Tugas Hukum
V. Kesimpulan
I.
Bahwa gagasan pembaruan pendidikan, yang telah dicetuskan sejak
Konperensi Antar Fakultas Hukum pada tahun 1958 di Jakarta, pada tahun
1962 di Yogyakarta dan pada Konperensi Antar Fakultas Pembina pada tahun
1968 di Yogyakarta, telah mulai dirumuskan dengan lebih nyata dan dilakukan
percobaan-percobaan pelaksanaannya oleh Sub Konsorsium Ilmu Hukum
yang dibentuk oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada Tahun
1969.
II.
Bahwa terbitnya surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.198
tertanggal 30 Desember 1972 tentang kurikulum minimum, yang kemudian
diikuti dengan pertemuan pengajar dalam mata pelajaran sejenis, tanggal 2528 maret 1973 dan pertemuan antar Sub Konsorsium Ilmu Hukum dengan
para Dekan Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia di Lembang pada
tanggal 12-25 September 1973, dapatlah dinilai sebagai tonggak batas
dimulainya periode pembaruan pendidikan hukum di Indonesia.
III.
Bahwa pendidikan hukum di Negara kita, ditujukan pada : pertama, untuk
orang-orang yang memiliki kemahiran dalam menerapkan hukum positive
berguna dalam memelihara ketertiban; kedua, untuk menghasilkan orangorang yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat merdeka yang sedang
membangun, yaitu orang-orang yang dapat menciptakan masyarakat yang
dikehendaki, melalui tekhnik pembentukan hukum dan perancangan UndangUndang.
IV.
Bahwa untuk meningkatkan keterampilan paea lulusan Fakultas Hukum, maka
kepada para mahasiswa perlu diberikan lebih banyak kesempatan untuk
mempelajari praktek hukum, melalui pendidikan yang bersifat klinis, baik
untuk keterampilan penerapan hukum, penelitian hukum, maupun perencanaan
Undang-Undang
V.
Bahwa untuk meningkatkan masalah sikap orang (attituditional Problem)
sebagai anggota masyarakat yang sedang membangun, maka cara-cara
pengajaran yang dipergunakan harus dapat menjamin partisipasi maksimal
dari pada para mahasiswa sedenikian rupa sehingga dapat membangkitkan
daya dan kemampuan kreatif mereka, seperti misalnya diskusi kelompok,
metode tanya jawab antara dosen dan mahasiswa (Socratic method), penulisan
kertas kerja yang pendek yang kemudian diperbincangkan dalam seminarseminar.
Par.47. PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM NASIONAL
1. Reorientasi Tujuan Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional
Masalah Pembinaan pendidikan tinggi di Indonesia termasuk pendidikan tinggi
dibidang hukum sebenarnya dapat dikembalikan pada dua pokok masalah yakni:
(1) Masalah mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan dan (2) masalah
pembaruan pendidikan khususnya dihubungkan dengan kebutuhan masyarakat
Indonesia sebagai Negara baru merdeka yang sedang berkembang.
Dengan demikian pengertian “reorientasi” lebih luas dari pembaruan, karena
pembaruan pendidikan hukum nasional hendak kita pakai dalam arti yang luas yakni
re-orientasi yang dihubungkan dengan kebutuhan Indonesia sebagai masyarakat baru
merdeka yang sedang berkembang (atau Masyarakat dalam pembangunan) baiknya
dikemukakan apa saja kebutuhan-kebutuhan masyarakat demikian dibidang
pendidikan ahli-ahli hukumnya.
BAB XVII
POLITIK HUKUM DI INDONESIA
Par. 41. Politik Hukum Pemerintahan Belanda di Indonesia
Suatu politik hukum yang tegas dari pemerintah belanda boleh dikatakan baru
Nampak sejak tahun 1848. Dalam tahun tersebut Pemerintah Belanda itu mulai mengadakan
kondifikasi di Indonesia, yaitu mengundangkan Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Van
Koophandeel (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang) untuk orang-orang Eropa yang ada disini, yang pada hakekatnya berupa suatu
penjiplakan belaka dari Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Koophandel yang pada seouluh
tahun yang lalu (tahun 1838) diundangkan di negeri Belanda.
Maka dari itu kita melihat, bahwa dalam tahun 1855 sebagian dari Burgerlijk Wetboek
tadi, yaitu bagian memuat hukum kekayaan ( Hukum Benda dan Hukum Perjanjian), begitu
pula Wetboek Van Koophandel, dinyatakan berlaku untuk orang tionghoa, orang-orang
Indonesia menurut politik hukum tersebut dibiarkan hidup dibawah hukumnya sendiri, yaitu
hukum adat asli. Dalam rencana untuk menciptakan hukum tertulis bagi orang Indonesia ini
ada Dua aliran, Yang salah satu hukumnya hendak menundukan orang Indonesia kepada
hukum Eropa, seperti yang sudah dilakukannya terhada golongan Tionghoa dalam tahun 1855
itu.
Dalam pada itu berdasarkan pedoman-pedoman yang diberikan dalam pasal 131
indische staatsregeling, di zaman Hindia-Belanda itu sudah ada beberapa peraturan undangundang Eropa yang telah “dinyatakan berlaku” untuk bangsa Indonesia, seperti pasal 16011603 burgerlijk Wetboek, yaitu perihal perjanjian kerja atau perburuhan (Staatsblad 1879
no.256) dan beberapa bagian dari Wetboek Van Koophandel, misalnya sebagian besar dari
hukum laut (staatsblad 1933 no. 49).
Ada beberapa peraturan yang secara Khusus dibuat untuk bangsa Indonesia asli,
seperti : Ordonansi perkawinan orang Indonesia Kristen (staatsblad 1933 no.74), Ordonansi
tentang maskapai Andil Indonesia atau I.M.A. (staatsblad 1939 no.569), Ordonansi tentang
perkumpulan orang-orang Indonesia (Staatsblad 1939 no. 570). Akhirnya sudah diadakan
pula peraturan-peraturan yang berlaku untuk semua golongan warganegara, seperti UndangUndang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912), Peraturan umum tentang Koperasi
(Staatsblad 1933 no. 108) Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no.98).
Mengenai Hukum Pidana, dimana tadinya diadakan dua macam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, yaitu satu untuk golongan Eropa dan satu untuk golongan pribumi
dan mereka yang dipersamakan dengan golongan ini, maka sejak tahun 1915 Pemerintah
meniadakan diskriminasi itu dengan menghadiahkan sebuah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana untuk semua golongan penduduk.
Hukum Intergential ini dianggap begitu pentingnya hingga, pada waktu di Jakarta
didirikan Sekolah Hukum Tinggi dalam tahun 1924 ia dijadikan suatu matapelajaran
tersendiri di bawah asuhan seorang guru besar yang ternama, yaitu Prof. Kollewijn.
Susunan badan-badan Pengadilan, yaitu alat perlengkapan yang ditugaskan
menmenyelenggarakan hukum tersebut, juga menunjukkan suatu dualism.
Mula-mula Hukum adat itu merupakan suatu factor yang tidak terkenal. Boleh
dikatakan bahwa ia sebagai suatu system buat pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Mr. C.
Van Vollenhoven, guru besar Universitas Leiden, yang sering juga diberikan gelar “Bapak
Hukum Adat”.
Van Vollenhoven dalam bukunya tentang hukumuan adat Indonesia itu menunjukan
bahwa hukum adat mempunyai suatu system yang berlainan dari system-sistem hukum barat,
misalnya saja bahwa pembedaan dalam hak-hak kebendaan dan hak-hak perorangan (suatu
system perbedaan hak-hak yang terkenal dalam hukum adat) tidak dikenal dalam hukum adat,
bahwa rakyat Indonesia mempunyai hak-hak menurut burgerlijk Wetboek, bahwa perbuatanperbuatan hukum seperti jual-beli, gadai, sewa dan sebagainya dalam hukum adat juga
mempunyai cirri-ciri yang berlainan dari perbuatan-perbuatan hukum yang sama menurut
hukumnya orang barat.
Sejak diperkenalkannya hukum adat oleh Van Vollenhoven, dan berputarnya haluan
politik hukum Pemerintah Belanda setelah gagalnya percobaan kondifikasi hukum bagi
orang Indonesia yang mencontoh pola hukum barat dalam tahun 1920 (rencana Mr. Cowan),
maka mulailah berkembang usaha-usaha penelitian terhadap Hukum Adat Indonesia itu.
Salah seorang murid yang terbaik dari Van Vollenhoven adalah Mr. B. ter Haar Bzn, yang
menulis disertasi tentang Hukum Acar Adat (“Het Adat procesrecht der Inlanders,” Leiden
1917) dan kemudian menjadi guru besar dalam Hukum Adat di Sekolah Tinggi Hukum di
Jakarta.
Sebagaimana kita ketahui, menurut pasal 131 Indische Staatsregeling semua hukum
perdata (jadi juga buat orang Indonesia) harus dikodifikasikan artinya diletakkan dalam kitab
undang-undang.
Dimulai dengan dikeluarkannya penugasan kepada Prof. Dr. Soepomo, yang waktu itu
menjabat pegawai tinggi diperbantukan pada Direktur Justisi, untuk dalam waktu yang
singkat mengadakan penelitian terhadap hukum adat orang Indonesia di Jawa Barat (1928),
sebagai suatu usaha untuk mempelopori kofikasi hukum orang Indonesia yang sudah
digariskan itu. Penelitian tersebut menghasilkan laporan yang berupa buku tentang Hukum
Perdata Adat di Jawa Barat (“Het Adat-privaatrecht van West-Java”), yang sampai sekarang
banyak dipakai oleh para Hakim sebagai buku pedoman dalam memutusi perkara-perkara di
daerah (“rechtskring”) Jawa Barat.
Sampai kira-kira tahun 1930, maka Selama seratus tahun lebih “Raad Agama” dalam
peradilannya yang berdasarkan peraturan-peraturan yng berlaku itu waktu juga meliputi
perkara-perkara warisan, dalam perkara-perkara ini selamanya memakai Hukum Fiqh, tetapi
kenyataannya adalah bahwa menyimpang sekali dari ketentuan-ketentuan fiqh.
Pada tahun 1937 ditetapkan bahwa Raad Agama sekarang hanya berwenang memutusi
perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dalam perkara-perkara perjodohan
semata-mata sedangkan perkara-perkara perwarisan peradilannya diserhkan kepada Hakim
duniawi yaitu Pengadilan Negeri 9”Lndraad”) yang berdasarkan perdilannya atas Hukum
Adat.
Untuk mencegah adanya suatu kekosongan hukum, oleh Undang-Undang Dasar kita
tahun 1945 dinyatakan dalam pasal II Atran Peralihan, “Segala badan Negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menuru Undang-Undang
Dasar ini”
Berbagai kelompokan hukum tadi adalahsebagai berikut: Sebagai akibat dari
“intercourse” antara orang-orang yang hukumnya berlainan itu, diperlukan suatu rangkaian
peraturan-peraturan yang dinamakan ‘Hukum antara golongan: hukum jurisprudensi, yaitu
hukum yangtelah dibentuk oleh para Hakimm, dan boleh dikatakan sudah merupakan suatu
kelompokan hukum positip pula artinya Hukum yang nyata –nyata berlaku di Indonesia dan
harus diperhatikan.
Dengan Undang-Undang tanggal 13 Januari 1951 No. 1 diadakan tindakan-tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara PengadilanPengadilan Sipil, tindakan-tindakan mana diperlukan segera setelah dicapai Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, oleh karena dalam konstellasi Republik
Indonesia Serikat susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-Pengadilan itu beraneka warna di
berbagai Negara-negara bagian.
Soal pembinaan Hukum Nasional memang segera setelah proklamasi menarik
perhatian banyak sarjana hukum kita, dimana perhatian ini terutama ditujukan kepada bidang
keprdataan, oleh karena memang keadaan di bidang keperdataan itu adalah yang paling sulit
di mana kita menghadapi kelompokan-kelompokan hukum yang beraneka ragam itu.
Kemudian har.” Suwandi, SH pada suatu pertemuan ahli-ahli hukumdi Jakarta dalam
tahun 1954 berbicara tentang “ sekitar kodifikasi hukum nasional di Indonesia
Untuk menyalurkan segala kegiatan pembinaan hukum nasional itu, dalam tahun 1956
Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia telah memajukan permohonan kepada Perdana
Menteri Republik Indonesia agar supaya dibentu suatu panitia Negara pembinaa hukum
nasional, Permohonan mana telah menghasilkan keputusan Pesiden No. 107 tahun 1958
mengenai pembentukan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang berkedudukan di
Jakarata. Menurut keputusan Presiden tersebut di atas tugas dari Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional itu ialah, “Melaksanakan pembinaan hukum nasional dengan tujuan mencapai tatahukum nasional:
A.
Menyiapkan rancangan-rancangan peraturan perundangan:
a. Untuk meletakkan dasar-dasar tatahukum nasional;
b. Untuk menggantikan peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan
tatahukum nasional;
c. Untuk masalah-masalah yangbelum diatur dalam suatu peraturan
perundangan
B
Menyelenggarakan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan
perundangan.
Lembaga telah berhasil merumuskan dasar-dasar dan asas-asas tatahukum nasional itu
sebagai berikut:
1.
Dasar pokok hkukum nasional Republik Indonesia ialah Pansila.
2.
Hukum nasional bersifat:
3.
a.
Pengayoman;
b.
Gotong-royong
c.
Kekeluargaan;
d.
Toleransi;
e.
Anti “kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme;
Semua hukum sebanyak mungkin diberi hukum tertulis.
4.
Selain hukum tertulis diakui berlaku hukum tidak tertulis sepanjang tidak
menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia
5.
Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis melalui jurisprudensi kearah
keragaman hukum (homogenita) yang seluas-luasnya dan dalam hukum kekelurgaan
kearah system parental.
6.
Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun
dalam bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum dagang, Hukum
acara Perdata, Hukum acara Pidana).
7.
Untuk membangun masyarakat sosialis Indonesia diusahakan unifikasi Hukum.
8.
Dalam perkara Pidana :
a.
Hakim Berwenang sekaligus memutuskan aspek perdatanya baik
karena jabatannya maupun atas tuntutan pihak yang berkepetingan;
b.
Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang patut dan adil
disamping atau tanpa pidana;
9.
Sifat pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga
yang bermanfaat bagi masyarakat.
10.
Dalam bidang hukum acara perdata diadakan jaminan supaya peradilan berjalan
sederhana cepat dan murah.
11.
Dalam bidang hukum acara pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang merupakan
jaminan kuat untuk mencegah:
a.
Seseorang tanpa dasar hukum yang cukup kuat ditahan atau ditahan lebih lama
dari yang benar-benar diperlukan;
b.
penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat-surat dilakukan sewenangwenang;
Suatu peristiwa yang sangat penting dalam pembinaan hukum nasional ini adalah
penemuan Lambang Keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita oleh almarhum
menteri Kehakiman Dr. Saharjo, yang berupa pohon beringin yng memberikan”pengayoman”
kepada rakyat yang mencari keadilan. Simbol yang berasal dari Negara Barat yang kita kenal,
yaitu berupa dewi keadilan (Thhemis) yang dibalut matanya dan memegang pedang dan traju
(timbangan) ditolak oleh beliau karena kurang cocok dengan perasaan rakyat kita.
Pada Tahun 1973 ditetapkan ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang garis-garis
besar haluan Negara, yang didalamnya secara resmi digariskan politik hukum nasional
Indonesia tersebut.
Dalam ketetapan MPR No. IV/MPR1973 tersebut, Politik Indonesia dirumuskan
sebagai berikut :
1. Pembangunan dibidang hukum dalam Negara Hukum Indonesia adalah berdasar atas
landasan Sumber Tertib Hukum yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan
hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur yang ,eliputi suasana kejiwaan serta
watak dari bangsa Indonesia yang didapat dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
2. Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhankebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah
modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang
sehingga tercapai ketertiban dan kepastianhukum sebagai prasarana yang harus
ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuanbangsa, sekaligus berungsi sebagai
sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh,
dilakukan dengan :
a. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan Hukum Nasional dengan antara lain
mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unfikasi hukum di bidang-bidang
tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat;
b. Menertibkan fungsi Lembaga-Lembaga Hukum menurut proposinya masingmasing;
c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
3. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan
para pejabat Pemerintah kea rah penegakan hukum , keadilan serta perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai
dengan Undang-Undang 1945. Perumusan politik hukum Indonesia tersebut dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara adalah singkat sekali, namun cukup padat; jika ia
dilaksanakan dengan baik dapatlah kita mengejar ketinggalan dalam bidang
pembinaan dan penegakan hukum di Indonesia.
Dalam politik hukum tersebut perlu dicatat hal-hal yang berikut;
1. Kepala pemerintah dan DPR dibebani tugas modernisasi , kodifikasi dan unfikasi
dalam bidang-bidang tertentu;
2. Dalam bidang institusional dikehendaki adanya penertiban fungsi LembagaLembaga Hukum; menetapkan dan mengatur wewenang masing-masing aparat
penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim serta pembela/advokat, agar tak
terdapat kesimpangsiuran.
3. Dalam bidang keterampilan perlu diadakan peningkatan kemampuan dan
kewibawaan penegak-penegak hukum; untuk itu perlu peningkatan mutu
pendidikan/ilmiah dalam bidang ilmu pengetahuan hukum, serta pembinaan
mental pada penegak hukum untuk penciptaan kewibawaan mereka sendiri.
I.
Bahwa gagasan pembaruan pendidikan, yang telah dicetuskan sejak
Konperensi Antar Fakultas Hukum pada tahun 1958 di Jakarta, pada tahun
1962 di Yogyakarta dan pada Konperensi Antar Fakultas Pembina pada tahun
1968 di Yogyakarta, telah mulai dirumuskan dengan lebih nyata dan dilakukan
percobaan-percobaan pelaksanaannya oleh Sub Konsorsium Ilmu Hukum
yang dibentuk oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada Tahun
1969.
II.
Bahwa terbitnya surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.198
tertanggal 30 Desember 1972 tentang kurikulum minimum, yang kemudian
diikuti dengan pertemuan pengajar dalam mata pelajaran sejenis, tanggal 2528 maret 1973 dan pertemuan antar Sub Konsorsium Ilmu Hukum dengan
para Dekan Fakultas Hukum Negeri seluruh Indonesia di Lembang pada
tanggal 12-25 September 1973, dapatlah dinilai sebagai tonggak batas
dimulainya periode pembaruan pendidikan hukum di Indonesia.
III.
Bahwa pendidikan hukum di Negara kita, ditujukan pada : pertama, untuk
orang-orang yang memiliki kemahiran dalam menerapkan hukum positive
berguna dalam memelihara ketertiban; kedua, untuk menghasilkan orangorang yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat merdeka yang sedang
membangun, yaitu orang-orang yang dapat menciptakan masyarakat yang
dikehendaki, melalui tekhnik pembentukan hukum dan perancangan UndangUndang.
IV.
Bahwa untuk meningkatkan keterampilan paea lulusan Fakultas Hukum, maka
kepada para mahasiswa perlu diberikan lebih banyak kesempatan untuk
mempelajari praktek hukum, melalui pendidikan yang bersifat klinis, baik
untuk keterampilan penerapan hukum, penelitian hukum, maupun perencanaan
Undang-Undang
V.
Bahwa untuk meningkatkan masalah sikap orang (attituditional Problem)
sebagai anggota masyarakat yang sedang membangun, maka cara-cara
pengajaran yang dipergunakan harus dapat menjamin partisipasi maksimal
dari pada para mahasiswa sedenikian rupa sehingga dapat membangkitkan
daya dan kemampuan kreatif mereka, seperti misalnya diskusi kelompok,
metode tanya jawab antara dosen dan mahasiswa (Socratic method), penulisan
kertas kerja yang pendek yang kemudian diperbincangkan dalam seminarseminar.
Par.47. PEMBARUAN PENDIDIKAN HUKUM NASIONAL
1. Reorientasi Tujuan Pendidikan Dalam Pembangunan Nasional
Masalah Pembinaan pendidikan tinggi di Indonesia termasuk pendidikan tinggi
dibidang hukum sebenarnya dapat dikembalikan pada dua pokok masalah yakni:
(1) Masalah mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan dan (2) masalah
pembaruan pendidikan khususnya dihubungkan dengan kebutuhan masyarakat
Indonesia sebagai Negara baru merdeka yang sedang berkembang.
Dengan demikian pengertian “reorientasi” lebih luas dari pembaruan, karena
pembaruan pendidikan hukum nasional hendak kita pakai dalam arti yang luas yakni
re-orientasi yang dihubungkan dengan kebutuhan Indonesia sebagai masyarakat baru
merdeka yang sedang berkembang (atau Masyarakat dalam pembangunan) baiknya
dikemukakan apa saja kebutuhan-kebutuhan masyarakat demikian dibidang
pendidikan ahli-ahli hukumnya.
BAB XVII
POLITIK HUKUM DI INDONESIA
Par. 41. Politik Hukum Pemerintahan Belanda di Indonesia
Suatu politik hukum yang tegas dari pemerintah belanda boleh dikatakan baru
Nampak sejak tahun 1848. Dalam tahun tersebut Pemerintah Belanda itu mulai mengadakan
kondifikasi di Indonesia, yaitu mengundangkan Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Van
Koophandeel (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang) untuk orang-orang Eropa yang ada disini, yang pada hakekatnya berupa suatu
penjiplakan belaka dari Burgerlijk Wetboek dan Wetboek Koophandel yang pada seouluh
tahun yang lalu (tahun 1838) diundangkan di negeri Belanda.
Maka dari itu kita melihat, bahwa dalam tahun 1855 sebagian dari Burgerlijk Wetboek
tadi, yaitu bagian memuat hukum kekayaan ( Hukum Benda dan Hukum Perjanjian), begitu
pula Wetboek Van Koophandel, dinyatakan berlaku untuk orang tionghoa, orang-orang
Indonesia menurut politik hukum tersebut dibiarkan hidup dibawah hukumnya sendiri, yaitu
hukum adat asli. Dalam rencana untuk menciptakan hukum tertulis bagi orang Indonesia ini
ada Dua aliran, Yang salah satu hukumnya hendak menundukan orang Indonesia kepada
hukum Eropa, seperti yang sudah dilakukannya terhada golongan Tionghoa dalam tahun 1855
itu.
Dalam pada itu berdasarkan pedoman-pedoman yang diberikan dalam pasal 131
indische staatsregeling, di zaman Hindia-Belanda itu sudah ada beberapa peraturan undangundang Eropa yang telah “dinyatakan berlaku” untuk bangsa Indonesia, seperti pasal 16011603 burgerlijk Wetboek, yaitu perihal perjanjian kerja atau perburuhan (Staatsblad 1879
no.256) dan beberapa bagian dari Wetboek Van Koophandel, misalnya sebagian besar dari
hukum laut (staatsblad 1933 no. 49).
Ada beberapa peraturan yang secara Khusus dibuat untuk bangsa Indonesia asli,
seperti : Ordonansi perkawinan orang Indonesia Kristen (staatsblad 1933 no.74), Ordonansi
tentang maskapai Andil Indonesia atau I.M.A. (staatsblad 1939 no.569), Ordonansi tentang
perkumpulan orang-orang Indonesia (Staatsblad 1939 no. 570). Akhirnya sudah diadakan
pula peraturan-peraturan yang berlaku untuk semua golongan warganegara, seperti UndangUndang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912), Peraturan umum tentang Koperasi
(Staatsblad 1933 no. 108) Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no.98).
Mengenai Hukum Pidana, dimana tadinya diadakan dua macam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, yaitu satu untuk golongan Eropa dan satu untuk golongan pribumi
dan mereka yang dipersamakan dengan golongan ini, maka sejak tahun 1915 Pemerintah
meniadakan diskriminasi itu dengan menghadiahkan sebuah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana untuk semua golongan penduduk.
Hukum Intergential ini dianggap begitu pentingnya hingga, pada waktu di Jakarta
didirikan Sekolah Hukum Tinggi dalam tahun 1924 ia dijadikan suatu matapelajaran
tersendiri di bawah asuhan seorang guru besar yang ternama, yaitu Prof. Kollewijn.
Susunan badan-badan Pengadilan, yaitu alat perlengkapan yang ditugaskan
menmenyelenggarakan hukum tersebut, juga menunjukkan suatu dualism.
Mula-mula Hukum adat itu merupakan suatu factor yang tidak terkenal. Boleh
dikatakan bahwa ia sebagai suatu system buat pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Mr. C.
Van Vollenhoven, guru besar Universitas Leiden, yang sering juga diberikan gelar “Bapak
Hukum Adat”.
Van Vollenhoven dalam bukunya tentang hukumuan adat Indonesia itu menunjukan
bahwa hukum adat mempunyai suatu system yang berlainan dari system-sistem hukum barat,
misalnya saja bahwa pembedaan dalam hak-hak kebendaan dan hak-hak perorangan (suatu
system perbedaan hak-hak yang terkenal dalam hukum adat) tidak dikenal dalam hukum adat,
bahwa rakyat Indonesia mempunyai hak-hak menurut burgerlijk Wetboek, bahwa perbuatanperbuatan hukum seperti jual-beli, gadai, sewa dan sebagainya dalam hukum adat juga
mempunyai cirri-ciri yang berlainan dari perbuatan-perbuatan hukum yang sama menurut
hukumnya orang barat.
Sejak diperkenalkannya hukum adat oleh Van Vollenhoven, dan berputarnya haluan
politik hukum Pemerintah Belanda setelah gagalnya percobaan kondifikasi hukum bagi
orang Indonesia yang mencontoh pola hukum barat dalam tahun 1920 (rencana Mr. Cowan),
maka mulailah berkembang usaha-usaha penelitian terhadap Hukum Adat Indonesia itu.
Salah seorang murid yang terbaik dari Van Vollenhoven adalah Mr. B. ter Haar Bzn, yang
menulis disertasi tentang Hukum Acar Adat (“Het Adat procesrecht der Inlanders,” Leiden
1917) dan kemudian menjadi guru besar dalam Hukum Adat di Sekolah Tinggi Hukum di
Jakarta.
Sebagaimana kita ketahui, menurut pasal 131 Indische Staatsregeling semua hukum
perdata (jadi juga buat orang Indonesia) harus dikodifikasikan artinya diletakkan dalam kitab
undang-undang.
Dimulai dengan dikeluarkannya penugasan kepada Prof. Dr. Soepomo, yang waktu itu
menjabat pegawai tinggi diperbantukan pada Direktur Justisi, untuk dalam waktu yang
singkat mengadakan penelitian terhadap hukum adat orang Indonesia di Jawa Barat (1928),
sebagai suatu usaha untuk mempelopori kofikasi hukum orang Indonesia yang sudah
digariskan itu. Penelitian tersebut menghasilkan laporan yang berupa buku tentang Hukum
Perdata Adat di Jawa Barat (“Het Adat-privaatrecht van West-Java”), yang sampai sekarang
banyak dipakai oleh para Hakim sebagai buku pedoman dalam memutusi perkara-perkara di
daerah (“rechtskring”) Jawa Barat.
Sampai kira-kira tahun 1930, maka Selama seratus tahun lebih “Raad Agama” dalam
peradilannya yang berdasarkan peraturan-peraturan yng berlaku itu waktu juga meliputi
perkara-perkara warisan, dalam perkara-perkara ini selamanya memakai Hukum Fiqh, tetapi
kenyataannya adalah bahwa menyimpang sekali dari ketentuan-ketentuan fiqh.
Pada tahun 1937 ditetapkan bahwa Raad Agama sekarang hanya berwenang memutusi
perselisihan antara suami istri yang beragama Islam dalam perkara-perkara perjodohan
semata-mata sedangkan perkara-perkara perwarisan peradilannya diserhkan kepada Hakim
duniawi yaitu Pengadilan Negeri 9”Lndraad”) yang berdasarkan perdilannya atas Hukum
Adat.
Untuk mencegah adanya suatu kekosongan hukum, oleh Undang-Undang Dasar kita
tahun 1945 dinyatakan dalam pasal II Atran Peralihan, “Segala badan Negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menuru Undang-Undang
Dasar ini”
Berbagai kelompokan hukum tadi adalahsebagai berikut: Sebagai akibat dari
“intercourse” antara orang-orang yang hukumnya berlainan itu, diperlukan suatu rangkaian
peraturan-peraturan yang dinamakan ‘Hukum antara golongan: hukum jurisprudensi, yaitu
hukum yangtelah dibentuk oleh para Hakimm, dan boleh dikatakan sudah merupakan suatu
kelompokan hukum positip pula artinya Hukum yang nyata –nyata berlaku di Indonesia dan
harus diperhatikan.
Dengan Undang-Undang tanggal 13 Januari 1951 No. 1 diadakan tindakan-tindakan
sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara PengadilanPengadilan Sipil, tindakan-tindakan mana diperlukan segera setelah dicapai Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950, oleh karena dalam konstellasi Republik
Indonesia Serikat susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-Pengadilan itu beraneka warna di
berbagai Negara-negara bagian.
Soal pembinaan Hukum Nasional memang segera setelah proklamasi menarik
perhatian banyak sarjana hukum kita, dimana perhatian ini terutama ditujukan kepada bidang
keprdataan, oleh karena memang keadaan di bidang keperdataan itu adalah yang paling sulit
di mana kita menghadapi kelompokan-kelompokan hukum yang beraneka ragam itu.
Kemudian har.” Suwandi, SH pada suatu pertemuan ahli-ahli hukumdi Jakarta dalam
tahun 1954 berbicara tentang “ sekitar kodifikasi hukum nasional di Indonesia
Untuk menyalurkan segala kegiatan pembinaan hukum nasional itu, dalam tahun 1956
Perhimpunan Sarjana Hukum Indonesia telah memajukan permohonan kepada Perdana
Menteri Republik Indonesia agar supaya dibentu suatu panitia Negara pembinaa hukum
nasional, Permohonan mana telah menghasilkan keputusan Pesiden No. 107 tahun 1958
mengenai pembentukan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang berkedudukan di
Jakarata. Menurut keputusan Presiden tersebut di atas tugas dari Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional itu ialah, “Melaksanakan pembinaan hukum nasional dengan tujuan mencapai tatahukum nasional:
A.
Menyiapkan rancangan-rancangan peraturan perundangan:
a. Untuk meletakkan dasar-dasar tatahukum nasional;
b. Untuk menggantikan peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan
tatahukum nasional;
c. Untuk masalah-masalah yangbelum diatur dalam suatu peraturan
perundangan
B
Menyelenggarakan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyusun peraturan
perundangan.
Lembaga telah berhasil merumuskan dasar-dasar dan asas-asas tatahukum nasional itu
sebagai berikut:
1.
Dasar pokok hkukum nasional Republik Indonesia ialah Pansila.
2.
Hukum nasional bersifat:
3.
a.
Pengayoman;
b.
Gotong-royong
c.
Kekeluargaan;
d.
Toleransi;
e.
Anti “kolonialisme, imperialisme, dan feodalisme;
Semua hukum sebanyak mungkin diberi hukum tertulis.
4.
Selain hukum tertulis diakui berlaku hukum tidak tertulis sepanjang tidak
menghambat terbentuknya masyarakat sosialis Indonesia
5.
Hakim membimbing perkembangan hukum tak tertulis melalui jurisprudensi kearah
keragaman hukum (homogenita) yang seluas-luasnya dan dalam hukum kekelurgaan
kearah system parental.
6.
Hukum tertulis mengenai bidang-bidang hukum tertentu sedapat mungkin dihimpun
dalam bentuk kodifikasi (Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum dagang, Hukum
acara Perdata, Hukum acara Pidana).
7.
Untuk membangun masyarakat sosialis Indonesia diusahakan unifikasi Hukum.
8.
Dalam perkara Pidana :
a.
Hakim Berwenang sekaligus memutuskan aspek perdatanya baik
karena jabatannya maupun atas tuntutan pihak yang berkepetingan;
b.
Hakim berwenang mengambil tindakan yang dipandang patut dan adil
disamping atau tanpa pidana;
9.
Sifat pidana harus memberikan pendidikan kepada terhukum untuk menjadi warga
yang bermanfaat bagi masyarakat.
10.
Dalam bidang hukum acara perdata diadakan jaminan supaya peradilan berjalan
sederhana cepat dan murah.
11.
Dalam bidang hukum acara pidana diadakan ketentuan-ketentuan yang merupakan
jaminan kuat untuk mencegah:
a.
Seseorang tanpa dasar hukum yang cukup kuat ditahan atau ditahan lebih lama
dari yang benar-benar diperlukan;
b.
penggeledahan, penyitaan, pembukaan surat-surat dilakukan sewenangwenang;
Suatu peristiwa yang sangat penting dalam pembinaan hukum nasional ini adalah
penemuan Lambang Keadilan yang serasi dengan kepribadian bangsa kita oleh almarhum
menteri Kehakiman Dr. Saharjo, yang berupa pohon beringin yng memberikan”pengayoman”
kepada rakyat yang mencari keadilan. Simbol yang berasal dari Negara Barat yang kita kenal,
yaitu berupa dewi keadilan (Thhemis) yang dibalut matanya dan memegang pedang dan traju
(timbangan) ditolak oleh beliau karena kurang cocok dengan perasaan rakyat kita.
Pada Tahun 1973 ditetapkan ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang garis-garis
besar haluan Negara, yang didalamnya secara resmi digariskan politik hukum nasional
Indonesia tersebut.
Dalam ketetapan MPR No. IV/MPR1973 tersebut, Politik Indonesia dirumuskan
sebagai berikut :
1. Pembangunan dibidang hukum dalam Negara Hukum Indonesia adalah berdasar atas
landasan Sumber Tertib Hukum yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan
hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur yang ,eliputi suasana kejiwaan serta
watak dari bangsa Indonesia yang didapat dalam Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945.
2. Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhankebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang ke arah
modernisasi menurut tingkat-tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang
sehingga tercapai ketertiban dan kepastianhukum sebagai prasarana yang harus
ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuanbangsa, sekaligus berungsi sebagai
sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh,
dilakukan dengan :
a. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan Hukum Nasional dengan antara lain
mengadakan pembaruan, kodifikasi serta unfikasi hukum di bidang-bidang
tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat;
b. Menertibkan fungsi Lembaga-Lembaga Hukum menurut proposinya masingmasing;
c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak-penegak hukum.
3. Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan
para pejabat Pemerintah kea rah penegakan hukum , keadilan serta perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia, dan ketertiban serta kepastian hukum sesuai
dengan Undang-Undang 1945. Perumusan politik hukum Indonesia tersebut dalam
Garis-garis Besar Haluan Negara adalah singkat sekali, namun cukup padat; jika ia
dilaksanakan dengan baik dapatlah kita mengejar ketinggalan dalam bidang
pembinaan dan penegakan hukum di Indonesia.
Dalam politik hukum tersebut perlu dicatat hal-hal yang berikut;
1. Kepala pemerintah dan DPR dibebani tugas modernisasi , kodifikasi dan unfikasi
dalam bidang-bidang tertentu;
2. Dalam bidang institusional dikehendaki adanya penertiban fungsi LembagaLembaga Hukum; menetapkan dan mengatur wewenang masing-masing aparat
penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim serta pembela/advokat, agar tak
terdapat kesimpangsiuran.
3. Dalam bidang keterampilan perlu diadakan peningkatan kemampuan dan
kewibawaan penegak-penegak hukum; untuk itu perlu peningkatan mutu
pendidikan/ilmiah dalam bidang ilmu pengetahuan hukum, serta pembinaan
mental pada penegak hukum untuk penciptaan kewibawaan mereka sendiri.