TINJAUAN KRIMINOLOGIS TIMBULNYA PREMANISME DI BANDARLAMPUNG (Studi Kasus Wilayah Hukum Polresta Bandarlampung)

(1)

(2)

ABSTRAK

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TIMBULNYA PREMANISME DI BANDARLAMPUNG

(Studi Kasus Wilayah HukumPolresta Bandarlampung) Oleh

Munadi Afrizal

Kepolisian Resort Kota Bandarlampung melakukan razia dengan sebanyak 51 preman terjaring razia yang digelar Polres Bandarlampung, operasi kali ini berdasarkan aduan masyarakat yang resah terhadap keberadaan para preman kerap melakukan pemerasan terhadap masyarakat di sejumlah fasilitas umum wilayah Bandarlampung. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu. a) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya premanisme di Bandarlampung, b) Bagaimanakah upaya Polri dalam Menanggulangi premanisme di Bandarlampung,c) Apakah faktor-faktor penghambat Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung.

Penelitian ini menggunakan pendekatan masalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sumber data yang digunakan berupa data primer, dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dari penelitian di lapangan dengan cara melakukan wawancara dengan responden, sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang terdiri dari: a) bahan hukum primer, b) bahan hukum sekunder, c) bahan hukum tersier. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu penentuan sekelompok subjek yang didasarkan atas pertimbangan maksud dan tujuan yang telah ditetapkan.

Berdasarkan hasil penelitian penulis: a)Faktor yang menyebabkan timbulnya premanisme di Bandarlampung: 1.Faktor internal (Ekonomi,Pendidikan,Latar belakang individu), 2.Faktor eksternal (Lingkungan dan Pergaulan). b)Upaya Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung dengan menggunakan sarana Penal dan Non Penal, yaitu Penal dengan cara pengajuan di persidangan pengadilan dan Non penal dengan upaya preventif berupa penyuluhan rehabilitasi dan represif berupa razia. c)Faktor-faktor penghambat Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung antara lain faktor hukum, faktor sarana pendukung, faktor SDM penegak hukum, faktor Kebudayaan dan masyarakat.


(3)

pemerintah dalam upaya menanggulangi timbulnya premanisme di adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan serta giat melakukan kegiatan penyuluhan, b) Kepolisian seharusnya saat ini sudah mempunyai penanganan khusus seperti melakukan razia secara berkala selanjutnya untuk dapat dibina dengan memberi keterampilan dan bersama instansi terkait diberikan lapangan pekerjaan agar terjadi perubahan sosial serta perubahan gaya hidup c) Kepolisian turut serta meningkatkan kualitas dan jumlah personil Kepolisian dalam menangani suatu tindak pidana oleh premanisme, karena dalam hal ini Kepolisian dituntut untuk mengetahui ilmu lain dalam penanggulangan Premanisme khususnya di Bandarlampung


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian. ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual. ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Kriminologis Terjadinya Kejahatan ………. .. 16

B. Tinjauan Umum Kepolisian RI ... 24

C. Pengertian Kejahatan. ... 28

D. Faktor Penyebab Kejahatan ... 30

E. Upaya Penanggulangan Kejahatan ……… .. 32

F. Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum ... 33

G. Preman dan Premanisme ... 37

III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 43

B. Sumber dan Jenis Data ... 43

C. Narasumber/Responden ... 44

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 45


(7)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden………... 47

B. Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya premanisme di

Bandarlampung……… 48

C. Upaya Polri Dalam Menanggulangi Premanisme di Bandarlampung 52 D. Yang Menjadi faktor penghambat Polri dalam menanggulangi

premanisme di Bandarlampung……… 62

V PENUTUP

A. Simpulan ... 65 B. Saran ... 66 DAFTAR PUSTAKA


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) sehingga saling melengkapi satu sama lainnya. Dari adanya hubungan tersebut masing- masing dari individu tersebut mempunyai kewajiban dan haknya dalam bermasyarakat yang berpedoman pada norma-norma yang ada, sehingga dapat menciptakan keadaan yang aman dan tentram saat tidak ada pelanggaran norma.

Kejahatan bersumber dari masyarakat,masyarakat yang memberi kesempatan dan masyarakat itu sendiri yang menanggung akibat dari kejahatan itu walau tidak secara langsung. Aksi premanisme dan kejahatan jalanan adalah salah satu bentuk kejahatan yang akan terus ada dalam masyarakat yang merupakan bagian keseimbangan antara kebajikan dan kebatilan.

Upaya penanggulangan gangguan keamanan, ketertiban, dan tindak kriminalitas telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan walaupun masih ditemukan gangguan keamanan dan hambatan yang dapat mengganggu suasana yang sudah kondusif tersebut. Upaya pemberantasan Premanisme, perjudian, dan sebagainya yang relatif intensif ini telah menunjukkan hasil yang signifikan.1


(9)

Langkah Pemerintah khususnya Kepolisian tersebut akan terus dilakukan secara konsisten dan seyogyanya didukung penuh oleh seluruh lapisan masyarakat agar kondisi aman dan tertib dapat semakin diwujudkan.

Faktor kompleksitas kepentingan sosial politik, ketidakadilan, kesenjangan kesejahteraan ekonomi, dan provokasi yang mengeksploitasi perbedaan etnis, agama dan golongan merupakan faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban terutama konflik berdimensi kekerasan di beberapa daerah.

Upaya memberantas kejahatan premanisme tersebut maka seluruh jajaran Polri memiliki kewajiban untuk melakukan pemberantasan premanisme dan kejahatan jalanan guna meminimalisir kejahatan dan menciptakan situasi yang aman dan tenteram. Dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku serta pedoman pelaksanaan Polri yang telah diatur dalam undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Preman sebetulnya bisa menjadi identitas siapapun. Seseorang atau sekelompok orang bisa diberi label preman ketika ia melakukan kejahatan (politik, ekonomi, sosial) tanpa beban. Di sini, preman merupakan sebuah tendensi tindakan amoral yang dijalani tanpa beban moral. Maka premanisme di sini merupakan tendensi untuk merebut hak orang lain bahkan hak publik sambil mempertontonkan kegagahan yang menakutkan.2

Istilah preman penekanannya adalah pada perilaku seseorang yang membuat resah, tidak aman dan merugikan lingkungan masyarakat ataupun orang lain.

2


(10)

Perilaku premanisme dan kejahatan jalanan merupakan problematika sosial yang berawal dari sikap mental masyarakat yang kurang siap menerima pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi. Premanisme di Indonesia sudah ada sejak jaman penjajahan, kolonial Belanda, selain bertindak sendiri, para pelaku premanisme juga telah memanfaatkan beberapa jawara lokal untuk melakukan tindakan premanisme tingkat bawah yang pada umumnya melakukan kejahatan jalanan (street crime) seperti pencurian dengan ancaman kekerasan (Pasal 365 KUHP), pemerasan (Pasal 368 KUHP), pemerkosaan atau rape (Pasal 285 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), merusakkan barang (Pasal 406 KUHP) yang tentunya dapat mengganggu ketertiban umum serta menimbulkan keresahan di masyarakat.

Fenomena preman di Indonesia mulai berkembang saat ekonomi semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat usia kerja mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, biasanya melalui pemerasan dalam bentuk penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Preman sangat identik dengan dunia criminal dan kekerasan karena memang kegiatan preman tidak lepas dari kedua hal tersebut.

Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechstaat), dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Indonesia juga adalah Negara yang demokrasi. Pemerintahan demokrasi yang khas ialah “Rule of Law”, atau Negara Hukum (Rechtstaat)3. Secara garis besar tugas kepolisian yaitu untuk memeberikan rasa aman kepada masyarakat, akhir-akhir ini premanisme mulai muncul khususnya dikota besar, salah satunya yaitu di Kota Bandarlampung

3


(11)

dengan adanya aksi preman ini maka masyarakat merasa terganggu oleh adanya gerakan premanisme, dengan keadaan demikian telah terbukti fungsi dari Kepolisian Resort Kota Bandarlampung melakukan razia dengan sebanyak 51 preman terjaring razia yang digelar Polres Bandarlampung pada hari rabu 10 april 2013. Para preman tersebut ditangkap karena meresahkan warga.4

Kapolres Bandarlampung Kombes Nurochman menyatakan, operasi kali ini berdasarkan aduan masyarakat yang resah terhadap keberadaan para preman itu selain kerap meresahkan warga, para preman tersebut ditangkap dalam rangka operasi Cipta Kondisi jelang Pilkada 2013.

Beliau menyatakan, para preman kerap melakukan pemerasan terhadap masyarakat di sejumlah fasilitas umum wilayah Bandarlampung. Ke-51 preman tersebut ditangkap dari berbagai wilayah di Kota Bandarlampung. Sebanyak 10 di antaranya ditangkap dari Kecamatan Tanjungkarang Timur dan tujuh orang lainnya dari Tanjungkarang Barat. Sisanya dari Kecamatan Telukbetung Selatan berjumlah 11 orang, Telukbetung Utara empat orang, Telukbetung Barat empat orang, Panjang enam orang, Kedaton enam orang, dan Sukarame tiga orang, mereka tidak ditahan, hanya didata dan diberikan pengarahan terkait aksi premanisme yang mereka lakukan khususnya di kota Bandarlampung. Nurochman mengimbau masyarakat agar segera melapor ke polsek terdekat bila mendapatkan gangguan dari preman, baik itu pemerasan atau gangguan keamanan dan ketertiban lainnya.5

4

http://ka al .bersa a.web.id/artikel/read/ / /


(12)

Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum.6 Sehingga tentu saja praktik premanisme tersebut diharapkan sudah dapat diakomodir dengan penegakan hukum secara konsisten dari para penegak hukum di Indonesia. Namun pada kenyataannya masih banyak kita jumpai tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat khususnya di Kota besar seperti Bandarlampung.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul :“Tinjauan Kriminologis Timbulnya Premanisme di Bandarlampung”.

B. Permasalahan dan Ruang lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan Latar Belakang yang dikemukakan di atas, mengenai Tinjauan Kriminologis Timbulnya Premanisme di Bandarlampung, maka permasalahan dalam skripsi ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya premanisme di BandarLampung?

2. Bagaimanakah upaya Polri dalam Menanggulangi premanisme di Bandarlampung?

3. Apakah yang menjadi faktor penghambat Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung?

6


(13)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pembahasan masalah skripsi ini dibatasi ruang lingkup penelitian dalam ruang lingkup bidang ilmu hukum pidana umum dan Kriminologi, penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mendapatkan data dalam menjawab permasalahan faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya premanisme di BandarLampung, upaya penanggulangan terhadap tindakan premanisme di Bandarlampung, faktor penghambat yang dihadapi dalam upaya penanggulangan terhadap tindakan premanisme di Bandarlampung, penelitian ini akan dilakukan pada studi kasus dengan lingkup penelitian diwilayah hukum Kepolisisan Resort Kota Bandarlampung (Polresta Bandarlampung).

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya premanisme di BandarLampung.

2. Untuk mengetahui upaya Polri dalam Menanggulangi premanisme di Bandarlampung.

3. Untuk mengetahui yang menjadi faktor penghambat Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung.

2. Kegunaan Penelitian

Secara garis besar dan sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian ini dapat dibagi menjadi :


(14)

1. Kegunaan Teoritis

a. Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan ilmu pengetahuan serta menambah wawasan khususnya mengenai tindakan premanisme.

b. Memberikan kontribusi kepada kalangan akademisi dan praktisi, penambahan pengetahuan hukum umumnya dan hukum pidana .

c. Memberikan pengetahuan kepada kita semua tentang tugas dan fungsi polisi dalam upaya penanggulangan terhadap tindakan premanisme khususnya di Bandarlampung.

2. Kegunaan Praktis

Dapat menjadi sumbangsih bagi pemerintah, khususnya bagi lembaga Legislatif sebagai bahan masukan untuk membuat suatu peraturan atau Undang-Undang yang berkaitan dengan tindakan premanisme.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.7 Manusia sebagaimana diakui oleh hukum (pendukung hak dan kewajiban hukum) pada dasarnya secara normal mengikuti hak-hak yang dimiliki manusia. Hal ini berkaitan dengan arti hukum yang memberikan pengayom, kedamaian dan ketentraman seluruh umat manusia dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara.

7

Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Universitas Indonesia pres: Jakarta, hal 127


(15)

1.1Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Kejahatan

Kejahatan merupakan perbuatan anti-sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita, dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.8 Menurut Sue Titus Reid, bagi suatu perumusan hukum tentang kejahatan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu:9

1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja. Dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu. Disamping itu pula, harus ada niat jahat; 2. Merupakan pelanggaran hukum pidana;

3. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum;

4. Yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran. Secara sosiologis, maka kejahatan merupakan suatu perikelakuan manusia yang diciptakan oleh sebagian warga-warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang.10

8

W.A. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 25 9

Sue Titus Reid dalam Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghalia, 1981), hal. 22.


(16)

1.1.1 Teori Kejahatan dari Perspektif Biologis

Cesare Lambroso (1835-1909) dengan bukunya yang berjudul L’huomo delinquente (the criminal man) menyatakan bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non-kriminal. Lambroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasi dalam karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi. Teori Lambrosotentang born criminal menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka yang bukan penjahat.11 Berdasarkan penelitiannya, Lombrosso mengklasifikasikan penjahat dalam 4 (empat) golongan, yaitu:12

a. Born criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi penjahat;

b. Insane criminal yaitu orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok idiot dan paranoid;

c. Occasional criminal atau criminaloid yaitu pelaku kejahatan berdasarkan pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya; d. Criminals of passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakan

karena marah, cinta atau karena kehormatan. 1.1.2 Teori Kejahatan dari Perspektif Sosiologis

Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Ada hubungan timbal-balik antara faktor-faktor umum sosial

11

Ibid, hal. .


(17)

politik-ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu: strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), social kontrol (kontrol sosial).13 Teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berbeda, teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.

a. Teori Differential Association

Teori yang dikemukakan oleh Edwin Sutherland ini pada dasarnya melandaskan diri pada proses belajar, ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. TeoriDifferential Association ini menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.

b. Teori Kontrol

Teori kontrol sosial merujuk pada pembahasan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga,


(18)

pendidikan, dan kelompok dominan. Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum.

1.2Upaya Penanggulangan Kejahatan

Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal), dengan tujuan akhir adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian penegakkan hukum pidana yang merupakan bagian hukum pidana perlu di tanggulangi dengan penegakan hukum pidana berupa penyempurnaan peraturan perundang-undangan dengan penerapan dan pelaksanaan hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi tindak pidana.

Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi.14 Penanggulangan ditetapkan dengan cara :

1. Penerapan hukum pidana 2. Pencegahan tanpa pidana

Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat diatasi dengan penegakan hukum pidana semata, melainkan harus dilakukan dengan upaya-upaya lain diluar hukum pidana (non penal). Upaya non penal tersebut melalui kebijakan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Di samping itu, upaya non penal juga dapat

14

Barda Nawawi, Arief,. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung, hal 48


(19)

ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.

Menurut Marc Ancel kebijakan kriminal (criminal policy) adalah suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.15 Secara garis besar kebijakan kriminal ini dapat ditempuh melalui dua cara yaitu :16

1. Upaya Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada upaya–upaya yang sifatnya repressive (penindasan/pemberantasan/penumpasan) dengan menggunakan sarana penal (hukum penal);

2. Upaya Non-Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan tersebut terjadi. Sasaran utama dari kejahatan ini adalah menangani faktor-faktorb kondusif penyebab terjadinya kejahatan.

1.3Faktor Penghambat Penanggulangan Kejahatan Faktor-faktor penegakan hukum adalah sebagai berikut :17 a. Faktor hukumnya sendiri, Undang-Undang.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentu maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

15

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana, Loc.Cit

16

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Loc.Cit., hlm.1

17

Soerjo o Soeka to, Faktor-faktor Ya g Me pe garuhi Pe egaka Huku , Jakarta : Rajawali Pers, , ha


(20)

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif maupun empiris. Biasanya telah merumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau telah menjalankan lebih lanjut dari konsep tertentu.18 Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah.19

Upaya memudahkan pengertian yang terkandung dalam kalimat judul penelitian ini, maka penulis dalam konseptual ini menguraikan pengertian-pengertian yang berhubungan erat dengan penulisan sekripsi ini, agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemahaman atau penafsiran yang ditujukan untuk memberikan kesatuan pemahaman, maka akan dijelaskan beberapa istilah yang dipakai, yaitu sebagai berikut :

18

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandarlampung, hal:9

19

Soerjono Soekanto, 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali: Jakarta,hal:32


(21)

a. Kriminologi adalah merupakan lmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan jelek dan tentang orangnya yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek itu.20

b. Kepolisisan adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Polisi adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia adalah setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif.

c. Penanggulangan adalah suatu proses, perbuatan, atau suatu cara menanggulangi.

d. Premanisme adalah perilaku yang menimbulkan tindak pidana yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.21

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini secara keseluruhan dapat mudah dipahami dari sitematika penulisannya yang disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisikan tentang pendahuluan yang merupakan latar belakang yang menjadi titik tolak dalam perumusan permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual yang menjelaskan teori.

20Moeljat o. . Kri i ologi. Bi a aksara: Jakarta,hal.

21


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar yang berisikan tentang pengertian-pengertian umum pengertian pidana, Timbulnya kejahatan, upaya penanggulangan premanisme, pengertian tugas dan fungsi kepolisian dalam Tinjauan Kriminologis Timbulnya Premanisme di Bandarlampung (Studi Kasus Polresta Bandarlampung).

III. METODE PENELITIAN

Bab ini membahas metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian, terdiri dari pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, prosedur pengumpulan data dan pengolahan data secara analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang membahas permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu; mengenai Tinjauan Kriminologis Timbulnya Premanisme di Bandarlampung (Studi Kasus Polresta Bandarlampung). V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil akhir yang berisikan kesimpulan dari penulisan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan saran yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang ada dalam penulisan


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Kriminologis Terjadinya Kejahatan

Kriminologi merupakan ilmu pengatahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Nama kriminologi pertama kali dikemukakan oleh P. Topinard, seorang ahli antropologi prancis. Kriminologi terdiri dari dua kata yakni kata crime yang berarti kejahatan dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi adalah ilmu tentang kejahatan.

Sutherland merumuskan kriminologi sebagai keseluruhan ilmu pengetahuan yang bertalian dengan perbuatan jahat sebagai gejala social (The body of knowledge regarding crime as a social phenomenon). Kriminologi mencakup proses-proses pembuatan hukum, pelanggran hukum dan reaksi atas pelannggaran hukum. Sutherland membagi kriminologi menjadi tiga cabang ilmu utama yaitu:

1. Sosiologi hukum : kejahatan dalah perbuatan yang oleh hukum dilarang dan diancam dengan suatu sanksi.

2. Etiologi kejahatan : merupakan cabang dari ilmu kriminologi yang mencari sebab musabab dari kejahatan.


(24)

Menurut Moeljatno, menyatakan bahwa “kriminologi merupakani lmu pengetahuan tentang kejahatan dan kelakuan jelek dan tentang orangnya yang tersangkut pada kejahatan dan kelakuan jelek itu”. 1

Berdasarkan uraian singkat di atas ditarik suatu pemikiran, bahwa kriminologi adalah bidang ilmu yang cukup penting dipelajari karena dengan adanya kriminologi, dapat dipergunakan sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan dan pelaksanaan hukum pidana. Munculnya lembaga- lembaga kriminologi dibeberapa perguruan tinggi sangat diharapkan dapat memberikan sumbangan-sumbangan dan ide-ide yang dapat dipergunakan untuk mengembangkan kriminologi sebagai science for welfare of society.

Dengan kata lain, kriminologi adalah salah satu cabang ilmu yang diajarkan dalam bidang ilmu hukum. Jika diklasifikasikan, kriminologi merupakan bagian dari ilmu social, akan tetapi kriminologi tidak bisa dipisahkan dengan bidang ilmu hukum, khsususnya hukum pidana.

a. Teori Differential Association

Teori yang dikemukakan oleh Edwin Sutherland ini pada dasarnya melandaskan diri pada proses belajar, ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. Teori Differential Association ini menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin Sutherland


(25)

kemudian menjelaskan proses terjadinya perilaku kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi sebagai berikut:2

1. Criminal behaviour is learned. Negatively, this means that criminal behaviour is not inherited. (Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari secara negatif berarti perilaku itu tidak diwarisi).

2. Criminal behaviour is learned in interaction with other persons in a process of communication.This communication is verbal in many respects but includes also the communication of gesture (Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa isyarat). 3. The principal part of the learning of criminal behaviour occurs within

intimate personal groups. Negatively, this means that the interpersonal agencies of communication, such as movies and newspaper, plays a relatively unimportant part in the genesis of criminal behaviour (Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan ini terjadi dalam kelompok yang intim/dekat. Secara negatif ini berarti komunikasi yang bersifat tidak personal, seperti melalui film dan surat kabar secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam hal terjadinya kejahatan).

4. When criminal behaviour is learned, the learning in cludes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple. (b) the specific direction of motives, drives, rationalizations and attitudes. (ketika tingkah laku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari

2 Paulus Hadisuprapto, Juve ile Deli ue cy, Ba du g: PT. Citra Aditya Bakti, ,


(26)

meliputi (a) teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang sangat sulit , kadang sangat mudah, (b) arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi dan sikap-sikap).

5. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable on unfavorable.In some societies an individual is surrounded by person who invariably define the legal codes as rules to be observed, while in others he is surrounded by person whose definitions are favorable to the violation of the legal codes (Arah dari motif dan dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat kadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi oleh orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberi peluang dilakukannya kejahatan).

6. A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law definitions unfavorable to violation of law. (Seseorang menjadi delinkuen karena ekses dari pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya kejahatan daripada yang melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi).

7. Differential association may vary in frequency, duration, priority and intensity. (Differensial association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka waktu, prioritas serta intensitasnya).


(27)

8. The process of learning criminal behaviour by association with criminal and anti-criminal patterns involves all of the mechanisms that are involved in any other learning. (Proses mempelajari perilaku kejahatan yang diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan anti kejahatan yang menyangkut seluruh mekanisme yang lazimnya terjadi dalam setiap proses belajar pada umumnya).

9. While criminal behaviour is an expression of general needs and values, it is not explained by those general needs and values since non-criminal behaviour is an expression of the same needs and values (Sementara perilaku kejahatan merupakan pernyataan kebutuhan dan nilai umum, akan tetapi hal tersebut tidak dijelaskan oleh kebutuhan dan nilai-nilai umum itu, sebab perilaku yang bukan kejahatan juga merupakan pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama).

b. Teori Kontrol

Teori kontrol sosial merujuk pada pembahasan kejahatan yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan kelompok dominan. Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya, pemunculan teori kontrol disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi.


(28)

Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal. Kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak) kurang menyukai “kriminologi baru” atau “new criminology” dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat (criminal).

Kedua, munculnya studi tentang “criminal justice” dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem.

Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni selfreport survey.3 Teori kontrol dapat dibedakan menjadi dua macam kontrol, yaitu personal control dan sosial control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma-norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif.

Teori kontrol atau sering juga disebut dengan Teori Kontrol Sosial berangkat dari suatu asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik kalau masyarakatnya membuatnya demikian, pun ia menjadi jahat apabila masyarakat membuatnya begitu. Pertanyaan dasar yang dilontarkan paham ini

3Ro li At asas ita, Teo i da Kapita Selekta K i i ologi, Ba du g: PT. Refika dita a,


(29)

berkaitan dengan unsur-unsur pencegah yang mampu menangkal timbulnya perilaku delinkuen di kalangan anggota masyarakat, utamanya para remaja.4

B. Tinjauan Umum Kepolisian Republik Indonesia

1. Tugas dan Fungsi Polisi Republik Indonesia

Eksistensi Kepolisian yang harus dijalankan sehubungan dengan atribut yang melekat pada individu maupun instansi, dalam hal ini diberikan oleh Polri didasarkan atas asas Legalitas Undang-Undang yang karenanya merupakan kewajiban untuk dipatuhi oleh masyarakat. Agar peran ini bisa dijalankan dengan benar, pemahaman yang tepat atas peran yang diberikan harus diperoleh.

Pemaknaan akan Pelindung, Pengayom, dan Pelayan masyarakat bisa beragam dari berbagai tinjauan, namun untuk kesamaan persepsi bagi kita dan langkah bagi kita, pemaknaan itu dapat dirumuskan :

1. Pelindung : adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memberikanperlindungan bagi warga masyarakat, sehingga terbebas dari rasa takut, bebas dari ancaman atau bahaya, serta merasa tentram dan damai

2. Pengayom : adalah anggota POLRI yang memiliki kemampuan memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, dorongan, ajakan, pesan dan nasehat yang dirasakan bermanfaat bagi warga masyarakat

3. Pelayan : adalah anggota POLRI yang setiap langkah pengabdiannya dilakukan secara bermoral, beretika, sopan, ramah dan proporsional

4Paulus Hadisuprapto, Op. Cit., hal. .


(30)

Pemaknaan dari peran Pelindung, Pengayom dan Pelayan seyogianya tidak hanya tampil dalam setiap langkah kegiatan apapun yang dilakukan oleh personil Polri berkaitan dengan tugasnya, melainkan juga dalam perilaku kehidupannya sehari-hari Tampilan perilaku dimaksud akan sangat tergantung pula kepada integritas pribadi masing-masing anggota Polri, untuk bisa dilaksanakan secara sadar, baik dan tulus. Pada intinya, perilaku yang ditampilkan dapat berwujud :

Sebagai Pelindung : berikan bantuan kepada masyarakat yang merasa terancam dari gangguan fisik dan psikis tanpa perbedaan perlakuan

1. Sebagai Pengayom : dalam setiap kiprahnya, mengutamakan tindakan yang bersifat persuasif dan edukatif

2. Sebagai Pelayan : layani masyarakat dengan kemudahan, cepat, simpatik, ramah, sopan serta pembebanan biaya yang tidak semestinya

3. Sebagai pengayom, POLRI harus selalu simpati dan ramah tamah. Disini ada tiga konsep policy Kapolri yang relevan, yaitu etis, tanggap dan jangan semena mena. Sedangkan sebagai pengawas masyarakat, Polri harus tegas, berwibawa dan kalau perlu keras. Satu lagi konsep policy Polri adalah relevan kuat, yaitu Polri harus sadar bahwa dirinya adalah sebagai ”Crime Hunter”.

Polisi memang harus bertindak keras tetapi tidak bengis, harus melakukan pelayanan yang efisien tapi tidak mengharap apapun, tidak memihak pada kesatuan apapun (khususnya bidang politik) demi tegaknya azas kepolisian. Bagi kepolisian, hal-hal itu merupakan falsafah pelaksanaan tugas yang bersifat universal, sebagai standar minimum perilaku organisasi Polisi. TAP MPR RI No.


(31)

VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka peranan Kepolisian adalah :

1. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat

2. Dalam menjalankan perannya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memiliki keahlian dan keteerampilan secara profesional

2. Fungsi Kepolisian Dalam Masyarakat

Tugas yuridis Kepolisian tertuang dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan di dalam UU Pertahanan dan Keamanan. Selanjutnya dalam Pasal 15 UU No. 2 tahun 2002 disebutkan :

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 Polri secara umum berwenang :

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan

b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat menggangu ketertiban umum

c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat

d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa

e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalan lingkup kewenangan administratif kepolisian


(32)

g. Melakukan tindakan pertama ditempat kejadian

h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang i. Mencari keterangan dan barang bukti

j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional

k. Mengeluarkan surat dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat

l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain serta kegiatan masyarakat

m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu

Tugas pokok tersebut dirinci lebih luas sebagai berikut : 1. Aspek ketertiban dan keamanan umum

2. Aspek perlindungan terhadap perorangan dan masyarakat (dari gangguan atau perbuatan melanggar hukum/kejahatan, dari penyakit-penyakit masyarakat dan aliran-aliran kepercayaan yang membahayakan termasuk aspek pelayanan masyarakat dengan memberikan perlindungan dan pertolongan)

3. Aspek pendidikan sosial di bidang ketaatan/kepatuhan hukum warga masyarakat

4. Aspek penegakan hukum di bidang peradilan, khususnya di bidang penyelidikan dan penyidikan

Mengamati tugas yuridis Kepolisian yang demikian luas tetapi luhur dan mulia itu, jelas merupakan beban yang sangat berat. Terlebih ditegaskan bahwa didalam menjalankan tugasnya itu harus selalu menjungjung tinggi hak-hak asasi rakyat dan hukum negara, khususnya dalam melaksanakan kewenangannya dibidang


(33)

penyidikan. Ditegaskan pula agar senantiasa mengindahkan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan dan kesusilaan. Beban tugas yang demikian berat dan ideal itu tentunya harus didukung pula oleh aparat pelaksana yang berkualitas dan berdedikasi tinggi.

Memperhatikan perincian tugas dan wewenang kepolisian seperti telah dikemukakan diatas, terlihat bahwa pada intinya ada dua tugas kepolisian dibidang penegakan hukum, yaitu :

1. Penegakan hukum dibidang Peradilan pidana (dengan sarana penal) 2. Penegakan hukum dengan sarana non-penal

Tugas penegakan hukum dibidang Peradilan (dengan sarana penal) sebenarnya hanya merupakan salah satu atau bagian kecil saja dari tugas kepolisian, sebagian tugas kepolisian justru terletak diluar penegakan hukum pidana (non-penal). Tugas Kepolisian dibidang peradilan pidana hanya terbatas dibidang penyelidikan dan penyidikan, tugas lainnya tidak secara langsung berkaitan dengan hukum pidana walaupun memang ada beberapa aspek hukum pidanya. Misalnya, tugas memelihara ketertiban dan keamanan umum, mencegah penyakit-penyakit masyarakat, memelihara keselamatan,

Perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat dan penanggulangan dalam konflik sosial, mengusahakan ketaatan hukum warga masyarakat tentunya merupakan tugas yang lebih luas dari yang sekedar dinyatakan sebagai tindak pidana (kejahatan/pelanggaran) menurut ketentuan hukum pidana positif yang berlaku.


(34)

Uraian diatas ingin diungkapkan bahwa tugas dan wewenang kepolisian yang lebih berorientasi pada aspek sosial atau aspek kemasyarakatan (yang bersifat pelayanan dan pengabdian) sebenarnya lebih banyak daripada tugas yuridisnya sebagai penegak hukum dibidang peradilan pidana. Dengan demikian dalam menjalankan tugas dan wewenangya, kepolisian sebenarnya berperan ganda baik sebagai penegak hukum maupun sebagai pekerja sosial untuk menggambarkan kedua tugas peran ganda ini. Kongres PBB ke-5 (mengenai Prevention of crime and the treatment of offenders) pernah menggunakan istilah service oriented task” dan “law enforcement duties”.

Perihal kepolisian dengan tugas dan wewenangnya, ada diatur dalam UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut dikatakan bahwa, kepolisian adalah segala hal-ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi, keterangan pasal tersebut, maka dapat dipahami suatu kenyataan bahwa tugas-tugas yang diemban oleh polisi adalah sangat komplek dan rumit sekali terutama didalam bertindak sebagai penyidik kejahatan atau tindak pidana bahkan dalam penanggulangan premanisme.

Sebagai alat perlengkapan negara, polisi bertanggungjawab melaksanakan tugas pemerintah sehari-hari, yaitu menimbulkan rasa aman pada warga masyarakat. Tugas pemerintah ini dilakukan polisi melalui penegakan hukum pidana, khususnya melalui pencegahan dan menyelesaikan kejahatan prostitusi yang terjadi. Tetapi dalam usaha menimbulkan rasa aman ini, polisi juga bertugas memelihara ketertiban dan keteraturan. Tetapi untuk keperluan analisa kedua fungsi tersebut harus dibedakan, karena menyangkut profesional yang berbeda.


(35)

Undang Undang Kepolisian (Undang Undang No. 2 tahun 2002) memberikan tugas dan wewenang yang sangat luas kepada polisi, mandat yang diberikan ini pada hakikatnya dapat dibagi dalam dua kategori dasar. Yang pertama adalah untuk mencegah dan menyidik kejahatan, dimana akan tampil wajah polisi sebagai alat negara (penegak hukum). Mandat kedua agak lebih sukar menggambarkannya, polisi disini bertugas adalah sebagai Pengayom yang memberikan perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.

Sebagaimana telah disebut diatas, masyarakat menginginkan bahwa polisi harus menegakkan hukum pidana dalam menanggulangi konflik sosial dalam bentuk perang kampung dengan mencegah masyarakat menjadi korban dan kalaupun ada warga yang menjadi korban konflik sosial, polisi harus berusaha melakukan upaya meminimalisir konflik sosial dengan melakukan tugasnya dengan lebih cepat. C. Pengertian Kejahatan

Kejahatan merupakan perbuatan anti-sosial yang secara sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita, dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum (legal definitions) mengenai kejahatan.5 Menurut Sue Titus Reid, bagi suatu perumusan hukum tentang kejahatan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu:6

1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja. Dalam pengertian ini seseorang tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya, melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat

5

W.A. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 25

6

Sue Titus Reid dalam Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghalia, 1981), hal. 22.


(36)

juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus tertentu. Disamping itu pula, harus ada niat jahat; 2. Merupakan pelanggaran hukum pidana;

3. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau pembenaran yang diakui secara hukum;

4. Yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran. Secara sosiologis, maka kejahatan merupakan suatu perikelakuan manusia yang diciptakan oleh sebagian warga-warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang.7

1.1.1 Teori Kejahatan dari Perspektif Biologis

Cesare Lambroso dengan bukunya yang berjudul L’huomo delinquente (the criminal man) menyatakan bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non-kriminal. Lambroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasi dalam karakter fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi. Teori Lambrosotentang born criminal menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka yang bukan penjahat.8 Berdasarkan penelitiannya, Lombrosso mengklasifikasikan penjahat dalam 4 (empat) golongan, yaitu:9

a. Born criminal yaitu orang yang memang sejak lahir berbakat menjadi penjahat;

7

Ibid, hal. .

8

Ibid, hal. .


(37)

b. Insane criminal yaitu orang-orang yang tergolong ke dalam kelompok idiot dan paranoid;

c. Occasional criminal atau criminaloid yaitu pelaku kejahatan berdasarkan pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi pribadinya; d. Criminals of passion yaitu pelaku kejahatan yang melakukan tindakan

karena marah, cinta atau karena kehormatan. 1.1.1 Teori Kejahatan dari Perspektif Sosiologis

Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Ada hubungan timbal-balik antara faktor-faktor umum sosial politik-ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan dalam lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun besar. Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori umum yaitu: strain, cultural deviance (penyimpangan budaya), social kontrol (kontrol sosial).10 Teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan perhatian pada kekuatan-kekuatan sosial (social forces) yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal. Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berbeda, teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia. Teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya efektif.

D. Faktor Penyebab Kejahatan

Masalah sebab-sebab kejahatan selalu merupakan permasalahan yang sangat menarik. Berbagai teori yang menyangkut sebab kejahatan telah diajukan oleh


(38)

para ahli dari berbagai disiplin dan bidang ilmu pengetahuan. Namun, sampai dewasa ini masih belum juga ada satu jawaban penyelesaian yang memuaskan. Meneliti suatu kejahatan harus memahami tingkah laku manusia baik dengan pendekatan deskriptif maupun dengan pendekatan kausal, sebenarnya dewasa ini tidak lagi dilakukan penyelidikan sebab musabab kejahatan, karena sampai saat ini belum dapat ditentukan faktor penyebab pembawa risiko yang lebih besar atau lebih kecil dalam menyebabkan orang tertentu melakukan kejahatan, dengan melihat betapa kompleksnya perilaku manusia baik individu maupun secara berkelompok.

Sebagaimana telah di kemukakan, kejahatan merupakan problem bagi manusia karena meskipun telah ditetapkan sanksi yang berat kejahatan masih saja terjadi. Hal ini merupakan permasalahan yang belum dapat dipecahkan sampai sekarang. Kepustakaan ilmu kriminologi.11 Ada tiga faktor yang menyebabkan manusia melakukan kejahatan, tiga fakta tersebut adalah sebagai berikut :

a. Faktor keturunan keturunan yang diwarisi dari salah satu atau kedua orang tuanya (faktor genetika).

b. Faktor pembawaan yang berkembang dengan sendirinya. Artinya sejak awal melakukan perbuatan pidana.

c. Faktor lingkungan. Yang dimaksud adalah lingkungan eksternal (sosial) yang berpengaruh pada perkembangan psikologi. Karena dorongan lingkungan sekitar, seseorang melakukan perbuatan pidana.

11

Soerjano Soekanto. 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali: Jakarta, hal:36


(39)

E. Upaya Penanggulangan Kejahatan

Penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan dari integral perlindungan masyarakat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.12

Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal), dengan tujuan akhir adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Dengan demikian penegakkan hukum pidana yang merupakan bagian hukum pidana perlu di tanggulangi dengan penegakan hukum pidana berupa penyempurnaan peraturan perundang-undangan dengan penerapan dan pelaksanaan hukum pidana dan meningkatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam menanggulangi tindak pidana.

Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi.13 Penanggulangan kejahatan ditetapkan dengan cara :

1. Penerapan hukum pidana 2. Pencegahan tanpa pidana

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan Pencegahan dan penanggulangan kejahatan tidak hanya dapat diatasi dengan penegakan hukum pidana semata, melainkan harus dilakukan dengan upaya-upaya lain diluar hukum pidana (non penal). Upaya non penal tersebut melalui kebijakan

12

Barda Nawawi, Arief,. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung,hal:2

13


(40)

politik, ekonomi, dan sosial budaya. Di samping itu, upaya non penal juga dapat ditempuh dengan menyehatkan masyarakat lewat kebijakan sosial dan dengan menggali berbagai potensi yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.

Menurut Marc Ancel kebijakan kriminal (criminal policy) adalah suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.14 Secara garis besar kebijakan kriminal ini dapat ditempuh melalui dua cara yaitu :15

1. Upaya Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada upaya–upaya yang sifatnya repressive (penindasan/pemberantasan/penumpasan) dengan menggunakan sarana penal (hukum penal);

2. Upaya Non-Penal, merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang lebih menitikberatkan pada upaya-upaya yang sifatnya preventif (pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan tersebut terjadi. Sasaran utama dari kejahatan ini adalah menangani faktor-faktorb kondusif penyebab terjadinya kejahatan.

F. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum

Masalah penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut, faktor-faktor penegakan hukum adalah sebagai berikut :16

1. Faktor hukumnya sendiri, Undang-Undang.

14

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana, Loc.Cit

15

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,Loc.Cit., hlm.1 16

Soerjono Soekanto. 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali: Jakarta, hal:8


(41)

2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentu maupun menerapkan hukum.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

a. Faktor Hukum

Penegakan hukum, adakalanya terjadinya pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan hukum. Keadilan merupakan seatu yang abstrak, sedangkan kepatian hukum merupakan suatu prosedur yang telah di tentukan secara normatif.

Telaah lebih lanjut,sebenarnya segala tindakan atau kebijakan yang dilakukan tanpa melanggar hukum akan dapat di ketegorikan sebagai sebuah kebajikan.karena sesungguhnya penyelenggaraan hukum bukan hanya merupakan sebuah penegakan hukum dalam kenyataan tertulis saja,akan tetapi juga harus mengandung penyerasian antara nilai kaedah dan pola prilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian dan keadilan.

Hukum yang di golongkan dalam bab ini ada 2,yaitu hukum baik dan hukum buruk. Hukum yang baik adalah Peraturan hukum yang di buat berdasar kesepakatan melalui kepentingan politik yang berbeda, sedangkan Hukum yang buruk merupakan Peraturan hukum yang di buat berdasar kesepakatan melalui kepentingan politik yang sama.


(42)

b. Faktor penegak hukum

Aparat penegak hukum merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pelaksanaan hukum, tanpa mereka hukum sulit tercapai, meski dengan keberadaanya hukum hanya dalam posisi mungkin bisa tercapai.

Ini bukan hanya tentang permasalahan ada atau tidaknya penegak hukum, tapi baik atau tidaknya kualitas penegak hukum akan sangat mempengaruhi kualitas hukum.

Polisi, Jaksa, dan Kpk merupakan aparat penegak hukum di indonesia, tapi lihat saja bagaimana sepak terjang tiga aparat penegak hukum di negara kita ini. Jika masih seperti ini, maka kualitas hukum yang terjadi di Indonesia tidak akan berubah menjadi baik, dan mungkin akan semakin terpuruk ketika para Markus (makelar kasus) menjadi sahabat para penegak hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas pendukung

Fasilitas bukan hal yang asing lagi sbagai sarana pendukung, ini memang merupakn hal yang juga menentukan terhadap pelaksanaan hukum. Tanpa sarana atau fasilitas, penegakan hukum akan mengalami sedikit kendala. Tapi uniknya kadang faktor pendukung ini di jadikan sebagai faktor utama dalam keikutsertaan para aparat hukum dalam mengabdi pada negara,sehingga sekarang bisa dilihat sendiri hasilnya.

d. Faktor masyarakat atau SDM masyarakat

Penegakan hukum yang dilakukan untuk sebuah keadilan dan kedamaian bagi masyarakat akan menuntut masyarakatnya untuk banyak berparisipasi. Kesadaran


(43)

masyarakat sangatlah penting sehingga ketika masyarakat menjalankan hukum karena takut, maka hukum akan berlalu begitu saja. Lain halnya ketika masyarakat melaksanakan hukum karena kesadaraannya.

Di indonesia kesadaran masyarakat terhadap hukum sangat jarang sekali di temui, pelaksanaan hukum masih terpaku pada menonjolnya sikap apatis serta menganggap bahwa penegakan hukum merupakan urusan aparat penegak hukum semata dan tidak berangkat dari kesadaran masyarakat.

e. Faktor kebudayaan

Dikehidupan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan kebudayaan menurut Soerjono Sukanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu menagatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak,berbuat dan menentukan sikapnya kalau merka tak berhubungan dengan orang lain.dengan demikian kebudayaan adalah suatu garis pokok yang menentukan peraturan dan menetapkan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang dilarang.

Berbicara masalah budaya, lebih mengenaskan lagi. Beberapa budaya kita sudah di curi malasyia. Budaya barat lebih populer di negara berlambang garuda ini, budaya kita kini memang tengah mengalami keterasingan di negara sendiri, padahal budaya sangat menentukan hukum. Bagaimana kelanjutan penegakan hukum di Indonesia dapat menjadi lebih baik, jika kelima faktor penegakan hukum sudah tidak dimiliki oleh bangsa ini. Bagi siapa saja yang membaca ini, marilah kita tumbuhkan kecintaan kita terhadap Indonesia dengan memunculkan


(44)

kesadaran hukum kita agar kedamaian dan kedilan dapat di wujudkan di negara kita yang tercinta ini.

G. Preman dan Premanisme

Premanisme berasal dari kata bahasa Belanda vrijman yang diartikan orang bebas, merdeka dan kata isme yang berarti aliran. Premanisme adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain.17

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke-2 yang diterbitkan Balai Pustaka (1993) memberi arti preman dalam level pertama. Kamus ini menaruh "preman" dalam dua entri: (1) preman dalam arti partikelir, bukan tentara atau sipil, kepunyaan sendiri; dan (2) preman sebagai sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, dan lain-lain). Dalam level kedua, yakni sebagai cara kerja, preman sebetulnya bisa menjadi identitas siapapun. Seseorang atau sekelompok orang bisa diberi label preman ketika ia melakukan kejahatan (politik, ekonomi, sosial) tanpa beban. Di sini, preman merupakan sebuah tendensi tindakan amoral yang dijalani tanpa beban moral. Maka premanisme di sini merupakan tendensi untuk merebut hak orang lain bahkan hak publik sambil mempertontonkan kegagahan yang menakutkan.18

Istilah preman penekanannya adalah pada perilaku seseorang yang membuat resah, tidak aman dan merugikan lingkungan masyarakat ataupun orang lain.

17 (http://id.wikipedia.org).

18


(45)

Menurut Ketua Presidium Indonesia Police Watch, NetaS.Pane, setidaknya ada empat model preman yang ada di Indonesia, yaitu 19:

1. Preman yang tidak terorganisasi. Mereka bekerja secara sendirisendiri, atau berkelompok, namun hanya bersifat sementara tanpa memiliki ikatan tegas dan jelas;

2. Preman yang memiliki pimpinan dan mempunyai daerah kekuasaan; 3. Preman terorganisasi, namun anggotanya yang menyetorkan uang kepada

pimpinan;

4. Preman berkelompok, dengan menggunakan bendera organisasi.

Menghalalkan segala cara mengakibatkan seseorang mampu melakukan suatu tindakan yang mengarah kepada peristiwa pidana. Sesuatu tindakan hanya dapat dikenai hukuman, jika tindakan itu didahului oleh ancaman hukuman dalam Undang-Undang, Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya (Nullumdelictum, nullapoena sine praevialegepoenali)20.Jadi segala perilaku kehidupan setiap individu dalam masyarakat telah ada dibuat dalam suatu ketentuan aturan perundang-undangan untuk membuat kehidupan yang aman dan nyaman dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Salah satu fenomena kejahatan yang terjadi dalam masyarakat saat ini adalah begitu maraknya praktik atau aksi premanisme dalam kehidupan masyarakat.

Fenomena preman di Indonesia mulai berkembang saat ekonomi semakin sulit dan angka pengangguran semakin tinggi. Akibatnya kelompok masyarakat usia

19 Ibid 20


(46)

kerja mulai mencari cara untuk mendapatkan penghasilan, biasanya melalui pemerasan dalam bentuk penyediaan jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Preman sangat identik dengan dunia criminal dan kekerasan karena memang kegiatan preman tidak lepas dari kedua hal tersebut.

Praktik premanisme tersebut tidak hanya terjadi pada kalangan masyarakat bawah namun juga merambah kalangan masyarakat atas yang notabene didominasi oleh para kaum intelektual.

Perkelahian antar preman biasanya terjadi karena memperebutkan wilayah garapan yang beberapa di antaranya menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Preman di Indonesia makin lama makin sukar diberantas karena ekonomi yang semakin memburuk dan kolusi antar preman dan petugas keamanan setempat dengan mekanisme berbagi setoran.

Perilaku premanisme dan kejahatan jalanan merupakan masalah sosial yang berawal dari sikap mental masyarakat yang kurang siap menerima pekerjaan yang dianggap kurang bergengsi. Premanisme di Indonesia sudah ada sejak jaman penjajahan kolonial Belanda, selain bertindak main hakim sendiri, para pelaku premanisme juga telah memanfaatkan beberapa jawara lokal untuk melakukan tindakan premanisme tingkat bawah yang pada umumnya melakukan kejahatan jalanan (street crime) seperti pencurian dengan ancaman kekerasan (Pasal 365 KUHP), pemerasan (368 KUHP), pemerkosaan (285 KUHP), penganiayaan (351 KUHP), melakukan tindak kekerasan terhadap orang atau barang dimuka umum (170 KUHP) bahkan juga sampai melakukan pembunuhan (338 KUHP) ataupun pembunuhan berencana (340 KUHP), perilaku Mabuk dimuka umum (492


(47)

KUHP),yang tentunya dapat mengganggu ketertiban umum serta menimbulkan keresahan di masyarakat.

Preman sangat identik dengan dunia kriminal dan kekerasan karena memang kegiatan preman tidak lepas dari kedua hal tersebut.

Contoh:

1. Preman di terminal bus yang memungut pungutan liar dari sopir-sopir, yang bila ditolak akan berpengaruh terhadap keselamatan sopir dan kendaraannya yang melewati terminal.

2. Preman di pasar yang memungut pungutan liar dari lapak-lapak kaki lima, yang bila ditolak akan berpengaruh terhadap rusaknya lapak yang bersangkutan.

Perilaku preman jika dikaitkan dengan unsur pidana maka perlu dilihat mengenai batasan pengertian tentang hukum pidana. Pompe, bahwa hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.21

Untuk itu dalam perkembangannya apa saja hal-hal yang ada dalam premanisme dengan ketentuan pidana. Pasal-pasal yang ada di KUHP yang cenderung sangkakan sebagai tindak pidana premanisme serta 1 (satu) tindak pidana seperti yang dirumuskan pada Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Adapun tindak pidana tersebut adalah sebagai berikut :

21


(48)

Contoh Pasal 170 KUHP Tentang Perilaku Premanisme

(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

(2) Yang bersalah diancam :

1. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang mengakibatkan luka-luka; 2. Dengan pidana penjara paling lama Sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;

3. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.

(3) Pasal 89 tidak diterapkan

Bagian inti dari delik ini adalah:22 Melakukan kekerasandi muka umum atau terang-terangan (openlijk); Bersama-sama; Ditujukan kepada orang atau barang. Unsur-unsur dari pasal 170 adalah sebagai berikut :

a. Pasal 170 melarang “melakukan kekerasan”. Menurut pasal 89 KUHP melakukan kekerasan diartikan mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak sah. Misalnya menendang, memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata. Kekerasan yang dilakukan ini biasanya terdiri dari pengrusakan dan penganiayaan tetapi dapat pula kurang dari itu. Misalnya bila seseorang melemparkan batu kepada orang lain.

b. Melakukan kekerasan dalam pasal ini bukan merupakan suatu alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu tetapi merupakan suatu tujuan. Disamping itu tidak

22


(49)

termasuk pula ke dalam kenakalan (Pasal 489), penganiayaan (Pasal 351), dan pengrusakan barang (Pasal 406). Maka tidak perlu ada akibat tertentu dari kekerasan. Apabila kekerasannya berupa melemparkan batu ke arah seseorang maka tidak

perlu ada orang atau barang yang terkena lemparan batu tersebut.

c. Kekerasan itu harus dilakukan “bersama-sama”, artinya oleh sedikitnya dua orang atau lebih.


(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penulisan ini menggunakan dua macam pendekatan masalah yaitu, pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan skripsi ini, sedangkan pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan dengan melakukan penelitian lapangan (field research), yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik yang ada di lapangan dengan tujuan melihat kenyataan atau fakta-fakta yang konkrit mengenai Tinjauan Kriminologis Timbulnya Premanisme di Bandarlampung (studi kasus polresta Bandarlampung).

Kedua pendekatan ini yaitu pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris, dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya terhadap permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

B. Sumber dan Jenis Data

Penulis menggunakan dua sumber data dalam rangka penyelesaian skripsi ini, yaitu data primer dan data skunder.


(51)

1. Data primer adalah data yang diperoleh penulis melalui studi dengan mengadakan wawancara dan pertanyaan kepada pihak yang terkait.

2. Data skunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Data skunder dipeeroleh dengancara membaca, mengutip, mencatat serta menelaah bahan hukum primer, bahan hukum skunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, dalam hal ini yaitu :

1) Undang-undang Nomor 73 Tahun 1978 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan b. Bahan hukum skunder, yaitu :

Bahan Hukum yang berkaitan dengan data penunjang dari data sekunder. c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang fungsinya melengkapi dari

bahan hukum primer dan skunder agar dapat menjadi lebih jelas, seperti kamus literatur-literatur yang menunjang dalam penulisan skripsi ini, media masa dan sebagainya.

C. Narasumber/Responden

Purposive sampling yaitu suatu metode pengambilan sampel sebagai narasumber yang akan disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai yang dianggap telah mewakili dari masalah yang diteliti untuk menjawab pokok-pokok permasalahan.


(52)

Berdasarkan sampel yang menjadi narasumber terdiri dari Aparat Polresta Bandarlampung, Dosen Fakultas Hukum Unila dan orang atau individu yang dianggap Preman. Adapun responden dalam penelitian ini adalah :

a. Kasat Reskrim Polresta Bandarlampung : 1 orang b. Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang

c. Preman Sekitar Pasar/Terminal : 2 orang +

Jumlah : 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data, baik data primer maupun data skunder penulis menggunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan (library Research)

Dilakukan untuk memperoleh data skunder dilakukan melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dan dokumentasi dengan cara antara membaca, mencatat, mengutip serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan dilakukan dengan mewawancarai para narasumber dan wawancara yang dilakukan secara mendalam dengan sistem jawaban terbuka yang dilakukan secara lisan dan pertanyaan yang telah disiapkansebelumnya terlebih dahulu.


(53)

2. Prosedur pengolahan data

Metode yang digunakan dalam prosedur pengolahan data ini yaitu :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh, diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Klasifikasi, yaitu mengelompokkan data yang telah dievaluasi menurut kerangka yang telah ditetapkan.

c. Sistematisasi data, yaitu data yang telah dievaluasi dan diklasifikasikan disusun yang bertujuan menciptakan keteraturan dalam menjawab permasalahan sehingga mudah untuk dibahas.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian diadakan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yang dilakukan dengan menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan.


(54)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka sebagai penutup dari pembahasan atas permasalahan skripsi ini, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor yang menyebabkan timbulnya premanisme di Bandarlampung antara lain:

a. Faktor (internal)

Faktor bawaan individu, seperti faktor ekonomi, pendidikan dan kebiasaan b. Faktor (eksternal)

Faktor dorongan lingkungan sekitar, pergaulan dalam masyarakat yang sering kearah kriminal.

2. Upaya Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung dengan menggunakan sarana Penal dan Non Penal, yaitu Penal dengan cara pengajuan di persidangan pengadilan dan Non penal dengan upaya preventif berupa penyuluhan rehabilitasi dan represif berupa razia.


(55)

3. Faktor-faktor penghambat Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung antara lain faktor hukum, faktor sarana pendukung, faktor SDM penegak hukum, faktor Kebudayaan dan masyarakat

B. Saran

Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai alternatif pemecahan masalah dalam Tinjauan Kriminologis Timbulnya Premanisme di Bandarlampung sebagai berikut:

1. Kepolisian dan pemerintah dalam upaya menanggulangi timbulnya premanisme di Bandarlampung adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan serta giat melakukan kegiatan penyuluhan dan arti pentingnya hukum.

2. Kepolisian saat ini seharusnya mempunyai penanganan khusus seperti melakukan razia secara berkala yang selanjutnya untuk dibina dengan memberi keterampilan dan bersama instansi terkait diberikan lapangan pekerjaan agar terjadi perubahan sosial serta perubahan gaya hidup.

3. Faktor penghambat dalam hal ini yang paling utama adalah faktor hukum,faktor sarana,faktor penegak hukum, faktor masyarakat itu sendiri sehingga solusinya adalah kemampuan Kepolisian dalam menangani suatu tindak premanisme yang belum optimal karena jumlah personilnya sedikit khususnya personil Binmas, selain itu kualitas dari penegak hukum yang masih kurang (Profesionalitas) karena dalam hal ini dituntut untuk mengetahui ilmu lain, serta hambatan yang lain berkaitan dengan anggaran Kepolisian.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung.

---. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Bonger, W.A. 1982 Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia Chazawi. Adami 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT.Raja

Grafindo Persada.

Hamzah, Andi. 2005. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta: Jakarta.

---, 2011, Delik-Delik Tertentu (SpecialeDelicten) di dalam KUHP, Jakarta, SinarGrafika,

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Moeljatno, 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Keduapuluh Dua, Jakarta: Bumi Aksara

Moeljatno. 1986. Kriminologi. Bina aksara: Jakarta

Notohamidjojo, 2011, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga, Griya Media, Prodjohamidjojo, Martiman. 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana

Indonesia, Jakarta , PT.PradnyaParamitha

Singarimbun, Masri. 1989 Metode Penelitian survei, jakarta LP3ES

Soekanto, Soerjono. 1981. Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia

Soekanto, Soerjano. 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali: Jakarta.

---. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Universitas Indonesia pres: Jakarta


(57)

(1)

Berdasarkan sampel yang menjadi narasumber terdiri dari Aparat Polresta Bandarlampung, Dosen Fakultas Hukum Unila dan orang atau individu yang dianggap Preman. Adapun responden dalam penelitian ini adalah :

a. Kasat Reskrim Polresta Bandarlampung : 1 orang b. Dosen bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang

c. Preman Sekitar Pasar/Terminal : 2 orang +

Jumlah : 4 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data, baik data primer maupun data skunder penulis menggunakan alat-alat pengumpulan data sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan (library Research)

Dilakukan untuk memperoleh data skunder dilakukan melalui serangkaian kegiatan studi kepustakaan dan dokumentasi dengan cara antara membaca, mencatat, mengutip serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan

b. Studi Lapangan (Field Research)

Studi lapangan dilakukan dengan mewawancarai para narasumber dan wawancara yang dilakukan secara mendalam dengan sistem jawaban terbuka yang dilakukan secara lisan dan pertanyaan yang telah disiapkansebelumnya terlebih dahulu.


(2)

46

2. Prosedur pengolahan data

Metode yang digunakan dalam prosedur pengolahan data ini yaitu :

a. Editing, yaitu data yang diperoleh, diperiksa dan diteliti kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenarannya, sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

b. Klasifikasi, yaitu mengelompokkan data yang telah dievaluasi menurut kerangka yang telah ditetapkan.

c. Sistematisasi data, yaitu data yang telah dievaluasi dan diklasifikasikan disusun yang bertujuan menciptakan keteraturan dalam menjawab permasalahan sehingga mudah untuk dibahas.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan data dan pengolahan data, kemudian diadakan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yang dilakukan dengan menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan secara induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan data yang diperoleh dalam penelitian ini, maka sebagai penutup dari pembahasan atas permasalahan skripsi ini, penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Faktor yang menyebabkan timbulnya premanisme di Bandarlampung antara lain:

a. Faktor (internal)

Faktor bawaan individu, seperti faktor ekonomi, pendidikan dan kebiasaan b. Faktor (eksternal)

Faktor dorongan lingkungan sekitar, pergaulan dalam masyarakat yang sering kearah kriminal.

2. Upaya Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung dengan menggunakan sarana Penal dan Non Penal, yaitu Penal dengan cara pengajuan di persidangan pengadilan dan Non penal dengan upaya preventif berupa penyuluhan rehabilitasi dan represif berupa razia.


(4)

66

3. Faktor-faktor penghambat Polri dalam menanggulangi premanisme di Bandarlampung antara lain faktor hukum, faktor sarana pendukung, faktor SDM penegak hukum, faktor Kebudayaan dan masyarakat

B. Saran

Bertitik tolak dari kesimpulan di atas, maka dapat diberikan saran sebagai alternatif pemecahan masalah dalam Tinjauan Kriminologis Timbulnya Premanisme di Bandarlampung sebagai berikut:

1. Kepolisian dan pemerintah dalam upaya menanggulangi timbulnya premanisme di Bandarlampung adalah dengan menyediakan lapangan pekerjaan serta giat melakukan kegiatan penyuluhan dan arti pentingnya hukum.

2. Kepolisian saat ini seharusnya mempunyai penanganan khusus seperti melakukan razia secara berkala yang selanjutnya untuk dibina dengan memberi keterampilan dan bersama instansi terkait diberikan lapangan pekerjaan agar terjadi perubahan sosial serta perubahan gaya hidup.

3. Faktor penghambat dalam hal ini yang paling utama adalah faktor hukum,faktor sarana,faktor penegak hukum, faktor masyarakat itu sendiri sehingga solusinya adalah kemampuan Kepolisian dalam menangani suatu tindak premanisme yang belum optimal karena jumlah personilnya sedikit khususnya personil Binmas, selain itu kualitas dari penegak hukum yang masih kurang (Profesionalitas) karena dalam hal ini dituntut untuk mengetahui ilmu lain, serta hambatan yang lain berkaitan dengan anggaran Kepolisian.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi, 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Citra Aditya Bakti: Bandung.

---. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Bonger, W.A. 1982 Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia Chazawi. Adami 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta: PT.Raja

Grafindo Persada.

Hamzah, Andi. 2005. KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta: Jakarta.

---, 2011, Delik-Delik Tertentu (SpecialeDelicten) di dalam KUHP, Jakarta, SinarGrafika,

Husin, Sanusi. 1991. Penuntun Praktis Penulisan Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Lampung: Bandar Lampung.

Moeljatno, 2002. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cetakan Keduapuluh Dua, Jakarta: Bumi Aksara

Moeljatno. 1986. Kriminologi. Bina aksara: Jakarta

Notohamidjojo, 2011, Soal-soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga, Griya Media, Prodjohamidjojo, Martiman. 1997, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana

Indonesia, Jakarta , PT.PradnyaParamitha

Singarimbun, Masri. 1989 Metode Penelitian survei, jakarta LP3ES

Soekanto, Soerjono. 1981. Kriminologi Suatu Pengantar, Jakarta: Ghalia

Soekanto, Soerjano. 1986. Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali: Jakarta.

---. 2007. Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Universitas Indonesia pres: Jakarta


(6)

Universitas Lampung. 2005. Format Penulisan Karya Ilmiah. Universitas Lampung: Bandar Lampung.