Pengaruh Kondisi Habitat Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq ) Terhadap Artropoda Dan Hama Tikus

PENGARUH KONDISI HABITAT
KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis JACQ.) TERHADAP
ARTROPODA DAN HAMA TIKUS

RENO ARMANDO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Kondisi Habitat
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) terhadap Artropoda dan Hama Tikus
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016
Reno Armando
NRP A351130101

RINGKASAN
RENO ARMANDO. Pengaruh Kondisi Habitat Kelapa Sawit (Elaeis guineensis
Jacq.) terhadap Artropoda dan Hama Tikus. Dibimbing oleh DADAN
HINDAYANA dan SWASTIKO PRIYAMBODO.
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan
penting di Indonesia. Salah satu hambatan dalam pengembangan budidaya kelapa
sawit adalah kehilangan hasil karena serangan hama. Salah satu kelompok hama
yang sering dilaporkan menyerang kelapa sawit yaitu kelompok serangga hama.
Pengendalian hayati untuk serangga hama yaitu pengendalian dengan melibatkan
musuh alami untuk menekan jumlah populasinya di lapangan. Dengan demikian,
perlu mengusahakan agar musuh alami serangga hama dapat bertahan hidup dan
berkembang biak di habitat penanaman (konservasi). Kontroversi dari konservasi
adalah terciptanya kondisi vegetasi yang beragam (rimbun) yang dapat
menyebabkan masalah lain, yaitu meningkatnya populasi hama tikus.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan dan mengevaluasi pengaruh

kondisi habitat pertanaman kelapa sawit yang berbeda terhadap keanekaragaman
dan kelimpahan artropoda, serta populasi dan persentase serangan tikus. Penelitian
dilakukan di perkebunan kelapa sawit (Cikasungka) dengan tiga kondisi habitat
pertanaman yang berbeda, yaitu habitat yang relatif bersih, habitat dengan
vegetasi alami, dan habitat dengan kacangan penutup tanah. Ketiga lokasi ini
digunakan untuk mendapatkan sampel artropoda dan tikus, serta pengamatan buah
terserang tikus. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel artropoda
adalah pengamatan langsung pada tanaman, pemasangan lubang perangkap, dan
penjaringan menggunakan jaring ayun. Pengambilan sampel tikus dilakukan
dengan cara memasang perangkap massal menggunakan umpan. Tanaman sampel
ditentukan untuk pengamatan buah terserang tikus, serta pengambilan sampel
artropoda pada tajuk. Sampel artropoda dan tikus diidentifikasi di laboratorium,
sehingga diketahui keanekaragaman dan kelimpahan artropoda, serta populasi
tikus. Intensitas serangan tikus diketahui menggunakan kategori kerusakan,
sedangkan luas serangan tikus diketahui dengan menghitung jumlah tanaman
sampel terserang dibagi jumlah tanaman sampel seluruhnya.
Berdasarkan hasil penelitian, kondisi habitat pertanaman kelapa sawit yang
berbeda berpengaruh terhadap keanekaragaman dan kelimpahan artropoda, serta
populasi dan persentase serangan tikus. Habitat pertanaman dengan kacangan
penutup tanah merupakan habitat dengan kelimpahan artropoda predator dan

parasitoid (musuh alami serangga hama) tertinggi sekaligus persentase serangan
tikus (intensitas dan luas serangan) terendah. Sebaliknya, habitat pertanaman yang
relatif bersih merupakan habitat dengan persentase serangan tikus tertinggi
dibandingkan habitat yang lain. Disamping itu, pada habitat yang relatif bersih
dari segi kelimpahan musuh alami serangga hama merupakan paling rendah
dibandingkan habitat yang lain. Habitat pertanaman dengan vegetasi alami dari
segi kelimpahan musuh alami serangga hama dan persentase serangan tikus
berada pada posisi di antara habitat yang relatif bersih dan habitat dengan
kacangan penutup tanah.
Kata kunci:artropoda, kacangan penutup tanah, musuh alami, pengelolaan habitat,
tikus kebun

SUMMARY
RENO ARMANDO. The Impact of Habitat Condition of Oil Palm (Elaeis
guineensis Jacq.) against Arthropods and Rodent. Supervised by DADAN
HINDAYANA and SWASTIKO PRIYAMBODO.
Oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) is an important crop plantation in
Indonesia. One obstacle in developing oil palm cultivation is loss due to pests.
One group of pest that frequently reported in attacking oil palm is an insect.
Biological control involved natural enemies to suppress the number of insect pest

population in the field. Thus, it is necessary to manage the natural enemies of
insect pests in order to survive and breed in habitat planting (conservation).
Conservation causes another problem, create diverse vegetation conditions (bush),
which can increase rodent population.
This research was aimed to prove and evaluate the influence of different
habitats in oil palm plantation on the diversity and abundance of arthropods, and
to find out population and percentage of rodent attack. The research was
conducted in Cikasungka oil palm plantation with three different habitat, in
example clean habitat, natural vegetation habitat, and legume cover crop (LCC)
habitat. These habitats have been used to obtain samples of arthropods and
rodents, as well as the data of oil palm fruit attacked by rodents. The methods
used in the arthropods sampling were observing plant, installing pitfalls, and using
nets. Rodents sampling was determined by using mass trap with a bait. Plant
sampling was determined in order to observe oil palm fruit attacked by rodents,
and arthropods samples in the canopy. Samples obtained in this research were
identified in the laboratory, in order to obtain diversity and abundance of
arthropods as well as population of rodents. Intensity of rodent attack was
obtained by using categories of damage, while coverage of rodent attacks by
calculating the number of infected plant sample divided by the number of entire
samples.

Based on this research, different oil palm habitats affect diversity and
abundance of arthropods, as well as the population and the percentage of rodent
attacks. LCC habitat has the highest abundance of natural enemies of insect pests
(predators and parasitoids), as well as the lowest percentage of rodent attack
(intensity and damage). In contrast, clean habitat has the highest percentage of
rodent attack, as well as the lowest abundance of natural enemies of insect pests.
Natural vegetation habitat was in between clean and LCC habitat, in terms of the
abundance of natural enemies of insect pests and rodents attack.
Keywords: arthropods, farm rodent, habitat management, legume cover crop,
natural enemies

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PENGARUH KONDISI HABITAT
KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis JACQ.) TERHADAP
ARTROPODA DAN HAMA TIKUS

RENO ARMANDO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Entomologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Aunu Rauf, MSc


Judul Penelitian

: Pengaruh Kondisi Habitat Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) terhadap Artropoda
dan Hama Tikus
Nama Mahasiswa : Reno Armando
NRP
: A351130101

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Dadan Hindayana
Ketua

Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi
Anggota

Diketahui oleh


Ketua Program Studi
Entomologi

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr Ir Pudjianto, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian Tesis: 30 Desember 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 sampai April 2015 ini
ialah pengelolaan habitat, dengan judul Pengaruh Kondisi Habitat Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) terhadap Artropoda dan Hama Tikus.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Dadan Hindayana dan
Bapak Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi selaku pembimbing. Kepada Bapak Prof

Dr Ir Aunu Rauf, MSc, Dr Ir Pudjianto, MSi, dan Dr Ir Idham Sakti Harahap, MSi
yang telah memberi saran penulis ucapkan terima kasih. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada Bak, Mak, adik-adik saya, serta seluruh keluarga, dan
teman-teman, atas doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2016
Reno Armando

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

viii

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN


ix

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Artropoda Penghuni Tanah
Hama Tikus

4
4
7

8

3 METODE
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Penentuan Lokasi
Pelaksanaan Penelitian
Analisis dan Penyajian Data

10
10
10
10
11
15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Artropoda yang Ditemukan pada Kebun Contoh
Tikus yang Ditemukan pada Kebun Contoh
Intensitas dan Luas Serangan Tikus

16
16
17
27
29

5 SIMPULAN

31

6 DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

35

RIWAYAT HIDUP

45

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.

Kategori kerusakan berdasarkan jumlah buah terserang per tandan
Mikroklimat di pertanaman kelapa sawit PTPN VIII Cikasungka, Bogor
(Oktober 2014 - April 2015)
Jumlah artropoda pada kebun contoh
Kelimpahan artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit di Kebun
Contoh I
Kelimpahan artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit di Kebun
Contoh II
Kelimpahan artropoda predator pada pertanaman kelapa sawit di Kebun
Contoh III
Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun
Contoh I
Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun
Contoh II
Kelimpahan artropoda herbivor pada pertanaman kelapa sawit di Kebun
Contoh III
Kelimpahan artropoda detritivor pada pertanaman kelapa sawit di
Kebun Contoh I
Kelimpahan artropoda detritivor pada pertanaman kelapa sawit di
Kebun Contoh II
Kelimpahan artropoda detritivor pada pertanaman kelapa sawit di
Kebun Contoh III
Kelimpahan artropoda parasitoid pada pertanaman kelapa sawit di
Kebun Contoh I
Kelimpahan artropoda parasitoid pada pertanaman kelapa sawit di
Kebun Contoh II
Kelimpahan artropoda parasitoid pada pertanaman kelapa sawit di
Kebun Contoh III
Jenis dan jumlah tikus tertangkap perangkap massal
Intensitas dan luas serangan tikus

15
16
18
20
21
22
23
23
24
25
25
25
26
26
26
28
29

DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

Penentuan titik sampel dan tanaman contoh.
Metode pengambilan sampel artropoda dengan pengamatan langsung
pada tanaman contoh
Metode pengambilan sampel artropoda menggunakan lubang perangkap
Metode pengambilan sampel artropoda menggunakan jaring ayun
Metode pengambilan sampel tikus menggunakan perangkap massal
Gejala serangan tikus pada buah kelapa sawit
Lokasi I blok 39 Cikasungka (habitat relatif bersih)
Lokasi II blok 54 Cikasungka (habitat dengan vegetasi alami)
Lokasi III blok 67 Cipatat (habitat menggunakan kacangan penutup
tanah)
Proporsi peran artropoda pada kebun contoh
Semut (Formicidae: Odontoponera)
Jangkrik (Gryllidae: Gryllus)
Laba-laba bermata tajam (Araneae: Oxyopidae)
Proporsi jumlah artropoda berdasarkan metode pengambilan sampel
Jenis tikus yang ditemukan pada kebun contoh

11
12
12
13
14
15
16
17
17
18
19
19
20
27
28

DAFTAR LAMPIRAN
1. Jumlah Artropoda tertangkap pada Kebun Contoh I (habitat relatif
bersih)
2. Jumlah Artropoda tertangkap pada Kebun Contoh II (habitat dengan
vegetasi alami)
3. Jumlah Artropoda tertangkap pada Kebun Contoh III (habitat
menggunakan kacangan penutup tanah)
4. Organisme lain bukan sasaran tertangkap multiple live trap
5. Analisis ragam untuk intensitas serangan hama tikus
6. Analisis ragam untuk luas serangan hama tikus

36
38
40
42
43
44

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) didatangkan ke Indonesia pada tahun
1848 oleh pemerintah Hindia Belanda. Kelapa sawit awalnya dibudidayakan di
Kebun Raya Bogor sebagai tanaman hias (Lubis 1992). Kemudian sejak akhir
1970-an, kelapa sawit dibudidayakan secara komersial (Semangun 2000).
Perkebunan kelapa sawit merupakan perkebunan penting di Indonesia sebagai
penghasil minyak nabati, komoditas ekspor non-migas, dan beberapa produk
turunan. Dengan demikian, industri kelapa sawit menjadi salah satu agroindustri
andalan yang menghasilkan devisa bagi negara. Industri kelapa sawit juga
berperan dalam menyediakan kebutuhan minyak dalam negeri dan mampu
mengurangi pengangguran di negara ini.
Pengembangan industri kelapa sawit hingga saat ini terus dilakukan. Salah
satu hambatan dalam pengembangan budidaya kelapa sawit yaitu kehilangan hasil
karena serangan hama. Setiap tanaman budidaya mempunyai satu atau beberapa
hama utama, demikian juga kelapa sawit (Wagiman 2008). Serangga hama yang
dilaporkan sering menyerang kelapa sawit seperti ulat api (Setora nitens, Darna
trima, dan Ploneta diducta), ulat kantong (Metisa plana, Mahasena corbetti, dan
Crematosphisa pendula), dan belalang (Valanga nigricornis dan Gastrimargus
marmoratus) (Satriawan 2011; Cendramadi 2011; Brahmana 2015). Serangan
serangga hama pada kelapa sawit dapat dikendalikan dengan pengendalian hayati,
yaitu pemanfaatan musuh alami untuk menekan populasi hama (Buchori 2014).
Musuh alami serangga hama dalam hal ini dibatasi pada artropoda terutama
kelompok serangga itu sendiri yang berperan sebagai predator dan parasitoid.
Konservasi merupakan salah satu bidang pengendalian hayati yang dapat
dilakukan, yaitu memanipulasi lingkungan untuk meningkatkan kerja musuh
alami. Dengan pengelolaan habitat pertanaman yang baik peran musuh alami
dapat dimaksimalkan untuk mencegah timbulnya eksplosi hama (Wagiman 2008;
Buchori 2014). Pengelolaan habitat pertanaman yang sering dilakukan oleh pihak
perkebunan kelapa sawit seperti praktek budidaya bersih dan/atau budidaya
menggunakan kacangan penutup tanah (legume cover crop).
Praktek budidaya bersih ditinjau dari segi konservasi justru tidak
dikehendaki, karena iklim mikro tidak sesuai untuk musuh alami (van den Bosch
& Telford 1973; Shelton & Edwards 1983; Rauf 1994). Musuh alami lebih
memilih pertanaman yang memiliki tumbuhan liar dibandingkan yang bebas
tumbuhan liar karena tumbuhan liar menyediakan iklim mikro yang sesuai (Horn
1981; Rodenhouse et al. 1992). Habitat yang ideal bagi musuh alami adalah
vegetasi liar di sekitar atau dekat pertanaman. Vegetasi alami mempengaruhi
keefektifan musuh alami karena menyediakan reservoir berupa mangsa atau inang
alternatif, tempat berlindung dan sumber makanan. Vegetasi alami memungkinkan
musuh alami dapat dipertahankan di agroekosistem (van Emden 1991).
Praktek budidaya menggunakan kacangan penutup tanah yaitu menanam
jenis kacangan (leguminosa) sebagai tanaman pendamping bagi tanaman utama
untuk maksud tertentu. Leguminosa yang digunakan pada perkebunan kelapa
sawit antara lain Mucuna bracteata. Kacangan penutup tanah khususnya

2
M. bracteata digunakan karena melindungi permukaan tanah dari erosi,
menambah bahan organik tanah, mengurangi pencucian unsur hara, menambah
dan mempertahankan kesuburan tanah baik kimiawi, fisik maupun biologis, serta
dapat menghambat pertumbuhan gulma (Maskuddin 1988; Niang et al. 2002).
Selain itu, M. bracteata menyediakan relung yang cenderung dapat meningkatkan
keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami karena tingginya keanekaragaman
serangga penghuni tajuk dan tanah (Russel 1989; Ryszkowski et al. 1993; Thomas
& Marshall 1999). Dengan demikian, penggunaan kacangan penutup tanah juga
bermanfaat untuk konservasi musuh alami.
Manipulasi habitat merupakan bagian dari proses usaha tani yang dapat
mempengaruhi keanekaragaman musuh alami dan kelimpahan atau kerapatan
populasi hama (Altieri 1999). Praktek budidaya menggunakan kacangan penutup
tanah atau habitat dengan vegetasi alami jika ditinjau dari segi konservasi musuh
alami bisa jadi berpengaruh baik, akan tetapi muncul masalah lain sebagai
konsekuensi dari diversifikasi habitat. Habitat yang beragam dapat meningkatkan
musuh alami sehingga populasi serangga hama dapat ditekan, sebaliknya populasi
hama tikus diduga meningkat. Menurut Priyambodo (2003), kacangan penutup
tanah juga harus diperhatikan karena juga dapat dijadikan sarang atau minimal
tempat bersembunyi sementara oleh tikus.
Tikus merupakan salah satu hama penting tanaman kelapa sawit. Kehadiran
tikus pada pertanaman dapat diketahui dari gejala serangan yang ditimbulkannya.
Gejala serangan tikus pada kelapa sawit yaitu kerusakan pada buah, sehingga
pengamatan terhadap buah terserang merupakan langkah awal untuk mengetahui
persentase serangan tikus. Masalah penting di lokasi penelitian yaitu belum ada
informasi tentang jenis dan persentase serangan hama tikus, serta keragaman
maupun kelimpahan artropoda di berbagai kondisi habitat pertanaman kelapa
sawit. Dengan demikian, penelitian mengenai berbagai kondisi habitat kelapa
sawit diperlukan sebagai informasi yang dapat mendukung untuk menerapkan
pengelolaan habitat dalam upaya meningkatkan produksi kelapa sawit.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan membuktikan dan mengevaluasi pengaruh kondisi
habitat pertanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) yang berbeda terhadap
keanekaragaman dan kelimpahan artropoda, serta populasi dan persentase
serangan hama tikus.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada dua kebun kelapa sawit yaitu Cikasungka dan
Cipatat (kawasan Perkebunan Kelapa Sawit Cikasungka PTPN VIII). Lokasi
penelitian ditentukan pada tiga kondisi habitat pertanaman yang berbeda, yaitu
habitat yang relatif bersih (lokasi I), habitat dengan vegetasi alami (lokasi II), dan
habitat dengan kacangan penutup tanah (lokasi III). Masing-masing lokasi dengan
luas 100 m x 100 m (± 1 ha), dimana pertanaman kelapa sawit merupakan
kategori tanaman menghasilkan. Lokasi I dan lokasi II terdapat pada kebun kelapa
sawit Cikasungka, sedangkan lokasi III terdapat pada kebun kelapa sawit Cipatat.
Pada tiap lokasi ditentukan lima lorong pertanaman dengan panjang masing-

3
masing 100 m, dimana antar lorong berjarak 9,4 m. Ketiga lokasi ini digunakan
untuk mendapatkan sampel artropoda dan tikus, serta pengamatan serangan tikus.
Tanaman sampel (tanaman contoh) dalam penelitian ini adalah individu
kelapa sawit yang dipilih secara sengaja. Pada lorong pengamatan (ada lima
lorong) di masing-masing lokasi ditentukan empat tanaman contoh, sehingga
masing-masing lokasi ada 20 tanaman contoh. Penentuan tanaman contoh pada
masing-masing lorong diatur sedemikian rupa agar mewakili karakteristik habitat
dan mempermudah dalam pengamatan. Tanaman contoh pada setiap pengamatan
diganti dengan cara selang dua tanaman, hal ini untuk memastikan semua tanaman
di sepanjang lorong teramati selama pengamatan (penelitian). Tanaman contoh
ditentukan untuk mendapatkan sampel artropoda pada tajuk dan pengamatan
gejala serangan tikus pada buah.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.)
Biologi dan Ekologi Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan monokotiledon
(kelas Angiospermae), ordo Monocotyledonae, famili Arecaceae, dan termasuk ke
dalam genus Elaeis (Pahan 2006). Kelapa sawit berbentuk pohon, tingginya dapat
mencapai 24 meter. Kelapa sawit dibedakan menjadi dua bagian, yaitu vegetatif
dan generatif. Bagian vegetatif terdiri dari akar, batang, dan daun. Bagian
generatif terdiri dari bunga dan buah (Risza 1994).
Akar kelapa sawit merupakan akar serabut yang tumbuh lurus ke
bawah/vertikal mencapai kedalaman ±1 m dan sebagian lagi tumbuh menyebar ke
arah samping/horizontal mencapai >6 m. Batang kelapa sawit berbentuk silinder
dan tidak bercabang dengan diameter mencapai 75-90 cm. Tinggi batang
bertambah sekitar 45-100 cm per tahun (Setyamidjadja 2006). Pada kelapa sawit
umur 5-10 tahun umumnya batang memiliki ketinggian kurang dari 12 m. Sampai
umur 12 tahun, batang diselimuti bekas pelepah yang membentuk spiral. Daun
kelapa sawit tersusun majemuk menyirip pada setiap pelepah dengan jumlah
berkisar antara 250-400 helai. Panjang pelepah daun mencapai sekitar 7,5-9 m.
Jumlah pelepah daun yang terbentuk selama satu tahun dapat mencapai 20-30
pelepah (Sunarko 2009).
Kelapa sawit bersifat monoecious atau berumah satu, yaitu bunga jantan dan
betina terpisah namun masih dalam satu pohon. Kelapa sawit biasanya melakukan
penyerbukan silang karena waktu pematangan bunga jantan dan betina berbeda
sehingga jarang terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip
dan panjang, sedangkan bunga betina berukuran lebih besar dan mekar
(Sastrosaryono 2003). Soehardiyono (1998) menyebutkan buah terdiri dari tiga
lapisan yaitu bagian kulit buah berwarna kemerahan dan licin (eksokarp), serabut
buah (mesokarp), dan cangkang pelindung inti (endoskarp). Ketebalan cangkang
sedang yaitu berkisar 0,5-4 mm, dan terdapat lingkaran (cincin) serabut
disekelilingnya. Perbandingan daging buah terhadap buahnya tinggi antara 6090% dengan rendemen minyak 22-24% (Setyamidjadja 2006). Tandan buah yang
dihasilkan banyak, namun ukuran tandannya relatif kecil.
Kelapa sawit tumbuh baik pada daerah iklim tropis (15° LU - 15° LS), suhu
antara 24-32 °C, kelembaban udara yang tinggi berkisar 80-90%, dan curah hujan
200 mm per tahun (Lubis 1992). Sifat fisik yang baik untuk kelapa sawit adalah
ketebalan tanah (solum) 80 cm, bertekstur lempung berpasir, struktur tanah kuat,
drainase yang baik, dan memiliki kandungan unsur hara yang tinggi (Sunarko
2009).
Budidaya Kelapa Sawit
Produksi kelapa sawit dibagi menjadi dua fase, yaitu tanaman belum
menghasilkan (TBM) dan tanaman menghasilkan (TM). Budidaya tanaman kelapa
sawit meliputi pembibitan, persiapan lahan dan penanaman kelapa sawit, serta
pemeliharaan. Pada tahap pemeliharaan, pemberian pupuk dilakukan dua kali
setahun, yaitu pada awal dan akhir musim hujan dengan cara menyebarkan secara
merata pada seluruh daerah mulai pangkal pohon sampai dengan sejauh

5
melebarnya tajuk. Jenis pupuk secara umum untuk tanaman menghasilkan seperti
pupuk N (Urea, ZA), P (SP-36, TSP), K (KCL), dan Mg (Kieserit, Dolomite), atau
pupuk majemuk (NPK-Mg), dengan dosis sesuai anjuran. Selain itu, dilakukan
pemangkasan, yaitu membuang daun-daun tua tanaman. Pemangkasan tanaman
kelapa sawit dilakukan antara lain untuk membantu penyerbukan, mengurangi
penghalangan pembesaran buah dan kehilangan brondolan buah (buah yang
terlalu matang dan lepas dari tangkai tandannya) yang terjepit pada pelepah daun,
membantu pada waktu panen, mengurangi perkembangan epifit, serta untuk
kebersihan kebun. Pemangkasan dilakukan dengan alat chisel (dodos), egrek (arit
bergagang bambu panjang) atau kampak petik.
Pada tahap pemeliharaan ini, selain pemupukan dan pemangkasan juga
dilakukan pengendalian hama dan penyakit yang dapat menurunkan hasil produksi
tanaman. Serangan hama dapat terjadi pada semua fase pertumbuhan kelapa sawit,
baik pada TBM maupun TM. Hama-hama penting yang menyerang kelapa sawit
antara lain Ulat Api (Setora nitens, Darna trima, dan Ploneta diducta), Ulat
Kantong (Metisa plana, Mahasena corbetti, dan Crematosphisa pendula),
belalang (Valanga nigricornis dan Gastrimargus marmoratus), Tikus (Rattus
tiomanicus, Rattus argentiventer, Rattus rattus diardii, Rattus exulans), bajing
(Callosciurus notatus), dan babi hutan (Sus scrofa vittatus).
Kelapa sawit biasanya mulai berbuah pada umur 3-4 tahun dan buahnya
menjadi masak 5-6 bulan setelah penyerbukan. Proses pemasakan buah dapat
dilihat dari perubahan warna kulit buahnya, dari hijau pada buah muda menjadi
merah jingga waktu buah telah masak. Pada saat itu, kandungan minyak pada
daging buahnya telah maksimal. Jika terlalu matang, buah akan lepas dari tangkai
tandannya (membrodol). Ada tiga cara sistem panen yang ditentukan berdasarkan
tinggi pohon, yaitu dengan cara jongkok menggunakan dodos untuk pohon dengan
ketinggian 2-5 m, berdiri menggunakan kampak siam untuk pohon dengan
ketinggian 5-10 m, dan menggunakan egrek untuk pohon dengan ketinggian lebih
dari 10 m.
Praktek Budidaya Bersih. Budidaya dengan mengusahakan agar kondisi
habitat pertanaman tanpa keberadaan atau bebas dari tumbuhan liar disebut
praktek budidaya bersih (van den Bosch & Telford 1973). Usaha yang sering
dilakukan untuk melenyapkan tumbuhan liar pada habitat pertanaman seperti
pengolahan tanah, pembabatan gulma, dan penggunaan herbisida. Menurut
Shelton dan Edward (1983), keanekaragaman jenis artropoda penghuni ekosistem
kedelai lebih rendah pada pertanaman yang tanahnya diolah dan bebas gulma
dibandingkan pada pertanaman yang tanahnya tidak diolah dan ditumbuhi gulma.
Selain itu, pada pertanaman kedelai bebas gulma menyebabkan imigrasi kepik
predator dari famili Anthocoridae dan lalat predator dari famili Syrphidae lebih
rendah dibandingkan pertanaman dengan keberadaan gulma (van Emden 1991).
Selanjutnya, penyemprotan herbisida dapat berdampak buruk terhadap
keberlangsungan hidup musuh alami serangga hama. Suryawan (1999)
melaporkan bahwa penyemprotan herbisida pada ekosistem padi menyebabkan
peningkatan populasi hama wereng coklat dan wereng hijau, sebaliknya
menurunkan populasi predator. Peledakan populasi hama ini karena
keanekaragaman dan kerapatan populasi musuh alaminya yang rendah.

6
Praktek budidaya bersih pada kelapa sawit dilakukan dengan pembersihan
gulma (sanitasi) berkala pada dan di sekitar pertanaman. Umumnya, pembersihan
dilakukan pada setiap tanaman sampai diameter ±2 m dari pangkal batang
(piringan). Penyiangan gulma dilakukan bila gulma sudah setinggi 10 cm,
sedangkan pada piringan tanaman diberikan herbisida yang biasanya berbahan
aktif glifosat. Selain itu, penyiangan gulma kadangkala dilakukan pada setiap
lorong (gawangan) pertanaman. Ada dua istilah yang sering digunakan oleh pihak
perkebunan yaitu gawangan hidup untuk menyebutkan lorong pertanaman yang
sengaja dibersihkan secara berkala sebagai akses jalan panen, dan gawangan mati
untuk lorong pertanaman yang sengaja dijadikan tempat pembuangan pelepah
hasil pemangkasan. Dalam hal ini, penyiangan tidak dilakukan pada semua
vegetasi liar yang tumbuh di gawangan, akan tetapi ada beberapa kelompok
tumbuhan yang tetap dipertahankan selama tidak mengganggu jalannya
pemanenan. Kelompok paku-pakuan dan rumput lunak biasanya dipertahankan
karena memang diharapkan sebagai suplai air pada saat musim kemarau, karena
kelompok tumbuhan tersebut dapat menahan dan menyimpan air tanah.
Vegetasi liar di Lahan Pinggir. Lahan pinggir merupakan areal tanah yang
berada di sekitar atau di luar pertanaman dan tidak digunakan untuk bercocok
tanam (Fry 1994). Lahan pinggir di agroekosistem antara lain pematang sawah,
tepian saluran irigasi, tanaman pinggir, dan tumbuhan pagar. Jika vegetasi liar
terdapat di sekitar pertanaman, maka dapat memudahkan musuh alami
merekolonisasi pertanaman pada musim tanam berikutnya (van Emden 1991).
Menurut Rodenhouse et al. (1992), menyisakan lahan seluas 12,5% dari areal
yang ada untuk ditumbuhi vegetasi liar bermanfaat untuk konservasi musuh alami.
Selain itu, tumbuhan pagar dapat menjadi habitat musuh alami (van Emden 1991).
Vegetasi liar pada dan di sekitar pertanaman kelapa sawit dapat dari
golongan tumbuhan daun lebar, rumput, teki, dan paku-pakuan. Beberapa jenis
tumbuhan yang sering ditemukan pada pertanaman kelapa sawit seperti Ageratum
conyzoides, Asystasia intrusa, Axonopus compressus, Cyperus kyllingia,
Eleusine indica, Dryopteris filixmas, Melastoma malabatrichum, Mikania
micrhanta, Mimosa pudica, dan Paspalum conjugatum. Tumbuhan liar ini
bermanfaat khususnya untuk musuh alami serangga hama sebagai tempat
berlindung, sumber makanan (nektar), dan penyedia mangsa alternatif.
Selanjutnya, konsekuensi dari perluasan areal perkebunan kelapa sawit
(ekstensifikasi) yang sedang ramai dilakukan belakangan ini menyebabkan tidak
tersedianya lahan pinggir (sempalan).
Kacangan Penutup Tanah. Polikultur atau tanam campur adalah
penanaman yang dilakukan dengan cara menanam lebih dari satu jenis tanaman
pada suatu lahan (Batra 1982). Sebagai contoh praktek tanam campur yang biasa
dilakukan petani dan sudah terbukti manfaatnya antara lain tanam campur jagung
dan kacang tanah, kedua tanaman ini dapat saling menguntungkan satu sama lain
apabilah ditanam bersamaan. Jagung yang ditanam bersebelahan dengan kacang
tanah sekaligus menjadi naungan yang dibutuhkan bagi kacang tanah agar tidak
mendapatkan cahaya matahari langsung, hal ini karena kacang tanah merupakan
tanaman yang dapat tumbuh baik pada kondisi intensitas cahaya relatif rendah. Di
sisi lain, jagung memperoleh keuntungan dari kacang tanah karena sumbangan

7
unsur nitrogen dari rhizobium (nodul) akar kacang yang dapat memperkaya unsur
hara tanah. Praktek tanam campur antara tanaman utama dan kacangan penutup
tanah sengaja dilakukan untuk tujuan tertentu. Beberapa keuntungan penanaman
kacangan penutup tanah seperti melindungi permukaan tanah dari erosi,
menambah bahan organik tanah, mengurangi pencucian unsur hara, menambah
dan mempertahankan kesuburan tanah baik kimiawi, fisik maupun biologis, serta
dapat menghambat pertumbuhan gulma (Maskuddin 1988; Niang et al. 2002).
Salah satu jenis kacangan penutup tanah yaitu M. bracteata. Karakteristik
M. bracteata sebagai berikut: pertumbuhan sangat cepat, mudah dipelihara,
toleran terhadap kekeringan dan naungan, mengandung senyawa kimia allelo
sehingga mampu menekan pertumbuhan gulma, toleran terhadap hama dan
penyakit, mencegah erosi tanah, serta menghasilkan produksi biomassa dan hara
nitrogen yang tinggi (Mathews 2007). M. bracteata belakangan ini banyak
digunakan sebagai kacangan penutup tanah pada perkebunan kelapa sawit. Selain
beberapa manfaat yang sudah disebutkan, M. bracteata dapat menjaga
kelembaban tanah sehingga mampu meningkatkan kelimpahan artropoda
permukaan tanah.
Artropoda Penghuni Tanah
Kelompok fungsional artropoda penghuni tanah antara lain predator,
detritivor, dan omnivor. Predator biasanya mengonsumsi setiap mangsa yang
dapat ditanganinya. Secara individu predator memilih jenis mangsa tertentu,
sebagai kelompok dapat memangsa nematoda, cacing, serangga, kelabang, dan
tungau. Predator biasanya menelan atau menyadap cairan tubuh mangsanya.
Predator khusus arthropoda dikelompokan menjadi dua berdasarkan perilakunya
dalam mendapatkan mangsa, yaitu predator pemburu yang aktif melakukan
pengejaran terhadap mangsanya, dan predator penyergap yang diam dan
menunggu, serta sering mengeluarkan racun atau menangkap mangsanya
menggunakan perangkap dari sutera. Predator dapat menyerang mulai dari fase
pra dewasa sampai dengan fase dewasa. Satu ekor predator dapat memakan
mangsanya dalam jumlah banyak.
Laba-laba merupakan predator yang banyak ditemukan pada tanaman kelapa
sawit. Semua jenis laba-laba merupakan predator serangga, bahkan golongan labalaba itu sendiri. Laba-laba tidak mengalami metamorfosa, setelah telur menetas
akan keluar laba-laba kecil, kemudian berganti kulit beberapa kali. Laba-laba kecil
memiliki bentuk yang sama dengan laba-laba dewasa. Ukuran laba-laba betina
biasanya jauh lebih besar daripada laba-laba jantan. Saat proses kawin laba-laba
jantan harus mendekati betina dengan hati-hati, karena bisa saja betina menunggu
jantan mendekat untuk menjadi mangsanya (Hartoyo 2011). Laba-laba pada
perkebunan kelapa sawit yang umum ditemukan adalah laba-laba jaring (Araneae),
laba-laba lompat (Salticidae), laba-laba mata tajam (Oxyopidae), dan laba-laba
serigala (Lycosidae) (Satriawan 2011; Cendramadi 2011).
Laba-laba mata tajam (Araneae: Oxyopidae) tergolong laba-laba pemburu
yang aktif sepanjang hari, memiliki duri panjang pada kakinya, dan tidak
membuat sarang. Laba-laba ini menunggu atau mengelilingi tanaman dan vegetasi
alami untuk mencari mangsa. Laba-laba mata tajam bermata enam, terletak pada
segi enam yang menonjol di atas kepala. Sutera digunakan untuk menenun tali

8
pengaman, agar terhindar jatuh sampai ke tanah. Laba-laba ini dapat menangkap
mangsa yang jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya, bahkan dapat menangkap
ngengat, ulat, dan serangga lain seperti Dasynus atau Diconocoris (Foelix 1982;
(Satriawan 2011; Cendramadi 2011).
Detritivor memakan sisa bahan organik yang telah mati, biasanya setelah
dikondisikan oleh mikrob. Penyebaran bahan organik, perangsangan pertumbuhan
mikrob, dan perilaku struktur tanah akibat adanya feses merupakan hasil dari
aktifitas makan kelompok detritivor. Beberapa contoh kelompok detritivor penting
di dalam tanah adalah Diplopoda, Isopoda, dan tungau (Oribatida) (WilsonRummenie et al. 1999).
Di dalam dan permukaan tanah, beberapa jenis semut (Formicidae:
Hymenoptera) menggunakan berbagai jenis tumbuhan/tanaman dan hewan
sebagai makanannya. Umumnya, hewan merupakan komponen penting sebagai
makanan utama kelompok omnivor seperti semut. Menurut Way dan Khoo (1992),
semut memiliki perilaku makan yang beragam, yaitu sebagai karnivor, pemakan
cendawan, pemakan nektar, embun madu, dan jenis makanan lainnya.
Hama Tikus
Tikus termasuk hewan menyusui (kelas Mamalia), tergolong ke dalam ordo
Rodentia, subordo Myomorpha, famili Muridae, dan subfamili Murinae. Tikus
merupakan hewan sosial yang hidup dalam satu kelompok. Kelompok tikus
dipimpin oleh individu yang paling kuat dan akan menyerang kelompok lain yang
masuk ke dalam teritorialnya. Seperti halnya serangga, tikus merupakan hewan
liar yang sudah beradaptasi dengan kehidupan manusia. Di bidang pertanian, tikus
sering menjadi ancaman bagi pengelola pertanian di dalam usaha budidayanya,
baik itu pada komoditas pangan, perkebunan maupun hortikultura (Priyambodo
2003). Kerusakan yang ditimbulkan oleh hama tikus mengakibatkan kerugian
ekonomi yang tinggi dalam sistem pertanian (Priyambodo 2006).
Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting dalam
bidang perkebunan. Lebih dari 150 jenis tikus terdapat di Indonesia. Setiap jenis
tikus menghuni habitat yang sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Jenis tikus yang
berperan penting sebagai hama perkebunan antara lain tikus pohon (Rattus
tiomanicus) dan tikus sawah (Rattus argentiventer) (Hone 1996; Priyambodo
2003). R. argentiventer juga dapat menyerang tanaman kelapa sawit, menurut
Meehan (1984) habitat setiap spesies tikus berbeda-beda, namun hal tersebut tidak
membatasi wilayah penyebaran dari jenis tikus tersebut. Tikus dapat menggali,
memanjat, meloncat, mengerat, berenang, dan menyelam (Priyambodo 2006).
Oleh karena itu, satu spesies tikus dapat beradaptasi dengan baik pada banyak
kondisi habitat, tikus dapat berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan yang
lain atau dari satu tanaman ke tanaman lain.
Tikus dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar pada tanaman kelapa
sawit, baik yang baru ditanam, tanaman yang belum menghasilkan, maupun
tanaman yang sudah menghasilkan. Pada tanaman kelapa sawit yang baru ditanam
dan tanaman yang belum menghasilkan, tikus mengerat serta memakan bagian
pangkal pelepah daun, sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat
atau bahkan tanaman dapat mati jika keratan tikus mengenai titik tumbuhnya.
Pada tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan, tikus memakan buah, baik

9
yang masih muda maupun yang sudah tua. Pada buah yang masih muda,
keseluruhan bagian (inti dan daging buah) dapat dimakan oleh tikus. Pada buah
yang sudah tua, hanya daging buahnya saja yang dimakan dengan meninggalkan
serat-seratnya (Priyambodo 2003).
Kerusakan oleh tikus pada buah kelapa sawit ini diperberat dengan
dimasukannya serangga penyerbuk bunga kelapa sawit dari Afrika yaitu
Elaedobius camerunicus, kumbang moncong dari famili Curculionidae, ordo
Coleoptera. Kumbang penyerbuk ini secara nyata dapat meningkatkan persentase
bunga yang menjadi buah. Walaupun demikian, kehadirannya juga dapat
meningkatkan serangan tikus pada buah kelapa sawit karena kumbang ini
merupakan sumber pakan hewani yang juga sangat dibutuhkan oleh tikus. Selain
itu, kerusakan pada buah kelapa sawit juga dapat diperberat dengan masuknya
(infeksi) patogen sekunder dari golongan bakteri atau cendawan melalui luka
bekas keratan tikus (Priyambodo 2003).

3 METODE
Tempat dan Waktu
Pengamatan dan pengambilan sampel dilaksanakan di Perkebunan Kelapa
Sawit Cikasungka PTPN VIII, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor, Provinsi
Jawa Barat. Identifikasi sampel dilaksanakan di Laboratorium Pengendalian
Hayati, Biosistematika Serangga, dan Vertebrata Hama, Departemen Proteksi
Tanaman, Institut Pertanian Bogor (IPB). Penelitian dilaksanakan dari bulan
Oktober 2014 sampai dengan April 2015.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penanda tanaman sampel,
kalium-sianida (KCN), alkohol 70%, formalin 2%, kloroform (CHCl3), umpan
tikus, kantong plastik, jarum pentul, jarum koleksi, tali rafia, kapas, dan kertas
label. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta perkebunan,
penghitung tangan (hand counter), botol sampel, botol koleksi, kotak koleksi,
kotak plastik, plastik busa (styrofoam), pinset, kuas, saringan, cawan petri, sekop,
jaring ayun (sweep net), lubang perangkap (pitfall traps), perangkap massal
(multiple live traps), tangga, separator, atap seng, gunting, stepler, mikroskop
binokuler, oven, kamera digital, dan alat tulis.
Penentuan Lokasi
Penentuan lokasi penelitian menggunakan metode pengamatan yang
dilakukan di Perkebunan Kelapa Sawit Cikasungka PTPN VIII. Perkebunan
tersebut memenuhi kriteria kondisi habitat pertanaman kelapa sawit yang
diinginkan peneliti, yaitu habitat yang relatif bersih (kebun contoh I), habitat
dengan vegetasi alami (kebun contoh II), dan habitat dengan kacangan penutup
tanah (kebun contoh III), serta merupakan kelapa sawit kategori tanaman
menghasilkan (TM). Penelitian dilaksanakan pada masing-masing kebun contoh
yang memiliki luas 100 m x 100 m. Pada kebun contoh ditentukan lima lorong
pertanaman dengan panjang masing-masing 100 m, jarak antar lorong 9,4 m.
Selanjutnya, tanaman contoh dan titik pengambilan sampel ditentukan pada tiap
lorong pertanaman tersebut (Gambar 1).

11

Gambar 1 Penentuan titik sampel dan tanaman contoh. Tanaman kelapa sawit (∆),
jarak antar tanaman adalah 9.4 m (), lorong pertanaman sepanjang
100 m (│), titik sampel dimana lubang perangkap diletakkan (●),
perangkap massal (■ ), tanaman contoh (▲ ).
Pelaksanaan Penelitian
Pengambilan Sampel Artropoda
Pengamatan langsung. Metode ini dilakukan terhadap tanaman contoh
(Gambar 2). Pengambilan sampel artropoda pada tanaman contoh dilakukan
dengan menjatuhkan (memotong) pelepah. Kemudian semua artropoda yang
ditemukan pada pelepah tanaman tersebut dikumpulkan langsung dengan
tangan/pinset/kuas kecil dan dimasukkan ke dalam botol sampel. Selanjutnya,
spesimen dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pengambilan sampel
artropoda secara langsung pada tanaman contoh dilakukan sebanyak sembilan kali
dengan interval dua minggu. Metode ini sejalan dengan metode standar
pengamatan hama pada tanaman yang dilakukan oleh pihak PTPN VIII.

12

Gambar 2 Metode pengambilan sampel artropoda dengan pengamatan langsung
pada tanaman contoh
Lubang Perangkap. Pengambilan sampel artropoda dengan menggunakan
lubang perangkap (Gambar 3) dilakukan pada tiap lorong di kebun contoh. Pada
tiap lorong ditentukan dua titik dimana lubang perangkap diletakkan (dipasang),
antar titik selang empat pohon (± 36 m). Pemasangan lubang perangkap yaitu
membuat lubang pada permukaan tanah menggunakan sekop, kemudian
meletakkan wadah plastik bervolume 240 ml dengan bagian mulut wadah
disejajarkan pada permukaan tanah. Wadah plastik yang telah ditanam
dimasukkan larutan formalin 2% sebanyak 1/3 volume wadah. Pada bagian atas
perangkap ditutupi dengan seng berbentuk atap rumah (berukuran: panjang 30 cm
dan lebar 15 cm). Penutupan perangkap dengan atap seng bertujuan untuk
mencegah hewan memangsa hasil tangkapan, serta masuknya air hujan pada
perangkap saat musim hujan. Artropoda yang masuk ke dalam lubang perangkap
dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pemasangan lubang perangkap
dilakukan sebanyak sembilan kali dengan interval dua minggu. Perangkap pada
tiap pemasangan diambil kembali setelah 24 jam.

Gambar 3 Metode pengambilan
perangkap

sampel

artropoda

menggunakan

lubang

13
Penjaringan. Pengambilan sampel artropoda dengan penjaringan
menggunakan jaring ayun (Gambar 4). Penjaringan menggunakan jaring ayun
dilakukan sebanyak lima kali ayunan tunggal pada tiap titik ayun yang telah
ditentukan. Pada tiap lorong di kebun contoh ada dua titik ayun yang ditentukan
sengaja berdekatan dengan titik peletakan lubang perangkap. Artropoda yang
tertangkap jaring ayun dimasukkan ke dalam separator yang berisi alkohol.
Selanjutnya, separator yang berisi spesimen dibawa ke laboratorium untuk
diidentifikasi. Pengambilan sampel artropoda dengan menggunakan jaring ayun
dilakukan sebanyak sembilan kali dengan interval dua minggu.

Gambar 4 Metode pengambilan sampel artropoda menggunakan jaring ayun
Identifikasi Sampel Artropoda
Spesimen artropoda diidentifikasi hingga tingkat famili dengan
memperhatikan ciri-ciri morfologi spesimen dan dicocokkan dengan
menggunakan buku acuan identifikasi yaitu Pengenalan Pelajaran Serangga oleh
Borror et al. (1996). Spesimen yang sudah diidentifikasi diambil gambarnya dan
dikelompokkan berdasarkan peran ekologinya. Spesimen kemudian dimasukkan
ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70% atau yang memungkinkan dibuat
koleksi kering.
Pengambilan Sampel Tikus
Pada tiap lorong di kebun contoh dipasang satu perangkap tikus. Peletakan
perangkap tikus pada satu titik yang ditentukan di antara dua tanaman contoh.
Penentuan peletakan perangkap pada masing-masing lokasi diatur sedemikian
rupa sehingga mewakili setiap lorong, menyerupai pola zig-zag (Gambar 1).
Perangkap tikus yang digunakan yaitu perangkap massal (Gambar 5). Umpan
yang digunakan adalah gorengan yang diletakkan di dalam perangkap. Umpan
gorengan diletakkan pada sudut belakang bagian dalam perangkap agar berada
agak jauh dari pintu masuk perangkap. Tikus yang tertangkap perangkap massal
dimatikan dengan kloroform lalu dipindahkan ke kantung plastik. Selanjutnya
dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Pemasangan perangkap massal
dilakukan sebanyak sembilan kali dengan interval dua minggu. Perangkap massal
pada tiap pemasangan diambil kembali setelah 48 jam.

14

Gambar 5 Metode pengambilan sampel tikus menggunakan perangkap massal
Identifikasi Sampel Tikus
Identifikasi untuk menentukan jenis tikus dilakukan dengan memperhatikan
ciri morfologi tikus baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Ciri kualitatif tikus
seperti tekstur rambut, bentuk hidung, bentuk badan, dan warna. Ciri kuantitatif
tikus seperti bobot tubuh, panjang kepala dan badan, panjang ekor, lebar daun
telinga, panjang telapak kaki, lebar gigi pengerat, dan jumlah puting susu.
Pengamatan ciri morfologi ini dicocokkan dengan menggunakan buku acuan
identifikasi yaitu Pengendalian Hama Tikus Terpadu oleh Priyambodo (2003).
Sampel yang sudah diidentifikasi, diambil gambarnya dan dikelompokkan
berdasarkan jenisnya. Sampel diawetkan untuk dikoleksi.
Pengamatan Serangan Hama Tikus
Pengamatan serangan hama tikus di kebun contoh dilakukan pada tanaman
contoh yang ditentukan pada setiap pengamatan. Penentuan tanaman contoh yaitu
dengan memilih tanaman kelapa sawit pada lorong pengamatan. Selanjutnya pada
setiap pengamatan, tanaman contoh diganti dengan cara mengambil tanaman
contoh selang dua tanaman dari sebelumnya. Tanaman contoh ini sejalan dengan
pengambilan sampel artropoda secara langsung pada tajuk, yaitu empat tanaman
contoh pada masing-masing lorong, sehingga ada 20 tanaman contoh pada
masing-masing kebun contoh. Pengamatan serangan hama tikus dilakukan
sebanyak sembilan kali dengan interval dua minggu. Dengan demikian, metode
pengamatan ini dapat memastikan bahwa semua tanaman di sepanjang lorong
teramati selama pengamatan.
Serangan tikus diketahui dengan melihat gejala serangan tikus pada masingmasing tanaman contoh (Gambar 6). Pada masing-masing tanaman contoh
dihitung jumlah buah terserang per tandan (gejala serangan tikus pada buah),
kemudian dicatat.

15

Gambar 6 Gejala serangan tikus pada buah kelapa sawit. Kerusakan berupa
bekas sisa keratan.
Intensitas serangan tikus pada masing-masing kebun contoh ditentukan
dengan menggunakan kategori kerusakan seperti pada Tabel 1. Data yang
digunakan untuk mendukung (data pendukung) pengamatan serangan hama tikus
di lapangan adalah data cuaca dan penggunaan rodentisida.
Tabel 1 Kategori kerusakan berdasarkan jumlah buah terserang per tandan
Kategori Ʃ Buah terserang
0
0
1
1 – 10
2
11 – 20
3
21 – 30
4
31 – 40
5
41 – 50
6
> 50
Analisis dan Penyajian Data
Data yang didapat dari hasil pengamatan dan identifikasi diolah dengan
menggunakan Microsoft Office Excel 2010 Worksheet, kemudian data dianalisis
secara deskriptif. Hasil analisis tersebut kemudian dibandingkan dengan sumbersumber dan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Khusus
untuk intensitas dan luas serangan tikus dilakukan analisis ragam menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan kebun contoh I, II, dan III sebagai
perlakuan, dan sembilan kali pengamatan sebagai ulangan. Kemudian uji lanjut
menggunakan Uji Selang Berganda Duncan (USBD) pada taraf α=5% dan α=1%.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi
Perkebunan kelapa sawit di PTPN VIII Cikasungka dan Cipatat termasuk ke
dalam wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 384 m dpl, serta memiliki
topografi yang berbukit-bukit dan berbatasan dengan pemukiman masyarakat.
Suhu rata-rata wilayah ini dari bulan Oktober 2014 sampai April 2015 sebesar
25.85 °C dengan kelembaban udara rata-rata 83.71%. Curah hujan yang terjadi
pada Oktober 2014 sampai April 2015 di wilayah ini termasuk dalam kategori
menengah (Tabel 2).
Teknik budidaya kelapa sawit di lokasi dilakukan dengan pola tanam
segitiga. Berdasarkan informasi dari pihak perkebunan, selama ini belum ada
upaya pengendalian hama tikus dengan menggunakan rodentisida.
Tabel 2 Mikroklimat di pertanaman kelapa sawit PTPN VIII Cikasungka, Bogor
(Oktober 2014 - April 2015)
Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr
Parameter
Rata-rata
2014 2014 2014 2015 2015 2015 2015
Temperatur (oC)
26.8 26.3 26.3 25.2
25 25.6 25.8
25.85
Kelembaban (%)
75
83
82
87
88
85
86
83.71
Curah hujan (mm)
170 398 217 179 198 219 266
235.28
Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG)

Kebun kelapa sawit lokasi I, terdapat di blok 39 Cikasungka yang
berbatasan langsung dengan jalan raya dan pemukiman warga. Tanaman kelapa
sawit di lokasi I ditanam pada tahun 2004. Pada bulan Oktober 2014, tanaman di
lokasi I berumur ±10 tahun yang merupakan kategori tanaman menghasilkan
(TM). Selain tanaman utama, pada lokasi I hanya terdapat sedikit jenis tumbuhan
yang tersisa oleh karena sanitasi berkala yang dilakukan pihak perkebunan di blok
39 (Gambar 7). Sanitasi berkala ini menjadikan habitat pertanaman pada blok 39
relatif lebih bersih dibandingkan dengan blok yang tidak dilakukan sanitasi. Pada
perkebunan kelapa sawit Cikasungka ini beberapa blok terlihat tidak dilakukan
pembersihan gulma sama sekali.

Gambar 7 Lokasi I blok 39 Cikasungka (habitat relatif bersih)

17
Kebun kelapa sawit lokasi II, terdapat di blok 54 Cikasungka yang
berbatasan langsung dengan jalan raya dan pemukiman warga. Tanaman kelapa
sawit di lokasi II ditanam pada tahun 2004. Pada bulan Oktober 2014, tanaman di
lokasi II berumur ±10 tahun yang merupakan kategori tanaman menghasilkan
(TM). Pada blok 54 tidak dilakukan sanitasi, sehingga lokasi ini memiliki
beberapa jenis tumbuhan liar (vegetasi alami) yang diantaranya dikategorikan
sebagai gulma (Gambar 8).

Gambar 8 Lokasi II blok 54 Cikasungka (habitat dengan vegetasi alami)
Kebun kelapa sawit lokasi III, terdapat di blok 67 Cipatat yang berbatasan
langsung dengan sawah dan pemukiman warga. Tanaman kelapa sawit di lokasi
III ditanam pada tahun 2009. Pada bulan Oktober 2014, umur tanaman lokasi III
yaitu lima tahun yang merupakan kategori tanaman menghasilkan (TM). Pada
blok 67 dan beberapa blok lain di Cipatat, habitat pertanaman kelapa sawit juga
didominasi kacangan penutup tanah jenis M. bracteata yang ditanam oleh pihak
perkebunan (Gambar 9).

Gambar 9 Lokasi III blok 67 Cipatat (habitat menggunakan kacangan penutup
tanah)
Artropoda yang Ditemukan pada Kebun Contoh
Pada kebun contoh, artropoda yang ditemukan terdiri atas empat kelas yaitu
Insecta, Collembola, Arachnida, dan Diplopoda. Jumlah keseluruhan artropoda
yang ditemukan pada habitat yang relatif bersih (kebun contoh I), habitat dengan
vegetasi alami (kebun contoh II), dan habitat dengan kacangan penutup tanah
(kebun contoh III) dapat dilihat pada Tabel 3. Artropoda memiliki peran dalam

18
rantai makanan suatu ekosistem. Peran artropoda diantaranya adalah predator,
herbivor, detritivor, dan parasitoid. Artropoda predator merupakan artropoda yang
memangsa artropoda lain sebagai makanannya. Artropoda herbivor merupakan
artropoda yang makanannya berupa tumbuhan, sehingga artropoda herbivor
disebut sebagai hama bila aktivitas makannya dapat menurunkan nilai ekonomi
tanaman. Artropoda detritivor merupakan artropoda pengurai bahan organik
seperti bangkai hewan, tumbuhan mati, maupun sisa daun yang jatuh. Selain itu,
terdapat artropoda parasitoid yang hidup di dalam tubuh inang untuk memperoleh
makanan.
Tabel 3 Jumlah artropoda pada kebun contoh
Filum
Kebun Contoh I
Kebun Contoh II
Kebun Contoh III
Artropoda Ordo Famili Individu Ordo Famili Individu Ordo Famili Individu
Insecta
11
50
758
12
45
616
11
52
788
Collembola
2
3
161