ABSTRAK FILTRASI LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU MENGGUNAKAN MEDIA PARTIKEL BATUAN FOSFAT

(1)

ABSTRACT

FILTRATION OF WHEY USING ROCK PHOSPHATE AS FILTER MEDIA

By

MEYLINDA SILVIANA

Industrial wastewater of tofu industry (whey) has many nutrient contents, especially nitrogen and phosphorus. Disposal of whey directly into the river can cause environmental pollution, so it should be processed prior to discharging it into the environment. The main purpose of this research was to observe the effect of the filtration duration to the quality of waste and rock phosphate as the filter media. Biofilter with rock phosphate as the filter media was used to filter the whey, which was circulated continously by a pump for specific duration (3, 6, 12, 24, 36, and 48 hours). Parameters should be observed in this research included quality (pH, N-amonium, total solid, total P, dissolved P) of the whey and the rock phosphate as well. Results showed that during the 48 hours filtration process, the pH of whey increased from initially value of 4.10 (acid) to 8.55 (alkaline). The biofilter processing using rock phosphate as filter media was also able to reduce total solid by 45%, ammonium by 70%, and total P by 90% in the whey. The value of dissolved P in the filter media increased by 30% of the initial value.


(2)

ABSTRAK

FILTRASI LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU MENGGUNAKAN MEDIA PARTIKEL BATUAN FOSFAT

Oleh

MEYLINDA SILVIANA

Limbah cair industri tahu (whey) memiliki kandungan unsur hara terutama nitrogen dan fosfor yang tinggi. Pembuangan whey langsung ke badan sungai akan menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga dibutuhkan pengolahan terlebih dahulu agar aman dibuang ke lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pengaruh lama perlakuan filtrasi terhadap kualitas limbah dan juga batuan fosfat sebagai media filter. Metode pengolahan limbah yang digunakan pada penelitian ini adalah biofilter dengan media partikel batuan fosfat. Limbah cair tahu disirkulasi secara kontinyu dengan perlakuan durasi tertentu (3, 6, 12, 24, 36, dan 48 jam). Adapun parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi perubahan kualitas pada limbah cair tahu (pH, N-Amonium, Total Solid, P Total) dan kualitas batuan fosfat sebagai media filter (P Terlarut). Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama proses filtrasi berlangsung, nilai pH whey yang awalnya asam (4.10) meningkat hingga menjadi basa (8.55) dengan perlakuan filtrasi 48 jam. Pengolahan dengan biofilter batuan fosfat juga mampu mereduksi 45% Total Solid, 70% Ammonium, dan 90% P total pada whey. Nilai P terlarut pada media filter meningkat sebesar 30% dari nilai awal.

Kata kunci : batu fosfat, biofilter, limbah cair tahu, pH, ammonium, total solid, P total.


(3)

FILTRASI LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU MENGGUNAKAN MEDIA PARTIKEL

BATUAN FOSFAT

Oleh

MEYLINDA SILVIANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada

Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

FILTRASI LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU MENGGUNAKAN MEDIA PARTIKEL

BATUAN FOSFAT

(Skripsi)

Oleh

MEYLINDA SILVIANA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 3 Mei 1992, sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Khairuddin Yusak dan Ibu Nurhuda. Penulis menempuh pendidikan taman kanak-kanak di TK Budaya Tanjung Karang Barat Bandar Lampung dan lulus pada tahun 1998. Pendidikan dilanjutkan di SD Negeri 2 Sumberrejo selama periode 1998-2004. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah menengah di SMP Negeri 14 Bandar Lampung pada tahun 2007 dan di SMA Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 2010.

Pada Tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswi Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung melalui tes SNMPTN. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris Departemen Keprofesian di Perhimpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (PERMATEP) pada masa bhakti 2011-2012.

Pada tahun 2013, penulis melaksanakan Praktik Umum di PT Great Giant Pineapple. Penulis juga melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Srikaton, Kecamatan Adiluwih, Kabupaten Pringsewu selama 40 hari mulai tanggal 20 Januari 2014 sampai dengan 3 Maret 2014.


(9)

Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Segala puji bagi Allah atas nilai-Nya yang tidak dapat diuraikan , nikmat dan

anugerah-Nya yang tidak dapat terhitung serta ilmu-Nya yang tidak dapat

dibatasi oleh apapun.

Teruntuk kedua orang tuaku tercinta

Bapak Khairuddin Yusak

dan

Ibu Nurhuda

Terima kasih atas semua do’a,

pengorbanan, perhatian, semangat dan

motivasi yang telah diberikan selama ini. Terimakasih telah

membuatku merasa teristimewa. Terima kasih telah menjadikanku

dunia kalian.

Kupersembahkan karya kecil ini

sebagai wujud rasa cinta kasih dan kesungguhan

Serta

AlmamaterTercinta

Teknik PertanianUniversitas Lampung


(10)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Filtrasi Limbah Cair Industri Tahu menggunakan dengan Media Partikel batuan Fosfat.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Penelitian dilakukan selama rentang waktu Bulan Juni – Agustus 2014. Penyusunan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, dan bimbingan berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Dr.Ir.Sugeng Triyono, M.Sc., selaku Dosen Pembimbing utama yang telah

meluangkan waktu, memberikan masukan, bimbingan, semangat dan saran selama proses penelitian hingga penyusunan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Agus Haryanto, M.P., selaku Ketua Jurusan Teknik Pertanian Universitas Lampung dan juga sebagai dosen pembimbing. Terimakasih atas motivasi, kritik, masukan dan saran dalam proses perkuliahan dan penyelesaiaan skripsi ini. 3. Prof. Dr. Ir.RA. Bustomi Rosadi, M.S., Selaku Pembahas yang telah memberikan

kritik serta saran selama proses penyusunan skripsi ini.

4. Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung atas izin yang diberikan untuk melaksanakan Praktik Umum.

5. Kedua orang tua, Bapak Khairudin Yusak dan Ibu Nurhuda yang selalu mencurahkan perhatian dan kasih sayang serta bantuan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.


(11)

6. Ahmad Bastari S.Sos., M.M., paman yang selalu menjadi sumber inspirasi dan kekuatan serta selalu memberi dukungan selama penulis menempuh pendidikan sarjana.

7. Teman-teman satu almamater Teknik Pertanian Fakultas Pertanian UNILA angkatan 2010, terimakasih atas kebersamaan, kerjasama, dan semua pengalaman selama menjalani penulis menempuh pendidikan strata satu.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan di dalam skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bandar Lampung, September 2014


(12)

(13)

(14)

(15)

(16)

(17)

(18)

(19)

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tahu merupakan salah satu makanan tradisional yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia. Pada tahun 2010 usaha tahu di Indonesia mencapai angka 84.000 unit usaha. Unit usaha tersebut memiliki kapasitas produksi lebih dari 2,56 juta ton per tahun. Sebagai makanan tradisional yang banyak digemari, tahu memiliki kandungan nilai gizi yang cukup tinggi. Bahan baku pembuatan tahu adalah kedelai (Glycine max (L) Merril). Kedelai mengandung berbagai komposisi kimia yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Komposisi kimia yang terdapat dalam biji kedelai kering per 100 g antara lain 331 kalori, 34,9 g protein, lemak 18,1 g, karbohidrat 34,8 g, kalsium 227 mg, fosfor 585 mg, besi 8 mg, vitamin A 110 SI, vitamin B1 1,1 mg, air 7,5 g (Cahyadi, 2007).

Proses pembuatan tahu memiliki beberapa tahapan yang secara umum meliputi perendaman, penggilingan, pemasakan, penyaringan, penggumpalan,

pencetakan/pengerasan dan pemotongan. Proses pembuatan tahu di Indonesia masih menggunakan cara yang tradisional dengan tingkat efisiensi penggunaan sumber daya (air dan bahan baku) rendah dan produksi limbah yang tinggi. Limbah yang dihasilkan dari proses produksi pembuatan tahu ada dua jenis yaitu


(21)

2

limbah padat dan limbah cair. Limbah padat kini telah banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan juga bahan baku pembuatan kerupuk sedangkan limbah cair umumnya langsung dibuang ke lingkungan. Produksi limbah cair tahu linier dengan besarnya nilai produksi tahu itu sendiri. Setiap 1 kg bahan baku kedelai yang diolah akan menghasilkan 15 – 20 liter limbah cair (Sadzali, 2010). Limbah cair industri tahu memiliki kandungan Total Suspended Solids (TSS) 30 g/kg bahan baku kedelai, Biologycal Oxygen Demand (BOD) 65 g/kg bahan baku kedelai dan Chemical Oxygen Demand (COD) 130 g/kg bahan baku kedelai, Nitrogen 0,27% dan Fosfor 228,85 ppm (Asmoro, dkk., 2008).

Pengolahan limbah bertujuan untuk menyingkiran bahan-bahan pencemar dari limbah sebelum pada akhirnya dibuang ke lingkungan. Biofilter merupakan salah satu teknologi pengolahan air limbah dengan cara memanfaatkan mikroba yang melekat pada media filter yang dipakai. Media biofilter yang umum dipakai antara lain kerikil, polimer, batu apung, kayu, dan perlit (Tchobagnoglous dan Burton, 1991; Pohan, 2008; Saputra, 2006).

Limbah cair dialirkan melewati sekumpulan mikroba yang menempel pada media filter. Mikroba mendapatkan bahan organik, nutrisi, dan oksigen dari limbah, sedangkan air limbah yang melewatinya menjadi lebih bersih. Biofilter dapat digunakan untuk mengurangi nilai suspended solids, bahan organik bahkan juga pencemaran logam pada air limbah dalam skala besar. Pada pengolahan limbah menggunakan biofilter, limbah yang dialirkan akan membentuk selaput lendir pada media filter. Penguraian secara biologis akan terjadi pada saat limbah cair melewati media pertikel. Salah satu hal yang mempengaruhi efisiensi pengolahan


(22)

3

ini yaitu luas kontak antara mikoorganisme pada media biofilter dan limbah cair. Nilai efisiensi berbanding lurus dengan nilai luas kontak, semakin luas kontak yang terjadi akan semakin besar nilai efisiensi (Said dan Heru, 1999).

Biofilter merupakan salah satu teknologi dalam pengolahan limbah yang memiliki banyak keunggulan. Keunggulan reaktor biofilter adalah biaya investasi yang murah, desain yang fleksibel, konsumsi energinya yang rendah serta pengelolaan yang mudah (Kandasamy, et.al., 2006; Chaudhary, et.al., 2003; Govind, 2009). Sementara itu, kelemahan biofilter adalah umur pakainya yang terbatas karena proses penyumbatan pada media filter (Said dan Heru, 1999; Soccol, et.al., 2003; Srivastava dan Majumder, 2007; Komariyah dan Sugito, 2011).

Batuan fosfat (phosphate rock) berpotensi untuk digunakan sebagai media filter. Ukuran batuan fosfat dikecilkan menjadi partikel berukuran kerikil, sehingga aliran limbah tidak mudah tersumbat. Setelah digunakan untuk memfilter air limbah, dan filter mulai tersumbat karena lumpur atau sludge yang terkumpul, media filter partikel fosfat bisa dibongkar untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk. Nilai nutrisi media filter sebagai pupuk sangat bagus (Triyono, 2013).

Partikel fosfat mengandung fosfat alam yang tingkat kelarutannya semakin meningkat setelah terkena air limbah yang bersifat asam. Selain itu, sludge atau biofloc yang terkumpul adalah kumpulan bakteri yang mengandung nutrisi

nitrogen dan fosfor, yang tentu saja sangat baik untuk pupuk. Berbagai penelitian pemanfaatan sumberdaya batuan fosfat lokal di Lampung sudah dilakukan. Salah satunya adalah penelitian mengenai pemanfaatan batuan fosfat untuk bahan baku


(23)

4

pembuatan pupuk organik (organonitrofos) telah dilakukan. Uji coba pupuk organonitrofos di plot dan demplot menunjukkan hasil yang positif

(Nugroho, dkk., 2011).

Penggunaan bahan tambahan (baik berupa limbah, mikroorganisme, ataupun bahan organik lainnya) untuk melarutkan fosfat dari batuan fosfat telah

dilakukan. Demikian juga, ekstraksi fosfat dengan batuan teknologi ultrasonik juga telah dilakukan (Triyono, 2013). Namun demikian, penelitian pemanfaatan partikel batuan fosfat untuk pengolahan air limbah belum pernah dilakukan. Penelitian ini digunakan untuk mengkaji potensi penggunaan partikel batuan fosfat sebagai media filter untuk pengolahan air limbah industri tahu. Kajian potensi pemanfaatan media filter tersebut sebagai bahan baku pembuatan pupuk juga dilakukan.

Berdasarkan beberapa pertimbangan diatas maka pada penelitian ini, akan

digunakan batuan fosfat sebagai media dalam proses pengolahan limbah cair tahu (whey) dengan sistem biofilter.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji kinerja media filter partikel batuan fosfat untuk pengolahan/ filtrasi air limbah industri tahu.


(24)

5

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi: 1. Pengrajin Tahu

Sebagai bahan pertimbangan untuk mengolah terlebih dahulu limbah yang dihasilkan agar tidak mencemari lingkungan khususnya badan sungai. 2. Pemerintah

Sebagai bahan masukan untuk mengolah limbah cair tahu serta

memanfaatkan batuan fosfat sebagai media biofilter agar tercipta pupuk alternatif fosfor dan nitrogen.

3. Masyarakat

Sebagai pengetahuan umum bagi masyarakat tentang pengolahan limbah sebelum dibuang ke lingkungan.

4. IPTEK

Sebagai bahan informasi tambahan untuk mengkaji potensi pemanfaatan biofilter batuan fosfat sebagai bahan baku campuran pembuatan pupuk organik.

1.4 Hipotesis

1. Batuan fosfat dapat digunakan sebagai media filter untuk pengolahan limbah cair tahu.

2. Terdapat pengaruh lama filtrasi limbah cair tahu terhadap kualitas limbah cair tahu dan batuan fosfat sebagai media filternya.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Pembuatan Tahu

Prinsip utama dari proses pembuatan tahu adalah penggumpalan (pengendapan) protein susu kedelai. Bahan yang digunakan adalah batu tahu (CaSO4), asam cuka

(CH3COOH) dan MgSO4. Proses pembuatan tahu terdiri atas beberapa tahapan

yaitu perendaman, penggilingan, pemasakan, penyaringan, penggumpalan, pencetakan/pengerasan dan pemotongan. Proses pembuatan tahu menghasilkan limbah padat berupa ampas tahu dan limbah cair. Ampas tahu dapat

dikonversikan sebagai bahan makanan ternak dan ikan serta oncom sedangkan limbah cair kini telah dimanfaatkan sebagai biogas dan minuman bagi ternak. Sebagian besar limbah cair yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu adalah cairan kental yang terpisah dari gumpalan tahu yang disebut air dadih (whey), sedang sumber limbah cair lainnya berasal dari pencucian kedelai, pencucian peralatan proses, pemasakan dan larutan bekas rendaman kedelai. Proses pembuatan tahu dapat dilihat pada Gambar 1 sedangkan untuk diagram neraca proses pembuatan tahu dapat dilihat pada Gambar 2.


(26)

7

Gambar 1. Proses pembuatan tahu (Sumber : Said dan Heru, 1999)

Bubur Kedelai Kedelai Pencucian

Perendaman

Ditiriskan kemudian digiling dengan ditambah air

Dimasak Disaring

Susu Kedelai

Ditambah larutan pengendap sedikit demi sedikit sambil diaduk perlahan

Campuran padatan tahu dan cairan Pembuangan cairan

Tahu Air untuk pencucian

Kedelai bersih

Kedelai rendaman

Pencetakan

Air limbah

Air untuk perendaman Air limbah

Air

Ampas tahu


(27)

8

Whey mengandung kadar protein yang tinggi dan dapat segera terurai. Limbah cair ini sering dibuang secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu sehingga menghasilkan bau busuk dan mencemari sungai. Pada beberapa industri tahu Whey dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan penggumpal .

2.2 Parameter Kualitas Limbah

Berbagai parameter yang harus diperhatikan dalam pengolahan limbah cair agar limbah tidak berbahaya bagi lingkungan dan dapat digunakan secara aman oleh masyarakat antara lain (Kristanto, 2002) :

1. Aspek kimia-fisika pencemaran air : keasaman, alkalinitas, suhu, oksigen terlarut, karbondioksida bebas, warna dan kekeruhan, jumlah padatan, nitrat, amoniak, fosfat, daya hantar listrik, klorida.

Gambar 2. Neraca diagram masa pembuatan tahu (Sumber : Said dan Heru, 1999)

Kedelai 60 kg Air 2700 kg Bahan Baku (Input)

Teknologi Energi

Tahu 80 Kg Hasil/Output Manusia Proses Ampas Tahu 70 Kg Limbah cair (whey) 2610 Kg Ternak Limbah


(28)

9

2. Aspek biokimia pencemaran air : BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand).

3. Bahan pencemar lain : logam berat

BOD ( Biochemical Oxygen Demand), merupakan ukuran kandungan bahan organik dalam limbah cair. BOD diketahui dengan mengukur jumlah oksigen yang diserap oleh sampel limbah cair akibat adanya mikroorganisme. Jumlah oksigen yang diserap dihitung selama periode waktu tertentu, umumnya 5 hari atau lebih dengan suhu 20o C. Suhu 20o C dipilih karna pengambilan limbah cair yang saat itu dilakukan di Inggris suhunya mencapai angka 20o C (Suharto, 2011). Beberapa negara memiliki standar nilai BOD tersendiri dalam penentuan kualitas air, salah satunya adalah Inggris.

Tabel 1. Standar BOD untuk penentuan kualitas air di Inggris

Kondisi Umum Air BOD (ppm)

Sangat Bersih 1

Bersih 2

Agak Bersih 3

Diragukan Kebersihannnya 4

Tidak Bersih 5

(Sumber : Kristanto, 2002)

COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar limbah organik yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Nilai COD merupakan ukuran bagi tingkat pencemaran bahan organik. Semakin tinggi nilai COD maka akan semakin tinggi pula tingkat pencemaran di suatu


(29)

10

lingkungan. Metode analisa COD memakan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan analisa BOD (Nurhasanah, 2009).

Jumlah air limbah tahu yang dihasilkan oleh industri pembuatan tahu kira-kira 15-20 l / kg bahan baku kedelai, sedangkan beban pencemarannya kira-kira sebesar TSS 30 g/kg bahan baku kedelai, Biologycal Oxygen Demand (BOD) 65.000 ppm dan Chemical Oxygen Demand (COD) 130.000 ppm (Sadzali, 2010).

Tabel 2. Kandungan unsur hara limbah tahu padat dan cair

Parameter Limbah Padat

Tahu kedelai Kompos Padat Green Valley Limbah Cair Tahu Kedelai Kompos Cair Tristan

N (%) 1,24 1,44 0,27 0,42

P2O5 (ppm) 5,54 2,47 228,85 0,28

K2O (%) 1,34 3,03 0,29 0,08

Protein (%) 7,72 - 1,68

Lemak (%) - - -

Karbohidrat (%) - - -

(Sumber : Asmoro, dkk., 2008)

2.3 Pengolahan Limbah (Biofilter)

Pengolahan limbah cair pada hakekatnya adalah suatu perlakuan tertentu yang harus diberikan pada limbah cair sebelum limbah tersebut terbuang ke lingkungan penerima limbah. Untuk dapat menentukan secara tepat perlakuan yang

sebaiknya diberikan pada limbah cair, terlebih dahulu diketahui secara tepat karakteristik dari limbah melalui berbagai penetapan berbagai parameter untuk mengetahui macam dan jenis komponen pencemar serta sifat-sifatnya.

Pengolahan limbah cair meliputi pengolahan fisika, pengolahan kimia dan pengolahan biologis. Pengolahan fisika dilakukan terhadap air limbah dengan


(30)

11

kandungan bahan limbah yang dapat dipisahkan secara mekanis langsung. Pengolahan secara kimia merupakan proses dimana perubahan, penguraian atau pemisahan bahan yang tidak diinginkan berlangsung karena mekanisme reaksi kimia. Proses pengolahan limbah cair secara biologis dilakukan dengan

memanfaatkan aktivitas mikroorganisme (bakteri, ganggang, protozoa, dll) untuk menguraikan atau merombak senyawa-senyawa organik dalam air menjadi zat-zat yang lebih sederhana.

Salah satu pengolahan limbah secara biologis adalah dengan cara biakan melekat (attached growth process). Biakan melekat atau disebut juga biofilter adalah pengolahan dengan memanfaatkan mikroorganisme yang menempel pada media yang berbentuk lapisan film untuk menguraikan zat organik. Influen akan melakukan kontak dengan media sehingga akhirnya terjadi proses biokimia. Contoh sistem pengolahan dari attached growth processes antara lain trickling filter, rotating biological contactor (RBC), upflow anaerobic sludge blanket (UASB), filter terendam dan reaktor fluidisasi. Sistem-sistem tersebut dapat menurunkan kadar BOD sekitar 80 hingga 90% .

Berdasarkan posisi biofilter di dalam reaktor, sistem pertumbuhan melekat dapat digolongkan menjadi tiga yaitu (Tchobagnoglous dan Burton, 1991) :

1. Proses pertumbuhan melekat dengan biakan tidak terendam atau non-submerged.

2. Proses pertumbuhan tersuspensi dengan packing film tetap (suspended growth process with fixed film packing).


(31)

12

Srivastava dan Majumder (2008), menjelaskan bahwa biofilter memiliki peluang yang besar untuk menghilangkan kandungan logam berat dari air limbah.

Sedangkan menurut Soccol, dkk. (2003), biofilter merupakan salah satu teknologi terbaik dalam pengolahan limbah. Biofiter mampu mereduksi, mengubah, dan mengolah berbagai jenis polutan berbahaya agar aman untuk dibuang baik ke tanah, udara, maupun badan sungai.

2.4 Pupuk Fosfat

Pemupukan merupakan salah satu proses perawatan tanaman yang penting. Tujuan pemupukan adalah untuk menambah zat hara dalam tanah sehingga kebutuhan nutrisi bagi tanaman dapat terpenuhi. Jika kebutuhan tanaman akan nutrisi tercukupi, maka produksi dari tanaman tersebut akan sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu pemupukan akan memperbaiki struktur tanah. Untuk memenuhi kebutuhan akan nutrisi umumnya digunakan berbagai pupuk anorganik seperti NPK (sebagai sumber N), SP36 dan TSP (untuk memenuhi unsur P).

Pupuk fosfat (TSP, SP36 ) menggunakan batuan fosfat sebagai bahan baku utama. Didalam industri, produksi pupuk fosfat dimulai dari produksi asam fosfat.

Batuan fosfat akan mengalami proses asidulasi untuk melarutkan fosfor yang terikat kuat pada batuan fosfat. Untuk melakukan proses asidulasi tersebut dibutuhkan biaya yang cukup tinggi. Maka sebagai ganti dari asam fosfat dalam proses asidulasi, digunakan limbah tahu yang juga ber pH masam untuk

melarutkan fosfor pada batuan fosfat. Batuan fosfat yang digiling halus dapat langsung digunakan sebagai pupuk sumber fosfat.


(32)

13

Berdasarkan hasil penelitian Triyono (2013), filtrasi secara kontinyu selama 6,5 jam pada limbah cair tahu dengan menggunakan batuan fosfat dapat menurunkan kadar PO4 pada limbah tersebut. Filtrasi yang dilakukan mampu menurunkan

kadar PO4 dari 27,73 mg/L menjadi 0,68 mg/L (penurunan sekitar 97%). Hal ini

menunjukkan bahwa batuan fosfat yang digunakan sebagai media filtrasi dapat menyerap ion fosfat yang ada didalam limbah cair tahu. Penyerapan ion fosfat yang terjadi berlangsung sangat cepat dan membentuk sludge yang berpotensi digunakan sebagai pupuk.

Penyerapan ion fosfat yang begitu cepat dapat saja dipengaruhi oleh berbagai faktor di antaranya luas permukaan spesifik atau sering disebut BET (Brunaeur-Emmet-Teller). BET umumnya dinyatakan dalam satuan m2/g. Pada material adsorben (contohnya zeolit) semakin besar nilai BET maka akan semakin baik daya serap material tersebut.

Terdapat beberapa keuntungan dari menggunakan fosfat alam secara langsung yaitu (Balai Penelitian Tanah, 2011) :

1. Menghemat energi dan mengurangi pencemaran yang disebabkan oleh industri pupuk

2. Harga yang relatif lebih terjangkau

3. Efektifitas yang sama atau bahkan lebih tinggi dibandingkan SP-36 4. Meningkatkan efisiensi pupuk P 10% dan bersifat slow release sehinnga

residu dapat digunakan untuk masa tanam berikutnya


(33)

14

2.4.1 Fosfor

Fosfor (unsur P) merupakan salah satu zat yang sangat dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Beberapa fungsi fosfor bagi tanaman adalah sebagai berikut (Lingga, 2009) :

1. Merangsang pertumbuhan akar dan tanaman muda

2. Sebagai bahan mentah dalam pembentukan beberapa protein tertentu 3. Membantu asimilasi dan pernapasan

4. Mempercepat pembungaan pemasakan biji, dan buah

Di alam, umumnya fosfor ada dalam bentuk batuan mineral atau lebih dikenal dengan nama batuan fosfat. Berdasarkan proses pembentukannya fosfat alam terbagi menjadi tiga jenis, yaitu (Kasno, dkk., 2009) :

1. Fosfat primer terbentuk dari pembekuan magma alkali yang mengandung mineral fosfat apatit, terutama fluor apatit {Ca5(PO4)3F}. Apatit dapat

dibedakan atas Chlorapatite 3Ca3(PO4)2CaCl2 dan Flour apatite

3Ca3(PO4)2CaF2.

2. Fosfat sedimenter (marin), merupakan endapan fosfat sedimen yang terendapkan di laut dalam, pada lingkungan alkali dan lingkungan yang tenang. Fosfat alam terbentuk di laut dalam bentuk calcium phosphate yang disebut phosphorit. Bahan endapan ini dapat diketemukan dalam endapan yang berlapis-lapis hingga ribuan milpersegi. Elemen P berasal dari pelarutan batuan, sebagian P diserap oleh tanaman dan sebagian lagi terbawa oleh aliran ke laut dalam.


(34)

15

3. Fosfat guano, merupakan hasil akumulasi sekresi burung pemakan ikan dan kelelawar yang terlarut dan bereaksi dengan batu gamping akibat pengaruh air hujan dan air tanah

Agar batuan fosfat menjadi pupuk yang efektif, batuan fosfat harus reaktif sehingga mudah larut dalam tanah, untuk mendukung pelarutan yang ekstensif sifat tanah harus menyediakan ion hidrogen yang cukup.

Fosfat terdapat dalam tiga bentuk yaitu H2PO4-, HPO42-, dan PO43-. Fosfat

umumnya diserap oleh tanaman dalam bentuk ion ortofosfat primer H2PO4- atau

ortofosfat sekunder HPO42- sedangkan PO43- lebih sulit diserap oleh tanaman.

Ortofosfat merupakan bentuk fosfat yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman, sedangkan polifosfat harus terlebih dahulu mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat sebelum dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Reaksi ionisasi asam ortofosfat adalah sebagai berikut (Hanafiah, 2005):

H3PO4↔H+ + H2PO4

-H2PO4- ↔ H+ + HPO4

HPO42-↔ H+ + PO4


(35)

16

Fosfor di dalam tanah digolongkan dalam dua bentuk, yatu bentuk organik dan anorganik. Bentuk anorganik adalah senyawa Ca, Fe, Al, dan F. Perubahan fosfor organik menjadi anorganik dilakukan oleh mikroorganisme. Bentuk fosfor anorganik tanah lebih sedikit dan sukar larut. Ketersediaan fosfor di dalam tanah dipengaruhi berbagai faktor yaitu :

1. pH tanah

pH tanah merupakan faktor yang paling penting dalam kaitannya dengan

ketersediaan fosfor didalam tanah. Ketersediaan fosfor di dalam tanah ditentukan oleh banyak faktor, tetapi yang paling penting adalah pH tanah. Pada tanah ber-pH rendah, fosfor akan bereaksi dengan ion besi dan aluminium. Reaksi ini membentuk besi fosfat atau aluminium fosfat yang sukar larut dalam air sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman. Pada tanah ber pH tinggi, fosfor akan bereaksi dengan ion kalsium. Reaksi ini membentuk ion kalsium fosfat yang sifatnya sukar larut dan tidak dapat digunakan oleh tanaman. Dengan demikian, tanpa memperhatikan pH tanah, pemupukan fosfor tidak akan berpengaruh bagi pertumbuhan tanaman.

2. Aerasi

Proses perombakan bahan organik oleh mikroorganisme di dalam tanah berkaitan erat dengan ketersediaan fosfor. Untuk melakukan perombakan, mikroorganisme membutuhkan oksigen di dalam tanah (aerasi). Oksigen di dalam tanah umumnya berada pada pori tanah. Oleh karena hal tersebut, pada tanah yang padat atau tergenang air maka penyerapan unsur fosfor akan berkurang.


(36)

17

3. Temperatur

Ketersediaan fosfor akan semakin besar seiring dengan meningkatnya suhu. Ketersediaan fosfor di daerah hangat akan lebih banyak dibandingkan dengan ketersediaan fosfor di daerah dingin. Hal ini dikarenakan pada suhu yang lebih hangat atau tinggi, proses perombakan bahan organik meningkat.

4. Bahan Organik

Mikroorganisme tanah menggunakan fosfor yang larut dalam air untuk pertumbuhannya. Selanjutnya fosfor yang telah diambil tadi diubah menjadi humus. Tanah dengan bahan organik yang tinggi akan menyediakan fosfor yang cukup bagi mikroorganisme tanah.

5. Unsur Hara Lain

Penyerapan fosfor oleh tanah dipengaruhi unsur lain seperti amonium. Amonium merupakan salah satu bentuk senyawa dari nitrogen. Kekurangan unsur mikro pada tanah akan menghambat penyerapan fosfor.

2.4.2 Analisis Kuantitatif Fosfat

Ada beberapa metode yang umum digunakan dalam analisis kuantitatif fosfat, yaitu :


(37)

18

Metode asam askorbat merupakan metode yang paling sering digunakan dalam analisis kuantitatif fosfor. Metode ini memiliki keunggulan yaitu dapat digunakan untuk berbagai macam sampel, cepat, akurat, dan memiliki lebih sedikit gangguan dalam pelaksanaannya. Prinsip kerja dari metode ini yaitu amonium molibdat dan kalium antimonil tartarat bereaksi dalam medium asam membentuk kompleks antimonil fosfomolibat. Setelah itu, larutan tadi direduksi menjadi kompleks biru molibdenum. Warna biru yang dihasilkan oleh asam askorbat ini lebih

maksimum. Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 880 nm.

2. Metode SnCl2 ( Deniges methods)

Metode SnCl2 memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri jika dibandingkan

dengan metode asam askorbat. Warna yang terbentuk pada metode ini, lebih stabil jika dibandingkan pada asam askorbat. Kekurangannya adalah, metode ini mengharuskan penggunaan SnCl2 selalu dalam keadaan baru. SnCl2 digunakan

sebgai pereduksi karna memiliki kesensitian yang besar. Prinsip kerja dari metode ini yaitu SnCl2 direaksikan dengan ammonium molibdat membentuk

kompleks berwarna biru. Selanjutnya, warna biru tersebut akan mengabsorpi maksimum cahaya pada gelombang 690 nm. Pengabsorpsian cahaya akan diukur menggunakan spektrofotometer.

3. Metode Vanadat

Dalam pelaksanaan metode vanadat, pencampuran pereaksi vanadat dan molibdat harus dilakukan beberapa hari sebelum digunakan. Hal ini dikarenakan


(38)

19

pencampuran pereaksi vanadat dan molibdat sangat cenderung untuk mengendap. Tidak seperti dua metode sebelumnya yang menghasilkan warna biru, pada metode vanadat akan menghasilkan senyawa kompleks yang berwarna kuning. Fosfat bereaksi dengan vanadat membentuk senyawa kompleks berwarna kuning. Warna kompleks fosfovanadomolibdat lebih stabil dibandingkan warna kompleks biru-molibdem. Untuk menghasilkan warna yang stabil, maka bahan-bahan organik yang ada dalam sampel harus terlebih dahulu dibersihkan dengan pereaksi pengoksidasi.

4. Metode Hidroquinon – Molibdat

Hidroquinon merupakan salah satu pereduksi yang paling klasik. Pada metode ini ammonium molibdat direaksikan dengan larutan fosfat membentuk ammonium fosfomolibdat berwarna kuning, kemudian direduksi dengan hidroquinon. Waktu tunggu untuk pembentukan warna maksimum adalah selama 5 menit.

5. Metode Molibdat-Metol ( Tschopp’s Method)

Kelebihan metode ini adalah pereduksinya (metol) yang stabil dan tersedia dengan harga murah. Bila sampel mengandung NO3- lebih dari 1 mg boleh digunakan Comparator, namun jika lebih dari 3 mg harus menggunakan pereaksi Nessler. Metol sangat sensitif terhadap fosfat, namun pada silika metode ini tidak dapat digunakan karna kurang sensitif terhadap silika. Jika sampel dikhawatirkan mengandung arsenit (arsenit menghasilkan warna yang sama dengan fosfat) maka perlu dilakukan penambahan H2S, diikuti penyaringan dan penguapan. Semua


(39)

20

komponen bahan organik lainnya juga harus dihilangkan karena dapat mengganggu intensitas warna yang dihasilkan.

6. Metode Amino-Naftol-Asam Sulfonat

Modifikasi dari Fisk dan prosedur Subbarow merupakan dasar dari terbentuknya metode ini. Fosfat anorganik direaksikan dengan ammonium molibdat,

selanjutnya direduksi dengan amino-naftol-asam sulfonat sehingga dihasilkan kompleks berwarna biru. Untuk menghasilkan warna biru dibutuhkan waktu 15 menit. Metode ini memiliki kelemahan yaitu kurang sensitif.

7. Metode Valin Vanadomolibdat Tablet

Pereaksi yang digunakan adalah vanadat tablet. Karena hanya bentuk pereaksi saja yang berbeda maka warna yang dihasilkanpun sama dengan metode vanadat yaitu warna kuning.

2.5 Nitrogen

Nitrogen merupakan salah satu unsur yang paling banyak terdapat di alam. Nitrogen adalah unsur dari golongan VA dan terdapat di alam sebagai unsur diatomik (N2). Nitrogen berbentuk gas dan mengisi 78.8% dari volume atmosfir

bumi. Selain berbentuk gas dengan rumus kimia N2, nitrogen juga terdapat dalam

bentuk senyawa nitrat, nitrit, amonia, protein, dan sebagainya.

Nitrogen sebagai salah satu unsur hara utama, amat dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhan tanaman. Fungsi nitrogen antara lain (Sutedjo, 1999) :


(40)

21

1. Meningkatkan pertumbuhan tanaman 2. Menyehatkan pertumbuhan daun

3. Meningkatkan kadar protein dalam tubuh tanaman 4. Meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun-daunan

5. Meningkatkan perkembangbiakan miroorganisme didalam tanah

Untuk menjadikan N tersedia bagi tanaman maka dibutuhkan proses mineralisasi nitrogen. Proses mineralisasi ini mengubah N-organik (umumnya terdapat pada bahan organik : humus, serasah, kompos) menjadi N-anorganik. N organik meliputi asam amino atau protein, asam amino bebas, gula amino, sedangkan N-anorganik meliputi NH4+, NO2-, NO3-, N2O, NO, dan N2. Mineralisasi nitrogen

terdiri atas serangkaian proses yaitu hidrolisis protein, aminisasi, amonifikasi dan nitrifikasi. N organik akan diubah menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman yaitu amonium (NH4+). Mineralisasi nitrogen ini akan memacu perkembangan

dan pertumbuhan mikroba lain yang menguntungkan bagi tanaman. Mikroba tersebut adalah mikroba penambat N dan mikroba pelarut fosfat. Perombakan bahan organik akan menghasilkan ion H+ yang memungkinkan pembentukan asam untuk melarutkan fosfat yang terikat kuat pada batuan fosfat

(Nugroho, dkk., 2011).

Dalam tubuh tanaman, nitrogen adalah bagian dari protein dan plasma sel. Klorofil pada daun juga disusun oleh nitrogen. Nitrogen diserap oleh akar tanaman dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Pada akhirnya nitrat

akan segera tereduksi menjadi amonium dengan bantuan enzim yang mengandung Molibdenum (Sutedjo, 1999).


(41)

22

2.5.1 Analisis Kuantitatif Nitrogen

Pengukuran kadar N total umumnya dilakukan dengan Metode Kjehdahl. Metode ini merupakan metode yang paling klasik dalam penentuan kadar N total. Prinsip dari metode ini yaitu mengubah N-organik menjadi N ammonium oleh asam sulfat yang dipanaskan pada suhu 380o Celsius. Sebagai katalisator maka digunakan Cu-sulfat + Selenium + Na-Sulfat. Analisa Metode Kjehdahl dibagi menjadi 3 tahapan yaitu destruksi, destilasi, dan tahap titrasi. Metode Kjehdahl hanya dapat mewakili nitrogen organik yang terdapat pada limbah.

Untuk menghitung amonium maka digunakan metode Nessler. Prinsip kerjanya adalah ion amonium dalam suasana basa kan bereaksi dengan larutan Nessler membentuk senyawa kompleks yang berwarna kuning sampai coklat. Warna yang timbul diukur absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 415 nm.


(42)

III. METODELOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2014 hingga bulan Juli 2014

bertempat di Labolatorium Rekayasa Sumber Daya Air dan Lahan Jurusan Teknik Pertanian serta Labolatorium Kimia Tanah Jurusan Agroekoteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

3.2 Alat dan Bahan

Alat - alat yang akan digunakan pada penelitian ini adalah: seperangkat biofilter rakitan, oven, spektrofotometer, timbangan analitik, cawan, botol sampel, DO meter, pipet, labu ukur, inkubator, magnetic stirer, erlenmeyer, beaker glass, botol BOD, dan alat labolatorium lainnya.

Bahan utama yang digunakan adalah batuan fosfat dan limbah cair tahu (whey) yang berasal dari Kelurahan Gunung Sulah, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung. Bahan lainnya adalah aquadest, asam askorbat, H2SO4, HCl, dan


(43)

24

3.3 Prosedur Penelitian

Keseluruhan pelaksanaan penelitian dilakukan di dalam labolatorium.

Pelaksanaan penelitian dibagi atas dua tahap yaitu persiapan dan pengambilan data.

Mulai

Pembuatan biofilter rakitan dan persiapan media

Penghitungan BOD, TS, pH serta kadar fosfor dan nitrogen pada whey dan juga

biofilter sebelum dimulai filtrasi.

Dimulai filtrasi dengan perlakuan waktu tertentu

Dihitung kadar fosfor serta nitrogen pada whey dan biofilter sesudah filtrasi. Selain itu

juga diamati parameter limbahlainnya seperti pH, BOD, dan TS.

Analisis Data


(44)

25

3.3.1 Persiapan

a) Persiapan Media

Batuan fosfat berperan sebagai media filtrasi. Ukuran dari batuan fosfat ini berkisar antara 1 mm s/d 5 mm. Media filter yang telah dikecilkan dicuci untuk menghilangkan debu yang menempel pada media filter. Setelah dicuci maka batuan fosfat akan dijemur di bawah sinar matahari (kering udara) dan

dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC selama 24 jam. Bahan-bahan organik yang terdapat pada pori batuan fosfat akan menguap selama proses pengovenan sehingga daya serap terhadap air pada pori tersebut akan meningkat.

b) Penghitungan debit

Pompa yang digunakan pada penelitian ini adalah pompa merk Luckiness 804 dengan spesifikasi sebagai berikut:

Voltase : 220 volt/ 240 volt 50 Hz Watt : 40 W

H max : 2.0 m Q max/hr : 2000 l/hr

Debit pompa dihitung dengan menggunakan rumus :

Q = V/t... (1) dimana :

Q = debit (m3/s)

V = volume penampung (m3) t = waktu (sekon)


(45)

26

c) Porositas

Untuk menghitung porositas maka terlebih dahulu harus dihitung volume pori. Volume pori dihitung dengan metode volumetrik dengan rumus sebagai berikut :

Massa Pori = M2– M1... (2)

dimana :

M1 (g)= berat batu dengan volume tertentu (g)

M2 (g)= (berat batu + air) hingga volume tertentu (g)

Selanjutnya massa pori yang telah didapat dikonversi ke dalam rumus berikut agar didapatkan nilai volume pori :

P = =

P... (3)

dimana :

P = massa jenis (g/cm3) m = massa (g)

v = volume pori (cm3)

Porositas dihitung dengan rumus : Porositas = � � �

� � �... (4)

d) Perakitan Biofilter

Biofilter rakitan terdiri atas selang, kolom biofilter, pompa, dan juga bak penampung. Media filtrasi berupa batuan fosfat sebanyak 0,5 Kg dengan ketinggian 6,5 cm.


(46)

27

dimana :

1 = Limbah Cair Tahu 2 = Pompa

3 = Kolom Biofilter (media filter = batuan fosfat)

Sebanyak 10 liter limbah akan disirkulasi dengan perlakuan waktu tertentu yaitu 0 jam, 3 jam, 6 jam, 12 jam, 24 jam, 36 jam, dan 48 jam. Filtrasi tidak dilakukan secara kontinyu tetapi berbeda dan terpisah untuk setiap variasi waktu. Sehingga akan digunakan limbah cair yang baru setiap kali memulai filtrasi. Hal ini bertujuan agar data yang dihasilkan valid.

3.3.2 Pengumpulan data

Pengumpulan data merupakan hasil pengukuran dari setiap parameter sebelum dan sesudah filtrasi. Adapun parameter yang diamati adalah sebagai berikut :

a) Total Solids

Total Solids (TS) akan dihitung dengan rumus : 1

3 2


(47)

28

) / ( . 1 2 L mg sampel Vol W W

TS  ... (5)

dimana :

W1 = berat cawan + sample sebelum dioven (mg)

W2 = berat cawan + sample sesudah dioven selama 24 jam dengan

suhu 105o C (mg) Vol. Sampel = Volume sample (L)

Total solids pada limbah cair tahu akan dihitung sebelum dan sesudah filtrasi dengan variasi waktu tertentu.

b) pH

pH diukur dengan menggunakan alat pH meter. pH limbah dihitung sebelum dan sesudah filtrasi.

c) P total

P total tidak hanya dihitung pada limbah namun juga dihitung pada media filtrasi (batuan fosfat). Absorbansi P dihitung pada panjang gelombang 720 nm.

P total (ppm) = ��

� � � � � ��� � � �

... (6)

dimana :

ml HCl = jumlah HCl yang digunakan untuk melarutkan P pada sampel g sample = berat sample yang dianalisis

p = fraksi pengenceran


(48)

29

Prosedur kerja terlampir pada halaman 57.

d) P larut

P terlarut dihitung pada media filtrasi (batuan fosfat). Fosfat terlarut asam sitrat 2% diukur secara spektrofotometri dari senyawa kompleks (berwarna kuning) yang terbentuk dari hasil reaksi ortofosfat dengan amonium molibdat dan vanadat. Prosedur kerja terlampir pada halaman 61.

e) Amonium

Kadar amonium pada limbah sangat tinggi. Digunakan metode nessler pada pengujian amonium. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 425 nm. Kadar amonium hanya dihitung pada limbah cair saja.

Prosedur kerja terlampir pada halaman 59.

f) Faktor Kinetika

Nilai faktor kinetika (k) diperoleh dari kurva hubungan konsentrasi (setiap parameter : pH, TS, BOD, fosfor, nitrogen total,dan amonium) terhadap waktu pengamatan (0 jam, 3 jam, 6 jam, 12 jam, 24 jam, 36 jam dan 48 jam).


(49)

30

Faktor kinetika akan dihitung dengan rumus:

= −��... (7) Jika c = co saat t = 0, maka persamaan yang dihasilkan :

c = coe-kt... (8)

dimana c merupakan konsentrasi setiap parameter limbah sesudah filtrasi, co

konsentrasi parameter limbah sebelum filtrasi dan k merupakan konstanta kinetika.

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dari analisis penelitian akan disajikan dalam bentuk grafik, tabel, dan uraian.

Gambar 2. Faktor kinetika C

t

Δt Δt Δt

Co

0,5 Co 0,25 Co 0,125 Co


(50)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. pH limbah cair tahu (whey) mengalami kenaikan yang signifikan selama proses filtrasi. pH mencapai angka 9,318 pada durasi filtrasi 48 jam. Persamaan eksponensial untuk pH adalah pH = 4,53e0,015x dan r = 0,88. 2. Limbah cair tahu mengalami peningkatan kualitas yang cukup signifikan

setelah difiltrasi dengan menggunakan biofilter media partikel batuan fosfat. Biofilter dengan media partikel batu fosfat mampu mereduksi 45% Total Solids, 70% Amonium, dan 90% P total pada akhir filtrasi (HRT 48 jam).

3. Proses pengolahan limbah pada penelitian ini mampu meningkatkan kandungan P terlarut pada media filter (batuan fosfat) sebesar 30%, dari 4,06 ppm (nilai awal) menjadi 4,52 ppm (nilai akhir).


(51)

48

5.2 Saran

Untuk menyempurnakan penelitian ini dibutuhkan rancangan percobaan dengan beberapa kali pengulangan, pengukuran BOD (Biochemical Oxygen demand) dan juga Total Kjehdahl Nitrogen. Kajian lebih lanjut mengenai kinerja alat juga dibutuhkan agar dapat diketahui hubungan antara desain alat dan kinerja pemurnian limbah.


(52)

DAFTAR PUSTAKA

Asmoro, Y., Suranto, dan D. Sutoyo. 2008. Pemanfatan Limbah Tahu Untuk Peningkatan Hasil Tanaman Petsai (Brassica Chinensis). Jurnal

Bioteknologi. 5 (2) : 51-55.

A’Yunin, Q. 2012. Evaluasi pH Awal Media Dalam Biofiltrasi N2O Dengan

Karbon Aktif Yang Diinokulasi Oleh Nitrobacter winogradskyi. Skripsi, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok.

Balai Penelitian Tanah. 2011. Fosfat Alam Sumber Pupuk P yang Murah. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 33 (1) : 10-12.

Budi, F.S., dan A. Purbasari. 2009. Pembuatan Pupuk Fosfat Dari Batuan Fosfat Alam Secara Acidulasi . Jurnal TEKNIK. 30 (2) : 93-98.

Cahyadi, W. 2007. Kedelai : Khasiat dan Teknologi. PT Bumi Aksara, Jakarta : 108 Halaman.

Chaudhary, D.S., S. Vigneswaran, H. Ngo, W.G. Shim, dan H. Moon. 2003. Biofilter in Water and Wastewater Treatment. Korean J. Chem. Eng. 20 (6) : 1054-1065.

Devinny, J.S., M.A.Deshusses, dan T.S.Webster. 1998. Biofiltration of Air Pollution Control. Lewis Publisher, New York.

Elias, A., A. Barona, A. Areguy, J. Rioz, I. Aranguiz, dan J. Penas. 2002.

Evaluation Of Packing Material For The Biodegradation of H2S and Product

Analysis. Process Biochem (37) : 813-820.

Govind, R. 2009. Biofiltration : An Innovative Technology For The Future. University Of Cincinnati : Cincinnati.

Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 360 Halaman.


(53)

50

Kasno, A., S. Rochayati, dan B. H. Prasetyo. 2009. Deposit, Penyebaran, dan Karateristik Fosfat Alam. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian : 21 Halaman.

Komariyah, S dan Sugito. 2011. Perencanaan IPAL Biofilter Di UPTD

Kesehatan Puskesmas Gondongwetan Kabupaten Pasuruan. Jurnal Teknik WAKTU. 9 (2) : 17-24.

Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. ANDI, Yogyakarta : 352 Halaman. Kandasamy, J., S.Vigneswaran, T.T.L. Hoang, dan D.N.S. Chaudhary. 2006.

Adsorption and Biological Filtration in Wastewater Treatment.

Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS). University of Technology, Sydney : 14 Halaman.

Lingga, P. 2009. Petunjuk Penggunaan Pupuk. PT Penebar Swadaya, Jakarta : 163 Halaman.

Mindari, W dan Rosida, P. 2011. Panduan Praktikum Kimia Tanah. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”, Surabaya : 23 Halaman.

Nugroho, S.G., Dermiyati, S. Triyono, H. Ismono, dan A.P. Jatmiko. 2011. Perakitan Pupuk Alternatif Organomineral NP (Organonitrofos) Berbasis Sumber Daya Lokal Dan Pengalihan Teknologi Produksi Ke Swasta dan Kelompok Tani. Laporan Akhir. Universitas Lampung, Bandar Lampung. Nurhasanah. 2009. Penentuan Kadar COD (Chemical Oxygen Demand) Pada

Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit, Pabrik Karet dan Domestik. Karya Ilmiah, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pohan, N. 2008. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dengan Biofilter Aerobik. Tesis, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara : Medan. Ridwan, I. 2011. Pembuatan Pupuk Super Fosfat Dengan Variasi Diameter

Partikel Batuan Fosfat dan Variasi Konsentrasi Asam Sulfat. Jurnal Fluida. 7 (1) : 36-40.

Sadzali, I. 2010. Potensi Limbah Tahu Sebagai Biogas. Jurnal UI Untuk Bangsa Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi. 1 : 62-69.

Said, N.I dan Heru, D.W. 1999. Teknologi Pengolahan Air Limbah Tahu-Tempe Dengan Proses Biofilter Anaerob dan Aerob. Badan Pengkajian Dan Penerapan Teknologi, Jakarta.

Saputra, H. 2006. Penerapan Biofilter Untuk Penghilangan NH3 Dan H2S

Dengan Menggunakan Bakteri Nitrosomonas Sp dan Thiobacillus Sp Di Pabrik Lateks Pekat. Skripsi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(54)

51

Soccol. C.R, A.L. Woichiechowski, L.P.S. Vandenberghe, M. Soares, G.K. Neto, dan V.Thomas. 2003. Biofiltration : An Emerging Technology. Indian Journal of Biotechnology. 2 : 396-410.

Srivastava, N.K dan C.B, Majumder. 2007. Novel Biofiltration Methods For The Treatment Of Heavy Metals From Industrial Wastewater. Journal of

Hazardous Materials. 151 (1) : 1-8.

Suharto. 2011. Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air. ANDI, Yogyakarta : 518 Halaman.

Sutedjo, M.M. 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT Rineka Cipta, Jakarta : 177 Halaman.

Tchobanoglous, G dan F.L.Burton. 1991. Waste Water Engineering : Treatment, Disposal, and Reuse, 3rd Ed. McGrow Hill Book Co, New York : 1334 Halaman.

Triyono, S. 2011. Modul Praktikum Rekayasa pengolahan Limbah. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Triyono, S. 2013. Potensi Penggunaan Teknologi Ultrasonik Dalam Pembuatan Pupuk Fosfat Cair. Laporan Penelitian, Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Wati, R. 2008. Penentuan Kadar Fosfat dan COD Pada Proses Pengoahan Air Limbah PT. Sinar Oleochemical International (PT. SOCI). Karya Ilmiah, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan.


(1)

30

Faktor kinetika akan dihitung dengan rumus:

= −��... (7) Jika c = co saat t = 0, maka persamaan yang dihasilkan :

c = coe-kt... (8)

dimana c merupakan konsentrasi setiap parameter limbah sesudah filtrasi, co

konsentrasi parameter limbah sebelum filtrasi dan k merupakan konstanta kinetika.

3.4 Analisis Data

Data yang diperoleh dari analisis penelitian akan disajikan dalam bentuk grafik, tabel, dan uraian.

Gambar 2. Faktor kinetika C

t

Δt Δt Δt

Co

0,5 Co 0,25 Co 0,125 Co


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. pH limbah cair tahu (whey) mengalami kenaikan yang signifikan selama proses filtrasi. pH mencapai angka 9,318 pada durasi filtrasi 48 jam. Persamaan eksponensial untuk pH adalah pH = 4,53e0,015x dan r = 0,88. 2. Limbah cair tahu mengalami peningkatan kualitas yang cukup signifikan

setelah difiltrasi dengan menggunakan biofilter media partikel batuan fosfat. Biofilter dengan media partikel batu fosfat mampu mereduksi 45% Total Solids, 70% Amonium, dan 90% P total pada akhir filtrasi (HRT 48 jam).

3. Proses pengolahan limbah pada penelitian ini mampu meningkatkan kandungan P terlarut pada media filter (batuan fosfat) sebesar 30%, dari 4,06 ppm (nilai awal) menjadi 4,52 ppm (nilai akhir).


(3)

48

5.2 Saran

Untuk menyempurnakan penelitian ini dibutuhkan rancangan percobaan dengan beberapa kali pengulangan, pengukuran BOD (Biochemical Oxygen demand) dan juga Total Kjehdahl Nitrogen. Kajian lebih lanjut mengenai kinerja alat juga dibutuhkan agar dapat diketahui hubungan antara desain alat dan kinerja pemurnian limbah.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Asmoro, Y., Suranto, dan D. Sutoyo. 2008. Pemanfatan Limbah Tahu Untuk Peningkatan Hasil Tanaman Petsai (Brassica Chinensis). Jurnal

Bioteknologi. 5 (2) : 51-55.

A’Yunin, Q. 2012. Evaluasi pH Awal Media Dalam Biofiltrasi N2O Dengan

Karbon Aktif Yang Diinokulasi Oleh Nitrobacter winogradskyi. Skripsi,

Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok.

Balai Penelitian Tanah. 2011. Fosfat Alam Sumber Pupuk P yang Murah. Warta

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. 33 (1) :

10-12.

Budi, F.S., dan A. Purbasari. 2009. Pembuatan Pupuk Fosfat Dari Batuan Fosfat Alam Secara Acidulasi . Jurnal TEKNIK. 30 (2) : 93-98.

Cahyadi, W. 2007. Kedelai : Khasiat dan Teknologi. PT Bumi Aksara, Jakarta : 108 Halaman.

Chaudhary, D.S., S. Vigneswaran, H. Ngo, W.G. Shim, dan H. Moon. 2003. Biofilter in Water and Wastewater Treatment. Korean J. Chem. Eng. 20 (6) : 1054-1065.

Devinny, J.S., M.A.Deshusses, dan T.S.Webster. 1998. Biofiltration of Air

Pollution Control. Lewis Publisher, New York.

Elias, A., A. Barona, A. Areguy, J. Rioz, I. Aranguiz, dan J. Penas. 2002.

Evaluation Of Packing Material For The Biodegradation of H2S and Product

Analysis. Process Biochem (37) : 813-820.

Govind, R. 2009. Biofiltration : An Innovative Technology For The Future. University Of Cincinnati : Cincinnati.

Hanafiah, K.A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta : 360 Halaman.


(5)

50

Kasno, A., S. Rochayati, dan B. H. Prasetyo. 2009. Deposit, Penyebaran, dan

Karateristik Fosfat Alam. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang

Pertanian. Departemen Pertanian : 21 Halaman.

Komariyah, S dan Sugito. 2011. Perencanaan IPAL Biofilter Di UPTD

Kesehatan Puskesmas Gondongwetan Kabupaten Pasuruan. Jurnal Teknik

WAKTU. 9 (2) : 17-24.

Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. ANDI, Yogyakarta : 352 Halaman. Kandasamy, J., S.Vigneswaran, T.T.L. Hoang, dan D.N.S. Chaudhary. 2006.

Adsorption and Biological Filtration in Wastewater Treatment.

Encyclopedia of Life Support Systems (EOLSS). University of Technology,

Sydney : 14 Halaman.

Lingga, P. 2009. Petunjuk Penggunaan Pupuk. PT Penebar Swadaya, Jakarta : 163 Halaman.

Mindari, W dan Rosida, P. 2011. Panduan Praktikum Kimia Tanah. Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran”, Surabaya : 23 Halaman.

Nugroho, S.G., Dermiyati, S. Triyono, H. Ismono, dan A.P. Jatmiko. 2011. Perakitan Pupuk Alternatif Organomineral NP (Organonitrofos) Berbasis Sumber Daya Lokal Dan Pengalihan Teknologi Produksi Ke Swasta dan

Kelompok Tani. Laporan Akhir. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Nurhasanah. 2009. Penentuan Kadar COD (Chemical Oxygen Demand) Pada

Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit, Pabrik Karet dan Domestik. Karya

Ilmiah, FMIPA, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pohan, N. 2008. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dengan Biofilter

Aerobik. Tesis, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara : Medan.

Ridwan, I. 2011. Pembuatan Pupuk Super Fosfat Dengan Variasi Diameter Partikel Batuan Fosfat dan Variasi Konsentrasi Asam Sulfat. Jurnal Fluida. 7 (1) : 36-40.

Sadzali, I. 2010. Potensi Limbah Tahu Sebagai Biogas. Jurnal UI Untuk Bangsa

Seri Kesehatan, Sains, dan Teknologi. 1 : 62-69.

Said, N.I dan Heru, D.W. 1999. Teknologi Pengolahan Air Limbah Tahu-Tempe

Dengan Proses Biofilter Anaerob dan Aerob. Badan Pengkajian Dan

Penerapan Teknologi, Jakarta.

Saputra, H. 2006. Penerapan Biofilter Untuk Penghilangan NH3 Dan H2S

Dengan Menggunakan Bakteri Nitrosomonas Sp dan Thiobacillus Sp Di

Pabrik Lateks Pekat. Skripsi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,


(6)

Soccol. C.R, A.L. Woichiechowski, L.P.S. Vandenberghe, M. Soares, G.K. Neto, dan V.Thomas. 2003. Biofiltration : An Emerging Technology. Indian

Journal of Biotechnology. 2 : 396-410.

Srivastava, N.K dan C.B, Majumder. 2007. Novel Biofiltration Methods For The Treatment Of Heavy Metals From Industrial Wastewater. Journal of

Hazardous Materials. 151 (1) : 1-8.

Suharto. 2011. Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air. ANDI, Yogyakarta : 518 Halaman.

Sutedjo, M.M. 1999. Pupuk dan Cara Pemupukan. PT Rineka Cipta, Jakarta : 177 Halaman.

Tchobanoglous, G dan F.L.Burton. 1991. Waste Water Engineering : Treatment,

Disposal, and Reuse, 3rd Ed. McGrow Hill Book Co, New York : 1334

Halaman.

Triyono, S. 2011. Modul Praktikum Rekayasa pengolahan Limbah. Universitas Lampung, Bandar Lampung.

Triyono, S. 2013. Potensi Penggunaan Teknologi Ultrasonik Dalam Pembuatan

Pupuk Fosfat Cair. Laporan Penelitian, Universitas Lampung, Bandar

Lampung.

Wati, R. 2008. Penentuan Kadar Fosfat dan COD Pada Proses Pengoahan Air

Limbah PT. Sinar Oleochemical International (PT. SOCI). Karya Ilmiah,