Hubungan Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik Perawatan Luka RUMAT

(1)

DI KLINIK PERAWATAN LUKA RUMAT BEKASI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

Disusun oleh :

ADELINA VIDYA ARDIYATI

1110104000004

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

JAKARTA

Undergraduate Thesis, June 2014

Adelina Vidya Ardiyati, NIM: 1110104000004

Correlation between Monofilament Score and Diabetic Ulcer in RUMAT Clinic

xviii + 76 pages + 9 tables + 3 schemes + 2 pictures + 6 attachments

ABSTRACT

Diabetic ulcer is consider as main cause of low extremity amputation in diabetic patient. The prevalence of diabetic ulcer as complication of diabetes mellitus about 15%, and 85% non traumatic amputation is caused by diabetic ulcer that wasn’t heal. Health professionals especially nurse should do the screening test as an important thing to prevent amputation, repetition of diabetic ulcer, and to identify risk of diabetic ulcer development.

The purpose of this study was to determine the correlation between monofilament score and diabetic ulcer (degree of ulcer and frequencies of ulcer) in Clinic of RUMAT. This research was an analytical quantitative research with cross sectional design at α=0.05 level. Data collection was concluded on 35 respondents using monofilament 10g. The result of this study showed that there is correlation between monofilament score and degree of diabetic ulcer (p=0.002, r=-0.504), and there is correlation between monofilament score and frequencies of diabetic ulcer (p=0.019, r=-393).

The result is expected to be a consideration for health agencies to be able to do screening test to identified cause of diabetic ulcer. Beside that treatment included health education accurately in order to prevent increasing ulcer degree, amputation, and repetition of ulcer.

Keywords: monofilament, diabetic ulcer, grade of ulcer, frequencies of ulcer. Reference: 82 (years 1991-2014)


(4)

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi, Juni 2014

Adelina Vidya Ardiyati, NIM: 1110104000004

Hubungan Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik Perawatan Luka RUMAT

xviii + 76 halaman + 9 tabel + 3 bagan + 2 gambar + 6 lampiran

ABSTRAK

Ulkus diabetika merupakan penyebab utama amputasi ekstermitas bawah pada pasien dengan diabetes mellitus (DM). Sekitar 15% pasien DM akan mengalami komplikasi berupa ulkus dan 85% amputasi non traumatik disebabkan oleh ulkus diabetika yang tidak sembuh Skrining yang dilakukan oleh tenaga kesehatan khususnya perawat untuk mengetahui penyebab ulkus diabetika merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya amputasi, dan kejadian ulkus berulang, serta untuk mengidentifikasi resiko pengembangan ulkus diabetika.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara skor monofilamen dan ulkus diabetika (derajat ullkus dan frekuensi terjadinya ulkus) di Klinik RUMAT. Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan desain cross sectional dengan α=0.05. Pengambilan data dilakukan pada 35 responden dengan menggunakan alat monofilament 10g. Hasil analisis didapatkan bahwa ada hubungan kuat antara skor monofilamen dan derajat ulkus diabetika (p=0.002, r= 0.504), serta ada hubungan moderat antara skor monofilamen dan frekuensi terjadinya ulkus diabetika (p=0.019, r= 0.393).

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi instansi kesehatan agar dapat melakukan identifikasi untuk mengetahui penyebab terjadinya ulkus. Di samping itu, penanganan dan pendidikan kesehatan yang tepat dapat mencegah terjadinya peningkatan derajat ulkus, amputasi, dan kejadian ulkus berulang.

Kata kunci: Monofilamen, Ulkus Diabetika, Derajat Ulkus, Frekuensi Ulkus. Referensi: 82 (tahun 1991-2014)


(5)

(6)

(7)

(8)

ii

RIWAYAT HIDUP

Nama : Adelina Vidya Ardiyati Tempat Lahir : Candimas, 16 November Agama : Islam

Status : Belum menikah

Alamat :Gg. Keramat No.205 RT/RW 019/007 Ds. Candimas Kec. Natar Kab. Lampung Selatan Prov. Lampung

Telepon : 0721-92403/ 085716138120 Email : adel_adelina27@yahoo.co.id

Riwayat Pendidikan :

1. TK. Kartika Jaya : 1997-1998

2. SD N 1 Candimas, Lampung : 1998-2004

3. SMP N 1 Natar, Lampung : 2004-2007

4. SMA As-syafi’iyah 02 Bekasi : 2007-2010 5. S-1 Ilmu Keperawatan UIN syarif Hidayatullah Jakarta : 2010-2014


(9)

iii

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT”.

Penulis telah berusaha untuk menyajikan suatu tulisan ilmiah yang rapid an sistematik sehingga mudah dipahami oleh pemmbaca. Penulis menyadari bahwa penyajian skripsi ini jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan masih terbatasnya pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan penulis dalam melihat fakta, memcahkan masalah yang ada, serta mengeluarkan gagasan ataupun saran-saran. Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang berguna untuk menyempurnakan skripsi ini akan penulis terima dengan hati terbuka dan rasa terima kasih.

Sesungguhnya banyak pihak yang telah memberikan dorongan dan bantuan yang tak terhingga nilainya hingga skripsi ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. DR (hc). Dr. Muhammad Kamil Tadjuddin, Sp.And., selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ns. Waras Budi Utomo, S.Kep., M.KM, selaku Ketua Program Studi Ilmu

Keperawatan dan Ns. Eni Nuraini Agustini, S.Kep.,M.Sc, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan atas kemudahan-kemudahan, petunjuk, serta motivasi yang diberikan.

3. Ibu Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep., dan Ibu Yenita Agus, M.Kep.,Sp.Mat.,PhD, selaku Dosen Pembimbing, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah meluangkan waktu serta memberi arahan dan bimbingan dengan sabar kepada penulis selama proses pembuatan skripsi ini.

4. Ns. Uswatun Hasanah, MNS., Ibu Ita Yuanita, S.Kp.,M.Kep., dan Ibu Yenita Agus, M.Kep.,Sp.Mat.,PhD selaku Dosen Penguji Skripsi, terimakasih sebesar-besarnya atas saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Ns. Uswatun Hasanah, MNS., selaku Dosen Pembimbing Akademik, terima kasih sebesar-besarnya untuk beliau yang telah membimbing, menjadi tempat berkeluh kesah, dan member motivasi selama 4 tahun duduk di bangku kuliah. 6. Segenap Staf Pengajar dan karyawan di lingkungan Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam


(10)

iv

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada saya selama duduk di bangku perkuliahan.

7. Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik serta Perpustakan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan yang telah banyak membantu dalam pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.

8. Bpk. Dadang Suharto yang merupakan Kepala Klinik RUMAT serta seluruh Staff dan karyawan klinik RUMAT (Ka Riska, Ka Lia, Ka Elfira, Ka Silvi, Ka Netti, Pa Anam) yang telah banyak membantu peneliti dalam melakukan penelitian.

9. Orang tuaku tercinta, Bpk. Sukardi dan Ibu Elly Repliyati yang telah mendidik, mencurahkan seluruh kasih dan sayang tiada tara, mendo’akan keberhasilan anaknya, serta memberikan bantuan baik moril maupun materiil kepada penulis selama ini. Tak lupa, kakak dan adikku tersayang Mba Aster, Aa Danang, Adik Nabila, dan seluruh keluargaku yang selalu menghiburku dan memberikan semangat tanpa pamrih. Untuk sepupu terbaikku Mas agung, terimakasih banyak bantuan dan semangatnya.

10.Teman-teman PSIK 2010, teman-teman pelangiku kaka fitri, desi, nina, nela, dan rusti yang selalu menjadi tempat curahan hati, bisa membuatku tertawa lepas untuk sejenak menghilangkan penat. Untuk sahabat terbaikku mba fidah dan ifan, terimakasih banyak. Serta semua pihak yang telah mendoakan selama proses pembuatan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat mendatangkan manfaat bagi para pembaca umumnya, dan penulis pada khususnya.

Jakarta, Juni 2014


(11)

v

Halaman

Halaman Judul……….. i

Pernyataan Keaslian Karya ………. ii

Abstract ……… iii

Abstrak ………. iv

Pernyataan Persetujuan ……….v

Lembar Pengesahan ………..…vi

Daftar Riwayat Hidup ………..viii

Kata Pengantar ……….…ix

Daftar isi ………...xi

Daftar Singkatan ……….….xvi

Daftar Tabel………..…xv

Daftar Gambar ………....xvi

Daftar Bagan……… xvii Daftar Lampiran……….. xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……….. 1

B. Perumusan Masalah ……….. 6

C. Pertanyaan Penelitian ………7

D. Tujuan Penelitian ………...…... 8


(12)

vi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus

1. Definisi Diabetes Mellitus ………. 10

2. Tipe Diabetes Mellitus……… 10

3. Tanda dan Gejala Diabetes Mellitus ………. 12

4. Komplikasi Diabetes Mellitus ………13

5. Penanganan Diabetes Mellitus ……….. 14

B. Neuropati Diabetik 1. Definisi Neuropati Diabetik ……….. 14

2. Patogenesis Neuropati Diabetik………..16

3. Manifestasi Klinis Neuropati Diabetik ………. 17

4. Diagnosis Neuropati Diabetik ………... 17

C. Ulkus Diabetika 1. Pengertian Ulkus Diabetika ………. 24

2. Patogenesis Ulkus Diabetika Akibat Neuropati……….….25

3. Klasifikasi Ulkus Diabetika ………. 26

4. Tanda dan Gejala Ulkus Diabetika ……….. 29

5. Proses Penyembuhan Ulkus ……….. 29

6. Faktor Resiko Ulkus Diabetika ………. 30

7. Pencegahan dan Pengolahan Ulkus Diabetika ………. 32

D. Kerangka Teori ……… 34

E. Penelitian Terkait ………. 35

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS A. Kerangka konsep ………. 37

B. Hipotesa penelitian ………. 38

C. Definisi Operasional ……… 39


(13)

vii

C. Tempat dan Waktu Penelitian ……….. 42

D. Alat Pengumpul Data ……….. 42

E. Teknik Pengumpulan Data ………. 44

F. Kerangka Kerja ……… 45

G. Pengolahan Data ……….. 46

H. Analisa Data ……… 47

I. Etika Penelitian ……… 48 BAB V HASIL PENELITIAN A. Profil RUMAT……….50

B. Hasil Uji Normalitas Data ………...…52

C. Hasil Analisis Univariat ………..53

D. Hasil Analisis Bivariat ………56

BAB VI PEMBAHASAN A. Analisis Univariat ………. .58

B. Analisis Bivariat ……….68

C. Keterbatasn Penelitian ………74

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan……….75

B. Saran………76

Daftar Pustaka


(14)

viii

DAFTAR SINGKATAN

ADA : American Diabetic Association ADH : Anti Diuretic Hormone

AL : Asidosis Laktat

DepKes : Departemen Kesehatan

CNE : Clinical Neurological Examination DM : Diabetes Mellitus

DNA : Denuclear Acid DM : Diabetes Mellitus EMG : Elektromiografi HDL : High Density Lipid

HNK : Hiperosmolar Non Ketotik

IDDM : Insulin Dependent Diabetes Mellitus KAD : Ketoasidosis Diabetik

MODY : Maturity Onset Diabetes of Young NDS : Neuropathy Dissability Score

NIDDM : Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus PJK : Penyakit Jantung Koroner

PTM : Penyakit Tidak Menular Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

TBC : Tuberculosis

UT : University of Texas

VPT : Vibration Perception Threshold WHO : World Health Organization


(15)

ix

Halaman 2.1 Klasifikasi Derajat Luka Menurut University of Texas

3.1 Definisi Operasional 4.1 Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus 5.1 Hasil Uji Normalitas Data

5.2 Distribusi Frekuensi variabel Karakteristik Responden di Klinik RUMAT April 2014

5.3 Gambaran Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014

5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Derajat Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014

5.5 Gambaran Frekuensi Terjadinya Ulkus pada Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014

5.6 Korelasi antara Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014

28 38 48 52 53

54

55

56


(16)

x

DAFTAR GAMBAR

Halaman 2.1 Cara Melakukan Test Monofilamen 23 2.2 Lokasi Test Monofilamen 23


(17)

xi

Halaman 2.1 Kerangka Teori 33 3.1 Kerangka Konsep 36 4.1 Kerangka Kerja 44


(18)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumen Perizinan Lampiran 2. Informed Consent

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian dan Lembar Observassi Lampiran 4. Hasil Uji Normalitas Data

Lampiran 5. Hasil Olahan SPSS Univariat Lampiran 6. Hasil Olahan SPSS Bivariat


(19)

A. LATAR BELAKANG

Diabetes Mellitus (DM) merupakan salah satu Penyakit Tidak Menular (PTM). Perhatian terhadap Penyakit Tidak Menular (PTM) ini makin hari makin meningkat karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya di masyarakat. Pada tahun 2002, World Health Organization (WHO) menyatakan PTM menyebabkan hampir 60% kematian dan 43% kesakitan di seluruh dunia. Pada tahun 2020 angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 73% kematian dan 60% kesakitan di seluruh dunia (WHO, 2008). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan adanya peningkatan kasus PTM secara cukup bermakna, hal ini menandakan adanya double burden (Depkes, 2009). Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif seperti Penyakit Jantung Koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, Diabetes Mellitus (DM), dan lain-lain (Soegondo, 2004).

DM merupakan salah satu PTM dan jumlah pasien DM di dunia mencapai 246 juta orang (WHO, 2007). Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah pasien DM terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat, dengan prevalensi 8,6% dari total penduduk (WHO, 2005). Secara global, WHO menyatakan bahwa pada tahun 2004 terdapat 1,1 juta penduduk mengalami kematian akibat DM dengan prevalensi sekitar 1,9% dan pada tahun 2007


(20)

2

dilaporkan bahwa terdapat 246 juta pasien DM, 6 juta kasus baru DM dan 3,5 juta penduduk mengalami kematian akibat DM. Dari seluruh kematian akibat DM di dunia, 70% kematian terjadi di negara-negara berkembang.

Angka kesakitan dan kematian akibat DM di Indonesia cenderung berfluktuasi setiap tahunnya sejalan dengan perubahan gaya hidup masyarakat. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlah pasien DM di Indonesia lebih dari 5 juta pasien (Depkes RI, 2009). Prevalensi DM di Indonesia diperkirakan pada tahun 2030 mencapai 21,3 juta orang (Diabetes Care, 2004). Proporsi komplikasi menahun DM di Indonesia tahun 2007 terdiri atas neuropati (60%), penyakit jantung koroner (20,5%), ulkus diabetika (15%), retinopati (10%), dan nefropati (7,1%) (Hastuti, 2008).

Pada pasien DM baik itu tipe I maupun tipe II terdapat dua jenis komplikasi vaskuler yang mungkin timbul, yaitu komplikasi makrovaskuler dan komplikasi mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler ini mencakup penyakit arteri koroner, penyakit serebrovaskuler, dan penyakit vaskuler perifer. Sementara komplikasi mikrovaskuler mencakup retinopati, nefropati, dan neuropati diabetika (Smeltzer and Bare, 2001). Apabila dibandingkan dengan orang normal, maka pasien DM lima kali lebih besar untuk timbul gangren, tujuh belas kali lebih besar untuk memiliki kelainan ginjal, dan dua puluh lima kali lebih besar untuk terjadinya kebutaan (Permana, 2008). Berdasarkan penelitian Roza (2008) di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2006 terdapat 159 pasien DM yang mengalami komplikasi. Proporsi pasien DM yang mengalami komplikasi yaitu pasien DM yang mengalami Gangren (26,4%), hipertensi (17,6%), TBC (12,0%), PJK (9,4%), nefropati diabetik (8,8%), retinopati diabetik (8,2%), hipoglikemia


(21)

(7,5%), koma diabetik (5,0%), neuropati diabetika (3,1%), dan infeksi saluran kemih (2,0%).

Kira-kira 15% pasien dengan DM mempunyai tanda dan gejala neuropati, hampir 50% juga mempunyai gejala nyeri neuropatik dan gangguan hantaran saraf. Neuropati paling sering dijumpai pada pasien DM yang berumur lebih dari 50 tahun, jarang dijumpai pada usia dibawah 30 tahun dan sangat jarang pada anak-anak (Adams dan Victor, 2005). Neuropati merupakan komplikasi utama dari DM yang mengakibatkan tingginya angka morbiditas. Prevalensi pasti tidak diketahui dan dilaporkan bervariasi mulai dari 10% hingga 90% pada pasien DM bergantung kepada kriteria dan metode yang digunakan. Hubungan yang kuat antara hipergikemi dan perkembangan dari neuropati dilaporkan pada banyak studi (Fazan dkk., 2010).

Deteksi dini neuropati diabetik sangat penting pada pasien DM. Ulkus diabetika merupakan salah satu komplikasi DM yang ditandai dengan adanya penyulit vaskuler (mikrovaskuler dan makrovaskuler) ditambah dengan neuropati perifer dan kemudian infeksi sehingga terjadi ulkus diabetika (Soegiarto, 1998).Tiga faktor resiko terjadinya nekrosis jaringan pada ulkus diabetika yaitu neuropati, iskemi, dan infeksi, diantaranya yang paling sering adalah neuropati dan iskemi, sedangkan infeksi sebagai akibat lebih lanjut kedua faktor tersebut (Edmonds dan Amanda, 1997). Neuropati ditandai rasa panas, mati rasa, rasa kering, kadang sakit pada kaki dimana pulsasi arteri masih teraba. Ini berlawanan dengan iskemi pada kaki yang teraba dingin dan pulsasi arteri tidak teraba sampai timbul komplikasi tidak terasa sakit saat terjadi luka pada daerah yang mendapat tekanan bahkan terjadi nekrosis dan gangren (Jennifer, 1998 dan Jude 1998).


(22)

4

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik DM berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai dengan kematian jaringan setempat (Robert G, 2002). Prevalensi pasien ulkus diabetika di Amerika Serikat (2010) sebesar 15-20% dan angka mortalitas sebesar 17,6% bagi pasien DM dan merupakan sebab utama perawatan pasien DM di rumah sakit. Penelitian kasus kontrol di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 16% perawatan DM dan 23% total hari perawatan adalah akibat ulkus diabetika dan amputasi kaki karena ulkus diabetika sebesar 50% dari total amputasi kaki. Sebanyak 15% pasien DM akan mengalami persoalan kaki suatu saat dalam kehidupannya (Djokomoeljanto, 1997).

Amputasi pada ekstermitas bawah sering diperlukan sebagai akibat penyakit vaskuler perifer progresif (sering sebagai gejala sisa DM), gangren, trauma, deformitas kongenital, atau tumor ganas. Dari semua penyebab tadi, penyakit vaskuler merupakan penyebab tertinggi amputasi ekstermitas bawah. Amputasi dapat dianggap sebagai jenis pembedahan rekonstruksi drastis yang digunakan untuk menghilangkan gejala, memperbaiki fungsi, dan menyelamatkan atau memperbaiki kualitas hidup. Kehilangan ekstermitas memerlukan penyesuaian besar, pasien harus menyesuaikan diri dengan adanya perubahan citra diri permanen, yang harus diselaraskan sedemikian rupa sehingga tidak akan menghilangkan rasa diri berharga (Brunner & Suddarth, 2001).

Berdasarkan hasil tesis yang disusun oleh Supriyanto pada tahun 2001di RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan judul “Hubungan Antara Derajat Kaki Diabetika Dengan Neuropati Perifer Dan Iskemi Perifer Pada Pasien Diabetika Mellitus Tipe 2” disimpulkan bahwa semakin berat neuropati perifer semakin


(23)

berat derajat kaki diabetika, namun dalam penelitian ini menggunakan alat Elektromiogram ( EMG) sebagai instrumen untuk menentukan derajat keparahan neuropati. Diagnosis neuropati tidak hanya dapat dilakukan menggunakan alat EMG, belakangan ini mulai banyak berkembang alat atau metode-metode untuk melakukan skrining dan diagnosis dini neuropati, diabetika seperti Clinical Neurological Examination (CNE), tes vibrasi dengan garputala, maupun test monofilamen (Misnadiarly, 2006; Waspadji, 2006; Djokomoeljanto, 1997).

Dalam penelitian ini akan menggunakan monofilamen 10g sebagai instrumen untuk deteksi dini neuropati, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bambang Adi Setyoko pada tahun 2003 tentang “Nilai Diagnostik Monofilamen 10 g dan skor Clinical Neurological Examination (CNE) Pada Polineuropati Diabetika” disimpulkan bahwa monofilamen 10 g memiliki sensitifitas yang baik bila digunakan untuk skrining dan diagnosis dini polineuropati diabetika.

Kehilangan sensasi proteksi pada periferal neuropati merupakan penyebab umum pada pasien ulkus diabetika. Penggunaan tes monofilamen adalah cara terbaik untuk mengkaji neuropati diabetik. Pasien dengan sensasi kaki normal biasanya dapat merasakan sentuhan monofilamen, tetapi pada pasien yang diduga memiliki penurunan atau kehilangan sensasi proteksi tidak dapat merasakan sentuhan monofilamen. Monofilamen merupakan alat yang mudah, tidak mahal, dan tidak menimbulkan rasa nyeri, dan dapat digunakan pada pasien DM sebagai screening awal untuk peripheral neuropati (Shrikhande, 2012). Tes ini dapat memeriksa fungsi reseptor Merkel dan Meissner, dan hubungannya dengan serabut saraf diameter besar, pasien DM memiliki resiko tinggi terjadinya masalah


(24)

6

penurunan atau kehilangan sensasi pada serabut saraf tersebut (Perkins BA, 2001 dan Boulton, 1998).

Menurut peneliti, belakangan ini seiring dengan meningkatnya frekuensi kejadian penyakit DM yang disertai komplikasi ulkus diabetika maka perhatian terhadap penanganan ulkus diabetika semakin meningkat, mulai banyak berkembang praktik-praktik keperawatan mandiri, salah satunya yaitu rumah perawatan luka diabetika “RUMAT” yang berpusat di Bekasi. Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara kepada salah satu perawat di klinik RUMAT , sekitar tujuh puluh persen pasien datang dalam keadaan luka sudah stadium lanjut atau derajat luka dua dan lebih. Sangat penting dan utama dalam hal menentukan faktor resiko terjadinya ulkus, hal ini merupakan strategi pencegahan ulkus, menghindari ulkus berulang, dan mencegah terjadinya amputasi pada pasien ulkus diabetika. Perawat memiliki peran penting untuk melakukan pengkajian. Banyak test yang dapat dilakukan untuk mengetahui penyebab timbulnya ulkus diabetika, salah satu testnya yaitu menggunakan test monofilamen untuk mengetahui apakah pasien mengalami masalah penurunan sensorik atau tidak sebagai penyebab dari timbulnya ulkus diabetika.

B. Rumusan Masalah

Ulkus diabetika merupakan penyebab utama amputasi ekstermitas bawah pada pasien dengan DM (Inlow, 2000). Sekitar 15% pasien DM akan mengalami komplikasi berupa ulkus diabetika dalam hidupnya dan 85% amputasi non-traumatik di sebabkan oleh ulkus diabetika yang tidak sembuh (Kumar, 1991 dalam Britis Columbia 2012). Kejadian ulkus diabetika ini adalah hasil dari


(25)

kontribusi banyak faktor, tapi penyebab tersering adalah periferal neuropati yang berhubungan dengan hilangnya sensasi proteksi, oleh karena itu tenaga kesehatan harus mengkaji adanya periferal neuropati pada pasien untuk mengidentifikasi resiko kekambuhan atau pengembangan ulksu diabetika (Meijer, 2005).

Identifikasi neuropati pada pasien DM sangat penting, bahkan dianjurkan untuk melakukan evaluasi berkala. Bukti penelitian klinis menunjukkan manfaat strategi skrining dan deteksi dini dalam menurunkan resiko ulkus diabetika dan amputasi kaki. berkaitan dengan hal itu, diperlukan alat diagnosis yang sederhana, murah, dan sensitif untuk mendeteksi dan mendiagnosis neuropati diabetika, khususnya dalam pemakaian klinis praktis sehari-hari (Perkins, 2001 dan Vinik, 2000). Akhir-akhir ini, penggunaan monofilamen 10g telah banyak dikembangkan para peneliti dan digunakan untuk tujuan skrining dan diagnosis neuropati diabetika.

Sejauh ini belum pernah dilakukan skrining untuk mengetahui penyebab utama terjadinya ulkus diabetika pada pasien yang melakukan perawatan luka di klinik RUMAT. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan antara skor monofilamen dengan ulkus diabetika pada pasien di klinik RUMAT.

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran karakteristik pasien ulkus diabetika di klinik RUMAT (usia, jenis kelamin, riwayat DM, frekuensi ulkus, derajat ulkus diabetika)? 2. Bagaimana skor monofilamen pada pasien ulkus diabetika di klinik


(26)

8

3. Bagaimana hubungan antara skor monofilamen terhadap derajat ulkus diabetika di klinik RUMAT?

4. Bagaimana hubungan antara skor monofilamen terhadap frekuensi terjadinya ulkus di klinik RUMAT?

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara skor monofilamen terhadap ulkus diabetika di klinik perawatan luka RUMAT.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisis gambaran karakteristik pasien ulkus diabetika di klinik RUMAT (usia, jenis kelamin, riwayat DM, frekuensi ulkus, derajat ulkus diabetika).

b. Menganalisis skor monofilamen pada pasien ulkus diabetika di klinik RUMAT.

c. Menganalisis hubungan antara skor monofilamen terhadap derajat ulkus diabetika di klinik RUMAT.

d. Menganalisis hubungan antara skor monofilamen terhadap frekuensi ulkus di klinik RUMAT.


(27)

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:

1. Bagi peneliti, yaitu untuk menambah pengetahuan dan pengalaman meneliti hubungan antara skor monofilamen terhaadap kejadian ulkus diabetika.

2. Bagi peneliti lain, yaitu sebagai penambah informasi dan bahan dasar untuk melakukan penelitian tentang pengkajian penyebab ulkus diabetika dalam ruang lingkup yang lebih besar.

3. Bagi pelayanan keperawatan, yaitu sebagai bahan masukan dan informasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan yang komperhensif dan paripurna kepada pasien ulkus diabetika.

4. Bagi ilmu keperawatan, yaitu sebagai masukan untuk perkembangan ilmu keperawatan khususnya di bidang Keperawatan Medikal Bedah.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DIABETES MELLITUS 1. Definisi

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk dihati dari makanan yang dikonsumsi. Insulin adalah suatu hormon yang diproduksi oleh pankreas, mengendalikan kadar glukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya (Smeltzer & Bare, 2001).

Diabetes mellitus adalah kelainan yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal (hiperglikemia) yang ditandai dengan ketiadaan absolut insulin atau penurunan relatif insensitivitas sel terhadap insulin (Corwin, 2009).

2. Tipe DM

Ada beberapa tipe DM yang berbeda, penyakit ini dibedakan berdasarkan penyebab, perjalanan klinik dan terapinya. Klasifikasi diabetes yang utama adalah:

a. Tipe I: Diabetes Mellitus tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)


(29)

Kurang lebih 5% hingga 10% pasien mengalami DM tipe I, yaitu diabetes yang tergantung insulin. Pada DM jenis ini, sel-sel beta pankreas yang dalam keadaan normal menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh suatu proses autoimun. Sebagai akibatnya, penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa darah. DM tipe satu ditandai oleh awitan mendadak yang biasanya terjadi pada usia 30 tahun (Smeltzer & Bare, 2001).

b. Tipe II: Diabetes Mellitus tidak bergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM))

Kurang lebih 90% hingga 95% pasien mengalami DM tipe II, yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin. DM tipe II terjadi akibat penurunan sensitivitas terhadap insulin (resistensi insulin). DM tipe II pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan. Jika kenaikan darah tetap terjadi, terapi diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemik oral. Pada sebagian pasien DM tipe II, obat oral tidak mengendalikan keadaan hiperglikemia sehingga diperlukan penyuntikan insulin. DM tipe II paling sering ditemukan pada individu yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas (Smaltzer & Bare, 2001). c. DM Gestasional yaitu diabetes mellitus yang terjadi selama kehamilan. d. DM yang berhubungan dengan keadaan atau gejala lainnya, menurut

ADA (American Diabetic Association) 2007 :

1) Defek genetik fungsi sel beta : Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3 dan Denuclear Acid (DNA) mitokondria. 2) Defek genetik kerja insulin.


(30)

12

3) Penyakit eksokrin pankreas, seperti pankreasitis, pankreatomi, pankreatopati fibrokalkulus.

4) Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, hipertiroidisme. 5) Karena obat/zat kimia: pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid,

hormone tiroid, tiazid, dilantin, interferon, alfa dan lain-lain. 6) Infeksi: Rubella Congenital,cyitomegalovirus.

7) Sebab imunologi yang jarang: antibody insulin

8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM: Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, Sindrom Turner, dan lain-lain.

3. Tanda dan Gejala

Gambaran klinis panyakit DM menurut Corwin (2009) adalah sebagai berikut:

a. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin) karena air mengikuti glukosa yang keluar melalui urin.

b. Polidipsia (peningkatan rasa haus) akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya dan keluarnya urin yang menyebabkan dehidrasi ekstrasel. Dehidrasi instrasel mengikuti penurunan gradien konsultasi ke plasma anti diuretik (ADH-vasopresin) dan menimbulkan rasa haus.

c. Polifagi (peningkatan rasa lapar) akibat keadaan pasca absorbsif yang kronis, katabolisme protein dan lemak, kelaparan relatif sel, sering terjadi penurunan berat badan tanpa terapi.

d. Rasa lelah dan kelemahan otot akibat katabolisme protein di otot dan ketidakmampuan sebagian besar sel utnuk menggunakan glukosa


(31)

sebagai energi. Aliran darah yang buruk pada pasien DM kronis juga menyebabkan kelelahan.

e. DM tipe 1 mungkin disertai rasa mual dan muntah.

4. Komplikasi

Komplikasi-komplikasi pada DM dapat dibagi menjadi dua yaitu : a. Komplikasi Metabolik Akut

Komplikasi akut terdiri dari dua bentuk yaitu hipoglikemia dan hiperglikemia. Hiperglikemia dapat berupa, Keto Asidosis Diabetik (KAD), Hiperosmolar Non Ketotik (HNK) dan Asidosis Laktat (AL). Hipoglikemi yaitu apabila kadar gula darah lebih rendah dari 60 mg% dan gejala yang muncul yaitu palpitasi, takikardi, mual, muntah, lemah, lapar dan dapat terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Hiperglikemi yaitu apabila kadar gula darah lebih dari 250 mg% dan gejala yang muncul yaitu poliuri, polidipsi pernafasan kussmaul, mual, muntah, penurunan kesadaran sampai koma (Soewondo,2006).

KAD menempati peringkat pertama komplikasi akut disusul oleh hipoglikemia. Komplikasi akut ini masih merupakan masalah utama, karena angka kematiannya cukup tinggi. Kematian akibat KAD pada pasien DM tahun 2003 di negara maju berkisar 9 - 10%. Data komunitas di Amerika Serikat, Rochester dikutip oleh Soewondo menunjukkan bahwa insidens KAD sebesar 8 per 1000 pasien DM per tahun untuk semua kelompok umur. Hasil pengamatan di Bagian Penyakit Dalam RSCM selama 5 bulan (Januari - Mei) tahun 2002, terdapat 39 pasien KAD yang dirawat dengan angka kematian 15% (Soewondo, 2006).


(32)

14

b. Komplikasi Metabolik Kronik

Komplikasi kronik pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di seluruh bagian tubuh (angiopati diabetik) (Waspadji, 1999). Angiopati diabetik untuk memudahkan dibagi menjadi dua yaitu: makroangiopati (makrovaskuler) dan mikroangiopati (mikrovaskuler), yang tidak berarti bahwa satu sama lain saling terpisah dan tidak terjadi sekaligus bersamaan. Komplikasi kronik DM yang sering terjadi adalah sebagai berikut:

1) Mikrovaskuler :

a) Retinopati diabetik. b) Nefropati.

c) Neuropati diabetik. 2) Makrovaskuler :

a) Penyakit jantung koroner. b) Penyakit vaskuler perifer. c) Penyakit serebrovaskuler.

5 Penanganan

Tujuan pengelolaan DM dibagi atas tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Tujuan jangka pendek adalah hilangnya berbagai keluhan atau gejala DM sehingga pasien dapat menikmati hidup sehat dan nyaman, sedangkan tujuan jangka panjang adalah tercegahnya berbagai komplikasi baik pada pembuluh darah maupun pada susunan syaraf sehingga dapat menekan angka morbiditas dan mortalitas (Waspadji, 1997).


(33)

b. Diet DM

c. Latihan fisik (Mirza, 2008; Waspadji, 1997)

B. Neuropati Diabetik 1. Definisi

Neuropati Diabetik merupakan kondisi heterogen dengan spektrum kelainan yang luas, dan perkembangannya disebabkan oleh DM itu sendiri atau berbagai faktor terkait yang memperberat penyakitnya. Definisi neuropati perifer diabetik adalah terdapatnya gejala-gejala dan atau tanda-tanda dari disfungsi saraf tepi pada pasien DM, tanpa ada penyebab lainnya (Vinik, 2000).

Neuropati merupakan salah satu komplikasi DM yang sering dijumpai. Kekerapan neuropati diabetik akan meningkat sesuai dengan lamanya mengidap DM dan hampir 50% akan mengalami polineuropati diabetik setelah 25 tahun (Greene et al.,1997). Susunan saraf sangat rentan terhadap komplikasi DM. Neuropati merupakan salah satu komplikasi DM yang khas, sehingga neuropati diabetik dimasukkan dalam triopati DM, bersama nefropati dan retinopati. Gambaran neuropati diabetik sangat beragam, mulai dari onsetnya akut, reversible sampai insidius, tetapi progresif dan kemudian menjadi irreversible (Waspadji, 1997; Soegiarto et al., 1998).

Beberapa teori yang dikemukakan untuk menjelaskan adanya neuropati diabetik (Djokomoeljianto, 2001; Soegondo 1999) :

a. Sorbitol pathway


(34)

16

c. Penurunan mioinoitol d. Menurunnya konduksi saraf

e. Perubahan sintesis dan perbaikan mielin sensorik dan motorik neuropati f. Kelainan autonomik atau faktor pertumbuhan saraf

2. Patogenesis

Patogenesis neuropati diabetik merupakan suatu interaksi metabolik dan faktor iskemik. Hiperglikemia mengakibatkan aktivasi polyol pathway, auto-oksidasi glukosa, dan aktifasi protein C kinase yang berkontribusi terhadap perkembangan neuropati diabetik. Perubahan metabolisme ini, menyebabkan tidak berfungsinya sel endotelial di pembuluh darah,dan berhubungan dengan abnormalitas sel Schwann dan metabolisme axonal. Hiperglikemia menyebabkan hipoksia endoneural oleh karena peningkatan resistensi pembuluh darah endoneural. Hipoksia endoneural merusak transportasi axon dan mengurangi aktivitas saraf sodium-potassium-ATPase. Gangguan ini mengakibatkan atrofi pada axon dan gangguan konduksi saraf. (Reajeev, 2012).

3. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari neuropati menurut Waspadji (2007), yaittu: a. Neuropati Motorik

Keluhan yang menonjol adalah berkurangnya tenaga dan cepat lelah. Pada pemeriksaan kekuatan otot terjadi penurunan atau kelemahan oleh karena terputusnya akson baik secara lokal atau difusi dan terjadi demielinisasi selektif sehingga terjadi hambatan pada kondusi hantaran


(35)

saraf. Tanda objektif yang timbul berupa, menurun atau hilangnya reflek tendo achiles dan sendi lutut (patela).

b. Neuropati Sensorik

Keluhan berupa: parestase, berarti adanya rasa kesemutan atau perasaan tebal-tebal. Selain itu ada rasa terbakar, diestesi yaitu nyeri saat diraba, hiperalgesia dimana nilai ambang nyeri turun, hiperestesi berarti bila disentuh reaksinya terasa nyeri.

c. Penumpulan Saraf Sensorik

Penumpulan saraf perifer, penurunan pengecap dan sebagainya, dapat juga gangguan rasa nyeri dan suhu terutama daerah sarung tangan dan kaki.

4. Diagnosis Neuropati Diabetik

Sampai saat ini masih terus dikembangkan dan diteliti cara terbaik untuk deteksi dan diagnosis neuropati diabetik, khususnya untuk kepentingan klinis-praktis dalam praktek sehari-hari. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis neuropati diabetik menurut Djokomoeljianto (1997), Misnadiarly (2006), dan Waspadji (2006) adalah:

a. Gejala klinis neuropati

Pasien dapat menunjukkan gejala baal pada bagian distal dan atau parestesia atau nyeri. Gejala motorik meliputi kelemahan distal dan atrofi otot. Neuropati jangka panjang dapat menyebabkan deformitas pada kaki dan tangan, dan gangguan sensorik berat dapat menyebabkan ulserasi neuropati dan deformitas sendi, dan dapat pula disertai gejala


(36)

18

otonom (Ginsberg, 2008). Sedangkan menurut Baradero (2009) meliputi, riwayat rasa nyeri, kesemutan ekstermitas, tekanan darah ortostatik, kekuatan otot, refleks, fungsi sensori.

Manifestasi klinis neuropati diabetik bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka manifestasi klinisnya menjadi bervariasi diantaranya : Kesemutan, kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar, seperti disobek (Sudoyo, 2007).

b. Clinical Neurological Examination (CNE)

Akhir-akhir ini pemeriksaan CNE dipergunakan untuk deteksi maupun diagnosis polineuropati diabetik dalam praktek klinis sehari-hari. CNE merupakan salah satu modifikasi dari pemeriksaan Neuropathy Dissability Score (NDS), oleh karena NDS dianggap lebih rumit dan sulit diaplikasikan dalam pemakaian klinis praktis. CNE meliputi kajian fungsi sensoris, kekuatan otot kaki, dan refleks pergelangan kaki, serta pada masing-masing pemeriksaan diberikan skor tertentu. Pemeriksaan CNE meliputi tes pin prick, reflex tendo Achilles, dan sentuhan ringan (kapas) (Valk GD et al.,1998).

c. Tes vibrasi dengan garputala

Tes vibrasi dengan garputala dapat dipakai sebagai alternatif untuk menilai sensasi getar bila alat Biotesiometer untuk menilai Vibration Perception Threshold (VPT) tidak tersedia (Boulton, 1998). Tes vibrasi merupakan salah satu langkah awal dalam pemeriksaan somatosensorik


(37)

(Harrison, 1999). Pemeriksaan sensasi primer dengan tes vibrasi ini untuk melihat fungsi mekanoreseptor, terutama korpus pacini, yang mungkin pada pendeerita DM mengalami masalah pada fungsi saraf ini (Harrison, 1999).

Rasa vibrasi diperiksa dengan garpu tala, lebih baik garpu tala yang besar yang memberikan vibrasi 128 Hz dalam satu detik. Kelemahan vibrasi dengan menggunakan garpu tala ini cukup lambat untuk penggunaan kuantitatif karena membutuhkan antara 15 dan 20 detik untuk merusak dibawah ambang penerimaan. Vibrasi biasanya diperiksa pada tulang yang menonjol, terutama maleolus pada pergelangan kaki, patella, spina iliaca interior, processus spinosus dari corpus vertebra, sendi metacarpal-falangeal (ruas jari), processus styloideus dari ulna, dan siku. Tempat kontrol tes vibrasi adalah sternum dan dahi. Pemeriksa dapat membandingkan ambang pada tempat yang ditunjuk pada pasien dengan diri sendiri. Perkiraan kasar hilangnya derajat rasa vibrasi dapat dilakukan dengan menghitung detik dimana pemeriksa dapat merasakan rasa vibrasi lebih lama dari pada pasien. pasien harus jelas bahwa perhatian diarahkan pada rasa vibrasi dan bukan hanya tekanan ujung garpu tala (Delf, 1996).

d. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)

Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa saraf perifer dan otot. Prinsip kerjanya adalah merekam gelombang potensial yang ditimbulkan baik oleh saraf maupun otot.


(38)

20

melalui prosedur-prosedur stimulasi listrik dan teknik perekaman dapat mempelajari transmisi dan eksitabilitas saraf (Endang, 1999)

. Gelombang potensial dapat ditimbulkan dalam otot dengan memberikan stimulus pada saraf motorik yang mengelolanya, untuk mengukur kecepatan hantaran saraf motorik yaitu dengan merangsang saraf motorik pada dua tempat disebelah proksimal dan distal. Kerusakan pada akson yang berat, mengakibatkan aksi potensial tidak dapat ditimbulkan (Vinik,2000; Endang,1999). Evaluasi saraf sensorik dilakukan dengan memberikan stimulus pada saraf sensoris. Aksi potensial saraf sensoris dapat direkam dengan elektrode permukaan yang dililitkan pada jari. pengukuran kecepatan hantaran saraf sensoris dengan menghitung jarak dari stimulus tunggal sampai elektrode perekam dibagi dengan latensi. Latensi adalah waktu yang dibutuhkan dalam menghantarkan impuls dari tempat perangsangan sampai akson terminal dan transmisi dari akson terminal ke motor end plate, sehingga timbul potensial aksi (Endang, 1999).

Elektromiograf mendeteksi potensi listrik yang dihasilkan oleh sel otot ketika otot aktif dan ketika sedang beristirahat. Pada neuropati, akan didapatkan karakteristik seperti: Amplitudo potensial aksinya dua kali normal disebabkan peningkatan jumlah serabut saraf per motor unit, peningkatan durasi potensial aksi, penurunan jumlah motor unit dari otot (Boulton, 2004).


(39)

e. Test Monofilamen

Beberapa prinsip umum mengenai pemeriksaan sensorik: Pertama, sebaiknya diingat bahwa pemeriksaan tergantung pada respon pasien yang subjektif; karena itu, membedakan respon tergantung pada tingkat kesadaran, motivasi, dan intelegensi pasien dan juga keterampilan dimana pemeriksa memberikan tugas yang jelas. Kedua, pemeriksaan sensorik sebaiknya tidak dilakukan pada pasien yang lelah. Ketiga, pemeriksaan sensorik pada pasien yang tidak mempunyai keluhan neurologik sebaiknya cukup singkat. Keempat, pasien diperiksa dengan mata tertutup selama pemeriksaan sensasi primer (Delf, 1996).

Monofilamen 10g telah dipublikasikan secara luas sebagai salah satu alat deteksi neuropati diabetik. Alat ini dipublikasikan sebagai sarana yang murah, praktis, dan mudah digunakan untuk deteksi hilangnya sensasi proteksi. Alat ini terdiri dari sebuah gagang plastik yang dihubungkan dengan sebuah nilon monofilamen, sehingga akan mendeteksi kelainan sensoris yang mengenai serabut saraf besar (Armstrong, 2000).

Berbagai jenis dan ukuran monofilamen telah beredar di pasaran. Salah satu alat yang sering dipakai adalah Semmes-Weinstein monofilament, dengan variasi ukuran 1 g, 10 g, dan 75 g. Menurut Levin ME dkk (1991), ukuran standar monofilamen yang biasa dipakai adalah 10 g dengan ketebalan 5,07. Tes ini memeriksa fungsi reseptor Merkel dan Meissner dan hubungannya dengan serabut saraf diameter besar (Perkins BA, 2001 dan Boulton,1998).


(40)

22

Beberapa penelitian memakai cara dan interpretasi yang berbeda-beda dalam penggunaan monofilamen. Pemeriksaan monofilamen pada penelitian ini menggunakan prosedur yang telah dipublikasikan oleh British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee pada tahun 2011, yaitu:

1) Menggunakan monofilamen ukuran 10g (5,07) 2) Meminta pasien membuka kaos kaki dan sepatunya.

3) Menjelaskan prosedur kepada pasien dan tunjukkan kepada pasien monofilamen-nya.

4) Sebelum melakukan pemeriksaan pada kaki responden, monofilamen diuji cobakan pada sternum atau tangan dengan tujuan pasien dapat mengenal sensasi rasa dari sentuhan monofilamen. 5) Melakukan pemeriksaan pada salah satu tungkai yang memiliki

ulkus dengan kedua mata responden tertutup.

6) Monofilamen diletakkan tegak lurus pada kulit yang diperiksa, penekanan dilakukan selama 2 detik, kemudian segera ditarik.


(41)

7) Gunakan monofilamen pada 10 titik lokasi di kaki kiri dan kanan seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.2 Lokasi Test Monofilamen

- Pemilihan titik lokasi yang acak akan mencegah pasien dari perkiraan area selanjutnya.

- Jika terdapat ulkus, kalus, atau skar di kaki, gunakan monofilamen pada area yang berdekatan.

- Jika pasien telah mengalami amputai, test dilakukan pada titik lokasi yang memungkinkan saja.

8) Pada masing-masing lokasi dilakukan tiga kali pemeriksaan, jika pasien terindikasi tidak merasakan monofilamen.

9) Penilaian hasil pemeriksaan :

- Positif: dapat merasakan tekanan monofilamen dan dapat menunjukkan lokasi dengan tepat setelah monofilamen di angkat, pada 2-3 kali pemeriksaan.

- Negatif: tidak dapat merasakan tekanan atau tidak dapat menunjukkan lokasi dengan tepat, pada 2 dari 3 kali pemeriksaan.


(42)

24

10)Hasil positif skor =1, hasil negatif skor = 0. Sehingga skor total pada satu kaki bervariasi antara 0-10.

11)Dalam mendokumentasikan hasil test monofilamen, jika tertulis 6/9 maka dapat diartikan bahwa pasien dapat merasakan sentuhan monofilamen pada enam titik lokasi dan hanya dilakukan test pada sembilan titik area dikarenakan ibu jari pasien yang telah diamputasi.

C. Ulkus Diabetika 1. Pengertian

Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes mellitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat (Frykberb, 2002). Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insufisiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada pasien yang sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Frykberb, 2002; Misnadiarly, 2006; Riyanto, 2007).

2. Patogenesis Ulkus Diabetika Akibat Neuropati

Pada pasien DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya


(43)

refleks otot, atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila pasien DM tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan menjadi ulkus diabetika (Waspadji, 2007). Terjadi kerusakan saraf somatis dan otonom, tetapi tidak ada gangguan sirkulasi. Klinis dijumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, udem kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik (Jeffcoate 1995, Gibbons 1995 ).

Neuropati pada DM dapat mengenai pada bagian sensorik, motorik, maupun otonom. Patogenesis terjadinya neuropati diabetik masih penuh kontroversi, teori yang banyak dianut adalah adanya defisiensi insulin dan hiperglikemi yang menyebabkan:

a. Insufisiensi vaskuler pada sistem syaraf tepi.

b. Kelainan metabolisme molekuler dari sistem syaraf perifer dan medulla spinalis.

Dilaporkan pula bahwa pembuluh darah intraneural mengalami penebalan dinding dan penyempitan lumen seperti pada angiopati umumnya sehingga terjadi iskemi syaraf dan terjadilah neuropati. Gangguan metabolisme pada dendrit dan akson memberikan penjelasan lain, dimana gangguan metabolisme lipid dan protein yang berfungsi mempertahakan keutuhan syaraf termasuk produksi neurotransmitter berkurang sehingga terjadi gangguan konduksi. (Wisramayasa,1997 ; Djokomoeljanto, 1997 dan Jude EB,1999).

Proses degenerasi pada akson akan terus berlangsung terutama pada pasien DM yang tidak terkontrol. Keadaan berkurangnya sensibilitas akibat degenerasi seluler dari akson menyebabkan kurang pekanya pasien DM terhadap rangsang nyeri, panas, trauma mekanis dan sebagainya, sehingga


(44)

26

kulit telapak kaki akan terluka tanpa rasa, dan bila terjadi infeksi maka akan terjadi ulkus akibat neuropati (Djokomoeljanto, 1997 dan Jude EB,1999).

3. Klasifikasi Derajat Ulkus Diabetika

Beragam sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika digunakan dalam upaya menentukan perbedaan luka (tempat, kedalaman, ada atau tidak adanya neuropati, infeksi, dan iskemi) (Livingston, 2008). Penggunaan sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika yang memberikan keseragaman gambaran dan penjelasan luka akan membantu dalam merencanakan tindakan dan memprediksi jangka waktu penyembuhan atau rencana amputasi (Livingston, 2008). Ada beberapa macam sistem klasifikasi derajat ulkus diabetika yang sering digunakan: Sistem klasifikasi derajat luka menurut Wagner, Sistem klasifikasi derajat luka menurut University of Texas (UT), sistem klasifikasi luka SAD (Size, Sepsis, Arteriopathy, Depth and Denervation) yang merupakan hasil penelitian dari Department of Diabetes and endocrinology at the University of Nottingham, Marion Laboratories Red, Yellow, Black Wound Classification System (Wagner, 1981; Moffat, 2006; Sussman, 2007; Alan, 2009).

Klasifikasi derajat luka menurut Wagner (1981) dikutip dalam (Clifford, 2012; Livingston, 2008, Gries, 2003; Moffat, 2006; Alan, 2009; Roy, 2006; Waspadji, 2007), yaitu:

Derajat 0 : pre atau post ulkus, tidak ada lesi terbuka, kulit utuh tetapi memiliki resiko tinggi terjadi ulkus (mungkin disertai kelainan bentuk kaki; Claw, Callus, Hallux, valgus, dll)


(45)

Derajat 2 : Ulkus dalam, tembus kulit sampai ke ligament, tendon, dan tulang, tanpa osteomielitis atau abses.

Derajat 3 : Ulkus yang dalam sampai ke tulang, dengan osteomielitis atau abses.

Derajat 4 : Gangren yang terlokalissir pada ibu jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitis.

Derajat 5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah.

Sistem klasifikasi derajat luka menurut University of Texas (UT) menggunakan derajat Wagner 1 sampai 3, tetapi disetiap derajat ditambahkan tahapan-tahapan luka: A = tidak ada infeksi atau iskemia; B = infeksi, tidak iskemia; C = iskemia, tidak infeksi; D = infeksi dan iskemia (Alan, 2009). Sistem klasifikasi derajat luka menurut University of Texas (UT) mengkaji kedalaman luka, ada atau tidak adanya nya infeksi, dan ada atau tidak adanya tanda klinis iskemi pada ekstermitas bawah (Lavery, 1996). Sistem klasifikasi ini menggunakan sebuah matriks yang menggambarkan derajat luka pada aksis horizontal dan tahapan luka pada aksis vertikal (Lavery, 1996; Gries; 200; Alan, 2009; Roy, 2012).

Stage Grade

0 1 2 3

A Pre-post lesi ulkus, kulit utuh Ulkus superficial

Ulkus dalam, ke tendon/kapsul

Penetrasi luka ke tulang

B Infeksi Infeksi Infeksi Infeksi

C Iskemia Iskemia Iskemia Iskemia

D Infeksi dan iskemia

Infeksi dan iskemia

Infeksi dan iskemia Infeksi dan iskemia Tabel 2.1 University of Texas and San Antonio Wound Classification system,


(46)

28

Sistem klasifikasi luka SAD merupakan tambahan dari sistem klasifikasi luka menurut University of Texas, SAD menambahkan area ulkus cross-sectionl dan ada atau tidak adanya neuropati perifer di setiap derajat luka (Moffat, 2006).

Marion Laboratories Red, Yellow, Black Wound Classification System:

Klasifikasi ulkus diabetika berdasarkan warna merupakkan sistem klasifikasi yang popular karena cukup sederhana dan mudah digunakan. Tiga warna yaitu: merah, kuning, dan hitam, digunakan untuk mengkaji warna permukaan luka. Sistem Tiga Warna pada mulanya di ciptakan sebagai alat untuk penatalaksanaan langsung, dengan setiap warna membutuhkan terapi khusus yang sesuai dengan kondisi luka. Luka yang berwarna merah diartikan bersih, sedang dalam proses penyembuhan, dan sedang mengalami granulasi. Luka yang berwarna kuning mengindikasikan terjadinya infeksi, terdapat jaringan nekrotik, dan membutuhkan pembersihan atau debridemen. Luka yang berwarna hitam merupakan jaringan nekrotik dan membutuhkan pembersihan serta debridemen. Luka yang berwarna merah merupakan karakteristik luka yang diharapkan (Sussman, 2007).

4. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala ulkus diabetika menurut Misnadiarly (2006), yaitu : a. Sering kesemutan.

b. Nyeri kaki saat istirahat. c. Sensasi rasa berkurang.

d. Kerusakan jaringan (nekrosis).


(47)

f. Kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. g. Kulit kering

5. Proses Penyembuhan Ulkus

Proses dasar biokimia dan selular yang sama terjadi dalam penyembuhan semua cedera jaringan lunak, baik luka ulsratif kronik, seperti dekubitus, dan ulkus tungkai. Proses fisiologis penyembuhan luka menurut Moya J (2003) dibagi ke dalam 4 fase utama, yaitu:

a. Respons inflamasi akut terhadap cedera: mencakup hemostasis, pelepasan histamin dan mediator lain dari sel-sel yang rusak, dan migrasi sel darah putih (leukosit polimorfonuklear dan makrofag) ke tempat yang rusak tersebut.

b. Fase destruktif: Pembersihan jaringan yang mati dan yang mengalami devitalisasi oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag.

c. Fase proliferatif: yaitu pada saat pembuluh darah baru yang diperkuat oleh jaringan ikat menginfiltrasi luka. Jaringan granulasi merupakan kumpulan vaskular (nutrisi untuk makrofag dan fibroblast) dan saluran getah bening (mencegah edema dan sebagai drainase) yang membentuk matriks granulasi yang turut menjadi lini pertahanan terhadap infeksi. Jaringan granulasi terus diproduksi sampai kavitas ulkus terisi kembali. Pada fase ini tampak epitelisasi dimana terbentuk tepi luka yang semakin landai. d. Fase maturasi: mencakup re-epitelisasi, konstruksi luka dan reorganisasi

jaringan ikat.

Dalam kenyataannya, fase-fase penyembuhan tersebut saling tumpang tindih dan durasi dari setiap fase serta waktu untuk penyembuhan yang


(48)

30

sempurna bergantung pada beberapa faktor termasuk ukuran dan tempat luka, kondisi fisiologis umum pasien, adanya bantuan ataupun intervensi dari luar yang ditunjukkan dalam rangka mendukung penyembuhan.

6. Faktor Resiko

Faktor risiko terjadinya ulkus diabetika pada pasien DM menurut hasil penelitian Hastuti pada tahun 2008, terdiri atas:

a. Faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah berdasarkan hasil penelitian Hastuti pada tahun 2008, yaitu:

1) Umur ≥ 60 tahun. 2) Lama DM ≥ 10 tahun.

b. Faktor-faktor risiko yang dapat diubah (termasuk kebiasaan dan gaya hidup) menurut Djokomoeldjanto (1997) dan Frykberb (2002), yaitu:

1) Neuropati (sensorik, motorik, perifer). 2) Obesitas.

3) Hipertensi.

4) Glikolisasi Hemoglobin (HbA1C) tidak terkontrol. 5) Kadar glukosa darah tidak terkontrol.

6) Insusifiensi Vaskuler karena adanya Aterosklerosis yang disebabkan : a) Kolesterol total tidak terkontrol.

b) Kolesterol High Density Lipid (HDL) tidak terkontrol. c) Trigliserida tidak terkontrol.

7) Kebiasaan merokok. 8) Ketidakpatuhan diet DM. 9) Kurangnya aktivitas fisik.


(49)

10) Pengobatan tidak teratur. 11) Perawatan kaki tidak teratur. 12) Penggunaan alas kaki tidak tepat.

7. Pencegahan dan Pengelolaan Ulkus diabetik

Menurut Levin (1988) dalam Moya J (2004), penatalaksanaan ulkus kaki diabetik memerlukan pengobatan yang agresif dalam jangka pendek, hal tersebut mencakup: debridemen lokal radikal pada jaringan sehat, terapi antibiotik sistemik untuk mengurangi infeksi diikuti dengan tes sensitivitas antibiotik, kontrol diabetes untuk meningkatkan efisiensi sistem imun, posisi tanpa bobot badan untuk ulkus plantaris, perawatan pada kaki yang luka. Pemilihan balutan luka yang tepat merupakan hal yang penting, tetapi hanyalah bagian dari terapi tersebut di atas. Dengan mempertimbangkan keadaan tersebut, maka penggunaan agens topikal yang tidak tepat justru dapat memperburuk situasi yang memang sudah tidak baik itu. selain itu, kaki harus dijaga agar tetap kering. Merendam kaki dapat menyebabkan maserasi antara jari kaki dan meningkatkan resiko terhadap infeksi. Perhatian untuk melakukan rehidrasi kulit yang kering di sekitar ulkus dan di atas tungkai bawah juga harus diberikan. Apabila ada ulkus yang sukar disembuhkan dengan segala pengobatan, maka dokter dapat meminta pemeriksaan X-Ray agar dapat meniadakan kemungkinan osteomielitis atau tertahannya benda asing yang tidak dirasakan oleh pasien (Moya J, 2004).

Pencegahan dan pengelolaan ulkus diabetik untuk mencegah komplikasi lebih lanjut adalah :


(50)

32

b. Memperbaiki sirkulasi.

c. Pengelolaan pada masalah yang timbul (infeksi, dll). d. Edukasi perawatan kaki.

e. Pemberian obat-obat yang tepat untuk dan obat vaskularisasi, obat untuk penurunan gula darah maupun menghilangkan keluhan dan penyulit DM. f. Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal.

g. Menghentikan kebiasaan merokok. h. Merawat kaki secara teratur setiap hari i. Penggunaan alas kaki tepat

j. Menghindari trauma berulang, trauma dapat berupa fisik, kimia dan termis, yang biasanya berkaitan dengan aktivitas atau jenis pekerjaan. k. Menghidari pemakaian obat yang bersifat vasokonstriktor misalnya

adrenalin, nikotin.

l. Memeriksakan diri secara rutin dan memeriksa kaki setiap kontrol walaupun ulkus diabetik sudah sembuh (Misnadiarly, 2006)


(51)

D. Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori

Modifikasi Armstrong, 2000; Hastuti, 2008; Misnadiarly, 2006; Soewondo, 2006; Waspadji, 2006 Diabetes Mellitus Komplikasi Kronis (Waspadji,2006) Akut : - KAD - HNK

- Asidosis Laktat

(Soewondo,2006) Makrovaskuler Penyakit serebrovaskuler Penyakit Vaskuler Perifer PJK Diagnostik

- Pemeriksaan fisik

- CNE

- Persepsi vibrasi

dengan garpu tala

- EMG

- Test Monofilamen

(Misnadiarly 2006; Armstrong, 2000) Neuropati diabetes Trauma: - Mekanis - Termis - Kimiawi Mikrovaskuler Nefropati Retinopati diabetik ulkus diabetika Faktor Resiko: - Usia

- Lama Menderita DM (Hastuti, 2008)


(52)

35

E. Penelitian Terkait

Judul Tahun Peneliti Sampel Desain instrumen Hasil Hubungan Faktor

Resiko Neuropati dengan Kejadian Ulkus Kaki Pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUD Moewardi Surakarta

2012 Okti Sri Purwanti (Dosen PSIK Univ. Muhamma diyah Surakarta)

68 orang Analitik observasion al dengan case control

Monofilament 10g

Terdapat Hubungan neuropati sensorik dengan kejadian ulkus kaki (p value 0,001), neuropati otonom dengan kejadian ulkus kaki (p value 0,037), neuropati motorik dengan kejadian ulkus kaki (p value 0,001).

Nilai Diagnostik monofilament 10g dan skor Clinical Neurological

Examination (CNE) pada polineuroppati Diabetik

2003 Bambang Adi Setyoko (Tesis Dokter Spesialis I)

76 pasien Cross sectional study Monofilament 10g, lembar pemeriksaan CNE, Elektromiografi (EMG)

Dengan alat EMG sebagai metode acuan, sensitifitas dan spesivisitas monofilament 10g masing-masing adalah 80,6% dan 57,1%. Sedangkan sensitifitas dan spesivisitas CNE masing-masing adalah 87,1% dan 71,4%.

Hubungan antara derajat kaki diabetic dengan neuropati perifer dan iskemik

2001 Supriyanto (Tesis Dokter Spesialis I)

70 orang Cross sectional

Elektromiografi , dan Doppler untuk menilai Ankle Pressure

Terdapat hubungan bermakna antara neuropati perifer dengan derajat KD (C=0,63, p=0,0001).


(53)

perifer pada penderita Diabetes Mellitus Tipe 2

Index (API) iskemi perifer dengan derajat KD (C=0,56, p=0,0002).

Iskemi perifer dengan neuropati perifer tidak ada hubungan bermakna (C=0,36, p=0,3004).

Faktor-Faktor Resiko Ulkus Diabetika pada Penderita Diabetes Mellitus

2008 Rini Tri Hastuti

(Tesis Megister Epidemiolo gi)

72 orang Analitik observasion al dengan desain case control Timbanggan, pengukur tinggi badan, Kuesioner, Catatan Medis penderita.

Faktor risiko ulkus diabetika adalah lama DM ≥ 10 tahun, kadar kolesterol ≥ 200 mg/dl, kadar HDL ≤ 45 mg/dl, ketidakpatuhan diet DM, kurangnya latihan fisik, perawatan kaki tidak teratur dan penggunaan alas kaki tidak tepat dengan memberikan sumbangan terhadap ulkus diabetika sebesar 99,9 %


(54)

BAB III

KERANGKA KONSEP,HIPOTESIS, DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis bebrapa fakor yang dianggap penting untuk masalah (Hidayat, 2008).

Berdasarkan teori yang telah diuraikan pada studi pustaka, maka peneliti membuat kerangka konsep untuk memudahkan mengidentifikasi konsep-konsep sesuai penelitian sehingga dimengerti. Kerangka konsep dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independen) yaitu skor monofilamen dan variabel terikat (dependen) yaitu ulkus diabetika.

Variabel Independent Variabel Dependent

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Hubungan Skor Monofilamen Terhadap Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT

skor monofilamen

(0-10)

Ulkus Diabetika - Derajat ulkus (0-5) - Frekuensi terjadinya

ulkus


(55)

B. HIPOTESIS

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian (Nursalam, 2009). Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Hipotesis alternatif (Ha) :

1. Ada hubungan antara skor monofilamen dengan derajat ulkus diabetika di klinik RUMAT.

2. Ada hubungan antara skor monofilamen dengan frekuensi ulkus di klinik RUMAT.

Sedangkan Ho Sebagai berikut :

1. Tidak ada hubungan antara skor monofilamen dengan derajat ulkus diabetika di klinik RUMAT.

2. Tidak ada hubungan antara skor monofilamen dengan frekuensi ulkus di klinik RUMAT.


(56)

C. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Definisi Cara ukur Alat ukur Hasil Skala

Skor

Monofilament

skor yang didapatkan untuk mengukur sensorik (neuropati) pada pasien ulkus diabetika dengan menggunakan

monofilament.

Monofilamen diletakkan tegak lurus pada kulit yang

diperiksa, penekanan dilakukan selama 2 detik

pada 10 lokasi, kemudian segera ditarik, dilakukan sampai tiga kali pemeriksaan jika hasilnya negatif, pemeriksaan hanya dilakukan pada salah kaki

yang memiliki ulkus.

Monofilament 10g

Skor 1 : Hasil positif, yaitu masih dapat merasakan sentuhan monofilament pada satu titik.

Skor 0 : Hasil negatif, yaitu tidak dapat merasakan sentuhan monofilament pada satu titik.

Total skor bervariasi antara 0-10 pada.

Rasio

Derajat Luka Tingkat keparahan luka saat dilakukan penelitian

Observasi Klasifikasi derajat ulkus menurut wagner

0 : pre atau post ulkus, tidak ada lesi terbuka, kulit utuh tetapi memiliki resiko tinggi terjadi ulkus (mungkin disertai kelainan bentuk kaki; claw, callus, hallux, valgus, dll)

1: Ulkus superfisialis dan terbatas pada kulit atau jaringan subkutan.

2 : Ulkus dalam, tembus kulit sampai ke ligament, tendon dan tulang tanpa adanya abses atau osteomielitis.

Ordinal


(57)

3 : Ulkus yang dalam sampai ke tulang,dengan osteomielitis atau abses.

4 : Gangren yang terlokalisir pada ibu jari kaki atau kaki bagian distal dengan atau tanpa selulitis.

5 : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai bawah. Frekuensi

ulkus

Jumlah ulkus yang pernah dimiliki pasien.

- Kuesioner Rasio

Usia Umur responden

terhitung sejak lahir hingga ulang tahun terakhir

- Kuesioner Rasio

Jenis Kelamin Merupakan pertanda gender seseorang

- Kuesioner 1. Laki-laki 2. Perempuan

Nominal

Riwayat DM Lama pasien diketahui memiliki penyakit DM.


(58)

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi analitik kuantitatif dengan metode penelitian Cross Sectional. Desain penelitian ini dilakukan dalam satu waktu sehingga disebut cross sectional. Penelitian Cross Sectional meneliti suatu kejadian pada titik waktu dimana variabel dependen dan variabel independen diteliti sekaligus pada saat yang sama (Setiadi, 2007).

B. POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2004 dalam Hidayat,2008). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien DM dengan dengan komplikasi ulkus diabetika yang melakukan perawatan luka ulkus di klinik RUMAT Kabupaten Bekasi selama bulan April 2014, yaitu berjumlah 44 pasien.

2. Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat,2008). Sedangkan menurut Nursalam (2003) sampling adalah cara atau metode pengambilan sampel untuk dapat mewakili populasi. Teknik sampling yang


(59)

akan digunakan dalam penelitian ini adalah sampling jenuh atau total

sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil semua anggota

populasi menjadi sampel. Cara ini dilakukan bila populasinya kecil, seperti bila sampelnya kurang dari tiga puluh maka anggota populasi tersebut diambil seluruhnya untuk dijadikan sampel penelitian (Hidayat, 2008). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu semua pasien ulkus diabetika yang melakukan perawatan luka di klinik RUMAT pada saat dilakukan pengambilan data, yaitu 35 pasien dengan kriteria inklusi sebagai berikut : 1. Pasien ulkus diabetika yang terdata pada hari pertama pengambilan data di

tiap klinik.

2. Pasien yang memiliki ulkus diabetika di salah satu kaki. 3. Pasien ulkus diabetika yang bersedia menjadi responden.

C. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan April-Mei 2014 di tiga cabang Klinik Perawatan Luka Diabetes RUMAT Kabupaten Bekasi, yaitu RUMAT Bekasi, RUMAT Cikarang, dan RUMAT Tambun. Klinik RUMAT dipilih karena klinik ini khusus menangani pasien-pasien ulkus diabetika dengan total pasien pada tahun 2013 di tiga cabang klinik RUMAT berjumlah 278 pasien, selain itu responden datang langsung ke klinik perawatan luka ini sehingga mempermudah jalannya penelitian.

D. ALAT PENGUMPUL DATA

1. Alat Pengumpul Data

Alat pengumpul data pada penelitian ini adalah : a. Menggunakan alat monofilament 10 g.


(60)

43

b. kuesioner untuk responden yang menggambarkan karakteristik responden, berisi Inisial nama, usia, jenis kelamin, lama menderita DM, riwayat luka sebelumnya, frekuensi perawatan kaki.

c. Lembar Penilaian untuk melihat skor monofilamen dan derajat ulkus diabetika.

2. Uji Validitas dan Reliabilitas

Validitas adalah ketepatan dan kecermatan instrumen dalam menjalankan fungsi ukurnya (Azwar, 2012). Penelitian Booth dan Young menunjukkan tidak semua monofilamen yang diproduksi pabrik memiliki kualitas yang sama baiknya. Lebih lanjut penelitian tersebut juga merekomendasikan sebuah monofilamen 10g sebaiknya digunakan maksimal 10 pasien per hari dan visko-elastisnya dapat pulih kembali setelah diistirahatkan 24 jam (Booth and Young, 2000; Armstrong, 2000).

Reliabilitas adalah kesamaan hasil pengukuran atau pengamatan bila fakta tadi diukur atau diamati berkali-kali dalam waktu yang berlainan (Nursalam, 2009). Berbagai faktor ekstrinsik dan intrinsik berpengaruh pada reliabilitas monofilamen. Faktor-faktor ekstrinsik meliputi prosedur peemeriksaan (frekuensi dan lokasi pemeriksaan, dan belum ada standart baku), dan subyektifitas (tingkat kepercayaan) respons pasien terhadap pemeriksaan monofilamen, sedangkan faktor-faktor intrinsik meliputi perbedaan radius dan panjang filamen, serta elastisitas bahan monofilamen (Booth and Young, 2000).

Peneliti telah melakukan test bagaimana cara melakukan pemeriksaan monofilamen yang diuji oleh Kepala Bagian Pendidikan dan Pelatihan klinik


(61)

RUMAT sebelum melakukan pengambilan data dan dinyatakan lulus, sehingga dapat menghasilkan data yang valid.

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Beberapa hal yang perlu dipersiapkan peneliti sebelum penelitian yaitu mempersiapkan prosedur-prosedur pengumpulan data. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:

a. Tahap Persiapan

1. Mengajukan surat permohonan studi pendahuluan kepada Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Jakarta.

2. Mengurus perizinan studi pendahuluan di klinik perawatan luka RUMAT. 3. Melakukan konsultasi dengan pembimbing skripsi tentang hasil studi

pendahuluan dan instrument yang akan digunakan dalam penelitian. b. Tahap Pelaksanaan

1. Mengajukan surat permohonan penelitian kepada Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Islam Negeri Jakarta.

2. Mengurus perizinan pelaksanaan penelitian di klinik perawatan luka RUMAT.

3. Menentukan sampel penelitian.

4. Meminta responden menandatangani lembar persetujuan (informed concent), dengan didahului oleh penjelasan tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan prosedur pelaksaan penelitian.

5. Mengisi lembar kuesioner yang berisi karakteristik responden (inisial nama, usia, jenis kelamin, frekuensi ulkus, derajat ulkus, dan lama memiliki DM)


(62)

45

6. Melakukan test monofilament dan mengobservasi derajat ulkus diabetika. Waktu untuk melakukan test monofilament sekitar 15 menit, sedangkan proses pengambilan data dilakukan selama dua minggu.

Test monofilamen dilakukan setelah responden dilakukan pencucian luka dan menggunakan prosedur yang telah dipublikasikan oleh British Columbia Provincial Nursing Skin and Wound Committee pada tahun 2011.

7. Setelah kuesioner diisi oleh peneliti, test monofilamen dan observasi derajat luka pasien telah dilakukan, peneliti melakukan pengecekan data apakah data sudah sesuai.

8. Data yang sudah lengkap kemudian diolah dan dianalisis oleh peneliti menggunakan program komputer.

c. Tahap akhir

1. Menyusun laporan.

2. Penyajian hasil penelitian dalam sidang.

F. KERANGKA KERJA

Bagan 4.1 Kerangka Kerja Pemilihan

sampel, pasien ulkus diabetika

test monofilament dan observasi

derajat ulkus informed

consent

pengisian kuesioner karakteristik

pasien

pengolahan dan analisa

data Hasil


(63)

G. PENGOLAHAN DATA

Pada langkah selanjutnya setelah data sudah dikumpulkan semua adalah melakukan pengolahan data sehingga jelas sifat-sifat yang dimiliki data tersebut, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer.

1. Edit data

Edit data yaitu memeriksa data yang telah dikumpul melalui kuesioner dan lembar hasil pemeriksaan. Hal ini diperlukan di lapangan untuk meneliti kembali apakah isian dalam lembar pertanyaan sudah cukup baik untuk diproses dan dilaksanakan di lapangan, sehingga bila terdapat kekurangan segera dilengkapi.

2. Pengkodean

Masing-masing variabel penelitian diberi kode berupa angka yang selanjutnya dimasukkan dalam lembaran tabel kerja untuk memudahkan entri di komputer.

3. Tabulasi

Tabulasi merupakan kegiatan meringkas jawaban dari kuesioner menjadi satu tabel induk yang memuat semua jawaban responden. Jawaban responden akan dikumpulkan dalam bentuk kode-kode yang disepakati untuk memudahkan pengolahan data selanjutnya.

4. Aplikasi data / pengujian data

Menggunakan uji statistik yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pada penelitian ini peneliti menggunakan bantuan komputer (Saryono, 2011).


(64)

47

H. ANALISA DATA

1. Analisa Univariat

Analisa ini dilakukan untuk memperoleh gambaran karakteristik masing-masing variabel yang diteliti. Variabel yang dianalisis adalah variabel usia, jenis kelamin, lama menderita DM, frekuensi ulkus, derajat ulkus, dan skor monofilamen. Pada analisis univariat ini, data kategorik dijelaskan dengan distribusi frekuensi melalui ukuran persentase atau proporsi. Sedangkan data numerik dijelaskan dengan mean, median, standar deviasi, dan nilai minimal serta nilai maksimal.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dilakukan untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan, yaitu untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen (skor monofilamen) dan variabel independen (ulkus diabetika). Analisa bivariat menggunakan uji korelasi Spearman dengan derajat kemaknaan 95% atau nilai alpha 0,05.

Melalui uji korelasi Spearman akan diperoleh nilai P, dengan menggunakan tingkat kemaknaan 95% atau nilai alpha 0,05, sehingga jika nilai P < 0,05 maka hasil perhitungan statistik bermakna (signifikan) atau menunjukkan ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen, dan apabila nilai P > 0,05 maka hasil perhitungan statistik tidak bermakna atau tidak ada hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji korelasi Spearman adalah uji statistik yang ditujukan untuk mengetahui hubungan anatara dua atau lebih variabel berskala ordinal atau numerik, dan cara untuk menginterpretasikan sejauh mana hubungan antara


(65)

variabel independen dan variabel dependen berdasarkan koefisien korelasi adalah sebagai berikut:

Koefisien Kekuatan Hubungan

0.00 0.01-0.09 0.10-0.29 0.30-0.49 0.50-0.69 0.70-0.88

>0.90

Tidak ada hubungan Hubungan kurang berarti

Hubungan Lemah Hubungan moderat

Hubungan kuat Hubungan sangat kuat Hubungan mendekati sempurna Interpretasi tersebut berlaku sama pada hubungan positif (+) dan negatif (-)

Sumber : de Vaus, Survey in Social Research, 5th Ed, 2002 Tabel 4.1 Tabel Interpretasi Koefisien Korelasi Versi de Vaus

I. ETIKA PENELITIAN

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan (Hidayat, 2008). Etika dalam penelitian yang harus diperhatikan menurut Notoatmodjo (2002) adalah :

1. Informed Consent

Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan responden dengan bentuk lembar persetujuan. Lembar persetujuan diberikan sebelum penelitian kepada responden yang akan diteliti. Lembar ini dilengkapi dengan judul penelitian dan manfaat penelitian sehingga subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian. Bila subjek menolak, maka peneliti tidak boleh memaksa dan harus tetap menghormati hak-hak subjek.


(66)

49

2. Anonimity

Anonimity digunakan untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan

mencantumkan nama responden, tetapi pada lembar tersebut diberikan kode pengganti nama responden.

3. Confidentiality

Confidentiality adalah Informasi yang telah dikumpulkan dari responden akan dijamin kerahasiaanya oleh peneliti, dan hanya akan digunakan untuk pengembangan ilmu.

4. Prinsip keamanan

Prinsip keamanan digunakan untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan dan ketidaktepatan lokasi saat dilakukan pemeriksaan monofilamen,. Pemeriksaan monofilamen dilakukan pada kaki yang memiliki ulkus sehingga beresiko terjadinya ketidak-amanan dan ketidak-nyamanan, untuk itu perawat pada klinik tersebut selalu mendampingi peneliti saat peneliti melakukan pengambilan data untuk meminimalisir terjadinya kesalahan dan membantu menetukan titik lokasi dilakukannya pemeriksaan monofilamen.


(67)

Bab ini akan memaparkan secara lengkap hasil penelitian hubungan skor monofilamen dan ulkus diabetika di klinik perawatan luka RUMAT, yang dibahas dengan menggunakan analisa univariat dan bivariat.

A. Profil RUMAT

1. Gambaran Umum RUMAT

RUMAT adalah Jaringan Rumah Perawatan Luka yang direncanakan berada tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Didirikan atas dasar kepedulian dan keprihatinan terhadap banyaknya pasien penyakit diabetes (diabetisi) yang harus diamputasi anggota tubuhnya ketika terjadi luka yang menahun (kronis), seolah-olah amputasi adalah satu-satunya cara agar luka tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain. Padahal amputasi bisa dicegah dan dihindari ketika luka tersebut ditangani secara tepat. Karena sesungguhnya tubuh kita adalah sistem yang sangat hebat yang mampu mengobati diri sendiri (auto recovery), dan kami pada dasarnya hanya menfasilitasi dan memastikan agar auto recovery itu bisa berlangsung dengan baik. Jadi luka pada diabetisi bisa tersembuhkan.

Di Rumat, pasien luka apapun jenisnya, akan ditangani dan dirawat dengan metode modern wound dressing yang sudah teruji secara internasional sehingga dapat tercapai kesembuhan, yang terprediksi waktunya. Metode perawatan luka ini menggunakan metode balutan lembab (moist wound dressing) dan bahan topikal terapi yang tepat untuk masing-masing jenis luka.


(68)

51

2. Motto

Sesuai dengan slogan kami “Stop Amputasidan motto kami 3C: Care Credible Competent, pasien akan dilayani dan ditangani oleh petugas yang sudah terlatih dan tersertifikasi sebagai Perawat Spesialis Luka, dengan tujuan untuk sedapat mungkin menghindari amputasi.

3. Visi

Menghindari amputasi, dengan metode perawatan yang sudah teruji secara internasional, sehingga dapat tercapai kesembuhan, yang terprediksi waktunya.

4. Misi

a. Luka menjadi tidak berbau, sehingga menjadikan pasien lebih percaya diri ketika berhubungan dengan orang lain

b. Tidak diperlukan penggantian balutan setiap hari, yang artinya menghemat waktu dan tidak mengganggu aktivitas rutin

c. Mengurangi nyeri saat balutan dibuka yang bisa jadi sangat menyiksa bagi sebagian orang

d. Mengurangi resiko infeksi sehingga tercegah dari sakit tambahan yang tidak perlu

e. Melisiskan jaringan mati lebih cepat hingga pertumbuhan jaringan baru bisa segera terjadi sebab tidak terkubur jaringan mati tersebut


(69)

5. Lokasi RUMAT

Lokasi Rumat tersebar di beberapa kota, saat ini terdiri dari 13 cabang RUMAT yang berpusat di Bekasi. Beberapa cabang RUMAT lain seperti di Jakarta, Tangerang, Indramayu, Solo, Tasik, Kuningan, Majalengka, dan Lampung.

B. Hasil Uji Normalitas Data

Sebelum dilakukan uji analisis univariat maupun bivariat, kenormalan data terlebih dahulu harus diuji. Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan uji Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50 (Dahlan, 2010). Jika nilai Shapiro-Wilk <0.05 maka data diasumsikan tidak berdistribusi normal, begitu sebaliknya. Berikut ini adalah hasil uji normalitas data pada masing-masing variabel penelitian:

Tabel 5.1: Hasil Uji Normalitas Data

Variabel Shapiro-Wilk Distribusi Data

Jenis Kelamin Usia

Riwayat DM Skor Monofilamen Derajat Ulkus Diabetika Frekuensi ulkus 0.000 0.000 0.000 0.120 0.000 0.000 Tidak Normal Tidak Normal Tidak Normal Normal Tidak Normal Tidak Normal Dari tabel 5.1 di atas, diasumsikan bahwa hanya data dari variabel skor monofilamen yang berdistribusi normal , dan data dari variabel lainnya diasumsikan tidak berdistribusi normal karena nilai Shapiro-Wilk <0.05. Jika hasil uji normalitas data didapatkan minimal satu variabel berdistribusi tidak normal maka analisis selanjutnya menggunakan uji statistik non parametrik (Arikunto, 2006). Pada


(70)

53

penelitian ini, variabel yang dihubungkan adalah variabel skor monofilamen sebagai variabel independen, dengan variabel derajat ulkus diabetika dan variabel frekuensi terjadinya ulkus sebagai variabel dependen. Variabel-variabel tersebut berskala rasio dan ordinal sehingga uji non parametrik yang digunakan untuk analisis bivariat adalah Spearman Rank (Dahlan, 2010).

C. Hasil Analisa Univariat

1. Karakteristik Responden di Klinik Perawatan Luka RUMAT Bekasi

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Variabel Karakteristik Responden di Klinik Rumat April 2014 (n=35)

Variabel Frekuensi Persentase Mean Median SD Nilai Min-Max Jenis Kelamin a. Laki-laki b. Perempuan 17 18 48.6% 51.4% Usia (Tahun) a. 31-50 b. 51-60 c. 61-70 9 18 8 25.7% 51.4% 22.9% 53.91 54.00

9.98 31-70

Riwayat DM (Tahun)

a. 0-4 b. 5-9 c. 10-14 d. 15-20 12 10 8 5 34.3% 28.6.% 22.9% 14.3% 7.51 7.00 4.84 0-17

Tabel 5.2 di atas menunjukkan hasil bahwa perbandingan responden laki-laki dan perempuan tidak memiliki perbedaan nilai yang berarti, responden berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 17 responden (48,6%), sedangkan responden perempuan sebesar 18 responden (51,4%).


(71)

Rata-rata usia responden adalah 54 tahun dengan usia termuda 31 tahun dan tertua 70 tahun. Sebagian besar responden berada pada rentang usia 51-60 tahun, yaitu sebesar 18 responden (51,4%).

Rata-rata riwayat DM responden adalah 7 tahun, dengan waktu memiliki DM terbaru adalah satu bulan atau 0 tahun dan terlama adalah 17 tahun. Lama responden memiliki DM terbanyak adalah 5 tahun dengan standar deviasi 4.84. Berdasarkan tabel 5.2 di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar responden berada pada rentang lama DM <10 tahun, yaitu sebanyak 22 responden (62,9%), dan rentang lama DM ≥10 tahun, yaitu sebanyak 13 responden (37.1%).

2. Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT

Tabel 5.3 Gambaran Skor Monofilamen Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT pada Bulan April 2014 (n=35)

Variabel Mean Median Std. Deviation Nilai Min-Max

Skor Monofilamen

6.31 6.00 2.49 1-10

Skor monofilamen dalam penelitian ini berada pada rentang 1 sampai 10. Pada tabel 5.3 di atas menggambarkan bahwa rata-rata skor monofilamen pasien ulkus diabetika adalah 6 dengan skor monofilamen terendah 1dan skor monofilamen tertinggi 10. Skor monofilamen terbanyak adalah 5 dengan standar deviasi 2.49.


(72)

55

3. Derajat Ulkus Diabetika Pasien di Klinik RUMAT

Derajat ulkus diabetika dikategorikan menjadi 6, namun dari seluruh responden dalam penelitian ini hanya memiliki derajat ulkus diabetika 1 sampai 4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki derajat ulkus diabetika 2, yakni sebanyak 17 responden (48.6%). Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.4 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Derajat Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014 (n=35)

Derajat Ulkus Frekuensi Persentase

Derajat 1 5 14.3%

Derajat 2 17 48.6%

Derajat 3 8 22.9%

Derajaat 4 5 14.3%

Total 35 100.0%

4. Frekuensi Ulkus pada Pasien Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT

Rata-rata frekuensi terjadinya ulkus berdasarkan hasil analisis data dalam penelitian ini adalah 2, dengan nilai tertinggi 4 dan nilai terendah 1. Frekuensi ulkus terbanyak adalah 1 dengan standar deviasi 0.76. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 5.5 : Gambaran Frekuensi Terjadinya Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014 (n=35)

Variabel Mean Median Std. Deviation Nilai Min-Max

Frekuensi ulkus


(73)

D. Hasil Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk menganalisis data dari dua variabel yang berbeda. Analisis bivariat pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara skor monofilamen dengan derajat ulkus diabetika di Klinik RUMAT, dan hubungan antara skor monofilamen dengan frekuensi terjadinya ulkus di Klinik RUMAT. Teknik analisis dilakukan dengan uji korelasi Spearman.

Tabel 5.6 : Korelasi Skor Monofilamen dan Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT April 2014 (n=35)

Derajat Ulkus

Frekuensi ulkus Spearman’s

rho

Skor

Monofilamen

Koefisien korelasi (r) Sig (2-tailed)

−0.504 0.002

−0.393 0.019

1. Hubungan antara Skor Monofilamen dan Derajat Ulkus Diabetika di Klinik RUMAT

Dari tabel 5.6 di atas, hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0.002. Hal tersebut menunjukkan ada hubungan antara variabel skor monofilamen dan variabel derajat ulkus diabetika (p < 0.05). Dari hasil koefisien korelasi diketahui nilai r = −0.504. Hal itu berarti hubungan antara kedua variabel merupakan hubungan yang kuat karena berada pada rentang koefisien korelasi antara 0.50-0.69. Korelasi tersebut signifikan pada level 0.05 (2-tailed). Sementara itu, koefisien korelasi dalam penelitian ini bernilai negatif, artinya hubungan antara variabel skor monofilamen dan variabel derajat ulkus diabetika merupakan


(74)

57

hubungan yang terbalik, yaitu semakin tinggi skor monofilamen maka semakin rendah derajat ulkus diabetika, begitu pula sebaliknya semakin rendah skor monofilamen maka derajat ulkus diabetika semakin tinggi.

2. Hubungan antara Skor Monofilamen dan Frekuensi Ulkus di Klinik RUMAT

Dari tabel 5.6 di atas, hasil uji statistik didapatkan nilai p value = 0.019. Hal tersebut menunjukkan ada hubungan antara variabel skor monofilamen dan variabel frekuensi ulkus diabetika (p < 0.05). Dari hasil koefisien korelasi diketahui nilai r = −0.393. Hal itu berarti hubungan antara kedua variabel merupakan hubungan yang moderat karena berada pada rentang koefisien korelasi antara 0.30-0.49. Korelasi tersebut signifikan pada level 0.05 (2-tailed). Sementara itu, koefisien korelasi dalam penelitian ini bernilai negatif, artinya hubungan antara variabel skor monofilamen dan variabel frekuensi ulkus diabetika merupakan hubungan yang terbalik, yaitu semakin tinggi skor monofilamen maka semakin rendah frekuensi terjadinya ulkus dan semakin rendah skor monofilamen maka semakin tinggi frekuensi terjadinya ulkus.


(1)

KUESIONER DAN LEMBAR OBSERVASI PENELITIAN

Hubungan Antara Skor MonofilamenDengan Ulkus Diabetika Di Klinik Perawatan Luka Rumat Bekasi

I. IDENTITAS RESPONDEN Tanggal pengisian : No. Kode : 1. Inisial Responden : 2. Usia :

3. Jenis Kelamin : 1.Laki-laki 2. Perempuan 4. Lama menderita DM :

5. Frekuensi ulkus :

6. Derajat luka : 7. Skor Monofilamen :


(2)

Lampiran

Hasil Uji Normalitas Data


(3)

(4)

(5)

(6)