20
2. Bagian Kedua Pidato Renan
Selanjutnya, pada bagian yang kedua dari pidato itu,
11
Renan lebih spesifik menanggapi pandangan  kaum  politisi  pada  masanya,  tentang  bagaimana  proses  terbentuknya  suatu  bangsa
modern. Renan menulis:
Menurut kaum politisi yang kami maksudkan itu, penggabungan propinsi-propinsi yang  dilaksanakan  oleh  suatu  dinasti,  dengan  perang-perangnya,  dengan
perkawinannya,  dan  dengan  perjanjian-perjanjiannya,  berakhir  dengan  dinasti yang  membentuknya.  Sehingga  dapat  dipastikan  bahwa  sebagian  besar  bangsa-
bangsa  modern  dibangun  oleh  keluarga  yang  feodal,  yang  telah  membuat
perjanjian  “perkawinan”  dengan  bumi  dan  seolah-olah  merupakan  suatu  pusat sentralisasi.
12
Akan  tetapi  menurut  Renan,  dalam  hal  ini  telah  terjadi  perubahan  pada  abad  ke-18. Menurutnya,  harus  diakui  bahwa  sebuah  bangsa  dapat  hidup  tanpa  memiliki  asas  dinastik,
bahkan bangsa-bangsa yang dibentuk oleh dinasti sekalipun dapat menceraikan diri dari dinasti, dan mampu bertahan hidup  setelah itu.  Bagi Renan,  asas-asas kuno  yang  hanya mementingkan
hak  raja-raja  tidak  mungkin  lagi  dipertahankan,  sebab  selain  dari  hak  dinastik,  ada  pula  hak kebangsaan  nasional.  Sehubungan  dengan  hal  ini,  timbul  pertanyaan  mendasar  yang  Renan
ajukan, yakni: tentang hak kebangsaan itu, atas kriterium apakah ia harus didasarkan? Untuk  menjawab  pertanyaan  ini,  maka  Renan  kemudian  mengemukakan  beberapa  asas
sebagai  pokok  rujukan  sekiranya  hal  itu  dimungkinkan,  yakni  berturut-turut  terkait  dengan masalah:  a.  ras,  b.  bahasa,  c.  agama,  d.  persekutuan  kepentingan  bersama,  dan  e.  keadaan
alam geografis.
a. Ras
Menurut  Renan,  adalah  suatu  kekeliruan  yang  sangat  besar  dan  bisa  berpengaruh terhadap hancurnya peradaban Eropa, apabila orang membuat sejenis hak asasi primordial yang
11
Ibid., 21-50.
12
Ibid., 21.
21
tidak berbeda dari hak ketuhanan droit divin raja-raja. Dalam hal ini, yang ia maksudkan ialah jika  asas  kebangsaan  diganti  dengan  asas  etnografi.  Kendatipun  begitu,  harus  diakui  bahwa
dalam kehidupan suku dan negara-negara kuno, “ras” mempunyai arti yang paling penting, sebab
kehidupan suku dan suatu negara kota, adalah suatu perluasan dari keluarga. Namun  bagi  Renan,  pertimbangan-pertimbangan  etnografis  sama  sekali  tidak  berarti
dalam kepentingan pembentukan bangsa-bangsa modern. Ia melihat bahwa sebetulnya tidak ada lagi  ras  yang  murni,  sehingga  tampaknya  percuma  jika  mendasarkan  politik  di  atas  analisis
etnografis. Malahan menurutnya, negeri-negeri yang paling terkemuka semisal: Inggris, Prancis, dan Italia, sebetulnya merupakan negeri-negeri yang telah mempunyai banyak campuran darah.
Sebagai  seorang  ahli  sejarah,  istilah “ras” menurut Renan adalah suatu hal yang terjadi
dengan  sendirinya  dan  juga  lenyap  dengan  sendirinya.  Karena  itu,  penyelidikan-penyelidikan tentang  “ras”  sangat  penting  bagi  para  sarjana  di  bidang  sejarah  manusia.  Namun,  berbagai
penyelidikan itu menurut Renan, tidak berlaku dalam dimensi politik. Ia mengatakan bahwa: Perasaan hati nurani conscience yang bersifat instinktif yang menunjukkan jalan
dalam  usaha  pembentukan  peta  Eropa,  sekali-kali  tidak  mempedulikan  soal  ras itu.  Dan  bangsa-bangsa  di  Eropa  ialah  bangsa-bangsa  yang  pada  asasnya
bercampur darahnya. Jadi kenyataan ras yang mula-mula mahapenting itu, makin lama makin hilang artinya.
Ras di situ sekali-kali bukan berarti segala-galanya . . .
13
b. Bahasa
Bagi  Renan,  ketika  orang  bicara  soal  ras  berarti  juga  harus  bicara  soal  bahasa,  sebab “bahasa” mendorong orang untuk bersatu; tapi bukan berarti memaksa. Namun menurut Renan,
manusia sebetulnya memiliki suatu hal yang lebih tinggi dari bahasa, yakni “kehendak.” Sebuah
negeri  misalnya,  bisa  memiliki  kehendak  untuk  bersatu  sekalipun  dengan  bahasa-bahasa  yang
13
Ibid., 35.
22
berbeda.  Bahasa  juga  diberikan  arti  secara  politik.  Oleh  sebab  itu  menurut  Renan,  hal  ini dikarenakan orang menganggap bahasa sebagai tanda dari ras.
Padahal  menurut  Renan,  adanya  persamaan  bahasa  pada  awalnya  tidak  lantas  berarti adanya  persamaan  ras.  Ia  mencontohkan  tentang  suku-bangsa  Aria  asli  dan  suku-bangsa  Semit
asli, di mana biasanya mereka memiliki budak-budak belian – dari ras yang berbeda – yang juga
berbicara dalam bahasa Aria atau Semit, namun di waktu yang mungkin hampir bersamaan atau pun berlainan, juga sering berbicara dalam bahasa rasnya sendiri.
Karena  itu,  menurut  Renan  bahasa-bahasa  yang  ada  ialah  bentukan-bentukan  historis, yang sebetulnya tidak menerangkan banyak tentang darah manusia yang memakai bahasa-bahasa
itu, dan yang sekali-kali tidak dapat mengikat kemerdekaan manusia. Bahasa-bahasa itu berbeda- beda,  karena  dibuat  dengan  ketajaman  pikiran  yang  begitu  mengagumkan  dari  ilmu  bahasa
berdasarkan  perbandingan,  tetapi  tidak  sesuai  dengan  pembagian  menurut  antropologi.  Oleh karena itu, Renan berpendapat bahwa sebelum manusia dibeda-bedakan menurut bahasa, ras dan
kebudayaan masing-masing, sebetulnya ia telah memiliki apa yang dis ebut sebagai “kebudayaan
manusia.” Sebagaimana yang Renan katakan: Janganlah  kita  mengingkari  dasar  asasi,  bahwa  manusia  adalah  suatu  makhluk
yang mempunyai budi pekerti dan kesusilaan sebelum ia tergolong dalam bahasa ini  dan  itu,  sebelum  ia  menjadi  anggota  ras  ini  dan  itu,  atau  seorang  pengikut
kebudayaan  ini  dan  itu.  Sebelum  adanya  kebudayaan  Prancis,  kebudayaan Jerman, kebudayaan Italia, maka sudah ada kebudayaan manusia. Lihatlah orang-
orang  besar  dari  zaman  Renaissance.  Mereka  bukan  orang  Prancis,  Italia,  atau Jerman.  Mereka  telah  menemui  kembali  hubungan  rohani  dengan  dunia  kuno,
rahasia  pendidikan  sejati  dari  jiwa  manusia.  Mereka  membanting  tulang  dan memeras pikirannya untuk itu. Betapa benarlah mereka itu
14
14
Ibid., 42-43.
23
c. Agama