INTERVENSI POLITIK DAN NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2014

(1)

INTERVENSI POLITIK DAN NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2014

(Skripsi)

Oleh

Alam Patria

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(2)

Alam Patria

ABSTRACT

POLITICAL INTERVENTION AND NEUTRALITY OF STATE CIVIL APPARATUS IN THE REGIONAL GENERAL ELECTION

LAMPUNG PROVINCE 2014

By

ALAM PATRIA

The aim of this research was to explain about political intervention and neutrality of state civil apparatus in regional election of Lampung Province 2014. Theories used in this research were theory of political intervention by Azhari, factor of intervention by Hellden and theory of bureaucracy neutrality by Weber. The method used in this research was qualitative, data collection techniques conducted through interviews, libraries and documentation. The data processed to generate the exposure data in the form of political intervention and the neutrality of state civil apparatus in the regional general election of Lampung Province.

The results of this research showed that political intervention conducted by political actors were incumbent in deployment of a working unit, bureaucratic network, and inserted political agenda in the bureaucratic activities. The neutrality of the civil state apparatus in several areas, namely Tulang Bawang district, Tulang Bawang Barat district, Bandar Lampung city and Lampung Barat district were not maintained properly, the four districts or city were the home of several pairs of candidates. State civil apparatus involved by using the power head of the region. On the other hand political primordial also be a factor of intervention,


(3)

Alam Patria political intervention can also come from within the bureaucracy, the intervention often done because the existing rules have not been able to tie the whole offenders who commit fraud. Violations committed by the candidate pairs involving the support of state civil apparatus was an act that open and half-open. Supervisory institution was less maximizing the function of monitoring, it can be seen by violations and violations report that were not processed optimally.

Keywords: Political Intervention, Neutrality, State Civil Apparatus, and regional General Election


(4)

Alam Patria

ABSTRAK

INTERVENSI POLITIK DAN NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2014

Oleh ALAM PATRIA

Penelitian ini memiliki tujuan untuk memaparkan tentang intervensi politik dan netralitas aparatur sipil negara dalam pemilukada Provinsi Lampung tahun 2014. Penelitian ini menggunakan teori intervensi politik dari Azhari dan faktor intervensi oleh Hellden, serta teori netralitas birokrasi dari Weber. Metode yang digunakan adalah kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, penelitian pustaka dan dokumentasi, kemudian data tersebut diolah sehingga menghasilkan data berupa pemaparan tentang intervensi politik serta netralitas aparatur sipil negara dalam pemilukada di Provinsi Lampung.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi politik dilakukan oleh aktor politik yaitu incumbent dalam bentuk pengerahan satuan kerja serta jaringan birokrasi, menyisipkan agenda politik dalam kegiatan birokrasi. Netralitas aparatur sipil negara pada beberapa daerah yaitu Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Barat tidaklah terjaga sebagaimana mestinya, keempat kabupaten atau kota ini merupakan asal dari beberapa pasangan calon. Aparatur sipil Negara


(5)

Alam Patria dilibatkan dengan menggunakan kekuasaan kepala daerah, selain itu primordialisme politik juga menjadi faktor terjadinya intervensi, intervensi politik juga bisa berasal dari dalam birokrasi, tindakan intervensi kerap dilakukan karena peraturan yang ada belum mampu mengikat secara utuh pelanggar yang melakukan kecurangan. Pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon dengan melibatkan dukungan aparatur sipil negara merupakan tindakan yang bersifat terbuka dan setengah terbuka. Lembaga pengawas kurang memaksimalkan fungsi pengawasannya, dilihat dari pelanggaran yang terjadi dan laporan pelanggaran yang tidak terproses secara maksimal.


(6)

INTERVENSI POLITIK DAN NETRALITAS APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH

PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2014

Oleh

Alam Patria

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2015


(7)

(8)

(9)

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumur Jaya, Kabupaten Pesisir Barat pada tanggal 04 Oktober 1991, anak kedua dari tiga bersaudara, buah cinta dari kebahagian Hasanuddin, S.Pd dan Nurhazanah.

Jenjang Akedemik Penulis dimulai dengan menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Sumur Jaya, Kecamatan Pesisir Selatan diselasaikan tahun 2004, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kecamatan Pesisir Selatan dan pindah ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Kecamatan Bengkunat (kini menjadi SMPN 1 Bengkunat Belimbing) selesai tahun 2007, kemudian melajutkan pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Pesisir Selatan Kabupaten Pesisir Barat yang selesai tahun 2010.

Tahun 2010, Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa S1 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Lampung, melalui jalur PKAB, yang saat itu Penulis pilih untuk melanjutkan pendidikan dan selesai di tahun 2015.


(11)

MOTO

A jalan yang bernama kehidupan

-Masashi Kishimoto-

Karenanya Berbagilah jalan kepada yang lain, Agar tujuan tak sulit untuk di lalui.

P

untuk menyambut masa depan yang cerah, dan sekolah tidak mengajarkan itu.

Rumah Kaca-Pramoedya Ananta Toer


(12)

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan karya kecil ini kepada: Kedua Orang Tua Ku

Sebagai tanda terimakasih dan baktiku, karena kalian aku belajar bertahan dan berjuang dalam hidup

dan aku tidak akan seperti sekarang ini jikalau tidak karena kalian Ayah-Bunda. Aku Kagum Akan Kesabaran Kalian Berdua

Udo dan Dedek

Seluruh keluarga tercinta yang selalu mendukungku Almamater tercinta Universitas Lampung

_________________________________________________ Untuk Kalian yang Selalu Ku Cinta

Untuk Kalian Pengobat Luka Untuk Kalian yang Selalu Ada Sejauh ini Kita Selalu Bersama Sejauh ini Kalian Selalu Membina


(13)

SANWACANA

Segala puji hanyalah bagi Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyusun skripsi yang berjudul “Intervensi Politik Dan Netralitas Aparatur Sipil Negara Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Lampung Tahun 2014” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, hal ini disebabkan oleh keterbatasan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu antara lain sebagai berikut.

1. Drs. Agus Hadiawan, M.Si Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

3. Drs. Hertanto, M.Si., Ph.D Pembimbing yang telah banyak membantu, membimbing, mengarahkan, memberikan masukan, saran, dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Ari Darmastuti, M.A Penguji Skripsi, yang telah banyak memberikan, masukan, saran, dan motivasi kepada penulis hingga diselesaikannya skripsi ini.

5. Drs. R. Sigit Krisbintoro, M.IP Sekretaris Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Pembimbing Akademik dari penulis.

6. Teristimewa kepada orang tua saya, Ayahnda Hasanuddin, S.Pd. Ibunda Nur Hazanah terima kasih telah menjadi orang tua yang kuat, tidak pernah lelah dalam membesarkan


(14)

semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan nikmat-Nya untuk kalian. Sekali lagi penulis ucapkan terimakasih karena berkat kalianlah penulis mampu memotivasi diri. Semoga langkah ini dekat dengan jejak mu Maa.

7. Sepesial untuk kalian berdua udo dan dedek (Riskon Fatria dan Rita Fitria) kita akan saling memberi dikala susah atau senang, duka atau suka, karena keluarga ini adalah hidup kita. Kurindukan ribut kita bersama.

8. Terimakasih pada sanak saudara, dekat maupun jauh, kebanggaan ini adalah milik kita bersama.

9. Terima kasih untuk seluruh dosen Ilmu Pemerintahan Fisip Unila, terimakasih atas ilmu yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu di Jurusan Ilmu Pemerintahan. 10.Sahabat-sahabat Jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan tahun 2010, Ricky Ardian S.IP,

Ikhwah Efrizal S.IP, Harizon, Herowandi, S.IP, Ardi Yuzka, Ade Wardidin, S.IP, Ilham Kurniawan, Uli Kartika Wibowo, Dita Purnama, S.IP, Andrialius Feraera S.IP, Aditya Darmawan, S.IP, Ryan Maulana S.IP, Anis Septiana S.IP, Siska Fitria S.IP, Novi Nurhana S.IP, Betty D. Sirait S.IP, Angga Ferdiansyah S.IP, Komang Jaka S.IP, Indra Jaya Negara, Aditya Arif, Noprico DP, Tano Gupalo, Riendi Ferdian, Eko Tri Pranoto, Ahlan Pahriadi S.IP, Pangki Saputra Jaya, Prasaputra Sanjaya, Dicky Rinaldi S.IP, Ali Wirawan S.IP, Dani Setiawan, Budi Setia Aji, Azmi Nurhakiki dan semua teman-teman yang lain. Tetap semangat, semoga Allah SWT memberikan nikmat sehat, rejeki yang berlimpah, rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Amin.

11.Untuk satu orang lagi yang patut saya kagumi, serta ikut memberi kontribusi besar dalam dalam hidup ini. Muhammad Alfarizi Hidayat kita akan tetap saling terjalin, salam hangat untuk anda dan keluarga besar Sumur Jaya.


(15)

14.Terima kasih kepada Tim TBB [Ricky, Dita, Uli dan Ratu] bekerja bersama begitu menyenangkan.

15.Terima kasih Jacko Zakaria Fotography, untuk job dan pengetahuan anda #600D. 16.Dan kita semua terima kasih banyak.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Maret 2015 Penulis


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Intervensi Politik ... 12

B. Birokrasi ... 15

1. Konsep Birokrasi ... 15

2. Teori Birokrasi ... 16

3. Netralitas Birokrasi ... 21

4. Faktor Netralitas Birokrasi ... 22

5. Politisasi Birokrasi ... 25

6. Konsep Aparatur Sipil Negara ... 27

C. Pemilihan Umum Langsung ... 29

1. Pengertian Pemilihan Umum ... 29

2. Dasar Hukum ... 30

3. Asas Pemilihan Umum ... 31

4. Kampanye Pemilihan Umum ... 32

D. Tinjauan Tentang Pengawasan ... 34

E. Penelitian Terdahulu ... 35


(17)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian ... 42

B. Lokasi Penelitian ... 43

C. Fokus Penelitian ... 43

D. Jenis dan Sumber Data ... 45

E. Teknik Pengumpulan Data ... 46

F. Teknik Analisis Data ... 49

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Provinsi Lampung ... 52

B. Gambaran Aparatur Sipil Negara ... 53

C. Gambaran Lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum ... 55

1. Komisi Pemilihan Umum ... 55

2. Badan Pengawas Pemilu ... 60

D. Gambaran Umum Penelitian ... 60

E. Identitas Informan ... 61

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor Intervensi Politik pada Pemilukada Lampung Tahun 2014 .... 64

1. Aktor Politik dan Kekuasaan ... 65

2. Politisasi Aparatur Sipil Negara Oleh Pasangan Calon Kepala Daerah ... 71

3. Primordialisme Politik ... 74

4. Politisasi yang Berasal dari Birokrasi ... 76

5. Aturan yang Mudah di Politisasi ... 78

B. Pelanggaran dan Keterlibatan Aparatur Sipil Negara ... 81

1. Bentuk Pelanggaran dan Keterlibatan Aparatur Sipil Negara .... 83

2. Sifat Pelanggaran dan Keterlibatan Aparatur Sipil Negara ... 88

C. Pengawasan Serta Sangsi Terhadap Aparatur Sipil Negara dalam Pemilukada di Lampung Tahun 2014 ... 89

D. Pengaruh Intervensi Politik Terhadap Netralitas Aparatur Sipil Negara pada Pemilukada Lampung Tahun 2014 ... 99

VI. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 103

B. Saran ... 104 DAFTAR PUSTAKA


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 5.1 Pelanggaran Pemilukada Provinsi Lampung Tahun 2014 ... 87 Table 5.2 Tindak Lanjut Laporan Pelanggaran Pemilukada Provinsi


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 2.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 41 4.1 Struktur Organisasi KPU Provinsi Lampung ... 59


(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membahas tentang politik tentu tidak ada bosannya karena politik saat ini sudah masuk dalam berbagai sendi kehidupan pada masyarakat dalam proses berbangsa dan bernegara, baik ekonomi, sosial dan budaya. Tidak terkecuali dalam birokrasi yang memang dijalankan dan dikendalikan oleh kekuasaan politik itu sendiri. Kekuasaan tertinggi atas tatanan pemerintahan diseluruh dunia dibentuk oleh proses politik, termasuk di Indonesia, presiden dan wakil presiden, kepala daerah dan wakil kepala daerah hingga pada tingkat kepala desa, proses politik tersebut disebut dengan pemilihan umum.

Indonesia melakukan dengan cara pemilihan umum langsung (pemilu) untuk tingkat nasional atau pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) untuk tingkat provinsi dan kabupaten atau kota dan pemilihan kepala desa untuk tingkat desa. Pemilihan umum langsung untuk memilih presiden dan wakil presiden mulai dilakukan di Indonesia pada tahun 2004, sedangkan untuk pemilukada pertama dilaksanakan tahun 2005, didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemilihan umum kepala daerah pertama adalah pemilihan di Kabupaten Kutai


(21)

Kartanegara pada tanggal 1 Juni 2005. (http://www.forumbebas.com/tread-49484.html diakses tanggal 9 Juni 2014, pukul 09:49 wib).

Pemilu langsung merupakan produk demokrasi, diharapkan oleh banyak kalangan sebagai solusi bagi negara ini setelah rezim Orde Baru yang sangat mengikat kebebasan dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam aspek politik. Pemilu menawarkan kebebasan bagi masyarakat untuk menentukan secara langsung siapa yang akan memimpin negara, bangsa dan daerahnya. Pemilu langsung menjadi angin segar bagi masyarakat pasca Orde Baru, tetapi menjadi dilematis elit pemerintahan dan elit partai politik dalam mencapai kekuasaan, perebutan kekuasaan yang terbuka memaksa terjadinya kecurangan dalam produk demokrasi tersebut.

Birokrasi sebagai motor politik, tidak hanya dalam pemilu langsung yang telah terselenggara belakanggan ini, akan tetapi sejak masa pemerinthan Orde Baru. Birokrasi sebagai lembaga pemerintah bisa diatur dengan mudah oleh kekuatan penguasa politik. Ketidaknetralan birokrasi (aparatur sipil negara) menjadi pokok permasalah utama dalam penelitian ini.

Permasalah dalam proses pemilihan umum bukan hanya tentang perilaku aktor/pasangan calon yang bertarung dalam pencapaian kemenangan, tetapi juga penggunaan kekuatan birokrasi dan yang sangat terlihat jelas dimanfaatkannya kedudukan dan status aparatur sipil negara sebagai kekuatan politik. Hal ini dikarenakan aparatur sipil negara merupakan sebuah kerangka tersusun yang dikendalikan oleh pimpinan-pimpinan pada setiap instansinya.


(22)

Ironisnya bahkan dikendalikan langsung oleh kepala daerah (gubernur dan bupati atau walikota) yang merupakan jabatan politik.

Toha (2012: 7) mengemukakan jabatan negara berasal dari jabatan politik bisa menimbulkan kepentingan-kepentingan lain yang dapat mengganggu sistem birokrasi. Kepentingan politik (tentu kepentingan partai politik) yang masuk dalam sistem birokrasi akan mengganggu asas kepegawaian seperti netralitas pegawai negeri sipil. Toha juga mengatakan sebaiknya pejabat politik yang sudah menduduki jabatan negara dalam pemerintahan, sebaiknya melepaskan jabatan politik didalam partainya.

Yamin (2013: 3) menjelaskan pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah yang terjadi belakangan ini diseluruh daerah di wilayah Republik Indonesia memaksa kita untuk lebih respect terhadap penyelenggaran pemilihan umum kepala daerah. Salah satu hal yang sering terjadi dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah adalah terpolarisasinya pegawai negeri sipil oleh pemerintah dari partai politik tertentu yang berkuasa saat pemilihan umum kepala daerah itu berlangsung dan tidak sedikit membuat netralitas pegawai negeri sipil dalam pemilihan kepala daerah ini menjadi faktor utama berbagai kecurangan.

Aparatur sipil negara yang mencakup pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sering digunakan oleh kepala daerah atau partai penguasa sebagai penunjang suara dalam pemilu atau pemilukada, ini dianggap bisa mendongkrak perolehan suara demi pencapaian kemenangan. Mengapa demikian, ada beberapa faktor secara umum yang dapat


(23)

mempengaruhi kenetralitasan aparatur sipil negera dalam pemilu, terutama pada faktor pekerjaannya sebagai pegawai birokrasi yang dikendalikan oleh jabatan politik.

Pertama; transaksi jabatan, ini merupakan kebiasaan buruk birokrasi Indonesia, para pasangan calon melakukan lobi kepada pejabat-pejabat birokrat yang mereka anggap bisa mempengaruhi pegawainya untuk mendukung pasangan calon tersebut, tentu saja bukan tanpa jasa, pasangan calon menjanjikan kedudukan/jabatan yang lebih tinggi untuk kemenangannya. Kedua; faktor kekuasaan dan kewenangan, hal ini menjadi penting karena pejabat birokrasi sering menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk keuntungan pribadi.

Pernyataan diatas dikuatkan dalam tulisan Katharina (2010) yang menjelaskan isi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Katharina (2010: 16) berpendapat hal ini disebabkan karena Pasal 130 ayat (1) dan ayat (2) menyatakan bahwa pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintahan daerah provinsi ditetapkan oleh gubernur. Sedangkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian dari dan dalam jabatan eselon II pada pemerintah daerah kabupaten atau kota ditetapkan oleh bupati atau walikota setelah berkonsultasi kepada gubernur. Maka penunjukan kepala daerah sebagai pembina karir aparatur sipil negara akan mengakibatkan cara pandang terhadap loyalitas terhadap kepala daerah menjadi lebih besar.


(24)

Terdapat pula oknum aparatur sipil negara yang melakukan kegiatan politik atas keinginan pribadi, dikarenakan naluri manusia atas kedudukan serta pangkat yang tinggi. Kesadaran akan pentingnya kejujuran dalam pemilukada seringkali tidak dimiliki oleh aparatur sipil negara, mempertaruhkan suara masyarakat hanya demi keuntungan pribadi atau jabatan semata tentu bukanlah tindakan terpuji, aparatur sipil negara seharusnya netral dan melayani masyarakat.

Meski sudah ada larangan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Masih saja ada oknum aparatur sipil negara yang tetap melakukan kegiatan politik dalam pemilu, tentu dilakukan secara sembunyi-sembunyi agar terlepas dari pengawasan instansi/badan yang berkompeten dalam pengawasan pemilukada dan pengawasan aparatur pemerintahan.

Anggapan tersebut dikuatkan oleh Ketua Bawaslu Lampung Nazarudin (lampost.co terbit 26 September 2013). Ada indikasi terkait politisasi pegawai negeri sipil (PNS). Namun, kandidat melakukan hal itu secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui publik. Mobilisasi PNS dilakukan dengan rapi dan tersembunyi sehingga menyulitkan bawaslu dalam melakukan pengawasan._ (http://lampost.co/berita/pilgub-bawaslu-temukan-ribuan-pelanggaran- diakses tanggal 4 April 2014, pukul 22:29 wib).

Beberapa waktu yang lalu terdapat berita dari media baik cetak maupun online yang mem-posting berita tentang keterlibatan aparatur sipil negara


(25)

yang secara terang-terangan mendukung salah seorang calon gubernur. Aparatur sipil negara tersebut adalah Kherlani yang merupakan pejabat sementara bupati Pesisir Barat, status Kherlani saat ini masih sebagai pegawai negeri sipil.

Republika.co.id (Kamis, 03 April 2014). Fatikhatul Khoiriyah, anggota Bawaslu Lampung Bidang Penindakan, mengatakan tindakan pejabat bupati Pesisir Barat mendukung salah satu cagub Lampung merupakan pelanggaran. “Bawaslu akan meneruskan ke Mendagri”, katanya. Bawaslu menilai kepala daerah berstatus masih pegawai negeri sipil (PNS) dilarang berpolitik secara praktis, apalagi saling mendukung. Sebab, hal tersebut akan berpengaruh pada aparatur pemerintahan. Pada masa kampanye pemilihan gubernur (pilgub) tahun ini, Kherlani dan timnya mengadakan pertemuan dengan cagub Lampung, M. Ridho Ficardo disebuah rumah makan pada 31 Maret 2014. (http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/04/03/n3fp1k-bawaslu-proses-pelanggaran-pejabat-bupati-di-lampung diakses tanggal 4 April 2014, pukul 21:57 wib).

Kemudian terdapat indikasi terorganisirnya birokrasi oleh pimpinan daerah pada beberapa kabupaten di Lampung untuk mendukung salah satu pasangan calon dalam pemilukada 2014 ini. Daerah tersebut seperti, Tulang Bawang Barat, Tulang Bawang, Pesisir Barat. Menjadi kemungkinan daerah lain juga melakukan tidakan yang sama, namun tiga daerah tersebut saja yang menjadi isu utama dalam media cetak maupun online di beberapa waktu lalu.


(26)

Selain dari media dan sumber lain, penulis juga mencari kasus keterlibatan aparatur sipil negara pada pemilukada yang telah terlapor dan diproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Diantaranya adalah Putusan Nomor 125,126/PHPU.D-XI/2013 prihal perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Kerinci tahun 2013.

Isi dalam putusan tersebut menyatakan terbuktinya keterlibatan aparatur sipil negara mendukung calon incumbent, calon tersebut juga terbukti oleh mahkamah konstitusi memobilisasi aparatur sipil negara untuk mendukung kemenangannya. Terjadi mutasi dijajaran pemerintahan, hal seperti ini dilakukan untuk memperkuat dukungan kepada calon incumbent tersebut. Di daerah tersebut aparatur sipil negara menunjukan dukungan secara terbuka. Ini ditunjukan terdapat dalam laporan bahwa jajaran SKPD memajang poto mereka dalam baliho kampanye pasangan calon.

Fakta temuan mahkamah konstitusi berdasarkan hasil laporan dalam Putusan Nomor 125,126/PHPU.D-XI/2013 prihal perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Kerinci tahun 2013:

“Jajaran SKPD, camat, kepala desa dan PNS yang hadir dalam pertemuan tersebut diminta untuk bersumpah untuk memenangkan Bupati H. Murasman, dengan lafaz sumpah. Disamping itu, para SKPD dan camat diminta untuk membuat baliho yang ada gambar/foto SKPD dengan bupati serta untuk membentuk tim pemenangan ditiap kecamatan” (dalam hal. 51).

“Ada proses mutasi yang dilakukan oleh jajaran SKPD terhadap PNS yang tidak mendukung H. Murasman” (dalam hal. 51).

“menurut mahkamah, adanya tindakan bupati incumbent (H. Murasman) yang juga menjadi pasangan calon dalam pemilukada Kabupaten Kerinci tahun 2013 untuk mengarahkan birokrasi pemerintahan dan PNS dalam


(27)

rangka memenangkan pemilukada Kerinci kahun 2013, menjadi perhatian kahkamah dalam kasus ini” (dalam hal.52).

Selain perkara diatas perkara lain yang telah dilaporkan kepada mahkamah konstitusi yang terkait keterlibatan birokrasi/aparatur sipil negara dalam pemilukada adalah Putusan Nomor 56/PHPU.D-X/2012 perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2012.

Fakta dalam laporan tersebut menyatakan calon incumbent mengunakan fasilitas negara dan memobilitas birokrasi/aparatur sipil negara untuk mendukungnya dalam pemilukada tersebut. Penggunaan politik uang dan mutasi jabatan pada struktur pemerintahan merupakan cara yang dilakukan dalam fakta laporan perkara tersebut.

Fakta dalam perkara Nomor 56/PHPU.D-X/2012 tersebut adalah:

“Bahwa mobilisasi mesin birokrasi PNS yang masif dilakukan melalui promosi bagi PNS loyal, mutasi bagi PNS yang tidak loyal, pemberhentian Kepala Desa dan honorer yang tidak mendukung, kemudian diikuti dengan pembentukan struktur tim sukses yang terdiri dari para PNS, guru SD dan para Kepala Desa yang diberi tugas khusus membagikan uang kepada masyarakat untuk pemenangan Pasangan Calon Nomor Urut 2” (dalam hal. 33).

Selain dua kasus tersebut terdapat banyak perkara yang telah diputuskan mahkamah konstitusi dalam kontek intervensi politik dan netralitas aparatur sipil negara dalam pemilukada diantaranya:

1. Putusan Sengketa Pemilukada Kabupaten Gresik (Putusan Nomor 28/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 24 Juni 2010),

2. Putusan Sengketa Pemilukada Kota Surabaya (Putusan Nomor 31/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 30 Juni 2010),

3. Putusan Sengketa Pemilukada Kota Manado (Putusan Nomor 144/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 3 September 2010),


(28)

4. Putusan Sengketa Pemilukada Kabupaten Pandeglang (Putusan Nomor 190/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 4 November 2010),

5. Putusan Sengketa Pemilukada Kota Tangerang Selatan (Putusan Nomor 209-210/PHPU.D-VIII/2010, tanggal 10 Desember 2010),

6. Putusan Sengketa Pemilukada Kabupaten Tebo (Putusan Nomor 33/PHPU.D-IX/2011, tanggal 13 April 2011),

7. Putusan Sengketa Pemilukada Kota Pekanbaru (Putusan Nomor 63/PHPU.D-IX/2011, tanggal 24 Juni 2011),

8. Putusan Sengketa Pemilukada Provinsi Sumatera Selatan (Putusan Nomor 79/PHPU.D-XI/2013, tanggal 11 Juli 2013),

9. Putusan Sengketa Pemilukada Kabupaten Lebak (Putusan Nomor 111/PHPU.D-XI/2013, tanggal 1 Oktober 2013).

Semua putusan-putusan tersebut berkaitan dengan keterlibatan aparatur sipil negara dalam pemilukada yang menyebabkan pemungutan suara ulang. Penemuaan atas masalah pada paragraf-paragraf diatas merupakan kunci untuk melakukan penelitian ini. Disinyalir masih banyak aparatur sipil negara lainnya yang terlibat dalam kegitan politik pada pemilukada Lampung 2014. Tuduhan ini bukannya tanpa bukti, melihat dari sejarah birokrasi indonesia, serta temuan-temuan dari media dan isu-isu yang beredar di masyarakat yang bisa saya jadikan patokan awal keterlibatan aparatur sipil negara pada kegiatan politik dalam pemilukada Lampung 2014.

Dengan adanya tuduhan-tuduhan serta anggapan yang muncul dalam penelitian ini, birokrasi/aparatur sipil negara tidaklah netral pada pemilukada Lampung tahun 2014, birokrasi/aparatur sipil negara terlibat pada kegiatan politik dalam penyelenggaraan pemilukada. Karena masalah tersebut bisa menurunkan elektabilitas birokrasi sebagai penyelenggara dan pelayan masyarakat. Anggapan semacam itu dimunculkan untuk mendorong pola pikir penulis agar dapat menemukan fakta-fakta selanjutnya yang benar bisa menopang penelitian ini.


(29)

Dari permasalahan dijelaskan diatas tentang kelembagaan birokrasi yang sering disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu dalam politik, terutama pegawai negeri sering diintervensi dalam sitem penyelenggaraan pemilihan umum. Penulis tertarik melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Intervensi Politik dan Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Lampung 2014” studi Komisi Pemilihan Umum di Provinsi Lampung.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan gambaran latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus penelititian ini adalah Bagaimana Intervensi Politik dan Netralitas Aparatur Sipil Negara dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada) Provinsi Lampung tahun 2014?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yang pertama untuk mengetahui intervensi politik yang dilakukan terhadap aparatur sipil negara, dan kedua untuk melihat apakah aparatur sipil negara netral dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) tahun 2014 di Provinsi Lampung.


(30)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan praktis, yaitu:

1. Secara teoritis diharapkan dapat berguna bagi ilmu pengetahuan, khususnya pada perkembangan ilmu pemerintahan, politik dan dapat memperluas referensi guna memahami intervensi politik dan netralitas aparatur sipil negara dalam pemilihan umum kepala daerah (Pemilikada) di Provinsi Lampung.

2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, memberikan sumbangsih pemikiran serta inspirasi terkait intervensi politik dan netralitas aparatur sipil negara dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilikada) di Provinsi Lampung.


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Intervensi Politik

Secara umum intervensi merupakan tidakan campur tangan yang dilakukan suatu negara kepada negara lain, baik pada bidang ekonomi, sosial, budaya, politik maupun bidang kemasyarakatan lainnya. Pada kegiatan birokrasi dan politik Azhari (2011: 94) dalam tulisannya juga mengatakan bahwa intervensi politik yang dimaksud merupakan upaya yang dilakukan oleh pejabat politik dalam mempengaruhi proses rekrutmen dan promosi birokrat pada jabatan-jabatan birokrasi.

Azhari (2011: 45) juga menjelaskan intervensi politik terhadap birokrasi adalah tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat politik yang tidak sejalan dengan semangat netralitas birokrasi dan aturan perundangan yang berlaku dalam manajemen birokrasi publik. Intervensi semacam ini kerap dilakukan semata untuk keuntungan partai dan individu pejabat politik tertentu.

Menurut Mayo dalam Adi (2013 :82) mendefinisikan tiga tingkatan intervensi komunitas (community work) yang menggambarkan cakupan yang berbeda dimana intervensi dapat diterapkan, Mayo menggunakan pembagian dari


(32)

Gulbankian Report pada 1969 untuk mendukung argumennya. Permbagian tersebut ialah:

1. Grassroot ataupun neighbourhood (pelaku perubahan melalukan intervensi terhadap kelompok masyarakat yang berada di daerah tersebut), 2. Local agency dan inter-agency work (pelaku perubahan melakukan intervensi terhadap organisasi payung di tingkat lokal, provinsi ataupun di tingkat yang lebih luas, bersama jajaran pemeritah yang tekait serta organisasi non-pemerintah yang berminat terhadap hal tersebut),

3. Regional dan national community planning work (pelaku perubahan melakukan intervensi terhadap isu terkait).

Beberapa penyebab mengapa intervensi politik terhadap birokrasi sulit dihindari terdapat pada tulisan Helden dalam artikel online (politik.kompasiana.com). Ia menulisan mengapa penyebab tersebut dapat terjadi:

1. Masih kuatnya primordialisme politik, dimana ikatan kekerabatan, politik balas budi, keinginan membagun pemerintahan berbasis keluarga, mencari rasa aman, dan perilaku oportunis birokrat,

2. Mekanisme check and balance belum menjadi budaya dan belum dilaksanakan dengan baik,

3. Kekuasaan yang dimiliki politisi cenderung untuk korup sebagaimana

dikemukakan oleh Lord Acton “power tends to corrupt”,

4. Rendahnya kedewasaan parpol dan ketergantungan tinggi terhadap birokrasi,


(33)

5. Kondisi kesejahteraan aparat birokrat atau aparatur sipil negara di daerah yang rendah cenderung melahirkan praktek rent seeking melalui aktivitas politik tersembunyi demi mendapat income tambahan,

6. Perangkat aturan yang belum jelas dan mudah dipolitisasi, seperti lemahnya instrumen pembinaan pegawai, kode etik belum melembaga, adanya status kepada daerah sebagai pembina kepegawaian, dan rangkap jabatan kepala daerah dengan ketua umum parpol.

(http://politik.kompasiana.com/2012/04/24/birokrasi-vs-politik-457730.html diakses tanggal 25 Oktober 2014, pukul 15:36)

Intervensi politik dalam penelitian ini merupakan kegitan yang dilakukan oleh partai politik atau pasangan calon yang akan maju sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur. Intervensi dikatakan sebagai campur tangan dari pihak lain, berarti kegiatan yang dilakukan oleh partai politik atau pasangan calon gubernur yang mengikutsertakan aparatur sipil negara dalam proses pemilu, seperti kampanye politik, dukungan politik dalam birokrasi, dukungan financial, money politic, atau kegiatan lain yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh aparatur sipil negara dalam pemilu dan sudah diatur dalam perundangan. Aparatur sipil negara diwajibkan netral dalam pemilu, baik dalam pemilu presiden, pemilukada atau pemilu legislatif.


(34)

B. Birokrasi

1. Konsep Birokrasi

Azhari (2011: 59) mengemukakan secara etimologi birokrasi berasal bari bahasa Yunani “kratein” yang berarti mengatur. Dalam bahasa Prancis birokrasi disinonimkan dengan kata “bureau” yang berarti kantor. Secara umum konsep birokrasi banyak dikenalkan oleh Weber pada awal abad ke-20, konsep birokrasi muncul karena terjadi revolusi Inggris yang mulai menampakkan pengaruhnya pada perubahan struktur sosial yang mendorong pemerintah terlibat dalam berbagai kegiatan publik.

Masyarakat Indonesia masih menganggap birokrasi sebagai lembaga milik pemetintah yang semua aktivitasnya dikelola langsung oleh campur tanggga pemerintah, namun ternyata weber menjelaskan birokrasi yang lebih luas. Menurut Weber dalam Toha (2008: 15) istilah birokrasi seringkali dikaitkan dengan organisasi pemerintah, tetapi birokrasi ciptaan Weber bisa dipakai baik di organisasi pemerintah maupun organisasi non pemerintah.

Menurut Rourke dalam Azhari (2011: 59) menjelaskan bahwa birokrasi adalah sistem administrasi dan pelaksanaan tugas keseharian yang tersetruktur, dalam sistem hierarki yang jelas, dilakukan dengan aturan tertulis dan dijalankan oleh bagian tertentu dan terpisah dengan bagian lainnya, oleh orang-orang yang dipilih berdasarkan kemampuan dan keahliannya dibidangnnya.


(35)

Sedangkan Toha (2010: 15) menjelaskan bahwa birokrasi merupakan sistem untuk mengatur organisasi yang besar agar diperoleh pengelolaan yang efisien, rasional, dan efektif. Toha juga menyatakan didalam birokrasi terdapat tanda-tanda bahwa seorang mempunyai yurisdiksi yang jelas dan pasti, dalam yurisdiksi seorang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang resmi (official duties) yang memperjelas batasan kewenangan pekerja.

Secara keseluruhan birokrasi berarti sebuah sistem yang dibuat untuk melayani publik, sistem birokrasi dibuat untuk mengatur, menjalankan dan mengawasi birokrasi itu sendiri. Penjelasan Weber yang menyatakan bahwa birokrasi bukan hanya badan milik pemerintah, tetapi dalam cakupan yang lebih luas, itu berarti birokrasi juga bisa merupakan perusahaan atau lembaga milik swasta. Tetapi di Indonesia sendiri, birokrasi lebih dimaksudkan untuk lembaga pemerintah terutama lembaga pelayanan bagi masyarakat atau publik.

2. Teori Birokrasi

a. Birokrasi Weberian

Max weber merupakan sosiolog kebangsaan Jerman yang terkenal diawal abad 19, karya-karya weber sangat berpengaruh di daratan Eropa. Salahsatu karya weber tersebut adalah tentang konsep tipe ideal birokrasi. Toha (2008: 16) menyatakan birokrasi weberian hanya


(36)

menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara professional dan rasional dijalankan.

Menurut Weber dalam Toha (2008: 17) tipe ideal birokrasi itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti dimana semua fungsi dijalankan dalam cara yang rasional. Istilah rasional dengan segala aspek pemahamannya merupakan kunci dari konsep ideal birokrasi weberian.

Sistem birokrasi pemerintah akan berjalan dengan baik dan dapat dioptimalkan jika digerakan dengan teratur menggunakan peraturan yang ketat dan mengikat pemerintahan itu sendiri. Weber dalam Azhari (2011: 64) struktur birokrasi merupakan bentuk yang paling unggul dibandingkan dengan bentuk yang lain dalam hal ketepatan, stabilitas, keketatan juga dalam kedisiplinanya dan kehandalannya. Tipe ideal birokrasi yang rasional menurut Weber dalam Azhari (2011 :65) tersebut dilakukan sebagai berikut:

1) Individu pejabat secara rasional bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.

2) Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas kebawah dan kesamping. Konsekuensinya ada jabatan atasan dan


(37)

bawahan, dan adapula yang menyandang kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.

3) Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu sama lainnya.

4) Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job description) masing-masing pejabat, merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggungjawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.

5) Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif. 6) Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima

pension sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginan dan kontraknya bisa diakhiri dalam keadaan tertentu.

7) Terdapat struktur pengembangan karir yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan merita sesuai dengan pertimbangan yang objektif.

8) Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya untuk kepentingan peribadi dan keluarganya.

9) Setiap pejabat berada dibawah pengadilan dan pengawasan satu sistem yang dijalankan secara disiplin.


(38)

Beetham dalam Toha (2008: 20) menyatakan bahwa Weber memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya. Pertama, birokrasi dipandang instrument teknis (technical instrument). Kedua, birokrasi dipandang sebagai kekuatan yang independen dalam masyarakat, sepanjang birokrasi mempunyai kecenderungan yang melekat (inherent tendency) pada penerapan fungsi sebagai instrument teknis tersebut. Ketiga, pengembangan dari sikap ini karena para birokrat tidak mampu memisahkan prilaku mereka dari kepentingannya sebagai suatu kelompok masyarakat yang partikular. Dengan demikian, birokrasi bisa keluar dari fungsinya yang tepat.

b. Birokrasi Wilsonian

Wilson merupakan presiden Amerika Serikat ke-28, Wilson banyak berperan merubah sistem birokrasi yang berkembang sebelumya di negaranya. Sebelum Wilson menjadi presiden, kekacauan birokrasi yang terjadi seperti terlalu banyaknya campur tangan politik dalam kegiatan administrasi birokrasi. Hal ini tentu dapat merugikan birokrasi itu sendiri, tercampurnya kegiatan politik dalam administrasi birokrasi lebih cendrung terjadi manipulasi data dan anggaran.

Tulisan Azhari (2011: 67) menjelaskan kekacauan birokrasi Amerika dimulai pada periode Andrew Jakson presiden ke-7 (1767-1845), yang mulai mendahulukan mengangkat pejabat birokrasi yang berasal dari partai dan rekan segolongannya tanpa mempertimbangkan kompetensi


(39)

yang dimiliki oleh birokrat yang bersangkutan. Pada periode ini pelayanan birokrasi pada masyarakat dikenal sangat buruk dan penuh dengan suap-menyuap dan sogok-menyogok.

Kemudian Azhari (2011: 68) juga menjelaskan bahwa Wilson merombak kembali sistem birokrasi pemerintah dengan melahirkan undang-undang kepegawaian Amerika Serikat yang terkenal dengan Civil Sevice atau Pandleton Act pada tahun 1883. Undang-undang ini mengatur agar proses pengangkatan pegawai negeri dilaksanakan dengan uji terbuka mengutamakan kompetensi dan keahlian. Selain itu juga dibentuk Civil Service Commision (CSC) atau semacam komisi kepegawaian negara yang berwenang mengawasi sistem kepegawaian agar berjalan sesuai aturan.

c. Birokrasi Hegelian

Pemikiran Hegel dalam tulisan Azhari (2011: 60) tentang birokrasi berawal dari ulasannya tentang konsep tiga kelompok dalam masyarakat, yaitu kelompok kepentingan (particular interest) yang diwakilkan oleh kelompok pengusaha dan kelompok profesional, kelompok kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh negara, dan kemudian birokrasi. Menurut Hegel, birokrasi seharusnya menjadi kelompok penengah antara kelompok partikular dan negara. Dengan demikian demokrasi seharusnya berada diposisi yang netral.


(40)

Hegel memandang bahwa birokrasi merupakan penghubung antara masyarakat dengan negara, itu berarti birokrasi melayani kepentingan kedua pihak tersebut tanpa menguntungkan sebelah pihak saja. Birokrasi melayani kebutuhan masyarakat dengan merujuk dari peraturan yang ada pada negara tersebut. Thoha dalam Azhari (2011: 61) menyatakan birokrasi sebagai penghubung, sehingga karena fungsinya itu birokrasi publik harus netral diantara dua kelompok tersebut.

3. Netralitas Birokrasi

Netralitas merupakan bentuk sikap dan tindakan untuk tidak terlibat pada suatu urusan atau masalah yang seharusnya tidak perlu dicampuri. Azhari (2011: 94) menjelaskan netralitas birokrasi merupam kondisi terlepasnya birokrasi spoil system yang berarti borokrasi bekerja berdasarkan profesionalisme dan kemampuan teknis yang dibutuhkan.

Menurut Thoha (2010: 168) netralitas birokrasi pada hakikatnya adalah suatu sistem dimana birokrasi tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya (dari parpol yang memerintah), biarpun masternya berganti dengan master (parpol) lain. Pemberian pelayanan tidak bergeser sedikit pun walau masternya berubah. Birokrasi dalam memberikan pelayanan berdasarkan profesionalisme bukan karena kepentingan politik.


(41)

Netralitas juga dapat diartikan sebuah sikap tidak memihak sama sekali dengan apapun yang ada disekitarnya, sikap netral dapat ditunjukan dengan cara mengikuti prosedur dan aturan serta batasan-batasan atas sebuah kegitan yang terselenggara. Kamus besar bahasa indonesia (KBBI) mendefinisikan netralitas sebagai ketidakberpihakan (tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak).

Dari penjelasan di atas, bentuk netralitas aparatur sipil negara dalam penulisan karya ilmiah ini adalah ketidakterlibatan aparatur sipil negara pada proses politik dalam penyelenggaraaan pemilihan umum kepala daerah yang akan belangsung, sedang berlangsung maupun telah berlangsung pada tahun 2014 di Provinsi Lampung.

4. Faktor Netralitas Birokrasi

Hasil studi pusat kajian kinerja kelembagaan tahun 2003 dalam Suripto (2010) menjelaskan tentang faktor-faktor netralitas birokrasi serta strategi menumbuhkan netralitas birokrasi sebagai berikut:

4.1 Faktor yang mempengaruhi ketidaknetralan birokrasi:

a. Peraturan perundangan yang tidak memberikan batasan yang jelas antara domain politik dan administrasi.

b. Intervensi dari partai politik yang wakil-wakilnya duduk di legislatif.


(42)

c. Intervensi dari kelompok-kelompok di masyarakat (media dan pengusaha) yang memanfaatkan kelemahan masyarakat dan kebobrokan pemerintah.

d. Kebijakan yang masih disisipi kepentingan kelompok.

e. Masih terdapat kecendrungan (preferensi) untuk kepentingan individual dari pejabat-pejabat negara maupun pegawai negeri dalam pelaksanaan kebijakan.

f. Terdapat peraturan perundang-undangan yang kurang jelas dan tidak mempunyai sanksi yang tegas.

Sedangkan menurut Wilsom dalam Suripto (2010), faktor yang mempengaruhi birokrasi meliputi:

a. Kepentingan umum yang termasuk diantaranya partai politik, elit ekonomi, dan profesional yang dapat mengintervensi kebijakan dengan nuansa politis yang banyak berubah.

b. Kepentingan masyarakat, kelompok dalam masyarakat misalnya petani, mahasiswa, ibu rumah tangga yang dapat merupakan kontrol dari formasi kebijakan dan pelaksanaan.

c. Birokrasi itu sendiri (dalam arti kompetensi, ataupun profesionalisme birokrasi dalam menentukan/merumuskan pilihan kebijakan publik yang representative terhadap aspirasi kelompok, kepentingan umum dan kepentingan khusus, yang merupakan bargaining power dari pejabat birokrasi terhadap pejabat politik), dan kepentingan birokrasi dalam memberikan pelayanan dan pembuatan kebijakan.


(43)

4.2 Hasil studi pusat kajian kinerja kelembagaan tahun 2003 dalam Suripto (2010) menjelaskan faktor yang mempengaruhi ketidaknetralan birokrasi sebagai berikut:

a. Kekuasaan yang tidak seimbang antara legislatif dan eksekutif. b. Tidak jelasnya batasan-batasan kewenangan seorang pejabat

politis, sehingga permasalahan teknispun selalu ikut campur. c. Lemahnya sanksi hukum yang ada.

d. Lemahnya peradilan dan lembaga pengawasan yang ada, belum dapat menjadikan tempat menggugat tidakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.

e. Lemahnya posisi masyarakat dalam memberikan sanksi ataupun peringatan karena posisi masyarakat terwakili dalam legislatif. 4.3 Hasil studi pusat kajian kinerja kelembagaan tahun 2003 dalam

Suripto (2010) menjelaskan strategi menumbuhkan netralitas birokrasi sebagai berikut:

a. Adanya kesepakatan tentang political will dari pejabat politik untuk membekali kader-kadernya yang duduk di lembaga negara dengan komitmen dan kompetensi yang tidak hanya menguntungkan partainya, tetapi juga menguntungkan masyarakat dan negara.

b. Memberlakukan ketentuan bahwa seorang pejabat politis harus melepaskan kedudukannya dipartai politik sebagai ketua atau pengurus inti partai politik.


(44)

c. Dengan meminjam pendapat dari Miftah Toha, bahwa harus ada batasan yang jelas antara tugas dan kewajiban pejabat politik dan pejabat karir.

d. Pembinaan pegawai negeri harus berasal dari pegawai negeri sendiri, termasuk dalam penanggungjawab dan pengangkatanya. e. Pemberian sanksi yang berat terhadap penyimpangan terhadap

ketentuan baik oleh pejabat politik maupun pejabat karir.

Penulisan ketiga konsep tersebut, peneliti meresum indikator masalah kemudian menghilangkan beberapa poin yang sudah tidak relevan dan menyesuaikan dengan kebutuhan penelitian yang dianggap penulis bisa digunakan sebagai salah satu acuan untuk penelitian ini. Faktor pengaruh ketidaknetralan pegawai birokrasi serta strategi penanggulanggannya yang dijelaskan pusat kajian kinerja kelembagaan di atas dapat dikatakan berkaitan dengan penelitian ini, netralitas birokrasi atau netralitas aparatur sipil negara. Aparatur sipil negara merupakan pagawai yang menjalankan biroktasi tersebut. Konsep strateginya pun masih bisa dipakai karena beberapa poin belum optimal dalam penerapannya.

5. Politisasi Birokrasi

Politisasi birokrasi adalah membuat agar organisasi birokrasi bekerja dan berbuat (dalam arti taat dan patuh) sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa. Politisasi birokrasi berada didua sisi, bisa berasal dari partai


(45)

poltik ataupun dari eksekutif itu sendiri yang mempolitisir birokrasi untuk kepentingan (kekuasaan) sendiri.

(http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/08/politisasi-birokrasi-di-indonesia-558239.html diakses tanggal 25 Oktober 2014, pukul 21:49 wib) Politisasi birokrasi sudah menjadi suatu kegitan politik dalam pemerintahan, perilaku atau kegiatan intervensi serta politisasi seringkali dilakukan oleh pejabat politik seperti kepala daerah atau anggota dari lembaga legislatif. Namun juga tidak menutup kemungkinan bahwa pejabat birokrat juga tidak akan melakukan perilaku buruk ini, banyak penyebab kenapa tindakan tersebut kerap dilakukan. Salah satunya adalah menjelang pemilihan umum, akan banyak kelompok kepentingan yang menggunakan birokrasi.

Tipe politisasi dijelaskan oleh Martin dalam Hamid (2011: 99), ia menggambarkan tiga tipe politisasi terhadap birokrasi di Indonesia, yaitu: pertama, politisasi secara terbuka, dikatakan secara terbuka karena ada upaya-upaya yang dilakukan secara langsung dan tidak ada hal yang ditutup-tutupi. Tipe politisasi secara terbuka ini berlangsung pada periode demokrasi parlementer (1950-1959).

Kemudian kedua, politisasi setengah terbuka, tipe pilitisasi ini dijalankan oleh para pemimpin partai politik pada masa periode demokrasi terpimpin. Dikatakan setengah terbuka karena politisasi birokrasi hanya diperuntukan bagi parpol-parpol yang mewakili golongan-golongan nasionalis, agama dan komunis (nasakom). Ketiga, politisasi secara tertutup, politisasi tipe


(46)

ini berlangsung pada masa Orde Baru. Pada masa ini mulai dari tingkat pusat (Presiden Soeharto) hinggga ketingkat desa dan kelurahan semua diwajibkan menjadi anggota sekaligus pembina Golkar.

Penjalas Iman (2011 :107) yang menuliskan setidaknya terdapat empat dampak negatif yang muncul sehubungan dengan kebijakan politisasi biroktasi. Pertama, kebijakan menempatkan atau mendudukan orang-orang partai politik yang sesuai dengan selera penguasa yang bersangkutan, jelas mengakibatkan tidak berfungsinya mekanisme promosi jabatan karir yang ada dalam struktur pemerintah. Kedua, kebijakan politisasi birokrasi dengan sendirinya akan rasa anti-pati atau perasan tidak bisa bekerja bersama orang-orang yang tidak berasal dari partai politik yang sama. Ketiga, kebijakan memberikan orang-orang partai politik sebuah jabatan penting di pemerintahan, secara tidak langsung berarti tidak mengindahkan bekerjanya prinsip meritokrasi dalam pelaksanaan tugas birokrasi sehari-hari. Keempat, trauma politik masalalu harus benar-benar kita jadikan pelajaran yang sangat berharga untuk masa-masa mendatang.

6. Konsep Aparatur Sipil Negara

Aparatur sipil negara sendiri diatur pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Aparaur Sipil Negara, dalam Undang-Undang tesebut diatur pembagian atas pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang merupakan pegawai dari aparatur sipil negara tesebut. Berikut merupakan definisi dari pegawai aparatur sipil negara.


(47)

a. Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Pengertian pegawai negeri menurut kranenburg dalam Hartini (2008: 31) adalah pejabat yang ditunjuk, jadi pengertian tersebut tidak termasuk terhadap mereka yang memangku jabatan mewakili seperi anggota parlemen, presiden, dan sebagainya. pengertian pegawai negeri menurut logemann dalam Hartini (2008: 31) adalah tiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas dengan negara. logemann menyoroti dari segi hubungan antara negara dengan pegawai negeri.

Undang-Undang aparatur sipil negara mendefinisikan bahwa pegawai aparatur sipil negara dibagi atas pegawai negeri sipil, pegawai negeri sipil yang selanjutnya disingkat pns adalah warga negara indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai asn secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.

b. Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja

Undang-Undang aparatur sipil negara mendefinisikan bahwa pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang selanjutnya disingkat PPPK adalah warga negara indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan dan diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian (PPK) sesuai dengan kebutuhan instansi pemerintah dan ketentuan Undang-Undang ini.


(48)

Wakil menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi dalam media online tempo.co menjelaskan bahwa, pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja akan dikhususkan untuk pekerjaan yang sifatnya fungsional, seperti dosen, guru dan auditor. (http://www.tempo.co/read/news/2013/07/19/173497896/Sebentar-Lagi-Pegawai-Pemerintah-Tak-Selalu-PNS diakses tanggal 19 Februari 2015, jam 22:20)

C. Pemilihan Umum Langsung

1. Pengertian Pemilihan Umum

Menurut Giovanni Theodore dalam Pito, dkk. (2006: 299) sistem pemilihan umum adalah sebuah bagian yang paling esensial dari sistem kerja politik. Sistem pemilihan umum bukan hanya instrumen politik yang paling mudah dimanipulasi; ia juga membentuk sistem kepartaian dan pengarus spektrum representasi. Sedangkan menurut Ali Murtopo (dalam Pito, dkk. 2006: 299) menyatakan pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi.

Menurut A. Sudiharto pemilu adalah sarana demokrasi yang penting dan merupakan perwujudan yang nyata untuk keikutsertaan rakyat dalam kehidupan kenegaraan, sebab rakyat memiliki hak untuk memilih.


(49)

(http://markushariyanto.blogspot.com/2011/05/makalah-pengantar-ilmu-politik.html diakses tanggal 09 April 2014, pikul 20:31 wib.)

Pemilihan umum merupakan bentuk kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi, penyelenggaraan pemilu dimaksudkan untuk memilih perwakilan atas rakyat dan daerah yang diwakilkannya kemudian ditempatkan di pusat-pusat pemerintahan sebagai pembuat kebijakan yang disesuaikan dengan kebutuhan rakyat. Gatara dan Dzulkidah (2007:196) menyatakan pemilu yang demokratis benar-benar merupakan suara rakyat sebagai yang paling penting, sebagai prinsip “suara rakyat, suara tuhan”.

2. Dasar Hukum

Dasar hukum pemilihan umum kepala daerah langsung adalah Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilihan umum, dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yang berlandaskan atas Undang-Undang Dasar 1945 sehingga memiliki kekuatan konstitusional dalam pelaksanaannya.


(50)

3. Asas-Asas Pemilihan Umum

Pito, dkk. (2006: 311) menyebutkan asas-asas pemilihan umum adalah: a. Langsung, pemilih mempunya hak untuk secara langsung memberikan

suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara dan memilih wakil-wakil yang akan duduk di parlemen atau di pemerintahan.

b. Umum, pemilihan umum diikuti oleh setiap orang yang sudah memenuhi syarat.

c. Berkala (teratur), bahwa pemilihan umum itu dilaksanakan secara teratur sesuai dengan konstitusi dan ketentuan yang diatur oleh negara bersangkutan.

d. Bebas, dalam memberikan suaranya, pemilih tidak ada tekanan dari pihak manapun yang memungkinkan dia memberikan suara sesuai dengan hati nuraninya.

e. Rahasia, artinya kerahasiaan pemberisuara atas calon atau partai peserta pemilihan umum yang dipilihnya tidak akan diketahui oleh siapapun, termasuk panitia pemungutan suara. Asas ini tidak berlaku lagi setelah pemungutan suara selesai.

f. Jujur, maksudnya adalah tidak boleh terjadi kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan pemilihan umum tersebut, baik oleh penyelenggara atau memanipulasikan suara-suara untuk kepentingan partai.


(51)

g. Adil, berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum, setiap pemilih dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.

4. Kampanye Pemilihan Umum

Menurut John Haba dalam Efriza (2012: 168) kampanye berasaldari kata Latin campus atau lapangan yang pengertian aslinya berkaitan dengan denia kemiliteran yang merupakan kegitan yang dilakukan oleh para milisi untuk mencapai tujuan, berbeda tetapi serupa kampaye dalam politk adalah usaha setiap peserta kampaye memperoleh dukungan masyarakat dengan meyakinkan konstituennya, bahwa mereka layak untuk dipilih. Untuk mencapai tujuan kampaye maka setiap kontestan akan menjalankan program-program yang terbaik dan atraktif bagi masyarakat.

Kampaye dalam pemilu merupakan unsur yang digunakan untuk saling mengenal atara pasangan calon dan pemilih, waktu yang diberikan kepada pasangan calon untuk menyampaikan visi dan misi. Menurut Pito, dkk (2006: 185) yang menjelaskan bahwa kampaye pemilu merupakan instrumen yang sah dimana kelompok kepentingan politik berupaya menjelaskan kebenaran tujuan kepada masyarakat umum. Pito, dkk (2006: 186) juga mengatakan bahwa kampaye politik adalan suatu usaha yang terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih, atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi.


(52)

Efriza (2012: 468) menjelaskan dua definisi tentang kampanye, pertama definisi yang diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menjelaskan kampanye dipahami sebagai kegiatan yang dilaksanakan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing memperebutkan kedudukan di parlemen dan sebagainya untuk mendapatkan dukungan massa pemiliih disuatu pemungutan suara. Kemudian yang kedua Eriza menyatakan kampaye sebagai suatu komunikasi yang ditujukan untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain agar menggunakan atau tidak menggunakan suara seperti yang diharapkan oleh pelaku kampanye pada suatu pemilihan.

Menurut Hafied Canggara dalam Efriza (2012: 470) kampaye politk sebagai aktivitas komunikasi yang ditunjukan untuk mempegaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, kehendak dan perilaku sesuai dengan kehendak penyebar atau pemberi informasi. Sedangkan menurut Lilleker dan Nagrine dalam Efriza (2012: 470) yang menyatakan bahwa kampaye politik adalah periode yang diberikan oleh panitia pemilu kepada semua kontestan, baik parpol atau perseorangan, untuk memaparkan program-program kerja dan mempengaruhi opini publik sekaligus memobilisasi masyarakat agar memberikan suara kepada mereka suatu pencoblosan.


(53)

D. Tinjauan Tentang Pengawasan

Pengawasan merupakan sebuah proses yang dilakukan untuk menuntun dan menetapkan suatu pekerjaan agar mencapai target yang diharapkan, atau juga melakukan tindakan dengan prosedur tertentu yang dapat menekan tingkat kesalahan dalam pekerjaan yang sedang dilakukan, tentu saja proses tersebut dilakukan untuk meminimalisir kesalahan dan kegagalan yang dapat merusak tujuan kerja.

John (1995: 15) menyatakan bahwa kegiatan pengawasan terutama ditunjuk untuk menemukan secara dini kesalahan-kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan agar segera dapat diadakan perbaikan dan pelurusan kembali, sekaligus menyempurnakan prosedur, baik yang bersifat preventif, pengendalian maupun represif.

Lord Acton dalam Yamin (2013: 15) mengatakan bahwa setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan. Oleh sebab itu, dengan adanya keleluasaan bertindak kadang-kadang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Maka wajarlah bila diadakan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, yang merupakan jaminan agar jangan sampai keadaan negara menjurus kearah diktator tanpa batas yang berarti bertentangan dengan ciri di negara hukum.

George R Terry, pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan, yaitu menilai pelaksanaan dan bila perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai dengan


(54)

rencana yaitu selaras dengan standar. Lalu Abdurrahman, menguraikan ada beberapa faktor yang membantu pengawasan dan mencegah berbagai kasus penyelewengan serta penyalahgunaan wewenang, yaitu filsafat yang dianut suatu bangsa tertentu, agama yang mendasari seorang tersebut, kebijakan yang dijalankan, anggaran pembiayaan yang mendukung, penempatan pegawai dan prosedur kerjanya, serta kemantapan koordinasi dalam organisasi._

(http://www.negarahukum.com/hukum/teori-pengawasan.htmldiakses tanggal 18 April 2014, pukul 16:07 wib.)

E. Penelitian Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian lain berupa skripsi dan jurnal penelitian mengenai netralitas birokrasi atau aparatur sipil negara dalam pemilihan umum dan pemilihan umum kepala daerah. Untuk melihat perbedaan serta kesamaan pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, penulis mencantumkan ringkasan penelitian sebelunya, sebagai berikut:

1. Tulisan Abdul Hamid tahun 2011 dengan judul “Politisasi Birokrasi dalam

Pilkada Banten 2006”, Jurnal Administrasi Negara Universitas Riau,

volume 11.

Tulisan Hamid membahas tentang politisasi birokrasi dalam pemilukada yang terjadi di Banten tahun 2006. Hamid memfokuskan penelitiannya terhadap pola politisasi birokrasi terjadi dalam pemilukada Banten dan dampak politisasi birokrasi terhadap profesionalisme birokrasi. Politisasi birokrasi berjalan terus di Indonesia dalam bentuk yang berbeda,


(55)

menyesuaikan diri dengan rezim yang sedang berlangsung. Jika di era Orde Lama dan Orde Baru politisasi dilakukan oleh partai politik, maka dalam pilkada langsung di era Reformasi, politisasi dilakukan oleh individu yang seringkali memiliki kekuatan politik melampaui partai politik.

Berbeda dengan tulisan ini yang membahas langsung tentang netralitas pegawai negeri sipil dalam pemilukada Provinsi Lampung, dimana objek yang diteliti adalah aparatur sipil negara (melalui data KPU Provinsi Lampung) yang terlibat pada politk dalam pemilukada Lampung tahun 2014.

Hamid menggunakan tiga tipe polarisasi terhadap birokrasi indonesia. Martini 2010 dalam Hamid (2011). Pertama, politisasi secara terbuka. Dikatakan secara terbuka karena ada upaya-upaya yang dilakukan secara langsung dan tidak adalah yang harus ditutup-tutupi. Kedua, politisasi setengah terbuka. Tipe politisasi ini dijalankan oleh para pemimpin partai politik pada masa periode demokrasi terpimpin. Ketiga, politisasi secara tertutup. Politisasi tipe ini berlangsung pada masa Orde Baru. Pada masa mulai dari tingkat pusat (Presiden Suharto) sampai ketingkat Desa atau kelurahan (lurah/kepala desa) semuanya diwajibkan untuk menjadi anggota yang sekaligus pembina Golkar.

Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan teori intervensi yang dikemabangkan Azhari dan netralitas yang dikembangkan oleh Azhari dan Thoha serta pengawasan yang diadopsi dari skripsi milik Yamin tahun


(56)

2013 yang berjudul netralitas pegawai negeri sipil dalam pemilihan umum kepala daerah di Kabupaten Takalar.

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan Hamid adalah metodologi kualitatif, jenis penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif, yakni mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena. Metode penelitian yang digunakan sama dengan penelitian ini deskriptif kualitatif, dengan tekhnik pengumpulan data wawancara dan studi pustaka.

2. Skripsi Muhammad Halwan Yamin 2013 dengan judul “Netralitas

Pegawai Negeri Sipil Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah di Kabupaten Takalar”, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Skripsi milik Yamin dapat dikatakan berhubungan (judul dan pembahasan yang saling berkaitan), akan tetapi skripsi Yamin lebih menguatkan aspek hukum, sedangkan dalam penelitian ini peneliti akan menguatkan aspek politik dan birokrasi/pemerintahan.

Untuk teori dalam penelitian ini peneliti mengadopsi teori yang digunakan oleh Yamin. Lord Acton dalam Yamin (2013: 15) mengatakan bahwa setiap kekuasaan sekecil apapun cenderung untuk disalahgunakan. Oleh sebab itu, dengan adanya keleluasaan bertindak kadang-kadang dapat


(57)

menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Maka wajarlah bila diadakan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif sejalan dengan Yamin yang juga menggunakan metode deskriptif kualitatif, namun dengan tekhnik analisis data yuridis deskriftif yaitu dengan cara menyelaraskan dan menggambarkan keadaan yang nyata mengenai independensi pegawai negeri sipil dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

3. Tulisan Riris Katharina tahun 2010 dengan judul “Netralitas Birokrasi dalam Pemilu Legislatif 2009 (Studi di Kabupeten Labuhan Ratu)”, Jurnal Ilmiah edisi Kajian.

Tulisan Riris Katharina menyoroti persoalan netralitas birokasi pada pemilu legislatif di Kabupaten Labuhan Ratu, dengan fokus netralitas birokrasi ditinjau dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 terkait netralitas birokrasi dalam pemilu dan menelaah faktor penghambat nertalitas birokrasi. Berbeda dengan tulisan ini yang membahas langsung tentang netralitas pegawai negeri sipil dalam pemilihan umum kepada daerah Provinsi Lampung, dimana objek yang diteliti adalah pegawai negeri sipil (melalui data KPU Provinsi Lampung) yang terlibat pada politk dalam pemilukada Lampung tahun 2014.

Riris Katharina menggunakan konsep birokrasi yang dikemukan Weber, birokrasi yang ideal dicirikan sebagai berikut; pertama, sistem pembagian


(58)

kerja dikembangkan melalui spesialisasi kerja yang jelas. Kedua, birokrasi memiliki aturan yang jelas. Ketiga, jabatan dalam birokrasi diisi oleh orang yang secara teknis kompeten atau profesional. Keempat, para pegawai memandang tugas sebagai karir hidup. Kelima, sumber legitimasi dalam birokrasi sifatnya bukan tradisional dan bukan kharismatik, tetapi legal.

Sedangkan dalam penelitian ini menggunakan teori intervensi yang dikemabangkan Azhari dan netralitas yang dikembangkan oleh Azhari dan Thoha serta pengawasan yang diadopsi dari skripsi milik Yamin tahun 2013 yang berjudul netralitas pegawai negeri sipil dalam pemilihan umum kepala daerah di Kabupaten Takalar.

F. Kerangka Pikir

Dari permaslahan yang dipaparkan pada bab awal, tentang kemungkinan masih banyaknya aparatur sipil negara yang tidak netral dalam pemilukada Provinsi Lampung yang telah diselenggarakan pada tanggal 9 April tahun 2014. Kemudian dengan adanya pemberitaan melalui media cetak tentang oknum aparatur sipil negara yang terlibat dalam kegiatan politik pada masa kampanye. Hal tersebut bisa menjadi acuan untuk meneliti lebih dalam lagi permasalahan ini, untuk mengetahui seberapa besar aparatur sipil negara terlibat dalam kegiatan pemilu yang terkait dengan intervensi politik dan netralitas aparatur sipil negara.


(59)

Untuk mengetahui kegiatan intervensi politik serta netralitas aparatur sipil negara dalam pemilukada, tentu harus terdapat pengawasan oleh badan/instansi/lembaga-lembaga yang memang sudah ditunjuk oleh pemerintah. Lembaga tersebut adalah komisi pemilihan umum dan badan pengawas pemilu provinsi, kabupaten/kota. Kedua lembaga inilah yang berkompeten dalam urusan penyelenggaraan serta pengawaan seluruh proses kegiatan pemilukada, selain itu lembaga kemasyarakatan juga menjadi penting untuk ikut serta dalam pengawasan pemilukada.

Sering terjadinya intervensi dalam pemilukada terutama yang ditujukan pada birokrasi atau aparatur sipil negara oleh pasangan calon atau partai politik, intervensi politik tentu tidak sejalan dengan semangat netralitas birokrasi. Sebagaimana yang dikemukakankan Azhari (2011: 45) intervensi dilakukan hanya untuk keuntungan partai dan individu pejabat politik saja, selain itu intervensi dapat lahir karena adanya primordialisme politik sesuai yang dikemukakan Helden.

Netralitas akan terjaga dengan menekankan bagaimana seharusnya birokrasi bekerja secara profesional dan rasional seperti yang dikemukakan oleh Weber. Netralitas birokrasi atau aparatur sipil negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tantang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomot 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, serta peraturan pemerintah lainnya. Dengan adanya peraturan tersebut semestinya tidak adalagi perilaku menyimpang yang sengaja dilakukan pegawai aparatur sipil negara.


(60)

Temuan awal peneliti tentang ketidaknetralan aparatur sipil negara dalam pemilukada Lampung 2014 baik dari media cetak online maupun media penyiaran lainnya, terdapat tiga pimpinan daerah yang secara terang mendukung dan melakukan kegiatan politik pada pemilukada. Mereka ialah, Kherlani (Pj. Bupati Pesisir Barat), Umar Ahmad (Wakil Bupati Tulang Bawang Barat), dan Bakhtiar Basri (Bupati Tulang Bawang Barat dan juga wakil Ridho dalam pencalonan gubernur Lampung 2014).

Dari informasi serta data pengawasan oleh lembaga-lembaga yang berwenang menangani masalah pemilukada diharapkan dapat memperoleh hasil yang sesuai dengan realita. Untuk lebih memahami penelitian ini maka akan disajikan bagan kerangka pikir sebagai berikut:

2.1 Kerangka Pikir Dalam Penelitian

Pemilihan Umum Kepala Daerah Provinsi Lampung tahun 2014

Diatur dalam UU No. 5 Th. 2014 (ASN)

dan Peraturan Lain

Intervensi, Politisasi dan Netralitas ASN

Intervensi: tindakan pejabat politik yang tidak sejalan dengan netralitas birokrasi, demi keuntungan partai politik dan individu pejabat politik.

Nertalitas: profesional dan rasional kerja sistem birokrasi

Intervensi politik dan netralitas aparatur sipil negara pada pemilukada di Lampung tahun 2014


(61)

III. METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu memberikan gambaran tentang permasalahan secara langsung dalam peroses penelitian yang sedang dilakukan menyangkut intervensi politik dan netralitas aparatur sipil negara dalam pemilukada Provinsi Lampung tahun 2014.

Menurut Bogdan dan Taylor dalam Tohir (2012: 2) penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Studi deskriptif yaitu mengumpulkan data sebanyak-banyaknya mengenai faktor-faktor yang menjadi fokus penelitian.

Kemudian menurut Moleong (2013: 6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.


(62)

Studi deskriptif yaitu mengumpulkan data sebanyak–banyaknya mengenai faktor–faktor yang menjadi fokus perhatian peneliti. Sumadi Suryabrata (2011: 75) menjelaskan bahwa tipe penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang bermaksud untuk membuat pencandraan (deskripsi) mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan pada lembaga penyelengara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Lampung yang beralamat di Jalan Gajah Mada No. 87 Kota Bandar Lampung. Kemudian agar memperoleh data tambahan bagi peneliti, penelitian juga dilakukan pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi yang beralamat di Jalan Nusantara No.49 Kota Bandar Lampung. Data juga diperoleh melalui wawancara dari aparatur sipil negara sebagai komponen utama penelitian ini dan lembaga kemasyarakatan lainnya yang ikut berperan mengawasi penyelengaraan pemilukada.

C. Fokus Penelitian

Melihat adanya dinamika politik yang terjadi pada penyelengaraan pemilukada di Lampung, seperti tercampurnya unsur politik dalam birokrasi, terdapat pasangan calon yang masih menjabat sebagai kepala daerah tingkat kabupatan atau kota, terdapat calon yang berasal dari aparatur sipil negara, kerap terjadinya intervensi yang dilakukan pasangan calon, serta tidak


(63)

netralnya birokrasi atau aparatur sipil negara pada berbagai penyelenggaraan pemilu.

Berdasarkan masalah di atas, maka peneliti akan memfokuskan tentang bagaimana bentuk intervensi politik dan netralitas aparatur sipil negara dalam pemilukada Provinsi Lampung tahun 2014. Penelitian ini menggunakan teori intervensi milik Azhari dan Helden serta teori netralitas birokrasi milik weber, yaitu:

Intervensi politik terhadap birokrasi menurut Azhari:

- tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat politik yang tidak sejalan dengan semangat netralitas birokrasi dan aturan perundangan yang berlaku dalam manajemen birokrasi publik,

- intervensi semacam ini kerap dilakukan semata untuk keuntungan partai politik dan individu pejabat politik.

Indikator intervensi politik terhadap birokrasi menurut Helden:

- Masih kuatnya primordialisme politik, dimana ikatan kekerabatan, politik balas budi, keinginan membagun pemerintahan berbasis keluarga, mencari rasa aman, dan perilaku oportunis birokrat,

- Kekuasaan yang dimiliki politisi cenderung untuk korup sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton “power tends to corrupt”,

- Kondisi kesejahteraan aparat birokrat atau aparatur sipil negara di daerah yang rendah cenderung melahirkan praktek rent seeking melalui aktivitas politik tersembunyi demi mendapat income tambahan,


(64)

- Perangkat aturan yang belum jelas dan mudah di politisasi, seperti lemahnya instrumen pembinaan pegawai, kode etik belum melembaga, adanya status kepada daerah sebagai pembina kepegawaian, dan rangkap jabatan kepala daerah dengan ketua umum partai politik.

Netralitas birokrasi menurut weber:

- Individu pejabat secara rasional bebas akan tetapi dibatasi oleh jabatanya, manakala ia menjalankan tugas dan kepentingan individu dalam jabatannya,

- Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya,

- Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatanya dan resources instansinya untuk kepentingan peribadi.

D. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis data

Jenis data yanga diguanakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data primer dalam penelitian ini adalah data yang diproleh dari institusi/lembaga yang berkaitan dengan penelitian ini dan merupakan sampel penelitian. Data primer akan diproleh melalui lembaga penyelenggara dan pengawas pemilukada Provinsi Lampung, data juga dapat diperoleh dari lembaga kemasyarakatan yang turut terlibat pada pengawasan pemilukada Provinsi Lampung.

b. Data sekunder adalah data yang digunakan untuk mendukung data primer, yang diproleh dari telaah pustaka yang berasal dari buku-buku,


(65)

media cetak maupun online, dokumen-dokumen lainnya yang terkait dengan penelitian dan juga dapat diperoleh melalui penelitian lapangan.

2. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Responden, merupakan hasil data yang diperoleh dari sejumlah pertanyaan yang diajukan kepada responden. Responden dalam penelitian ini ialah komisioner KPU, Bawaslu, akademisi, LSM, jurnalis dan aparatur sipil negara.

b. Dokumen-dokumen, merupakan hasil temuan lembaga penyelengara dan pengawas pemilukada di lapangan yang berkaitan dengan keterlibatan aparatur sipil negara dalam pemilu. Selain data pokok tersebut, dokumen juga dapat berupa data sekunder yang dapat memperkuat data primer dalam penelitian ini.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya pengumpulan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, peneliti menggunakan dua teknik pengumpulan data yaitu:

1. Wawancara

Wawancara merupakan teknik untuk memperoleh data dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan yang telah disesuaikan dengan fokus penelitian. Wawancara dimaksudkan untuk memperoleh informasi dari


(1)

103

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa intervensi politik dalam penyelenggaraan pemilukada di Provinsi Lampung tahun 2014 dilakukan oleh aktor politik, yaitu calon kepala daerah yang masih menjabat sebagai bupati atau walikota dan wakil bupati atau wakil walikota (incumbent). Aparatur sipil negara dilibatkan dengan menggunakan kekuasaan kepala daerah. Intervensi politik yang terjadi juga disebabkan oleh primordialisme politik, yaitu rasa akan kesamaan terhadap pasangan calon, baik itu kesamaan daerah, prinsip atau kekerabatan. Intervensi politik juga bisa berasal dari dalam birokrasi, keuntungan personal merupakan alasan utamanya. Tindakan intervensi kerap dilakukan karena peraturan yang ada belum mampu mengikat secara utuh pelanggar yang melakukan kecurangan. Pelanggaran yang dilakukan oleh pasangan calon dengan melibatkan dukungan aparatur sipil negara adalah tindakan yang bersifat terbuka dan setengah terbuka. Bersifat terbuka seperti dukungan oleh aparatur sipil negara dilakukan secara terbuka dan diketahui publik, serta ikut menjadi tim pemenangan untuk pasangan


(2)

104

calon. Kemudian bersifat setengah terbuka seperti menggunakan jaringan birokrasi, mengarahkan pemilih untuk dapat memilih calon yang didukung, menggunakan program pemerintahan dan fasilitas negara lainnya.

Penyelenggaraan pemilukada di Provinsi Lampung berjalan dengan baik tanpa konflik politik yang berpanjangan. Tetapi dari segi pengawasan, lembaga pengawas kurang memaksimalkan fungsi pengawasannya, dilihat dari pelanggaran yang terjadi dan laporan pelanggaran yang tidak terproses secara maksimal.

Netralitas aparatur sipil negara pada beberapa daerah kabupaten atau kota tidaklah terjaga sebagai mana mestinya, daerah-daerah tersebut adalah Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang Barat, Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Barat. Keempat kabupaten atau kota ini merupakan asal dari beberapa pasangan calon yang menjadi peserta pemilukada Provinsi Lampung di tahun 2014.

B. Saran

Berdasarkan hasil dari pembahasan dan simpulan atas permasalahan mengenai intervensi politik dan netralitas aparatur sipil negara maka diharapkan penyelenggaraan pemilukada mendatang semakin proporsional, dengan semakin berkurangnya tingkat pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan pasangan calon maupun unsur lain yang terlibat dalam penyelengaraan pemilukada.


(3)

105

Teori yang dipakai peneliti sesuai dengan realita yang terjadi pada penyelenggaraan pemilukada Provinsi Lampung, diharapkan juga teori yang digunakan dalam penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi peneliti lain untuk menemukan serta menjelaskan kesenjangan yang ada dalam kaitan pada pemilukada dan netralitas aparatur sipil negara.

Selain itu hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi tambahan dalam acuan untuk memperbaiki dan menjaga netralitas aparatur sipil negara di Provinsi Lampung, khususnya kabupaten dan kota hingga tingkat lembaga atau instansi pemerintahan dan personal.

Untuk mengurangi tindakan kecurangan pemilukada yang melibatkan aparatur sipil negara diperlukan sistem penyelenggaraan pemilukada yang profesional dan independen, kemudian mempercepat reformasi birokrasi dengan memberikan

shock tarapy atau efek kejut dengan sangsi tegas kepada aparatur yang

melanggar dan membentuk lembaga independen yang langsung berkordinasi di tingkat pusat, lembaga ini secara khusus bertanggungjawab mengawasi aparatur sipil negara serta lembaga pemerintahan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbansi Rukmito. 2013. Intervensi Komunitas & Pengambangan Masyarakat

Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Rajawali Pers. Jakarta.

Azhari. 2011. Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Efriza. 2012. Political Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik. Alfabeta. Bandung. Gatara, A.A. Said dan Moh. Dzulkiah Said. 2007. Sosiologi Politik. Pustaka

Setia. Bandung.

Hartini, Sri. Dkk. 2010. Hukum Kepegawaian di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.

___________. 2008. Hukum Kepegawaian di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. John, Salindeho. 1995. Pengawasan Melekat Aspek-Aspek Terkait dan

Implementasinya. Bumi Aksara. Jakarta.

Kansil, C.S.T., Christine S.T. Kansil. Sistem Pemerintahan Indonesia. Bumi Aksara. Jakarta.

Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Pito, Toni Andrianus. Efrizal. Kemal Fasyah. 2006. Mengenal Teori-Teori Politik.

Penerbit Nuansa. Bandung.

Sarosa, Samiaji. 2012. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar. Permata Puri Media. Jakarta.

Sugiyono. 2013. Memahami Penelitian Kualitatif. Alfabeta. Bandung. Suryabrata, Sumadi. 2011. Metodologi Penelitian. Rajawali Pers. Jakarta.


(5)

Thoha, Miftah. 2008. Birokrasi Pemerintahan di era Reformasi. Kencana Pranada Media Group. Jakarta.

___________. 2010. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta. ___________. 2012. Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di Indonesia. Thafa

Media. Yogyakarta.

Tohirin. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dalam Pendidikan dan Bimbingan

Konseling. Rajawali Pers. Jakarta.

Skripsi, Jurnal dan Artikel

Hamid, Abdul. 2011. Politisasi Birokrasi dalam Pilukada Banten 2006. Jurnal Administrasi Negara Universitas Riau, Volume 11 Nomor 2, Juli 2011: 97-110.

Imam, Achmad. 2011. Birokrasi Implementasinya Buruk Tunggu Kehancurannya.

Publika Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun II, Nomor 2 Juli 2011. Universitas Madura.

Katharina, Riris. 2010. Netralitas Birokrasi dalam Pemilu Legislatif 2009 (Studi

di Kabupaten Labuhan Ratu), Jurnal Ilmiah edisi Kajian.

Suripto. 2010. Konsep Netralitas Birokrasi Pegawai Negeri Sipil.

(http://suripto3x.files.wordpress.com/2010/12/tuliasan-netralitas-biroktasi-29102010.pdf diakses tanggal 07 April 2014, pukul 17:50 wib)

Yamin, Muhammad Alwan. 2013. Netralitas Pegawai Negeri Sipil dalam

Pemilihan Umum Kepala Daerah di Kabupaten Takalar. Universitas

Hasanuddin. Makasar.

Undang-Undang, Perataturan dan Putusan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 69 Tahun 2009 Tentang Pedomam Teknis Kampaye Pemilihan Umum Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.


(6)

Putusan Nomor 125,126/PHPU.D-X/2013 Prihal Putusan dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kab. Kerinci Tahun 2013.

Putusan Nomor 56/PHPU.D-X/2012 Prihal putusan dalam perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2012.

Media:

http://lampost.co/berita/pilgub-bawaslu-temukan-ribuan-pelanggaran- diakses tanggal 4 April 2014, pukul 22:29 wib.

http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/04/03/n3fp1k-bawaslu-proses-pelanggaran-pejabat-bupati-di-lampung

diakses tanggal 4/4/2014, pukul 21:57 wib. http://kbbi.web.id

http://markushariyanto.blogspot.com/2011/05/makalah-pengantar-ilmu-politik.html

diakses tanggal 9 April 2014, pukul 20:31 wib.

http://www.negarahukum.com/hukum/teori-pengawasan.html diakses tanggal 18 April 2014, pukul 16:07 wib.

http://www.forumbebas.com/tread-49484.html diakses tanggal 9 Juni 2014, pukul 09:49 wib.

http://politik.kompasiana.com/2012/04/24/birokrasi-vs-politik-457730.html diakses tanggal 25 Oktober 2014, pukul 15:36 wib.

http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/08/politisasi-birokrasi-di-indonesia-558239.html

diakses tanggal 25 Oktober 2014, pukul 21:49 wib.

http://sumaterapostplus.com/panwaslu-kabupaten-tanggamus-panggil-umar-ahmad.html