PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRAT DENGAN KADAR PROTEIN KASAR YANG BERBEDA PADA RANSUM BASAL TERHADAP KECERNAAN PROTEIN DAN KECERNAAN SERAT KASAR KAMBING BOERAWA PASCA SAPIH

(1)

PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRAT DENGAN KADAR PROTEIN KASAR YANG BERBEDA PADA RANSUM BASAL TERHADAP KECERNAAN PROTEIN

DAN SERAT KASAR KAMBING BOERAWA PASCA SAPIH

Oleh Asep Sukmawan

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PETERNAKAN

pada

Jurusan Peternakan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

Kata kunci : konsentrat, kecernaan protein, kecernaan serat kasar, kambing Boerawa

ABSTRAK

PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRAT DENGAN KADAR PROTEIN KASAR YANG BERBEDA PADA RANSUM BASAL TERHADAP KECERNAAN PROTEIN DAN KECERNAAN SERAT

KASAR KAMBING BOERAWA PASCA SAPIH

Oleh

Asep Sukmawan

Kambing Boerawa merupakan jenis ternak pengahasil daging yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh penambahan konsentrat dengan kadar protein kasar yang berbeda pada ransum basal terhadap kecernaan protein dan kecernaan serat kasar kambing Boerawa pasca sapih dan mengetahui adanya penambahan konsentrat yang terbaik terhadap kecernaan protein dan kecernaan serat kasar kambing Boerawa pasca sapih.

Penelitian dilaksanakan selama 1 bulan dari 27 Agustus–26 September 2012, di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus. Kambing yang digunakan adalah kambing Boerawa fase pasca sapih sebanyak 20 ekor dengan rata-rata bobot awal 18,25 ± 6,13 kg/ekor. Penelitian ini menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK), terdiri atas empat perlakuan, dengan ulangan sebanyak lima kali, yaitu R0: ransum basal, R1: ransum basal+konsentrat (PK 13%); R2: ransum basal+konsentrat (PK 16%); dan R3; ransum basal+konsentrat (PK 19%). Data yang diperoleh dalam penelitian ini diuji normalitas,

homogenitas, dan aditivitas untuk memenuhi asumsi-asumsi dari analisis ragam, kemudian dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf nyata 5% dan atau 1%.

Hasil penelitian menunjukkan penambahan konsentrat dengan kadar protein kasar yang berbeda pada ransum basal tidak mempengaruhi terhadap kecernaan protein dan serat kasar (P>0,05) pada kambing Boerawa pasca sapih.


(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

C.Kegunaan Penelitian ... 4

D.Kerangka Pemikiran ... 4

E. Hipotesis .. ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A.Kambing Boerawa ... 7

B. Bobot Sapih ... 9

C.Pakan Ternak ... 10

D.Kebutuhan Protein Kambing ... . 13

E. Kebutuhan Serat Kasar Ternak Ruminansia ... 14

F. Sistem Pencernaan pada Ternak Ruminansia ... . 16

G.Hubungan Kecernaan terhadap Protein dan Serat Kasar ... 18


(6)

A.Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

B. Bahan Penelitian ... 26

a. Kambing Boerawa ... 26

b. Konsentrat ... 26

c. Air Minum ... 27

C.Alat Penelitian ... 27

D.Rancangan Penelitian... 28

E. Pelaksanaan Penelitian ... 30

F. Prosedur Analisis Proksimat ... 32

a. Kadar Protein ... 32

b. Kadar Serat Kasar ... 33

G. Peubah yang Diamati ... 35

H. Analisis Data ... . 35

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein ... 36

B. Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan serat Kasar ... 43

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 49

A. Simpulan . ... 49

B. Saran ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(7)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Salah satu jenis ternak pengahasil daging dan susu yang dapat dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing adalah ruminansia kecil yang mampu mengubah pakan yang berkualitas rendah menjadi daging dan susu yang bernilai gizi tinggi. Keuntungan lain pada kambing antara lain ialah dapat beranak lebih dari satu pada setiap periode kelahiran, pemeliharaannya tidak memerlukan teknologi tinggi dan mempunyai daya adaptasi yang luas.

Kambing merupakan salah satu ternak ruminansia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan. Salah satu aspek penting untuk mencapai produktivitas ternak yang tinggi adalah pakan yang berkualitas. Pengembangan kambing sebagai penghasil daging masih dalam skala usaha subsisten dan perlu

ditingkatkan menjadi skala usaha komersial. Kambing memiliki alat pencernaan yang kompleks dan sempurna, sehingga mampu mencerna secara intensif ransum yang mengandung serat kasar tinggi. Sifat alami yang dimiliki kambing ini sangat cocok untuk dikembangkan pada peternak di pedesaan karena peternak di

pedesaan pada umumnya masih menggunakan rumput lapangan atau hijauan sebagai pakan pokoknya yang mengandung serat kasar tinggi. Pakan merupakan


(8)

masalah yang mendasar dalam suatu usaha peternakan. Minat masyarakat yang tinggi terhadap produk hewani terutama daging kambing, menyebabkan

peminatnya terus meningkat, sehingga membutuhkan peningkatan pula, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Peningkatan kualitas dan kuantitas tersebut tidak terlepas dari peranan pakan yang diberikan. Hasil penelitian Parakkasi (1980), menunjukkan bahwa faktor genetik hanya mempengaruhi sekitar 30%, sedangkan 70% dari produktivitas ternak terutama pertumbuhan dan produksinya

dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak yang memakannya (Tillman et al., 1998). Sumoprastowo (1986), menyatakan bahwa pemberian pakan pada ternak kambing sebaiknya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi berulangkali, sesuai kebiasaan kambing, sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi ternak tersebut perlu diberi kesempatan yang lebih banyak untuk membangun jaringan-jaringan baru yang rusak. Kandungan nutrien pakan yang lebih tinggi diharapkan dapat meningkatkan peran protein untuk membangun jaringan tubuh sehingga dapat meningkatkan penformans kambing tersebut.

Konsentrat merupakan bahan makanan dengan kadar serat kasar kurang dari 20 % dan nutrisi dapat dicerna lebih dari 80 % (Cullison dan Lawrey, 1987). Secara umum konsentrat mengandung serat kasar rendah, mengandung karbohidrat, protein, lemak yang relatif lebih banyak tetapi jumlahnya bervariasi dan mempunyai sifat mudah dicerna (Tillman et al., 1991).


(9)

3 Salah satu pakan berserat yang dapat digunakan sebagai pakan adalah rumput lapang atau hijauan, namun kandungan nutrien hijauan belum mencukupi kebutuhan nutrien ternak sehingga perlu konsentrat sebagai pakan penguat. Perlakuan terhadap hijauan dengan menambahkan suplementasi konsentrat dapat meningkatkan konsumsi pakan dan laju pertumbuhan. Hal ini sesuai pendapat Soeparno dan Davies, (1987), bahwa perlakuan-perlakuan pakan dapat mengubah performa termasuk pertumbuhan, efisiensi pakan produksi dan kualitas daging. Suplementasi konsentrat pada kambing yang sedang tumbuh dapat meningkatkan konsumsi pakan dan laju pertumbuhan.

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan menambahkan konsentrat dengan kadar protein kasar berbeda dalam ransum basal guna meningkatkan produktivitas kambing Boerawa.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

(1) mengetahui pengaruh penambahan konsentrat dengan kadar protein kasar yang berbeda pada ransum basal terhadap kecernaan protein dan serat kasar kambing Boerawa pasca sapih;

(2) mengetahui adanya penambahan konsentrat yang terbaik terhadap kecernaan protein dan serat kasar kambing Boerawa pasca sapih.


(10)

C. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh penambahan konsentrat dengan kadar protein kasar yang berbeda pada ransum basal terhadap kecernaan protein dan serat kasar kambing Boerawa sehingga produktivitas ternak menjadi optimal.

D. Kerangka Pemikiran

Pakan adalah yang paling besar mempengaruhi produktitivitas ternak, karena 60% dari biaya produksi berasal dari pakan (Williamson dan Payne, 1993). Meskipun potensi genetik seekor ternak tersebut tinggi, namun tanpa dukungan pemberian pakan yang berkualitas baik, maka produksi dari seekor ternak yang diinginkan tidak akan mencapai optimal sedangkan pemberian konsentrat dalam pakan ternak kambing bertujuan untuk meningkatkan daya guna pakan, menambah unsur pakan yang defisien, serta meningkatkan konsumsi dan kecernan pakan.

Produktivitas ternak kambing dapat ditingkatkan dengan mengkombinasikan rumput lapang dengan bahan pakan lainnya yang mengandung nutrien lebih tinggi, agar nutrien dari pakan yang diberikan meningkat. Umumnya, bahan pakan yang digunakan sebagai suplemen adalah konsentrat. Konsentrat merupakan bahan pakan yang kaya akan energi, protein, mineral, vitamin, kandungan serat kasarnya rendah serta mudah dicerna, sehingga dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan (Murtidjo, 1993). Dengan pemberian konsentrat untuk level kandungan protein kasar berbeda pada pakan dasar rumput, dapat saling menutupi kekurangan masing-masing bahan dan dapat


(11)

5 meningkatkan nilai nutrisi pakan sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi sedangkan kecernaan serat suatu bahan makanan mempengaruhi kecernaan pakan, baik dari segi jumlah maupun komposisi kimia seratnya (Tillman, 1991). Cuthbertson (1969), menambahkan bahwa serat tidak pernah digunakan seluruhnya oleh ruminansia dan sekitar 20-70% dari serat kasar yang dikonsumsi dapat ditemukan di dalam feses.

Pemberian konsentrat dengan kandungan protein tertentu akan mempengaruhi perkembangan mikroba dalam rumen. Mikrobia dalam rumen cenderung akan memanfaatkan pakan konsentrat terlebih dahulu sebagai sumber energi dan selanjutnya dapat memanfaatkan pakan kasar yang ada. Dengan demikian

mikrobia rumen lebih mudah dan lebih cepat berkembang populasinya (Murtidjo, 1993). Parakkasi (1999), juga menambahkan bahwa dengan adanya bantuan mikroba rumen akan meningkatkan kecernaan bahan makanan yang mengandung karbohidrat struktural (karbohidrat pembangun), kandungan lignin dan silica pada bahan makanan dapat mempengaruhi produksi energi metabolis karena bahan makanan yang memiliki kandungan lignin dan silica yang tinggi akan lebih sulit dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar melalui feses. Tillman et al. (1989), menyatakan bahwa hewan tidak

menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa, tetapi

mikroorganisme dalam suatu saluran pencernaan menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat mencerna selulosa dan hemiselulosa, juga dapat mencerna pati dan karbohidrat yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat.


(12)

Berdasarkan pemikiran di atas, dengan penambahan konsentrat dalam ransum basal dengan kandungan level protein kasar berbeda secara berturut-turut yaitu 13%, 16%, dan 19% diharapkan akan mampu meningkatkan kecernaan protein dan dapat menurunkan kecernaan serat kasar sehingga kecernaan pada kambing Boerawa atau ketersediaan nutrien pada kambing meningkat yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktifitas kambing tersebut.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:

(1) terdapat pengaruh penambahan konsentrat dengan kadar protein kasar yang berbeda pada ransum basal terhadap kecernaan protein dan serat kasar pada kambing Boerawa pasca sapih;

(2) terdapat penambahan konsentrat terbaik pada ransum basal terhadap kecernaan protein dan serat kasar pada kambing Boerawa pasca sapih.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kambing Boerawa

Salah satu jenis ternak pengahasil daging dan susu yang dapat dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing adalah ruminansia kecil yang mampu mengubah pakan yang berkualitas rendah menjadi daging dan susu yang bernilai gizi tinggi. Keuntungan lain pada kambing antara lain ialah dapat beranak lebih dari satu pada setiap periode kelahiran, pemeliharaannya tidak memerlukan teknologi tinggi dan mempunyai daya adaptasi yang luas. Kambing merupakan hewan yang dijinakkan oleh manusia. Kambing yang dikenal sekarang diperkirakan dari keturunan kambing liar yang hidup di lereng-lereng pegunungan. Kambing memiliki kebiasaan makan dengan cara berdiri, mencari daun-daunan yang berada di atas, dan tidak senang

mengelompok (Balai Informasi Pertanian, 1986).

Pengembangan kambing sebagai penghasil daging masih dalam skala usaha subsisten dan perlu ditingkatkan menjadi skala usaha komersial. Kambing memiliki alat pencernaan yang kompleks dan sempurna, sehingga mampu

mencerna secara intensif ransum yang mengandung serat kasar tinggi. Sifat alami yang dimiliki kambing ini sangat cocok untuk dikembangkan pada peternak di pedesaan karena peternak di pedesaan pada umumnya masih menggunakan


(14)

rumput lapang atau hijauan sebagai pakan pokoknya yang mengandung serat kasar tinggi. Cahyono (1999), menyatakan bahwa kambing merupakan jenis ternak potong yang tergolong ternak ruminansia kecil, hewan pemamah biak, dan merupakan hewan yang menyusui anak-anaknya. Kambing mempunyai

kemampuan memanjat dengan baik, sehingga kambing mampu hidup di daerah berbukit atau pegunungan. Selain itu, kambing mempunyai daya jelajah yang jauh lebih luas dari pada domba dan sapi. Kambing juga mempunyai kemampuan untuk menggunakan pakan berkualitas rendah dan menyukai pakan yang berasal dari tanaman semak (Blakey dan Bade, 1994).

Peningkatan produksi ternak pada umumnya dapat dilakukan melalui penggunaan bibit yang baik, perbaikan makanan, dan tatalaksana pemeliharaan. Ketiga faktor tersebut apabila dilaksanakan secara seimbang, maka akan diperoleh produksi yang optimum. Dalam rangka peningkatan produksi, peternak lebih senang melakukan perbaikan pakan dan tatalaksana dibanding dengan melakukan perbaikan genetik, karena hasilnya lebih cepat dinikmati.

Ada empat cara klasifikasi kambing piaraan yaitu berdasarkan asal-usul, kegunaan, besar tubuh, dan bentuk serta panjang telinganya (Williamson dan Payne, 1993). Kambing Boerawa merupakan jenis kambing persilangan antara kambing Boer jantan dengan kambing Peranakan Etawa betina (Cahyono, 1999). Kambing Boerawa memiliki ciri-ciri diantara kambing Boer dengan kambing PE sebagai tetuanya. Kambing Boerawa memiliki telinga yang agak panjang dan terkulai ke bawah sesuai dengan ciri-ciri kambing PE, namun memiliki bobot tubuh yang lebih tinggi daripada kambing PE, yang diwariskan dari kambing Boer


(15)

9 dengan profil muka yang sedikit cembung, dengan pertumbuhan berat badan 0,17 kg/hari (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi Lampung, 2004). Selain itu, kambing Boerawa juga memiliki badan yang lebih besar dan padat yaitu dapat mencapai 40 kg pada umur 8 bulan dibandingkan dengan kambing PE, sehinggga jumlah daging yang dihasilkan lebih banyak (Ditbangnak, 2004). Hardjosubroto (1994), menyatakan setiap individu akan mewarisi setengah dari sifat-sifat tetua jantannya dan setengah berasal dari induknya.

Kambing Boerawa saat ini sedang dikembangbiakan dan menjadi salah satu ternak unggulan di Provinsi Lampung. Kambing tersebut dipelihara oleh masyarakat sebagai penghasil daging karena laju pertumbuhannya yang tinggi dengan postur tubuh yang kuat dan tegap, sehinga harga jualnya juga tinggi dan permintaan pasar terhadap kambing Boerawa tinggi (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung, 2004).

B. Bobot Sapih

Bobot sapih merupakan hasil penimbangan anak kambing saat dipisahkan pemeliharaannya dari induknya. Pertumbuhan selama periode pra-sapih akan menentukan bobot ternak saat disapih. Bobot sapih dapat dijadikan sebagai kriteria dalam pendugaan performan ternak. Bobot sapih dijadikan kriteria dalam melakukan seleksi karena merupakan indikator kemampuan induk dalam

menghasilkan susu dan menghasilkan anak-anaknya, selain itu juga dapat digunakan untuk menduga kemampuan anak kambing (cempe) setelah sapih (Hardjosubroto, 1994). Hasil penelitian Sulastri (2007) menyatakan rata-rata


(16)

bobot sapih Kambing Boerawa G1 dan G2 adalah 24,01 dan 24, 62 kg. Ceacillia (2002), menambahkan umur sapih yang ideal untuk kambing adalah 120 hari.

C. Pakan Ternak

Bahan pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan dan dapat dicerna

sebagian atau seluruhnya tanpa mengganggu kesehatan ternak yang memakannya (Tillman et al., 1998). Bahan pakan terdiri dari dua kelompok, yaitu bahan pakan asal tanaman dan asal non tanaman (ternak atau ikan). Berdasarkan sifat fisik dan kimianya dibedakan menjadi 8 kelas yaitu : hijauan kering dan jerami, tanaman padangan rumput, hijauan segar, silage dan haylage; sumber energi; sumber protein; suplemen vitamin, mineral; aditif dan non aditif (Church, 1979).

Sumoprastowo (1986), menyatakan bahwa pemberian pakan pada ternak kambing sebaiknya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi berulangkali, sesuai kebiasaan kambing, sehingga untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi ternak tersebut perlu diberi kesempatan yang lebih banyak untuk membangun jaringan-jaringan baru yang rusak. Selain pakan dan tambahan seperti konsentrat dengan level kadar protein berbeda yang diberikan kepada ternak untuk meningkatkan kecernaannya. Kandungan pakan yang lebih tinggi diharapkan dapat meningkatkan peran protein untuk membangun jaringan tubuh sehingga dapat meningkatkan penformans kambing tersebut.

Menurut Owens et al. (1953), beberapa keuntungan pemberian pakan ransum komplit pada ternak antara lain; disusun sesuai dengan kebutuhan nutrisi dari suatu ternak tertentu sehingga benar-benar palatabel dan dapat menunjang fungsi


(17)

11 fisiologis. Pemakaian hijauan dan konsentrat dapat bervariasi dan dalam

penyusunannya dapat dicari bahan yang sesuai dengan nilai ekonomis sedangkan menurut Esminger et al. (1990), penggunaan ransum lengkap atau komplit akan memberikan beberapa keuntungan antara lain; meningkatkan efisiensi pemberian pakan, kemudian ketika hijauannya kurang palatabel maka jika dibuat campuran ransum komplit akan meningkatkan konsumsi, begitu juga sebaliknya jika ketersediaan konsentrat terbatas dapat dipakai hijauan sebagai campuran, dan campuran ransum komplit dapat mempermudah ternak untuk mendapatkan nutrien lengkap.

Serat makanan adalah bagian dari pangan nabati yang tidak dapat dicerna dan diabsorpsi dalam usus, meliputi polisakarida, oligosakarida, lignin serta

komponen nabati terkait lainnya. Ada dua jenis serat berdasarkan keterlarutannya dalam air yaitu serat yang larut serta yang tidak larut dalam air. Serat yang larut antara lain pectin dan gum, sedangkan yang tidak larut antara lain selolusa dan lignin. Serat kasar yang sebagian besar terdiri dari selulosa dan lignin hampir seluruhnya tidak dapat dicerna oleh ruminansia. Bahan-bahan makanan yang mengandung serat kasar tinggi mempunyai nilai energi yang rendah, kecuali bila bahan-bahan makanan tersebut juga mengandung lemak yang tinggi. Butir-butiran yang relatif mengandung karbohidrat dan pati yang dapat dicerna

merupakan sumber energi yang baik. Serat kasar berisi selulosa, hemiselulosa dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa adalah komponen dalam dinding sel tanaman dan tidak dapat dicerna oleh hewan-hewan monogastrik (berperut tunggal), sedangkan hewan-hewan ruminansia karena mempunyai zat-zat jasad renik, maka ternak itu mempunyai kemampuan yang lebih untuk mencerna selulosa dan


(18)

hemiselulosa, yaitu secara enzimatik. Lignin bukan termasuk dalam golongan hidrat arang, tetapi berada dalam tanaman dan merupakan bagian atau kesatuan dalam karbohidrat. Zat ini bersama-sama selulosa membentuk komponen yang disebut lingo-selulosa, yang mempunyai koefisien cerna sangat kecil (Santoso, 1987). Penyusunan ransum, selulosa diistilahkan dengan nama serat kasar. Selulosa merupakan kelompok organik dalam tumbuh-tumbuhan diduga terdiri dari selulosa. Meskipun selulosa dan pati adalah polisakarida yang terdiri dari unit-unit glikogen, ternak hanya mempunyai enzim yang dapat menghidrolisa pati, karenanya selulosa tidak dapat dicerna sama sekali. Selulosa terdapat terutama di dalam dinding sel dan bagian tumbuh-tumbuhan yang berkayu (Anggorodi, 1985).

Menurut Edey (1983), nutrien pakan ternak yang penting untuk memenuhi kebutuhan hidupnya antara lain adalah protein dan energi. Protein merupakan komponen utama jaringan otot dan merupakan komponen fundamental pada semua jaringan hidup. Kebutuhan protein dipengaruhi oleh fase pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, berat tubuh, umur, kondisi tubuh, pertambahan berat, dan rasio protein energi. Ternak yang sedang tumbuh membutuhkan enegi untuk hidup pokok, pertumbuhan, gerak otot, dan sintesis jaringan baru. Apabila ternak diberi pakan protein dan energi yang melebihi kebutuhan hidup pokoknya, maka ternak tersebut akan menggunakan kelebihan nutrien pakan untuk pertumbuhan dan produksi. Kecepatan pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh jumlah konsumsi pakan (Tillman, et al., 1998), sehingga pakan yang diberikan selama pertumbuhan harus meliputi jumlah yang diperlukan untuk hidup pokok dan jumlah yang diperlukan untuk pembentukan jaringan. Salah satu cara untuk mengetahui


(19)

13 Kenaikan berat tubuh adalah pertumbuhan yang meliputi pertambahan berat dan perubahan bentuk dari jaringan (Anggorodi, 1994). Kenaikan berat hidup yang terlihat adalah kemampuan ternak didalam mengubah nutrien pakan menjadi daging dan lemak setelah kebutuhan hidup pokoknya terpenuhi (Williamson dan Payne, 1993).

D. Kebutuhan Protein Kambing

Salah satu kebutuhan nutrisi pada ternak yang harus diperhatikan adalah protein. Protein adalah salah satu komponen gizi makanan yang diperlukan ternak untuk pertumbuhan. Laju pertumbuhan ternak yang cepat, akan membutuhkan protein lebih tinggi di dalam ransumnya (Haryanto, 1992). Namun efisiensi penggunaan protein untuk pertumbuhan jaringan tubuh, dipengaruhi oleh ketersediaan energi (Ensminger dan Parker, 1986).

Di dalam tubuh ternak, protein berfungsi untuk memperbaiki jaringan tubuh dan pembangun jaringan baru (Anggorodi, 1994). Proses pemanfaatan protein salah satunya dipengaruhi oleh jumlah protein yang dikonsumsi. Boorman (1980), menyatakan konsumsi protein dipengaruhi oleh level pemberian pakan.

Pemberian pakan yang tidak dibatasi (melebihi hidup pokok) akan meningkatkan tingkat konsumsi protein karena ternak mempunyai kesempatan untuk makan lebih banyak (Haryanto dan Djajanegara, 1993). Peningkatan konsumsi protein juga dipengaruhi oleh kandungan protein dalam pakan yaitu semakin tinggi kandungan protein semakin banyak pula protein yang terkonsumsi (Boorman, 1980). Tingginya protein terkonsumsi diharapkan dapat meningkatkan jumlah


(20)

protein yang teretensi dalam tubuh ternak dan dimanfaatkan ternak untuk memenuhi hidup pokok dan berproduksi.

Kebutuhan protein dipengaruhi oleh fase pertumbuhan, kebuntingan, laktasi, berat tubuh, umur, kondisi tubuh, pertambahan berat, dan rasio protein energi. Menurut Kearl (1982), kebutuhan protein pada kambing berkisar antara 12—14% per ekor. Terlalu banyak pemberian protein dapat menyebabkan kerugian ekonomis yang besar, karena akan berdampak pada harga ransum yang lebih mahal, sedangkan apabila jumlah pemberian protein terlalu sedikit, maka produktivitas ternak tidak akan mencapai optimal. Pemanfaatan protein selain terkait dengan level

pemberian pakan juga terkait dengan bobot badan ternak. Ternak yang berbobot badan rendah dan masuk masa pertumbuhan membutuhkan protein lebih tinggi dibandingkan ternak dewasa yang telah masuk masa penggemukkan (Orskov, 1992). Protein mula-mula akan dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup pokok, selanjutnya kelebihan protein yang ada pada ternak yang berbobot badan rendah cenderung akan dimanfaatkan untuk proses pertumbuhan. Protein dalam tubuh ternak salah satunya berfungsi untuk pertumbuhan atau pembentukan jaringan baru (Anggorodi, 1994). Pada ternak dengan bobot badan lebih besar setelah memenuhi kebutuhan hidup pokoknya, kelebihan protein pakan akan disimpan dalam bentuk glikogen dan dimanfaatkan untuk proses penggemukan.

E. Serat Kasar pada Ternak Ruminansia

Kecernaan serat suatu bahan makanan mempengaruhi kecernaan pakan, baik dari segi jumlah maupun komposisi kimia seratnya (Tillman, 1991). Cuthbertson


(21)

15 (1969), menambahkan bahwa serat tidak pernah digunakan seluruhnya oleh

ruminansia dan sekitar 20-70% dari serat kasar yang dikonsumsi dapat ditemukan di dalam feses. Tillman et al. (1989), mengatakan bahwa hewan tidak

menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa, tetapi

mikroorganisme dalam suatu saluran pencernaan menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat mencerna selulosa dan hemiselulosa, juga dapat mencerna pati dan karbohidrat yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat. Serat adalah lignin dan polisakarida yang merupakan dinding sel tumbuhan dan tidak tercerna oleh cairan sekresi dalam saluran pencernaan (Arora, 1989).

Kecernaan pakan pada ternak ruminansia sangat tergantung pada populasi dan jenis mikroba, terutama bakteri karena perombakan pakan pada dasarnya adalah kerja enzim yang dihasilkan mikroba rumen. Dengan demikian keberhasilan usaha peningkatan populasi bakteri rumen akan meningkatkan konsentrasi enzim-enzim tersebut, sehingga dapat meningkatkan kecernaan pakan, sekaligus

meningkatkan pasokan protein asal mikroba bagi ternak. Daya cerna dari suatu bahan, didefinisikan sebagai bagian dari bahan pakan atau banyaknya suatu bahan zat makanan dari bahan pakan yang tidak ditemukan di dalam feses atau dengan kata lain adalah bagian yang telah dirombak oleh mikroba atau enzim-enzim pencernaan di dalam saluran pencernaan dan diserap oleh sistem tersebut (Ranjhan, 1977).


(22)

F. Sistem Pencernaan pada Ternak Ruminansia

Pencernaan adalah proses perubahan secara fisik dan kimia yang dialami oleh pakan (ransum) di dalam saluran pencernaan ternak. Berdasarkan proses perubahan yang terjadi di saluran pencernaan, maka proses pencernaan dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu: (a) proses pencernaan secara mekanis, (b) proses secara hidrolis dan (c) proses pencernaan secara fermentatif (Sutardi, 1980). Posisisi atau lokasi proses pencernaan fermentatif ternyata bervariasi antara jenis ternak, dan hal ini akan memberian implikasi yang berbeda pada jenis pakan yang sesuai. Pada umumnya ternak dilengkapi dengan organ untuk proses fermentatif, yang enzim-enzimya berasal dari mikrobia (bakteri, protozoa, fungi dan virus).

Pada ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba, rusa, dan unta) proses organ-organ pencernaan fermentatif tersebut yaitu retikulo-rumen, terletak

sebelum usus halus. Pada saluran pencernaan ternak non ruminansia (kuda, ayam dan babi) posisi organ pencernaan fermentatif tersebut adalah sekum, kolon dan rektum terletak setelah usus halus. Perbedaan dalam posisi organ untuk proses pencernaan, fermentatif menyebabkan kedua kelompk ternak tersebut

memerlukan jenis pakan dengan karakteristik yang berbeda. Ternak kuda, ayam dan babi memerlukan jenis pakan yang lebih bermutu (berserat rendah)

dibandingkan dengan jenis ternak ruminansia. Dengan kata lain ternak rumanansia memiliki kemampuan mengkonsumsi dan mencerna pakan yang berserat tinggi dengan lebih baik. Keberadaan ternak jenis ini memberikan manfaat yang sangat besar dalam pendayagunaan limbah serat yang berlimpah.


(23)

17 Organ pencernaan pada ruminansia terdiri atas empat bagian penting yaitu: mulut, lambung, usus halus dan organ pencernaan bagian belakang. Lambung ternak ruminansia terbagi menjadi empat bagian yaitu: rumen (perut beludru), retikulum (perut jala), omasum (perut buku), dan abomasum (perut sejati). Rumen dan retikulum dipandang sebagai organ tunggal yang disebut retikulo-rumen,

sedangkan sekum, kolon, dan rektum termasuk organ pencernaan bagian belakang (Erwanto, 1995).

Arora (1996), menyatakan bahwa di dalam rumen terdapat mikroorganisme yang dikenal dengan mikroba rumen. Melalui mikroba ini, maka bahan-bahan

makanan yang berasal dari hijauan yang mengandung polisakarida kompleks, selulosa, dan lignoselulosa, sehingga dapat dipecah menjadi bagian-bagian

sedehana. Selain itu, pati, karbohidrat, dan protein dirombak menjadi asam asetat, propionat, dan butirat.

Retikulum memiliki bentuk menyerupai sarang lebah yang berfungsi menarik bahan makanan yang berbentuk padat ke dalam rumen. Retikulum membantu ruminansia meregurgitasi bolus ke dalam mulut. Setelah omasum, makanan kemudian didorong masuk menuju abomasum yang merupakan tempat pertama terjadinya pencernaan secara kimiawi, karena adanya getah lambung.

Abomasum, makanan akan masuk ke dalam usus halus yang berfungsi mengatur aliran ingesta ke dalam usus besar dengan gerakan peristaltik. Proses pencernaan fermentatif yang terjadi dalam retikulorumen merupakan perubahan senyawa-senyawa tertentu menjadi senyawa-senyawa lain yang sangat berbeda dengan molekul zat pakan asalnya. Pencernaan fermentatif ini adalah pencernaan lebih lanjut dimana


(24)

zat monomer-monomer dari hasil pencernaan hidrolitik segera dikatabolisasikan, misalnya protein difermentasikan menjadi amonia, karbohidrat menjadi asam lemak terbang (Church, 1979).

G. Hubungan Kecernaan Ruminansia Terhadap Protein dan Serat Kasar

Pakan merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi produktivitas ternak. Kondisi pakan (kualitas dan kuantitas) yang tidak mencukupi kebutuhan, menyebabkan produktivitas ternak menjadi rendah, antara lain ditunjukkan oleh laju pertumbuhan yang lambat dan bobot badan rendah. Upaya untuk mencukupi kebutuhan gizi dan memacu pertumbuhan, dapat dilakukan dengan cara memberi pakan tambahan konsentrat (Ensminger dan Parker, 1986), atau memberi hijauan leguminosa yang umumnya mengandung protein lebih tinggi daripada rumput (Mathius et al., 1984).

Protein adalah salah satu komponen gizi makanan yang diperlukan ternak untuk pertumbuhan. Laju pertumbuhan ternak yang cepat, akan membutuhkan protein lebih tinggi di dalam ransumnya (Haryanto, 1992). Namun efisiensi penggunaan protein untuk pertumbuhan jaringan tubuh, dipengaruhi oleh ketersediaan energi (Ensminger dan Parker, 1986). Rumput lapang dapat diberikan pada ternak dalam jumlah banyak dan dapat tumbuh pada kondisi lahan yang bervariasi (Lubis, 1992). Namun, rumput lapang mempunyai kualitas yang rendah. Hal ini ditunjukkan oleh kandungan protein kasar, energi bruto dan total nutrien yang dapat dicerna rendah, dengan kadar serat kasar yang cukup tinggi (Nitis et al., 1985). Rumput lapangan mengandung protein kasar 8-9% dan TDN 50-54%


(25)

19 (Jalaludin, 1994). Bila ternak kambing hanya diberikan rumput lapang saja, maka tidak akan dapat memberikan nutrien yang cukup untuk mendukung

produktivitasnya, karena nutrien yang terkandung didalam rumput tidak mampu memenuhi kebutuhan fisiologisnya akan nutrien terutama protein.

Produktivitas ternak kambing dapat ditingkatkan dengan mengkombinasikan rumput lapang dengan bahan pakan lainnya yang mengandung nutrien lebih tinggi, agar nutrien dari pakan yang diberikan meningkat. Umumnya, bahan pakan yang digunakan sebagai suplemen adalah konsentrat. Konsentrat merupakan bahan pakan yang kaya akan energi, protein, mineral, vitamin, kandungan serat kasarnya rendah serta mudah dicerna, sehingga dapat meningkatkan konsumsi dan kecernaan pakan (Murtidjo, 1993). Dengan pemberian konsentrat untuk level kandungan protein kasar berbeda pada pakan dasar rumput, dapat saling menutupi kekurangan masing-masing bahan dan dapat meningkatkan nilai nutrisi pakan sehingga dapat memenuhi kebutuhan untuk hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi sedangkan kecernaan serat suatu bahan makanan mempengaruhi kecernaan pakan, baik dari segi jumlah maupun komposisi kimia seratnya (Tillman, 1991). Cuthbertson (1969), menambahkan bahwa serat tidak pernah digunakan seluruhnya oleh ruminansia dan sekitar 20-70% dari serat kasar yang dikonsumsi dapat ditemukan di dalam feses. Dengan pemberian konsentrat, mikrobia dalam rumen cenderung akan memanfaatkan pakan konsentrat terlebih dahulu sebagai sumber energi dan selanjutnya dapat memanfaatkan pakan kasar yang ada. Dengan demikian

mikrobia rumen lebih mudah dan lebih cepat berkembang populasinya (Murtidjo, 1993). Parakkasi (1999), juga menambahkan bahwa dengan adanya bantuan


(26)

mikroba rumen akan meningkatkan kecernaan bahan makanan yang mengandung karbohidrat struktural (karbohidrat pembangun), kandungan lignin dan silica pada bahan makanan dapat mempengaruhi produksi energi metabolis karena bahan makanan yang memiliki kandungan lignin dan silica yang tinggi akan lebih sulit dicerna, sehingga lebih banyak energi dari bahan makanan tersebut yang keluar melalui feses. Tillman et al. (1989), menyatakan bahwa hewan tidak

menghasilkan enzim untuk mencerna selulosa dan hemiselulosa, tetapi

mikroorganisme dalam suatu saluran pencernaan menghasilkan selulase dengan hemiselulase yang dapat mencerna selulosa dan hemiselulosa, juga dapat mencerna pati dan karbohidrat yang larut dalam air menjadi asam-asam asetat, propionat dan butirat. Serat adalah lignin dan polisakarida yang merupakan dinding sel tumbuhan dan tidak tercerna oleh cairan sekresi dalam saluran pencernaan. Jika kandungan lignin dalam bahan pakan tinggi maka koefisien cerna pakan tersebut menjadi rendah.

Penambahan konsentrat dalam ransum basal dengan kandungan level protein kasar berbeda secara berturut-turut yaitu 13%, 16%, dan 19% diharapkan akan mampu meningkatkan kecernaan protein dan dapat menurunkan serat kasar sehingga kecernaannya atau ketersediaan nutrien pada kambing meningkat yang pada akhirnya dapat meningkatkan produktifitas kambing tersebut. Menurut Kearl (1982), kebutuhan protein pada kambing berkisar antara 12—14% per ekor. Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan makanan untuk diserap oleh saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan produktivitas atau fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Anggorodi (1994), mendefinisikan kecernaan


(27)

21 sebagai bagian yang tidak diekskresikan dalam feses dimana bagian lainnya di asumsikan diserap oleh tubuh ternak yang dinyatakan dalam persen bahan kering.

Williamson dan Payne (1993), menyatakan bahwa nutrien yang dicerna adalah bagian nutrien yang tidak dikeluarkan dan diperkirakan diserap oleh ternak. Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan dipengaruhi antara lain oleh jenis hewan, macam bahan pakan, jumlah ransum yang diberikan, cara penyediaan pakan, dan kadar nutrien yang terkandung (Ranjhan dan Pathak, 1979). Faktor yang berpengaruh lainnya, menurut Arora (1989), yaitu pengisian dan laju

pengaliran rumen yang merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat dan tempat pencernaan, tingkat konsumsi mikroba, produksi akhir fermentasi dan penggunaan nitrogen, sedangkan menurut Anggorodi (1994), faktor yang mempengaruhi daya cerna ransum yaitu suhu, laju perjalanan pakan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan pakan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari nutrien lainnya. Untuk mengetahui jumlah nutrien yang dikonsumsi, yaitu dengan cara mengalikan jumlah bahan kering ransum dengan persentase kandungan nutrien dalam ransum, begitu juga untuk menghitung banyaknya nutrien didalam feses, sedangkan persentase nutrien dalam feses dan ransum diperoleh dari analisa proksimat (Tilley dan Terry, 1963).

Menurut Anggorodi (1994), kecernaan dihitung berdasarkan selisih antara zat-zat makanan yang terkandung dalam makanan yang dikonsumsi dengan zat-zat makanan yang terdapat dalam feses. Zat makanan yang dicerna adalah bagian makanan yang tidak dieksresikan dalam feses. Kecernaan dapat menjadi ukuran tinggi rendahnya nilai gizi suatu bahan pakan (Williamson dan Payne, 1993).


(28)

Kecernaan dapat dihitung berdasarkan rumus Tilman et al., 1998.

jumlah zat dikonsumsi (g) – jumlah zat dalam feses (g)

Kecernaan (%) = x 100% jumlah zat dikonsumsi (g)

Pada umumnya pakan dengan kandungan zat-zat makanan yang dapat dicerna tinggi, maka akan tinggi pula nilai gizinya. Menurut Sosroamidjojo (1990), nilai gizi makanan antara lain diukur dari jumlah zat-zat makanan yang dapat dicerna, sedangkan kualitas suatu bahan makanan dicerminkan dari angka konsumsi bahan kering atau bersama koefesien cerna zat-zat makanan tersebut (Tillman et al., 1998).

Perhitungan kandungan zat-zat makanan dilakukan sistematis sesuai dengan partisi zat-zat makanan pada ransum dan feses. Partisi pakan dalam analisis proksimat dapat dilihat pada Gambar 1.


(29)

23

Gambar 1. Partisi nutrien ransum/feses dalam analisis proksimat (Sumber : Tillman et al., 1998)

H. Konsentrat

Istilah “concentrates” digunakan untuk menerangkan bahan makanan yang serat kasarnya rendah dan tinggi daya cernanya. Bahan penyusunnya biji-bijian dan sebagian besar hasil ikutannya (Anggorodi, 1994). Konsentrat merupakan pakan penguat yang terdiri dari bahan baku yang kaya akan karbohidrat dan protein, seperti jagung kuning, bekatul, dedak gandum, dan bungkil-bungkilan.

Konsentrat untuk ternak kambing umumnya disebut pakan penguat atau bahan baku pakan yang memiliki kandungan serat kasar kurang dari 18% dan mudah

Protein Kasar (PK)

Air Bahan Kering (BK)

Bahan Organik Tanpa N (BOTN)

Abu (Mineral) Bahan Organik (BO)

Lemak Karbohidrat

Serat Kasar (SK)

Bahan Ekstrak Tanpa N (BETN)


(30)

dicerna (Murtidjo, 1993). Pakan penguat adalah sejenis pakan komplit yang dibuat khusus untuk meningkatkan produksi dan berperan sebagai penguat. Pakan penguat dikenal juga dengan nama konsentrat. Pakan ini mudah dicerna ternak ruminansia karena dibuat dari campuran beberapa bahan pakan sumber energi, sumber protein, vitamin, dan mineral (Kartadisastra, 1997).

Tujuan pemberian konsentrat dalam pakan ternak kambing adalah untuk meningkatkan daya guna pakan, menambah unsur pakan yang defisien, serta meningkatkan konsumsi dan kecernan pakan. Dengan pemberian konsentrat, mikrobia dalam rumen cenderung akan memanfaatkan pakan konsentrat terlebih dahulu sebagai sumber energi dan selanjutnya dapat memanfaatkan pakan kasar yang ada. Dengan demikian mikrobia rumen lebih mudah dan lebih cepat berkembang populasinya (Murtidjo, 1993). Acker (1983), menyatakan bahwa pemberian konsentrat dapat merangsang pertumbuhan yang lebih cepat. Selain itu Reksohadiprodjo (1984), menyatakan bahwa kenaikan produktivitas ternak hanya mungkin dengan menggunakan konsentrat yang mutunya tinggi. Lebih lanjut ditegaskan oleh Tillman et al. (1991), bahwa ransum yang mengandung banyak konsentrat terutama berkadar pati tinggi akan menyebabkan konsentrasi

mikroorganisme yang tinggi sehingga daya cerna ransum akan meningkat.

Pemberian konsentrat tergantung dari mutu hijauan yang diberikan (Acker, 1983). Makin tinggi kualitas rumput, makin sedikit zat-zat makanan yang perlu disuplai oleh konsentrat (Morrison, 1981). Lebih lanjut, Sarwono (1990) menyatakan bahwa pemberian konsentrat kepada ternak ruminansia sebanyak 1% dari bobot badan.


(31)

25 Anggorodi (1990), menyatakan bahwa makanan yang tergolong dalam konsentrat adalah makanan yang berasal dari biji-bijian dan hasil ikutannya. Sesuai dengan komposisi zat-zat makanan, maka konsentrat terbagi dalam sumber karbohidrat dan sumber protein (Ensminger dan Olentine, 1968).

Konsentrat merupakan bahan makanan dengan kadar serat kasar kurang dari 20 % dan nutrisi dapat dicerna lebih dari 80 % (Cullison dan Lawrey, 1987). Secara umum konsentrat mengandung serat kasar rendah, mengandung karbohidrat, protein, lemak yang relatif lebih banyak tetapi jumlahnya bervariasi dan mempunyai sifat mudah dicerna (Tillman et al., 1991). Williamson dan Payne (1993), menyatakan bahwa peningkatan kandungan protein pakan dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan komposisi tubuh. Soeparno dan Davies, (1987), menambahkan pula bahwa perlakuan-perlakuan pakan dapat mengubah performa termasuk pertumbuhan, efisiensi pakan produksi dan kualitas daging. Suplementasi konsentrat pada kambing yang sedang tumbuh dapat meningkatkan konsumsi pakan dan laju pertumbuhan.


(32)

III. BAHAN DAN METODE

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama satu bulan, pada 27 Agustus - 26 September 2012 yang bertempat di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus. Analisis proksimat dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Bahan dan Laboratorium Politeknik Negeri Lampung.

B. Bahan Penelitian

a. Kambing Boerawa

Kambing Boerawa yang digunakan pada penelitian ini berumur 5-6 bulan dengan bobot sekitar 13-24 kg sebanyak 20 ekor.

b. Ransum

Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum basal yang terdiri dari rumput gajah, rumput lapang, daun lamtoro, daun mindi, dan daun dadap yang didapatkan dari sekitar lokasi penelitian, sedangkan konsentrat yang

digunakan yaitu tepung ikan, kulit kopi, dedak, onggok, molases, dan premix yang didapat dari gudang pakan Jurusan Peternakan Universitas Lampung dan bungkil kelapa sawit didapat dari wilayah Tegineneng.


(33)

27 c. Air minum

Air yang digunakan pada kambing penelitian ini, yaitu air sumur. Air minum diberikan secara ad libitum sedangkan penggantian air minum dilakukan pada waktu pagi dan sore hari dengan jumlah pemberian air minum sebanyak 3 liter setiap penggantian.

C. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa 20 buah kandang individu yang terbuat dari kayu dengan ukuran 150 x 100 cm dengan tempat pakan dan minum pada setiap kandang, kemudian pada setiap bagian bawah kandang dipasang kain strimin dengan ukuran 150 x 100 cm, yang digunakan sebagai penampung feses pada saat kolekting. Adapun ember pada setiap

kandang sebagai tempat air minum dan alat-alat kebersihan kandang seperti sapu lidi, serokan, serta karung penampung sisa pakan dan konsentrat.

Alat-alat yang menunjang lainnya, yaitu berupa timbangan elektrik yang berguna untuk penimbangan ransum dan feses, kemudian wadah feses (besek) yang terbuat dari plastik sebanyak 20 buah sebagai penampung feses pada saat proses

kolekting, kemudian karung sebagai alas pada saat proses penjemuran feses sebanyak 20 buah dan plastik berukuran satu kilogram sebanyak 20 buah yang digunakan tempat feses yang telah dijemur, serta alat-alat tulis seperti buku dan bolpoint sebagai alat mencatat pada saat penelitian.


(34)

Peralatan uji laboratorium yang digunakan adalah satu set peralatan analisis proksimat, yaitu berupa alat dan bahan dari uji kadar protein dan uji kadar serat kasar.

D. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara experimental menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri atas 4 perlakuan dan 5 ulangan sebagai kelompok berdasarkan bobot badan. Masing-masing kelompok terdiri dari 4 ekor kambing Boerawa jantan.

Pengelompokan dilakukan berdasarkan bobot badan sebagai berikut:

Kelompok I : 13–14 kg; Kelompok II : 15–16 kg; Kelompok III : 17–18 kg; Kelompok IV : 19–20 kg; Kelompok V : 21–24 kg. Perlakuan yang diterapkan yaitu: R0 : ransum basal (100%);

R1 : ransum basal (60%) + konsentrat (40%, dengan kandungan PK 13%); R2 : ransum basal (60%) + konsentrat (40%, dengan kandungan PK 16%); R3 : ransum basal (60%) + konsentrat (40%, dengan kandungan PK 19%).

Keterangan:

Ransum basal terdiri dari rumput gajah, rumput lapang, daun lamtoro, daun mindi, dan daun dadap, sedangkan konsentrat yang digunakan, yaitu tepung ikan, bungkil kelapa, kulit kopi, dedak, onggok, molases, dan premix.


(35)

29 Berikut ini adalah susunan ransum dan bahan kering pada ransum basal dan konsentrat yang tersaji dalam bentuk Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3 yaitu sebagai berikut :

Tabel 1. Formulasi ransum basal Komposisi Protein Kasar

(%)

Formulasi (%)

Protein Kasar Ransum (%)

Rumput gajah 10.10 80 8.08

Rumput lapang 7.43 5 0.37

Lamtoro 22.71 5 1.14

Mindi 17.84 5 0.89

Dadap 4.02 5 0.20

Jumlah 100 10.68

Sumber : Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Jurusan Peternakan Universitas Lampung, 2012

Tabel 2. Formulasi ransum perlakuan

No. Perlakuan

Formulasi Perlakuan Protein Kasar Ransum (%) Protein Ransum Basal (60%) Protein Konsentrat (40%) 1 Ransum Basal

(R0)

10.68 2 Ransum Basal +

Konsentrat (R1)

6.41 5.21 11.62

3 Ransum Basal + Konsentrat (R2)

6.41 6.41 12.82

4 Ransum Basal + Konsentrat (R3)

6.41 7.63 14.04

Sumber : Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Jurusan Peternakan Universitas Lampung, 2012


(36)

Tabel 3. Formulasi konsentrat Konsentrat R1 Protein Kasar (%) Formulasi (%)

Protein Kasar Konsentrat (%)

Tepung ikan 55 6 3.30

Bungkil kelapa 21 22 4.62

Kulit kopi 12 15 1.80

Dedak 11 24 2.64

Onggok 2 28 0.56

Molases 3 4 0.12

Premix 0 1 0.00

Jumlah 100 13.04

Konsentrat R2 Protein Kasar (%) Formulasi (%)

Protein Kasar Konsentrat (%)

Tepung ikan 55 10 5.50

Bungkil kelapa 21 27 5.67

Kulit kopi 12 15 1.80

Dedak 11 23 2.53

Onggok 2 20 0.40

Molases 3 4 0.12

Premix 0 1 0.00

Jumlah 100 16.02

Konsentrat R3 Protein Kasar (%) Formulasi (%)

Protein Kasar Konsentrat (%)

Tepung ikan 55 15 8.25

Bungkil kelapa 21 31 6.51

Kulit kopi 12 15 1.80

Dedak 11 19 2.09

Onggok 2 15 0.30

Molases 3 4 0.12

Premix 0 1 0.00

Jumlah 100 19.07

Sumber : Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak Jurusan Peternakan Universitas Lampung, 2012

E. Pelaksanaan Penelitian

Penelitiaan ini dilaksanakan selama satu bulan. Minggu pertama, persiapan kandang dan analisis pakan, kemudian minggu kedua dan ketiga merupakan masa pendahuluan, yaitu adaptasi pakan (prelium) pada kambing dengan pakan


(37)

31 perlakuan, sedangkan pengambilan data koleksi feses dilaksanakan di minggu terakhir selama 7 hari berturut-turut.

Sebelum penelitian dilaksanakan, kandang dan semua peralatan yang akan digunakan disuci hamakan terlebih dahulu menggunakan desinfektan, kemudian 20 ekor kambing Boerawa pasca sapih yang telah ditimbang dan memenuhi syarat untuk diteliti ditempatkan di 20 kandang penelitian dengan ukuran 150 x 100 cm selama tiga minggu. Adaptasi pakan (prelium) dilaksanakan selama dua minggu dimana pemberian pakan dilakukan pada pagi dan sore hari dengan terlebih dahulu menimbangnya, sedangkan penimbangan sisa pakan dilakukan pada sore hari dan pemberian air minum secara ad libitum.

Koleksi feses dilakukan selama tujuh hari berturut-turut setelah kambing melewati masa prelium selama dua minggu. Feses ditampung dengan menggunakan kain strimin yang dipasang di bawah lantai kandang setiap 24 jam kemudian feses ditimbang. Pengambilan sampel feses dari setiap ekor kambing, yaitu sebanyak 10% dari feses yang dihasilkan, kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari sebelum sampel dibawa ke laboratorium. Pada akhir penelitian sampel feses yang sudah kering dari setiap kelompok kambing tersebut disatukan, kemudian dibawa ke Laboratorium Politeknik Lampung untuk di uji dengan menggunakan metode analisis proksimat agar dapat diketahui kadar protein dan kadar serat kasar feses pada kambing penelitian tersebut.


(38)

F. Prosedur Analisis Proksimat

Analisis proksimat menurut Fathul (1999):

a. Kadar Protein Kasar

1. menimbang kertas saring biasa ( 6 x 6 cm2 ) dan mencatat bobotnya (A); 2. memasukkan sampel analisa sebanyak 0,1 gram dan kemudian mencatat

bobotnya (B);

3. memasukkan sampel ke dalam labu Kjeldahl kemudian menambahkan 15 ml H2SO4 pekat dan menambahkan 0,2 gram campuran garam;

4. menyalakan alat destruksi, kemudian mengerjakan destruksi. Mematikan alat destruksi, apabila sampel berubah warna menjadi jernih kehijauan, kemudian mendiamkan sampai menjadi dingin;

5. menambahkan 200 ml air suling dan menyiapkan 25 ml H2BO3 di gelas Erlemeyer, kemudian ditetesi 2 tetes indikator (larutan berubah menjadi biru), memasukkan ujung alat kondensor ke dalam gelas tersebut dan harus dalam posisi terendam;

6. menyalakan alat destilasi dan menambahkan 50 ml NaOH 45% ke dalam labu Kjeldahl, kemudian mengangkat ujung alat kondensor yang terendam, apabila larutan telah jadi sebanyak 2/3 bagian dari gelas tersebut, maka mematikan alat destilasi;

7. membilas ujung kondensor dengan air suling dengan menggunakan botol semprot dan menyiapkan alat untuk titrasi. Mengisi buret dengan larutan HCl 0,1 N dan mengamati dan membaca angka pada buret kemudian mencatat (L1);


(39)

33 8. menghentikan titrasi apabila larutan berubah warna menjadi hijau, mengamati

buret dan membaca angka, kemudian mencatatnya (L2); 9. menghitung kadar protein kasar dengan rumus berikut:

N = [ Lblanko – Lsampel ] x Nbasa x N/1000 x 100% B – A

Keterangan: N = besarnya kandungan nitrogen (%) Lblanko = volume titran untu blanko (ml) Lsampel = volume titran untuk sampel (ml) Nbasa = normalitas NaOH sebesar 0,1 N = berat atom nitrogen sebesar 14 A = bobot kertas saring biasa (gram)

B = bobot kertas saring biasa berisi sampel (gram) 10. menghitung kadar protein dengan rumus KP = N x FP

Keterangan: KP = kadar protein kasar (%) N = kandungan nitrogen

FP = angka faktor protein untuk pakan nabati sebesar 6,25

b. Kadar Serat Kasar

1. menimbang kertas ( 8 x 8 cm2 ) dan mencatat bobotnya (A);

2. memasukkan sampel analisa sebanyak 0,1 gram dan kemudian mencatat bobotnya (B);

3. menuangkan sampel analisa ke dalam gelas Erlenmeyer, lalu menambahkan 200 ml H2SO4 0,25 N dan menghubungkan gelas Erlenmeyer dengan alat kondensor dan menyalakan panas kemudian memanaskan selama 30 menit terhitung sejak awal mendidih;

4. menyaring dengan corong kaca beralas kain linen, kemudian membilas dengan air suling panas dengan menggunakan botol semprot sampai bebas asam dan


(40)

melakukan uji kertas lakmus untuk mengetahui bebas asam asam, kemudian memasukkan residue kembali ke gelas Erlenmeyer;

5. menambahkan 200 ml NaOH 0,313 N, kemudian menghubungkan gelas Erlenmeyer dengan alat kondensor dan memanaskan larutan selama 30 menit terhitung sejak awal mendidih, kemudian menyaring dengan menggunakan corong kaca beralas kertas sering Whatman ashles yang diketahui bobotnya (C);

6. membilas dengan air suling panas dengan menggunakan botol semprot sampai bebas busa dan melakukan uji kertas lakmus untuk mengetahui bebas basa, lalu bilas dengan larutan aceton;

7. melipat kertas saring Whatman ashles yang berisi residue, memanaskan ke dalam oven 105o C selama 6 jam dan mendinginkan di dalam desikator selama 15 menit, kemudian menimbang dan mencatat bobotnya (D);

8. meletakkan ke dalam cawan porselin yang sudah diketahui bobotnya (E); 9. mengabukan di dalam tanur 600o C selama 2 jam, lalu matikan tanur dan

mendiamkan selama satu jam (sampai warna merah membara padacawan sudah tidak ada), kemudian memasukkan ke dalam desikator, sampai mencapai suhu kamar, lalu menimbang mencatat bobotnya (F);

10. menghitung kadar serat kasar dengan rumus berikut:

KS = – – – x 100 %

Keterangan: KS = kadar serat kasar (%) A = bobot kertas (gram)

B = bobot ketas berisi sampel analisa (gram) C = bobot kertas saring whatman ashles (gram)

D = bobot kertas saring whatman ashles berisi residue (gram) E = bobot cawan porselin (gram)


(41)

35 G. Peubah yang Diamati

Kecernaan Zat-Zat Makanan

Kecernaan zat-zat makanan yang diukur adalah protein kasar dan serat kasar, sedangkan kecernaan diukur dengan cara menghitung selisih antara zat-zat

makanan yang terkandung dalam makanan yang dimakan dengan zat-zat makanan yang terdapat dalam feses, yang berarti kecernaan zat makanan merupakan jumlah zat makanan yang tertinggal di dalam tubuh ternak.

Menurut Tillman, et al., (1991), koefisien cerna dihitung berdasarkan bahan kering dengan rumus :

Koefisien Cerna = Jumlah zat dikonsumsi(g) – Jumlah zat dalam feses(g) x100% Jumlah yang dikonsumsi (g)

H. Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini diuji normalitas, homogenitas, dan aditivitas untuk memenuhi asumsi-asumsi dari analisis ragam, kemudian

dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf nyata 5% dan atau 1% (Steel dan Torrie, 1991).


(42)

49

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:

(1) Penambahan konsentrat dengan kadar protein kasar yang berbeda pada ransum basal tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecernaan protein kambing Boerawa jantan pasca sapih.

(2) Penambahan konsentrat dengan kadar protein kasar yang berbeda pada ransum basal tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kecernaan serat kasar kambing Boerawa jantan pasca sapih.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh penambahan konsentrat dengan kadar protein kasar yang berbeda pada ransum basal terhadap kecernaan protein dan serat kasar dengan level protein yang berbeda untuk mengetahui level yang tepat dalam meningkatkan kecernaan zat-zat makanan kambing Boerawa pasca sapih.


(43)

DAFTAR PUSTAKA

Acker, D. 1983. Animal Science and Industry. Prentice Hall Inc., Anglewood Cliffs, New Jersey.

Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutahir dalam Makanan Ternak. PT. Gramedia. Jakarta.

Anggorodi. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta. Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit Gramedia. Jakarta. Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi Indonesia.

Penerbit Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.

Arora. 1996. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Diterjemahkan oleh R. Murwani dan B. Srigandono. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Balai Informasi Pertanian. 1986. Beternak Kambing. Departemen Pertanian. Nusa

Tenggara Barat.

Blakely, J. dan H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Boorman, K. N. 1980. Dietaryconstraints on nitrogen retention. In: P.J. Buttery and D. B. Lindsay. Protein Deposition in Animals.Butterworths, London. pp. 147-166.

Cahyono, B. 1999. Beternak Kambing dan Domba. Kanisius. Yogyakarta Ceacillia. 2002. ”Hubungan Penampilan Induk Kambing dan Anak Kambing

Umur Sapih Berdasarkan Tipe Kelahiran di Kecamatan Singosarai Kabupaten Kendal”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. Church, D.C. 1979. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminant. Vol : 1

Second Edition. John Wiley and Sons. New York.

Church, D. C. And W. G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding 2nd. Ed. Jhon Willey and Sons. New York.


(44)

Cullison A.E. and R.S. Lowrey. 1987. Feeds and Feeding. Prentice-Hall, Inc., NJ. Cuthbertson. 1969. Nutrition of Animals of Agricultural Importance. Book.

Illustrated.

Diggins RV, Bundy CE. 1982. Dairy Production. Ed ke-2. USA : Prentice-Hall. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. 2004. Peternakan

Lampung Produk Unggulan Peluang Investasi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Lampung.

Direktorat Pengembangan Peternakan. 2004. Laporan Intensifikasi Usaha Tani Ternak Kambing di Provinsi Lampung.

http://www.disnakkeswan-lampung.go.id /publikasi/bplm. Diakses pada 10 oktober 2010.

Durand, M. 1989. Conditions for optimizing cellulytic activity in the rumen in evaluation of straw in ruminant feeding. Elsevier Applied Science, London and New York.

Edey, T.N. 1983. The genetic pool of sheep and goats. In: Tropical Sheep and Goat Production (Edited by Edey. T.N.). Australia University International. Development Program. Canberra.

Ensminger, M.E. and C.G.Olentine. 1968. Feed and Nutrition Complete. 1nd. Ed.The Ensminger Publishing Company 3699, East Sierra Avenue, Clouis, California.

Ensminger, M. E and R. O. Parkers. 1986. Sheep and Goats Science. Fith Ed. The Interstate . Printers & Publisher. Inc. Danville, Illinois.

Ensminger, M. E., J. E. Oldfield & W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed and Nutrition Complete). 2nd Edition. The Ensminger Publishing Company, California.

Ensminger, M.E. 1991. Animal Science. 9th Edition. The Interstate Printers. And Publisher. Inc. Denville, Illionis.

Erwanto. 1995. “Optimalisasi Sistem Fermentasi Rumen melalui Suplementasi S, Defaunasi, Reduksi Emisi Methan dan Stimulasi Pertumbuhan Mikroba pada Ternak Ruminansia”. Disertasi. Program Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor. Jawa Barat.

Fathul, F. 1999. Penentuan Kualitas dan Kuantitas Zat Makanan dalam Bahan Makanan Ternak. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.

Hardjosubroto, W. dan J.V. Astuti. 1994. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.


(45)

52 Harfiah. 2005. Penentuan Nilai Index Beberapa Pakan Hijauan Ternak Domba. J.

Sains & Teknologi, Desember 2005, Vol. 5 No.3. Hal 114-12.

Harfiah. 2009. Peningkatan Kualitas Pakan Berserat Dengan Perlakuan Alkali, Amoniasi, dan Fermentasi dengan Mikroba Selulolitik dan Lignolitik. J. Sains & Teknologi. 9 (2) : 150 – 156.

Hartadi HS, Reksohadiprodjo, Tillman A.D. 1990. Table of Feed Composition for Indonesia. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta. Provide page

Haryanto, B. 1992. Jerami Padi Fermentasi Sebagai Ransum Ruminansia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 25(3): 1 – 2.

Haryanto, B. dan Andi Djajanegara, 1993. Pemenuhan Kebutuhan zat-zat pakan ruminansia kecil, dala produksi kambing dan domba di Indonesia, editor : Monica W., dkk, solo : sebelas Maret University Press.

Jalaludin. 1994. Uji Banding Gamal dan Angsana sebagai Agensia Devaunasi dan Suplementasi Analog Metionin dan Amonium Sulfat dalam Ransum

Pertumbuhan Sapi Perah Jantan. Tesis Pascasarjana. IPB. Bogor.

Jung, H.G. and D.A. Deetz. 1993. Cell Wall Lignification and Degradability. in: Jung HG, Buxton DR, Hatfield RD, Ralph J, (Eds). Forage Cell Wall Structure and Digestibility. Madison, WI: ASA-CSSA-SSSA. Hlm. 315. Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak

Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.

Kearl, L.C. 1982. Nutrition Requirement of Ruminant in Developing Countries. Utah State University.

Krisnan, R. 2011. Komposisi kimiawi, konsumsi dan kecernaan Silase ransum komplit berbasis limbah kelapa Sawit dan kulit kakao yang diberikan Pada kambing. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. Laboratorium Nutrisi danMakanan Ternak Jurusan Peternakan. 2012. Analisis

Ransum dan Bahan Pakan. Lampung. Universitas Lampung.

Laboratorium Unud. 2005. Nutrisi Fakultas Peternakan. Bali. Universitas Udayana.

Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. Jakarta: PT Pembangunan.

Mathius, I.W., van Eys, J.E. and Rangkuti, M. 1984. Utilisation of Napier Grass-Cassava Leaf Mixtures Supplemented With Corn Meal or Rice Bran by Growing Sheep and Goats. In: Sheep and Goats in Indonesia. M. Rangkuti, T.D. Soedjana, H.C. Knipscheer, P. Sitorus and A. Setiadi (eds), Bogor, Indonesia, pp. 72–76.


(46)

McDonald, P., R.A. Edwards, and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. John Willey and Sons Inc., New York. p. 96−105.

Mc. Donald, P . R . A. Edwards and J.F .D. Greenhalgh. 1998. Animal Nutrition 4th Ed. John Willey and Sons, Inc, New York.

Morrison, F.B. 1981. Feed and Feeding, 9th. Ed. Priented United Stated of Amerika. New York.

Murtidjo, B.A., 1993. Memelihara Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Nitis, I.M. K. Lana, TG.O Susila, W. Sukanten And S. Uchida. 1985. Chemical Composition of The Grass, Shrub and Tree Leaves in Bali. Udayana University Bali Indonesia.

Nutrient Requirement Compositian. 1981. Nutrient Requirement of Goats: Angora,Dairy and Meat Goat in Temperate and Tropical Countries. National Academic Press. Washington DC.

Orskov, E.R. 1992. Protein Nutrition in Ruminants. 2nd. Harcount Brace Jovanovich, Publishers, London.

Owens, F. H. and W. G. Bergen. 1953. Nitrogen Metabolism of Ruminant Animals : Historical Perspective, Current Understanding and Future Implication. J. Anim. Sci. 57., Suppl 2

Parakkasi, A. 1980. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia, UI-Press, Jakarta.

Parker, J. 1986. Pelleting Handbook. California Pellet Mill Ltd. Singapore. Price, M.A, S.D. Jones, G.W. Muthison and R.T. Berg. 1980. The effect of

increasing dietary roughage live and slaughter weigh on the feedlot performance and carcass characteristic of bull and steer. J. Anim. Sci. 60: 345–352.

Pond, W.G., D.C. Chruch and K.R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th. JhonWiley and Son, United States of America.

Pulungan, H., J.E. van Eys, dan M. Rangkuti. 1984. Penggunaan ampas tahu sebagai makanan tambahan pada domba lepas sapih yang memperoleh rumput lapangan. Ilmu dan Peternakan. 1(7):331-335.


(47)

54 Ranjhan, S.K. 1977. Animal Nutrition and Feeding Practice in India. New Delhi:

Vikan Pub.House PVT Ltd.

Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrion and Feeding Practice In India. New Delhi. Vikan Pub. House P.U.T. Ltd.

Ranjhan, S.K. and N.N, Pathak. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. Vikas Publishing House PVT LTD. New Delhi.

Reksohadiprojo S. 1984. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. Yogyakarta:Fakultas Ekonomi. UGM. Yogyakarta.

Santoso, K.A., S. Djojowindagdo, W. Hardjo-subroto, Arinto, Sunardi, dan P. Basuki. 1991. Inventarisasi Potensi Supply Ternak Potong. Kerjasama Dinas Peternakan Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Santoso,U.1985. Limbah Bahan Ransum Unggas yang Rasional. PT. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.

Sarwono, B. 1990. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Soeparno and H. L. Davies. 1987. Studies on the growth and carcass composition in the Daldale Wether Lamb. I. The effect of Dietary Energy Concentration and Pasture Species. Austr. J. Agric. Res. 38 : 403-415.

Sosroamidjojo. 1981. Peternakan Umum. CV. Yasaguna. Jakarta.

Sumoprastowo, R. M. 1986. Beternak Kambing yang Berhasil. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

Steel, C.J. dan J.H. Torrie.1991. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT. Gramedia. Jakarta.

Suhartanto, B., Kustantinah dan S. Padmowijoto. 2000. “Degradasi in sacco Bahan Organik dan Protein Kasar Empat Macam Bahan Pakan Diukur Menggunakan Kantong inra dan rowett research institute”. Buletin Peternakan. Vol 24 (2), Hal 82-93.

Sulastri. 2007. ”Estimasi Parameter Genetik Sifat-Sifat Pertumbuhan Kambing Boerawa di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus”. Pustaka Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sutardi,T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I.Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fak. Pertanian IPB, Bogor.


(48)

Sutardi, T. 1983. “Ketahanan Protein Bahan Makanan Terhadap Degradasi oleh Mikroba dan Manfaatnya bagi Peningkatan Produktivitas Ternak”. Prosiding Seminar Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertaanian. Bogor.

Sutardi, T. 1994. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia Melalui Amoniasi Pakan Serat Bermutu Rendah, Defaunasi dan Suplementasi Sumber Protein Tahan Degradasi Dalam Rumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Tilley, J.M. A. dan R.A. Terry, 1963. The relationship between the soluble constitutent herbage and their dry matter digestibility. J. British Feed Sci. 18: 104-111

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksodiprodjo, S. Prwawirokusomo & L.

Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Tillman, D.A., Hartadi H., Reksohadiprodjo, S., Lebdosoekojo S. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo. dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Van Soest, P.J. 1983. Nutritional Ecology of the Ruminant. Ruminant

Metabolism, Nutritional Strategies, the Cellulolytic Fermentation and the Chemistry of Forages and Plant Fibers. O & B. Books, Inc. Corvalis, Oregon. Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

Terjemahan Oleh S.G.N. Dwija, D. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Acker, D. 1983. Animal Science and Industry. Prentice Hall Inc., Anglewood Cliffs, New Jersey.

Anggorodi, R. 1985. Kemajuan Mutahir dalam Makanan Ternak. PT. Gramedia. Jakarta.

Anggorodi. 1990. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta. Anggorodi. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit Gramedia. Jakarta. Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi Indonesia.

Penerbit Gajah Mada Universitas Press. Yogyakarta.

Arora. 1996. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Diterjemahkan oleh R. Murwani dan B. Srigandono. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Balai Informasi Pertanian. 1986. Beternak Kambing. Departemen Pertanian. Nusa

Tenggara Barat.

Blakely, J. dan H. Bade. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Boorman, K. N. 1980. Dietaryconstraints on nitrogen retention. In: P.J. Buttery and D. B. Lindsay. Protein Deposition in Animals.Butterworths, London. pp. 147-166.

Cahyono, B. 1999. Beternak Kambing dan Domba. Kanisius. Yogyakarta Ceacillia. 2002. ”Hubungan Penampilan Induk Kambing dan Anak Kambing

Umur Sapih Berdasarkan Tipe Kelahiran di Kecamatan Singosarai Kabupaten Kendal”. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. Church, D.C. 1979. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminant. Vol : 1

Second Edition. John Wiley and Sons. New York.

Church, D. C. And W. G. Pond. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding 2nd. Ed. Jhon Willey and Sons. New York.


(2)

Cullison A.E. and R.S. Lowrey. 1987. Feeds and Feeding. Prentice-Hall, Inc., NJ. Cuthbertson. 1969. Nutrition of Animals of Agricultural Importance. Book.

Illustrated.

Diggins RV, Bundy CE. 1982. Dairy Production. Ed ke-2. USA : Prentice-Hall. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. 2004. Peternakan

Lampung Produk Unggulan Peluang Investasi. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Lampung. Lampung.

Direktorat Pengembangan Peternakan. 2004. Laporan Intensifikasi Usaha Tani Ternak Kambing di Provinsi Lampung.

http://www.disnakkeswan-lampung.go.id /publikasi/bplm. Diakses pada 10 oktober 2010.

Durand, M. 1989. Conditions for optimizing cellulytic activity in the rumen in evaluation of straw in ruminant feeding. Elsevier Applied Science, London and New York.

Edey, T.N. 1983. The genetic pool of sheep and goats. In: Tropical Sheep and Goat Production (Edited by Edey. T.N.). Australia University International. Development Program. Canberra.

Ensminger, M.E. and C.G.Olentine. 1968. Feed and Nutrition Complete. 1nd. Ed.The Ensminger Publishing Company 3699, East Sierra Avenue, Clouis, California.

Ensminger, M. E and R. O. Parkers. 1986. Sheep and Goats Science. Fith Ed. The Interstate . Printers & Publisher. Inc. Danville, Illinois.

Ensminger, M. E., J. E. Oldfield & W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed and Nutrition Complete). 2nd Edition. The Ensminger Publishing Company, California.

Ensminger, M.E. 1991. Animal Science. 9th Edition. The Interstate Printers. And Publisher. Inc. Denville, Illionis.

Erwanto. 1995. “Optimalisasi Sistem Fermentasi Rumen melalui Suplementasi S, Defaunasi, Reduksi Emisi Methan dan Stimulasi Pertumbuhan Mikroba pada Ternak Ruminansia”. Disertasi. Program Pascasarjana. Institute Pertanian Bogor. Jawa Barat.

Fathul, F. 1999. Penentuan Kualitas dan Kuantitas Zat Makanan dalam Bahan Makanan Ternak. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lampung.

Hardjosubroto, W. dan J.V. Astuti. 1994. Buku Pintar Peternakan. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.


(3)

Harfiah. 2005. Penentuan Nilai Index Beberapa Pakan Hijauan Ternak Domba. J. Sains & Teknologi, Desember 2005, Vol. 5 No.3. Hal 114-12.

Harfiah. 2009. Peningkatan Kualitas Pakan Berserat Dengan Perlakuan Alkali, Amoniasi, dan Fermentasi dengan Mikroba Selulolitik dan Lignolitik. J. Sains & Teknologi. 9 (2) : 150 – 156.

Hartadi HS, Reksohadiprodjo, Tillman A.D. 1990. Table of Feed Composition for Indonesia. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta. Provide page

Haryanto, B. 1992. Jerami Padi Fermentasi Sebagai Ransum Ruminansia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 25(3): 1 – 2.

Haryanto, B. dan Andi Djajanegara, 1993. Pemenuhan Kebutuhan zat-zat pakan ruminansia kecil, dala produksi kambing dan domba di Indonesia, editor : Monica W., dkk, solo : sebelas Maret University Press.

Jalaludin. 1994. Uji Banding Gamal dan Angsana sebagai Agensia Devaunasi dan Suplementasi Analog Metionin dan Amonium Sulfat dalam Ransum

Pertumbuhan Sapi Perah Jantan. Tesis Pascasarjana. IPB. Bogor.

Jung, H.G. and D.A. Deetz. 1993. Cell Wall Lignification and Degradability. in: Jung HG, Buxton DR, Hatfield RD, Ralph J, (Eds). Forage Cell Wall Structure and Digestibility. Madison, WI: ASA-CSSA-SSSA. Hlm. 315. Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak

Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.

Kearl, L.C. 1982. Nutrition Requirement of Ruminant in Developing Countries. Utah State University.

Krisnan, R. 2011. Komposisi kimiawi, konsumsi dan kecernaan Silase ransum komplit berbasis limbah kelapa Sawit dan kulit kakao yang diberikan Pada kambing. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. Laboratorium Nutrisi danMakanan Ternak Jurusan Peternakan. 2012. Analisis

Ransum dan Bahan Pakan. Lampung. Universitas Lampung.

Laboratorium Unud. 2005. Nutrisi Fakultas Peternakan. Bali. Universitas Udayana.

Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak. Jakarta: PT Pembangunan.

Mathius, I.W., van Eys, J.E. and Rangkuti, M. 1984. Utilisation of Napier Grass-Cassava Leaf Mixtures Supplemented With Corn Meal or Rice Bran by Growing Sheep and Goats. In: Sheep and Goats in Indonesia. M. Rangkuti, T.D. Soedjana, H.C. Knipscheer, P. Sitorus and A. Setiadi (eds), Bogor, Indonesia, pp. 72–76.


(4)

McDonald, P., R.A. Edwards, and J.F.D. Greenhalgh. 1988. Animal Nutrition. John Willey and Sons Inc., New York. p. 96−105.

Mc. Donald, P . R . A. Edwards and J.F .D. Greenhalgh. 1998. Animal Nutrition 4th Ed. John Willey and Sons, Inc, New York.

Morrison, F.B. 1981. Feed and Feeding, 9th. Ed. Priented United Stated of Amerika. New York.

Murtidjo, B.A., 1993. Memelihara Kambing Sebagai Ternak Potong dan Perah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Nitis, I.M. K. Lana, TG.O Susila, W. Sukanten And S. Uchida. 1985. Chemical Composition of The Grass, Shrub and Tree Leaves in Bali. Udayana University Bali Indonesia.

Nutrient Requirement Compositian. 1981. Nutrient Requirement of Goats: Angora,Dairy and Meat Goat in Temperate and Tropical Countries. National Academic Press. Washington DC.

Orskov, E.R. 1992. Protein Nutrition in Ruminants. 2nd. Harcount Brace Jovanovich, Publishers, London.

Owens, F. H. and W. G. Bergen. 1953. Nitrogen Metabolism of Ruminant Animals : Historical Perspective, Current Understanding and Future Implication. J. Anim. Sci. 57., Suppl 2

Parakkasi, A. 1980. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia, UI-Press, Jakarta.

Parker, J. 1986. Pelleting Handbook. California Pellet Mill Ltd. Singapore. Price, M.A, S.D. Jones, G.W. Muthison and R.T. Berg. 1980. The effect of

increasing dietary roughage live and slaughter weigh on the feedlot performance and carcass characteristic of bull and steer. J. Anim. Sci. 60: 345–352.

Pond, W.G., D.C. Chruch and K.R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th. JhonWiley and Son, United States of America.

Pulungan, H., J.E. van Eys, dan M. Rangkuti. 1984. Penggunaan ampas tahu sebagai makanan tambahan pada domba lepas sapih yang memperoleh rumput lapangan. Ilmu dan Peternakan. 1(7):331-335.


(5)

Ranjhan, S.K. 1977. Animal Nutrition and Feeding Practice in India. New Delhi: Vikan Pub.House PVT Ltd.

Ranjhan, S.K. 1980. Animal Nutrion and Feeding Practice In India. New Delhi. Vikan Pub. House P.U.T. Ltd.

Ranjhan, S.K. and N.N, Pathak. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. Vikas Publishing House PVT LTD. New Delhi.

Reksohadiprojo S. 1984. Produksi Hijauan Makanan Ternak Tropik. Yogyakarta:Fakultas Ekonomi. UGM. Yogyakarta.

Santoso, K.A., S. Djojowindagdo, W. Hardjo-subroto, Arinto, Sunardi, dan P. Basuki. 1991. Inventarisasi Potensi Supply Ternak Potong. Kerjasama Dinas Peternakan Tingkat I Jawa Tengah dengan Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Santoso,U.1985. Limbah Bahan Ransum Unggas yang Rasional. PT. Bhatara Karya Aksara. Jakarta.

Sarwono, B. 1990. Beternak Kambing Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Soeparno and H. L. Davies. 1987. Studies on the growth and carcass composition in the Daldale Wether Lamb. I. The effect of Dietary Energy Concentration and Pasture Species. Austr. J. Agric. Res. 38 : 403-415.

Sosroamidjojo. 1981. Peternakan Umum. CV. Yasaguna. Jakarta.

Sumoprastowo, R. M. 1986. Beternak Kambing yang Berhasil. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

Steel, C.J. dan J.H. Torrie.1991. Prinsip dan Prosedur Statistik. PT. Gramedia. Jakarta.

Suhartanto, B., Kustantinah dan S. Padmowijoto. 2000. “Degradasi in sacco Bahan Organik dan Protein Kasar Empat Macam Bahan Pakan Diukur Menggunakan Kantong inra dan rowett research institute”. Buletin Peternakan. Vol 24 (2), Hal 82-93.

Sulastri. 2007. ”Estimasi Parameter Genetik Sifat-Sifat Pertumbuhan Kambing Boerawa di Desa Campang, Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus”. Pustaka Ilmiah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sutardi,T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I.Departemen Ilmu Makanan Ternak, Fak. Pertanian IPB, Bogor.


(6)

Sutardi, T. 1983. “Ketahanan Protein Bahan Makanan Terhadap Degradasi oleh Mikroba dan Manfaatnya bagi Peningkatan Produktivitas Ternak”. Prosiding Seminar Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertaanian. Bogor.

Sutardi, T. 1994. Peningkatan Produksi Ternak Ruminansia Melalui Amoniasi Pakan Serat Bermutu Rendah, Defaunasi dan Suplementasi Sumber Protein Tahan Degradasi Dalam Rumen. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Tilley, J.M. A. dan R.A. Terry, 1963. The relationship between the soluble constitutent herbage and their dry matter digestibility. J. British Feed Sci. 18: 104-111

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksodiprodjo, S. Prwawirokusomo & L.

Lebdosoekojo. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Tillman, D.A., Hartadi H., Reksohadiprodjo, S., Lebdosoekojo S. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press. Fakultas Peternakan UGM, Yogyakarta

Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo. dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Edisi Keenam. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Van Soest, P.J. 1983. Nutritional Ecology of the Ruminant. Ruminant

Metabolism, Nutritional Strategies, the Cellulolytic Fermentation and the Chemistry of Forages and Plant Fibers. O & B. Books, Inc. Corvalis, Oregon. Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

Terjemahan Oleh S.G.N. Dwija, D. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.


Dokumen yang terkait

Pemanfaatan Tongkol Jagung Dengan Starbio, Aspergilus niger dan Trichoderma viride terhadap Kecernaan Protein Kasar dan Serat Kasar Pada Domba Jantan Lokal Lepas Sapih

2 62 62

PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRAT DENGAN KADAR PROTEIN KASAR YANG BERBEDA PADA RANSUM BASAL TERHADAP PERFORMANS KAMBING BOERAWA PASCA SAPIH

2 41 46

PENGARUH PENAMBAHAN KONSENTRAT DENGAN KADAR PROTEIN KASAR YANG BERBEDA PADA RANSUM BASAL TERHADAP KECERNAAN BAHAN KERING DAN KECERNAAN BAHAN ORGANIK KAMBING BOERAWA PASCA SAPIH

1 54 34

Kecernaan Bahan Kering, Bahan Organik Dan Protein Kasar Ransum Yang Mengandung Ampas Teh Pada Kelinci Persilangan Lepas Sapih

0 7 69

Kecernaan Serat Kasar Dan Protein Kasar Ransum Yang Mengandung Pelepah Daun Kelapa Sawit Dengan Perlakuan Fisik, Biologi, Kimia Dan Kombinasinya Pada Domba

0 10 56

Pengaruh Aras Serat Kasar Ransum terhadap Kecernaan Serat Kasar, Protein Kasar dan Energi Metabolis pada Itik Tegal Umur 14 Hari. - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 1

Kecernaan Serat Kasar Dan Protein Kasar Ransum Yang Mengandung Pelepah Daun Kelapa Sawit Dengan Perlakuan Fisik, Biologi, Kimia Dan Kombinasinya Pada Domba

0 0 2

Kecernaan Serat Kasar Dan Protein Kasar Ransum Yang Mengandung Pelepah Daun Kelapa Sawit Dengan Perlakuan Fisik, Biologi, Kimia Dan Kombinasinya Pada Domba

0 0 3

Kecernaan Serat Kasar Dan Protein Kasar Ransum Yang Mengandung Pelepah Daun Kelapa Sawit Dengan Perlakuan Fisik, Biologi, Kimia Dan Kombinasinya Pada Domba

0 0 14

Kecernaan Serat Kasar Dan Protein Kasar Ransum Yang Mengandung Pelepah Daun Kelapa Sawit Dengan Perlakuan Fisik, Biologi, Kimia Dan Kombinasinya Pada Domba

0 0 4