Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) T2 752010013 BAB II

(1)

12

BAB II

GEREJA, FEMINISME, JENDER DAN TEORI KEPEMIMPINAN

Dewasa ini, aktifitas dan fungsi perempuan di dalam gereja sering didiskusikan. Diskusi ini seringkali mempertanyakan: apakah aktifitas, fungsi dan peranan perempuan di dalam gereja itu harus atau tidak harus dijalankan dan bagaimanakah hubungannya dalam pelaksanaan di tengah gereja: apakah mengambil bagian atau tidak? Jika aktifitas dan fungsi perempuan itu mengambil bagian dalam pelaksanaannya, dimanakah posisi dan peran perempuan dalam nisbah laki-laki dan perempuan di tengah Gereja? Pada bab ini akan dibahas mengenai Gereja, Feminisme, Jender dan Teori Kepemimpinan. Karena pembahasan tentang seputar kepemimpinan begitu luas, penulis membatasinya dan hanya membahas tentang Kepemimpinan yang melayani.

A. Gereja

1. Pengertian Gereja

Kata gereja berasal dari kata Portugis igreja yang berkaitan dengan kata iglesia (Spayol) serta ecclesia (Latin) sampai ke ekklesia (Yunani). Kata ekklesia (Yunani) sendiri berarti sidang, perkumpulan, perhimpunan, paguyuban pada umumnya (seperti di kampung, di kota atau negara). 20


(2)

13

Pengertian gereja digambarkan secara simbolik, mistis dan figuratif oleh rasul Paulus. Menurut Paulus,21 gereja adalah tubuh Kristus dimana setiap orang percaya adalah anggota tubuh, sementara Kristus sendiri adalah kepala tubuh ((1 Korintus 12:12-27, Efesus 4:15, Kolose 1:18). Dengan demikian, masih menurut Paulus, gereja sebagai persekutuan orang percaya adalah keluarga Allah – familia Dei, yang dibangun di atas pengorbanan Kristus, sehingga di atas dasar itu pula gereja bertumbuh, rapih tersusun di dalam Roh (Efesus 2: 2 1– 22 band. 1 Korintus 3:1).22 Itu berarti pengertian dan pemahaman tentang gereja (eklesiologi) tidak lepas dari pemahaman kristologi dan pneumatologi yang pada akhirnya bertujuan untuk keselamatan manusia (soteorologi).

Pengertian gereja juga dikemukakan oleh Berkhof. Menurutnya gereja berarti

je aat a g dipa ggil keluar dari du ia untuk menjadi milik Tuhan.23 Gereja ada oleh sebab Yesus memanggil orang menjadi pengiringNya, mereka dipanggil dalam persekutuan dengan Dia. Jadi wujud gereja ialah pertama-tama, persekutuan dengan Kristus. Akan tetapi persekutuan dengan Kristus selalu berarti pula persekutuan dengan manusia lain. Persekutuan itu dapat dirasakan dalam Perjamuan Kudus, karena di sanalah jemaat dapat merasakan pertaliannya dengan Kristus dan perhubungannya satu sama lain seerat-eratnya.

21 Jurgen Moltmann, The Church In The Power of The Spirit, London, SCM Press Ltd, 1977, 67. Moltman sepertinya

sepakat dengan Rasul Paulus memahami gereja sebagai tubuh Kristus. Menurut Moltman, Gereja adalah tubuh Kristus, rumah Tuhan, umat Tuhan, persekutuan orang-orang kudus, yang secara langsung mengedepankan pribadi Yesus dan sejarahNya dengan cara bergantung kepada Kristus.

22

Ibid.

23


(3)

14

Selanjutnya, Marthin Luther24 mendefinisikan bahwa Gereja tidak lain dari persekutuan orang-orang percaya dalam Kristus dan ajaranNya. Gereja suci selama Injil diajarkan dan sakramen dengan benar dipergunakan. Dalam hal pelaksanaan Gereja bukanlah dibatasi oleh hukum-hukum dan kemegahan luarbiasa, dalam waktu, tempat dan juga oleh orang-orang. Dalam Gereja diproklamasikan Injil sebagai konstitusi kebenaran Gereja bukan paus dan para bishop. Allah sendirilah yang memerintah dalam Gereja yang menjadi pimpinan, berbicara, bertindak dan yang dimuliakan.

Selanjutnya kata ekklesia yang kemudian menjadi Gereja dipergunakan untuk menamai kelompok orang percaya kepada Kristus tersebut. Kelompok tersebut adalah semua orang yang dibaptis, apakah Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan karena semua adalah satu di dalam Kristus Yesus (Galatia 3: 28).

Dalam pemahaman Spong pernyataan Paulus dalam Galatia 3:28 tersebut menetapkan revolusi bahasa (gereja Galatia dan Gereja-gereja lainnya), bahwa di dalam Yesus tidak ada laki-laki atau tidak ada perempuan. Hal ini berarti (hubungan laki-laki dan perempuan) tidak ada superirotas dan inferioritas.25 Spong menambahkan bahwa Paulus memberikan ledakan yang kuat bagi realitas dunia yang baru dengan pengalaman bersama Yesus. Paulus mengusulkan pengalaman bersama Yesus adalah visi, realitas bahwa pemulihan kekuasaan anti-perempuan dengan cara menghancurkannya.26 Itu berarti relasi bersama Yesus melahirkan kemanusiaan baru bahwa setiap aturan kuno

24 William A. Mueller, Church and State in Luther and Calvin, Nashville, Broadman Press, 1954, 6. 25

John Shelby Spong, The Sin of Scripture, San Franscisco, HarperSan Franscisco, 2006, 103.

26


(4)

15

dan juga penghalang ajaran agama kuno sedang disisihkan. Sesesuatu yang baru telah lahir, kesadaran baru sedang dibentuk.

Di samping pengertian gereja sebagai persekutuan (fungsi komunitas: sebagai suatu keluarga dimana anggota-anggotanya terikat seperti saudara – pendeta berfungsi sebagai bapak dari keluarga besar yang mewakili Yesus Kristus yang menjadi kepala Gereja), gereja juga dianggap sebagai sebuah lembaga. Hal ini dinyatakan Marthin Luther bahwa gereja sebagai suatu yang lahir dan tercipta oleh Firman Allah. Keseluruhan hidup dan aspek-aspek alamiah Gereja berada pada firman Allah. Orang-orang percaya yang mendengar dan mengalami Firman Allah adalah disebut Gereja.27

Menurut Martin Luther, hanya ada dua elemen yang memberi definisi kepada Gereja yaitu jemaat orang-orang percaya (domba yang mendengar) dan Firman Tuhan (suara dari gembala mereka).28 Dengan kata lain Luther tetap memelihara bahwa Gereja adalah suatu institusi (tidak dipelihara dan dibangun manusia dan tradisi-tradisi tetapi oleh Injil).

Meskipun Martin Luther melihat gereja sebagai suatu institusi yang tidak dipelihara dan dibangun oleh manusia dan tradisi, namun tidak dapat disangkal bahwa gereja juga adalah sebuah institusi. Menurut Anne Hommes29 bahwa Gereja berfungsi sebagai lembaga dalam masyarakat yaitu suatu organisasi, di dalamnya ada peraturan, serta nilai kebudayaan yang sudah diinstitusionalisasikan atau sudah dilembagakan. Lembaga Gereja berarti himpunan dari sistem kepercayaan, iman dan perikelakuan yang

27 Heinrich Bornkam, Luther s Worls of Thought, St. Louis, Concordia Publishing House, 1958, 137. 28

Walter Altmann, A Luther and Liberation, Minneapolis, Fortress Press, 1987, 60-61.


(5)

16

berhubungan dengan hal yang bersifat kudus yang telah diatur melalui suatu organsisasi hirarkhis. Akibatnya gereja bersifat stabil atau konservatif dan sangat jarang menantang struktur masyarakat sehingga Gereja yang pada hakikatnya berfungsi sebagai stabilisator dalam masyarakat, tidak dapat mempertahankan nilai-nilai, norma-norma yang berlaku berdasarkan Alkitab.

Berbicara lembaga gereja berarti berbicara mengenai tata gereja. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan. Dalam tata Gereja HKBP, kepemimpinan dan pemeliharaannya dilakukan melalui tiga macam jabatan yaitu pendeta, guru jemaat, bibelvrouw, diakones, evangelis dan penatua. Keenamnya bersama-sama dalam suatu badan yang disebut dengan Majelis Gereja. Merekalah yang memiliki otoritas dalam pemerintahan Gereja memberikan jalur serta wadah kegiatan-kegiatan Gereja dan tanggungjawab anggota jemaat dibatasi pada keterlibatan saja. Menjadi pertanyaan siapa yang memegang jabatan Majelis ini? Ternyata ada ketidakseimbangan dalam memainkan otoritas di dalam Gereja. Meskipun kaum perempuan merupakan mayoritas dalam jemaat, persentase pejabat perempuan sangat kecil.

Dalam penjelasan lebih lanjut Anna Hommes mengutip pandangan Ferdinand Tonnies, seorang ahli sosiologi, melihat perbedaan Gereja sebagai lembaga dengan gereja sebagai persekutuan. Menurutnya, Gereja sebagai lembaga disebutkan sebagai

Gesellschaft dan sebagai keluarga/persekutuan, Gemeinschaft.30

a. Gesellschaft memiliki ciri-ciri bahwa ikatan lahir dimana anggota-anggota bertalian dengan kontrak (sidi dalam Gereja). Gesellschaft terbentuk sebagai

30


(6)

17

suatu organisasi, suatu mesin dengan macam-macam onderdil, dimana peranan, fungsi serta prestasi lebih penting daripada orang yang

melaksanakannya, baik laki-laki atau perempuan. Demikian juga dengan organisasi Gereja, tidak perduli namanya pak A atau ibu B, yang dibutuhkan adalah kecakapannya.

Jadi sangat jelas, kalau mau menduduki jabatan-jabatan Gereja, mereka (laki-laki atau perempuan) harus mampu memenuhi syarat tugas tersebut dengan keahlian tertentu.

b. Gemeinschaft terbentuk sebagai organ tubuh, bukan sesuatu yang mekanis tetapi hidup. Ciri-cirinya adalah ikatan batin di mana anggota-anggota bertalian secara intim dengan rasa cinta. Hubungan timbal balik diantara anggota-anggota tubuh lebih penting daripada hasil karya mereka. Tentunya organ tubuh ini mempunyai kepala yang dalam sistem patriarkhat adalah seorang laki-laki. Dalam organ yang hidup kepala tetap kepala dan tidak dapat diganti dengan jantung. Dengan kata lain, bapak tetap kepala dan ibu tetap hati dari tubuh atau keluarga Gereja. Hal ini tentunya berbeda dengan model Gereja sebagai lembaga dimana onderdil-onderdilnya dapat diganti, dalam arti baik laki-laki ataupun perempuan dapat berfungsi sebagai onderdil bermutu.

Seiring dengan itu juga Gereja berfungsi sebagai sosialisasi bahwa baik dalam keluarga maupun dalam Gereja, anak belajar nilai serta norma bukan dari banyaknya nasehat yang


(7)

18

diterima dari orangtuanya atau guru sekolah minggu, tetapi dari teladan yang diberikan melalui sikap dan tingkah laku mereka.

Dengan demikian sikap dan tingkah laku religius orangtua dan kisah-kisah Alkitab yang menyampaikan dasar iman Kristen serta peraturan yang berlaku. Dari keduanya dapat dilihat bahwa pembagian kerja menurut jenis kelamin tidak hanya di rumah tetapi juga dalam Gereja.31 Dapat dikatakan betapa kehidupan bergereja dan juga kisah-kisah Alkitab dapat memengaruhi sosialisasi dalam masyarakat.

Dengan berbagai uraian definisi gereja (baik sebagai persekutuan maupun sebagai lembaga) melahirkan berbagai kesadaran yang baru dalam hidup menggereja. Hal ini telah menghantam pemahaman Gereja yang sudah berkembang cukup lama. Kesadaran akan relasi antara laki-laki dan perempuan diawali dengan permulaan hubungan dalam Alkitab sebagaimana ditemukan di dalam:

1.1. Perjanjian Lama (PL)

Dalam cerita penciptaan menurut Kejadian 1 dan 2 terutama dalam penciptaan laki-laki dan perempuan ditemukan cara yang berbeda.

a. Manusia sebagai Gambar Allah Kejadian 1

Dalam Kejadian 1: 26 dinyatakan Baiklah Kita e jadika a usia e urut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan segala

i ata g elata a g era ap di u i. Per ataa i i se ara ti a-tiba membuat perbedaan antara manusia dan ciptaan lainnya. Manusia telah

31 Anne Hommes, Perubahan Peran Pria ..., 126.


(8)

19

diciptakan dari sebuah keputusan khusus dari Pencipta – mari Kita membuat manusia – diciptakan dengan relasi khusus dengan Tuhan – dalam gambar Kita dan rupa Kita – dan telah memberikan tugas khusus – membiarkan mereka berkuasa.

A at a g erupaka kesi pula dari situasi: lalu Tuha e iptaka

manusia dalam gambarNya, dalam gambar Tuhan, Dia ciptakan dia, laki-laki dan

pere pua Dia iptaka ereka . Kejadia telah e eritahu kita per edaa

antara seksual telah ada lebih awal, diwariskan dalam ide manusia, penciptaan umat manusia sebagai laki-laki dan perempuan merupakan bagian integral dari keputusan Tuhan menciptakan manusia.

Manusia sebagai gambar Allah dipahami pertama, ketika gambar dilihat dalam umat manusia secara keseluruhan, itu berarti totalitas manusia dibutuhkan untuk mengungkapkan gambar Allah tersebut. Gambar Allah hanya dapat dilihat secara bersama dalam laki-laki dan perempuan dan setiap relasi diantara keduanya.32

Menurut Mary J Evans,33 ada dua keputusan komplementer dapat digambarkan, pertama bahwa ide manusia ditemukan penuh makna tidak hanya dalam laki-laki sendiri, tetapi dalam laki-laki dan perempuan. Kedua, kepribadian manusia harus diekpresikan juga dalam bentuk laki-laki atau perempuan. Seorang manusia dalam bentuk laki-laki atau bentuk perempuan.

32 Mary J. Evans, Women in the Bible, Illinois, Intervarsity Press, 1984, 12. 33


(9)

20

Dengan demikian tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam penciptaan mereka sebagai gambar Tuhan juga untuk berkuasa atas seluruh bumi. Tidak ada petunjuk subordinasi satu jenis kelamin kepada yang lain dapat ditemukan dalam cerita penciptaan tersebut.

Selanjutnya dalam ayat 28 sama sekali tidak mengecualikan atau membatasi bagian perempuan sebagai manusia. Umat manusia adalah secara tiba-tiba diciptakan sebagai dua jenis kelamin dan dipercayakan sebagai tuan yang bebas atas ciptaan yang lainnya. Hal itu menempatkan bahwa tanggungjawab ada pada pundak keduanya laki-laki dan perempuan.

Dapat disimpulkan Kejadian 1 memberikan informasi kepada kita, tidak ada alasan memikirkan bahwa perempuan berpartisipasi dalam gambar Allah dengan cara yang berbeda dari laki-laki.

b. Manusia sebagai gambar Allah dalam Kejadian 2

Ada 4 pendapat yang digunakan untuk menyatakan bahwa Kejadian 2 mengajarkan subordinasi perempuan oleh laki-laki dan juga dominasi laki-laki terhadap perempuan sebagaimana dalam tata cara penciptaan yaitu:34

a. Perempuan diciptakan setelah laki-laki, oleh karena itu orang kedua kepada laki-laki.

Jika tenggang waktu dalam penciptaan menjadi superioritas sehingga siapa yang diciptakan terlebih dulu menjadi superior, ini berarti bahwa binatang lebih berkuasa atas manusia dalam Kejadian 1 sehingga dalam Kejadian 2


(10)

21

laki-laki adalah lebih berkuasa kepada perempuan. Tidak ada indikasi dalam Kejadian 2 waktu adalah prioritas, melainkan lebih cocok dengan lingkaran berpikir Ibrani, di mana pusat perhatian tiap unit kelihatan dari awal dan akhir. Dengan demikian dua mahluk dilihat sebagai paralel, urutan tidak meremehkan yang satu.35

b. Perempuan diambil dari laki, oleh karena itu orang kedua kepada laki-laki.

Laki-laki dengan sendirinya adalah manusia utuh, perempuan yang diambil dari rusuk laki sehingga semua eksistensi perempuan untuk laki-laki, perempuan yang ditambahkan kepada laki-laki-laki, yang tidak memberi arti bagi alam laki-laki. Bagaimanapun, bagian dari fakta ini, dapat dilihat sebagai indikasi bahwa tanpa perempuan laki-laki sendiri tidak lengkap, penekanan seluruhnya dalam ayat-ayat selanjutnya dalam Kejadian 2 bukan pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetapi pada keterkaitan mereka. Titik penekanan bahwa seluruh umat manusia berasal dari satu pencipta yang menetapkan keduanya menjadi kesatuan kemanusiaan mutlak, dan substansi asli keduanya, laki-laki dan perempuan.

Perempuan yang diciptakan dari rusuk laki-laki, tetapi penting untuk dicatat bahwa hal itu adalah tindakan kreatif langsung dari Tuhan dalam membangun tulang rusuk untuk memberi perempuan itu keberadaannya. Seperti laki-laki, perempuan berutang hidupnya semata-mata kepada Tuhan.

35


(11)

22

Bagi keduanya, laki-laki dan perempuan, keaslian hidup mereka adalah misteri ilahi.36

Jadi dapat dikatakan bahwa hal itu bukan argumen yang kuat untuk subordinasi. Adalah salah mengatakan bahwa perempuan berutang seluruh eksistensinya kepada laki-laki, sama halnya akan menjadi salah juga mengatakan bahwa laki-laki berutang seluruh eksistensinya kepada debu dan karena itu bawahan untuk itu. Keduanya laki-laki dan perempuan digambarkan ciptaan langsung oleh tindakan dan tujuan dari Pencipta. c. Perempuan diberi nama oleh laki-laki, oleh karena itu bawahan laki-laki.

Penamaan perempuan dalam Perjanjian Lama menyiratkan kekuasaan dengan penerapan berkuasa atasnya. Kata perempuan tidak pernah digunakan sebagai nama diri, itu hanya kata benda umum yang menunjuk jenis kelamin. Hal itu sama saja ketika binatang-binatang dibawa kepada Adam untuk diberi nama (Kejadian 2: 19).

d. Pere pua di iptaka e jadi pe olo g agi laki-laki dengan demikian bawahan bagi laki-laki.

Kata penolong bisa diartikan menunjukkan keunggulan dan dia layak serta cocok bagi yang menyertainya. Dapat dikatakan bahwa penggunaan kata penolong itu sendiri tidak dapat dipahami sebagai inferioritas atau subordinasi. Penolong cocok untuk laki-laki adalah rekannya, pelengkapnya, mitranya, temannya, tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya.

36


(12)

23

Tentunya tidak ada dalam Kejadian 2 yang akan mengarahkan kita untuk mengasumsikan bahwa perempuan sebagai gambar Tuhan dalam cara yang berbeda atau lebih rendah dari laki-laki.

Keduanya, Kejadian 1 dan 2 menunjukkan bahwa manusia sebagai keseluruhan terdiri dari dua bagian, laki-laki dan perempuan. Masing-masing dilihat sebagai individu yang komplit, tetapi apa yang ditekankan di sini bukan individualitas mereka atau perbedaan antara mereka, tetapi kesatuan dan kenyataan bahwa mereka tak terpisahkan terikat secara bersama-sama. Mereka lebih mengajarkan bahwa kehidupan manusia dalam setiap bidang dapat sepenuhnya hidup hanya sebagai laki-laki dan perempuan yang bekerjasama.

c. Kejatuhan manusia (Kejadian 3)

Dalam Kejadian 3 kita mempunyai gambar yang sangat jelas dari cara dimana relasi antara laki-laki dan perempuan dininabobokan dosa. Kejadian 3 menunjukkan terganggunya hubungan manusia dengan Penciptanya. Hal ini bukan hanya hubungan seperti itu yang dihancurkan, tetapi lebih menuju kepada kesempurnaan. Laki-laki dan perempuan masih saling melengkapi tetapi tidak lagi sempurna.

1.2. Perjanjian Baru (PB)

a. Dalam Markus 14: 3 – 9 ketika Tuhan Yesus makan di rumah Simon si kusta, ia diurapi oleh seorang perempuan dengan minyak narwastu murni. Perempuan itu mengganggu makan malam tersebut dengan mencurahkan minyak dari atas kepala


(13)

24

sampai ke kaki Tuhan Yesus. Tindakannya itu merupakan kekerasan dalam budaya patriarkhal Yahudi dan setiap norma patriarkal,37 sehingga laki-laki di pesta mengutuk perilakunya. Menurut Markus, hal itu adalah tindakan revolusioner. Ia menggambarkan Tuhan Yesus menegur penyiksanya dan menegaskan haknya untuk hadir, tindakannya dan motivasinya. Menurut Tuhan Yesus, perempuan itu telah melakukan sesuatu yang indah.

b. Cerita tentang Maria dan Marta (Lukas 10: 38 – 42), mengungkapkan Tuhan Yesus dan murid-muridNya diterima di rumah Marta. Marta memiliki saudara perempuan bernama Maria yang duduk dekat kaki Tuhan Yesus dan terus mendengarkan perkataanNya sedang Marta sibuk melayani. Maria menggambarkan perempuan seorang pelajar, murid bahkan murid seorang rabbi. Menurut Spong,38 cukup jelas bahwa peran itu dilarang dalam keseharian dan budaya mereka. Tuhan Yesus menegaskan Maria dalam perannya itu bagaimanapun Marta menolaknya. Bahkan Marta meminta Tuhan Yesus menyuruh Maria meninggalkan peran murid dan menerima peran domestik membantu Marta mempersiapkan makan malam.

Tuhan Yesus mendukung Maria dan membela kesadaran-membangkitkan aksi melalui penetapan bahwa Maria telah memilih sebuah pilihan yang lebih tinggi. Dia menegaskan sebuah ide revolusi, perempuan berpendidikan menjadi terpelajar. c.Pandangan Paulus dalam Galatia 3:28.

37

Letty M. Russel dan J.Shannon Clarkson ed, Dictionary of Feminist Theologies, Kentucky, Westminster Jhon Knox Press, 1996, 205 :Patriarki berarti aturan bapak, mengarah kepada sistim hukum, hubungan ekonomi dan sosial politik yang memvalidasi dan menegakkan kedaulatan laki-laki sebagai kepala dari keluarga yang menguasai semua orang dalam rumah tangga.


(14)

25

Paulus menegaskan bahwa, dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki, atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus. Pernyataan Paulus ini merupakan perlawanan terhadap seluruh pernyataan dalam budaya Yahudi dan Gereja pada masa itu bahwa tidak ada perbedaan dalam Tuhan Yesus sebaliknya kesetaraan.

2. Peran Perempuan dalam Gereja

Pembahasan tentang perempuan dalam Gereja tentulah tidak terlepas dengan peranannya. Peran yang dimaksud di sini bukan saja peran aktif kaum perempuan dalam kegiatan gereja, dalam Penelaahan Alkitab (PA) perempuan, dalam Sekolah Minggu tetapi dalam kepemimpinan dan dalam mengambil keputusan yang berkenan dengan kehidupan dan kegiatan Gereja. Untuk itu, kita perlu menelusuri ajaran Gereja mengenai peran laki-laki dan perempuan. Dalam penelusuran ajaran gereja tersebut - menurut Anne Homes,39 ada tiga sumber pokok yaitu Alkitab, pengaruh Gereja Zending yang telah mengkristenkan daerah tertentu di Indonesia dan kebudayaan setempat.

Alkitab (ditulis dalam latarbelakang bangsa Israel) dipengaruhi oleh sistim patriarkhal yang terdapat dalam agama Yudaisme dan juga pengaruh kebudayaan Yunani, khususnya aliran Gnostik. Dalam PL terdapat tekanan antara dinamika Allah yang membebaskan umatnya dan memandang kaum laki-laki dan perempuan sederajat, tetapi tidak dapat dipungkiri daya tarik sistem patriarkhal yang berbau diskriminasi jenis kelamin sangat kuat. Demikian juga halnya dengan aspek dualisme (aliran filosofis yang


(15)

26

menggambarkan kesuburan perempuan dengan kesuburan alam) yang dimanfaatkan laki-laki untuk kehidupannya.40

Akibatnya Gereja mengalami pertentangan di antara ajaran Kristen (dalam hal ini Alkitab) dan lingkungan Yunani mengasimilasi unsur dualisme dalam teologianya dan menomorduakan kaum perempuan. Pembagian kerja menurut jenis kelamin dalam Gereja berakar dalam sistim patriarkhal maupun dalam pikiran dualisme sehingga enggan menerima perempuan sebagai pemimpin atau pendeta jemaat.41

Pemahaman Gereja sedemikian dibawa bersama para missionaris Gereja-gereja zending ke Indonesia dan mengkristen suku-suku. Struktur dan tata Gereja serta liturgi dan tradisi dari Gereja induk langsung ditanam dalam lapangan misi. Kontekstualisasi masa kini diperhatikan namun pembagian tugas menurut jenis kelamin yang juga diwariskan masih tetap bertahan.

Hal itu terjadi sebab adanya pengaruh yang ketiga yaitu adat istiadat setempat yang juga merupakan daya tarik yang kuat membentuk keadaan Gereja.42 Orang Indonesia dibesarkan dalam tradisi dan kebudayaan sukunya yang mempunyai bahasa dan adat-istiadat yang khas. Kebudayaan masing-masing suku mempengaruhi kedudukan dan peranan perempuan dan laki-laki.

Dalam lingkungan tradisional fungsi utama dari laki-laki mencari nafkah dan perempuan menjadi isteri dan ibu yang memelihara kesejahteraan. Identitas dan ciri kaum perempuan diperoleh dari kaum laki-laki, perempuan menjadi anak orangtuanya,

40

Anne Homes, Perubahan Peran..., 129.

41

Ibid, 130.

42


(16)

27

isteri suaminya, ibu dari anak-anaknya. Karena itu isteri pendeta berfungsi sebagai pendeta kecil yang memimpin komisi perempuan, PA dan paduan suara dan sering diminta berdoa tanpa mempersoalkan bakat dari isteri tersebut.

Tentu menjadi pertanyaan mengapa pengaruh kebudayaan atas Gereja sangat kuat? Ada dua alasan mengapa hal tersebut terjadi menurut Anne Homes43 yaitu: alasan pertama, orang Kristen di Indonesia merupakan generasi pertama, yang telah dewasa yang sudah matang dan terbentuk. Otomatis sikap mereka terhadap peranan perempuan dan laki-laki berakar dalam kebudayaan serta adat dan akar ini sangat dalam dan telah berkarat seiring dengan umur mereka.

Alasan kedua adalah sistim klasifikasi di mana atau denominasi-denominasi ditentukan secara geografis atau sebagai Gereja suku, misalnya GKJ, GKPM, GPKB, HKBP, GKPS dan gereja-gereja suku yang lainnya. Tentunya ikatan adat istiadat dan Gereja kuat. Gereja mencerminkan norma dan nilai masyarakat di sekitarnya. Sebagai contoh dalam adat Batak posisi perempuan dan laki-laki belum sama sehingga mas kawin sering diartikan seolah-olah perempuan dibeli dan menjadi milik marga suaminya. Faktor budaya Batak juga menghalangi seorang perempuan yang ingin diakui sebagai pendeta.44

Di samping itu, kita semua tahu bahwa yang paling banyak dan rajin ke Gereja adalah kaum perempuan dan yang paling aktif melakukan pekerjaan sosial juga kaum perempuan. Akan tetapi kedudukan perempuan dalam kepengurusan atau

43 Anne Homes, Perubahan Peran ..., 131 44


(17)

28

kepemimpinan Gereja sangat minim. Menurut Hetty Siregar,45 hal itu disebabkan Gereja-gereja sudah terbiasa dengan tradisi (bahwa laki-laki sebagai pemimpin) dan juga tidak mengenal tradisi yang lain. Sementara itu kaum perempuan diikutsertakan bilamana diperlukan. Ini berarti penekanan yang lebih bersifat praktis ketimbang prinsip.

Dapat dikatakan bahwa partisipasi perempuan dalam Gereja tidak hanya dihambat oleh rintangan teologis dan budaya tetapi juga praktis. Menurut gambaran stereotipe perempuan bersifat lemah, emosional, kurang logis, tanpa otoritas untuk memimpin. Menurut kodratnya perempuan berperan di rumah, melayani suaminya dan anak-anaknya. Kesibukan dalam rumah tangga membuatnya kurang sempat mengembangkan potensinya di luar alam domestik.

Disamping itu suami dan orang di sekitarnya tidak membiarkannya untuk mengejar pendidikan lanjutan atau suatu profesi. Kalaupun dia melakukan itu akan dipersalahkan mengabaikan kesejahteraan keluarganya. Bahkan orang-orang yang mempekerjakan perempuan menikah mengeluh dirugikan karena masa cuti menstruasi dan hamil. Perempuan yang berkarier, termasuk pendeta perempuan dan pejabat perempuan di kantor sinode dan Gereja sering dinilai lain dan kurang mendapat pujian.46 Contoh Pak S sering bicara dalam rapat dan mengajukan gagasan yang kreatif. Dia dinilai sebagai seorang pemimpin yang baik. Sebaliknya, Ibu D yang juga pandai berbicara, dianggap seorang kasar yang suka menonjol. Dengan penilaian yang penuh prasangka ini

45 Hetty Siregar, Menuju Dunia Baru, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001, 48. 46


(18)

29

mengakibatkan, kaum perempuan mengalami hambatan yang berakar kuat dalam masyarakat dan Gereja.

Situasi itu sangat jelas dipantau oleh Tim Evaluasi Dekade DGD (Dewan Gereja Dunia) pada tahun 1994 bahwa, Gereja ternyata ketinggalan dibandingkan dengan masyarakat luas yang telah banyak memberikan peluang bagi perempuan berkarier bahkan menjadi Presiden. Di Gereja masih saja terdengar kurangnya persamaan persepsi tentang perempuan sebagai mitra Allah.47 Alkitab sebagai dasar Gereja tentunya memiliki andil yang cukup dalam memahami peran perempuan dalam kepemimpinan Gereja sebagaimana dapat dicatat.

Dalam persekutuan Kekeristenan mula-mula, penerimaan kepemimpinan perempuan adalah kehancuran sebuah perubahan dalam peran perempuan dari tradisi Yahudi. Dalam PL peran perempuan sebagai imam ditolak. Perempuan telah diterima sebagai nabi-nabi yang berbicara untuk Allah, dalam peran dasar mereka sebagai ibu (II Raja 22: 14 – 20; Joel 2: 28). Dalam bait Allah dan kemudian di sinagoge perempuan tidak diperbolehkan memimpin ibadah dan mengajarkan Kitab Suci.48

Dalam Perjanjian Baru struktur patriarkhi dipatahkan secara radikal melalui perintah baru kebebasan bagi setiap perempuan yang diterima Yesus sebagai pengikutNya menjadi murid yang setara. Mereka termasuk didalam jemaat mula-mula dan juga menjadi pemimpin-pemimpin lokal dan dalam perjalanan pemberitaan. Pada periode Perjanjian Baru dicatat bahwa ada dua perbedaan kontras yang dikembangkan mengenai peran perempuan. Kolose, Efesus dan surat Pastoral membatasi peran

47

Stephen Sulaiman dan Bendalina Souk, Berikanlah Aku Air Hidup Itu, Jakarta, Persetia, 1995, 49.

48


(19)

30

pengajaran perempuan, ketika di saat yang sama Markus dan Yohanes menempatkan perempuan dalam level setara dengan laki-laki sebagai saksi Kristus (Yohanes 4: 1 – 42; I Timoteus 2:11 – 15).49

Pembicaraan tentang perempuan sebagai imam-imam dalam PB tidak dicatat sebab model pelayanan dan kepemimpinan tidak ada pada masa itu. Keimaman yang rajani diberikan kepada semua anggota, yang hidup melalui anugerah Allah, yang telah menerima baptisan dalam kematian Kristus (I Petrus 2: 9). Baptisan sebagai tanda panggilan Kristus untuk melayani bagi keduanya laki-laki dan perempuan.50

Martin Luther51 berpendapat mengenai hal yang sama bahwa semua orang Kristen tanpa terkecuali benar-benar dan sungguh-sungguh termasuk golongan rohaniawan, dan tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali pekerjaan mereka yang berlainan dan semuanya sungguh-sungguh imam. Pemahaman ini juga peluang bagi perempuan diterima sebagai pemimpin dalam masyarakat dan Gereja, sebab posisi kepemimpinan diberikan kepada semua untuk melayani Allah dan sesama.

3. Kemitraan laki-laki dan perempuan

Kata koinonia (partnership) dan kata yang berhubungan koinonos (partner) dan

koinoneo (berpartisipasi) berasal dari akar kata koinos (bersama). Kata ini sering muncul dalam surat-surat Paulus yang senantiasa berhubungan langsung dengan

49

Letty M. Russel, Church in ..., 61.

50

Ibid.


(20)

31

keberagamaan. Kata itu mengandung arti partisipasi orang-orang percaya dalam Kristus, dalam berkat Kristus, dan dalam persekutuan Kristen.52

Menurut Russel,53 kemitraan dapat berlangsung ketika ada relasi baru dalam sejarah hubungan dengan Yesus Kristus yang membebaskan kita kepada yang lainnya dimana terdapat komitmen berkelanjutan dan perjuangan bersama dalam interaksi dengan konteks komunitas yang lebih luas.

Selanjutnya dijelaskan bahwa kemitraan berkembang dalam pertumbuhan relasi ketergantungan dalam Tuhan, antar pribadi-pribadi, dan dengan ciptaan lain sehingga seluruhnya secara konstan berinteraksi dengan komunitas pribadi-pribadi, struktur sosial, nilai-nilai dan keyakinan yang lebih luas akan saling mendukung dan mengoreksi.54

Lebih lanjut dikemukakan, bagi perempuan Kristen pengalaman kebebasan baru mengarahkan tanggungjawab baru. Roh kebebasan itu membawa serta perempuan untuk bertindak dalam pelayanan dan melayani kepada dunia yang sedang mengerang.55 Itu berarti perempuan dibebaskan untuk melayani kepada yang lain. Intervensi Allah dalam sejarah manusia merupakan pencapaian pesan kemitraan perempuan dan laki-laki sehingga pada gilirannya mereka dapat belajar bagaimana untuk hidup sebagai mitra dengan yang lain.

52F. Hau k, Koi os Theologi al Di tio ary of New Testa e t, Vol. III, Westminster B. Eerdmans Publishing Co,

1964 – 1976, 804 – 809.

53 Letty M. Russel, Growth in Partnership, Philadelphia, The Westminister Press, 1981, 28. 54

Ibid, 29.

55

Letty M. Russel, Human Liberation in a Feminist Perspective a Theology, Philadelphia, The Westminster Press, 1977, 30.


(21)

32

Dengan tegas Russel menjelaskan bahwa melayani (diakonia) adalah bentuk yang penting dalam gereja dan dunia saat ini dikarenakan: 56

a. Pengharapan baru dari kebebasan dan implikasi sosialnya yang telah memengaruhi hati dan pikiran banyak orang.

b. Tuntutan lainnya bahwa mereka menemukan pengalaman kebebasan sendiri dan melepaskan belenggu ketergantungan.

c. Tegak jatuhnya kredibilitas Gereja terletak pada responnya terhadap dunia yang sedang mengerang.

Oleh karena itu ada 3 jenis diakonia yang dapat dilakukan dalam pelayanan Gereja dan dunia yaitu:57

1. Diakonia Kuratif adalah pemulihan luka-luka orang-orang yang menjadi korban kehidupan, menyediakan obat bagi orang sakit, kelaparan dan tunawisma.

2. Diakonia Preventif yang mencoba untuk membatasi perkembangan yang dapat mengakibatkan pembatasan kebebasan penuh kehidupan, bekerja melalui aksi sosial menyediakan pusat training kejuruan, program perlindungan korban narkoba, dll.

3. Diakonia Prospektif yang mencoba untuk membuka situasi untuk realisasi kehidupan masa depan, menolong semua orang yang terbuang dari budaya dominan dan masyarakat untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat dan atau untuk membentuk kembali masyarakat baru.

56

Letty M. Russel, Human Liberation..., 31.

57


(22)

33

Dari uraian di atas dapat disimpulkan Gereja adalah persekutuan orang percaya kepada Yesus Kristus yang dipanggil ke luar untuk memberitakan Kabar Baik bagi semua ciptaan. Kabar Baik yang dimaksud adalah keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan. Namun kenyataannya peran perempuan dalam Gereja menghadapi hambatan karena adanya rintangan yang disebabkan pandangan teologis dan budaya serta hal praktis sebagaimana disebutkan di atas yang mengakar kuat dalam Gereja dan bukan tidak mungkin hal itu juga yang membatasi perempuan sebagai pemimpin Gereja.

Gereja adalah pelaku keadilan sehingga pemahaman-pemahaman yang berkembang tentang posisi perempuan sebagai warga kelas dua, sudah selayaknyalah ditinjau kembali dengan pemahaman bahwa manusia, laki-laki dan perempuan adalah gambar Allah dan di dalam Kristus kita adalah satu.

Kepemimpinan Gereja menjadi tanggungjawab bersama karena semua orang adalah imam sebagaimana dipahami dalam I Petrus 2: 9. Imamat am orang percaya memberikan pemahaman bahwa siapa saja, baik laki-laki atau perempuan memiliki tanggungjawab yang sama karena itulah dia disebut dan boleh menjadi pemimpin. Untuk itulah perempuan dan laki-laki terpanggil secara bersama-sama dan bekerjasama dalam Gereja mewujudkan kesetaraan dan keadilan sehingga keduanya memiliki posisi yang setara.

B. Teori Feminisme dan Jender

1. Feminisme

Kita tahu bahwa orang zaman dahulu menganggap derajat perempuan rendah. Sebagaimana dikutip oleh John Stott, Plato menganggap nasib malang yang menimpa


(23)

34

laki-laki kalau dia berinkarnasi sebagai perempuan. Sedangkan Aristoteles menganggap perempuan se agai je is pria a g tidak le gkap . Ia e uliska eti a adalah ja ta yang tidak sempurna, yang secara tidak sengaja dilahirkan demikian akibat kekurangan

si a ah atau aki at pe garuh jahat a gi selata a g le a .58

Hal yang sama juga ditemukan dalam doa pagi orang Yahudi, seorang pria Yahudi

setiap pagi e gu ap s ukur ahwa Allah tidak e iptaka dia se agai seora g kafir, udak atau seora g wa ita .59

Dalam sejarah doktrin, perempuan selalu disalahkan dan membawa kepada pencobaan dan mengarahkan suku ke dalam dosa asali. Dalam hukum Yahudi seorang perempuan bukan suatu pribadi, melainkan suatu benda. Ia tidak mempunyai suatu hak legalpun, ia milik mutlak suaminya, yang boleh diperlakukannya sesuka hatinya.60 Dalam faktanya perempuan adalah ciptaan kedua, di luar Adam dan hal tersebut dipakai sebagai bukti memperlakukan perempuan dibawah laki-laki. Juga dalam pikiran banyak perempuan tidak hanya berbeda dari laki-laki, perempuan adalah subordinasi bahkan dianggap iblis. 61

Sejarah penindasan terhadap kaum perempuan sudah berlangsung begitu lama dan tersebar merata sehingga terasa bahwa sudah tiba saatnya masyarakat yang didominasi kaum perempuan harus mengoreksi diri. Gerakan feminisme mendapat momentum, khususnya pada tahuan 60-an bertujuan membebaskan baik laki-laki maupun perempuan dari dominasi kaum laki-laki dan mengangkat pandangan serta

58 John Stott, Isu-Isu Global, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1994, 334. 59

Letty M. Russel, Ed, Feminist Interpretation of the Bible, Philadephia, West minster Press, 1973, 22-23.

60

Letty M. Russel, Ed, Feminist..., 35.

61


(24)

35

nilai kaum perempuan ke dalam kesadaran masyarakat agar berkembang suatu hubungan baru berdasarkan kesamaan tingkat.62

Feminisme memperjuangkan suatu cara berpikir yang terbuka dan inklusif. Oleh karena itu feminisme merupakan suatu sikap dan keyakinan yang dapat dianut oleh kaum laki-laki juga. Pada dasarnya teori feminisme tidak bersifat tunggal, namun ada banyak alirannya. Meskipun gerakan feminisme berasal dari analisis dan ideologi yang berbeda tetapi mempunyai kesamaan tujuan yaitu kepedulian memperjuangkan nasib perempuan. Ada tiga aliran feminisme yang disebut dalam bagian ini yaitu:

a. Aliran Feminisme Liberal

Aliran Feminisme Liberal memahami bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas. Mereka tidak memperlihatkan struktur dan sistem sebagai pokok persoalan tetapi dalam penekanan dalam diri perempuan itu sendiri. Oleh karena itu mereka mengusulkan dengan cara mempersiapkan perempuan agar bisa bersaing dalam suatu dunia yang penuh persaingan bebas.63

Teori Feminisme Liberal bermaksud membebaskan perempuan dari penindasan berdasar jenis kelamin. Untuk itu dianjurkan baik laki-laki maupun perempuan mengembangkan sifat androgini, yakni dengan mengembangkan karakter maskulin dan feminim dalam dirinya masing-masing.64 Pemberian hak kepada individu merupakan prioritas tertinggi agar tercipta kesempatan yang lebih adil antara

62 Maria Claire Barth-Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu, Jakarta, BPK-Gunung Mulia, 2003, 9. 63

Mansour Fakih, Analisis Gender, Yogjakarta, Pustaka Pelajar, 2010, 80 -83.

64

Dien Sumiyatiningsih, Ringkasan Disertasi Kepemimpinan Pendidikan dalam Perspektif Jender, Semarang UNS, Program Pasca Sarjana, 2010, 25.


(25)

36

laki dan perempuan. Agenda yang diperjuangkan adalah di bidang pendidikan, politik , kesehatan dan kerja.

b. Aliran Feminisme Radikal

Aliran Feminisme Radikal menganggap penyebab penindasan terhadap perempuan berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkhinya. Peran tubuh dan seksualitas bagi teori ini mempunyai tempat yang sangat penting. Bagi mereka, patriarkhi adalah dasar dari ideologi penindasan yang merupakan sistem hirarkhi seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior atas tubuh pribadi perempuan.65

Dari sini tumbuh sistim patriarkhi (yaitu bapa atau laki-laki) yang berkuasa. Itu berarti berbagai penindasan sistim patriarkhi yang terjadi dalam ruang pribadi/ranah privat, juga merupakan penindasan di bidang publik. Oleh karena itu mereka mengusulkan untuk menuju kepada kesetaraan jender adalah jika ada pengadopsian pemahaman androgini, menolak kontrol atas tubuh, melakukan penyadaran serta edukasi tentang konsep patriarkhi dan dampaknya.66

c. Aliran Feminis Sosialis

Feminisme Sosialis dikenal thn 1970-an, aliran ini memahami bahwa penindasan perempuan terjadi di kelas manapun bahkan revolusi sosialis ternyata tidak serta merta menaikkan posisi perempuan. Feminis Sosialis berpendapat ketidakberhasilan memasukkan perempuan ke dalam masyarakat revolusi di Uni Soviet, Cina dan Kuba

65

Mansour Fakih, Analisis Gender ..., 84-85.

66


(26)

37

membuktikan bahwa revolusi sosialis tidak dengan serta merta membebaskan perempuan.67

Menurut Feminisme Sosialis, ketidakadilan bukan akibat dari perbedaan biologis laki-laki – perempuan tapi lebih karena penilaian dari masyarakat (social construction) terhadap perbedaan itu.68 Itu berarti ketidakadilan juga bukan karena kegiatan produksi atau reproduksi dalam masyarakat melainkan karena manisfestasi ketidakadilan jender yang merupakan konstruksi sosial. Mereka memerangi konstruksi visi dan ideologi masyarakat serta struktur dan sistem yang tidak adil yang dibangun di atas bias jender.

Menurut aliran ini, alienasi perempuan lebih berat karena kehadirannya hanya sekedar sebagai pelengkap orang lain, bahkan dia sendiri telah kehilangan jati dirinya. Oleh karena itu teori ini menyarankan perempuan harus dapat menemukan jati dirinya secara utuh sebab penindasan terhadap kaum perempuan dapat diatasi dengan kekuatan dan posisi ekonomi yang baik dari perempuan itu sendiri.69

Meskipun gerakan feminisme memiliki aliran yang bermacam-macam namun mereka mencoba menggunakan analisis masing-masing yang cocok untuk melihat keadaan yang sedang dihadapi. Di samping itu mereka memiliki tujuan yang sama yaitu adanya kesetaraan dan keadilan antara laki-laki dan perempuan.

67

Mansour Fakih, Analisis Gender ..., 90 - 93

68

Ibid, 92.

69


(27)

38

2. Jender

Ide jender dalam dunia kontemporer Barat dipengaruhi oleh legalitas filsafat klasik Yunani yang lebih mencatat binari atau bentuk dualis karakter bawaan dan relasi manusia. Meskipun secara simbolis dan empiris memberi gambaran representasi jender tradisional.70 Hal itu merupakan fenomena dikotomi, seperti dualisme yang adalah nyata produksi pengkategorian manusia. Jender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh masyarakat secara sosial maupun budaya dalam kaitannya dengan relasi antara laki-laki dan perempuan.71 Misalnya perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.72

Jender adalah seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah maskulin atau feminim.73 Perangkat perilaku khusus yang mencakup pakaian, sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas, tanggungjawab, keluarga, secara bersama-sa a e oles pera je der kita. Pera -peran itu berubah seiring dengan waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Peran itu juga amat dipengaruhi oleh sosial, usia dan latarbelakang etnis.74

Sejarah perbedaan jender antara manusia laki-laki dan perempuan dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran dan keagamaan maupun negara. Jender akan

70

Elaine Graham, Making The Difference, North America, Fortress Press, 1996, 12.

71 Rahayu Relawati, Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender, Bandung, Muara Indah, 2011, 3-5. 72

Mansour Fakih, Analisis Gender..., 7 – 10.

73

Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, 3 – 5.

74


(28)

39

menentukan seksualitas, hubungan dan kemampuan kita untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Jender bisa satu-satunya faktor penting akan membentuk kita jadi apa nantinya.

Perbedaan jender tersebut menimbulkan ketidakadilan jender yang diantaranya adalah :

a. Jender dan marginalisasi perempuan

Marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan atas satu jenis kelamin tertentu dalam hal ini perempuan dan juga pendeta perempuan di Gereja HKBP disebabkan oleh perbedaan jender. Marginalisasi perempuan, karena perbedaan jender dapat bersumber dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsir agama, tradisi atau kebiasaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan.75

Marginalisasi perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat kultur dan bahkan negara. Menurut Mansour Fakih,76 marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan yang diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya dalam pemberian harta warisan yang tidak memberi hak kepada perempuan.

Membatasi atau kurang melibatkan perempuan dalam kepemimpinan di Gereja merupakan perlakuan yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan, telah mengakibatkan penyisihan hak-hak perempuan. Tradisi atau kebiasaan, yang

75

Dwi J Narwoko, – Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Edisi Ketiga, Jakarta, Kencana, 2010, 341.


(29)

40

terdapat dalam budaya Batak telah membuat pembatasan hak kepada perempuan, secara khusus pendeta perempuan sebagai pemimpinan di Gereja HKBP.

b. Jender dan Subordinasi

Disamping itu juga terjadi Subordinasi terhadap perempuan karena adanya dominasi laki-laki terhadap perempuan mengakibatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Juga ada anggapan masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional dalam berpikir sehingga tidak bisa tampil sebagai pemimpin akibatnya perempuan hanya ditempatkan pada posisi yang tidak penting.77 Perempuan adalah subordinasi terhadap laki-laki sebab masyarakat membentuk perempuan sangat dekat kepada ketidakberhargaan dan pengolahan alam. Laki-laki disesuaikan sebagai pemilik alam dan pencipta budaya, dan perempuan diletakkan begitu kuat kepada reproduksi dan ruang publik.78

Ruang reproduksi – dikarakterkan sebagai alam, pribadi, domestik dan profan – disesuaikan dalam berbagai cara adalah esensi dari perempuan. Perempuan subordinasi dari ruang sosial yang disebabkan oleh definisi bahwa perempuan dilekatkan secara otomatis membentuk karakter peran prokreatif.79

Oleh karena itu dalam rumah tangga sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak

77

Narwoko, Dwi, J – Suyanto Bagong, Sosiologi Teks..., 341 – 342.

78

Elaine Graham, Making the Difference, Minneapolis, Fortress Press, 1996, 64.

79


(30)

41

anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama.80 Juga hal itu terjadi berawal dari kesadaran jender yang tidak adil.

c. Jender dan Stereotipe

Stereotipe adalah adanya pelabelan atau penandaan terhadap satu kelompok tertentu yang merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.81 Stereotipe terhadap perempuan ini terjadi dimana-mana. Banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kultur dan kebiasaan masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe tersebut.

Oleh karena itu dalam budaya Batak perempuan dibatasi menempuh pendidikan yang lebih tinggi karena akhirnya dia akan bekerja di dapur mengurus anak dan suaminya. Juga karena alasan bahwa kalau nanti dia berhasil tidak menjadi kebanggaan keluarga dan bukan penerus marga orangtuanya sebab dia akan menikah dan menjadi milik dan penerus marga suaminya.

Disamping itu bahasa sebagai alat komunikasi sangat bias jender. Setiap masyarakat memiliki masalah yang diikuti oleh anggotanya, sebagaimana mereka belajar memainkan peran feminim atau maskulin. Sebab setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri. Sejak lahir sampai dewasa kita meniru, mempelajari dan

80

Mansour Fakih, Analisis..., 16.

81


(31)

42

mempraktekkan cara-cara khusus yang telah dibentuk oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan.82

Sangat jelas sekali bahwa jender dalam masyarakat dan budaya Batak telah membentuk laki-laki dan perempuan dalam perannya ditengah-tengah masyarakat dan Gereja.

d. Jender dan Kekerasan

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan jender. Kekerasan yang disebabkan oleh bias jender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya kekerasan jender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat.83

Jenis dan bentuk kejahatan yang dapat dikategorikan kekekerasan jender, diantaranya:84

Pertama, perkosaan terhadap perempuan termasuk perkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. Ketidakrelaan ini seringkali tidak bisa terekspresikan disebabkan oleh pelbagai faktor, misalnya

82Richards Halloway, ed,

Who Needs Feminism,Lo do , Biddlest Ltd, Guildford a d Ki g s L , ,

138 – 140.

83

Mansour Fakih, Analisis Gender dan..., hl. 17.

84


(32)

43

ketakutan, malu, keterpaksaan yang terjadi dalam baik ekonomi, sosial maupun kultural, tidak ada pilihan lain.

Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse).

Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Berbagai alasan diajukan oleh suatu masyarakat untuk melakukan penyunatan. Namun salah satu alasan terkuat adalah, adanya alasan dan anggapan bias jender di masyarakat, yakni untuk mengontrol kaum perempuan.

Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran, (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. Setiap masyarakat dan negara selalu menggunakan standar ganda terhadap pekerja seksual. Di satu sisi pemerintah melarang dan menangkapi mereka, tetapi di lain pihak negara juga menarik pajak dari mereka. Sementara seorang pelacur dianggap rendah oleh masyarakat, namun tempat pusat kegiataan mereka selalu ramai dikunjungi orang.

Keenam, kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi Keluarga Berencana (enforced sterilization). Keluarga Berencana di banyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap perempuan. Dalam rangka mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut, meskipun persoalannya tidak saja pada perempuan melainkan berasal dari


(33)

44

kaum laki-laki juga. Namun akibat bias jender, perempuan dipaksa sterilisasi yang sering kali membahayakan fisik maupun jiwa mereka.

Ketujuh, adalah jenis kekerasan terselubung (molestation), yaitu memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan atau di tempat umum, seperti dalam bis.

Kedelapan, tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan di masyarakat yakni yang dikenal dengan pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment. Ada banyak bentuk pelecehan dan yang umum terjadi adalah unwanted attention from men. Banyak orang membela bahwa pelecehan seksual itu sangat relatif karena sering terjadi tindakan itu merupakan usaha untuk bersahabat. Tetapi sesungguhnya pelecehan seksual bukanlah usaha untuk bersahabat, karena tindakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan bagi perempuan.

Ada beberapa bentuk yang dapat dikategorikan pelecehan seksual. Di antaranya: 1. Menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang

dirasakan sangat ofensif.

2. Menyakiti atau membuat malu seseorang dengan omongan kotor.

3. Mengintrogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya.

4. Meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan kerja atau untuk mendapatkan promosi atau janji-janji lain.


(34)

45

5. Menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seizin dari yang bersangkutan.

e. Jender dan Beban Kerja

Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggungjawab kaum perempuan. Konsekwensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari menyapu dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebih-lebih jika si perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda.85

Hal itu terjadi karena bias jender yang mengakibatkan beban kerja tersebut seringkali diperkuat dan disebabkan adanya pandangan atau keyakinan dalam

as arakat ahwa pekerjaa itu se agai je is pekerjaa pere pua . “eperti

semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dibandingkan dengan pekerjaa a g dia ggap se agai pekerjaa laki-laki serta dikategorikan sebagai

uka produktif sehi gga tidak diperhitu gka dala statistik eko o i Negara.86 Akibatnya karena anggapan jender ini sejak dini perempuan telah diasosiasikan untuk menekuni peran jender mereka. Di lain pihak kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik. Kesemua ini

85 Mansour, Fakih, Analisis Gender dan..., 18-20 86


(35)

46

telah memperkuat pelanggengan secara kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan.

Dalam golongan kelas menengah dan kaya beban kerja itu kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic workers) yang konon adalah perempuan juga. Sesungguhnya mereka telah menjadi korban dari bias jender di masyarakat. Mereka bekerja lebih lama dan berat, tanpa perlindungan dan kejelasan kebijaksanaan negara. Disamping itu belum adanya kemauan politik untuk melindungi mereka, hubungan feodalistik dan seringkali bersifat perbudakan tersebut memang belum dapat dilihat secara transparan oleh masyarakat luas.

Istilah jender berguna karena istilah itu mencakup peran sosial kaum perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan sangat penting dalam menentukan posisi keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan yang bisa berlangsung antara perempuan dan laki-laki akan merupakan konsekuensi dari pendefinisian perilaku jender yang semestinya oleh masyarakat.87

Menurut Julia Cleves Mosse,88 pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dalam masyarakat tertentu ditetapkan oleh kelas, jender dan suku. Tetapi sebagian perempuan juga hidup dalam keluarga dan hubungan jender di dalam keluarga tersebut mewakili aspek yang amat penting tentang cara bagaimana perempuan mengalami dunia. Bisa jadi, pembuatan keputusan, akses terhadap sumber daya, pembagian kerja dan hubungan di luar keluarga, semuanya diputuskan oleh hubungan jender di dalam unit keluarga itu sendiri.

87

Mansour, Fakih, Analisis Gender dan ...,18-20


(36)

47

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketidakadilan jender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, subordinasi, kekerasan, stereotipe dan beban kerja tersebut terjadi dipelbagai tingkatan. Manifestasi ketidakadilan jender mencakup negara, di tempat kerja organisasi maupun dunia pendidikan, dalam adat istiadat masyarakat dan dalam tafsir keagamaan, terlebih-lebih dalam rumah tangga.

Oleh karena manifestasi ketidakadilan jender telah mengakar mulai dari keyakinan di individu, keluarga hingga pada tingkat negara dan Gereja. Pemahaman ini telah memposisikan perempuan sebagai warga kelas dua sehingga hal itu membatasi perempuan dalam berkarya di ranah publik. Peningkatan pemahaman kesetaraan jender perlu ditingkatkatkan untuk mencapai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah domestik dan publik.

C. Teori Kepemimpinan yang Melayani

Istilah kepemimpinan membutuhkan semacam panduan dan penjelasan yang tepat yang mengarahkan sekelompok orang, sekaligus memberikan rasa aman satu dengan yang lain. Akan tetapi, istilah itu tidak dapat diaplikasikan dalam konteks kepemimpinan yang lebih luas terutama dalam gerakan yang hendak terlibat, menerobos, sekaligus mentransformasi budaya

– tugas gereja yang terlibat dalam misi. Dalam bagian ini penulis hanya membahas teori kepemimpinan yang melayani sebagaimana telah dinyatakan Yesus, sang Kepala Gereja.

1. Pengertian Kepemimpinan.

Kita mungkin dapat mendefinisikan kepemimpinan dari sudut pandang tertentu yang berlaku sepanjang waktu dalam kaitannya dengan Gereja tanpa memperhatikan


(37)

48

konteks atau tradisi tertentu. James Kouzes dan Barry Possner89 menekankan, kepemimpinan bukanlah milik pribadi dari beberapa orang yang memiliki kharisma. Kepemimpinan adalah proses yang digunakan oleh orang-orang biasa ketika mereka memberikan apa yang terbaik dari diri mereka dan dari orang lain. Kepemimpinan adalah kapasitas Anda untuk menuntun orang lain ke tempat yang belum mereka (dan Anda) datangi. Sehubungan dengan itu Neuschel90 mendefinisikan, kepemimpinan adalah ketrampilan yang membutuhkan kapasitas, dedikasi dan pengalaman (yang berarti waktu untuk hidup dan belajar). Selanjutnya siapa yang menjalankan tugas sebagai pemimpin dalam situasi tertentu tergantung pada seberapa luas tugas yang dapat ditangani dan ada tidaknya orang yang memiliki kemampuan yang tepat.

Menurut Roach dan Behling91 mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses memengaruhi dan mengorganisir kelompok terhadap pencapaian tujuan-tujuannya. Selanjutnya dikemukakan bahwa kepemimpinan adalah sebuah proses sosial memengaruhi yang dibagikan di antara semua anggota-anggota grup. Oleh karena itu kepemimpinan tidak dibatasi oleh penggunaan pengaruh seseorang dalam posisi atau peran khususnya melainkan juga para pengikutnya adalah bagian dari proses kepemimanan itu juga.

Dalam cakupan yang lebih luas Robert Banks dan Bernice M. Ledbetter92 mendefinisikan, kepemimpinan melibatkan orang, kelompok atau organisasi yang menunjukkan jalan dalam aspek kehidupan-dalam jangka waktu singkat maupun

89

James M. Kouzes dan Barry Z. Possner, The Leadership, 3rd.ed, San Francisco,Jossey Bass, 2002, xxiv.

90 Robert P. Neuschell,

Pemimpin Yang Melayani, Indonesia, PT Macanan Jaya Cemerlang, 2008, 15.

91

Richard L. Hughes, Rober C. Ginnet and Gordon J. Curphy, Leadership Enhancing The Lessons of Experience, Boston, Richard D, Irwin Inc, 1993, 8.

92


(38)

49

panjang dan dengan demikian, akan mempengaruhi bahkan memberdayakan cukup orang untuk membawa perubahan terhadap aspek kehidupan tersebut.

Dengan demikian kepemimpinan adalah sebuah hubungan di mana satu orang mencoba memengaruhi pemikiran-pemikiran, perilaku-perilaku, kepercayaan-kepercayaan atau nilai-nilai orang lain untuk membuat suatu perbedaan dalam kehidupan sekitar mereka.

2. Kepemimpinan yang Melayani

Menurut Haryanto,93 kepemimpinan transformasional dijabarkan sebagai kepemimpinan yang visioner, kharismatik memiliki pengaruh yang positif terhadap kepuasaan kerja dan mempengaruhi perilaku pekerjanya sehari-hari. Kepemimpinan transformasional sering dihubungkan dengan keefektifan kepemimpinan, inovasi dan perbaikan kualitas.

Pemimpin yang transformasional memiliki pengaruh yang meningkatkan kepercayaan bawahan tentang arah dan tujuan dari organisasi yang dapat merubah nilai dari bawahan. Hal itu dapat memotivasi pengikut mengabaikan kepentingan pribadi dan bekerja untuk kepentingan organisasi untuk mencapai hasil yang signifikan. Kepemimpinan transformasional membentuk dan menstimulasi kepentingan motivasi sedemikian rupa sehingga mereka bekerja tanpa pamrih dan mencapai hasil melebihi apa yang diharapkan oleh pemimpin yang dapat menghasilkan perubahan besar. 94

Salah satu dari kepemimpinan tranformasional adalah servant leadership. Dalam mendefinisikan servant leadership, Gree leaf e ulis If one is servant, either leader or

93

Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan Yang Melayani, Salatiga ,Universitas Kristen Satya Wacana, 2004, 5.

94


(39)

50 follower, one is always searching, listening, and expexting that a better wheel for these time is in the making .95 Selanjutnya dikatakan, pemimpin natural adalah orang yang mengerti bahwa dia adalah pelayan terlebih dahulu yang menempatkan kepentingan orang lain sebagai prioritas tertinggi.96

Sehubungan dengan itu Neuschel97 menyebut yang melayani adalah seorang pemimpin dengan pengikut yang ia bantu untuk berkembang dalam reputasi, kemampuan atau dalam sejumlah hal memberi kontribusi untuk membangun mereka menjadi orang yang lebih berguna dan bahagia. Pemimpin yang melayani mengembangan kemampuan para pengikutnya untuk memberi kontribusi bagi organisasi. Pemimpin yang melayani membuat para bawahannya berkembang dalam kemampuan mereka untuk berproduksi.

Dapat dikatakan bahwa kepemimpinan transformasional dan servant leadership, keduanya berfokus pada proses antara pemimpin dan pengikut. Hubungan antara pemimpin dan pengikutnya menekankan proses antara keduanya yaitu visi, pengaruh, kredibilitas, kepercayaan dan pelayanan. Servant leadership muncul dari prinsip yang dianut oleh pemimpin, nilai-nilai dan kepercayaan. Melayani pihak lain berarti pemimpin memfasilitasi bawahannya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pemimpin yang melayani merasa bahwa begitu arahannya jelas, peranannya adalah membantu bawahannya mencapai sasaran.98

Itulah sebabnya pemimpin yang melayani terus menerus mencoba menemukan hal-hal yang diperlukan orang-orang mereka untuk berhasil. Pemimpin yang melayani memiliki rasa

95

Robert K. Greenleaf, Servant Leadership, A journey into the Nature of Legitimate Power & Greatness, New York, Paulist Press, 2002, 23.

96

Ibid, 27.

97 Robert P. Neuschel, Pemimpin yang..., 107.


(40)

51

kemanusian yang tinggi karena dia melayani orang-orang bukan untuk memperoleh lebih banyak dari mereka; melainkan karena ingin meningkatkan harga diri mereka dan kebanggaan orang-orang itu. Hal ini semata-mata bukan hanya melayani untuk mendapatkan hasil, tetapi perilaku untuk melayani adalah hasilnya.

3. Kepemimpinan yang melayani dalam Alkitab

a. Perjanjian Lama

Dalam Alkitab, Perjanjian Lama sudah ada ditulis transformasional leadership atau

servant leadership. Beberapa contoh pemimpin-pemimpin yang ada dalam Alkitab dengan jelas menunjukkan contoh pemimpin yang sukses karena mereka memiliki gaya kepemimpinan transformasional. Salah satunya adalah Abraham yang kemudian disebut Bapa orang percaya. Abraham (Kejadian 12: 1-9) dan Nehemia (Nehemia 2: 1-10) disebut seorang pemimpin yang transformasional karena mereka memiliki ciri-ciri dari kepemimpinan transformasional atau yang menerapkan servant leadership. Adapun ciri-ciri tersebut:

a. Abraham memiliki visi yaitu pikiran yang mengarah ke masa depan

Abraham adalah seorang monoteis (hanya percaya kepada satu orang Tuhan yang disuruh Allah pergi ke suatu tempat yang dia belum ketahui. Visi ini merupakan tongkat maraton dari Abraham ke Ishak ke Yakub dan ke anak-anak Yakub, sehingga mengubah jalan hidup bangsa Israel selama berabad-abad. Abraham tidak hanya mempunyai visi saja tetapi dia mampu mengkomunikan kepada anak cucunya beratus-ratus tahun kemudian.

b. Abraham memiliki keberanian dan kepercayaan


(41)

52

d. Abraham adalah seorang yang rendah hati

e. Abraham memiliki pengaruh terhadap sesamanya manusia f. Abraham berani berbeda dengan orang lain

g. Nehemia adalah pemimpin yang mendelegasikan, membagi dan menaklukkan h. Nehemia menghargai pekerjaan orang lain

i. Nehemia adalah seorang pemimpin yang murah hati.

b. Perjanjian Baru

Dalam Perjanjian Baru juga dapat ditemukan servant leadership ini dicontohkan dan diperintahkan Tuhan Yesus sendiri. Yesus Kristus membasuh kaki murid-muridNya merupakan peletakan simbol dari pekerjaan pelayan. Tuhan Yesus mendeklarasikan,

“a a telah e erika u o toh Yoha es : 15). Tuhan Yesus mengenakan handuk dari seorang hamba, dan kita harus mengenakannya juga. Dia mengatakan,

Tidak ada pela a le ih esar daripada tua a a at , se a pela a a uka

hanya peran yang telah dimainkan Tuhan Yesus dalam dunia, tetapi karakter nyata yang dimilikiNya.99

Tuhan Yesus menentang struktur otoritas abad lama dan membalikkan seluruh isu otoritas menjadi isu pelayanan. Yesus memahami bahwa model kepemimpinan Yunani sangat jelas sekali hirarkhi. Dalam perkelahian kecil siapa yang dapat kursi di dekat raja (Matius 20: 25 – 28), Yesus meluncurkan model kerajaan yang melayani. Etika kepemimpinan dalam kerajaan akan mencapai komitmen hati.100 Itu berarti cara otoriter tidak akan terjadi. Sebaliknya jika ingin menjadi yang terkemuka, harus berhasil

99 Del Birkey, The House Church, Pennsylvania, Herald Press, 1988, 87 88. 100


(42)

53

melayani. Jika ingin menjadi yang pertama, kau harus menjadi yang terakhir, hamba dari semua (Markus 9: 35). Kehebatan di antara pengikutnya tidak akan diukur dalam jumlah peringkat kecerdasan pribadi tetapi dalam kualitas kerendahan hati pribadi dalam kehambaan.

Anak Manusia mengungkapkan gagagasan dengan tepat mengenai

kepe i pi a ideal saat erkata, Bara gsiapa a g ter esar dia tara u he daklah dia e jadi pela a u. Pe i pi a g he at juga pela a a g he at. Tuhan Yesus telah memberikan pelayanan kepada tubuhNya, yaitu Gereja. Dia memberikan sikap yang berkualitas kepada murid-muridNya. Kepemimpinan dalam tubuhNya adalah isu nyata-pelayanan. Kehidupan dalam Gereja tidak sama dengan kehidupan dalam masyarakat sekuler. Sebaliknya kehidupan dipanggil sama sekali bagi model baru, bukan definisi belaka.

Kitab suci (Alkitab) elara g de ga keras sikap e eri tah atas ora g lai Petrus mengimbau para penatua Gereja agar tidak e eri tah atas kawa a do a

itu (I Petrus 5:8). Rasul Petrus juga menerapkan servant leadership dalam kepemimpinannya ketika dia memberi nasehat kepada jemaat. Pekerjaan seorang gembala tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa hati seorang gembala.

Rasul Petrus membicarakan motivasi para pemimpin. Pemimpin rohani harus menerima dan mbelaksanakan tanggungjawabnya bukan karena terpaksa, melainkan dengan sukarela. Seorang pemimpin Kristen tidak boleh bersikap sebagai diktator. Seorang pemimpin yang ambisius dapat menjadi seorang tiran yang picik dengan sikap


(43)

54

mau memerintah. Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mau melayani.101 Melayani orang-orang, melayani demi mengusahakan yang terbaik bagi mereka, meskipun dengan berbuat demikian pemimpin itu tidak akan selalu menjadi popular.

Oleh karena itu, Gereja menegaskan kehambaan dalam pelayanan. Seorang adalah gurumu dan kamu semua adalah saudara (Mat 23: 8). Perjanjian Baru memberikan prinsip-prinsip dan wawasan yang cukup untuk mempraktekkan kepemimpinan pelayanan Gereja Kristus.

Bahasa tua untuk kepemimpinan dihubungkan dengan bahasa berkuasa dan dominasi, namun ada pergeseran pemahaman secara serius dari pengajaran yang diberikan Tuhan Yesus bahwa siapa hendak memimpin di antara kamu hendaklah dia menjadi hamba dan bukan penguasa. Bahasa kepemimpinan Perjanjian Baru adalah salah satu relasi horizontal, memimpin dan mengikuti, penyerahan sukarela dan layanan terhadap satu sama lain.

Adapun prinsip-prinsip kepemimpinan yang melayani yang muncul dalam Perjanjian Baru adalah sbb:102

1. Satu-satunya otoritas akhir yang diakui orang percaya adalah otoritas mutlak Tuhan Yesus, hanya Dia dan tidak ada perantara lain (Filipi 2: 10 – 11).

2. Dasar otoritas rasul diwujudkan dalam kanon PB, mereka tidak memiliki penerus. Kekuasaan Kristus didelegasikan kepada mereka, dan setiap generasi orang percaya menunjukkan kontinuitas dengan menghadirkan ajaran rasul-rasul (Kisah Para Rasul 2: 42). Tuhan Yesus mengimplementasikan kekuasaanNya melalui Kata dan Roh.

101 Jony O. Haryanto, Kepemimpinan yang..., 26 -28. 102


(44)

55

3. Dimanapun dalam PB pemimpin-pemimpin Gereja, menginstrusikan melatih kekuasaan atas umat Tuhan. Otoritas gerejawi selalu otoritas menyeluruh (Kisah Para Rasul 15). Otoritas gerejawi tidak pernah dikemas hanya untuk setiap pendeta atau konfederasi menurut jenis kelamin atau status.

4. Otoritas dalam memimpin umat Tuhan selalu dihubungkan pada fungsinya bukan kepemimpinan mereka. Kemajelisan adalah persoalan pelayanan dan bukan administrasi. Otoritas majelis lebih daripada relasi fungsional ketimbang posisi institusional. Kata Yunani untuk manage dalam I Timoteus 3: 4 – 5 membawa ide keprihatinan manajer dan supervisor berdasarkan kedewasaan spiritualititas, kebijaksanaan dan konseling yang baik. Lebih jauh kata Yunani sering diterjemahkan

taat dala refere si pe i pi spiritual le ih se ara literatur e jadi e derita

(Ibrani 13, 7)

5. Kepemimpinan menurut gaya Paulus adalah masalah mode baik dalam karakter kepemimpinan dan komunikasinya (I Tim 4: 11 – 14). Prinsip kepemimpinan Paulus ditekankan dalam II Korintus 10 – 13 menampakkan pemimpin yang melayani merefleksikan seperti Kristus diantara umat Tuhan.

6. Hanya ada satu kepala dalam tubuh, Yesus sendiri (Efesus 1: 15–23; Kolose 1: 15 -18). Ketika kenyataan ini ditegaskan, pemimpin-pemimpin manusia melayani kepala sebagai pemimpin-pemimpin di antara umat Tuhan.

Lebih jauh jenis pribadi yang diperlengkapi menjadi pemimpin dalam Gereja PB adalah jenis pribadi-pribadi yang mendemonstrasikan kualitas yang memberanikan dan membangun solidaritas keluarga.


(45)

56 4.Siapakah Pemimpin yang melayani.

Servant leadership adalah yang pertama pelayan, diawali dengan perasaan alamiah seseorang menyukai untuk melayani, melayani yang utama. Pelayan lebih mengutamakan, memprioritaskan kebutuhan orang yang dilayani.103 Dengan anugerah intuisi a g dipaha i Gree leaf se agai se uah perasaan terhadap pola-pola para pemimpin yang melayani akan membuat konsep daripada begitu saja melancarkan kritik. Greenleaf mengecam:

Kita terlalu merasa puas menjadi kritikus dan para ahli. Ada terlalu banyak perputaran roda intelektual, terlalu banyak yang tenggelam

dala riset , terlalu sedikit persiapa da ke aua u tuk e ga il

alih tugas-tugas yang sulit dan berisiko tinggi untuk membangun intuisi yang lebih baik dalam dunia yang tidak sempurna dan terlalu sedikit kece deru ga u tuk elihat ahwa asalah itu ada di dala da bukan di luar. Singkatnya yang menjadi musuh sebenarnya adalah mereka yang terlahir sebagai pelayan alamiah yang memiliki potensi memimpin, tetapi tidak memimpin atau yang memilih mengikuti seorang yang bukan berjiwa seorang hamba.104

Oleh karena itu menurut Greenleaf ada beberapa hal yang ditemukan dalam diri Servant Leadership yaitu:105

1. Sesuatu diawali dari inisiatif individu. Pikiran, sikap dan tindakan dari setiap orang diawali dari konsep individu yang lahir dari inspirasi. Pemimpin yang melayani membutuhkan lebih dari inspirasi. Pemimpin yang berinisiatif membangun ide dan struktur dan mampu menanggung resiko kegagalan dalam perjalanan menuju sukses.

103 Robert K. Greenleaf, Servant leadership..., 27. 104

Ibid, 45.

105


(46)

57

2. Mimpi adalah konsep visioner menggerakkan dan menjadikan kepemimpinan mencapai gol sehingga sekalipun resiko tinggi, bawahan dapat menerima dan mengikuti pemimpin.

3. Visi, adalah sebuah tindakan untuk melihat objek eksternal, yaitu kemampuan untuk melihat, penglihatan; Visi lebih sempurna dan akurat pada hewan daripada manusia. Dapat juga dikatakan visi sesuatu yang diimpikan untuk dilihat, kadang-kadang tidak nyata dan masih bersifat abstrak. Visi memberikan semangat dan mengubah tujuan menjadi tindakan nyata. Oleh karena itu visi merupakan sebuah realita yang belum nyata dan lebih dari sekedar mimpi.

Seorang pemimpin haruslah seseorang yang memiliki visi, pandangan dan mampu untuk mengetahui cara berpikir dari pihak lain. Banyak penulis teori kepemimpinan menekankan pentingnya visi untuk menginspirasikan pihak lain, untuk memotivasi tindakan, untuk bergerak dengan harapan untuk masa depan.

Penjelasan yang lebih jauh visi merefleksikan pengertian mendalam yang memungkinkan seseorang mendeteksi pola dan trend yang selama ini dipegang sehingga dapat menuntun pemimpin untuk masa kini dan masa yang akan datang. Untuk itu seorang pemimpin haruslah pertama sekali mengembangkan semangat dan mental positif dalam mencapai harapan yang dikehendaki. Mental positif ini yang disebut visi atau kadang juga disebut sebagai tujuan dari misi. Kemudian Haryanto dapat menyimpulkan visi, yaitu:106

a. Visi yang profetik

106


(47)

58

b. Indera untuk mengetahui hal yang tidak belum diketahui c. Melihat apa yang tidak terlihat.

4. Mendengar dan Memahami

Seorang pemimpin yang benar-benar pelayan secara alami merespon dengan spontan setiap masalah dengan lebih dahulu mendengar. Pemimpin yang secara alami membutuhkan displin belajar mendengar sehingga dapat mendengar dengan benar dan mampu membangun kekuatan bagi orang lain. Oleh karena itu jangan takut diam, sebab dengan diam kita dapat mengembangkan apa yang ada dalam pikiran kita.

5. Pengaruh

Pengaruh memiliki peranan yang sangat penting dalam hubungan antara pemimpin yang dipimpin, terutama dalam pemenuhan tujuan mereka. Oleh sebab itu pengaruh merupakan hal yang vital untuk memperoleh kerjasama dari pihak lain untuk memenuhi tujuan grup dan organisasi.

6. Kredibilitas

Hal yang sangat penting lainnya dalam memahami dan menerapkan servant leadership adalah kredibilitas. Kredibilitas adalah sesuatu yang pemimpin impikan. Seorang pemimpin haruslah mengkomunikasikan kredibilitas kepada mereka yang diinginkannya untuk menjadi bawahan atau pengikutnya. Kredibilitas pemimpin yang melayani didasarkan pada ketergantungan dan kepercayaan antara atasan dan bawahan. Kredibilitas pemimpin terjadi ketika pemimpin mendemonstrasikan keahlian dan kompetensinya dan menunjukkan pengetahuan berkaitan dengan


(48)

59

tehnologi dan pengembangan baru dalam bidangnya. Pemimpin yang memiliki kredibilitas akan senantiasa belajar dan menciptakan situasi pembelajaran didalam organisasi mereka. Pemimpin juga menginspirasikan harapan dan keberanian pada pihak lain dengan memberikan keyakinan, dengan memfasilitasi citra yang positif, dan dengan memberikan bantuan kepada pihak lain.

7. Kepercayaan

Kepercayaan adalah faktor yang sangat penting mempengaruhi hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Kepercayaan adalah akar dari kepemimpinan yang melayani dan pengambilan keputusan. Integritas dipandang sebagai integral dari hubungan kepercayaan. Tanpa integritas, kepercayaan tidak akan pernah dapat diperoleh. Pemimpin yang terbaik adalah yang transparan, melakukan apa yang mereka katakan dan bertindak dalam nilai-nilai yang benar. Kepercayaan sangat penting dalam mengembangkan hubungan interpersonal, terutama dalam proses komunikasi interpersonal. Kepercayaan adalah pusat dari hubungan kemitraan yang diwakili melalui ide dari persahabatan dan kepercayaan dengan pihak lain. Ada 4 komponen yang membangun kepercayaan yaitu:

a. kompetensi b. keterbukaan c. keprihatinan d. reliability


(1)

55 3. Dimanapun dalam PB pemimpin-pemimpin Gereja, menginstrusikan melatih kekuasaan atas umat Tuhan. Otoritas gerejawi selalu otoritas menyeluruh (Kisah Para Rasul 15). Otoritas gerejawi tidak pernah dikemas hanya untuk setiap pendeta atau konfederasi menurut jenis kelamin atau status.

4. Otoritas dalam memimpin umat Tuhan selalu dihubungkan pada fungsinya bukan kepemimpinan mereka. Kemajelisan adalah persoalan pelayanan dan bukan administrasi. Otoritas majelis lebih daripada relasi fungsional ketimbang posisi institusional. Kata Yunani untuk manage dalam I Timoteus 3: 4 – 5 membawa ide keprihatinan manajer dan supervisor berdasarkan kedewasaan spiritualititas, kebijaksanaan dan konseling yang baik. Lebih jauh kata Yunani sering diterjemahkan taat dala refere si pe i pi spiritual le ih se ara literatur e jadi e derita (Ibrani 13, 7)

5. Kepemimpinan menurut gaya Paulus adalah masalah mode baik dalam karakter kepemimpinan dan komunikasinya (I Tim 4: 11 – 14). Prinsip kepemimpinan Paulus ditekankan dalam II Korintus 10 – 13 menampakkan pemimpin yang melayani merefleksikan seperti Kristus diantara umat Tuhan.

6. Hanya ada satu kepala dalam tubuh, Yesus sendiri (Efesus 1: 15–23; Kolose 1: 15 -18). Ketika kenyataan ini ditegaskan, pemimpin-pemimpin manusia melayani kepala sebagai pemimpin-pemimpin di antara umat Tuhan.

Lebih jauh jenis pribadi yang diperlengkapi menjadi pemimpin dalam Gereja PB adalah jenis pribadi-pribadi yang mendemonstrasikan kualitas yang memberanikan dan membangun solidaritas keluarga.


(2)

56

4.Siapakah Pemimpin yang melayani.

Servant leadership adalah yang pertama pelayan, diawali dengan perasaan alamiah seseorang menyukai untuk melayani, melayani yang utama. Pelayan lebih mengutamakan, memprioritaskan kebutuhan orang yang dilayani.103 Dengan anugerah intuisi a g dipaha i Gree leaf se agai se uah perasaan terhadap pola-pola para pemimpin yang melayani akan membuat konsep daripada begitu saja melancarkan kritik. Greenleaf mengecam:

Kita terlalu merasa puas menjadi kritikus dan para ahli. Ada terlalu banyak perputaran roda intelektual, terlalu banyak yang tenggelam dala riset , terlalu sedikit persiapa da ke aua u tuk e ga il alih tugas-tugas yang sulit dan berisiko tinggi untuk membangun intuisi yang lebih baik dalam dunia yang tidak sempurna dan terlalu sedikit kece deru ga u tuk elihat ahwa asalah itu ada di dala da bukan di luar. Singkatnya yang menjadi musuh sebenarnya adalah mereka yang terlahir sebagai pelayan alamiah yang memiliki potensi memimpin, tetapi tidak memimpin atau yang memilih mengikuti seorang yang bukan berjiwa seorang hamba.104

Oleh karena itu menurut Greenleaf ada beberapa hal yang ditemukan dalam diri Servant Leadership yaitu:105

1. Sesuatu diawali dari inisiatif individu. Pikiran, sikap dan tindakan dari setiap orang diawali dari konsep individu yang lahir dari inspirasi. Pemimpin yang melayani membutuhkan lebih dari inspirasi. Pemimpin yang berinisiatif membangun ide dan struktur dan mampu menanggung resiko kegagalan dalam perjalanan menuju sukses.

103Robert K. Greenleaf, Servant leadership..., 27.

104

Ibid, 45.

105


(3)

57 2. Mimpi adalah konsep visioner menggerakkan dan menjadikan kepemimpinan mencapai gol sehingga sekalipun resiko tinggi, bawahan dapat menerima dan mengikuti pemimpin.

3. Visi, adalah sebuah tindakan untuk melihat objek eksternal, yaitu kemampuan untuk melihat, penglihatan; Visi lebih sempurna dan akurat pada hewan daripada manusia. Dapat juga dikatakan visi sesuatu yang diimpikan untuk dilihat, kadang-kadang tidak nyata dan masih bersifat abstrak. Visi memberikan semangat dan mengubah tujuan menjadi tindakan nyata. Oleh karena itu visi merupakan sebuah realita yang belum nyata dan lebih dari sekedar mimpi.

Seorang pemimpin haruslah seseorang yang memiliki visi, pandangan dan mampu untuk mengetahui cara berpikir dari pihak lain. Banyak penulis teori kepemimpinan menekankan pentingnya visi untuk menginspirasikan pihak lain, untuk memotivasi tindakan, untuk bergerak dengan harapan untuk masa depan.

Penjelasan yang lebih jauh visi merefleksikan pengertian mendalam yang memungkinkan seseorang mendeteksi pola dan trend yang selama ini dipegang sehingga dapat menuntun pemimpin untuk masa kini dan masa yang akan datang. Untuk itu seorang pemimpin haruslah pertama sekali mengembangkan semangat dan mental positif dalam mencapai harapan yang dikehendaki. Mental positif ini yang disebut visi atau kadang juga disebut sebagai tujuan dari misi. Kemudian Haryanto dapat menyimpulkan visi, yaitu:106

a. Visi yang profetik

106


(4)

58 b. Indera untuk mengetahui hal yang tidak belum diketahui

c. Melihat apa yang tidak terlihat. 4. Mendengar dan Memahami

Seorang pemimpin yang benar-benar pelayan secara alami merespon dengan spontan setiap masalah dengan lebih dahulu mendengar. Pemimpin yang secara alami membutuhkan displin belajar mendengar sehingga dapat mendengar dengan benar dan mampu membangun kekuatan bagi orang lain. Oleh karena itu jangan takut diam, sebab dengan diam kita dapat mengembangkan apa yang ada dalam pikiran kita.

5. Pengaruh

Pengaruh memiliki peranan yang sangat penting dalam hubungan antara pemimpin yang dipimpin, terutama dalam pemenuhan tujuan mereka. Oleh sebab itu pengaruh merupakan hal yang vital untuk memperoleh kerjasama dari pihak lain untuk memenuhi tujuan grup dan organisasi.

6. Kredibilitas

Hal yang sangat penting lainnya dalam memahami dan menerapkan servant leadership adalah kredibilitas. Kredibilitas adalah sesuatu yang pemimpin impikan. Seorang pemimpin haruslah mengkomunikasikan kredibilitas kepada mereka yang diinginkannya untuk menjadi bawahan atau pengikutnya. Kredibilitas pemimpin yang melayani didasarkan pada ketergantungan dan kepercayaan antara atasan dan bawahan. Kredibilitas pemimpin terjadi ketika pemimpin mendemonstrasikan keahlian dan kompetensinya dan menunjukkan pengetahuan berkaitan dengan


(5)

59 tehnologi dan pengembangan baru dalam bidangnya. Pemimpin yang memiliki kredibilitas akan senantiasa belajar dan menciptakan situasi pembelajaran didalam organisasi mereka. Pemimpin juga menginspirasikan harapan dan keberanian pada pihak lain dengan memberikan keyakinan, dengan memfasilitasi citra yang positif, dan dengan memberikan bantuan kepada pihak lain.

7. Kepercayaan

Kepercayaan adalah faktor yang sangat penting mempengaruhi hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Kepercayaan adalah akar dari kepemimpinan yang melayani dan pengambilan keputusan. Integritas dipandang sebagai integral dari hubungan kepercayaan. Tanpa integritas, kepercayaan tidak akan pernah dapat diperoleh. Pemimpin yang terbaik adalah yang transparan, melakukan apa yang mereka katakan dan bertindak dalam nilai-nilai yang benar. Kepercayaan sangat penting dalam mengembangkan hubungan interpersonal, terutama dalam proses komunikasi interpersonal. Kepercayaan adalah pusat dari hubungan kemitraan yang diwakili melalui ide dari persahabatan dan kepercayaan dengan pihak lain. Ada 4 komponen yang membangun kepercayaan yaitu:

a. kompetensi b. keterbukaan c. keprihatinan d. reliability


(6)

60 8. Pelayanan

Menurut Haryanto,107 pelayanan adalah bagian yang sangat penting dalam kepemimpinan, terutama sekali dalam servant leadership sebagaimana ditegaskan oleh Greenleafs bahwa menjadi seorang pemimpin yang melayani dimulai dengan perasaan alamiah yang menganggap bahwa pada dasarnya orang ingin dilayani dan melayani terlebih dahulu.108 Salah satu faktor utama dari kepemimpinan yang baik haruslah diawali dengan melayani pihak lain dan membantu mereka mengembangkan talenta mereka dan kemampuan mereka untuk mencapai titik maksimal dari talenta mereka.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpin adalah sebuah hubungan dimana satu orang memengaruhi pikiran, perilaku, kepercayaan atau nilai orang lain untuk membuat suatu perbedaan dalam kehidupan sekitar mereka. Kepemimpinan itu merupakan suatu proses memengaruhi yang dibagikan di antara anggota-anggotanya untuk pencapaian tujuan. Oleh karena itu kepemimpinan melibatkan seorang pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya secara bersama melayani sesama. Dapat dikatakan bahwa kepemimpinan adalah pelayan.

Kepemimpinan Yesus menjadi dasar dan teladan bagi setiap kepemimpinan yang ada sebagaimana seluruh hidupNya adalah melayani. Oleh karena kepemimpinan yang melayani adalah memberikan pelayanan kepada pihak lain. Pemimpin haruslah mengetahui bahwa tugas dan kewajiban utama dari pemimpin adalah melayani kebutuhan dan kepentingan dari pihak lain.

107Jony Oktavian Haryanto, Kepemimpinan yang..., 49.

108


Dokumen yang terkait

Studi Deskriptif Mengenai Atribusi Pernikahan Beda Suku pada Jemaat Bersuku Batak Toba di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Kota Bandung (Suatu Penelitian Yang Dilakukan pada Empat Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Kota Bandung).

0 1 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP)

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) T2 752010013 BAB I

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) T2 752010013 BAB IV

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) T2 752010013 BAB V

0 0 6

Kompleks Gereja Huria Kristen Batak Protestan HKBP Kertanegara Semarang - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mengikutsertakan Orang Miskin dalam Pelayanan Diakonia Transformatif di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Nauli Dano Horbo

0 0 1

HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN

0 0 52

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi Kasus Konflik Islam – Kristen dalam Pembangunan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Loa Duri di Gunung Batu Kutai Kartanegara

1 1 37

ADAPTASI DAN ANALISIS NYANYIAN JEMAAT GEREJA HKBP (HURIA KRISTEN BATAK PROTESTAN)

0 0 17