Perspektif sejarah dan budaya terhadap p

WACANA PEREMPUAN INDONESIA 1

Agus Budi Wibowo

John Naisbitt dan Patricia Aburdene telah meramalkan, dalam bukunya yang amat populer Megatrends 2000 , bahwa pada dekade menjelang tahun 2000 kemungkinan perempuan akan muncul sebagai pemimpin di segala bidang. "Ramalan" ini telah menjadi isu yang menyita perhatian para pengamat dan peneliti masalah perempuan di manca negara, termasuk Indonesia. Dalam era globalisasi dan di akhir abad ke 20 ini isu perempuan tidak saja masih menyita perhatian, tetapi juga masih sangat relevan untuk dibicarakan.

Setiap isu yang beredar dalam masyarakat mempunyai dua kemungkinan, bisa benar bisa pula salah sehingga bagi khalayak ramai harus membuka mata dan telinga lebar-lebar agar tidak "terjerembab". Isu tersebut harus dikaji secara mendalam dan dilihat dalam konteks yang lebih luas, tidak saja dilihat dari satu sudut

1 Tulisan ini pernah dimuat di dalam Serambi Indonesia pada tanggal 27 Juli 1996.

pandang saja. Dengan demikian, kita dapat menanggapi isu itu dengan kepala dingin dan mencari sesuatu yang mendekati kebenaran.

Menanggapi isu yang menarik ini, saya ikut tertarik untuk menguji kebenarannya. Apakah benar ramalan itu telah terjadi di Indonesia ? Bagaimana kondisi perempuan Indonesia saat ini ? Kemajuan apa saja yang telah mereka capai ? Sudahkah perempuan di Indonesia menjadi pemimpin seperti yang telah diramalkan ?

Era Penindasan Perempuan

Kalau kita merunut ke belakang, kita dapat jumpai perempuan sebagai makhluk yang tertindas. Perempuan tidak lebih sebagai objek belaka. Aristoteles dalam The Politics mengkategorikan wanita (sic!) sama dengan budak. Wanita dianggap sebagai objek seksual. Bila dianggap sebagai objek seksual, wanita mudah diekploitasi (Hardi, 1996).

Dalam konteks ini perempuan hanya dihargai dari segi nilai reproduksinya. Perempuan ditempatkan pada posisi dikuasai, subordinatif. Perempuan, dalam keluarga, sesuai dengan fithrah alaminya sebagai istri, menerima benih, mengandung anak, melahirkan, menyusui, memelihara anak. Sejalan dengan nilai reproduksinya, dari pihak perempuan juga dibebani dengan pekerjaan rumah tangga lainnya dan dituntut pula tetap setia pada suaminya. Di luar nilai Dalam konteks ini perempuan hanya dihargai dari segi nilai reproduksinya. Perempuan ditempatkan pada posisi dikuasai, subordinatif. Perempuan, dalam keluarga, sesuai dengan fithrah alaminya sebagai istri, menerima benih, mengandung anak, melahirkan, menyusui, memelihara anak. Sejalan dengan nilai reproduksinya, dari pihak perempuan juga dibebani dengan pekerjaan rumah tangga lainnya dan dituntut pula tetap setia pada suaminya. Di luar nilai

Saat itu, "citra baku" bahwa fisik perempuan lemah daripada laki-laki masih mendominasi alam budaya masyarakat. Kaum perempuan biasanya diberi predikat pasif, lemah-lembut, sabar, setia, emosional dan irrasional, sedangkan laki-laki menempati kedudukan superior dengan predikat kuat, berkuasa, agresif, dan lain-lain.

"Citra baku" yang kemudian dibungkus oleh rekayasa sosial budaya menyebabkan perempuan terpuruk dalam alam ketidakberdayaan. Perempuan menempati kedudukan sebagai kanca wingking laki-laki. Makhluk yang diatur oleh laki-laki, harus dilindungi dengan macam-macam yang mengekang dan mengurangi hak kewenangannya. Perempuan harus setia dan tunduk pada laki-laki, swarga nunut, neraka katut.

Namun ironisnya, perempuan sendiri tidak berani bersuara dengan keadaan mereka yang seperti itu. Perempuan menyetujui dan menerima kekuasaan laki- laki itu sebagai suatu yang wajar.

Kondisi seperti itu pernah dialami perempuan sebelum era Kartini. Era sebelum itu ditandai dengan

"penindasan" perempuan oleh laki-laki. Slogan perempuan sebagai kanca wingking dan swarga nunut neraka katut menjadi bahan yang disosialisasikan oleh para orang tua pada anak-anak mereka. Selain itu, ketidakadilan dalam perkawinan seperti kawin paksa, sistem poligami, sistem selir dan ditambah dengan adanya sistem "nyai" dalam masyarakat kolonial telah membatasi lingkungan hidup perempuan

Era Emansipasi

Zaman sudah berubah. Kata-kata yang sering didengung-dengungkan oleh banyak orang. Kini kita telah memasuki era masyarakat informatika. Globalisasi sudah terjadi dan dunia menjadi kecil. "Batas-batas" negara semakin tipis.

Adanya suasana haluan baru ini kiranya yang disebut oleh Herbert Blumer sebagai cultural drift yang ditandai dengan adanya nilai-nilai baru yang menyebabkan manusia menghendaki perubahan- perubahan dalam tata kehidupan karena banyak hal dalam kehidupan sehari-hari tidak lagi sesuai dengan apa yang dianggap baik atau adil (Manus dkk, 1993).

Oleh karena itu, perempuan bergerak atas dorongan mereka sendiri untuk merubah "citra baku" yang ada selama ini. Mereka tidak lagi merasa puas hidup yang terbatas yang diisi dengan kewajiban keluarga dan rumah tangga saja. Mereka ingin memperoleh kebebasan dan bekerja di lingkungan yang Oleh karena itu, perempuan bergerak atas dorongan mereka sendiri untuk merubah "citra baku" yang ada selama ini. Mereka tidak lagi merasa puas hidup yang terbatas yang diisi dengan kewajiban keluarga dan rumah tangga saja. Mereka ingin memperoleh kebebasan dan bekerja di lingkungan yang

Dengan pelan tetapi pasti, perempuan Indonesia mulai menampakkan kemajuan yang menggembirakan. Perempuan Indonesia sudah mempunyai peluang dan kesempatan yang sangat besar untuk berkembang. Hal ini ditunjang dengan mulai memudarnya (walaupun belum hilang sama sekali) "citra baku" masyarakat terhadap keberadaan dan peran perempuan di berbagai aspek kehidupan.

Kalau R.A Kartini, Dewi Sartika, dan pelopor emansipasi perempuan lainnya masih hidup, mereka dapat tersenyum bangga bahwa apa yang mereka cita- cita dan perjuangkan selama ini mulai menampakkan hasilnya. Atas kemajuan perekonomian dan pendidikan perempuan mulai menunjukkan dirinya. Mereka mulai memasuki dunia yang selama ini secara tradisional digeluti kaum laki-laki. Banyak kaum perempuan keluar rumah, baik untuk bekerja maupun melakukan kegiatan dalam rangka aktualisasi diri.

Saat ini, kita sudah tidak asing lagi mendengar perempuan masuk dalam kehidupan dunia politik, bisnis, pendidikan, dan hankam. Dalam kehidupan politik kita pernah mendengar nama-nama seperti Megawati, Fatimah Akhmad, Aisyah Amini, dan lain- lain. Mereka adalah salah tiga pemimpin perempuan yang berhasil duduk di lapisan pimpinan partai. Kemudian, saya kagum pula pada Pratiwi Soedharmono,

Edi Sedyawati, yang merupakan beberapa contoh ilmuwan yang sukses, yang tentunya masih ada yang lainnya. Dalam dunia bisnis, kita mengenal Martha Tilaar, Siti Hardiyati Rukmana yang dapat dijadikan contoh perempuan yang dapat membuktikan keuletan dan kebolehannya mengendalikan perusahaan. Dalam bidang Hankam, kita juga mengenal Roekmini dan Jean Mandagi dua orang perempuan yang mencapai pangkat jenderal.

Namun kalau kita kaji mendalam ternyata perempuan sebetulnya belum dapat menembus dinding yang tebal yang didirikan oleh pimpinan laki-laki. Memang, diakui beberapa perempuan telah mencapai puncak karir mereka masing-masing. Namun kualitatifnya ? perempuan belum dapat menduduki posisi yang menentukan dalam pengambilan kebijakan atau keputusan. Dengan kata lain, masih diperlukan suatu kedudukan perempuan untuk turut serta dalam pengambilan keputusan. Karena kenyataanya, dalam banyak contoh, perempuan masih berada dalam posisi nomer dua dalam pengambilan kebijakan atau keputusan.

Hambatan-hambatan

Apa yang salah ? Apakah ini berarti perempuan tidak dapat menjadi pemimpin ? Padahal apabila perempuan diberi kesempatan, jawabannya mengapa tidak. Apabila perempuan dipandang dari sisi manusia

(human) bukan betina (female) - meminjam istilah yang dipakai Parsudi Suparlan - tentunya mereka mampu memimpin dan jadi pemimpin. Kedua makhluk dikaruniai otak yang sama-sama cerdasnya, sama-sama punya harapan, impian, ambisi, cita-cita dan perlu pula tidur, dicintai dari Tuhan Yang Maha Esa.

Ternyata beban kultural masih begitu kuat menindih mereka, yang sering kali terekspresikan dalam berbagai bentuk humor, ejekan, gosip, dan sebagainya. Betapa sukarnya mereka melepaskan diri dari "citra baku" masyarakat dan mitos yang mengungkung mereka hanya untuk menunjukkan bahwa mereka mampu. Karenanya, tidak sedikit dijumpai adanya cerita mengenai rasa terasing perempuan yang memilih jalan tersebut dari lingkungannya seperti yang tergambar dalam kata-kata, Apa yang kau cari Palupi ? (Krisna dalam Alfian, 1994). Oleh karena itu pula tidak sedikit dari mereka yang akhirnya memilih "rumah yang damai", kembali ke posisi tradisional yang aman (Sumarjo dalam Alfian, 1994).

Dengan demikian, "ramalan" John Naisbitt dan Patricia Aburdene masih perlu dipertanyakan lagi. Kepemimpinan perempuan yang akan terjadi di masa depan bukanlah mutlak suatu kepastian. Wong namanya saja kecenderungan (trends) yang bisa saja ada kecenderungan lain dari fenomena yang belum berlangsung sekarang. Yang terjadi di Indonesia adalah proses perubahan menuju lebih berperannya kaum perempuan dalam wilayah public adalah suatu proses Dengan demikian, "ramalan" John Naisbitt dan Patricia Aburdene masih perlu dipertanyakan lagi. Kepemimpinan perempuan yang akan terjadi di masa depan bukanlah mutlak suatu kepastian. Wong namanya saja kecenderungan (trends) yang bisa saja ada kecenderungan lain dari fenomena yang belum berlangsung sekarang. Yang terjadi di Indonesia adalah proses perubahan menuju lebih berperannya kaum perempuan dalam wilayah public adalah suatu proses

STRUKTUR LAPISAN SOSIAL DAN OTONOMI WANITA PEDESAAN DALAM

MASYARAKAT ACEH 2 Rusdi Sufi

Dalam kehidupan suatu masyarakat terdapat norma-norma, aturan-aturan atau nilai-nilai yang mengatur pola tingkah laku anggota masyarakat. Namun tidak semua anggota masyarakat dapat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai norma, aturan atau nilai yang dituntut masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan

timbulnya lapisan-lapisan masyarakat.1 Lapisan-lapisan masyarakat yang dimaksud sudah ada semenjak zaman dahulu yang secara historis diperkirakan sejak manusia mengenal adanya kehidupan bersama di dalam organisasi sosial. Aristoteles seorang filsof Yunani misalnya, membagi masyarakat dalam tiga lapisan, yaitu lapisan kaya, lapisan miskin dan lapisan yang berada di

tengahnya (antara lapisan kaya dan lapisan miskin).2 Diperkirakan jauh sebelum Aristoteles atau pada zaman-

2 Tulisan ini pernah dimuat di dalam Buletin Haba No. 7/98 Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh.

zaman sebelumnya telah adanya lapisan-lapisan sosial di dalam masyarakat. Lapisan-lapisan dalam masyarakat yang dimaksud itu dikenal dalam ilmu kemasyarakatan

dengan istilah sosial stratification (stratifikasi sosial).3 Sistem berlapis-lapisan itu merupakan ciri yang

tetap dan umum dalam masyarakat yang hidup teratur. Bentuk-bentuk lapisan dalam masyarakt ini berbeda- beda dan ada di mana-mana. Apakah lapisan itu terdapat dalam masyarakat modern ataupun dalam masyarakat tradisional dan lain sebagainya. Pada masyarakat sederhana kebudayaannya, lapisan-lapisan ini mula-mula didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara yang dipimpin/pemimpin, golongan budak belian dengan yang bukan budak belian, golongan berdasarkan pembagian kerja dan perbedaan berdasarkan kekayaan. Semakin kompleks dan semakin majunya perkembangan teknologi sesuatu masyarakat di dunia ini semakin kompleks pula sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat di dunia ini semakin kompleks pula

sistem lapisan-lapisan dalam masyarakat.4 Oleh karena itu dalam masyarakat yang sudah kompleks, perbedaan kedudukan dan perannya juga bersifat kompleks. Oleh karena banyaknya orang dan berbagai ukuran yang

dapat diterapkan terhadapnya. 5 Meskipun bentuk kongkrit dari pada lapisan-

lapisan masyarakat tersebut tidak sedikit, akan tetapi secara prinsipil bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu yang lapisan masyarakat tersebut tidak sedikit, akan tetapi secara prinsipil bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga macam kelas, yaitu yang

bersangkutan.6 Sifat sistem berlapis-lapisan ini di dalam suatu

masyarakat dapat bersifat tertutup atau yang disebut Stratifikasi Sosial Tertutup (Closed Sosial Stratification), dan ada pula yang bersifat terbuka (Open Sosial Stratification). Adapun yang tersebut pertama (yang tertutup) tidak memungkinkan pindahnya/beralihnya seseorang dari satu lapisan ke lapisan yang lain, baik yang merupakan gerak ke atas atau ke bawah. Di dalam sistem yang demikian itu, satu-satunya jalan untuk menjadi anggota dari suatu lapisan dalam

masyarakatadalah faktor kelahiran atau keturunan.7 Sebaliknya di dalam sistem yang terbuka, setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kecakapan sendiri untuk naik atau pindah lapisan, atau bagi mereka yang tidak beruntung untuk

jatuh ke lapisan di bawahnya.8

Adapun penggolongan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan dapat disebutkan sebagi berikut :

1. Penggolongan berdasarkan ukuran kekayaan. Kekayaan/kebendaan seseorang dapat dijadikan suatu ukuran. Siapa yang memiliki kakayaan termasuk lapisan teratas. Kekayaan ini dapat dilihat misalnya pada kebendaan yang dimilikinya seperti rumah, mobil, cara berpakaian, gaya hidup, dan sebagainya.

2. Penggolongan berdasarkan kekuasaan. Biasanya seseorang yang memiliki kekuasaan atau yang memiliki wewenang terbesar, menempati lapisan tertinggi.

3. Penggolongan berdasarkan kehormatan.Ukuran kehormatan ini mungkin terlapis dari ukuran- ukuran kekayaan dan kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati biasanya mendapat tempat teratas. Ukuran semacam ini dapat dijumpai pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa kepada masyarakat.

4. Penggolongan berdasarkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masayrakat yang menghargai ilmu pengetahuan.

5. Penggolongan berdasarkan keturunan. Penggolongan ini berkaitan dengan tingkat

kebangsawanan.9

Sebenarnya masih banyak ukuran lain yang dapat dipergunakan. Tetapi ukuran-ukuran tersebut si atas adalah yang paling menonjol sebagai dasar timbulnya sistem berlapis-lapisan dalam masayrakat.

II

Secara teoritis semua manusia dapat dianggap sederajat. Tetapi dalam kenyataan kehidupan di daerah ini dan juga di daerah-daerah lain di Indonesia tidaklah demikian. Hal ini antara lain disebabkan karena dalam suatu kelompok masyarakat ada hasrat untuk menghargai sesuatu. Hal inilah yang menjadi embrio untuk menumbuhkan adanya sistem berlapis-lapisan dalam masyarakat yang bersangkutan. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat tersebut mungkin dapat berupa uang/kekayaan, kekuasaan, ke- hormatan, ilmu pengetahuan, keturunan dan sebagainya.

Secara historis sistem berlapis-lapisan di dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Tetapi ada juga yang dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan bersama.

dalam tulisan ini mencoba untuk menyoroti lapisan-lapisan dalam masyarakat Aceh secara garis besar sejak masa kesultanan hingga masa kemedekaan. Dalam memberikan uraian mengenai struktur lapisan sosial dalam masyarakat Aceh, penulis menitik beratkan pada pendekatan historis. Berdasarkan pendekatan historis ini, lapisan masyarakat Aceh yang paling dalam tulisan ini mencoba untuk menyoroti lapisan-lapisan dalam masyarakat Aceh secara garis besar sejak masa kesultanan hingga masa kemedekaan. Dalam memberikan uraian mengenai struktur lapisan sosial dalam masyarakat Aceh, penulis menitik beratkan pada pendekatan historis. Berdasarkan pendekatan historis ini, lapisan masyarakat Aceh yang paling

Kepala Mukim yang menjadi pimpinan unti pemerintahan Mukim dan Keuchiek atau Geuchiek yang menjadi pimpinan pada unit pemerintahan Gampong (kampung). Kesemua mereka atau pejabat tersebut di atas, dalam struktur pemerintahan di Aceh pada masa dahulu dikenal sebagai lapisan pemimpin adat, pemimpin keduniawian atau kelompok elite sekuler.

Sementara golongan Ulama yang menjadi pimpinan yang mengurusi masalah-masalah keagamaan (hukom atau syariat Islam) dikenal sebagai pemimpin keagamaan atau masuk kelompok elite religius. Oleh karena para Ulama ini mengurusi hal-hal yang menyangkut keagamaan, maka mereka haruslah seorang yang berilmu, yang dalam istilah Aceh disebut ureung nyang malem. Dengan demikian tebntunya sesuai dengan predikat/sebutan Ulama itu sendiri, yang berarti para

ahli ilmu atau para ahli pengetahuan.10 Adapun golongan atau kelompok Ulama ini dapat disebut yaitu :

1. Tengku Meunasah , yang memimpin masalah- masalah yang berhubungan dengan keagamaan pada suatu unit pemerintahan Gampong

(kampung).

2. Imum Mukim (Imam Mukim), yaitu yang mengurusi masalah keagamaan pada tingkat pemerintahan mukim, yang bertindak sebagai imam sembahyang pada setiap hari jumat di sebuah mesjid pada wilayah mukim yang

bersangkutan.11

3. Qadli (kadli), yaitu orang yang memimpin pengadilan agama atau yang dipandang mengerti

mengenai hukum agama pada tingkat kerajaan dan juga pada tingkat Nanggroe yang disebut Kadli Uleebalang.

4. Teungku-teungku , yaitu pengelola lembaga- lembaga pendidikan keagamaan seperti dayah dan rangkang, juga termasuk murid-muridnya. Bagi mereka yang sudah cukup tinggi tangkat

keilmuannya, disebut dengan istilah Teungku Chiek

Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, juga dalam masyarakat Aceh terdapat lapisan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelompok ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi kelompok Sayed ini Selain pembagian atas kedua kelompok tersebut di atas, yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh tempo doeloe, juga dalam masyarakat Aceh terdapat lapisan-lapisan lain seperti kelompok Sayed yang bergelar habib untuk laki-laki dan Syarifah untuk perempuan. Kelompok ini dikatakan berasal dari keturunan Nabi Muhammad. Jadi kelompok Sayed ini

Pelapisan masyarakat Aceh juga dapat dilihat dari segi harta yang mereka miliki. Untuk itu maka ada golongan hartawan/orang kaya. Mereka adalah pekerja- pekerja keras dalam mengembangakn ekonomi pribadi. Dari mereka yang sudah berada inilah terbentuk suatu golongan dalam masyarakat, yaitu golongan hartawan. Kelompok yang paling menonjol dalam masyarakat Aceh yaitu lapisan rakyat biasa yang didistilahkan dalam sebutan Ureung leue (orang banyak). Golongan ini merupakan golongan yang mayoritas.

Penggolongan masyarakat Aceh atas dasar adat/tradisi pada masa sekarang sudah mulai berubah. Meskipun beberapa lapisan tersebut masih tampak atau ada dalam masyarakat, tetapi tidak memperlihatkan lagi perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kehidupan sehari-hari. Pada masa sekarang (sesudah kemerdekaan) sudah muncul elite-elite baru dalam masyarakat Aceh. Dengan tumbuh dan berkembangnya beberapa perguruan tinggi bagi putera-puteri Aceh, baik ke luar daerah maupun di daerah Aceh sendiri sudah semakin mendorong proses perubahan pelapisan sosial atau stratifikasi sosial dalam masyarakat Aceh. Pimpinan pemerintahan mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah (dari Gubernur hingga Keuchiek) sudah dijabat oleh mereka yang memiliki kecakapan dan kemampuan untuk mengatur dan memimpin.

Dengan adanya perubahan strtifikasi sosial tersebut, maka dewasa ini masyarakat Aceh umumnya dapat dikelompokkan ke dalam:

1. Golongan penguasa, terdiri atas penguasa pemerintahan dan pegawai negeri.

2. Kelompok Ulama, yaituorang-orang yang berpengetahuan di bidang agama.

3. Kelompok hartawan (mereka yang memiliki kekayaan).

4. Kelompok rakyat biasa. Keempat kelompok tersebut, tidak menunjukkan batas-

batas yang tajam. Antar kelompok itu dapat saja memasuki atau menjadi kelompok yang lain. Timbulnya pelapisan-pelapisan tersebut merupakan hasil kompetisi ilmu pengetahuan. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahua, dapat saja masuk ke dalam kelompok penguasa, atau seseorang yang mempunyai pengetahuan di bidang keagamaan dengan sendirinya menjadi bagian

dari kelompok Ulama.12 Demikian pula kelompok hartawan, pengusaha atau rakyat biasa, dapat saja beralih ke kelompok atau lapisan lainnya.

III

Bila berbicara tentang otonomi wanita pedesaan, maka hal ini tidak terlepas dari pada membicarakan tentang peranan dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat. Seperti diketahui peranan mereka dalam sebuah keluarga adalah sangat besar dan bahkan sangat menentukan. Agama Islam telah menempatkan wanita pada kedudukannya yang sangat penting, terutama dalam pembangunan masyarakat dan negara. Sehubungan dengan hal ini Nabi Muhammad SAW., telah bersabda bahwa "wanita adalah tiang negara", apabila baik wanitanya, maka baiklah negara, sebaliknya apabila rusak wanitanya mak rusak pula negara. Dalam kaitan ini maka ada suatu ungkapan dalam bahasa Aceh yang berbunyi sebagai berikut : "Meutuah aneuk meusebab ma, meutuah bak donya meunyo na hareuta"artinya, bertuah anak karena jerih payah seorang

ibu, bertuah hidup di dunia bila memiliki harta.13 Selain itu tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa "sorga itu

terletak di bawah telapak kaki ibu".14 Sebagai ibu wanita adalah yang pertama sekali

bertanggungjawab untuk mendidik, membina moral dan akhlak anak-anaknya. Oleh karenanya tidak dapat disangkal bahwa peranan utama seorang ibu di dalam pengawasan anak-anak besar sekali. Ini disebabkan karena secara langsung ialah yang pertama-tama bergaul

dengan anak-anak, khususnya di dalam rumah.15 Seperti diketahui seorang wanita Aceh di pedesan

tetap tinggal di rumahnya sendiri atau rumah orang tetap tinggal di rumahnya sendiri atau rumah orang

waktu yang cukup lama.17 Sebagai ibu rumah tangga, selain mengurus/mengasuh anak-anak seorang wanita juga bertugas mengurusi pekerjaan rumah lainnya, seperti memasak, mencuci, menyapu, membersihkan tempat tidur, menata rumah merangkai bunga dan lain

sebagainya.18 Bagi masyarakat Aceh tempo doeloe, dalam

beberapa linteratur tampaknya peranan wanita dalam masyarakat adalah sangat menonjol, yang sekaligus

memberikan kedudukan tersendiri dalam masyarakatnya. Para wanita di Aceh pernah menjadi penguasa-penguasa (sebagai Sultanah- Sultanah) yang menentukan atas urusan kerajaan yang tidak pernah

ditemukan pada daerah-daerah lain di Nusantara ini.19 Selama ini setengah abad (1641-1699), Kerajaan Aceh dikepalai oleh para raja wanita. Selain itu ada pula para ditemukan pada daerah-daerah lain di Nusantara ini.19 Selama ini setengah abad (1641-1699), Kerajaan Aceh dikepalai oleh para raja wanita. Selain itu ada pula para

berhalangan.20 Demikian pula pada masa perang dengan Belanda, peranan wanita juga sangat menonjol. Pada waktu itu mereka mempunyai tugas rangkap, yaitu di samping sebagai ibu rumah tangga dan isteri yang tercinta juga ikut bersama berjuang dengan kaum pria

melawan penjajah Belanda.21 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa posisi

wanita khususnya wanita pedesaan dalam masyarakat Aceh cukup tinggi dan memiliki otonomi-otonomi tersendiri.

Catatan Akhir

1Muhammad Rusli Kasim (ed), Seluk Beluk Perubahan Sosial, (Surabaya : Usaha Nasional, 1983), hal. 93.

2Ibid., hal 94. Lihat juga dalam Elvin M. Tumin, Sosial Stratification The Forms And Functions of Inequality , (New Delhi: Prentice Hall of India, 1978), hal. 2

3Ibid., hal.66

4Soerjono Soekamto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: UI Press, 1981), hal.134

5Ibid. 6Ibid., hal.135 7Melvin M.Tumin, op.cit., hal.67

8 Soerjono Soekamto,op.cit., hal.137 9 Ibid., hal 141-142

10Taufik Abdullah (ed),Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta:CV. Rajawali, 1983), hal. 3.

11Th.W.Juynbol, "Atjeh", The Encyclopaedia of Islam, Vol.I, (1960), hal.74.

12Lihat T.Syamsuddin dkk., Adat Istiadat Daerah Propinsi Istimewa Aceh . (Banda Aceh: Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan daerah, Depdikbud Propinsi daerah Istimewa Aceh, 1977/1978), hal. 152

13Muhammad Hakim Nyak Pha, Wanita Aceh dan Peranannya , (Banda Aceh: P3IS Aceh, 1987), hal. 2.

14 Ibid., hal. 1. 15 Justus Inkiriwang, Pembagian Pekerjaan Pria dan Wanita

di dalam Mata Pencaharian Hidup Masyarakat Aceh , (Banda Aceh: P3IIS Aceh, 1975), hal. 22.

16 J.Jongejans, Land En Volk Van Atjeh Vroeger En Nu, (Baarn: Hollandia Drukkerij, 1939), hal.91

17C. Snouck Hurgronje, terjemahan Ng. Singarimbun dkk. Aceh Di Mata Kolonialis, (Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), hal. 449.

18 Justus Inkiriwang, op.cit., hal. 21. 19 P.J.Veth, "Vrouwen Regeeringen In Den Indischen

Archipel", T.N.I.IV, 1870. 20C. Snouck Hurgronje, loc.cit.

21H.C.Zentgraff, Atjeh, (Batavia: Koninklijke Drukkerij De Unie, 1939), hal. 44-85

PERSOALAN PEKERJA PEREMPUAN 3

Agus Budi Wibowo

Visualisasi perempuan Indonesia telah mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sejak dulu secara tradisional perempuan hanya memainkan peran dalam sektor domestic. Dalam keluarga umumnya perempuan dibatasi perannya pada bidang yang langsung berhubungan dengan rumah tangga, seperti menjadi ibu rumah tangga yang baik, mengasuh dan mendidik anak, serta diwajibkan setia kepada suami, atau tugas-tugas yang tidak jauh dengan itu. Dengan kata lain perempuan yang ideal adalah perempuan yang bisa macak (berhias), masak (masak), dan manak (melahirkan anak). Jarang sekali ditemukan sistem sosial dimana perempuan dalam jumlah yang lumayan berperan dalam bidang di luar rumah tangga. Peran di luar domestik yang dilakukan oleh perempuan belumlah dilirik. Kalaupun ada satu dua perempuan yang mencapai puncak "karier" di luar

3 Tulisan ini pernah dimuat di dalam Harian Umum Serambi Indonesia pada tanggal 18 Oktober 1996.

sektor domestik dianggap sebagai suatu yang asing bagi lingkungannya.

Adanya streotip peran di sektor domestik ini menyebabkan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan. Citra perempuan yang sesuai dengan konstruksi sosial budaya masyarakat kala itu adalah citra domestik. Perempuan hanya dianggap sebagai kanca wingking bagi laki-laki dan yang hanya swarga nunut neraka katut . Peran domestik ini kadang-kadang masih ditambah dengan peran-peran lain yang merugikan dan membelenggu kehidupan perempuan. Boleh dikata tidak ada peran perempuan sebagai individu. Perempuan hanya dipandang sebagai betina (female) dan bukan sebagai manusia (human).

Menjelang abad ke 21 - dimana isu globalisasi dan industrialisasi mulai merebak - gaung emansipasi mulai menampakkan wujud hasilnya. Perempuan yang menurut slogan lama hanya sebagai kanca wingking dan yang hanya swarga nunut neraka katut tidak lagi sepenuhnya berlaku. Hal ini menunjukkan proses perubahan sosial yang terjadi pada perempuan telah berjalan dalam kehidupan masyarakat.

Ada nafas dimensi kehidupan baru sedang dialami oleh perempuan. Perempuan tidak lagi harus memainkan peran domestiknya semata. Kali ini, perempuan mulai sadar akan kedudukan dan perannya sebagai human. Perempuan tidak lagi hanya berkutat di bilik rumah saja.

Perempuan mulai memasuki sektor publik yang secara tradisional dikuasai oleh kaum laki-laki. Karenanya, saat ini kita tidak merasa asing lagi mendengar perempuan terlibat di sektor publik, seperti menjadi TKW, buruh di pabrik, atau menjadi pegawai swasta/negeri.

Meskipun perempuan bekerja seringkali dimasukkan dalam kategori "pencari nafkah tambahan", namun ternyata keberadaan perempuan untuk selalu menambah income keluarga semakin menjadi penting artinya dalam kehidupan ekonomi rumah tangga. Bahkan, dengan demikian, kesejahteraan keluarga pun menjadi semakin meningkat karena itu sumbangan pekerja perempuan pada ekonomi rumah tangganya tidak dapat diabaikan begitu saja (Partini, 1992). Malah kalaupun masih mungkin keadaan ini akan mengurangi pola ketergantungan perempuan pada laki-laki.

Namun perlu diingat pula bahwa pada kenyataannya kadang-kadang masih diberlakukan adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, utamanya dalam sektor informal. Tidak jarang terjadi perbedaan upah/gaji atau fasilitas yang diterima pekerja laki-laki dengan perempuan walaupun mereka melakukan peran atau kedudukan yang sama. Dapat dikatakan ada "penindasan" namun dalam wujud yang lain. Selain itu juga tidak menutup kemungkinan perempuan yang bekerja seringkali mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh pekerja laki-laki.

Persoalan yang muncul untuk dikedepankan adalah, apakah dengan masuknya perempuan ke dunia kerja merupakan suatu kemajuan dilihat dari harkat dan martabat hidup manusia ? Tidakkah hal itu merupakan suatu proses "pemiskinan" karena perempuan mengalami "penindasan" dalam bentuk lain ?

Perempuan dan Kerja Adanya pertumbuhan ekonomi dan pendidikan

yang semakin baik di Indonesia menyebabkan perkembangan peran atau kedudukan perempuan mengalami perubahan yang cukup berarti. Pendidikan perempuan yang semakin baik didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi telah menguntungkan posisi perempuan. Ada celah-celah yang memungkinkan terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk keluar dari sektor domestik yang selama ini digelutinya. Dan, tampak bahwa peranan perempuan dalam sektor publik dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.

Di Indonesia, yang jumlah penduduk lebih dari separuhnya adalah perempuan. Sebagian dari mereka mulai terjun ke sektor publik. Oleh karena sektor pertanian tidak mungkin menampung semua tenaga kerja wanita, maka mereka melakukan mobilitas kerja. Pada tahun 1994 dari seluruh 82 juta pekerja Indonesia, jumlah pekerja perempuan tercatat 31,7 juta. Mereka ini berada di sektor pertanian 15,0 juta, industri 4,9 juta dan Di Indonesia, yang jumlah penduduk lebih dari separuhnya adalah perempuan. Sebagian dari mereka mulai terjun ke sektor publik. Oleh karena sektor pertanian tidak mungkin menampung semua tenaga kerja wanita, maka mereka melakukan mobilitas kerja. Pada tahun 1994 dari seluruh 82 juta pekerja Indonesia, jumlah pekerja perempuan tercatat 31,7 juta. Mereka ini berada di sektor pertanian 15,0 juta, industri 4,9 juta dan

Semakin banyaknya perempuan yang membanjiri sektor publik dapat memberi gambaran bahwa kaum perempuan makin menempati posisi strategis dalam pembangunan di Indonesia, baik pada masa kini maupun di masa yang akan datang. Paling tidak, sektor publik akan bisa membantu kaum perempuan untuk mengaktualisasikan diri mereka. Karenanya, harus dibuat sebuah kebijakan yang tepat agar kaum perempuan tidak malah menerima beban dan akibat dari pembangunan.

Di samping uang, perempuan yang bekerja bisa memetik keuntungan lain, misalnya karir, melayani/membantu orang lain, ataupun sebagai media untuk mengaktualisasikan diri. Kegiatan bekerja ini akan membantu mereka ke suatu pola hidup yang berbeda dari biasanya. Manfaat ini tentunya tidak akan mereka peroleh apabila hanya berkutat di sektor domestik.

Meskipun perempuan bekerja di sektor publik kadang-kadang bukanlah tangga karir - hanya menambah penghasilan - namun tidak salahnya mempunyai pekerjaan walaupun tidak berkarir. Dengan mempunyai pekerjaan di luar sektor domestik Meskipun perempuan bekerja di sektor publik kadang-kadang bukanlah tangga karir - hanya menambah penghasilan - namun tidak salahnya mempunyai pekerjaan walaupun tidak berkarir. Dengan mempunyai pekerjaan di luar sektor domestik

Penguasaan keahlian dalam bidang tertentu akan membantu perempuan menghadapi dan memecahkan suatu persoalan. Ia akan terbiasa berhadapan dengan berbagai persoalan yang sering menghadangnya setiap hari dan mengambil keputusan yang sulit. Apabila ia mampu mengatasi persoalan yang sedang dihadapi tentunya ia akan tertantang untuk dapat memecahkan masalah berikutnya.

Keberhasilan dan kegagalan dalam memecahkan masalah akan membentuk pribadi yang tangguh dan termotivasi untuk terus belajar. Tiada hari tanpa belajar. Hari ini harus lebih dari hari kemarin. Dan motivasi ini akan semakin menambah keyakinan akan kemampuan pada diri sendiri.

Kemampuan pada diri sendiri yang kuat akan mendukung perempuan untuk "lepas" dari ketergantungan laki-laki dan akan menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki, utamanya Kemampuan pada diri sendiri yang kuat akan mendukung perempuan untuk "lepas" dari ketergantungan laki-laki dan akan menempatkan perempuan sebagai mitra sejajar laki-laki, utamanya

Kematian Marsinah dan pelecehan seksual yang dialami perempuan pekerja merupakan sisi gelap dari perempuan yang terjun ke dunia kerja. Namun hendaknya hal itu tidak dilihat dari sisi gelapnya dan mengendorkan semangat untuk melakukan usaha-usaha pemberdayaan perempuan. Hendaknya kita melihat hal itu sebagai suatu "peringatan" bahwa perempuan belum diperlakukan sebagai mitra sejajar laki-laki. Budaya supremasi laki-laki masih menyelimuti dunia kerja.

Ada kemunduran dan proses "pemiskinan" terjadi seandainya ada perempuan yang mampu (seperti perempuan yang berpendidikan tinggi), tetapi lebih suka mengurungkan diri di bilik rumah dan senang di tempatkan di "belakang" sehingga ia menjadi orang kurang pergaulan (kuper) (Partini, 1992).

Ia tidak mau dan tidak berani menyumbangkan kemampuan dan pikiran yang dimilikinya untuk kepentingan, baik pribadi maupun sesama. Dia sebenarnya punya kesempatan dan kemampuan, tetapi lebih senang tetap di "belakang". Perempuan yang mampu menembus celah-celah untuk melepaskan ketergantungan dari laki-laki dan berusaha menjadi mitra sejajar, apakah bukan justru suatu kemajuan ?

Masalah Baru

Dengan mulai merebaknya fenomena perempuan bekerja tentunya kita harus mengantisipasi sejak dini masalah-masalah baru yang mungkin muncul. Agar perubahan sosial yang terjadi tidak menimbulkan ekses negatif bagi perempuan. Namun yang paling penting diingat adalah harus diciptakan suatu mekanisme perubahan budaya masyarakat dan legalitas akan posisi dan kedudukan perempuan di mata hukum yang bertujuan melindungi kaum perempuan.

Namun demikian, menghadapi masalah itu, muncul sebuah pertanyaan yang perlu dikedepankan, yaitu sudah siapkah masyarakat (utamanya laki-laki) menerima perubahan ini ? Menyiapkan masyarakat dalam menghadapi perubahan peran dan kedudukan perempuan amat diperlukan. Hal ini perlu diantisipasi karena tidak menutup kemungkinan hal ini terjadi sebagai akibat munculnya kemajemukan berbagai kepentingan dalam menghadapi peran dan kedudukan perempuan di masa datang.

EKPLOITASI KAPITALISME TERHADAP PEREMPUAN 4

Agus Budi Wibowo

Gerakan perempuan dalam menghujat nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang menekan mereka telah lama hadir jauh sebelum pendiri bangsa memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Gerakan yang dipelopori oleh Kartini ini mencoba mendobrak nilai-nilai sosial budaya yang menekan keberadaan perempuan dalam masyarakat yang membuat mereka terbelenggu dalam "rumah yang damai". Saat itu, perempuan boleh dikata hanyalah sosok makhluk yang hanya jadi objek bagi kaum laki-laki. Tidak ada kata "berdampingan" antara laki-laki dan perempuan dalam kamus sosial-budaya masyarakat saat itu. Mereka belum mengenal apa yang disebut dengan relasi gender. Yang mereka kenal perempuan hanyalah kanca wingking kaum laki-laki.

4 Tulisan ini pernah dimuat di dalam Harian Umum Waspada pada tanggal 24 April 1997.

Menjelang abad ke 21, gaung emansipasi, perempuan karir, perempuan modern makin tampak dalam wujud yang nyata dan kaum perempuan mulai diakui keberadaannya. Gerak maju kaum perempuan dewasa ini bukan hanya sekedar untuk mendapatkan persamaan hak-haknya, tetapi juga dimaksudkan untuk meningkatkan peranannya, baik di dalam keluarga maupun dalam masyarakat dan bangsa.

Saat ini bangsa Indonesia sudah tidak heran lagi melihat kaum perempuan meninggalkan rumah yang damai untuk terjun ke sektor publik. Banyak perempuan yang berbondong-bondong pergi ke kota untuk jadi buruh pabrik, TKW ke luar negeri atau menjadi perempuan "terhormat" sebagai wanita karir dan wanita modern, bahkan wanita kosmopolitan. Melihat gejala semakin semaraknya kaum perempuan yang terjun ke dunia kerja atau sektor publik ini saya jadi tertarik untuk mengkajinya. Seberapa jauh perempuan yang telah terjun ke dunia kerja ini terangkat harkat dan martabatnya.

Eksploitasi Kapitalisme terhadap Perempuan

Semenjak Orba berkuasa pembangunan sosial ekonomi mencapai puncaknya. Kondisi sosial ekonomi yang terpuruk pada masa Orla beralih menjadi semakin baik pada masa Orba. Kaum perempuan yang menjadi bagian pembangunan ikut pula terangkat. Kemajuan ekonomi memungkinkan perempuan mendapat Semenjak Orba berkuasa pembangunan sosial ekonomi mencapai puncaknya. Kondisi sosial ekonomi yang terpuruk pada masa Orla beralih menjadi semakin baik pada masa Orba. Kaum perempuan yang menjadi bagian pembangunan ikut pula terangkat. Kemajuan ekonomi memungkinkan perempuan mendapat

Kemajuan dalam hal pendidikan dan sosial ekonomi telah mendorong kaum perempuan mulai terjun ke sektor publik. Hal ini menuntut konsekuensi perempuan meninggalkan rumah. Hal ini membawa sedikit keuntungan bagi kondisi rumah tangga. Walaupun mereka bekerja hanya dikategorikan sebagai pencari nafkah tambahan namun sedikit banyak membantu keuangan rumah tangga.

Walaupun, secara kuantitas, banyak perempuan yang terjun ke sektor publik, namun di antara mereka tidak semua yang mendapat posisi yang layak. Citra baku masyarakat terhadap perempuan yang masih didominasi pola-pola lama sehingga kaum laki-laki yang cenderung memperoleh kesempatan lebih besar sedangkan perempuan hanya dicadangkan pada urusan tradisi-onal semata. Beneria (1979) memberikan beberapa ciri-ciri khusus dari pekerjaan yang biasa ditekuni oleh perempuan, yaitu (1) sesuai dan dapat dikombinasikan dengan kegiatan reproduksi dan khususnya ke-giatan pemeliharaan anak, (2) pada posisi subordinat terhadap pekerjaan laki-laki dan juga terhadap hirarki ber dasarkan umur, dan (3) merupakan perpanjangan kegiatan perempuan di sektor domestik (Suyanto dan Susanti, 1996). Pilihan jenis pekerjaan tersebut membuat Walaupun, secara kuantitas, banyak perempuan yang terjun ke sektor publik, namun di antara mereka tidak semua yang mendapat posisi yang layak. Citra baku masyarakat terhadap perempuan yang masih didominasi pola-pola lama sehingga kaum laki-laki yang cenderung memperoleh kesempatan lebih besar sedangkan perempuan hanya dicadangkan pada urusan tradisi-onal semata. Beneria (1979) memberikan beberapa ciri-ciri khusus dari pekerjaan yang biasa ditekuni oleh perempuan, yaitu (1) sesuai dan dapat dikombinasikan dengan kegiatan reproduksi dan khususnya ke-giatan pemeliharaan anak, (2) pada posisi subordinat terhadap pekerjaan laki-laki dan juga terhadap hirarki ber dasarkan umur, dan (3) merupakan perpanjangan kegiatan perempuan di sektor domestik (Suyanto dan Susanti, 1996). Pilihan jenis pekerjaan tersebut membuat

Memang idealnya tenaga kerja perempuan yang terlibat pada sektor publik selain harus mendapat perlindungan hukum yang layak, mereka juga harus mendapat upah dan tidak diperlakukan diskriminatif. Namun karena akibat proses industrialisasi yang cenderung bercorak kapitalistik yang melanda pembangunan di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, maka yang terjadi kemudian adalah proses eksploitasi, subordinasi, dan marginalisasi posisi kaum perempuan.

Di dalam sistem kapitalistik, kaum perempuan cenderung berada di dalam posisi sebagai objek sistem ekploitasi tiga lapis. Pertama, pada tingkat global sebagai warga masyarakat negara pinggiran, kaum perempuan akan menjadi korban kesenjangan dan ketidakadilan sistem internasional. Kedua, pada tingkat produksi sebagai bagian terbesar lapisan bawah dari sistem stratifikasi kerja industrial, kaum perempuan menjadi korban pertama dari kesenjangan hubungan-hubungan industri kapitalis. Ketiga, pada tingkat kemasyarakatan, kaum perempuan juga harus mengalami perlakuan yang tidak adil dari struktur dan ideologi gender yang telah berlangsung berabad-abad.

Pengalaman pembangunan yang sedang berlangsung di berbagai belahan dunia yang cenderung Pengalaman pembangunan yang sedang berlangsung di berbagai belahan dunia yang cenderung

Banyak contoh yang dapat diketengahkan tentang eksploitasi kaum perempuan ini. Arus globalisasi kapitalisme yang melanda dunia memperlihatkan dengan jelas pesan-pesan yang disandangkan perempuan dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan (Rahayu, 1996). Saat ini, tampak bahwa kaum perempuan dijadikan objek sasaran berbagai produk kaum industrialis. Sebagian besar kaum perempuan yang perannya "telah" ditentukan untuk mengurus rumah tangga dan melayani kebutuhan keluarga tampak sekali menghadapi pilihan antara survive dan konsumerisme. Di lain pihak, kaum perempuan yang berada pada level sosial-ekonomi tinggi yang memiliki harta melimpah terus dituntut untuk mempertahankan segala kelebihannya agar dapat memenuhi kebutuhan konsumtifnya. Akhirnya, Semua kaum perempuan dari berbagai lapisan ber-usaha memperoleh uang-uang sebanyak-banyaknya agar dapat memenuhi kebutuhan konsumtifnya.

Dalam era globalisasi serta ketimpangan gender yang sedang berlangsung ini perempuan juga mengalami hal-hal seperti perampokan, perampasan dan pelecehan seksual. Industri hiburan yang menjamur pada dasarnya menjual seksualitas kepada konsumen yang Dalam era globalisasi serta ketimpangan gender yang sedang berlangsung ini perempuan juga mengalami hal-hal seperti perampokan, perampasan dan pelecehan seksual. Industri hiburan yang menjamur pada dasarnya menjual seksualitas kepada konsumen yang

Fenomena-fenomena di atas memperlihatkan bagaimana perempuan dieksploitasi untuk memenuhi norma-norm kapitalistik. Ketrampilan atau peningkatan wawasan seperti banyak dilakukan oleh organisasi perempuan belum banyak mengubah posisi perempuan.

Harapan Kartini

Melihat fenomena semakin semaraknya perempuan keluar dari sektor domestik tentunya Kartini akan tersenyum bangga. Ia akan merasa puas karena apa yang diperjuangkannya telah menunjukkan wujud yang nyata. Namun demikian, apabila kita lihat, secara kualitas, mungkin Kartini akan menitikkan air mata. Karena perempuan ideal yang diidamkannya belum sepenuhnya terwujud. Mereka masih berkutat melepaskan diri dari berbagai tekanan yang ada.

Memang di satu sisi kaum perempuan telah memperoleh kemerdekaan dari belenggu "rumah yang damai". Namun nilai-nilai yang lain telah mengekploitasi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan kultural kaum perempuan belum sepenuhnya berhasil. Eksploitasi kapitalisme terhadap perempuan Memang di satu sisi kaum perempuan telah memperoleh kemerdekaan dari belenggu "rumah yang damai". Namun nilai-nilai yang lain telah mengekploitasi mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan kultural kaum perempuan belum sepenuhnya berhasil. Eksploitasi kapitalisme terhadap perempuan

Untuk mengubah nasib kaum perempuan memang bukan sebuah perkara yang mudah seperti orang membalikkan tangan. Harus ada usaha yang nyata dari berbagai pihak, baik dari kaum perempuan itu sendiri, lembaga-lembaga terkait, ataupun kaum laki- laki. Tanpa dukungan ketiga unsur tersebut, usaha-usaha mengangkat perempuan dari kungkungan nilai partriarkhi dan ketidakberdayaan hanyalah sebuah slogan yang tidak ada arti.

Pemberdayaan Perempuan (Aceh) 5

Agus Budi Wibowo

Dengan mengerutkan dahi penuh keheranan saya perhatikan seorang laki-laki (bapak-bapak) sedang antri di sebuah counter supermarket Banda Aceh membayar beberapa perlengkapan wanita, seperti underwear, dan beberapa kebutuhan rumah tangga lainnya. Kalau saja ia membeli barang-barang perlengkapan pria mungkin tidak menarik perhatian namun karena yang dibeli perlengkapan wanita dan kebutuhan rumah tangga lainnya, maka hal ini menjadi menarik perhatian.

Pada suatu petang ketika saya membeli beberapa keperluan sehari-hari di Pasar Peunayong, saya perhatikan seorang bapak berjalan sendiri sambil menjinjing sekeranjang bahan keperluan sehari-hari dan rumah tangga, seperti ikan, sayur mayur, dan sebagainya. Kedua kalinya dahi ini berkerut lagi.

Pada bagian lain, suatu pagi ketika saya jalan-jalan berkeliling kota Banda Aceh sambil menghirup udara segar pagi hari saya melihat beberapa bapak bergerombol sedang asyik duduk menikmati secangkir kopi dan beberapa panganan ditemani acara Nuansa

5 Tulisan ini pernah dimuat di dalam Harian Umum Serambi Indonesia pada tanggal 11 Juli 1996