Efisiensi Sistem Irigasi Pipa Untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air Dalam Pengelolaan Air Irigasi

EFISIENSI SISTEM IRIGASI PIPA UNTUK
MENGIDENTIFIKASI TINGKAT KELAYAKAN PEMBERIAN
AIR DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI

AFRI FAJAR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efisiensi Sistem Irigasi
Pipa untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air Dalam
Pengelolaan Air Irigasi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Afri Fajar
NRP A155140021

RINGKASAN
AFRI FAJAR. Efisiensi Sistem Irigasi Pipa Untuk Mengidentifikasi Tingkat
Kelayakan Pemberian Air dalam Pengelolaan Air Irigasi. Dibimbing oleh Moh
Yanuar J Purwanto dan Suria Darma Tarigan.
Sumber kehilangan air irigasi yang umum terjadi pada suatu areal
pertanian selama pemberian air adalah aliran permukaan dan perkolasi yang
keluar dari daerah perakaran. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
menemukan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk
menghindari kehilangan air yang tidak perlu dan mengurangi jumlah air yang
harus disediakan untuk sektor pertanian. Irigasi pipa yang memiliki efisiensi
mencapai 98% karena dapat mengontrol pemakaian air sesuai kebutuhan dan tidak
ada terjadi rembesan selama penyaluran air. Jarak inlet petak sawah juga harus
diperhatikan selain faktor teknologi irigasi. Jarak inlet petak sawah berpengaruh

terhadap penyebaran air dalam suatu petakan sawah karena terkait dengan
efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi air (Ed). Irigasi pipa dan jarak inlet
petak sawah dapat dijadikan solusi dalam peningkatan efisiensi irigasi karena
penggunaan pipa sebagai media penyalur air irigasi dapat dikontrol dan pada
akhirnya akan berdampak pada produksi pangan yang meningkat.
Penelitian ini dilakukan di Kebun Percobaan IPB Desa Cikarawang
Kabupaten Bogor, Laboratorium Fisika Tanah IPB dan Laboratorium Sumberdaya
Tanah Terpadu BBLSLP Bogor. Tujuan dari penelitian ini yaitu 1) Mengkaji
aplikasi irigasi perpipaan pada petak sawah berdasarkan efisiensi aplikasi (Ea) dan
efisiensi distribusi (Ed); 2) Menganalisis indeks kelayakan pemberian air
berdasarkan nilai efisiensi aplikasi (Ea) dengan teknologi irigasi pipa; serta 3)
Menganalisis tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan jarak inlet petak sawah
dalam pengelolaan sumberdaya air. Metode yang digunakan pada penelitian ini
yaitu metode deskriptif yang mengumpulkan data primer dan data sekunder.
Selanjutnya pembuatan petak percoban yang telah dipasang irigasi pipa.
Pemberian air pada petak System Rice of Intensification (SRI) dan petak
konvensional air diberikan setinggi 2 cm secara terus menerus hingga fase
vegetatif sampai fase pematangan. Pengambilan sampel tanah secara diagonal dari
pematang sawah, kemudian dihitung tingkat efisiensi (Ea) dan efisiensi distribusi
(Ed) pada masing-masing petak percobaan, selanjutnya perhitungan tingkat

kelayakan pemberian air serta jarak inlet yang ideal pada petak sawah.
Penelitian ini menunjukkan nilai Ed di atas 90% pada perlakuan
pemberian air konvensional dan SRI. Hal ini menjelaskan distribusi air pada
teknologi irigasi pipa merata keseluruh areal tanam. Nilai Ea yang diperoleh pada
petak percobaan berkisar antara 76% – 98%. Perlakuan pemberian air
konvensional nilai Ea lebih rendah dibandingkan dengan SRI. Hal ini dikarenakan
air pada sawah konvensional terjadi perkolasi dalam sehingga air keluar dari zona
perakaran dan terjadinya aliran permukaan yang menyebabkan penurunan
efisiensi.
Hasil simulasi jarak inlet petak sawah menunjukkan bahwa Ea yang baik
(≥ 90%) didapat pada jarak 30 m dengan sistem pemberian air secara SRI. Jarak
inlet petak sawah dengan panjang 100 m tidak disarankan karena membutuhkan
air yang lebih banyak yaitu 133.33 l d-1. Penggunaan air akan lebih hemat 10.25%

untuk mencapai jarak 100 m jika jarak inlet dibagi tiga dengan masing-masing
jarak 30 m dan air yang dibutuhkan hanya 108.53 l d-1.
Tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan nilai Ea diperoleh dari
tingkat pola pemberian air irigasi pada sawah konvensional fase vegetatif kritis
pada jarak 170 m, sedang fase generatif pada jarak 75 m menjadi kritis dan pada
jarak 178 m menjadi sangat kritis Petak sawah SRI menunjukkan nilai kelayakan

pemberian air fase vegetatif mendekati kritis pada jarak 170 m, sedangkan fase
generatif telah kritis pada jarak 150 m.
Kata kunci: Irigasi Pipa, Efisiensi Aplikasi, Efisiensi Distribusi, SRI, Jarak Inlet
Petak Sawah, dan Tingkat Kelayakan Pemberian Air

SUMMARY
AFRI FAJAR. Efficiency of Pipe Irrigation System to Identify the Feasibility of
Water Suply in Water Irrigation Management. Supervised By MOH YANUAR J
PURWANTO and SURIA DARMA TARIGAN.
Source of irrigation water loss that commonly occurs in an agricultural
area for the water supply is runoff and percolation out of the root zone. Various
studies have been conducted to find technologies that can improve the efficiency
of water use to avoid unnecessary water loss and reduce the amount of water that
must be provided to agriculture. Pipe irrigation which have reached 98%
efficiency because it can control the use of water as needed and there is no
seepage for water supply. Paddy fields inlet distance should also be considered
factors other than irrigation technology. Paddy fields inlet distance affect the
spread of water in a mapped fields as they relate to application efficiency (Ea) and
distribution efficiency (Ed). Pipe irrigation and paddy fields inlet distances can be
used as a solution to increase the efficiency of irrigation because Pipe irrigation

can control the water and food production increases.
This research was conducted at the Cikarawang Bogor, IPB Soil Physics
Laboratory and Integrated Land Resource Laboratory BBLSLP Bogor. The
purpose of this research are 1) Studying the application of pipe irrigation in paddy
fields based on application efficiency (Ea) and distribution efficiency (Ed); 2) To
analyze the feasibility of providing an index based on the value of water
application efficiency (Ea) with pipe irrigation technology; and 3) To analyze the
feasibility of providing the level of water based on the paddy fields distance inlet
in water resources management. The method used in this research is descriptive
method that collect primary data and secondary data. Furthermore, the experiment
plots Manufacturer pipe irrigation have been installed. Water supply in plots using
the System of Rice Intensification (SRI) conventional where plot is given water as
high as 2 cm continuously vegetative phase to maturation phase. Soil sampling
diagonally from the paddy fields, and then calculated the level of application
efficiency (Ea) and distribution efficiency (Ed) in each experimental plot, and
then calculating the level of the water as well as the feasibility of providing the
ideal distance to the inlet fields.
This study shows the value Ed is above 90% in the conventional system
and SRI. This explains the distribution of water in pipe irrigation technology
evenly throughout the planting area. Ea value obtained in experimental plots

ranged between 76% - 98%. Ea value in the conventional lower than the SRI. This
is because in the conventional plots percolation occurs and the water comes out of
the root zone and runoff causes a decrease in efficiency.
The simulation results within the inlet paddy fields showed that Ea was
good (≥ 90%) obtained at a distance of 30 m with a water supply system in SRI.
Rice fields inlet distance with a length of 100 m is not recommended because it
requires more water is 133.33 l s-1. Water use will be more efficient 10.25% to
reach a distance of 100 m if the distance inlets divided by three with each distance
of 30 m and the water needed only 108.53 l d-1.

The feasibility of the water supply based on value obtained from the level
Ea feeding patterns of irrigation water in the conventional paddy critical
vegetative stage at a distance of 170 m, while the generative phase, at a distance
of 75 m becomes critical and at a distance of 178 m to be very critical. SRI paddy
fields indicates the value of the vegetative phase feasibility of providing water
approaching at a distance of 170 m critical, while the generative phase has been
critical at a distance of 150 m.
Keywords: Pipe Irrigation, Application Efficiency, Distribution Efficiency, SRI,
Paddy Field Inlet, and Water Level Suply


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususnan laporan, penuliasan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

EFISIENSI SISTEM IRIGASI PIPA UNTUK
MENGIDENTIFIKASI TINGKAT KELAYAKAN PEMBERIAN
AIR DALAM PENGELOLAAN AIR IRIGASI

AFRI FAJAR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Thesis: Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc

PRAKATA
Puji dan syukur penulit panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat pada
penelitian ini ialah efisiensi air dan kehilangan air dengan judul Efisiensi Irigasi
Pipa untuk Mengidentifikasi Tingkat Kelayakan Pemberian Air dalam
Pengelolaan Air Irigasi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Moh Yanuar J
Purwanto, MS dan Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan, M.Sc selaku pembimbing
yang telah memberikan ilmu serta masukan dalam penulisan tesis ini. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh civitas akademika Fakultas
Pertanian khususnya Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS yang telah membantu

penulis dalam penyusunan tulisan ini dan tak lupa pula penulis ucapkan kepada
Kementrian Keuangan RI (LPDP) yang telah membiayai penelitian ini.
Terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada Ibunda Cut Farida
Hamun dan Akhyar Ibrahim yang telah
Penghormatan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang tulus penulis
sampaikan kepada Ibunda Cut Farida Hanum, Amd dan ayahanda Ir. Akhyar
Ibrahim, ME yang telah mencurahkan doa dan kasih sayang sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada abangabang dan kakak penulis Afri Yordan, MM, Alm. Afri Syafrizal, Afri
Fitrayansyah, ST, MT, Afri Rizki, S.S, Zeka Janardiani, SE dan kepada seluruh
keluarga yang selalu memberikan dukungan. Kepada sahabat-sahabat terbaik
penulis Muhammad Nazar, Ali Akbar, Arief Fadillah, Hakiki Muliadi, Isra
Febriyanti, Rama Fitri Ayu, Lupita Keumalasari, Raisa Laura, Nuraida, Mariana
Lussia Resubun, Najla Anwar Fuadi Muthmainna Marassabesi, Novia Mustika,
Sri Malahayati Yusuf, Rini Fitri, Indri Febriani, Hermawan Kurnia, Mirza Azmi
Husin, Defri Satya Zuma, Khabibi Nurrofi’ P, Sarif Robo, Haki Yusdinar, Bos
Ariadi, Purwana Satriyo dan teman-teman di Forum DAS lainnya yang tidak
dapat disebutkan satu per satu terima kasih atas motivasi, bantuan dan
persahabatan yang tulus saat ini. Terima kasih juga disampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu kelancaran studi ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini belum sempurna, oleh karena itu segala

kritik dan saran yang membangun akan penulis terima dengan ikhlas untuk
perbaikan di masa yang akan mendatang. Semoga karya ilmiah ini dapat
bermanfaat.

Bogor, September 2016
Afri Fajar

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Kerangka Pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA
Efisiensi Irigasi
Efisiensi Aplikasi
Efisiensi Distribusi
Teknologi Irigasi Pipa
3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat dan Bahan
Prosedur Analisis Data
Pembuatan Petak Percobaan
Pengambilan Sampel Tanah
Pengukuran Kadar Air
Sistem Pemberian Air Irigasi
Perancangan Irigasi Pipa
Pengukuran Debit Air
Perhitungan Tingkat Efisiensi
Perhitungan Jarak Inlet Pada Petak Sawah
Perhitungan Kelayakan Pemberian Air
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisik Tanah
Efisiensi Aplikasi dan Efisiensi Distribusi
Jarak Inlet Petak Sawah
Perhitungan Tingkat Kelayakan Pemberian Air Irigasi
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

iii
iii
1
1
2
2
3
3
4
4
4
6
6
6
7
7
7
7
8
9
9
9
10
10
11
11
13
17
18
20
20
20
21
24
30

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22

Klasifikasi pemberian air irigasi
Nilai sifat fisika tanah pada sawah konvensional dan SRI
Nilai perhitungan rata-rata Ea pada sawah konvensional dan SRI
Nilai perhitungan rata-rata Ed pada sawah konvensional dan SRI
Hasil ekstrapolasi nilai Ea
Hasil ekstrapolasi nilai Ed
Hasil simulasi Ea dengan beberapa jarak inlet petak sawah
Perhitungan KA fase vegetatif pada sawah Konvensional
Perhitungan KA fase vegetatif pada sawah SRI
Perhitungan KA fase generatif pada sawah Konvensional
Perhitungan KA fase generatif pada sawah SRI
Perhitungan Ed fase vegetatif pada sawah Konvensional
Perhitungan Ed fase vegetatif pada sawah SRI
Perhitungan Ed fase generatif pada sawah Konvensional
Perhitungan Ed fase generatif pada sawah SRI
Perhitungan Ea fase vegetatif pada sawah Konvensional
Perhitungan Ea fase vegetatif pada sawah SRI
Perhitungan Ea fase generatif pada sawah Konvensional
Perhitungan Ea fase generatif pada sawah SRI
Data Curah Hujan Tahun 2015 Stasiun BMKG Dramaga
Data Curah Hujan Tahun 2016 Stasiun BMKG Dramaga

10
11
13
14
15
15
17
24
24
24
25
25
25
26
26
26
27
27
27
28
29

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Diagram alir kerangka pemikiran
Lokasi Penelitian
Petak percobaan penelitian
Sistem pemberian air konvensional
Sistem pemberian air SRI
Hubungan Efisiensi aplikasi (Ea) dan Efisiensi distribusi (Ed)
Kadar air tanah sawah konvensional
Kadar air tanah sawah SRI
Grafik perbandingan Ea, Ed pada sawah konvensional dan SRI
Korelasi antara jarak dan Ea
Korelasi antara jarak dan Ed
Kelayakan pemberian air pada petak sawah konvensional dan SRI

2
6
7
8
8
9
12
12
14
16
16
19

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelangkaan air merupakan permasalah sumberdaya air yang banyak
terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Menurut Isni et al. (2012), gejala
kelangkaan air disebabkan oleh degradasi sumberdaya air, konflik akibat
persaingan antara pengguna air, kurang jelasnya ketentuan hak penguasaan air dan
lemahnya koordinasi antar instansi dalam menangani sumberdaya air. Air dimuka
bumi ini pada dasarnya terdapat dalam jumlah yang tetap akan tetapi air yang ada
berpindah tempat atau berubah wujud, oleh karena itu penting sekali bagi kita
untuk mengatur pemanfaatan air secara efisien agar air dapat memenuhi
kebutuhan.
Kehilangan air dapat diukur dari tingkat kelayakan pemberian air yaitu
rasio pemberian air yang dapat menentukan tingkat kelayakan pemberian air.
Kelayakan pemberian air dapat dinilai berdasarkan nilai kriteria pemberian air
irigasi. Kehilangan air dapat diturunkan dengan meningkatkan efisiensi
pemanfaatan air melalui jaringan irigasi yang baik serta dengan teknik budidaya
yang hemat air. Peningkatan efisiensi air irigasi untuk lahan produksi pangan,
berbagai metode dan teknologi telah dikembangkan, seperti introduksi metode
pertanian hemat air dan metode irigasi terputus-putus (Ali et al. 2013).
Sumber kehilangan air irigasi yang umum terjadi pada suatu areal
pertanian selama pemberian air adalah aliran permukaan dan perkolasi yang
keluar dari daerah perakaran (Hansen et al. 1979; Doorenbos dan Pruitt 1977;
Huda 2012; Sapei 2000, 2012). Berbagai penelitian telah dilakukan untuk
menemukan teknologi yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air untuk
menghindari kehilangan air yang tidak perlu dan mengurangi jumlah air yang
harus disediakan untuk sektor pertanian. Penerapan teknologi irigasi di beberapa
negara telah banyak dilakukan dengan adanya pengelolaan air irigasi
menggunakan input teknologi irigasi pipa yang dapat meningkatkan efisiensi
irigasi sekitar 85% - 95% (Romero et al. 2012; Prastowo 2007; Departemen PU
1994). Irigasi pipa yang memiliki efisiensi mencapai 98% karena dapat
mengontrol pemakaian air sesuai kebutuhan dan tidak ada terjadi rembesan
selama penyaluran air (Saptomo et al. 2012). Irigasi pipa dapat dijadikan solusi
dalam peningkatan efisiensi irigasi karena penggunaan pipa sebagai media
penyalur air irigasi dapat dikontrol dan pada akhirnya akan berdampak pada
produksi pangan yang meningkat.
Jarak inlet pada petak sawah juga harus diperhatikan selain faktor
teknologi irigasi. Jarak inlet berpengaruh terhadap penyebaran air dalam suatu
petakan sawah. Masood et al. (2012) menyatakan bahwa Jarak inlet harus
diperhatikan karena terkait dengan efisiensi aplikasi dan efisiensi distribusi air.
Yoshino et al. (1997) menyatakan manajemen pengairan pada petak sawah juga
lebih mudah untuk dikontrol dengan mengetahui panjang jarak inlet petak sawah
optimum dan jumlah air yang diberikan akan merata.
Melihat pentingnya nilai efisiensi air irigasi dalam mengurangi kehilangan
air maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efisiensi pemanfaatan air
irigasi dan indeks kelayakan pemberian air dengan input teknologi irigasi pipa

2
agar air yang tersedia dapat dimanfaatkan secara baik dan efisien. Diketahuinya
tingkat kelayakan pemberian air pada suatu wilayah maka kita dapat mengatur
pemanfaatan air secara baik dan efisien sehingga menjadi salah satu langkah
dalam pengelolaan sumberdaya air.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengkaji aplikasi irigasi perpipaan pada
petak sawah berdasarkan efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi (Ed),
menganalisis tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan jarak inlet petak sawah
irigasi dan menganalisis indeks kelayakan pemberian air berdasarkan nilai
efisiensi aplikasi (Ea) dalam pengelolaan air.
Kerangka Pemikiran
Kehilangan air merupakan masalah krusial yang banyak terjadi saat ini.
Kehilangan air secara berlebihan perlu dicegah dengan cara memasukkan
teknologi irigasi dan teknik budidaya yang hemat air. Salah satu teknologi
tersebut adalah dengan penerapan sistem irigasi pipa yang dapat mengatur debit
air sehingga air dapat dimanfaatkan secara optimal bagi peningkatan produksi
pertanian khususnya di areal persawahan. Kehilangan air yang relatif kecil akan
meningkatkan efisiensi jaringan irigasi, karena efisiensi merupakan salah satu
tolok ukur suksesnya pertanian dalam semua jaringan irigasi. Diagram alir
kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Diagram alir kerangka pemikiran

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Efisiensi Irigasi
Air yang dialirkan melalui saluran primer, sekunder dan tersier hingga
akhir sampai ke sawah selama perjalanannya akan mengalami kehilangan yang
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain yaitu evaporasi, rembesan ke dalam
tanah, pengambilan ilegal oleh petani dan pengambilan oleh penduduk sepanjang
saluran (Ditjen Pengairan 1986a). Menurut Triatmodjo (2013b) perbandingan
antara jumlah air yang benar-benar sampai ke petak sawah dengan jumlah air
yang disadap disebut dengai efisiensi irgasi.
Pemberian air irigasi kepetak sawah dapat dilakukan dengan lima cara
(Hansen et al. 1992) yaitu 1). Penggenangan (flooding); 2). Menggunakan alur
besar atau kecil; 3). Menggunakan air permukaan tanah melalui sub irigasi; 4).
Penyiraman (sprinkling); 5). Menggunakan sistem cucuran (trickle). Umumnya
untuk tanaman padi pemberian air baik dengan pengenangan (flooding) maupun
alur (furrows) dilakukan dengan cara mengalirkan terus menerus (stagnant
constant head) atau dengan berselang (intermittent flow) (Huda et al. 2012).
Sistem genangan terus menerus (stagnant constant head) merupakan
pemberian air irigasi secara terus menerus selama satu musim tanam sesuai
dengan kebutuhan air untuk tanaman pada periode pengolahan tanah,
pertumbuhan tanaman dari tanam sampai dengan panen. Pada sistem intermittent
flow adalah salah satu cara pemberian ke petak sawah yang didasarkan pada
interval waktu tertentu. Metode irigasi ini disertai metode pengelolaan tanaman
padi hingga 30-100% bila dibandingkan dengan metode konvensional (genangan
terus menerus).
Umumnya efisiensi irigasi pada saluran primer yaitu sebesar 90%, saluran
sekunder sebesar 90% dan saluran tersier sebesar 80%. Angka tersebut berarti
bahwa setelah air mengalir melewati saluran primer air yang tersisa adalah 90%
dari air yang disadap, yang kemudian air ini mengalir ke saluran sekunder. Setelah
melewati saluran sekunder air tersisa 90% dari air yang berasal dari saluran
primer atau tinggal 90% dari air yang disadap yaitu 80% dari air yang disadap.
Kemudian setelah melewati saluran tersier air yang tersisa 80% dari air yang
berasal dari saluran sekunder atau 80% dari 90% dari 90% air yang disadap yaitu
65% dari air yang disadap. Hal ini menunjukkan bahwa air yang sampai ke petak
tersier hanya 65% dari air yang disadap dan angka ini umumnya dipakai sebagai
nilai efisiensi pada perencanaan irigasi (Sri 2000).
Efisiensi pada irigasi dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut
(Ditjen Pengairan 1986a) :
ef = ef1 x ef2 x ef3

(1)

dimana ef adalah efisiensi irigasi (%); ef1adalah efisiensi pada saluran primer
(%); ef2 adalah efisiensi pada saluran sekunder (%); ef3 adalah efisiensi pada
saluran primer (%).

4
Efisiensi Aplikasi
Efisiensi pemakaian air adalah perbandingan antara jumlah air sebenarnya
yang dibutuhkan tanaman untuk evapotranspirasi dengan jumlah air sampai pada
suatu intlet jalur. Untuk mendapatkan gambaran efesiensi irigasai secara
menyeluruh diperlukan gambaran secara menyeluruh dari gabungan saluran
irigasi dan drainase mulai dari bendung yaitu saluran irigasi primer, sekunder,
tersier dan kuarter (Siregar 2011; Ali et al. 2013).
Efisiensi aplikasi didefinisikan sebagi jumlah air yang dipakai secara
menguntungkan oleh tanaman dibagi dengan jumlah air yang diaplikasikan (James
1988). Efisiensi aplikasi adalah perbandingan antara air yang langsung tersedia
bagi tanaman dan air yang diterima di lahan (zona perakaran) (Doorenbos dan
Pruitt 1977; Hansen et al. 1979; Purwanto dan Badrudin 1999).
Efisiensi aplikasi dapat dihitung berdasarkan persamaan Hansen (1979), yaitu :
Ea =

Ws
Wf

(2)

Wf = Ws + Rf + Df

(3)

Ws = SJenuh – SKapasitas Lapang

(4)

dimana Ea adalah efisiensi aplikasi (%); Ws adalah jumlah air yang tersimpan
dalam zona perakaran (mm); Wf adalah total air yang diaplikasikan (mm); Df
adalah kedalaman zona perakaran (mm); Rf adalah air yang hilang melalui aliran
permukaan.
Efisiensi Distribusi
Efisiensi distribusi air berguna untuk menunjukan keseragaman
penyebaran air di daerah perakaran untuk irigasi bukan genangan selama waktu
irigasi, dan dapat dinyatakan dengan persamaan :
Ed = 100 x 1 -

Y
d

(5)

dimana Ed adalah efisiensi distribusi air (%); Y adalah rata-rata kedalaman air; d
adalah rata-rata kedalaman air yang tersimpan di daerah perakaran.
Teknologi Irigasi Pipa
Pemberian air irigasi menurut Hansen et al. (1979) terbagi menjadi empat
metode, yaitu irigasi permukaan, irigasi bawah permukaan, irigasi curah dan
irigasi tetes. Metode pemberian air irigasi di Indonesia yang telah diterapkan
diantaranya irigasi permukaan, irigasi bawah permukaan, irigasi tetes, irigasi
curah dan irigasi kendi.
Irigasi otomatis adalah bagian dari sistem pengelolaan air yang meliputi
irigasi dan drainase. Salah satu contoh dari sistem yang dikembangkan dalam
studi pengembangan sistem pengendalian air di lahan basah (Setiawan et al. 2002;

5
Saptomo et al. 2004) yang menggunakan pompa untuk mengalirkan air ke dalam
atau keluar dari lahan pertanian.
Solusi dalam meningkatkan efisiensi irigasi adalah dengan menggunakan
prasarana irigasi yang memadai seperti teknologi irigasi pipa. Efisiensi
penggunaan irigasi pipa mencapai 90%. Manfaat dari irigasi pipa antara lain
meminimalisir kehilangan air di saluran dan tampungan di lahan kering sehingga
terbuka peluan ketersediaan air berlebih yang dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan nilai tambah produk misalnya dengan pengembangan prasarana
usahatani yang dapat menghasilkan produk hilir pertanian (Prastowo 2007).

6

3 METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Tahap penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan data primer, data skunder
dan pengolahan data. Data primer merupakan data hasil pengukuran di lapangan
meliputi data debit aliran pada petakan percobaan (input dan output), bulk density,
kadar air tanah serta fraksi pasir, debu dan liat. Data sekunder meliputi data iklim,
dan data debit aliran.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di kebun percobaan IPB Desa Cikarawang yang
terletak di Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor (Gambar 3.1). Desa
Cikarawang memiliki luas 226.56 Ha dan terletak pada koordinat 106º43’45.56”
BT dan 6º33’0.20” LS. Desa Cikarawang secara umum berupa dataran yang
128.11 ha atau 56.55% dari total luas desanya merupakan persawahan. Batas
secara administratif Desa Cikarwang sebelah utara berbatasan denga Sungai
Cisadane, sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Ciapus, sebelah timur
berbatasan dengan Kelurahan Situ Gede dan disebelah barat berbatasan dengan
Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane.
Penelitian ini dilakukan pada Mei 2015 sampai Mei 2016 dan Analisis
fisika tanah dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor dan Laboratorium Sumberdaya Tanah Terpadu BBLSLP Bogor,
sedangkan untuk kalibrasi segitiga Thompson dilakukan di Laboratorium
Hidrologi dan Hidromekanika Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3.1 Lokasi Penelitian

7
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sistem irigasi pipa, ring
sample, cawan, timbangan analitik, oven, hand tractor, cangkul dan segitiga
Thompson. Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu benih padi IPB 3S,
pupuk organik, dan pestisida.
Prosedur Analisis Data
Pembuatan Petak Percobaan
Petak percobaan memiliki panjang 20 meter dan panjang 20 meter.
Sebelum petak percobaan dibuat dilakukan pengolahan lahan dengan
menggunakan traktor tangan. Tanah diolah dengan bajak singkal satu kali
kemudian dilanjutkan dengan pembuatan dua petak percobaan. Petak percobaan
pertama mengaplikasikan teknologi budidaya SRI (System of Rice Intensification),
sedangkan untuk petak percobaan kedua mengaplikasikan teknologi budidaya
konvensional.
Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel tanah diambil dengan menggunakan ring sample
dengan tiga titik sampel secara diagonal dari pematang sawah (Gambar 3.2).
Kedalaman pengambilan sampel pada setiap titik pengamatan yaitu 5 cm dan 15
cm, untuk setiap titiknya diambil sebanyak tiga kali ulangan.
20 m

Petak Konvensional

Petak SRI

20 m

20 m

SUMBER
AIR

IRIGASI PIPA

Ket :
Titik Sampel

Gambar 3.2 Petak percobaan penelitian
Pengukuran Kadar Air
Teknik pengukuran kadar air tanah diklasifikasikan ke dalam dua acara,
yaitu langsung dan tidak langsung. Pengukuran kadar air pada penelitian ini
menggunakan metode langsung (gravimetrik) pada prinsipnya mencakup
pengukuran kehilangan air dengan menimbang contoh tanah sebelum dan sesudah
dikeringkan pada suhu 105°C dalam oven selama 24 jam. Pengambilan sampel
untuk kadar air juga dilakukan sama seperti pengambilan sampel tanah,

8
kedalaman pengambilan sampel setiap titik pengamatan yaitu 5 cm dan 15 cm dan
setiap titiknya diambil sebanyak tiga kali ulangan. Pengambilan sampel untuk
kadar air dilakukan setiap hari pada pukul 07.00 WIB.
Sistem Pemberian Air Irigasi
Petak percobaan yang dibandingkan dalam penelitian ini adalah dengan
sistem pemberian air irigasi yang dilakukan dengan metode konvensional
(Gambar 3.3) dan SRI (Gambar 3.4). Kedua metode pemberian air ini untuk
melihat efisiensi aplikasi (Ea) dan efisiensi distribusi (Ed) dikombinasikan dengan
menggunakan sistem irigasi pipa.
Petak percobaan yang akan dibandingkan adalah sistem pemberian air
irigasi yang dilakukan dengan sistem konvensional (Gambar 3.3) dan SRI
(Gambar 3.4) dengan aplikasi teknologi irigasi pipa. Pada pemberian air dengan
metode konvensional, pemberian air pada petakan sawah akan selalu digenangi
setinggi 2 cm di atas permukaan tanah dari fase vegetatif sampai masa persiapan
panen. Sedangkan untuk metode SRI pemberian air dilakukan secara terputusputus (intermitten) yang diterapkan sesuai dengan kebutuhan air tanaman pada
setiap fase tanaman. Untuk satu siklus pemberian air irigasi yaitu lima hari atau
sampai kondisi tanah di petak sawah telah terjadi retak rambut, barulah air
diberikan lagi ke petak sawah.
45 HST

Kedalaman

3 cm

Kadar Air

0 HST

0 cm

75 HST

85 HST

Panen

2 cm
1 cm

80%

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

60%

Masa Pertumbuhan Anakan
(Vegetatif)

Masa Perkembangbiakan
(Generatif)

Pengisian &
Pematangan

Gambar 3.3 Sistem pemberian air konvensional (Ibrahim 2008)

Gambar 3.4 Sistem pemberian air SRI (Ibrahim 2008)

9
Perancangan Irigasi Pipa
Sistem irigasi yang digunakan pada penelitian ini adalah irigasi pipa
dengan saluran tertutup. Terdapat reservoir sebagai kolam penampungan air yang
selanjutnya akan dialirkan ke irigasi pipa. Pada saluran tertutup ini terdapat pipa
utama dengan diameter 6 inci yang panjangnya 52 meter. Air dialirkan ke petakan
sawah dengan pipa 2.5 inci dan irigasi pipa ini menggandalkan gaya gravitasi
dengan kemiringan 2 cm. Terdapat bola pelampung didalam pipa yang berfungsi
untuk menutup masuknya air jika sawah dalam keadaan cukup air.
Pengukuran Debit Air
Debit air diukur setelah instalasi irigasi pipa di petakan sawah.
Perhitungan debit air yang masuk ke dalam petakan sawah melalui inlet diukur
bedasarkan besar bukaan stopkran pada inlet. Hasil pengukuran pada inlet
menunjukkan bahwa debit air yang masuk ke petak sawah sebesar 0.3 l d-1.
Perhitungan debit air yang keluar dari petak sawah dilakukan dengan
menggunakan segitiga Thompson yang telah dikalibrasi. Pengamatan debit air
dilihat dari berapa tinggi muka air yang terjun melalui segitiga Thompson dan
kemudian disesuaikan dengan hasil perhitungan kalibrasi segitiga Thompson yang
telah dilakukan di laboratorium.
Perhitungan Tingkat Efisiensi
Selanjutnya dengan adanya data jumlah air yang dibutuhkan tanaman padi
dan total jumlah air yang diaplikasikan, maka simulasi efisiensi aplikasi (Ea)
dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan 2. Nilai perhitungan Ea yang
dihitung di lapangan yaitu sebanyak tiga titik dengan jarak antar titik 9.4 m.
Perhitungan efisiensi distribusi (Ed) di petak sawah dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan 5. Diketahuinya tingkat efisiensi pemanfaatan air
dengan sistem irigasi pipa maka dapat di kuantifikasikan jumlah kebutuhan air
tanaman yang harus diberikan sehingga air yang diberikan sesuai dengan
kebutuhan (Gambar 3.5) dan dapat mengelola ketersediaan air.

Tanaman

Kedalaman air
yang diperlukan

Kedalaman air
yang diaplikasikan

Saluran air

Pertumbuhan tanaman yang
dipengaruhi oleh ketersediaan air

Air yang masuk kedalam tanah

Zona perakaran

Gambar 3.5 Hubungan Efisiensi aplikasi (Ea) dan Efisiensi distribusi (Ed)
terhadap pertumbuhan tanaman (sumber Hansen et al. 1979)

10
Perhitungan Jarak Inlet Pada Petak Sawah
Perhitungan jarak inlet pada petak sawah dilakukan setelah mendapatkan
nilai Ea. Selanjutnya dari nilai Ea tersebut diekstrapolasi hingga jarak 180 m
dengan regresi linier.
Perhitungan Kelayakan Pemberian Air
Perhitungan kelayakan pemberian air dapat dilakukan setelah
mendapatkan nilai efisiensi aplikasi (Ea). Penentuan kelayakan pemberian air
dapat dilakukan berdasarkan kriteria sistem pemberian air irigasi. Kriteria
pemberian air irigasi disajikan dalam Tabel 3.1. Persamaan yang digunakan untuk
mendapatkan nilai kelayakan pemberian air yaitu sebagai berikut:
KPA = (1-Ea) x 100
(6)
dimana KPA merupakan kelayakan pemberian air (%), Ea merupakan efisiensi
aplikasi dalam %.
Penentuan tingkat kelayakan pemberian air ditentukan berdasarkan kriteria
pemberian air irigasi. Bila semakin besar nilai kelayakan air maka semakin besar
nilai efisiensinya, begitu pula sebaliknya.
Tabel 3.1 Klasifikasi pemberian air irigasi
KPA

Sistem Pemberian Air

Kategori

> 65%

Kontinyu

Belum Kritis

65%

Rotasi Sub Tersier

Mendekati Kritis

65% > Q max > 35%

2 Golongan dibuka, 1 golongan ditutup

Kritis

1 Golongan dibuka, 2 golongan ditutup

Sangat Kritis

< 35%
Sumber : Afandi, 2013

11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sifat Fisik Tanah
Hasil uji tanah dilaboratorium diketahui bahwa tanah sawah dilahan
percobaan memilki tekstut liat. Tanah dengan tekstur liat memiliki kapasitas
menahan air yang relatif tinggi karena adanya ruang pori yang halus dan banyak.
Analisis tanah dilakukan pada sifat fisik tanah yaitu bulk density, ruang pori, air
tanah dan pF. Rata-rata nilai bulk density, ruang pori, air tanah dan pF dapat
dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1 Nilai sifat fisika tanah pada sawah konvensional dan SRIa
Ruang
pF
pF
Kedalaman
Bulk
Sawah
Pori
2.54
4.2
(cm)
density
(%)
(%)
(%)

Air
Tersedia
(%)

0-10

1.06

54.2

41.9

30.2

11.7

11-20

0.9

60.7

36.7

26.5

10.2

0-10

1.09

54.9

43.1

30.8

12.3

11-20

1

57.5

40.1

29.2

10.9

Konvensional

SRI
a

Sumber : Hasil analisis laboratorium

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa rata-rata bulk density tanah pada kedalaman
0-10 cm cenderung lebih tinggi yaitu 1.06 untuk sawah konvensional dan 1.09
untuk sawah SRI, dibandingkan dengan lapisan 11-20 cm yaitu 0.9 untuk sawah
konvensional dan 1 untuk sawah SRI. Hasil analisis tanah terhadap pF 2.54 dan
pF 4.2 menunjukkan bahwa nilai pF yang diperoleh pada sawah konvensional dan
sawah SRI relatif sama yaitu berkisar antar 26.5 hingga 30.8.
Gambar 4.2 dan Gambar 4.3 menunjukkan kondisi kadar air tanah pada
kedalaman 5 cm dan 15 cm baik pada petak sawah konvensional maupun sawah
SRI pada fase vegetatif dan fase generatif. Kadar air jenuh merupakan kondisiair
dilapangan cukup tersedia dan tidak mengalami kekurangan air. Pada sawah
konvensional terdapat kadar air di atas kadar air jenuh. Hal ini dikarenakan
pemberian air pada sawah konvensional dilakukan secara kontinu, sedangkan
pada sawah SRI dapat dilihat pada fase vegetatif 26 sampai 28 HST terjadi
penurunan kadar air yang diakibatkan sistem pemberian air secara intermitent
(terputus-putus). Kadar air akan naik apa bila air pada irigasi diberikan lagi ke
sawah atau terjadinya hujan. Pada fase generatif terjadi penurunan kadar air mulai
pada 73 sampai 76 HST, hal ini terjadi karena tidak diberikannya air pada petak
sawah dan tidak terjadinya hujan selama hari tersebut. Pemberian air dilakukan
kembali ke petak sawah saat petak sawah telah ditandai dengan terjadinya retak
rambut.

12
70
65

KA (%)

60
55
50
45
40
23

24

25

26

27

28

29

30

72 73
HST

74

75

Titik 1 ( 5 cm)

Titik 2 (5 cm)

Titik 3 (5 cm)

Titik 2 (15 cm)

Titik 3 (15 cm)

KA JENUH

76

77

78

79

80

Titik 1 (15 cm)

Gambar 4.2 Kadar air tanah sawah konvensional
70

KA (%)

65
60
55
50
45
40
23

24

25

26

27

28

29

30

72 73
HST

74

75

Titik 1 ( 5 cm)

Titik 2 (5 cm)

Titik 3 (5 cm)

Titik 2 (15 cm)

Titik 3 (15 cm)

KA JENUH

76

77

78

79

80

Titik 1 (15 cm)

Gambar 4.3 Kadar air tanah sawah SRI
Air tanah tersedia merupakan selisih kadar air tanah dalam persen volume
atau berat antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Rata-rata air tanah
pada kondisi kapasitas lapang pada kedalaman 0-10 cm 41.9% untuk sawah
konvensional dan 43.155 untuk sawah SRI sedangkan pada kedalaman 11-20 cm
masing-masing sawah yaitu 36.7% dan 40.1%. Kondisi sawah SRI pada kadar air
tersebut tanaman masih belum terjadi stres air karena masih jauh dengan titik layu
permanen. Selanjutnya titik layu permanen pada kedalaman 0-10 cm didapat
30.2% untuk sawah konvensional dan 30.8% untuk sawah SRI, sedangkan pada
kedalaman 11-20 cm yaitu 26.5% untuk tanah sawah konvensional dan 29.2%
untuk sawah SRI.

13
Pemberian air irigasi diharapkan mampu mengisi air tanah pada kondisi
retensi lengas tanah yaitu antara pF 2 sampai dengan 2.54 (kapasitas lapang).
Kondisi kapasitas lapang merupakan keadaan tanah cukup lembab yang
menunjukkan jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya
tarik gravitasi. Air yang dapat ditahan oleh tanah tersebut terus menerus diserap
oleh akar-akar tanaman atau menguap sehingga tanah semakin lama semakin
kering. Kondisi saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air yaitu pada
kondisi pF 4.2 menyebabkan tanaman menjadi layu dan kondisi ini disebut titik
layu permanen (Sirait et al. 2015).
Efisiensi Aplikasi dan Efisiensi Distribusi
Penelitian ini menggunakan irigasi pipa dalam pemberian air ke petak
sawah. Pemberian air diberikan sesuai dengan skema pemberian air yang telah
ditetapkan. Petak sawah konvensional digenangi air secara terus menerus dan
pada petak sawah SRI air diberikan secara terputus-putus. Air yang diberikan
pada petak sawah konvensional setinggi 2 cm dari awal penanaman sampai 85
HST. Petak SRI air diberikan secara terputus-putus (intermittent) dari awal
penanaman sampai 85 HST, sedangkan penggenangan sawah setinggi 2 cm
dilakukan hanya saat dilakukan penyiangan. Pengeringan sawah konvensional dan
SRI hanya dilakukan saat pemupukan dan pada masa persiapan panen (86 - 100
HST).
Perhitungan efisiensi aplikasi dan efisiensi distribusi disajikan pada Tabel
4.2 dan Tabel 4.3. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa efisiensi aplikasi yang tinggi
ditunjukkan pada petak sawah SRI yaitu 98.95 % pada fase vegetatif dan 93.15 %
pada fase generatif, hal ini karena ketersedian air pada zona perakaran tersimpan
dengan baik dan air diaplikasikan kembali jika tanah sudah retak rambut (Huda et
al. 2012). Jadi karena hal itulah air tidak terbuang secara percuma, serta dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan air pada petak persawahan (Rianto 2006;
Allen et al. 2006; Sumaryanto 2006). Pola pemberian air irigasi pada sistem SRI
diatur agar lahan cukup kering namun tetap mencukupi kebutuhan air tanaman.
Intermittent flow adalah salah satu cara pemberian air ke petas sawah yang
didasarkan pada interval waktu tertentu dengan debit dan luas area yang sudah
ditetapkan terlebih dahulu sehingga diperoleh hasil yang optimal (Hansen et al.
1979; Purba 2011; Huda et al. 2012).
Tabel 4.2 Nilai perhitungan rata-rata Ea pada sawah konvensional dan SRIa
Titik 1

Titik 2

Titik 3

Titik 1

Titik 2

Titik 3

Teknologi
Ea (%) Vegetatif

a

Ea (%) Generatif

Konvensional

83.91

82.92

81.35

81.82

78.36

76.12

SRI

98.95

97.13

94.59

93.15

91.38

88.77

Sumber : Hasil perhitungan

14
Tabel 4.3 Nilai perhitungan rata-rata Ed pada satu fase irigasi sawah
Konvensional dan SRIa
Titik 1

Titik 2

Titik 3

Titik 1

Titik 2

Titik 3

Teknologi
Ed (%) Vegetatif

Ed (%) Generatif

Konvensional

99.03

99.00

98.98

99.03

98.98

98.95

SRI

98.84

98.80

98.72

98.95

98.91

98.88

a

Sumber : Hasil perhitungan

Sistem konvensional air yang diaplikasikan sebesar 2 cm di atas
permukaan tanah digenangi secara terus menerus dari tanam sampai pengisian
bulir. Sawah hanya dikeringkan pada saat pemupukan. Dari hasil perhitungan
diperoleh nilai Ea tertinggi sebesar 83.91 % pada fase vegetatif dan 81.82 % pada
fase generatif, sedangkan nilai Ea terendah sebesar 81.35% untuk fase vegetatif
dan 76.12% untuk generatif. Hal ini terjadi karena air yang diaplikasikan pada
sawah konvensional terjadi perkolasi dan ada yang terbuang ke drainase karena air
yang diaplikasikan telah jenuh sebesar 2 cm. Rendahnya nilai efisiensi aplikasi
(Ea) disebabkan oleh tingginya perkolasi atau aliran permukaan. Menurut Hasen
et al. (1980); Sapei (2012) sumber kehilangan air irigasi yang umum dari suatu
areal pertanian selama pemberian air adalah aliran permukaan dan perkolasi
dalam keluar dari daerah perakaran.
Keseragaman distribusi menjelaskan meratanya distribusi air suatu sistem
irigasi ke seluruh areal tanaman. Keseragaman distribusi air yang tinggi
memungkinkan pertumbuhan tanaman seragam dan lebih baik. Menurut
Heermann et al. (1992), untuk memperoleh pertumbuhan tanaman yang seragam
diperlukan pendistribuasian air secara seragam keseluruh areal.
100
95
90
85
80
75
70
65
60
Titik 1

Titik 2

Titik 3

Titik 1

Vegetatif
Ea (%) Konvensional

Titik 2

Titik 3

Generatif
Ed (%) Konvensional

Ea (%) SRI

Ed (%) SRI

Gambar 4.4 Grafik perbandingan Ea, Ed pada sawah Konvensional dan SRI
Gambar 4.4 menunjukkan bahwa sawah konvensional titik 3 pada fase
vegetatif memiliki nilai Ea yang rendah sebesar 81.35 % sementara nilai Ed

15
sebesar 98.98 %, sedangkan pada fase generatif nilai Ea terendah juga terdapat
pada titik 3 sebesar 76.11 % dan Ed 98.95 %. Menurut Idrus (1998), nilai kinerja
Ea pada irigasi di atas ≥ 70 % sudah menunjukkan bahwa kinerja irigasi itu
tergolong baik atau tinggi, apabila nilai Ea ≤ 70 % maka nilai kinerja irigasi
tergolong rendah.
Petakan sawah SRI diperoleh hasil Ea fase vegetatif pada titik 3 sebesar
94.58 % sementara nilai Ed sebesar 98.96 %, sedangkan pada fase generatif Ea
yang paling rendah pada titik 3 dengan nilai 88.77 % dan Ed sebesar 98.95 %.
Dari hasil yang diperoleh dari hasil perhitungan menunjukkan bahwa kinerja
irigasi tergolong baik atau tinggi. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh tekstur
tanah di petak penelitian yang tergolong liat, jadi air akan sulit menembus lapisan
tapak bajak karena kedap air, serta kandungan bahan organik yang dapat menahan
air di dalam tanah (Purba 2011; Sapei 2000, 2012; Ali et al. 2013; Ahn & Kang
2014). Pada lokasi penelitian Ed yang diperoleh cenderung sama antara petak
sawah konvensional dan SRI ini juga dikarenakan pada penelitian curah hujan
yang tinggi.
Setelah diperoleh nilai Ea dan Ed dilapangan kemudian dilakukan
ektrapolasi pada jarak yang lebih jauh yaitu jarak 10 m sampai 180 m. Hasil
ektrapolasi jarak rata-rata dapat dilihat pada Tabel 4.4 dan Tabel 4.5.
Tabel 4.4 Hasil ekstrapolasi nilai Eaa
Ea (%)

a

Jarak (m)
10-30

40-60

70-90

100-120

130-150

160-180

Vegetatif Kon

82.73

78.79

74.95

71.11

67.26

63.42

Generatif Kon

78.76

70.41

61.85

53.29

44.73

36.17

Vegetatif SRI

96.89

90.23

83.68

77.14

70.60

64.06

Generatif SRI
91.10
Sumber: Hasil Perhitungan

84.40

77.83

71.27

64.70

58.14

Tabel 4.5 Hasil ekstrapolasi nilai Eda
Ed (%)

a

Jarak (m)
10-30

40-60

70-90

100-120

130-150

160-180

Vegetatif Kon

99.00

98.95

98.91

98.87

98.82

98.78

Generatif Kon

98.99

98.87

98.76

98.64

98.53

98.41

Vegetatif SRI

98.99

98.92

98.84

98.77

98.70

98.63

Generatif SRI
98.99
Sumber: Hasil Perhitungan

98.91

98.83

98.75

98.68

98.60

Tabel 4.4 dan Tabel 4.5 memperlihatkan hasil ekstrapolasi Ea dan Ed pada
jarak 10 m sampai 180 m. Nilai Ea dengan jarak kelipatan 10 m pada sawah
konvensional memiliki penurunan angka sebesar 1.28% pada fase vegetatif dan
2.85% pada fase generatif. Sedangkan pada sawah SRI penurunan nilai masingmasing pada fase vegetatif dan generatif yaitu 2.18% dan 2.19%. Nilai Ed dengan
jarak kelipatan 10 m pada sawah konvensional pada masing-masing fase vegetatif
dan generatif yaitu 0.014% dan 0.03%, sedangkan pada sawah SRI penurunan
pada masing-masing fase vegetatif dan generatif yaitu 0.024% dan 0.025%. Hasil

16
perhitungan Ea dan Ed menunjukkan bahwa dengan menggunakan irigasi pipa
pada sawah dengan pemberian air secara SRI nilai efisiensi irigasi lebih tinggi
dibandingkan dengan sawah dengan sistem pemberian air secara konvensional
pada masing-masing jarak. Korelasi antara jarak dengan nilai Ea dan korelasi
antara jarak dengan nilai Ed pada masing-masing sawah dapat dilihat pada
Gambar 4.5 dan Gambar 4.6.
y = -1.2851x + 85.252
R² = 0.9999

100
90

Ea (%)

80
70
60
50
40
30

Jarak (m)
Vegetatif Kon

Vegetatif SRI

Generatif Kon

Generatif SRI

Gambar 4.5 Korelasi antara jarak dan efiensi aplikasi (Ea)
y = -0.015x + 99.031
R² = 0.9977

99.05
98.95

Ed (%)

98.85
98.75
98.65
98.55
98.45
98.35
98.25
Jarak (m)
Vegetatif Kon

Generatif Kon

Vegetatif SRI

Generatif SRI

Gambar 4.6 Korelasi antar jarak dan efisiensi distribusi (Ed)
Jarak 180 m nilai efisiensi aplikasi sawah konvensional diperoleh nilai Ea
37.86% pada fase vegetatif dan 66.68% pada fase generatif, untuk sawah SRI
yaitu 38.12% pada fase vegetatif dan 44.05% pada fase generatif. Kriteria irigasi
pipa yang baik memiliki nilai efisiensi diatas 90%. Hasil perhitungan
menunjukkan bahwa nilai Ea yang berada diatas 90% yaitu hanya pada sawah SRI

17
pada jarak 10 m sampai 50 m pada fase vegetatif, sedangkan pada fase generatif
Ea di atas 90% pada jarak 10 m sampai 30 m. Akan tetapi untuk pengairan sawah
dengan menggunakan irigasi pipa efisiensinya harus ≥ 90% (Sirait 2015). Pada
sawah konvensional efisiensi aplikasi tidak mencapai 90% karena air yang
diberikan selalu tergenang yang menyebabkan air keluar dari zona perakaran.
Efisiensi distribusi pada jarak 180 m fase vegetatif dan generatif pada
sawah konvensional yaitu 98.76% dan 98.77% sedangkan sawah SRI 98.60% dan
98.57%. Hal ini menunjukkan bahwa pada sawah konvensional dan SRI nilai Ed
pada jarak 180 m masih tergolong baik karena nilai Ed berada diatas 90%. Hansen
et al. (1979) menyatakan bahwa hubungan efisiensi aplikasi dan efisiensi
distribusi pada irigasi konvensional terhadap pertumbuhan tanaman yang baik
memiliki nilai Ea yang dapat ditolerir yaitu 70% dan nilai Ed minimum yaitu
80%. Hasil ekstrapolasi menunjukkan pada jarak 10 m sampai 30 m untuk sawah
SRI Ea tergolong sangat baik pada fase vegetatif maupun generatif, namun pada
sawah konvensional terjadi penurunan Ea yang signifikan pada fase generatif pada
jarak 50 m sebesar 70.41%.
Jarak Inlet Petak Sawah
Penelitian ini menggunakan input teknologi irigasi pipa sehingga
penggunaan air lebih efisien dan dapat terkontrol. Keuntungan penggunaan irigasi
pipa mampu mengurangi kehilangan air yang disebabkan oleh rembesan,
evaporasi selama transportasi air dari saluran ke petak sawah serta irigasi pipa
memiliki efisiensi irigasi mencapai 90 % (Sapei 2000; Saptomo et al. 2004;
Saptomo et al. 2012; Siebert & Doll 2010; Purwanto et al. 2012).
Tabel 4.6 Hasil simulasi Ea dengan beberapa jarak inlet petak sawaha
Jarak Inlet
Efisiensi Aplikasi
Kebutuhan air Petak
Sawah
Petakan (m)
(%)
Tersier (l d-1)
100
62.95
158.85
70
69.54
100.66
45
75.06
59.95
Konvensional
30
78.37
38.27
15
81.54
18.39
100
75
133.33
70
81.97
85.39
SRI
45
87.42
51.47
30
91.19
32.89
15
95.95
15.63
a

Sumber: Hasil Perhitungan

Perencanaan luas tanam padi yang baik dapat dilakukan dengan adanya
kombinasi sistem irigasi pipa dengan sistem pemberian air secara SRI. Pada
penelitian ini didapatkan produktivitas air pada sawah konvensional yaitu 0.82 kg
m-3 SRI yaitu 1.12 kg m-3. Kombinasi keduanya mampu memperoleh nilai Ea di
atas 90%, produktivitas tinggi dan efisien dalam penggunaan air dengan asumsi
panjang jarak inlet petak sawah tidak lebih dari 30 m. Sistem konvensional
memberikan Ea yang lebih rendah jika dibandingkan dengan SRI yang keduanya
dikombinasikan dengan irigasi pipa. Nilai Ea pada sawah konvensional di bawah

18
90%. Hal ini terjadi karena sistem pemberian air secara konvensional
menyebabkan air terbuang karena penggenangan yang dilakukan. Menurut Siebert
& Doll (2010) bahwa rata-rata hasil produksi tanaman biji-bijian dengan sistem
irigasi adalah 4.4 ton ha-1, sedangkan dengan sistem tadah hujan sebesar 2.7 ton
ha-1. Sebesar 42% dari produksi tanaman biji-bijian pada umumnya berasal dari
lahan irigasi dan tanpa irigasi hasil produksi akan menurun sebesar 20%.
Tabel 4.6 menunjukkan hasil simulasi perhitungan nilai Ea dan kebutuhan
air petak tersier pada panjang 15 m, 35 m, 45 m, 70 m dan 100 m. hasil simulasi
menujukkan bahwa Ea yang baik (≥ 90%) didapatkan pada pajang jarak inlet
petak sawah 15 m dan 30 m dengan sistem pemberian air secara SRI. Jarak inlet
petak sawah yang efisien dengan menggunakan panjang irigasi pipa sebaiknya
menggunakan panjang jarak 30 m, selain akan memudahkan saat pengolahaan
tanah juga lebih efisien dalam instalasi pemasangan irigasi pipa. Selain itu air
yang dialirkan dari saluran dapat menyebar dengan merata dibandingkan dengan
disain petak yang 15 m yang jaraknya lebih kecil dan perbedaan efisiensi antara
keduanya hanya 4.76%. Hal ini sejalan dengan penelitian Yoshino (1997);
Masood et al. (2012) bahwa panjang inlet air yang terbaik untuk petakan sawah
yaitu 24-30 m. Jarak inlet petak sawah dengan panjang 100 m tidak disarankan
karena membutuhkan air yang lebih banyak yaitu 133.33 l d-1. Penggunaan air
lebih hemat 10.25% untuk mencapai jarak 100 m jika inlet dibagi tiga dengan
masing-masing jarak 30 m dan air yang dibutuhkan hanya 108.53 l d-1.
Perhitungan Tingkat Kelayakan Pemberian Air Irigasi
Analisis tingkat kelayakan pemberian air dilakukan agar dapat mengetahui
berapa besar pemanfaatan air secara efisien. Penentuan tingkat kelayakan
pemberian air berdasarkan dari nilai pemberian air irigasi dilakukan setelah
diketahui nilai Ea. Nilai Ea yang digunakan adalah nilai antara fase vegetatif dan
generatif setiap titik pengamatan yang dilakukan pada sawah konvensional dan
sawah SRI. Hasil Perhitungan kelayakan pemberian air pada sawah dengan
metode pemberian air secara konvensional dan SRI dapat dilihat pada Gambar
4.5.
Gambar 4.5 menunjukkan tingkat kelayakan pembarian air yang dihitung
pada penelitian ini dengan jarak yang telah diekstrapolasi hingga 180 m. Nilai
pemberian air irigasi pada petak sawah konvensional menunjukkan pada fase
vegetatif kriterianya kritis pada jarak 170 m, sedangkan pada fase generatif pada
jarak setelah 75 m kelayakan pemberian air telah kritis dan pada jarak 178 m
menjadi sangat kritis. Petak sawah SRI menunjukkan nilai kelayakan pemberian
air fase ve