Total Produksi Gas dan Degradasi Bahan Kering Hijauan Tropis Pada Media Cairan Rumen Domba yang Diberi Pakan Mengandung Tanin Kajian: In Vitro dan In Sacco. Skripsi

(1)

i

TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING

HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA CAIRAN RUMEN DOMBA

YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TANIN

KAJIAN:

IN VITRO

DAN

IN SACCO

SKRIPSI

RENALDO ARNEL PUTRA YR

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(2)

ii

RINGKASAN

RENALDO ARNEL PUTRA YR. D24050605. 2009. Total Produksi Gas dan Degradasi Bahan Kering Hijauan Tropis Pada Media Cairan Rumen Domba yang Diberi Pakan Mengandung Tanin Kajian: In Vitro dan In Sacco

.

Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Pembimbing Anggota : Ir. Lidy Herawaty, MS

Hijauan tropis merupakan salah satu bahan yang banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kendala yang dimiliki hijauan tropis sebagai bahan pakan yaitu terkait dengan kadar serat dan anti nutrisi yang cukup tinggi. Salah satu anti nutrisi yang dapat mengikat protein dan mineral adalah tanin. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi nilai degradasi bahan pakan asal hijauan tropis pada media cairan rumen yang hewannya diberi pakan mengandung tanin secara in vitro dan in sacco.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai Mei 2009 di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi dan laboratorium lapang B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sembilan jenis hijauan tropis yang digunakan yaitu, P. purpureum (Pp), B. decumbens (Bd), C. kyllinga (Ck), L. leucocephala (Ll), A. heterophyllus (Ah), M. Sapientum (Musa sp), D. suffruticosa (Ds), M. malabathricum (Mm), S. baccatum (Sb). Cairan rumen yang dipergunakan diambil dari 2 ekor domba yang berfistula. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola Faktorial. Total produksi gas dan percobaan secara in vitro menggunakan RAK pola faktorial 9 x 3 x 2 dengan 3 faktor. Faktor A adalah 9 jenis hijauan tropis, faktor B adalah 3 media cairan rumen yang terdiri dari B1 (domba diberi pakan rumput dan konsentrat (pakan kontrol)); B2 (domba diberi pakan rumput + konsentrat + Calliandra callothyrsus (sumber tanin terkondensasi)) dan B3 (domba diberi pakan rumput + konsentrat + Melastoma candidum (tanin terhidrolisa)) dan faktor C dengan dan tanpa penggunaan Polyethilene Glycol (PEG). Percobaan secara in sacco menggunakan RAK pola faktorial 9 x 2 dengan 2 faktor. Faktor A yaitu 9 jenis hijauan tropis dan faktor B berupa 3 media cairan rumen. Peubah yang diamati adalah total produksi gas, dan persen degradasi bahan kering (DBK) hijauan tropis. Hasil data diolah dengan Analisis Ragam (ANOVA) dan jika memberikan hasil yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa total produksi gas pada setiap perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01). Hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah), media cairan rumen B3 dan penambahan PEG menghasilkan total produksi gas tertinggi. Interaksi antara media cairan rumen B3 dengan hijauan tropis Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan total prduksi gas tertinggi (P<0,01). Interaksi antara jenis hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) dengan penambahan PEG menghasilkan produksi gas tertinggi (P<0,01). Secara in vitro degradasi bahan kering (DBK) hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah), media cairan rumen B1, dan penambahan PEG menghasilkan DBK tertinggi. Interaksi media cairan rumen B1 dengan hijauan tropis Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan DBK tertinggi (P<0.01). Interaksi antara penambahan PEG dengan hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan DBK tertinggi (P<0,05). Secara in sacco hijauan Artocarpus


(3)

iii heterophyllus (Ah) dan media cairan rumen B3 menghasilkan DBK tertinggi dan terdapat interaksi yang sangat nyata (P<0,01) dari pengaruh sumber media cairan rumen B3 dengan hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) dan mempunyai DBK paling tinggi.

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan produksi gas tertinggi dan ada interaksi antara media cairan rumen B3 dengan hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) dan menghasilkan DBK tertinggi baik secara in vitro maupun in sacco. Penambahan PEG dapat meningkatkan total produksi gas dan DBK secara in vitro.

Kata-kata kunci: in vitro, in sacco, hijauan tropis, tanin terkondensasi, tanin terhidrolisa


(4)

iv

ABSTRACT

In Vitro dan In Sacco of Total Gas Production and Dry Matter Degradation of Tropical Browse Plants In Rumen Fluid Sheep which Given Ration Containing

Tannins

R. A. Putra, D. A. Astuti, dan L. Herawaty

This research was aimed to determine total gas production and dry matter degradation of fermented tropical browse plants in sheep rumen fluid containing tannins as in vitro and in sacco methods. There were nine types of tropical browse plants, such as Pennisetum purpureum, Brachiaria decumbens, Ciiperus kyllinga, Leucaena leucocephala, Artocarpus heterophyllus , Musa sapientum, Dilenia suffruticosa, Melastoma malabathricum, Sapium baccatum. This research was design using Randomized Completely Block Design Factorial. In vitro experiment and total gas production with 3 factors (9 x 3 x 2) treatment 9 type of tropical browse plants (A), three source of rumen fluids medium (B) such as B1 was control feed, B2 was condenseed tannin treatment and B3 was hydrolizable tannin treatment and with and without Polyethilene Glycol (PEG). In sacco experiment, the design was same with in vitro experiment. Data were analized by analysis of variance (ANOVA) and the differences among treatments were tested by Duncan multiple range test. The parameters observed were total gas production and dry matter degradation. Result showed that Artocarpus heterophyllus has the highest total gas production and dry matter degradation, rumen fluid with contained hydrolizable tannin has the highest total gas production and rumen fluid control has the highest dry matter degradation through in vitro technique and in sacco. There was interaction between rumen fluid with contained hydrolizable tannin with Artocarpus heterophyllus in total gas production and dry matter degradation through in vitro technique and in sacco. Polyethilene Glycol addition caused increasing of total gas production and dry matter degradation through in vitro technique.

Keywords : dry matter degradation, in sacco, in vitro, total gas production, tropical browse plants


(5)

v

TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING

HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA CAIRAN RUMEN DOMBA

YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TANIN

KAJIAN:

IN VITRO

DAN

IN SACCO

RENALDO ARNEL PUTRA YR D24050605

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(6)

TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING

HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA CAIRAN RUMEN DOMBA

YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TANIN

KAJIAN:

IN VITRO

DAN

IN SACCO

Oleh

RENALDO ARNEL PUTRA YR D24050605

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Agustus 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Ir. Lidy Herawaty, MS

NIP. 196110051985032001 NIP. 196209141987032009

Dekan Ketua Departemen

Fakultas Peternakan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr NIP. 196701071991031003 NIP. 196705061991031001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Juni 1987 di Bayur Bukittinggi Sumatra Barat sebagai anak bungsu dari lima bersaudara dari pasangan (Alm) M. Yanis Chan dan Rosniati. Pada tahun 2001, penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Maninjau Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam masuk program IPA dan lulus tahun 2005.

Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan (Fapet), IPB.

Pada tahun 2008, penulis melaksanakan kegiatan praktik kerja lapangan di PT. Japfa Comfeed Indonesia unit Tangerang selama 2 bulan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknik Formulasi Ransum dan Sistem Informasi Peternakan (2009). Pada tahun 2007 dan 2008 penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak (Himasiter).


(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan.

Skripsi ini berjudul ” Total Produksi Gas Dan Degradasi Bahan Kering Hijauan Tropis Pada Media Cairan Rumen Domba Yang Diberi Pakan Mengandung Tanin Kajian: In Vitro dan In Sacco. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi dan laboratorium lapang B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Desember 2008 sampai Mei 2009.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui total produksi gas dan degradasi bahan pakan hijauan tropis dalam media cairan rumen domba yang diberi pakan mengandung tanin, baik secara in vitro dan in sacco.

Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, besar harapan penulis adanya sumbangan pemikiran dari berbagai kalangan untuk perbaikan skripsi ini. Penulis pun mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Ahmad Baba Salihin yang telah mendanai penelitian ini serta seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga terdapat manfaat atas penulisan skripsi ini bagi para pembaca.

Bogor, September 2009

Penulis


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... ii

ABSTRACT ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Hijauan Tropis ... 3

Tanin ... 7

Polyethylene Glycol (PEG) ... 9

Teknik Pengukuran Kecernaan ... 10

Domba Fistula Sebagai Hewan Model ... 13

METODE ... 14

Lokasi dan Waktu ... 14

Materi ... 14

Cairan Rumen ... 14

Rancangan Percobaan ... 15

Perlakuan ... ... 15

Model Percobaan In Vitro ... ... 15

Peubah yang diamati ... ... 16

Analisis Data ... ... 16

Model Percobaan In Sacco ... ... 16

Peubah yang diamati ... ... 17

Analisis Data ... ... 17

Prosedur ... 17

Persiapan Bahan Hijauan Tropis ... ... 17

Persiapan Larutan ... ... 17

Persiapan Domba Fistula ... ... 17

In vitro dan Total produksi ... ... 17

In sacco ... ... 19


(10)

x

Jenis Hijauan Tropis ... 20

Percobaan In Vitro ... 21

Produksi Gas Total ... ... 21

Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK) ... ... 25

Percobaan Pengukuran Degradasi Bahan Kering In Sacco ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

UCAPAN TERIMAKASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34


(11)

i

TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING

HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA CAIRAN RUMEN DOMBA

YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TANIN

KAJIAN:

IN VITRO

DAN

IN SACCO

SKRIPSI

RENALDO ARNEL PUTRA YR

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(12)

ii

RINGKASAN

RENALDO ARNEL PUTRA YR. D24050605. 2009. Total Produksi Gas dan Degradasi Bahan Kering Hijauan Tropis Pada Media Cairan Rumen Domba yang Diberi Pakan Mengandung Tanin Kajian: In Vitro dan In Sacco

.

Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Pembimbing Anggota : Ir. Lidy Herawaty, MS

Hijauan tropis merupakan salah satu bahan yang banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Kendala yang dimiliki hijauan tropis sebagai bahan pakan yaitu terkait dengan kadar serat dan anti nutrisi yang cukup tinggi. Salah satu anti nutrisi yang dapat mengikat protein dan mineral adalah tanin. Oleh sebab itu, perlu dilakukan evaluasi nilai degradasi bahan pakan asal hijauan tropis pada media cairan rumen yang hewannya diberi pakan mengandung tanin secara in vitro dan in sacco.

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai Mei 2009 di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi dan laboratorium lapang B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Sembilan jenis hijauan tropis yang digunakan yaitu, P. purpureum (Pp), B. decumbens (Bd), C. kyllinga (Ck), L. leucocephala (Ll), A. heterophyllus (Ah), M. Sapientum (Musa sp), D. suffruticosa (Ds), M. malabathricum (Mm), S. baccatum (Sb). Cairan rumen yang dipergunakan diambil dari 2 ekor domba yang berfistula. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola Faktorial. Total produksi gas dan percobaan secara in vitro menggunakan RAK pola faktorial 9 x 3 x 2 dengan 3 faktor. Faktor A adalah 9 jenis hijauan tropis, faktor B adalah 3 media cairan rumen yang terdiri dari B1 (domba diberi pakan rumput dan konsentrat (pakan kontrol)); B2 (domba diberi pakan rumput + konsentrat + Calliandra callothyrsus (sumber tanin terkondensasi)) dan B3 (domba diberi pakan rumput + konsentrat + Melastoma candidum (tanin terhidrolisa)) dan faktor C dengan dan tanpa penggunaan Polyethilene Glycol (PEG). Percobaan secara in sacco menggunakan RAK pola faktorial 9 x 2 dengan 2 faktor. Faktor A yaitu 9 jenis hijauan tropis dan faktor B berupa 3 media cairan rumen. Peubah yang diamati adalah total produksi gas, dan persen degradasi bahan kering (DBK) hijauan tropis. Hasil data diolah dengan Analisis Ragam (ANOVA) dan jika memberikan hasil yang berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.

Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa total produksi gas pada setiap perlakuan berbeda sangat nyata (P<0,01). Hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah), media cairan rumen B3 dan penambahan PEG menghasilkan total produksi gas tertinggi. Interaksi antara media cairan rumen B3 dengan hijauan tropis Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan total prduksi gas tertinggi (P<0,01). Interaksi antara jenis hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) dengan penambahan PEG menghasilkan produksi gas tertinggi (P<0,01). Secara in vitro degradasi bahan kering (DBK) hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah), media cairan rumen B1, dan penambahan PEG menghasilkan DBK tertinggi. Interaksi media cairan rumen B1 dengan hijauan tropis Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan DBK tertinggi (P<0.01). Interaksi antara penambahan PEG dengan hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan DBK tertinggi (P<0,05). Secara in sacco hijauan Artocarpus


(13)

iii heterophyllus (Ah) dan media cairan rumen B3 menghasilkan DBK tertinggi dan terdapat interaksi yang sangat nyata (P<0,01) dari pengaruh sumber media cairan rumen B3 dengan hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) dan mempunyai DBK paling tinggi.

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) menghasilkan produksi gas tertinggi dan ada interaksi antara media cairan rumen B3 dengan hijauan Artocarpus heterophyllus (Ah) dan menghasilkan DBK tertinggi baik secara in vitro maupun in sacco. Penambahan PEG dapat meningkatkan total produksi gas dan DBK secara in vitro.

Kata-kata kunci: in vitro, in sacco, hijauan tropis, tanin terkondensasi, tanin terhidrolisa


(14)

iv

ABSTRACT

In Vitro dan In Sacco of Total Gas Production and Dry Matter Degradation of Tropical Browse Plants In Rumen Fluid Sheep which Given Ration Containing

Tannins

R. A. Putra, D. A. Astuti, dan L. Herawaty

This research was aimed to determine total gas production and dry matter degradation of fermented tropical browse plants in sheep rumen fluid containing tannins as in vitro and in sacco methods. There were nine types of tropical browse plants, such as Pennisetum purpureum, Brachiaria decumbens, Ciiperus kyllinga, Leucaena leucocephala, Artocarpus heterophyllus , Musa sapientum, Dilenia suffruticosa, Melastoma malabathricum, Sapium baccatum. This research was design using Randomized Completely Block Design Factorial. In vitro experiment and total gas production with 3 factors (9 x 3 x 2) treatment 9 type of tropical browse plants (A), three source of rumen fluids medium (B) such as B1 was control feed, B2 was condenseed tannin treatment and B3 was hydrolizable tannin treatment and with and without Polyethilene Glycol (PEG). In sacco experiment, the design was same with in vitro experiment. Data were analized by analysis of variance (ANOVA) and the differences among treatments were tested by Duncan multiple range test. The parameters observed were total gas production and dry matter degradation. Result showed that Artocarpus heterophyllus has the highest total gas production and dry matter degradation, rumen fluid with contained hydrolizable tannin has the highest total gas production and rumen fluid control has the highest dry matter degradation through in vitro technique and in sacco. There was interaction between rumen fluid with contained hydrolizable tannin with Artocarpus heterophyllus in total gas production and dry matter degradation through in vitro technique and in sacco. Polyethilene Glycol addition caused increasing of total gas production and dry matter degradation through in vitro technique.

Keywords : dry matter degradation, in sacco, in vitro, total gas production, tropical browse plants


(15)

v

TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING

HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA CAIRAN RUMEN DOMBA

YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TANIN

KAJIAN:

IN VITRO

DAN

IN SACCO

RENALDO ARNEL PUTRA YR D24050605

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(16)

TOTAL PRODUKSI GAS DAN DEGRADASI BAHAN KERING

HIJAUAN TROPIS PADA MEDIA CAIRAN RUMEN DOMBA

YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG TANIN

KAJIAN:

IN VITRO

DAN

IN SACCO

Oleh

RENALDO ARNEL PUTRA YR D24050605

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 25 Agustus 2009

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS Ir. Lidy Herawaty, MS

NIP. 196110051985032001 NIP. 196209141987032009

Dekan Ketua Departemen

Fakultas Peternakan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr NIP. 196701071991031003 NIP. 196705061991031001


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Juni 1987 di Bayur Bukittinggi Sumatra Barat sebagai anak bungsu dari lima bersaudara dari pasangan (Alm) M. Yanis Chan dan Rosniati. Pada tahun 2001, penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMA Negeri 1 Maninjau Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam masuk program IPA dan lulus tahun 2005.

Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI. Pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan (Fapet), IPB.

Pada tahun 2008, penulis melaksanakan kegiatan praktik kerja lapangan di PT. Japfa Comfeed Indonesia unit Tangerang selama 2 bulan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Teknik Formulasi Ransum dan Sistem Informasi Peternakan (2009). Pada tahun 2007 dan 2008 penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak (Himasiter).


(18)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana peternakan.

Skripsi ini berjudul ” Total Produksi Gas Dan Degradasi Bahan Kering Hijauan Tropis Pada Media Cairan Rumen Domba Yang Diberi Pakan Mengandung Tanin Kajian: In Vitro dan In Sacco. Penelitian dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi dan laboratorium lapang B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Desember 2008 sampai Mei 2009.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui total produksi gas dan degradasi bahan pakan hijauan tropis dalam media cairan rumen domba yang diberi pakan mengandung tanin, baik secara in vitro dan in sacco.

Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, besar harapan penulis adanya sumbangan pemikiran dari berbagai kalangan untuk perbaikan skripsi ini. Penulis pun mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Ahmad Baba Salihin yang telah mendanai penelitian ini serta seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga terdapat manfaat atas penulisan skripsi ini bagi para pembaca.

Bogor, September 2009

Penulis


(19)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... ii

ABSTRACT ... iv

RIWAYAT HIDUP ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Hijauan Tropis ... 3

Tanin ... 7

Polyethylene Glycol (PEG) ... 9

Teknik Pengukuran Kecernaan ... 10

Domba Fistula Sebagai Hewan Model ... 13

METODE ... 14

Lokasi dan Waktu ... 14

Materi ... 14

Cairan Rumen ... 14

Rancangan Percobaan ... 15

Perlakuan ... ... 15

Model Percobaan In Vitro ... ... 15

Peubah yang diamati ... ... 16

Analisis Data ... ... 16

Model Percobaan In Sacco ... ... 16

Peubah yang diamati ... ... 17

Analisis Data ... ... 17

Prosedur ... 17

Persiapan Bahan Hijauan Tropis ... ... 17

Persiapan Larutan ... ... 17

Persiapan Domba Fistula ... ... 17

In vitro dan Total produksi ... ... 17

In sacco ... ... 19


(20)

x

Jenis Hijauan Tropis ... 20

Percobaan In Vitro ... 21

Produksi Gas Total ... ... 21

Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK) ... ... 25

Percobaan Pengukuran Degradasi Bahan Kering In Sacco ... 29

KESIMPULAN DAN SARAN ... 32

Kesimpulan ... 32

Saran ... 32

UCAPAN TERIMAKASIH ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... 34


(21)

xi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Sumber Tanin……… . 14

2. Hasil Analisis Proksimat, Van Soest dan Tanin ... 20

3. Total Produksi Gas………. ... 22

4. Degradasi Bahan Kering Pada Percobaan Secara In Vitro ... 26


(22)

xii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Pennisetum purpureum………. .... 4 2. Brachiaria decumbens………. .. 4 3. Ciperus kyllinga……… . 4 4. Leucaena leucocephala………... .. 4 5. Artocapus heterophyllus………. ... 5 6. Musa sapientum……….. ... 5 7. Dilenia suffruticosa……….. . 6 8. Melastoma malabathricum………. ... 6 9. Sapium baccatum……… ... 6

10. Calliandra calothyrsus………. . 7

11. Melastoma candidum……….. ... 7

12. Tanin Terhidrolisa: (a) Elagitanin dan (b) Galotanin ... .. 9

13. Tanin Terkondensasi………. . 9

14. Polyethilene Glycol……….. .. 10

15. Grafik Efek Media Cairan Rumen terhadap Total

Produksi Gas ………. ... 23 16. Grafik Pengaruh Penambahan PEG terhadap Total

Produksi Gas ……….. ... 24 17. Grafik Efek Media Cairan Rumen pada Percobaan

secara In Vitro……… ... 25 18. Grafik Penambahan PEG pada Percobaan

secara In Vitro ………. ... 27 19. Grafik Korelasi antara Total Produksi Gas dengan Degradasi Bahan

Kering secara In Vitro………. ... 28 20. Grafik Efek Media Cairan Rumen pada Percobaan secara In


(23)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Pembuatan Larutan Media ... 39 2. ANOVA Pengaruh Perlakuan terhadap

Produksi Gas Total ... 40 3. ANOVA Degradasi Bahan Kering pada Percobaan

secara In Vitro ... 40 4. ANOVA Degradasi Bahan Kering pada Percobaan

secara In Sacco ... 41 5. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Faktor 1

(Jenis Hijauan Tropis) ... 41 6. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Faktor 2

(Media Cairan Rumen) ... 41 7. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Faktor 3

(Penambahan PEG) ... 41 8. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Interaksi Faktor 1

(Jenis Hijauan Topis) dengan Faktor 2 (Media Cairan Rumen) ... 42 9. Uji lanjut Duncan Percobaan Total gas untuk Interaksi Faktor 1

(Jenis Hijauan Topis) dengan Faktor 3(Penambahan PEG) ... 43 10.Uji Lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Faktor 1

(Jenis Hijauan Tropis) ... 44 11.Uji Lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Faktor 2

(Media Cairan Rumen) ... 44 12.Uji Lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Faktor 3

(Penambahan PEG) ... 44 13.Uji lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Interaksi Faktor 1

(Jenis Hijauan Topis) dengan Faktor 2 (Media Cairan Rumen) ... 45 14.Uji lanjut Duncan Percobaan In Vitro untuk Interaksi Faktor 1

(Jenis Hijauan Topis) dengan Faktor 3(Penambahan PEG) ... 46 15.Uji lanjut Duncan Percobaan In Sacco untuk Faktor 1

(Jenis Hijauan Tropis) ... 47 16.Uji lanjut Duncan Percobaan In Sacco untuk Faktor 2

(Media Cairan Rumen) ... 47 17.Uji lanjut Duncan Percobaan In Sacco untuk Interaksi Faktor 1


(24)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Faktor kuantitas dan kualitas pakan merupakan faktor utama penentu keberhasilan usaha peternakan karena hampir 2/3 biaya produksi berasal dari pakan. Ternak ruminansia misalnya, membutuhkan hijauan yang berkualitas untuk meningkatkan produktivitas ternak, akan tetapi kondisi hijauan di Indonesia sebagai negara tropis kualitasnya secara umum masih rendah. Kondisi tersebut ditandai dengan kadar serat dan antinutrisi yang cukup tinggi. Salah satu antinutrisi yang dapat mengikat protein dan mineral adalah tanin. Kadar tanin yang terdapat dalam pakan juga akan mempengaruhi perkembangan bakteri maupun protozoa dalam rumen serta proses pengikatan protein di dalam saluran pencernaan.

Efek negatif adanya antinutrisi tanin pada hijauan dapat dikurangi dengan penambahan Polyethylene Glycol (PEG). Rusdi dan Kasim (2006) melaporkan bahwa PEG secara konsisten mengikat tanin bebas melalui peningkatan proporsi tanin yang terikat dalam bentuk ikatan serat tanin. Penambahan PEG ke dalam ransum yang mengandung tanin berpotensi untuk meningkatkan kualitas pakan (Rusdi, 2007).

Secara umum terdapat 3 metode evaluasi pakan yaitu, metode in vivo, in sacco dan in vitro. Pengukuran dengan teknik in sacco mempunyai keunggulan antara lain menghemat waktu, tenaga dan biaya. Pengukuran menggunakan teknik in vitro memberikan hasil yang cepat dengan biaya yang murah dan jumlah sampel yang digunakan relatif sedikit dan diperlukan cairan rumen sebagai media fermentasi. Cairan rumen yang digunakan pada in vitro sebaiknya diambil dari ternak domba yang berfistula agar kondisi anaerob dapat dijaga, hal lain yang harus diperhatikan pada percobaan secara in vitro yaitu tingkat ketelitian untuk mengurangi kesalahan dalam proses pengerjaannya. Sedangkan untuk pengamatan laju degradasi bahan pakan secara in sacco diharapkan hasilnya sebanding dengan degrdasi pakan secara in vitro. Kelebihan data in sacco adalah masih terdapat proses fisiologis rumen yang optimal karena sampel berada pada media rumen langsung.

Faktor utama yang menentukan karakteristik degradasi bahan pakan dalam rumen adalah sifat fisik dan kimia bahan pakan dan media cairan rumen. Indikator


(25)

2 pengukuran bahan pakan meliputi: kelarutan bahan pakan, laju pakan (outflow rate), tingkat konsumsi, tersedianya substrat fermentasi, populasi mikroba, ukuran partikel, bentuk fisik, dan pH rumen.

Perumusan Masalah

Tanin merupakan salah satu jenis antinutrisi yang banyak terdapat pada beberapa jenis tumbuhan tropis. Tanin dibagi ke dalam dua jenis, yaitu tanin terkondensasi dan tanin yang terhidrolisis. Tanin terkondensasi adalah tanin yang terjadi karena proses kondensasi flavanol. Tanin terkondensasi banyak terdapat di buah-buahan, biji-bijian, dan tanaman lain yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan, sementara tanin terhidrolisis banyak terdapat pada makanan yang bukan pangan (non edible food). Terdapatnya tanin pada hijauan tropis akan menganggu profil fermentasi dan pengikatan protein. Penambahan PEG (polyethilene glycol) berperan dalam mengikat tanin sehingga protein dapat dipecah secara lebih baik. Belum banyak penelitian yang mengevaluasi efek degradasi hijauan tropis yang difermentasi pada media cairan rumen yang telah terpapar tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisa. Oleh karena itu perlu evaluasi terhadap hasil fermentasi terhadap hijauan tropis yang mengandung tanin pada media cairan rumen domba yang telah terpapar tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi degradasi bahan kering beberapa hijauan tropis yang diinkubasi dalam media cairan rumen domba yang diberi pakan mengandung tanin berbeda, baik secara in vitro dan in in sacco.


(26)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Hijauan Tropis

Negara-negara tropis yang mempunyai dua musim mengalami fluktuasi dalam penyediaan hijauan pakan. Musim penghujan merupakan musim yang banyak akan hijauan pakan dan bahkan sering berlebih, sedangkan pada musim kemarau merupakan musim paceklik sehingga seringkali hijauan yang ada mempunyai kualitas yang rendah (Nining, 2008). Marhaeniyanto (2009) menyatakan bahwa pengembangan hijauan pakan ternak di negara tropis jangan hanya mengandalkan rumput, perlu adanya perbaikan jenis hijauan lain, hal ini dikarenakan rata-rata produksi hijauan tropis rendah, kualitasnya rendah, serta kurang respon terhadap perbaikan hara tanah. Konsumsi hijauan, terutama di daerah tropis (Indonesia) dibatasi tingginya kandungan serat (Widyobroto, 2000). Syamsu (2009) melaporkan bahwa biasanya hijauan mengandung serat kasar sekitar 18% dari bahan keringnya, selain itu hijauan tropis mengandung antinutrisi yang cukup beragam salah satunya tanin. Suplementasi konsentrat bertujuan untuk mencukupi kebutuhan zat makanan (terutama protein dan energi), meningkatkan pertambahan bobot badan, meningkatkan konsumsi dan efisiensi penggunaan pakan.

Beberapa contoh jenis hijauan tropis yang sering digunakan oleh peternak yaitu, Pennisetum purpureum, Brachiaria decumbens, Ciperus kyllinga, Leucaena leucocephala, Artocarpus heterophyllus , Musa sapientum, Dilenia suffruticosa, Melastoma malabathricum, Sapium baccatum.

Pennisetum purpureum mempunyai nama umum yaitu, elephant atau elefante grass, napier grass, gigante (Kostarika), dengan habitat di daerah padang rumput lembab. Tanaman ini ditemukan pertama kali di daerah subtropik Africa (Zimbabwe) dan menyebar dibanyak negara tropis dan subtropis (Skerman dan Riveros.,1990).

Brachiaria decumbens merupakan hijauan yang mempunyai sinonim B. eminii (Mez) Robins. Nama umumnya yaitu Signal grass (Australia), suriname grass (Jamaica), kenya sheep grass. Rumput tersebut pertama kali ditemukan di dataran tinggi Uganda dan beberapa negara di timur Afrika Tengah dan menyebar ke daerah Afrika dan berlanjut ke daerah tropis dan subtropis (Skerman dan Riveros, 1990).


(27)

4 Gambar 1. Pennisetum purpureum Gambar 2. Brachiaria decumbens (Plantamord, 2009) (Plantamord, 2009)

Ciperus kyllinga atau rumput teki merupakan rumput semu menahun dengan tinggi 10-95 cm. Batang rumputnya berbentuk segitiga dan tajam. Daunnya berjumlah 4-10 helai yang terkumpul pada pangkal batang dengan pelepah daun tertutup tanah. Helaian daun berbentuk pita bersilang sejajar. Permukaan atas berwarna hijau mengkilat dengan panjang daun 10-30 cm dan lebar 3-6 cm. Rumput teki tumbuh liar di tempat terbuka atau sedikit terlindung dari sinar matahari seperti di tanah kosong, tegalan, lapangan rumput, pinggir jalan atau di lahan pertanian. Tumbuhan ini terdapat pada ketinggian 2-3000 meter di atas permukaan laut (Fibi, 2008).

Leucaena leucocephala atau lamtoro berasal dari Amerika tropis. Tanaman ini biasa ditemukan di pekarangan sebagai tanaman pagar atau tanaman peneduh. Kadang tumbuh liar dan dapat ditemukan dari 1-1500 m di atas permukaan laut. Namanya juga bermacam-macam, di Sumatera dinamakan pete selong, pete china, di Jawa dinamakan lamtoro, metir, kemlandingan, selamtara, peuteuy china, peuteuy selong, kamalandingan, pelending (Sunda), dan di Madura dikenal sebagai kalandingan (Arif, 2008).

Gambar 3. Ciperus kyllinga Gambar 4. Leucaena leucocephala (Plantamord, 2009) (Plantamord, 2009)

Artocarpus heterophyllus atau nangka merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari India dan menyebar ke daerah tropis termasuk Indonesia. Di Indonesia pohon ini memiliki beberapa nama daerah antara lain nongko (Jawa),


(28)

5 langge (Gorontalo), anane (Ambon), lumasa atau malasa (Lampung), nanal atau krour (Irian Jaya), nangka (Sunda). Beberapa nama asing yaitu: jacfruit, jack (Inggris), nangka (Malaysia), kapiak (Papua Nugini), liangka (Filipina), peignai (Myanmar), khnaor(Kamboja), mimiz, miiz hnang (laos), khanun (Thailand), dan mit menurut bahasa Vietnam (Prihatman, 2000).

Musa sapientum atau pisang berasal dari bahasa arab maus dan menurut bahasa linneus termasuk keluarga musaceae. Nama musa digunakan untuk memberi nama buah pisang yang merah kecoklatan di lembah sungai Indus di India. Ahli sejarah dan botani mengambil kesimpulan, bahwa asal mula tanaman pisang dari Asia Tenggara, oleh para penyebar agama islam, pisang disebarkan ke sekitar laut tengah. Dari Afrika Barat menyebar ke Amerika Selatan dan Amerika Tengah (Satuhu dan Supriyadi,1992).

Gambar 5. Artocarpus heterophyllus Gambar 6. Musa sapientum (Plantamord, 2009) (Plantamord, 2009)

Dilenia suffruticosa termasuk ke dalam tumbuhan dikotil family Dilleniaceae (suku simpur-simpuran). Tumbuhan berbentuk pohon, berumur menahun (perenial), tinggi 10 - 15 m, akar tunggang, batang aerial, berkayu, silindris, tegak, warna cokelat kehijauan, kulit tanpa alur, permukaan kasar, percabangan simpodial (batang utama tidak tampak jelas), arah cabang miring ke atas atau mendatar. Pada beberapa negara tanaman ini dikenal dengan nama yang berbeda, seperti di Indonesia dikenal sebagai Simpur air atau dilenia, di Inggris Shrubby dillenia atau Shrubby simpohlenia, Melayu dikenal sebagai Shrubby simpoh atau Simpoh air, di Thailand dikenal dengan nama San yawa dan di Jepang Kibana modoki (Plantamorc, 2009).

Melastoma malabathricum sinonim dengan Melastoma affine D. Don dan Melastoma polyanthum Bl. Tanaman ini diklasifikasikan ke dalam kingdom Plantae


(29)

6 (tumbuhan), subkingdom Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh), Superdivisi Spermatophyta (menghasilkan biji), divisi Magnoliophyta (tumbuhan berbunga, kelas Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil), Subkelas Rosidae, ordo Myrtales dan famili Melastomataceae. Melastoma malabathricum yang di Indonesia dikenal dengan nama harendong, senduduk, senggani dan dalam bahasa Inggris yaitu blue tongue atau native lassiandra (Plantamora, 2009).

Sepium baccatum diklasifikasikan ke dalam genus Euphorbiaceae. Tanaman ini disebut juga dengan Carumbium baccatum (Roxb.) Kurz, Excoecaria affinis Griff, Excoecaria baccata (Roxb.) Müll. Arg, Sapium populufolium Wallich ex Wight, Stillingia baccata (Roxb.) Baill. Pada beberapa daerah Sapium baccatum di kenal dengan mousedeer's rubber tree, salee nok, pho bai, budi, banai, ludai, ludai pelandok, memaya (Plantamorb, 2009).

Gambar 7. Dilenia suffoticossa Gambar 8. Melastoma malabathricum (Plantamorc, 2009) (Plantamora, 2009)

Gambar 9. Sapium baccatum

(Plantamorb, 2009)

Calliandra calothyrsus (kaliandra) adalah jenis tanaman yang termasuk jenis subfamili mimosoidae serta merupakan tanaman yang termasuk famili leguminosa.


(30)

7 Tanaman ini didatangkan ke Indonesia pada tahun 1936 dari Guatemala, Amerika Serikat. Kaliandra memiliki daya adaptasi yang baik terhadap tempat tumbuh yang berbeda-beda keadaannya. Tanaman ini mudah tumbuh pada berbagai jenis tanah, juga pada tanah liat yang sedikit sekali aerasinya. Ketinggian tanaman ini dapat mencapai 10 m dengan diameter batas maksimum 20 cm. Tanaman kaliandra memiliki sifat-sifat hidup dan produksi yang baik untuk dikembangkan. Ditinjau dari segi manfaat, kaliandra dapat dipakai sebagai kayu bakar, makanan ternak, pohon pelindung, tumbuhan penutup tanah untuk penghijauan dan akarnya sebagai obat tradisional. Hijauan kaliandra mengandung protein kasar 24 %, serat kasar, 23% - 34%, lemak 4,1% - 5% , abu 5% - 7,5%, ADF 26%, selulase 15%, dan lignin 10% - 11,9 % serta produksinya 1- 10 ton BK/ha (Tangendjaja et al., 1992).

Melastoma candidum tergolong dalam famili Melastomataceae. Biasanya berwujud semak belukar, kadang-kadang berwujud pohon kecil (liana) yang biasa mencapai tinggi sampai 4 m dan mempunyai cabang yang banyak. Tanaman ini berdaun tunggal, bentuk daun bundar telur dan memanjang sampai lonjong dan ujung daun lancip, panjang daun 4 - 14 cm dan lebar 1,3 - 4 cm, tulang daun menjari dan berjumlah 5-7 perdaun, daun ditumbuhi oleh bulu-bulu pendek dan kasar (Wagner et al., 1999).

Gambar 10. Calliandra calothyrsus Gambar 11. Melastoma candidum (Forest dan Kim Starr, 2006) (Flickr, 2008)

Tanin

Tanin merupakan salah satu senyawa sekunder yang berasal dari 135 species tanaman di Indonesia. Tanin dapat digunakan sebagai penyamak, bahan pengawet, bahan pewarna, obat tradisional dan bahan perekat (Susanti, 2000). Tanin diklasifikasikan sebagai tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin


(31)

8 terkondensasi adalah tanin yang terjadi karena proses kondensasi flavanol. Tanin terkondensasi sering disebut proantosianidin yang merupakan polimer dari katekin dan epikatekin (Hedqvist, 2004). Struktur tanin terkondensasi dapat dilihat pada Gambar 13. Tanin terhidrolisis yaitu jenis tanin yang jika terhidrolisis menghasilkan suatu suatu asam polifenolat dan gula sederhana. Tanin terhidrolisis terdiri dari gallotanin dan ellagitanin (Gambar 12). Hedqvist (2004) melaporkan bahwa ada beberapa teori yang menjelaskan fungsi alami tanin pada tumbuhan yaitu, salah satunya untuk menjaga dari serangan serangga dan hewan herbivora. Menurut Makkar (1993) tanin terkondensasi banyak terdapat di buah-buahan, biji-bijian, dan tanaman lain yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan pangan, sementara tanin terhidrolisis banyak terdapat pada makanan yang bukan pangan (non edible food).

Tanin dikenal sebagai senyawa antinutrisi karena berperan menurunkan kualitas bahan melalui pembentukan ikatan kompleks dengan protein. Ikatan antara tanin dan protein sangat kuat sehingga protein tidak mampu dicerna oleh sel tubuh. Pembentukan kompleks ini terjadi karena adanya ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan kovalen antara kedua senyawa tersebut (Makkar, 1993). Ariningsih (2004) mengatakan ikatan kovalen terbentuk apabila tanin telah mengalami oksidasi dan membentuk polimer kuinon yang selanjutnya melalui reaksi adisi eliminasi atom N dari gugus amino protein menggantikan atom oksigen dari senyawa polikuinon. Ikatan hidrogen yang terbentuk merupakan ikatan antara atom H yang polar dengan atom O baik dari protein atau tanin. Menurut Makkar (1993) keberadaan sejumlah gugus fungsional pada tanin akan menyebabkan terjadinya pengendapan protein. Selain membentuk kompleks dengan protein bahan pangan, tanin juga akan berikatan dengan protein mukosa sehingga mempengaruhi daya penyerapannya terhadap protein.

Dampak antinutrisi tanin pada ternak ruminansia berawal dari proses mastikasi, selanjutnya tanin akan berikatan dengan protein saliva sehingga pakan menurun palatabilitasnya, akibatnya konsumsi pakan menurun. Setelah tanin masuk ke dalam rumen (pH 6,3-7) senyawa tersebut akan membentuk ikatan kompleks dengan protein, karbohidrat (selulosa, hemiselulosa, dan pektin), mineral, vitamin, dan enzim mikroba rumen. Senyawa komplek tersebut tidak larut dalam rumen, namun terjadi pencernaan enzimatis di dalam abomasum (Sewet, 1997).


(32)

9 (a) (b)

Gambar 12. Tanin Terhidrolisa: (a) Elagitanin dan (b) Galotanin (Hedqvist et al.,2000)

Gambar 13. Tanin terkondensasi (Hedqvist et al.,2000)

Polyethylene Glycol (PEG)

PEG dikenal juga dengan sebutan macrogol, polyoxyethlene, aquaffin, nycoline, alpha-hydro-omega-hydroxypoly, polyethylene glycols, poly ethylene oxide dan polyglycol. Polyethylene glycol merupakan salah satu polimer kondensasi dari oksida ethylene dan air dengan rumus umum (OCH2CH2)nOH, n merupakan angka rata-rata dari pengulangan oxyethylene (Gambar 14). Bobot molekulnya rendah. Anggota dari n=2 ke n=4 adalah diethylene glycol, triethylene glycol dan tetraethylene glycol, yaitu dihasilkan sebagai senyawa murni. Salah satu sifat dari PEG adalah larut dalam air dan dapat larut juga pada beberapa bahan pelarut organik termasuk hidrokarbon aromatik (tidak alifatik). Sifat lain polyethylene glycol yaitu tidak beracun, tidak berbau, netral, melumasi, nonvolatile dan nonirritating dan


(33)

10 dipergunakan berbagai bidang farmasi dan di pengobatan sebagai solven, basis obat salp dan excipient tablet (Chemicalland, 2009). Bauman et al. (1971) melaporkan bahwa PEG tidak diabsorpsi oleh tubuh ternak.

Villalba dan Provenza, (2002) menyatakan bahwa PEG mampu mengikat tanin dan mengurangi efek negatif yang ditimbulkan oleh antinutrisi tanin tersebut. Efek pemberian PEG mampu memperbaiki pemanfaatan kaliandra yang bertanin tinggi, namun penggunaannya baru sampai pada skala penelitian, hal ini disebabkan oleh pemanfaatan yang tidak praktis (Syahrir, 1998). Villalba dan Provenza, (2002) juga melaporkan bahwa PEG yang terdapat dalam ransum basal cukup memadai dalam menetralisir level tannin yang tercerna dalam ransum basal.

Rasio dosis minimal penggunaan PEG dengan tanin terkondensasi yaitu 1: 4 atau 1: 8 untuk kambing (Silanikove et al., 1997), dan 1: 2 untuk domba (Silanikove et al., 1994) yang dimungkinkan untuk menetralkan efek negatif dari tanin terkondensasi yang banyak terdapat pada tanaman pakan ternak.

Gambar 14. Polyethylene Glycol (Hedqvist et al.,2000)

Teknik Pengukuran Kecernaan

Ada beberapa metode untuk mengevaluasi bahan pakan baik secara fisik, kimia maupun biologis. Pengujian bahan pakan secara fisik merupakan analisis pakan dengan cara melihat keadaan fisiknya. Pegujian fisik bahan pakan dapat dilakukan baik secara langsung (makroskopis) maupun dengan alat bantu (mikroskopis). Pengujian secara fisik disamping dilakukan untuk mengenali bahan pakan secara fisik juga dapat untuk mengevaluasi bahan pakan secara kualitatif. Analisis secara kimia dapat digunakan untuk mengetahui potensi bahan pakan yang dicerminkan dari komposisi kimia bahan pakan itu. Komposisi kimia bahan pakan secara umum terdiri dari air, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, dan abu. Analisis secara kimia dapat dilakukan dengan analisis proksimat. Pada awalnya, analisis proksimat merupakan titik awal untuk evaluasi pakan namun karena terdapat


(34)

11 kelemahan terutama pada bahan berserat lalu dikembangkan metode yang lebih baik yaitu analisis serat atau Van Soest (Makkar, 2002).

Metode lain yang tak kalah penting ialah evaluasi pakan secara biologis. Evaluasi tersebut dapat dilakukan baik dilapangan seperti evaluasi pakan secara in vivo, di laboratorium dapat dilakukan evaluasi pakan secara in vitro, in sacco ataupun kombinasi keduanya. Evaluasi pakan secara in vivo tidak akan terlepas dari pengukuran konsumsi pakan dan feses. Pengukuran tersebut dapat dilakukan baik secara langsung (direct method) maupun secara tidak langsung (in direct method) dengan menggunakan bahan perunut sebagai indikator (Suparjo, 2002). Metode in vitro penting untuk mengestimasi degradasi pakan ruminansia secara laboratorium. Keuntungan metode ini yaitu berkorelasi positif dengan evaluasi pakan secara in vivo. Metode in vitro tidak hanya lebih murah dan waktunya singkat namun pengukuran evaluasi pakan secara in vitro ini mampu menghasilkan kondisi percobaan yang lebih tepat dibanding secara in vivo (Makkar, 2002).

Menurut Makkar (2002) ada 3 teknik utama pengukuran kecernaan dan evaluasi pakan untuk ternak ruminansia yaitu, kecernaan dengan menggunakan mikroorganisme rumen seperti yang dilakukan Tilley dan Terry pada tahun 1963 atau menggunakan metode gas tes oleh Menke pada tahun 1979, inkubasi in situ dengan menggunakan kantong nilon di dalam rumen oleh Mehrez dan Orskov pada tahun 1977 dan cell-free fungal cellulose oleh De Boever pada tahun 1986. Teknik evaluasi pakan dengan menggunakan kantong nilon, telah digunakan bertahun-tahun untuk mengevaluasi laju degradasi pakan. Kerugian metode ini yaitu hanya dapat mengevaluasi sampel pakan dengan jumlah terbatas. Metode in sacco akan menipiskan lapisan rumen setelah kantong nilon dikeluarkan dari rumen Teknik evaluasi pakan menurut metode Tilley dan Terry pada tahun 1963, banyak digunakan karena dapat digunakan untuk mengevaluasi bahan pakan dalam jumlah besar. Metode ini sulit diterapkan pada material seperti sampel jaringan atau fraksi dinding sel (Makkar, 2002).

Metode perhitungan gas telah banyak dilakukan untuk mengevaluasi kualitas pakan. Metode ini lebih efisien dibandingkan metode in sacco dalam mengevaluasi efek tanin atau faktor antinutrisi lainnya. Metode in vitro gas tes dapat memonitor interaksi antara nutrisi dengan antinutrisi serta antinutrisi dengan antinutrisi. Teknik


(35)

12 ini mudah dan cepat untuk dilakukan serta dapat mengevaluasi sampel dalam jumlah yang banyak, tidak memerlukan peralatan canggih atau penggunaan sejumlah besar hewan namun sebaiknya satu atau dua hewan fistula yang diperlukan (Makkar, 2002).

Pada metode in vitro gas tes oleh Menke pada tahun 1979 fermentasi menggunakan syringe gas tes kapasitas 100 ml yang berisi sampel pakan dan larutan buffer rumen. Produksi gas dari inkubasi bahan kering 200 mg sampel pakan selama 24 jam. Aiple pada tahun 1996 membandingkan tiga metode laboratorium (enzimatik, nutrien, dan teknik pengukuran gas) untuk menduga net energi sebagai pembanding kecernaan dengan metode in vivo. Metode Menke ini dimodifikasi oleh Blümmel and Ørskov pada tahun 1993 dengan inkubasi menggunakan waterbath yang dilengkapi dengan rotor pada inkubatornya. Makkar pada tahun 1995 dan Blümmel pada tahun 1997 memodifikasi lebih lanjut mengenai jumlah sampel yang digunakan dari 200 mg menjadi 500 mg dan peningkatan larutan buffer rumen dua kali lipat sebagai indikasi peningkatan volume inkubasi dari 30 ml menjadi 40 ml. Pada inkubasi bahan pakan dengan menggunakan buffer rumen secara in vitro, karbohidrat akan terfermentasi menghasilkan asam lemak rantai pendek, gas dan bakteri. Produksi gas secara mendasar dihasilkan dari fermentasi karbohidrat menjadi asetat, propionat dan butirat. Produksi gas dari fermentasi protein lebih kecil dibandingkan fermentasi karbohidrat. Kontribusi lemak pada produksi gas dapat ditiadakan (Makkar, 2002).

Produksi gas yang dihasilkan menunjukkan terjadinya proses fermentasi bahan pakan oleh mikroba rumen, yaitu menghidrolisis karbohidrat menjadi monosakarida , disakarida dan polisakarida yang kemudian difermentasi lebih lanjut menjadi asam lemak terbang atau volatile fatty acid (VFA) terutama asam asetat, asam propionat dan asam butirat serta gas metan (CH4) dan karbondioksida (CO2) (McDonald et al., 2002).


(36)

13 Domba Fistula Sebagai Hewan Model

Fistula adalah suatu metode pembuatan lubang ke dalam rongga abdomen dengan melakukan tindakan operasi. Sumbat ditutupkan pada lubang yang telah jadi untuk menghindari kebocoran isi organ. Fistula yang sering dilakukan adalah fistula rumen. Fistula rumen biasanya dipakai dalam studi kecernaan ternak ruminansia. Ada dua metode fistula yang biasanya dikerjakan oleh para ahli, yaitu metode satu tingkat yang dikembangkan oleh Schalk dan Amadon pada tahun 1928 dan metode dua tingkat yang dikembangkan oleh Jarret pada tahun 1948. Peralatan yang dibutuhkan dalam fistulasi diantaranya peralatan bedah, obat penenang, hewannya (Preston, 1986). Suparjo (2002) menyatakan bahwa untuk menunjang pelaksanaan evaluasi pakan secara in vitro dan in sacco diperlukan ternak berfistula rumen.


(37)

14

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai Mei 2009 di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi dan laboratorium lapang B Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Materi yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain, 2 ekor domba berfistula, 9 jenis hijauan tropis dari Malaysia dalam bentuk tepung kering yang mewakili rumput (Pennisetum purpureum (Pp), Brachiaria decumbens (Bd), Ciperus kyllinga (Ck)), legum (Leucaena leucocephala (Ll)), hijauan pohon (Artocarpus heterophyllus (Ah) , Musa sapientum (Musa sp)), dan perdu (Dilenia suffruticosa (Ds), Melastoma malabathricum (Mm), Sapium baccatum (Sb)), nylon bag, seperangkat perlengkapan uji in vitro dengan menggunakan syringe gas test 100 ml, oven 105°C dan water bath.

Bahan yang dibutuhkan antara lain larutan makro dan mikro mineral, larutan buffer rumen, larutan resazurin dan larutan pereduksi.

Cairan Rumen

Cairan rumen yang dipergunakan diambil dari 2 ekor domba yang berfistula, dengan pakan yang dikonsumsi bergantian sesuai perlakuan yang diberikan dengan selang waktu perpindahan jenis ransum setiap 2 minggu. Ransum yang diberi mengandung konsentrat, rumput lapang, Calliandra callothyrsus (sumber tanin terkondensasi) dan Melastoma candidum (sumber tanin terhidrolisa). Air minum diberikan secara ad libitum.

Tabel 1. Hasil Analisis Sumber Tanin Terkondensasi dan Tanin Terhidrolisa (As fed)

Hijauan tropis

BK Abu PK1 SK1 LK2 NDF2 ADF2 Tanin3 GE2

% % Kal/g

Calliandra callothirsus 94,95 5,60 23,52 16,63 3,73 76,82 70,65 4,83 3276

Melastoma candidum 93,48 7,92 10,03 15,69 1,67 61,78 49,47 11,51 3026 Keterangan: 1Hasil analisis Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati, 2009

2Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB, 2009 3Hasil analisis Balai Penelitian Ternak Ciawi, 2009


(38)

15 Rancangan Percobaan

Perlakuan

Perlakuan pada penelitian ini adalah sembilan jenis hijauan tropis, tiga jenis sumber media cairan rumen dan dengan atau tanpa penambahan PEG. Sumber media cairan rumen yang diberikan mengandung tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisisa dengan perincian sebagai berikut:

B1 : Domba diberi pakan rumput dan konsentrat (kontrol)

B2 : Domba diberi pakan rumput + konsentrat + Calliandra callothyrsus (sumber tanin terkondensasi)

B3 : Domba diberi pakan rumput + konsentrat + Melastoma candidum (sumber tanin terhidrolisa).

Rumput yang diberikan sejumlah 1,5 kg dan konsentrat 500 gram perekor per hari, sedangkan Calliandra callothyrsus dan Melastoma candidum yang diberikan sebanyak 150 gram per ekor per hari.

Model Percobaan In Vitro

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini untuk percobaan in vitro dan total produksi gas adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan 3 faktor (Sudjana, 1980). Faktor A adalah 9 jenis hijauan tropis, faktor B adalah 3 media cairan rumen, dan faktor C dengan dan tanpa penambahan Polyethilene Glycol (PEG). Model matematika yang digunakan dalam analisa adalah:

Yijkl=µ + Ai + Bj + C +ABij + AC + BC + ABC + ε ijkl Keterangan:

Yijkl : Varibel respon

 : Efek rata-rata yang sebenarnya

Ai :Efek sebenarnya dari taraf ke i faktor A Bj :Efek sebenarnya dari taraf ke j faktor B Ck : Efek sebenarnya dari taraf ke k faktor C

ABij : Efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor A dengan taraf ke j faktor B


(39)

16 ACik : Efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor A dengan taraf ke k

faktor C

BCjk : Efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke j faktor B dengan taraf ke k faktor C

ABCijk : Efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor A dengan taraf ke j faktor B dan taraf ke k faktor C

ε ijkl : Efek sebenarnya dari unit eksperimen ke l dalam kombinasi perlakuan (ijk) Peubah yang diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah degradasi bahan kering (DBK).

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA), bila terdapat perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.

Model Percobaan In Sacco

Untuk percobaan in sacco menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial dengan 2 faktor (Sudjana, 1980). Faktor A adalah 9 jenis hijauan tropis yang digunakan dan faktor B adalah 3 media cairan rumen. Model matematika yang digunakan dalam analisa adalah:

�ijk=µ + Ai + Bj + ABij + ε k (ij) Keterangan:

Yijkl : Varibel respon

 : Efek rata-rata yang sebenarnya

Ai : Efek sebenarnya dari taraf ke i faktor A Bj : Efek sebenarnya dari taraf ke j faktor B

ABij : Efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor A dengan taraf ke j faktor B

ε ijk : Efek sebenarnya dari unit eksperimen ke k dalam kombinasi perlakuan (ij)


(40)

17 Peubah yang diamati

Peubah yang diamati pada penelitian ini adalah degradasi bahan kering (DBK).

Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA), bila terdapat perbedaan nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan.

Prosedur Persiapan Bahan Hijauan Tropis

Hijauan tropis yang digunakan pada penelitian berasal dari Malaysia, kemudian dikeringkan hingga kadar air ±10% selanjutnya digiling halus dengan menggunakan blender dan disaring dengan diameter ± 1 mm.

Persiapan Larutan

Sebanyak 0,1 ml larutan mikro dicampur dengan 200 ml larutan buffer rumen dan 200 ml larutan makro, kemudian ditambahkan 0,1 ml larutan resazurin 0,1% dan 40 ml larutan pereduksi. Larutan tersebut dicampur menjelang digunakan dan dijaga pada temperatur 39oC.

Persiapan Domba Fistula

Domba tipe lokal dengan bobot badan rata-rata 27 kg dipakai sebagai donor cairan rumen. Pembuatan domba fistula dilakukan oleh tim dari Rumah Sakit Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Setelah selesai dioperasi, domba dikondisikan hingga sembuh, dengan waktu tenggang selama ± 1 minggu bersamaan dengan masa adaptasi pakan.

In vitro dan Total produksi Gas(Baba et al., 2002)

Sebelum mengambil cairan rumen pada domba berfistula, termos yang berisi air panas sehingga mencapai suhu 39oC disediakan dan setelah cairan rumen diambil, air panas dikeluarkan dari termos, kemudian cairan rumen dimasukkan dan diisi gas CO2, hal ini bertujuan menjaga agar kondisi tetap anaerob.


(41)

18 Tahap fermentasi dimulai dengan mempersiapkan sampel hijauan tropis sebanyak 500 mg, ada yang ditambahan PEG dan ada yang tanpa PEG. Sampel dimasukkan ke dalam syringe gas test 100 ml. Piston syringe yang akan dimasukkan ke syringe, sebelumnya diberi vaselin agar tabung fermentasi yang telah berisi sampel dan larutan media tidak terkontaminasi oleh udara dari luar. Larutan media yang telah diaduk dan dialiri gas CO2 ditempatkan dalam water bath yang telah dilengkapi pengontrol suhu. Suhu pada water bath dipertahankan pada angka 39oC. Cairan rumen sebagai sumber inokulum disaring dan dicampur dengan larutan media. Sebanyak 40 ml campuran rumen + larutan media dimasukkan ke dalam masing-masing syringe menggunakan dispenser. Perbandingan larutan media dan cairan rumen yaitu 2 : 1. Udara yang masih terdapat dalam syringe dikeluarkan dan klep syringe ditutup. Syringe gas test diinkubasi dalam water bath selama 24 jam. Untuk pengamatan total produksi gas dilakukan pencatatan posisi piston pada jam ke 1, 2, 4, 6, 8, 12 dan 24. Setiap sampel dilakukan 3 kali ulangan dengan atau tanpa PEG. Produksi gas dihitung berdasarkan rumus berikut:

Produksi gas total (ml/500 mg)

= 0,5/BK sampel x (v24-v0)-v0/ rata-rata v0 blank x rata-rata produksi gas blank

Keterangan: V24 : Volume gas setelah jam ke 24 V0 : Volume gas pada jam ke 0

BK : Berat kering

Degradasi bahan kering secara in vitro dihitung setelah fermentasi 24 jam. Sampel disaring dengan kantong nilon yang telah diketahui beratnya dan dipisahkan dari filtratnya. Residu sampel yang dipindahkan ke kantong nilon, kemudian dicuci di air yang mengalir sampai jernih. Setelah itu, dikeringkan di oven 1050C. Hasil kering oven ditimbang untuk mendapatkan data degradasi bahan kering. Rumus perhitungan DBK secara in vitro dapat dilihat sebagai berikut:

DBK = BK sampel – BK sampel setelah oven 105⁰C x 100% BK sampel


(42)

19 In sacco (Ørskov et al., 1980)

Laju degradasi bahan kering di dalam rumen, selain dilakukan analisis secara in vitro juga dilakukan analisis secara in sacco dengan menggunakan kantong nilon. Sampel sembilan jenis hijauan tropis ditimbang sebanyak 2500 mg kemudian dimasukkan ke kantong nilon. Sampel di kantong nilon dimasukkan pada domba fistula dan diinkubasi selama 24 jam, setelah proses inkubasi selesai sampel dikeluarkan dan dicuci dibawah air yang mengalir, kemudian sampel dikering dalam oven dengan suhu 105 oC dan ditimbang.

Sembilan jenis sampel hijauan tropis yang telah diinkubasi di dalam rumen selama 24 jam agar terjadi degradasi pakan oleh bakteri rumen dihitung dengan rumus:

DBK = BK sampel – BK sampel setelah oven 105⁰C x 100% BK sampel


(43)

20

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Hijauan Tropis

Hasil analisis proksimat, Van Soest, dan tanin hijauan tropis yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Calliandra callothyrsus dan Melastoma candidum merupakan hijauan tropis yang digunakan sebagai perlakuan pada media cairan rumen, dan jenis hijauan lainnya adalah bahan pakan hijauan yang digunakan pada percobaan in vitro dan in sacco. Kandungan tanin yang dimiliki pada berbagai hijauan tersebut bervariasi. Umiyasih (2007) melaporkan bahwa kualitas suatu bahan pakan ditentukan oleh kandungan zat nutrien atau komposisi kimianya, serta tinggi rendahnya zat antinutrisi yang terkandung di dalamnya.

Tabel 2. Hasil Analisis Proksimat, Van Soest, dan Tanin (% BK)

Hijauan tropis BK Abu PK

1

SK1 LK2 NDF2 ADF2 Tanin3 GE2

% %BK Kal/g

P. purpureum 18,66 7,72 11,66 26,40 3,08 73,76 59,29 0,40 3439

B. decumbens 19,36 5,15 5,49 31,22 2,47 77,84 65,62 0,12 3392

C. kyllinga 16,20 4,85 10,58 25,96 3,74 77,99 64,28 0,39 3336

L. leucocephala 33,42 6,58 23,69 15,11 6,45 69,50 57,78 0,67 3387

A. heterophyllus 39,25 8,02 15,08 19,64 3,54 70,17 58,02 0,40 3368

M. sepientum 24,80 11,43 17,07 19,54 6,73 70,33 52,52 0,04 3205

D. suffruticosa 35,24 8,13 9,44 19,05 1,72 73,48 64,53 4,81 3353

M. malabathricum 36,52 7,59 9,06 22,87 1,80 77,11 63,33 2,17 3097

S. baccatum 38,04 5,44 9,85 17,73 6,93 65,20 45,71 3,58 3206 Keterangan: 1Hasil analisis Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati, 2009

2Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan IPB, 2009 3Hasil analisis Balai Penelitian Ternak Ciawi, 2009

Hasil evaluasi 9 jenis hijauan bahan pakan secara kimiawi menunjukkan bahwa kandungan protein terendah pada hijauan Brachiaria decumbens dan tertinggi pada hijauan Leucaena leucocephala. Kandungan serat kasar terendah pada hijauan Leucaena leucocephala dan tertinggi pada hijauan Brachiaria decumbens. Pakan yang mengandung ADF/NDF tinggi akan mengalami kecernaan yang rendah dibandingkan yang mengandung ADF/NDF rendah. Sapium baccatum memiliki kandungan ADF/NDF yang rendah dan Ciperus kyllinga memiliki kandungan ADF/NDF tertinggi.


(44)

21 Dari sembilan jenis hijauan pakan yang diuji, kandungan tanin terendah terdapat pada hijauan Musa sapientum dan tertinggi pada hijauan Dilenia suffruticosa.

Percobaan In Vitro Produksi Gas Total

Gas test adalah sebuah metode uji alternatif yang dapat dipilih untuk mengukur kecernaan pada hewan ruminansia dengan hasil relatif lebih cepat serta tidak memerlukan hewan percobaan. Prinsip dasar dari metode gas test merupakan pengembangan dari in vitro. Metode ini mencoba menyempurnakan sistem kerja dari metode in vitro sebelumnya, dengan mengukur volume gas yang dihasilkan sebagai parameter untuk menilai kecernaan. Kelebihan metode ini selain dapat menghitung kecernaan bahan, juga dapat digunakan untuk menentukan besarnya energi termetabolis (EM) serta dapat pula untuk menghitung produksi asam lemak atsiri (volatile) atau VFA yang merupakan asam lemak penentu produksi dan kualitas susu dan daging (Sofyan dan Jayanegara, 2008).

Kelebihan lain dari metode gas test ini adalah dapat mengetahui aktivitas zat antinutrisi yang merupakan zat yang dapat menghambat proses pencernaan bahan pakan, seperti halnya pengujian pakan hijauan dari legum (kacang-kacangan) yang memiliki kadar tanin yang relatif tinggi. Dalam proses pencernaan, tanin menghambat proses penguraian bahan-bahan yang mengandung protein tinggi. Penambahan PEG (polyethylene glycol) sebagai zat yang dapat mengikat tanin, diharapkan dapat meningkatkan pola degradasi bahan kering (DBK). Cone et al. (1997) melaporkan bahwa level tertinggi produksi gas terjadi pada 2 jam pertama proses inkubasi yang disebabkan oleh kecepatan fraksi fermentasi dari bahan pakan (protein larut dan glukosa).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa hijauan tropis, media cairan rumen, dan penambahan PEG berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total produksi gas (Tabel 3). Produksi gas tertinggi diperoleh pada jenis hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) dan yang terendah pada hijauan Musa sapientum. Media cairan rumen yang telah terpapar tanin tehidrolisa menghasilkan total produksi gas yang tertinggi. Penambahan PEG juga mampu meningkatkan total produksi gas untuk semua sampel hijauan tropis yang difermentasi selama 24 jam.


(45)

22

Tabel 3. Hasil Total Produksi Gas

Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum

- superskrip huruf kapital XYZ pada baris yang sama menunjukkan hubungan antar perlakuan yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01).

-superskrip huruf kapital PQR pada kolom yang sama merupakan hubungan antar jenis hijauan tropis yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01).

-superskrip huruf kapital MN pada baris yang sama merupakan hubungan tanpa dan dengan PEG yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01).

-superskrip huruf kapital ABC pada baris/kolom yang sama merupakan hubungan interaksi antara Perlakuan dengan jenis hijauan tropis yang berbeda berbeda sangat nyata (P<0,01).


(46)

23 Ada interaksi antara jenis hijauan dengan media rumen yang berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap total produksi gas (Gambar 15). Produksi gas tertinggi diperoleh pada jenis hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) pada media cairan rumen yang terpapar tanin tehidolisa. Hal ini berarti media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisa mampu meningkatkan persentase DBK Artocarpus heterophylus (Ah) yang tercermin dari tingginya produksi gas total. Media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisa mampu menghasilkan produksi gas yang lebih tinggi karena sifat tanin ini mudah terhidrolisis dan mempunyai ikatan molekul yang tidak sekuat tanin terkondensasi. Ada 6 jenis hijauan dengan pola produksi gas yang lebih tinggi pada media B3 dibanding media kontrol dan B2 yaitu Dilenia suffruticosa, Melastoma malabathricum, Sapium baccatum, Ciperus kyllinga, Pennisetum purpureum dan Artocarpus heterophyllus. Sebaliknya pada media cairan rumen yang mengandung tanin terkondensasi tidak menghasilkan produksi gas yang lebih tinggi dibandingkan dengan media cairan rumen yang mengandung tanin terhidrolisis, ini diduga karena salah satu sifat tanin terkondensasi mempunyai ikatan yang cukup kuat dengan senyawa yang diikat dan tidak mudah larut.

Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum

Gambar 15. Grafik Efek Media Cairan Rumen terhadap Total Produksi Gas

0 10 20 30 40 50 60 70 80

To

tal

G

as

Jenis Hijauan Tropis

B1

B2


(47)

24 Tiemann et al. (2007) melaporkan bahwa Brachiaria decumbens tanpa penambahan tannin terkondensasi yang diinkubasi selama 24 jam menghasilkan gas 21,8 ml, Calliandra calothyrsus dengan penambahan tanin 25 mg/g DM menghasilkan gas 27,7 ml, sedangkan Leucaena leucocephala dengan penambahan tanin 25 mg/g DM menghasilkan gas 24,8 ml.

Gambar 16. Grafik Pengaruh Penambahan PEG terhadap Total Produksi Gas

PEG merupakan suatu zat yang sengaja ditambahkan untuk menekan aktivitas tanin. Indikasi tanin dapat menghambat kecernaan dapat dilihat dari penurunan produksi gas jika bahan pakan tidak ditambahkan PEG. Ada interaksi antara jenis hijauan dengan pemberian dan tanpa PEG (Gambar 16). Total produksi gas tertinggi terdapat pada jenis hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) yang diberikan penambahan PEG. Ini membuktikan bahwa penambahan PEG pada proses fermentasi pakan yang mengandung tanin dapat menekan aktivitas tanin sehingga meningkatkan produksi gas yang menjadi indikator terjadinya proses fermentasi pakan oleh mikroba dengan cukup baik. Ini sejalan dengan Tiemann et al. (2007) menyatakan bahwa penambahan level PEG meningkatkan produksi gas pada Calliandra calothyrsus dan F. macrophylla.

0 10 20 30 40 50 60 70

To

tal

Gas

Jenis Hijauan Tropis

PEG


(48)

25 Pengukuran Degradasi Bahan Kering (DBK)

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa hijauan tropis, media cairan rumen dan penambahan PEG berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhdap persen DBK (Tabel 4). Artocarpus heterophylus (Ah) mempunyai DBK tertinggi, dan persentase DBK terendah yaitu jenis hijauan D. suffruticosa (Ds). Media cairan rumen kontrol (B1) memiliki persen DBK tertinggi yang diikuti oleh media cairan rumen yang terpapa tanin terhidolisa dan media caian rumen yang terpapar tanin tekondensasi. Penambahan PEG juga dapat meningkatkan DBK.

Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol

B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum

Gambar 17. Grafik Efek Media Cairan Rumen pada Percobaan dengan DBK 9 Jenis Hijauan Tropis Secara In Vitro

Interaksi antara media cairan rumen dengan sembilan jenis hijauan tropis (faktor A dan B) berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase DBK (Gambar 17). Persentase DBK tertinggi terjadi pada hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) di dalam media cairan rumen B3 dan persen DBK terendah terjadi pada hijauan Dillenia suffruticosa (Ds) pada media cairan rumen kontrol. Ini menggambarkan bahwa hijauan tropis yang mengandung sedikit tanin mampu menghasilkan persen DBK yang tinggi jika berada pada media cairan rumen yang telah terpapar tanin terhidrolisa (B3).

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00

P.p Musa sp

B.d C.k L.l S.b M.mal D.s A.h


(49)

26

Tabel 4. Degradasi Bahan Kering pada Percobaan secara In Vitro

Keterangan: B1 = Perlakuan Kontrol B2= Perlakuan Kontrol + Calliandra callothirsus B3= Perlakuan Kontrol + Melastoma candidum - superskrip huruf kapital MN pada baris yang sama merupakan hubungan antar perlakuan yang berbeda sangat nyata (P<0,01).

-superskrip huruf kapital PQR pada kolom yang sama merupakan hubungan antar jenis hijauan tropis yang berbeda sangat nyata (P<0,01).

-superskrip huruf kapital XY pada baris yang sama merupakan hubungan tanpa dan dengan PEG (P<0,01) yang berbeda sangat nyata(P<0,01).

-superskrip huruf kapital ABC pada baris/kolom yang sama merupakan hubungan interaksi antara Perlakuan dengan jenis hijauan tropis yang berbeda sangat nyata (P<0,01).


(50)

27 Hal ini disebabkan oleh kandungan tanin yang dimiliki oleh setiap jenis hijauan berbeda serta pengaruh dari kandungan serat kasar masing-masing hijauan tropis.

Gambar 18. Grafik Pengaruh Penambahan PEG pada Percobaan secara In Vitro

Interaksi antara penambahan PEG terhadap 9 jenis hijauan tropis berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap persen DBK (Gambar 18). Persen DBK tertinggi pada hijauan Artocarpus heterophylus (Ah) yang ditambah PEG dan persen DBK terendah pada hijauan Dillenia suffruticosa (Ds) yang diberi penambahan PEG yang diperlihatkan pada Gambar 4. Ini membuktikan bahwa penambahan PEG mampu meningkatkan persen DBK hijauan tropis. Tiemann et al. (2007) mengatakan bahwa suplementasi PEG cukup berpengaruh dalam pengikatan tanin terkondensasi. Nunez-Hernandez et al. (1991)melaporkan bahwa efek tanin terkondensasi pada Mountain mahogany dapat ditekan dengan penggunaan PEG.

Perbedaan kandungan tanin yang dimiliki oleh setiap jenis hijauan serta pengaruh dari kandungan serat kasar masing-masing hijauan tropis akan mempengaruhi persen DBK. Menurut Makkar et al. (1995), tanin yang rendah dapat berpotensi dalam peningkatan fermentasi rumen dan memaksimalkan sintesis protein mikroba. Pada penelitian ini A. heterophylus mengandung protein kasar 15,08% dan kadar tanin 0,40%. Pernyataan ini didukung oleh Wiryawan et al. (2000) yang melaporkan bahwa perbedaan sumber protein dan peningkatan kadar tanin sangat

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00

P.p Musa sp

B.d C.k L.l S.b M.mal D.s A.h


(51)

28 nyata berpengaruh terhadap kecernaan bahan kering dan terlihat adanya interaksi antara tanin dengan sumber protein.

Korelasi antara total produksi gas dengan degradasi bahan kering (DBK) secara in vitro dapat dilihat pada Gambar 19. Nilai koefisien korelasi antara total produksi gas dengan DBK in vitro yaitu 0,89. Ini berarti bahwa terdapat hubungan secara linear antara total produksi gas dengan degradasi bahan kering secara in vitro.

Gambar 19. Korelasi antara Total Produksi Gas dengan Degradasi Bahan Kering secara In Vitro

y = 0.895x - 0.647 R² = 0.713

0 10 20 30 40 50 60 70

0 10 20 30 40 50 60 70

DB

K

I

n

V

itr

o


(1)

43

Lampiran 9. Uji lanjut Duncan Percobaan Total Gas untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) dengan Faktor 3

(Penambahan PEG)

Perlakuan

N

SUPERSKRIP

J

I

H

G

F

E

D

C

B

A

Dilenia suffruticosa

_nonPEG

9

24,750

Musa sapientum

_PEG

9

28,733 28,733

Musa sapientum

_nonPEG

9

29,372 29,372 29,372

Ciperus kyllinga

_nonPEG

9

32,134 32,134 32,134 32,134

Melastoma malabathricum

_nonPEG

9

33,023 33,023 33,023

Ciperus kyllinga

_PEG

9

36,722 36,722 36,722

Dilenia suffruticosa

_PEG

9

37,614 37,614 37,614

Sapium baccatum

_nonPEG

9

39,777 39,777 39,777

Melastoma malabathricum

_PEG

8

39,929 39,929 39,929

Leucaena leucocephala

_nonPEG

9

41,366 41,366

41,366

Brachiaria decumbens

_nonPEG

9

41,613 41,613

41,613

Brachiaria decumbens

_PEG

8

44,738

44,738

Leucaena leucocephala

_PEG

9

45,460

45,460

45,460

Sapium baccatum

_PEG

9

47,948

47,948

Pennisetum purpureum

_nonPEG

9

52,566 52,566

Pennisetum purpureum

_PEG

9

57,560 57,560

Artocarpus heterophillus

_nonPEG

8

59,239 59,239


(2)

44

Lampiran 10. Uji lanjut Duncan Percobaan

In Vitro

untuk Faktor 1 (Jenis

Hijauan Tropis)

Perlakuan N SUPERSKRIP

F E D C B A

Dilenia suffruticosa 18 23,749

Ciperus kyllinga 18 25,349 25,349 Melastoma malabathricum 16 26,931

Musa sapientum 18 31,888

Brachiaria decumbens 18 33,569

Pennisetum purpureum 18 41,360

Sapium baccatum 18 46,130

Leucaena leucocephala 18 46,293

Artocarpus heterophillus

17 57,552

Lampiran 11. Uji lanjut Duncan Percobaan

In Vitro

untuk Faktor 2 (Media

Cairan Rumen)

Perlakuan N SUPERSKRIP

B A

B2 53 35,6358 35,6358

B3 54 36,8533 36,8533

B1 52 38,4731

Lampiran 12. Uji lanjut Duncan Percobaan

In Vitro

untuk Faktor 3

(Penambahan PEG)

Perlakuan N

SUPERSKRIP

B A

Non_PEG 80 35.6905


(3)

45

Lampiran 13. Uji lanjut Duncan Percobaan

In Vitro

untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) dengan Faktor 2 (Media

Cairan Rumen)

Perlakuan N SUPERSKRIP

J I H G F E D C B A

Dilenia suffruticosa_B1 6 20,977

Melastoma malabathricum_B2 5 22,896 22,896 Ciperus kyllinga_B2 6 24,007 24,007 Melastoma malabathricum_B1 5 24,128 24,128 Musa sapientum_B3 6 24,200 24,200 Dilenia suffruticosa_B3 6 24,455 24,455 Ciperus kyllinga_B1 6 24,467 24,467

Dilenia suffruticosa_B2 6 25,815 25,815 25,815

Ciperus kyllinga_B3 6 27,575 27,575 27,575

Brachiaria decumbens_B3 6 31,647 31,647 31,647

Brachiaria decumbens_B2 6 31,893 31,893

Melastoma malabathricum_B3 6 32,628 32,628 32,628

Musa sapientum_B2 6 34,417 34,417

Pennisetum purpureum_B2 6 36,422 36,422

Musa sapientum_B1 6 37,048 37,048

Brachiaria decumbens_B1 6 37,167 37,167

Sapium baccatum_B2 6 37,717 37,717 37,717

Pennisetum purpureum_B3 6 38,975 38,975

Leucaena leucocephala_B3 6 43,358 43,358

Leucaena leucocephala_B1 6 47,395 47,395

Leucaena leucocephala_B2 6 48,127 48,127

Pennisetum purpureum_B1 6 48,683 48,683

Sapium baccatum_B1 6 49,587

Sapium baccatum_B3 6 51,087

Artocarpus heterophillus_B2 6 57,307

Artocarpus heterophillus_B1 5 57,604


(4)

46

Lampiran 14. Uji lanjut Duncan Percobaan

In Vitro

untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan tropis) dengan Faktor 3

(Penambahan PEG)

Perlakuan N SUPERSKRIP

G F E D C B A

Dilenia suffruticosa _PEG 9 21,831

Ciperus kyllinga _nonPEG 9 24,19 Melastoma malabathricum_nonPEG 9 24,302

Dilenia suffruticosa _nonPEG 9 25,667 25,667

Ciperus kyllinga _PEG 9 26,509 26,509 26,509

Melastoma malabathricum _PEG 7 30,310 30,310 30,310

Musa sapientum _nonPEG 9 31,777 31,777

Musa sapientum _PEG 9 32,000 32,000

Brachiaria decumbens _nonPEG 9 32,737

Brachiaria decumbens _PEG 9 34,401

Pennisetum purpureum _nonPEG 9 40,488

Pennisetum purpureum _PEG 9 42,232

Sapium baccatum _nonPEG 9 42,724

Leucaena leucocephala _PEG 9 46,176 46,176

Leucaena leucocephala _nonPEG 9 46,411 46,411

Sapium baccatum _PEG 9 49,536

Artocarpus heterophillus _nonPEG 8 55,073


(5)

47

Lampiran 15. Uji lanjut Duncan Percobaan

In Sacco

untuk Faktor1 (Jenis

Hijauan Tropis)

Perlakuan

N

SUPERSKRIP

F

E

D

C

B

A

Ciperus kyllinga

5

24,7400

Dilenia suffruticosa

6

25,2880 25,2880

Musa sapientum

6

28,5550 28,5550

Brachiaria decumbens

6

29,1450 29,1450

Melastoma malabathricum

6

30,2030

Pennisetum purpureum

6

35,7670

Leucaena leucocephala

6

42,8320

Sapium baccatum

6

47,9880

Artocarpus heterophillus

6

55,7500

Lampiran 16. Uji lanjut Duncan Percobaan

In Sacco

untuk Faktor 2 (Media

Cairan Rumen)

Perlakuan N

SUPERSKRIP

C B A

B2 18 31.6050

B1 18 35.8620


(6)

48

Lampiran 17. Uji lanjut Duncan Percobaan

In Sacco

untuk Interaksi Faktor 1 (Jenis Hijauan Tropis) dengan Faktor 2

(Media Cairan Rumen)

Perlakuan N SUPERSKRIP

J I H G F E D C B A

Ciperus kyllinga_B2 2 20.7500 Dilenia suffruticosa_B2 2 21.6800

Melastoma malabathricum_B2 2 23.8550 23.8550 Dilenia suffruticosa_B1 2 24.4100 24.4100 Ciperus kyllinga_B1 2 24.5000 24.5000 Brachiaria decumbens_B2 2 24.8350 24.8350

Musa sapientum_B2 2 25.2750 25.2750 25.2750 Musa sapientum_B3 2 26.9200 26.9200 26.9200 Melastoma malabathricum_B1 2 27.5150 27.5150 27.5150 Brachiaria decumbens_B3 2 27.8750 27.8750 27.8750

Dilenia suffruticosa_B3 2 29.7750 29.7750 29.7750 29.7750 Pennisetum purpureum_B2 2 30.3300 30.3300 30.3300 30.3300

Ciperus kyllinga_B3 1 33.2000 33.2000 33.2000 33.2000 Musa sapientum_B1 2 33.4700 33.4700 33.4700 33.4700

Brachiaria decumbens_B1 2 34.7250 34.7250 34.7250 34.7250

Pennisetum purpureum_B3 2 37.7500 37.7500 37.7500 37.7500

Pennisetum purpureum_B1 2 39.2200 39.2200 39.2200 39.2200 39.2200 Melastoma malabathricum_B3 2 39.2400 39.2400 39.2400 39.2400 39.2400

Sapium baccatum_B1 2 39.2550 39.2550 39.2550 39.2550 39.2550

Leucaena leucocephala_B2 2 42.3600 42.3600 42.3600 42.3600

Leucaena leucocephala_B3 2 42.6050 42.6050 42.6050 42.6050

Leucaena leucocephala_B1 2 43.5300 43.5300 43.5300

Artocarpus heterophillus_B2 2 47.1350 47.1350

Sapium baccatum_B2 2 48.2250 48.2250

Artocarpus heterophillus_B1 2 56.1300 56.1300

Sapium baccatum_B3 2 56.4850 56.4850