cara hidup yang khas,
serangkaian simbol dan kerangka pikir, dan cara beradaptasi dengan lingkungan
alamnya. Budaya menurut para antropolog berarti kemanusiaan, sedangkan menurut
Rapoport perubahan permukiman dipengaruhi oleh kekuatan sosial budaya termasuk
agama, pola hubungan kekeluargaan kelompok sosial, cara hidup dan beradaptasi dan
hubungan antar individu.
Sistem Permukiman oleh Doxiadis, 1971, Permukiman adalah paduan antara
unsur alam, manusia dengan masyarakatnya, dan unsur buatan berupa naungan dan
networking
Menurut Irwin Altman, 1980. Rumah merupakan hasil dari iklim, SDA
dan lingkungan sosial. Menurut Amos Rapoport, 1969, rumah adalah suatu bentuk
fenomena budaya dan pengaturannya sangat dipengaruhi oleh budaya lingkungannya.
Kualitas lingkungan melibatkan variabel lokasi, fisik, psikologi dan sosial budaya
Kebudayaan mempunyai 3 wujud, antara lain:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, adat istiadat, dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
(28)
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (kebudayaan fisik), merupakan total dari hasil fisik dan aktifitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat. (Koentjaraningrat, 1985, h. 1)
Rumah adalah salah satu dari tiga wujud kebudayaan, yaitu kebudayaan fisik yang merupakan hasil dari dua wujud kebudayaan, yaitu ide-ide dan aktifitas manusia. Ditinjau dari fungsi rumah sebagai pusat kegiatan berbudaya, ketiga wujud kebudayaan tersebut tidak terpisah dan mempunyai hubungan erat yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya (transactional interpendency). Rumah akan melahirkan ide-ide, nilai-nilai, dan adat istiadat akan mengatur dan memberi arah kepada perbuatan (perilaku) dan karya manusia.
Ide dan perbuatan akan menghasilkan suatu hasil karya (rumah). Sebaliknya rumah akan membentuk suatu lingkungan hidup tertentu yang berpengaruh terhadap pola-pola perbuatan, bahkan juga akan mempengaruhi cara berpikir penghuninya. Cara berpikir (ide-ide) akan selalu berkembang yang mengakibatkan perkembangan kebuadayaan fisik tersebut. Sebaliknya akibat pengaruh perkembangan hasil karya fisik juga akan mempengaruhi cara berpikir manusia (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Hubungan tiga wujud fisik kebudayaan pada rumah
Ide-ide
(29)
2.2 Pengertian Perumahan dan Permukiman
Menurut UU Nomor 4 tahun 1994, perumahan dan pemukiman merupakan salah satu kebutuhan manusia yang mempunyai peran strategis dalam pembentukan watak dan kepribadian suatu bangsa. Dalam perkembangannya istilah perumahan dan pemukiman tidak terpisahkan satu dengan lainnya dan tidak dapat dilihat hanya sekedar sarana untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar hidup manusia, tetapi harus dilihat sebagai proses bermukimnya manusia dalam menciptakan suatu ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati dirinya sebagai manusia berbudaya.
Menurut UU No. 4 tahun1994 ada beberapa unsur pokok yang terkait erat dalam pengertian perumahan dan pemukiman, yaitu:
1. Tempat hunian yang bersifat perlindungan dan sosialisasi manusia sebagai individu dalam lingkungan kecil.
2. Tempat hunian yang berfungsi lebih luas, memperlihatkan suatu unsur dengan unsur lainnya.
3. Adanya jaringan pelayanan yang memungkinkan manusia sebagai individu masyarakat menjalankan penghidupan dan kehidupannya.
4. Unsur pembatas yang terkait dengan tingkah laku manusia dalam penghidupan dan kehidupannya.
2.2.1 Pengertian perumahan
Perumahan di definisikan sebagai kelompok hunian yang berfungsi sebagai tempat tinggal (hunian) yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang lengkap. Perumahan juga
(30)
merupakan tempat diselenggarakannya aktivitas dalam lingkungan pembatas sehingga suatu perumahan akan mengandung hal-hal berikut:
1. Terdiri dari sekelompok rumah-rumah dengan fungsi dan batasan tertentu.
2. Dilengkapi dengan prasarana dan sarana yang memungkinkan berlangsungnya kehidupan bermasyarakat antar keluarga dan pergerakan orang, barang maupun jasa antar rumah didalam lingkungan maupun dari dalam keluar atau dari luar kedalam lingkungan perumahan tersebut.
3. Lingkungan yang terdiri dari dua lingkungan utama:
a. Lingkungan yang dihuni secara pribadi maupun bersama (toko/warung).
b. Lingkungan tidak dihuni baik digunakan pribadi (pekarangan/halaman) maupun bersama (taman).
4. Prasarana dan sarana perumahan terdiri dari:
a. Prasarana lingkungan berupa kelengkapan dasar fisik
b. Sarana lingkungan merupakan fasilitas penunjang yang meliputi aspek sosial dan ekonomi
c. Utilitas umum berupa sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan.
5. Prasarana dan sarana lingkungan perumahan tersebut dibatasi jenis dan jangkauannya dan kelengkapan dasar pelayanan umum bersifat lingkungan yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
(31)
b. Memungkinkan terpeliharanya fungsi utama perumahan sebagai lingkungan hunian
c. Tidak mengganggu aktifitas yang bersifat lintas kawasan.
6. Dibatasi jumlah penghuni, jenis pelayanan umum dan jangkauan kegiatan serta pergerakannya sehingga:
a. Terjalin hubungan social ekonomi yang optimal antar warga
b. Tercapai efektivitas dan efesiensi penyediaan pelayanan administrasi pemerintah dan pelayanan umum lainnya
c. Terpelihara dari berbagai kegiatan yang dapat mengganggu fungsi utama sebagai hunian.
2.2.2 Pengertian pemukiman
Didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung baik berupa kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian maupun tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Jadi dari pemahaman tersebut diatas suatu pemukiman akan terdiri dari beberapa hal berikut:
1. Fungsi utama kawasan tersebut adalah hunian/tempat tinggal
2. Satuan lingkungan pemukiman yang diartikan sebagai kawasan perumahan akan mempunyai ciri sebagai berikut:
(32)
c. Adanya penataan ruang yang terencana dan teratur sehingga pelayanan dan pengelolaan kawasan optimal.
3. Dilengkapi dengan jaringan prasarana, sarana dan fasilitas lingkungan sehingga: a. Kehidupan dan penghidupan manusia baik secara individu/kelompok dapat
berlangsung secara optimal
b. Terjadinya pergerakan baik pergerakan manusia, barang maupun jasa didalam kawasan maupun antar kawasan
c. Fungsi pemukiman dapat berdayaguna dan berhasil guna.
2.3 Interaksi Permukiman dan Lingkungan
Sejarah dan proses perkembangan pemukiman diawali dari kebutuhan dan cara hidup manusia yang di awali dengan adanya kebutuhan dasar manusia (basic needs) yang harus dipenuhi. Aspek lainnya adalah letak geografisnya dan kondisi lingkungan sekitar. Menurut Amos Rapoport membangun sebuah rumah adalah fenomena budaya, bentuk dan organisasi ruangnya sangat dipengaruhi oleh pola hidup dan perilaku penghuninya (house, form & culture)
Sejak awal rumah bukan hanya sekedar sebagai tempat perlindungan saja (shelter) tetapi banyak digunakan untuk menampung berbagai kegiatan manusia tersebut terutama dalam kaitan kepercayaan (ritual) yang dilakukan ketika membangun rumah tersebut hingga mendiaminya/menempatinya misalnya: upacara untuk memilih lokasi, membangun pondasi, menaikkan tiang, memasang atap, memasuki rumah dan sebagainya.
(33)
waktu, perkembangan budaya dan perubahan lingkungan sekitar bangunan. Proses perkembangannya dapat berubah, perubahan kualitas maupun kuantitas bangunan rumah tinggal. Perubahan kualitas misalnya rumah yang tadinya pengap dan gelap di dalam bangunannya berubah menjadi terang dan nyaman dengan menambahkan bukaan atau jendela pada dindingnya sedangkan perubahan kuantitas misalnya rumah yang tadinya mempunyai dua kamar tidur, sesuai dengan perkembangan jumlah penghuninya, ruangan di tambah menjadi 3-4 kamar tidur, serta ruang lainnya.
Secara skematis intraksi antara unsur manusia dan lingkungan terhadap rumah tinggal dapat di gambarkan dalam gambar 2.2.
Gambar 2.2 Interaksi Permukiman dan Lingkungan
Pandangan Hidup
Lingkungan Hidup Rumah tinggal
Interaksi sosial Kebutuhan
fisik Tingkah laku Etnik teknologi Fungsi ruang Kebudayaan adat Bentuk material proses ornamen
keterbatasan simbolisme
(34)
2.4 Tipomorfologi Permukiman
Untuk memahami suatu tempat (place) yang dibentuk sebagai wadah dari kebutuhan manusia baik berupa rumah atau lingkungan permukiman, bisa dilakukan dengan membagi tiga komponen struktural yang ada pada tempat tersebut, yaitu tipologi, morfologi dan topologi (Scultz, 1988). Topologi merupakan tatanan spasial dan pengorganisasian spasial yang abstrak dan matematis. Morfologi merupakan artikulasi formal untuk membentuk karakter arsitektur, dan dapat dibaca melalui pola, hierarki dan hubungan ruang. Tipologi merupakan konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan dalam mengenal bagian-bagian arsitektur.
Morfologi lebih menekankan pada pembahasan bentuk geometrik, sehingga dapat memberi makna pada ungkapan ruangnya dikaitkan dengan nilai ruang tertentu. Nilai ruang berkaitan erat dengan organisasi, hubungan dan bentuk ruang. Hierarki ruang disebabkan karena adanya nilai perbedaan bentuk ruang yang menunjukkan adanya derajat kepentingan baik secara fungsional, formal maupun simbolik. Sistem tata nilai tercipta karena ukuran, bentuk yang unik dan lokasi. Tipologi lebih menekankan pada konsep dan konsistensi yang dapat memudahkan masyarakat mengenal bagian-bagian arsitektur, yang mana hal ini dapat didukung dari pemahaman skala dan identitas.
2.5 Permukiman Sebagai Wadah Lingkungan Binaan
Terbentuknya suatu lingkungan binaan dalam hal ini adalah permukiman, merupakan proses pewadahan fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta adanya pengaruh setting (rona lingkungan) baik yang bersifat fisik maupun non fisik (sosial budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya. Rona
(35)
lingkungan akan saling berpengaruh dengan lingkungan fisik yang terbentuk oleh kondisi lokasi, kelompok masyarakat dengan sosial budayanya (Rapoport, 1969).
Hubungan antar aspek budaya (culture) dan lingkungan binaan (environment) dalam kaitannya dengan perubahan berjalan secara komprehensif dari berbagai aspek kehidupan sosial budaya masyarakat. Faktor pembentuk lingkungan dapat dibedakan menjadi dua golongan (Rapoport, 1969) yakni faktor primer (sosio culture factors) dan faktor sekunder (modifying factors). Lingkungan binaan dapat terbentuk secara organik atau tanpa perencanaan yang juga terbentuk melalui perencanaan. Pertumbuhan organik pada lingkungan permukiman tradisional terjadi dalam proses yang panjang dan berlangsung secara berkesinambungan. Lingkungan binaan merupakan refleksi dari kekuatan sosial budaya seperti kepercayaan, hubungan keluarga, organisasi sosial, serta interaksi sosial antara individu.
2.6 Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet”.
Sementara itu IFPRI (2002) menyebutkan bahwa “A watershed is a geographicarea that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to
(36)
production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests”.
Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.
2.7 Karakteristik Permukiman Daerah Aliran Sungai
Permasalahan spasial dan arsitektural pada lingkungan permukiman pada umumnya terkait pada aspek historis-kultural. Dalam permasalahan itu Pangarsa (dalam Soni, 2001) mengemukakan bahwa arsitektural dalam arti luas adalah wujud budaya material yang terletak di dalam kompleks perilaku dan ide-ide suatu masyarakat. Makna unsur-unsur fisik kota terpancang pada sejarahnya dan dalam latar belakang kebudayaannya (Kostof dalam Soni, 2001).
Kebudayaan merupakan unsur non fisik yang mempengaruhi wajah suatu kota. Kebudayaan merupakan hasil pemahaman manusia terhadap dirinya dengan unsur-unsur lain di luar dirinya. Amos Rapoport (1969) menyatakan bahwa lingkungan alam merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi arsitektur.
(37)
Meskipun demikian faktor yang lebih kuat dalam menentukan bentuk dan tampilan arsitektur adalah faktor sosial dan kebudayaan. Arsitektur dan ruang kota tidak hanya merupakan cerminan dari fungsi tetapi juga merupakan perwujudan dari sistem budaya. Melalui pemahaman mengenai kebudayaan, struktur kemasyarakatan pada sekelompok masyarakat atau etnis tertentu maka akan dapat dilihat dan dipahami lingkungan binaan yang dibangun oleh kelompok tersebut (Kostof dalam Soni, 2001). Sehingga dengan kata lain untuk memahami dan membaca lingkungan pemukiman baik itu yang berskala kecil hingga skala kota perlu pula untuk memahami budaya yang melatarbelakangi terciptanya lingkungan binaan tersebut.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa untuk mengetahui pola permukiman pada suatu kawasan kota pinggiran sungai tidak terlepas dari elemen-elemen perancangan kota yang diperoleh melalui pendekatan teori perancangan kota dengan melihat kota sebagai produk dari pengambilan keputusan banyak pihak dalam kurun waktu tertentu. Perancangan kota sebagai suatu perangkat kendali lahir karena kebutuhan perlunya suatu mekanisme yang dapat mempermudah penerapan kebijaksanaan perancangan kota terutama menyangkut produk perencanaan kota tersebut (Trancik, 1986).
Dari sejarah perkembangan kehidupan bermukim manusia dan bertempat tinggal, terlihat bahwa manusia selalu mencari kemudahan-kemudahan dalam rangka kelangsungan hidup mereka pada tiap-tiap tahapan kehidupan bermukim dan bertempat tinggal tersebut. Kemudahan-kemudahan tersebut juga terwujud dalam kehidupan non fisik mereka. Aturan-aturan, hukum-hukum dan norma-norma serta produk kebudayaan lainnya merupakan produk yang diciptakan dalam rangka memudahkan dan menjaga kelangsungan hidup dan kehidupan mereka.
(38)
Lingkungan permukiman merupakan kumpulan berbagai artefak yang terjadi karena penggabungan antara tapak (site), peristiwa (event) dan tanda (sign). Jalan, ruang terbuka, type bangunan, dan elemen fisik lain pada tapak secara keseluruhan merupakan tanda adanya peristiwa tertentu. Hal ini menunjukkan suatu kelanggengan (permanence) yang sangat kompleks sehingga menjadi ciri suatu lingkungan permukiman (Rossi, 1984).
2.8 Elemen-elemen Pembentuk Pola Ruang Kota Pinggiran Sungai
Karakteristik pola ruang pinggiran sungai diperlukan untuk memberikan pemahaman tentang identitas suatu kota yang terletak di pinggiran sungai, sesuai dengan potensi yang ada. Dalam hal ini menurut Eko Budihardjo (1991) bahwa karakter tersebut merupakan perwujudan lingkungan baik yang berbentuk fisik maupun non fisik. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Schultz (1980) bahwa karakter tersebut bisa diperoleh dari kondisi fisik lingkungan dan hal-hal lain yang tidak terukur seperti budaya, dan kehidupan sosial. Budaya dan pola sosial merupakan suatu sistem yang sudah stabil dan terpola di dalam place, yang dibangun sepanjang sejarah masyarakatnya.
2.9 Perkembangan Permukiman Daerah Aliran Sungai
Bentuk kota atau kawasan merupakan hasil proses budaya manusia dalam menciptakan ruang kehidupannya, sesuai kondisi site, geografis, dan terus berkembang menurut proses sejarah yang mengikutinya. Menurut Kostof (1991), peran dan perkembangan masyarakat sangat berpengaruh dalam suatu proses pembentukan kota. Sehingga terbentuknya pola kota akan terus berkembang sebagai proses yang dinamis dan berkesinambungan tanpa suatu awal dan akhir yang jelas. Kota lahir dan berkembang secara spontan, diatur menurut pendapat masyarakat secara umum yang dipengaruhi oleh adat istiadat, kepercayaan, agama, sesuai
(39)
dan mempunyai sosial yang kuat. Berkembangnya masyarakat baik kuantitas maupun kualitas menuntut terbentuknya suatu kota yang lebih teratur, agar lebih mudah dan terarah pengorganisasiannya melalui pola grid. Sehingga bisa ditarik suatu kesimpulan bahwa kedua faktor alam dan faktor aspirasi masyarakat tersebut saling dikombinasikan untuk menghasilkan suatu pola yang harmonis antara kehidupan manusia dan lingkungan alamnya.
Suatu kota yang berkembang terutama suatu kawasan permukiman berkembang karena adanya tuntutan untuk membentuk suatu kawasan yang terencana (planed city) yang dapat mengatur kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Namun tetap tidak terlepas dari budaya masyarakat itu sendiri. Salah satu konsep itu terlihat pada bentuk permukiman pada kawasan pinggiran sungai dimana tipe dan pola permukiman pada kawasan itu sendiri merupakan bagian dari pola penggunaan tanah yang akan menggambarkan struktur serta faktor yang mempengaruhinya. Secara garis besar, konsep atau ciri-ciri perumahan dan permukiman pada kawasan di pinggiran sungai di Indonesia dapat berupa berbagai pola-pola yaitu linier, clustered, dan lain sebagainya.
2.10 Macam-Macam Pola Permukiman
Permukiman mempunyai berbagai pola yang umum terjadi akibat berbagai faktor yang mempengaruhi, antara lain:
1. Sub Kelompok Komunitas
Pola permukiman tipe ini berbentuk cluster, terdiri dari beberapa unit atau kelompok unit hunian, memusat pada ruang-ruang penting, seperti penjemuran, ruang terbuka umum, masjid dan sebagainya (gambar 2.3).
(40)
Gambar 2.3 Pola Permukiman Sub Kelompok Komunitas
2. Face to face
Pola permukiman tipe ini berbentuk linier, antara unit-unit hunian sepanjang permukiman dan secara linier terdapat perletakan pusat aktivitas yaitu tambatan perahu atau dermaga, ruang penjemuran, pasar dan sebagainya (gambar 2.4).
(41)
2.11 Struktur Ruang
1. Linier
Pola permukiman bentuk ini adalah suatu pola sederhana dengan peletakan unit-unit permukiman (rumah, fasum, fasos dan sebagainya) secara terus menerus pada tepi sungai dan jalan. Pada pola ini kepadatan tinggi, dan kecenderungan ekspansi permukiman dan mixeduse function penggunaan lahan beragam (gambar 2.5).
Gambar 2.5 Pola Permukiman Linier 2. Clustered
Pada pola ini berkembang dengan adanya kebutuhan lahan dan penyebaran unit-unit permukiman telah mulai timbul. Kecenderungan pola ini mengarah pada pengelompokkan unit permukiman terhadap suatu yang dianggap memiliki nilai ”penting” atau pengikat kelompok seperti ruang terbuka komunal dalam melakukan aktivitas bersama (gambar 2.6).
(42)
Gambar 2.6 Pola Permukiman Clustered
3. Kombinasi
Pola ini merupakan kombinasi antara kedua pola di atas yang menunjukkan bahwa selain ada pertumbuhan juga menggambarkan adanya ekspansi ruang untuk kepentingan lain (pengembangan usaha dan sebagainya). Pola ini menunjukkan adanya gradasi dari intensitas lahan dan hirarki ruang mikro secara umum (gambar 2.7).
(43)
Di bawah ini dapat dilihat pola dan tata letak pola permukiman dengan gambar-gambar sebagai berikut:
1. Pola Mengelompok.
Contoh pola mengelompok ini adalah daerah di tepi pantai atau danau, jarak antara perumahan dan tepi pantai ditanami pohon agar kelestarian lingkungan terjaga. Pada daerah muara, perumahan mengelompok di muara sungai, sedangkan kegiatan MCK terjadi di sepanjang sungai. Adapun arah pengembangannya adalah untuk menghindari pengembangan perumahan ke arah pinggir sungai. Terdapat pohon pelindung untuk menjaga kelestarian sungai, MCK di tarik ke arah darat (gambar 2.8).
Gambar 2.8 Pola Permukiman Mengelompok
(44)
2. Pola Menyebar.
Pada pola ini perumahan menyebar jauh dari fasilitas, adapun arah pengembangannya adalah dikelompokkan agar jangkauan fasilitas terpenuhi. Sedangkan pengembangan perumahan cenderung diarahkan ke darat (gambar 2.9). 3. Pola Memanjang.
Pola ini menimbulkan gangguan keseimbangan alam. Adapun arah pengembangannya dikelompokkan agar fasilitas umum murah dan terjangkau. Terdapat jarak antara perumahan dengan sungai (gambar 2.10).
(45)
Gambar 2.10 Pola Permukiman Memanjang
Pola permukiman di lingkungan perairan darat yang terpenting di Indonesia berada di tepi dan atau di atas perairan sungai. Sebagian permukiman ini sekaligus berada dalam lingkungan rawa dan perairan laut. Kondisi lingkungan perairan demikian mendorong pemukimnya membangun rumah panggung, bukan untuk menghindari pasang laut, melainkan menghindari luapan air sungai di musim hujan.
(46)
BAB III
3.1 Lokasi Penelitian
METODA ANALISIS
Terdapat beberapa desa atau kelompok permukiman di kawasan daerah aliran
sungai (DAS)
Krueng
Langsa itu antara lain,
Gampong
Seulawah Bawah,
Gampong
Sidorejo, Desa Paya Bujok,
Gampong
Teungoh, Desa Kelurahan,
Gampong
Jawa
Belakang dan
Gampong
Jawa Baro, Desa Sidodadi, Desa Meurandeh, Desa Asam
Betek, serta Desa Seulalah. Untuk itu permukiman yang dijadikan menjadi objek
penelitian yang dianggap mampu mewakili seluruh permukiman di sepanjang daerah
aliran Krueng Langsa yang ada di kota Langsa adalah
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
seperti pada gambar 3.1, 3.2, 3.3, 3.4, dan 3.5.
3.2 Pembatasan Wilayah Kajian
Pembatasan wilayah kajian pada penelitian ini perlu dilakukan:
1.
Karena kedua wilayah studi sangat luas, dan tidak seluruhnya wilayah studi
yang dilalui oleh Krueng Langsa, maka wilayah studi juga akan dibatasi
sesuai dengan kriteria-kriteria ketelitian wilayah studi.
2.
Untuk itu dari kedua wilayah studi tersebut dipilih sub kawasan yang
dianggap mampu mewakili masing-masing wilayah studi, antara lain seperti
tergambar pada gambar 3.6 dan 3.7 berikut.
(47)
Gambar 3.1 Lokasi Penelitian dalam Wilayah Kabupaten Langsa
Sumber: Pemerintahan Kota Langsa
(48)
(49)
GAMPONG JAWA
KRUENG LANGSA
(50)
(51)
GAMPONG TEUNGOH
(52)
KAWASAN STUDI
Gambar 3.6 Pembatasan Wilayah Studi di
Gampong Jawa
Sumber: Google Earth
(53)
KAWASAN STUDI
(54)
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam studi ini adalah metode deskriptif evaluatif,
melalui observasi, kuisioner, dan wawancara.
3.3.1 Populasi, sample dan teknik sampling
Menurut Nasution (2003), populasi adalah kumpulan dari individu dengan kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan. Populasi adalah ukuran-ukuran tentang sesuatu yang ingin kita buat inferensi. Sebuah populasi dengan individu tertentu dinamakan populasi finit, sedangkan jika jumlah individu dalam kelompok tidak mempunyai jumlah yang tetap, ataupun jumlahnya tidak terhingga disebut populasi infinit.
Untuk penelitian ini, jenis populasinya adalah populasi finit dimana jumlah individu pada kedua gampong yang akan diteliti mempunyai jumlah yang pasti. Samplemenurut Nazir adalah kumpulan dari unit sampling yang ditarik biasanya dari sebuah frame. Sebuah frame
adalah list atau urutan unit sampling yang tersedia. Pengertiannya hampir sama dengan yang diungkapkan oleh Rozaini, sampel adalah kumpulan bagian dari populasi yang menjadi objek penelitian (sampel sendiri secara harfiah berarti contoh). Sedangkan elemen atau unsur adalah setiap satuan populasi, Penelitian yang dilakukan hanya pada bagian unit populasi (wakil populasi) atau biasa disebut dengan Sampel dinamakan Survei Sampel (sample survey) atau
Sample Enumeration Survey. Sedangkan penelitian yang dilakukan atas seluruh elemen atau unsur dinamakan Sensus atau Complete Enumeration.
Teknik Sampling merupakan bagian dari penelitian yang berarti suatu cara/prosedur penarikan sampel yang representative sehingga dianggap dapat mewakili populasinya atau
(55)
ini diharapkan dapat menaksir parameter tertentu dari populasi. Agar hasil penelitian yang dilakukan terhadap sampel masih bisa mewakili karakteristik populasi, maka cara penarikan sampel harus dilakukan secara seksama.
Singarimbun dan Effendi (1995) menyatakan ada empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan besarnya sampel dalam penelitian, yaitu:
1. Derajat keseragaman (degree of homogenity) dari populasi.
2. Presisi (ketelitian) yang dikehendaki oleh peneliti, makin tinggi tingkat presisi yang dikehendaki, makin besar sampel yang diambil.
3. Rencana analisis.
4. Tenaga, biaya dan waktu.
Dalam penelitian ini, penentuan sampel menggunakan teknik
purposive sampling
artinya ditentukan dengan mempertimbangkan tujuan penelitian berdasarkan
kriteria-kriteria yang ditentukan terlebih dahulu. Agar sampel yang diambil dalam penelitian
ini dapat mewakili populasi maka dapat ditentukan jumlah sampel yang dihitung
dengan menggunakan rumus Slovin (dalam Umar, 1999). Dari 457 rumah tangga
yang ada pada kedua wilayah studi, maka jumlah sampel yang harus diambil adalah:
�= N
1+Nα2... (3.1)
Dimana:
n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi
(56)
pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir.
Dalam penelitian ini diketahui N sebesar 457, α ditetapkan sebesar 10%. Jadi jumlah
minimal sampel yang diambil oleh peneliti adalah sebesar:
N
n =
1 + Ne2 457
... (3.2)
n =
1 + (457 x 0,12 457
) ... (3.3)
n =
5,57 ... (3.4) Jumlah Sampel = 82,04 = 82 sampel
Untuk mencapai kriteria penelitian dan menjaga data-data yang tidak valid, jumlah tersebut perlu ditambah sehingga jumlah sampel yang diambil berjumlah 100 sampel. Pengambilan sampel yang telah dihitung dengan rumus Slovin, menggunakan teknik pengambilan proporsional untuk mendapatkan sampel yang merata pada kedua wilayah studi.
3.3.2 Metode analisis data
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa
tahapan, antara lain:
1.
Tahap pertama adalah mengidentifikasi karakteristik sosial budaya
masyarakat
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
, antara lain mencakup:
(57)
a.
Tinjauan sejarah dan perkembangan
gampong
dan budaya bermukim
masyarakat Aceh, yang meliputi sejarah munculnya
gampong
dan
perkembangannya dari masa kerajaan, kolonial, kemerdekaan dan
reformasi.
b.
Analisis sosial budaya (Koentjaraningrat, 1982)
1)
sistem kelembagaan;
2)
sistem kemasyarakatan/kekerabatan;
3)
kehidupan ekonomi; dan
4)
kehidupan budaya dan religi
c.
Hasil interpretasi sejarah dan pengaruhnya terhadap karakteristik sosial
budaya masyarakat
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
, dijadikan dasar
untuk mendukung kajian untuk analisis karakteristik pola tata ruang
permukiman tradisional.
2.
Tahap kedua: Mengidentifikasi pola tata ruang permukiman
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
dan menganalisis kesesuaiannya dengan konsep pola tata
ruang tradisional Aceh.
3.3.3 Analisa tata guna lahan
Analisis tata guna lahan dilakukan untuk melihat elemen apa saja yang
membentuk ruang permukiman, pengaruhnya terhadap pemanfaatan guna lahan, dan
(58)
Aceh. Pada tahap ini dilakukan kajian terhadap perkembangan elemen-elemen
pembentuk kawasan pedesaan (Oswald & Baccini, 2000), dengan menggunakan
analisis
before-after
.
Before
mewakili masa awal terbentuknya
Gampong Teungoh
dan
Gampong
Jawa
, masa perkembangan infrastruktur permukiman, dan
after
mewakili kondisi eksisting saat ini (2000-2010). Selanjutnya, untuk melihat
keterkaitan antar elemen-elemen pembentuk kawasan pedesaan, dilakukan analisis
dengan teknik
super impose
. Kajian elemen pembentuk kawasan pedesaan meliputi
perairan, hutan, permukiman, pertanian, infrastruktur, dan tanah kosong
3.3.4 Analisa ruang budaya
Analisis ruang budaya dilakukan untuk mengidentifikasi keberadaan hirarki
ruang dan sifat penggunaan ruang yang ada di
Gampong Teungoh
dan
Gampong
Jawa
. Pendekatan yang dilakukan adalah secara eksploratif, dengan melihat fungsi
dan kepentingan ruang permukiman dari hasil analisis kehidupan budaya dan religi
dan kegiatan masyarakat sehari-hari.
3.3.5 Analisa pola tata ruang rumah
Pada tahap ini, analisis dilakukan dengan mengidentifikasi tiga variabel, yaitu
di antaranya:
1.
fisik bangunan dan pekarangan;
2.
struktur tata ruang tempat tinggal; dan
(59)
3.4 Pengumpulan Data dan Teknik Analisa Data
Jenis penelitian ini adalah analisa deskriptif dengan menggunakan metode survei terhadap rumah di gampong-gampong yang diteliti, antara lain meliputi:
1. Data Primer (observasi lapangan), antara lain meliputi:
a. Data Umum yang meliputi tahun perkembangan, jumlah unit hunian, luas, kepadatan bangunan, kondisi bangunan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum.
b. Kuesioner kepada sejumlah responden yang dianggap dapat mewakili seluruh penghuni pada masing-masing gampong. Sample yang dipilih berupa sample dengan pola acak bertujuan. Jumlah sampel yang dianggap dapat mewakili seluruh penghuni yang diteliti adalah 100 sampel.
(60)
BAB IV
TINJAUAN LOKASI
4.1 Profil WilayahKota Langsa merupakan bekas dari sebagian wilayah
Berada kurang lebih 400 km dari
berstatus Kota Administratif sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun
1991 tentang Pembentukan Kota Administratif Langsa. Kota Langsa kemudian
ditetapkan statusnya menjadi
tanggal 21 Juni 2001. Setelah Kota Langsa lepas dari Kabupaten Aceh Timur tahun
2001, struktur perekonomian dibangun atas perdagangan, industri, dan pertanian.
Kota Langsa merupakan kota pesisir dengan penduduk yang sangat heterogen, yang terdiri dari suku Aceh, Jawa, Melayu, Gayo Batak, dan Karo. Hanya berjarak 246 km dari Kota Medan, menyebabkan Langsa memiliki banyak kemiripan dengan Medan. Langsa merupakan kota kecil dengan keramaian yang terpusat di dua titik yaitu Jalan Teuku Umar sebagai pusat pertokoan dan pasar tradisional dan Jalan Ahmad Yani, jalan protokol dua jalur yang membelah kota ini.
4.2 Geografis
Secara Geografis, Kota Langsa terletak pada 040 - 24’ 35,68’ - 040 33’ 47, 03" LU dan 970 53’ 14,59" – 980 04’ 42,16" BT. Kota Langsa terdiri dari 5 kecamatan yaitu Kecamatan Langsa Timur, Kecamatan Langsa Lama, Kecamatan Langsa Barat, Kecamatan Langsa Barö, dan Kecamatan Langsa Kota, dengan luas keseluruhan 262,41 km2. Kecamatan dengan luas
(61)
wilayah terbesar yaitu Kecamatan Langsa Timur dan kecamatan terkecil yaitu Kecamatan Langsa Kota seperti tertera pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Luas Wilayah Kota Langsa
No Kecamatan Luas Wilayah (km²) Luas Wilayah (Ha) Persentase
1 Langsa Timur 75.04 7,504 28.60
2 Langsa Lama 42.39 4,239 16.15
3 Langsa Barat 59.95 5,995 22.85
4 Langsa Barö 77.50 7,750 29.53
5 Langsa Kota 7.53 753 2.87
Total 262.41 26,241 100.00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Langsa
Dari lima kecamatan yang ada masing-masing terdiri dari beberapa gampong, dengan jumlah keseluruhan gampong sebanyak 51, antara lain seperti terurai pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Desa pada masing-masing Kecamatan di Kota Langsa
No Kecamatan/District Ibu Kota Kecamatan Nama-nama Gampong
1 Langsa Timur Seunebuk Antara 1 Simpang Wie
2 Buket Pulo
3 Matang Panyang
4 Matang Setui
5 Buket Rata
6 Alue Pineung
7 Alue Merbau
8 Buket Meutuah
9 Matang Cengai
10 Cinta Raja
11 Sukarejo
12 Sungai Lueng
13 Seubebuk Antara
14 Buket Medang Ara
3 Langsa Kota Gampong Teungoh 1 Blang Seunibong
2 Gampong Blang
3 Alue Beurawe
4 Gampong Teungoh
5 Tualang Teungoh
(62)
Tabel 4.2 (Lanjutan)
No Kecamatan/District Ibu Kota Kecamatan Nama-nama Gampong
8 Gampong Jawa
9 Paya Bujok Blang Paseh
10 Peukan Langsa
3 Langsa Barat Matang Seulimeng 1 Seuriget
2 Paya Bujok Teungoh
3 Paya Bujok Beuramo
4 Simpang Lhee
5 Lhok Banie
6 Matang Seulimeng
7 Sungai Pauh
8 Kuala Langsa
9 Telaga Tujuh
4 Langsa Lama Meurandeh 1 Pondok Kemuning
2 Seulalah
3 Pondok Pabrik
4 Sidodadi
5 Sidorejo
6 Gampong Baro
7 Meurandeh
8 Asam Peutik
9 Baroh Langsa Lama
5 Langsa Barö Geudubang Aceh 1 Timbang Langsa
2 Aue Dua
3 Birem Puntong
4 Paya Bujok Seulemak
5 Pondok Kelapa
6 Karang Anyar
7 Paya Bujok Tunong
8 Gedubang Jawa
9 Gedubang Aceh
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Langsa
4.3 Orientasi Wilayah
Secara geografis wilayah Kota Langsa mempunyai batas-batas wilayah (gambar 3.1) sebagai berikut:
1. Batas Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur dan Selat Malaka 2. Batas Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang
(63)
3. Batas Timur berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tamiang 4. Batas Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Timur
4.4 Kependudukan
4.4.1 Jumlah dan pertumbuhan penduduk
Jumlah penduduk terbanyak di Kota Langsa terdapat di Kecamatan Langsa Kota, yaitu sejumlah 43.653 jiwa, sedangkan penduduk terkecil terdapat di Kecamatan Langsa Barat, yaitu sebanyak 33.088 jiwa. Jumlah penduduk Kota Langsa keseluruhan sesuai dengan data terbaru yang di dapat dari Badan Pusat Statistik Kota Langsa adalah 141.138 jiwa (tabel 4.3).
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kota Langsa Akhir tahun 2009
No Kecamatan Jumlah Penduduk
Pertengahan Tahun
Jumlah Penduduk Akhir Tahun Sex
Ratio
Laki-laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Langsa Timur 12,407 6,445 6,491 12,936 99.29
2 Langsa Barat 28,985 15,004 14,832 29,836 101.16
3 Langsa Kota 36,971 18,258 18,661 36,919 97.84
4 Langsa Lama 23,422 12,161 12,701 24,862 95.75
5 Langsa Baro 38,630 20,331 20,467 40,798 99.34
Jumlah 140,415 72,199 73,152 145,351 98.70
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Langsa 4.4.2 Sebaran dan kepadatan penduduk
Kecamatan dengan tingkat kepadatan yang paling tinggi yaitu Kecamatan Langsa Kota dengan kepadatan 4.903 jiwa/km2. Kecamatan dengan tingkat kepadatan penduduk yang terendah yaitu Kecamatan Langsa Timur yaitu dengan jumlah penduduk sebanyak 172 jiwa/km2. Untuk lebih jelasnya seperti terurai pada tabel 4.4.
(64)
(65)
Tabel 4.4 Sebaran dan Kepadatan Penduduk
No Kecamatan Luas Wilayah (km²) Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk/km²
1 Langsa Timur 75.04 12,936 172
2 Langsa Barat 59.95 29,836 498
3 Langsa Kota 7.53 36,919 4,903
4 Langsa Lama 42.39 24,862 587
5 Langsa Baro 77.50 40,798 526
Jumlah 262.41 145,351 526
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Langsa 4.4.3 Etnik dan budaya
Pedoman kemasyarakatan di Nangroe Aceh Darussalam diatur dalam Hadih Maja yang merupakan hasil kesimpulan dari Musyawarah Besar Kerukunan Rakyat Aceh. Pedoman etnik dan budaya diatur melalui ritual-ritual yang berkaitan dengan daur hidup (kelahiran dan pernikahan), kegiatan keagamaan (Maulid Nabi, Nuzulul Quran, dan Isra’ Mi’raj), dan aktivitas pertanian yang berkaitan dengan mata pencaharian penduduk (Kanduri Blang). Sesuai dengan hasil kuesioner yang dilakukan, ternyata sebagian besar penduduk (87%) masih mengetahui bahkan sangat mengetahui tentang Hadih Maja tersebut, selebihnya hanya sekedar pernah mendengar dan tidak pernah mendengar (tabel 4.5).
Tabel 4.5 Frekuensi pengenalan Hadih Maja
Frekuensi Persentasi
Persentasi Valid Persentasi Kumulatif Hadih Maja
Sangat Tidak Mengetahui 5 5 5 5
Tidak Mengetahui 8 8 8 13
Mengetahui 10 10 10 23
Cukup Mengetahui 24 24 24 47
Sangat Mengetahui 53 53 53 100
(66)
Namun bila ditinjau dari penerapan adat dan tradisi ini masih cukup tinggi, yaitu seluruh responden masih melakukan melalui ritual-ritual tersebut. Beberapa dari yang tidak pernah mendengar tentang Hadih Maja tersebut, hanya melakukan sesuai dengan arahan-arahan tetua di daerah tersebut tanpa mengetahui dimana hal tersebut tercantum (tabel 4.6).
Tabel 4.6 Frekuensi penerapan Adat Aceh
Frekuensi Persentasi
Persentasi Valid Persentasi Kumulatif Adat Aceh
Sangat Tidak 0 0 0 0
Tidak Menerapkan 0 0 0 0
Menerapkan 17 17 17 17
Cukup Menerapkan 25 25 25 42
Sangat Menerapkan 58 58 28 100
Total 100 100.0 100.0
4.5 Perekonomian
Sumber: Hasil olahan data survey memakai SPSS versi 18
Kegiatan perekonomian yang utama di kota ini adalah dari sektor perdagangan senilai 28,87%. Kemudian terbesar kedua adalah dari sektor industri pengolahan, senilai 23,45%. Industri pengolahan yang terdapat pada Kota Langsa ini adalah industri pengolahan kayu, dimana bahan baku industri perkayuan didatangkan dari lokasi penebangan hutan seperti Kabupaten Aceh Timur, Aceh Singkil, Aceh Utara, Aceh tengah, Aceh Tenggara dan Pidie.
Potensi ekonomi di Kota Langsa masih belum tertangani dengan baik. Sementara Pemerintah Kota Langsa masih memprioritaskan diri pada peningkatan kualitas SDM, baik masyarakat maupun aparatur pemerintahan. Hal ini dapat dilihat dari realisasi belanja pembangunan tahun 2002. Pendidikan (25%), aparatur pemerintahan (22%), dan perumahan (10%) menjadi sektor dengan alokasi dana paling besar. Sedangkan perdagangan sebagai
(67)
4.6 Sarana dan Prasarana Permukiman
4.6.1 Komponen air bersih
Data yang didapatkan di kota ini relatif kurang sehingga tidak dapat dianalisis lebih lanjut, dan tidak dapat diketahui pula kondisi sektor air bersih di kota ini. Namun dari jumlah penduduk yang diketahui, bisa dihitung perkiraan kebutuhan air Kota Langsa untuk klasifikasi kota sedang. Dengan jumlah penduduk sebanyak 141.138 jiwa, maka dibutuhkan air (kebutuhan ideal untuk klasifikasi kota sedang sebesar 100 lt/org/hr) sebesar 14.113.800 lt/org/hr. Namun karena tidak diketahui kapasitas produksinya, maka tidak dapat diketahui seberapa besar produksi air dari kota ini, sehingga tidak dapat diketahui pula seberapa besar kekurangan atau mungki n kelebihan produksi air yang sudah ada.
4.6.2 Komponen persampahan
Sesuai dengan standar kota sedang, yaitu tingkat timbulan sampah sebanyak 3 liter/orang/hari, Kota Langsa dengan jumlah penduduk 141.138 jiwa, menghasilkan 423,41 m3/hr timbulan sampah. Jumlah ini didapatkan dari jumlah penduduk dikalikan 3/1000 (m3/hr). Namun data yang didapatkan kurang lengkap sehingga tidak dapat diketahui sudah seberapa jauh pelayanan yang sudah dicapai oleh pemerintah Kota Langsa.
4.6.3 Komponen sanitasi/limbah cair
Untuk produksi limbah, setiap manusia diasumsikan memproduksi limbah cair sejumlah 0,2 lt/org/hr. Angka ini merupakan kebutuhan ideal dari setiap penduduk pada kelas kota sedang. Sehingga didapatkan asumsi produksi limbah di Kota Langsa ini sejumlah 28.228 lt/hr dari hasil perhitungan kebutuhan ideal produksi limbah setiap manusia dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Langsa.
(68)
4.6.4 Komponen drainase
Pengelolaan drainasedi kota ini dikelola oleh Sub Dinas Cipta Karya Kota Langsa. Karena data yang didapatkan kurang lengkap maka tidak diketahui pula bagaimana kondisi jalan yang ada di kota ini.
4.6.5 Komponen jalan
Pengelolaan jalan di kota ini dikelola oleh Sub Dinas Bina Marga Kota Langsa. Karena data yang didapatkan kurang lengkap maka tidak diketahui pula bagaimana kondisi jalan yang ada di kota ini.
4.6.6 Pemerintahan
Beberapa istilah kaitannya dengan sistem pemerintahan di Langsa antara lain:
1. Gampông atau disebut kampung dalam bahasa Melayu, merupakan sebuah sistem pemerintahan setingkat desa sekarang yang bediri secara otonom. Sebuah gampông dipimpin oleh kepala desa yang disebut Keuchik atau Geuchik dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Peut.
2. Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat kecamatan yang dahulu diberlakukan pada saat Kesultanan Aceh. Sebuah mukim terdiri dari beberapa buah desa yang disebut gampông. Di tiap-tiap mukim didirikan sebuah masjid yang dipergunakan untuk shalat Jumat. Yang memimpin mesjid disebut Teungku Imum Raja (Mesjid). Mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Lapan.
(69)
terdiri dari mukim-mukim layaknya sekarang sebuah kabupaten terdiri dari kecamatan-kecamatan. Sebuah sagoë dipimpin oleh hulubalang yang bergelar
Teuku atau disebut Ampon.
4. Nanggroë yang dalam bahasa Melayu disebut Negeri, merupakan suatu sistem pemerintahan yang setingkat dengan provinsi pada masa sekarang ini. Sebuah
Nanggroë merupakan kumpulan dari sagoe-sagoe, layaknya propinsi yang terdiri dari kabupaten-kabupaten. Sistem pemerintahan ini pada masa yang lampau hanya terdapat di wilayah kabupaten Aceh Besar sekarang. Oleh karenanya Aceh Besar sering disebut pula dengan nama Acèh Lhèë Sagoë atau Aceh Tiga Sagi. Ada 3
sagoë di Aceh Besar (Acèh Rayek), yaitu Sagoë XXII, Sagoë XXV, dan Sagoë
XXVI.
4.7 Konsep Bermukim Masyarakat Aceh
Masyarakat Aceh telah sejak lama mempunyai konsep-konsep dasar mengenai
pengaturan tata ruang rumah dan lingkungannya yang sarat akan nilai budaya lokal.
Namun, rangkaian kejadian yang terjadi di Aceh secara menyeluruh menyebabkan
berkurangnya keberadaan permukiman tradisional, sehingga warisan budaya bangsa
Aceh dikhawatirkan tidak dapat bertahan.
Masyarakat Aceh mulai mengalami pendangkalan pemahaman terhadap
konsep-konsep lokal permukiman tradisional berbasis adat. Terutama setelah bencana
tsunami, pembangunan permukiman baru diharapkan dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan masyarakat yang tidak hanya dinilai secara ekonomis, tetapi juga
(70)
memperhatikan faktor kultur budaya setempat. Instansi yang terkait dengan program
pembangunan permukiman, perlu memahami konsep bermukim masyarakat Aceh.
Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah
Gampong
Teungoh
dan
Gampong Jawa
di Kecamatan Langsa Kota, Kabupaten Langsa.
Sebagian besar rumah penduduk nya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang
terbuat dari kayu. Rumah-rumah ini, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan
gempa. Observasi Hurgronje (1985) membuktikan bahwa hunian masyarakat Aceh
telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh,
khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh dan Aceh Besar, sejak tahun 1600
telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik (Lombard,
2006). Dengan alasan ini pula, beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional
seperti Muslim Aid, mencoba membangun kembali rumah untuk korban tsunami,
dengan bentuk mengadopsi
rumoh Aceh
.
Pola yang terbentuk dari sistem bermukim masyarakat
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
memiliki makna dan tujuan berdasarkan konsep-konsep lokal yang
lebih diterima oleh masyarakat. Kebijakan adat dan kehidupan
gampong
tertuang
dalam bab VII Qanun nomor 4 tahun 2003 yang menyatakan bahwa
gampong
berhak
untuk merancang dan menetapkan
Reusam
gampong
(tata krama peradatan di Aceh)
untuk mengatur kehidupan warganya, menjadi dasar untuk menghidupkan kembali
adat yang semakin menghilang akibat pergeseran nilai-nilai masyarakat.
(71)
Penjelasan mengenai konsep bermukim sangat penting dalam kaitannya dengan
proses pembentukan lingkungan permukiman. Melalui latar belakang dan
pengalaman sejarah, dan pemahaman mengenai pola tata ruang permukiman yang
sesuai dengan nilai-nilai tradisional masyarakat Aceh, diharapkan dapat
mengakomodasi, menghormati dan memelihara keberadaan
gampong
, sekaligus
sebagai wujud pelestarian tata ruang tradisional sebagai identitas budaya bangsa.
Oleh karena itu, tujuan dari studi ini juga adalah untuk mengidentifikasi karakteristik sosial budaya masyarakat Gampong Teungoh dan Gampong Jawa di Kecamatan Langsa Kota Kabupaten Langsa. Kemudian mengidentifikasi pola tata ruang permukiman, dan menganalisis pola tata ruang permukiman tradisional yang terbentuk akibat pengaruh sistem sosial budaya masyarakatnya, serta pola penanganan yang tepat untuk kedua gampong
(72)
BAB V
KAJIAN PERMUKIMAN PADA
5.1 Karakteristik Sosial Budaya
DAERAH ALIRAN KRUENG LANGSA
Sistem pemerintahan Adat di
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
dapat
dikatakan masih menganut sistem pemerintahan Adat yang berlaku di Propinsi
Nangroe Aceh Darusalam. Yaitu masih berpedoman pada naskah
Kanun Syara’
Kesultanan Aceh yang ditulis oleh Teungku di Mulek pada tahun 1270 Hijriah.
Pranata politik di
gampong
berfungsi untuk memenuhi keperluan mengatur dan
mengelola keseimbangan kekuasaan dalam kehidupan komunitas tersebut. Struktur
politiknya terdiri atas beberapa status dengan peran tertentu, yaitu
Keuchik
yang
bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan
gampong
, terhadap pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan di
gampong
nya.
Dalam melaksanakan tugasnya, seorang
Keuchik
dapat meminta bantuan
pertimbangan dari
Tuha peut
dan
Imeum Meunasah
.
Imeum Meunasah
merupakan
pimpinan dalam keagamaan dan
Tuha peut
adalah dewan orang tua yang
berpengalaman dan paham mengenai adat dan agama. Untuk urusan yang berkaitan
dengan aktivitas pertanian,
Keuchik
menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada
Keujruen Blang
(kelompok petani).
(73)
Selain kelembagaan pemerintahan, terdapat
kelembagaan sosial
kemasyarakatan yang diikuti oleh penduduk
gampong
, yaitu kelompok pengajian,
kelompok organisasi wanita, dan kelompok organisasi pemuda. Kedekatan hubungan
lembaga-lembaga di
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
dengan masyarakat
ataupun dengan lembaga lainnya (gambar 5.1).
Gambar 5.1 Kelembagaan di
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
5.2 Sistem Kemasyarakatan
Penduduk
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
, seperti halnya masyarakat di
wilayah Aceh Besar, menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral,
memperhitungkan hubungan kekerabatan baik pada pihak laki-laki maupun pihak
perempuan. Hubungan keluarga dalam masyarakat Aceh terdiri dari
Wali
,
Karong
dan
Kaom
. Namun, dalam sistem kekerabatan yang lebih mikro, wujud keluarga
MASYARAKAT GAMPONGTEUNGOH KEUJRUEN
BLANG
LEMBAGA PEMERINTAHAN
PERKUMPULAN OLAH RAGA
REMAJA MESJID KELOMPOK PENGAJIAN POSYANDU
(74)
besar Aceh terdiri dari keluarga inti senior dan keluarga inti dari anak-anak
perempuannya, sesuai dengan adat menetap nikah matrilokal (uxorilocal).
Hal ini berarti sesudah menikah, suami menetap di lingkungan kerabat
perempuan. Keluarga besar ini hidup dalam rumah yang berada dalam satu
pekarangan dan satu kesatuan ekonomi yang diatur oleh kepala keluarga inti senior.
Hukum adat yang berlaku sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda tersebut
mempengaruhi orientasi tempat tinggal keluarga batih baru dalam masyarakat Aceh,
sehingga pasangan yang baru menikah biasanya bertempat tinggal di rumah
mempelai wanita.
Hasil kuisioner, didapatkan bahwa sebagian besar responden sudah bertempat
tinggal di
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
sejak lahir, yaitu sebanyak 67%.
Sedangkan sebagian kecil lainnya masih dapat dikategorikan penghuni baru pada
kedua kawasan studi (tabel 5.1).
Tabel 5.1 Frekuensi Lama Huni
Frekuensi Persentasi Percentasi Valid
Persentasi Kumulatif Lama
Huni
< 5 tahun 1 1.0 1.0 1.0
5 - 10 tahun 7 7.0 7.0 8.0
10 - 15 tahun 11 11.0 11.0 19.0
15 - 20 tahun 14 14.0 14.0 33.0
> 20 tahun 67 67.0 67.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
(75)
Dari 100 responden yang merupakan penduduk asli, didapatkan bahwa 61%
bertempat tinggal di rumah
peunulang
, yaitu rumah warisan mertua mereka, yang
menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk laki-laki di
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
menikah dengan wanita sesama warga. Hanya sebesar 5% responden
yang mempunyai rumah atas nama sendiri, 24% menghuni rumah peninggalan orang
tua. Dari jumlah responden 100 orang, 61% di antaranya tinggal di rumah
peunulang
karena mengikuti istri. Jumlah yang tinggal di
Gampong Teungoh
dan
Gampong
Jawa
karena ikut istri, berkaitan dengan tradisi menetap menikah di rumah pihak
perempuan dalam adat Aceh (Tabel 5.2).
Tabel 5.2 Status Rumah
Frekuensi Persentasi Percentasi Valid
Persentasi Kumulatif Status
Rumah
Rumah Sendiri 5 5.0 5.0 5.0
Rumah Orang Tua 24 24.0 24.0 29.0
Rumah Mertua 61 61.0 61.0 90.0
Rumah Keluarga 9 9.0 9.0 99.0
Sewa 1 1.0 1.0 100.0
Total 100 100.0 100.0
Sumber: Hasil olahan data survey memakai SPSS 18
5.3 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan memperlihatkan pola bangunan yang khas pada permukiman tradisional Aceh. Keluarga inti menurut garis perempuan (peunulang), selalu mempersiapkan rumah untuk ditinggali anak-anak perempuan mereka di kemudian hari. Hasil analisis silsilah (family tree) memperlihatkan bahwa rumah-rumah dalam permukiman di Gampong Teungoh
(76)
1. Keluarga inti senior menyediakan rumah yang ditempatkan dalam satu pekarangan kepada anak-anak perempuannya (hareuta peunulang), yaitu bersebelahan dengan rumah inti. Jika suatu keluarga mempunyai anak perempuan yang cukup banyak, maka kebun dapat dijadikan lahan untuk membangun rumah baru. Rumah keluarga inti senior biasanya diwariskan kepada anak perempuan terakhir. Harta peunulang
selanjutnya dibangun bersebelahan dengan rumah inti. Jika lahan tidak memungki nkan maka rumah baru dibangun di bagian belakang (gambar 5.2).
Gambar 5.2 Kelompok Hunian Kekerabatan
2. Keluarga inti senior menyediakan harta peunulang, agak jauh dari rumah inti, dengan mempertimbangkan lahan bagi kemungkinan penambahan rumah peunulang yang harus disediakan anak-anaknya kelak. Pada tipologi ini, pemilihan lahan tidak mengikuti aturan pola menetap masyarakat Aceh. Bangunan bisa ditempatkan di belakang, depan, atau di samping rumah inti, tergantung dari lahan yang tersedia dan kesepakatan antar keluarga.
(77)
3. Arah orientasi bangunan, ditemukan bahwa rumoh Aceh di Gampong Teungoh dan
Gampong Jawa sudah tidak lagi didominasi orientasi menghadap ke Kiblat. Dari keseluruhan sampel bangunan, orientasi bangunan sudah ke berbagai arah sesuai dengan arah jalan dan aliran Krueng Langsa (Gambar 5.9 dan 5.10).
5.4 Kehidupan Ekonomi
Pengelompokan sosial berdasarkan mata pencaharian di masa lalu tidak
memberikan pengaruh yang cukup signifikan kepada masyarakat Aceh dalam hal
memilih pekerjaan. Saat ini, mata pencaharian penduduk
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
cukup beragam. Sebagian besar warga
Gampong Teungoh
dan
Gampong Jawa
, yaitu sebesar 41% bermata pencaharian sebagai petani dan sebesar
15% bekerja sebagai buruh tani. Hal ini dikarenakan oleh topografi wilayah yang
berupa dataran rendah dan faktor tanah yang sangat potensial untuk daerah
persawahan.
Meskipun demikian, pekerjaan sebagai petani mulai ditinggalkan penduduk,
karena stagnansi dalam bidang pertanian dan pendapatan yang kurang mencukupi.
Secara spesifik, berdasarkan hasil dari kuisioner, diketahui bahwa sebagian besar
responden bermata pencaharian sebagai wiraswasta (42%) diikuti dengan profesi
sebagai pegawai, baik negeri maupun swasta sebanyak 27% dan petani sebanyak
15%.
(1)
E Di atas Rp. 4.000.000,- 05 Besar Pengeluaran keluarga per
bulan saat ini adalah:
A Di bawah Rp. 1.000.000,-
B Rp. 1.000.000,- s/d Rp. 1.999.000,- C Rp. 2.000.000,- s/d Rp. 2.999.000,- D Rp. 3.000.000,- s/d Rp. 4.000.000,- E Di atas Rp. 4.000.000,-
06 Jumlah Anggota Keluarga anda pada saat ini:
A 2 orang B 3 orang C 4 orang D 5 orang
E Lebih dari 5 orang
IV.
Riwayat Tinggal
01 Lama Tinggal di rumah sekarang A Di bawah 5 tahun B 5 – 10 tahun C 10 – 15 tahun D 15 – 20 tahun E Di atas 20 tahun 02 Status Rumah yang di huni pada
saat ini:
A Rumah Sendiri B Sewa/kontrak C Rumah Mertua D Rumah Orang Tua
E Lain-lain: ……… 03 Menurut anda, kondisi rumah anda
pada saat ini:
A Sangat buruk B Buruk C Sedang D Baik E Sangat Baik 04 Bila anda mempunyai keinginan
atau sudah mengembangkan rumah, alasan utamanya adalah:
A Anak bertambah B Saudara bertambah C Untuk Anak Laki-laki D Untuk Anak Perempuan E Untuk Disewakan 05 Luas Bangunan anda saat ini
adalah:
A 21 m2 B 21 – 36 m2 C 36 – 45 m2 D 45 – 54 m2 E Di atas 54 m2
06 Kelengkapan rumah anda saat ini: A Kolong, Balee Kayee, Sumur, Kandang. B Kolong, Balee Kayee, Sumur.
C Kolong, Balee Kayee. D Kolong.
E Tidak Ada.
V.
Sosial Budaya
01 Agama yang anda anut saat ini adalah:
A Islam
B Kristen Protestan C Katolik
D Buddha
E Lainnya: ...
(2)
C Mengetahui D Cukup mengetahui E Sangat mengetahui 03 Anda menarik garis keturunan
berdasarkan:
A Garis Ayah B Garis Ibu C Dua-duanya D Tidak Dua-duanya 04 Apakah anda masih menganut Adat
Budaya Aceh:
A Sangat tidak menganut B Tidak menganut C Menganut D Cukup Menganut E Sangat Menganut 05 Pendapat anda tentang organisasi
kemasyarakatan, seperti PKK, Posyandu, Kelompok pengajian, Remaja Mesjid, dll:
A Sangat Tidak aktif B Tidak Aktif C Biasa saja D Aktif E Sangat Aktif 06 Apakah anda masih taat dengan
tradisi-tradisi adat yang berkaitan dengan daur hidup, seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dll:
A Sangat tidak taat B Tidak taat
C Hanya sekedar menjalani D Taat
E Sangat taat 07 Apakah anda masih taat dengan
tradisi-tradisi kegiatan keagamaan, seperti Maulid Nabi, Nuzulul Qur’an, Isra’ Mi’raj, dll:
A Sangat tidak taat B Tidak taat
C Hanya sekedar menjalani D Taat
(3)
LAMPIRAN 2
Foto Kondisi Permukiman di
Gampong Teungoh
(4)
(5)
LAMPIRAN 3
Foto Kondisi Permukiman di
Gampong Jawa
(6)