The Behavior of Javan Langur Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) on Isolated Habitat Fragment in TWA Gunung Pancar

PERILAKU LUTUNG JAWA Trachypithecus auratus
(E. Geoffroy, 1812) PADA FRAGMEN HABITAT
TERISOLASI DI TWA GUNUNG PANCAR

EKO SULISTYADI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Perilaku Lutung Jawa
Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di
TWA Gunung Pancar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2013
Eko Sulistyadi
NIM E351100141

RINGKASAN

EKO SULISTYADI. Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy,
1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar. Dibimbing oleh
AGUS PRIYONO KARTONO dan IBNU MARYANTO.
Lutung jawa merupakan satwa primata yang terancam punah. Degradasi
habitat sebagai ancaman utama menyebabkan banyak populasi lutung jawa hidup
pada fragmen habitat yang terisolasi. Penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas
harian lutung jawa di TWA sebagai bentuk adaptasi pada fragmen habitat yang
terisolasi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2012 menggunakan
metode focal animal sampling. Analisis vegetasi dilakukan dengan point centered
quarter method pada 40 plot sampling yang ditentukan berdasarkan titik
perjumpaan lutung jawa.
Hasil kajian menunjukkan terdapat tiga tipe tutupan lahan yang digunakan

oleh lutung jawa yaitu hutan alam, peralihan hutan-kebun dan kebun. Aktivitas
dominan lutung jawa dijumpai pada peralihan hutan-kebun (48.19%). Proporsi
aktivitas tertinggi berturut-turut adalah istirahat (33.65%), makan (30.68%),
bergerak/berpindah (27.08%) dan aktivitas sosial (8.60%). Berdasarkan uji chi
square diketahui frekuensi perjumpaan lutung jawa menunjukkan pola sebaran
yang berbeda pada setiap variabel lingkungan kecuali pada kategori waktu
aktivitas, sedangkan frekuensi tiap jenis aktivitas menunjukkan pola distribusi
yang relatif sama pada setiap variabel lingkungan. Durasi aktivitas lutung betina
dewasa menunjukkan pola sebaran yang berbeda pada variabel waktu aktivitas,
jarak dari kebun, jarak dari jalan dan tutupan lahan, sedangkan durasi aktivitas
lutung jantan dewasa hanya berhubungan dengan variabel waktu aktivitas.
Analisis CCA menunjukkan adanya variasi hubungan aktivitas harian
terhadap faktor-faktor lingkungan. Analisis PCA menunjukkan adanya hubungan
antara beberapa vegetasi dominan terhadap aktivitas harian dengan nilai total
inertia akar ciri (eigenvalue) sebesar 3.46 dan total variasi yang dapat dijelaskan
pada komponen 1, komponen 2 dan komponen 3 masing-masing adalah 86.43%,
7.90% dan 4.20%.
Kata kunci: aktivitas harian, fragmentasi, isolasi habitat, Trachypithecus auratus

SUMMARY


EKO SULISTYADI. The Behavior of Javan Langur Trachypithecus auratus (E.
Geoffroy, 1812) on Isolated Habitat Fragment in TWA Gunung Pancar. Under
supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and IBNU MARYANTO.
Javan langur is protected spesies of primates that highly threatened. Habitat
degradation as a major threat causes a lot of javan langur populations living in
isolated habitat fragments. The study aims to assess the daily activities of javan
langur in isolated habitat fragments in the TWA Gunung Pancar as a form of
adaptation to an isolated habitat fragments. The research was conducted in MayJune 2012 by using focal animal sampling method. Vegetation analysis was
performed by point-centered quarter method for 40 sampling plot determined by
encounter point of javan langur.
The results showed that there were three major land cover types used by the
Javan langur which are forest, transitional forest-plantation and plantation. The
dominant activity found in transitional forest-plantation (48.19%). The proportion
of aech activity is resting (33.65%), eating (30.68%), moving (27.08%) and social
activities (8.60%). Based on chi square test known that the encounter of
frequency showed a different distribution pattern in each environment variable,
except in the category of time activity, while the frequency of each activity
showed the same distribution pattern in each environment variable. The duration
activity of adult female showed a different pattern of distribution in the time

activities variabel, the distance from the cultivation, the distance from the road
and land cover variabel, while the duration of activity of adult male only corelated
with time activity variable.
CCA analysis showed the variation trend of the daily activities related to
environmental factors. PCA analysis showed a trend of association between some
of the dominant vegetation with daily activities for a total eigenvalue of 3.46 and a
total variation described in component 1, component 2 and component 3 is
86.43%, 7.90% and 4.20%.
Keywords: daily activity, fragmentation, habitat isolation, Trachypithecus auratus

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


PERILAKU LUTUNG JAWA Trachypithecus auratus
(E. Geoffroy, 1812) PADA FRAGMEN HABITAT
TERISOLASI DI TWA GUNUNG PANCAR

EKO SULISTYADI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji pada Ujian Tesis: Dr Ir Nyoto Santoso, MS

Judul Tesis : Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812)

pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar
Nama
: Eko Sulistyadi
NIM
: E351100141

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi
Ketua

Prof (Riset) Dr Ibnu Maryanto
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas
Tropika


Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 23 Januari 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan Berkah,
Rahmat dan Hidayah-Nya maka tesis yang berjudul “Perilaku Lutung Jawa
Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di
TWA Gunung Pancar” dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat dalam
mencapai gelar Master Sains Program Pascasarjana IPB.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Priyono Kartono,
M.Si. dan Prof. (Riset) Dr. Ibnu Maryanto selaku pembimbing yang telah

memberikan bimbingan, arahan, pertimbangan dan saran selama masa penelitian
sampai tersusunnya tesis ini. Penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada
berbagai pihak yang telah berkontribusi selama penelitian dan penyusunan tesis
ini, diantaranya Bapak/Ibu dosen Pascasarjana Program Studi Konservasi
Biodiversitas Tropika, Teman-teman KVT, MEJ dan KKH, Sekretariat
Pascasarjana Prodi KVT serta Mang Uci dan Ige yang telah membantu dalam
pengumpulan data di lapangan. Tak lupa anak, istri dan keluarga yang telah
memberikan dukungan dan kasih sayang.
Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2013
Eko Sulistyadi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang

Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
2 TINJAUAN PUSTAKA
Lutung Jawa
Komponen Habitat
Deforestasi, Degradasi dan Fragmentasi Hutan
3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah Kawasan
Luas dan Letak
Topografi
Iklim
Hidrologi
Geofisik
Flora
Fauna
Sosial Ekonomi
4 METODE
Waktu dan Tempat

Alat dan Bahan
Tahapan Penelitian
Data yang Diperlukan
Metode Pengumpulan Data
Metode Analisis Data
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

ix
x
xi
1
1

2
3
3
3
5
5
10
11
12
12
12
13
13
13
13
13
14
14
15
15
15
16
16
17
18
19
19
45
56
56
56
57
65
76

DAFTAR TABEL

1 Jenis data dan metode pengumpulannya
2 Struktur kelompok lutung jawa di Gunung Pancar
3 Durasi aktivitas lutung janta dan betina pada berbagai kategori selang
waktu
4 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori
selang waktu
5 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori strata
pohon
6 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori strata
pohon
7 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori tutupan
lahan
8 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori
tutupan lahan
9 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori
kemiringan lereng
10 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori
kemiringan lereng
11 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori
ketinggian tempat
12 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori
ketinggian tempat
13 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari
jalan
14 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak
dari jalan
15 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari
kebun
16 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak
dari kebun
17 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori diameter
pohon
18 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori
diameter pohon
19 Hasil uji chi square frekuensi perjumpaan lutung jawa pada berbagai
variabel lingkungan
20 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas lutung betina pada berbagai
variabel lingkungan
21 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas lutung jantan pada berbagai
variabel lingkungan
22 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas total pada berbagai variabel
lingkungan
23 Hasil Uji chi square durasi aktivitas lutung betina dewasa pada tiap
variabel lingkungan

16
19
22
22
23
24
25
25
26
27
28
28
29
30
31
32
32
33
34
34
35
35
36

24 Hasil Uji chi square durasi aktivitas lutung jantan dewasa pada tiap
variabel lingkungan
25 Hasil uji chi square durasi aktivitas total pada tiap variabel lingkungan
26 Daftar jenis vegetasi dengan nilai INP tertinggi di sekitar habitat lutung
jawa di Gunung Pancar

36
36
39

DAFTAR GAMBAR

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian
Citra Satelite Lokasi Penelitian (Google Earth 2009)
Tipe habitat lutung jawa di TWA Gunung Pancar
Durasi aktivitas harian lutung jawa
Durasi aktivitas lutung jantan dan betina
Durasi aktivitas total pada berbagai kategori selang waktu
Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori selang waktu
Durasi aktivitas total pada berbagai kategori stratum pohon
Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori stratum pohon
Durasi aktivitas total pada berbagai kategori tutupan lahan
Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori tutupan lahan
Durasi aktivitas total pada berbegai kategori kemiringan lereng
Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori kemiringan lereng
Durasi aktivitas total pada berbagai kategori ketinggian tempat
Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori ketinggian tempat
Durasi tiap jenis aktivitas pada berbagai selang jarak dari jalan
Frekuensi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari jalan
Durasi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari kebun
Frekuensi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari kebun
Durasi aktivitas total pada berbagai kategori diameter pohon
Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori diameter pohon
Hubungan aktivitas lutung betina dewasa dengan variabel lingkungan
Hubungan aktivitas lutung jantan dewasa dengan variabel lingkungan
Hubungan aktivitas total dengan variabel lingkungan
Aktivitas manusia di area lereng Gunung Pancar
Aktivitas lutung jawa pada beberapa spesies vegetasi
Hubungan aktivitas lutung betina dengan spesies vegetasi (komp 1&2)
Hubungan aktivitas lutung betina dengan spesies vegetasi (komp 1&3)
Hubungan aktivitas lutung jantan dengan spesies vegetasi (komp 1&2)
Hubungan aktivitas lutung jantan dengan spesies vegetasi (komp 1&3)
Hubungan aktivitas total dengan spesies vegetasi (komp 1 & 2)
Hubungan aktivitas total dengan spesies vegetasi (komp 1 & 3)
Aktivitas lutung jawa pada area lereng
Bekas tebangan pohon di hutan alam

4
15
20
21
21
21
22
23
24
24
25
26
27
27
28
29
30
31
31
32
33
37
38
39
40
41
42
42
43
43
44
45
50
54

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan uji chi square frekuensi perjumpaan lutung jawa pada
berbagai variabel lingkungan
2 Hasil penghitungan chi square frekuensi aktivitas lutung jawa pada
berbagai variabel lingkungan
3 Hasil penghitungan chi square durasi aktivitas lutung jawa pada
berbagai variabel lingkungan
4 Daftar jenis vegetasi pada habitat lutung jawa di Gunung Pancar
5 Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh lutung jawa untuk
beraktivitas
6 Jenis-jenis tumbuhan pakan potensial lutung jawa
7 Klasifikasi kemiringan lereng di TWA Gunung Pancar

65
67
69
71
73
74
75

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan tropis merupakan habitat bagi sebagian besar jenis primata
(Mittermeier & Cheney 1987, Chapman et al. 2006). Sebagai habitat penting bagi
primata, hutan tropis menghadapi tekanan yang besar akibat dari kerusakan
habitat dan kegiatan perburuan (Mittermeier & Cheney 1987). Kedua faktor ini
merupakan ancaman utama yang menyebabkan penurunan populasi primata.
Degradasi dan fragmentasi habitat secara langsung akan berdampak pada
penurunan sumber daya lingkungan, isolasi yang lebih besar terhadap populasi
serta semakin intensifnya efek tepi terhadap populasi primata. Tercatat satu dari
empat jenis primata saat ini terancam punah sebagai akibat dari hilangnya habitat
(Mittermeier 1996, IUCN 2011).
Lutung jawa (Trachypithecus auratus) termasuk satwa primata yang
dilindungi perundangan RI berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 733/Kpts-II/1999 serta masuk dalam kategori Vulnerable
A2cd (IUCN 2011) dan Appendix II CITES. Diperkirakan penurunan populasi
lutung jawa lebih dari 30% dalam kurun waktu 10 tahun atau tiga generasi
terakhir yang diakibatkan penurunan kuantitas maupun kualitas habitat serta
potensi eksploitasi yang tinggi. Kerusakan habitat akibat degradasi dan konversi
hutan menjadi areal pemanfaatan menyebabkan habitat lutung jawa menjadi
terfragmentasi dan bahkan terisolasi akibat tidak adanya koridor antar populasi.
Cowlishaw & Dunbar (2000) serta Marsh (2003) menyatakan bahwa beberapa
spesies primata yang terancam punah saat ini hidup di habitat hutan yang
terfragmentasi. Kegagalan adaptasi terhadap perubahan lingkungan akan
membawa spesies tertentu kepada kepunahan (Isabirye-Basuta & Jeremiah 2008,
Sharkley 1996, Newsome et al. 2005). Kondisi tersebut diperburuk dengan
perburuan dan perdagangan satwa primata secara ilegal. Malone (2003) mencatat
adanya perdagangan satwa primata di Jawa dan Bali dimana salah satunya adalah
lutung jawa. Melihat statusnya yang cukup mengkhawatirkan maka sudah
sewajarnya jika lutung jawa menjadi prioritas konservasi satwa di Indonesia.
Gunung Pancar merupakan salah satu habitat lutung jawa (Nijman 2000).
Kawasan ini berbatasan langsung dengan permukiman penduduk serta
bersentuhan langsung dengan kegiatan pariwisata, perdagangan maupun pertanian.
Sebagian besar aktivitas pertanian memanfaatkan areal di sekitar hutan lindung
sehingga menyebabkan habitat lutung jawa di kawasan ini terfragmentasi dan
terisolasi. Kondisi ini dapat digambarkan dengan data yang diungkapkan FWI
(2009) bahwa di Jawa tutupan hutan tinggal 1.02% dengan deforestasi yang
terjadi di hutan lindung sebesar 3.07 juta ha (11.77%) dan di kawasan konservasi
sebesar 2.15 juta ha (12.82%). Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa
degradasai dan fragmentasi habitat ternyata masih saja terus terjadi meskipun laju
deforestasi relatif menurun. Hal inilah yang menjadi masalah serius bagi upaya
konservasi lutung jawa. Fakta terakhir menunjukkan bahwa di sekitar kawasan
Gunung Pancar akan dibangun proyek Sentul Nirwana, sebuah kawasan mega
residensial seluas 12 ribu hektar yang nantinya akan mengelilingi dan bahkan

2
menggusur eksistensi TWA Gunung Pancar. Tekanan yang sedemikian tinggi
terhadap habitat lutung jawa di Gunung Pancar memunculkan kekhawatiran akan
kelestarian satwa ini di masa depan. Kondisi inilah yang memicu munculnya
gagasan dasar untuk melakukan studi mengenai lutung jawa yang ada di Gunung
Pancar sebagai salah satu wujud upaya konservasi keanekaragaman hayati.
Penelusuran pustaka menunjukkan bahwa beberapa studi tentang lutung
jawa telah dilakukan meliputi aspek populasi dan distribusinya (Nijman & van
Balen 1998, Nijman 2000, Megantara 2004); habitat (Febriyanti 2008, Subarkah
dkk. 2011) dan perilaku (Nursal 2001, Prilyanto 2008, Wirdateti 2009). Namun
demikian sebagian besar kajian lebih banyak berfokus pada kawasan hutan yang
masih relatif baik, sedangkan kajian pada kondisi habitat yang kurang ideal masih
relatif jarang dilakukan. Permasalahan ini sangat terkait dengan kondisi yang
berkembang sekarang ini bahwa populasi lutung jawa banyak hidup pada
kantung-kantung habitat yang terfragmentasi dan terisolasi. Dengan demikian
pengungkapan informasi mengenai aspek-aspek bioekologi lutung jawa pada
kondisi habitat dan populasi yang kurang ideal merupakan salah satu langkah
penting dalam upaya konservasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gibbons &
Harcourt (2009) yang menyatakan bahwa studi mengenai berbagai aspek
bioekologi dasar pada populasi primata yang hidup di fragmen habitat yang
terisolasi merupakan kontribusi yang penting bagi upaya konservasi primata.

Perumusan Masalah
Kondisi hutan alam yang merupakan habitat bagi satwa liar semakin
terdesak oleh pertumbuhan populasi manusia. Banyak kawasan hutan dikonversi
menjadi permukiman, lahan pertanian dan area penggunaan intensif dengan tidak
memperhatikan aspek ekologis dan kelestarian lingkungan. Rendahnya kesadaran
akan pentingnya hutan sebagai penyeimbang dalam kompleksitas ekosistem
merupakan salah satu penyebabnya.
Degradasi dan fragmentasi hutan berimplikasi terhadap menurunnya sumber
daya lingkungan, meningkatnya efek isolasi serta bertambah intensifnya pengaruh
efek tepi sehingga menjadi ancaman serius bagi kelestarian populasi lutung jawa.
FWI (2009) mencatat bahwa saat ini laju degradasi dan fragmentasi habitat hutan
di Jawa masih terus terjadi. Kondisi ini menyebabkan banyak populasi lutung
jawa terisolasi dalam kantung-kantung habitat yang tersebar dan terpisah satu
sama lain. Cowlishaw & Dunbar (2000) serta Marsh (2003) menyatakan bahwa
beberapa spesies primata yang terancam punah saat ini hidup di habitat hutan
yang terfragmentasi.
Semakin tingginya angka kehilangan habitat yang berpotensi pada
kepunahan populasi lutung jawa mendorong untuk segera dilakukan upaya
penyelamatan. Salah satu informasi penting yang diperlukan sebagai dasar
pengelolaan habitat dan populasi adalah data mengenai bioekologi dasar, salah
satunya adalah mengenai perilaku. Kajian mengenai perilaku diharapkan dapat
menjelaskan mekanisme adaptasi lutung jawa terhadap kondisi fragmen habitat
yang terisolasi.

3
Studi mengenai perilaku lutung jawa di Gunung Pancar belum pernah
dilakukan sebelumnya. Kajian terhadap perilaku lutung jawa pada fragmen habitat
yang terisolasi akan memberikan informasi terkait faktor-faktor lingkungan
(biologi dan fisik) yang penting bagi kelangsungan hidup populasi lutung jawa.
Pengetahuan mengenai dampak fragmentasi dan hilangnya habitat terhadap
populasi satwa liar merupakan informasi yang sangat berharga bagi upaya
konservasi dan restorasi (Gorresen & Willig 2004).

Tujuan Penelitian
Beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain:
1. Menentukan pola distribusi aktivitas harian lutung jawa pada fragmen habitat
yang terisolasi.
2. Mengidentifikasi variabel lingkungan (biotik dan fisik) yang berpengaruh
terhadap aktivitas harian lutung jawa pada fragmen habitat yang terisolasi.
3. Menentukan hubungan antara aktivitas harian lutung jawa dengan keberadaan
spesies vegetasi pada fragmen habitat yang terisolasi.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi dasar
mengenai pola distribusi aktivitas, faktor lingkungan penting yang berpengaruh
terhadap aktivitas lutung jawa serta asosiasi aktivitas lutung jawa dengan spesies
vegetasi pada fragmen habitat yang terisolasi. Data tersebut diharapkan dapat
berkontribusi terhadap upaya konservasi dan pengelolaan lutung jawa di TWA
Gunung Pancar serta kawasan dengan habitat yang terfragmentasi dan terisolasi.

Kerangka Pemikiran
Degradasi dan fragmentasi habitat menyebabkan banyak populasi lutung
jawa hidup dalam fragmen habitat yang terisolasi. Implikasi dari kondisi ini
adalah menurunnya sumber daya, meningkatnya efek isolasi serta semakin
intensifnya efek tepi yang berdampak terhadap terganggunya populasi lutung jawa
jawa. Kondisi ini memaksa lutung jawa untuk beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan fisik dan biotik agar dapat bertahan hidup. Beberapa aspek penting
terkait perilaku lutung jawa antara lain distribusi aktivitas harian, faktor
lingkungan penting yang berpengaruh terhadap aktivitas harian serta asosiasi
antara jenis vegetasi dengan aktivitas harian lutung jawa. Informasi mengenai
keberhasilan adaptasi terkait beberapa aspek kajian tersebut diharapkan menjadi
kontribusi penting bagi upaya konservasi lutung jawa. Bagan kerangka pemikiran
disajikan pada Gambar 1.

4

Populasi
Lutung Jawa

Habitat

Fragmen
Habitat
Terisolasi

Kondisi
Habitat Baik

Populasi
Terganggu

Populasi
Lestari

Faktor Biotik
(Vegetasi)

-

Faktor Fisik
Elevasi
Slope
Tutupan Lahan
Jarak dari Jalan
Jarak dari Kebun

Adaptasi

Distribusi
Aktivitas Harian

Berhasil
(Lestari)

Penggunaan faktor
lingkungan
(fisik dan biologi)

Asosiasi
Aktivitas & Vegetasi

Gagal
(Punah)

Konservasi

Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian

5

2 TINJAUAN PUSTAKA

Lutung Jawa
Morfologi
Beberapa peneliti membagi lutung jawa menjadi subspesies tertentu
berdasarkan ciri morfologi dan distribusinya. Brandon-Jones (1995, 2004) dan
Weitzel (1985) menyatakan bahwa terdapat dua subspesies Trachypithecus
auratus di Jawa yaitu T. auratus auratus dan T. auratus mauritius. Supriatna
(2000) menambahkan satu subspesies yaitu T. auratus cristatus. Secara
morfologis lutung jawa memiliki panjang tubuh rata-rata dari ujung kepala sampai
tungging 517 mm dan panjang ekornya 742 mm dengan berat tubuh rata-rata 6.3
kg (Written 1982 diacu dalam Bismark 1993). Rowe (1996) mencatat rata-rata
bobot tubuh lutung jawa berkisar ± 7 kg dengan panjang tubuh berkisar 44-65 cm
dan panjang ekor 61-87 cm.
Warna rambut dominan hitam diselingi dengan warna keperak-perakan
dengan bagian ventral berwarna kelabu pucat dengan jambul yang menyembul di
kepala. Anak lutung yang baru lahir berwarna kuning jingga tidak berjambul dan
warnanya akan berubah semakin gelap menjadi hitam kelabu seiring pertumbuhan
usianya (Rowe 1996). Pada betina terdapat bercak kuning di sekitar organ
genitanya (Brandon-Jones 1995). Jenis primata arboreal ini memiliki bentuk ibu
jari yang besar dengan telapak tangan berupa segitiga dan datar yang merupakan
bentuk adaptasi lutung untuk dapat hidup di pohon (arboreal). Lutung jawa
berjalan, berlari dan bergerak secara horizontal dan kontinyu menggunakan
keempat tungkainya (quadrupedally) (Fleagle 1978, Rowe 1996). Formula gigi
lutung jawa adalah 2:1:2:3 di kedua rahangnya (Ankel-Simons 2000) serta
memiliki lambung sacculated yang membantu pencernaan sellulosa (Kool 1993,
Nijman 2000, Primate Info Net 2007, Richardson 2005) serta memiliki kelenjar
ludah yang besar untuk membantu memecah makanan.
Habitat dan Persebaran
Lutung jawa adalah primata endemik Indonesia yang hanya dapat
ditemukan di Jawa, Bali, Lombok, Pulau Sempu dan Nusa Barung (IUCN 2011),
dengan populasi di Lombok diindikasikan merupakan introduksi (Groves 2001).
Populasi lutung jawa dapat ditemukan baik di hutan pedalaman Indonesia bagian
barat demikian juga di kawasan pantai di bagian selatan (Nijman & Supriatna,
2008, Nijman 2000, Richardson 2005). Berbagai tipe habitat tercatat menjadi
habitat lutung jawa seperti hutan mangrove, hutan pesisir, hutan rawa air tawar;
hutan dataran rendah dan perbukitan yang selalu basah, hutan kerangas, hutan
gugur dan hutan pegunungan sampai ketinggian 3500 m dpl, serta di beberapa
hutan tanaman Jati Tectona grandis, Rasamala Altingia excelsa dan Akasia Acacia
spp (Nijman 2000, Richardson 2005, Nijman & Supriatna 2008, Primate Info Net
2007). Lutung jawa juga tercatat menghuni kawasan dalam maupun tepi hutan

6
hujan (Nijman & van Balen 1998, Gurmaya et al. 1994). Kool (1986) menyatakan
bahwa di CA Pangandaran lutung jawa hidup di hutan dataran rendah campuran
dan hutan tanaman sekunder seperti Tectonia grandis, Swietenia macrophylla, dan
tegakan Acacia auriculiformis.
Nijman (2000) telah mencatat sebanyak 42 titik distribusi lutung jawa di
Jawa, Bali dan Lombok salah satunya adalah di Gunung Pancar. Di Jawa Timur,
populasi-populasi tertentu memiliki dua tipe morfologi (dimorfis) yaitu jenis yang
berwarna hitam (melanic) yang lebih umum dan jenis yang berwarna kuning
(erythristic) yang ditemukan di bagian paling timur Jawa dengan batasnya
Gunung Penanggungan dan sekitar Mojokerto ke arah selatan melalui Wonosalam
dan Blitar menuju Pegunungan Kidul (Nijman 2000). Brandon-Jones (1995)
menyatakan persebaran subspesies T. auratus auratus meliputi Jawa sebelah timur,
Bali, Lombok, Palau Sempu and Nusa Barung. Subspesies ini memiliki dua
bentuk morfologi dimana jenis yang berwarna merah tersebar secara terbatas
antara Blitar, Ijen, dan Pugeran (Groves 2001). Morfologi yang lebih umum
berwarna hitam dan ditemukan di Jawa sebelah timur menuju ke barat sampai
Gunung Ujungtebu (Brandon-Jones 1995). Groves (2001) mencatat persebaran T.
auratus mauritius terbatas di Jawa Barat menuju ke utara sampai Jakarta termasuk
Bogor, Cisalak, dan Jasinga, Ujung Kulon dan Cikaso/Ciwangi. Lutung jawa
tercatat juga ditemukan di Gunung Prahu (Nijman & van Balen 1998); Taman
Nasional Ujung Kulon (Gurmaya et al. 1994); Pegunungan Dieng (Nijman & van
Balen 1998) dan Gunung Pancar (Nijman 2000). Profauna (2010) mencatat
bahwa di Tahura R Soerjo ditemukan 11 kelompok lutung jawa dengan total
individu sebanyak 80 ekor.
Distribusi lutung jawa relatif luas dan merata dengan habitat yang beragam
sesuai dengan kondisi topografi. Tercatat lutung jawa ditemukan mulai dari
habitat hutan primer sampai pada habitat terbuka. Kondisi habitat lutung jawa saat
ini sudah sangat berkurang akibat desakan kebutuhan manusia yang semakin
tinggi akan lahan. Sebagian besar hutan dataran rendah khususnya di Jawa bisa
dikatakan telah habis dan hanya tersisa sebagian kecil pada kantong-kantong
kawasan konservasi sehingga mengakibatkan banyak populasi lutung jawa hidup
pada habitat hutan pegunungan sampai dataran tinggi sebagai implikasi hilangnya
hutan dataran rendah.
Hutan pegunungan dataran rendah sampai hutan tropis pegunungan tinggi
ternyata juga tidak lepas dari tekanan aktivitas manusia. Pada level tertentu
gangguan hanya bersifat temporer, namun pada kondisi yang sudah sangat parah
konversi hutan menjadi areal penggunaan lain tidak bisa lagi dihindarkan. Gunung
Pancar adalah salah satu potret kondisi hutan pegunungan dataran rendah
terganggu yang masih tersisa di kawasan Bogor. Status kawasan yang merupakan
taman wisata alam merupakan salah satu alasan mengapa sampai saat ini Gunung
Pancar masih memiliki hutan alam walaupun dengan kondisi yang amat
memprihatinkan.
Fragmen-fragmen habitat yang tersebar merata di seluruh Indonesia
khususnya di Pulau Jawa telah membentuk populasi-populasi kecil yang terpisah
satu sama lain (metapopulasi) sehingga mengakibatkan resiko ancaman
kepunahan semakin tinggi. Faktor pemanfaatan secara ilegal melalui mekanisme
perburuan dan perdagangan liar menjadi ancaman serius kelestarian lutung jawa

7
saat ini. Belum lagi faktor internal seperti degradasi genetik yang lazim terjadi
pada populasi yang kecil akan semakin mengancam kelestarian lutung jawa.
Struktur Kelompok
Lutung jawa adalah primata yang hidup berkelompok dan bersifat diurnal
serta arboreal dengan sebagian besar aktivitas dihabiskan diatas pohon (Lekagul
& McNeely 1977). Kartikasari (1982) menyatakan bahwa dalam satu kelompok
lutung jawa rata-rata terdiri dari 10 individu dengan satu jantan, beberapa betina
dewasa, anak dan bayi. Menurut Medway (1970) lutung jawa berkelompok
dengan anggota 6–23 ekor, dengan 1 ekor jantan dewasa sebagai pemimpin.
Cannon (2009) juga menyatakan dalam satu kelompok lutung jawa biasanya
terdiri dari 1-2 jantan dengan 5-6 betina, ukuran kelompok bisa mencapai 23
individu dengan tetap 1-2 jantan dalam kelompok. Jumlah betina dalam kelompok
lebih dominan dibanding jantan, hal ini terkait dengan sistem perkawinan
poligami dimana satu jantan akan mengawini banyak betina dalam kelompoknya.
Jantan muda biasanya akan terpisah dengan kelompoknya dan membentuk
kelompok dengan para jantan muda lainnya. Ukuran kelompok dipengaruhi oleh
faktor iklim dan musim (Cannon 2009). Pada musim kering yang panjang ukuran
kelompok biasanya akan lebih besar, hal ini terkit dengan ketersediaan sumber
daya pakan. Watanabe et al. (1996) mencatat bahwa populasi lutung jawa di
Cagar Alam Pangandaran membentuk kelompok kecil yang padat dan cenderung
menghindari perkebunan jati. Hasil penelitian Megantara (2004) menunjukkan
bahwa secara umum penyebaran lutung di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam
Pangandaran tidak merata, di Taman Wisata lebih mengelompok daripada yang
terdapat di Cagar Alam. Tercatat masing-masing 7 kelompok lutung jawa di
Taman Wisata dan Cagar Alam dengan kepadatan kelompok 18-26 kel/km2 dan
3.5 kel/km2. Beberapa studi mencatat kepadatan rata-rata berkisar 7.9 – 8.8
kelompok/km2 dengan estimasi individu 114 – 147.9 individu/km2 (Meijaard &
Nijman komunikasi pers dalam IUCN 2011). Rata-rata lutung jawa dapat hidup
selama kira-kira 20 tahun (Delson 2008).
Reproduksi
Pola reproduksi lutung jawa adalah poligami dimana jantan dominan akan
mengawini beberapa betina dalam kelompoknya. Betina akan memulai masa
bereproduksi pada umur 3-4 tahun dan dapat melahirkan satu anak dalam setahun.
Reproduksi dan kelahiran dapat terjadi sepanjang tahun (Cannon 2009). Pola
pengasuhan anak dilakukan oleh betina dalam kelompok secara bersama-sama
(allomothering) (Bristol Zoo Gardens 2009, Nijman 2000, Primate Info Net 2007).
Dalam masa mengasuh anak betina akan bersifat agresif terhadap betina dari
kelompok lain (Kool 1991, Nijman and Supriatna 2008, Nijman 2000, Primate
Info Net 2007, Richardson 2005). Bayi lutung akan tumbuh dengan cepat dan
mandiri pada usia 1 tahun (Cannon 2009).

8
Perilaku
Perilaku satwa dapat dikategorikan dalam beberapa kategori sesuai dengan
fungsinya meliputi perilaku pemeliharaan, perilaku makan, orientasi dan navigasi
dan beberapa perilaku sosial baik interspesifik maupun intraspesifik yang lazim
disebut sosiobiologi (Slater 1990 diacu dalam Setiawan 1996). Perilaku harian
dibagi ke dalam empat kategori yaitu perilaku istirahat (resting), makan (feeding),
perilaku bergerak (moving) (Chiver & Raemakers 1980) serta aktivitas sosial
(social activities) (Chalmers 1980). Aktivitas berpindah (moving) meliputi
berjalan quadropedal, berlari kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan,
berenang, memanjat dan menuruni pohon (Betrand 1969). Aktivitas yang
termasuk dalam aktivitas makan meliputi makan, minum dan foraging. Aktivitas
istirahat meliputi istirahat, self-grooming dan tidur. Aktivitas sosial meliputi
social grooming, kawin, bermain, dan berkelahi.
Biorithme harian lutung jawa relatif tetap, kecuali jika ada perubahan yang
signifikan terkait pakan maupun cuaca. Ambarwati (1999) mencatat bahwa
aktivitas lutung jawa dimulai pada pukul 05.30 sampai 17.30 dengan persentase
49% istirahat, 23% makan, 22% berjalan, 10% tidur dan 3% bersuara. Aktivitas
lutung jawa juga dipengaruhi oleh suhu (Nadler et al 2002) dimana pada suhu
kurang dari 10oC lutung cenderung bergerak cepat, makan dengan cepat kemudian
berpindah ke tempat yang kering seperti semak belukar, sedangkan pada suhu 1030oC lutung lebih suka berkumpul bersama di bawah naungan pohon untuk
istirahat dan makan.
Salah satu jenis aktivitas yang cukup penting adalah makan. Ada beberapa
cara yang dilakukan lutung dalam memperoleh makanannya. Biasanya lutung
akan langsung makan dengan mulutnya jika makanannya adalah pucuk daun; jika
berupa ranting atau tangkai daun maka lutung biasanya akan meraihnya lebih
dahulu dengan tungkainya baru kemudian dimasukkan ke dalam mulut; untuk
jenis buah biasanya lutung akan memetiknya baru kemudian dimakannya.
Persentase aktivitas makan lutung sebesar 10.49 % dari aktivitas total dengan
aktivitas tertinggi pada pukul 08.00 sebesar 4.38 % (Pratiwi 2008).
Zainal (2008) mengungkapkan bahwa perilaku lutung jawa baik di
penangkaran maupun di habitat alami relatif sama dengan aktivitas makan
tertinggi berupa daun (58.68% di penangkaran dan 98% di habitat alami), aktivitas
bergerak tertinggi adalah berjalan (43.49% dan 46.47%), aktivitas istirahat
tertinggi adalah duduk (86.48% dan 99.69%), aktivitas sosial tertinggi adalah
bersuara (33.51% dan 78.17%), dan penggunaan strata tertinggi adalah strata
tengah (49.22%) untuk di penangkaran dan strata atas (43.11%) di habitat alami.
Hal ini menunjukkan adanya adaptasi yang berbeda untuk kondisi habitat yang
berbeda. Bentuk komunikasi pada lutung jawa biasanya menggunakan kontak
suara, fisik maupun visual. Mereka menggunakan komunikasi suara saat terjadi
ancaman, biasanya jantan dewasa mengeluarkan suara peringatan jika ada
ancaman yang mendekati kelompoknya (Cannon 2009).
Wilayah Jelajah
Wilayah jelajah lutung jawa berkisar antara 20-30 ha dan akan cenderung
lebih luas di wilayah pulau Jawa dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia.

9
Nijman & Supriatna (2008) mencatat kepadatan populasi lutung jawa 23 ind/km2
di Pegunungan Dieng. Luas wilayah jelajah lutung di Taman Wisata Alam
Pangandaran (TWAP) (Brotoisworo & Dirgayusa 1991, Megantara & Dirgayusa
1992) adalah seluas 4.7–8.8 ha, sedangkan menurut Husodo & Megantara (2002)
luas wilayah jelajah lutung di TWAP sebesar 2.78–6.67 ha atau rata-rata 3.46 ha.
Hendratmoko (2009) mencatat rata-rata daerah jelajah lutung jawa di Cagar Alam
Pangandaran seluas 10.07 ha. Djuwantoko (1994) menyatakan bahwa di kawasan
hutan jati Jawa Tengah daerah jelajah lutung jawa sebesar 32-43 ha. Selanjutnya
Susetyo (2004) menjelaskan bahwa kepadatan populasi lutung di Taman Nasional
Alas Purwo adalah 50 ekor per km2. Pergerakan harian lutung jawa dapat
mencapai 500-1300 m (Supriatna 2000). Dengan demikian maka dapat dikatakan
bahwa luas wilayah jelajah lutung jawa bersifat dinamis sesuai dengan kondisi
habitat.
Pakan
Menurut Written (1982) diacu dalam Bismark (1993) meyebutkan lutung
merupakan pemakan daun dengan komposisi pakan berupa daun 50%, buah 32%
dan 13% sisanya berupa bagian tumbuhan lain dan serangga. Supriatna & Hendras
(2000) mencatat terdapat 66 jenis tumbuhan sumber pakan lutung dimana 50%
dimanfaatkan daunnya, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan
serangga. Lutung jawa lebih memilih daun yang tinggi protein dan rendah serat
(Cannon 2009). Pemilihan jenis dan bagian pakan tersebut diduga menyebabkan
lutung sering buang air besar dan buang air kecil serta banyak beristirahat (tidur).
Hal ini didukung oleh Kay (1984) yang menyatakan bahwa satwa bertubuh kecil
yang membutuhkan energi tinggi biasanya lebih banyak makan serangga,
sedangkan satwa bertubuh besar yang tidak memerlukan energi tinggi cenderung
memakan dedaunan.
Pakan lutung terdiri dari dedaunan baik muda atau tua, buah-buahan baik
matang ataupun mentah, bunga, kuncup bunga, dan larva serangga (Kool 1993)
dan menyukai daun yang masih muda atau berupa pucuk (Pratiwi 2008,
Kurniawaty 2009). Iskandar (2003) juga menyatakan bahwa lutung memanfaatkan
buah kedawung sebagai salah satu sumber pakan. Menurut Kool (1992, 1993)
separuh pakan lutung jawa terdiri atas dedaunan berprotein tinggi. Daun yang
dipilih untuk dikonsumsi yaitu mempunyai kandungan serat rendah dan mudah
dicerna. Pucuk daun jati (Tectona grandis) merupakan sumber pakan penting
apabila jumlah pakan langka. Buah-buahan juga dikonsumsi oleh lutung karena
mempunyai kadar tanin dan kadar fenol yang lebih tinggi dari dedaunan (Kool
1992). Menurut Goltenboth (1976) dan Davies et al. (1988) kadar tanin ini
berguna untuk mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan.
Kool (1993) dalam Hendratmoko (2009) menyatakan bahwa pakan lutung di CAP
27–37% adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5–27% buah-buahan mentah dan
10–12% buah masak dengan tumbuhan penting sumber pakan meliputi Ficus
sinuata, Ficus sumatrana dan Vitex pinnata. Kurniawan & Herna (2005) mencatat
bahwa lembayungan (Turpinia sp), pasang (Quercus sp), sapen (Engehaidia
spicata) dan tutup (Homalanthus sp) merupakan jenis tumbuhan pakan lutung
jawa di SM Dataran Tinggi Hyang, Malang.

10
Dalam memanfaatkan sumber daya pakan, kelompok yang berbeda dapat
berbagi tanpa adanya konfrontasi yang signifikan. Jantan dewasa memiliki
proporsi makan yang lebih sedikit dibandingkan betina dan anak-anak (Kool 1993,
Primate Info Net 2007, Richardson 2005).
Status Perlindungan
Lutung jawa merupakan satwa primata yang dilindungi di Indonesia
berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor
733/Kpts-II/1999 tentang penetapan lutung jawa (T. auratus) sebagai satwa yang
dilindungi. Dasar penetapan ini adalah mengingat terjadinya penurunan populasi
yang cukup drastis di alam sehingga jika tidak dilakukan perlindungan maka jenis
satwa ini akan punah. Selain itu lutung jawa termasuk dalam kategori vulnerable
A2dc dimana populasi diidikasikan menurun 30% sepanjang 30 tahun (3 generasi)
dan beresiko punah jika tidak dilakukan penanganan (IUCN 2011). CITES juga
memasukkan lutung jawa dalam kategori Appendix II.
Ancaman utama kelestarian lutung jawa adalah hilangnya habitat serta
degradasi habitat terkait aktivitas pertanian dan permukiman (IUCN 2011), selain
itu perburuan dan perdagangan ilegal juga menjadi ancaman serius. Tercatat
setidaknya 2500 ekor lutung jawa diburu dan diperdagangkan setiap tahun untuk
kebutuhan konsumsi (Anonim 2010). Predator alami lutung jawa adalah harimau
jawa (Panthera tigris sondaica) and macan tutul (Primate Info Net 2007,
Richardson 2005). Lebih jauh IUCN (2011) mencatat beberapa faktor yang
mengancam populasi alami lutung jawa seperti permukiman dan pembangunan
komersil, perkembangan daerah urban, kegiatan pertanian, penggunaan sumber
daya alam, pemanenan hasil hutan non kayu, perburuan satwa serta pemanfaatan
lutung jawa dengan tujuan khusus.

Komponen Habitat
Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik
yang terdiri atas tanah, topografi dan iklim serta komponen biotik yang terdiri atas
tumbuhan dan satwa (Bailey 1984). Primata merupakan satwa arboreal yang
sangat tergantung dengan keberadaan vegetasi. Selain itu beberapa faktor fisik dan
biologi juga berpengaruh terhadap kelimpahan maupun distribusi satwa primata.
Komponen fisik yang sangat penting bagi kehidupan satwa adalah air.
Satwa liar mendapatkan air dari berbagai sumber yaitu air bebas yang tersedia
(danau, sungai, kolam atau irigasi), air yang terkandung pada beberapa bagian
vegetasi, embun dan air yang dihasilkan dari proses metabolisme. Embun yang
menempel di daun dan air yang mengenang pada batang-batang pohon
dimanfaatkan oleh berbagai jenis burung dan primata untuk memenuhi kebutuhan
hidup mereka (Bailey 1984). Faktor topografi juga diketahui berpengaruh
terhadap penyebaran tumbuhan dan satwa. Komponen fisik lingkungan penyusun
topografi terdiri dari ketinggian tempat (elevasi), tingkat kemerengan lereng
(slope) dan arah kemiringan lereng (aspect).

11
Ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap
keanekaragaman jenis spesies tumbuhan dan satwa. Terdapat zona-zona vegetasi
menurut ketinggian yang masing-masing zona terbentuk karena adanya perbedaan
kondisi iklim pada ketinggian yang berbeda. Pada masing-masing zona biasanya
memiliki perbedaan spesies yang dominan. Ketinggian tempat dapat
memepengaruhi keberadaan sumber pakan. Semakin tinggi suatu tempat
menyebabkan semakin sedikit keanekaragaman jenis tumbuhan sehingga variasi
dalam memilih sumber pakan menjadi terbatas (Primack et al. 1998).
Komponen biotik merupakan komponen utama dalam suatu habitat.
Pemilihan habitat oleh satwaliar sangat ditentukan pada sejauh mana komponenkomponen tersebut dapat menyediakan kebutuhannya akan pakan, tempat
berlindung, tidur dan melakukan reproduksi. Faktor lain yang mempengaruhi
keberadaan tumbuhan pakan adalah cuaca, produktifitas tumbuhan pakan dan
ketahanan tumbuhan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh herbivora (Bailey
1984).

Deforestasi, Degradasi dan Fragmentasi Hutan
Belum optimalnya pengelolaan kawasan hutan dalam rangka pelestarian,
pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya hutan salah satunya disebabkan oleh
tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan. Tapal batas hutan juga belum
dibenahi dengan baik sehingga menimbulkan ancaman pada pengelolaan kawasan
hutan terutama di kawasan konservasi. Ketidakjelasan kawasan hutan juga
memicu terjadinya tumpang tindih kawasan hutan dengan kegiatan sektor lain
serta alih fungsi kawasan hutan untuk penggunaan lain di luar kehutanan yang
tidak terkendali. Hal inilah yang memicu tingginya deforestasi, degradasi dan
fragmentasi hutan di Indonesia (BAPPENAS 2010).
Dalam lima tahun terakhir ini, laju deforestasi telah mencapai sekitar 1 juta
ha per tahun. Hutan yang sudah mengalami degradasi adalah kawasan hutan yang
mengalami penurunan kualitas ekosistem hutan, dari hutan primer ke hutan
sekunder, dari hutan sekunder menjadi semak belukar dan alang-alang yang
mencapai lebih dari 50 juta hektar. Laju deforestasi yang cukup tinggi dan
degradasi hutan yang terus meluas tersebut merupakan penyebab meningkatnya
luas lahan kritis. Luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia mencapai 30,19
juta ha yang tersebar di 472 Daerah Aliran Sungai (BAPPENAS 2010).
Permasalahan lain yang menyebabkan kerusakan kawasan hutan adalah
kejadian kebakaran hutan dan tekanan demografi. Faktor terakhir merupakan
pangkal permasalahan dimana pertumbuhan penduduk dengan segala
kebutuhannya secara langsung menekan sumber daya hutan beserta kekayaan
hayati di dalamnya. Saat ini setidaknya 27.3 juta ha kawasan konservasi dan 31.60
juta ha hutan lindung mengalami tekanan oleh masyarakat sehingga dikhawatirkan
mengganggu fungsi dan perannya sebagai penyangga kehidupan. Tekanan
demografi kepada kawasan konservasi menyebabkan terjadinya fragmentasi
habitat satwa yang berdampak pada menurunnya atau terancam punahnya
populasi tanaman dan satwa. Luas kawasan konservasi yang dirambah saat ini

12
mencapai 460 ribu hektar, sehingga beberapa habitat endangerad spesies
mengalami ancaman kepunahan (BAPPENAS 2010).
Permasalahan deforestasi, degradasi dan fragmentasi habitat yang tidak
pernah mendapat penyelesaian yang tuntas menyebabkan kehilangan
keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia. Ilustrasi yang telah disampaikan
di atas memberikan gambaran betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi.
Untuk itu perlu adanya pendekatan holistik dan menyeluruh sehingga diperoleh
solusi yang komprehensif terkait upaya konservasi di Indonesia.

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Kawasan
Pada awalnya Gunung Pancar merupakan bagian kelompok Hutan Gunung
Hambalang seluas 6695.32 hektar yang berfungsi sebagai hutan produksi. Seiring
waktu, kawasan ini berubah fungsi menjadi taman wisata alam dan disahkan oleh
Menteri Pertanian tanggal 23 Maret 1976 dan pengelolaannya diserahkan kepada
Perhutani. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar sebagai salah satu
kawasan pelestarian alam ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 156/Kpts-II/1988 tanggal 21 Maret 1988 seluas 447.5 hektar.
Sebagai kawasan dengan fungsi pendidikan, penelitian dan sarana rekreasi maka
berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 54/Kpts-II/1993 tanggal 8
Februari 1993 pengusahaan kawasan tersebut dipercayakan kepada PT Wana
Wisata Indah (WWI) yang diberikan hak Pengusahaan Pariwisata Alam di areal
kawasan seluas 447.5 hektar. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan taman
wisata alam, kawasan ini sudah dikenal dengan pemandian air panasnya yang
dikelola oleh masyarakat. Pemandian air panas ini sudah ada sejak tahun 1950,
lalu pada tahun 1983 masyarakat membuat kolam pemandian dan tahun 1990
dibangun pemandian air panas tersebut untuk umum.

Luas dan Letak
Luas kawasan TWA Gunung Pancar berdasarkan SK Menteri Kehutanan
No. 156/Kpts-II/1988 tgl 21 Maret 1988 adalah seluas 447.5 ha. Secara geografis
kawasan ini terletak antara 106°52’ - 106°54’ BT dan 6°34’ -6°36’ LS, sedangkan
secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Karang Tengah, Kecamatan
Citeureup, Kabupaten Bogor. Sebelah utara berbatasan dengan Kampung
Leuwigoong; sebelah timur berbatasan dengan Kampung Cimandala; sebelah
selatan berbatasan dengan Kampung Cibingbin dan Desa Bojong Koneng serta
sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Karang Tengah.

13
Topografi
Gunung Pancar merupakan kawasan bukit yang terletak pada ketinggian
300-800 m dpl dengan topografi mulai dari landai, bergelombang sampai terjal
dengan kemiringan berkisar antara 15-80%. Banyak areal di lereng Gunung
Pancar yang rawan longsor akibat kemiringannya yang sangat curam.

Iklim
Menurut Schmidt dan Ferguson, kawasan TWA Gunung Pancar termasuk
ke dalam tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 3.000-4.500 mm/thn. Jumlah
hari hujan per tahun berkisar antara 150-250 hari. Suhu udara rata-rata 24°C pada
malam hari dan suhu tertinggi 33°C pada siang hari dengan kelembaban udara
rata-rata 58-82%.

Hidrologi
Sungai-sungai yang mengalir disekitar kawasan TWA Gunung Pancar
antara lain sungai Citeureup, sungai Cibingin dan sungai Ciherang yang
merupakan sungai dengan debit terbesar yang mengalir ke arah utara dan
bermuara di laut Jawa. Di samping itu, terdapat sumber air panas dengan suhu
yang bisa mencapai 70O C yang berasal dari proses geothermal di Gunung Pancar.

Geofisik
Bahan induk pembentuk tanah di kawasan Taman Wisata Alam Gunung
Pancar merupakan tuf volkan intermedier yang berasal dari aliran lava gunung tua.
Jenis tanah yang mendominasi kawasan ini adalah Latosol coklat dengan solum
dalam (>100 cm). Struktur tanah remah sampai gumpal remah dengan tekstur
halus, permeabilitas dan drainase sedang sampai cepat. Kepadatan berkisar antara
1.00 –1.39/cc dengan porositas antara 50 – 60%. Kesuburan tanah rendah sampai
sedang dengan pH tanah masam.

Flora
TWA Gunung Pancar terdiri dari hutan alam pegunungan dataran rendah,
hutan tanaman dan semak belukar. Tipe vegetasi hutan alam terletak di lereng
sampai puncak Gunung Pancar seluas 15 hektar dengan jenis vegetasi antara lain

14
rasamala (Altingia excelsa), huru (Quercus sp.), beringin (Ficus benjamina),
puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea), jamuju (Podocarpus
imbricatus), rotan (Calamus sp.) dan jenis-jenis liana. Selain itu terdapat pula
tumbuhan epifit yang menempel pada pohon besar seperti anggrek (Dendrobium
sp.), paku sarang burung (Asplenium nidus), dan paku tanduk rusa (Platicerium
coronarium). Tipe vegetasi hutan tanaman menempati sebagian besar kawasan ini
seluas ± 160 ha. Jenis tanamannya antara lain pinus (Pinus merkusii), sengon
(Albizia falcataria), kayu afrika (Maesopsis eminii) dan meranti (Shorea sp.) yang
ditanam pada tahun 1982/1983. Jenis tanaman lainnya adalah tanaman budidaya
masyarakat seperti singkong dan pisang (Musa sp). Tumbuhan semak belukar
terdiri dari jenis kirinyuh (Eupatorium inulifolium), harendong (Melastoma affine),
jarong (Achyranthes aspera), saliara (Lantana camara), alang-alang (Imperata
cylindrica) dan lain-lain. Hasil eksplorasi yng dilakukan oleh Roemantyo (2009)
terhadap seluruh vegetasi di kawasan gunung Pancar diperoleh data 112 jenis
tumbuhan yang tergolong dalam 44 suku dan 91 marga. Dari pengamatan yang
dilakukan tercatat bahwa ada sekitar 79 jenis tumbuh di kawasan perbatasan hutan
dan kebun dimana di antaranya berupa jenis-jenis yang ditanam, sedangkan yang
tercatat terdapat dikawasan hutan ada 80 jenis yang tumbuh di kawasan hutan
lindung Gunung Pancar.

Fauna
Satwa yang pernah tercatat hidup di kawasan Gunung Pancar antara lain
owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung jawa
(Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), jelarang
(Ratufa bicolor), babi hutan (Sus scrofa) dan jenis-jenis burung seperti elang
bondol (Haliastus indus), kutilang (Pycnonotus aurigaster), ayam hutan merah
(Galus galus varius), jalak putih (Sturnus melanopterus) dan srigunting (Dicrurus
paradiseus). Namun demikian, saat ini beberapa jenis sudah sulit untuk ditemui
terutama jenis yang dilindungi.

Kegiatan Sosial Ekonomi
Dalam pengembangan kepariwisataan yang berwawasan lingkungan serta
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, PT. Wana Wisata Indah diberikan
hak pengusahaan pariwisata alam di TWA Gunung Pancar dengan SK Menteri
Kehutanan No. 54/Kpts-II/1993 tgl 8 Februari 1993. TWA Gunung Pancar
memiliki obyek dan daya tarik wisata yang cukup banyak meliputi pemandian air
panas, makam keramat, pergelaran kesenian tradisional daerah, oleh raga sepeda
gunung, dan lintas alam. Sarana prasarana wisata di TWA Gunung Pancar
diantaranya pu