REAKTUALISASI BUDAYA MALU DI KALANGAN REMAJA PUTRI DALAM KERANGKA PENERAPAN

REAKTUALISASI BUDAYA MALU DI KALANGAN REMAJA PUTRI DALAM KERANGKA PENERAPAN

SYARIAT ISLAM 10 Agus Budi Wibowo

Pendahuluan

Memasuki awal tahun 2002, masyarakat Aceh memasuki babak baru dalam kehidupan sosial politik, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Mulai tahun 2002 ini, syariat Islam diterapkan dalam berbagai kehidupan masyarakat Aceh. Perjuangan panjang yang melelahkan terlampaui sudah. Secara politis, di Aceh diterapkan syariat Islam melalui Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No.

44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Berdasarkan kedua undang-undang ini DPRD Propinsi Daerah Istimewa Aceh menetapkan Perda Propinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Syariat Islam.

10 Tulisan ini pernah dimuat di dalam Buletin Haba No. 22/2002, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

Kenyataannya, Islam dalam masyarakat Aceh telah mendarah daging di dalam segala aspek kehidupan sejak zaman dahulu. Ajaran Islam mengakar kuat di dalam sanubari hati dan jejak langkah kehidupan masyarakat. Bagi orang Aceh, ajaran agama merupakan tolok ukur dan barometer atas segala sikap, tindak- tanduk, perbuatan, dan penampilan mereka dalam pergaulan sesamanya. Sikap dan pandangannya dan segala macam bentuk benar-salah, bagus-jelek, baik- buruk dan segala macam bentuk penilaian selalu dikaitkan dengan ajaran agama Islam.

Masyarakat Aceh benar-benar menghayati ajaran agama Islam dalam kehidupannya. Penghayatan yang begitu besar dan mendalam terhadap ajaran agama Islam diwujudkan dalam bentuk akulturasi antara adat dan ajaran agama. Hal ini berarti seseorang yang telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan yang dituntut atau digariskan dengan adat, ia telah berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran agama atau sekurang- kurangnya tidak keluar dari bingkai agama yang mereka anut (M. Hakim Nyak Pha, 2000:10).

Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti termaktub dalam beberapa hadih maja seperti Adat bak Poteu Meurohôm, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putrôe Phang, reusam bak Lakseumana; hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet dan hukom adat hanjeut cree lagee mata itam Oleh karena itu, semua gerak kehidupan masyarakat selalu terikat pada syariat Islam yang dikemas dalam bentuk adat (hukum) dan adat-istiadat. Keadaan ini tampak pada beberapa aspek seperti termaktub dalam beberapa hadih maja seperti Adat bak Poteu Meurohôm, hukom bak Syiah Kuala, kanun bak Putrôe Phang, reusam bak Lakseumana; hukom ngon adat lagee dzat ngon sipheuet dan hukom adat hanjeut cree lagee mata itam

Tulisan ini membahas upaya yang dapat dilakukan untuk menyukseskan penerapan syariat Islam melalui penggalian sistem budaya yang dimiliki oleh masyarakat Aceh sehingga remaja putri dapat berbusana muslimah secara kaffah.

Realitas Remaja Putri Masa Kini

Membicarakan realitas remaja putri Aceh masa kini tidak terlepas dari permasalahan kekinian masyarakat Aceh pada umumnya dan berarti pula membicarakan martabat masyarakat Aceh. Martabat Aceh atau nilai keacehan ditentukan oleh perilaku Membicarakan realitas remaja putri Aceh masa kini tidak terlepas dari permasalahan kekinian masyarakat Aceh pada umumnya dan berarti pula membicarakan martabat masyarakat Aceh. Martabat Aceh atau nilai keacehan ditentukan oleh perilaku

Kalau kita amati perilaku budaya Aceh itu nampaknya telah terjadi erosi. Hal itu disebabkan oleh dua faktor, pertama pengaruh dari luar, yaitu sikap budaya Aceh telah bergeser karena adanya tekanan dari luar Aceh yang melanda Aceh karena globalisasi yang tidak dapat dielakkan. Hal ini tampak dari model pakaian yang dipakai, kendaraan yang dinaiki, perlengkapan rumah yang dimiliki sebagai produk global yang melanda dunia. Celana pantelon, jins, sepeda motor, kompor gas, kulkas adalah salah satu wujud realitas dari perkembangan zaman. Kedua, pengaruh dari dalam masyarakat Aceh itu sendiri. Pengaruh dari dalam dapat terjadi ketika orang Aceh sendiri telah melunturkan nilai-nilai keacehannya yang disebabkan oleh mental orang Aceh yang tidak setia kepada budayanya (Yusni Sabi, 2000: 16).

Akibat adanya kedua kekuatan yang mempengaruhi kondisi kekinian dari budaya Aceh tersebut adalah melemahnya ikatan-ikatan tradisional seperti berubahnya hubungan antargenerasi dan perkawinan sehingga kultur kehilangan kontrol terhadap pembentukan suatu tipe sistem sosial. (Irwan Abdullah,

1999). Otoritas tradisi dalam hal ini mulai melemah yang digantikan dengan rasionalitas yang kemudian menjadi pegangan dalam setiap pengambilan keputusan. Orang tua (akibat perubahan hubungan antargenerasi) atau pemimpin mulai kehilangan otoritas tradisional dalam berhubungan dengan masyarakat sehingga kontrol hanya dilakukan dengan instrumen kekuasaan modern yang lebih kompetitif dan berdasarkan negosiasi.

Hal-hal seperti tersebut di atas sedang dihadapi pula oleh remaja putri di Aceh. Realitas remaja putri kekinian yang tampak adalah mereka lebih “bebas” dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Menurut Abidin Hasyim dkk, di kalangan orang-orang berpendidikan terutama yang hidup di kota telah terjadi pergeseran budaya malu. Bagi golongan ini keserasian hubungan keluarga tidak dicapai melalui sikap menghindar, membatasi pergaulan dan sebagainya (Abidin Hasyim dkk, 1997).

Keserasian menurut mereka dapat diperoleh melalui hubungan yang normal, rasional, dan saling menghormati. Bagi mereka yang telah terbiasa dengan pergaulan kota tidak menimbulkan seks phobia terhadap hubungan, misalnya hubungan antara menantu laki-laki dengan ibu mertua. Mereka tidak memandang hubungan itu dengan konotasi seksual. Hubungan dapat berlangsung wajar, rasional dan saling menghargai. Keserasian hubungan keluarga dapat ditegakkan atas dasar nilai-nilai baru yang lebih rasional. Dengan demikian, para orang tua dapat “menerima” apabila Keserasian menurut mereka dapat diperoleh melalui hubungan yang normal, rasional, dan saling menghormati. Bagi mereka yang telah terbiasa dengan pergaulan kota tidak menimbulkan seks phobia terhadap hubungan, misalnya hubungan antara menantu laki-laki dengan ibu mertua. Mereka tidak memandang hubungan itu dengan konotasi seksual. Hubungan dapat berlangsung wajar, rasional dan saling menghargai. Keserasian hubungan keluarga dapat ditegakkan atas dasar nilai-nilai baru yang lebih rasional. Dengan demikian, para orang tua dapat “menerima” apabila

Realitas kekinian remaja putri tidak terlepas pula dari sikap dan persepsi mereka sendiri terhadap gaya busana muslimah serta industrialisasi dan globalisasi yang melanda dunia. Konsep cantik bagi wanita sekarang amat berbeda dengan konsep cantik yang dimiliki oleh generasi sebelumnya. Konsep cantik di kalangan remaja tidak hanya dipengaruhi budaya lokal, tetapi turut pula dipengaruhi budaya luar (Widjayanto M. Santoso, 2000).

Kedua aspek yang disebutkan itu akan menjadi referensi remaja dalam berbusana. Mereka lebih berani, cuek, dan lebih bersemangat bebas dibandingkan generasi di atas mereka. Dengan demikian, gaya busana mereka lebih memilih baju-baju kasual untuk kegiatan sehari-hari mereka. Agus Budi Wibowo (2001) mengidentifikasi ada empat gaya busana muslimah di kalangan remaja putri dari hasil penelitian di Kota Sabang, yaitu gaya busana ke sekolah, gaya busana ke tempat umum, dan gaya busana ke tempat ibadah serta gaya busana pesta. Adapun model yang mereka kenakan ada beberapa jenis, seperti celana ketat/jins, baju biasa/ketat, dengan atau tanpa jilbab.

Remaja putri di Aceh berusaha menampilkan gaya busana yang tidak ketinggalan zaman, namun mereka juga tidak ingin dikatakan melupakan akarnya (pakai jilbab). Sehingga remaja ini memakai jilbab tetapi pakaian mereka menampilkan gairah anak muda

(pakaian ketat). Dengan demikian, ada perpaduan antara budaya lokal dengan nilai-nilai globalisasi/budaya luar, yang seperti dikatakan oleh Jailani M. Yunus (2000), yaitu jilbab yang dihiasi dengan lipstik tebal, lekuk tubuh yang menantang mata, dan perilaku agresif.

Budaya Malu sebagai Alat Pengendalian Sosial dalam Masyarakat Aceh

Sebagai makhluk berbudaya, manusia memerlukan seperangkat aturan yang mengatur kehidupannya, baik dalam hubungan antarmanusia maupun makhluk lainnya di dunia. Aturan ini berfungsi agar manusia di dalam menjalankan aktivitasnya dapat teratur. Keteraturan ini amat penting agar tidak terjadi kekacauan.

Aturan-aturan yang seperti disebut-kan di atas terkait dengan norma-norma dan adat. Norma dan adat kebiasaan ini mengatur kegiatan dan tingkah laku manusia. Norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur apa yang pantas dikatakan, kepada siapa, dan dalam kondisi bagaimana. Berdasarkan nilai-nilai inilah, maka disusun norma yang menentukan mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap kurang baik. Atas dasar norma dan kaidah-kaidah itu kemudian dijadikan pedoman bertingkah laku sehingga tidak terjadi bentrokan antarkepentingan manusia dalam pergaulan hidup.

Salah satu wujud norma dalam hubungan interaksi masyarakat adalah sikap sungkan (Koentjaraningrat, 1984). Dalam konteks keacehan sikap ini dapat disebut sebagai budaya malu. Budaya Malu yang berkembang di dalam masyarakat Aceh merupakan suatu sistem norma yang dilembagakan pada tingkat kelakuan (mores). Tata kelakuan mencerminkan sifat-sifat yang hidup dari kelompok manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas. Budaya malu yang telah dilembagakan sebagai suatu sistem norma yang disebut tata-kelakuan merupakan suatu alat mekanisme agar anggota-anggota masyarakat menyesuaikan dengan tata kelakuan tersebut.

Dilihat dari segi fungsional budaya malu juga merupakan alat pengendalian sosial. Pada masyarakat Aceh hal itu dilakukan melalui sopan santun dan sikap menghindar. Sopan santun dapat berwujud pembatasan dalam pergaulan, baik di dalam keluarga maupun di luar keluarga. Sikap menghindar merupakan alat yang biasa efektif dalam menata hubungan keluarga dan kerabat. Tujuan pembatasan itu antara lain untuk mencegah terjadinya hubungan yang sumbang.

Melalui dua mekanisme itu, di dalam masyarakat Aceh ada beberapa aturan yang mengatur hubungan antara anak dengan orang tua, suami-istri, menantu- mertua. Misalnya saja dalam kaitannya dengan remaja putri, seorang ibu/ayah malu apabila anak perempuannya berpakaian kurang pantas sehingga anaknya dianggap tidak mengetahui adat-istiadat.

Dalam kontak fisik, adanya canda bersifat sentuhan fisik antara anak dan orang tua dianggap kurang pantas. Kalau hal itu dilakukan di depan umum dapat menjatuhkan martabat orang tua di mata anaknya sendiri.

Adapun upaya pengendalian terhadap perilaku yang menyimpang dari budaya malu dalam masyarakat dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu cara preventif dan refresif. Usaha yang disebutkan pertama dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan informal serta sikap menghindar, sedangkan usaha kedua dapat dilakukan melalui penjatuhan sanksi adat, penyebaran rasa malu terhadap para anggota yang melanggar atau menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku.

Penutup

Gong pelaksanaan syariat Islam telah ditabuh seiring dengan terbit fajar di awal tahun baru 2002. Secara politis, pemerintah pusat menyerahkan pelaksanaannya kepada masyarakat Aceh dan masyarakat meng-aktualisasikannya di dalam berbagai aspek kehidupannya. Namun pelaksanaan syariat Islam di Aceh ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada dua tantangan yang akan dihadapi. Pertama dari dalam masyarakat Aceh (termasuk remaja putri) itu sendiri. Pelaksanaan syariat Islam akan berjalan sukses apabila didukung oleh seluruh lapisan masyarakat Gong pelaksanaan syariat Islam telah ditabuh seiring dengan terbit fajar di awal tahun baru 2002. Secara politis, pemerintah pusat menyerahkan pelaksanaannya kepada masyarakat Aceh dan masyarakat meng-aktualisasikannya di dalam berbagai aspek kehidupannya. Namun pelaksanaan syariat Islam di Aceh ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Ada dua tantangan yang akan dihadapi. Pertama dari dalam masyarakat Aceh (termasuk remaja putri) itu sendiri. Pelaksanaan syariat Islam akan berjalan sukses apabila didukung oleh seluruh lapisan masyarakat

Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mereaktualisasi sistem budaya masyarakat (baca: budaya malu) sebagai bagian membentengi budaya (termasuk juga remaja putri) dari pengaruh luar. Hal itu dapat dilakukan melalui proses sosialisasi, yaitu memperkenalkan, mendidik budaya malu sejak anak masih kecil, baik dalam pendidikan di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Rumah tangga dan keluarga merupakan pilar pertama dan memegang peran penting agar anak dapat mereduksi sesuatu yang berasal dari dunia luar. Adapun lembaga formal dan masyarakat berperan dalam pendidikan sopan-santun dan akhlak. Dengan demikian diharap-kan untuk masa mendatang remaja putri di Aceh adalah generasi yang mempunyai pendidikan tinggi, tetapi mempunyai moral (budaya malu) yang tinggi pula. Tidak sekedar IQ (Intelegency Quotient ) tinggi dan EQ (Emotional Quotient), tetapi diikuti ESQ (Emotional Spritual Quotient) yang tinggi. Wujud Aceh baru yang diharapkan dapat segera terbentuk.

Cut Nyak Meutia

Agus Budi Wibowo

Di Desa Pirak Kecamatan Matangkuli, sekitar 25 km timur kota Lhokseumawe, kita akan mendapati rumah seorang pejuang wanita yang cukup terkenal di Aceh. Makam itu adalah makam dari Cut Nyak Meutia. Seperti juga pahlawan wanita-wanita Aceh yang lain, seperti Cut Nyak Dhien, Pocut Baren, dan sebagainya, Cut Nyak Meutia adalah seorang pejuang wanita yang amat disegani oleh pihak Belanda karena keberaniannya.

Cut Meutia dilahirkan pada tahun 1870, anak dari hasil perkawinan antara Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikarunia 5 orang anak. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Ayahnya adalah seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe.

Saat daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud (ayah Cut Meutia) Saat daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud (ayah Cut Meutia)

Sampai dengan masa dewasanya, ia ditunangkan dan dikawinkan oleh orangtuanya dengan Teuku Syamsarif yang mempunyai gelar Teuku Chik Bintara, namun ia mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan Kompeni. Ia merupakan anak angkat dari Teuku Chik Muda Ali dan Cut Nyak Asiah

Uleebalang keureutoe. Daerahnya mencakup dari Krueng Pase sampai ke Panton Labu (Krueng Jambo Aye) yang pusat Pemerintahannya di daerah Kutajrat Manyang yang sekarang terletak 20 km dari kota administratif Lhokseumawe.

Sikap yang sangat lemah terhadap Belanda menjadi dasar perceraian antara Cut Nyak Meutia dengan Teuku Syamsarif. Setelah bercerai Cut Nyak Meutia menikah lagi dengan Teuku Cut Muhammad. Berbeda dengan Teuku Syamsarif, Teuku Cut Muhammad adalah orang yang melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Oleh karena itu, setelah bersuamikan Teuku Cut Muhammad, Cut Nyak Meutia berperang bersama suaminya di berbagai medan perang di kawasan Aceh Utara. Pada mulanya perang frontal kemudian perang gerilya di hutan-hutan Pasai dengan menuruni lembah dan mendaki gunung. Perang berjalan terus semakin dahsyat. Sampai pada akhirnya, sang suami Teuku Cut Muhammad, tertawan dalam suatu pertempuran dan kemudian dihukum mati dengan cara ditembak. Untuk keduakalinya Cut Nyak Meutia menjadi janda sepeninggal Teuku Cut Muhammad.

Kemudian, Cut Nyak Meutia bersuamikan Pang Nanggroe, seorang pahlawan yang selama ini menjadi wakil suaminya. Bersama suaminya yang baru ini, Cut Nyak Meutia melanjutkan perlawanan menghadapi Belanda. Belanda kewalahan menghadapi duet Cut Nyak

Meutia dan Pang Nanggroe karena kecakapan dan keahlian mereka di dalam setiap pertempuran. Zentgraf menulis sebagai berikut,

“ ... siasat peperangan Pang Naggroe dan Cut Meutia merupakan seni yang luar biasa tingginya, hanya dapat tumbuh pada seseorang yang dilahirkan untuk menjadi pemimpin perang seperti itu. Dengan bantuan istrinya yang fanatik dan pendendam serta didampingi putra Rajawali, Pang Nanggroe merupakan lawan Belanda yang perkasa. Kemahirannya luar biasa...”.

Malang tidak dapat ditolak, untuk kesekian kalinya, Cut Nyak Meutia menjadi janda kembali setelah Pang Nanggroe syahid pada tanggal 26 September 1910 dalam sebuah pertempuran. Walaupun suaminya telah syahid, Cut Nyak Meutia tetap melanjutkan perlawanan terhadap Belanda.

Belanda kemudian melakukan sebuah persiapan yang cukup matang untuk mengakhir perlawanan Cut Nyak Meutia. Pada tanggal 22 Oktober 1910, sepasukan besar Marsose yang dipimpin oleh W.J. Mosselman menyerbu benteng pertahanan Cut Nyak Meutia setelah mendapat informasi dari seorang mata-matanya. Setelah berkecamuk pertempuran yang dahsyat, barulah pasukan Marsose tersebut berhadapan langsung dengan Cut Nyak Meutia. Ia tetap tidak mau menyerah. Pada akhirnya, Cut Nyak Meutia pun syahid setelah sebuah peluru menerjang tubuhnya. Peristiwa itu terjadi pada Belanda kemudian melakukan sebuah persiapan yang cukup matang untuk mengakhir perlawanan Cut Nyak Meutia. Pada tanggal 22 Oktober 1910, sepasukan besar Marsose yang dipimpin oleh W.J. Mosselman menyerbu benteng pertahanan Cut Nyak Meutia setelah mendapat informasi dari seorang mata-matanya. Setelah berkecamuk pertempuran yang dahsyat, barulah pasukan Marsose tersebut berhadapan langsung dengan Cut Nyak Meutia. Ia tetap tidak mau menyerah. Pada akhirnya, Cut Nyak Meutia pun syahid setelah sebuah peluru menerjang tubuhnya. Peristiwa itu terjadi pada

Atas kegigihan dan pengorbanan yang dilakukan oleh Cut Nyak Meutia selama melakukan perlawanan terhadap Belanda, pemerintah Republik Indonesia menganugrahinya gelar Pahlawan Nasional.

Cut Nyak Dhien 11

Rusdi Sufi

Kalau kita menelusuri sejarah perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme dan imprialisme, kita akan segera menjumpai sejumlah wanita yang ikut aktif di dalamnya. Salah satu perlawanan yang melibatkan banyak kaum wanita adalah perlawanan terhadap kolonialis Belanda di Aceh (1873-1942). Dalam perang yang berlangsung lebih dari enam puluh tahun itu pengaruh dan peranan wanita telah mengagumkan dan mengherankan pihak Belanda sendiri. Tidaklah berlebihan apabila H.C. Zentrgaff, seorang penulis dan wartawan Belanda yang terkenal dan banyak menulis tentang sejarah perang melawan Belanda di Aceh, mengatakan bahwa para wanitalah yang merupakan “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang yang terkenal itu. Lebih lanjut, dalam karyanya yang berjudul Atjeh itu, Zentgraff

11 Tulisan ini dipernah dimuat dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah. Ismail Sofyan dkk (editor).

juga menyebutkan bahwa sejarah Aceh mengenal “Grandes Dames” (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam politik maupun dalam peperangan, baik dalam posisinya sebagai sultan maupun sebagai istri orang-orang yang terkemuka dan berpengaruh. Di Aceh terdapat pemimpin-pemimpin wanita yang menyamai Semiramis (permaisuri Raja

Babilon) dan ada pula yang menyamai Katherina II, kaisar wanita Rusia. Wanita Aceh tidak pernah ragu mempertaruhkan jiwa raganya dalam mempertahankan apa yang dipandangnya sebagai soal kebangsaan dan keagamaan. Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi segala wanita yang lain, lebih-lebih dalam

mempertahankan cita-cita kebangsaan dan keagamaannya, dan ia berada di baik di belakang layar mempertahankan cita-cita kebangsaan dan keagamaannya, dan ia berada di baik di belakang layar

Salah seorang dari sekian jumlah wanita yang aktif dan berperan dalam perangan dengan Belanda tersebut adalah Cut Nyak Dhien. Seperti diketahui, Cut Nyak Dhien, peranannya dalam perjuangan rakyat Aceh khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya telah banyak diselediki dan dicatat oleh para penulis sejarah, baik bangsa asing maupun oleh bangsa Indonesia sendiri. Bahkan ada sudah ada yang membuat film tentangnya. Dari karya-karya tersebut kita dapat mengetahui kehidupan Cut Nyak Dhien, kewibawaan dan kepandaian, serta keberaniannya dalam perjuangan melawan Belanda. Karya-karya itu menunjukkan pula kepada kita bahwa wanita itu dapat melaksanakan peranan-peranan yang biasanya hanya diperuntukkan atau dicadangkan untuk kaum pria (Supadio dan Ihromi, 1983: XX).

Zentgraaff menyebut Cut Nyak Dhien sebagai seorang wanita besar, wanita yang terkenal dalam peperangan tahun 1896 dan tahun-tahun berikutnya. Setelah Teuku Umar (suaminya yang kedua) meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan dengan hidup di Zentgraaff menyebut Cut Nyak Dhien sebagai seorang wanita besar, wanita yang terkenal dalam peperangan tahun 1896 dan tahun-tahun berikutnya. Setelah Teuku Umar (suaminya yang kedua) meninggal, ia memilih melanjutkan perjuangan dengan hidup di

Dalam karyanya yang berjudul Tjoet Nya’ Dhien, M.H. Szekely Lulofs, seorang pengarang Belanda, mengatakan bahwa jiwa kepahlawanan yang menggerakkan semangat juang dalam dada Teuku Umar, adalah dorongan halus dari istrinya, Cut Nyak Dhien di atas. Sifat kepahlawanan itu diwarisi wanita tersebut dari ayahnya yang merupakan salah seorang pejuang dalam menentang kolonialis Belanda. Sifat yang demikian tampak begitu menonjol pada diri Cut Nyak Dhien pada saat ia mengambil alih pimpinan perang segera setelah Teuku Umar gugur. Cut Nyak Dhien lahir pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, uleebalang

VI mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV Mukim . Tempat tinggalnya di Kampung Lampadang

Peukan Bada, Aceh Besar. Ayah Cut Nyak Dhien berasal dari keturunan seorang perantau asal Sumatra Barat (Minangkabau), bernama Machoedem Sati. Ia diperkirakan datang ke Aceh pada abad XVIII ketika Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (1711-1733).

Ibu Cut Nyak Dhien keturunan bangsawan, putri seorang uleebalang terkuemuka dari Kemukiman Lampagar, juga bagian wilayah VI Mukim (Szekely Lulofs, 1950: 16). Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan dan putri-putri Aceh lainnya, sudah sejak kecil Cut Nyak Dhien memperoleh pendidikan agama. Pendidikan itu diberikan baik oleh orang tuanya maupun oleh guru-guru agama pada waktu itu. Pengetahuan tentang rumah tangga seperti memasak, cara menghadapi atau melayani suami, serta hal-hal yang menyangkut tata kehidupan sehari-hari, didapatkan dari didikan ibunya dan kerabat orang tua perempuan tersebut. Sebagai putri uleebalang, dengan sendirinya Cut Nyak Dhien terbawah dan terpengaruh oleh pola dan cara hidup bangsawan. Karena pengaruh didikan agama yang kuat, ditambah dengan suasana lingkungannya, Cut Nyak Dhien memiliki sifat-sifat yang tabah, lembut, dan tawakal.

Setelah tumbuh menjadi gadis remaja, Cut Nyak Dhien dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak saudara laki-laki dari pihak ibunya yang bernama Teuku Ibrahim, putra Teuku Po Amat, uleebalang Lam Nga XIII

Mukim Tungkop, Sagi XXVI Mukim, Aceh Besar. Dalam rangka memeriahkan perkawinan putrinya, ayah Cut Nyak Dhien mengundang Do Karim (Abdul Karim) seorang penyair terkenal pada waktu itu untuk membawakan syair-syair yang bernafaskan agama dan yang mengagung-agungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarnya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hurgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, kedua pasangan tersebut segera pindah dari rumah orang tuanya ke rumah lain yang telah disediakan untuk mereka. Menurut Adat atau kebiasaan dalam masyarakat Aceh, hal yang demikian disebut peumeukleh.

Selanjutnya kehidupan rumah tangga Cut Nyak Dhien berjalan baik dan harmonis, masa bahagia mereka lalui dan nikmati hingga kelahiran anak pertama mereka, seorang anak laki-laki. Pada saat Belanda menyerang Kerajaan Aceh tahun 1873, suami Cut Nyak Dhien, yang juga dipanggil dengan sebutan Teuku Nyak Him dan bergelar Teuku Di Bitai, telah ikut berperang menghadapi pihak Belanda bersama-sama dengan pejuang Aceh yang lain. Meskipun baru saja berumah tangga, Cut Nyak Dhien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan di atas. Lebih jauh lagi, ia bahkan memberikan dorongan dan semangat juang terhadap suaminya itu. Keterlibatan lebih jauh dari Cut Nyak Dhien pada masa perang dengan Belanda tersebut dapat dilihat dari peristiwa terbakarnya Mesjid

Baiturrahman yang sekaligus merupakan benteng pertahanan

pasukan Aceh. Szekely Lulofs melukiskannya sebagai berikut,

“Cut Nyak Dhien meninggalkan rumah, lalu turun tanah. Dengan rambut tergerai-gerai, kedua tinjunya mengepal dan mengacung-acung, sampailah ia ke pintu halamannya. Kepada sekalian orang kampung yang datang berkerumun melihatkan apa yang menggolak- golak itu dari jauh, berseru-serulah ia dengan gemas dan mata terbelalak, katanya: Hai sekalian mukim yang bernama orang Aceh ! Lihatlah ! Saksikan sendiri dengan sendiri dengan matamu mesjid kita dibakarnya ! Mereka menentang Allah Subhanahuwata’ala, tempatmu beribadah dibinasakannya ! Nama Allah dicemarkannya ! Camkanlah itu ! Janganlah kita melupakan- melupakan budi si kafir yang serupa itu ! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa di kafir itu ? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda ?” (Szekely Lulofs, 1951: 59).

Selama berkecamuknya perang, suami Cut Nyak Dhien turun aktif di garis depan bersama-sama pejuang Aceh lainnya. Oleh karena itu, Teuku Ibrahim ini jarang pulang ke rumah berkumpul bersama dengan Cut Nyak Dhien dan anaknya. Dan, bila suaminya pulang ke Lampadang, wanita tersebut selalu mengadakan hal-hal Selama berkecamuknya perang, suami Cut Nyak Dhien turun aktif di garis depan bersama-sama pejuang Aceh lainnya. Oleh karena itu, Teuku Ibrahim ini jarang pulang ke rumah berkumpul bersama dengan Cut Nyak Dhien dan anaknya. Dan, bila suaminya pulang ke Lampadang, wanita tersebut selalu mengadakan hal-hal

“Hai buyung, hai anakku sayang, laki-laki engkau, ayahmu, datukmu laki-laki pula, perlihatkanlah kejantananmu, orang kafir handak mengganti agama kita dengan agamanya, agama kafir … pertahankanlah hak kita orang Aceh, pertahakanlah agama kita agama Islam. Wahi anakku, turutlah jejak ayahmu, Teuku Ibrahim Lamnga, sekarang ia tidak di rumah, tetapi janganlah engkau menyangka bahwa ayahmu sedang mengumpulkan kawan untuk menyambut kedatangan kafir, tetapi akan mengusirnya ke luar tanah Aceh”. (H.M. Zainuddin, 1966: 62-63).

Dari tahun ke tahun perang antara pihak Aceh dengan Belanda yang telah terjadi sejak 1873 itu semakin menjadi marak. Dan, karena Belanda lebih unggul dalam hal persenjataan serta adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang Aceh sendiri, pasukan Aceh menjadi semakin terdesak, khususnya yang terdapat di wilayah Aceh Besar, berjatuhan ke tangan Belanda. Kuta (benteng) Lampadang dan Peukan Bada yang berada di daerah Cut Nyak Dhien juga menjadi sasaran serangan Belanda dan berhasil dikuasainya.

Cut Nyak Dhien dan keluarganya terpaksa mengungsi ke tempat lain, ke daerah Leupueng, yang merupakan bagian wilayah Sagi XXV Mukim. Pada tanggal 29 Juni 1878, dalam suatu pertemputan di Lembah Beuradeun Gle Taron, Kemukiman Montasik, Sagi

XI Mukim, Teuku Ibrahim, suami Cut Nyak Dhien dan beberapa pengikutnya gugur. Menurut Szekely Lulofs, penyebab peristiwa tersebut adalah pengkhianatan yang dilakukan oleh seseorang yang bernama Habib Abdurrahman (Szekeley Lulofs, 1951: 112-113; Hazil, 1952: 41-42). Karena kematian suaminya itu, Cut Nyak Dhien menjadi janda muda. Dan, sejak itu rasa benci dan dendamnya kepada Belanda menjadi semakin dalam merasuk kalbunya. Menurut pendapat orang-orang yang dekat dengannya, antara sadar dan tidak sadar ia pernah berucap atau berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap kematian atas suaminya (Hazil, 1952: 43).

Kemunculan seorang figur seperti Teuku Umar menjadi amat bermakna dalam kaitan dengan janji tersebut. Teuku Umar dam Cut Nyak Dhien tidak pernah saling bertemu sebelumnya meskipun sudah saling kenal nama masing-masing. Terutama karena keperkasaannya dan melakukan perlawanan terhadap Belanda dan karena, konon, keberhasilannya menewaskan serdadu Belanda yang telah menewaskan serdadu Belanda yang telah menewaskan Teuku Ibrahim Lamnga, Teuku Umar cepat menarik hati Cut Nyak Dhien. Kisah pertemuan Kemunculan seorang figur seperti Teuku Umar menjadi amat bermakna dalam kaitan dengan janji tersebut. Teuku Umar dam Cut Nyak Dhien tidak pernah saling bertemu sebelumnya meskipun sudah saling kenal nama masing-masing. Terutama karena keperkasaannya dan melakukan perlawanan terhadap Belanda dan karena, konon, keberhasilannya menewaskan serdadu Belanda yang telah menewaskan serdadu Belanda yang telah menewaskan Teuku Ibrahim Lamnga, Teuku Umar cepat menarik hati Cut Nyak Dhien. Kisah pertemuan

“Cut Nyak Dhien memandang kepada orang yang berbadan tinggi kurus yang berdiri di depannya itu, seolah-olah mengharap daripadanya pertolongan guna menjalankan maksudnya dengan sempurna; hati Umar terasuk melihat muka wanita yang lusuh oleh geram dan berang itu. Saudara sepupunya ini berdarah bangsawan yang panas, sikapnya seolah-olah harimau betina yang hendak menyerang si pengacau keluarganya, tapi pandangan mata itu mengisyaratkan pula, bahwa ia seorang perempuan. Kata kesetiannya membisikkkan pada untuk membantu wanita yang menjanda ini”.

Pada tahun 1878 itu juga beberapa bulan setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar di Montasik. Pernikahan mereka ramai dibicarakan orang karena keduanya terkenal dalam masyarakat Aceh Besar dan pasangan baru ini dianggap cocok untuk memimpin perang, kelanjutan perlawanan terhadap Belanda (Hazil, 1952: 51-52). Szekely Lulofs (1951: 118-119) memberikan pendapat tentang dasar perkawinan itu sebagai beriku,

“… jika hati Din sesudah itu dapat pula melekat kepada Teuku Umar, maka yang menjadi dasar dan sebabnya hanyalah satu: Tertariknya hati oleh seorang laki-laki, yang di dalam Sabilillah, “… jika hati Din sesudah itu dapat pula melekat kepada Teuku Umar, maka yang menjadi dasar dan sebabnya hanyalah satu: Tertariknya hati oleh seorang laki-laki, yang di dalam Sabilillah,

Pada waktu Cut Nyak Dhien kawin dengan Teuku Umar, umurnya sekitar 30 tahun, sedikit lebih tua daripada suami keduanya itu. Namun, parasnya masih menunjukkan kejelitaan yang menarik hati laki-laki. Bagi Teuku Umar perkawinan itu sendiri mempunyai arti yang khusus. Selain pengaruhnya di wilayah Aceh Besar, khususnya di wilayah Sagi XXV Mukim, menjadi meningkat, derajatnya pun turut naik. Bagaimana pun, Cut Nyak Dhien adalah wanita berpengaruh di wilayahnya.

Karena itu, dengan menerimanya sebagai istrinya, Teuku Umar mendapatkan pula pengaruh dari sang istri di wilayahnya, Cut Nyak Dhien bukanlah istri pertama dan satu-satunya dari Teuku Umar. Sebelum dan di samping Cut Nyak Dhien terdapat dua istri lain dari lelaki tersebut, yaitu Cut Nyak Sapiah, putri uleebalang

Glumpang, dan Cut Nyak Meuligoe, putri panglima Sagi

XXV Mukim. Meskipun demikian, dibandingkan dengan kedua istri terdahulu tersebut, kedudukan Cut Nyak Dhien dimata suaminya yang baru tersebut lebih menonjol. Wanita itulah yang paling dapat mempengaruhi, mengekang, dan membatasi tindakan- tindakan buruk yang biasa dilakukan oleh Teuku Umar, misalnya kebiasaan menghisap candu. Dari perkawinan dan hubungan yang demikianlah keduanya kemudian mendapatkan seorang anak perempuan yang diberi nama Cut Gambang, anak perempuan yang kemudian dinikahkan dengan Teungku Mayet alias Teungku Di Buket, anak laki-laki Teungku Chik Di Tiro M. Saman (ulama dan pejuang Aceh yang terkenal, yang juga merupakan salah seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia).

Bersama dengan Cut Nyak Dhien, Teuku Umar mulai lebih memarakkan lagi gelanggang peperangan melawan Belanda di kawasan Aceh Besar, khususnya di wilayah Sagi XXV Mukim. Berkat keberanian dan kecekatannya, sebagian besar wilayah yang dahulunya berada di bawah Teuku Nanta Setia (ayah Cut Nyak Dhien) dan sudah dikuasai oleh Belanda berhasil direbut kembali. Tentu saja rakyat menyambut kemenangan itu dan Cut Nyak Dhien yang semula sudah mengungsi ke Montasik dapat kembali ke kediaman orang tuanya di Lampadang. Sayangnya, peristiwa itu tidak berlangsung lama. Belanda berhasil menguasai kembali wilayah VI Mukim . Oleh karena itu, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien Bersama dengan Cut Nyak Dhien, Teuku Umar mulai lebih memarakkan lagi gelanggang peperangan melawan Belanda di kawasan Aceh Besar, khususnya di wilayah Sagi XXV Mukim. Berkat keberanian dan kecekatannya, sebagian besar wilayah yang dahulunya berada di bawah Teuku Nanta Setia (ayah Cut Nyak Dhien) dan sudah dikuasai oleh Belanda berhasil direbut kembali. Tentu saja rakyat menyambut kemenangan itu dan Cut Nyak Dhien yang semula sudah mengungsi ke Montasik dapat kembali ke kediaman orang tuanya di Lampadang. Sayangnya, peristiwa itu tidak berlangsung lama. Belanda berhasil menguasai kembali wilayah VI Mukim . Oleh karena itu, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien

Perlawanan Teuku Umar terhadap Belanda tidaklah berlangsung terus-menerus hingga akhir hayatnya. Pada tanggal 30 September 1893, bersama 15 pengikutnya, ia menyerahkan diri pada Belanda dan mengangkat sumpah setia kepada pemerintah kolonial yang diwakili oleh Jenderal Deijckerhoff selaku Gubernur Militer Belanda di Aceh (A.J. Kruijt, 1896: 69). Sumpah setia Teuku Umar itu dilaksanakan dihadapan Teungku Kadli pada makam almarhum Teungku Anjong di Kampung Pelanggahan, dekat Kutaraja (Banda Aceh- sekarang). Tempat ini sengaja dipilih oleh pemerintah Belanda karena termasuk salah satu makam keramat dan suci. Dengan memilih tempat itu Belanda berharap Teuku Umar dapat mentaati dengan teguh sumpah yang diucapkannya.

Teuku Umar tampaknya mentaati sumpahnya seperti yang terbukti dari berbagai bantuannya terhadap Belanda dalam melawan pasukan Aceh. Itulah sebabnya, ia diberi gelar oleh pemerintah Belanda “Panglima Perang Besar” dan diberi pula nama kebesaran, “Teuku Johan Pahlawan”. Selain itu, Teuku Umar juga diberi berbagai bantuan materi dan fasilitas lainnya. Kepadanya diberikan peralatan militer yang meliputi 380 senapan kokang modern, 800 senapan jenis kuno, 25.000 Teuku Umar tampaknya mentaati sumpahnya seperti yang terbukti dari berbagai bantuannya terhadap Belanda dalam melawan pasukan Aceh. Itulah sebabnya, ia diberi gelar oleh pemerintah Belanda “Panglima Perang Besar” dan diberi pula nama kebesaran, “Teuku Johan Pahlawan”. Selain itu, Teuku Umar juga diberi berbagai bantuan materi dan fasilitas lainnya. Kepadanya diberikan peralatan militer yang meliputi 380 senapan kokang modern, 800 senapan jenis kuno, 25.000

“… rumah itu berpotongan Aceh, didirikan dalam lingkungan pagar besi, yang dibangun di atas suatu fundamen beton yang kukuh dan dibuat dari kayu yang mahal serta dihiasi dengan ukiran- ukiran yang bagus, baik pada bahagian luar maupun bahagian dalamnya. Di dalam rumah Aceh yang besar itu, terdapat pelbagai rupa perkakas rumah dan hiasan-hiasan orang Barat yang mahal harganya”.

Sebenarmya Teuku Umar adalah seorang manusia yang sukar direka dalam pikirannya, baik oleh kawan maupun lawannya. Banyak tindakan dan perbuatannya yang kadang-kadang kontriversial. Dalam beberapa hal pikiran dan perilakunya tidak sejalan benar dengan istrinya, Cut Nyak Dhien, yang juga merupakan penasihat dan pendorong semangat lelaki tersebut. Beberapa penulis Belanda mengatakan bahwa peristiwa menyerahnya Teuku Umar pada Belanda sesungguhnya merupakan “sandiwara besar” yang dibuatnya bersama Cut Nyak Dhien (Damste, 1916: 454-455). Maka, setelah Sebenarmya Teuku Umar adalah seorang manusia yang sukar direka dalam pikirannya, baik oleh kawan maupun lawannya. Banyak tindakan dan perbuatannya yang kadang-kadang kontriversial. Dalam beberapa hal pikiran dan perilakunya tidak sejalan benar dengan istrinya, Cut Nyak Dhien, yang juga merupakan penasihat dan pendorong semangat lelaki tersebut. Beberapa penulis Belanda mengatakan bahwa peristiwa menyerahnya Teuku Umar pada Belanda sesungguhnya merupakan “sandiwara besar” yang dibuatnya bersama Cut Nyak Dhien (Damste, 1916: 454-455). Maka, setelah

“… menyatakan perang terhadap Teuku Umar, bukan kepada Aceh; serta mencabut kepangkatan yang telah diberikan kepada Teuku Umar sebagai Panglima Perang Besar; serta pencabutan gelar kebesaran “Johan Pahlawan”. Memberhentikan Teuku Umar sebagai uleebalang Leupueng dan menuntut pengembalian senjata-senjata Belanda dan peluru-peluru yang telah diberikannya”.

Selain itu akibat peristiwa tersebut di atas, pada tanggal 28 Mei 1896 rumah tempat kediaman istri Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, yang telah dibangun Belanda di Lampisang, dibakar dan diledakkan oleh Belanda. Gubernur Deijckerhoff, dipecat dari jabatannya dan kemudian diganti dengan Jenderal Van Heutsz.

Akibat lebih lanjut dari kemarahan Belanda tersebut adalah tertutupnya peluang bagi Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien untuk tetap tinggal di wilayahnya. Setelah memberitahu para pimpinan pejuang Aceh di kawasan Aceh Besar dan Pidie, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien, serta para pengikutnya bergerak mengungsi menuju daerah Pantai Barat (daerah Aceh

Barat) untuk meneruskan perlawanan terhadap Belanda dan menghindarkan diri mereka dari kejaran pemerintah kolonial. Selama Teuku Umar dan pengikut-pengikutnya bergerilya dari satu tempat ke tempat lainnya di belantara Aceh Barat, terus bergerak melalui daerah Daya ke selatan hingga ke daerah-daerah Sungai Woyla dan Sungai Meulaboh, Cut Nyak Dhien dengan setia menyertai dan mendampinginya. “berbulan-bulan lamanya Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien serta rombongannya dapat menghindar, sambil melindungi diri mereka dari ancaman barisan Marsose yang menurutkannya di belakang tumit. Sepanjang jalan lari itu, Cut Nyak Dhien tidak mencerai-ceraikannya barang setapak. Suaminya diturutkannya, berhujan, bersama, dimuka sasaran peluru Marsose, sementara kedua istri Teuku Umar yang lain, yaitu Cut Nyak Sapiah dan Cut Nyak Meuligoe tinggal di rumah keluarganya masing- masing”. (Szekely Lulofs, 1951: 196).

Bersama-sama dengan rekan-rekan seperjuangan- nya yang setia, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien meneruskan perjalanannya dari rimba ke rimba dan dari jurang ke jurang. Kadangkala, mereka terpaksa meninggalkan Cut Nyak Dhien pada suatu tempat yang aman di dalam hutan untuk mencoba menyerang Belanda. Demikianlah yang terjadi pada tanggal 10 menjelang 11 Februari 1899, Teuku Umar dan pasukannya mencoba turun ke Meulaboh untuk menyerang sebuah pusat pertahanan Belanda yang ada di sana. Namun keesokan harinya, pada tanggal 11

Februari, dalam sebuah pertempuran di Suak Ujung Kalak Meulaboh, Teuku Umar tewas tertembak oleh milter Belanda. Namun, sesuai dengan pesan lelaki itu sendiri menjelang ajalnya, mayat Teuku Umar berhasil diselamatkan dari Belanda. Mayat pahlawan itu kemudian dikuburkan di suatu tempat yang tidak diketahui oleh pemerintah kolonial, yaitu di Mon Tulang Pucok Meuhon Kendik Meulaboh.

Berita gugurnya Teuku Umar diterima oleh Cut Nyak Dhien dengan hati yang tabah dan tawakal. Dengan meninggal suaminya itu, perempuan itu kembali menjadi janda. Selanjutnya, demi kelangsungan perjuangan melawan Belanda, pimpinan perlawanan diambil alih oleh Cut Nyak Dhien sendiri. Bersama-sama dengan bagian pasukan Teuku Umar, termasuk Pang Laot Ali, yang kini menjadi tangan kanannya, Cut Nyak Dhien melanjutkan perlawanan di rimba-rimba daerah pedalaman pantai Barat (Damste, 1916: 468; Van’t Veer, 1985: 201). Demikian kata Cut Nyak Dhien mengenai perlawanannya tersebut,

“… selama aku masih hidup, masih berdaya, Perang Suci melawan kafir ini hendak kuteruskan, Demi Allah ! Polem hidup, bait hidup, Imam Lueng Bata hidup, menantuku Teungku Mayet di Tiro hidup, Sultan Daud hidup dan kita hidup ! Belum ada yang kalah, Umar syahid, marilah kita meneruskan pekerjaannya, guna agama, guna “… selama aku masih hidup, masih berdaya, Perang Suci melawan kafir ini hendak kuteruskan, Demi Allah ! Polem hidup, bait hidup, Imam Lueng Bata hidup, menantuku Teungku Mayet di Tiro hidup, Sultan Daud hidup dan kita hidup ! Belum ada yang kalah, Umar syahid, marilah kita meneruskan pekerjaannya, guna agama, guna

Telah enam tahun sejak meninggalnya Teuku Umar, Cut Nyak Dhien dan pengikut-pengikutnya yang setia berada di dalam hutan. Dari tempat persembunyiannya, jauh di dalam rimba yang terletak di daerah Sungai Woyla dan Sungai Meulaboh dipimpinnya perjuangan Perang Sabil dengan semangat yang meluap-luap. Selama enam tahun itu ia terus berusaha untuk melakukan dan mengkoordinir suatu serangan yang besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Untuk itu, ia telah mengirim berbagai utusannya ke beberapa tempat dalam rangka mengumpulkan tenaga dan menambah pengikutnya. Selama masa itu bermacam-macam penderitaan dialaminya. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikeluarkannya untuk mengisi kas

peperangan dan menyusun barisan-barisan penggempuran. Namun, meskipun masih terjadi pertempuran-pertempuran kecil antara kelompoknya dengan Belanda, semangat fisabilillah dan ketahanan fisik pengikut Cut Nyak Dhien telah mulai berkurang. Sementara itu, di kalangan lawannya sendiri nama wanita tersebut sudah jarang disebut-sebut. Harta benda Cut Nyak Dhien telah habis, masyarakat pun ada yang sudah melupakannya.

Kehidupan Cut Nyak Dhien sungguh-sungguh menjadi amat sengsara akibat selalu hidup di dalam

hutan dan dengan makanan yang tidak teratur. Selain daripada tekad pantang menyerah, ia sebenarnya sudah tidak memiliki apa-apa lagi. Kebebasan bergerak sudah tidak ada padanya karena oleh pemerintah Belanda ia dinyatakan sebagai buruan. Makanan kadang-kadang tidak ada sama sekali. Pakaian habis. Kecantikan dan keawetan tubuhnya sudah sangat kendur pula. Penyakit encok melemahkan tubuhnya. Penyakit turunan jatuh pula pada dirinya, yaitu penyakit mata yang membuatnya menjadi rabun, tidak dapat lagi melihat. Karena penderitaan Cut Nyak Dhien yang begitu mengenaskan itulah, Pang Laot Ali, selaku panglimanya, mulai berpikir untuk menyerah sebagai jalan membebaskan wanita pimpinannya tersebut dari kehidupan yang serba terpencil dan serba kekurangan di atas. Satu saat, ia menawarkan kemungkinan tersebut pada Cut Nyak Dhien. Akan tetapi, begitu mendengar tawaran tersebut, wanita itu langsung menjadi sangat marah, ia meludah dan berkata dengan keras: “Takluk kepada kaphe ? Cis najis, semoga Allah Subhana Wataala menjauhkan perbuatan yang sehina ini dariku “. (Szekely Lulofs, 1951: 206).

Namun, Pang Laot Ali tetap tidak sampai hati melihat penderitaan pemimpinnya. Akhirnya, ia terpaksa mengkhianatinya (van,t Veer, 1985: 201). Ia mengirim seorang kurir untuk melaporkan tempat persembunyian Cut Nyak Dhien kepada seorang Letnan Belanda yang berkedudukan di Meulaboh, yaitu Van Vuuren. Ia ingin pemimpinnya tertawan dan dapat

keluar dari hutan. Hanya saja, untuk itu ia mengajukan beberapa syarat. Pertama, sebelum penangkapan dilakukan, letnan itu harus bertemu dengan Pang Laot Ali. Kedua, penangkapan dilakukan tanpa kekerasan dan dengan tidak menyakiti Cut Nyak Dhien. Ketiga, keterlibatan Pang Laot Ali dalam penangkapan itu dirahasiakan. Semua syarat yang diajukan Pang Laot Ali diterima oleh Letnan Van Vuuren. Setelah Pang Laot bertemu dengannya dan menerangkan kepadanya mengenai kondisi Cut Nyak Dhien, pada tanggal 4 November 1905, letnan tersebut dengan serombongan tentaranya berangkat menuju tempat persembuyian wanita pejuang itu. Akan tetapi, menjelang rombongan itu sampai ke tempat sasarannya, terjadi satu peristiwa yang tak terduga. Salah seorang anggota patroli Belanda tanpa sengaja meletuskan senapannya. Akibatnya, para pengawal Cut Nyak Dhien terkejut. Cut Nyak Dhien digendong dan dilarikan. Baru beberapa saat kemudian, wanita itu berhasil diketemukan dan ditangkap. Cut Nyak Dhien yang sudah buta dan tidak berdaya mengangkat kedua belah tangannya, seolah-olah hendak membantah. Kesepuluh jari tanganya dikembangkan, sikapnya sangat menentang. Dari mulutnya keluar kata- kata: “Ya Allah ya Tuhan inikah nasib perjuanganku ? di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir”. (Szekely Lulofs, 1951: 208).

Pang Laot Ali bergerak mendekatinya dan berbisik agar Cut Nyak Dhien tidak takut sebab tidak ada orang yang akan menyakitinya. Belanda akan Pang Laot Ali bergerak mendekatinya dan berbisik agar Cut Nyak Dhien tidak takut sebab tidak ada orang yang akan menyakitinya. Belanda akan

Selanjutnya, Cut Nyak Dhien dipindahkan ke sebuah tandu lalu digotong ke sebuah pos penjagaan Belanda. Bersama dengan wanita itu ditangkap pula seorang kemenakannya yang bernama Teuku Nana. Mereka selanjutnya dibawa ke Meulaboh (Lihat Kolonial Verslag, 1905: 11). Seterusnya Cut Nyak Dhien dipindahkan ke Kutaraja. Meskipun telah ditawan, pengaruh Cut Nyak Dhien terhadap fanatisme orang Aceh dalam menentang pemerintah Belanda di Aceh, khususnya Aceh Besar, tidak lenyap (van’t Veer, 1985).

Demi keamanan kekuasaanya di wilayah itu, pada tanggal 11 Desember 1906, dikeluarkanlah keputusan pemerintah nomor 23 yang mengasingkan Cut Nyak Dhien dan kemenakannya ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat (Koloniaal Verslag, 1907: 12). Setelah sekitar dua tahun berada di tempat itu, pada tanggal 9 November 1908 Cut Nyak Dhien berpulang ke rahmatullah, dikuburkan di tempat itu yang merupakan bahagian juga dari tanah airnya. Pada tanggal 2 Mei 1964, melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106, Cut Nyak Dhien ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Daftar Pustaka

Damste, H.T. “Atjeh Historie”, Koloniaal Tijdschrift, 1916, hlm. 318-627.

Hazil, Teuku Umar dan Tjut Nja Din Sepasang Pahlawan Perang Atjeh . Djakarta: Djambatan, 1951.

Kenang-kenangan untuk Pahlawan Kemerdekaan Nasional Srikandi Tjut Nja Dhien. Djakarta: Panitia Peringatan Pahlawan Kemerdekaan Nasional Tjut Nja Dhien, 1964.

Kolonial Verslaag. Zitting 1905-1906 dan Zitting 1907-1908. Kruijt, J.A. De Atjeh Oorlog. S-Gravenhage: Lomann & Funke,

1896. Snouck Hurgronje, C. Aceh di Mata Kolonialis. Jakarta: Yayasan

Soko Guru, 1985. Terj. Ng. Singarimbun dkk. Subadio, Ulfah, Maria dan Ihromi, T.O. (editor). Peranan dan

Kedudukan Wanita di Indonesia . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.

Szekely Lulofs, M.H. Tjoet Nja Din. Jakarta: Chailan Sjamsoe, 1951. Terj. Abdul Muis.

Van’t Veer, Paul. Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronje . Jakarta: 1985. Terj. Grafiti Pers.

Zainuddin, H.M. Srikandi Aceh. Medan: Pustakan Iskandar Muda, 1966.

Zentgraaff, H. Atjeh. Batavia: Koninklijke Drukkerij De Unie, 1936.

LAKSAMANA KEUMALAHAYATI 12 Rusdi Sufi

Aceh terletak di ujung bagian utara Pulau Sumatera, bagian paling barat dan paling utara dari kepulauan Indonesia. Secara astronomis dapat ditentukan bahwa daerah ini terletak antara 95 0 13’ dan

0 0 98 0 17’ bujur timur dan 2 48’ dan 5 40’ lintang utara (JMBRAS, 1879: 129). Dengan melihat posisinya yang

demikian, Aceh dapat disebut sebagai pintu gerbang sebelah barat kepulauan Indonesia. Karena letaknya yang strategis ini, dalam perjalanan sejarahnya, Aceh banyak didatangi oleh berbagai bangsa asing dengan berbagai macam kepentingan seperti kepentingan perdgangan, diplomasi, dan sebaginya.

12 Tulisan ini dipernah dimuat dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah. Ismail Sofyan dkk (editor).

Kedatangan berbagai bangsa asing itu merupakan hal yang penting bagi perkembangan Aceh sendiri, baik secara politis, kultural, maupun ekonomis. Meskipun demikian, diantara para pendatang asing itu terdapat pula pendatang yang melakukan tindakan-tindakan yang didorong oleh kolonialisme dan imperialisme, baik di Aceh sendiri maupun di kawasan sekitarnya. Oleh karena itu, timbullah sikap antagonistis dan reaksi dari berbagai pihak yang dirugikan, misalnya pihak Aceh, dalam bentuk perlawanan-perlawanan terhadap bangsa asing yang melakukan tindakan di atas. Perlawanan- perlawanan itu terutama dilakukan hanya demi mempertahankan eksistensi pihak yang bersangkutan.

Bangsa asing pertama, tepatnya Barat, yang melakukan kontak dan kemudian berkonflik dengan Aceh adalah bangsa Portugis. Kedatangannya yang Bangsa asing pertama, tepatnya Barat, yang melakukan kontak dan kemudian berkonflik dengan Aceh adalah bangsa Portugis. Kedatangannya yang

Dalam konflik yang berlangsung relatif lama ini muncullah figur-figur atau tokoh-tokoh terkemuka dari kedua pihak yang bersangkutan. Dari karya-karya penulis asing aaatau penulis bangsa Indonesia sendiri tentang sejarah Aceh dapat ditemukan sejumlah nama yang pernah menjadi figur semacam itu. Diantaranya adalah Keumalahayati yang secara tradisional disebut oleh orang Aceh sebagai Malahayati atau Hayati saja (Van Zeggelen, 1935: 89). H.M. Zainuddin, 1961: 294).

Keumalahayati adalah wanita yang berpangkat laksamana (admiral) Kerajaan Aceh dan merupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) yang populer disebut sebagai Sultan Al Mukammil saja (J.Davis dalam Jacobs, 1894: 185).

Sebelum diangkat sebagai admiral, Keumalahayati pernah menjabat sebagai pimpinan pasukan ketentaraan wanita di Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935: 89). Karena keberhasilannya dalam memimpin pasukan wanita itu dan juga karena mendapat kepercayaan dari sultan yang pada waktu itu kurang mempercayai laki- laki sebagai pemegang jabatan, wanita itupun diangkat sebagai admiral (Davis dalam Jacobs, 1894).

II

Menurut sebuah manuskrip (M.S.) yang tersimpan di Universiti Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu. Ayahnya bernama Mahmud Syah, seorang laksamana. Kakeknya, dari garis ayahnya, adalah juga seorang laksamana yang bernama Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah tahun 936-945 H atau sekitar 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah sendiri putera Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530), pendiri Kerajaan Aceh Darussalam.

Dilihat dari asal keturunan Keumalahayati seperti yang terdapat dalam M.S. di atas ternyatalah bahwa ayah dari kakeknya pernah juga menjabat sebagai laksamana. Selain merupakan orang kepercayaan sultan, karena memang dianggap mampu, pengangkatan Keumalahayati sebagai laksamana mungkin pula Dilihat dari asal keturunan Keumalahayati seperti yang terdapat dalam M.S. di atas ternyatalah bahwa ayah dari kakeknya pernah juga menjabat sebagai laksamana. Selain merupakan orang kepercayaan sultan, karena memang dianggap mampu, pengangkatan Keumalahayati sebagai laksamana mungkin pula

Pada saat berkuasa sultan sudah berada dalam usia yang sangat tua, berumur sekitar 94 tahun (Wap, 1862: 12). Karenanya, pada waktu itu di istana muncul intrik-intrik dalam hubungan dengan suksesi dan berbagai usaha untuk menyingkirkan sultan itu dari singgasananya. Karena kecurigaan terhadap kaum laki- laiki (Davis dalam Jacobs, 1894), sultan akhirnya sampai pada keputusan untuk mengangkat seorang perempuan sebagai laksamananya.

Kemungkinan di atas semakin kuat karena bersamaan dengan pengangkatan Keumalahayati menjadi laksamana di atas, terjadi pula pengangkatan seorang wanita lainnya sebagai pimpinan “dewan rahasia” istana yang oleh Van Zeggelen disebut sebagai geheimraad . Wanita itu adalah Cut Limpah (Van Zeggelen, 1935).

Sebagaimana telah disinggung, sebelum diangkat sebagai laksamana, Keumalahayati telah pernah menduduki jabatan sebagai pimpinan suatu pasukan wanita. Menurut sumber yang berupa tradisi lisan, pasukan wanita yang dipimpin oleh wanita tersebut terdiri dari para janda yang suaminya telah gugur dalam peperangan-peperangan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dengan Portugis, termasuk suami Keumalahayati Sebagaimana telah disinggung, sebelum diangkat sebagai laksamana, Keumalahayati telah pernah menduduki jabatan sebagai pimpinan suatu pasukan wanita. Menurut sumber yang berupa tradisi lisan, pasukan wanita yang dipimpin oleh wanita tersebut terdiri dari para janda yang suaminya telah gugur dalam peperangan-peperangan yang terjadi antara Kerajaan Aceh dengan Portugis, termasuk suami Keumalahayati

Rupa-rupanya permohonan itu mendapat sambutan baik dari Sultan Al Mukammil. Selanjutnya, dibentuklah sebuah pasukan wanita yang dinamakan Armada Inong Bale . Untuk kepentingan pasukan ini dan juga sebagai tempat pangkalan mereka, didirikanlah sebuah benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Bale (Benteng Wanita Janda). Hingga sekarang bekas benteng itu masih dapat ditemukan di Teluk Krueng Raya, dekat pelabuhan Malahayati.

Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Keumalahayati harus mengkordinir sejumlah pasukan laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah syahbandar (Van Zeggelen, 1894: 88-89) dan juga kapal-kapal jenis galey milik Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935: 149). John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nakhoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada Masa Keumalahayati menjadi laksamana, menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal perang (galey), diantaranya ada yang berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pimpinannya Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Keumalahayati harus mengkordinir sejumlah pasukan laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah syahbandar (Van Zeggelen, 1894: 88-89) dan juga kapal-kapal jenis galey milik Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935: 149). John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nakhoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada Masa Keumalahayati menjadi laksamana, menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal perang (galey), diantaranya ada yang berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pimpinannya

Waktu itu awal abad XVII. Kerajaan Aceh dapat dikatakan memiliki angkatan perang yang kuat. Kekuatannya yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki armada lautnya, di samping pasukan gajah yang dimiliki oleh pasukan daratnya. Selain di Kerajaan Aceh sendiri yang beribukotakan Bandar Aceh Darussalam, kapal-kapal tersebut juga ditempatkan di pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah kuasa atau pengaruh kerajaan tersebut, misalnya Daya dan Pedir. Diantara kapal-kapal itu terdapat kapal yang besarnya bahkan melebihi kapal-kapal yang dibuat di Eropa pada kurun waktu yang sama (Braddel, 1851: 19).

Kekuatan Keumalahayati sebagai laksamana mulai memasuki ujian berat ketika untuk pertama kalinya terjadi kontak antara Kerajaan Aceh dengan pihak Belanda. Pada tanggal 21 Juni 1599 dua buah kapal Belanda yang bernama de Leeuw dan de Leeuewin berlabuh di pelabuhan ibukota Kerajaan Aceh. Kedua kapl tersebut masing-masing dipimpin oleh dua bersaudara, yaitu Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Mulanya, kedua kapal Belanda itu mendapatkan sambutan yang baik dari pihak Aceh karena darinya diharapkan aakan dapat dibangun pasaran yang baik bagi hasil-hasil bumi Kerajaan Aceh, khususnya lada. Namun, dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan yang dilakukan oleh seorang

Portugis yang kebetulan sedang berbaik dengan Aceh sehingga dijadikan sebagai penerjemah sultan, mereka menjadi tidak disenangi sultan. Pihak Aceh kemudian melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda yang sedang berada di kapal mereka. Yang menjadi pimpinan penyerangan tidak lain daripada Laksamana Keumalahayati. Dalam peperangan itu Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh. Sementara Frederick de Houtman ditawan dan dijebloskan ke dalam tahanan Kerajaan Aceh (Van Zeggelan, 1935: 157; Davis dalam Jacobs, 1894: 180. Tiele, 1881: 146-152).

Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan kerajaan Aceh selama dua tahun. Dalam masa itu ia telah berhasil menyusun sebuah karya ilmiah, berupa sebuah kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu- Belanda pertama dan tertua di Nusantara.

Tidak berapa lama sesudah peristiwa tersebut, pada tanggal 21 November 1600 datang lagi bangsa Belanda lain ke Kerajaan Aceh dengan dua buah kapal yang dipimpin oleh Paulus van Caerden (Wap, 1862: 13. Valentijn, 1862: 87). Rupa-rupanya, sebelum memasuki pelabuhan Aceh, mereka telah melakukan tindakan yang ceroboh, yaitu menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada dari kapal itu ke dalam kapal-kapal mereka dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Pantai Aceh.

Setelah peristiwa di atas datang lagi rombongan kapal Belanda di bawah pimpinan laksamana Jakob van Neck. Mereka tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Van Caerden. Sewaktu mendarat di ibukota Kerajaan Aceh pada tanggal 31 Juni 1601, mereka memperkenalkan diri kepada sultan Aceh bahwa mereka adalah pedagang bangsa Belanda dan datang ke Aceh untuk berdagang dan membeli sejumlah lada. Begitu mengetahui bahwa rombongan tersebut adalah rombongan orang Belanda, Keumalahayati langsung memerintahkan anak-anak buahnya menahan mereka dan memperlakukan mereka secara tidak baik. Oleh keumalahayati diberitahukan bahwa dua buah kapal Belanda yang datang sebelumnya telah menenggelamkan sebuah kapal milik Aceh dan membawa sejumlah lada tanpa bayaran. Karena itu, sebagai ganti rugi, sultan telah memerintahkan untuk menawan setiap kapal dan orang-orang Belanda yang datang ke Aceh (Jacobs, 1894: 189-198).

Menjelang tahun 1602 pedagang-pedagang bangsa Belanda lainnya, di bawah pimpinan Gerard de Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal tiba di pelabuhan Aceh. Yang kemudian ini sengaja datang ke Aceh, atas perintah Pangeran Maurits dari negeri Belanda, untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Aceh. Untuk itu keduanya disuruh menyampaikan beberapa hadiah dan sepucuk surat dari pangerannya untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Secara garis besar isi surat itu mengakui betapa baik sambutan pihak Aceh Menjelang tahun 1602 pedagang-pedagang bangsa Belanda lainnya, di bawah pimpinan Gerard de Roy dan Laurens Bicker dengan beberapa kapal tiba di pelabuhan Aceh. Yang kemudian ini sengaja datang ke Aceh, atas perintah Pangeran Maurits dari negeri Belanda, untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Aceh. Untuk itu keduanya disuruh menyampaikan beberapa hadiah dan sepucuk surat dari pangerannya untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh. Secara garis besar isi surat itu mengakui betapa baik sambutan pihak Aceh

Laurens Bicker, sebagai salah seorang pemimpin rombongan, mengemukakan pula rasa penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan oleh Van Caerden dan kawan-kawannya dahulu. Sekembalinya ke negeri Belanda, ia berjanji akan menuntut kompeni dagang Van Caerden atas tindakan-tindakannya itu. Bickers ternyata tidak hanya berbasa basi. Janjinya kepada Kerajaan Aceh ditepatinya. Hal itu terbukti dari hukuman denda yang dijatuhkan oleh Mahkamah Amsterdam atas Van Caerden, yaitu yang berupa keharusan baginya untuk membayar denda sebanyak 50.000 gulden kepada pihak Aceh. Dan, uang sejumlah itu benar-benar dibayarkan kepada yang berhak (de Jonge, 1862: 234).

Pihak Belanda yang dipimpin Bicker di atas berhasil menyakinkan pihak Aceh melalui Keumalahayati. Karenanya, Sultan Aceh kemudian bersedia menerima mereka di istananya. Mereka diberi izin berdagang di Aceh dan Frederick de Houtman dibebaskan kembali oleh laksamana.

Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa Keumalahayati menjadi laksamana adalah pengiriman tiga orang utusan Aceh menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga utusan itu adalah Abdoelhamid, Sri Muhammad, salah seorang perwira armada laut di bawah Keumalahayati, dan seorang bangsawan yang bernama Mir Hasan (Wap, 1862: 17). Ketiganya merupakan duta-duta yang pertama kali dari sebuah kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Belanda. Pihak Belanda yang pada waktu itu sedang melakukan perang kemerdekaan melawan Spanyol yang dalam sejarah Belanda dikenal dengan perang 80 tahun, menerima utusan Aceh itu dengan suatu upacara kenegaraan. Dalam upacara itu hadir pula tamu-tamu terhormat dari beberapa negara Eropa yang menyaksikan pengakuan de jure dari Kerajaan Aceh (Wap, 1862: 17). Dengan demikian Republik Belanda yang baru lahir di bawah pimpinan Pangeran Maurits, pendiri dinasti Oranye itu, telah terangkat derajatnya di kalangan negara-negara Eropa. Selanjutnya, salah seorang dari utusan tersebut, yaitu Abdoelhamid yang berumur 71 tahun, meninggal di kota Middelburg dan dimakamkan di tempat itu atas biaya penguasa kompeni Hindia Timur (VOC) (Wap, 1862: 18-19). Dua utusan lainnya kembali ke Aceh dengan selamat.

Pada tanggal 6 Juni 1602 James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris, tiba di pelabuhan Aceh bersama rombongannya. Ia membawa sepucuk surat dari ratunya, Elizabeth I, untuk dipersembahkan

kepada sultan Aceh, Al Mukammil (Jakobs, 1894: 202). Setibanya di Aceh, sebelum bertemu dengan sultan, Lancaster terlebih dahulu mengadakan pembicaraan atau perundingan pendahuluan dengan Laksamana Keumalahayati. Pembicaraan itu dilakukan dengan bahasa Arab. Lancaster dapat mengerti bahasa itu karena ia membawa serta seorang Yahudi dari Inggris sebagai penerjemah dari bahasa Arab ke bahasa Inggris (Jakobs,1894: 202). Dalam perundingan itu utusan Inggris tersebut mengemukakan perihal pentingnya penjalinan hubungan perdagangan antara Inggris dengan Aceh. Selain itu, Lancaster meminta kepada Keumalahayati aaagar tetap memusuhi Portugis dan berbaik hati kepada orang-orang Inggris yang mengunjungi Aceh. Orang- orang Aceh hendaknya bersedia membantu utusan- utusan mereka di Aceh. Setelah perundingan selesai, Keumalahayati meminta kepada Lancaster agar semua keinginan tersebut dimintakan atas nama Ratu Inggris, dibuat secara tertulis untuk disampaikan kepada sultannya. Setelah surat permohonan itu selesai dibuat, James Lancaster baru diperkenankan oleh Keumalahayati menghadap sultan. Dan dengan didampingi oleh laksamana tersebut, sultan bersedia berunding dengan Lancaster sebagai wakil Ratu Inggris.

Kedatangan orang-orang Belanda dan Inggris di atas tidak menyenangkan pihak Portugis. Pihak yang kemudian itu mencoba merebut sebuah pulau yang terletak di Pantai Aceh. Tujuannya adalah untuk memdirikan sebuah benteng di tempat itu. Hal ini tentu Kedatangan orang-orang Belanda dan Inggris di atas tidak menyenangkan pihak Portugis. Pihak yang kemudian itu mencoba merebut sebuah pulau yang terletak di Pantai Aceh. Tujuannya adalah untuk memdirikan sebuah benteng di tempat itu. Hal ini tentu

Pada tahun 1603 Sultan Alaudin Riayat Syah Al Mukkamil menempatkan anak lelakinya yang tertua, diantara anak-anaknya yang masih hidup, sebagai pendampingnya di atas tahta Kerajaan Aceh. Oleh karena berambisi untuk menjadi sultan penuh, putranya itu mneyingkirkan si ayah dari kedudukan sebagai sultan dan mengangkat dirinya sendiri sebagai pengganti sultan dengan menggunakan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607). Tahun-tahun pertama pemerintahan sultan yang baru ini ditandai dengan adanya bencana-bencana yang menimpa Kerajaan Aceh, seperti adanya musim kemarau yang luar biasa, pertikaian berdarah dengan saudaranya, dan juga adanya ancaman dari pihak Portugis.

Sultan tampaknya tidak mampu mengatasi kesulitan tersebut. Apalagi, pemerintahannya sendiri berjalan dengan tidak memuaskan hati rakyat. Hal ini antara lain disebabkan oleh caranya mencapai jabatan sultan yang dilakukan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri. Rasa tidak puas serupa diperlihatkan pula oleh kemenakannya sendiri yang bernama Darma Wangsa Tun Pangkat, yang kemudian atas perintah sultan ditangkap dan dipenjara.

Darwa Wangsa masih berada dalam tahanan ketika pada bulan Juni1606 orang-orang Portugis pimpinan Alfonso de Castro datang menyerang Aceh.

Meskipun demikian, ia tidak tinggal diam. Ia memohon kepada sultan agar dibebaskan dari tahanan supaya dapat ikut serta melawan orang-orang Portugis. Dengan diperkuat oleh permintaan Keumalahayati, permohonan kemenakannya itu dikabulkan sultan. Bersama dengan Keumalahayati, Darma Wangsa yang nantinya akan bergelar Iskandar Muda itu akhirnya berhasil mengusir Portugis (Lombard, 1986: 128-129).

III

Dari seluruh uraian di atas dapat diketahui bahwa sepanjang sejarahnya imperialisme dan kolonialisme bangsa asing di Indonesia mendapat berbagai perlawanan, baik besar maupu kecil. Pengalaman- pengalaman itu merupakan modal berharga dalam usaha Indonesia mewujudkan kesatuan dan persatuan bangsa.

Bagi bangsa Indonesia yang memperoleh kembali kemerdekaan dan kedaulatannya pada tanggal 17 Agustus 1945, sesudah melalui perjuanagan fisik yang cukup lama dan melelahkan, perlawanan serupa itu menempati kedudukan utama dan mempunyai nilai yang tinggi. Kedudukan dan nilai yang demikian diberikan pula kepada figur-figur yang berperan penting di dalamnya. Diantara sekian nama atau pahlawan tersebut terdapat seorang wanita Aceh yang bernama Keumalahayati atau yang lebih populer disebut Malahayati.

Karena jasa-jasa kepahlawanannya dalam membela tanah air, Keumalahayati menjadi figur yang selalu dikenang dan dihormati. Itulah sebabnya, pemerintah Republik Indonesia mengabdikan namanya pada sebuah Kapal Perang Republik Indonesia, yaitu Kri

Malahayati.

Daftar Pustaka

Braddel, T. 1851, “On the History of Acheen”, JIAEA, Vol.V. Singapore.

De Jonge, J.K.J. 1862, De Opkompst van Nederlandsch Gezag in Oost-Indie, S-Gravenhage.

Geography of Achin, 1879, JMBRAS. Jakobs, Julius, 1894, Het Familie en Kampongleven op Groot Atjeh,

Leiden : E.J. Brill. Lombard, Denys, 11986, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar

Muda , Jakarta: Balai Pustaka. Manuskrip (M.S.) Milik Universiti Kebangsaan Malaysia,

Belum dikatalogkan. Tiele, P.A. 1881, “Frederick de Houtman Te Atjeh”, De Indische

Gids, halaman 146-152.

Valentijn, F, 1862, Oud en Nieuw Oost Indie I, Amsterdam: Wed Y. C. Kesterem $ Zoon.

Van Zeggelen, Marie, 1935, Oude Glorie, Den Haag: Uitge-verij Conserne.

Wap. 1862, het Gezantschap van de Sultan van Achin A O 1602 Aan Prins Maurits van Nassau, Rotterdam: H.Nijgh.

Zainuddin, H.M., 1961, Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan : Pustaka Iskandar Muda.

POCUT MEURAH INTAN 13 Profil Pejuang Wanita

Rusdi Sufi

Perang Belanda di Aceh, yang meletus sejak tahun 1873 hingga awal abad XX, belum berakhir. Berbagai uapaya telah dilakukan Belanda untuk dapat mengakhiri perang yang telah banyak memakan korban pada kedua belah pihak itu. Salah satu upaya yang ditempuh Belanda menjelang akhir abad XIX dan awal abad XX ialah pembentukan sebuah pasukan elit yang mereka namakan Her Korps Marechaussee (Pasukan Marsose). Pasukan ini terdiri dari serdadu-serdadu pilihan yang memiliki keberanian luar biasa dan semangat tempur yang tinggi (Doup, 1940 : 37; Van’t Veer, 1969 : 174). Mereka ini diserahi tugas melacak dan mengejar para pejuang/gerilyawan Aceh yang masih melakukan perlawanan kepada Belanda ke segenap pelosok daerah Aceh. Mereka akan memusnahkan atau setidaknya membuangnya terutama ke Pulau Jawa apabila para

13 Tulisan ini dipernah dimuat dalam buku Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah. Ismail Sofyan dkk (editor).

pejuang/gerilyawan yang berhasil mereka temukan tetap melakukan perlawanan atau memperlihatkan kebencian pada Belanda. Mereka akan menangkap dan menjebloskannya ke penjara di Kutaraja (sekarang Banda Aceh) jika para pejuang atau gerilyawan yang mereka temukan itu bersedia menyerah, tidak melakukan perlawanan lagi.

Dari karya-karya sejarah, khususnya yang berbicara tentang Perang Belanda di Aceh, dapat diketahui sejumlah nama pejuang Aceh yang ditawan Belanda dan dibuang ke luar Aceh. Diantara sekian banyak nama yang ada terdapat satu nama wanita, yaitu Pocut Meurah Intan atau yang biasa pula disebut dengan nama Pocut Meurah Biheue.

Pocut Meurah Intan adalah puteri keturunan keluarga bangsawan dari kalangan Kesultanan Aceh. Ayahnya keujruen Biheue, berasal dari keturunan Pocut Bantan (Veltman, 1919 : 154). Itulah sebabnya, wanita tersebut mempunyai nama Pocut Meurah yang merupakan nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan keluarga Sultan Aceh. Nama panggilan khusus bagi laki-laki keturunan Sultan Aceh adalah Tuanku.

Namun, seperti dikatakan di atas, Pocut Meurah juga biasa dipanggil dengan nama Pocut Meurah Biheue. Nama tambahan Biheue ini berkaitan dengan nama tempat kelahirannya. Biheue adalah sebuah kenegerian atau ke-uleebalangan yang pada masa jaya Kerajaan Aceh berada di bawah wilayah sagi XI mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad XIX, kenegerian itu kemudian menjadi bagian wilayah XII mukim: Pidie, Batee, Padang Tiji, Kale dan Laweueng.

Suami Pocut meurah bernama Tuanku Abdul Majid, putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah (Veltman, 1919: 104,149). Tuanku Abdul Majid salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda itulah, tokoh itu disebut oleh beberapa penulis belanda sebagai Zeerover (Perompak Laut) (Doup 1940: 179, 289; Veltman, 1919: 151). Dalam dan lewat karyanya yang berjudul De Atjehers C. Snouck Hurgronje ikut pula Suami Pocut meurah bernama Tuanku Abdul Majid, putera Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah (Veltman, 1919: 104,149). Tuanku Abdul Majid salah seorang anggota keluarga Sultan Aceh yang pada mulanya tidak mau berdamai dengan Belanda. Karena keteguhan pendiriannya dalam menentang Belanda itulah, tokoh itu disebut oleh beberapa penulis belanda sebagai Zeerover (Perompak Laut) (Doup 1940: 179, 289; Veltman, 1919: 151). Dalam dan lewat karyanya yang berjudul De Atjehers C. Snouck Hurgronje ikut pula

Dari perkawinannya dengan Tuanku Abdul Majid itu Pocut Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu Tuanku Muhammad yang biasa dipanggil pula dengan nama Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin.

Dalam catatan Belanda Pocut Meurah Intan termasuk figur dari kalangan Kesultanan Aceh yang paling anti terhadap Belanda. Hal ini dapat diketahui, misalnya, dari Kolonial Verslag tahun 1905. Dalam laporan kolonial ini disebutkan bahwa hingga awal tahun 1904 satu-satunya tokoh dari kalangan Kesultanan Acah yang belum menyerah dan tetap bersikap anti terhadap Belanda adalah Pocut Meurah Intan (Kolonial Verslag , 1905: 10). Semangat anti Belanda yang teguh itulah yang kemudian diwariskannya pada putera- puteranya sehingga merekapun ikut terlibat dalam kancah peperangan bersama-sama ibunya dan pejuang- pejuang Aceh yang lain.

Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada belanda, Pocut Meurah Intan

mengajak putera-puteranya untuk tetap berperang. Ketika pasukan marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, dalam rangka pengejaran dan pelacakan terhadap para pejuang, perempuan tersebut terpaksa melakukan perlawanan secara bergerilya. Dua diantara ketiga orang puteranya, Tuanku Muhammad Batee dan Tuanku Nurdin, kemudian menjadi terkenal sebagai pimpinan utama dalam berbagai gerakan perlawanan terhadap Belanda yang terjadi di wilayah XII mukim, Pidie dan sekitarnya. Karena itu, mereka menjadi bagian dari orang-orang terdaftar sebagai buronan dalam catatan pasukan marsose. Dalam karangannya yang berjudul Gedenkboek van Het Marechaussee van Atjeh en Order-hoorigheden , Doup, mencantumkan sejumlah nama pimpinan pasukan marsose yang bertugas melacak dan mengejar kedua putera Pocut Meurah Intan tersebut. Para pemimpin itu antara lain adalah Letnan J.J. Burger, Letnan Jhr. J.J. Boreel, dan Sersan Feenstra (Doup, 1940: 179).

Pasukan marsose Belanda semakin meningkatkan aktivitas patrolinya dalam rangka pelacakan dan pengejaran di atas. Akibatnya, ruang gerak para gerilyawan menjadi menyempit. Situasi terjepit itulah yang akhirnya menjadi penyebab tertangkapnya Tuanku Muhammad Batee pada bulan Februari 1900, tertangkap oleh satuan marsose Belanda yang beroperasi di wilayah Tangse, Pidie. Dan, karena masih dianggap berbahaya, pada tanggal 19 April tahun itu juga tokoh tersebut dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, dengan dasar Surat

Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No.25, berdasarkan pasal 47 R.R. (Veltman 1919: 151-152; Kolonial Verslag 1905: 10).

Peningkatan intensitas patroli Belanda di atas juga menyebabkan tertangkapnya Pocut Meurah Intan dan kedua puteranya oleh suatu pasukan marsose yang bermarkas di Padang Tiji (Veltman, 1919: 154). Namun, sebelum tertangkap, ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak lawan sendiri. Veltman yang menyaksikan sendiri peristiwa perlawanan tersebut akhirnya menyebutnya sebagai heldhafrig yang berarti gagah berani. Zentgraaff (1989: 128-130) melukiskan keberanian Pocut Meurah Intan itu sebagai berikut:

”…Veltman yang terkenal dengan sebutan “tuan pedoman”, tetapi juga seorang yang baik hati, pernah mengenal seorang wanita Aceh yang hingga kinipun ia menaruh hormat kepadanya.

Pada salah satu patroli yang diadakan di daerah Pidie telah ditahan seorang wanita bangsawan Aceh bernama Pocut Meurah. Wanita itu disangka menyembunyikan sebuah kelewang di dalam kainnya. Tiba-tiba ia mancabut rencongnya dan dengan meneriakkan: “Kalau begitu, biarlah aku mati”. Iapun menyerbu brigade. Anggota-anggota pasukan tampaknya kurang bernafsu bertempur dengan seorang wanita yang berlaku sebagai seorang gila, yang menikam Pada salah satu patroli yang diadakan di daerah Pidie telah ditahan seorang wanita bangsawan Aceh bernama Pocut Meurah. Wanita itu disangka menyembunyikan sebuah kelewang di dalam kainnya. Tiba-tiba ia mancabut rencongnya dan dengan meneriakkan: “Kalau begitu, biarlah aku mati”. Iapun menyerbu brigade. Anggota-anggota pasukan tampaknya kurang bernafsu bertempur dengan seorang wanita yang berlaku sebagai seorang gila, yang menikam

Ia mengalami luka-luka parah. Ia memperoleh dua tatakan di kepalanya dan dua buah dibahunya, sedang salah satu urat ketingnya putus.begitulah ia terbaring di tanah, penuh dengan darah dan lumpur laksana setumpuk daging yang dicencang-cencang. Seorang sersan yang melihatnya dengan perasaan yang penuh belas kasihan berkata kepada komandannya: “Bolehkah saya melepaskan tembakan pelepas nyawanya?” yang dibentak oleh Veltman dengan: “Apa kau sudah gila?’ Lalu mereka meneruskan perjalanannya. Mereka menginginkan agar wanita itu meninggal di tangan bangsanya sendiri.

Beberapa hari telah berlalu ketika Veltman berjalan-jalan di kedai Biheue (antara Sigli dan Padang Tiji); di sana ia mendengar bahwa Pocut Meurah bukan saja masih hidup, tetapi bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh seluruh penduduk dalam pemukiman itu! Sungguh suatu hal yang agak dungu kedengarannya, bahwa di dalam sosok tubuh yang begitu rusak masih bersemi semangat yang agung sekali. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi. Keadaannya lemah akibat banyak kehilangan darah, dan tubuhnya menggigil, ia mengerang karena kesakitan. Walaupun begitu ia tetap menolak bantuan dokter; lebih baik mati daripada dijamah tubuhnya oleh seorang “kaphe”. Veltman yang sangat fasih berbahasa Aceh, Beberapa hari telah berlalu ketika Veltman berjalan-jalan di kedai Biheue (antara Sigli dan Padang Tiji); di sana ia mendengar bahwa Pocut Meurah bukan saja masih hidup, tetapi bahkan ia mempunyai rencana hendak membunuh seluruh penduduk dalam pemukiman itu! Sungguh suatu hal yang agak dungu kedengarannya, bahwa di dalam sosok tubuh yang begitu rusak masih bersemi semangat yang agung sekali. Pada luka-lukanya itu disapukan setumpuk kotoran sapi. Keadaannya lemah akibat banyak kehilangan darah, dan tubuhnya menggigil, ia mengerang karena kesakitan. Walaupun begitu ia tetap menolak bantuan dokter; lebih baik mati daripada dijamah tubuhnya oleh seorang “kaphe”. Veltman yang sangat fasih berbahasa Aceh,

Masa penyembuhannya berjalan lama. Akhirnya ia baik juga walaupun menjadi pincang selama hidupnya. Ketika komandan militer Scheuer, seorang perwiraa yang berpendirian, semuanya hanya berharga seketip sewaktu mengempuri Puri cakra Negara- membaca di dalam buku harian betapa wanita itu dengan hanya seorang diri dan dengan gagah berani serta hanya bersenjatakan sebilah rencong telah menyerbu sebuah brigade yang terdiri dari delapan belas pucuk karaben dan kelewang-kelewang tajam, ia telah menyatakan keinginannya untuk menjumpai wanita itu.

Demikianlah pejuang Lombok terkenal itu mengunjungi Pocut Meurah yang pada ketika itu masih belum sembuh seluruhnya. Di hadapan wanita itu ia mengambil sikap sebagai seorang prajurit dan mengambil hormat dengan meletakkan jari-jarinya di pinggir topi petnya. ”Katakan kepadanya, “ ia berkata kepada Veltman, bahwa saya merasa sangat kagum kepadanya.”.

Veltman berbuat apa yang dimintakan kepadanya. Pada wajah wanita yang kurus itu terkulum sebuah senyum. “Kaphe ini boleh juga”, pikirnya. Dan sesudah sembuh dari luka-lukanya itu Kompeni tidak pernah mendapat kesukaran lagi dari wanita itu” (Zentgraaaff, 1989: 128-130).

Rupanya sebutan heldhafrig yang diberikan Veltman kepada Pocut meurah memang tepat. Gambaran Zentgraaff di atas telah membuktikannya.

Pocut Meurah kemudian sembuh dari sakit dan luka-lukanya. Bersama seorang puteranya, Tuanku Budiman, ia dimasukkan ke dalam penjara di Kuraraja. Sementara itu, Tuanku Nurdin, puteranya yang lain, tetap melanjutkan perlawanan dan menjadi pimpinan para pejuang Aceh di kawasan Laweueng dan Kale. Dalam Kolonial Verslag, 1905, disebutkan bahwa setelah ibunya ditangkap, Tuanku Nurdin melaksanakan siasat perlawanan yang baru. Dengan seolah-olah sukarela ia melapor diri/menyerah kepada penguasa Belanda yang bermarkas di Padang Tiji. Hal ini terjadi pada bulan Juni 1904. dengan cara itu ia tampaknya ingin pihak Belanda bersedia membebaskan ibu dan saudaranya yang sedang mendekam di penjara (Kolonial Verslag, 1910: 10). Namun, ternyata, pemerintah Belanda tidak memenuhi keinginan Tuanku Nurdin tersebut. Pada bulan Agustus tahun itu juga ia kembali lagi ke wilayah Biheue, bergabung kembali dengan rekan-rekan seperjuangannya dalam rangka meneruskan perlawanan terhadap Belanda.

Pada 1 November 1904 pihak marsose, yang memang terus menerus melakukan pelacakan, berhasil menemukan tempat persembunyian putera Pocut Meurah dan para pengikutnya tersebut. Sebuah pasukan marsose yang dipimpin Letnan J.J.Burger segera mengepung tempat itu. Pada waktu itu, di tempat tersebut, tidak hanya terdapat pasukan Aceh, melainkan juga anak-anak dan wanita. Burger memerintahkan agar anak-anak dan wanita diberi kesempatan keluar. Ketika anak-anak dan wanita itu bergerak keluar, pimpinan pasukan Belanda itupun bergerak mendekat ke tempat persembunyian pasukan Aceh. Kesempatan ini tidak disia-siakan Tuanku Nurdin. Ia langsung menembak dan jatuhlah J.J. Burger sehingga menimbulkan kepanikan di pihak belanda. Dalam situasi panik itulah Tuanku Nurdin menyelinap pergi dan lolos dari blokade Belanda. Ia meninggalkan empat orang pengikutnya yang gugur, dua orang anggota marsose yang juga tewas tertembak, dan J.J. Burger sendiri yang menderita luka parah (Doup, 1940: 179).

Belanda merasa “ditelanjangi” akibat kejadian itu. Mereka selanjutnya melakukan tindakan yang keji. Pada bulan Desember 1904 mereka menangkap isteri Tuanku dengan harapan agar si suami mau menyerah. Tuanku Nurdin tidak melakukan hal tersebut. Baru pada tanggal

18 Februari 1905 Belanda berhasil menangkapnya. Peristiwa itu dimulai dengan keberhasilan pasukan marsose pimpinan J.J. Boreel mengepung tempat persembunyian Tuanku Nurdin di sebuah desa yang 18 Februari 1905 Belanda berhasil menangkapnya. Peristiwa itu dimulai dengan keberhasilan pasukan marsose pimpinan J.J. Boreel mengepung tempat persembunyian Tuanku Nurdin di sebuah desa yang

Kegagahan dan keberanian Tuanku Nurdin di atas merupakan warisan saja dari kegagahan dan keberanian ibunya, Pocut Meurah Intan. Kegagahan dan keberanian itu telah mengagumkan Scheuer, membuat Veltman jatuh simpati, menjadi kenangan bercampur teror tak terlupakan bagi penjajah Belanda. Bagaimana dengan kita, bangsa Indonesia?. Layakkah bila ia juga mendapat tempat dalam pantheon Pahlawan Kemerdekaan Nasional?.

DAFTAR PUSTAKA

Doup, A.Gedenkboek van Het Korps Marechaussee van Het van Atjeh en Ondehoorigheden . Medan: N.V. Deli Caurant, 1940.

Kolonial Verslag 1905, zitting 1905-1906. Van’t Veer, Paul, De Atjeh Oorlog. Amssterdam: Uitgeverij De

Arbeiderspers, 1969.

Veltman, T.J. “Nota Over de geschiedenis van Het landschap Pidie”, Tijdschrift Bataviaasch Genootschap, 58, 1919.

Zentgraaff, H.C. Aceh, Jakarta: Beuna, 1983. Terjemahan Aboe Bakar.