NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH SERENTAK KABUPATEN BANTUL TAHUN 2015

(1)

NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH SERENTAK

KABUPATEN BANTUL TAHUN 2015

Oleh:

WIDURI WULANDARI NIM. 20130520333

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH SERENTAK

KABUPATEN BANTUL TAHUN 2015

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh: WIDURI WULANDARI

NIM. 20130520333

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA (ASN) DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH SERENTAK KABUPATEN BANTUL TAHUN

2015 Disusun oleh: Widuri Wulandari

20130520333

Telah dipertahankan dan disahkan di depan Tim Penguji Jurusan Ilmu Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Pada

Hari/Tanggal : Jum‟at, 9 Desember 2016 Pukul : 09.00-10.00

Tempat : Ruang Ujian IP SUSUNAN TIM PENGUJI

Ketua

Tunjung Sulaksono, S.IP., M.Si

Penguji I Penguji II

Dr. Zuly Qodir, M.Si. Dr. Titin Purwaningsih, S.IP., M.Si. Mengetahui,

Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan UMY


(4)

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Widuri Wulandari

NIM : 20130520333 Menyatakan bahwa:

1. Skripsi dengan judul “Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak Kabupaten Bantul Tahun 2015” yang saya buat ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapat gelar kesajarnaan di suatu Perguruan Tinggi.

2. Isi skripsi ini adalah murni gagasan, rumusan dan penilaian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan dosen pembimbing.

3. Saya menyetujui penggunaan skripsi ini dalam berbagai forum ilmiah, maupun dalam bentuk karya ilmiah lainnya.

4. Dalam skripsi ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan dalam daftar pustaka.

5. Apabila ternyata dalam skripsi ini diketahui terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain maka saya bersedia skripsi ini dibatalkan.

Yogyakarta, Desember 2016 Yang Membuat Pernyataan


(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

Papaku tersayang (alm) Drs.H.Nizar Syarief Marbun S.Ag Bundaku tercinta Hj.Diah Astuti Nasution

Kakakku Jannah Maryam Ramadhani , S.Psi Abangku Priyo Wira Haditama, SH

Kakakku Dara Wuri Handayani Almamaterku,-


(6)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah memberikan semangat dan dukungan serta motivasi dalam penulisan skripsi ini:

 Papaku Drs.H.Nizar Syarief Marbun, S.Ag., yang selalu menjadi inspirasi, yang menjadi motivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Yang sebelum kepergiannya selalu menjadi tempat konsultasi judul skripsi. Paaaaaa, akhirnya selesai juga! Papa pastinya senang sana.

 Bundaku Hj.Diah Astuti Nasution yang telah banyak berjuang, berusaha dan berdoa buat kita anak-anaknya, yang selalu kuat, tegar buat mencari nafkah sendiri sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sehat terus yaa bundaa!

 Kakakku Jannah Maryam Ramadhani, S.Psi yang selalu mengingatkan buat ngerjain skripsi ini dan menjadi inspirasi penulis. Hayuk kak, nyusul juga buat selesaiin thesis S2 nya!

 Abangku Priyo Wira Haditama, SH dan Istri Mbak Ulan, ponakan pinterku Abbas Maulana Lumban Batu, yang menjadi tempat hiburan penulis disaat mulai lelah dengan skripsi. Semoga menjadi keluarga yang diridhoi Allah.  Kakakku Dara Wuri Handayani dan Suami Iyan, ponakan cerewetku

Farissa Azzahara juga ponakan bijakku Abbiyu Sebaktian. Semoga menjadi keluarga yang diridhoi Allah.

 Abangku tersayang Sufri Nuryamin S.IP, yang selalu sabar, menjadi tempat pelampiasan amarah disaat mulai lelah mengerjakan skripsi, menjadi tempat mengadu, selalu menasehati, menemani kemanapun. Tetap seperti itu, selalu ada senang dan susah. Love you

 Sahabatku yang mulai dari SMP sampai sekarang masih tetap komunikasi dan saling kasih semangat Donna Sinaga dan Tyus Windi Ayuni


(7)

 Sahabatku SMA yang sampai sekarang masih tetap saling memberikan semangat Reka Sari Ramadhani, Natasia Novella, Tawarina. Hayuk idungku, bantteku selesai skripsinya, semangat. Miss u guys...

 Teman terdekatku, keluargaku, saudaraku selama diperantauan, Milawati Nengsih, Noviyanti Soleman, Rahmina Fitri, Rima Melati.

 Ikbal Kurniawan, Muhammad Rachmat Mulyanus, Fajar Trilaksana, Mahdy Muhajir, Raemon Novriansyah, Faisal Ramadianto, teman sekelompok yang dari semester satu. Terima kasih buat kalian, dan maaf kalau aku cerewet. Herawati, Tiara, Adila dan teman-teman IP 2013 Kelas H lainnya. Terima kasih buat kalian semua yang telah menjadi teman selama di Jogja.

 Himpunan Mahasiswa Islam yang pernah menjadi tempat penulis belajar bagaimana cara berorganisasi.

 HIMSU (Himpunan Mahasiswa Sumatera Utara) khususnya Jery Laksana adikku yang banyak membantu dengan meminjamkan sepeda motornya. Terima kasih menjadi keluarga di Yogyakarta ini.

 Adik-adik kosanku dan teman-teman IP UMY 2013 serta teman-teman KKN 077 terima kasih banyak buat semuanya.


(8)

MOTTO

Berusaha, Berjuang, Berdoa

(Widuri Wulandari)

Kebahagian Orang Tuaku, Kebahagianku

(Widuri Wulandari)

Lihatlah ke bawah untuk selalu bersyukur dan lihatlah ke atas untuk selalu rendah hati atas apa yang kita punya


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tetap tercurah pada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak Kabupaten Bantul Tahun 2015”, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1.Bapak Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Bapak Ali Muhammad, S.IP., M.A., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. Ibu Dr. Titin Purwaningsih, S.IP., M.Si., selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

4. Bapak Tunjung Sulaksono, S.IP., M.Si., sebagai dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi masukan, berbagai pengalaman, arahan dan telah banyak memberikan ide-ide dalam penyusunan skripsi ini.


(10)

5. Bapak Dr. Zuly Qodir, M.Si., sebagai dosen penguji skripsi I yang memberikan banyak masukan dalam skripsi ini.

6. Ibu Dr. Titin Purwaningsih, S.IP., M.Si., sebagai dosen penguji II yang telah memberikan masukan dan perbaikan dalam skripsi ini.

7. Bapak Drs.Supardi (Ketua Panwaslu Bantul) , yang telah memberikan banyak informasi dan data untuk skripsi ini.

8. Ibu Setyawati (Kepala Bidang Pengadaan dan Pengembagaan BKD) yang bersedia menjadi informan dalam kelancaran skripsi ini.

9. Mbak Titin Sari Rizqi, SH., ( Staff Teknis Panwaslu Bantul) yang telah banyak memberikan data untuk menunjang pembuatan skripsi ini.

10.Seluruh dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

11.Seluruh staff dan karyawan Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

12.Semua pihak yang telah banyak membantu baik secara langsung maupun tidak langsung .

Yogyakarta, Desember 2016


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

UCAPAN TERIMAKASIH ... v

HALAMAN MOTTO ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

SINOPSIS ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH ... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ... 11

1.3 TUJUAN PENELITIAN ... 11

1.4 MANFAAT PENELITIAN ... 11

1.5 KERANGKA TEORI ... 12

1. Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) ... 12


(12)

3. PILKADA Serentak ... 24

1.6 DEFINISI KONSEPSIONAL ... 26

1.7 DEFINISI OPERASIONAL ... 27

1.8 METODE PENELITIAN ... ... 29

1. Jenis Penelitian ... 29

2. Lokasi Penelitian ... 29

3. Unit Analisis ... 30

4. Jenis Data ... 30

5. Teknik Pengumpulan Data ... 31

6. Teknik Analisis Data ... 32

1.9 SISTEMATIKA PENULISAN ... 33

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN ... 35

2.1 Deskripsi Wilayah Kabupaten Bantul ... 35

A. Sejarah Kabupaten Bantul ... 35

B. Keadaan Alam Bantul ... 37

C. Kependudukan ... 38

D. Pemerintahan ... 40

E. Visi dan Misi Kabupaten Bantul ... 43

F. Kondisi Politik Kabupaten Bantul ... 44

2.2 Deskripsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul ... 46

A. Profil Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul ... 46

B. Visi dan Misi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul ... 47

C. Tugas Pokok dan Fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul ... 48


(13)

2.3 Deskripsi Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Bantul (Panwaslu Bantul)

... 49

A. Sejarah Panwaslu ... 49

B. Tugas dan Wewenang Panwaslu ... 53

C. Sejarah Panwaslu Kabupaten Bantul ... 55

D. Visi dan Misi Panwaslu Kabupaten Bantul ... 56

E. Profil Keanggotaan Panwaslu Kabupaten Bantul ... 57

BAB III PEMBAHASAN ... 58

3.1 Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2015 Kabupaten Bantul Tahun 2015 ... 58

A. Keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pilkada Serentak 2015... 58

B. Keberpihakan Aparatur Sipil Negara (ASN) Terhadap Salah Satu Kandidat Pilkada Serentak 2015 ... 78

BAB IV PENUTUP ... 96

4.1 Kesimpulan ... 96

4.2 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 100 LAMPIRAN


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Primer ... 30

Tabel 1.2 Data Sekunder ... 31

Tabel 1.3 Wawancara ... 32

Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Bantul ... 39

Tabel 2.2 Persentase Penduduk Usia 10 Tahun ke Atas Berdasarkan Ijazah Tertinggi ... 40

Tabel 2.3 Jumlah Desa, Dusun, Luas Kecamatan di Kabupaten Bantul ... 41

Tabel 2.4 SKPD Kabupaten Bantul ... 42

Tabel 2.5 Data Pemilih Tetap Pilkada Kabupaten Bantul Tahun 2015 ... 45

Tabel 2.6 Jumlah Anggota DPRD Kabupaten Bantul Berdasarkan Partai Politik ... 46

Tabel 2.7 Profil Panwaslu Kabupaten Bantul Tahun 2015 ... 57


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Proses Laporan Temuan Pelanggaran ASN oleh Panwaslu Bantul 2015 ... 89


(16)

(17)

SINOPSIS

Aparatur Sipil Negara sebagai aparatur negara yang memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggarakan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. ASN harus bersikap netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik dan tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Apabila ASN/PNS ingin menjadi anggota atau pengurus partai politik maka diusulkan mengundurkan diri sebagai PNS. Pada tahun 2015, Kabupaten Bantul ikut serta dalam merayakan pesta demokrasi, yaitu pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak pada tanggal 9 Desember 2015. Panwaslu Kabupaten Bantul menemukan dan mendapatkan laporan ada 15 ASN yang tidak netral.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk mendapatkan fakta-fakta mengenai permasalahan netralitas ASN di Kabupaten Bantul pada pilkada serentak 2015. Unit analisis dalam penelitian ini adalah Panwaslu Kabupaten Bantul dan BKD Kabupaten Bantul. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara mendalam dan dokumentasi untuk melengkapi data dalam penelitian ini.

Pelanggaran ASN terjadi sebelum masa kampanye, dan selama masa kampanye. Jumlah ASN yang tidak netral 15 orang yang sebagian besar adalah kepala SKPD. Selain hadir dalam deklarasi pencalonan calon incumbent¸ ASN juga hadir pada acara syukuran SP3 Drs.HM. Idham Samawi di kantor DPC PDIP, hadir pada acara wayangan di Pleret dan Assek III menyampaikan latar belakang salah satu kandidat pilkada, acara panen raya yang dihadiri calon incumbent dan Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul yang melakukan acara ceremonial potong padi. Tentu keterlibatan dan keberpihakan ASN di pilkada 2015 ini dikarenakan adanya calon incumbent. Adanya rasa takut kepada atasan yang membuat ASN turut hadir dalam acara-acara yang terselubung dengan kampanye.

Pemerintah Kabupaten Bantul yaitu Bupati Bantul seharusnya memberikan sanksi atau hukuman displin kepada ASN yang tidak netral sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Bupati Bantul seharusnya lebih tegas dalam menanggapi kasus ASN yang tidak netral ini.

Kata Kunci: Netralitas ASN, Keterlibatan dan Keberpihakan ASN, Calon Incumbent, Hukuman Displin ASN


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Demokrasi yang telah lama dianut Indonesia merupakan amanat dari Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 1 ayat (2) dijelaskan bahwa : “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang

-Undang Dasar”. Hal ini menjadikan Negara Indonesia memiliki kedaulatan yang

sepenuhnya berada di tangan rakyat, yaitu rakyat memiliki kekuasaan dalam menentukan arah pemerintahan Indonesia. Untuk menentukan kemana tujuan pemerintahan Indonesia ini maka lahirlah desentralisasi atau otonomi daerah yang merupakan salah satu wujud dari demokrasi Indonesia. Melalui otonomi daerah ini, maka semua urusan bukan lagi berada di tangan pusat seutuhnya, namun daerah juga memiliki hak dan kewenangan dalam mengatur pemerintahannya yang kemudian dipertanggungjawabkan kepada pemerintah pusat. Walaupun UUD 1945 telah lama mengamanatkan adanya kekuasaan di tangan rakyat, namun baru terwujudnya suatu desentralisasi ketika muncul Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya


(19)

saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Walaupun sudah berjalannya desentralisasi namun Undang-Undang ini ternyata belum sepenuhnya menunjukkan demokrasi, karena pada pasal 17 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, menyebutkan bahwa : “DPRD mempunyai tugas dan wewenang: memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikot/Wakil Walikota”. Dengan kata lain pemilihan Kepala Daerah belum dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan ini bukan merupakan wujud dari demokrasi. Untuk itu seiring berjalannya waktu, maka Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah sehingga perlu diganti.

Pemerintah menggantikannya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 24 ayat (5) dijelaskan bahwa : “Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pergantian Undang-Undang terjadi lagi pada tahun 2014 yaitu menjadi Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah namun pada peraturan ini tidak ada menjelaskan tentang pemilihan Kepala Daerah, walaupun ada Bagian Ketiga pasal 59 yang membahas tentang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Untuk


(20)

pemilihan Kepala Daerah ada peraturannya sendiri yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dimana pada pasal 3 dalam undang-undang ini disebutkan bahwa : (1)“Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasakan asas bebas, terbuka, jujur, dan adil. (2)Bupati dan walikota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasarkan asas bebas, terbuka, jujur dan adil. Kedua produk hukum ini pun menuai pro dan kontra terkait dengan pemilihan kepala daerah yang dianggap tidak sesuai dengan asas demokrasi, karena tidak melibatkan langsung rakyat Indonesia. Peraturan ini kemudian dibatalkan dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilukada) secara langsung lahir sebagai suatu koreksi terhadap pelaksanaan pilkada melalui perwakilan oleh DPRD.

Sebenarnya pada Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Republik Indonesia 1945, menyebutkan bahwa: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Kelompok kata ”kedaulatan berada di tangan rakyat” dan “dipilih secara demokratis” inilah yang mendorong para pembuat Undang-Undang untuk menerapkan Pilkada yang melibatkan rakyat secara langsung. Dari sudut pandang ini, sistem pemilihan bisa dikatakan lebih demokratis dibandingkan dengan sistem perwakilan sebelumnya, baik berdasarkan UU Nomor 5 tahun 1974 maupun UU Nomor 22 tahun 1999 (Mat Zudi, 2012, hal. 2).


(21)

Tahun 2015, pemerintah mengeluarkan regulasi yang berkaitan dengan pemilihan kepala daerah, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pimilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Pilkada ini dilaksanakannya secara serentak setiap lima tahun. Adapun alasan dilaksanakannya pilkada secara serentak adalah untuk efektivitas dan efisiensi anggaran. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua KPU RI, Arief Budiman mengataka bahwa :

“Tujuan dilaksankannya pemilukada serentak adalah terciptanya efektivitas dan efisiensi. Kalau pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota itu dilaksanakan bersamaan, itu tentu bisa menghemat anggaran”

(www.kpu.go.id. Berita KPU,diakses Tanggal 25 September 2016, Pukul

12:49 WIB).

Selain itu diselenggarakannya pilkada serentak ini agar pilkada lebih berkualitas dan berintegritas. Demi memperbaiki sistem penyelenggaran pemilihan kepala daerah maka muncullah peraturan tersebut. Tujuannya agar lahir para kepala daerah, calon pemimpin bangsa yang berkualitas, bermoral, dan pro rakyat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, pasal 3 ayat (1) disebutkan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh

wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pemilukada serentak pada tahun

2015 diikuti oleh 8 Provinsi terdiri dari 170 Kabupaten dan 26 Kota. Pilkada serentak ini dilakukan pada tanggal 9 Desember 2015.

Pemilihan Kepala Daerah ini tentu melibatkan semua warga negara Indonesia yang telah memiliki hak untuk memilih, mereka yang telah berumur di atas 17 tahun sesuai peraturan. Tidak terlebih oleh Pegawai Negeri Sipil yang ada di


(22)

Indonesia. Mereka memiliki hak untuk memilih bakal calon kepala daerah maupun Presiden RI. PNS juga memiliki hak untuk dipilih, namun dengan syarat harus memundurkan diri dari PNS nya. Berbeda masa orde baru, dimana PNS boleh terlibat dalam politik. Walaupun ada aturan yang melarang PNS terlibat dalam dunia politik, namun sebagai suatu keharusan bagi mereka untuk menjadi bagian dari Golongan Karya.

Pada masa orde baru, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tidak memberi penegasan terkait dengan netralitas PNS, pada pasal 3 undang-undang tersebut menyatakan bahwa: “Netralitas pegawai negeri adalah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat yang dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan.” Karena tidak adanya kejelasan dari Undang-Undang tersebut mengenai netralitas dari PNS dan telah tumbangnya orde baru berganti dengan reformasi, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 ini, mempertegas pada pasal 3 ayat (1) menyatakan bahwa: “Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan.” Dimana dari undang-undang tersebut bahwa pegawai negeri haruslah bersikap netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Maka dari


(23)

itu untuk menjaga netralitas dari pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.

Selain Undang-undang tersebut, muncul juga Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi Anggota Partai Politik yang menyatakan sanksi bagi PNS yang terlibat aktif dalam kegiatan politik adalah pemberhentian dengan hormat atau dengan tidak hormat. Sementara bagi PNS yang ingin menjadi anggota atau pengurus partai politik, dapat dilakukan asalkan ia mengundurkan diri sebagai PNS.

Sanksi yang didapat dari PNS yang tidak netral atau ikut terjun dalam ranah perpolitikan diatur dalam Perturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Displin PNS. Pada pasal 4 dari PP Nomor 53 Tahun 2010 ini juga menjelaskan bahwa adanya larangan bagi PNS untuk memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah seperti terlibat dalam kampanye, menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, atau mengerahkan PNS lain sebagai peserta kampanye. Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 ini dipertegas dengan adanya Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Displin PNS. Dalam dua regulasi ini ketentuan sanksi displin atau hukuman displin terdiri dari 3 tingkatan yaitu sanksi ringan, sedang dan berat. Pelanggaran untuk netralitas PNS dapat dikenakan hukuman displin sedang sampai hukuman displin berat atau bahkan diberhentikan secara hormat dan tidak hormat.


(24)

Pada tahun 2014 untuk mewujudkan reformasi birokrasi, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-undang ini memperjelas dan mempertegas lagi dari netralitas pegawai negeri sebagai birokrat yang merupakan bagian dari Negara. Bahkan untuk penyebutan pegawai negeri bukan lagi PNS melainkan ASN yaitu yang terdiri dari PNS dan PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Pasal 9 ayat (2) dari Undang-Undang ASN tersebut mengatakan bahwa : “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.” Undang-undang ASN yang mengatur mengenai netralitas ASN dimaksud untuk menghasilkan ASN yang bebas dari intervensi publik. Dimana ASN dalam dunia birokrasi sering dijadikan mesin politik. Seperti yang disampaikan oleh Deputi Sumber Daya Manusia (SDM) Kemenpan RB bahwa :

“ASN dalam roda birokrasi kerap digunakan sebagai mesin politik karena posisinya yang strategis untuk mobalisasi suara hingga mempengaruhi masyarakat. Bahkan, lebih ekstrem lagi ketika terbit sebuah kebijakan yang tidak adil dan memihak salah satu kandidat”(www.menpan.go.id Info Terkini. Diakses Tanggal 25 Semptember 2016, Jam 14:45 WIB).

Walaupun sudah adanya payung hukum yang mempertegas netralitas dari ASN masih saja dijumpai keterlibatan ASN dalam panggung politik. Seperti yang diungkapkan juga oleh Irman Gusman pada pembukaan Seminar Nasional Netralitas ASN dalam rangka Mewujudkan Pilkada Serentak Tahun 2017, beliau mengatakan bahwa :

“Pada Pilkada tahun 2015 lalu ada 30 pengaduan tentang netralitas ASN kepada Komisi Apararur Sipil Negara (KASN)” (www.menpan.go.id Info Terkini. Diakses Tanggal 25 Semptember 2016, Jam 14:45 WIB).


(25)

Keterlibatan ASN dalam politik tentunya bukan pertama kali terjadi di Pemilihan Kepala Daerah. Seperti yang diungkapkan oleh Irman Gusman bahwa ASN memiliki posisi yang cukup strategis. Kasus ketidaknetralan dari ASN pada Pilkada Serentak 2015 pun ditemukan di Kabupaten Bantul. Kabupaten Bantul yang turut serta dalam pesta demokrasi pemilihan Bupati tersebut pun dapat sorotan dari masyarakat dan Panwaslu Bantul.

Periode 2010-2015 Bupati Bantul diduduki oleh Sri Surya Widati yang merupakan istri dari Bupati sebelumnya yaitu Idham Samawi. Dan pada akhir tahun 2015, tepat pada tahun dikeluarkannya peraturan perundang-undangan tentang pemilihan kepala daerah, Sri Surya Widati mencalonkan diri lagi (incumbent) pada pilkada serentak ini yang dipasangkan dengan Misbakhul Munir. Sedangkan dari sisi lain pencalon ada Suharsono dan Halim. Yang menjadi sorotan masyarakat adalah adanya pengaduan kepada Ombudsman RI Perwakilan DIY terkait dengan netralitas ASN. Adanya ASN yang turut hadir pada saat deklarasi pencalonan pasangan calon bupati dan wakil bupati, Sri Surya Widati dan Misbakhul Munir pada hari Minggu, 14 Juni 2015 di Lapangan Desa Trirenggo, dibenarkan adanya oleh pihak Panwaslu Bantul.

Ketua Panitia Pengawasan Pemilu (Panwaslu) Bantul, telah menemukan bukti adanya belasan pejabat pemerintahan di Kabupaten Bantul yang diduga tidak netral di pilkada. Mereka menempati posisi beragam, dan pihak Panwaslu Bantul memiliki bukti kesaksian dan foto ASN yang tidak netral. Sejumlah ASN Bantul yang kedapatan tidak netral oleh Panwaslu telah dilaporkan kepada Bawaslu dan berkoordinasi dengan Ombudsmand RI DIY yang kemudian nantinya laporan


(26)

tersebut diberikan kepada Menteri Penyagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (www.tempo.co. Diakses 4 Mei 2016, Jam 13:20 WIB). Ada sebanyak 15 ASN atau PNS di Bantul yang dianggap tidak netral dalam Pilkada 2015 ini

(www.metrotvnews.com. Diakses 20 September 2016, Jam 14:25 WIB).

Ketidaknetralan dari ASN ini tentu memberikan dampak ataupun akibat yang mungkin bisa menguntungkan salah satu pihak. Ketidaknetralan dari ASN khususnya di Kabupaten Bantul bisa memunculkan hal yaitu yang pertama, tugas ASN adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat yang merupakan tugas utama dari birokrat. Akibat tidak adanya netralitas dari ASN maka dalam memberikan pelayanan bisa lebih cenderung bersifat sangat baik kepada calon yang didukungnya. Atau mengakibatkan tidak adanya keadilan dalam memberikan pelayanan. Tentu ini jelas melanggar asas keadilan dan kesetaraan dalam memberikan pelayanan atau dari tidak netralnya ASN ini menimbulkan tidak bekerja secara profesional saat calon yang didukungnya melakukan administratif di birokrasi. Kedua, dari ketidaknetralan dari ASN yaitu adanya promisi jabatan atau kenaikan jabatan kepada mereka ASN yang mendukung kepala daerah pada saat pilkada. Yang dimana sebelum pilkada dilakukan, telah dijanjikan sesuatu. Atau adanya balasan timbal balik, dan hal ini bukan lah sesuatu yang baru lagi.

Ketiga, akibat dari tidak netral ASN ini juga, dikarenakan adanya calon incumbent. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa Kabupaten Bantul dalam pilkada serentak memilik 2 pasangan calon kepala daerah, dan salah satunya adalah calon incumbent. Adanya calon incumbent ini mempermudah si pencalon


(27)

dalam kampanye dan adanya peluang untuk menang dalam pilkada. Kampanye dilakukan kepada para kalangan yang ada di lingkungan sekitarnya pencalon incumbent bekerja. Dan pencalon incumbent ini juga yang lebih dekat posisi nya dengan para ASN. Hal ini juga yang menjadi mudahnya netralitas ASN terganggu. Seperti laporan yang ada bahwa ASN yang tidak netral di Bantul turut hadir dalam acara pencalonan Sri Surya Widati, walaupun hasil akhir dari pilkada serentak 2015 telah dimenangkan oleh pasangan Suharsono dan Halim. Keempat, dari tidak netralnya ASN adalah diberikannya sanksi sesuai peraturan yang ada yaitu hukuman displin sedang sampai hukuman displin berat atau bahkan diberhentikan secara hormat atau secara tidak hormat. Yang terjadi di Kabupaten Bantul adalah pihak Panwaslu dan Ombudsman RI perwakilan DIY meminta agar Pemkab Bantul sesegara mungkin memberikan sanksi kepada ASN yang tidak netral.

Pelanggaran yang dilakukan ASN Bantul yang hadir dalam acara pencalonan salah satu calon kepala daerah tentu telah melanggar aturan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 Tentang ASN dan juga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Displin Pegawai Negeri Sipil, dimana seharusnya ASN harus netral dan tetap profesional dalam pilkada serentak. ASN yang tidak netral seharusnya diberikan sanksi sesuai peraturan yang ada. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa ketidaknetralan ASN dalam pilkada akan menguntungkan si pencalon khususnya calon incumbent, yang posisinya sangat dekat dengan para birokrat, dengan demikian calon incumbent bisa saja mendapatkan perolehan suara yang lebih dibanding lawannya dalam pilkada


(28)

serentak ini, ada kesempatan sebelum waktunya kampanye, si pencalon incumbent telah dulu melakukan kampanye dilingkungan sekitar bekerja. Adanya calon incumbent, bisa mengakibatkan terganggunya netralitas dari ASN. Untuk itulah maka penulis terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul : Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak Kabupaten Bantul Tahun 2015.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka adapun rumusan masalah yang diajukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: Bagaimana netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Serentak di Kabupaten Bantul Tahun 2015?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: Untuk mengetahui netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Kabupaten Bantul Tahun 2015.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Secara teoritis, manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Menambah pengembangan ilmu pemerintahan khususnya yang berkaitan dengan netralitas birokrasi pemerintahan dalam pilkada serentak.

b. Sebagai bahan informasi untuk peneliti selanjutnya yang mempunyai kesamaan terhadap tema penelitian ini.


(29)

2. Secara pragmatis, manfaat dari penelitian ini adalah : a. Bagi peneliti

Manfaat penelitian ini bagi peneliti sendiri adalah untuk menambah dan mengetahui wawasan penulis tentang netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pilkada Serentak Kabupaten Bantul Tahun 2015.

b. Bagi pemerintah

Sebagai bahan untuk evaluasi terhadap netralitas ASN yang ada di Kabupaten Bantul. Dan juga sebagai masukan untuk pemerintah daerah Kabupaten Bantul untuk memperbaiki netralitas ASN agar memilik tanggungjawab, dan memperkuat kedisplinan dari ASN agar tidak terbawa arus ke ranah perpolitikan. Menjadikan ASN Kabupaten Bantul lebih profesional, jujur dan adil dalam memberikan pelayanan.

1.5 KERANGKA TEORI

Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN)

Asas netralitas berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 adalah bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Menurut (Yamin, 2013, hal. 13) Netralitas dapat juga diartikan dengan bersikap tidak memihak terhadap sesuatu apapun. Dalam konteks ini netralitas diartikan sebagai tidak terlibatnya pegawai negeri sipil dalam pemilihan Kepala Daerah baik secara aktif maupun pasif.


(30)

Menurut Rouke dalam (Watunglawar, 2015, hal. 26), mengatakan netralitas birokrasi dari politik adalah hampir tidak mungkin, sebab jika partai politik tidak mampu memberikan alternatif program pengembangan dan mobilisasi dukungan, maka birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan politik di luar partai politik yang bisa membantunya dalam merumuskan kebijakan politik. Dukungan politik itu, menurut Rouke dapat diperoleh melalui tiga konsentrasi yakni :

1) Pada masyarakat luar 2) Pada legislatif

3) Dan pada diri birokrasi sendiri (executive brauch)

Netralitas menurut Azhari dalam (Patria, 2015, hal. 21), merupakan kondisi terlepasnya birokrasi spoil system yang berarti borokrasi bekerja berdasarkan profesionalisme dan kemampuan teknis yang dibutuhkan. Menurut Thoha dalam (Patria, 2015, hal. 21) netralitas birokrasi pada hakikatnya adalah suatu sistem dimana birokrasi tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya (dari parpol yang memerintah), biarpun masternya berganti dengan master (parpol) lain. Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikit pun walau masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan profesionalisme bukan karena kepentingan politik.

Netralitas berdasarkan Marbun dalam (Hartini, 2009, hal. 264) yang lain adalah jika seorang Pegawai Negeri Sipil aktif menjadi pengurus partai politik atau anggota legislatif, maka ia harus mengundurkan diri. Dengan demikian birokrasi pemerintahan akan stabil dan dapat berperan mendukung serta


(31)

merealisasikan kebijakan atau kehendak politik manapun yang sedang berkuasa dalam pemerintahan.

Netralitas yang dimaksud oleh (Amin, 2013, hal. 16-17) adalah perilaku tidak memihak, atau tidak terlibat yang ditunjukan birokrasi pemerintahan dalam masa kampanye kandidat kepala daerah di ajang pemilukada baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Adapun indikator yang digunakan untuk mengukur netralitas dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh (Amin, 2013) yaitu :

a. Tidak terlibat, dalam arti tidak menjadi tim sukses calon kandidat pada masa kampanye atau menjadi peserta kampanye baik dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS.

b. Tidak memihak, dalam arti tidak membantu dalam membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon, tidak mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pada masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkup unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat, serta tidak membantu dalam menggunakan fasilitas negara yang terkait dengan jabatan dalam rangka pemenangan salah satu calon pasangan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pada masa kampanye.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2015 Tentang Apratur Sipil Negara menjelaskan yaitu Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja


(32)

yang bekerja pada instansi pemerintah. Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menjelaskan bahwa Pegawai Negeri adalah mereka yang setelah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam sesuatu jabatan Negeri atau diserahi tugas Negara lainnya yang ditetapkan berdasarkan sesuatu peraturan undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan. Pasal 2 ayat (1) juga menyebutkan bahwa Pegawai Negeri terdiri dari :

a. Pegawai Negeri Sipil, dan

b. Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pada pasal 2 ayat (2), Pengawai Negeri Sipil terdiri dari :

a. Pegawai Negeri Sipil Pusat b. Pegawai Negeri Sipil Daerah, dan

c. Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah


(33)

Sedangkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menjelaskan bahwa Pegawai Negeri setiap warga negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada pasal 2 ayat (1) yang dimaksud Pegawai Negeri terdiri dari :

a. Pegawai Negeri Sipil

b. Anggota Tentara Nasional Indonesia, dan c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia

Pasal 2 ayat (2), Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, terdiri dari :

a. Pegawai Negeri Sipil Pusat, dan b. Pegawai Negeri Sipil Daerah

c. Di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap.

Untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Displin Pegawai Negeri Sipil. Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak


(34)

ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin. Pada pasal 4 Nomor 12-15 dari Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 menyebutkan, setiap PNS dilarang: 12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:

a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;

b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;

c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; 13. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:

a. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau

b. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; 14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang- undangan; dan


(35)

15. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:

a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;

b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;

c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau

d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Menurut (H.Purba, 2010, hal. 135-136), ada beberapa alasan mengapa ASN dilibatkan dalam pilkada atau dimanfaatkan birokrasinya oleh beberapa pihak disebabkan oleh sebagai berikut :

1. Birokrasi seringkali mudah dimanfaatkan sebagai personifikasi negara. Masyarakat pendesaan adalah kelompok warga atau pemilih yang sangat mudah untuk dimanipulasi pilihannya dalam pilkada. Dengan melibatkan birokrasi ataupun para birokrat dalam pilkada, menjadi tim sukses, menjadi peserta kampanye atau lainnya, mereka dapat mengatasnamakan institusi negara untuk merayu atau bahkan


(36)

mengintimidasi warga. Dengan kepatuhan warga untuk melakukan apa yang harus dilakukan oleh mereka atas perintah birokrasi/birokrat selama Orde Baru, ini menunjukkan pada calon kandidat peserta pilkada bahwa membawa institusi ini ke dalam percaturan politik adalah keuntungan. Oleh karena itu, ini adalah salah satu alasan mengapa mereka mudah terlibat atau diundang untuk terlibat dalam pilkada.

2. Birokrasi dianggap perlu dimanfaatkan karena memegang akses informasi di daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan birokrasi ialah kemampuannya untuk mengumpulkan informasi dari dan di wilayah kemasyarakatannya (teritorinya). Lembaga manapun, baik legislatif, yudikatif, maupun lembaga privat nirlaba tidak memiliki kemewahan akses informasi sebagaimana birokrasi miliki, maka birokrasi dianggap sebagai sumber kekuatan yang tidak terperi oleh para kandidat pilkada. Sulit kiranya apabila birokrasi tidak diundang dalam percaturan politik daerah karena birokrasi memiliki sekumpulan data mengenai besaran pemilih, basis massa partai, pemilih pemula (early voters), kelompok Golput, dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan oleh calon-calon penguasa, terutama incumbent.

3. Kemungkinan dimanfaatkannya keahlian teknis yang dimiliki oleh birokrat dalam birokrasi merupakan alasan lain mengapa mereka


(37)

pantas untuk dilibatkan dalam kontestasi politik di daerah. keahlian teknis dalam formulasi dan implementasi kebijakan.

4. Untuk faktor internal berupa kepentingan yang partisan untuk mobilitas karis. Adanya vasted-interest berupa kepentingan memilihara dan meningkatan posisi karir/jabatan menjadi alasan beberapa birokrasi berpolitik dalam pilkada. Dan dari itu, sebagian birokrat berpolitik berspekulasi dengan harapan jika kandidat yang didukung menang, maka birokrat tersebut akan mendapat posisi yang lebih penting dikemudian hari.

5. Masih kuatnya budaya patron-client menyebabkan PNS yang loyal akan membela habis-habisan atasannya yang menjadi kandidat dalam pilkada. Selain itu, ada juga tarikan kepentingan jaringan „bisnis dan politik‟ dari shadow government in bureaucracy.

2. Birokrasi

Dalam (Albrow, Birokrasi, 2007, hal. 3-4) Bahasa Perancis Bureaucratie mengalami perubahan menjadi bureaukratie dalam Bahasa Jerman (yang sebelumnya burokratie), burocrazia dalam Bahasa Italia, dan bureaucracy dalam bahasa Inggris. Kamus Akademi Perancis memasukan kata tersebut dalam suplemen dan mengartikan sebagai “Kekuasaan, pengaruh dari para kepala dan staf biro pemerintahan”. Kamus Bahasa Jerman mendefinisikan birokrasi sebagai “wewenang atau kekuasaan yang oleh berbagai departemen pemerintah dan cabang-cabangnya diperebutkan untuk diri mereka sendiri, atas sesama warga negara”. Kamus Bahasa Italia : “suatu kata baru, yang artinya kekuasaan pejabat


(38)

di dalam administrasi pemerintahan”. Birokrasi menurut Weber dalam (Albrow, Birokrasi, 1996, hal. 31), ialah suatu badan administratif tentang pejabat yang diangkat. Weber juga memandang birokrasi sebagai hubungan kolektif bagi golongan pejabat, suatu kelompok tertentu dan berbeda, yang pekerjaan dan pengaruhnya dapat dilihat dalam semua jenis organisasi.

Max Weber dalam (Beetham, 1990) menarik batas yang jelas antara staf administratif dan asosiasi ataupun kelompok-kelompok korporasi yang memperkerjakannya. Kelompok korporasi bisa bersifat sukarela maupun kumpulan orang-orang yang bersifat keharusan (yakni setiap organisasi termasuk organisasinegara hingga mencakup serikat-serikat pekerjaan, perusahaan, partai politik, universitas) yang baik secara langsung maupun tidak langsung memiliki kepemimpinan ataupun badan pemerintahannya untuk mengelola segala urusannya (kabinet, komite, dewa direksi, atapun perwakilan). Lembaga pemerintahan ataupun pelaksana ini selanjutnya mempekerjakan para staf administratif untuk melaksanakan segala kebijaksanaannya. Para staf administratif inilah yang disebut birokrasi. Dengan demikian, penting untuk membedakan antara birokrasi dan pemerintahan pelaksana yang mempekerjakan mereka.

Teori politik Mill dalam (Albrow, Birokrasi, 2007, hal. 11), konsep birokrasi mendapatkan arti pentingnya secara sempurna. Dalam membandingkan tipe-tipe pemerintahan, Mill menegaskan bahwa di luar bentuk perwakilan, hanya bentuk birokrasi yang memiliki keterampilan dan kemampuan politik yang tinggi, bahkan sekalipun dijalankan dengan nama monarki atau aristokrasi. Pekerjaan


(39)

menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah secara profesional, inilah esensi dan arti dari birokrasi.

Berdasarkan konsepsi legitimasi, Weber kemudian merumuskan delapan proposisi tentang penyusunan sistem otoritas legal, yakni :

a. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan

b. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-fungsinya, masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi

c. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol dan pengaduan (complaint)

d. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan

e. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu pribadi

f. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya

g. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung menjadi kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern. h. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi

dilihat pada bentuk aslinya, sistem tersebut berada dalam suatu staf administrasi birokratik (Albrow, Birokrasi, 2007, hal. 43-44)


(40)

Max Weber menyakini bahwa birokrasi adalah hal yang semakin penting. Birokrasi memiliki seperangkat karakteristik seperti ketapatan, kesinambungan, displin, kekerasan, keajegan (realibitas) yang menjadikannya secara teknis merupakan bentuk organisasi yang paling memuaskan, baik bagi para pemegang otoritas maupun bagi semua kelompok kepentingan yang lain (Albrow, Birokrasi, 2007, hal. 45).

Menurut Weber dalam (Beetham, 1990), administrasi birokratif dicirikan menjadi empat ciri utama, sebagai berikut :

a. Hierarki, masing-masing pejabat memiliki kompetensi yang ditentukan dengan jelas di dalam hierarki pembagian tugas, dan bertanggung jawab terhadap pimpinannya dalam segala pelaksanaan tugasnya.

b. Kontinuitas, lembaga itu membentuk jabatan-jabatan yang dibayar secara penuh waktu dengan struktur karir yang menyediakan prospek bagi perkembangan dan peningkatan reguler.

c. Impersonalitas, segala tugas dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan yang dijabarkan dengan tegas, tanpa adanya pilih kasih ataupun favoritisme, dan mempertahankan dokumen-dokumen serat catatan tertulis bagi setiap transaksi

d. Keahlian, para pejabat dipilih sesuai dengan keahlian, dilatih untuk melaksanakan fungsi-fungsinya, dan peluang melakukan pengawasan terhadap pengetahuan yang disimpan di dalam dokumen.


(41)

3. PILKADA Serentak

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 17 menjelaskan bahwa : “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota”. Undang-Undang ini jelas mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD, yang tidak sesuai dengan asas kedaulatan. Maka diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah pasal 24 ayat (5) bahwa : “Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Maka jelas pada undang-undang ini rakyat yang langsung memilih kepala daerah. Di samping undang-undang ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Pada tahun 2014, Peraturan Pemerintah tersebut, diganti menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Namun pada pasal 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa: “(1)Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasarkan asas bebas, terbuka, jujur, dan adil. (2) Bupati dan Walikota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasarkan asas bebas, terbuka, jujur dan adil. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 ini mempunyai kesamaan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dimana pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Tentu Undang-Undang Nomor 22 Tahun


(42)

2014 ini menuai pro dan kontra karena pemilihan bukan dilakukan oleh rakyat langsung tidak sesuai dengan asas kedaulatan atau demokrasi.

Diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang dimana pada pasa 1 ayat (1) menjelaskan bahwa: “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”. Pasal 3 juga menyebutkan bahwa : “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam penyelenggaraan Pemilihan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. KPU Provinsi adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas menyelenggarakan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur berdasarkan ketentuan yang diatur. KPU Kabupaten/Kota adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang diberikan tugas menyelenggarakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota.


(43)

Badan Pengawasan Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum di sleuruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diberikan tugas dan wewenang dalam pengawasan penyelenggaraan Pemilihan. Pasal 22A menyebutkan: “(1)Pengawasan penyelenggaraan Pemilihan menjadi tanggung jawab bersama Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwas Kabupaten/Kota. (2)Pengawasan penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan oleh Bawaslu Provinsi. (3)Pengawasan penyelenggaraan pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta pemilihan Walikota dan Wakil Walikota dilaksanakan oleh Pamwas Kabupaten/Kota.

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan umum dan merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang diberikan tugas dan wewenang dalam menangani pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilihan.

1.6 DEFINISI KONSEPSIONAL

Definisi konsepsional adalah definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara tepat suatu fenomena yang akan diteliti. Definisi konsepsional ini juga digunakan untuk menggambarkan secara abstrak tentang kejadian, keadaan kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian dalam ilmu sosial (Singarimbun, 1992, hal. 34). Adapun definisi konsepsional dari penelitian ini adalah :


(44)

1. Netralitas ASN dalah sikap atau bentuk tidak berpihaknya suatu Aparatur Sipil Negara kepada partai politik, yang bersifat profesional dalam melakukan pekerjaannya sebagai birokrasi yaitu staf administratif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah Pegawai Negeri Sipil dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang memiliki syarat sesuai dengan ketentuan dan memiliki jabatan pemerintahan. Yang memiliki hak, kewajiban dan larangan serta adanya sanksi yang diberikan dalam melakukan pelanggaran.

2. Birokrasi adalah badan organisasi yang berada di pemerintahan memiliki tugas di administratif atau pemberi layanan kepada masyarakat bersifat universal dalam mementingkan orientasi kepada tugas, pencapaian tujuan, mendapatkan keuntungan (gaji) dan memenuhi tujuan perencanaan.

3. Pilkada Serentak adalah Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang dilakukan secara langsung dan demokratis yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

1.7 DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat yang didefinisikan yang dapat diamati. Secara tidak langsung definisi operasional itu akan menunjuk alat pengambil data yang cocok digunakan atau mengacu pada bagaimana mengukur suatu variabel (Ardinal, 2005, hal. 60). Adapun indikator-indikator dari penelitian ini adalah :


(45)

A. Keterlibatan ASN dalam Pilkada Serentak 1) ASN menjadi tim sukses dalam Pilkada 2) ASN menjadi peserta kampanye

3) ASN menjadi akses informasi dalam Pilkada

4) ASN membuat kebijakan atau keputusan yang menguntungkan salah satu kandidat

B. ASN tidak terlibat dalam Pilkada Serentak

1) Tidak menjadi tim sukses kandidat pada kampanye 2) Tidak menjadi peserta kampanye baik menggunakan

atribut partai atau atribut PNS

3) Mengarahkan PNS lain untuk turut serta dalam kampanye

4) Menggunakan fasilitas negara dalam kampanye Pilkada C. ASN tidak memihak salah satu kandidat dari Pilkada Serentak

1) Tidak membantu dalam membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan salah satu pasangan calon

2) Tidak mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daera baik sebelum, selama dan sesudah kampanye seperti pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, serta pemberian barang kepada PNS dalam unit pekerjaan


(46)

3) Memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk.

1.8 METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif kualitatif. Adapun pengertian dari penelitian kualitatif yaitu mengangkat secara ideografis berbagai fenomena dan realitas sosial. Pembangunan dan pengembangan teori sosial khususnya sosiologi dapat dibentuk dari empiri melalui berbagai fenomena atau kasus yang diteliti (Rusliwa, 2005, hal. 64). Melalui penelitian kualitatif penulis bertujuan untuk memahami fenomena yang ada dan mendalami fenomena yang ada secara rinci, sistematis dan sesuai dengan fakta yang ada. Dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif maka dapat tergali informasi mendalam tentang netralitas ASN dalam pilkada serentak Kabupaten Bantul tahun 2015.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah Kabupaten Bantul, lokasi ini dipilih karena pada tahun 2015 dilaksanakannya pilkada serentak dan ditemukannya persoalan terkait dengan netralitas pada ASN. Adapun tempat penelitiannya yaitu Panwaslu Bantul, BKD Bantul.


(47)

3. Unit Analisis

Sesuai dengan permasalahan yang ada pada pembahasan penelitian ini, maka unit analisis dari penelitian ini adalah Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Bantul, dan Badan Kepegawaian Bantul.

4. Jenis Data

Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini yaitu menggunakan: a. Data Primer

Data primer adalah data yang langsung berkaitan dengan permasalahan penelitian. Data primer merupakan data yang didapatkan langsung dari informan atau unit analisa melalui wawancara yang sesuai dengan indikator-indikator pada definisi operasional. Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

Tabel 1.1 Data Primer

NO Nama Data Sumber Data

Teknik Pengumpulan

Data 1 Netralitas ASN dalam

Pilkada Serentak

Ketua Panwaslu dan Kepala BKD

Bantul

Wawancara mendalam

2 Jenis pelanggaran ASN dalam Pilkada Serentak

Ketua Panwaslu dan Kepala BKD

Bantul

Wawancara mendalam

3

Sanksi yang diberikan kepada ASN yang tidak

netral

Kepala BKD Bantul

Wawancara mendalam 4 Pengawasan Pilkada

Serentak Panwaslu Bantul

Wawancara mendalam 5

Daftar ASN yang ikut terlibat dalam Pilkada

Serentak

Panwaslu Bantul Wawancara mendalam


(48)

b. Data Sekunder

Data yang didapat dari kajian sumber yang digunakan sebagai penunjang dalam analisa masalah-masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. Adapun sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah jurnal, buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumentasi resmi dari pemerintah terkait.

Tabel 1.2 Data Sekunder

NO Nama Data Sumber Data

1

Surat Edaran dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi

tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pemilihan

Kepala Daerah Serentak

Badan Kepegawaian

Bantul

2 Bukti Laporan atau Catatan daftar nama ASN yang tidak Netral pada Pilkada Bantul

Panitia Pengawas Pemilu Bantul

(Panwaslu) 3 Regulasi daerah yang berkaitan dengan

Pilkada dan Netralitas ASN

Panwaslu dan BKD Bantul

5. Teknik Pengumpulan Data 1) Wawancara

Wawancara adalah memberikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai indikator-indikator penelitian yang diarahkan kepada narasumber untuk menjawab persoalan yang ada. Wawancara dilakukan dengan melakukan tanya jawab secara lisan dan tatap muka. Adapun narasumber dan data yang diperlukan sebagai berikut :


(49)

Tabel 1.3 Wawancara

NO Narasumber Nama Data

1

Ketua Panita Pengawasan Pemilu

(Panwaslu) Bantul

Keterlibatan ASN dalam Pilkada Serentak Bantul, Jenis pelanggaran yang dilakukan ASN dalam Pilkada Serentak. 2

Kepala Badan Kepegawaian Daerah

Bantul

Sanksi yang diberikan kepada ASN yang tidak netral

2) Dokumentasi

Dokumentasi merupakan data pelengkap atau penunjak dari penelitian, yaitu dengan cara melihat dokumen berupa laporan adanya pelanggaran ASN, catatan ASN yang terlibat tidak netral dalam pilkada serentak Kabupaten Bantul tahun 2015 yang diperoleh dari pihak Pawanslu Bantul dan BKD Bantul.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data menjadi bagian penting sebab sebaik apapun data yang diperoleh jika tidak dianalisis dengan metode yang tepat maka tidak akan dapat memberikan kesimpulan yang baik dan tepat (Sinambela, 2014, hal. 187). Menurut Miles & Huberman dalam (Ali Sya, 2005, hal. 69-71) Analisis data dilakukan dengan cara :

1. Pengumpulan data

Pengumpulan data dalam hal ini berupa data-data mentah dari hasil penelitian, seperti : wawancara, dokumentasi, catatan lapangan dan sebagainya.


(50)

2. Reduksi data

Setelah data terkumpul dari hasil pengamatan, wawancara, catatan lapangan, serta bahan-bahan data lain yang ditemukan di lapangan dikumpulkan dan kelasifikasikan dengan membuat catatan-catatan ringkasan, mengkode untuk menyesuaikan menurut hasil penelitian.

3. Penyajian data (display data)

Data yang sudah dikelompokkan dan sudah disesuaikan dengan kode-kodenya, kemudian disajikan dalam bentuk tulisan deskriptif agar mudah dipahami secara keseluruhan dan juga dapat menarik kesimpulak untuk melakukan penganalisisan dan penelitian selanjutnya.

4. Kesimpulan dan Verifikasi

Hasil penelitian yang telah terkumpul dan terangkum harus diulang kembali dengan mencocokkan pada reduksi data dan display data, agar kesimpulan yang telah dikaji dapat disepakati untuk ditulis sebagai laporan yang memiliki tingkat kepercayaan yang benar.

1.9 SISTEMATIKA PENULISAN

Untuk memudahkan dalam membaca dan memahami pokok-pokok masalah yang dibahas dalam skripsi ini, maka secara sistematis penyusun membuat sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I. Pendahuluan

Pada bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, definisi konseptual, definisi operasional,


(51)

metode penelitian, teknik pemgumpulan data, teknik analisis data dan sistematika penulisan.

BAB II. Deskripsi Objek Penelitian

Bab ini berisi mengenai gambaran profil, visi dan misi dari objek penelitian yang terdiri dari Panwaslu Kabupaten Bantul dan BKD Kabupaten Bantul.

BAB III. Pembahasan

Bab ini berisi analisis dari data yang didapatkan di lapangan untuk menjawab masalah yang ada mengenai netralitas ASN dalam pilkada serentak Kabupaten Bantul Tahun 2015.

BAB IV. Penutup

Bab ini merupakan bab terakhir, yang berisikan kesimpulan dari keseluruhan analisis yang dilakukan dalam bab sebelumnya dan saran-saran dari hasil yang diperoleh yang diharapkan dapat bermanfaat dalam penelitian selanjutnya yang memiliki tema yang sama.


(52)

BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

2.1 Deskripsi Wilayah Kabupaten Bantul A. Sejarah Kabupaten Bantul

Bantul memang tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yogyakarta sebagai kota perjuangan dan sejarah perjuangan Indonesia pada umumnya. Bantul menyimpan banyak kisah kepahlawanan. Antara lain, perlawanan Pangeran Mangkubumi di Ambar Ketawang dan upaya pertahanan Sultan Agung di Pleret. Perjuangan Pangeran Diponegoro di Selarong. Kisah perjuangan pioner penerbangan Indonesia yaitu Adisucipto, pesawat yang ditumpanginya jatuh ditembak Belanda di Desa Ngoto. Sebuah peristiwa yang penting dicatat adalah Perang Gerilya melawan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Sudirman (1948) yang banyak bergerak di sekitar wilayah Bantul. Wilayah ini pula yang menjadi basis, "Serangan Oemoem 1 Maret" (1949) yang dicetuskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. (http://www.bantul.go.id. Diakses Tanggal 25 Oktober 2016, Jam 12:00 WIB)

Tolok awal pembentukan wilayah Kabupaten Bantul adalah perjuangan gigih Pangeran Diponegoro melawan penjajah bermarkas di Selarong sejak tahun 1825 hingga 1830. Seusai meredam perjuangan Diponegoro, Pemeritah Hindia Belanda kemudian membentuk komisi khusus untuk menangani daerah Vortenlanden yang antara lain bertugas menangani pemerintahan daerah Mataram, Pajang, Sokawati,


(53)

dan Gunung Kidul. Kontrak kasunanan Surakarta dengan Yogyakarta dilakukan baik hal pembagian wilayah maupun pembayaran ongkos perang, penyerahan pemimpin pemberontak, dan pembentukan wilayah administratif.

Tanggal 26 dan 31 Maret 1831 Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Yogyakarta mengadakan kontrak kerja sama tentang pembagian wilayah administratif baru dalam Kasultanan disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya. Saat itu Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga kabupaten yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara, dan Kalasan untuk kawasan timur. Menindaklanjuti pembagian wilayah baru Kasultanan Yogyakarta, tanggal 20 Juli 1831 atau Rabu Kliwon 10 sapar tahun Dal 1759 (Jawa) secara resmi ditetapkan pembentukan Kabupaten Bantul yang sebelumnya di kenal bernama Bantulkarang. Seorang Nayaka Kasultanan Yogyakarata bernama Raden Tumenggung Mangun Negoro kemudian dipercaya Sri Sultan Hamengkubuwono V untuk memangku jabatan sebagai Bupati Bantul.

Tanggal 20 Juli ini lah yang setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Bantul. Selain itu tanggal 20 Juli tersebut juga memiliki nilai simbol kepahlawanan dan kekeramatan bagi masyarakat Bantul mengingat Perang Diponegoro dikobarkan tanggal 20 Juli 1825. Pada masa pendudukan Jepang, pemerintahan berdasarkan pada Usamu Seirei nomor 13 sedangakan stadsgemente ordonantie dihapus. Kabupaten Memiliki hak mengelola rumah tangga sendiri (otonom).


(54)

Kemudian setelah kemerdekaan, pemerintahan ditangani oleh Komite Nasional Daerah untuk melaksanakan UU No 1 tahun 1945. Tetapi di Yogyakarta dan Surakarta undang-undang tersebut tidak diberlakukan hingga dikeluarkannya UU Pokok Pemerintah Daerah No 22 tahun 1948, dan selanjutnya mengacu UU Nomor 15 tahun 1950 yang isinya pembentukan Pemerintahan Daerah Otonom di seluruh Indonesia.

Seiring dengan perjalanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan silih bergantinya kepemimpinan nasional, Kabupaten Bantul telah mengalami kemajuan pesat diberbagai bidang dibawah kepemimpinan Drs. HM. Idham Samawi yang menjabat sejak akhir tahun 1999-2004. Pada Tahun 2005, Drs. HM. Idham Samawi terpilih kembali melalui pilkada langsung dan menjabat sampai tahun 2010. Kemudian istri dari beliau, Hj. Sri Surya Widati mencalonkan dan memenangkan periode selanjutnya yaitu tahun 2010-2015. Tahun 2015, pada pilkada serentak Hj. Sri Surya Widati mencalonkan lagi namun dikalahkan oleh Drs. H. Suharsono yang dilantik sebagai Bupati Bantul periode 2016 - 2021 pada Rabu, 17 Februari 2016. (http://www.bantul.go.id. Diakses Tanggal 25 Oktober 2016, Jam 12:00 WIB)

B. Keadaan Alam Bantul

Kabupaten Bantul terletak di sebelah selatan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, berbatasan dengan :

1. Sebelah Utara: Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman 2. Sebelah Selatan : Samudera Indonesia


(55)

3. Sebelah Timur : Kabupaten Gunung Kidul 4. Sebelah Barat: Kabupaten Kulon Progo

Luas wilayah Kabupaten Bantul 506,85 KM2 (15,90 % dari luas wilayah DIY) dengan topografi sebagai dataran rendah 140% dan lebih dari separuhnya (60%) daerah perbukitan yang kurang subur. Secara garis besar terdiri dari : Bagian Barat adalah daerah landai yang kurang serta perbukitan yang membujur dari Utara ke Selatan seluas 89,86 Km2 (17,73 % dari seluruh wilayah). Bagian Tengah adalah daerah datar dan landai merupakan daerah pertanian yang subur seluas 210.94 Km2 (41,62 %). Bagian Timur adalah daerah yang lantai, miring dan terjal yang keadaannya masih lebih baik dari daerah bagian Barat, seluas 206,05 Km2 (40,65 %). Bagian Selatan adalah sebenarnya merupakan bagian dari daerah bagian Tengah dengan keadaan alamnya yang berpasir dan sedikit berlagun, terbentang di Pantai Selatan dari Kecamatan Srandakan, Sanden dan Kretek. (http://www.bantul.go.id. Diakses Tanggal 29 Semptember 2016, Jam

12:19 WIB)

C. Kependudukan

Total penduduk yang ada di Kabupaten Bantul sebanyak 955.051 Jiwa. Yang terdiri dari 299.722 Kepala Keluarga. Adapun jumlah penduduk Kabupaten Bantul berdasarkan jenis kelamin, perbandingan jumlah laki-laki dengan jumlah penduduk perempuan sebagai berikut :


(56)

Tabel 2.1

Jumlah Penduduk Berdasarkankan Jenis Kelamin di Kabupaten Bantul No Kecamatan Laki-Laki Perempuan Jumlah

1. Srandakan 14.340 14.595 28.935

2. Sanden 14.690 15.249 29.939

3. Kretek 14.375 15.249 29.939

4. Pundong 15.678 16.419 32.097

5. Bambanglipuro 18.705 19.216 37.921

6. Pandak 24.229 24.329 48.558

7. Bantul 30.455 30.889 61.344

8. Jetis 26.500 27.092 53.592

9. Imogiri 28.472 29.062 57.534

10. Dlingo 17.825 18.340 36.165

11. Pleret 22.697 22.619 45.316

12. Piyungan 25.937 26.219 52.156 13. Banguntapan 66.636 64.948 131.584

14. Sewon 55.784 54.571 110.355

15. Kasihan 59.712 59.559 119.271

16. Pajangan 17.906 17.371 34.467

17. Sedayu 22.741 23.211 45.952

Jumlah 475.872 479.143 955.015 Presentase 49,83 50,17 100

Sumber : www.bantul.go.id Diakes Tanggal 26 Oktober 2016, Jam 14:35 WIB (Proyeksi Penduduk 2010-2020)

Jumlah penduduk Kabupaten Bantul berdasarkan tingkat pendidikan yaitu penduduk yang tidak atau belum pernah sekolah, tidak atau belum tamat SD, sekolah sampai dengan tingkat SD, SLTP, SLTA, DI/DII, Akademi/D3,D4-S3, sebagai berikut ini :


(57)

Tabel 2.2

Persentase penduduk usia 10 tahun ke atas berdasarkan ijazah tertinggi di Kabupaten Bantul

No Ijazah Tertinggi yang Dimiliki Persentase

1. Tidak punya 25,09

2. SD/MI 23,59

3. SMP/MTs 17,45

4. SMU/MA 16,15

5. SMK 7,91

6. D1/D2 0,94

7. D3/Akademi 2,92

8. D4/S1 5,70

9. S2/S3 0,24

Sumber : www.bantul.go.id Diakes Tanggal 26 Oktober 2016, Jam 14:55 WIB

D. Pemerintahan

Secara administratif Kabupaten Bantul terdiri dari 17 Kecamatan, 75 Desa, 933 Dusun. Desa-desa di Kabupaten Bantul dibagi lagi berdasarkan statusnya menjadi desa pedesaaan (rural area) dan desa perkotaan (urban area). Secara umum jumlah desa yang termasuk dalam wilayah perkotaan sebanyak 41 desa, sedangkan desa yang termasuk dalam kawasan perdesaan sebanyak 34 desa.


(58)

Tabel 2.3

Jumlah Desa, Dusun dan Luas Kecamatan di Kabupaten Bantul No Kecamatan Jumlah Desa Jumlah Dusun Luas (Km2)

1. Srandakan 2 43 18,32

2. Sanden 4 62 23,16

3. Kretek 5 52 26,77

4. Pundong 3 49 24,30

5. Bambanglipuro 3 45 22,70

6. Pandak 4 49 24,30

7. Pajangan 3 55 33,25

8. Bantul 5 50 21,95

9. Jetis 4 64 21,47

10. Imogiri 8 72 54,49

11. Dlingo 6 58 55,87

12. Banguntapan 8 57 28,48

13. Pleret 5 47 22,97

14. Piyungan 3 60 32,54

15. Sewon 4 63 27,16

16. Kasihan 4 53 32,38

17. Sedayu 4 54 34,36

Jumlah 75 933 504,47

Sumber : www.bantul.go.id Diakes Tanggal 26 Oktober 2016, Jam 14:55 WIB

Untuk jumlah perangkat daerah Kabupaten Bantul atau SKPD yang ada di Kabupaten Bantul terdiri dari 1 Sekretariat Daerah, 1 Sekreatriat DPRD, 7 kantor, 6 Badan, dan 1 Inspektorat dan 16 Dinas dan 5 BUMD. Adapun nama-nama dari SKPD tersebut sebagai berikut :


(59)

Tabel 2.4

SKPD Kabupaten Bantul

Dinas Kantor Badan

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kantor Pemberdayaan Masyarakat Desa Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Dinas Kesehatan Kantor Pengolahan

Data Telamatika

Badan Lingkungan Hidup Dinas Pendapatan,

Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah

Kantor Perpustakaan

Umum

Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Dinas Pertanian dan

Kehutanan

Kantor Arsip Daerah

Inspektorat Dinas Tenaga Kerja

dan Transmigrasi

Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik

Badan Kesejahteraan Keluarga, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga

Berencana Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kantor Pengelolaan Pasar

Badan Kepegawaian Daerah

Dinas Pekerjaan Umum

Kantor Pemuda dan Olah Raga

Badan Penanggulangan Bencana Daerah Dinas Sumber Daya

Air Dinas Kependudukan Sipil Dinas Perhubungan Dinas Perijinan Dinas Sosial Dinas Pendidikan Menengah dan Non

Formal Dinas Pendidikan

Dasar

Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan

Masyarakat


(60)

E. Visi dan Misi Kabupaten Bantul

Kabupaten Bantul untuk mewujudkan tujuan pembangunan Kabupaten Bantul ditetapkan visi daerah, yaitu : “Bantul Projotamansari Sejarah, Demokrasi, dan Agamis.” Adapun visi tersebut mengandung pengertian bahwa kondisi Kabupaten Bantul yang ingin diwujudkan dimasa yang akan datang adalah Bantul yang produktif profesional, ijo royo-royo, tertib, aman, sehat dan asri, sejahtera, dan demokratis, yang semuanya itu akan diwujudkan melalui misi.

Misi merupakan tentang tujuan operasional organisasi (Pemerintah) yang diwujudkan dalam produk dan pelayanan, sehingga dapat mengikuti irama perubahan zaman bagi pihak-pihak yang berkepentingan bagi masa mendatang. Sebagai penjabaran dari visi yang ditetapkan diatas, pernyataan misi mencerminkan tentang segala sesuatu yang akan dilaksankan untuk pencapain visi tersebut. Dengan adanya pernyataan misi organisasi, maka akan dapat dijelaskan menagapa organisasi eksis dan apa maknanya pada masa yang akan datang. Adapun Misi Kabupaten Bantul sesuai RPJMD Tahun 2011-2015 adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kapasitas pemerintah daerah menuju tata kelola pemerintah yang empatik

2. Meningkatkan kualitas hidup rakyat menuju masyarakat Bantul yang sehat, cerdas, berakhlak mulia dan berkepribadian Indonesia dengan memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi


(61)

3. Meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi, pemeratan pendapatan berbasis pengembangan ekonomi lokal dan pemberdayaan masyarakat yang responsif gender Meningkatkan kewaspadaan terhadap resiko bencana dengan memperhatikan penataan ruang dan pelestarian lingkungan

(www.bantul.go.id. Diakses Tanggal 29 Semptember 2016, Jam 12:19

WIB)

F. Kondisi Politik Kabupaten Bantul

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 merupakan awal dari otonomi daerah atau desentralisasi. Melalui undang-undang ini, daerah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri. Dari adanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, maka di Kabupaten Bantul DPRD memilih Drs.HM. Idham Samawi sebagai Bupati periode 1999-2004. Karena sesuai amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 17, DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk memilih kepala daerah.

Pada tahun 2005, Drs.HM. Idham Samawi mencalonkan kembali menjadi Bupati Kabupaten Bantul melalui partai politik PDIP. Beliau terpilih melalui pemilihan langsung dan menjabat sampai tahun 2010. Pada pemilihan kepala daerah tahun 2010, Drs. HM. Idham Samawi tidak dapat lagi maju sebagai kandidat, dikarenakan sudah dua periode. Kemudian istri beliau, Hj. Sri Surya Widati mencalonkan diri dan memenangkan pilkada untuk periode 2010-2015, yang diusung melalui partai politik PDIP. Hj. Sri Surya Widati maju kembali di


(62)

pilkada serentak tahun 2015 yang diusung dari partai PDIP dan Nasdem. Beliau berpasangan dengan Drs. Misbakhul Munir, M.Si. Namun pilkada serentak tahun 2015 dimenangkan oleh pasangan Drs. H. Suharsono dan H. Abdul. Halim Muslih, yang diusung oleh Partai Gerindra, PKB, PKS dan Demokrat. Untuk Data Pemilih Tetap pilkada serentak Kabupaten Bantul Tahun 2015 sebagai berikut :

Tabel 2.5

Data Pemilih Tetap Pilkada Kabupaten Bantul Tahun 2015 Jumlah

TPS

Jumlah Pemilih Jumlah Pemilih Pemula Difabel

L P Kosong Total L P Total (%)

Total (%) 1.768 337.716 352.729 0 691.445 6.038 5.956 11.994

(1,73 %)

3.863 (0,19%) Sumber : www.kpud-bantulkab.go.id Diakses Tanggal 27 Oktober 2016 Jam 07:30 WIB)

Perolehan suara pada pilkada serentak Kabupaten Bantul tahun 2015 yaitu: Drs. H. Suharsono dan H. Abdul. Halim Muslih, mendapatkan perolehan 260834 suara (52,80%) pasangan Hj. Sri Surya Widati dan Drs. Misbakhul Munir, M.Si dengan perolehan : 233196 Suara (47,20%) (www.kpud-bantulkab.go.id. Diakses Tanggal 15 Oktober 2016 Jam 13.07 WIB). Pada tanggal 17 Februari 2016, pasangan Drs. H. Suharsono dan H. Abdul. Halim Muslih telah resmi dilantik menjadi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Bantul.

Pada pilkada tahun 2005 dan tahun 2010 bisa dikatakan PDIP yang memiliki kekuasaan. Namun pada tahun 2015 pilkada Kabupaten Bantul dimenangkan dari partai Gerindra. Walaupun pada pilkada 2015, kandidat yang diusung oleh PDIP


(63)

kalah, kekuasaan PDIP masih terlihat di kursi parlemen. Hasil perhitungan suara PDIP memperoleh 12 kursi anggota dewan, untuk jumlah keseluruhan anggota ada 45 orang. Adapun komposisi anggota DPRD Kabupaten Bantul masa bakti 2014-2019 berdasarkan partai politik adalah sebagai berikut :

Tabel 2.6

Jumlah Anggota DPRD Kabupaten Bantul berdasarkan Partai Politik

No Partai Politik Jumlah Anggota

1 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 12 Anggota 2 Partai Gerakan Indonesia Raya 6 Anggota

3 Partai Amanat Nasional 6 Anggota

4 Partai Golongan Karya 5 Anggota

5 Partai Kebangkitan Bangsa 4 Anggota 6 Partai Keadilan Sejahtera 4 Anggota 7 Partai Persatuan Pembangunan 4 Anggota 8 Partai Nasional Demokrat 2 Anggota 9 Partai Bulan dan Bintang 1 Anggota

10 Partai Demokrat 1 Anggota

Sumber : www.dprd.bantulkab.go.id Diakses Tanggal 26 Oktober 2016, Jam 18:30 WIB

2.2 Deskripsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul A. Profil Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul

Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi


(64)

Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Bantul, dengan kedudukan sebagai pendukung atas penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang Kepegawaian serta perumusan kebijakan teknis bidang kepegawaian. Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 60 Tahun 2008 tentang Rincian Tugas, Fungsi dan Tata Kerja Badang Kepegawian Daerah Kabupaten Bantul.

B. Visi dan Misi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul

Visi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul yang telah dirumuskan dan disepakati bersama adalah "Pengelola Manajemen Kepegawaian yang Profesional dan Handal". Visi tersebut mengandung pengertian bahwa BKD Kabupaten Bantul ingin mewujudkan manajemen kepegawaian yang lebih berorientasi kepada profesionalisme SDM aparatur (ASN), yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat secara jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pembangunan, tidak partisan dan netral, keluar dari pengaruh semua golongan dan partai politik dan tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga dapat mendukung misi Kabupaten Bantul yang tercantum dalam RPJMD Kabupaten Bantul yaitu Meningkatkan Kapasitas pemerintah daerah menuju tata kelola pemerintahan yang empatik.

Visi merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh segenap Aparat Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul. Untuk mencapai visi tersebut, ditetapkan Misi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul sebagai langkah


(65)

nyata/tindakan yang dilaksanakan, sehingga hal yang masih abstrak terlihat pada visi akan lebih nyata pada hasil misi tersebut. Dari visi yang telah ditetapkan dapat dirumuskan Misi yang diemban oleh Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul sebagai berikut:

1. Meningkatkan Kualitas Manajemen Kepegawaian.

2. Meningkatkan Pelayanan Prima Bidang Kepegawaian.

(www.bkd.bantulkab.go.id Diakses Tanggal 29 Semptember 2016, Jam

12:34 WIB)

C. Tugas Pokok dan Fungsi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul Adapun tugas pokok dari Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul sebagai berikut :

1. Badan Kepegawaian Daerah merupakan pendukung penyelenggaraan pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati melalui Sekretaris Daerah.

2. Badan Kepegawaian Daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah Bidang Kepegawaian, pendidikan dan pelatihan.

Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul dalam melaksanakan tugasnya menyelenggarakan fungsi :


(66)

2. Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintah daerah dibidang Kepegawaian;

3. Pembinaan dan pelaksanaan tugas bidang Kepegawaian;

4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Bupati sesuai dengan tugas dan fungsinya.

D. Struktur Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul Susunan Organisasi Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Bantul, terdiri atas Kepala Badan, Sekretariat yang di dalamya terdapat 3 (tiga) Sub Bagian, 4 Bidang dengan beberapa Sub Bidang, serta Kelompok Jabatan Fungsional. Empat bidang tersebut terdiri dari Bidang Pengadaan dan Pengembangan, Bidang Pendidikan dan Pelatihan, Bidang Mutasi dan Kepangkatan dan Bidang Administrasi dan Kesejahteraan. (https://bkd.bantulkab.go.id. Diakses Tanggal 24 Oktober 2016, Jam 12:34 WIB)

2.3 Deskripsi Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Bantul (Panwaslu Bantul) A. Sejarah Panwaslu

Dalam sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia, istilah pengawasan pemilu sebenarnya baru muncul pada era 1980-an. Pada pelaksanaan Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada 1955 belum dikenal istilah pengawasan Pemilu. Pada era tersebut terbangun trust di seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu yang dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai Konstituante. Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, tetapi dapat dikatakan


(67)

sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan tahapan, kalaupun ada gesekan terjadi di luar wilayah pelaksanaan Pemilu. Gesekan yang muncul merupakan konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat itu. Hingga saat ini masih muncul keyakinan bahwa Pemilu 1955 merupakan Pemilu di Indonesia yang paling ideal.

Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim penguasa. Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971. Karena palanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif. Protes-protes ini lantas direspon pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan 'kualitas' Pemilu 1982. Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Pada era reformasi, tuntutan pembentukan penyelenggara Pemilu yang bersifat mandiri dan bebas dari kooptasi penguasa semakin menguat. Untuk itulah dibentuk sebuah lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat independen yang diberi nama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisasi


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)