Sinergitas Pembangunan Ekowisata Sumur T

(1)

Sinergitas Pembangunan Ekowisata Sumur Tujuh Berbasis sosio-ekologi

Oleh : Diyan Ahmad Saputra

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana kearifan lokal masyarakat sekitar wisata Sumur Tujuh Desa Sukaraja Tiga, Lampung Timur dan bagaimana mensinergikan pembangunan wisata sumur tujuh berbasis sosio-ekologi.

Semangat pembangunan warga desa memperbaiki destinasi wiasta Sumur Tujuh tidak cukup hanya dengan gotong royong kerja bakti di sekitar lokasi wisata. Namun terdapat beberapa hal penting lainya agar pembangunan selaras daya lenting lingkungan.

Pertama, menumbuhkan kecerdasasan ekologis didalam masyarakat yang menginternalisasikan tidakan nyata, sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan yang mengandung nilai-nilai pelestarian ekosistem. Sehingga program-program yang ditawarkan dalam pariwisata tersebut tidak lepas dari perusakan lingkungan. Kedua, selaras dengan kecerdasan ekologis di dalam masyarakat, perlu adanya tindak lanjut dengan pendidikan lingkungan hidup disekitar wisata.

Dengan adanya kontinuitas tersebut, diharapkan pembangunan dapat sinergi dengan ekologi, dengan di topang jiwa gotong royong dan kesadaran ekologis masyarakat.

Kata Kunci: Kecerdasan ekologis, pendidikan lingkungan hidup, sosio-ekologi. A. Pendahuluan

Giat pemerintah baru Lampung Timur mencanangkan menjadi daerah pariwisata Lam-pung memang sudah diprediksi sejak awal. Dengan potensi pariwisata unik dibanding daerah lain, Taman Nasional Way Kambas, Suaka Rhino Sumatera ataupun Taman Purbakala menjadi alasan utama prioritas pembangunan kedepan. Akibatnya, akan terjadi percepatan pem-bangunan yang dapat berbanding lurus dengan perbaikan lingkungan sekitar tempat wisata.

Dalam pandangan pemerintah tentu akan berbeda. Keuntungan ekonomi sudah dipastikan menjadi alasan utama pembangunan. Pandang ekonomis memang tidak dapat dielakkan lagi, terlebih kabupaten yang memiliki luas wilayah 5.300 km2 dan berpenduduk sebesar 989.639 jiwa (sensus 2010), telah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah No. 04 tahun 2016 tentang rancangan induk jangka panjang 2016-2030 konsen dengan pengembangan pariwisata. Kemudian disokong dengan perkembangan wisata di Indonesia yang meningkat 7.2 % yang melampaui negara ASEAN 5.1 % bahkan dunia hanya rata-rata 4.4% (Data Januari, UNWTO


(2)

Salah satu wisata baru yang perlu dilirik yaitu Sumur Tujuh di Desa Sukaraja Tiga, Keca-matan Marga Tiga, Lampung Timur, merupakan destinasi wisata lokal yang beberapa bulan ini, masyarakat desa setempat beramai-ramai gencar mempromosikan wisata tersebut.

Destinasi wisata yang menitik beratkan kepada pesona alam yang asri dan mitos sumur yang konon air nya dapat melanggengkan cinta-kasih terhadap seseorang. Mulai digerakan masyarakat desa sebagai fokus utama pembangunan desa setempat. Pembangunan untuk mem-perindah wisata lokal mulai berjalan sejak pertengahan tahun. Masyarakat desa pun men-dukung dengan terlibat langsung dalam perawatan lokasi wisata tiap minggu nya.

Dikit demi dikit pembangunan mulai berjalan, jalan setapak, siring mulai dibangun untuk mempermudah akses ke tempat wisata tersebut. Banguan lainyapun bertahap akan di lak-sanakan, misal pendopo, alun-alun dan sebaginya. Dan ini merupakan hasil pandangan masyarakat yang mengangap bahwa membangun sama saja memperbaiki dan merawat ling-kungan wisata.

Namun pandangan tersebut bisa jadi berbandik terbalik jika melihat kebutuhan manusia yang tidak terbatas. Dengan Jumlah penduduk semakin terus bertambah dan kebutuan manusia semakin meningkat dapat menyebabkan manusia secara sengaja maupun tidak sengaja berdampak pada kerusakan bumi atau lingkungan dimana manusia tinggal. Olah karna itu perlu adanya pemahaman komprehensif, bahwa pembangunan kedepan turut pula berdampak pada perbaikan lingkungan. Seperti yang diungkapkan Sumarwoto (1997) adalah pembangunan dapat dan telah merusak lingkungan, tetapi pembangunan juga diperlukan untuk memperbaiki kualitas lingkungan.1

Jika pembanguna desa tersebut tidak memperhitungkan secara matang, akan berdampak pada kondisi ekologi menjadi buruk. Oleh karna itu perlu adanya integrasi yang tepat agar pembangunan yang dicanangkan selaras dengan daya lenting lingkungan.

Dengan demikian makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana keseharian masyarakat dalam memperlakukan objek wisata Sumur Tujuh dan bagaimana menselaraskan pembangunan wisata sumur tujuh berbasis sosio-ekologi.

B. Isi

1


(3)

1. Kondisi Ekowisata Sumur Tujuh.

Dewasa ini maupun pada masa yang akan datang, kebutuhan untuk berwisata akan terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dunia, serta perkembangan penduduk dunia yang semakin membutuhkan refressing akibat dari semakin tingginya kesibukan kerja. Menurut Fandeli2 faktor yang mendorong manusia berwisata adalah: keinginan untuk melepaskan diri tekanan hidup sehari-hari di kota, Keinginan untuk mengubah suasana dan memanfaatkan waktu senggang; Kemajuan pembangunan dalam bidang komunikasi dan transportasi; Keinginan untuk melihat dan memperoleh pengalaman-pengalaman baru mengenai masyarakat dan tempat lain; Meningkatnya pendapatan yang dapat memungkinan seseorang dapat dengan bebas melakukan perjalanan yang jauh dari tempat tinggalnya.

Peningkatkan kebutuhan berwisata ini tentu terdapat faktor pendorong yang membuat tum-buh berkembangya dunia pariwisata. Spilane3 menjelaskan bahwa faktor tersebut tak lain ada-lah besarnya potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia bagi pengembangan pariwisata. Kemudian didukung situasi sosio-ekonomi Indonesia yang saat ini lahan pertanian dan peker-jaan semakin menipis. Dengan adanya pariwisata justru akan mendukung sebagai alternatif dan juga pengembangan di sektor ini secara tidak langsung memperkuat daya lenting lingkungan.

Selain itu, percepatan-percepatan yang terjadi di sektor pariwisata memang menjadi pili-han utama peningkatan APBD maupun APBN. Lihat saja beberapa daerah berkerja keras meru-bah daerahnya menjadi tempat wisata baru. Misal di Banyuwangi, daerah yang konon dijuluki daerah mistis dan klinik justru kini bergeser menjadi sun rise of java. Proses pembangunan selama 9 tahun ini akhirnya tak terbuang sia-sia, bahkan kini kabupaten tersebut setiap tahunya mengadakan event wisata hingga 200an kegiatan. (banyuwangi-mall.com).

Di Lampung Timur sendiri pun mulai digalakkan kembali dengan hadirnya perda No. 04 tahun 2016 tentang rancangan Induk jangka panjang 2016-2030 konsen dengan pengembangan pariwisata. Taman Nasional Way Kambas, Suaka Rhino Sumatera, Beringin Indah, BBI Pek-alongan dan sebagainya telah ditetapkan menjadi projek wisata yang akan dikenalkan. Tak

2

Fandeli, Ch., 1995. Pengertian dan Kerangka Dasar Kepariwisataan Pengertian dan Kerangka Dasar Kepariwisataan, dalam Dasar-dasar Manajemen Kepari-wisataan Alam, (Editor: Ch. Fandeli), Yogyakarta: Liberty, hal 50-51 dalam

3

Spilane, J.J., 1987. Pariwisata Indonesia, Sejarah dan Prospeknya, Yogyakarta: Kanisius,hal 57 dalam Soebagyo, Strategi Pengembangan Pariwisata Indonesia, Jurnal Lingquidity, Jakarta Selatan: 2012, vol.1 No.2, Hal 154.


(4)

ingin ketinggalan dengan pariwisata yang telah ada, masyarakat Desa Sukaraja Tiga Kecama-tan Marga Tiga urung rembuk menggagas wisata lokal Sumur Tujuh.

Wisata yang dibanguna atas inisiatif warga mulai di jalankan di awal tahun 2016. Destinasi wisata Sumur Tujuh ini, berdasarkan cerita warga setempat, wisata yang memiliki tujuh sumur dengan kedalaman kurang lebih 2 meter sudah terbentuk sejak lampau. Bahkan historis adanya sumur tersebut pun kini masih dalam proses pencatatan.

Dengan memanfaatkan mitos yang berkembang jika meminum air di sumur tujuh akan melanggengkan urusan percintaan, dan tak pernah suruh walau kemarau panjang. Menjadi alasan utama daya tarik wisatawan untuk hadir. Masyarakat Sukaraja Tiga pun mulai giat mem-promosikan wisata tersebut.

Mitos dan keunikan sumur tersebut mulai di gemborkan kepada wisatawan. Misal saja dengan mempromosikan di portal jurnalisme warga Ayokelamtim.com, rutin masyarakat mengajak pengunjung untuk datang.

Demi meperindah dan membuat pengunjung nyaman berrekreasi di Sumur Tujuh, warga tiap minggu nya gotong royong membersihkan kondisi lingkungan. Melihat adanya potensi besar tersebut, pembangunan infrasturktur, jalan, aula dan termpat peribadatan mulai disusun disekitar lokasi.

Walaupun demikian, semangat membangun wisata lokal berbasis masyarakat tersebut masih berkaitan dengan dampak perekonomian terhadap warga. Tentu dapat mengesampingkan hubungan alam dengan kebutuhan ekonomi tanpa adanya pengetahuan didalamnya. Hal ini akan menjadi kemunculan problem baru lingkungan hidup setempat.

Ditambah lagi dengan index pembangunan manusia di Lampung Timur cukup rendah. Pemahaman tentang berkehidupan saling menjaga antara manusia dan alam perlu terinternalisasi di dalam masyarakat. Dengan demikian sangat dibutuhkan sinergitas antara hubungan manusia dengan alam setempat.

2. Sinergitas Pembangunan Sumur Tujuh Berbasis Sosio-Ekologi

Kualitas hidup manusia di planet bumi tidak lepas dari kualitas lingkungan hidupnya. Pen-ingkatan kualitas hidup dan kesejahteraan penduduk dilakukan dengan menyediakan berbagai


(5)

pilihan bagi masyarakat untuk memperoleh tingkat kesejahteraannya melalui pengelolaan sum-ber-sumber daya alam, atau sumber daya buatan dengan sentuhan teknologi yang tetap mem-perhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan social-ekonomi harus didukung oleh ketersediaan sumber daya alam yang memadai.4

Mahluk hidup lain memiliki hak hidup seperti manusia, karena itu manusia perlu menghar-gai dan memandang mahluk hidup lain sebamenghar-gai bagian dari komunitas hidup manusia. Semua species hidup memiliki hubungan dan saling terkait satu sama lain membentuk komunitas bio-tik. Dalam komunitas ini, termasuk manusia berinteraksi dengan unsur-unsur lingkungan fisik membentuk suatu sistem ekologi yang disebut ekosistem. Di dalam ekosistem terdapat unsur-unsur biotik dan lingkungan fisik (abiotik) yang membentuk fungsi sebagai sumberdaya alam. Gangguan fungsi atau kerusakan satu atau beberapa unsur dalam sistem ekologi akan memberi dampak terhadap fungsi subsistem lain.

Dari pengertian ini, maka kajian ekologi berpusat pada manusia dan alam sebagai suatu sistem (ekosistem) yang membentuk suatu jaringan kehidupan. Posisi manusia dalam hal ini tidak mengabaikan peran mahluk hidup lainnya, juga tidak memandang manusia berada di luar sistem, tetapi ini berarti bahwa manusia beserta perilakunya adalah bagian dari suatu ekosistem. Untuk tetap mempertahankan sistem ekologi guna mencapai keseimbangan hub-ungan ini, maka kondisi yang mutlak diperlukan adalah adanya keserasian hubhub-ungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.

Upaya memenuhi kebutuhan hidup manusia menyebabkan perubahan atas unsur atau komponen-komponen lingkungan hidup beserta sumberdaya alamnya. Perubahan ini berdampak balik pada kehidupan manusia, baik dampak negative maupun pengaruh positif. Revelle menambahkan terdapat dua faktor besar yang menyebabkan krisis ekologis saat ini, yaitu; pemanfaatan sumberdaya alam yang melampaui kapasitas tumbuh, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya.5

4 Ramli Utina, Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi

Gorontalo, Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia ke 21 pada

13-15 September 2012 di Mataram, hal 14.

5


(6)

Menumbuhkan Kecerdasan Ekologis

Krisis ekologis terkait pula dengan pandangan manusia terhadap realitas alam. Pandangan ini membentuk perilaku manusia terhadap lingkungannya, baik perilaku yang berdampak pada peningkatan keserasian hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya, maupun sebaliknya. Manusia memiliki tanggung jawab terhadap alam dan mahluk hidup lain, dengan mengedepankan prinsip-prinsip yang secara moral mengatur bagaimana manusia mengelola atau menggunakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Manusia menjadi faktor yang ber-peran penting. Jika terdapat persoalan yang mengakibatkan terganggunya hubungan antara manusia dengan lingkungannya, maka posisi mahluk hidup lain akan tergantung pada persepsi dan perlakuan manusia. Dalam hal ini, bagaimana manusia memposisikan dirinya terhadap alam sekitarnya termasuk komponen mahluk hidup lainnya.

Mengatasi krisis ekologi tidak semata soal teknis, tetapi perlu ditelusuri seluk-beluk spir-itual manusia, pandangan hidupnya, kesadarannya terhadap alam dan perilaku ekologisnya yang tetap menjaga keseimbangan alam. Untuk itu diperlukan kecerdasan ekologis (ecological intelligence) manusia, berupa pemahaman dan penerjemahan hubungan manusia dengan se-luruh unsur beserta mahluk hidup lain. Manusia yang cerdas ekologis menempatkan dirinya sebagai control terhadap lingkungannya (human as in control of the natural environment). Kecerdasan ekologis sebagai empati dan kepedulian yang mendalam terhadap lingkungan seki-tar, serta cara berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar akibat perlakuan kita. 6

Kecerdasan ekologis menghendaki manusia untuk menerapkan apa yang dialaminya dan dipelajarinya tentang hubungan aktivitas manusia dengan ekosistem. Kecerdasan ekologis menempa manusia menata emosi, pikiran dan tindakannya dalam menyikapi jagat raya. Kecer-dasan ekologis dituangkan dalam bentuk sikap dan perilaku nyata yang mempertimbangkan kapasitas ekologis, dan melahirkan sikap setia kawan manusia dengan alam. Alam semesta bukan hanya sumber eksploatasi tetapi sebagai rumah hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata dan bukan dihancurkan.

Di dalam kehidupan manusia bermasyarakat telah tumbuh tradisi yang diwarisi secara turun temurun, misalnya kerja bakti tiap minggu.Tradisi, kebiasaan atau perilaku tumbuh dan

6

Jung, C.G. 2010. Ecological Intelligence, (tersedia dalam http://jungianwork.worpress.com/ 20110/02/10on-alchemy-c-g-jung-and-ecological-intelligence.


(7)

berkembang sesuai dengan kedekatan manusia dengan alam sekitarnya dan tantangan yang dihadapinya. Ini merupakan kearifan lokal yang mewarnai kehidupan masyarakat. Kearifan lokal (local wisdom) dipandang sebagai tindakan dan sikap manusia terhadap sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Substansi kearifan lokal adalah berlakunya nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh suatu masyarakat dan mewarnai perilaku hidup masyarakat tersebut. Tindakan nyata, sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan yang mengandung nilai-nilai pelestarian ekosistem adalah bagian dari kecerdasan ekologis suatu masyarakat.

Pendidikan Lingkungan Hidup

Sejak tahun 1984 pemerintah telah menggalakkan pendidikan lingkungan hidup yang terintegrasi dalam hampir semua mata pelajaran disekolah.7 Konsen pemerintah terhadap pendidikan lingkungan hidup telah menjadi prioritas sejak awal, hingga terbit nya UU No 32 Th. 2009 menegaskan pentingnya pendidikan lingkungan hidup sejak dini.

NAAEE (2001) menyatakan bahwa Pendidikan lingkungan adalah proses yang komprehensif untuk menolong manusia memahami lingkungannya dan isu yang terkait.8 Dengan begitu manusia dapat paham dan memahami keadaan yang terjadi.

Lieberman (1998) negaskan bahwa pendidikan lingkungan memiliki strategi sbb; 1) memberikan pengalaman belajar hands-on melalui kegiatan berbasis proyek, 2) mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi terhadap lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan dapat dilaksanakan di luar kelas.9

Upaya pendidikan lingkungan hidup tak lain untuk mengatsai problem lingkungan agar tidak semakin akut. Dengan begitu langkah strategis haru ditempuh melalui proses pendidikan berwawasan lingkungan.10 Pendidikan asebagai tempat yang paling efektif dengan menginternalisasi dan men-transformasi keyakinan, nilai, pengetahun dan keterampilan. Menurut andrias harefa, Pendidikan harus mampu merubah setiap jengkel dimenesi kehidupan seseorang. Proses pembelajran sudah semesstinya memantu masyarakat pembelajar untuk

7

Risda Amini dan A. Munandar, “Pengaruh Model Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Berbasis Outdoor

Terhadap Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan Bagi Calon Guru Sekolah Dasar” Jurnal Penelitian

Pendidikan, 2010, Vol. 11, No. 1 Hal. 14

8

Risda Hal 15

9

Risda hal 15

10Maghfur ahmad, “Pendidikan Lingkungan Hidup Dan Masa Depan Ekologi Manusia”

forum tarbiyah,


(8)

mengemangkan potensi intelektualitasnya.11

Kita semua memang menginginkan keadaan lingkungan yang lestari, yaitu kondisi lingkungan yang secara terus menerus dapat menjamin kesejahteraan hidup manusia dan juga mahluk hidup lainnya. Untuk memelihara kelestarian lingkungan ini setiap pengelolaan harus dilakukan secara bijaksana.

Pengelolaan yang bijaksana menuntut adanya pengetahuan yang cukup tentang lingkungan dan akibat yang dapat timbul karena gangguan manusia. Pengelolaan yang bijaksana juga menuntut kesadaran akan tanggung jawab manusia terhadap kelangsungan generasi mendatang. Pengetahuan dan kesadaran akan pengelolaan lingkungan ini dapat diperoleh melalui pendidikan dan sejenisnya.

Apalagi jika diperhatikan di Perancis pendidikan berbasis lingkungan (ekopedagodi) ini telah dikembangkan sejak awal tahun 60-an. Menurut tim MKU PLH ekopedagogi adalah12 :

1. Alam jangan dipandang sebagai lingkungan hidup (environment) semata tetapi sebagai ruang pemberi dan pemakna kehidupan (lebenstraum).

2. Pendidikan yang dapat mengubah paragidma ilmu dan bersifat mekanistik, reduksionis, parsial dan bebas nilai menjadi ekologis, holistik dan terikat nilai sehingga dapat tumbuh kearifan (wisdom), misalnya dengan: membangun watak dan menghargai hak hidup mahluk hidup lainnya.

3. Pendidikan lebih menekankan pendekatan biosentrisme dan ekosentrisme, bukan lagi antroposentrisme.

4. Pendidikan untuk mengenali alam, sehingga tumbuh rasa cinta atau respek terhadap alam beserta isinya.

C. Kesimpulan

Pertumbuhan pariwisata di Indonesia berdampak besar terhadap percepatan pembangunan di daerah. Termasuk dengan kabupaten Lampung Timur yang mencangkan sebagai pesona pariwista Lampung. Kesungguhan ini terlihat muncul dengan diperkuat kebijakan rencana

11Maghfur ahmad, “pendidikan lingkungan hidup dan masa depan ekologi manusia”

forum tarbiyah, 2010,

vol. 8 No. 1 hal. 59

12


(9)

strategis Lampung Timur, UU No. 4 tahun 2016 tentang rencana induk jangka panjang 2016-2030 yang konsen terhadap pengembangan pariwisata. Selain itu, beberapa daerah di Lampung Timur bersemangat menggagas wisata lokal berbasis masyarakat. Sumur Tujuh, ekowisata lokal yang berada di Sukaraja Tiga Kecamatan Marga Tiga.

Dengan adanya percepatan pembangunan, perlu ditinjau kembali hubungan manusia terhadap alam. Pembangunan tanpa memperhatikan kondisi alam sama saja memperkosa alam. Dengan begitu perlu adanya 2 hal penting yang membekali sinergitas wisata tersebut dengan kondisi social sekitar.

Pertama, Menumbuhkan Kecerdasasan Ekologis didalam Masyarakat yang menginternalisasikan tidakan nyata, sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan yang mengandung nilai-nilai pelestarian ekosistem. Sehingga program-program yang ditawarkan dalam pariwisata tersebut tidak lepas dari perusakan lingkungan.

Kedua, selaras dengan kecerdasan ekologis di dalam masyarakat, perlu adanya tindak lanjut dengan pendidikan lingkungan hidup disekitar wisata. Dengan adanya kontinuitas pendidikan tersebut diharapkan mampu membangun kesadara warga pentingya menjaga lingkungan selayaknya menjaga kehidupan masing-masing.

Tentu, makalah ini tidak sepenuhnya sempurna seperti yang diharapkan. Keberlanjutan riset yang mendalam akan membantu dalam kesempurnaan topik-topik makalah tersebut.

Daftar Pustaka

Ahmad, Maghfur, Pendidikan Lingkungan Hidup Dan Masa Depan Ekologi Manusia Forum Tarbiyah, 2010, vol. 8 No. 1.

Amini, Risda dan A. Munandar, Pengaruh Model Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Berbasis Outdoor Terhadap Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan Bagi Calon Guru Sekolah Dasar, Jurnal Penelitian Pendidikan, 2010, Vol. 11, No. 1.

Fandeli, Ch., Pengertian dan Kerangka Dasar Kepariwisataan Pengertian dan Kerangka Dasar Kepariwisataan, dalam Dasar-dasar Manajemen Kepari-wisataan Alam, (Editor: Ch. Fandeli), Yogyakarta: Liberty. 1995.

Jung, C.G. 2010. Ecological Intelligence, (tersedia dalam http://jungianwork.worpress.com/ 20110/02/10on-alchemy-c-g-jung-and-ecological-intelligence.

Revelle, 2006. (tersedia dalam http://www.sagaonline.com/index.php?sg=full&id=137) Soebagyo, Strategi Pengembangan Pariwisata Indonesia, Jurnal Lingquidity, Jakarta Selatan:


(10)

2012, vol.1 No.2.

Spilane, J.J., Pariwisata Indonesia, Sejarah dan Prospeknya, Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Tim MKU PLH, Pendidikan Lingkungan Hidup, Semarang; UNS, 2014.

Utina, Ramli, Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo, Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia ke 21 pada 13-15 September 2012 di Mataram.


(1)

pilihan bagi masyarakat untuk memperoleh tingkat kesejahteraannya melalui pengelolaan sum-ber-sumber daya alam, atau sumber daya buatan dengan sentuhan teknologi yang tetap mem-perhatikan dampaknya terhadap lingkungan. Aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan social-ekonomi harus didukung oleh ketersediaan sumber daya alam yang memadai.4

Mahluk hidup lain memiliki hak hidup seperti manusia, karena itu manusia perlu menghar-gai dan memandang mahluk hidup lain sebamenghar-gai bagian dari komunitas hidup manusia. Semua species hidup memiliki hubungan dan saling terkait satu sama lain membentuk komunitas bio-tik. Dalam komunitas ini, termasuk manusia berinteraksi dengan unsur-unsur lingkungan fisik membentuk suatu sistem ekologi yang disebut ekosistem. Di dalam ekosistem terdapat unsur-unsur biotik dan lingkungan fisik (abiotik) yang membentuk fungsi sebagai sumberdaya alam. Gangguan fungsi atau kerusakan satu atau beberapa unsur dalam sistem ekologi akan memberi dampak terhadap fungsi subsistem lain.

Dari pengertian ini, maka kajian ekologi berpusat pada manusia dan alam sebagai suatu sistem (ekosistem) yang membentuk suatu jaringan kehidupan. Posisi manusia dalam hal ini tidak mengabaikan peran mahluk hidup lainnya, juga tidak memandang manusia berada di luar sistem, tetapi ini berarti bahwa manusia beserta perilakunya adalah bagian dari suatu ekosistem. Untuk tetap mempertahankan sistem ekologi guna mencapai keseimbangan hub-ungan ini, maka kondisi yang mutlak diperlukan adalah adanya keserasian hubhub-ungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.

Upaya memenuhi kebutuhan hidup manusia menyebabkan perubahan atas unsur atau komponen-komponen lingkungan hidup beserta sumberdaya alamnya. Perubahan ini berdampak balik pada kehidupan manusia, baik dampak negative maupun pengaruh positif. Revelle menambahkan terdapat dua faktor besar yang menyebabkan krisis ekologis saat ini, yaitu; pemanfaatan sumberdaya alam yang melampaui kapasitas tumbuh, dan rendahnya kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungannya.5

4 Ramli Utina, Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi

Gorontalo, Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia ke 21 pada 13-15 September 2012 di Mataram, hal 14.


(2)

Menumbuhkan Kecerdasan Ekologis

Krisis ekologis terkait pula dengan pandangan manusia terhadap realitas alam. Pandangan ini membentuk perilaku manusia terhadap lingkungannya, baik perilaku yang berdampak pada peningkatan keserasian hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya, maupun sebaliknya. Manusia memiliki tanggung jawab terhadap alam dan mahluk hidup lain, dengan mengedepankan prinsip-prinsip yang secara moral mengatur bagaimana manusia mengelola atau menggunakan sumberdaya alam dan lingkungannya. Manusia menjadi faktor yang ber-peran penting. Jika terdapat persoalan yang mengakibatkan terganggunya hubungan antara manusia dengan lingkungannya, maka posisi mahluk hidup lain akan tergantung pada persepsi dan perlakuan manusia. Dalam hal ini, bagaimana manusia memposisikan dirinya terhadap alam sekitarnya termasuk komponen mahluk hidup lainnya.

Mengatasi krisis ekologi tidak semata soal teknis, tetapi perlu ditelusuri seluk-beluk spir-itual manusia, pandangan hidupnya, kesadarannya terhadap alam dan perilaku ekologisnya yang tetap menjaga keseimbangan alam. Untuk itu diperlukan kecerdasan ekologis (ecological

intelligence) manusia, berupa pemahaman dan penerjemahan hubungan manusia dengan

se-luruh unsur beserta mahluk hidup lain. Manusia yang cerdas ekologis menempatkan dirinya sebagai control terhadap lingkungannya (human as in control of the natural environment). Kecerdasan ekologis sebagai empati dan kepedulian yang mendalam terhadap lingkungan seki-tar, serta cara berpikir kritis terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitar akibat perlakuan kita. 6

Kecerdasan ekologis menghendaki manusia untuk menerapkan apa yang dialaminya dan dipelajarinya tentang hubungan aktivitas manusia dengan ekosistem. Kecerdasan ekologis menempa manusia menata emosi, pikiran dan tindakannya dalam menyikapi jagat raya. Kecer-dasan ekologis dituangkan dalam bentuk sikap dan perilaku nyata yang mempertimbangkan kapasitas ekologis, dan melahirkan sikap setia kawan manusia dengan alam. Alam semesta bukan hanya sumber eksploatasi tetapi sebagai rumah hidup bersama yang terus dilindungi, dirawat, ditata dan bukan dihancurkan.

Di dalam kehidupan manusia bermasyarakat telah tumbuh tradisi yang diwarisi secara turun temurun, misalnya kerja bakti tiap minggu.Tradisi, kebiasaan atau perilaku tumbuh dan

6

Jung, C.G. 2010. Ecological Intelligence, (tersedia dalam http://jungianwork.worpress.com/ 20110/02/10on-alchemy-c-g-jung-and-ecological-intelligence.


(3)

berkembang sesuai dengan kedekatan manusia dengan alam sekitarnya dan tantangan yang dihadapinya. Ini merupakan kearifan lokal yang mewarnai kehidupan masyarakat. Kearifan lokal (local wisdom) dipandang sebagai tindakan dan sikap manusia terhadap sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Substansi kearifan lokal adalah berlakunya nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh suatu masyarakat dan mewarnai perilaku hidup masyarakat tersebut. Tindakan nyata, sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan yang mengandung nilai-nilai pelestarian ekosistem adalah bagian dari kecerdasan ekologis suatu masyarakat.

Pendidikan Lingkungan Hidup

Sejak tahun 1984 pemerintah telah menggalakkan pendidikan lingkungan hidup yang terintegrasi dalam hampir semua mata pelajaran disekolah.7 Konsen pemerintah terhadap pendidikan lingkungan hidup telah menjadi prioritas sejak awal, hingga terbit nya UU No 32 Th. 2009 menegaskan pentingnya pendidikan lingkungan hidup sejak dini.

NAAEE (2001) menyatakan bahwa Pendidikan lingkungan adalah proses yang komprehensif untuk menolong manusia memahami lingkungannya dan isu yang terkait.8 Dengan begitu manusia dapat paham dan memahami keadaan yang terjadi.

Lieberman (1998) negaskan bahwa pendidikan lingkungan memiliki strategi sbb; 1) memberikan pengalaman belajar hands-on melalui kegiatan berbasis proyek, 2) mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan apresiasi terhadap lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan dapat dilaksanakan di luar kelas.9

Upaya pendidikan lingkungan hidup tak lain untuk mengatsai problem lingkungan agar tidak semakin akut. Dengan begitu langkah strategis haru ditempuh melalui proses pendidikan berwawasan lingkungan.10 Pendidikan asebagai tempat yang paling efektif dengan menginternalisasi dan men-transformasi keyakinan, nilai, pengetahun dan keterampilan. Menurut andrias harefa, Pendidikan harus mampu merubah setiap jengkel dimenesi kehidupan seseorang. Proses pembelajran sudah semesstinya memantu masyarakat pembelajar untuk

7Risda Amini dan A. Munandar, “Pengaruh Model Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Berbasis Outdoor

Terhadap Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan Bagi Calon Guru Sekolah Dasar” Jurnal Penelitian

Pendidikan, 2010, Vol. 11, No. 1 Hal. 14 8

Risda Hal 15 9

Risda hal 15

10 Maghfur ahmad, “Pendidikan Lingkungan Hidup Dan Masa Depan Ekologi Manusia”


(4)

mengemangkan potensi intelektualitasnya.11

Kita semua memang menginginkan keadaan lingkungan yang lestari, yaitu kondisi lingkungan yang secara terus menerus dapat menjamin kesejahteraan hidup manusia dan juga mahluk hidup lainnya. Untuk memelihara kelestarian lingkungan ini setiap pengelolaan harus dilakukan secara bijaksana.

Pengelolaan yang bijaksana menuntut adanya pengetahuan yang cukup tentang lingkungan dan akibat yang dapat timbul karena gangguan manusia. Pengelolaan yang bijaksana juga menuntut kesadaran akan tanggung jawab manusia terhadap kelangsungan generasi mendatang. Pengetahuan dan kesadaran akan pengelolaan lingkungan ini dapat diperoleh melalui pendidikan dan sejenisnya.

Apalagi jika diperhatikan di Perancis pendidikan berbasis lingkungan (ekopedagodi) ini telah dikembangkan sejak awal tahun 60-an. Menurut tim MKU PLH ekopedagogi adalah12 :

1. Alam jangan dipandang sebagai lingkungan hidup (environment) semata tetapi sebagai ruang pemberi dan pemakna kehidupan (lebenstraum).

2. Pendidikan yang dapat mengubah paragidma ilmu dan bersifat mekanistik, reduksionis, parsial dan bebas nilai menjadi ekologis, holistik dan terikat nilai sehingga dapat tumbuh kearifan (wisdom), misalnya dengan: membangun watak dan menghargai hak hidup mahluk hidup lainnya.

3. Pendidikan lebih menekankan pendekatan biosentrisme dan ekosentrisme, bukan lagi antroposentrisme.

4. Pendidikan untuk mengenali alam, sehingga tumbuh rasa cinta atau respek terhadap alam beserta isinya.

C. Kesimpulan

Pertumbuhan pariwisata di Indonesia berdampak besar terhadap percepatan pembangunan di daerah. Termasuk dengan kabupaten Lampung Timur yang mencangkan sebagai pesona pariwista Lampung. Kesungguhan ini terlihat muncul dengan diperkuat kebijakan rencana

11 Maghfur ahmad, “pendidikan lingkungan hidup dan masa depan ekologi manusia”

forum tarbiyah, 2010, vol. 8 No. 1 hal. 59

12


(5)

strategis Lampung Timur, UU No. 4 tahun 2016 tentang rencana induk jangka panjang 2016-2030 yang konsen terhadap pengembangan pariwisata. Selain itu, beberapa daerah di Lampung Timur bersemangat menggagas wisata lokal berbasis masyarakat. Sumur Tujuh, ekowisata lokal yang berada di Sukaraja Tiga Kecamatan Marga Tiga.

Dengan adanya percepatan pembangunan, perlu ditinjau kembali hubungan manusia terhadap alam. Pembangunan tanpa memperhatikan kondisi alam sama saja memperkosa alam. Dengan begitu perlu adanya 2 hal penting yang membekali sinergitas wisata tersebut dengan kondisi social sekitar.

Pertama, Menumbuhkan Kecerdasasan Ekologis didalam Masyarakat yang

menginternalisasikan tidakan nyata, sikap dan perilaku manusia terhadap lingkungan yang mengandung nilai-nilai pelestarian ekosistem. Sehingga program-program yang ditawarkan dalam pariwisata tersebut tidak lepas dari perusakan lingkungan.

Kedua, selaras dengan kecerdasan ekologis di dalam masyarakat, perlu adanya tindak lanjut dengan pendidikan lingkungan hidup disekitar wisata. Dengan adanya kontinuitas pendidikan tersebut diharapkan mampu membangun kesadara warga pentingya menjaga lingkungan selayaknya menjaga kehidupan masing-masing.

Tentu, makalah ini tidak sepenuhnya sempurna seperti yang diharapkan. Keberlanjutan riset yang mendalam akan membantu dalam kesempurnaan topik-topik makalah tersebut.

Daftar Pustaka

Ahmad, Maghfur, Pendidikan Lingkungan Hidup Dan Masa Depan Ekologi Manusia Forum Tarbiyah, 2010, vol. 8 No. 1.

Amini, Risda dan A. Munandar, Pengaruh Model Pembelajaran Pendidikan Lingkungan Berbasis Outdoor Terhadap Penguasaan Konsep Pendidikan Lingkungan Bagi Calon Guru Sekolah Dasar, Jurnal Penelitian Pendidikan, 2010, Vol. 11, No. 1.

Fandeli, Ch., Pengertian dan Kerangka Dasar Kepariwisataan Pengertian dan Kerangka

Dasar Kepariwisataan, dalam Dasar-dasar Manajemen Kepari-wisataan Alam, (Editor:

Ch. Fandeli), Yogyakarta: Liberty. 1995.

Jung, C.G. 2010. Ecological Intelligence, (tersedia dalam http://jungianwork.worpress.com/ 20110/02/10on-alchemy-c-g-jung-and-ecological-intelligence.

Revelle, 2006. (tersedia dalam http://www.sagaonline.com/index.php?sg=full&id=137) Soebagyo, Strategi Pengembangan Pariwisata Indonesia, Jurnal Lingquidity, Jakarta Selatan:


(6)

2012, vol.1 No.2.

Spilane, J.J., Pariwisata Indonesia, Sejarah dan Prospeknya, Yogyakarta: Kanisius, 1987. Tim MKU PLH, Pendidikan Lingkungan Hidup, Semarang; UNS, 2014.

Utina, Ramli, Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo, Prosiding Konferensi dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia ke 21 pada 13-15 September 2012 di Mataram.