Kajian Produktivitas Air Padi Sawah Dengan Sistem Irigasi Pipa Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

KAJIAN PRODUKTIVITAS AIR PADI SAWAH DENGAN
SISTEM IRIGASI PIPA DALAM PENGELOLAAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI

NAJLA ANWAR FUADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Produktivitas
Padi Sawah dengan Sistem Irigasi Pipa dalam Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

Najla Anwar Fuadi
NIM A155140011

RINGKASAN
NAJLA ANWAR FUADI. Kajian Produktivitas Air Padi Sawah dengan Sistem
Irigasi Pipa dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Dibimbing oleh
MOHAMMAD YANUAR JARWADI PURWANTO dan SURIA DARMA
TARIGAN.
Kondisi air yang semakin terbatas untuk lahan pertanian dapat
menyebabkan penurunan produksi padi. Peningkatan produksi tanaman saat ini
menempati prioritas utama dalam pembangunan pertanian. Produktivitas dapat
dikaji melalui subsistem tanah, air dan pola lahan untuk penggunaan pada periode
tertentu. Aplikasi teknologi irigasi pipa dengan kombinasi sistem pemberian air
secara SRI mampu memanfaatkan air dengan efisien. Oleh karena itu penelitian
mengenai perhitungan produktivitas air padi sawah yang menggunakan input
irigasi pipa dengan sistem pemberian air secara konvensional dan SRI penting

untuk dilakukan agar dapat diketahui berapa besar kebutuhan air agar dapat
dimanfaatkan secara efisien.
Penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang Kabupaten Bogor dan
bertujuan untuk (1) menghitung kebutuhan air padi sawah dengan sistem
pemberian air secara konvensional dan SRI menggunakan irigasi pipa; (2)
menganalisis tingkat produktivitas air dengan sistem pemberian air konvensional
dan SRI yang menggunakan teknologi irigasi pipa; (3) mengidentifikasi tingkat
produktivitas air dan hubungannya dengan air maya (virtual water) untuk
pengelolaan DAS. Berdasarkan tujuan tersebut, maka tahapan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah (1) pengamatan langsung di lapangan di petak tersier
dengan mengumpulkan data, (2) pengukuran terhadap evapotranspirasi, laju
perkolasi, dan (3) perhitungan kebutuhan air netto di sawah dan kebutuhan air
maya untuk memproduksi beras.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai evapotranspirasi pada sawah
konvensional lebih tinggi dibandingkan sawah SRI. Laju perkolasi rata-rata pada
kedua sawah yaitu 2.57 mm hari-1. Hasil perhitungan kebutuhan netto air di sawah
menunjukkan sawah konvensional lebih tinggi dibandingkan sawah SRI.
Produktivitas air pada sawah konvensional yaitu 0.82 kg m-3 dan sawah SRI yaitu
1.12 kg m-3. Produktivitas air padi dengan sistem pemberian air secara SRI juga
lebih tinggi, dimana kebutuhan air dengan kombinasi irigasi pipa dan sistem

pemberian air secara SRI menjadi perlakuan terbaik. Kebutuhan air untuk
menghasilkan beras dengan input irigasi pipa lebih sedikit dibandingkan dengan
hasil perhitungan air maya dari Direktorat Jenderal SDA dan Hoekstra dan
Chapagain.
Kata kunci: Produktivitas Air, Irigasi Pipa, Kebutuhan Air Netto Sawah, SRI, Air
Maya

SUMMARY
NAJLA ANWAR FUADI. Study on Water Productivity of Rice Field with Pipe
Irrigation System in Watershed Management. Supervised by MOHAMMAD
YANUAR JARWADI PURWANTO and SURIA DARMA TARIGAN.
Water conditions were increasingly restricted to agricultural land may
cause a decrease in rice production. Increased crop production currently occupies
top priority in agricultural development. Productivity can be assessed through a
subsystem of soil, water, and land patterns for use in certain periods. Applications
of pipe irrigation technology with the combination of System of Rice
Intensification (SRI) capable of using water efficiently. Therefore, research on
water productivity of paddy rice calculation which uses input pipe irrigation with
the water supply system in a conventional and SRI important to do in order to
know how much water needs to be used efficiently.

This research was conducted in Cikarawang, Bogor District and aims to:
(1) calculate nett field requirement of paddy with conventional and SRI water
supply system that uses pipe irrigation technology; (2) to analyze the level of
water productivity with conventional and SRI system with pipe irrigation
technology; (3) identify the level of water productivity and its relationship to
virtual water for watershed management. Based on these objectives, the method
used in this study are (1) direct observation in the paddy field by data collecting,
(2) measurement of evapotranspiration and rate of percolation, and (3) the
calculation of nett field requirement and virtual water to produce rice.
The results showed that the evapotranspiration values in conventional
system higher than SRI. Percolation rate of the average in both the fields is 2.57
mm day-1. The result of net field requirement calculation showed that
conventional system higher than SRI. Water productivity in a conventional system
is 0.82 kg m-3, SRI is 1.12 kg m-3. Water productivity with SRI water supply
system also higher, where the water needs with a combination of pipe irrigation
and SRI system be the best treatment. Water requirements for rice production with
pipe irrigation input require less water compared with the results of virtual water
calculations of the Direktorat Jenderal SDA and Hoekstra and Chapagain.
Keywords: Water Productivity, Pipe Irrigation, Net Field Requirement, SRI,
Virtual Water


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyususnan laporan, penuliasan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN PRODUKTIVITAS AIR PADI SAWAH DENGAN
SISTEM IRIGASI PIPA DALAM PENGELOLAAN DAERAH
ALIRAN SUNGAI

NAJLA ANWAR FUADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains

pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Satyanto K Saptomo, STP, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala limpahan karunia-Nya sehingga thesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang mulai dilaksanakan sejak bulan Mei 2015 ini ialah
produktivitas air, dengan judul Kajian Produktivitas Air Padi Sawah dengan
Sistem Irigasi Pipa dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Moh Yanuar J Purwanto,
MS dan Bapak Dr Ir Suria Darma Tarigan, MSc selaku pembimbing yang telah
memberikan masukan dalam penulisan thesis ini. Terima kasih juga penulis
sampaikan kepada segenap dosen dan staf Program Studi Ilmu Pengelolaan DAS

dan tak lupa pula terima kasih penulis sampaikan kepada Kemetrian Keuangan RI
(LPDP) yang telah membiayai penelitian ini.
Penghormatan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang tulus penulis
sampaikan kepada Ibunda Hj Nurasyiah dan ayahanda Tgk H Anwar Fuadi Abdul
Salam yang telah mencurahkan doa dan kasih sayang sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada abang-abang dan
kakak penulis dr Munawar Anwar Fuadi, Farhan Anwar Fuadi, ST, Nurin Fahira,
SE, Najwa Anwar Fuadi, SH, M Al-Qadri, S.SiT, MT, dr Irawati, Nola Fajria,
SPd dan kepada seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan. Kepada
sahabat-sahabat terbaik penulis Yulia Rahmi, Devina Ellyza, Elisa Miranda, Sri
Wulan Wijayanti, Intan Keumalasari, Lupita Keumalasari, Raisa Laura, Nuraida,
Mariana Lussia Resubun, Muthmainna Marassabesi, Novia Mustika, Sri
Malahayati Yusuf, Rini Fitri, Indri Febriani, Afri Fajar, Hermawan Kurnia, Mirza
Azmi Husin, Defri Satya Zuma, Khabibi Nurrofi’, Sarif Robo, Haki Yusdinar dan
teman-teman di Forum DAS lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu
terima kasih atas motivasi, bantuan dan persahabatan yang tulus saat ini. Terima
kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
studi ini.
Penulis menyadari bahwa thesis ini belum sempurna, oleh karena itu segala
kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan ikhlas untuk perbaikan di

masa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat dan penulis
persembahkan karya ilmiah ini kepada Bangsa Indonesia, Insya Allah karya
ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2016
Najla Anwar Fuadi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah dan Pendekatan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Air Tanaman
Kebutuhan Air Irigasi
Neraca Air

Teknologi Irigasi Pipa
Produktivitas Air
Air Maya
3 METODE
Bahan dan Alat
Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian
Prosedur Percobaan
Pengamatan Lapangan
Pengukuran
Pengolahan Data
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran Evapotranspirasi dan Laju Perkolasi
Perhitungan Kebutuhan Air Netto di Sawah
Potensi Hasil Tanaman
Produktivitas Air
Produktivitas Air dan air Maya dalam Pengelolaan DAS
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

iii
iii
1
1
2
2
2
3
5
5
7
8
11
11
12
13
13
13

14
14
16
17
19
19
20
21
24
26
30
30
30
32
35

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17

Kelompok tanaman berdasarkan deplesi lengas tanah
Fraksi deplesi lengas tanah untuk grup tanaman dan maksimum
evapotranspirasi
Evapotranspirasi fase vegetatif dan fase generatif pada sawah
konvensional
Evapotranspirasi fase vegetatif dan fase generatif pada sawah SRI
Laju perkolasi fase vegetatif dan fase generatif pada sawah
konvensional
Laju perkolasi fase vegetatif dan fase generatif pada sawah SRI
Jumlah anakan dan anakan produktif sawah konvensional dan SRI
Berat padi per rumpun dan 1000 butir sawah konvensional dan SRI
Hasil aktual dan hasil potensial pada sawah konvensional dan SRI
Perhitungan produktivitas air pada sawah konvensional dan SRI
Kebutuhan air untuk menghasilkan beras secara Konvensional dan
SRI
Perhitungan impor air maya berdasarkan data impor beras Aceh
tahun 2011 dan tahun 2012
Kondisi produksi dan impor beras di DAS Krueng Aceh
Perhitungan kebutuhan air netto di sawah konvensional
Perhitungan kebutuhan air netto di sawah SRI
Jumlah anakan dan anakan produktif sawah konvensional dan SRI
Berat padi per rumpun dan 1000 butir sawah konvensional dan SRI

9
10
19
19
20
20
23
23
23
24
26
27
28
35
36
37
37

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Lokasi Penelitian
Sistem Pemberian Air Konvensional
Sistem Pemberian Air SRI
Peletakan lysimeter pada petak percobaan
Pengukuran evapotranspirasi dan perkolasi menggunakan lysimeter
Flowcart Penelitian
NFR fase vegetatif dan generatif sawah konvensional dan SRI
Perbandingan konsumsi air dan produktivitas air sawah konvensional dan
SRI
10 Dokumentasi Penelitian

4
13
15
15
16
17
18
21
25
37

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Air merupakan kebutuhan vital yang dibutuhkan oleh tanaman. Air menjadi
faktor utama yang menentukan tingkat produktivitas, intensitas dan luas tanam
potensial setiap lahan pertanian karena tanaman sangat peka terhadap kekurangan
air. Ketersediaan air untuk pertanian adalah hal penting dalam produksi tanaman
karena air berguna sebagai pengangkut hara tanaman dari tanah ke tempat
fotosintesa, mengedarkan hasil fotosintesa dan metabolisme tanaman (Buckman
& Brady 1969).
Kondisi air yang ada saat ini semakin terbatas untuk lahan pertanian.
Jumlah air irigasi di Irigasi Indonesia saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan
air tanaman pada petak lahan pertanian. Hal ini berkaitan dengan menyusutnya air
yang tersedia di waduk atau bendungan akibat daerah tangkapan hujan yang
berada disekitar waduk yang rusak dan juga jaringan irigasi yang rusak sehingga
menyebabkan kehilangan air pada saluran irigasi yang besar sehingga
menyebabkan menurunnya produktivitas pertanian (Safarina 2007). Masalah
kekurangan air dapat diatasi salah satunya dengan mengetahui berapa jumlah
kebutuhan air konsumtif yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu produk
barang atau jasa (virtual water) dan perhitungan produktivitas air, sehingga air
yang tersedia dapat dipakai secara tepat dan efisien. Pemakaian air secara tepat
bertujuan untuk memaksimalkan penggunaan air yang tersedia sehingga air dapat
diberikan sesuai kebutuhan serta dapat menentukan kebijakan dalam pengelolaan
air dengan produktivitas air yang tinggi.
Peningkatan produksi tanaman saat ini menempati prioritas utama dalam
pembangunan pertanian. Program yang mendapat perhatian khusus adalah
peningkatan produksi padi baik melalui program intensifikasi budidaya tanaman
maupun ekstensifikasi lahan pertanian. Selain menggunakan teknologi,
peningkatan produksi tanaman dapat dilakukan dengan melihat ketersediaan air
dan memperhatikan faktor cuaca terutama untuk meningkatkan intensitas
tanaman. Faktor cuaca merupakan faktor primer yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman sehingga untuk mendapatkan produksi
yang tinggi harus diperhatikan faktor cuaca yang sesuai untuk budidaya padi.
Munir (2012) menyatakan neraca air dapat diaplikasikan dalam peningkatan
produktivitas agroekosistem. Produktivitas dikaji melalui subsistem tanah, air dan
pola lahan untuk penggunaan pada periode tertentu. Analisis produksi dan
pertumbuhan dapat dilakukan melalui produksi bobot kering biomassa tanaman
pada pola pertanian sawah.
Metode SRI (System of Rice Intensification) dilaporkan dapat meningkatkan
produksi dibandingkan dengan budidaya penanaman secara konvensional.
Budidaya padi dengan metode SRI yang dikembangkan di sejumlah wilayah
Kawasan Timur Indonesia terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan dari
5,0 ton/ ha menjadi 7,4 ton/ha. Hasil penelitian Pusat Penelitian Pertanian di
Puyung, Lombok NTB, metode SRI memberikan hasil rata-rata 9 ton/ha
dibanding penanaman konvensional yang hanya mencapai 4-5 ton/ha (Anugrah et
al. 2007). Budidaya padi dengan metode System of Rice Intensification (SRI)
merupakan salah satu teknik yang dapat mencegah kerusakan lahan karena

2

merupakan budidaya organik. Selain itu dalam budidaya padi dengan metode SRI
penggunaan air diatur sehingga penggunaan air lebih efisien dan lebih sedikit
dibandingkan dengan teknik budidaya padi dengan metode lainnya.
Air yang tersedia harus dapat dikelola sehingga dapat dimanfaatkan
seefisien mungkin karena air yang berada di permukaan bumi terdapat dalam
jumlah yang tetap dari tahun ke tahun. Melalui sistem irigasi, kebutuhan air
selama pertumbuhan dapat tercukupi dengan cara memberikan air dalam jumlah,
waktu, dan cara yang efisien dan efektif (Sumarna 1999). Sistem jaringan irigasi
pipa memberikan keuntungan antara lain efisiensi air karena tidak terjadi infiltrasi,
penguapan dan perembesan sehingga kecukupan air akan terjamin. Irigasi pipa
memiliki manfaat meminimalkan kehilangan air di saluran dan tampungan di
lahan kering untuk meningkatkan indeks pertanaman (IP). Selain itu penerapan
teknologi memiliki keuntungan untuk meningkatkan fungsi hidrologis suatu DAS.
Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan penelitian. Penelitian
dilakukan guna mengetahui berapa tingkat produktivitas air yang tersedia dengan
penerapan metode pemberian air secara Konvensional dan SRI serta penerapan
irigasi pipa sehingga penggunaan air dapat dimanfaatkan seefisien mungkin akan
tetapi pada saat yang sama dapat meningkatkan hasil tanaman serta pengelolaan
DAS.
Perumusan Masalah dan Pendekatan Masalah
Masalah keterbatasan air saat ini merupakan masalah yang sering ditemui
di Indonesia. Keterbatasan air menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan air
tanaman sehingga menyebabkan penurunan produksi padi. Produktivitas padi
dapat dinaikkan dengan memperhatikan faktor ketersediaan dan kebutuhan air di
suatu areal persawahan. Air harus dapat dimanfaatkan secara efisien agar
kebutuhan air tercukupi. Salah satu teknik yang dapat dilakukan agar dapat
memanfaatkan air secara efisien dapat dilakukan dengan penggunaan irigasi pipa
dan teknik budidaya padi secara SRI. Pemanfaatan air yang efisien diharapkan
mampu memberikan prodiktivitas air dan produksi padi yang tinggi serta dapat
menyediakan air untuk kebutuhan lainnya. Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah berapa tingkat produktivitas air dan hasil tanaman padi pada teknologi
irigasi pipa dalam rangka pengelolaan daerah aliran sungai.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menghitung kebutuhan air padi
sawah dengan sistem pemberian air secara konvensional dan SRI menggunakan
irigasi pipa; (2) menganalisis tingkat produktivitas air dengan sistem pemberian
air konvensional dan SRI yang menggunakan teknologi irigasi pipa; (3)
mengidentifikasi tingkat produktivitas air dan hubungannya dengan air maya
(virtual water) untuk pengelolaan DAS.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai
tingkat produktivitas air dengan teknologi irigasi pipa dan memberikan masukan

3

kepada instansi terkait mengenai rencana pengelolaan DAS dalam pemanfaatan
air secara efisien dan memberikan produktivitas yang tinggi.
Kerangka Pemikiran
Keterbatasan air untuk pertanian saat ini terjadi baik di daerah kering
maupun daerah dengan curah hujan tinggi. Ketersediaan air pada beberapa
jaringan irigasi di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan air tanaman pada
petakan lahan pertanian. Kerusakan waduk atau bendungan dan jaringan irigasi
menyebabkan ketersediaan air semakin menyusut karena besarnya kehilangan air
pada saluran irigasi dan akhirnya berdampak pada produktivitan tanaman.
Program peningkatan produksi tanaman menjadi perhatian khusus dan
menempati prioritas utama terutama pada produksi padi. Peningkatan produksi
dapat dilakukan dengan cara intensifikasi maupun ekstensifikasi lahan. Faktor
cuaca merupakan faktor primer yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman untuk mendapatkan produksi yang tinggi. Produktivitas
dikaji melalui subsistem tanah, air dan pola lahan untuk penggunaan pada periode
tertentu. Analisis produksi dan pertumbuhan dapat dilakukan melalui produksi
bobot kering biomassa tanaman pada pola pertanian sawah (Munir 2012). Neraca
air juga memberikan informasi penting dalam pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS) dengan mengatur pemberian air yang tersedia sehingga dapat dimanfaatkan
dengan baik.
Aplikasi irigasi pipa dapat memberikan air secara efisien karena
kehilangan air yang terjadi hampir tidak ada. Hansen et al. (1979) menyatakan
irigasi dapat diartikan sebagai pemberian air tanah untuk mempertahankan
kelembaban tanah yang optimum untuk pertumbuhan tanaman. Melalui sistem
irigasi kebutuhan air selama pertumbuhan dapat tercukupi dengan cara
memberikan air dalam jumlah, waktu, dan cara yang efisien dan efektif (Sumarna
1999). Teknologi irigasi pipa merupakan enabling factor dalam pelaksanaan
pemberian air secara SRI karena teknologi irigasi pipa ini mampu mengatur
pemberian air secara intermitten. Pelaksanaan budidaya secara SRI akan berjalan
dengan lebih baik dengan adanya instalasi irigasi pipa. Oleh karena itu kombinasi
teknologi irigasi pipa dengan sistem pemberian air secara SRI diharapkan mampu
memberikan nilai efisiensi dalam pemanfaatan air yang tersedia.
Teknik budidaya menentukan tingkat produktivitas padi. Metode SRI
(System of Rice Intensification) dilaporkan memiliki hasil produksi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan budidaya padi dengan metode konvensional. Selain
itu budidaya metode SRI dapat menghemat air karena penggunaan air diatur
sesuai dengan kebutuhan tanaman padi pada setiap fase tanaman. Adanya
perencanaan yang baik dalam pengelolaan air perlu diketahui guna mengetahui
tingkat produktivitas air yang tersedia sehingga penggunaan air dapat
dimanfaatkan seefisien mungkin sehingga dapat meningkatkan produksi tanaman,
mendapatkan produktivitas air yang tinggi, dapat mengelola Sumber Daya Air dan
air tersedia bagi kebutuhan yang lainnya. Diagram alir kerangka pemikiran
disajikan pada Gambar 1.1.

4

Areal Persawahan
dalam DAS

Permasalahan
Produktivitas Air

Kebutuhan
Air

Aplikasi Irigasi Pipa

Teknik Budidaya Padi

Pengelolaan
Sumber Daya Air

Air Tersedia Bagi
Kebutuhan Lain

Pengelolaan DAS

Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Rekomendasi
Solusi

Produktivitas Air
yang Tinggi

Kerusakan
Jaringan Irigasi

Analisis
Solusi
Masalah

Analisis Air Maya

Ketersediaan Air
Berkurang

Permasalahan

Permasalahan
Keterbatasan Air

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Air Tanaman
Evapotranspirasi Potensial (PET) dan Evapotranspirasi Aktual (AET)
Kebutuhan air untuk tanaman adalah kebutuhan air untuk memenuhi
evapotranspirasi atau consumptive use tanaman, yaitu air irigasi yang diperlukan
untuk memenuhi evapotranspirasi dikurangi curah hujan efektif (Linsey &
Franzni 1979). Faktor-faktor yang mempengaruhi evapotranspirasi dapat
diketahui dengan membedakan evapotranspirasi potensial (PET) dan
evapotranspirasi aktual (AET). PET lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor
meteorologi, sementara AET dipengaruhi oleh faktor fisiologis tanaman dan unsur
tanah (Asdak 1995). Besarnya evapotranspirasi dipengaruhi oleh faktor jenis
tanaman dan tingkat pertumbuhan. Faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu,
kelembaban udara, kecepatan angin serta radiasi matahari dan garis lintang
(Doonrenbos & Pruit 1977).
Evapotranspirasi merupakan proses gabungan antara evaporasi dengan
transpirasi. Evaporasi adalah air yang hilang dari tanah sekeliling tanaman,
permukaan daun dan permukaan air. Transpirasi adalah air yang masuk ke dalam
akar tanaman dan di gunakan tanaman atau air yang hilang melalui daun ke
atmosfir (Hansen et al. 1979).
Evaporasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari
permukaan tanah karena pengaruh faktor-faktor iklim. Evaporasi (penguapan)
adalah proses perubahan zat cair menjadi gas, proses ini merupakan satu-satunya
bentuk transfer yang mengubah air daratan dan lautan menjadi uap yang
memasuki atmosfir. Transpirasi adalah suatu proses pada peristiwa uap air
meninggalkan tubuh tanaman dan memasuki atmosfir. Besarnya laju transpirasi
kurang lebih sama dengan laju evaporasi apabila pori-pori daun (stomata) terbuka
(Asdak 1995).
Evaporasi dan transpirasi terjadi secara bersamaan dan tidak mudah
membedakan kedua proses tersebut. Terlepas dari ketersediaan air pada lapisan
tanah atas, evaporasi dari tanah bertanaman sangat dipengaruhi oleh radiasi
matahari yang mencapai permukaan tanah. Radiasi berkurang setelah masa
pertumbuhan karena telah tumbuh dan tanah tertutup tanaman, ketika tanaman
kecil, air secara dominan hilang karena proses evaporasi yang terjadi di tanah.
Tetapi ketika tanaman telah tumbuh dengan baik dan telah menutupi tanah
sepenuhnya, maka transpirasilah yang menjadi proses utama (Allen 1998).
Evapotranspirasi merupakan proses total perpindahan air dari permukaan
tanah yang bervegetasi. Besarnya evapotranspirasi dapat diperkirakan dengan
metode langsung dan tidak langsung. Pengukuran secara langsung dengan
melakukan pengukuran langsung di lapangan dengan menggunakan lysimeter.
Sedangkan metode tidak langsung yaitu dengan mengestimasi besarnya
evapotranspirasi dengan menggunakan data-data klimatologi. Evapotranspirasi
merupakan salah satu mata rantai dalam siklus hidrologi dan komponen penting
dalam perhitungan kebutuhan dan ketersediaan air (Asdak 1995).
Evapotranspirasi Potensial (ETo) dapat dihitung dengan menggunakan
rumus (Doorenbos & Pruit 1977):

6

ETo = C x (W x Rs)

(1)

Dimana ETo = evapotranspirasi potensial (mm/hari), Rs = radiasi matahari
dalam ekuivalen dengan evaporasi (mm/hari), W = faktor pemberat yang
tergantung dari suhu dan ketinggian tempat, dan C = faktor penyesuai yang
tergantung dari kelembaban relative rata-rata dan kecepatan angin.
Evapotranspirasi tanaman juga dapat dihitung dengan metode Penman dapat
menggunakan persamaan berikut (Doorenbos & Pruit 1977):
Eto = cW.Rn + 1 – f U (ea – ed)

(2)

Dimana Eto = evapotranspirasi potensial (mm/hari), C = faktor koreksi
akibat kondisi siang dan malam, W = faktor tertimbang yang dipengaruhi oleh
suhu udara, Rn = radiasi netto (mm/hari), f(u) = fungsi yang dipengaruhi oleh
kecepatan angin, dan (ed-ea) = perbedaan antara tekanan udara jenuh dan udara
atmosfir (mbar).
Sedangkan nilai evapotranspirasi maksimum (Etm) atau kebutuhan air
konsumtif dapat dihitung dengan rumus:
Etm = Eto x kc

(3)

Dimana Etm = evapotranspirasi maksimum (mm/hari), dan Kc = koefisien
tanaman yang nilainya tergantung dari tahap pertumbuhan.
Perkolasi
Perkolasi adalah gerakan air kebawah melalui tanah, terutama aliran ke
bawah dalam keadaan tanah jenuh atau hampir jenuh (Buckman & Brady 1969).
Perkolasi tersebut merupakan kelanjutan dari infiltrasi, yaitu masuknya air dari
permukaan tanah ke dalam tanah. Infiltrasi merupakan air yang berada disekitar
daerah perakaran dan tersedia bagi tanaman sehingga dapat diserap oleh akar.
Sedangkan perkolasi merupakan air yang tidak tersedia karena berada di luar
daerah perakaran. Kecepatan rata-rata perkolasi untuk tanaman padi pada
ketebalan lapisan tanah atas (top soil) 50 cm untuk beberapa tekstur tanah yaitu
tanah dengan tekstur lempung berpasir sebesar 3.0-6.0 mm/hari, lempung 2.0-3.0
mm/hari, lempung liat berdebu 1.5-2.5 mm hari-1 dan lempung berliat sebesar 1.02.0 mm hari-1.
Curah Hujan Efektif
Curah hujan merupakan komponen penting dalam hidrologi karena
merupakan satu-satunya sumber air di suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Curah
hujan bervariasi menurut waktu dan ruang. Variasi menurut waktu ditandai
dengan adanya pergantian musim, sedangkan variasi menurut ruang dipengaruhi
oleh adanya uap air, letak geografi dan elevasi setempat.
Sebagian keperluan air, baik untuk penyiapan lahan, pertumbuhan tanaman
maupun yang hilang karena perkolasi dapat diganti dengan curah hujan setempat.
Tetapi mengingat sebagian hujan tidak dapat dimanfaatkan karena akan mengalir
sebagai limpasan permukaan (surface runoff), maka bagian hujan yang dapat

7

dimanfaatkan hanya hujan yang dinyatakan sebagai hujan efektif (Re) (Supriatno
2003).
Jumlah curah hujan yang jatuh dan efektif untuk pertumbuhan tanaman
tergantung pada intensitas curah hujan, topografi sistem penanaman dan tahap
pertumbuhan. Perhitungan curah hujan efektif dapat ditentukan secara empiris
(Oldeman & Syariffudin 1977).
Kebutuhan Air Irigasi
Kebutuhan air irigasi adalah air yang digunakan oleh lahan dan tanaman
pada selang waktu tertentu. Kebutuhan air irgasi dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu (1). Kebutuhan air tanaman (Crop Water Requirement/CWR) adalah
evapotranspirasi atau consumptive use bagi suatu jenis tanaman; (2). Kebutuhan
air lahan (Farm Water Requirement) adalah kebutuhan air untuk suatu unit areal
pertanaman; (3). Kebutuhan air untuk irigasi (Irrigation Project Water
Requirement/IWR) adalah jumlah kebutuhan air keseluruhan suatu areal irigasi
(Partowijoto 1984).
Kebutuhan air irigasi padi sawah meliputi kebutuhan untuk
evapotranspirasi, kehilangan air karena perkolasi dan rembesan, disamping itu
untuk pengairan awal dibutuhkan sejumlah air untuk penjenuhan tanah.
Sedangkan pada tanaman selain padi sawah kehilangan air karena perkolasi dan
rembesan tidak termasuk kebutuhan air irigasi. Fungsi air tanaman padi adalah
untuk mengatur suhu tanaman dan kondisi kelembaban serta mempengaruhi
pertumbuhan dan hasil tanaman padi. Kebutuhan air tanaman penting untuk
diketahui agar air irigasi dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan. Jumlah air
yang diberikan secara tepat, akan merangsang pertumbuhan tanaman dan
meningkatkan efisiensi penggunaan air sehingga dapat meningkatkan luas areal
tanaman yang bisa diairi. Dalam perancangan sistem irigasi, kebutuhan air untuk
tanaman dihitung dengan menggunakan metode prakira empiris berdasar rumus
tertentu (Ditjen Pengairan 1986; Purba 2011). Pada saat ini ketersediaan air
merupakan faktor yang sangat mempengaruhi kebutuhan air di sawah. Air yang
tidak cukup menyebabkan pertumbuhan padi tidak sempurna bahkan bisa
menyebabkan padi mati kekeringan (Rizal et al. 2014).
Jumlah kebutuhan air untuk irigasi pada umumnya dipengaruhi beberapa
faktor yaitu jenis tanah, sifat tanah, macam dan jenis tanaman, keadaan iklim,
keadaan topografi dan luar komplek areal. Kebutuhan air irigasi dapat dibedakan
atas kebutuhan untuk pertumbuhan tanaman, kebutuhan air untuk petak sawah,
dan kehilangan air selama penyaluran (Arsyad 1989).
Perkiraan Kebutuhan bersih air di sawah untuk padi (Net Field
Requirement/NFR) sesuai dengan prosedur perencanaan jaringan (Ditjen
Pengairan 1986), yaitu sebagai berikut:
NFR = Etm + P – Re + WLR

(4)

Dimana NFR = kebutuhan bersih air di sawah (l det-1 ha-1), Etm =
evapotranspirasi maksimum (penggunaan konsumtif) (mm/hari), P = kehilangan
air akibat perkolasi (mm/hari), Re = curah hujan efektif (mm/hari), dan WLR =
penggantian lapisan air untuk penggenangan (mm/hari).

8

Nilai kebutuhan air konsumtif untuk perubahan-perubahan fase pertumbuhan
tanaman tersebut merupakan nilai koefisien faktor tanaman (kc). Nilai koefisien
pertumbuhan tanaman (kc) tergantung jenis tanaman dan periode pertumbuhan
tanaman yang ditanam, untuk tanaman jenis yang sama juga berbeda menurut
varietasnya (Prastowo 2010). Laju perkolasi sangat tergantung pada sifat-sifat tanah,
dan sifat tanah umumnya tergantung pada kegiatan pemanfaatan lahan atau
pengolahan tanah. Pada tanah bertekstur lempung berat dengan karakteristik
pengolahan (puddling) yang baik, laju perkolasi dapat mencapai 1-3 mm hari-1. Pada
tanah-tanah yang bertekstur lempung lebih ringan, laju perkolasi bisa lebih tinggi.
Kebutuhan air untuk mengganti lapisan air ditetapkan berdasarkan Standar
Perencanaan Irigasi 1986 KP-01. Besar kebutuhan air untuk penggantian lapisan air
adalah 50 mm bulan-1 (atau 3.3 mm hari-1 selama ½ bulan) selama sebulan dan dua
bulan setelah transplantasi (Triatmodjo 2013).
Penjenuhan lapisan olah dibutuhkan untuk mengisi pori-pori tanah agar
tersedia bagi tanaman, sehingga jumlah air sedikit lebih banyak dari batas
kapasitas lapang. Pada umumnya ketersediaan air bagi tanaman merupakan
jumlah air yang terdapat diantara batas titik layu permanen dan kapasitas lapang,
kecuali untuk tanaman padi sawah (Doorenbos dan Pruit 1977).

Neraca Air
Neraca air diartikan sebagai selisih antara jumlah air yang diterima oleh
tanaman dan kehilangan air beserta tanah melalui evapotranspirasi. Dalam
perhitungan digunakan satuan tinggi air (mm atau cm) untuk seluruh unsur.
Satuan waktu yang digunakan dapat dipilih baik harian, mingguan, dekade,
bulanan maupun tahunan sesuai keperluan (Munir 2012). Neraca air tersebut
disusun secara klimatologis dan bermanfaat untuk mengetahui kondisi
agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah dan penggunaan air tanaman
untuk perencanaan tanam tiap kultivar. Secara umum model neraca air disusun
berdasarkan persamaan berikut:
Q = Re - Eta ± ∆S

(5)

Dimana Q = debit irigasi (mm), Re = curah hujan efektif pada suatu
periode (mm), Eta = evapotranspirasi aktual (mm) dan ∆S = perubahan cadangan
lengas tanah (mm).
Perhitungan neraca air dihitung berdasarkan persamaan umum model neraca
air dimana komponen-komponen neraca air tanaman yang digunakan antara lain:
- Curah hujan
- Data temperatur udara
- Data sifat fisik tanah
- Data vegetatif penutup
- APWL (Accumulation Potential Water Level)
Perhitungan APWL atau akumulasi potensi kehilangan air dibutuhkan
untuk mengetahui potensi kehilangan air pada bulan kering.
- Perubahan Kelembaban Cadangan Lengas Tanah (∆S)
Perubahan Kelembaban Cadangan Lengas Tanah (∆S) dihitung dari
kemampuan tanah menahan air. Kemampuan tanah menahan air diperoleh
berdasarkan hasil perkalian antara persentase luas penggunaan lahan, air tersedia

9

dan kedalaman zona perakaran. Persentase luas penggunaan lahan dan
kedalaman zona perakaran diperoleh berdasarkan survei lapangan.
- ETa dengan dua kondisi prasyarat yaitu jika CH ≥ ETo maka ETa = ETo dan
jika CH < ETo maka ETa = CH + Perubahan Lengas Tanah
- Defisit : berkurangnya air untuk dievapotranspirasikan sehingga nilai defisit
adalah nilai ETo-ETa
- Surplus : kelebihan air ketika CH > ETP dengan rumusan S = CH – ETo –
Perubahan Lengas Tanah
Perhitungan neraca air dilakukan untuk mendapatkan informasi
ketersediaan air dilapangan sehingga dapat disesuaikan antara ketersediaan dan
kebutuhan air sehingga air dapat dimanfaatkan secara efisien.
Cekaman kekeringan yang berlebihan merupakan faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan produksi di areal pertanian. Defisit dan cekaman
air untuk tanaman berpengaruh terhadap evapotranspirasi dan hasil tanaman.
Secara empiris hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut (Doorenbos &
Kassam 1979):
ቀ -

a

ቁ =Ky
m

Ky =

ቀ -

Eta



(6)

Etm

Nisbah Pengurangan Produksi

Nisbah Pengurangan Evapotranspirasi

(7)

Dimana Ky = faktor respon hasil, 1-Ya/Ym = nisbah pengurangan
produksi, dan 1-Eta/Etm = nisbah pengurangan evapotranspirasi.
Nilai ETa = ETm jika lengas tanah cukup tersedia dan ETa < ETm jika
lengas tanah tidak mencukupi. Total lengas tanah tersedia didefinisikan sebagai
kolom air per meter kedalaman tanah (mm/m) dimana lengas tanah pada selang
antara kapasitas lapang dan titik layu. Apabila lengas tanah mencapai kapasitas
lapang maka ETa = ETm, jika lengas tanah berkurang maka sampai pada kondisi
tertentu, maka ETa < ETm. Bagian dari total lengas tanah yang tersedia yang
dipakai oleh tanaman dideplesikan sampai pada suatu kondisi tertentu, dimana
ETa < ETm didefinisikan sebagai fraksi (p) dari total lengas tanah tersedia (Sa)
(Doorenbos dan Kassam 1979). Nilai fraksi p (faktor deplesi) ini tergantung pada
jenis tanaman dan besarnya Etm (Tabel 2.1 dan Tabel 2.2).
Tabel 2.1 Kelompok tanaman berdasarkan deplesi lengas tanaha
Grup
1
2
3
4
a

Tanaman
Bawang, lada, kentang
Pisang, kubis, anggur, pea, tomat
Alfalfa, kacang (bean), jeruk, kacang tanah, nenas, bunga matahari,
semangka, gandum
Kapas, jagung, olive, safflower, sorghum (cantel), kedelai, gula bit,
tebu, tembakau

Sumber: Doorenbos dan Kassam (1979)

10

Tabel 2.2 Fraksi deplesi lengas tanah (p) untuk grup tanaman dan maksimum
evapotranspirasi (ETm)a
Etm (p) (mm/hari)
Kelompok
tananman
2
3
4
5
6
8
9
10
7

a

1

0.50

0.42

0.35

0.30

0.25

0.22

0.20

0.20

0.17

2

0.67

0.57

0.475

0.40

0.35

0.32

0.27

0.25

0.22

3
4

0.80
0.87

0.70
0.80

0.60
0.70

0.50
0.60

0.45
0.55

0.42
0.50

0.37
0.45

0.35
0.42

0.30
0.40

Sumber: Doorenbos dan Kassam (1979)

Apabila pasok air tidak dapat memenuhi keperluan tanaman, maka
evapotranspirasi aktual (ETa) akan lebih kecil dari pada ETm. Pada kondisi ini
akan terjadi stress air yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan akhirnya
juga mempengaruhi hasil tanaman. Pengaruh stress air terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman tergantung pada spesies dan varietas tanaman, besarnya defisit air
serta waktu terjadinya defisit air. Setiap tanaman mempunyai karakteristik respon
yang berbeda terhadap defisit air. Pada kondisi ETa = ETm, jumlah total bahan
kering dan hasil yang diproduksi per unit air yang dikonsumsi (kg/m3) juga
berbeda untuk setiap jenis tanaman. Hal ini dapat dinyatakan dengan efisiensi
pemanfaatan air tanaman, yang dapat dinyatakan dengan total bahan kering
tanaman per m3 air (Em) dan total hasil panen per m3 air (Ey).
Apabila defisit air terjadi pada tahapan periode pertumbuhan tertentu, maka
respons tanaman juga akan berbeda tergantung pada kepekaan (sensitivity)
tanaman pada tahapan pertumbuhan tersebut. Secara umum tanaman lebih peka
terhadap defisit air pada perioda perkecambahan, pembungaan dan awal
pembentukan hasil (yield formation) dari pada awal vegetatif dan pematangan
(Munir 2012).
Respon tanaman terhadap defisit air untuk suatu jenis tanaman juga akan
berbeda untuk setiap varietas dari jenis tanaman tersebut. Umumnya varietas
unggul peka terhadap air, pupuk dan input agronomi lainnya. Varietas lokal
kurang peka terhadap defisit air sehingga umumnya lebih cocok untuk daerah
tadah hujan (Doorenbos dan Kassam 1979).
Respons tanaman terhadap air tidak dapat diperlakukan secara terpisah dari
faktor agronomis lainnya yakni pemupukan, kerapatan tanaman dan perlindungan
tanaman, sebab faktor-faktor tersebut juga menentukan hasil aktual (Ya) dan juga
hasil maksimum (Ym) yang dapat dicapai. Faktor tanggapan hasil (Ky)
merupakan hasil perbandingan antara nilai penurunan hasil relatif (1-Ya/Ym) dan
penurunan evapotranspirasi relatif (1-ETa/ETm). Tanggapan hasil tanaman
terhadap air (Yield response to water) merupakan fungsi dari hubungan hasil
tanaman terhadap pasokan air irigasi. Jumlah air irigasi yang diberikan pada
tanaman akan menentukan faktor Ky pada tanaman, karena besarnya air irigasi
menentukan besarnya nilai Etc (Setiawan et al. 2014).
Perhitungan respon hasil tanaman terhadap cekaman air dapat dihitung
dengan persamaan Doorenbos dan Kassam (1979). Apabila keperluan air tanaman
dipenuhi oleh lengas tanah (kadar air tanah) maka nilai ETa = ETm, dimana ETa
merupakan evapotranspirasi aktual dan ETm merupakan evapotranspirasi
maksimum. Apabila lengas tanah tidak mencukupi maka nilai ETa < ETm dan

11

nisbah produksi Ya < Ym. Respon setiap jenis tanaman berbeda-beda terhadap
kekurangan air pada setiap fase pertumbuhannya. Waktu pemberian dan
banyaknya air irigasi sangat penting untuk meningkatkan efisiensi penggunaan air
dan memaksimalkan produksi.
Dalam program peningkatan produksi dengan cara perbaikan sistem irigasi
harus diikuti dengan penggunaan varietas unggul. Respons tanaman terhadap air
tidak dapat diperlakukan secara terpisah dari faktor agronomis lainnya yakni
pemupukan, kerapatan tanaman dan perlindungan tanaman, sebab faktor-faktor
tersebut juga menentukan hasil aktual (Ya) dan juga hasil maksimum (Ym) yang
dapat dicapai (Doorenbos & Kassam 1979). Nilai faktor respon hasil tanaman
terhadap cekaman air dapat menunjukkan berapa besar pasokan air yang akan
diberikan melalui irigasi pipa sehingga memberikan hasil yang optimum pada
waktu dan luasan tertentu dan menggunakan sistem pemberian air secara
konvensional.
Teknologi Irigasi Pipa
Kinerja suatu sistem irigasi pertanian ditentukan oleh efisiensi air yang
didistribusikan, disalurkan dan diberikan serta oleh kecukupan dan keseragaman
pemberian air pada lahan pertanian. Pada dasarnya sistem pengairan otomatis
merupakan sistem yang dapat mengkontrol pompa air untuk digunakan mengairi
lahan pertanaman secara otomatis sehingga diharapkan dengan adanya sistem ini
maka pengairan akan lebih efektif dan efisien (Handoko et al. 2011).
Solusi teknis yang operasional dalam pendayagunaan sumberdaya air adalah
peningkatan efisiensi, nilai tambah dan daya saing air untuk mendukung sistem
produksi pertanian. Teknologi irigasi modern seperti irigasi tetes dan irigasi pipa
yang berbasis komponen lokal perlu diadaptasikan agar kontribusi sumberdaya
airterhadap sistem produksi pertanian dapat dioptimalkan sehingga dapat
mengurangi dampak kelebihan air pada musim hujan dan kekurangan air pada
musim kemarau (Irianto 2005). Metode untuk meningkatkan hasil pertanian
disamping mengembangkan jenis atau mutu tanaman adalah dengan
memanfaatkan teknologi jaringan irigasi perpipaan. Keunggulan penggunaan
sistem tersebut yaitu meningkatkan efisiensi penggunaan air, menghemat luasan
tanah yang digunakan untuk jaringan, mengurangi biaya dan mempermudah
pemeliharaan, tidak membahayakan bagi anak kecil, operasi mudah dan juga
pembagian air lebh tepat dan cepat dibandingkan saluran terbuka.
Produktivitas Air
Produktivitas air didefinisikan sebagai rasio pemanfaat air untuk kebutuhan
air minum, tanaman, kehutanan, perikanan, peternakan, dan sistem pertanian
campuran dengan jumlah air yang dibutuhkan untuk menghasilkan produksi yang
optimum. Artinya, dengan sedikit air dapat meningkatkan produksi pangan lebih
tinggi atau memperoleh manfaat lebih banyak. Produktivitas air fisik didefinisikan
sebagai rasio massa air dengan jumlah air yang digunakan dari hasil pertanian,
dan produktivitasnya. Produktivitas air juga kadang-kadang diukur khusus untuk
tanaman (produktivitas air tanaman) dan ternak (produktivitas air ternak).
Produktivitas air dalam arti luas berkaitan dengan manfaat sosial ekonomi dan
lingkungan yang sehat dapat dicapai melalui penggunaan air di sektor pertanian,

12

termasuk perikanan, peternakan, agroforestri, dan industri perkotaan. Konsep ini
mencerminkan menggunakan seminimal mungkin sumber daya air yang semakin
langka. Alasan penting untuk meningkatkan produktivitas air di sektor pertanian
yaitu untuk memenuhi peningkatan permintaan makanan dari meningkatnya
pertumbuhan populasi yang dapat mengakibatkan kekurangan air, untuk
memastikan air yang tersedia perlu dilakukan pengalokasian air dari pertanian ke
kota-kota dan untuk keperluan lingkungan, untuk memberikan kontribusi bagi
pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, penggunaan yang lebih
produktif yang dapat mengentaskan kemiskinan dipedesaan, memberikan nutrisi
yang lebih baik untuk keluarga, lapangan kerja produktif, dan berkeadilan. Target
produktivitas air yang tinggi dapat mengurangi biaya investasi dengan
mengurangi jumlah air yang harus diambil (Molden & Oweis 2007).
Efisiensi penggunaan air mutlak diperlukan dalam upaya untuk
meningkatkan nilai ekonomi air irigasi, oleh karena itu salah satu strategi yang
dapat dilakukan adalah dengan mengubah paradigma nilai produktivitas lahan dari
hasil produk (produk komoditi) per satuan luas lahan menjadi produktivitas air
yaitu hasil persatuan volume air yang digunakan. Produktivitas air tanaman adalah
perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan jumlah air yang diberikan
terhadap tanaman, dengan satuan kg hasil per m3 air yang digunakan.Peningkatan
produksi tanaman dengan menggunakan air yang sedikit dapat dilakukan dengan
penerapkan konsep produktivitas air tanaman (CWP) melalui sistem irigasi
(Prabowo & Wiyono 2006).
Air Maya (Virtual Water)
Air maya (virtual water) didefinisikan sebagai jumlah air yang digunakan
dalam memproduksi suatu komoditi hasil produksi industri maupun pertanian.
Konsep air maya dibuat menjadi konsep yang nyata dengan tujuan utama yaitu
agar dapat melacak dan memetakan berapa banyak air yang diperlukan dan dapat
digunakan untuk memproduksi sesuatu. Jumlah kandungan air virtual berbeda
walaupun digunakan untuk memproduksi komoditi yang sama dengan jumlah
yang sama pula. Hal ini tergantung pada situasi dan kondisi saat berlangsungnya
proses produksi, dimana tempat dan waktu proses produksi tersebut berlangsung
(Hoekstra & Chapagain 2007).

13

3 METODE
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu padi varietas IPB 3S,
pupuk organik, dan pestisida organik. Alat yang digunakan dalam percobaan ini
yaitu empat buah lysimeter tertutup dan delapan buah lysimeter terbuka, alat
penakar hujan, dan mistar.
Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian
Percobaan ini akan dilakukan di Sawah Percobaan Desa Cikarawang
Kecamatan Daramaga Kabupaten Bogor Jawa Barat. Desa Cikarawang
merupakan salah satu desa di Kecamatan Dramaga di Kabupaten Bogor yang
termasuk kedalam desa lingkar kampus IPB Dramaga. Desa Cikarawang memiliki
jumlah penduduk sekitar 8 245 jiwa dengan luas seluruh wilayah desa 226.56 ha.
Desa Cikarawang secara umum berupa dataran yang sebagian besar merupakan
persawahan dan memiliki potensi sebagai sumber penghasil beras dengan luas
sawah 128.11 ha atau 56.55% dari luas Desa Cikarawang (Ratih 2012). Desa
Cikarawang secara administratif berbatasan dengan Sungai Cisadane disebelah
utara, Kelurahan Situ Gede Kecamatan Bogor Barat disebelah Timur, Sungai
Ciapus disebelah Selatan dan Sungai Ciapus dan Sungai Cisadane Barat.

Gambar 4.1 Lokasi Penelitian

14

Penelitian ini dilakukan pada Mei 2015 sampai Mei 2016. Analisis tanah
dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor dan Balai Penelitian Tanah Bogor.
Prosedur Percobaan
Metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode deskriptif. Data
yang dikumpulkan adalah data sekunder dan data primer. Data primer diperoleh
dari pengamatan lapangan dan data sekunder diperoleh dari studi pustaka,
pencatatan data yang sudah ada, wawancara dan hasil penelitian terdahulu. Data
primer terdiri dari pengukuran evapotranspirasi tanaman padi, evaporasi, curah
hujan, dan perkolasi. Tahap penelitian yang dilakukan yaitu pengamatan
lapangan, pengukuran, dan pengolahan data.
Pengamatan Lapangan
Pengamatan lapangan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung di
petak tersier. Pengamatan dimulai dengan mengumpulkan data sekunder yang
bersumber dari lapangan. Data sekunder yang dikumpulkan yaitu sistem
pemberian air irigasi, data curah hujan, evapotranspirasi potensial, temperatur dan
data tanah.
Teknologi Irigasi Pipa dan Sistem Pemberian Air
Teknologi irigasi yang digunakan pada penelitian ini adalah irigasi pipa.
Pipa yang digunakan berdiameter 6 inci dengan panjang 52 meter. Pipa dilengkapi
dengan bola pelampung yang sudah didesain khusus dan akan menutup saluran
ketika air di petak sawah sudah tergenang setinggi yang telah ditentukan.
Teknologi irigasi pipa dipakai pada kedua petak sawah yaitu sawah konvensional
dan sawah SRI.
Pada petak percobaan yang akan dibandingkan adalah sistem pemberian air
irigasi yang dilakukan dengan sistem konvensional dan Sistem of Rice
Intensification (SRI) dengan aplikasi teknologi irigasi pipa pada masing-masing
petak sawah. Kedua metode pemberian air ini akan dibandingkan dengan melihat
respon hasil tanaman tingkat produktivitas air pada masing-masing petak
percobaan. Sistem pemberian air konvensional, pemberian air pada petakan sawah
akan digenangi dari awal penanaman sampai sebelum masuk masa persiapan
panen. Sedangkan metode SRI pemberian air dilakukan secara terputus-putus
(intermitten) sesuai dengan kebutuhan air tanaman pada setiap fase tanaman.
Pemberian air secara SRI akan dikombinasikan dengan menggunakan irigasi pipa.
Air yang diberikan pada petak sawah konvensional digenangi terus
menerus setinggi 2 cm dari awal penanaman sampai 85 HST dan pengeringan
sawah dilakukan saat pemupukan dan pada masa persiapan panen (86 - 100 HST).
Petak SRI air diberikan secara terputus-putus (intermittent) dari awal penanaman
sampai 85 HST. Penggenangan sawah setinggi 2 cm dilakukan hanya saat
dilakukan penyiangan dan pengeringan sawah dilakukan pada masa persiapan
panen (86 – 100 HST).

15

Gambar 3.1 Sistem pemberian air konvensional

Gambar 3.2 Sistem pemberian air SRI
Teknologi irigasi pipa yang digunakan merupakan irigasi pipa yang
dilengkapi dengan bola yang dapat menutup saluran pipa dimana sumber air
diberikan jika ketinggian air sudah mencapai genangan 2 cm dipetak sawah. Petak
sawah konvensional digenangi secara kontinyu, sedangkan petak sawah SRI
diberikan air secara terputus-putus dengan pemberian air di awal setinggi 2 cm
kemudian air akan dibiarkan macak-macak hingga retak rambut baru kemudian air
diberikan kembali ke petak sawah. Pada teknik budidaya secara SRI, teknologi
irigasi pipa merupakan enabling factor yang dapat membantu pemberian air yang
dilakukan secara intermitten karena adanya keran pada saluran yang dapat
mengatur bukaan air yang harus diberikan ke petak sawah.

16

Pengukuran
Pengukuran Evapotranspirasi dan Laju Perkolasi
Pengukuran evapotranspirasi dan laju perkolasi dilakukan untuk mengetahui
berapa besar kehilangan air yang terjadi di lapangan oleh konsumsi tanaman dan
air yang hilang kedalam tanah, sehingga diketahui berapa besar kebutuhan air di
petak sawah. Petak sawah percobaan konvensional dan SRI masing-masing
memiliki luas 400 m2. Pengukuran evapotranspirasi tanaman dilakukan dengan
metode pengukuran langsung dilapangan. Pengukuran evapotranspirasi tanaman
dan laju perkolasi yang dilakukan langsung dilapang menggunakan susunan tiga
buah lysimeter. Lysimeter terbuat dari drum dengan diameter 45 cm dan tinggi 60
cm. Kemudian Lysimeter dimasukkan kedalam tanah kurang lebih 30 cm.
Pengukuran untuk masing-masing jumlah kehilangan air pada lysimeter akan
dilakukan dua pengulangan. Dalam lysimeter diisi air dengan ketinggian kurang
lebih sama dengan ketinggian air di luar lysimeter. Kehilangan air dalam lysimeter
diukur dengan menggunakan mistar setiap hari pada jam yang sama yaitu pada
pukul 06.00 WIB. Pengukuran evapotranspirasi dan laju perkolasi dilakukan pada
masa vegetatif, generatif dan pemasakan. Peletakan lysimeter di petak sawah
dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Gambar 3.3 Peletakan lysimeter pada petak percobaan
Pengukuran kehilangan air dengan susunan tiga buah lysimeter dapat dilihat
pada Gambar 3.4. Tangki A berdasar terbuka dan ditanami padi digunakan untuk
mengukur jumlah kehilangan air tanaman oleh evapotranspirasi dan perkolasi (Et
+ P). Tangki B berdasar terbuka dan tanpa ditanami padi, digunakan untuk
mengukur evaporasi dan perkolasi (E + P). Tangki C dengan dasar tertutup dan
tanpa ditanami padi digunakan untuk mengukur evaporasi (E). Perubahan tinggi

17

genangan pada ketiga tangki tersebut dicatat setiap hari dari awal tanam padi
hingga panen.

Gambar 3.4 Pengukuran evapotranspirasi dan perkolasi dengan menggunakan
lysimeter
Perhitungan jumlah kebutuhan air pada setiap proses adalah sebagai berikut:
Transpirasi
Perkolasi
Evapotranspirasi

=A–B
=B–C
= A – (B – C)

Pengukuran Curah Hujan Efektif
Pengukuran curah hujan efektif didapatkan berdasarkan curah hujan yang
terjadi di lapangan saat pengamatan berlangsung. Alat penakar hujan yang
digunakan yaitu alat pena