DAFTAR ISI

Bagian Tata Usaha Kanwil Kementerian

Agama Provinsi Papua: “ Aipon Asso adalah seorang pejuang Islam. Bisa dikatakan beliau itu adalah potret orang Papua pegunungan yang memiliki kecerdasan spiritual yang diperoleh dari alam. Kedudukannya sebagai kepala suku besar juga menambah wibawanya dalam masyarakat, khususnya di Walesi. Aipon Asso dalam berdakwah, sangat berhati- hati, sehingga sedapat mungkin tidak menyinggung hak-hak adat masyarakat setempat yang telah dilestarikan sejak lama. Beliau memiliki penguasaan metode dakwah yang disesuaikan dengan konteks masyarakat yang dihadapinya, seolah-olah itu diperolehnya dari sebuah pembelajaran setingkat perguruan tinggi, padahal saya tahu bahwa beliau itu tidak pernah sekolah. Tapi itulah serangkaian keistimewaan seorang Aipon Asso mengiringi hidayah yang diperolehnya sehingga memutuskan untuk menganut Islam.”

Wawan Asso. Kasi Penamas Kanwil Kementerian Agama Provinsi

Papua, Kerabat Aipon Asso: “ Beliau itu orang cerdas, meski tidak bisa menulis dan membaca. Setiap perkataan yang dia bicarakan harus ada wujudnya dalam keseharian, dalam arti, beliau adalah sosok yang konsisten di mana perkataannya selalu berbanding lurus dengan implementasinya. Dari sudut

pandang kekerabatan, saya mengenal pribadi beliau yang sangat luar biasa, di mana penanaman nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan keluarganya menjadi suatu hal yang selalu ditanamkannya. Baginya, sangatlah penting untuk kami para kerabatnya memahami hal tersebut, sebab kelak nanti yang akan meneruskan perjuangannya adalah kami para ahli warisnya. Aipon Asso adalah juga seorang pribadi yang humoris dan senang bergaul dengan anak muda, sekaligus menyalurkan bakat bermusiknya di tengah-tengah kecenderungan para generasi walesi memainkan gitar, dan beliau tidak sungkan untuk bergabung bersama kami. Terkait dengan ketegasannya, satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah kegigihannya untuk memperjuangkan pendidikan bagi kami- kami anak-anak Walesi.”

KH. Muharram, Mantan Kasi Urais Departemen Agama Jayawjaya (Sahabat

Aipon Asso): “ Sejak saya mengenal Aipon Asso, selama itu pula saya melihat dalam dirinya sebuah spirit meyakini Islam yang sangat besar. Beliau adalah sosok yang sangat getol mendampingi perkembangan Islam di Wamena. Khususnya kepada anak-anak, beliau sangat menanamkan perihal aspek-aspek kebaikan dalam beragama termasuk di dalamnya kebersihan, kebaikan dan penyadaran. Beliau juga adalah sosok yang sangat pemberani dan tangguh. Kegigihannya diperlihatkan dalam menghadapi segala hal yang dianggap bisa mengganggu stabilitas keamanan Walesi, termasuk ketika OPM datang menyerang, meskipun ketika itu beliau belum berislam, tetapi ketangguhan yang dimilikinya memperlihatkan sebuah sikap heroik seorang pemimpin dan menjadi orang terdepan dalam membela wilayahnya. Beliau sangat berjasa dalam pembangunan dan pengembangan Islam di Walesi secara khusus dan Kabupaten Jayawjaya secara umum, bahkan dalam skala yang lebih luas yakni Provinsi Papua.“

20 a bu m uslim

sangat berwibawa, juga sosok pembawa Umum Pengurus Wilayah Nahdatul perubahan.”

Dr. Toni Victor M. Wanggai, Ketua

Ulama Provinsi Papua. “ HM. Aipon Asso

adalah sosok pejuang Islam yang tangguh, beliau berperang dulu baru masuk Islam.

Penutup

Kemudian diikuti oleh rakyatnya di Walesi. Sosok seperti itu mencerminkan

Aipon Asso adalah seorang sebuah kisah sejarah keberislaman heroik

tokoh agama Islam Papua yang sangat di tanah Papua. Hal ini menjadi sangat

berpengaruh dan memiliki sensitiitas menarik sebab ketokohan seorang Kepala

keberagamaan yang peka zaman. Sebagai Suku rupanya menjadi bagian yang tidak

seorang pemimpin adat dan pemimpin terpisahkan dari eksistensi agama di agama di Walesi, Aipon Asso berhasil salah satu daerah pegunungan di Papua,

memadukan sistem agama dan budaya di mana keteraturan dan keberagamaan

setempat dengan sangat bjaksana. Pola menjadi sesuatu yang menarik untuk dakwah yang diterapkan mencerminkan diperbincangkan.”

ketinggian budi pekerti dan pemahaman yang mendalam terkait aspek mana yang

Zubair Daeng Hussein, Ketua harus disentuh dalam hal pemberian Umum Majelis Ulama Provinsi pemahaman keagamaan Islam. Para tokoh Papua: “ Bagi saya H. Aipon Asso telah

agama, tokoh masyarakat dan stakeholder menorehkan sejarah keberislaman yang

sangat mengapresiasi perjuangan yang sangat hebat di Papua, ketokohannya dilakukan oleh Aipon Asso, sehingga

mampu membawa masyarakat ikut bagi mereka sosok Aipon Asso adalah menganut Islam. Beliau adalah pahlawan. Ketokohan dan nilai kejuangan manifestasi tokoh Islam lokal Papua yang

dalam mempertahankan eksistensi sangat berkarakter, dia adalah panutan!

agama Islam di sebuah wilayah geograis Perjuangannya luar biasa.”

pegunungan seperti Papua, kiranya dapat memberikan warna dan khazanah baru

Reza Al Hamid, Tokoh Muda terkait pendefenisian tokoh agama Islam Muslim Papua: “HM. Aipon Asso

yang tidak mengesampingkan unsur- adalah orang yang sangat hebat! Saya

unsur kelokalan yang berlaku dalam salut dengan perjuangannya. Beliau masyarakat.

Daftar Pustaka

As’ad, Muhammad dkk. Buah Pena Sang Ulama. Jakarta: Indobis, 2011. Athwa, Ali. Islam Atau Kristenkah Agama Orang Irian? Surabaya: Pustaka Dai, 2004. Departemen Pendidikan Nasional RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008. Douglas, Mary Douglas, dan Edward Evans-Pritchard. Modern Masters Series. New York:

Viking Press, 1980. Endraswara, Suwardi. Kajian Budaya Religi dan Ritual. Universitas Gadjahmada Press. Glase, Cryil. Ensiklopedi Islam (Ringkas) . Jakarta: PT. Raja Graindo Persada, 2002.

HARMONI September - Desember 2014

21 L. Pals, Daniel. Seven Theories of Religion (Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif).

d akwah P eka k ultur ala a iPon a sso :P otret k eberislaman P egunungan t anah P aPua

Jogjakarta: IRCiSoD, 2012. Muslim, Abu. Memoar Abdullah Said dalam Goresan Penanya. Makassar: Balai Penelitian

dan Pengembangan Agama, 2011. . Ulama Perempuan di Bonde Polewali Mandar (Study Biograi Annangguru Hudaidah).

Makassar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2012. M. Wanggai, Toni Victor. Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua. Jakarta: Badan

Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009. Qordhowi, Yusuf. Kebudayaan Mam Eksklusif atau Inklusif. Solo: Era Intermedia, 2001. Santing, Waspada (ed). Ulama Perintis; Biograi Mini Ulama Sulsel. Makassar: Pustaka Az

Zikra, 2010. S. Widjojo, Muridan (ed). Papua Road Map (Negotiating the Past, improving the Present and

Securing the Future ). Bekasi: Serpico, 2009. Wikipedia Ensiklopedia Bebas. Diakses Agustus 2013. Wamena Jayawjaya ( htp://

id.wikipedia.org/wiki/Wamena,_Jayawjaya ), 2013. Yonathan Lekitoo, Handro. Potret Manusia Pohon (Komunitas Adat Terpencil Suku Korowao

di Daerah Selatan Papua dan Tantangannya Memasuki Peradaban Baru). Jakarta: Balai Pustaka, 2012.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

22 m ustolehudin

HARMONI September - Desember 2014

P enelitian

Merawat Tradisi Membangun Harmoni: Tinjauan Sosiologis Tradisi Haul dan Sedekah Bumi di Gresik

Mustolehudin

Peneliti Balai Litbang Agama Semarang Email : [email protected] Diterima redaksi tanggal 17 Oktober 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

There are interesting patterns in Gresik’s religious social history in Gresik. Due to the existence and inheritance of Hindu- Buddhist beliefs prior to the process of Islamization undertaken by the Wali Songo, Islam in Gresik has its own unique color. The Hindu-Buddhist traditions were maintained and developed, including the tradition of Sedekah Bumi. This study seeks to understand how the social construction of the Sedekah Bumi tradition has shaped religious harmony in Gresik. Using qualitative data from in-depth interviews, observation, and an investigation of the literature, this article inds that the Sedekah Bumi tradition has become one of the ways to cultivate social cohesiveness in the community. This study also inds that the Sekedah Bumi tradition practiced by the those in the coastal areas tend to have an Islamic character. In contrast, the practices in the Southtend to have a Kejawen Islamic character.

Keywords: Local Tradition, Haul and Earth Alms, Gresik.

Abstrak

Sejarah sosial keagamaan di Gresik memiliki corak yang menarik untuk diamati. Proses islamisasi yang dilakukan para wali memberi warna tersendiri terhadap budaya sebelumnya yang merupakan peninggalan kepercayaan Hindu-Buddha. Tradisi yang tumbuh dan berkembang sampai saat ini adalah haul dan sedekah bumi. Rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana konstruksi sosial tradisi haul dan sedekah bumi membentuk kerukunan umat beragama di Kabupaten Gresik. Penelitian kualitatif dengan teknik wawancara mendalam, observasi, dan penelusuran literatur menemukan bahwa tradisi haul dan sedekah bumi menjadi salah satu media perekat sosial bagi masyarakat. Tradisi haul yang dilakukan sebagian besar masyarakat wilayah pesisir Gresik cenderung bercorak keislaman. Sedangkan tradisi sedekah bumi yang sebagian besar dipraktikkan masyarakat Gresik bagian selatan, cenderung bercirikan Islam kejawen.

Kata Kunci : Tradisi Lokal, Haul, Sedekah Bumi, Gresik.

Pendahuluan

Berdasarkan pemetaan yang dilakukan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Gresik tahun 2009, tradisi sosial keagamaan di daerah tersebut tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut terjadi karena adanya dukungan konkret dari pemerintah Kabupaten Gresik. Dukungan tersebut

dapat diketahui dari pawai budaya yang diselenggarakan masyarakat Gresik mendapat dukungan dari pemerintah setempat.

Tradisi sosial budaya keagamaan yang mendapat dukungan dari kabupaten ini, di antaranya adalah tradisi haul dan sedekah bumi. Di tengah derasnya gempuran budaya modern, tradisi ini

23 mampu bertahan. Selain berfungsi sebagai

m erawat t radisi m embangun harmoni :t injauan s osiologis t radisi h aul dan s edekah b umi di g resik

alat perekat kerukunan. Fokus penelitian sarana bentuk kebaktian kepada Tuhan,

ini secara spesiik mengkaji tentang tradisi tradisi ini juga berfungsi sebagai perekat

haul dan sedekah bumi di Kabupaten sosial bagi pelaku tradisi (masyarakat)

Gresik. Masalah yang diangkat dalam setempat.

penelitian ini adalah: bagaimana proses konstruksi sosial tradisi haul dan sedekah

Awal mulanya tradisi haul bumi membentuk kerukunan umat dicetuskan oleh Sunan Prapen. Tradisi beragama di Kabupaten Gresik? yang tumbuh dan berkembang sejak masa

Sunan Prapen itu, oleh masyarakat Gresik Manfaat yang dapat diperoleh dari dilestarikan hingga sekarang. Tradisi penelitian ini adalah secara teoritik, dapat

tersebut dilakukan untuk memberi menambah kajian tentang kerukunan penghormatan kepada para leluhur antarumat beragama yang bersumber dan para wali, atas jerih payah mereka

dari budaya lokal. Adapun secara praktis, melakukan perubahan sosial keagamaan

penelitian ini diharapkan dapat menjadi di Gresik.

bahan masukan bagi pemerintah pusat Tradisi yang dirawat oleh dan daerah, terutama bagi pimpinan di

masyarakat Gresik tersebut, di satu lingkungan Kementerian Agama dalam sisi merupakan kekayaan budaya Jawa

merumuskan kebjakan dalam bidang yang tidak ternilai, dan sisi lain budaya

kerukunan beragama.

lokal tersebut memiliki potensi untuk membangun kerukunan di tengah-tengah masyarakat. Tradisi masyarakat pesisir

Kerangka Teori

sebagian besar adalah berbasis pada pesantren. Secara historis hal ini dapat

Teori yang digunakan dalam diketahui dari penyebaran agama Islam

penelitian ini adalah teori kebudayaan yang dilakukan oleh para wali. Para wali

dan teori magi. Teori ini digunakan untuk dalam melakukan dakwah kebanyakan

mengetahui proses sosial masyarakat dengan menggunakan budaya lokal. Gresik, khususnya terkait dengan

Tradisi haul dan sedekah bumi sejak tradisi haul dan tradisi sedekah bumi. dicetuskan Sunan Prapen mengalami Kebudayaan sebagaimana djelaskan perkembangan dan pergeseran. Pada Ahimsa-Putera dalam Nur Syam (2005: masyarakat Gresik bagian utara ciri

13) merupakan produk dari aktiitas nalar keislaman begitu menonjol dalam manusia. Manusia merupakan makhluk menjaga tradisi, sebaliknya pada wilayah

yang memiliki nalar dan berbeda Gresik bagian selatan aspek-aspek Islam

dengan hewan yang bertindak menurut kejawen masih kental dalam tradisi instingnya. Dengan akalnya manusia tersebut.

dapat berkarya dan menghasilkan peradaban. Kebudayaan seperti djelaskan

Penelitian tentang budaya lokal Geertz (1992: 3) merupakan struktur sosial (local wisdom) telah banyak dilakukan atau kepribadian. Konsep kebudayaan oleh para ahli dalam perspektif yang berarti suatu pola makna-makna yang berbeda-beda. Akan tetapi, penelitian diteruskan secara historis yang terwujud yang memfokuskan pada aspek tradisi dalam simbol-simbol, suatu sistem keislaman dan tradisi Islam kejawen konsep-konsep yang diwariskan yang belum banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan (Nur Syam, 2005: vi, Mat terungkap dalam bentuk simbolis yang

Solikhin, 2013: 259; Ismail, 2013: 157), dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan, dan memperkembangkan

menunjukkan bahwa budaya lokal yang terdapat di pesisiran dan pedalaman di

pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan.

Jawa memiliki fungsi strategis sebagai

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

24 m ustolehudin

HARMONI September - Desember 2014

Durkheim dalam Turner (2013: 1158) mengemukakan bahwa budaya merupakan bentuk ritual kolektif dan merupakan emosi bersama yang bertujuan menuju kepada yang sakral. Mengenai hal ini Geertz (2013: xii) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan suatu sistem sosial. Sebagai kajian antropologis, agama tidak bisa diartikan sama saja dengan pengakuan formal tentang hubungan manusia dengan konsep tentang sesuatu yang disucikan.

Berbeda dengan Geertz, Ricklefs (2013: 101) mengungkapkan bahwa kebudayaan seperti budaya Islam tidaklah murni, melainkan telah bercampur dengan kebudayaan Arab, India, Persia, Sumatera, dan Jawa demikian seterusnya sesuai dengan di mana budaya itu disemaikan. Ini berarti bahwa kebudayaan Islam bersifat “kebudayaan rakyat”, bukan “kebudayaan keraton”, dan bahwa kebudayaan itu pada umumnya selalu mengenai hidup keagamaan, hidup kemasyarakatan, dan hidup kenegaraan.

Berhubungan dengan budaya keagamaan yang hidup pada masyarakat Jawa terutama budaya Islam, sejatinya telah terjadi akulturasi dengan budaya sebelumnya yakni budaya Hindu- Buddha. Tradisi lokal suatu masyarakat seperti juga budaya Jawa, dapat dipastikan memiliki hubungan dengan dunia magi yang berintikan pada mistisisme. Kepercayaan kepada dunia magi (mistik) seperti djelaskan Tylor dalam (Daniel L Pals, 2001: 38) menyebutkan bahwa magi didasarkan pada hubungan ide-ide, suatu kecenderungan yang “terletak pada fundasi sebenarnya dari akal manusia.” Tylor memberi contoh tentang kehidupan orang-orang primitif, mereka percaya meskipun dalam jarak yang jauh, mereka dapat melukai atau mengobati orang lain hanya dengan berbuat melalui kuku jari, seikat rambut, sepotong pakaian, atau apa pun yang memiliki hubungan dengan orang yang menjadi obyeknya.

Dalam hal ini, berkaitan dengan tradisi haul atau sedekah bumi yang dilakukan masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Gresik bahwa penghormatan berupa doa- doa, ziarah kubur (nyekar) kepada para wali dan leluhur akan sampai kepada mereka.

Masyarakat Jawa dalam melakukan ritual magis akan berhubungan dengan selametan. Selametan menurut Geertz, (1983: 13-14) merupakan upacara keagamaan yang melambangkan kepada kesatuan mistis dan sosial. Selametan dalam masyarakat Jawa dilakukan untuk memenuhi hajat manusia yang dikuduskan. Upacara selametan dilakukan untuk memperingati kelahiran, kematian, sihir, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, sakit, memohon kepada arwah penjaga desa, bersih desa, khitanan dan lain-lain selalu diawali dengan selametan. Selametan adalah pengungkapan ringkas beberapa nilai-nilai utama Jawa yang saling berhubungan dan saling memperkuat (Newberry, 2013 : 62).

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Gresik, tepatnya di dua desa yang cukup kuat dalam melestarikan tradisi lokal (local wisdom ) yaitu di Kelurahan Lumpur dan Desa Setro, Kecamatan Menganti, Kabupaten Gresik. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2014. Penelitian ini adalah termasuk dalam kategori penelitian kualitatif. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dengan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik observasi dimaksudkan untuk memperoleh data- data tentang kondisi sosial keagamaan di Gresik. Adapun wawancara dilakukan untuk mendalami pemahaman atas observasi dan persoalan penelitian ini melalui tanggapan dari informan yang dipandang repesentatif. Dalam hal ini

25 wawancara secara mendalam (3-depth

m erawat t radisi m embangun harmoni :t injauan s osiologis t radisi h aul dan s edekah b umi di g resik

ahutang saktei rong laksa ..”. yang berarti interview ) dilakukan terhadap tokoh-

menunjukkan tahun 1387 M. Kemudian tokoh agama, dan masyarakat umum di

bangsa Cina yang mendarat di kota ini Gresik. Sedangkan telaah dokumentasi

pada abad 15 M menyebutnya dengan dipergunakan untuk mendukung hasil

nama “T se T”sun (kampong kotor) dan observasi dan wawancara, terutama berganti dengan “T sin T”sun (Gresik terkait dengan sejarah dan data-data Kota Baru). Gresik dikenal pula dengan kependudukan Kota Gresik.

sebutan Tandes, selanjutnya orang Portugis memberi nama “Agace”, bangsa

Analisis yang digunakan dalam Belanda menyebut Grisse, dalam Serat penelitian ini adalah analisis deskriptif.

Centhini disebut “Giri-Isa’. Sementara itu Tujuan analisis ini untuk membuat suatu

kata lain dari Gresik berasal dari “Qarr- gambaran atau lukisan secara sistematis,

syaik yang mempunyai arti (tancapkan faktual dan akurat, mengenai fakta-

sesuatu). Kata lain yang menunjukkan fakta, sifat-sifat serta hubungan antara

daerah ini disepadankan dengan kata fenomena yang diselidiki. Data-data yang

Giri-Nata (raja bukit), Gerwarase menurut diperoleh kemudian dipaparkan dan J.A.B Wisselius, dan Giri-Gisik (tanah

dianalisis dengan teknik deskriptif, yang pesisir) (Mustakim, 2010: 2-4). merupakan suatu alur kegiatan yang

meliputi: reduksi data, penyajian data, Kedatangan Maulana Malik Ibrahim dan menarik kesimpulan (Moleong, 2000:

beserta rombongannya pada waktu itu, 36). Analisis kualitatif pada umumnya

secara tidak langsung telah menancapkan tidak digunakan sebagai alat mencari tonggak sejarah awal penyebaran Islam data dalam arti frekuensi akan tetapi

melalui jalur perdagangan. Dalam digunakan untuk menganalisis prores lintasan sejarah yang sangat panjang, kota sosial yang berlangsung dan makna dari

ini menjadi jalur perdagangan nasional fakta-fakta yang tampak dipermukaan dan internasional. Hal ini ditandai itu. Dengan demikian analisis kualitatif

dengan adanya pelabuhan yang menjadi digunakan untuk memahami sebuah lalu lintas ekonomi yang pada masa proses dan fakta dan bukan sekedar untuk

lampau menjadi bukti sejarah jaringan menjelaskan fakta tersebut (Bungin, 2010:

penyebaran Islam di Giri. Sejak dahulu 144).

kala Gresik merupakan kota pelabuhan yang terkenal karena letaknya terlindung di selat Madura, dan membelakangi tanah

Setting Sosial Keagamaan Kota Gresik

yang subur dari sungai Bengawan Solo (Purwadi dan Maharsi, 2005: 173). Sebagai

Menurut Babad Gresik, pada akhir wilayah pesisir Timur yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit dengan

perdagangan, Gresik menjadi titik simpul Raja Prabu Brawjaya, sekitar tahun 1361

lalu lintas bangsa-bangsa Eropa dan Asia M terdapat serombongan keturunan Tengah. Tome Pires dalam (Zainuddin, bangsa Arab berjumlah 40 orang yang

2010: 7) menyebutkan sekitar abad 16 dipimpin oleh Maulana Mahfur dan kota ini sudah menjadi pusat transaksi

Maulana Ibrahim berlayar dan singgah di perdagangan. Kapal-kapal dari Maluku, pantai Jawa Timur. Oleh mereka pesisir

Banda, Gujarat, Siam dan Cina sudah ini dinamakan “Gerwarasi” yang berarti

berlayar di pelabuhan ini. Kebesaran letak tempatku beristirahat (Soekarman,

pelabuhan Gresik tidak terlepas dari 1990: 1). Terdapat beberapa versi tentang

jasa Prabu Satmata atau lebih dikenal asal mula nama Gresik. Frasa tersebut

Sunan Giri. Sunan Giri adalah tokoh yang terambil dari candra sengkala “…Hana

sangat berjasa dalam mengembangkan ta kawulaningong saking Gresik warigaluh

dan menghidupkan dinamika sosial

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

26 m ustolehudin

keagamaan, ekonomi, dan politik tradisi yang masih hidup berkembang masyarakat Gresik dalam era penyebaran

sampai sekarang. Tradisi haul hampir agama Islam (Zainuddin, 2010: 18).

di semua wilayah Gresik melaksanakan dengan berbagai keunikan masing-

Penduduk Kota Gresik selain masing kecamatan. Sedangkan tradisi dihuni oleh masyarakat pribumi asli, sedekah bumi eksis dilaksanakan di Desa juga dihuni etnis lain yang hidup secara

Setro Kecamatan Menganti. berkelompok. Etnis Arab bermukim di

kampung Gapuro dan Pulopancikan (sebelah selatan alun-alun Gresik), etnis

Cina di kampung Pecinan (sebelah timur Praktik Tradisi Haul dari Masa ke Masa alon-alon), etnis Eropa bermukim di

Praktik tradisi haul yang dilakukan sebelah Utara alun-alun, sedangkan etnis

masyarakat di Gresik, telah mengalami Madura menyebar di sekitar pantai dekat

pergeseran atau perubahan dari waktu ke pelabuhan (Zainuddin, 2010: 14).

waktu. Jika dirunut ke belakang, tradisi ini Secara geograis wilayah ini telah ada pada masa akhir pemerintahan di sebelah Utara berbatasan dengan Sunan Prapen yaitu sekitar tahun 1590

M. Beliau menjabat sebagai raja pada laut Jawa, kemudian sebelah Timur

berbatasan dengan selat Madura, sebelah dari tahun 1548 sampai 1605 M. Menurut

Selatan berbatasan dengan Kabupaten Mustakim (2010) pada waktu itu Sunan Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Prapen membangun cungkup makam

Sunan Giri. Hal ini dilakukan untuk Kota Surabaya. Sedangkan sebelah Barat

berbatasan dengan Kabupaten Lamongan menghormati Sunan Giri atau Raden (BPS Gresik 2013). Paku. Sebagai cucu Sunan Giri, Sunan Prapen memberi penghormatan kepada Jumlah penduduk di kota ini kakeknya dengan cara membangun mengalami perkembangan dari masa ke

makam beliau. Dalam masa pembangunan masa. Pada tahun 1850 seperti djelaskan

makam tersebut dimungkinkan Sunan Hageman dalam Zainuddin jumlah Prapen melakukan perubahan dalam tata penduduk berkisar antara 20.000 jiwa.

cara penghormatan kepada kakeknya. Pada abad 21 perkembangan penduduk

Dari praktik penghormatan kepada mengalami peningkatan yang cukup Sunan Giri inilah, tradisi penghormatan signiikan. Sensus yang dilakukan Badan

ke makam wali berkembang dari masa ke Pusat Statistik Kabupaten Gresik tahun

masa.

2013 jumlah penduduk kota ini adalah 1.307.995 jiwa. Berdasarkan jenis kelamin Mengenai praktik tradisi haul di

jumlah penduduk laki-laki berjumlah Gresik, tokoh agama di Gresik menjelaskan 658.786 jiwa dan jumlah penduduk bahwa tradisi haul dilaksanakan atas

649.209 tiga alasan utama. Pertama, adalah untuk jiwa. Sedangkan jumlah mengembalikan wibawa Sunan Giri

penduduk berdasarkan pemeluk agama adalah 1.140.275 jiwa beragama Islam, karena adanya serangan dari Kerajaan

9.487 beragama Kristen, 3.942 beragama Majapahait. Setelah Sunan Giri wafat, Katolik, 2.124 beragama Hindu, dan 405 pemerintahan digantikan anaknya Sunan beragama Buddha (BPS Gresik 2013). Dalem, baru tiga tahun memerintah

beliau meninggal sehingga pemerintahan Kondisi sosial budaya di Gresik

tidak stabil. Kemudian pemerintahan cukup menarik untuk dikaji. Di wilayah

diganti oleh Sunan Prapen dan beliau ini terdapat berbagai macam tradisi ingin mengembalikan kewibawaan ini yang masih dilestarikan oleh masyarakat

melalui tradisi haul dengan tata cara Gresik. Haul dan sedekah bumi termasuk

mengungkap sejarah kakeknya. Kedua,

HARMONI September - Desember 2014

27 adalah untuk membangkitkan semangat

m erawat t radisi m embangun harmoni :t injauan s osiologis t radisi h aul dan s edekah b umi di g resik

Gedhe, kemudian melekan (tidak tidur di ibadah. Ketiga, untuk membangkitkan malam hari) di Balai Gedhe, wayangan, semangat perjuangan dan kerukunan bandungan, tandaan tiga hari tiga malam, (Wawancara dengan Mukhtar Jamil, 10

dan mecah endhas. Karena dalam tradisi Maret 2014)

ini terdapat kegiatan yang mengandung unsur maksiat yaitu minum-minuman

Tradisi kekuasaan rohani yang keras, maka para ulama pada waktu dibangun oleh Sunan Prapen, selanjutnya itu berusaha untuk meluruskan tradisi diteruskan oleh salah seorang muridnya

yang berasal dari Lamongan yakni Ki Wayang Bumi (Dukut 2004: 320-322).

Sindujoyo yang menetap di Gresik. Menurut penuturan Mustakim, Menurut penuturan warga terdapat dua

mantan kepala desa yang menjabat di makam Ki Sindujoyo yang satu berada

Desa Lumpur sejak 1988 hingga 2001 di samping kanan luar makam Sunan

menjelaskan tentang kondisi masyarakat Prapen dan yang satu terdapat di Desa

Lumpur sebagai berikut: Lumpur Gresik.

“Dahulu masyarakat Desa Lumpur Terkait dengan tradisi haul di

sering melakukan kegiatan yang berbau Lumpur Gresik, jika dirunut maka tradisi

maksiat. Contohnya suka minum- ini telah dilakukan sekitar tahun 1548 M

minuman keras. Tradisi negatif ini atau berumur kurang lebih 424 tahun.

puncaknya pada perayaan Wayang Setiap tahunnya tradisi ini dilakukan

Bumi atau Sedekah Bumi. Sejak tahun untuk memberi penghormatan kepada

1965 secara berangsur-angsur melalui para wali khususnya dan para ulama, Kyai Nur dan Kyai Sahlan masyarakat kyai, dan tokoh agama yang mempunyai disadarkan akan bahaya minuman pengaruh. Upacara ritual yang dilakukan keras, dan dikenalkan dengan ajaran oleh masyarakat Lumpur khususnya Islam. Saya sebagai kepala desa pada dan Gresik pada umumnya, didahului dengan mengadakan ziarah (nyekar) ke saat itu melakukan perubahan dengan

makam Sunan Giri, Sunan Prapen dan bahasa agama. Oleh karena itu Wayang sunan-sunan lain serta tidak lupa pula

Bumi yang tadinya penuh dengan ziarah (nyekar) ke makam Ki Sindujoyo. perbuatan maksiat oleh Kyai Nur dan Kyai Sahlan dalam tradisi itu diselipi Dalam perkembangannya tradisi

dengan nilai-nilai ajaran Islam, seperti haul di Kelurahan Lumpur mengalami

ziarah, tahlil, Khotmil Quran dan pasang surut dan pergeseran. Menurut

manaqiban.”

keterangan (Wawancara dengan Arsyad,

17 Maret 2014) pada sekitar sebelum tahun Seperti djelaskan Agus Suwarno 1965 tradisi haul dinamakan Wayang

tokoh desa masyarakat Lumpur, tradisi Bumi atau disebut juga Sedekah Bumi.

haul dilakukan oleh semua masyarakat. Wayang Bumi seperti djelaskan Luhung,

Masyarakat secara suka rela bergotong mitologi ini ada karena Buyut Poleng.

royong untuk mengadakan tradisi Buyut Poleng berasal dari ular-ular yang

ini dengan menyumbangkan hasil menjelma menjadi manusia yang datang

tangkapan ikan yang dikelola oleh LKMD menemui seseorang dan menyuruh Desa Lumpur. Mengenai upacara tradisi penduduk mengadakan Wayang Bumi

ini, tata cara ritual haul djelaskan sebagai dengan maksud mengenang Sindujoyo.

berikut:

Tradisi ini diadakan dengan menyerahkan “Pertama semua warga masyarakat

hasil tangkapan ikan kepada panitia Wayang Bumi. Prosesi Wayang Bumi

melakukan nyekar (ziarah) ke makam diawali dengan menyembelih sapi di Balai

Sunan Prapen dan makam Sindujoyo

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

28 m ustolehudin

HARMONI September - Desember 2014

dengan berjalan kaki dan pada saat sekarang menggunakan kendaraan, pernah suatu saat kendaraan bak terbuka yang digunakan hingga mencapai 100 kendaraan lebih. Berikutnya, pada malam harinya diadakan pembacaan wacan Sindujoyo yaitu macapat untuk mengenang sejarah Sindujoyo yang dibaca dengan macapatan oleh Bapak Nur Ngaidi. Pada hari berikutnya diadakan mujahadah dengan membaca surah yasin dan tahlil, kadang dengan khataman al-Quran 30 juz yang dibaca seharian, malamnya diadakan pembacaan Manaqib Syaikh Abdul Qadir al-Jailani dan terkadang diisi pengajian. Pernah suatu saat mengundang H. Rhoma Irama dan Gus Mus (Mustofa Bisri) untuk mengisi pengajian di acara khaul tersebut.”

Selain kegiatan di atas, terkadang juga ditampilkan pula hadrah atau kasidah, kemudian pencak macam untuk menyemarakkan tradisi ini. Berbagai acara tradisi haul di atas, yang dilaksanakan oleh semua warga masyarakat Kelurahan Lumpur sesungguhnya mempunyai tujuan yang sangat baik dan mulia. Dari segi upacara keagamaan dapat meningkatkan semangat untuk beribadah kepada Allah dan menjauhi atau mengurangi hal-hal yang berbau maksiat.

Kepercayaan kepada yang ghaib sesungguhnya dalam ajaran Islam diperbolehkan, tetapi jika percaya kepada animisme dengan mengkultuskan tokoh tertentu dalam ajaran Islam tidak diperbolehkan. Tradisi haul yang dilaksanakan secara rutin setiap tahun oleh masyarakat Kelurahan Lumpur dalam pandangan Geertz (1985: 32), bahwa komunitas masyarakat Kelurahan Lumpur telah melakukan solidaritas sosial.

Penghormatan kepada roh leluhur oleh Frazer dalam Pals (2011:

28) diasosiasikan dengan teori agama (kepercayaan atau magi) dan Tylor menganggap sebagai praktek animisme. Sistem kepercayaan agama masyarakat Kelurahan Lumpur yang memiliki kepercayaan terhadap roh suci (wali) atau dayang desa dapat dikatakan sebagai perwujudan penghormatan kepada para wali yang telah menancapkan fondamen dasar keimanan mereka kepada Yang Maha Kuasa. Perubahan sosial dari masa ke masa di Gresik tidak terlepas dari peran para wali yang telah berjasa dalam bidang agama, ekonomi (melalui jalur dagang), politik (dibangunnya Kerajaan Giri Kedaton), dan budaya-budaya yang lekat dengan kondisi sosio masyarakat Gresik.

Melalui praktek tradisi haul sesungguhnya masyarakat Desa Lumpur telah melakukan perubahan sosial untuk kemajuan masyarakatnya. Nilai kerukunan yang terdapat dalam tradisi ini dapat digambarkan dengan terjadinya komunikasi antar anggota masyarakat. Melalui ziarah wali (nyekar) kepada tokoh atau dan yang desa, semua elemen masyarakat terlibat, baik anak-anak, remaja, maupun orang tua secara aktif mengikuti tradisi ziarah yang merupakan peninggalan warisan budaya masa lalu yaitu sejak masa kerajaan Giri Kedaton yang dipimpin oleh Sunan Prapen. Sunan Prapen berusaha untuk mengembalikan wibawa pemerintah kerajaan saat itu dengan mengadakan haul untuk memperingati Prabu Satmata atau dikenal dengan Sunan Giri atau Raden Paku.

Demikian pula dalam upacara pembacaan kitab suci, mendoakan arwah dengan membaca surah yasin, tahlil, Khotmil Quran (bi al-Ghoib dan bi an Nadlor ) yang dilakukan secara bersama, menjadi simbol kerukunan intern beragama masyarakat Muslim di Kelurahan Lumpur. Masyarakat Kelurahan Lumpur yang pada masa lalu Demikian pula dalam upacara pembacaan kitab suci, mendoakan arwah dengan membaca surah yasin, tahlil, Khotmil Quran (bi al-Ghoib dan bi an Nadlor ) yang dilakukan secara bersama, menjadi simbol kerukunan intern beragama masyarakat Muslim di Kelurahan Lumpur. Masyarakat Kelurahan Lumpur yang pada masa lalu

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

cenderung kurang beradab, pada masa sekarang dengan tradisi keagamaan yang sangat kental semakin harmonis dalam membangun hubungan dengan sesama anggota masyarakatnya.

Praktik Hidup Rukun dalam Tradisi Sedekah Bumi

Seperti halnya tradisi haul di Kelurahan Lumpur Gresik, tradisi Sedekah Bumi yang dilakukan warga Desa Setro-Menganti diselenggarakan sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas hasil panen yang mereka terima. Sejarah diselenggarakannya sedekah bumi tidak diketahui secara pasti, kapan tradisi mulai dirayakan. Menurut keterangan (Saifur Rahman, 13 Maret 2014) hampir semua desa di Kecamatan Menganti melaksanakan tradisi Sedekah Bumi. Hanya saja pelaksanaan Sedekah Bumi di Desa Setro memiliki kekhasan yang tidak dimiliki desa lain.

Secara geograi Desa Setro letaknya cukup strategis karena merupakan daerah perbatasan dengan Kota Surabaya. Batas desa ini di sebelah utara berbatasan dengan Desa Pengalangan, sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Randegansari, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Sidowungu dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Laban. Luas wilayah desa ini adalah 328,325 Ha yang terbagi 64,200 Ha untuk pemukiman penduduk, 145,258 Ha untuk lahan pertanian, 90,340 Ha berupa tegalan, dan 28,527 lain-lain. (Proil Desa Setro).

Sebagai desa budaya, Desa Setro memiliki visi misi yang cukup visioner yakni ”Mewujudkan masyarakat bersatu membangun desa, kuat berkeyakinan beragama, sejahtera, aman dan tentram serta melestarikan kearifan budaya lokal.” Sedangkan misi desa ini adalah sebagai berikut: 1). Mewujudkan masyarakat yang beriman, bertaqwa dan berakhlaqul

karima; 2). Meningkatkan peran serta dan pemberdayaan masyarakat; 3). Mewujudkan pemerintah yang baik dan berwibawa; 4). Mewujudkan kondisi desa yang aman, tertib, tentram dan damai; 5). Mewujudkan kondisi desa yang bebas dari polusi sampah; 6). Meningkatkan pembangunan ekonomi desa dengan titik berat ekonomi kerakyatan; 7). Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana desa; 8). Meingkatkan kualitas pelayanan public; 9). Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai seni dan budaya; 10). Melaksanakan kegiatan “selamatan desa/sedekah bumi sebagai warisan nenek moyang masyarakat desa (Sumber: Proil Desa Setro).

Sebagaimana

telah

djelaskan dalam visi dan misi Desa Setro, desa

ini memiliki semangat yang kuat untuk melestarikan tradisi budaya lokal. Tradisi Sedekah Bumi telah dilaksanakan secara turun temurun oleh masyarakat Desa Setro. Menurut keterangan sesepuh Desa Setro (Wawancara dengan Ahmad Junaidi, 12 Maret 2014) bahwa tradisi Sedekah Bumi telah dilakukan ratusan tahun yang lalu sejak jaman penjajahan Belanda atau sekitar awal abad 19. Hal ini pun dikuatkan keterangan mantan kepala Desa Setro (Wawancara dengan Bambang Suprayitno, 14 Maret 2014) yang menjabat selama 14 tahun. Menurutnya, tradisi sedekah bumi sejak lurah yang pertama pada tahun 1939 tradisi ini telah dilaksanakan dan dilestarikan sampai saat ini.

Secara mitologis tradisi sedekah bumi dilakukan untuk memberi penghormatan kepada leluhur desa tersebut. Menurut keterangan sesepuh desa, tradisi ini selain sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, juga sebagai rasa penghormatan kepada dayang Gadang kyai Bulu dan Nyai Bulu. Lebih lanjut seperti djelaskan Ahmad Junaidi dan Suhanandi bahwa nama Sedekah Bumi mula-mula bernama tegal

30 m ustolehudin

HARMONI September - Desember 2014

desa, ruwahan desa, dan bersih desa. Tujuan dari pelaksanaan Sedekah Bumi adalah untuk memohon keselamatan desa dari segala malapetaka (Wawancara dengan Suhanandi, 13 Maret 2014)

Lebih lanjut Ahmad Junaidi dan Suhanandi menjelaskan, dahulu kala di desa ini mengalami pagebluk, terjadi kemarau yang sangat panjang dan warga desa tidak dapat menanam padi maupun tanaman lainnya. Pada suatu ketika sekelompok penggembala kambing (cah angon) memohon kepada Tuhan agar diturunkan hujan. Ternyata doa anak-anak penggembala tadi dikabulkan oleh Tuhan dan turun hujan dengan lebat. Seketika itu anak-anak penggembala kambing (cah angon) tadi berjingkrak-jingkrak sangat gembira. Mereka bermain-main air, hujan-hujanan, dan saling berpasangan membentuk permainan gulat. Mereka saling banting- membanting, berangkulan, dan diringi tawa ceria menyambut datangnya hujan. Maka sejak saat itu penduduk Desa Setro mengadakan tegal desa (selamatan desa) untuk merayakan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak saat itu pula tradisi gulat okol diabadikan untuk melengkapi tradisi Sedekah Bumi.

Sebelum tradisi Sedekah Bumi dilaksanakan di Balai Desa Setro, ritual selamatan awalnya dilakukan di bawah pohon besar di tengah-tengah desa. Nenek moyang desa ini menyebutnya sebagai Kyai Bulu dan Nyai Bulu. Secara mitologis, Kyai Bulu dan Nyai Bulu konon ceritanya merupakan orang yang pertama kali melakukan babad desa. Awal mulanya, penduduk desa pada saat itu membawa berbagai macam makanan khususnya (tela pendem) hasil bumi dan tumpeng untuk didoakan di bawah pohon Kyai Bulu dan Nyai Bulu dan selanjutnya dimakan bersama. Pohon itu oleh penduduk desa dikeramatkan. Seperti diceritakan Ahmad Junaidi pohon ini dibalut dengan kain mori (kain kafan)

sebagai penghormatan kepada Kyai Bulu. Oleh orang yang kurang waras (sakit ingatan) pohon ini bagian pangkal dibakar, sehingga lama kelamaan pangkalnya menganga dan akhirnya pohon ini tumbang. Sebagai tetenger (tanda) awal mula adanya Sedekah Bumi di Desa Setro, bekas tanah pohon ini didirikan Madrasah Ibtidaiyah.

Prosesi ritul sedekah ini mulai tahun 1966 diselenggarakan di balai desa, dan sejak tahun 2005 warga masyarakat mengadakan kreasi dan inovasi dengan mengarak tumpeng raksasa keliling desa dan berakhir di balai desa. Tradisi ini biasanya dilaksanakan setelah panen raya atau sekitar bulan Juli – September. Setelah tradisi Sedekah Bumi dilakukan di Balai Desa Setro, dapat dipastikan prosesi ritual dilaksanakan pada hari Minggu. Sebelum acara inti ritual Sedekah Bumi, berbagai tradisi kesenian ditampilkan untuk mengiringi kemeriahan tradisi ini. Jenis seni yang kadang tampil adalah wayang, ludruk, orkes dan lain-lain. Acara ini diadakan pada malam hari sebelum sedekah atau tepatnya malam minggu.

Sarana prasarana (ubo rampe) pelaksanaan Sedekah Bumi disediakan oleh semua warga masyarakat penduduk Desa Setro. Sebelum acara perayaan ritual sedekah, malam hari ibu-ibu dan remaja putri menyiapkan berbagai masakan, seperti membuat tumpeng (menurut masyarakat desa Setro istilahnya membuat asahan), memasak berbagai macam hasil bumi (tela pendem) dan buah-buahan untuk di arak pada Minggu pagi. Selain itu ibu-ibu juga menyiapkan kembang kaulan (sarana untuk ritual tandakan).

Segala sarana dan prasarana pada prosesi ritual sedekah dibebankan kepada semua warga desa yang dikoordinasi oleh panitia Desa Setro. Selain iuran warga sebesar Rp. 25.000 per-KK, kegiatan Sedekah Bumi Desa Setro (SBDS) juga

31 dibantu oleh berbagai sumber donator

m erawat t radisi m embangun harmoni :t injauan s osiologis t radisi h aul dan s edekah b umi di g resik

dan diberikan kepada tandak. Uang receh maupun sponsor, baik donator di wilayah

tersebut disebar dan diperebutkan oleh Gresik maupun dari luar wilayah Gresik.

warga baik anak-anak, remaja, maupun Sebagai misal orang Desa Setro yang

orang tua. Kaulan ini dilaksanakan telah sukses di perantauan akan dimintai

ketika seseorang sembuh dari penyakit donator untuk ikut menyemarakkan kemudian nazar akan di “kauli” pada SBDS. Di antara sponsor yang membantu

ritual SBDS atau karena berhasil dalam tradisi SDBS pada kegiatan tahun 2011

meraih cita-cita. Kembang kaulan yang yaitu Bupati Gresik, warga desa Setro

disediakan panitia jumlahnya sangat di Tarakan, CV. Cipta Nuansa Pratama,

banyak, hal ini dapat diketahui pada PT. Citra Raya, bapak Suhardjo Trianto

laporan keuangan SBDS tahun 2007, Tarakan-Kalimantan Timur, PT. Tempo,

bahwa untuk belanja kembang kaulan bapak H. M. Soleh (PT. New Era), PT.

menghabiskan biaya Rp. 720.000. Setiap Karya Bakti Metal Asri, bapak H. Winardi

warga masyarakat yang melaksanakan Surabaya, PT. Indofood, PT. Delta Inter

haul (hajat), akan mendapat sejumput Nusa, PT. Indosat, PT. ESIA, PT. Djarum,

kembang dan di bawah pulang. Kembang bapak H. Danu Saputra Surabaya, dan

“kaulan” dipercaya masyarakat memiliki lain-lain.

kekuatan supranatural.

Prosesi ritual SBDS biasanya Selanjutnya setelah ritual “kaulan” telah disusun secara rinci, mulai dari

selesai dilanjutkan dengan gulat kirab tumpeng, prosesi upacara, gulat

tradisional (okol) yang dilakukan di tardisional (okol) dan sandiwara Ludruk.

lapangan desa. Di lapangan desa tersebut Prosesi ritual dimulai pada pukul telah dibuat ring seperti ring tinju. Akan

07.00 sampai selesai. Selanjutnya pada tetapi matras yang digunakan pada gulat pukul 08.00 – 10.00 tumpeng dikirab

okol adalah tumpukan jerami yang dilapisi keliling desa dan berakhir di balai desa.

dengan karung goni. Gulat okol dipimpin Kemudian pada pukul 10.00 – 12.00 Wib

oleh dua wasit yang disebut pelandang. ritual upacara SBDS dimulai. Dipandu

Peserta gulat okol terdiri dari kategori oleh pembawa acara, upacara diawali

anak-anak, dewasa putra dan wanita dengan membaca basmalah, selanjutnya

(ibu-ibu). Menurut keterangan (Karimun sambutan oleh ketua panitia, sambutan

dan Anang, 12-3-2014), gulat okol yang kepala desa, sambutan Bupati Gresik jika

dilakukan tidak ada pertandingan inal, hadir atau yang mewakili, dan diakhiri

jadi yang menang bertanding akan dapat dengan doa yang dipimpin oleh modin

bertanding lagi pada tahun yang akan desa atau kyai.

datang.

Doa yang dipanjatkan oleh Tradisi SBDS ini menurut modin desa atau kyai adalah memohon

keterangan tokoh masyarakat Desa Setro keselamatan agar warga masyarakat tidak hanya dihadiri oleh warga Desa Desa Setro djauhkan dari segala

Setro saja, tetapi juga diikuti oleh warga malapetaka, dimudahkan rezekinya, dan

di Kecamatan Menganti, wilayah Gresik, agar diberikan kebajikan-kebajikan untuk

bahkan orang-orang di luar Gresik semua warga desa. Setelah pembacaan

juga mengikuti tradisi ini. Lebih lanjut doa selesai dilanjutkan dengan tandaan

sebagaimana keterangan, tradisi SBDS yang dipandu oleh dua orang wanita

ini lebih meriah daripada perayaan idul cantik. Dalam tandaan ini, warga yang

itri yang juga diadakan setiap tahun oleh mempunyai hajat atau istilahnya “kaulan”

umat Islam. Pada hari dilaksanakan SBDS memberikan rezeki berupa uang baik

panitia telah menyediakan girik atau uang receh maupun uang kertas ribuan

kupon masuk ke desa Setro. Setiap gang

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

32 m ustolehudin

yang menuju arah desa Setro djaga oleh tertentu yang diwajibkan untuk tolong- panitia yang dibantu pihak kepolisian

menolong dan bekerja sama. Kecamatan Menganti (Wawancara

dengan Jamsari, 15 Maret 2014) Dengan demikian prosesi ritual tradisi haul dan sedekah bumi yang

Berdasarkan paparan di atas melibatkan semua elemen masyarakat, tentang tradisi ritual SBDS baik dilihat

mulai dari pembentukan panitia, dari perspektif selametan maupun dilihat

pelaksanaan kegiatan (yang melibatkan dari konteks kerukunan beragama, semua komponen masyarakat,

maupun kemasyarakatan, tradisi pemerintah, perusahaan yang ada di SBDS memuat nilai-nilai ilosois. Nilai

Gresik), sesungguhnya masyarakat telah ilosois yang dapat ditangkap adalah

melakukan komunikasi sosial yang secara nilai kebersamaan, nilai kekerabatan, intens dapat membangun kerukunan nilai sosial, nilai gotong royong, nilai

dalam kehidupan masyarakat. Praktik kerjasama, nilai ekonomi, dan nilai ziarah ke makam wali (nyekar), doa estetika.

bersama, membaca manaqib, tahlil, dan mujahadah, yang dilakukan secara kolektif

Simbol-simbol dalam upacara oleh masyarakat merupakan simbol- haul dan Sedekah Bumi seperti telah

simbol kerjasama, gotong-royong, saiyeg djelaskan di atas, sejatinya menyiratkan

saeko praya (bekerja bergerak bersama kebersamaan yang dibangun oleh kedua

untuk mencapai tujuan bersama), guyub penduduk setempat, yaitu penduduk rukun adalah bentuk nyata kerukunan Kelurahan Lumpur dan Desa Setro. yang dibangun oleh masyarakat. Kebersamaan yang disimbolkan dengan

Kepercayaan terhadap leluhur bentuk tumpeng yang mempunyai makna Sindujoyo dan Kyai Bulu yang dipercaya “tumuju ing pengeran” adalah bahwa masyarakat Kelurahan Lumpur dan Desa masyarakat secara bersama-sama telah Setro memiliki kekuatan. Hal tersebut,

melakukan perjalanan spiritual kepada seperti diungkapkan Ricklefs (2013) Tuhan. Demikian pula simbol yang adalah merupakan bentuk keyakinan

diungkapkan dalam bentuk tela pendem sinkretik mistisisme masyarakat kedua

yang bermakna mikul duwur mendem desa tersebut. Masyarakat Kelurahan jero mempunyai arti bahwa masyarakat

Lumpur yang mayoritas Islam melakukan penghormatan yang begitu

tradisional sebagian masyarakatnya tinggi kepada para wali dan para leluhur

masih percaya kepada hal-hal magis. desa yang telah berjasa melakukan Sementara masyarakat Desa Setro

perubahan di kedua wilayah tersebut. yang masyarakatnya cukup beragam Seperti diuraikan oleh Geertz (1985) seperti terdapat beberapa pengikut

bahwa Sedekah Bumi, ruwahan, haul, Muhammadiyah dan sebagian kecil pengikut LDII serta beberapa beragama

tegal desa, bersih desa merupakan bentuk- non-Muslim, komunikasi sosial yang

bentuk kepercayaan masyarakat kepada dibangun masyarakat terlihat sangat baik. yang gaib. Selametan melambangkan Hal tersebut tentunya menjadi modal kesatuan mistis dan sosial masyarakat masyarakat untuk menjalin kerukunan yang ikut dalam tradisi tersebut. Handai antar warganya. Selain itu hubungan tulan, tetangga, rekan kerja, sanak yang djalin dengan pemerintah, baik

keluarga, arwah setempat, nenek moyang pemerintah desa, kecamatan sampai

yang sudah mati, dayang-dayang desa, tingkat kabupaten juga terlihat sangat Tuhan, semuanya hadir dan duduk harmonis. Hal ini dapat dilihat dari peran

bersama dalam jamuan slametan dan pemerintah Kabupaten Gresik yang terikat ke dalam suatu kelompok sosial

HARMONI September - Desember 2014

33 mendukung pelestarian budaya lokal. berbagai perubahan. Seperti sebelum

m erawat t radisi m embangun harmoni :t injauan s osiologis t radisi h aul dan s edekah b umi di g resik

Perusahaan yang ada di sekitar Gresik tahun 1965 tradisi ini dinamakan Wayang secara tidak langsung juga turut berperan

Bumi yang dalam prakteknya cenderung dalam pelestarian budaya lokal. Bahkan

berbau maksiat dan mistis. Kemudian pada event nasional tradisi SBDS tampil

atas prakarsa Kyai Nur dan Kyai Sahlan di Taman Mini Indonesia Indah pada

tradisi ini berubah menjadi haul yang tanggal 13 Juli 2008. Selain tradisi SBDS

lebih banyak memuat unsur-unsur ritual dengan gulat okolnya, tradisi pencak macan

keagamaan. Sedangkan perubahan sosial dari kelompok masyarakat Kelurahan pada ritual sedekah bumi di desa Setro Lumpur Gresik juga sering tampil dalam

adalah bahwa sebelumnya tradisi ini agenda kesenian di Kabupaten Gresik,

dilakukan di sebuah pohon besar yang seperti saat tampil dalam kegiatan hari

dinamakan Kyai Bulu yang pada saat ini jadi Kabupaten Gresik yang ke 36 dan

tempat tersebut telah dibangun Madrasah hari jadi Kota Gresik yang ke 523 pada

Ibtidaiyah. Sekitar tahun 1966 tradisi ini tanggal 9 Maret 2014.

dilaksanakan di Balai Desa Setro. Dalam pelaksanaanya, tradisi sedekah bumi

Berdasarkan fakta dan data di atas, mengalami berbagai kreasi dan inovasi sesungguhnya tradisi haul di Kelurahan

setiap tahunnya. Proses kegiatan yang Lumpur dan tradisi Sedekah Bumi di Desa

dilaksanakan masyarakat Desa Setro, Setro telah melahirkan kebersamaan yang

meliputi menanggap wayang, ludruk, dibangun oleh masyarakat. Bangunan kirab tumpeng, tandakan, gulat okol, dan

kebersamaan itu terwujud dalam ritual terkadang juga menanggap orkes dangdut. tradisi yang didalamnya membentuk Tujuan dari kedua tradisi tersebut

sikap-sikap kerjasama, toleransi, gotong memiliki kesamaan yakni keduanya royong dan guyub rukun yang dibangun

sama-sama ingin mengungkapkan oleh masyarakat setempat.

wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan memberi penghormatan kepada roh leluhur dengan mengadakan

Kesimpulan

selametan, baik dalam tradisi haul maupun sedekah bumi. Jika di Kelurahan

Proses perubahan sosial tradisi Lumpur lebih tradisi haul lebih bersifat haul dan Sedekah Bumi mengalami religius, sedangkan di Desa Setro tradisi perubahan dari masa ke masa. Tradisi sedekah bumi lebih cenderung bersifat haul di Gresik yang dicetuskan Sunan

mistis estetis.

Prapen bertujuan untuk mengembalikan kewibawaan pemerintah pada saat itu.

Mengingat bahwa tradisi lokal Selain itu juga, tradisi ini bertujuan untuk

memuat nilai-nilai kerukunan, oleh membangkitkan semangat beribadah karena itu kepada pihak-pihak terkait

dan semangat persatuan. Dalam terutama pemerintah daerah perlu perkembangannya tradisi ini terutama mendukung tradisi lokal yang memiliki di Kelurahan Lumpur juga mengalami

potensi untuk kerukunan.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaruan Islam Indonesia . Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007.

Bungin, Burhan. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebjakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya . Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

34 m ustolehudin

Badan Pusat Statistik. Gresik Dalam Angka 2013. Gresik: Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Gresik, 2013.

Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonnna S. Handbook of Qualitatif Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Geertz, Cliford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT Pustaka Jaya, 1983.

------------, Kebudayaan dan Agama . Yogyakarta: Kanisius, 1992. Geetz, Hildred. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu

Sosial dan FIS – Universitas Indonesia, 1981. Ismail, Arifuddin. Agama Nelayan Pergumulan Islam dengan Budaya Lokal. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2012. ------------, Ziarah ke Makam Wali: Fenomena Tradisional di Zaman Modern. Makassar:

Jurnal Al-Qalam Jurnal Penelitian Agama Filosoi dan Sistem Volume 19 Nomor

2 November 2013. Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia . Jakarta: Djambatan, 1975. Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial . Jakarta: Dian Rakyat, 1990. Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia 2. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2008. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya, 2000. Mustakim. Gresik dalam Lintasan Lima Zaman: Kajian Sejarah Ekonomi, Politik, Sosial, dan

Budaya . Yogyakarta: Pustaka Eureka, 2010. Newberry, Jan. Back Door Java: Negara, Rumah Tangga, dan Kampung di Keluarga Jawa.

Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV, 2013. Nur Syam. Islam Pesisir . Yogyakarta: LkiS, 2005.

Pals, Daniel L. Seven Theories of Religion: Dari Animisme E.B. Tylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz . Yogyakarta : Penerbit Qalam, 2001.

Purwadi. Pranata Sosial Jawa . Yogyakarta: Cipta Pustaka, 2007. Ricklefs, M.C. Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930

sampai sekarang . Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2013. Soekarman. Babad Gresik . Surakarta: Museum Radya Pustaka, 1990. Solikhin, Mat. Kesalehan Sosial Ritual Nyadran. Semarang: Jurnal Dewaruci Jurnal

Dinamika Islam dan Budaya Jawa, edisi 21, Juli-Desember 2013. Supandhi, Ucok [et.all]. Wacan Sindujoyo Babad Kroman Gresik. Gresik: Pimpinan Cabang

Lesbumi NU, 2005. Thohir, Mudjahirin. Kekerasan Sosial di Pesisir Utara Jawa: Kajian Berdasarkan Paradigma

Kualitatif . Semarang: Lengkongcilik Press bekerja sama dengan Pusat Penelitian Sosial Budaya Lembaga Penelitian Undip, 2005.

------------, Metodologi Penelitian Sosial Budaya Berdasarkan Pendekatan Kualitatif. Semarang: Fasindo Press, 2013.

HARMONI September - Desember 2014

35 Turner, Bryan S. Sosiologi Agama . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

m erawat t radisi m embangun harmoni :t injauan s osiologis t radisi h aul dan s edekah b umi di g resik

Widodo, Dukut Imam. Grissee Tempo Doeloe . Gresik: Pemerintah Kabupaten Gresik, 2004. Zainuddin, Oemar. Kota Gresik 1816 – 1916 Sejarah Sosial dan Ekonomi . Jakarta: Ruas, 2010.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

36 m unawir h aris

HARMONI September - Desember 2014

P enelitian

Pencarian Otentisitas Diri Komunitas Muallaf di Kabupaten Sorong Papua Barat

Munawir Haris

Dosen Syariah STAIN Sorong Papua Barat Email: [email protected] Diterima redaksi tanggal 05 September 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

This study was conducted to explore and understand the factors and the chronology of the religious conversion process in the city and regency of Sorong, Papua. It speciically studies the Muslim converts in the area. This qualitative study uses the phenomenological theory adopted from Hussrel and symbolic interaction theory to explain religious conversion. This study shows that the main factors for conversion from Protestantism to Islam were: spiritual leaders and direct guidance from God. Converts believed that God has opened their hearts and minds to see the truth of Islam. They did not see the obstacles they faced as something dificult, because those factors have strongly penetrated the beleifs of the Abun ethnic group. The chronology of religious conversion had three main stages: 1) personal/individual conversion,

2) inviting their family to Islam after moving from Sorong regency, but also hiding their new identity--even for several years and inally, 3) openly dharing that they had converted to Islam.

Keywords: Self Authenticity, Guidance, Religious Conversion.

Abstrak

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengeksplorasi dan memahami, faktor- faktor penyebab konversi agama, proses dan kronologi konversi agama yang dilakukan oleh komunitas muallaf di Kota dan Kabupaten Sorong. Penelitian kualitatif ini menggunakan teori fenomenologi diadopsi dari Hussrel, dan teori interaksi simbolik yang menceritakan tentang fenomena konversi agama yang dilakukan. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa faktor utama yang menyebabkan mereka berpindah agama dari Kristen Protestan ke dalam Islam antara lain: faktor sosial, budaya, tokoh spiritual yang misterius, serta hidayah langsung dari Allah yang menggerakkan hati mereka. Mereka percaya bahwa Allah telah membukakan hati dan pikiran mereka untuk melihat kebenaran Islam. Rintangan yang mereka hadapi, seolah tidak diperhatikan karena faktor-faktor tersebut telah merasuk ke dalam hati nurani suku Abun. Kronologi pindah agama yang mereka lakukan meliputi tiga tahapan utama, yakni, secara personal

(sendiri-sendiri), mengajak keluarga setelah pindah dari Kabupaten Sorong, serta pindah agama yang dilakukan dengan menyembunyikan identitas mereka, selama beberapa tahun kemudian menyatakannya secara terus terang bahwa mereka telah masuk Islam.

Kata kunci : Self Authenticity, Bimbingan, Mengkonversi.

P encarian o tentisitas d iri k omunitas m uallaf di k abuPaten s orong P aPua b arat

Pendahuluan

bermakna dan penting ( signiicance). Agama sangat terkait dengan hal yang

Agama adalah realitas terdekat sakral, dan berkaitan dengan kekuatan sekaligus terjauh bagi manusia. Agama

besar dan biasanya diasosiasikan dengan selalu diterima dan dialami secara Tuhan (The Sacred) (Ibid: 20).

subjektif, karena itu dideinisikan sesuai dengan pengalaman dan penghayatan

Pada prinsipnya, agama merupakan seseorang terhadap agama yang dianut.

hak yang diberikan Tuhan kepada para Agama merupakan perasaan, tindakan,

hamba-Nya untuk meyakini keberadaan- dan pengalaman individu dalam Nya. Di Indonesia, hal ini disebutkan kesepiannya, sepanjang mereka melihat

dengan jelas dalam Pancasila Sila Pertama, dirinya berhadapan dengan apa yang “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Selain itu, dianggapnya sebagai Tuhan. Pengalaman

dalam UUD 1945 Pasal 29 disebutkan: dan penghayatan subjektif semacam ini

“Negara berdasar atas Ketuhanan juga dapat disimak dari peristiwa konversi

Yang Maha Esa. Kemudian pada pasal agama yang dilakukan seseorang.

berikutnya disebutkan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

Dalam kaitan konversi agama, memeluk agama masing-masing dan Jalaluddin Rakhmat mengemukakan untuk beribadah menurut agamanya bahwa konversi agama secara sederhana

dan kepercayaannya itu” (UUD ’45 dan bermakna bertaubat, menjadi orang Amandemennya, 2002).

yang lebih taat, berubah agama, berbalik pendirian terhadap ajaran agama

Oleh karena itu, jelas bahwa negara atau masuk ke dalam agama tertentu.

menjamin tiap-tiap penduduk untuk Menurutnya, konversi agama bukan hanya

memeluk salah satu agama yang ada di mencakup peristiwa pindah ke agama

Indonesia. Kebebasan tersebut dilindungi lain, namun bertambahnya penghayatan

oleh Undang-Undang dan setiap warga dan ketaatan terhadap agama yang dianut.

negara tidak dipaksakan dalam memilih Konversi agama mencakup perubahan

agama. Secara konstitusional, panduan keyakinan terhadap beberapa persoalan

umat beragama terebut sangat ideal dan agama yang diiringi dengan berbagai normatif. Tetapi, dalam konteks minoritas, perubahan dalam motivasi seseorang seperti halnya di Kabupaten Sorong, terhadap perilaku dan reaksi terhadap

Papua Barat, aturan konstitusi tersebut lingkungan sosial. Konversi agama juga

seolah tidak berlaku, yang berlaku justru merupakan peristiwa menjadi terlahir terkadang sikap kelompok mainstream kembali (regenerated), menerima rahmat,

memaksakan keyakinan terhadap umat mendapatkan pengalaman keagamaan, minoritas. memperoleh kepastian hidup. Pargament juga mengemukakan pandangannya

Di sebuah kampung terpencil di bahwa konversi agama lebih menekankan

Kabupaten Sorong, terdapat sejumlah bertambahnya perasaan keagamaan komunitas muallaf yang dalam sejarahnya yang lebih kuat, keterikatan, kesadaran

berupaya mencari jati diri beragama terhadap sesuatu Ilahiah yang membuat

sebagai umat manusia. Pencarian jati diri individu menyadari kesalahan yang beragama tersebut, ditempuh dengan

diperbuatnya, mengarahkan pada beraneka macam rintangan dan hambatan perubahan sikap dan perilaku secara dari masyarakatnya (baca: sukunya) mendasar (Lihat, Jalaluddin Rakhmat, sendiri. Hambatan dan rintangan yang 2001: 259; K.I. Pargament, 2000: 248). Oleh dilalui, ternyata tidak menyurutkan

karena itu, agama merupakan sebuah niatnya untuk pindah agama, yakni dari proses pencarian terhadap ‘sesuatu’ yang

Kristen Protestan ke Islam. Langkah tersebut dilakukan, tidak lain hanya

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

38 m unawir h aris

HARMONI September - Desember 2014

untuk memenuhi panggilan batin yang datang kepada mereka. Penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan ketika itu, seolah tidak dipedulikan. Intervensi dari pemerintah kecamatan di daerah Tambrauw, tempat asal mereka, tidak dihiraukan. Mereka rela meninggalkan daerah dan harta benda mereka di kampung halaman, demi memenuhi panggilan suci tersebut.

Dalam sejarah pemahaman nenek moyang mereka, datangnya Sultan Tidore ke Sausapor membawa berkah tersendiri pada suku Abun tersebut. Menurut tokoh masyarakat Muslim muallaf di kampung itu, Sultan Tidore membentuk perkampungan dengan dibentuknya wilayah-wilayah perbatasan pada setiap kampung. Sultan Tidore mulanya datang ke suku Abun dengan tujuan menukar kain dengan burung Cendrawasih (masyarakat Abun lebih mengenal dengan burung kuning karena paras dan warna burungnya berwarna kuning). Pada saat Sultan Tidore melakukan pertemuan dengan masyarakat Suku Abun, tidak menyampaikan dakwah Islam. Namun masyarakat yang datang kepada Sultan Tidore mengucapkan hormat dengan mengatakan “Jo”. Kata “Jo” sebagai isyarat masyarakat Suku Abun untuk meminta berkat dari Sultan Tidore tersebut.

Kata “Jo” mereka maknai dengan sebuah kesepakatan seluruh Suku Abun untuk menghormati sultan dan misi agama yang dibawanya. Tetapi masa kekosongan dakwah secara intensif menyebabkan mereka tidak mendapatkan pemahaman yang baik tentang Islam. Tampaknya setelah sultan meninggal, tidak ada penerus yang memperjuangkan ajaran Islam di daerah tersebut. Namun demikian, secara kultural, tokoh-tokoh pada Suku Abun mengakui, bahwa agama pertama dari nenek moyang mereka adalah Islam.

Dalam masa kekosongan dakwah itulah kemudian para penyebar agama lain masuk ke kehidupan mereka. Maka, ketika Suku Biak ke Sausapor datang dengan membawa agama Kristen Protestan dari Mansenam Manokwari (oleh C.W. Otow dan G.J. Geisseir) ke kehidupan masyarakat Suku Abun yang telah bersimpatik terhadap Islam, mereka menginjilkan masyarakat suku Abun dengan menggunakan bahasa Biak. Perkembangan agama Kristen pada suku ini, berkembang secara cepat, banyak masyarakat dari Suku Abun beragama Kristen Protestan dan mulai meninggalkan kepercayaan dan budaya asal muasal nenek moyang mereka.

Di tengah berlangsungnya proses misionaris tersebut, terdapat sejumlah komunitas tertentu yang kembali tertarik kepada Islam. Mereka secara diam-diam bersimpati kepada Islam. Mereka yakin bahwa agama yang pertama yang datang ke tanah Papua di kepala burung itu adalah Islam. Menurut ingatan tokoh muslim bernama Imam Sangaji. Orang tua beliau telah dahulu memeluk agama Islam dan bertemu langsung dengan sultan yang ketika itu mulai berdakwah di daerah kepala burung, tepatnya di Kabupaten Tambrauw saat ini. Tradisi tutur yang berkembang di masyarakat ketika itu menyebutkan bahwa ketika Sultan Tidore memasuki daerah ini, terjadi musibah yang kemudian menyebabkan tenggelamnya perahu yang ditumpangi oleh sultan dan anak buahnya. Menurut informasi, kitab al- Quran tersebut tenggelam di lautan kemudian terapung, sehingga ada orang yang klaim mengambilnya. Kitab suci tersebut diyakini berasal dari cetakan Istambul yang ketika itu masih berukuran besar (Wawancara dengan Haji Tejo, Jumat 14 Maret 2014). Agama yang pertama masuk di Kabupaten Tambrauw adalah Agama Islam. Islam yang berkembang di Suku Moi Karon berasal dari penyebaran agama yang dibawa

39 oleh Sultan Tidore dari Maluku. Mereka

P encarian o tentisitas d iri k omunitas m uallaf di k abuPaten s orong P aPua b arat

psikologi sosial, misalnya penghentian mencari tahu lebih banyak informasi dukungan secara inansial, kekerasan tentang Islam. Maka, pada tahun 1991

secara isik maupun psikis, cemoohan, komunitas Suku Abun menyatakan diri

pengucilan, bahkan pengusiran oleh sebagai Islam secara kolektif. Jumlah keluarga dan kampung halaman pun mereka sekitar 169 Orang. Pada mulanya

kerapkali dialami. Jalinan aqidah mereka bersedia akan di sunnat secara

sepertinya lebih dominan mempengaruhi masal dari tokoh-tokoh agama Islam kehidupan komunitas muallaf tersebut. yang akan datang dari Kota Sorong ketika itu. Menariknya, masyarakat Suku Abun

Dilema dan konlik seringkali yang akan berpindah agama Islam pada

dialami oleh para muallaf, ketika tahun tersebut mengalami perlawanan

dihadapkan dengan pelbagai keputusan dari suku lain yang mayoritas umatnya

penting secara bersamaan, misalnya saat beragama Kristen Protestan. Dengan harus memilih agama yang diyakini, atau

peristiwa itu, kemudian terjadilah meninggalkan orang tua dan keluarga kekacauan bahkan peperangan di antara

yang dicintai. Resiko-resiko ini, dibayar mereka. Komunitas muallaf ini, tetap mahal oleh komunitas muallaf tesebut. berjuang untuk mempertahan keyakinan

Muallaf dari Suku Abun dan barunya walaupun mendapat tekanan lingkungan sosial menganggap pindah

dan intimidasi. Mereka melakukan agama sebagai upaya memberontak peperangan dengan suku mereka sendiri

terhadap otoritas dan lingkungan sosial yang belum bersedia menganut agama

mereka. Dalam ruang hidup inilah, baru.

komunitas berhadapan dengan realita Masyarakat Suku Abun yang tentunya dapat menimbulkan yang aslinya berdomisili di daerah

a sense of crisis dalam batin. Krisis pemekaran Kabupaten Tambrauw, merupakan tahap yang dapat menjadi tepatnya di Sausapor, dengan gigihnya

daya utama terjadinya perubahan yang mempertahankan keyakinannya. mengkristalisasi situasi yang sedang

Dalam kondisi seperti itu, komuntias dihadapi. muallaf dari Suku Abun meninggalkan

Komunitas muallaf dari Suku tempat kelahirannya dan membuat Abun tampaknya telah mengalami

perkampungan sendiri bendungan SP penguatan perasaan dan identiikasi satu dan di Klalin satu dan berbagai

terhadap sesuatu yang sakral. Penguatan tempat lain di kota dan Kabupaten dan keterhubungan dengan objek yang

Sorong. sakral meliput tiga aspek: Pertama, Konversi agama memang kekuatan spiritual (spiritual conversion). merupakan proses dinamis yang tidak

Konversi tipe ini didorong oleh kekuatan sederhana dan termediasi melalui orang

spiritual, individu mengidentiikasikan lain, institusi, komunitas, dan kelompok

diri dengan sesuatu yang dianggap tertentu. Fenomena konversi agama Ilahi. Kedua, kelompok religius (religious tersebut, tentu tidak hanya membawa

group conversion ). Konversi ini, biasanya konsekuensi personal, tetapi reaksi sosial

terjadi pada individu yang terlibat pada yang beraneka ragam di masyarakat sekte, gerakan keagamaan baru, atau

terutama dari pihak keluarga dan gerakan mistis tradisional. Ketiga, nilai- komunitas terdekat mereka. Kasus nilai kemanusiaan (whole of of humanity, konversi agama di komunitas muallaf di

universal conrversion ) (Pargament, 2000). Kabupaten Sorong tersebut, tampak jelas

Konversi jenis ini, lebih merujuk pada menyebabkan munculnya perubahan nilai-nilai kemanusiaan secara umum.

Dari ketiga unsur yang sakral tersebut,

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

40 m unawir h aris

HARMONI September - Desember 2014

komunitas muallaf di Kabupaten Sorong lebih didasari oleh faktor pertama, yakni penguatan spiritual dalam pengidentiikasian diri kepada Tuhan yang Maha Segalanya. Komunitas mallaf tersebut menyadari bahwa dari sekian banyak agama yang ada di muka bumi, pastilah ada agama yang paling benar dan lurus. Tidaklah mungkin alam semesta ini mempunyai banyak Tuhan yang dipercaya oleh agama Kristen sebelumnya.

Berdasarkan eksplorasi di atas, ketertarikan dan permasalahan yang ada dalam penelitian ini, akan fokus pada tiga aspek mendasar yakni: 1). Apa saja faktor-faktor penyebab konversi agama pada komunitas muallaf di Kabupaten Sorong? 2). Bagaimana proses konversi yang dilakukan oleh komunitas muallaf di Kabupaten Sorong? 3). Bagaimana dampak psikologi yang mereka alami pra dan pasca melakukan konversi agama?

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengeksplorasi dan memahami faktor- faktor penyebab konversi agama, proses dan kronologi konversi agama yang dilakukan oleh komunitas muallaf di Kota dan Kabupaten Sorong. Penelitian ini, dapat menjadi referensi bagi masyarakat luas dalam telaah mengenai faktor-faktor apa saja yang dominan dalam konversi agama. Dari proses konversi agama dan hal-hal yang mempengaruhinya, idealnya ada pola-pola khusus yang dilakukan oleh pihak terkait, termasuk pemerintah untuk memberikan pembinaan mereka. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi rekomendasi ilmiah kepada pemerintah untuk lebih serius melihat komunitas muallaf di Kabupaten Sorong.

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan mengembangkan penelitian di bidang psikologi agama khususnya dalam memberikan informasi mengenai proses pencarian otentisitas diri secara otonom. Manfaat praksis bagi lembaga-lembaga

keagamaan terkait, termasuk MUI dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten agar dapat memberikan perhatian serius kepada masyarakat muallaf yang beragama Islam. Manfaat bagi subjek, diharapakan dapat memberikan informasi mengenai proses pencarian otentisitas diri dalam melakukan konversi agama tertentu. Subjek diharapkan mampu mengatasi berbagai perubahan yang terjadi dengan efektif dan bermakna. Sedangkan bagi masyarakat luas, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan di bidang psikologi agama, khususnya mengenai pencarian otentisitas (jati diri) dalam kehidupan beragama.

Kerangka Teori

Harus diakui, beragama adalah hak asasi dasar manusia. Agama merupakan sebuah entitas yang muncul pada tingkat sosial yang melibatkan ailiasi dan kohesivitas kelompok dan pranata sosial (Jalaluddin Rakhmat, 2001). Keputusan subjektif yang dibuat oleh individu berkaitan dengan agama, misalnya konversi agama, tidak bisa terhindar dari efek sosial yang akan muncul. Dalam upaya mengeksplorasi kesadaran dan pengalaman-pengalaman subjektif manusia, terutama yang berkaitan dengan konversi agama yang terjadi di komunitas muallaf di Kabupaten Sorong, maka dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama, yakni sosio- epistimologi dan fenomenologi.

Pertama , pendekatan sosio- epistimologi teori pengetahuan yang berwatak sosial. Ciri pendekatan ini adalah berpikir inovatif dalam menyingkap berbagai kemungkinan, baik dalam akal maupun dalam pengalaman, serta menata dan menguji argumen untuk menumbuhkan aktivitas dengan rasio dan nalar sosial sebagai tugas insani. Rasionalistas sejati tidak tertutup

P 41 encarian o tentisitas d iri k omunitas m uallaf di k abuPaten s orong P aPua b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

untuk dirinya sendiri, tetapi rasio manausia harus berwatak sosial dengan kepentingan-kepentingan manusia dalam lingkungan sosial yang khas (Aholiab Qatloly, 2013). Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menujukkan adanya visi baru tentang hakikat pengetahuan dan keilmuan yang terpancar dari ruang kedalaman hati dan hidup manusia (inner vision ). Visi tersebut menunjukan adanya pertautan yang bersifat batiniyah antara hakikat pengetahuan dan masyarakat manusia itu sendiri. Maka, dalam konteks penelitian ini, penulis ingin melihat gejala konversi agama yang dilakukan oleh komunitas muallaf yang terdiri dari masyarakat lokal pribumi di Kabupaten Sorong dan sekitarnya. Pendekatan ini menjadi penting dikedepankan dalam rangka mencari dan mengukap kebenaran yang terjadi pada komunitas tersebut. Artinya, pengetahuan tidak lahir dari ruang kosong, tetapi selalu bercengkrama dengan masyarakat dan manusia di sekitarnya demi kepentingan memanusikan diri (humanisasi dan emansipasi) serta kesejahteraan.

Pendekatan sosio-empistimologi berupaya mengembangkan sebuah sistem pengetahuan berkarakter sosial dalam rangka praksis yang mendorong tindakan- tindakan emansipatif, (pembebasan), demi tugas pencerdasan, humanisasi, cinta kasih, dan kesejaheteraan hidup manusia (Aholiab Qatloly, 2013). Sosio- epistimologi menyediakan sebuah releksi kritis, radikal dan komprehensif atas pengetahuan untuk menyingkap segala realitas yang terjadi dalam konversi di komunitas muallaf tersebut.

Kedua , fenomenologi. Fenomenologi secara etimologi berasal dari dua kata dalam Bahasa Yunani, yaitu phenomenon dan logos. Dari sudut bahasa, istilah phenomenon diartikan sebagai penampilan, sesuatu yang menampilkan diri. Fenomenologi, di samping sebagai pendekatan, juga

bisa dipakai sebagai metode yang bisa membantu untuk mendekati gejala, bagaimana menghayati, menghidupi, atau mengalami gejala itu sebenarnya (Z. Abidin, 2002). Pendekatan fenomenologis juga dapat mendeskripsikan makna pengalaman subjek tentang fenomena yang sedang diteliti, selain dapat memahami manusia dari segi kerangka berpikir maupun bertindaknya sebuah objek. Hal terpenting dalam penelitian fenomenologi adalah kenyataan yang terjadi sebagaimana yang dibayangkan (dipikirkan) oleh individu-individu itu sendiri (Lexy J. Moleong, 2004). Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif, serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman langsung, seperti religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi (L. Bagus, 2000).

Selain itu, penelitian dengan pendekatan fenomenologis juga berusaha menggungkap esensi dan makna terdalam dari pengalaman- pengalaman subjek tertentu. Pendekatan fenomenologis, mengacu pada perspektif mengembangkan suatu bidang fenomenologi transendental yang berdasar pada konsep Husserl. Pendekatan fenomemologi Husserl ini, lebih menekankan pada penyingkiran prasangka (epoche atau bracketing). Dia menekankan empat hal dalam penelitian fenomenologis, yaitu: 1). Peneliti mencari makna inti (essence/ invariant structure ) pada suatu fenomena atau apa yang dialami subjek. 2). Penelitian fenomenologis menekankan intensionalitas kesadaran (intentionality of conscioucness ) di mana kesadaran akan sesuatu selalu bersifat intensional atau mengarah pada sesuatu, sehingga realitas suatu objek hanya dilihat menurut makna pengalaman pada individu. 3). Analisis data fenomenologis melalui beberapa langkah, yaitu reduksi data, menganalisis kata-kata kunci dari pernyataan subjek, serta mencari makna yang mungkin

42 m unawir h aris

HARMONI September - Desember 2014

muncul di belakangnya. 4). Peneliti menyingkirkan semua prasangkanya

tentang fenomena yang diteliti, hal ini oleh teori Husserl disebut epoche, (artinya meletakkan dalam kurung) atau bracketing (melepaskan diri) (L. Bagus, 2000). Dengan demikian, peneliti mampu bersikap netral dan memahami subjek dalam dunianya.

Di samping itu, untuk analisis dalam penelitian ini menggunakan teori sosiologi, yakni interaksionalisme simbolik di masyarakat. Teori ini berasumsi bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh penafsiran atau pemaknaan terhadap simbol-simbol berdasarkan kesepakatan bersama (Aubray Fisher, 1989). Manusia bertindak terhadap benda (baca: objek) berdasarkan arti yang dimilikinya. Esensi interaksi simbolik adalah aktivitas yang berciri khas manusia atau pertukaran simbol yang diberi makna (Deddy Mulyana, 2001). Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu. Deinisi singkat dari ketiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain: 1). Pikiran (mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial yang sama, di mana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain, 2). Diri (self) adalah kemampuan untuk mereleksikan diri tiap individu dari penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi (Agus Bustanuddin, 2005).

Tinjauan Pustaka

Dalam banyak kajian, agama dikatakan berfungsi sebagai suatu

sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu (Jalaluddin Rakhmat, 2001). Secara umum, norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Sebagai sistem nilai, agama memiliki arti yang khusus dalam kehidupan individu/ komunitas, serta dipertahankan sebagai bentuk yang khas. Ada berbagai faktor yang mendorong seseorang beragama.

Menurut Hardjana (1992) paling tidak ada enam faktor utama yang

menyebabkan seseorang beragama atau pindah agama (konversi). Pertama, dalam kehidupan manusia menghadapi banyak malapetaka dan marabahaya. Manusia beragama untuk mendapatkan keamanan dari marabahaya dalam hidupnya. Kedua, manusia mengalami ketidakpastian, serta tidak menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh dapat diandalkan. Dengan beragama, manusia berharap dapat menemukan sosok yang dapat diandalkan. Ketiga, manusia ingin mendapatkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental, misalnya asal manusia, tujuan hidup, hal-hal yang terjadi sesudah kematian. Dengan beragama, manusia berharap mendapatkan kejelasan atas pertanyaan- pertanyaan yang berkaitan dengan misteri kehidupan. Keempat, manusia beragama supaya dapat melaksanakan, melestarikan, dan mengembangkan praktik-praktik kehidupan yang baik. Kelima , manusia beragama untuk mendapat kekuatan, dorongan, dan pemantapan dalam pelaksanaan nilai- nilai kehidupan. Keenam, manusia dalam hidupnya memiliki kerinduan akan Tuhan. Dengan demikian, orang menganut agama, hendak memperoleh pemuasan akan hasratnya yang paling dalam, yaitu menemukan Tuhan sendiri dalam diri mereka. Iman berarti kepercayaan kepada Tuhan yang teguh dan mengandalkan Tuhan sebagai sandaran hidup. Hardjana dalam

P 43 encarian o tentisitas d iri k omunitas m uallaf di k abuPaten s orong P aPua b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

bukunya menyebutkan iman ekstrinsik sebagai iman demi kepentingan pribadi yang bersangkutan.

Menurut Crapps (1994), masa kanak-kanak adalah masa yang penting

dalam belajar sesuatu, karena pada masa ini kanak-kanak dapat menyerap banyak dari lingkungannya. Hal ini berlaku bagi anak untuk belajar agama. Bahkan, Gleason seperti dikutip Crapps dalam bukunya, berpendapat bahwa unsur- unsur keagamaan mendasar mungkin tertanam pada masa tahap-tahap awal pertumbuhan psikososial. Dalam pengalaman hubungan antar pribadi dengan keluarga, anak belajar untuk pertama kali isi emosional iman religius.

Dalam konteks penelitian lokal di lapangan, sebelumnya dilakukan oleh Saudari Indria Noor, tentang “Eksistensi dan Fungsi Suku-Suku di Kota dan Kabupaten Sorong”. Penelitian ini banyak mengekplorasi betapa kuatnya pengaruh unsur-unsur primordialisme masyarakat di kota ini. Dari hasil penelitan sebelumnya, ditemukan interaksi suku-suku yang ada di Kota dan Kabupaten Sorong relatif kondusif, walapun terdapat beberapa ketegangan yang terselubung di antara mereka, seperti yang terjadi beberapa bulan sebelumnya, yakni di mana salah seorang dari Suku Bugis berkelahi dengan Suku Ambon yang kemudian menyebabkan kematian. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya interaksi antar suku, tidak hanya dilatar belakangi oleh kekerabatan semata, tetapi oleh ikatan emosional agama, hubungan kerja (profesi) dan nasib sepenanggungan.

Demikian pula penelitan yang dilakukan oleh Muhmmad Abbas, tentang Suku Kokoda, melihat fenomena masyarakat dari aspek pendidikannya yang terbilang sangat terbelakang. Dalam kondisi demikian, pola kehidupan masyarakat Kokoda tersebut menjadi tuan di rumah sendiri. Pendekatan yang dilakukan oleh peneliti dalam hal ini

berupaya mendekatinya secara sosiologis, yakni pendekatan teori Webber tentang teori Undertanding.

Dari aspek lain, Mujahidah dalam salah satu penelitiannya, melihat masyarakat Suku Moi dari aspek Gender. Penelitian tersebut, menemukan bahwa posisi laki-laki, dalam hal ini suami, berada pada puncak menara gading, sementara perempuan (istri), harus bekerja lima kali lipat dari kaum laki-laki. Bias gender yang ditemukan di Suku Moi tersebut memosisikan kaum perempuan hanya sebagai objek penderita dari kaum laki-laki. Pendekatan yang dipakai oleh peneliti adalah analisis diskriptif. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya, tentang potensi konlik yang terjadi di Kota Sorong, tidak membahas dan menyentuh sedikitpun persoalan komunitas muallaf tersebut.

Berdasarkan studi-studi di atas, apa yang akan diteliti nantinya tidak mempunyai relevansi dengan objek yang akan diteliti sebelumnya. Penelitian ini, akan diarahkan untuk melihat bagaimana proses konversi komunitas muallaf di Kabupaten Sorong dalam mencari jati dirinya sebagai hamba Tuhan sesungguhnya. Penelitian ini juga memfokuskan diri pada tahapan dan dampak psikologis yang dialami oleh komunitas muallaf pra dan pasca konversi.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Sebagai tradisi dalam ilmu sosial, penelitian ini bergantung pada pengamatan pada manusia sendiri yang selalu berhubungan dengan orang-orang (baca: subjek) dalam bahasanya dan peristilahannya (Lexy J. Moleong, 2004). Fokus penelitian ini adalah melihat, memahami latar belakang, peranan, proses dan pengaruh konversi agama terutama terhadap pencarian otentisitas

44 m unawir h aris

diri di Suku Abun yang melakukan dasar, sehingga dapat ditemukan konversi agama. Kriteria subjek yang tema dan bisa dirumuskan hipotesis digunakan dalam penelitian ini antara

kerja, seperti yang disarankan oleh lain: 1). Sekelompok masyarakat memeluk

data. Usaha untuk memperoleh data Islam secara serentak sejak mengikrarkan

yang lebih tajam terhadap data hasil syahadat dan melakukan khitanan; 2).

temuan di lapangan, dilakukan dengan Masyarakat dari Suku Abun, baik itu

menggunakan beberapa teknik analisis dalam jumlah keluarga, laki-laki maupun

data kualitatif. Maka, dengan pendekatan perempuan.

sosio-empistimologi dan fenomenologi diharapkan mampu untuk menganalisis

Teknik pengumpulan data data secara cermat dan tajam. dilakukan dengan wawancara langsung kepada sejumlah kelompok, informan dan

Beberapa teknik data, khusus komunitas yang terlibat dalam konversi

yang dipakai dalam penelitian kualitatif, agama tersebut. Adanya komunitas-

meliputi: 1). Peneliti membuat dan komunitas tertentu, sedikit banyak saling

mengatur data yang sudah; 2). Peneliti memengaruhi satu sama lain. Hasil membaca dengan teliti data yang sudah wawancara dengan sejumlah kalangan ini

peneliti deskripsikan pengalamannya di diharapkan dapat mengumpulkan data

lapangan; 3). Horisonalisasi pada tahap terkait dengan proses konversi agama;

ini, transkrip wawancara akan diperiksa apa saja yang dilakukan oleh komunitas

lagi untuk mengetahui pernyataan yang muallaf dari Suku Abun tersebut. Selain

relevan dan tidak relevan bagi penelitian itu, wawancara dengan tokoh-tokoh ini. Tahap ini, bisa dilakukan dengan agama dan data dari pemerintah juga

cara menandai bagian pernyataan yang dilakukan sebagai data pendukung.

relevan dan menuliskannya pada kolom yang terpisah.

Teknik lain dalam menggali data adalah dengan observasi. Observasi ini

Adapun analisis data merupakan dilakukan untuk mengambil data yang

upaya mencermati dan mensistematikan terkait dengan hal-hal sebagaimana data-data yang diperoleh melalui dalam wawancara. Fokus dari observasi

wawancara, observasi maupun telaah ini adalah mengamati tindakan-tindakan

catatan penting di lapangan. Analisis dalam suku-suku yang terkait dengan

dalam penelitian ini dilakukan melalui dominan melakukan konversi serta dua tahap, yaitu selama di lapangan dan kelompok-kelompok tertentu yang setelah dari lapangan. Analisis di lapangan disinyalir saling mempengaruhi konversi

ditempuh dengan mempersempit fokus, agama. Demikian pula catatan lapangan.

menetapkan tipe studi, mengembangkan Catatan lapangan tentang apa yang pertanyaan analitik, menyusun komentar, didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan

dan telaah kepustakaan yang relevan. dalam rangka pengumpulan data dan releksi terhadap data dalam penelitian kualitatif (Ibid). Catatan lapangan dibuat

Faktor Penyebab Konversi

dalam bentuk deskripsi dan dilakukan segera setelah observasi dan interview

Panggilan batin dari Tuhan, dilakukan.

seringkali dimediasi oleh hal-hal di luar jangkauan pikiran manusia. Komunitas

Tahapan terakhir adalah analisis muallaf yang berasal dari Sausapor, dan data. Moleong mendeinisikan analisis

sekarang berdomisili SP satu dan Klalin data sebagai proses mengorganisasikan

di Kabupaten Sorong disebabkan oleh dan mengurutkan data ke dalam beberapa faktor, di antaranya adalah

pola, kategori, dan satuan uraian faktor, sosial, budaya, adanya tokoh

HARMONI September - Desember 2014

P 45 encarian o tentisitas d iri k omunitas m uallaf di k abuPaten s orong P aPua b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

spiritual, dan hidayah Tuhan kepada sejumlah tokoh adat pada suku tersebut. Berikut hasil wawancara dan pengamatan penulis dengan beberapa tokoh kunci konversi di daerah tersebut:

Faktor Sosial

Agama mencakup kehidupan pribadi dan hubungan sosial. Dalam penelitian ini, penulis menemukan hal menarik berkaitan dengan proses pengambilan keputusan. Dalam proses pengambilan keputusan tersebut, terdapat faktor penghambat dari lingkungan sosial mereka sendiri. Hal ini menimbulkan satu pertanyaan baru, seberapa jauhkah peran keluarga dan lingkungan sosial dalam pengambilan keputusan berpindah agama mengingat manusia, selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial. Hal ini semakin menarik apabila dilihat dari kehidupan suku-suku di pedalaman Sausapor, Kabupaten Tambrauw.

Pengaruh sosial adalah pengaruh kebiasaan rutin dalam sebuah komunitas. Pengaruh kebiasaan rutin dapat mendorong seseorang atau kelompok untuk berubah kepercayaan. Jika dilakukan secara rutin, hingga terbiasa. Keberadaan masyarakat muallaf dari Suku Abun sangat terpinggirkan dari Suku Biak yang hidup di tengah-tengah mereka. Suku Biak menganggap mereka sebagai komunitas yang tidak berguna. Keberadaan mereka tidak diperhitungkan secara sosial di masyarakat. Jika Suku Abun beribadah di gereja mereka, selalu diejek dan dicemoh, sehingga mereka merasa minder dengan sikap orang-orang dari Suku Biak yang sombong. Maka, ketika mereka beribadah, selalu saja berada di posisi paling belakang, bahkan di luar gereja (Wawancara dengan Bapak Tejo pada tanggal 12 Oktober 2013).

Konlik batin yang dialami oleh suku Abun muncul rasa bersalah dan

ketidaknyamanan menjalankan agama Kristen Protestan. Faktor emosi lebih menonjol dalam proses perpindahan agama secara spontan. Perpindahan agama yang spontan lebih dikarenakan faktor afeksi, seperti ketidaknyamanan mereka secara sosial dalam agama mereka sendiri.

Akibat perlakuan mereka terhadap suku Abun ini, ternyata berdampak serius kepada batin dan emosi komunitas muallaf ketika itu. Maka dari sini, muncul kesadaran akan hakikat agama yang benar. Dalam pikiran komunitas muallaf tersebut, mana ada umat beragama yang perilakunnya seperti itu kepada sesama jamaah (baca: umat). Secara ekplisit suku Abun melakukan konversi adalah masalah sosial keagamaan antara suku Abun dengan suku Baik. Ketidaknyamanan merka menjalankan ibadah di geraja bersama suku lain.

Mereka temukan ketenangan dan kedekatan terhadap Tuhan melalui Islam. Meskipun pengambilan keputusan ini bersifat komunitas, tetapi tidak lepas dari hambatan, dukungan sosial, peran key person , dan munculnya fenomena- fenomena yang mendukung keputusan tersebut. Di sinilah dapat dikatakan bahwa, pergaulan sosial antar pemeluk agama yang sama, atau berbeda dapat memberikan insentif berupa pengetahuan dan informasi baru kepada seorang, yang kemudian berpengaruh terhadap terjadinya proses revaluasi religiusitasnya, sehingga menuntun mereka kepada terjadinya pindah agama.

Faktor Budaya

Pengaruh lain yang menyebabkan kesadaran akan kebenaran Islam adalah faktor budaya. Umumnya, simbol budaya adakalanya bersifat abstrak, seperti peninggalan-peninggalan zaman dahulu, ada simbol-simbol kasat mata, seperti beragam makanan atau pun benda-

46 m unawir h aris

HARMONI September - Desember 2014

benda lainnya. Begitu pula dengan Suku Abun, peninggan sejarah yang berbau Islam masih tampak di dalam kehidupan mereka. Tujuh nama marga yang diberikan oleh tokoh-tokoh lokal yang ada ketika itu sangat bernafaskan Islam. Ketujuh nama marga tersebut adalah: marga Sidiq, marga Aisyah, marga Sui dan marga Najasi.

Selain itu, menurut keyakinan umat Islam di daerah ini disebutka, bahwa pada masa penyebaran agama Islam yang dibawa Sultan Tidore meninggalkan jejak sejarah yang selama ini belum banyak diketahui oleh masyarakat Papua. Peninggalan ini, berupa patok kayu yang berdiri tegak dengan ukuran ± 100 Cm. panjang dan lebar ± 5 x 10 cm. Bukti sejarah ini, mengungkapkan bahwa agama yang masuk pertama kali di Kepala Burung Papua adalah agama Islam yang dibawa dari Sultan Tidore pada abad ke-17 yang telah silam. Sultan Tidore menancapkan patok pada saat dilantiknya kepala magra dan tokoh adat di daerah tersebut.

Sultan Tidore membagi wilayah kepada empat marga pada suku tersebut antara lain: magra Yenbra, Yenjau, Yengret. Saat ini, masyarakat suku Abun hanya mengenang setiap tahun, tepatnya pada bulan puasa. Sebagian masyarakat suku Abun menyempatkan pergi melihat patok dan tembok tersebut untuk mengenang masa dulu dan diceritakannya kepada anak cucu mereka. Menurut kepala suku Yenjau, bahwa Sultan Tidore adalah hamba pilihan Allah yang biasa disebut dengan Waliyullah. Seperti yang diceritakan informan (Wawancara Haji Lukman Yenjau Suku Abun. Kepala Suku Yenjau yang berdomisili di Desa Abun Bankram Pada hari Kamis, tanggal

7 Oktober 2013) Sultan Tidore adalah seperti Wali Songo, Sultan Tidore menanam patok yang bersejarah, bukan dengan tangannya, melainkan dengan kekuatan gaib yang dimilikinya. Istilah, rohnya yang berjalan menuju kehutan, lalu menanam patok tersebut. Patok yang

ditanam oleh Raja Sultan Tidore bukan sembarang patok, tetapi patok yang punya makna. Setelah tokoh tersebut masuk Islam, baru menyadari mengerti maksud patok yang di tanam Raja Sultan Tidore. Ada dua makna patok bagi suku Abun, pertama, patok itu menunjukkan bahwa Islam telah hadir sebelum agama lain masuk di daerah tersebut. Kedua, dengan adanya patok tersebut berarti telah dikuasainya daerah tersebut oleh masyarakat asli suku Abun. Dengan dua makna tersebut, masyarakat suku Abun berkeyakinan bahwa suatu saat nanti masyarakat Islam akan menguasai dan Berjaya di tanah Sasapor Tambraw di kemudian hari.

Selain itu, faktor budaya yang menyebabkan koversi adalah Pertama, tradisi makan babi, bagi umat Kristen adalah salah satu yang wajar terjadi, karena agama ini tidak diatur secara detail batasan-batasan tertentu bagi umatnya. Beda halnya dengan Islam. Tetapi dalam hati mereka sudah tertanam suatu keyakinan akan bahwa dalam Islam tidak diperbolehkan. Komunitas muallaf di Kabupaten Sorong dan sekitarnya, ketika itu tidak merasa senang dengan daging babi yang dimakan oleh umat Kristen tersebut. Tradisi ini, bagi komunitas muallaf, sebagai salah satu tradisi buruk dan memuakkan. Dengan demikian, faktor kebiasaan memakan daging bagi menjadi pemicu hjrahnya mereka ke Islam. Sebagain dari Suku Abun yang sangat takut dengan tokoh agama dan oknum pemerintah daerah itu, memilih untuk pindah agama dari Kristen Prostestan ke gereja Advent. Karena umat dari jenis aliran dalam Kristen ini tidak memakan babi dan anjing sebagaimana Protestan.

Kedua, makan anjing. Anjing bagi mereka adalah binatang yang menjjikan. Keberadaan binatang menjadi benalu dalam beraktiitas. Mereka percaya, bahwa makanan anjing secara kebersihan mecerminkan agama itu sendiri. Dari

47 perilaku dan kebiasan suku-suku berbuat kekacuan bagi orang lain dan

P encarian o tentisitas d iri k omunitas m uallaf di k abuPaten s orong P aPua b arat

Biak yang memakan anjing, menjadi lingkungan sekitarnya. Kondisi seperti penilain tersendiri bagi para muallaf ini, tampaknya tidak menyehatkan yang hendak pindah agama. Dalam orang dan lingkungannya. Dalam pengamatan penulis, ketika berada di

pemahaman mereka, di agama Islam, lokasi penelitian menujukkan bersihnya

perbuatan mabuk-mabukan dilarang rumah dan lingkungan mereka dari dua

karena membawa dampak negatif bagi jenis binatang tersebut. Mereka parcaya

diri sendiri dan lingkungannya. Seiring bahwa Tuhan itu bersih dan mencintai

dengan itu, kecenderungan kepada Islam kebersihan.

secara bertahap mulai tertanam dalam batin mereka.

Suku Abun sedikit demi sedikit meninggalkan budaya yang tidak

Setelah komunitas tersebut sesuai dengan Islam. Segala sesuatu menyatakan diri berislam, tradisi yang yang bertentangan dengan Islam berkembang pada Suku Abun pada saat mereka tinggalkan. Suku Abun dalam

ini adalah ritual gunting rambut dan setiap acara-acara tidak menyajikan pemberian nama pada anak cucu mereka, makanan-makanan yang dilarang oleh

yakni memakai cara-cara Islam. Pada Agama Islam. Pada tradisi Moi Karon,

setiap kelahiran, anak sudah membudaya setiap ada acara masyarakat tersebut Islam dalam diri Suku Abun dengan memakan anjing atau babi, itu sudah

memperdengarkan azan dan komat menjadi keharusan bagi mereka. Setelah

pada telinga kanan dan kiri pada anak Suku Abun beragama Islam, di tempat

yang baru lahir. Pemberian nama dengan mereka tinggal tidak mengkonsumsi mengundang tetangga terdekat untuk anjing dan babi, bahkan mereka merasa

membacakan tahlil dan shalawat pada geli melihatnya. Sesuai dengan yang saat pengguntingan rambut anak yang dituturkan informan adalah: “Kami

baru lahir.

sebelum masuk Islam memakan anjing dan babi itu sudah merupakan tradisi. Biasanya pada setiap ritual/acara makanan yang utama

Adanya Tokoh Spiritual

adalah anjing dan babi. Tapi setelah Kami Dalam kasus konversi agama Islam, tidak memakan anjing dan babi bahkan

yang dilkuakan oleh komunitas muallaf, Kami geli melihatnya.” (Wawancara dengan

diyakini mereka dibimbing oleh sesorang Haji Luman, 2013).

yang dipercayai bertempat tinggal Ketiga , tradisi minuman keras. di atas gunung di daerah Tambrauw. Kebiasaan masyarakat lokal dari suku apa

Sang tokoh tersebut, diyakini memiliki pun adalah mabuk-mabukan. Kebiasaan

kekuatan surpa natural yang luar biasa. ini, menulis para muallaf adalah Tokoh spiritual itu, seperti diceritakan

pekerjaan yang mubazir dan sia-sia. oleh pelaku konversi, adalah simbol dari Tradisi ini, bagi agama yang benar, tentu

orang suci yang bertempat tinggal di atas gunung (Wawancara dengan Lukman,

akan dilarang. Tetapi di dalam agamanya 2013). Menurut informan, bahwa hanya orang-orang suku Biak, seolah tidak ada empat orang yang diizinkan naik dihiraukan. Kebiasaan mereka mabuk- atas gunung nan saktaral tersebut.

mabukan pada dasarnya kebiasaan Selain empat orang ini, tidak diizinkan. umat yang tidak terpuji dan pengotor. Meskipun ada yang mencoba-coba naik Dampak dari perbuatan tersebut pun

ke atas gunung, maka diyakini oleh tidak sedikit. Biasanya, sekelompok

masyarakat setempat, khususnya pawang orang setelah mabuk-mabukan akan gunung tersebut, akan terjadi hal-hal yang

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

48 m unawir h aris

tidak diinginkan. Bencana akan menimpa tetapi tampak di hati batin para hambanya. di tengah-tengah kehidupan mereka. Seandainya Allah menampakkan diri di Keempat orang itu adalah: Amos (Bapak

hadapan manusia, maka manusia yang Haji Lukman), Darwin, Yakob dan Yunus

menyaksikannya akan terkapar, karena Kaulan. Keempat juru kunci gunung ini,

tidak mampu menahan kekuasaannya. tiga di antaranya masih hidup dan tokoh

Seperti yang dituturkan oleh informan yang paling senior, Yunus Kaulan telah

bahwa sebagai berikut:

meninggal dunia sebelum menyatakan diri masuk Islam. Di sini, dapat dikatakan

“Kami masuk Islam bukan karena pengetahuan religius tidak hanya didapat

paksaan, tetapi Kami melihat kebenaran melalui orang tua atau pun keluarga,

Islam. Kami tidak dibujuk, seandainya tetapi melalu jalur lain yang tidak biasa

pun ada paksaan, Kami akan disiksa, ditempuh. Dalam konteks suku Abun,

dan akan dibunuh. Tidak hanya itu, tampaknya seseorang yang dianggap

ditelanjangi, diseret sepanjang pantai, membimbing secara rohani melalui

dimasukkan dalam WC dan sempat cara dan waktu tertentu menimbulkan

ditikam di leher saya, tapi tidak kesadaran mendalam dalam dirinya.

mempan. Saya yakin Tuhan bersama Karakteristik personal, yaitu aspirasi

saya. Hari itu, saya melarikan diri ke individu berupa adanya pencarian

hutan, lalu saya ke kota untuk minta identitas dan kognitif yang menjadi faktor

diislamkan dan dikhitan”. internal yang berpengaruh terhadap

Dari paparan temuan data tersebut terjadinya konversi agama.

dapat di analisis bahwa perpindahan agama menggambarkan proses kreatif, yaitu: 1). Krisis ekstensial, saat seseorang

Hidayah Tuhan

meraba-raba pertanyaan dasar seperti apa Seorang pelaku konversi yang arti hidup; 2). Penyerahan diri, mencoba

dan gagal menjawab pertanyaan dengan dipengaruhi karena faktor hidaya Ilahi,

menggunakan sudut pandang kehidupan dia merasa bahwa dirinya terlahir kembali.

Ketika jiwanya sudah merasa tentram masa kini; 3). Pandangan baru, pertanyaan

dengan suatu keyakinan yang sudah dapat djawab dengan menggunakan didapatnya, maka dia akan menjalankan

sudut pandang kepercayaan baru; 4). syari’at Islam dengan sungguh-sungguh.

Hidup baru, menghasilkan perubahan Kisah yang dialami oleh Bapak Amos

perilaku dan cara baru dalam mengatasi dkk. ketika awalnya memilih agama masalah kehidupan. baru sebagai jalan hidup, tampaknya

mengantarkan mereka kepada gerbang Islam.

Proses Konversi yang dilakukan

Agama yang berkembang pada Komunitas muallaf yang saat komunitas muallaf Suku Abun umumnya

sekarang ini berdominsili di SP satu dan adalah orang-orang sederhana dan Klalin di Kab. Sorong melalui proses

rendah hati. Maka, dengan hidayah yang cukup panjang untuk sampai Allah, ternyata menghampiri mereka. kepada sebuah harapan dan keadaan Di saat kondisis sosial budaya tidak baru. Proses konversi yang dilakukan berpihak kepada mereka, Allah pada saat

komunitas tersebut, dapat dibagi menjadi yang sama memberikan mereka jalan tiga tahapan. Pertama, dilakukan secara

kebenaran sesungguhnya. Allah tidak personal. Pada dasarnya, peralihan tampak dalam pandanga n zahir manusia,

keyakinan yang dilakukan oleh

HARMONI September - Desember 2014

P 49 encarian o tentisitas d iri k omunitas m uallaf di k abuPaten s orong P aPua b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

komunitas muallaf ini bersifat personal. Kondisi tersebut dilakukan karena keadaan waktu itu yang menyebabkan mereka tidak mungkin melakukannya secara kolektif. Hampir seluruh tokoh agama dan masyarakat di daerah tersebut beragama Kristen Protestan. Keberadaan mereka, selain secara sosial-budaya tidak diuntungkan, apalagi dengan frontal menyatakan berpindah agama dari agama mayoritas suku dan komunitas mereka. Sejak kasus yang dikhawatirkan oleh aparat dan tokoh-tokoh agama setempat, mensinyalir akan dibangun sebuah masjid di tengah-tengah mereka. Aparat dan tokoh-tokoh agama Kristen waktu itu, sepertinya alergi dengan masjid sebagai simbol dari eksistensinya kaum muslim. Maka, dalam kondisi seperti itu, Amos, dkk melakukan konversi dengan cara berpindah ke Kabupaten Sorong. Menurut mereka, tidak mungkin akan dapat pindah agama, kalau masih berdomisili di Tambrauw ini. Akhirnya, secara bergantian Amos, dkk. menempuhnya. Pada mulanya, langkah ini dilakukan oleh lima orang, yakni, Bapak Amos, Yacob, Darwis, Adam, dan ibu Hanifah (Wawancara dengan Imam,

14 Maret 2014). Walaupun demikian, di dalam

perjalanan mereka mendapat siksaan dan ancaman dari sejumlah kalangan Kristen yang mengetahui mereka akan pindah agama. Langkah ini mereka tempuh dengan satu prinsip “Tuhan sudah memberikan hidayah kepada Kami untuk memeluk agama Islam”. Apa pun yang menimpa, mereka tidak mempedulikan. Keyakinan mereka sudah mantap terhadap agama baru mereka.

Kedua , mengajak keluarga secara diam-diam. Langkah berikutnya yang diambil oleh tokok-tokoh kunci tersebut, setelah menyatakan diri resmi beragama Islam, adalah mengajak keluarga mereka pindah dari daerah asal ke Kabupaten Sorong. Setelah melakukan mengislaman

(bahasa mereka dengan istilah sunat) di Kantor Kemenag Kabupaten Sorong, mereka secara berangsur-angsur mengajak isteri dan anak-anak mereka untuk memeluk Islam. Kepindahan yang mereka lakukan adalah simbol, bahwa mereka memeluk agama baru secara resmi, tanpa paksaan dari mana dan siapa pun juga. Berpindahnya keluarga dan anak isteri mereka dari daerah asal, setelah kondisi relatif stabil, apabila dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya. Mereka simpatik kepada agama Islam. Langkah ini dilakukan oleh tokoh-tokoh kunci tersebut, untuk menghindari bencana yang akan dilakukan oleh aparat pemerintah ketika itu. Dalam proses konvesi ini, kondisi mereka berjalan sebagaimana harapan. Berdasarkan wawancara dengan informan, langkah ini murni dilakukan untuk menghindari ancaman, bahkan pembunuhan massal yang akan dilakukan oleh aparat dan tokoh-tokoh agama Kristen Protesten setempat. Dalam pemahaman komunitas muallaf, langkah ini memang berat, tetapi harus diambil langkah-langkh praktis untuk menyelamatkan diri dari ancaman yang akan dan telah dilakukan oleh tokoh dan aparat setempat (Wawancara dengan Bapak Amos, 13 Maret 2014). Dengan sarana transportasi seadanya ketika itu, dapat dibayangkan betapa berat perjuangan dan pengorbanan mereka, untuk mencari identitas religius mereka.

Ketiga , menyembunyikan identitas selama beberapa tahun. Banyak cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan. Menurut salah satu informan, beberapa guru yang berstatus PNS yang telah melakukan tugas di sana menginformasikan adanya sejumlah keluarga yang secara sukarela melakukan konversi agama ke dalam Islam. Motif utama yang membuat seseorang tertarik melakukan konversi agama ke Islam, menurut guru tersebut antara lain: rasa persaudaraan, komunitas dan

50 m unawir h aris

HARMONI September - Desember 2014

persahabatan, ajaran dan doktrin agama Islam, serta aspek spiritual dan mistis.

Dari hasil wawancara, penulis mengungkapkan perjalanan dan pengalaman pindah agama dari komunitas muallaf cukup bervariatif. Menurut Bapak Adam dkk. secara diam simpatik kepada Islam. Namun rasa simpati tersebut tidak dapat diungkapkan secara langsung karena kondisi keluarga dan lingkungan yang tidak memungkinkan. Rasa simpati itu, ditinjaklanjuti dengan penghayatan subyek yang tergerak untuk bertanya kepada salah satu guru imigran yang beragama Islam di daerah tersebut mengenai ajaran agama Islam sesungguhnya. Ketertarikan tersebut, membuat sejumlah komunitas bertanya kepada guru yang berasal dari agama Islam tersebut. Melalui guru inilah, pengetahuan Bapak Adam dkk. mengenai ajaran agama Islam didapatkan.

Fenomena pindah agama sebagai suatu perubahan dramatis, tentunya tidak sekedar berimplikasi terhadap diskontinuitas identitas religius di masa lalu. Pindah agama merupakan sebuah perubahan signiikan, sebuah proses yang memungkinkan seseorang untuk melakukan evaluasi terhadap dirinya dan komunitasnya, sehingga perubahan identitas religi diharapkan membawa penghayatan yang lebih mantap akan hakikat kebenaran beragama. Maka, dalam konteks ini, proses konversi pindah agama menjadi hal yang menarik untuk diungkap lebih dalam. Pencarian makna dan tujuan hidup, kiranya mengiringi setiap perjalanan manusia. Perjalanan spiritualitas komunitas muallaf yang terjadi pada suku Abun mempunyai proses yang sangat panjang dan berliku. Untuk itu, mengetahui bagaimana proses konversi pindah agama yang mencakup perubahan kognitif, afektif, dan perilaku penting diungkapkan.

Dampak Psikologi

Dalam perjalanan konversi pindah agama seringkali menyangkut peristiwa emosional yang mengguncangkan batin para pencari Tuhan. Dalam keadaan tersebut, komunitas muallaf Suku Abun secara aktif berupaya mencari pemenuhan diri, guna mengatasi krisis yang dialami. Masa pencarian ini, secara emosional mempengaruhi pilihan religiusnya. Hambatan dari aspek sosial budaya berpotensi mengurungkan niat untuk melanjutkan pencariannya jati diri dalam beragama.

Dalam melakukan sesuatu yang tidak cocok dengan sikap komunitas dan suku-suku lain, menyebabkan komunitas muallaf ini mengubah sikapnya sendiri. Penelitian ini, dapat dicontohkan dengan peristiwa munculnya dampak negatif dan upaya untuk mengimbangi agar komunitas tetap pada pilihan untuk berpindah. Untuk mengurangi ketidakcocokan, komunitas muallaf melakukan perilaku-perilaku untuk meyakinkan dirinya mereka sendiri. Mencari informasi untuk menguatkan perilakunya dan mencontoh seseorang yang sukses dengan perilaku tersebut.

Tekanan batin yang selama itu menimpa muallaf dari Suku Abun adalah sebagai berikut: 1). Suku-suku lain yang beragama Kristen di daerah tersebut menjadi daya kritis tersendiri. Percecokan, kesepian batin, tidak mendapat tempat dalam hati kerabat, juga menjadi masalah serius di dalam batin muallaf; 2). Keadaan lingkungan yang menekan, dan menimbulkan problem pribadi, adanya rasa terlempar dari kehidupan kelompoknya, lantas hidup dengan cara yang tidak biasa; 3). Kemiskinan, walapun sifatnya tidak mutlak, tetapi menjadi problem serius pada batin para pencari Tuhan ini (Wawancara dengan H. Lukman Yenjau, Suku Abun, 7 Agustus 2013).

P 51 encarian o tentisitas d iri k omunitas m uallaf di k abuPaten s orong P aPua b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Dari sini dapat dikatakan bahwa konversi agama merupakan proses yang jauh dari sederhana. Proses ini dipengaruhi oleh faktor-faktor kontekstual yang membentuk ruang lingkup komunikasi, memberi gambaran pilihan religius yang tersedia, serta mobilitas, leksibilitas, sumber-sumber, dan kesempatan bagi komunitas muallaf yang pindah agama. Perkembangan keagamaan komunitas agar tercapai pada tingkat kematangan beragama dibutuhkan suatu proses panjang. Proses tersebut, boleh jadi karena melalui proses konversi agama pada diri, atau karena bersamaan dengan kematangan kepribadinya.

Pada tahap kedewasaan awal, terlihat krisis psikologis yang dialami oleh komunitas muallaf ini karena adanya pertentangan antara kecenderungan untuk mengeratkan hubungan. Ungkapan kematangan mental yang telah terbentuk sejak 20 tahun lalu, saat ini terbukti ketika kaum Muslimin yang datang ke daerah tempat mereka tinggal, selalu memperoleh sambutan hangat yang diiringi dengan ungkapan salam. Penulis, ketika pertama kali memasuki komunitas muallaf tersebut merasa terkejut dengan ungkapan salam yang diberikan oleh sejumlah komunitas muallaf ini. Sikap dan perlakuan mereka yang sederhana dan santun mengasumsikan telah terjadi kematangan mental dan spiritual dalam beragama. Tampaknya, tauhid mereka sudah berurat dan berakar dalam sendi- sendi kehidupan mereka. Kematangan tauhid secara tidak langsung berpengaruh kepada sikap (afeksi) komunitas muallaf ini (Wawancara dengan H. Lukman Yenjau, 7 Agustus 2013). Oleh karena itu, manusia bisa beriman dengan ciptaan ini, karena berikir (Wawancara dengan Sulaiman Yenjau, 18 Agustus 2013).

Penutup

Religious conversion (berpindah agama) dapat dimaknai sebagai sebuah

proses berpindahnya kepercayaan, keyakinan, dan praktik dari suatu rangkaian ajaran tertentu (nilai spiritual), kepada seperangkat kepercayaan, keyakinan, dan praktik ajaran lain. Tetapi, proses konversi tidaklah semudah yang dibayangkan masyarakat. Dampak dan pengaruhnya demikian terasa dalam kehidupan. Maka, ketika berbicara mengenai hakikat agama (religious maters), yakni apa yang individu yakini tentang Tuhan, spiritualitas, dan justiikasi tentang Tuhan; spektrum emosional suka-tidak suka; dan domain perilaku, yakni apa yang dilakukan dan bagaimana sebuah tindakan dilakukan.

Dari hasil pengamatan dan observasi yang dilakukan di lapangan, konversi agama yang dilakukan oleh Suku Abun di Kabupaten Sorong ini, agama lebih dimaknai sebagai fungsional praksis dalam kehidupan mereka. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap proses konversi agama ini dapat disimpulkan dengan beberapa point penting sebagai berikut: Pertama, faktor utama yang menyebabkan mereka berpindah agama dari Kristen Protestan ke dalam Islam antara lain: faktor sosial, budaya, tokoh spiritual yang misterius, serta hidayah langsung dari Allah yang menggerakkan hati mereka. Mereka percaya bahwa Allah SWT telah membukakan hati dan pikiran mereka untuk melihat kebenaran Islam. Rintangan yang mereka hadapi, seolah tidak diperhatikan karena faktor-faktor tersebut telah merasuk ke dalam hati nurani suku Abun. Kedua, kronologi pindah agama yang mereka lakukan meliputi tiga tahapan utama, yakni: secara sendiri-sendiri, mengajak keluarga setelah pindah dari Kabupaten Sorong, serta pindah agama yang dilakukan dengan menyembunyikan identitas mereka, selama beberapa tahun kemudian menyatakannya secara terus terang bahwa mereka telah masuk Islam. Tahapan yang terakhir ini dilakukan karena krisis sosial

52 m unawir h aris

ketika di kampung asal mereka. Ketiga, hal yang biasa mereka terima. Di samping dampak psikologis yang dialami oleh itu, dampak positif yang mereka rasakan komunitas muallaf tersebut, bukanlah setelah berhasil keluar dari kampung beban ringan. Banyak kendala dan halaman adalah perubahan sikap dan rintangan yang mereka hadapi. Kendala

mental, mereka sudah merasa tenang dan utama yang dihadapi para pencari Tuhan

tenteram dalam kebenaran Islam. Pintu ini, adalah ketegangan dan kritis batin

surga bagi komunitas muallaf yang hidup yang cukup berkepanjangan. Demikian dalam dominasi agama lain, tampaknya pula kekerasan isik yang mereka terima

dari oknum aparat, serta pengeroyokan menemui hasil yang memuaskan. Para oleh sejumlah anggota masyarakat komunitas muallaf ini, dengan susah dari suku Biak yang beragama Kristen

payah mencari otentisitas diri beragama Protestan ketika itu. Cemohan dan di tengah kesombongan umat beragama hinaan bagi pencari Tuhan ini, menjadi

di daerah asal mereka.

Daftar Pustaka

Abidin, Z. Analisis Eksistensial Untuk Psikologi dan Psikiatri. Bandung: PT Reika Aditama, 2002.

Bagus, L. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000. Bustanuddin, Agus. Agama Dalam Kehidupan Manusia . Jakarta: Rajawali Press, 2005 Crapps, R.W. Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Fisher, Aubray. Teori-Teori Komunikasi . Bandung: Remaja Karya, 1989. Hardjana, AM. Penghayatan Agama: Yang Otentik dan Tidak Otentik. Yogyakarta: Kanisius

1992. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004. Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan

Ilmu Sosial Lainnya . Bandung: Rosdakarya, 2001. Pargament, K.I. The Psychology of Religion and Coping. New York: The Guilford Press,

2000. Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Agama . Jakarta: PT Raja Graindo Persada, 2001. UUD 1945 dan Amandemennya. Surakarta: Penerbit Pustaka Mandiri. 2002. Qatloly, Aholiab. Sosio-Epistimologi, Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial. Yogyakarta:

Kansius, 2013.

HARMONI September - Desember 2014

P enelitian

m embagi d unia :c ara P engelolaan m odal s osial P ura di d enPasar

“Membagi Dunia”: Cara Pengelolaan Modal Sosial Pura di Denpasar

I Nyoman Yoga Segara

Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI Email: [email protected]

Diterima redaksi tanggal 21 Oktober 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

Abstrak

This study aims to reveal the creative ways Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap that pengempon and traditional village cara kreatif umat pengempon dan pengurus boards develop and manage collective desa adat dalam mengembangkan dan capital in the temples of Denpasar. In the

mengelola modal sosial sebuah pura past, capital in the form of temples only di Denpasar. Selama ini modal sebuah pura hanya dimaknai berupa meant pelaba and pratima, but now a pelaba dan

pratima, namun kini telah dikembangkan variety of assets have been developed. To melalui berbagai bentuk aset. Untuk dapat empower the pengempon, oficials of the memberdayakan umat pengempon, para

traditional village manage it by combining pengurus desa adat mengelolanya dengan traditional and modern management memadukan cara tradisional dan manajemen

methods to increase the total quality of modern yakni Total Quality Management. management. They are of the opinion that

Mereka memandang pura juga boleh temples may have productive assets to

memiliki aset produktif untuk memenuhi meet its secular needs in the realm of the

kebutuhan sekuler di ranah sosial-budaya socio-cultural and the economic. This can

dan ekonomi. Hal ini bisa dilakukan

be done because they conceptually and karena mereka berhasil “membagi dunia” clearly “divide the world”--in other words, namun dengan batas-batas yang jelas. they divide capital into two worlds: sekala Mereka memaknai modal ke dalam dua and niskala. Capital is divided according to dunia, yakni sekala dan niskala, sedangkan

untuk mengelolanya mereka membagi the structure of the temple as hierarchically conceived by Tri Mandala. This conception dunia sesuai dengan struktur pura sebagai

hirarkhi yang dikonsepsikan melalui Tri opens up space to manage assets based

Mandala. Konsepsi ini membuka ruang on the framework of Tri Hita Karana. The

untuk mengelola aset produktif berdasarkan divided world of nista-madya-mandala is

kerangka Tri Hita Karana. Dunia yang

a real illustration of the journey from the terbagi dari nista-madya-mandala adalah concrete to the abstract world.

gambaran nyata dari siklus perjalanan hidup manusia yang bergerak dari dunia

Keywords: Capital,

Management,

konkrit ke dunia abstrak. Empowerment, Tri Mandala, Tri Hita

Karana. Kata Kunci : Modal Sosial, Pengelolaan, Pemberdayaan, Tri Mandala, Tri Hita Karana.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

54 in yoman y oga s egara

HARMONI September - Desember 2014

Pendahuluan

Pura sebagai rumah ibadat Hindu seringkali hanya dimaknai sebagai tempat melaksanakan kegiatan keagamaan. Bahkan, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat harus mengeluarkan bhisama (semacam fatwa yang dikeluarkan MUI) untuk menjaga kesucian sebuah pura (Keputusan PHDI Pusat Nomor: 11/Kep/I/ PHDI. P/1994; Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, 1993/1994). Hasil keputusan majelis ini semakin menguatkan keyakinan umat Hindu bahwa sebuah pura harus steril dari kegiatan yang bersifat profan. Padahal beberapa rumah ibadat agama juga bisa dikelola untuk memproduksi sesuatu yang tidak hanya bersifat sakral. Beberapa penelitian tentang pengelolaan rumah ibadat yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan tahun 2014 memperlihatkan temuan yang sama. Masalahnya, sebuah rumah ibadat, termasuk pura dalam hal ini, bagi kalangan tradisional sering diperlakukan sebagai fetishism of space sehingga tidak ada peluang aktiitas non peribadatan lainnya. Padahal banyak juga penelitian atau buku yang menjelaskan bahwa bangunan pura tidak hanya mengemanasikan nilai sakralitas, salah satunya dari Lansing (1983). Konsep pura yang terbagi melalui Tri Mandala telah memperlihatkan adanya ruang-ruang terbuka bagi umatnya untuk mengekspresikan dirinya dengan berbagai kebutuhan yang ingin dicapai.

Tri Mandala adalah tiga halaman pura yang memiliki fungsi berbeda- beda. Jaba Sisi atau Nista Mandala adalah halaman paling luar, tempat aktiitas jasmaniah, berkenaan dengan dunia manusia. Jaba Tengah atau Madya Mandala adalah halaman tengah sebagai transisi dari aktiitas jasmaniah menuju rohaniah. Jeroan atau Utama Mandala adalah halaman paling dalam sebuah pura, tempat semua aktiitas rohani terpusat (Adiputra, 2009).

Sejalan dengan konsep tersebut, Lansing (2006) kembali menyatakan bahwa pura bagi umat Hindu adalah juga gambaran dari kompleksitas kehidupan dengan berbagai dimensi, yang selanjutnya disederhanakan ke dalam Rwa Bhineda, yakni konsep tentang dua hal berbeda namun saling melengkapi seperti sekala (alam nyata)-niskala (alam abstrak). Jadi sebetulnya konsep Tri Mandala membuka peluang besar bagi umat Hindu dalam mengelola modal yang dimilikinya dan mengoptimalkan pengelolaannya untuk pemberdayaan umat. Apa yang sekarang sedang dilakukan umat Hindu di Desa Pakraman Ubung, Denpasar Bali dalam mengelola dan mengembangkan modal sosial yang dimiliki pura adalah bentuk nyata dari kebutuhan mereka untuk memaknai struktur Tri Mandala pura sebagai ruang terbuka. Pemaknaan ini diinternalisasikan ke dalam kehidupan nyata melalui berbagai program dan kegiatan dengan menggunakan konsep Tri Hita Karana. Konsep ini secara sederhana diartikan tiga penyebab kebahagiaan yang dicapai dengan melakukan hubungan harmonis dengan Tuhan atau parahyangan, seperti tempat suci dan kegiatan spiritual. Hubungan harmonis dengan sesama manusia atau pawongan, seperti organisasi social dan kegiatan kemanusiaan. Sedangkan hubungan harmonis dengan alam semesta melalui palemahan, seperti kerja bakti bersih lingkungan, membuat taman, dan lain-lain (Wiana, 2007).

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, identiikasi masalah yang akan dipecahkan melalui penelitian ini adalah modal sebuah pura ternyata tidak hanya berbentuk pelaba seperti tanah dan benda- benda pusaka suci (pratima) sebagai asset, tetapi juga dapat dikelola dan dikembangkan ke dalam berbagai bentuk modal sosial, seperti modal kultural, modal ekonomi, modal simbolik. Pengelolaan modal-modal ini juga tidak hanya dengan menggunakan cara-cara Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, identiikasi masalah yang akan dipecahkan melalui penelitian ini adalah modal sebuah pura ternyata tidak hanya berbentuk pelaba seperti tanah dan benda- benda pusaka suci (pratima) sebagai asset, tetapi juga dapat dikelola dan dikembangkan ke dalam berbagai bentuk modal sosial, seperti modal kultural, modal ekonomi, modal simbolik. Pengelolaan modal-modal ini juga tidak hanya dengan menggunakan cara-cara

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

yang selama ini bersifat konvensional dan tradisional, tetapi juga mengadaptasi manajemen modern, salah satunya prinsip-prinisp Total Quality Management (TQM).

Berdasarkan identiikasi masalah tersebut, rumusan permasalahan dalam penelitian ini dioperasionalkan dengan dua pertanyaan. Pertama, apa saja wujud dan bentuk modal sosial yang secara kreatif dikembangkan pengempon (umat yang menjadi penyungsung pura) dan pengurus desa adat? Kedua, bagaimana pengempon dan pengurus desa adat mengelola modal sosial tersebut sehingga mampu memberdayakan umatnya? Dua pertanyaan kunci ini ingin didalami lebih jauh melalui penelitian ini dengan satu asumsi bahwa sebetulnya ada wujud atau bentuk lain dari modal yang dimiliki sebuah pura dan pengelolaannya dapat meminjam cara-cara yang dilakukan dalam manajemen modern.

Penelitian dengan pola yang hampir sama sebetulnya pernah dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, namun bukan dengan topik yang sama. Penelitian tersebut antara lain: Pertama, “Pemberdayaan Umat melalui Pengembangan Manajemen Masjid”, tahun 2008. Penelitian ini hanya berusaha memotret secara artiisial perkembangan pengelolaan masjid, terutama berkenaan dengan berbagai upaya pemberdayaan umat. Kedua, “Bantuan Sosial Kementerian Agama RI bagi rumah Ibadat dan Ormas Keagamaan di Indonesia”, tahun 2010. Penelitian ini juga hanya difokuskan pada bantuan sosial yang diberikan oleh Kementerian Agama terhadap rumah- rumah ibadat dan ormas keagamaan. Hasilnya diketahui bahwa secara umum dampak sosial dari bantuan sosial keagamaan tersebut masih kurang nampak dan dana bantuan umumnya dimanfaatkan untuk rehabilitasi rumah

ibadat. Ketiga, “Peran Lembaga Pengelola dan Aset Sosial Keagamaan dalam Pemberdayaan Umat Beraga di Berbagai Daerah”, tahun 2011. Penelitian ini mengkaji efektivitas pengelolaan dana dan aset umat yang diberikan kepada sejumlah lembaga sosial termasuk rumah ibadat.

Berbeda dengan tiga penelitian tersebut, penelitian ini akan mendeskripsikan secara lebih jelas modal apa saja yang dimiliki sebuah pura dan bagaimana manajemen atau pengelolaan modal sosial tersebut djalankan. Sekilas ada sedikit persamaan dengan kajian yang pertama, namun perbedaannya adalah penelitian tersebut hanya mengkaji rumah ibadat agama Islam saja, yaitu masjid. Sedangkan jika dibandingkan dengan penelitian yang kedua dan ketiga, terdapat dua perbedaan yang signiikan, yaitu: Pertama, kedua penelitian tersebut hanya mengkaji aspek bantuan terhadap rumah ibadat yang diberikan oleh pemerintah, sedangkan aspek manajemen rumah ibadat tidak menjadi fokus kajian. Kedua, aspek yang dikaji dalam penelitian ini bukan hanya out come , yaitu pemberdayaan umat, melainkan juga input atau sumber daya yang dimiliki rumah ibadat, juga proses yaitu aspek pengelolaan rumah ibadat oleh para pengurusnya.

Oleh karena itu, penelitian ini mengambil posisi yang jelas karena diharapkan akan mampu menutup celah yang ditinggalkan penelitian sebelumnya sekaligus memberikan sumbangan yang besar terhadap penelitian yang secara spesiik meneliti tentang model pengelolaan modal sosial rumah ibadat agama. Penelitian ini juga ingin mengungkap hal baru yang tidak banyak diketahui orang bahwa sesungguhnya struktur dan hierarki bangunan pura di Bali maupun secara khusus di Denpasar memperlihatkan batas-batas yang dapat

56 in yoman y oga s egara

HARMONI September - Desember 2014

dimaknai sebagai ruang terbuka untuk melakukan berbagai aktiitas, dan pada saat yang bersamaan tetap memelihara keajegan makna dan nilai dari isi struktur tersebut. Istilah suci digunakan sebagai distingsi antarstruktur dan hierarki bangunan pura.

Dengan demikian, pura sebetulnya selain sebagai tempat melaksanakan aktiitas keagamaan yang bersifat religius, rohaniah dan batiniah, juga untuk memenuhi kebutuhan umat Hindu secara lahiriah (sosial, budaya dan ekonomi). Inilah yang kemudian diakomodir ke dalam tujuan tertinggi agama Hindu, yaitu mokshartam jagathita ya ca iti dharma (kebahagiaan jasmani-rohani, dunia-akhirat). Untuk dapat mencapai tujuan ini maka pura dapat difungsikan untuk pemberdayaan umat, bahkan pengembangan ekonomi. Pemberian bantuan kepada rumah ibadat oleh pemerintah juga karena alasan ini (lihat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010). Fungsi pura dan tujuan agama Hindu inilah yang secara inheren djalankan dengan konsep Tri Hita Karana.

Konsep Tri Mandala-Tri Hita Karana di atas menjadi media bagi pengempon- nya untuk memenuhi kebutuhan bersama karena pura menjadi titik sentral membangun kesadaran kolektif dan kepercayaan sebagaimana Durkheim (1976 [1912]) melihat hal ini sebagai saling keterjalinan dan solidaritas sosial antar orang dalam masyarakat. Untuk itu penting diketahui bagaimana mereka mengembangkan dan mengelola modal sosial yang ada dan segenap potensi yang dimiliki sebuah pura agar menjadi kekuatan yang berkembang secara simultan dan bersifat timbal balik: pura tetap terjaga kesuciannya, namun pengempon -nya makmur. Sebaliknya, pengempon -nya sejahtera, tetapi pura tidak tercemari.

Kerangka Analitik

Konsep modal sosial (sosial capital) dapat ditelusuri dari mainstream ilmu- ilmu sosial, sehingga modal sosial yang dibahas dalam penelitian ini bukanlah modal secara hariah semata, seperti dalam kasus penelitian ini yang hanya memaknainya sebagai pelaba. Modal sosial dapat berupa kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, hubungan sosial, kerjasama erat antara individu dan keluarga yang membentuk suatu kelompok sosial, kepatuhan terhadap pranata dan kepemimpinan. Putnam menyatakan bahwa modal sosial merupakan unsur utama pembangunan masyarakat madani (civil community). Modal sosial tersebut mengacu pada aspek-aspek utama organisasi sosial seperti kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks) yang dapat meningkatkan eisiensi suatu masyarakat melalui fasilitasi tindakan yang terkoordinasi (Putnam, 1993).

Sementara Fukuyama (1995) menyebutkan adanya keunggulan

modal sosial dibanding modal material atau modal ekonomi. Menurutnya, modal sosial justru semakin bertambah apabila dikelola dan dipergunakan dengan baik. Penggunaan modal sosial akan meningkatkan eisiensi dalam pengelolaan suatu kegiatan pembangunan secara umum. Fukuyama juga menyatakan, kepercayaan (trust) muncul jika di masyarakat itu terdapat nilai (shared values) sebagai dasar dari kehidupan untuk menciptakan pengharapan umum dan kejujuran. Dengan kepercayaan, orang tidak akan mudah curiga yang sering menjadi penghambat. Di samping itu, jaringan (networks) memiliki dampak positif dalam usaha meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan pembangunan lokal.

Pengertian yang hampir serupa dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dalam Mahin (2009) dan Haryatmoko Pengertian yang hampir serupa dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dalam Mahin (2009) dan Haryatmoko

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

(2010) yang mendeinisikan bahwa modal sosial sebagai keseluruhan sumber daya

baik aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan yang tetap dengan didasarkan pada saling kenal dan saling mengakui. Menurut Bourdieu ada empat tipe modal, yakni modal ekonomi, modal kultural, modal sosial dan modal simbolik. Dari beberapa teori ini dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini modal sosial yang semula hanya berupa pelaba, lalu dikembangkan oleh para pengempon dan pengurus desa adat sebagai potensi isik atau material dan sekaligus spiritual yang apabila dikembangkan dengan baik akan menjadi kekuatan strategis untuk mengelola pura sehingga mampu menjalankan fungsinya yang lain di masyarakat secara maksimal.

Memahami diskusi teoritik tersebut maka dalam pengelolaan pura juga melahirkan interaksi antara pengempon , pengurus desa adat dan lingkungan komunitasnya. Relasi intim yang terbangun antara umat akan melahirkan ikatan emosional sebagai sesama umat dari rumah ibadat tersebut. Selanjutnya pengelolaan modal sosial yang telah dikembangkan ternyata dapat dikelola tidak harus dengan cara- cara tradisonal, tetapi perlu dikelola berdasarkan kepemimpinan yang handal (strong leadership). Kepemimpinan adalah seni tentang tata cara memimpin atau kemampuan untuk membimbing, menuntun seseorang atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Salah satu teori manajemen yang banyak dikembangkan dalam era modern ini adalah TQM.

TQM sebenarnya adalah suatu usaha yang digunakan dalam proses perbaikan guna mencapai hasil yang baik, khususnya dalam mutu atau kualitas dari suatu produk. TQM mengacu pada metode manajemen yang digunakan untuk meningkatkan kualitas

dan produktivitas dalam organisasi bisnis. TQM adalah pendekatan manajemen yang komprehensif yang bekerja horizontal di seluruh organisasi, yang melibatkan semua departemen dan karyawan, dan memperluas baik ke “belakang” maupun ke “depan”, termasuk bagi para pemasok dan klien. TQM menyediakan kerangka-kerangka kerja untuk menerapkan produktivitas yang lebih berkualitas dan inovatif secara efektif yang dapat meningkatkan proitabilitas dan daya saing organisasi. Dengan kerangka teori ini, penelitian ini akan melihat sejauh mana TQM menjadi konsep yang diadaptasi oleh pengurus pura dalam mengelola modal sosial yang dimilikinya.

Metode Penelitian

Lokus penelitian ini adalah Pura Desa dan Pura Puseh yang terletak di Desa Pakraman Ubung Denpasar. Kedua pura tersebut menjadi satu area, berbeda dengan pura Kahyangan Tiga pada umumnya yang letaknya terpisah- pisah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan beberapa tahapan, antara lain sebelum penggalian data primer terlebih dahulu dilakukan penggalian data sekunder sebagai bahan/ informasi awal terkait rumah ibadat yang diperoleh dari sumber-sumber resmi yang dianggap relevan dengan objek dan topik. penelitian. Ada beberapa dokumen yang dipelajari dan djadikan rujukan, salah satunya Ika Likita yang memuat Awig-Awig dan Prararem Desa Adat (aturan dalam menjalankan agama dan adat istiadat).

Sedangkan teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan observasi dan wawancara mendalam terhadap sejumlah informan dan key person. Agar aspek emiknya terasa kuat, informan dipilih berdasarkan kualitas dan tidak menekankan aspek kuantitas, yaitu

58 in yoman y oga s egara

pengurus rumah ibadat, pengempon aktif Durga, sakti dari Dewa Siwa. Dengan dan pemuka agama yang memahami demikian, setiap krama atau umat di persoalan pengelolaan rumah ibadat di

setiap Desa Pakraman memuja Dewa wilayahnya. Selain melalui wawancara

Brahma, Wisnu dan Siwa sebagai Tri dan observasi, juga dilakukan Focus

Murti , yakni tiga manifestasi Tuhan Group Discussion (FGD). Lamanya waktu

sebagai pencipta-pemelihara-pemralina penggalian data di lapangan adalah 15

atau lahir-hidup-mati. Ketiganya menjadi hari.

siklus kehidupan umat Hindu. Untuk itulah Kahyangan Tiga menjadi tempat

Langkah berikutnya setelah suci yang sangat dihormati.

penggalian data adalah melakukan pemilihan atau reduksi data,

Masalah letak Kahyangan Tiga tidak pengelompokan dan ketegorisasi data,

bersifat mutlak seperti di atas, karena dengan jalan abstraksi yang merupakan

tetap harus disesuaikan dengan tipologi upaya untuk memuat rangkuman inti,

sebuah Desa Pakraman, juga konsensus proses dan pernyataan. Selanjutnya bersama yang diselesaikan secara adat, dilakukan analisis data yang dimulai sepanjang disepakati dengan nilai- dengan menelaah seluruh data yang nilai kebersamaan. Misalnya, jika di tersedia. Sebagai tahap akhir sebelum

Desa Pakraman tersebut tidak memiliki kesimpulan dilakukan interpretasi pekarangan yang luas, maka ada data, yaitu memaknai, mendiskusikan,

kesepakatan tertentu yang dibuat bersama. membandingkan, mencocokkan dan Falsafah inilah yang membuat krama menganalisa dengan teori yang ada.

Desa Pakraman Ubung menempatkan Pura Desa dan Pura Puseh menjadi satu panyengker (tembok pembatas atau

pagar), yang hanya dibatasi tembok

Selintas Pura Desa, Pura Puseh dan

pembatas, dan bahkan memiliki hari suci piodalan yang sama. Piodalan atau upacara

Umat Pengempon

Seperti pada umumnya Desa peringatan berdirinya Pura Desa dan Pakraman di Kota Denpasar, Desa Pura Puseh adalah Saniscara Kliwon Wuku

Pakraman Ubung juga memiliki Kuningan . Kahyangan Tiga Desa Pakraman Kahyangan Tiga dan masuk wilayah Ubung terletak di Banjar Sedana Mertha. administrasi Kecamatan Denpasar Barat. Kahyangan Tiga adalah tiga pura utama

Selain Kahyangan Tiga, di Desa yang ada di setiap Desa Pakraman. Pura

Pakraman Ubung juga terdapat pura Desa letaknya di tengah-tengah desa, di masing-masing banjar: Pura Panti, tempat memuja dewa Brahma sebagai

Sanggah/Pemrajan, Pura Subak, manifestasi Tuhan sebagai pencipta. Pura

Pura Bedugul dan Pura Melanting. Puseh di ulun desa atau ujung seperti di

Berdasarkan data dalam Ika Ilikita, di Desa Timur atau Utara desa, tempat memuja

Pakraman Ubung terdapat 37 pura. Pada dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan saat piodalan, di Kahyangan Tiga selalu Pura Dalem letaknya di teben, biasanya

dilaksanakan persembahyangan bersama Selatan atau area kosong di luar desa atau

dimulai dengan Tri Sandhya dan Kramaning dekat kuburan, tempat memuja dewa Sembah bersama. Persembahyangan yang Siwa sebagai pemralina atau pengembali

sama juga dilakukan pada saat hari- semua yang ada di dunia. Pura Dalem

hari suci lainnya, seperti purnama, tilem, biasanya juga berdekatan dengan Pura

saraswati, siwaratri, galungan, kuningan , dll. Prajapati, tempat bersthananya Dewi Sampai saat ini, khusus untuk Pura Desa

dan Pura Puseh belum dapat diuraikan

HARMONI September - Desember 2014

59 secara jelas asal usul dan sejarahnya,

m embagi d unia :c ara P engelolaan m odal s osial P ura di d enPasar

Modal Sosial: dari Pelaba ke Aset

bahkan belum dapat diuraikan dalam Eka

Produktif

Ilikita. Sebagaimana diceritakan Jero

Pura Desa dan Pura Puseh yang Bendesa Desa Pakraman Ubung, I Dewa berada di tengah Desa Pakraman Ubung

Putu Mayun (wawancara tanggal 22 Mei berbatasan langsung dengan Desa 2014), sampai saat ini Pura Desa dan Pura

Pakraman Pohgading di sebelah Utara, Puseh sudah tidak memiliki aset berupa Tukad Badung di sebelah Timur, Desa

pelaba dan hanya memiliki pratima dan Pakraman Denpasar di sebelah Selatan

benda pusaka lainnya. Kondisi ini tidak dan Tukad Mati di sebelah Barat. Total luas

memungkinkan para pengurus mampu menjalankan aktiitas keagamaan yang

Desa Pakraman Ubung adalah 184.878 ha setiap tahunnya menelan biaya lebih dari yang terbagi ke dalam pekarangan umah

1 miliar. Beruntung beberapa pengurus seluas 78.87 ha, tanah tegalan 104.878 desa adat adalah orang-orang yang aktif

ha dan tempat suci seluas 1.13 ha. Pura dalam berbagai kegiatan adat atau bekas

Desa dan Pura Puseh sebagai bagian dari pensiunan PNS sehingga mereka masih

Kahyangan Tiga di-empon oleh krama Desa memiliki kemampuan membangun Pakraman Ubung yang menurut data koneksi dalam memperoleh bantuan, baik

dalam Ika Ilikita berjumlah 424 kepala dari Pemda Tingkat I maupun Pemerintah keluarga, yang tersebar di masing-masing

Kota Denpasar. Mereka membutuhkan banjar, yaitu Banjar Sedana Mertha (118

bantuan seperti itu karena Pemda Bali KK); Banjar Tengah (101 KK); Banjar

sangat memperhatikan keberadaan Sari (101 KK); Banjar Batur (50 KK) dan

dan ketahanan seluruh Desa Pakraman. Banjar Merta Gangga (54 KK). Krama

Menurut Mayun, hal ini menjadi strategi Desa Pakraman ini adalah mereka yang

kebudayaan untuk menjadikan Desa memiliki syarat-syarat sebagaimana Pakraman sebagai benteng kokoh untuk diatur dalam awig-awig desa pakraman

menyaring arus kencang globalisasi yang sejak 29 Januari 1983.

masuk melalui investasi ekonomi seperti pembangunan dan tourisme.

Selain krama yang tersebar di banjar , di Desa Pakraman Ubung juga

Tampaknya pengurus adat mencoba memiliki Sekeha Teruna yang juga terdapat

memanfaatkan human capital yang di masing-masing banjar. Sekeha atau mereka miliki untuk tetap mendapatkan perkumpulan yang lain adalah Sekeha

perhatian dari pemerintah. Informasi dari Pesantian, Sekeha Gong, Sekeha Barong Mayun, yang juga diiyakan oleh Sekretaris

I, I Made Jesna, setiap tahun selalu saja sangat aktif dalam membuat denyut ada dana pembinaan yang mengalir agama, adat dan budaya Bali. Krama Desa

dan Sekeha Rurung. Semua sekeha ini

dari Pemda Bali, karena Pemda sangat berkepentingan untuk memperkuat Desa

Pakraman Ubung memiliki pekerjaan Pakraman . Jesna mencoba merasionalisasi

yang beragam, seperti buruh, dagang, situasi ini dengan mengatakan bahwa tukang bangunan (biasanya bangunan Bali bisa seperti ini karena keberadaan khas Bali), tukang jahit, PNS dan TNI. Desa Pakraman masih mempertahankan Kehidupan adat krama Desa Pakraman tradisi luhur dan mampu berkolaborasi Ubung ditata sedemikian rupa melalui

dengan desa dinas sebagai wakil prajuru-prajuru yang terdapat mulai dari

pemerintah. Menurut dua pengurus inti organisasi terkecil, seperti kelian maksan,

Desa Pakraman ini, bantuan yang diterima kelihan banjar hingga kelihan desa yang

setiap tahunnya selalu meningkat. Tahun biasa disebut Jero Desa atau Bendesa.

lalu (2013) mendapatkan bantuan 100 juta

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

60 in yoman y oga s egara

dari Pemda Tingkat I Bali, dan 25 juta dari Aset lain yang dikembangkan adalah Pemkot Denpasar.

pasar desa dan parkir. Aset-aset produktif ini sepenuhnya dikelola oleh Badan

Cara kreatif para pengurus desa Usaha Milik Desa (BUMDES). LPD dan adat di atas, jika merujuk pada pendapat

pasar desa mampu memberikan subsidi Putnam (1993: 167) bahwa modal sosial

sebesar 20% dari laba yang diperoleh atau itu mengacu pada aspek-aspek utama

sekitar 600 juta per tahun. organisasi sosial seperti kepercayaan

(trust), norma-norma (norms), dan Sumber dana lain yang digunakan jaringan-jaringan (networks) yang dapat

sebagai modal sosial oleh para pengurus meningkatkan eisiensi dalam suatu

adalah memberikan kepercayaan yang masyarakat melalui fasilitasi tindakan tinggi kepada pengempon dengan cara yang terkoordinasi. Internalisasi dari tidak membebaninya. Misalnya iuran semua hal ini dapat berupa kemauan

Krama Banjar besarnya tidak dibuat baik, rasa bersahabat, saling simpati, seragam tergantung kemampuan setiap serta hubungan sosial dan kerjasama erat

banjar serta bersifat insidental, seperti antara individu dan orang lain dalam

hanya untuk piodalan dan kegiatan agama suatu kelompok sosial. Itulah yang atau adat lainnya. Pengempon diberikan dilakukan para pengurus desa adat.

kesempatan untuk berpartisipasi aktif sesuai kemampuan yang dimiliki. Bahkan

Dengan memanfaatkan modal para pemuda juga secara kreatif diberikan sosial seperti tersebut di atas, Miarsa

peluang mencari dana untuk kebutuhan dan beberapa krama aktif yang hadir mereka dengan mengadakan bazzar

dalam FGD tanggal 24 Mei 2014 juga murah pada setiap hari raya, terutama

mengatakan bahwa akhirnya untuk Galungan dan Kuningan. Biasanya pertama kalinya mereka mendapatkan

aktiitas bazar ini dilakukan di banjar- bantuan sebesar 50 juta dari Kementerian

banjar. Dengan demikian, modal sosial Agama Kota Denpasar. Hal ini dibenarkan

sebagaimana tersebut di atas menjadi oleh Ni Ketut Oka Sutriani, Penyuluh

sangat potensial yang mendorong Agama Hindu Kementerian Agama Kota

munculnya interaksi antara pengempon Denpasar.

dengan pengurus desa adat. Relasi Senada dengan peserta FGD, I intim yang terbangun antara umat akan Dewa Putu Mayun dan I Made Jesna

melahirkan ikatan emosional sebagai (wawancara tanggal 26 Mei 2014)

sesama pengempon pura. Besarnya modal mengatakan bahwa meskipun bantuan

sosial yang kini dimiliki pura, tergantung dari Pemda dan Kementerian Agama pada seberapa besar kuantitas maupun

belum dapat memenuhi kebutuhan kualitas jaringan yang diciptakan para yang tiap tahun selalu membengkak, pengempon dan pengurus desa adat, serta Desa Pakraman Ubung telah sejak lama

seberapa besar volume modal ekonomi, memiliki mekanisme untuk mengatasi budaya dan sosial yang ada. Artinya,

masalah ini, namun tetap tidak seperti halnya aset ekonomis, modal memberatkan Krama Desa Pakraman.

sosial juga bisa bersifat produktif dan Mayun menjelaskan bahwa meski Desa

tidak produktif.

Pakraman tidak lagi memiliki pelaba seperti Uraian di atas memperlihatkan Desa Pakraman lainnya, Desa Pakraman

bahwa modal sosial memiliki beberapa Ubung akhirnya bersepakat untuk elemen pokok yang mencakup:

mengembangkan dan membesarkan kepercayaan (trust), yaitu meliputi Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yaitu

kejujuran, keadilan, sikap egaliter, toleran, lembaga simpan pinjam Krama Desa yang

keramahan, dan saling menghormati; saat ini sudah beromzet di atas 10 milyar.

HARMONI September - Desember 2014

61 jaring sosial (social networks), yaitu piodalan dan hari suci keagamaan lainnya.

m embagi d unia :c ara P engelolaan m odal s osial P ura di d enPasar

meliputi partisipasi, resiprositas (timbal- Padahal manusia tidak bisa hidup dengan balik), solidaritas, dan kerjasama, dan

satu dimensi saja.

pranata (institutions), yaitu meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama, norma,

Untuk bisa mengelola modal sosial sanksi, serta aturan-aturan. Ketiga tersebut, dibutuhkan manajemen yang elemen ini tidak bersifat given, karenanya

baik. Hal ini mereka lakukan dengan perlu diciptakan, dikembangkan, dan menyusun struktur dan berdasarkan

didayagunakan melalui mekanisme tugas fungsi yang jelas. Bendesa Adat sosial-budaya dalam suatu unit sosial.

dibantu empat Baga atau wakil ketua Para pengurus desa adat mencoba sesuai bidang-bidang yang ditentukan,

mengembangkannya menjadi sesuatu antara lain Wakil Ketua I (Petajuh Baga yang produktif melebihi modal harta Parahyangan ) yang bertugas dalam urusan benda, hal ini sejalan dengan apa yang

persembahyangan dan pura; Wakil Ketua telah dikatakan Fukuyama.

II (Petajuh Baga Palemahan) yang bertugas mengurusi soal lingkungan dan tata Jika dianalisis lebih lanjut, ternyata

ruang desa; Wakil Ketua III (Petajuh Baga ada tiga parameter untuk mengukur Pawongan ) yang bertugas mengurusi

apakah sebuah pura memiliki modal siklus hidup seperti perkawinan, cerai, sosial yang kuat atau lemah, yaitu: ngaben , dan upacara lainnya dan Wakil Pertama , adanya kepercayaan antarsesama

Ketua IV (Petajuh Baga BUMDES) yang pengempon maupun pengempon dengan bertugas memutar roda ekonomi dan pengurus desa adat. Kedua, sejauh mana

usaha desa. Selain empat Baga, Jero jaringan kerjasama antara komunitas Bendesa juga dibantu oleh Sekretaris I sosial keagamaan tertentu dengan pura.

(Penyarikan I), Sekretaris II (Penyarikan II) Ketiga , sejauh mana nilai-nilai dan norma

dan Bendahara (Petengen). yang terdapat dalam agama diyakini dan djalankan bersama oleh pengempon dan

Jero Bendesa dengan perangkatnya pengurus desa adat. Jika nilai dan norma

menjadi semacam lembaga eksekutif tersebut secara kolektif djalankan maka yang dalam menjalankan program dan

akan dapat berperan dan berfungsi bagi kegiatannya diawasi oleh semacam kemajuan pura dan pengemponnya.

lembaga yudikatif, yakni Kertha Desa. Sedangkan lembaga yang bertugas menjadi mediator untuk melakukan musyawarah jika ada masalah adalah

Mengelola Modal Sosial, Memberdaya-

Sabha Desa legislatif. Seluruh permasalahan yang

atau semacam lembaga

kan Umat Pengempon

Jero Bendesa Adat (wawancara ada di Desa Pakraman diselenggarakan tanggal 28 Mei 2014) mengatakan bahwa

secara sinergis antar lembaga tersebut. berbeda dengan pura yang terletak di

Untuk menunjang dan mendukung wilayah pedesaan, Pura Desa dan Pura

kelancaran pelaksanaan seluruh tugas Puseh dikelola dengan menggunakan yang djalankan, Kelihan Desa dibantu pendekatan modern, namun tetap oleh selain krama, juga prajuru-prajuru menjadikan nilai tradisional berupa ajaran

dimasing-masing banjar serta alat-alat agama sebagai panduan. Menurutnya, desa untuk memberikan rasa aman jika pura dikelola dengan konvensional

krama , seperti pecalang yang saat ini juga mungkin umat pengempon tidak akan telah memiliki aset satu mobil dan empat merasakan manfaat lain, kecuali hanya

motor patroli.

untuk memenuhi kebutuhan rohani, Membaca uraian di atas, maka itupun datang secara temporer, seperti sebetulnya ada sinergi yang kuat dari

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

62 in yoman y oga s egara

tiga lembaga Desa Pakraman, yakni Provinsi. Desa adat mengelola urusan Bendesa Adat (eksekutif), Kertha Desa

agama, adat dan budaya. Sehingga bagi (yudikatif) dan Sabha Desa (legislatif) Desa Pakraman , bantuan dana yang mereka sehingga pelaksanaan program dan terima, terlebih untuk kepentingan pura kegiatan yang dibuat oleh Desa Pakraman

harus jauh dari tindakan menyimpang. berjalan secara terbuka, transparan dan akuntabel. Pola ini memperlihatkan

Tampak jelas para pengempon pura adanya kepemimpinan yang kuat (strong

dan pengurus desa adat melakukan leadership ) masing-masing lembaga dan

kompromi dengan memanfaatkan sumber dipersatukan oleh nilai-nilai agama daya manusia yang ada secara adat, sebagai pengikat moral. Nilai-nilai agama

namun saat bersamaan mengadaptasi ini dituangkan ke dalam awig-awig.

pola manajemen modern. Bila dicermati maka prinsip dan unsur pokok dalam

Telah sejak lama, awig-awig dan TQM coba dipraktekkan dengan mengacu prararem menjadi garis-garis besar pada: Pertama, kepuasaan pelanggan; haluan desa pakraman sekaligus menjadi

Kedua , respek terhadap setiap orang yang legitimasi agama karena melibatkan hal-

merupakan sumber daya organisasi yang hal yang bersifat religius, rohaniah dan

paling bernilai; Ketiga, mendasarkan diri niskala , salah satunya dengan meyakini

pada fakta dan kebutuhan riil, bukan berlakunya hukum karma. Keyakinan sekadar pada perasaan. ini dimiliki pemimpin dan pengurus lembaga-lembaga adat dan agama untuk

Prinsip TQM ini secara konkret menjadikan pengabdian mereka lebih diterapkan ketika mereka menyiapkan banyak didasari oleh kebutuhan rohani.

program dan kegiatan bagi pengempon Bagi mereka, menjadi prajuru Desa yang dikombinasikan dengan konsep Tri Pakraman adalah sebuah panggilan yajna

Hita Karana . Terlihat ada perencanaan (Wiana, 1995). yang terstruktur sehingga bermanfaat secara utuh, meliputi kebutuhan jasmani Selain melalui hubungan yang dan rohani. Adapun struktur program harmonis antar tiga lembaga di atas, di Desa

dan kegiatan tersebut dapat dilihat di Pakraman Ubung, seperti Desa Pakraman

bawah ini.

lainnya, berlaku pula pelaksanaan Catur Guru , di mana pemerintah, dalam hal

Bidang Parhyangan: a). Memberikan ini desa dinas dianggap sebagai Guru

bantuan secara rutin tiap pujawali dan Wisesa yang wajib diajak bekerja sama

hari suci lainnya kepada Pura Kahyangan dan dimintakan sarannya. Selama ini, Jero

Desa; b). Membangun Bale Pedaunan Bendesa dan para prajuru lainnya selalu

Pura Desa dan Puseh; c). Mengadakan melakukan kerjasama yang baik terutama

persembahyangan bersama saat Purnama/ meminta saran dan pertimbangan Tilem, Siwaratri, Saraswati dan Pujawali; dalam mengelola dana bantuan. Hal ini

d). Pelaksanaan upacara/upakara sebagai mereka lakukan karena selama ini ada

prosesi pergantian Tahun Baru Caka dari hambatan administrasi dan prosedur. melasti, mecaru dan Nyepi; d). Dharmayatra Seperti diketahui, di Bali, terdapat desa

ke situs-situs atau peninggalan kerajaan dinas dan desa adat. Keduanya bukanlah

Hindu di Jawa Timur.

bentuk dualisme tetapi justru dualitas Bidang Pawongan:a). Menyeleng- yang saling melengkapi sesuai tugas dan

garakan Pasraman Kilat anak-anak dan fungsinya. Dalam desa dinas, peraturan

remaja; b). Meningkatkan peran lembaga yang berlaku bersifat nasional, sebagai

adat sesuai dengan aturan/kewenangan wakil dari pemerintahan di atasnya, desa/banjar; c). Meningkatkan keahlian

yaitu Kecamatan, Kabupaten/Kota, atau kaum perempuan dalam membuat

HARMONI September - Desember 2014

63 upakara dan upacara agama melalui Kawitan , Pura Swagina, dan banjar. Selain

m embagi d unia :c ara P engelolaan m odal s osial P ura di d enPasar

kursus-kursus Sarati Banten; c). itu, dengan berdasarkan awig-awig Meningkatkan peran serta krama desa

yang dibuat di masing-masing pura, dalam menghadapi gangguan keamanan

akuntabilitas dari pemberdayaan umat (bankamdes); d). Membantu anggota

dan pengelolaan bantuan pemerintahn yang meninggal sebesar Rp. 1.000.000,-

misalnya, dapat dilakukan secara e). Mensubsidi biaya sekolah pada anak-

transparan karena awig-awig menjadi anak yang akan masuk di TK/PAUD pengikat moral kepercayaan umat. Widyasanti; f). Pembinaan bidang seni

Melalui awig-awig pula, para pengempon dan budaya terhadap generasi muda/

dan pengurus desa adat akan merasa remaja dengan mengadakan pelatihan diikat secara spiritual dan niskala melalui bersama antarbanjar se-Desa Pakraman.

konsep karmaphala yang tidak bisa dilanggar. Ini semua menjadi modal besar

Bidang Palemahan:a). Menetapkan bagi pengempon pura untuk mengelola, batas wilayah Desa Pakraman dan batas-

mendistribusikan dan memanfaatkan batas tanah milik desa; b). Membersihkan/

serta memberdayakan pengemponnya menata palemahan/halaman Pura Desa dan

sekaligus sebagai alat untuk melakukan Puseh melalui tamanisasi lingkungan pengawasan dan evaluasi.

pura dan tamanisasi pekarangan rumah penduduk.c). Membuat jalur irigasi utama dari hulu sampai ke hilir/pembuangan di

sungai Badung untuk mengatasi banjir; Pengelolaan Modal Sosial dan d). Melestarikan sumber-sumber mata air Pemanfaatan Ruang Struktur Pura

yang ada dilingkungan Desa Pakraman; Sebagaimana telah disinggung di e). Melaksanakan kerja bakti gotong bagian pendahuluan bahwa pengelolaan royong kebersihan tiap minggu pertama

modal sosial yang dimiliki Pura Desa dan bagi krama laki-laki dan minggu ketiga

Pura Puseh tidak akan bisa dilakukan bagi krama perempuan yakni mengelola

jika hanya memfungsikan pura sebagai sampah secara swadaya dan membuat

ruang sakral dan religius semata, karena resapan air (biopori) disetiap keluarga

struktur Tri Mandala pura memungkinkan sebagai upaya mengurangi banjir dan

para pengempon dan pengurus desa adat menjaga air tanah.

memenuhi kebutuhan non religiusnya. Untuk itu mereka memanfaatkan ruang

Apabila mengacu pada pendapat Tri Mandala sebagai tahapan kehidupan Mark Graham Brown (2008), maka paling dari alam konkrit menuju alam abstrak. tidak ada tujuh kriteria yang hampir sama Mereka memaknai ketersediaan ruang digunakan oleh para pengurus desa adat, dalam Tri Mandala untuk mendapatkan antara lain leadership, strategic planning, sumber daya. Hal yang sama dapat customer and market focus, measurenment, dibaca dari perspektif arsitektur bahwa analysis and knowledge management, setiap ruang sebetulnya memiliki makna workforce focus, process management, dan tersendiri yang dapat dimanfaatkan orang results . Khusus untuk kriteria leadership sesuai kebutuhannya (Francis, 1996). Hal telah pula secara nyata dan langsung yang sama dapat juga ditemukan dalam dilakukan oleh para pengurus secara Arismunandar (2005) ketika ia melihat mandiri dan otonom meskipun berada setiap struktur bangunan puri yang dalam atap yang sama dengan desa dinas.

penuh maknawi.

Sinergi tersebut menghasilkan Tampaknya para pengempon dan kemampuan untuk membagi kekuatan pengurus desa adat menyadari adanya kepada para leader dari masing-masing tuntutan keadaan yang memaksa mereka pengempon , baik pengempon dari Pura

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

64 in yoman y oga s egara

secara sadar untuk memanfaatkan Desa dan Pura Puseh di Desa Pakraman struktur bangunan pura sebagaimana Ubung Denpasar. Apa yang dilakukan diatur sesuai tempatnya dan dengan para pengempon Pura Desa dan Pura Puseh tujuan yang berbeda. Tri Mandala terdiri

dan pengurus desa adat dapat dimaknai dari Nista Mandala atau Jaba Sisi, yaitu

sebagai upaya mereka menjadikan pura halaman paling luar dari pura, tempat

sebagai ruang pertemuan antara yang bagi umat Hindu untuk melaksanakan

abstrak dan konkrit sebagaimana pernah aktivitas yang masih bersifat profan. diteliti oleh Eiseman yang melihat bahwa Bangunan yang terdapat pada halaman

orang Bali dapat hidup nyaman dalam ini biasanya kamar mandi, dapur, dan

dua dunia sekaligus, kapan sesuatu itu lain-lain. Madya Mandala atau Jaba Tengah

dianggap abstrak dan kapan sesuatu adalah halaman yang terletak di bagian

itu menjadi konkrit, atau sesuatu bisa tengah sebuah pura yaitu tempat bagi

menjadi sakral sekaligus bisa menjadi umat manusia untuk melaksanakan profan, sebagaimana sifat yang sama kegiatan kemanusiaan tetapi mulai diterima oleh manusia dan para dewa diarahkan untuk Tuhan. Bangunan yang

( Howe, 1984). Dua hal ini dianggap biasanya terdapat di Madya Mandala

sebagai dualitas atau Rwa Bhineda yang adalah bale kulkul, balai pertemuan, dll.

saling melengkapi. Bahkan modal sosial Terakhir Utama Mandala atau jeroan adalah

pun mereka bedakan sebagai modal sekala halaman paling dalam sebagai tempat

dan modal niskala ( Eiseman, 1989). bagi umat Hindu untuk melaksanakan kegiatan rohani seperti sembahyang,

Modal sosial dan pengelolaannya semadi dll. Bangunan yang terdapat di

dengan memanfaatkan konsep dan Utama Mandala ini adalah bale pawedan,

ajaran Tri Mandala dan Tri Hita Karana padmasana, meru dan lain-lain.

memperlihatkan karakter mereka yang tidak pernah linear dan statis. Sebab

Program dan kegiatan yang jika dipaksakan dikelola dengan kaku, dirancang dan dilaksanakan oleh konvensional dan tradisional maka pengurus desa adat juga dimaksudkan

mereka tidak akan memperoleh manfaat untuk memanfaatkan ruang-ruang apa-apa. Mereka mempertemukan dua yang ada dalam struktur Tri Mandala.

dunia secara bolak balik. Adagium ini bisa Hal ini memungkinkan terjadi karena

digambarkan dengan Nista-Madya-Utama pada dasarnya umat Hindu memaknai

atau Palemahan-Pawongan-Parahyangan. perjalanan hidup yang distruktur Begitu sebaliknya. Hal ini bisa dianalisa mulai dari yang konkrit dan letaknya

dari pendapat Geertz (1973) tentang paling luar. Ruang ini penuh dengan

waktu bagi orang Bali yang dimaknai aktivitas jasmani dan profan. Inilah yang

sebagai siklus tidak terputus. dituangkan melalui program di bidang palemahan . Sementara wilayah tengah adalah wilayah manusia yang mengalami ruang jasmani menuju ruang rohani. Hal ini dituangkan ke dalam bidang program pawongan. Sedangkan wilayah paling dalam digunakan sepenuhnya untuk kegiatan rohani atau wilayah abstrak. Wilayah ini menjadi program parahyangan . Ketiga ruang ini (Tri Mandala) dengan tiga bidang program (Tri Hita Karana ) dimanfaatkan sepenuhnya untuk

TRI MANDALA-TRI HITA KARANA

mengelola modal sosial yang ada untuk Ilustrasi model kreatif pengelolaan pura memberdayakan umat pengempon Pura

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Kesimpulan

Berdasarkan temuan lapangan dan hasil analisis di atas, paling tidak ada dua kesimpulan yang diajukan dalam penelitian yaitu:

Pertama , seperti halnya pura yang berada di kota-kota besar, Pura Desa dan Pura Puseh yang terletak di Desa Pakraman Ubung Denpasar juga menghadapi masalah pelik, yakni tidak tersedianya pelaba pura yang bisa memberikan jaminan atas kebutuhan para pengempon yang makin tinggi dan pemberdayaan umat di luar kebutuhan religius. Atas situasi sulit ini, mereka tidak lantas menyerah dengan hanya mengandalkan modal berupa pelaba tetapi juga harus secara kreatif membangun jaringan (networks) dan kepercayaan (trust) baik antara pengempon dengan pengurus desa adat, antara pengurus desa adat dengan desa dinas dan pemerintah. Mereka aktif memanfaatkan jaringan untuk memperoleh dana bantuan terutama dari Pemda Bali dan Pemkot Denpasar. Bukan hanya itu mereka juga berhasil untuk pertama kalinya mendapatkan bantuan dari Kementerian Agama Kota Denpasar. Meskipun berbagai bantuan yang diterima belum mampu memenuhi kebutuhan pura dan pengempon, mereka secara kreatif pula mengembangkan dan membesarkan LPD, pasar desa, parkir dan usaha desa lainnya. Mereka mengembangkan modal pura ini dengan

dua dunia, yakni sekala dan niskala. Dua dunia ini meyakinkan mereka bahwa pura juga tidak hanya menyediakan tempat sakral tetapi juga profan dengan batas-batas yang jelas.

Kedua , untuk dapat mengelola modal-modal sosial yang dimiliki, para pengurus desa adat mengadaptasi manajemen modern, salah satunya TQM namun tetap menjadikan konsep-konsep agama sebagai landasan utama. Ada dua hal menarik yang disimpulkan di sini, yakni pertama, kombinasi manajemen modern dengan ajaran agama antara lain Tri Mandala dan Tri Hita Karana. Kedua, manajemen kepemimpinan tri partit plus, yakni Bendesa Adat, Kertha Desa dan Sabha Desa bersanding dengan desa dinas sebagai representasi dari pemerintah. Hasilnya adalah program dan kegiatan untuk memberdayakan pengempon mereka rencanakan dan laksanakan dengan sangat matang, sedangkan pengawasan, evaluasi dan pelaporan mereka dapat lakukan berdasarkan prinsip akuntabel dan transparan. Manajemen ini mereka lakukan dengan membagi dan memaknai struktur pura berdasarkan fungsinya. Ternyata struktur dan hierarki pura memberikan ruang bagi mereka mengelola modal sesuai peruntukannya, misalnya ruang nista untuk kebutuhan jasmani dan profan, ruang madya untuk kebutuhan jasmani namun sudah mulai diarahkan untuk Tuhan, sedangkan ruang utama hanya untuk Tuhan.

Daftar Pustaka

Ahmad, Habibi Zaman Riawan dan Fatchan Kamal. Model-Model Pemberdayaan Masjid di

Surabaya . Laporan Penelitian. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama, 2014.

Brown, Mark Graham. Baldrige Award Winning Quality, How to Interpret the Baldrige

Criteria for Performance Excellence. New York: CRC Press, 17th Edition, 2008. Durkheim, Emile. The Elementary Forms of The Religious Life. George Allen & Unwin Ltd,

66 in yoman y oga s egara

D.K. Ching, Francis. Arsitektur: Bentuk Ruang dan Susunannya . Jakarta: Airlangga, 1996. Eiseman, Jr., Fred B. Berkeley California: Bali Sekala & Niskala , 1989. Fukuyama F., The Social Virtues and The Creation of Prosperity . Newyork: Free Press, 1995. Geertz, Cliford. The Interpretation of Cultures: Selected Essays. London: Hutchinson & CO

Publisher LTD, 1973. Haryatmoko. Habitus dan Kapital dalam Strategi Kekuasaan, Teori Strukturasi Pierre Bourdieu.

Makalah disampaikan dalam Seminar di Pascasarjana Jurusan Sosiologi, FISIP Universitas Indonesia, 2010.

Ishom, M dan A. Fachruddin. Model Pemberdayaan Mesjid Di Banjarmasin: Dari Masjid Bersejarah Sampai Masjid Sektoral . Laporan Penelitian. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama, 2014.

Jamil, Abdul, Zaenal Abidin Eko Putro dan Mardjuki. Gereja HKBP dan Pemberdayaan Jamaat . Laporan Penelitian. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama, 2014.

Keputusan PHDI Pusat Nomor: 11/Kep/I/ PHDI.P/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura. Lansing, J. Stephen. The Three Worlds of Bali . New York: Praeger, 1983. Lansing, J. Stephen. Perfect Order: Recognizing Complexity in Bali. Princeton University

Press, 2006. Leopold E.A. Howe. God, People, Spirit and Witches: The Balinese System of Person Deinition.

BKI, 1984. Mahin, Marko. Kaharingan: Dinamika Agama Dayak di Kalimantan Tengah. Disertasi. Depok:

Program Pascasarjana Antropologi, FISIP, UI, 2009. Muchtar dan Achmad Ubaidillah. Model-Model Pemberdayaan Rumah Ibadah di GKI

Maranatha Remu dan GKI Immanuel Boswezen, Kota Sorong, Papua Barat. Laporan Penelitian. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama, 2014.

Munandar, Agus Aris. Istana Dewa Pulau Dewata: Makna Puri Bali Abad ke 14-19 M. Depok: Komunitas Bambu, 2005.

Pemerintah Daerah Tingkat I Bali. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I- XV, 1993/1994.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Buku II Bab II Bidang Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama Tahun 2010-2014.

Putnam, R.D., Marking Democracy Work: Civil Tradition In Modern Italy. Princeton NJ: Princeton University Press, 1993.

Wiana, I Ketut. Yajña dan Bhakti dari Sudut Pandang Agama Hindu. Denpasar: Pustaka Manikgeni, 1995.

Wiana, I Ketut. Tri Hita Karana Menurut Konsep Hindu . Surabaya: Paramita, 2007.

HARMONI September - Desember 2014

P 67 andangan P imPinan g ereja tentang P engaturan o rganisasi g ereja di P rovinsi j awa b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

P enelitian

Pandangan Pimpinan Gereja tentang Pengaturan

Organisasi Gereja di Provinsi Jawa Barat

Reslawaty

Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Email : [email protected] Diterima redaksi tanggal 31 Oktober 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

The aim of this qualitative study is to determine the views of church leaders in West Java about 1) the church organization/ denomination regulations issued by the Director General of Christian Guidance; 2) the policy of West Java’s Ministry of Religious Affairs on which church organization/ denomination regulations were valid at the time; and how church leaders themselves could ensure peace and harmony with the increasing number of new denominations seeking legal status. The study concludes that almost all church leaders were not aware of any of the moratoriums issued by the Director General of Christian Guidance. Church leaders also were critical towards the content of the moratorium, arguing that the government should not restrict any denomination seeking to would establish new churches if they met the requirements set out by the Director General of Christian Guidance.

Keywords: Government, Church Leaders, Regulations, Church Organizations

Abstrak

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, bertujuan untuk mengetahui pandangan pemimpin gereja tentang pengaturan organiasi/denominasi gereja yang dilakukan oleh Dirjen Bimas Kristen selama ini; kebijakan Kementrian Agama Provinsi Jawa Barat berkaitan dengan pengaturan organisasi/denominasi gereja yang berlaku selama ini; Pemikiran visioner yang dapat disumbangkan oleh para pemimpin gereja di Prov. Jawa Barat untuk menjamin keharmonisan dan kedamaian kehidupan beragama, berkaitan dengan semakin banyaknya denominasi baru yang ingin mendapatkan legalisasi dari pemerintah. Relasi sosial antara Penyelenggara Pembimas Kristen Kanwil Kemenag dengan para pimpinan gereja/denominasi. Adapun kesimpulan penelitian ini antara lain: hampir semua pimpinan gereja tidak mengetahui adanya kebijakan moratorium yang dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Kristen, menurut mereka pendaftaran gereja baru, hanya dilakukan oleh Dirjen Bimas Kristen. Sehubungan dengan isi moratorium tersebut, para pemimpin gereja berpandangan bahwa pemerintah seharusnya tidak melarang umat untuk mendirikan gereja baru serta harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Kristen.

Kata Kunci : Pemerintah, Pimpinan Gereja, Pengaturan, Organisasi Gereja

68 r eslawaty

HARMONI September - Desember 2014

Pendahuluan

Di Jawa Barat, berdasarkan data Pembimas Kristen Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat tahun 2010, pengikut agama Kristen berjumlah 2.178.002 jiwa, 41 denominasi dan 108 yayasan. Dalam perkembangannya, umat Kristen Jawa Barat mengalami berbagai peristiwa luar biasa baik di internal Kristen maupun antarumat beragama, seperti kasus pendirian rumah ibadat yang berakhir di pengadilan serta adanya perpindahan antara anggota jemaat gereja satu dengan gereja lainnya, namun hal tersebut dapat diatasi. Akhir- akhir inipun apabila terjadi perbedaan di antara intern maupun antarumat beragama, telah disikapi dengan kearifan dan kebjaksanaan.

Pada 1989 sebenarnya sudah ada Surat Edaran Direktur Jenderal Bimas Kristen yang berisi himbauan agar tidak dibentuk lagi organisasi gereja yang baru. Namun Surat Edaran dan himbauan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang kuat. Sehingga dapat diduga jumlah gereja masih bertambah. Semangat gereja atau masyarakat Kristen di Indonesia untuk membentuk dan mengembangkan organisasi gereja ataupun yayasan gerejawi yang baru, merupakan akibat perpecahan dari organisasi yang sudah ada sebelumnya atau karena adanya aliran/paham baru yang datang dari luar atau karena kebutuhan di Indonesia sendiri (Aritonang, 1995: 1).

Dari 700-an organisasi Gereja Kristen yang ada sebagian kecil nama-

namanya diambil dari sumbernya yang ada di luar Indonesia, seperti Adventis, Anglican, Baptis, Bethel, Karismatik, Lutheran, Metodis, Pantekosta, Presbyterian dan sebagainya. Tetapi sebagian besar dari nama-nama yang dipakai tidak mencerminkan asal-usul atau sumber aliran dan pemahaman gerejawi yang dianutnya. Beberapa di

antaranya memang produk pergumulan orang Kristen Indonesia dan hendak mencerminkan ciri ke Indonesiaan/ kedaerahan, misalnya Gereja Bethel Indonesia, Gereja Pantekosta di Indonesia, Gereja Pantekosta Kharismatika di Indonesia, Gereja Metodis Indonesia, Gereja Baptis Independent Indonesia dan sebagainya (Aritonang, 1995: 3).

Dari berbagai agama yang ada di dunia, ternyata agama Kristen yang paling banyak memiliki denominasi atau organisasi gereja. Dari keragaman denominasi tersebut rasanya sulit untuk dikelompokan oleh masyarakat Kristen itu sendiri tentang hakikat dari ajaran gereja tertentu, bahkan tidak hanya banyaknya denominasi melainkan munculnya kembali sempalan dari aliran Kristen. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan pengaturan terhadap organisasi gereja demi terciptanya keharmonisan dan kedamaian kehidupan umat beragama.

Pengaturan organisasi gereja dapat dilakukan oleh Kementerian Agama baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Sehingga terdapat keteraturan dan keharmonisasian dalam organisasi gereja. Dengan diberlakuannya UU No 17 Tahun 2013, yang belum ada Peraturan Pemerintahnya, Petunjuk Pelaksanaanya (Juklak) dan Petunjuk Teknisnya (Juknisnya) berdampak mengkhawatirkan jika tidak hati-hati dalam menterjemahkanya. Pada saat ini dampak itu belum terasa, karena Undang- Undang itu belum tersosialisasikan secara merata, tetapi pada saatnya, pasti dipahami oleh semua komponen bangsa. Selama ini semua organisasi atau denominasi, yayasan dan ormas keagamaan yang dilayani terdatar di Kementerian Agama, di kalangan Kristen dilakukan di Direktorat Jenderal Bimas Kristen Kementerian Agama. Dengan Undang-Undang baru, dikhawatirkan berbagai organisasi dan yayasan

P 69 andangan P imPinan g ereja tentang P engaturan o rganisasi g ereja di P rovinsi j awa b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

merasa cukup mendatar di Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri. Jika seperti itu memahami semangat atau ilosoi dari UU No 17 Tahun 2013, maka sangat berbahaya bagi semangat oikumenis (keesaan gereja) dan kerukunan hidup

antar umat beragama (Pengarahan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 11 Februari 2014).

Secara teknis UU No 17 Tahun 2013,

tidak menjelaskan

apakah

organisasi, denominasi, LSM, yayasan keagamaan dan sebagainya harus terdatar di Direktorat Jenderal Bimas Kristen Kementerian Agama atau cukup di Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri. Undang-Undang ini lahir untuk menggantikan UU sebelumnya yakni UU No 8 Tahun1985 tentang keormasan karena dipandang tidak memadai lagi bagi pengaturan berbagai lembaga/ organisasi kemasyarakatan yang ada. Dari aspek substansi, UU No. 17 Tahun 2013 tentang ormas berpotensi menimbulkan dampak kerancuan kerangka hukum, yaitu apakah semua denominasi, yayasan, perkumpulan, serta semua perkumpulan yang tidak berbadan hukum akan disebut ormas, karena dalam undang-undang itu tidak ada pembedaan deinisinya. Di samping itu, pengaturan berlebihan dan multi tafsir bagi organisasi tidak berbadan hukum sebagaimana ditunjukan bahasa hukum dalam Undang-Undang itu (Eryanto, 2013).

Dari uraian di atas, Kementerian Agama, terutama Dirjen Bimas Kristen berkepentingan untuk berharap adanya kebjakan keagamaan yang relevan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berbasis penelitian mendalam. Oleh karena itu Puslitbang Kehidupan Keagamaan perlu melakukan penelitian agar ditemukan cara pengaturan pada organisasi gereja yang dihimpun dari pandangan pemuka agama di Provinsi JawaBarat sehingga terwujud masyarakat yang harmonis, dan

mendorong berhasilnya pembangunan bidang agama.

Dari latar belakang di atas, maka masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1). Bagaimana pandangan pemimpin gereja tentang pengaturan organiasi/denominasi gereja yang dilakukan oleh Dirjen Bimas Kristen selama ini? 2). Bagaimana kebjakan Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat berkaitan dengan pengaturan organisasi/ denominasi gereja yang berlaku selama ini? 3). Pemikiran visioner seperti apa yang dapat disumbangkan oleh para pemimpin gereja di Provinsi Jawa Barat untuk menjamin keharmonisan dan kedamaian kehidupan beragama, berkaitan dengan semakin banyaknya denominasi baru yang ingin mendapatkan legalisasi dari pemerintah? 4). Bagaimana relasi sosial antara Penyelenggara Pembimas Kristen Kanwil Kemenag dengan para pimpinan gereja/denominasi?

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah untuk menyiapkan bahan penyusunan kebjakan tentang pengaturan organisasi gereja bagi pimpinan di lingkungan Kementerian Agama terutama Dirjen Bimas Kristen dan secara khusus adalah menjawab dengan mendiskripsikan point-point permasalahan penelitian serta menambah referensi akademik terkait organisasi gereja.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, data digali dari pejabat Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat, para pemimpin sinode gereja/gembala jemaat baik yang memimpin organisasi/ denominasi gereja maupun yang tidak memimpin, gembala, pendeta, penatua, secara mendalam. Hasil penggalian data itu kemudian di-crosceck sehingga didapatkan seperangkat pengetahuan tentang pandangan pemimpin Gereja

70 r eslawaty

HARMONI September - Desember 2014

sesuai dengan masalah untuk dicarikan jawabnya dalam penelitian ini, kemudian dianalisis secara teoritis. Data-data yang diperoleh diklasiikasi dan diinterpretasi agar didapatkan dekskripsi yang cukup dan memudahkan penyusunan laporan.

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan cara melakukan wawancara, kajian dokumen dan FGD. Adapun yang hadir dalam FGD adalah mereka yang telah diwawancarai oleh peneliti. FGD adalah untuk klariikasi data-data hasil wawancara sebelumnya dan menambahkan jika ada kekurangan yang perlu ditambahkan. Semua dokumen berupa tulisan, baik itu dokumen resmi, hasil wawancara dan dokumen pribadi, kajian dokumen, observasi dan FGD yang berkaitan dengan aspek-aspek penelitian itu kemudian dihimpun sebagai sumber data primer. Data yang terkumpul kemudian diolah, dan diinterpretasi sehingga dapat disajikan secara deskriptif analitis.

Data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah: 1). Data demograi

berdasarkan agama; 2). Kehidupan sosial ekonomi dan kehidupan keagamaan (kondisi sosial ekonomi, jumlah sinode, jumlah organisasi atau denominasi gereja Kristen yang terdatar maupun yang tidak terdatar di Kementerian Agama; jumlah yayasan-yayasan Kristen yang bersifat gerejawi, dan lembaga pendidikan dasar hingga perguruan tingi Kristen; 3). Dinamika sosial gereja; 4). Pandangan pemimpin gereja tentang pelayanan, dan pengaturan organisasi atau denominasi gereja maupun yayasan Kristen yang bersifat gerejawi oleh Kementerian Agama; 5). Pengaturan organisasi atau denominasi gereja, dan yayasan-yayasan Kristen yang bersifat gerejawi yang telah dilakukan oleh Kementerian Agama; 6). Sumbangan pemikiran yang visioner dari para pemimpin gereja untuk menjamin keberlangsungan keharmonisan dan kedamaian kehidupan beragama, berkaitan dengan semakin banyaknya

denominasi baru yang ingin mendapatkan legalisasi dari pemerintah pasca lahirnya Undang-Undang No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan; 7). Relasi sosial antara pihak gereja dengan Penyelenggara Pembimas Kristen Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat.

Kondisi Demogai dan Dinamika Sosial Keagamaan

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat heterogenitas yang cukup kompleks, baik dari segi suku, agama, ras, golongan maupun bahasa. Heterogenitas ini menjadi salah satu tantangan dalam membangun tata kehidupan yang harmonis untuk mendukung keberlangsungan pembangunan baik daerah maupun nasional. Provinsi Jawa Barat, dengan luas 35.377,76 Km2 didiami penduduk sebanyak 46.169.600 Jiwa. Penduduk ini tersebar di 17 Kabupaten,

9 Kota, 625 Kecamatan dan 5.899 Desa/ Kelurahan. Jawa Barat mayoritas penduduknya beragama Islam memiliki komposisi pemeluk agama sekitar 93,67% Muslim, 1,11% Katolik, 4,53% Kristen, 0,24% Hindu dan 0,45 % Buddha (data Kanwil Kemenag Prov. Jawa Barat Tahun 2010.

Secara umum kehidupan keagamaan di Provinsi Jawa Barat cukup rukun, terutama di Kota Bandung. Namun bukan berarti tidak ada riak- riak di antara hubungan intern maupun antarumat beragama. Kasus yang sangat menonjol terkait pendirian rumah ibadat di beberapa wilayah Provinsi Jawa Barat, seperti di Ranca Ecek Bandung, Tasikmalaya, Bekasi, Depok dan Bogor telah mewarnai dinamika kehidupan keagamaan disana. Begitu juga dengan maraknya tumbuh kembang gereja-gereja di beberapa tempat di wilayah Bandung dan sekitarnya. Bahkan beberapa pengembangan tempat ibadah di rumah-

P 71 andangan P imPinan g ereja tentang P engaturan o rganisasi g ereja di P rovinsi j awa b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

rumah penduduk dan mall-mall serta terjadinya “numpang ibadah” atau “perpindahan” anggota jemaat gereja satu dengan yang lainnya, yang menambah semarak kehidupan keberagamaan umat Kristiani di sana.

Berdasarkan data Pembimas Kristen Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat jumlah pemeluk Agama Kristen di Jawa Barat sebanyak 2.178.002 jiwa tersebar di 26 Kabupaten/ kota, dengan pelayan umat (pendeta 2.276 jiwa, pendeta muda sebanyak 1.306 jiwa, pendeta pemula sebanyak 1.331 jiwa, majelis/penatua sebanyak 16.873 jiwa, guru sekolah menengah sebanyak 42.964 jiwa, penginjil sebanyak 5.207, tenaga asing sebanyak 48 jiwa), sedangkan status bangunan gereja (permanen sebanyak 1.196 buah, semi permanen 458 buah, darurat/sewa/kontrak sebanyak 452 buah), adapun jumlah denominasi sebanyak 41 buah dan yayasan Kristen sebanyak 108 buah.

Dalam pengamatan peneliti, kalau dilihat dari banyaknya jumlah gereja/ yayasan dan tempat ibadah yang ada di Jawa Barat menunjukan begitu maraknya keberadaan kehidupan umat Kristiani di Jawa Barat, namun disayangkan belum ada data yang di-update ulang untuk data terbaru terkait pertumbuhan dan perkembangan data penganut agama Kristen dalam lima tahun terakhir. Oleh karena itu, secara statistik tidak dapat djustiikasi bahwa semakin bertumbuh atau semakin berkurang keberadaan penganut Kristiani di Jawa Barat, begitu juga keberadaan tempat ibadah di sana apakah semakin bertumbuh kembang atau bahkan semakin berkurang. Walaupun secara kasat mata dapat dilihat dan dikatakan bahwa banyaknya jemaat melakukan kegiatan-kegiatan peribadatan di mall-mall, di rumah- rumah, dan pengakuan pemimpin gereja adanya jemaat yang melakukan ibadat dari satu gereja ke gereja lainnya.

Agama Kristen

Agama

dideinisikan

sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan

tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran- ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya (Suparlan, 1988). Agama sendiri akan terus berkembang sesuai dengan dedikasi para tokoh dan kuasa Illahi untuk berkembang, stagnan atau kemudian ditinggalkan penganutnya.

Kristen termasuk agama semitik atau Abraham, dengan kepercayaan monoteistik yang berdasarkan pada ajaran, hidup, sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus Kristus menurut Perjanjian Baru serta meyakini Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Mesias, sang juru selamat bagi seluruh umat manusia, dengan menebus dosa melalui tiang salib. Bermula dari pengajaran Yesus (Nabi Isa menurut Islam) yang sejak umur 30 tahun, selama tiga tahun berkhotbah dan berbuat mukjizat pada banyak orang, bersama ke-12 muridnya. Yesus semakin populer sehingga dibenci oleh para pemimpin Yahudi dan berkomplot untuk membinasakanya dengan cara menyalib Yesus di tiang salib, pada usia

33 tahun dan bangkit dari kuburnya pada hari yang ketiga setelah kematiannya. Dalam keyakinan umat Kristen, setelah

72 r eslawaty

40 hari menjalani hidup sebagai manusia, kesatuan gereja atau ekumenisme di Yesus diangkat Bapa/Allah ke Surga. seluruh dunia sejak awal abad 20. Doa itu Monoteistik dalam Kekristenan ini adalah “Dan bukan untuk mereka ini saja tidaklah sama sebagaimana Islam dan

Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, Yahudi, tetapi didasarkan kepercayaan

yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan adanya tiga pribadi atau Tritunggal yang

mereka; supaya mereka semua menjadi satu, dipertegas Konsili Nicea Pertama (325)

sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku oleh Kaisar Romawi Konstantin I. Umat

dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga Kristenpun yakin dan percaya bahwa di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Yesus pasti datang lagi sebagai Raja dan

Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Lihat Hakim paling adil di dunia ini di akhir

Injil Yohanes 17: 20 – 21). jaman. Kata Kristen sendiri memiliki arti “pengikut Kristus atau “pengikut Yesus” yang pertama kalinya disebut Kristen

Pimpinan Agama Kristen

ketika mereka berkumpul di Antiokia. (Lihat, Kisah Para Rasul, 11:26b).

Pada komunitas masyarakat apapun dalam proses sosial dan kehidupan

Kepemimpinan Kristen setelah masyarakat, apakah itu komunitas Yesus adalah Petrus yang ditunjuk-Nya,

petani dan nelayan, komunitas pemuda, kemudian para uskup yang dipimpin komunitas pedesaan maupun perkotaan

Uskup Roma. Pengakuan iman mereka dan komunitas agama, selalu ada tokoh menyebutkan kepercayaan akan Allah sentral yang memiliki kharisma yang

Tritunggal yang Maha Kudus, yakni Bapa, diikuti titah maupun sabdanya dan Anak (Yesus Kristus), Roh kudus, Gereja

diteladani perilakunya. Mereka ini sering yang satu, kudus, Katolik, apostolik;

disebut dengan pemimpin, pemuka atau pengampunan dosa, kebangkitan badan,

tokoh petani dan nelayan, tokoh pemuda, dan adanya kehidupan yang kekal. Gereja

tokoh masyarakat desa dan pemuka Kristen mengalami dua kali perpecahan

agama atau tokoh agama. besar yaitu, pada tahun 1054 antara Gereja Barat yang berpusat di Roma

Dalam buku Sosialisasi PBM dengan Gereja Timur berpusat di dan Tanya Jawabnya, dalam kontks Konstantinopel dan pada 1517 ketika

Kekristenan, maka yang dimaksud Martin Luther memprotes ajaran Gereja

dengan pemuka atau tokoh agama yang dianggapnya telah menyimpang adalah tokoh komunitas umat beragama dari kebenaran, sehingga lahirlah Gereja

Kristen baik yang memimpin ormas Protestan. Pada masa-masa berikutnya

keagamaan maupun tidak memimpin dengan semangat reformasi Martin ormas keagamaan yang diakui dan atau Luther itu, munculah berbagai organsiasi

dihormati oleh masyarakat setempat dan denominasi gereja di seluruh dunia,

sebagai panutan (Badan Litbang dan termasuk sebagian (ratusan) di Indonesia.

Diklat Kemenag RI, 2012). Dalam konteks Kekristenan pula, tokoh agama Kristen itu

Organisasi atau denominasi gereja memang ada yang memimpin organisasi itu kemudian menyadari bahwa atau denominasi gereja, ada penggembala

perpecahan organisasi dan denominasi sidang yang melayani umat atau jemaat, itu justru menyimpang dari ada pendeta (khotbah), ada pembantu

pesan Yesus yang mendoakan kesatuan pendeta atau penatua (pengganti jika di antara para pengikutnya, sehingga pendeta berhalangan).

melahirkan semangat atau dorongan

HARMONI September - Desember 2014

P 73 andangan P imPinan g ereja tentang P engaturan o rganisasi g ereja di P rovinsi j awa b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Organisasi Gereja

Organisasi merupakan sekelompok manusia yang mempunyai tujuan bersama. Organisasi dapat dibentuk karena ada kebutuhan bersama. Kebutuhan bersama itu berbentuk kebutuhan rohani atau kebutuhan jasmani. Kebutuhan rohani diurus oleh organisasi gereja dan kebutuhan jasmani diurus oleh pemerintah. Syarat- syarat pengakuan organisasi antara lain Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART), Akta Notaris, Visi Misi dan Tujuan, Tata Cara dan Aturan Organisasi, Program Kerja Organisasi, dan Struktur Organisasi.

Organisasi dibentuk dengan maksud untuk bekerjasama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Manusia berorganisasi (berkelompok) salah satu sisi karena keturunan dan sisi lain karena kesadaran pribadi akan kepentingan diri untuk memenuhi kebutuhan jasmani ataupun kebutuhan rohani. Dalam kehidupan berorganisasi kita mengetahui banyak kepentingan yang tidak sama bahkan saling bertentangan. Dalam hidup sehari-hari kepentingan-kepentingan itu diwujudkan dalam berbagai macam bentuk kebutuhan. Kebutuhan jasmaniah meliputi makan (pangan), pakaian (sandang) dan Tempat Tinggal atau Rumah (papan). Kebutuhan rohaniah meliputi pengakuan, kasih sayang, perhatian, rasa aman, damai, sejahtera dan lain-lain. Organisasi gereja terbentuk karena adanya umat Allah yang disebut Rakyat menurut pemerintah untuk memenuhi kebutuhan rohani. Organisasi/ lembaga pemerintah terbentuk karena adanya rakyat yang disebut Umat Allah menurut gereja untuk memenuhi kebutuhan jasmani. Umat Tuhan atau rakyat disebut manusia.

Dalam agama Kristen terdapat banyak aliran gereja seperti Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks. Dari Gereja Katolik muncul Gereja Katolik Roma dan Katolik

Timur. Dari Gereja Ortodok muncul Gereja Ortodok Timur (seperti: Konstantinopel Patriark, Antiokia Partriark, Jerusalem Patriark, Alexandria Patriark dan Rusia Partriark) dan Gereja Ortodok orang- orang timur (Armenia, Koptik, Ethiopia, Suriah). Dalam perspektif Gereja Katolik Roma inilah munculah Gereja Protestan

atau gerakan reformasi Martin Luther. Martin Luther yang melakukan gerakan reformasi di Gereja Katolik, kemudian memunculkan istilah Gereja Protestan yang kemudian disusul oleh Zwingli (Jenewa, Swis), Johanes Calvin (Perancis Selatan), Martin Bucer dan Heinrich Bullinger (Zurich, Jerman Selatan) (De Jonge, 2009).

Kristen Protestan telah memuncul- kan aliran-aliran baru dalam Kristen Protestan itu sendiri, yaitu kelompok reformasi radikal (Huterite, Anababtis, dan Menonit), Lutheran (Monrovian, Pietist dan Evalengical Injili), Anglikan (Methodist: Advent, Penthakosta, Nazarene, Metodis, Allience, Bala Keselamatan dan Puritan, Quaker, Baptis dan Kongregasional), dan Calvin (Nesthorian, Reform dan Kristen Reform). Oleh karena itu, akhirnya dikenal adanya Kristen Katholik, Kristen Protestant, Kristen Orthodoks dan aliran-aliran lainnya (Aritonang, 1995). Dengan kata lain gerakan reformasi Martin Luther biasa disebut Protestantisme, telah memiliki beragam denominasi, seperti Calvinisme, Lutheran, Injili, Kharismatik, Anglikan, Bala Keselamatan, Quaker, dan lain-lain (Favor A Bancin, 2008).

Dengan semangat reformasi Martin Luther itu, Kristen Protestan di Indonesia pun mengalami pertumbuhan organisasi atau denominasi gereja sangat pesat. Pada 1992, terdapat sekitar 275 organisasi atau denominasi Gereja Kristen Protestan di samping terdapat sekitar 400 yayasan Kristen Protestan yang bersifat gerejawi atau menjaankan

74 r eslawaty

HARMONI September - Desember 2014

aktiitas fungsi-fungsi seperti organisasi gereja, yaitu kebaktian minggu secara reguler, pembabtisan, perjamuan kudus, pemberkatan pernikahan, pemakaman, penggembalaan (pelayanan pastoral) dan sebagainya. Akhirnya agak kesulitan membedakan mana organisasi gereja dan mana yang yayasan.

Pada 1989 ada Surat Edaran Direktur Jenderal Bimas Kristen yang berisi imbauan agar umat Kristen tidak membentuk organisasi gereja baru. Surat Edaran itu ternyata tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat, sehingga tetap saja tumbuh organisasi gereja atau yayasan Kristen bersifat gerejawi di seluruh Indonesia, baik disebabkan oleh perpecahan (skisma) dari organisasi gereja atau yayasan kristen sebelumnya, maupun kreasi anggota gereja karena kebutuhan di suatu daerah tertentu (Aritonang, 1995). Penyebab dari skisma itu banyak macamnya, seperti masalah theologis, beda cara beribadat, kepentingan ekonomi, tidak diakomodirnya kepentingan anggota-anggota utama dalam gereja itu dan sebagainya. Sebagaimana diketahui bahwa dalam Kekristenan ada organisasi gereja induk aras nasional yang jumlahnya ada delapan buah yaitu Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Tetapi ada wadah lain seperti; Persekutuan Gereja-gereja Penthakosta Indonesia (PGPI), Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII), Bala Keselamatan (BK), Gabungan Gereja Advent Hari Ketujuh (GMAHK), Gereja Ortodox Indonesia (GOI), Persekutuan- persekutuan Gereja Indonesia (PPGI), dan Gereja-gereja Tionghoa di Indonesia (PGTI) (Aritonang, 1995).

Organisasi gereja-organisasi gereja aras nasional itu membawahi sinode- sinode yang secara theologis sealiran di seluruh Indonesia. Sinode-sinode itu meskipun sudah menjadi anggota beberapa organisasi gereja aras nasional

sekalipun, mereka ini tetapi memiliki otonomi sendiri. HKBP misalnya adalah sinode suku atau lokal, meskipun sudah tersebar di seluruh Indonesia dan berbagai perwakilan di luar negeri. Seluruh gereja HKBP harus menginduk ke HKBP Pusat berikut semua aktiitas kekristenanya, maupun pendanaanya, termasuk persepuluhan dan persembahanya. Kantor Pusat HKBP adalah di Tarutung, Sumatra Utara. Oleh karena itu dalam HKBP, seorang pendeta adalah petugas atau pegawai gereja yang memimpin atau menggembala di sebuah gereja yang kemudian digaji oleh HKBP.

Pandangan Pemimpin Gereja tentang Pengaturan Organisasi/Denominasi Gereja

Dirjen Bimas Kristen pernah mengeluarkan

kebjakan

berupa moratorium atau himbauan tentang

adanya pengaturan organisasi gereja, yang melarang agar tidak membentuk dan mengembangkan organisasi gereja ataupun yayasan gerejawi yang baru. Berkaitan dengan kebjakan tersebut sebagian besar pimpinan gereja tidak mengetahuinya (Pdt. Philip dari Gereja Rohoboth, Pdt. Frederik dari Gereja Kristen Jawa, Ferly David dari Gereja Kristen Pasundan dan Opsir Made Petrus dan Opsir Hanny Tuhumury dari Gereja Bala Keselamatan, Ferly David dari Gereja Kristen Pasundan).

Namun ada juga pendeta yang sudah menerima sosialisasi mengenai moratorium tersebut, seperti Pdt. Lasma dari Gereja Pentakosta Antapani Bandung. Ketika peneliti menyampaikan informasi tentang kebjakan Dirjen Bimas Kristen tentang isi moratorium kepada empat pimpinan gereja tersebut dan juga kepada pendeta Lasma, semuanya berpandangan bahwa sebaiknya pemerintah tidak melarang umat untuk mendirikan gereja baru. Karena tidak dibenarkan melarang

P 75 andangan P imPinan g ereja tentang P engaturan o rganisasi g ereja di P rovinsi j awa b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

orang yang ingin mendekatkan diri dan beribadah kepada Tuhan Yesus Kristus. Sepanjang gereja tersebut bertujuan untuk melayani umat maka diperbolehkan. Apabila dibentuknya gereja tersebut karena niatan lain, seperti kekuasaan atau masalah ekonomi, bahkan menimbulkan keresahan intern umat Kristen maka pemerintah harus hadir di tengah-tengah umat untuk mengaturnya.

Menurut keseluruhan dari pimpinan gereja jika sebuah gereja ingin didirikan maka gereja tersebut harus mendatarkan diri ke Dirjen Bimas Kristen di Jakarta dan harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Kristen di Jakarta. Berdasarkan pengalaman Ferly David dari Gereja Kristen Pasundan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi gereja yang baru berdiri dan ingin didatarkan ke Dirjen Bimas Kristen, antara lain: membawa rekomendasi dari Sinodenya, AD/ART gereja, menunjukan berapa jumlah umat gereja tersebut, ada pendetanya, pengurus gereja dan susunan organisasi gereja, surat keterangan dari RT/RW, kelurahan dan kecamatan, dll (pendeta lupa menyebutkan syarat-syarat lainnya). Menurut Pdt. Lasma bagi gereja yang sudah terdatar di pusat diwajibkan untuk melapor ke Penyelenggaraan Pembimas Kristen Kanwil Kemenag Prov. Jawa Barat.

Banyaknya denominasi baru yang muncul dan ingin mendapatkan legalitas dari Pemerintah Pasca Lahirnya UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, para pimpinan gereja yang peneliti wawancarai belum mengetahui tentang adanya UU tersebut. Jika Gereja yang baru tumbuh tersebut menurut isi UU dimaksud organisasi gereja dapat mendatar ke Kesbangpol menurut pandangan para pimpinan gereja tidak menjadi persoalan, sepanjang Kesbangpol dapat menfasilitasi kebutuhan gereja lebih baik. Tetapi apabila mendatar ke Kesbangpol

justeru mempersulit ruang gerak gereja, maka sebaiknya cukup didatarkan di Kementerian Agama saja.

Menurut Pdt. Frederik dari GKJ, dari diskusi-diskusi yang berkembang dengan rekan-rekannya di media maya dan Jaringan Kerja Antarumat Beragama di Bandung yang anggotanya terdiri dari NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Hindu, Buddha, Katolik, Kristen, dll. Bahwa ada keresahan di kalangan ormas agama keagamaan, tidak hanya di Kristen saja tapi semua agama. Dengan adanya UU tersebut ada langkah progresif dari pemerintah intervensi terlalu jauh terhadap agama. Kelompok agama dapat di-ormas-kan, padahal kelompok keagamaan terutama gereja merupakan bukan ormas. Sehingga ada ketakutan di mana ada wakil-wakil pemerintah yang tidak mengenal bangunan agama sehingga menerjemahkan regulasi yang kaku. Ada upaya negara untuk melemahkan ormas keagamaan. Di mana ada regulasi pasti ada sanksi, padahal agama tidak harus disanksi. Jika agama dibuatkan sanksi- sanksi maka orang beragama akan normatif, bukan kontemplasi kebathinan, karena kalau normative itu bukan agama.

Dengan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas Keagamaan tersebut pemerintah salah langkah. Seharusnya diklasiikasi terlebih dahulu mana organisasi keagamaan, organisasi kebudayaan, organisasi profesi, dll, jadi harus dibedakan terlebih dahulu deinisi ormas itu sendiri. Jika pemerintah mempunyai terminologi yang tepat, kehadiran UU tersebut lebih baik. Pemerintah juga harus menjelaskan bahwa ormas itu adalah LSM, sementara gereja bukan LSM walaupun kerja- kerja nyatanya adalah kerja-kerja sosial kemanusiaan, karena hal ini dilakukan untuk mengimplementasikan nilai-nilai ajaran gereja. Oleh karena itu, harus dibedakan mana ormas bersifat umum dengan gereja.

76 r eslawaty

HARMONI September - Desember 2014

Ketika peneliti menanyakan kepada Ruminda (yang baru menjabat tiga bulan sebagai Kepala Penyelenggara Pembimas Kristen), kenapa para pemimpin gereja tidak mengetahui adanya moratorium tersebut, beliau menjelaskan bahwa tidak begitu mengetahui. Mungkin karena banyaknya denominasi gereja yang ada di Provinsi Jawa Barat, anggaran yang terbatas, sehingga tidak semua gereja yang di Jawa Barat dapat ikut serta dalam sosialisasi tersebut.

Dari pandangan para pemimpin gereja tersebut, manurut analisis peneliti menunjukkan bahwa hampir semua pimpinan gereja tidak mengetahui adanya moratorium yang dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Kristen. Ketidaktahuan tersebut dikarenakan beberapa hal: Pertama, kurangnya sosialisasi di awal adanya moratorium tersebut oleh Penyelenggara Pembimas Kristen Kanwil Kemenag kepada pemimpin gereja. Kedua, adanya anggaran yang terbatas. Ketiga: gereja yang diwawancarai hampir semuanya gereja tua, sinode dan sudah mapan, sehingga mereka kelihatannya kurang begitu peduli dengan dengan adanya moratorium tersebut.

Dikarenakan ketidaktahuan para pimpinan gereja terhadap adanya UU No.

17 Tahun 2013 tentang ormas keagamaan, mengakibatkan para pemimpin gereja menduga-duga kemungkinan dampak yang terjadi dengan kehadiran UU tersebut. Seperti yang diungkapkan Pendeta Frederik yang menganggap satu sisi gereja dibolehkan mendatar Kekesbangpol jika membawa manfaat, namun disi lain ada kecurigaan terhadap pemerintah akan melakukan intervensi terhadap gereja. Menurut peneliti, jika ada kecurigaan dan ketidak percayaan gereja terhadap UU yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka perlu ada sosialisasi untuk kesepahaman maksud dikeluarkannya UU tersebut. Ini untuk menghindari saling ketidak percayaan

diantara gereja dan pemerintah, yang dapat mengakibatkan hubungan kurang positif antara pemerintah dan gereja ataupun ormas keagamaan lainnya yang diatur dalam UU tersebut dan berdampak pada terciptanya ketidakrukunan gereja atau ormas keagamaan dengan pihak pemerintah.

Padahal pemerintah punya niatan baik dengan adanya UU tersebut. Agar ormas dapat mempunyai legalitasnya dalam melakukan aktiitasnya serta pemerintah mempunyai peta data adanya ormas-ormas di masyarakat. Apabila pemerintah akan melakukan kerjasama dan membutuhkan ormas setiap saat dapat dihubungi. Oleh karena itu niatan baik tersebut harus disosialisasikan ke pihak gereja dan ormas keagamaan, sehingga mempunyai kesepahaman dalam memahami tujuan dan isi dari UU No. 17 Tahun 2013 itu dibuat.

Kebijakan Kementrian Agama Provinsi Jawa Barat berkaitan dengan pengaturan organisasi/denominasi gereja yang berlaku selama ini

Kementerian Agama Kanwil Provinsi Jawa Barat, khususnya Penyelenggara Pembimas Kristen, belum pernah mengeluarkan kebjakan tentang pengaturan organisasi gereja, apalagi berupa surat keterangan menerima pendataran untuk sebuah gereja yang akan didirikan. Hal ini dikarenakan semua kebjakan pendataran dibuat oleh Dirjen Bimas Kristen di Jakarta. Penyelenggara Pembimas Kristen hanya menindaklanjuti saja jika ada kebjakan yang dibuat oleh Kantor Pusat maupun Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat khusus terkait persoalan kekristenan. (Kepala Penyelenggara Pembimas Kristen Kanwil Kemenag Prov. Jawa Barat).

Untuk menindaklanjuti moratorium tersebut, Penyelenggara Pembimas

P 77 andangan P imPinan g ereja tentang P engaturan o rganisasi g ereja di P rovinsi j awa b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Kristen hanya mengeluarkan Surat Keterangan Tanda Lapor (SKTL) yang merupakan arahan dari Bimas Dirjen Kristen. SKTL gunanya untuk melakukan pendataan saja terhadap gereja-gereja yang ada di Jawa Barat. Pihak gereja meminta SKTL kepada Penyelenggara Pembimas Kristen dalam rangka untuk melaporkan keberadaannya, agar mereka tidak dianggap liar. Karena pembimas tidak melakukan jemput bola terhadap gereja dan yayasan Kristen yang ada, sehingga pihak gerejalah yang melapor ke Penyelenggara Pembimas Kristen. Selama ini yang terpantau saja yang hanya melaporkan oleh Penyelenggara Pembimas Kristen, bagi yang tidak melaporkan tidak terpantau. SKTL ini berlaku dua tahun, jika habis masanya mereka harus memperpanjang lagi. Ada beberapa syarat yang harus dilakukan pengurus gereja untuk mendapatkan SKTL ini, yaitu: 1). Mereka melaporkan dan membuat dari Sinodenya tentang keberadaan mereka; 2). Melampirkan surat pendataran yang dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama RI; 3). Harus ada Surat Keputusan (SK) penggembala dari Sinodenya bahwa dia menggembali di gerejanya.

KTP dan Foto Penggembala

Selain SKTL, Pembimas Kristen juga mengeluarkan Kartu Kerohanian bagi rohaniawan. Kartu ini bisa diperoleh siapapun yang melaporkan ke Pembimas Kristen, tidak hanya untuk para pendeta, karena kartu tersebut bukan legitimasi kependetaan. Legitimasi kependetaan hanya dikeluarkan oleh pihak gereja sendiri yang punya aturan tersendiri dalam mekanisme pengangkatan seorang pendeta.

Di sisi lain, beberapa gereja di Jawa Barat kebanyakan melakukan pendataran gereja cukup sinodenya saja yang terdatar ke Dirjen Bimas

Kristen, sehingga gereja yang berada di bawah sinode tersebut tidak melakukan pendataran ke Dirjen Bimas Kristen. Mereka beranggapan pendataran cukup dilakukan oleh sinode saja. Sehingga mereka cukup beroperasi dengan surat pendataran yang dilakukan oleh sinode untuk semua gereja-gereja yang ada di dalam sinode tersebut. Minda, Kepala Penyelenggara Pembimas Kristen Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat, mengharapkan kepada gereja-gereja yang ada di dalam sinode yang belum terdatar sebaiknya

melakukan

pendataran langsung ke Dirjen Bimas Kristen di Jakarta agar posisi mereka lebih kuat baik secara legalitas maupun keberadaannya di tengah-tengah masyarakat tidak dipertanyakan lagi.

Ke depan direncanakan Penyelenggara Bimas Kristen akan membuat aturan bagi gereja-gereja atau persekutuan doa yang belum mempunyai izin bangunan gereja atau yang berada di ruko dan mall. Bagi jemaatnya sedikit tapi mereka sealiran, sebaiknya bergabung dalam satu gereja/gedung saja sehingga perlu dibangun gedung serba guna atau sebuah gereja yang bisa dipakai bersama dan bergantian. Untuk jadwal ibadahnya silahkan dimusyawarahkan untuk diatur sebaik dan sebjaksana mungkin di antara pengguna gedung gereja atau bangunan tersebut. Dalam rangka menjaga keharmonisan dan kerukunan umat beragama baik intern gereja maupaun antarumat beragama, dan untuk keberlangsungan beribadat umat Kristiani agar bisa beribadat secara tenang, demikian diungkapkan Minda, Kepala Penyelenggara Pembimas Kristen Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Barat.

Berdasarkan deskripsi di atas, menurut analisis peneliti, pimpinan gereja belum banyak mengetahui kebjakan-kebjakan apa saja yang sudah dikeluarkan secara tertulis oleh Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat,

78 r eslawaty

khususnya Penyelenggara Pembimas pandangan Pdt. Frederik dari GKJ, gereja Kristen tentang pengaturan organisasi

tidak harus terus-menerus melakukan gereja yang ada di Provinsi Jawa Barat.

pelaporan kepada pemerintah. Jika terus Para pemimpin gereja mengetahui melapor ke pemerintah sama saja peran bahwa ada kebjakan untuk melakukan

pemerintah tidak maksimal, sekan-akan pelaporan ulang kepada Pembimas pemerintah “mencurigai” gereja. Padahal Kristen. Ini dilakukan untuk pendataan

gereja selama ini telah melakukan kerja- bahwa keberadaan mereka di ketahui

kerja kerohanian dan kemanusiaan dalam Kanwil Kementerian Agama. Pimpinan

rangka membantu pemerintah dalam gereja menyatakan ada beberapa pembinaan dan pelayanan umat. Sebagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh

mitra pemerintah, gereja-gereja tidak Sinode Gereja untuk mendapatkan SKTL

pantas untuk “dicurigai.” dari Pembimas Kristen Kanwil Kemenag.

Dari ungkapan tersebut di atas dapat Misalnya Sinode Gereja Rohoboth terdatar di Dirjen Bimas Kristen dengan dicermati bahwa Kanwil Kementerian

Nomor 180 Tahun 1990 tanggal 16 Agama dalam hal ini Pembimas Kristen belum banyak mengeluarkan kebjakan

Oktober 1990 dan juga tetap melaporkan terkait masalah pengaturan organisasi ke Pembimas Kristen. Saat ini gereja kepada gereja-gereja yang ada di wilayah Rohoboth telah mendapatkan Surat Keterangan Tanda Lapor Nomor: Kw.10.8/ kerjanya. Dalam rangka pembinaan

BA.01.1/2038/2013. Gereja Pentakosta terhadap gereja-geraja Pembimas Kristen terdatar di Dirjen Bimas Kristen melalui hanya mengeluarkan SKTL yang bersifat

pendataan keberadaan adanya gereja Sinode Gereja Pentakosta Pusat yang ada tersebut. Namun dalam wawancara yang di Medan. Dengan melampirkan surat peneliti lakukan dengan pihak gereja, dari Sinode, Gereja mendapatkan SKTL SKTL ini sering disalahtafsirkan atau dari Pembimas Kristen di Bandung. dimultitafsirkan oleh beberapa kalangan

Sedangkan gereja-gereja tua seperti gereja. SKTL dianggap tidak sekadar Gereja Kristen Pasundan, Gereja Bala pendataan saja tetapi lebih dari itu Keselamatan, Gereja Kristen Jawa belum

dianggap sudah mempunyai kekuatan mengetahui adanya SKTL tersebut. Gereja

hukum untuk melaksanakan kegiatan Kristen Pasundan (GKP) terdatar di

peribadatan di mall-mall atau di rumah, Kementerian Agama dengan Keputusan

bahkan dianggap mempunyai kedekatan Dirjen Bimas Kristen No. 9 Tahun 1988

yang kuat dengan pemerintah. Apalagi tentang Pernyataan gereja Kristen format SKTL bentuknya seperti sertiikat Pasundan sebagai lembaga keagamaan

sehingga SKTL dibingkai dan ditempel yang bersifat gereja. GKP tidak melakukan

di dinding gereja (peneliti melihat SKTL SKTL ulang ke Pembimas Kristen, karena

di tempelkan di dinding salah satu merasa sudah terdatar di pusat. Gereja

gereja yang diwawancarai). Format SKTL Bala Keselamatan selalu melaporkan yang dikeluarkan oleh Penyelenggara kegiatan setiap setahun ke pembimas Pembimas Kristen selama ini berupa Kristen.

sertiikat.

Gereja Kristen Jawa sehubungan Ketika dikonirmasikan dengan dengan SKTL, tidak melaporkan ke Minda, Kepala Penyelenggara Pembimas Pembimas Kristen, tetapi melakukan Kristen Kanwil Kemenag Prov. Jawa pelaporan ke PGI, tembusannya ke Barat, kurang sependapat dengan format Sinode GKJ, karena Sinode sudah SKTL yang ada sekarang. Beliau lebih terdatar di Dirjen Bimas Kristen. Dalam

menginginkan SKTL hanya berupa surat

HARMONI September - Desember 2014

P 79 andangan P imPinan g ereja tentang P engaturan o rganisasi g ereja di P rovinsi j awa b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

keterangan biasa, tidak seperti format sertiikat atau jazah. Bahkan apa dasar hukum dibuatnya SKTL tersebut, dan merujuk pada perundang-undangan yang mana. Jika dasar hukum SKTL tersebut jelas, maka SKTL itu posisinya bisa kuat dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Oleh karena itu, setiap membuat sesuatu kebjakan sebaiknya didasarkan pada dasar-dasar hukum yang jelas. Untuk SKTL yang ada di Pembimas Kristen Jawa Barat belum jelas dasar hukumnya. Namun untuk terpantaunya tugas pengawasan dalam mengatur ketertiban di antara organisasi gereja, SKTL tersebut saat ini masih diperlukan.

Pimpinan gereja berpandangan bahwa pembimas Kristen harus memaksimalkan diri untuk menjadi konsultatif bagi gereja-gereja dan juga sebagai corong bagi regulasi-regulasi dari pemerintah, Sehingga kebjakan- kebjakan pemerintah dapat tersosialisasi ke gereja secara baik. Saat ini banyak media yang bisa Pembimas Kristen gunakan untuk menyampaikan pesan- pesan regulasi yang terbaru terkait gereja. Pesan bisa melalui surat resmi atau melalui Short Message Service (SMS). Pemerintah harus berperan aktif dalam mendorong gereja menciptakan dan memelihara ketertiban, keamanan agar lebih kondusif, jika sudah lintas aliran antar gereja, apabila tidak ada arahan akan bersifat destruktif.

Menurut pandangan pimpinan Gereja Bala Keselamatan, pemerintah juga harus menciptakan kerukunan di antara intern gereja-gereja dengan menerapkan hukum yang sama tidak hanya berpihak pada satu kelompok gereja saja. Pemerintah harus mengatur perwakilan gereja-gereja untuk berkoordinasi dengan pemerintah tidak hanya pada PGI saja, tetapi juga melibatkan organisasi gereja lainnya. Selama ini pemerintah hanya menganggap lembaga Kristen

yang mereka akui hanya PGI saja, semua informasi hanya melibatkan PGI, padahal PGI “pelit” untuk berbagi informasi kepada yang di luar PGI. Beberapa kebjakan pemerintah yang dihadiri PGI tidak disampaikan oleh PGI kepada lembaga-lembaga aras nasional lainnya. Sehingga gereja lainnya tidak mendapatkan informasi tentang kebjakan pemerintah. Saat ini PGI mulai merangkul kharismatik dan Pentakosta, namun mereka juga tidak ingin terus diatur PGI.

Pemerintah dalam hal ini pembimas Kristen harus memfasilitasi atau membentuk suatu wadah organisasi gereja di luar PGI atau di atas PGI secara nasional. Sehingga dapat mewakili dan menaungi semua umat Kristiani, wadah ini di dalamnya terdiri atas semua gereja aras nasional yang ada di Indonesia, termasuk kelompok gereja Independen. Karena selama ini PGI tidak cukup mewakili para Kristiani di pemerintahan, PGI hanya mewakili gereja-gereja yang bergabung dengannya saja. Dengan adanya wadah baru bagi umat Kristiani ini, maka wadah inilah yang nantinya dapat menjembatani untuk meminimalisir terjadinya kasus- kasus seperti pendirian rumah ibadat bagi gereja-geraja di Indonesia, karena wadah ini sangat representatif untuk mewakili umat Kristiani secara keseluruhan dari berbagai aliran dalam Kristen yang ada di Indonesia. Demikian diungkapkan Pimpinan Gereja Bala Keselamatan.

Para pemimpin gereja juga berpandangan bahwa kehadiran Pembimas Kristen merupakan representasi kehadiran pemerintah, sehingga ketika gereja membutuhkan legalisasi akta atau apapun yang terkait persoalan administrasi keagamaan mereka selalu membantu. Komunikasi yang dibangun antara Pembimas Kristen dengan gereja cukup positif dan kondusif. Menjembatani persoalan yang muncul di

80 r eslawaty

gereja, Penyelenggara Pembimas Kristen menciptakan kerukunan antar umat tidak dapat melaksanakannya secara beragama. melakukan pengejewantahan maksimal. Hal ini dikarenakan adanya

nilai-nilai gereja ke dalam masyarakat keterbatasan tenaga pegawai di Pembimas

dengan melakukan kerjasama terbuka Kristen yang hanya berjumlah lima orang.

dalam banyak hal. Kerjasama dimaksud Sementara wilayah kerja mereka sangat

misalnya kerjasama dengan Forum luas hingga ke Depok, Bogor, Bekasi yang

Silaturahmi Kecamatan melakukan lebih dekat ke Jakarta.

pertemuan di antara umat beragama untuk membicarakan masalah-masalah

Untuk mengatasi persoalan yang terjadi di masyarakat, tidak hanya yang muncul di daerah yang sulit keagamaan saja, tetapi juga seni dan djangkau, pembimas memanfaatkan

budaya. Dari pemikiran para pemimpin tenaga beberapa pihak di daerah untuk

gereja tersebut menunjukan bahwa memberikan informasi terkait dengan semua pemimpin gereja berkomitmen

kebutuhan umat Kristiani di beberapa untuk menciptakan kerukunan umat wilayah kerja mereka. Sementara itu pihak

beragama baik di intern gereja masing- gereja selama ini memahami tugas-tugas

masing ataupun antarumat beragama. pembimas terhadap gereja adalah sebagai

secara intern beberapa pimpinan gereja fasilitator dan sebagai representasi melakukan penguatan keimanan atau

kehadiran mereka di pemerintahan. kerohanian terhadap jamaat mereka. Menurut Lehtinen ((1983:21) pemerintah harus memberikan perhatian yang sangat

Sedangkan secara eksternal baik atau terbaik untuk menyediakan mereka melakukan berbagai kegiatan- kepuasan konsumen, dalam hal ini kegiatan kerjasama kemanusiaan melalui stakeholder (gereja). Pemerintah wajib beberapa program kegiatan yang mereka menjawab kegalauan umat jika umat miliki, melalui yayasan-yasasan milik dalam kebimbangan, dalam kehidupan

gereja. Pihak gereja melakukan kerjasama bernegara dalam bidang keagamaan. dengan masjid dengan menyediakan Pembimas sebagai fasillitator harus hadir

snack buka puasa untuk masjid; di antara pihak-pihak yang merasa galau.

melakukan silaturahmi antara ibu-ibu Hal ini dilakukan dalam rangka menjaga

gereja dengan majelis taklim, memberikan dan menciptakanan kedamaian dan bantuan kebutuhan pokok; melakukan kerukunan intern maupun antarumat kerjasama dengan PD kebersihan dan beragama.

berbagi berkat kepada 1600 pegawai PD Kebersihan; menyiapkan panti asuhan; mengadakan program pemberantasan

Pemikiran Visioner Para Pemimpin buta huruf melalui pembelajaran paket

Gereja di Provinsi Jawa Barat

A, B, C, dan PAUD; life skill menjahit bagi Untuk Menjamin Keharmonisan dan ibu-ibu; panti jompo, panti asuhan, dan

Kedamaian Kehidupan Beragama

perumahan ibu dan anak bagi mereka yang ingin mengadopsi keturunan. Di

Adapun pemikiran visioner para Indonesia rumah adopsi anak satu-

pemimpin gereja untuk menjamin satunya yang dilegalkan pemerintah keharmoniasan dan kedamaian adalah milik Gereja Bala Keselamatan. dalam kehidupan beragama dengan Melalui delapan rumah sakit yang dimiliki cara melakukan kerjasama kerja-

gereja Bala Keselamatan (di Makassar, kerja sosial dan pendidikan melalui

yayasan-yayasan milik Gereja. Menjalin Semarang, Bandung, Malang, Mando, kerjasama kegiatan dengan masyarakat

Turen) serta dua puluh buah klinik telah sekitar, saling toleransi dalam rangka banyak membantu masyarakat terutama

masyarakat miskin yang termarjinal,

HARMONI September - Desember 2014

P 81 andangan P imPinan g ereja tentang P engaturan o rganisasi g ereja di P rovinsi j awa b arat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

membantu mendirikan 500 ribu rumah di Meulaboh akibat tsunami.

Dari pemikiran visioner para pemimpin gereja tersebut menunjukan bahwa semua pemimpin gereja berkomitmen untuk menciptakan kerukunan umat beragama baik di intern gereja masing-masing ataupun antarumat beragama. Secara intern beberapa pimpinan gereja melakukan penguatan keimanan atau kerohanian terhadap jamaat mereka. Sedangkan secara eksternal mereka melakukan berbagai kegiatan-kegiatan kerjasama kemanusiaan melalui beberapa program kegiatan yang mereka miliki, melalui yayasan-yasasan milik gereja.

Relasi Sosial Antara Penyelenggara Pembimas Kristen Kanwil Kemenag dengan Pimpinan Gereja/Denominasi

Menurut sebagian besar pimpinan gereja yang peneliti wawancarai relasi sosial antara pihak gereja dengan Kanwil terjalin hubungan yang baik. di mana antara keduanya bukan sebagai atasan dengan bawahan melainkan mitra kerja. Hal ini diwujudkan dengan adanya dukungan Penyelenggara Pembimas Kristen terhadap gereja, seperti dalam hal administrasi dan beberapa kegiatan Kementerian Agama yang mengundang pihak gereja untuk terlibat dan berpartisipasi memenuhi undangan dari Pembimas Kristen. Namun beberapa gereja sangat mengharapkan bahwa Pembimas Kristen yang selama ini hanya mengundang sinode atau lembaga keagamaan seperti BAMAG, PGKP (Persatuan Gereja-gereja dan Pendidikan Kristen), PGI, dll, supaya mengundang langsung ke gereja-gereja yang bersangkutan, sehingga program Kementerian Agama dapat tersosialisasi langsung ke gereja, karena jika melalui

sinode atau BAMAG, informasi dari Kanwil Kementerian Agama terkadang tidak sampai ke gereja.

Penutup

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Pandangan Pemimpin Gereja tentang Pengaturan Organisasi/Denominasi Gereja yang dilakukan Dirjen Bimas Kristen selama ini adalah hampir semua pimpinan gereja tidak mengetahui adanya kebjakan moratorium yang dikeluarkan oleh Dirjen Bimas Kristen. Pendataran gereja baru hanya dilakukan oleh Dirjen Bimas Kristen. Pemimpin gereja berpandangan bahwa pemerintah tidak boleh melarang umat untuk mendirikan gereja baru karena tidak dibenarkan melarang orang yang ingin mendekatkan diri dan beribadah kepada Tuhan Yesus Kristus. Sepanjang gereja tersebut bertujuan untuk melayani umat maka diperbolehkan. Apabila dibentuknya gereja tersebut karena niatan lain seperti kekuasaan atau masalah ekonomi, bahkan menimbulkan keresahan intern umat Kristen maka pemerintah harus hadir di tengah-tengah umat untuk mengaturnya. Jika sebuah gereja ingin didirikan maka gereja tersebut harus mendatarkan diri ke Dirjen Bimas Kristen di Jakarta dan harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Kristen. Menurut pandangan pimpinan gereja, jika gereja yang baru berdiri ingin mendatar ke Kesbangpol diperbolehkan sepanjang Kesbangpol dapat menfasilitasi kebutuhan gereja lebih baik. Tetapi apabila mendatar ke Kesbangpol justeru mempersulit ruang gerak gereja, maka sebaiknya cukup didatarkan di Kementerian Agama saja.

Kedua, Kanwil Kementerian Agama dalam hal ini Pembimas Kristen belum pernah mengeluarkan kebjakan terkait

82 r eslawaty

HARMONI September - Desember 2014

dengan pengaturan organisasi gereja. Untuk menindaklanjuti moratorium yang dikeluarkan Dirjen Bimas Kristen, Pembimas mengeluarkan SKTL kepada gereja guna melakukan pendataan bagi gereja-gereja yang melaporkan dirinya ke Bimas Kristen. Walaupun ada beberapa gereja beranggapan bahwa cukup hanya dengan SKTL, gereja dapat beroperasi. Kemudian gereja melaporkan kegiatannya 2 tahun sekali ke pembimas Kristen. Adapun kebjakan penerimaan pendataran bagi gereja adalah kewenangan Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama di Pusat.

Ketiga, pemikiran visioner para pemimpin gereja untuk menjamin keharmoniasan dan kedamaian dalam kehidupan beragama dengan cara melakukan kerjasama kerja-kerja sosial dan pendidikan melalui yayasan milik gereja; menjalin kerjasama kegiatan dengan masyarakat sekitar, saling toleransi dalam rangka menciptakan kerukunan antar umat beragama; melakukan pengejewantahan nilai-nilai gereja ke dalam masyarakat dengan melakukan kerjasama terbuka dalam banyak hal. Hal ini menunjukan bahwa semua pemimpin gereja berkomitmen untuk menciptakan kerukunan umat beragama baik di intern gereja masing- masing ataupun antarumat beragama.

Keempat, sebagian besar pimpinan gereja berpandangan relasi sosial antara pihak gereja dengan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat terjalin hubungan yang baik. Hal ini diwujudkan dengan adanya dukungan Penyelenggara Pembimas Kristen terhadap gereja, seperti dalam hal administrasi dan beberapa kegiatan Kementerian Agama yang mengundang pihak gereja untuk terlibat dan berpartisipasi memenuhi undangan tersebut.

Selain beberapa kesimpulan di atas, penelitian ini juga memberikan beberapa rekomendasi, antara lain:

Pertama, perlu dilakukan sosialisasi secara intensif Kebjakan Dirjen Bimas Kristen tentang Pengaturan Organisasi/ Denominasi Gereja yang berisi himbauan atau moratorium mengenai pelarangan didirikan dan dikembangkannya gereja baru oleh Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat. Hal ini dilakukan agar pihak gereja mempunyai persepsi yang sama mengenai maksud dan manfaat dikeluarkannya moratorium tersebut untuk ketertiban dan kedamaian baik intern gereja maupun antarumat beragama. Selain itu ada sosialisasi UU No. 17 Tahun 2014 tentang Organisasi Kemasyarakatan dalam bentuk pertemuan berupa orientasi, workshop, FGD, dan lain-lain.

Kedua, Kanwil Kementerian Agama dalam hal ini Pembimas Kristen belum pernah mengeluarkan kebjakan terkait dengan pengaturan organisasi gereja. Untuk menindaklanjuti Moratorium yang dikeluarkan Dirjen Bimas Kristen, Pembimas mengeluarka SKTL kepada gereja guna melakukan pendataan bagi gereja-gereja yang melaporkan dirinya ke Bimas Kristen. Kemudian gereja melaporkan kegiatannya dua tahun sekali ke Pembimas Kristen.

Ketiga, p erlu dipertahankan dan ditingkatkan pemikiran visioner para pemimpin gereja untuk menjamin keharmoniasan dan kedamaian dalam kehidupan beragama dengan cara melakukan kerjasama kerja-kerja sosial dan pendidikan melalui yayasan-yayasan milik Gereja; menjalin kerjasama kegiatan dengan masyarakat sekitar; saling toleransi dalam rangka menciptakan kerukunan antar umat beragama; melakukan pengejewantahan nilai-nilai gereja ke dalam masyarakat dengan melakukan kerjasama terbuka dalam banyak hal. Keempat, perlu dipertahankan dan ditingkatkan relasi sosial antara pihak gereja dengan Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat yang sudah terjalin hubungan baik selama ini.

P andangan P imPinan g ereja tentang P engaturan o rganisasi g ereja di P rovinsi j awa b arat

Daftar Pustaka

Aritonang, Jan Sihar. Aliran-Aliran di Sekitar Gereja . Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. PBM, Edisi Tanya Jawab Disempurnaka.

Jakarta, 2012. De Jonge, Christian. Gereja Mencari Jawab: Kapita Selekta Sejarah Gereja, BPK Gunung

Mulia, Jakarta. 2009. Dirjen Bimas Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia. Direktori Gereja-gereja,

Yayasan, Pendidikan Agama dan Keagamaan Kristen di Indonesia. Jakarta. 2011. Eryanto. Makalah Seminar Potensi Dampak UU No. 17 Tentang Ormas di Hotel Santika

Jakarta. Marhendy, Daru dan A. Bancin, Favor. Memahami Tradisi dan Sistem Pemerintahan Gereja-

gereja di Indonesia . Jakarta: Word Visi Indonesia. 2008. Pengarahan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Dalam diskusi untuk menambah

kelengkapan bahan persiapan penyusunan desain penelitian dan menetapkan judul penelitian ini. Jakarta. 2014.

Suparlan, Parsudi dalam Robertson, Roland (ed). “Agama: Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis”, pp. v-xvi. Jakarta: CV Rajawali. 1988.

Sugiyarto, Wakhid. Laporan Hasil Penelitian tentang GBI Philadelphia Makassar, GPdI Malang dan GBI Keluarga Allah Surakarta . 2010.

------------. Makalah: Dampak Pemahaman Misi Gereja Bethel Indonesia (GBI) “Keluarga Allah” Dan Implementasinya Bagi Gerakan Oikumene serta Kemajemukan Indonesia di Surakarta (Solo) Jawa Tengah. Jakarta. 2013.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

P enelitian

84 k ustini &s yaiful a rif

Agama Baha’i Problematika Pelayanan Hak-hak Sipil

Kustini

Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI email : [email protected]

Syaiful Arif

Pengajar Pascasarjana STAINU Jakarta email : [email protected] Diterima redaksi tanggal 16 Oktober 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

Abstrak

In the eyes of the law, the Baha’i religion Baha’i merupakan agama yang belum does not exist in this country, as it is not

dianggap eksis di negeri ini. Alasannya, ia included in the six religions recognized

tidak termasuk di dalam enam agama, yakni in

Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Buddha Protestantism, Catholicism, Hinduism,

Indonesia’s constitution:

Islam,

dan Konghucu yang secara eksplisit disebut Buddhism and Confucianism. As a

dalam konstitusi. Akibatnya, ia dianggap result, it is considered an “unoficial “ or

agama “tidak resmi” atau “belum diakui”. “unrecognized “ religion. In fact, in Article

Padahal sejak dalam Pasal 29 ayat (2)

29 Paragraph 2 of the 1945 Constitution UUD 19945 hingga Pasal 1 UU No. 1/ and Article 1 of Law No. 1 / PNPS / 1965,

PNPS/1965, tidak ada istilah agama resmi the term “unoficial” and “unrecognized”

dan diakui. Yang ada hanyalah agama religion is not even used. The only term

yang dianut dan dilayani. Dari sini, Baha’i used are “followed and serviced” religions.

tidak dianggap sebagai agama mandiri, From this perspective, Baha’i is not

tetapi sempalan dari agama lain. Hal ini considered an independent religion, but a

melahirkan kerugian sistemik, yakni belum splinter group of other religions. This given

terpenuhinya hak-hak sipil umat Baha’i, rise to systemic losses, i.e the unfulilled

sebagai bagian dari warga negara Indonesia civil rights of Baha’is, as part of Indonesian

yang sebenarnya berhak mendapatkan hak- citizens who actually entitled to rights.

hak tersebut.

Keywords: Baha’i, Civil Rights, Social Kata Kunci: Baha’i, Hak-hak sipil, Relasi Relations

Sosial

Pendahuluan

nasional yang melindungi semua agama dan melayani segenap pemeluknya,

Indonesia bukanlah negara agama. sebagai bagian dari warga negara yang Bentuk negara semacam ini merupakan

wajib dipenuhi hak-haknya. Oleh karena konsekuensi dari bentuk nasional non-

itu, Indonesia kemudian dibangun di atas teokratik, artinya, ia tidak dibangun di atas

prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) yang landasan satu agama sehingga memiliki

menjadi dasar bagi semua pengaturan, suatu agama resmi. Bangunan negara

termasuk agama. Pasal 28E Ayat 1 Indonesia akhirnya merupakan negara

UUD 1945 menyebutkan: “setiap orang

HARMONI September - Desember 2014

85 berhak memeluk agama dan beribadat

a gama b aha ’ i P roblematika P elayanan h ak - hak s iPil

Di samping itu, dalam Putusan menurut agamanya”. Pasal 28E Ayat 2

Mahkamah Konstitusi (MK) atas Judicial juga menyebutkan: “setiap orang berhak

Review terhadap UU No 1/PNPS/1965 atas kebebasan meyakini kepercayaan, yang dianggap diskriminatif karena menyatakan pikiran dan sikap sesuai hanya mengakui enam agama di atas, dengan hati nuraninya”. Sedangkan Pasal

Mahkamah Konstitusi RI menyatakan: 28I Ayat 2 menyebutkan: “setiap orang

“Menimbang bahwa terhadap dalil bebas dari perlakuan diskriminatif atas

para Pemohon yang menyatakan bahwa dasar apapun dan berhak mendapatkan

UU Pencegahan Penodaan Agama perlindungan terhadap perlakuan yang

diskriminatif karena hanya membatasi bersifat diskriminatif tersebut”.

pengakuan terhadap enam agama, menurut MK adalah tidak benar, karena

Dari pasal-pasal di atas terlihat UU tersebut tidak membatasi pengakuan bahwa prinsip HAM terkait erat dengan

atau perlindungan hanya terhadap enam kebebasan beragama dan berjalinan agama, akan tetapi mengakui semua dengan perlindungan terhadap agama yang dianut oleh rakyat Indonesia. diskriminasi, terutama atas nama agama. Artinya, negara sebagai otoritas yang tidak

Dengan demikian beberapa hal berwenang melakukan intervensi dalam

menjadi jelas. Pertama, konstitusi kita mengamanatkan kebebasan memeluk

bentuk penghalangan atas hak beragama, agama dan melindungi praktik

sebab ia merupakan hak asasi manusia. keagamaan tersebut. Kedua, negara Sebaliknya, negara menempatkan tidak mengakui adanya “agama yang diri sebagai pelindung atas tindakan diakui” atau “agama resmi”. Penyebutan diskriminatif terhadap kelompok agama, enam agama, yakni Islam, Kristen, jika kelompok atau pemeluk tersebut Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu, mengalami diskriminasi karena agama murni penyebutan atau pengakuan yang dipeluknya. sosiologis. Artinya, enam agama tersebut

Pasal HAM ini kemudian diperkuat diakui sebagai agama yang dipeluk oleh pasal keagamaan, Pasal 29 Ayat 2

oleh mayoritas penduduk Indonesia. UUD 1945 yang menyebutkan: “negara

Pengakuan ini sifatnya empirik, bukan menjamin kemerdekaan tiap-tiap teo-yuridis, dalam arti pengakuan atas

penduduk untuk memeluk agamanya keabsahan teologis dari agama-agama, masing-masing dan beribadat menurut

sehingga hanya enam agama tersebut agama dan kepercayaannya”. Hal ini yang memiliki status yuridis sebagai

diperjelas oleh Penjelasan Pasal 1 UU agama yang berhak hidup di Indonesia. No. 1/PNPS/1965 dengan menyebut

Penyebutan agama-agama di luar

6 agama yang dipeluk oleh warga enam agama seperti Yahudi, Zoroaster, Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik,

Shinto dan Tao menggambarkan Hindu, Buddha dan Konghucu. Keenam

perluasan fakta keagamaan di Indonesia agama tersebut memperoleh jaminan, yang lebih luas dari enam agama tersebut.

bantuan dan perlindungan sesuai Pasal Tentu masih banyak agama yang bisa

29 Ayat 2. Penyebutan keenam agama disebut, salah satunya Baha’i. Dengan ini tidak berarti bahwa agama-agama demikian, warga negara Indonesia lain seperti Yahudi, Zarazustrian,

tidak hanya boleh dan berhak beragama Shinto, Thaoisme dilarang di Indonesia.

selain enam agama, melainkan berhak Mereka memperoleh jaminan penuh untuk dilindungi praktik keagamaan dan dibiarkan apa adanya selama tidak

dan dilayani hak-hak sipilnya. melanggar hukum.

Namun demikian, satu kendala masih

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

86 k ustini &s yaiful a rif

HARMONI September - Desember 2014

menghadang, yakni dalam UU Nomor

23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, terdapat Pasal 8 ayat (4), Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (2) yang menggunakan frasa yang sama, yakni: “..bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagaimana peraturan perundang-undangan..”. Dengan adanya frasa “agama yang belum diakui”, maka eksistensi dan regulasi agama-agama di luar enam agama, belum mendapatkan pelayanan hak-hak sipil sebagaimana amanat UUD 1945. Meskipun UU tersebut telah direvisi, tetapi tidak mengubah kata-kata terkait dengan keberadaan agama di Indonesia. UU Nomor 24 Tahun 2013 Pasal 64 Ayat 5 masih menyebutkan: “bagi penduduk yang agama belum diakui sebagai agama.”

Salah satu agama di luar enam agama, yang saat ini “menuntut” untuk memperoleh pelayanan hak-hak sipilnya adalah penganut agama Baha’i. Beberapa tokoh agama Baha’i secara aktif melakukan audiensi ke Kementerian Agama RI (antara lain ke Puslitbang Kehidupan Keagamaan dan ke Pusat Kerukunan Umat Beragama) untuk menyampaikan penjelasan tentang agama Baha’i serta menyampaikan aspirasi atau keinginannya untuk memperoleh hak-hak sipil. Kementerian Agama RI pun tidak tinggal diam. Pada tanggal 24 Febuari 2014, Sekrearis Jenderal Kementerian Agama RI mengirim surat Nomor SJ/B. VII/1/HM.00/675/2014 ke Menteri Dalam Negeri RI tentang Penjelasan Mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia. Meskipun dalam surat itu sudah disebutkan bahwa Baha’i merupakan salah satu agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia sehingga perlu dilayani hak-hak sipilnya, tetapi penjelasan itu dianggap belum mencukupi.

Berdasarkan uraian di atas, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI telah melakukan penelitian terhadap Eksistensi Agama Baha’i

dan Pelayanan Hak-hak Sipil Pemeluknya di Kota Bandung, Jawa Barat . Penelitian agama Baha’i di Kota Bandung diadakan melalui dua fase. Pertama, penjajagan pada 22-26 April 2014. Kedua, penelitian pada 14-23 Mei 2014. Sebagai pengayaan data, tulisan ini diperkaya oleh hasil penelitian agama Baha’i di wilayah Jawa Barat lainnya, yakni Kabupaten Bandung, Kabupaten Bekasi dan Tangerang.

Penelitian ini secara khusus dilakukan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1). Bagaimana eksistensi agama Baha’i yang meliputi sejarah, pokok-pokok keyakinan dan ajaran, kelompok pengikutnya, persebarannya? 2). Bagaimana implementasi kebjakan negara dalam hal pemberian, pelayanan yang ada kaitannya dengan administrasi kependudukan serta jaminan hak-hak kewarganegaraan? 3). Bagaimana relasi sosial pengikut agama Baha’i dengan masyarakat di sekitarnya? Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pimpinan di lingkungan Kementerian Agama RI untuk memberikan penjelasan kepada berbagai pihak terkait dengan keberadaan agama Baha’i. Secara khusus hasil penelitian ini menjadi Bahan bagi Menteri Agama RI untuk menjawab Surat Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 450/1581/SJ tanggal 27 Maret 2014, tentang Penjelasan Mengenai Keberadaan Baha’i di Indonesia.

Penelitian yang secara khusus menempatkan Baha’i sebagai fokus utama belum banyak dilakukan. Karena itu penelitian ini merupakan penelitian eksploratif. Peneliti menggali informasi sedalam-dalamnya, tentang berbagai hal terkait keberadaan pemeluk agama Bahai. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi wawancara, observasi, dan studi dokumen. Karena belum diketahui secara pasti siapa saja tokoh agama Baha’i yang akan ditemui, maka dalam pemilihan informan peneliti menggunakan teknik snowball (Bryman, 2004).

a 87 gama b aha ’ i P roblematika P elayanan h ak - hak s iPil

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Eksistensi Agama Baha’i

Agama Baha’i merupakan agama yang dirujukkan pada ajaran Baha’ullah. Wilayah kelahirannya adalah di Iran. Agama Baha’i lahir sekitar tahun 1844, jika merujuk pada pengumuman ajaran baru ini oleh penggagas awal, Sang Bab (1819-1850). Posisi Sang Bab adalah pewarta kehadiran “Dia yang akan Tuhan wujudkan”, dan yang djanjikan di kitab suci agama-agama Ibrahim, yakni Baha’ullah atau Mirza Husayn Ali (1817- 1892).

Sang Bab sendiri berasal dari lingkungan Muslim Syiah di Iran. Nama aslinya adalah Sayyid Ali Muhammad. Akar ajaran agama Baha’ullah berasal dari Sang Bab yang intinya penyeruan atas kesatuan agama, kesatuan kebenaran Tuhan dan kesatuan umat manusia. Menurut Baha’i, agama adalah wahyu progresif (progressive revelation). Ia merupakan perjalanan lurus “para perwujudan Tuhan” yang meskipun berbeda nama agama, namun sama dalam hakikat. Agama Baha’i menekankan pentingnya para nabi atau rasul sebagai “perwujudan Tuhan” di muka bumi. Umat manusia hanya bisa mengetahui kebenaran Tuhan, melalui “para perwujudan Tuhan” ini. Oleh karenanya, Baha’i menghormati dan meyakini semua ajaran agama yang dikomandoi para nabi, sejak Khrisna, Sidharta Gautama, Ibrahim, Musa, Yesus dan Muhammad sebagai agama yang benar yang mewartakan kebenaran Ilahi. Bahaullah sebagai nabi agama Baha’i diyakini sebagai “Yang Djanjikan” dalam kitab suci, sejak Wedha, Taurat, Injil dan al-Qur’an. Sebagai “Dia yang akan diwujudkan oleh Tuhan” di penghujung zaman, Bahaullah membawa risalah penyempurna yang melanjutkan kebenaran agama-agama sebelumnya.

Letak kebaruan ajaran Sang Bab dan Baha’ullah terletak pada penekanan kesatuan hakikat semua agama. Dalam rangka kesatuan ini, Tuhan diibaratkan

sebagai Matahari. Sementara umat-umat beragama diibaratkan orang yang hidup dalam keluarga beragama tertentu, yang melihat sinar matahari dari jendela rumah masing-masing yang tertutup. Setiap orang beragama tertentu secara keturunan, karena lahir di keluarga beragama tertentu. Sifat unik dan tertentu dari masing agama tercermin dalam warna kaca jendela masing rumah, sehingga setiap orang hanya bisa melihat matahari berdasarkan warna kaca jendela. Rumah satu melihat matahari berwarna merah, rumah dua melihat matahari berwarna hjau, yang lain biru, dan sebagainya.

Setiap orang beragama melihat Tuhan dari perspektif masing-masing agama yang saling berbeda dan tidak jarang meniadakan. Umat Muslim menganggap Yesus bukan Tuhan, umat Hindu melihat Islam sebagai agama kaku, umat Kristen melihat agama Buddha sebagai agama non-Semitik yang tidak benar sistem teologisnya. Baha’i menawarkan perspektif berbeda dengan menawarkan kesatuan kebenaran agama- agama yang merujuk pada kesatuan kebenaran Tuhan. Maka setiap orang beragama harus keluar dari ekslusivisme agama masing-masing, sehingga mampu melihat hakikat kebenaran Tuhan Yang Satu. Setiap orang harus keluar dari rumah masing-masing sehingga bisa melihat sinar matahari yang hakiki, tidak melalui kaca jendela yang terkadang menipu.

Dari prinsip kesatuan agama ini, Baha’i memiliki 12 asas yang tidak hanya bersifat teologis tetapi juga sosial- humanitarian, meliputi: Keesaan Tuhan, kesatuan agama, persatuan umat manusia, persamaan hak antara perempuan dan laki-laki, penghapusan prasangka buruk, perdamaian dunia, kesesuaian agama dan ilmu pengetahuan, mencari kebenaran secara bebas, keperluan pendidikan universal, keperluan bahasa persatuan sedunia, tidak boleh campur tangan

88 k ustini &s yaiful a rif

dalam politik, penghapusan kemiskinan rumah ibadah tersebut berpintu Sembilan dan kekayaan yang berlebihan.

sisi yang mencerminkan sembilan agama besar dunia. Pintu-pintu ini menuju ruang

Dari asas teologis-sosial ini tengah di bawah kubah besar persatuan ditetapkanlah hukum-hukum yang agama-agama, dan bisa dimasuki oleh wajib ditaati oleh mukmin Baha’i: 1).

pemeluk agama lain. Di dalam Mashriqul Sembahyang wajib Baha’i; 2). Membaca

Adzkar , dibacakan kitab-kitab suci agama tulisan suci tiap hari; 3). Dilarang

lain. Rumah ibadah ini tidak hanya menggunjing

diperuntukkan untuk ibadah tetapi juga Menjalankan puasa Baha’I setiap tahun;

kemanusiaan. Oleh karena itu, di sekitar 5). Larangan minuman beralkohol

rumah ibadah tersebut dibangunlah dan obat bius kecuali alasan medis; 6).

sembilan lembaga kemanusiaan, seperti Larangan hubungan seksual di luar sekolah, rumah yatim piatu, rumah

nikah, juga homoseksual; 7). Larangan sakit, dsb. Saat ini terdapat delapan

berjudi; 8). Bekerja adalah ibadah. rumah ibadah Baha’i di dunia, termasuk

Pasca meninggalnya Baha’ullah Santiago, Amerika Latin, Uganda Afrika, pada tahun 1892, kepemimpinan Baha’i

Sydney Australia, Frankfurt Jerman, diwariskan pada putranya, Abdul Panama Amerika Tengah, Samoa Barat Baha’ (1844-1921) untuk kemudian

Pasiik dan New Delhi India (Hushmand, dilanjutkan oleh cucu Abdul Baha’, Fathea’zam, 2009:16-50). Shoghi Efendi (1897-1957). Sebagai

Baha’i juga memiliki kitab suci, lulusan Oxford University, Inggris, meliputi; Kitab al-Aqdas, serta tulisan-

Baha’ullah; Kalimat menerjemahkan tulisan-tulisan suci Tersembunyi, Ingat Pada Tuhan, Tulisan

Shoghi Efendi memiliki kemampuan

tulisan

suci

kakek buyutnya, Baha’ullah ke dalam Kesatuan, Kehidupan Yang Murni dan Suci, bahasa Inggris. Shoghi Efendi juga Doa I, Doa II, Hidup Secara Baha’i, Sifat

yang menyempurnakan Administrasi Dapat Dipercaya, Janji Perdamaian Dunia,

Baha’i sedunia, sebuah tata institusional Musyawarah, Musyawarah Baha’i, dan agama Baha’i secara internasional.

Kehidupan Keluarga.

Hanya Abdul Baha’ dan Shoghi Efendi yang berhak menyandang status Wali

Baha’i pasca Baha’ullah. Sebagai wali, mereka merupakan pemimpin spiritual Administrasi Baha’i

tunggal seluruh dunia yang berhak Agama Baha’i merupakan menafsirkan kitab suci dan menetapkan

agama non-otokratis. Ia tidak memiliki hukum. Setelah wafatnya Shoghi Efendi,

kepemimpinan individual hirarkis yang Baha’i tidak memiliki kepemimpinan menjadi otoritas keagamaan. Otoritas

individual. Kepemimpinan Baha’i Baha’i yang dimiliki oleh Baha’ullah akhirnya bersifat kolektif organisasional

dan keturunannya, Abdul Baha’ dan dalam bentuk Majelis Rohani, yang tidak

Shoghi Efendi. Setelah nabi dan memiliki wewenang keagamaan selayak

pemimpin spiritual wafat, tidak ada Baha’ullah, Abdul Baha’ dan Shoghi lagi otoritas keagamaan, demikian pula Efendi (MRN, 2013:11-15).

tidak ada keulamaan dan kependetaan

Rumah ibadah umat Baha’i yang memiliki otoritas penafsir kitab

suci. Ketiadaan otoritas maupun adalah Mashriqul Adzkar. Karena Baha’i

merupakan agama yang mewartakan keulamaan ini dimaksudkan sebagai pengembalian proses keberagamaan

kesatuan agama sedunia, maka Mashriqul Adzkar juga dipersembahkan untuk umat

kepada masing individu. Individu di dalam Baha’i memiliki kebebasan

beragama sedunia. Oleh karenanya,

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

untuk mengembangkan pemahaman keagamaan berdasarkan akal pikiran dan pertumbuhan rohaninya sendiri. Hal yang terdapat di dalam Baha’i hanyalah Tata Tertib Dunia yang melingkupi suatu Administrasi Baha’i. Administrasi Baha’i merupakan sistem organisasional yang bersifat melingkupi umat, sebagai mekanisme penyaluran rahmat Tuhan. Secara ilustratif, administrasi ini digambarkan seperti sistem perairan besar, di mana terdapat sungai besar yang disalurkan oleh saluran besar yang mengalirkan air ke persawahan melalui selokan kecil. Sungai Besar adalah Bimbingan Tuhan yang menjadi sumber air ketuhanan bagi seluruh umat Baha’i. Untuk mengalirkan Bimbingan Tuhan, terdapat Aliran Besar berupa Balai Keadilan Sedunia pada level global. Balai Keadilan Sedunia (BKS) ini mengalirkan Bimbingan Tuhan kepada Majelis Rohani Nasional (MRN) yang mengalirkan Bimbingan Tuhan kepada Majelis Rohani Setempat (MRS) di daerah-daerah (Hushmand, Fathea’zam, 2009:103-139).

Dengan demikian, BKS, MRN dan MRS merupakan sistem kelembagaan Baha’i yang menghubungkan seluruh umat Baha’i sedunia secara integral. Anggota BKS dipilih oleh utusan MRN sedunia. Demikian pula anggota MRN dipilih oleh utusan dari MRS-MRS dari berbagai kota atau kabupaten di suatu negara. Hanya saja, pimpinan baik di BKS, MRN dan MRS bukan pimpinan pusat yang memiliki otoritas keagamaan sebagaimana Ayatullah Khomeini dalam Wilayatul Faqih Syiah, Paus Vatikan, Dalailama Tibet, atau Rais Aam Nahdlatul Ulama. Pimpinan-pimpinan dalam lembaga tersebut hanya merupakan pimpinan koordinatif fungsional, biasanya untuk kepemimpinan musyawarah.

Hingga 2001, terdapat 46 Majelis Rohani Nasional di Benua Afrika, 43 di Amerika, 39 di Asia, 17 di Australia dan 37

di benua Eropa. Total terdapat 182 MRN di seluruh dunia. Sementara itu, terdapat 3,808 Majelis Rohani Setempat di Benua Afrika, 3,152 di Amerika, 2,948 di Asia,

856 di Australia dan 976 di Benua Eropa. Secara keseluruhan terdapat 11,740 MRS di dunia (Baha’i Statistic, 2001:1).

Di Bandung, terdapat dua MRS yakni MRS Kota Bandung dan MRS Kabupaten Bandung. Anggota MRS berisi sembilan orang yang dipilih setahun sekali. Untuk MRS Kota Bandung diketuai oleh Fahim dan beranggotakan: Sri Muryati, Nurhayati, Susi Susanti, Wanti, Sopandi, Untung Widodo, Egi Ramdani dan Lutiah. Sementara MRS Kabupaten Bandung diketuai oleh Heri Suheri, dan beranggotakan: Syamsuddin, Kartini, Ayik Karmanan, Sahidin, Ayi Rohlati, Irfan Nirviana, Nia Kurnia dan Ilis Juariah.

Secara umum, majelis rohani memiliki kelima fungsi. Tempat peribadahan bersama sebelum adanya rumah ibadah Baha’i, yakni masjid. Kedua , forum musyawarah antara umat dan anggota majelis. Ketiga, forum komunikasi program dan keputusan antar-majelis, baik dari MRN kepada MRS atau BKS kepada MRN dan MRS, serta sebaliknya. Keempat, panitia penyelenggara Selamatan Sembilan Belas Harian. Kelima, otoritas pengesah pernikahan antar pemeluk Baha’i. Untuk BKS, ditambah satu otoritas yang tidak dimiliki oleh majelis rohani, yakni perumus hukum yang tidak ada di dalam kitab maupun tulisan suci Baha’ullah.

Dengan sifat dasar majelis rohani yang tidak memiliki otoritas keagamaan dan hanya berfungsi sebagai forum koordinatif antar-umat ini, Baha’i Bandung tidak memiliki tempat keagamaan khusus, baik sekretariat MRS apalagi rumah ibadah dikarenakan pada level nasional, yakni di Indonesia, belum ada rumah ibadah Baha’i. Sebabnya jelas, karena Baha’i sendiri belum memiliki

90 k ustini &s yaiful a rif

status yuridis sebagai agama yang diakui mengucap doa 13) lalu menyebut “Allahu dan dilayani.

Abha” tiga kali, dan 14) rukuk sambil berdoa, 15) lalu berdiri dan berdoa, 16) kemudian mengucap “Allahu Abha”

tiga kali dan 17) sujud sambil berdoa,

Sistem Peribadatan

18) kemudian mengangkat kepala dan Umat Baha’i memiliki ritual berupa

duduk serta mengucapkan, “Aku naik tiga macam sembahyang wajib yakni saksi ya Tuhanku, pada apa yang disaksikan

sembahyang panjang, sembahyang oleh hamba-hamba-Mu yang terpilih dan aku menengah dan sembahyang pendek. mengakui pada apa yang telah diakui oleh Sembahyang panjang dilakukan sekali penghuni-penghuni Surga Tertinggi dan oleh dalam 24 jam, sembahyang menengah

mereka yang telah mengelilingi Arasy-Mu dilakukan tiga kali dalam sehari, yakni

yang agung. Kerajaan-kerajaan di bumi dan pagi, siang dan petang. Sedangkan di langit kepunyaan-Mu, ya Tuhan sekalian

sembahyang pendek dilakukan sekali alam!” dalam 24 jam di tengah hari. Umat Baha’i diwajibkan untuk memilih tiga macam

Demikian pula Sembahyang sembahyang ini untuk dilakukan setiap

Menegah yang memiliki empat gerakan, hari.

dilaksanakan tiga kali sehari, yakni pagi, tengah hari dan petang. Sebelum

Sebagai ritus, sembahyang memiliki sembahyang, mencuci kedua tangan gerakan khusus yang menariknya, sembari berdoa, kemudian membasuh

menyerupai sholat dalam agama muka seraya berdoa. Sembahyang Islam. Dalam sembahyang panjang diawali dengan (1) berdiri mengarahkan misalnya, memiliki 18 gerakan. Mukmin

muka ke Kiblat dan berdoa, kemudian menghadap ke kiblat, 1) sambil berdiri,

(2) rukuk dan berdoa, lalu (3) berdiri menoleh ke kanan dan ke kiri untuk

dan berkunut sambil berdoa, kemudian mengharap rahmat Tuhan. Setelah (4) duduk dan berdoa, “Tuhan naik saksi

berdoa memuji asma Tuhan, dilanjutkan bahwa tiada Tuhan menainkan Dia, Penolong dengan 2) mengangkat kedua tangan

dalam bahaya, Yang Berdiri Sendiri”. untuk berkunut dan berdoa. Kemudian

3) bersujud memuji Tuhan dengan doa, Adapun Sembahyang Pendek yang “Lebih mulialah Engkau di atas segala sifat

dilakukan sekali dalam 24 jam pada yang diberikan oleh siapapun kecuali Engkau

tengah hari, dilakukan sambil berdiri Sendiri dan di atas pengertian siapapun dengan memmbaca doa, “Aku naik saksi,

kecuali Engkau ”. 4) Kemudian berdiri dan ya Tuhanku, bahwa Engkau telah menjadikan mengucap pujian, 5) lalu mengangkat

daku untuk mengenal dan menyembah Dikau. kedua tangan untuk berkunut dan Aku naik saksi pada saat ini akan kelemahanku

berdoa, 6) kemudian mengangkat kedua dan kekuatan-Mu, kemiskinanku dan tangan dan mengucapkan “Allahu Abha”

kekayaan-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau, tiga kali, 7) disusul rukuk di hadapan

Penolong dalam bencana, Yang Berdiri Tuhan sambil mengucapkan pujian. 8)

Sendiri”.

Kemudian berdiri dan mengangkat kedua Selain sembahyang wajib, juga tangan untuk berkunut mengucap doa, 9)

terdapat Pengganti Sembahyang, lalu mengangkat kedua tangan tiga kali

Pengganti Sembahyang untuk Wanita dan setiap kalinya mengucapkan, “Lebih

Haid, serta Ayat Pengganti Wudhu. Di besarlah Tuhan dari segala yang besar ”, 10) samping sembahyang wajib, terdapat kemudian bersujud dan memuji Tuhan,

pula doa-doa umum, meliputi: doa

11) setelah itu duduk dan mengucap anak-anak, bayi yang sakit, cobaan-

doa, 12) kemudian berdiri tegak dan cobaan, kebehagiaan, kekuatan, keluarga,

HARMONI September - Desember 2014

91 kemenangan agama, kesulitan dalam Ziarah untuk Abdul Baha’ serta Ayyami-

a gama b aha ’ i P roblematika P elayanan h ak - hak s iPil

agama, keteguhan hati, bimbingan bagi Ha, puasa, Naw-Ruz, Loh Ridwan, dan yang sesat, keterlepasan, doa malam Loh Karmel (MRN, 2008:2-15). sebelum tidur, doa tengah malam, doa anugerah terbesar, doa untuk

Selain ibadah dalam bentuk pelopor, doa untuk orang tua, orang sembahyang wajib dan doa-doa, terdapat

yang meninggal dunia, sembahyang juga ibadah bersama, yakni Selamatan jenazah, doa pagi, doa fajar, doa pemuda- Sembilan Belas Harian. Selamatan ini

pemudi, pengampunan, penyembuhan, dilakukan setiap awal bulan di dalam perjalanan, perkawinan, perlindungan, penanggalan Baha’i, yang memiliki 19

persatuan, pertemuan, pertolongan hari setiap bulannya. Di dalam Selamatan dalam kesukaran, pertumbuhan rohani,

Sembilan Belas Harian, dilakukan tiga hal pujian syukur, doa reezeki, selamatan yakni: Pertama, pembacaan tulisan-tulisan

Sembilan belas hari, doa suami dan doa suci Baha’ullah. Kedua, administrasi wanita.

dalam bentuk penyempaian program MRS kepada umat. Ketiga, sosialisasi

Terdapat pula doa-doa khusus: program dan keputusan MRN dan Loh Ahmad, Loh Api, Loh Penyembuhan

BKS. Keempat, hiburan. Penyelenggara Panjang, Loh Kelahiran Sang Bab, Loh

selamatan tersebut ialah MRS. Berikut ini Ziarah meliputi yang meliputi Loh Ziarah

tanggal pelaksanaan Selamatan Sembilan untuk Hazrat Baha’ullah dan Bab, Loh

Belas Harian:

Hari Pertama Nama Bulan Terjemahannya

21 Maret Baha Kemuliaan

09 April Jalal Kejayaan

28 April Jamal Keindahan

17 Mei ‘Azamat Kebesaran

05 Juni Nur Cahaya

24 Juni Rahmat Rahmat

13 Juli Kalimat Kalimat

01 Agustus Kamal Kesempurnaan

20 Agustus Asma Nama-nama

08 September ‘Izzat Kekuatan

27 September Masyiyyat Kemauan

16 Oktober ‘Ilm Ilmu

04 November Qudrat Kodrat

23 November Qawl Ucapan

12 Desember Masa’il Pertanyaan

31 Desember Syaraf Kehormatan

19 Januari Sultan Kedaulatan

07 Februari Mulk Kekuasaan

02 Maret ‘Ala Keluhuran

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

92 k ustini &s yaiful a rif

Pada bulan ‘Ala, umat Baha’i Secara umum, penelitian telah melaksanakan puasa selama sebulan, menemukan data-data kunci yakni: yakni sejak tanggal 02 Maret sampai

Pertama , data pemeluk Baha’i. Kedua, data

20 Maret. Sehari setelahnya, yakni 21 pustaka meliputi buku-buku suci dan Maret dirayakanlah Hari Raya Naw Ruz

buku proil tentang agama Baha’i yang yang merupakan perayaan Tahun Baru.

meliputi Taman Baru (The New Garden) Di dalam Baha’i, terdapat Sembilan karya Hushmand Fathea’zam (2009) dan Hari Raya. Tujuh darinya adalah hari

Agama Baha’i (2013). Ketiga, data persoalan perayaan, sedangkan dua di antaranya

yang terjadi di sekitar pelayanan hak-hak adalah peringatan kesyahidan Sang Bab

sipil umat Baha’i.

dan wafatnya Baha’ullah (Hushmand, Di Bandung, peneliti berhasil Fathea’zam, 2009:176-178). Berikut Hari-

menemui dan berdiskusi dengan Ketua hari Raya Baha’i:

Majelis Rohani Setempat (MRS) Kota Bandung, Mohammad Fahim dan Ketua

21 Maret : Hari Raya Naw Ruz MRS Kabupaten Bandung, Heri Suheri (Tahun Baru)

dan Sekretaris MRS Kota Bandung yang

21 April merupakan istri Fahim, yakni Nurhayati. : Hari Raya Ridwan

Sementara di Kabupaten Bekasi, peneliti Pertama, pengumuman Baha’ullah (1863) berhasil melakukan interview dengan

pemeluk Baha’i, yakni Najib Chaidar dan

29 April : Hari

Raya

Ridwan

Tahire. Sedangkan di Tangerang, peneliti Kesembilan.

melakukan interview dengan pemeluk

02 Mei : Hari

Baha’i, Rina Tomcek, SE. Keduabelas.

Raya

Ridwab

23 Mei : Pengumuman Sang Bab Kelemahan Baha’i di beberapa (1844)

wilayah tersebut adalah tidak memiliki data base pemeluk Baha’i, serta proil

29 Mei : Hari wafat Baha’ullah (1892) sejarah Baha’i, namun kedua hal ini

peneliti temukan melalui interview.

09 Juli : Kesyahidan Sang Bab Kelemahan juga terjadi pada status

(1850) para pemeluk Baha’i (narasumber) yang

20 Oktober : Hari Lahir Sang Bab merupakan pendatang, bukan pribumi. (1819)

Oleh karenanya, mereka kurang memiliki

12 November : Hari Lahir Baha’ullah data historis Baha’i di wilayah-wilayah (1817)

tersebut. Dalam hal ini, hanya Heri Suheri yang merupakan pribumi dan menjadi keturunan dari pemeluk awal Baha’i di

Kabupaten Bandung, sehingga memiliki pengetahuan historis di Bandung.

Baha’i di Empat Wilayah

Fokus tulisan ini tertuju pada realitas sosiologis agama Baha’i di Bandung, baik

Di Indonesia, Baha’i awal dibawa di Kota maupun Kabupaten Bandung

oleh dua misionaris Baha’i dari Iran, Jamal serta diperkaya oleh data yang didapatkan

Efendi dan seorang India-Irak, Sayyid di Kabupaten Bekasi dan Kota Tangerang.

Mustafa Rumi pada bulan Mei-Nopember 1885. Dua misionaris ini datang dari

Pemilihan objek di empat wilayah ini Singapura ke Batavia (Jakarta), kemudian diharapkan mewakili gambaran umum ke Bali dan Lombok untuk akhirnya ke Baha’i di Propinsi Jawa Barat. Hanya saja, Sulawesi. Konon Jamal Efendi dan Rumi fokus paparan ini tetap di Kota Bandung berhasil mengajak Raja dan Ratu Bone dengan pengayaan data di tiga wilayah untuk memeluk agama Baha’i (Vries, de lainnya.

Jelle, 2007:23).

HARMONI September - Desember 2014

93 Baha’i sampai di Bandung pada

a gama b aha ’ i P roblematika P elayanan h ak - hak s iPil

tinggal di Cibitung. Kemudian keluarga dekade 1970. Pembawanya ialah Dokter

Wawan di Grand Wisata. Tapi istrinya Samandari dari Persia yang bertugas di

bukan penganut Baha’i dan anaknya Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.

masih kecil. Dengan demikian penganut Sebelum ke Bandung, Dokter Samandari

Baha’i di Bekasi berjumlah 11 orang (3 ditugaskan ke Sigli, Aceh pada tahun

keluarga). Karena jumlah pemeluk yang 1957. Lalu pindah ke Jawa Timur,

masih sedikit itu, maka di Bekasi belum sebelum akhirnya menetap di Bandung

ada Majelis Rohani Setempat (Wawancara hingga wafat. Selain Samandari, Baha’i

dengan Tahire, 15 Mei 2014). juga dibawa oleh Dokter Jae Hoon pada

Sedangkan di Tangerang, meliputi tahun 1980. Kota dan Kabupaten Tangerang dan

Proses penyiaran Baha’i tidak Tangerang Selatan, meski belum dilakukan secara sengaja, melalui diketahui dengan pasti berapa jumlahnya dakwah terencana yang bersifat kontinyu,

tapi diperkirakan berjumlah 100 orang melainkan secara tidak langsung melalui

dengan satu Majelis Rohani Tangerang. interaksi para dokter di atas dengan Keterangan lengkapnya adalah sebagai masyarakat Bandung. Salah satu interaksi

berikut: “Saya belum tahu pasti, kan saya baru awal yang menimbulkan konversi agama

pindah 4 bulan yang lalu. Tangerang juga kan ke Baha’i adalah interaksi antara Dokter

luas ada Tangerang Selatan, Kota Tangerang, Samandari dan Oman, warga Kecamatan

dan Kabupaten Tangerang. Ada sekitar 100- Banjaran, Kabupaten Bandung, yang an dengan Majelis Rohani Setempat juga ada. bekerja sebagai tukang batu pembangun

Sebetulnya penganut Bahai bisa banyak. Tapi rumah sang dokter. Oman yang karena ada diskriminasi maka mereka enggan

sebelumnya menganut kepercayaan menampakkan diri. Di kota-kota, perilaku Kejawen akhirnya masuk ke dalam Baha’i

diskriminasi terhadap warga Baha’i mungkin akibat ketertarikan dengan perilaku tidak kelihatan. Tapi untuk di daerah atau

Dokter Samandari yang bjak. perkampungan, maka diskriminasi itu semakin Nampak” (Wawancara dengan Sayangnya pemeluk Baha’i di Rina Tomsek, 19 Mei 2014). Bandung tidak banyak yakni berjumlah

55 orang, 25 pemeluk di Kota Bandung dan 30 lain di Kabupaten Bandung.

Pelayanan Hak-Hak Sipil

Wilayah persebaran Baha’i di Kabupaten Bandung meliputi: Kecamatan Cimaung

Pelayanan hak-hak sipil terhadap pemeluk Baha’i memang masih jauh dari

dan Kecamatan Banjaran. Sedangkan harapan. Hal ini terjadi karena sebagai

di Kota Bandung meliputi: Kecamatan agama, Baha’i belum dimasukkan atau Bandung Kulon, Kecamatan Cicendok, diakui sebagai agama yang wajib dilayani. Kecamatan Andir, Kecamatan Sukajadi, Ketiadaan regulasi dari pemerintah pusat Kecamatan Coblong, Kecamatan Sumur membuat jajaran pemerintah ke bawah Bandung dan Kecamatan Regol.

seperti Dinas Kependudukan dan Catatan Sementara itu, kondisi umat Baha’i di

Sipil hingga Kementerian Agama di Kabupaten Bekasi djelaskan oleh seorang

daerah tidak bisa memberikan pelayanan informan sebagai berikut: “Umat Bahai di

atas hak-hak sipil pemeluk Baha’i sebagai Bekasi hanya terdiri dari 3 keluarga yaitu

bagian dari warga negara Indonesia. keluarga saya sendiri (Najib dan Tahire

Dalam kaitan ini, hak-hak sipil dengan tiga orang anak), keluarga pasangan

pemeluk Baha’i di Bandung (Kota dan Suyono dan Yati dengan tiga orang anak,

Kabupaten), Tangerang dan Kabupaten

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

94 k ustini &s yaiful a rif

Bekasi yang belum terlayani dengan Papua. Di Papua, pemeluk Baha’i bisa baik adalah: Pertama, ketiadaan identitas

mencatatkan pernikahannya karena agama Baha’i di dalam Kartu Tanda mereka mengenal pejabat Catatan Sipil. Penduduk (KTP). Kolom agama di Hal ini tidak terjadi di Grogol (Jakarta), dalam KTP masih dikosongkan (diberi

di mana petugas catatan sipil menolak tanda “–“), karena belum bisa ditulis

pendataran pernikahan Baha’i karena agama Baha’i. Adapun dalam catatan belum mendapatkan rekomendasi dari induk, Baha’i dikelompokkan ke dalam

Kementerian Agama. Berikut ini adalah Aliran Kepercayaan. Sementara dalam contoh akta pernikahan Baha’i secara praktiknya, petugas pencatatan sipil agama dan secara negara (Catatan Sipil): sering memberi identitas para pemeluk Baha’i sebagai pemeluk Kristen atau

Akta pertama adalah Ayat Budhha secara arbitrair (sesuka-suka). Perkawinan Baha’i atas nama pasangan Hal ini ditemukan oleh para pemeluk

Avinash A. Panjabi dan Martha Lina Liu Baha’i yang mendapatkan dirinya sebagai

pada 12 April 2014 di Jakarta. Pernikahan pemeluk Kristen atau Buddha ketika ini hanya disahkan oleh Majelis Rohani

mengurus BPJS (Fahim, Mohammad, Jakarta Selatan dan tidak bisa disahkan 2014). oleh Pencatatan Sipil. Sementara akta

kedua adalah akta pernikahan di Kantor Kedua , pernikahan belum dilegalkan

Catatan Sipil atas nama Tomcek Andy oleh Kantor Catatan Sipil. Pernikahan

George dan Rani pada 7 September 2009 di

Baha’i hanya dilakukan secara agama, Kabupaten Mimika, Papua. Sebelumnya dan disahkan oleh Majelis Ruhani pernikahan ini telah disahkan oleh Majelis Setempat. Alasan dari catatan sipil, karena

Rohani Tangerang pada 22 Agustus 2009. belum ada petunjuk dari pemerintah Dengan demikian, pasangan George pusat, terkait dengan eksistensi dan dan Rani yang merupakan pemeluk regulasi Baha’i. Sejauh ini, terdapat 4

Baha’i Tangerang harus mencatatkan pasangan suami-istri di Makassar yang

pernikahannya di Catatan Sipil Papua, bisa mencatatkan pernikahannya di bukan di Tangerang (Tomcek, Rina, Catatan Sipil, serta pasangan Baha’i di

2014). Hal menarik di dalam pernikahan

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Baha’i, tidak jarang terjadi pernikahan lintas agama, misalnya antara Baha’i dan Muslim atau Kristen, dengan resiko pemberian hak kepada anak-anak untuk menentukan agama yang tidak selalu Baha’i. Sejalan dengan prinsip kesatuan agama dan kesatuan manusia, juga terjadi pernikahan lintas suku dan bangsa.

Ketiga , dampak dari belum tercatatnya pernikahan Baha’i di catatan sipil, maka status orang tua anak-anak Baha’i di dalam akte kelahiran hanya berdasarkan ibu, minus ayah. Keempat, belum adanya pendidikan (mata pelajaran) agama Baha’i di sekolah. Dampaknya dua hal yakni: 1). Siswa Baha’i harus aktif dalam pelajaran agama yang ada di sekolah, misalnya Islam atau Kristen. Bahkan di SMPN I Cimaung, guru pelajaran agama Islam menolak siswa Baha’i untuk tidak mempelajari Islam. Akhirnya siswa tersebut harus belajar agama Kristen; 2). Diberikannya materi ujian agama Baha’i, karena sekolah tidak mengizinkan siswa Baha’i mempelajari agama Islam. Hal ini terjadi di SMPN I Banjaran dan SMAN I Bale Endah. Perbedaan kebjakan di masing- masing sekolah ini menyiratkan tidak adanya sistem baku terkait dengan hak pendidikan agama Baha’i, sehingga kebjakan yang diambil bergantung pada kecenderungan guru atau pimpinan sekolah (Suheri, Heri, 2014).

Realitas yang sama juga dialami oleh warga Baha’i di daerah lain, yakni Kabupaten Bekasi. Putra sulung Suyono (pemeluk Baha’i di Kabupaten Bekasi) ketika sekolah di SMP pihak sekolah memperbolehkan untuk mengikuti pendidikan agama Islam. Tetapi ketika anak kedua Suyono, sekolah di SMP yang sama, pihak sekolah tidak mengizinkan ia untuk mengikuti pelajaran agama Islam. Karena itu untuk mengisi nilai agama di raport siswa, pihak sekolah meminta soal ujian dari penganut Baha’i. Dalam

hal ini, Ibu Tahire, pemeluk Baha’i Bekasi yang juga adik Ketua MRS Bandung, Fahim, yang diminta untuk membuat soal pelajaran agama Bahai. Tahire berpendapat bahwa bagi dia tidak masalah jika anaknya mengikuti pelajaran agama yang ada di sekolah itu asal memang pihak sekolah mengizinkan. Tapi jika pihak sekolah tidak mengizinkan anak Baha’i ikut pelajaran agama yang ada di sekolah, maka mau tidak mau harus ada pelajaran agama Baha’i setidaknya untuk mengisi niilai agama di raport maupun jazah. Dengan pernyataan seperti itu, maka kebutuhan pendidikan agama Baha’i di sekolah bukan kebutuhan mendesak (Tahire, 2014).

Relasi Sosial

Hubungan pemeluk Baha’i dan masyarakat memang masih problematik. Terdapatnya simbol dan praktik ritus yang mirip Islam membuat agama ini dicap sebagai aliran sempalan dari Islam. Hal ini memang bisa dipahami sebab ritus Baha’i menyerupai ritus Islam, seperti adanya puasa, sembahyang wajib, hingga penggunaan bahasa Arab. Di dalam sembahyang yang memiliki takbir, ruku’ dan sujud, pemeluk Baha’i menggunakan ungkapan Allahu Abha yang identik dengan Allahu Akbar. Demikian pula dengan penamaan tempat ibadah (Masyriq al-Adzkar) serta penanggalan bulan yang menggunakan bahasa Arab.

Anggapan sebagai aliran sempalan dari Islam ini yang menjadi titik tengkar antara masyarakat (Muslim) dengan Baha’i. Jajaran Kementerian Agama Kabupaten, Kota Bandung, dan Kantor Wilayah Jawa Barat sendiri masih memiliki pemahaman ini, ketika Baha’i di Kabupaten Bandung menjadi isu publik yang kontroversial. Kementerian Agama menyayangkan absennya pimpinan Baha’i untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat dan pemerintah dalam hal

96 k ustini &s yaiful a rif

HARMONI September - Desember 2014

ini, Kementerian Agama tentang ajaran Baha’i sebagai agama independen.

Relasi sosial pun bersifat konliktual, dibuktikan dengan munculnya fatwa sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), baik MUI Jawa Barat, Kabupaten dan Kota Bandung. Fatwa penyesatan ini tercover oleh media, yakni Pikiran Rakyat (PR), tertanggal 27 Februari 2013. Dalam berita tersebut, Sekretaris Umum MUI Jabar, KH. Rafani Achyar menyatakan kesesatan Baha’i atau ia sebut Babiyyah sebagai aliran kebatinan campuran dari Islam, Yahudi, Kristen, Budhha, Zoroaster, dll. Sebagai agama campuran, Baha’i dianggap mengajarkan prinsip kesatuan agama (Wahdatul Adyan) yang menolak perbedaan agama-agama. Labih jauh, Baha’i dianggap dipelopori oleh orang Yahudi asal Inggris yang tinggal di Iran, yakni Ahmad Al-Ahsai. Pusat peribadatan Baha’i yang berada di Rafah, Israel, memperkuat anggapan keyahudian ini. Berikut ini salah satu covering media atas Baha’i di Harian Pikiran Rakyat:

Akidah (Garda) pimpinan Suryana Nur Fatwa. Untuk kasus ini, pimpinan Baha’i telah berulang kali memberikan penjelasan tentang agama Baha’i kepada redaksi PR. Persoalannya, pergantian redaksi mengharuskan pimpinan Baha’i memberikan penjelasan lagi kepada redaktur yang baru. Hal ini dilakukan pada tahun 2000 dan 2013 di mana pada tahun-tahun itu, Baha’i mendapatkan sorotan tajam. Dalam peristiwa ini, Baha’i tidak melakukan perlawanan atau memberikan counter explanation kepada MUI, FUI dan Garda. Penjelasan hanya diberikan kepada media (PR), tanpa adanya berita klariikatif dari media tersebut.

Dampak dari fatwa sesat tersebut, pemeluk Baha’i merasa mendapatkan intimidasi social, sebab pasca pemberitaan Baha’i, rumah pimpinan Baha’i di Kabupaten Bandung, Heri Suheri, didatangi oleh Satpol PP, Kepala Desa, MUI, KUA dan tokoh agama (ustadz).

Belakangan, Polsek Cimaung juga datang untuk meminta keterangan dari Heri Suheri. Setelah djelaskan, perwakilan

Fatwa penyesatan ini juga digerakkan oleh ormas Islam seperti Forum Umat Islam (FUI) dan Pagar Fatwa penyesatan ini juga digerakkan oleh ormas Islam seperti Forum Umat Islam (FUI) dan Pagar

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Polsek tersebut memahami dan bisa memberikan jaminan keamanan pada para pemeluk Baha’i (Suheri, Heri, 2014).

Pembedaan juga dirasakan secara social, misalnya, kehadiran orang Baha’i di sebuah pengajian untuk mendoakan tetangga meninggal, membuat tokoh agama (ustadz) tak mau menghadiri pengajian tersebut karena yang meninggal dikira sebagai bagian dari Baha’i. Pembedaan dan diskriminasi juga terjadi pada hak pemakaman warga Baha’i, misalnya, penolakan masyarakat atas pemakaman warga Baha’i di pemakaman Muslim, sebab jenazah dimakamkan di dalam peti dan menghadap ke kiblat lain (kaki jenazah mengarah ke Barat). Hal ini tentu berbeda dengan tradisi pemakaman Muslim, sehingga jenazah pun dipindah ke pemakaman umum yang mayoritas dihuni oleh pemakaman Cina.

Penutup

Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, terdapat kesenjangan antara idealitas regulasi agama dalam konstitusi dengan realitas pemahaman dan pelayanan agama, baik di lembaga pemerintahan dan masyarakat. Kebebasan beragama dan pelayanan terhadap semua agama, termasuk agama-agama di luar 6 agama yang termaktub dalam Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945 dan Penjelasan Pasal 1 UU No 1/PNPS/1965, tidak dipahami oleh Kementerian Agama di daerah, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Kesenjangan ini dibuktikan dengan belum dilayaninya agama Baha’i sebab agama ini bukan bagian dari enam agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu.

Kedua , masih kuatnya pemahaman lembaga pemerintahan di daerah dan masyarakat umum tentang adanya “agama resmi” atau “agama yang diakui”

oleh negara. Agama resmi dan diakui itu adalah enam agama termaktub di atas, sehingga Baha’i dan agama-agama di luar enam agama tersebut belum diakui atau bukan agama resmi bangsa Indonesia. Hal ini tentu kontradiktif dengan ketetapan konstitusi di atas yang tidak mencantumkan frasa “agama resmi” dan “agama yang diakui”, melainkan agama yang dipeluk dan agama yang dilayani. Ketiga, ketiadaan pengetahuan tentang sistem keyakinan, prinsip ajaran dan peribadatan agama Baha’i, membuat agama ini tidak dipandang sebagai agama independen tetapi sempalan dari agama lain, misalnya Islam.

Keempat , di dalam relasi sosial terdekat, yakni dengan tetangga, ketegangan antara pemeluk Baha’i dan non-Baha’i jarang terjadi. Hal ini disebabkan oleh keterbukaan umat Baha’i terhadap umat dan agama lain sebagaimana prinsip kesatuan agama dan kesatuan manusia di dalam Baha’i. Misalnya, pemeluk Baha’i dengan sukacita aktif di dalam pengajian untuk mendoakan tetangga Muslim yang meninggal atau sebaliknya; mengundang tetangga Muslim untuk tahlilan dalam acara doa kematian keluarga Baha’i. Konlik terjadi tidak di wilayah kampung tempat tinggal pemeluk Baha’i, melainkan dipicu oleh organisasi Islam seperti MUI, FUI atau Garda. Para pimpinan organisasi ini mengeluarkan fatwa sesat atas Baha’i dengan penjelasan yang tidak orisinal berasal dari Baha’i. Akhirnya, masyarakat secara luas mengenal Baha’i dari fatwa sesat tersebut.

Dari beberapa kesimpulan tersebut dapat disampaikan butir-butir rekomendasi, yakni: Pertama, perumusan tentang pelayanan agama di luar enam agama sebagaimana telah digagas oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama perlu segera dituntaskan dengan melibatkan berbagai instansi

98 k ustini &s yaiful a rif

terkait antara lain Kementerian Dalam Ketiga , pengetahuan atau informasi Negeri RI, Kementerian Koordinator tentang Baha’i perlu disampaikan kepada Kesejahteraan Rakyat RI, Kemendikbud,

aparat pemerintah, mulai dari Kantor serta Kemenhukham. Kedua, Kementerian

Wilayah Kementerian Agama., Kantor Agama RI perlu melakukan sosialisasi

Kementerian Agama Kota/Kabupaten, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965

Dinas Kependudukan dan Catatan tentang Pencegahan Penyalahgunaan Sipil, hingga Dinas Pendidikan dan dan/atau Penodaan Agama. Sosialisasi Kebudayaan. Dengan demikian pihak dirasakan sangat mendesak dilakukan terkait bisa menerima dan memahami terutama dalam rangka memberikan kesulitan umat Bahai untuk memperoleh pemahaman bahwa tidak ada agama pelayanan hak-hak sipil. yang “diakui” atau “belum diakui”.

Daftar Pustaka

Baha’i World Statistics , August 2001 CE Bryman, Alan. Social researsch methods (2nd ed). USA: Oxford University Press, 2004. De Vries, Jelle. Jamal Efendi and Sayyid Mustafa Rumi in Celebs: The Context of Early Baha’i

Missionary Activity in Indonesia, Baha’i Studies Review, Volume 14, Intellect Ltd, 2007.

Fathea’zam, Hushmand. Taman Baru. Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, 2009 Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia. Agama Baha’i , Februari 2013 Majelis Rohani Nasional Baha’i Indonesia, Doa , Maret 2008 Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/

atau Penodaan Agama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.

HARMONI September - Desember 2014

P enelitian

l ayanan dan k erukunan a gama di P erbatasan n egara :s tudi k asus di d istrik s ota m erauke

Layanan dan Kerukunan Agama di Perbatasan Negara: Studi Kasus di Distrik Sota Merauke

Muhamad Murtadho

Peneliti Badan Litbang dan Diklat kementerian Agama RI

Email: [email protected]

Diterima redaksi tanggal 22 Oktober 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

Abstrak

This research aims to examine the needs Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui of religious service and religious harmony

kebutuhan layanan dan kerukunan agama in the borderlands of the country. This

di masyarakat daerah perbatasan negara. research uses a case study approach,

Penelitian ini menggunakan pendekatan studying the Sota District in Merauke. Sota

studi kasus pada masyarakat Distrik Sota District is located at the border between Merauke (Daerah Perbatasan Indonesia- Papua Nugini). Penelitian di lapangan Indonesia and Papua New Guinea.This study inds that the level of religious menemukan bahwa tingkat pelayanan

agama yang diberikan pemerintah di daerah service provided by the government is still insuficient and needs to be strengthened. perbatasan negara masih rendah dan perlu

Religious leaders lack resources and this penguatan. Lemahnya SDM agamawan daerah perbatasan menyebabkan lemahnya

is one of the main reasons for decreasing kesadaran beragama dan merambat ke

social and religious awareness, which can kerukunan beragama. kerukunan antar

affect religious harmony. Further, inter- umat beragama di daerah perbatasan belum

religious harmony in this border region has terkelola dengan baik, dan berpotensi not been well managed and there is the

melahirkan kerawanan sosial. potential for social disorder in some cases.

Kata Kunci : Layanan Keagamaan, Keywords: Religious Service, Religious

Kerukunan Agama, Perbatasan Negara dan Harmony, State Borders, Religious Leaders

Agamawan

Pendahuluan

kerukunan umat beragama, tulisan ini akan mencoba mengkaji konteks

Perbatasan negara Indonesia saat masalah itu dengan mengambil obyek ini masih menjadi latar belakang dari

kajian di Papua. Papua mempunyai wajah bangsa. Daerah perbatasan identik

garis berbatasan negara secara langsung dengan keterbatasan akses pembangunan

dengan Papua Nugini.

dan ketertinggalan dalam pembangunan. Layanan negara biasanya masih minim

Papua, dilihat dari kekayaan untuk daerah-daerah seperti itu. alamnya, semua orang mengakui Paradigma garis perbatasan sebagai latar

bahwa Papua merupakan daerah kaya. depan negara belum menjadi kesadaran

Namun, karena rendahnya kualitas umum bangsa Indonesia. Untuk melihat

sumber daya manusianya menyebabkan bagaimana bentuk layanan agama dan

masyarakat Papua masih terbelakang

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

m uhammad m urtadlo

jika dibandingkan daerah-daerah lain bangsa multikultur dan multireljius, di Indonesia. Sumule mendeskripsikan

kerukunan hidup umat beragama keterbelakangan Papua sebagai berikut:

menjadi hal yang sangat penting dan 1). 74,24% masyarakat Papua tinggal

mendasar dalam kehidupan berbangsa di daerah dengan akses yang sangat dan bernegara di Indonesia. Kerukunan terbatas, bahkan tidak ada akses; 2).

hidup umat beragama bahkan menjadi dilihat dari sisi ekonomi, pendidikan, pilar penting bagi terwujudnya kerukunan kesehatan, penguasaan tehnologi, kurang

nasional, dan menjadi prasyarat mutlak lebih 80% masyarakat papua berada

bagi terwujudnya stabilitas politik dalam posisi terbelakang; 3). kebanyakan

dan keamanan yang niscaya bagi masyarakat Papua berada di bawah garis

terselenggaranya pembangunan nasional kemiskinan dan hanya 1,1% orang Papua

yang berkelanjutan. Semantara itu, umat yang menempuh pendidikan hingga beragama yang rukun ditandai oleh sikap- perguruan tinggi; 4). hampir tidak ada

sikap antara lain: toleran, cenderung jalan bermutu yang menghubungkan pada kedamaian/anti keke rasan, gemar antar daerah; 5). rata-rata harga barang di

bekerjasama, dan terbuka (open minded) Papua 45% lebih tinggi dibandingkan di

terhadap forum-forum komu nikasi daerah lain; 6). dalam 10 tahun terakhir

antarumat. Hanya saja, kondisi objektif elastisitas pertumbuhan ekonomi hanya

dewasa ini penduduk Indonesia belum memberikan peningkatan kesempatan seutuhnya berkarakter sebagai mana kerja sebanyak 0,4% (Sumule, 2006).

seharusnya.

Terkait dengan pembangunan dikeluarkan oleh Pemerintah RI untuk

di bidang agama di perbatasan mendongkrak kemajuan Papua, salah negara, kajian ini berupaya menjawab satunya Perpres Republik Indonesia pertanyaan penelitian yang dirumuskan Nomor 65 Tahun 2011 tentang Rencana

dalam beberapa pertanyaan berikut: 1). Aksi Percepatan Pembangunan Propinsi

Bagaimana deskripsi layanan agama di Papua dan Papua Barat Tahun 2011-2014

Distrik Sota Merauke? 2). Bagaimana menjadikan Kabupaten Merauke menjadi

gambaran kerukunan agama di daerah pusat pengembangan pangan dan energi

perbatasan? 3). Apa yang dibutuhkan terpadu atau Merauke Integrated Food masyarakat perbatasan terkait dengan

and Energy Estate (MIFEE) serta sebagai layanan agama dan keagamaan? Untuk pusat pengembangan minapolitan. menjawab pertanyaan ini, peneliti Pengembangan ekonomi wilayah ini mengambil kasus umat beragama yang diharapkan dapat memunculkan sentra

berada di Distrik Sota, sebuah distrik ekonomi yang nantinya akan mendukung

yang terletak di Kabupaten Merauke, pertumbuhan komoditas perbatasan, Papua. dalam hal ini komoditas pertanian dan energi sebagai komoditas yang

Penelitian ini dilakukan pada tahun diunggulkan. Pembangunan ini nantinya

2012 dengan menggunakan pendekatan akan membantu negara dalam sinergisme

penelitian kualitatif, yaitu menggunakan pelaksanaan pengamanan wilayah metode studi kasus. Jenis data yang

perbatasan (Hadi, 2011). dikumpulkan meliputi data tentang konteks permasalahan masyarakat Pembangunan sebuah daerah di

daerah perbatasan terkait layanan agama Indonesia dalam memajukan daerah dan keagamaan serta permasalahan- itu secara langsung atau tidak langsung

permasalahan layanan dan kerukunan melibatkan persoalan agama dan agama. Pengumpulan data dilakukan keagaman masyarakat yang ada. Sebagai

melalui tehnik survei ke lapangan untuk

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

melakukan pengamatan; wawancara dengan pihak-pihak terkait, serta studi

literatur, selanjutnya dilakukan analisis data yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia data dari lapangan dan kepustakaan.

Sekilas Distrik Sota, Merauke

Merauke mulai disebut-sebut menjadi bagian dari Indonesia sejak daerah itu menjadi pintu masuk pembuangan para tokoh nasional ke lokasi pembuangan Van Digoel, Papua. Argumen ini mematahkan anggapan orang Papua yang menyebutkan tidak adanya ketertaitan sejarah antara papua dengan Indonesia. Sejak tahun 1926, jenderal de Graef (Belanda) mengirimkan tahanan politik sebanyak 823 orang ke Van Digoel (Wanggai, 2009).

Berdasarkan catatan sejarah, Merauke ditemukan pada tanggal 12 Februari 1902. Orang pertama yang menetap di sana adalah pegawai pemerintah Belanda. Mereka mencoba untuk hidup di antara dua suku asli yaitu Marind Anim dan Sohoers. Mereka berjuang keras melawan keganasan alam (termasuk pemburu kepala). Lama kelamaan tempat tersebut mengalami pertumbuhan yang sangat cepat sehingga menjadi sebuah “kota”. Dari Merauke, orang Indonesia, Eropa dan Cina, mulai untuk “menyerbu” hutan di selatan Nugini untuk memburu burung sebanyak mungkin. Ketika pemerintah Belanda melarang perburuan, mereka semua kembali ke Merauke untuk menghabiskan uang yang mereka dapatkan (htp://www. kemendagri.go.id, diakses, 22 Oktober 2014).

Kondisi demograi Kabupaten Merauke merupakan Indonesia mini karena penduduk Merauke sudah heterogen dari berbagi etnis yang ada di Nusantara ini mulai dari suku asli Merauke (Marind, Jei, Kanum dan

Kimaam) juga suku suku lain seperti maluku, Timor, Bugis Makasar, Menado, Banjar, Dayak, Jawa, Batak dan Aceh juga ada di Merauke ini. Hasil pendataan Biro Pusat Statistik dan juga Data Pemerintah Kabupaten Merauke pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil menunjukan bahwa jumlah penduduk yang non-Papua lebih besar mencapai 63% dari jumlah penduduk yakni kurang lebih 185.718 jiwa yang sebagaian besar merupakan suku Jawa. Hal ini disebabkan sejak masa bergabungnya Irian Barat ke pangkuan NKRI tahun 1963 sudah ada upaya pemerintah mendatangkan transmigran yang ditempatkan di pinggiran Kota Merauke (Sidomulyo, Kumbe dan Kurik). Pada masa Orde Baru, di tahun 80-an program transmigrasi kembali digalakan dalam rangka pemerataan penduduk sekaligus mengolah sumber daya alam yang begitu luas dengan potensi pertanian yang sangat menjanjikan (Sunarjo, 2014).

Adapun Kecamatan Sota terletak di bagian timur Kab Merauke, berbatasan langsung dengan negara Papua Nugini. Posisi koordinat distrik Sota berada pada 7º 45’00’- 8º50’04’ Lintang Selatan dan 140º 41’04’ – 141º 12’00’ Bujur Timur. Di sana terdapat tugu kembaran dari tugu Sabang-Merauke yang merupakan tugu yang sama yang terdapat di Pulau Sabang Propinsi Aceh. Tidak jauh dari tugu Sabang Merauke, terdapat tugu batas negara yang memisahkan Indonesia dengan Papua Nugini. Distrik Sota merupakan batas negara yang bisa ditempuh dengan jalan darat. Sebenarnya ada tugu batas negara yang lebih selatan lagi, yaitu di Kondo, namun untuk ke sana harus menggunakan perahu motor yang ditempuh kurang lebih memakan waktu sehari.

Distrik Sota berbatasan di sebelah timur (negara Papua Nugini), sebelah Selatan (Kec Nokenjerai), Barat (Distrik Merauke, Distrik Tanah Miring, Distrik

m uhammad m urtadlo

Jagebob), Utara (Distrik Elikobel). Luas Pos Tentara Penjaga Perbatasan, Kantor Distrik Sota seluas 2.319,071 KM2 (5,06

Imigrasi, lembaga-lembaga pendidikan, % dari Kabupaten Merauke). Jumlah

depot bahan bakar minyak (Pertamina), penduduk di distrik Sota sebanyak masjid dan gereja. Untuk ukuran

3. 051 orang yang terbagi dalam 705 kecamatan, infrastruktur tersebut sudah Kepala Keluarga. Persentase penduduk

cukup lengkap, namun distrik ini belum pendatang 70% yaitu para transmigran,

dilengkapi pasar rakyat. Konon pernah dan 30% pribumi. Transmigran datang

ada gagasan untuk mendirikan pasar pada tahun 1995 dalam tiga gelombang

di sana, tetapi hingga sekarang belum yang hanya dibedakan dengan bulan terwujud. Alasannya karena tanah yang yang berbeda di tahun yang sama. Jumlah

sedianya akan dibangun pasar masih keseluruhan pendatang sebesar 320 KK.

dipermasalahkan oleh suku yang merasa punya tanah ulayat.

Gambaran lain tentang Sota adalah adanya pos tentara yang menjaga garis

Mata pencaharian penduduk perbatasan. Di sana tinggal kurang lebih

kebanyakan adalah petani, sebagaimana

30 tentara organik yang bertugas selama daerah transmigran lainnya yang

6 bulan. Setiap enam bulan sekali terjadi mengandalkan pertanian atau pergantian kelompok tentara. Mereka perkebunan. Sistem pertanian di sana berasrama di dekat tugu perbatasan. mengandalkan model pertanian tadah Setiap kali tamu yang datang untuk hujan. Selain padi mereka juga menanam mengunjungi tugu perbatasan, mereka

sayur mayur dan buah-buahan. Jual diwajibkan lapor dan menitipkan kartu

beli kebutuhan harian dilayani dengan identitas.

beberapa penduduk yang membuka kios di rumahnya masing-masing, di samping

Memasuki distrik Sota, terdapat adanya beberapa pedagang eceran yang beberapa gundukan tanah menjulang menawarkan barang dengan naik sepeda. antara 1 – 3 meter, orang di sana sering menyebut sebagai Musamus, yaitu rumah

Hubungan sosial masyakat Sota semut. Gundukan-gundukan itu akan diikat dalam semboyan Kabupaten terlihat beberapa kali di sepanjang jalan

Merauke: “Izakod Bikai Izakod Kai” (Satu menuju Distrik Sota, bahkan di kebun-

hati satu tujuan), artinya yaitu satu hati kebun banyak sekali Musamus yang untuk sama-sama mencapai kemajuan. tumbuh ibarat jamur kayu. Musamus Semboyan Merauke juga sering disebut juga telah djadikan sebagai suatu simbol

sebagai Istana Damai. Semboyan ini nilai positif oleh masyarakat di sana, yaitu

nampaknya menuntut warga untuk lihatlah karya, jangan melihat bagaimana

mengedepankan kedamaian. Peneliti kami membuat. Konon, Musamus itu menyaksikan relasi masyarakat hanya ada di Merauke, tidak ada di kota

pendatang dengan putera daerah lain. Hal ini menandai bahwa Musamus

terlihat saling sapa dan ramah satu sama merupakan salah satu ciri daerah lain. Namun demikian, dari beberapa Merauke.

wawancara yang kami lakukan, ada kesan bahwa dalam beberapa hal masyarakat

Distrik Sota terdiri dari 5 kampung adat masih memegang peranan

yaitu Kampung Sota, Kampung Turai, penting dan dominan dalam masalah Kampung Erambo, Kampung Janggadur,

penggunaan sebuah lokasi. Setiap dan Kampung Rawabiru. Pusat pembebasan tanah harus dikuti ganti

administrasi berada di Kampung Sota. rugi dengan pemimpin adat. Sekalipun Beberapa perkantoran ada di sana seperti

secara administrasi negara sebuah tanah Kantor Distrik Sota, Kantor Kepolisian

sudah bersertiikat, namun apabila belum Sektor, Pusat Kesehatan Masyarakat,

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

diikuti pembayaran adat, maka seseorang belum bebas menggunakan tanah yang dibelinya. Bahkan dalam beberapa hal, dalam pembangunan prasarana tertentu yang diinisiasi pemerintah terkadang masih terkendala adanya pihak adat yang masih mempermasalahkan status tanah. Beberapa rencana pemerintah membangun fasilitas umum seperti rencana pembangunan pasar, rumah sakit bisa gagal karena urusan tanah tidak kunjung selesai. Di tanah Papua, masih terdapat ketentuan yang setiap persoalan pemilikan dan penggunaan tanah harus diikuti penyelesaian adat.

Layanan Agama dan Keagamaan

Kabupaten Merauke terbagi dalam

20 Kecamatan. Menurut Martinus, Kepala Kementerian Agama Kabupaten Merauke, dengan jumlah kecamatan sebanyak itu, Kabupaten Merauke hanya mempunyai

3 Kantor Urusan Agama (KUA) yang fungsional. Bisa dibayangkan betapa beratnya beban yang harus dikerjakan seorang pegawai pencatat nikah (PPN) KUA untuk melayani wilayah kerja seluas itu. Sebenarnya mereka sudah mengusulkan penambahan dua KUA, namun hingga saat ini izin operasional kedua KUA belum keluar (Wawancara dengan Martinus, Kepala Kemenag Kabupaten Merauke, 26 Juli 2012).

Di samping minimnya jumlah KUA, terdapat realitas lain sebagaimana pernah diekspos Tribun Pontianak (12/12/2011) tentang Merauke sebagai daerah dengan tingkat perceraian tertinggi di Propinsi Papua. Setiap tahun Pengadilan Agama Merauke menyidangkan rata-rata sekitar 200 kasus perceraian. Ini menunjukkan bahwa pembinaan keluarga melalui bimbingan keagamaan dapat diduga masih rendah. Secara ideal, semua agama menganjurkan pernikahan dan memelihara pernikahan itu selama-lamanya. Sidiq, mantan

Ketua PA Merauke yang pindah tugas sebagai Ketua PA Parepare, Sulawesi Selatan, menjelaskan penyebab gugatan perceraian di Merauke antara lain suami tidak bertanggung jawab, telah berpisah dua tahun berturut-turut, dan sering terjadi percekcokan antara suami-istri (Lihat,

htp://pontianak.tribunnews. com/2011/12/12/perceraian-di-merauke- tertinggi-di-papua , Diakses, 22 Oktober 2014)

Dari aspek agama, masyarakat Distrik Sota terbagi dalam tiga pemeluk agama besar, yaitu Katholik, Islam,dan Kristen. Jumlah umat masing-masing agama adalah 210 orang (Katolik), 987 orang (Islam), dan 854 orang (Kristen). Untuk tempat ibadah, di Distrik Sota terdapat 3 masjid, 2 mushola, 9 gereja (Gereja Katolik, Gereja Protestan, Gereja Pantekosta dan Gereja Advent). Sedangkan dalam hal kegiatan keagamaan yang peneliti amati di Sota, Merauke dari kegiatan keagamaan yang dilakukan di kalangan Muslim, Kristen dan Katolik, tampak bahwa mereka menjalankan pendidikan keagamaan dengan tradisinya masing-masing. Di Islam ada majelis taklim, kegiatan kemasjidan, sedangkan di Kristen dan Katolik ada sekolah minggu, ibadah keluarga, pertemuan remaja. Kehidupan keagamaan nampaknya masih berjalan sendiri-sendiri, bahkan terkesan adanya sedikit kompetisi terselubung.

Di lingkungan Kristiani, baik Katolik maupun Protestan terdapat empat gereja aktif, yakni 1 Gereja Katolik dan 3 Gereja Kristen yaitu Gereja Protestan, Gereja Advent, Gereja Pantekosta, dan Gereja Advent. Masing-masing gereja dibina oleh satu orang pendeta. Di kalangan Kristiani, mereka mempunyai beberapa kegiatan keagamaan, seperti sekolah minggu, ibadah keluarga yang bergiliran dari rumah ke rumah, pertemuan remaja, sembahyang ibu-ibu setiap hari Minggu, sembahyang bapak-bapak setiap Minggu sore.

m uhammad m urtadlo

HARMONI September - Desember 2014

Dalam hal pembinaan, agama Katolik cukup berhasil membina masyakat putera daerah. Ini tergambar dari pengakuan Yanuarius Makonama (Pengurus Gereja Protestan) kurang lebih anggota jamaah gereja 70% putera daerah, sementara pendatang 30%. Meskipun untuk Merauke, jumlah Jamaah Katolik lebih banyak dari pada umat Kristen. Konon untuk daerah selatan Papua, yaitu Merauke, dominasi agama Katolik lebih besar dibandingkan dengan Papua Utara yang lebih banyak Kristen Protestan (Wawancara dengan Yanuarius Makonama, Pengurus Gereja Protestan,

27 Juli 2012). Di kalangan Muslim ada dua

kelompok jamaah majelis taklim yang aktif yaitu Majelis Taklim Al-Hidayah dan Majelis Taklim Muslimat. Selain itu ada satu majelis taklim bapak-bapak, namun tidak begitu aktif. Satu-satunya organisasi keagamaan yang aktif adalah keberadaan Pengurus Kesejahteraan Masjid (PKM). PKM berpusat di Masjid Nurul Huda yang berlokasi Jalan Trans Irian-Sota. Masjid ini mempunyai halaman yang cukup luas. Di lokasi yang sama Madrasah Ibtidaiyah As-Sunnah Al-Maarif beroperasi. Masjid ini menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat Muslim di sana. Bahkan konon pengurus ingin menjadikan tempat itu menjadi semacam Islamic Center di Sota. Cita- cita itu diwujudkan dengan mendirikan PAUD dan madrasah Ibtidaiyah di lokasi yang sama.

Di lingkungan Islam, organisasi keagamaan yang bergerak paling awal dari majelis taklim adalah Majlis Taklim Al-Hidayah, yang notabene berailiasi kepada kekuatan Golkar di era orde baru. Namun belakangan, kiprah Al-Hidayah mulai digantikan oleh Majlis Taklim Jamaah Muslimat dengan inisiatifnya mendirikan lembaga pendidikan PAUD dan Madrasah Ibtidaiyah. Kedatangan transmigran yang kebanyakan berasal

dari Jawa Timur menyebabkan organisasi dan tradisi NU lebih berkembang. Majelis Taklim Al-Hidayah beranggotakan 25 orang dengan jadwal pengajian setiap hari jumat, sedang yang muslimat beranggotakan 15 orang dengan hari pertemuan setiap hari Minggu.

Adanya beberapa institusi keagamaan di Distrik Sota, belum menjamin adanya penguatan religiusitas masyarakat. Keberhasilan pendidikan keagamaan masih minim, religiusitas masyarakat masih rendah. Menurut salah satu warga yang kebetulan PNS yang tidak mau disebut namanya, pendidikan keagamaan di Distrik Sota kurang berkembang. Ini bisa dilihat dari indikator sholat Jumat. Sholat Jumat sering hanya berisi 14 orang. Meskipun jumlah itu tidak memenuhi jumlah minimal 40 orang, namun sholat jumat tetap diselenggarakan. Menurutnya, ini terjadi karena beberapa faktor yakni: 1). Kurangnya pendidikan agama; 2). Tenaga penyuluh atau agamawan di daerah ini sangat kurang; 3). Kurangnya guru agama di sekolah formal (Wawancara dengan informan [tidak mau disebut nama], 27 Juli 2012).

Fenomena kurangnya tenaga penyuluh keagamaan di Distrik Sota ini menyebabkan salah satu warga transmigran yang kebetulan lulusan PGA di Jawa Timur bernama ibu Fathonah merasa terpanggil untuk menyelamatkan keadaan. Dengan ilmu agama yang diakuinya sangat terbatas maka dia mempertaruhkan dirinya untuk mengajar mata pelajaran agama di sekolah formal dan mengajar agama di rumah serta merintis berbagai aktiitas keagamaan (Wawancara dengan ibu Fathonah, 28 Juli 2012).

Untuk layanan pendidikan agama di sekolah, pada jenjang PAUD, awalnya karena PAUD yang ada hanyalah PAUD Mentari yang dilaksanakan oleh Yayasan Kristen, maka otomatis Untuk layanan pendidikan agama di sekolah, pada jenjang PAUD, awalnya karena PAUD yang ada hanyalah PAUD Mentari yang dilaksanakan oleh Yayasan Kristen, maka otomatis

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

layanan pendidikan agama yang ada adalah layanan pendidikan agama Kristen. Menyadari kenyataan itu ibu Fathonah pada tahun 2007 tergerak untuk mendirikan PAUD yang diberi nama PAUD Al-Firdaus. Dengan adanya PAUD Al-Firdaus barulah layanan pendidikan agama Islam untuk anak-anak mulai terlayani. Sedangkan untuk lembaga pendidikan formal di daerah sota secara keseluruhan dapat digambarkan sebagai berikut: ada dua lembaga pendidikan setingkat PAUD yaitu PAUD Mentari dan PAUD Al-Firdaus. Untuk Sekolah dasar, ada dua, yaitu SD Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) dan MI Al-Maarif dan di jenjang Sekolah Menengah Pertama terdapat SMP Negeri 11 Merauke. Sedangkan di jenjang menengah atas terdapat 1 sekolah yaitu SMKN 1 Sota.

Untuk jenjang di sekolah Dasar, khususnya di SD YPK Sota Merauke yang berdiri 1975, dari informasi yang berhasil diperoleh, layanan pendidikan agama hanya disediakan guru agama Kristen. Sementara untuk siswa Katolik dan Islam belum disediakan guru yang seagama dengan agama murid. Namun, berdasarkan survei peneliti ke lokasi, ternyata guru agama Kristen pun waktu itu juga tidak ada atau belum ada guru agama Kristen yang tetap. Tidak adanya layanan pendidikan agama sesuai dengan agama siswa inilah nantinya menjadi salah satu alasan kenapa Madrasah Ibtidaiyah di Sota Merauke didirikan.

Namun begitu, berdasarkan wawancara dengan ibu Rosina Rosalia Luhulima (PLT Kepala Sekolah), kelengkapan sumber belajar agama di SD ini cukup tersedia, yaitu adanya 20 eksemplar al Kitab (Wawancara dengan ibu Rosina Rosalia Luhulima (PLT Kepala Sekolah Yayasan Pendidikan Kristen), 27 Juli 2012). Kondisi ini sudah lebih baik, mengingat di madrasah yang ada di Sota malah belum mempunyai Mushaf al-Quran yang memadai.

Adapun pendidikan agama di SD YPK diarahkan untuk memahamkan keyakinan dan sikap Kekristenan, sesuai dengan misi Yayasan Pendidikan Kristen. Sedangkan untuk jenjang SMP, berdasarkan survei peneliti ke lokasi SMP Negeri 11 Merauke, ditemukan bahwa di sana telah disediakan guru agama. Sekolah ini berdiri 1997. Jumlah guru agama yang PNS yakni 1 orang Katolik,

1 Protestan; Islam (honorer). Jumlah murid kurang lebih 95 anak. Jumlah murid yang Muslim 45% dari total siswa. Kelas VII jumlah siswa yang beragama Islam sebanyak 24 anak, sedang di kelas

VIII terdapat tujuh anak dan di kelas IX terdapat 10 anak. Kalau diperbandingkan dengan siswa yang beragama lain, maka siswa yang beragama Islam di jenjang

SMP menempati jumlah yang tertinggi, mengingat jumlah siswanya terbagi dalam dua agama, yaitu Katolik dan Kristen. Namun demikian, justru layanan pendidikan agama Islam belum didukung guru tetap sebagaimana dua guru agama yang lain yang telah berstatus sebagai PNS.

Beberapa prasarana pendidikan Islam sebenarnya telah tersedia seperti yang dimiliki SMP seperti adanya mushola. Namun, nampak jelas pendidikan agama belum maksimal. Ini ditandai dengan belum optimalnya penggunaan mushola sebagai tempat ibadah. Mushola terkesan kurang terawat, kaca mushola pecah dan belum diganti. Ibu Fathonah, sekali lagi selain menjadi pengajar PAUD juga menjadi guru agama di sana, dan beliau menceritakan perihal masih terbatasnya pendidikan agama Islam di sana. Mengajari anak-anak mengaji merupakan pekerjaan tersendiri, mengingat banyak anak SMP yang belum mengenal huruf hjaiyah.

Dari sekian puluh jumlah siswa yang beragama Islam, ada satu anak memakai jilbab. Penggunaan jilbab di sana, dahulu pernah dipersoalkan,

m uhammad m urtadlo

HARMONI September - Desember 2014

dan ketika ada seorang anak yang memakai jilbab, berdasarkan hasil rapat guru, sekolah pernah mau melarang penggunaan jilbab dengan alasan masyarakat belum siap. Mengetahui akan dilarang, si siswa dengan dukungan orang tua mengancam akan memindahkan anak tersebut ke kota. Mendapat desakan seperti itu, sekolah akhirnya tidak berani melarang, khawatir dituduh melakukan pembatasan kebebasan beragama. Ternyata kekhawatiran masyarakat belum siap itu tidak terbukti, ternyata setelah si siswa dibiarkan berjilbab, tidak ada reaksi apapun dari masyarakat terhadap siswa tersebut.

Untuk jenjang SMA, pendidikan agama di sekolah tidak banyak berbeda dengan SMP. Guru agama yang belum semuanya PNS, menyebabkan kesan pendidikan agama sepertinya belum mendapatkan perhatian yang memadai. Persoalannya hampir sama dengan di SMP yakni tenaga pendidik yang terbatas, prasarana yang belum lengkap, bahkan di SMK belum ada mushola sebagaimana halnya di SMP, jumlah kitab suci al-Quran yang terbatas, dan buku-buku bacaan agama yang kurang memadai. Sedangkan untuk madrasah, di Distrik Sota hanya ada satu madrasah, itupun masih dalam status rintisan yaitu Madrasah Ibtidaiyah As-Sunah Al-Maarif II (Kelas jauh dari MI Al-Maarif I yang berada di Merauke). Madrasah ini baru dibuka pada tahun 2009 dan baru memiliki kelas I hingga kelas

IV. Jumlah murid keseluruhan adalah 35 siswa. Jumlah guru yang mengajar di MI sebanyak 4 orang. Cerita awal berdirinya MI ini adalah didirikan sebagai kelanjutan dari pendirian PAUD sebelumnya yang telah melahirkan lulusan sehingga untuk mewadahi lulusan PAUD, didirikanlah Madrasah Ibtidaiyah.

Selanjutnya, layanan pendidikan agama di SD YPK masih terbatas, yaitu hanya disediakan guru agama Kristen, sementara untuk siswa Muslim dan

Katolik tidak disediakan guru khusus yang seagama dengan mereka. Konon, dahulu pernah dikirimkan guru agama Islam, tetapi tidak diterima oleh pihak yayasan. Prihatin atas pendidikan agama yang kurang terlayani, serta adanya sinyalemen bahwa anak lulusan Al-Firdaus tidak diterima di SD YPK, maka ibu Fathonah dan kawan-kawan menggagas pendirian pendidikan Madrasah. Langkah pertama yang dilakukan ibu Fathonah adalah mencari lembaga pendidikan madrasah yang terdapat di Kota Merauke dan menemukan Madrasah Ibtidaiyah Al- Maarif. Kemudian ia memutuskan membuka kelas jauh dari MI Al-Maarif.

Kerukunan Umat Beragama

Sekilas masing-masing pemeluk agama di Distrik Sota leluasa dalam menjalankan ibadah. Setiap waktu sholat, masjid paling besar di tempat itu selalu mengumandangkan

adzan dengan menggunakan pengeras suara dan jemaah masjid leluasa melakukan puji-pujian, dan tadarus. Demikian pula lonceng dari gereja leluasa berbunyi sesuai dengan jadwal peribadatan umat Kristiani. Bebasnya menggunakan pengeras suara, menurut peneliti merupakan sebuah gambaran tersendiri betapa leluasanya relasi antar agama yang terjadi di sana. Namun di sisi lain, penulis masih merasakan adanya hubungan agama yang belum tuntas. Masyarakat terkesan masih terbelah antara pendatang dan penduduk pribumi. Orang pribumi identik dengan agama Katolik atau Kristen, sedang pendatang kebanyakan (pegawai, pedagang, transmigran) adalah Muslim. Hal ini sedikit banyak sering menimbulkan gesekan kecil yang perlu diantisipasi. Saiudin (2011) menyebutkan kebjakan transmigrasi oleh pemerintah pusat sering dituding oleh penduduk asli yang beragama Kristen sebagai misi Islamisasi secara terselubung dan sistematis.

l 107 ayanan dan k erukunan a gama di P erbatasan n egara :s tudi k asus di d istrik s ota m erauke

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Sebagai contoh, Pendirian Madrasah As-Sunah Al-Maarif II di Sota, satu- satunya madrasah di tempat itu, bukan tanpa masalah. Ada beberapa pihak yang sebenarnya masih keberatan dengan kehadiran madrasah ini. Terutama pihak SD Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) yang sebelumnya adalah satu-satunya SD di Distrik Sota. Saat itu sebenarnya sudah ada desakan apabila sebaiknya SD YPK dinegerikan, namun pihak YPK masih keberatan. Semula umat Islam beranggapan bahwa mendirikan SD umum akan lebih bermasalah karena itu bahasa terang-terangan untuk menyaingi SD YPK. Namun dengan mendirikan madrasah, para pendiri madrasah beranggapan bahwa madrasah lebih aman, karena didirikan untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk pendidikan agama anak mereka beranggapan karena kebutuhan pendidikan siswa Islam tidak terpenuhi, ditambah siswa Al-Firdaus tidak diterima di SD YPK mendorong ibu Fathonah dan teman-temannya bertekad mendirikan madrasah. Jelaslah dari sisi masyarakat Muslim, faktor pendorong didirikannya MI As-Sunah Al-Maarif adalah untuk mewadahi pendidikan untuk anak umat Islam.

Hingga penelitian ini diadakan, perjalanan lembaga pendidikan madrasah ini telah berjalan memasuki tahun keempat. Sejauh ini murid setiap kelasnya terus terisi. Hanya saja masalah tempat berlangsungnya pendidikan masih menumpang ke gedung PAUD Al-Firdaus. Ruang kelas yang hanya dua, akhirnya dibagi masing-masing menjadi

2 kelas, total menjadi 4 kelas. Karena masih menumpang, otomatis madrasah

ini belum mempunyai kekayaan sendiri, semuanya masih satu kepemilikan yaitu sarana prasarana PAUD Al-Firdaus.

Sekalipun terbatas, anak-anak sangat antusias mengikuti pendidikan. Guru-guru yang mengajar berjumlah empat orang, yaitu: Fathonah, Sri

Astuti, Jamilah dan Kusnaeni. Dengan menggunakan papan tulis kapur, pelajaran demi pelajaran dapat dilaksanakan. Peneliti melihat ada salah satu muridnya adalah berwajah putera daerah Papua yang berkulit hitam. Konon orang tua angkat anak tersebut sebenarnya masih Kristen, namun mereka tidak keberatan anaknya sekolah di madrasah. Pihak pengelola juga tidak mempermasalahkan hal tersebut, bahkan merasa senang berarti mereka bisa melayani pendidikan untuk semua.

Oleh karena itu, pada tahun 2009 dibuka kelas I MI dengan murid sebanyak

5 anak. Sebenarnya masih ada beberapa bagian masyarakat yang masih keberatan

dengan keberadaan MI ini, misalnya posisi madrasah yang menggeser jumlah siswa SD yang ada. Namun, menurut pengelola, hal ini dilakukan karena kepentingan menyelamatkan peserta didik dari kebutaan terhadap agama. Seiring waktu, masa depan madrasah ini masih perlu mendapatkan perhatian dari Kementerian Agama, terutama di masalah izin operasional dan kelengkapan sarana yang memadai. Semangat warga yang ingin menyelenggarakan pendidikan untuk anak mereka pantas diapresiasi. Belajar dari kasus madrasah di Sota, ternyata pendidikan madrasah sangat dibutuhkan untuk lokasi perbatasan. Hal ini mengingat tidak adanya sekolah dasar yang netral dari kepentingan agama kelompok tertentu. Menurut pelaku madrasah di Sota, seandainya di sekolah dasar telah mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama siswa, maka mereka tidak susah-susah harus mendirikan madrasah. Sementara kalau mendirikan SD umum dianggap lebih beresiko karena dianggap menggeser lembaga pendidikan dasar yang telah ada.

Permasalahan lain yang menghantui terkait kerukunan agama adalah pengelompokan sosial atas nama agama.

m uhammad m urtadlo

HARMONI September - Desember 2014

Penduduk lokal identik dengan Katolik atau Kristen, sedangkan pendatang adalah Islam. Waimbo dan Yuwono menyebutkan klasiikasi pendatang dengan sebutan “Amber”, dan penduduk lokal atau pribumi sebagai “Komen.” (Yuwono, 2012). Pengelompokan sosial ini bisa berbahaya bila salah satu kelompok kemudian bisa lebih maju dari pada yang lain. Pendatang yang kebetulan adalah para transmigran dari Jawa biasanya mempunyai keuletan dalam bekerja untuk menyambung hidup di daerah itu. Lama-lama secara sosial ekonomi, para pendatang banyak lebih berhasil hidupnya dibandingkan penduduk lokal.

Melihat kenyataan ini, Pemerintah Daerah Merauke melihat para transmigran mempunyai sawah atau ladang untuk bercocok tanam dan rumah dalam tanah kavling, mengambil inisiatif untuk membuatkan rumah kavling yang diperuntukkan untuk penduduk lokal. Terobosan ini bukan tanpa masalah, karena dengan memberikan penduduk fasilitas sebagaimana yang didapatkan para transmigran ternyata justru membuat penduduk lokal termanjakan. Tanpa kerja keras mereka toh bisa menikmati rumah kavling, sementara mental bekerja di kalangan penduduk lokal belum terbangun. Ini mungkin kerugian yang dimiliki oleh penduduk lokal.

Kerugian yang dirasakan oleh pendatang juga ada. Di kalangan muda pendatang muncul pemahaman kalau mau maju harus keluar dari daerah itu misalnya mereka melanjutkan pendidikan ke kota atau ke Jawa, Sulawesi dan daerah lainnya. Kerawanan yang disebabkan adanya kesenjangan yang makin menganga antara kelompok pendatang dan penduduk lokal, menyebabkan para anak muda memilih pergi dari daerah situ untuk belajar atau memperbaiki nasib yang lebih baik. Ketika mereka menjadi sarjana, kebanyakan mereka enggan untuk kembali ke daerah itu. Alih-alih dari pada memperkeruh suasana lebih

baik mencari kehidupan yang lebih baik di tempat lain.

Barangkali kita bisa berandai-andai, seandainya saja ada penduduk pribumi yang menjadi mualaf dan bersedia masuk Islam, mungkin rasa cemburu yang menimbulkan kontra produktif dari berbagai sisi itu tidak perlu terjadi. Tidak dipungkiri, memang ada satu dua orang lokal menikah dengan pendatang, namun biasanya yang melakukan atau berani menikah dengan pendatang ini adalah mereka yang secara agama memang tidak kuat. Akibatnya ketika masuk Islam, mereka juga termasuk orang yang kurang taat beragama. Agama ya sekadar agama. Jadi berharap kepada mereka untuk melakukan perbaikan keadaan pun seperti pepatah jauh panggang dari api, artinya tidak bisa berharap kepada orang-orang tersebut.

Namun, apapun kenyataannya, perencanaan terkait perkembangan keagamaan perlu dilakukan. Bukan sebaliknya, muncul anggapan orang dari pada penguatan agama berimplikasi pada kerawanan sosial, maka sebaiknya penguatan agama melalui pendidikan tidak perlu dilakukan. Mungkin ada sebagian pejabat daerah yang berpandangan seperti itu, sehingga pendidikan agama menjadi tidak prioritas. Namun mengingat agama adalah persoalan pribadi yang bisa jadi dinamis, maka sekali lagi perekayaasaan terkait kehidupan keagamaan perlu terus dilakukan seiring dengan usaha pembangunan daerah yang melibatkan spirit keagamaan sebagai potensi pendorongnya.

Sejauh ini potensi kerusuhan antar agama di Distrik Sota Merauke memang tidak sampai meledak menjadi kerusuhan sosial. Hal itu bisa jadi karena secara kebetulan di Distrik Sota terdapat pos tentara yang cukup kuat, sehingga riak sekecil apapun di masyarakat akan dengan mudah ditangani. Mengandalkan kekuatan militer dalam pendewasaan Sejauh ini potensi kerusuhan antar agama di Distrik Sota Merauke memang tidak sampai meledak menjadi kerusuhan sosial. Hal itu bisa jadi karena secara kebetulan di Distrik Sota terdapat pos tentara yang cukup kuat, sehingga riak sekecil apapun di masyarakat akan dengan mudah ditangani. Mengandalkan kekuatan militer dalam pendewasaan

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

masyarakat beragama tentu kurang tepat, sehingga model pendidikan agama yang mendorong pada kedewasaan dalam berelasi dengan umat beragama lainlah yang perlu terus dipupuk.

Ketika penelitian ini berlangsung, forum lintas agama seperti Forum kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang merupakan amanat PBM belum terbentuk. Peran-peran terkait komunikasi antar agama selama ini dimediasi oleh pemerintah. Hanya saja ketika pemerintah didominasi penduduk lokal yang notabene agamanya relatif homogen dan berbeda dengan agama kelompok pendatang, menjadikan mediasi yang dilakukan kurang maksimal. Pendatang harus lebih banyak mengalah dan menyadari bahwa mereka hanya pendatang. Suatu perasaan yang tidak positif untuk kelancaran pembangunan daerah.

Proil Guru Agama di Perbatasan

Minimnya agamawan di daerah perbatasan telah mendorong seorang ibu dari warga transmigran untuk berpartisipasi dalam layanan keagamaan. Dengan ilmu agama yang terbatas, ibu Fathonah dipaksa oleh keadaan untuk menjadi guru agama di daerah perbatasan negara. Nama ibu Fathonah peneliti temukan setelah wawancara dengan berbagai informan yang berhasil peneliti temui. Peneliti menyimpulkan bahwa Ibu Fathonah ini merupakan sosok penting dalam pelayanan agama dan keagamaan di daerah Sota Merauke. Ibu Fathonah kelahiran Jember, 1958. Ia menikah pada tahun 1981 dengan bapak Sulaiman kelahiran Sumenep 1949. Mereka tinggal di Balong, Jember, Jawa Timur. Tahun 1995 ibu Fathonah dan keluarga memutuskan bertransmigrasi karena ingin mengubah nasib. Waktu berangkat ke Merauke, ibu Fathonah sudah mempunyai 5 anak, dan anaknya bertambah satu selama berada di Sota, Merauke.

Ibu Fathonah lulusan dari sekolah PGAN (lulus 1977) di Balong Jember. Peran penting ibu Fathonah selain menjadi pimpinan Majelis Taklim Muslimat Distrik Sota, ia juga pendiri PAUD Al- Firdaus dan Kepala MI Al-Maarif Sota. Ibu Fathonah juga mengajar agama di SMP Negeri 11 Sota Merauke. Terpanggil oleh karena minimnya pelajaran agama untuk anak-anak, ibu Fathonah juga mengajarkan les bimbingan agama di rumahnya, yaitu dengan membuka Taman Pendidikan al-Quran (TPA) di rumahnya setiap sore hari. Berkali-kali dalam wawancara dengan peneliti, ibu Fathonah mengeluhkan tentang pelajaran agama pada anak-anak Sota. Ia nampak merasa sendirian dalam mencoba memberikan pelajaran agama semaksimal mungkin pada anak-anak. Ia juga merasa prihatin perihal masih rendahnya kemampuan baca al-Quran pada siswa SMP Negeri Sota. Kemampuan baca mereka masih di bawah kemampuan anak-anak madrasah yang dipimpinnya. Ia juga mencemaskan pembelajaran agama di Sota di masa depan. Di Sota sangat sedikit orang yang bisa mengajarkan agama, bahkan bisa dibilang tidak ada. Sementara untuk mengandalkan anak-anak yang belajar ke kota untuk kembali ke Sota, kemungkinan itu sangat kecil, karena tidak mustahil anak-anak Sota sekarang yang belajar ke pesantren di kota atau daerah lain nantinya tidak ingin kembali ke Sota.

Terpanggil oleh semua keadaan keagamaan di Sota ini, ibu Fathonah berniat mewakakan sebagian tanahnya untuk kepentingan agama. Ia sedang mengurus sertiikasi tanah wakaf sebanyak 2500 m2. Tanah ini nantinya disediakan untuk pembangunan madrasah, atau lebih jauh lagi pesantren. Ia merasa terpanggil untuk wakaf, karena di lokasi penyelenggaraan madrasah ini sering masih dipermasalahkan oleh orang adat tentang peruntukannya. Mengingat tanah tempat Masjid Nurul Huda berdiri adalah tanah fasos yang disediakan

m uhammad m urtadlo

HARMONI September - Desember 2014

oleh dinas transmigrasi yang kemudian dipergunakan untuk pembangunan masjid. Dengan tanah wakaf yang ibu Fathonah ingin lakukan, menurutnya tindakan ini dapat meminimalkan potensi konlik yang terjadi di sana.

Dengan dibantu suaminya, ibu Fathonah menjalani hidup sehari-hari di Sota dengan penuh pengabdian di bidang agama. Selain mengelola tanah kapling jatah bagian dari transmigrasi, ibu Fathonah beserta suami membuka kios di rumahnya. Di samping itu juga memproduksi tempe kedelai sebagai tambahan usaha. Pagi-pagi ibu Fathonah pergi mengajar di Madrasah, sore hari mengajar mengaji TPA di rumahnya. Karena-anak-anaknya yang berjumlah

6 orang sudah ke kota semua, maka ibu Fathonah mempunyai waktu yang banyak untuk melayani pendidikan agama setiap harinya.

Pembahasan

Dari deskripsi data di atas, secara umum bisa dikatakan bahwa layanan agama dan penciptaan kerukunan agama di Distrik Sota Merauke belum optimal. Di bidang layanan agama, keterbatasan Sumber daya Manusia (SDM) menjadi masalah yang paling mendasar. Tidak adanya SDM yang memadai menjadi penyebab kehidupan agama hanya mengalir apa adanya. Bisa diduga bahwa kesadaraan agama masih terkesan permukaan, sebatas menjalankan ritus dan aspek kesalehan tingkat dasar. Agama belum maksimal menjadi subyek pendorong kemajuan dan belum menjadi inspirasi pembangunan yang bisa menguntungkan semua pihak. Justeru sebaliknya, keadaan ini menyimpan kerawanan apabila agama menjadi sumber prasangka, kecemburuan dan mendorong potensi konlik antar kelompok masyarakat.

Secara formal, layanan agama secara administratif sejauh ini memang sudah bisa dilayani. Meskipun pelayanan itu masih jauh dari proporsional. Dari

20 kecamatan yang ada di Merauke, pelayanan pernikahan melalui Kantor

Urusan Agama (KUA) hanya dilayani oleh 3 unit KUA. Bisa dibayangkan bahwa betapa berat pelaksaan pernikahan yang dilayani oleh pegawai ketiga KUA. Berdasarkan informasi yang diterima dari Bimas Islam Kementerian Agama Kabupaten Merauke, saat ini jumlah kaum Muslimin di Merauke lebih dari sepertiga jumlah penduduk keseluruhan yakni berjumlah 83.110 kaum Muslimin (Suara Hidayatullah , Mei 2000).

Masih terbatasnya layanan agama juga terlihat dalam layanan pendidikan agama. Permasalahan- permasalahan yang dihadapi dalam pelayanan pendidikan agama di sekolah berdasarkan pengamatan serta beberapa wawancara yang peneliti lakukan dapat di antaranya adalah: 1). tidak semua sekolah di Sota Merauke melayani pendidikan agama sesuai dengan agama siswa; 2). terbatasnya guru agama yang tersedia di daerah perbatasan negara; 3). rendahnya pendidikan agama anak menyebabkan mereka harus diajari agama dari nol pada jenjang pendidikan yang semestinya lebih tinggi seperti SMP dan SMK 4). akibat minimnya pendidikan agama menyebabkan sarana-prasarana keagamaan seperti mushola dan perpustakaan agama kurang atau nyaris tidak berfungsi.

Hal yang sama terjadi pada lembaga pendidikan formal madrasah. Institusi madrasah belum sepenuhnya diterima masyarakat, karena dianggap pesaing bagi lembaga pendidikan sebelumnya. Banyak permasalahan yang dihadapi penyelenggara madrasah di Distrik Sota Merauke. Menurut pengakuan salah satu guru madrasah, masalah-masalah yang dihadapi madrasah antara lain: 1).

l 111 ayanan dan k erukunan a gama di P erbatasan n egara :s tudi k asus di d istrik s ota m erauke

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

masyarakat putra daerah, yang kebetulan beda agama, belum sepenuhnya menerima kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan; 2). sarana prasarana pendidikan yang dimiliki madrasah terbatas; 3). kompetensi SDM madrasah terbatas;

4). sumber pembiayaan pendidikan di madrasah terbatas; 5). ada sebagian orang tua siswa yang belum aktif beribadah, sehingga ketika melakukan pembiasaan siswa terhambat karena orang tua belum aktif beribadah; 6) lokasi tanah untuk pembangunan gedung madrasah sering dipermasalahkan oleh adat dan perlu pembebasan secara adat.

Permasalahan keagamaan di daerah perbatasan tidak saja sebatas keharusan layanan agama yang harus diberikan pemerintah kepada umat beragama, tetapi juga masalah kerukunan antar umat beragama. Adanya dikotomi “Amber” (pendatang) dan “Komen” (penduduk lokal) yang secara kebetulan beda agama menjadi satu permasalahan kerukunan tersendiri di Distrik Sota. Sekalipun sejauh ini konlik antar agama belum pernah terjadi hingga ke konlik horisontal, namun adanya jarak sosial yang disebabkan oleh kesenjangan sosial ekonomi akan mempunyai potensi kerawanan terhadap kerukunan beragama. Untuk itu, di Distrik Sota diperlukan usaha perencanaan sosial yang mengarahkan masyarakat untuk hidup lebih inklusif.

Usaha-usaha untuk menciptakan kerukunan umat beragama seperti membiasakan gotong royong antar iman, forum-forum yang memberikan kesempatan untuk membuat komunikasi yang lebih intens antar umat beragama mutlak diperlukan. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran pemimpin- pemimpin agama lokal akan kebutuhan dasar seperti itu. Sayangnya, keterbatasan agamawan di Distrik Sota menjadi salah satu hal mendasar di daerah itu. Idealitas suasana kerukunan antar agama dan

tidak ketersediaan SDM yang seharusnya menjadi pilar terciptanya suasana ideal, menjadi sebab masyarakat rentan terhadap kemungkinan provokasi. Di sinilah dibutuhkan kehadiran layanan agama dari pemerintah yang memberikan kesadaran baru bahwa agama hendaknya dapat menjadi sumber kebersamaan sosial di daerah perbatasan negara dan bukan sumber konlik.

Penutup

Beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari kasus Distrik Sota Merauke untuk melihat layanan agama dan kerukunan agama di daerah perbatasan negara antara lain: Pertama, pelayanan agama yang diberikan pemerintah di daerah perbatasan negara masih rendah dan perlu penguatan. Kedua, SDM agamawan daerah perbatasan sangat minim, bahkan terkadang tidak ada, sehingga memaksa orang yang secara ilmu agama kurang kompeten berperan menjadi guru agama. Ketiga, kerukunan antar umat beragama di daerah perbatasan belum terkelola sedemikian rupa, sehingga hal itu menjadi potensi kerawanan sosial bila tidak terantisipasi dengan baik. Keempat, penguatan layanan agama oleh pemerintah di daerah-daerah perbatasan negara sudah mendesak untuk dilakukan.

Sebagai jalan keluar, untuk mengoptimalkan peran agama dalam pembangunan daerah perbatasan negara peneliti mengusulkan agar Kementerian Agama RI menghidupkan forum-forum kerukunan seperti FKUB di daerah- daerah perbatasan. Usaha ini untuk menjawab minimnya aktiitas bersama baik antar umat beragama maupun antara warga pendatang dan warga lokal. Selain itu, untuk mengisi kekosongan agamawan di daerah perbatasan negara perlu diisi oleh pemerintah dengan mengirim penyuluh keagamaan yang

m uhammad m urtadlo

menguasai agama sekaligus sadar relasi kerukunan baru. Mengingat tidak kerukunan. Syarat itu mutlak diperlukan

mudah mengirimkan tenaga penyuluh di agar jangan sampai terjadi usaha daerah perbatasan, maka pengiriman bisa penguatan agama justru menimbulkan

dilakukan secara periodik dalam jangka konlik baru. Penguatan layanan agama

waktu tertentu secara berkenambungan. harus paralel dengan usaha menciptakan

Daftar Pustaka

As’ad, Muh., dkk. Biograi Tokoh Agama di Kawasan Timur Indonesia. Makasar: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama,

Hadi, S. Peranan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal di Perbatasan . Makalah Workshop Nasional Pertahanan Kawasan Perbatasan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1-2 November 2011.

Murtadho, M. “Izakod Bekai Izakod Kai: Pendidikan Agama Dan Keagamaan Di Ujung Merauke (Distrik Sota Kab. Merauke)” dalam Penelitian Pendidikan Agama dan Keagaman di Perbatasan Negara. Jakarta: Puslitbang Pendidikan agama dan keagamaan, 2012.

Romanus dan Sunarjo. Sekilas Tentang Kabupaten Merauke . Lihat htp://ramonus-sunarjo.

blogspot. Com/p/normal-0-false-false-false.html, Diakses, 17 Oktober 2014. Saiudin, “Analisis Peran Majelis Muslim Papua (MMP) dalam Membina Kerukunan

Antara Islam-Kristen di Kota Jayapura, ” yang dipresentasikan dalam The 11th Annual Conference on Islamic Studies (ACIS), di Bangka Belitung, 10–13/10/2011.

Sumule, Agus. “hak-hak Rakyat Papua Atas Sumber Daya Alam dan Peranan Mereka dalam Perekonomian modern dalam Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya di Papua Barat”, dalam Theodor Rathgeber (ed). Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya Di Papua Barat . Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006.

Waimbo dan Yuwono. “Dinamika Masyarakat Papua Pada Era Otonomi Khusus” dalam Kritis: Jurnal Studi pembangunan Interdisiplin. Vol XXI. No. 1. 2012.

Wanggai, Toni Victor M., Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tanah Papua. Jakarta : Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, 2009

Website

Geliat Dakwah di Kota Rusa Merauke. Suara Hidayatullah : Mei 2000/Muharram-Shafar 1421. Lihat htp://www.oocities.org/injusticedpeople/SHMeiGeliat Dakwah diKota Rusa Merauke.htm akses 20 Otkober 2014.

Kabupaten Merauke. htp://www.kemendagri.go.id/pages/proil-daerah/kabupaten / id/91/ name/ papua / detail/9101/merauke Akses 22 Oktober 2014

Perceraian di Merauke Tertinggi di Papua. htp://pontianak.tribunnews.com /2011/12/12/ perceraian-di -merauke-tertinggi-di-papua akses 22 Oktober 2014

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

P enelitian

Eksistensi Jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang

Nuhrison M Nuh

Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Email : [email protected] Diterima redaksi tanggal 22 Oktober 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

This study focuses on the Jemaah Ahmadiyah

Indonesia

(Indonesia

Ahmadiyah Community) in Kenanga Village, Cipondoh Subregency, Tangerang. While the existence of the JAI community has been questioned by many in Indonesia, this is not the case in Kenanga Village. In this village, JAI is well accepted by the local community. Several factors have led to this integration. First, local religious leaders have an attitude of tolerance and respect for diversity and inclusivity. Second, there are kinship relations between the two communities. Third, the local government has provided protection. Fourth, there is a high level of local public education. Fifth, the Ahmadiyah are involved in a variety of social and religious activities. To maintain the favorable conditions in Gondrong (Kenanga), this article suggests that the tolerant, open and inclusive attitudes of religious leaders must be maintained. The Government of Tangerang City should not submit to the pressure of militant groups who seek to disband Ahmadiyah. They should alsokeep in touch and interact with the local community and religious leaders.

Keywords: JAI, Integration Factor, Religious Leaders, Local Government.

Abstrak

Fokus penelitian ini adalah tentang eksistensi Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang. Sebagaimana diketahui di beberapa daerah eksistensi JAI banyak dipermasalahkan masyarakat, namun kejadian menarik justeru terjadi di Kelurahan Kenanga, kehidupan JAI dapat diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Penelitian ini menemukan beberapa faktor yang menyebabkan munculnya integrasi dalam msyarakat setempat. Pertama, para pemuka agama setempat memiliki sikap yang toleran dan menghargai perbedaan dan inklusif. Kedua, adanya hubungan kekerabatan; ketiga, Pemerintaha daerah yang memberikan perlindungan. Keempat, tingginya tingkat pendidikan masyarakat setempat dan

kelima, membaurnya anggota jemaat Ahmadiyah dalam berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Untuk mempertahankan kondisi yang kondusif di daerah Gondrong (Kenanga), maka disarankan agar terus

dipertahankan sikap pimpinan agama yang mempunyai pemahaman yang toleran, terbuka dan inklusif. Pemerintah Kota Tangerang agar tetap memegang prinsip tidak mau tunduk pada tekanan kelompok garis keras yang menghendaki pembubaran Ahmadiyah. Kelompok Ahmadiyah harus tetap menjalin silaturahmi dengan para pemuka agama setempat masyarakat.

Kata kunci : JAI, Faktor Integrasi, Pemuka Agama, Pemerintah Daerah

n uhrison m. n uh

Pendahuluan

bangunan milik Jamaah Ahmadiyah. Perdebatan yang terjadi justeru bukan

Fenomena munculnya berbagai tertuju kepada aksi kekerasan melainkan pemikiran, aliran, faham, dan gerakan

kesesatan Ahmadiyah. Pada tahun yang keagamaan di Indonesia beberapa tahun

sama di Nusa Tenggara Barat, kelompok terakhir ini, di satu sisi dapat dinilai positif

Ahmadiyah terusir dari tempat tinggalnya sebagai indikator kebebasan beragama.

dan mengungsi ke Mataram. Hingga Namun, di sisi lain, kebebasan dalam

saat ini, mereka belum dapat kembali ke mengekspresikan suatu pemikiran, aliran,

tempat asalnya.

faham dan gerakan keagamaan, dinilai menimbulkan keresahan masyarakat.

Pada tanggal 1 Juni 2008 Aliansi Kebebasan beragama memang djamin

Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama oleh Undang-Undang Dasar 1945, tetapi

dan Berkeyakinan (AKKBB), yang di tidak berarti orang boleh seenaknya dalamnya terdapat unsur Ahmadiyah, melakukan penodaan, pelecehan dan mengadakan apel di Tugu Monas pencemaran terhadap suatu agama Jakarta untuk memperingati Hari (Lihat, UU No 1/PNPS/1965).

Lahir Pancasila. Kegiatan yang penuh nuansa kekeluargaan ini diserang oleh

Perkembangan berbagai pemikiran, kelompok yang menamakan dirinya aliran, faham dan gerakan keagamaan

Komando Laskar Islam dengan alasan tersebut disebabkan oleh faktor internal

ada Ahmadiyah di dalam aliansi tersebut. dan eksternal. Faktor internal antara Pada tanggal 6 Februari 2011 terjadi

lain adanya perbedaan metode dalam pembantaian terhadap warga Ahmadiyah menafsirkan ajaran agama, kejumudan

di Cikeusik Pandegelang Banten (KH pemikiran dan pengamalan agama Imam Ghazali, 2011: 1-2).

(kemapanan) serta adanya ketidakpuasan terhadap pemikiran keagamaan

Selain itu, terjadi pula tindak mainstream selama ini. Akhirnya, kekerasan terhadap Ahmadiyah di di pemikiran, aliran, faham dan gerakan

Manis Lor Kuningan (2010), Parakan keagamaan alternatif menjadi niscaya Salak Sukabumi (2010), pembakaran

untuk muncul. Sedangkan faktor eksternal Masjid Ahmadiyah di Cisalada Kabupaten adalah adanya perkembangan informasi

Bogor (2010), dan pelemparan benda dan teknologi yang memunculkan tumpul terhadap Masjid Ahmadiyah di globalisasi, di mana pemikiran-pemikiran

Tasikmalaya pada pertengahan April 2012 yang berkembang di tempat lain dengan

(Lihat, DO Penelitian tentang Respon mudah dapat diakses oleh seseorang.

Pemuka Agama Terhadap Kebjakan Pemerintah Bidang Keagamaan [PBM

Perbedaan pemikiran, aliran, Menag – Mendagri dan SKB Menag, Jaksa faham dan gerakan keagamaan, terlebih

Agung, Mendagri, hal 1]). jika sudah dianggap sebagai aliran

sesat, apabila tidak disikapi dengan Di samping aksi-aksi kekerasan arif dan bjaksana dapat memicu

terhadap Ahmadiyah, beberapa daerah ketegangan, keresahan dan pertentangan

telah mengeluarkan Peraturan Gubernur di masyarakat. Salah satu buktinya berupa larangan terhadap kegiatan adalah peristiwa yang telah dialami oleh

Ahmadiyah. Peraturan Gubernur tersebut kelompok Ahmadiyah di beberapa tempat,

antara lain dikeluarkan di Provinsi Banten, di antaranya: seperti terjadi di Parung, 15

Provinsi Jawa Timur, Provinsi Sumatera Juli 2005, di mana sekelompok orang yang

Selatan dan Provinsi Jawa Barat. Namun menamakan dirinya Gerakan Umat Islam

demikian, ada juga gubernur yang tidak (GUI) membubarkan pertemuan tahunan

mau mengeluarkan Peraturan Gubernur Jamaah Ahmadiyah, dan menghancurkan

yang berkaitan dengan Ahmadiyah

HARMONI September - Desember 2014

115 karena menganggap hal tersebut sebagai

e ksistensi j emaat a hmadiyah di k elurahan k enanga k ecamatan c iPondoh k ota t angerang

dilakukan di Kelurahan Kenanga, wewenang pemerintah pusat dan juga

Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang, karena daerahnya masih kondusif. Hal

Provinsi Banten. Dipilihnya daerah ini ini sebagaimana dikemukakan oleh sebagai lokasi penelitian, karena di daerah Gubernur DIY Jogjakarta, Gubernur Nusa

ini penganut Ahmadiyah cukup banyak, Tenggara Barat dan Wakil Gubernur Jawa

namun mereka dapat mengamalkan Tengah (Disampaikan di depan acara ajarannya tanpa mendapat gangguan dari

Dialog dan Dengar Pendapat tentang masyarakat sekitar. Penanganan Permasalahan Ahmadiyah

Penelitian yang dilaksanakan di Indonesia: 29 - 30 Maret 2011) .

selama delapan hari ini berbentuk studi Di bebarapa tempat memang terjadi

kasus. Pengumpulan data dilakukan tindak kekerasan terhadap penganut melalui wawancara dan studi literatur.

Ahmadiyah, tetapi sebagian besar Wawancara dilakukan terhadap beberapa di daerah lain penganut Ahmadiyah pengurus dan anggota Jemaat Ahmadiyah, dapat hidup damai dengan kelompok

pemuka agama Islam, masyarakat mainstream, dan bahkan memperoleh sekitar, dan pemerintah setempat (ketua

perlindungan. Di antara kelompok RW). Sedangkan studi literatur terdiri Ahmadiyah yang nampaknya dapat dari hasil penelitian peneliti Puslitbang

Kehidupan Keagamaan, buku-buku hidup berdampingan dengan umat Islam

tentang Ahmadiyah, kliping Koran dan lainnya adalah Jemaat Ahmadiyah di website. Analisis data melalui tahapan Kota Tangerang tepatnya di Kelurahan

Kenanga Kecamatan Cipondoh. klasiikasi, interpretasi dan kemudian

ditarik beberapa kesimpulan. Kondisi semacam ini – di mana Jemaat Ahmadiyah dapat hidup

berdampingan dengan damai dengan Gambaran Umum Wilayah

masyarakat sekitar – menurut peneliti merupakan sebuah fenomena menarik,

Penelitian ini dilakukan di sehingga dipandang perlu untuk Kecamatan Cipondoh Kota Tangerang.

dilakukan penelitian. Hasil penelitian Kecamatan Cipondoh mempunyai luas wilayah 17,91 km 2 (9,72 % dari luas Kota

ini selanjutnya dapat djadikan contoh Tangerang). Kecamatan Cipondoh terbagi bagi daerah lainnya dalam menangani dalam 10 kelurahan, 97 Rukun Warga, dan masalah jemaat Ahmadiyah di daerah 585 Rukun Tetangga. Jumlah penduduk mereka masing-masing. Atas dasar sebanyak 227.396 orang (12,21 %), terdiri itu, penelitian ini bertujuan menggali dari laki-laki 115.536 orang, perempuan

informasi sebagai berikut: 1) Sejarah JAI 111.860 orang, sex ratio 103,29, dengan di Kelurahan Kenanga dan riwayat hidup kepadatan penduduk 12.697 orang per

pimpinannya; 2). Struktur kepengurusan;

km 2 .

3). Jumlah anggota dan persebarannya; 4) Aktivitas Jemaat Ahmadiyah di Kelurahan

Dilihat dari status pendidikan, Kenanga; 5). Respon pemerintah, pemuka

penduduk Kecamatan Cipondoh terdiri agama dan pemuka masyarakat setempat.

dari: (tidak/belum sekolah) 31.389 orang, (tidak tamat SD/sederajat) 20.574 orang,

Hasil penelitian ini diharapkan (Tamat SD sederajat) 30.187 orang, berguna bagi pimpinan Kementerian (SLTP/sederajat) 28.400 orang, (SLTA/ Agama di daerahnya masing-masing sederajat) 74.712 orang, (Diploma 1/ dalam membina kerukunan antara umat

II), 1.494 orang, (Akademi/DIII), 5.228 Islam arus utama dengan penganut orang, (DIV/SI) 12.581 orang, (S2) 795

Jemaat Ahmadiyah. Penelitian ini orang, (S3) 48 orang. Dari data ini tampak

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

n uhrison m. n uh

bahwa pendidikan penduduk Kecamatan putih kata masyarakat, hitam kata mereka, Cipondoh tergolong cukup tinggi, dimana

hitam kata masyarakat (Wawancara sebagian besar berpendidikan SLTA ke

dengan Kusnadi MZ, Ketua RW 04). atas. Sedangkan penduduk Kecamatan Cipondoh dilihat dari agama yang dipeluk adalah sebagai berikut: Islam 173.779

Sejarah dan Tokoh Pendirinya.

orang, Kristen 14.631 orang, Katolik 7.512 orang, Hindu 238 orang, Buddha 9.083

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) orang, Khonghucu 74 orang dan lainnya

berdiri pada tahun 1925 dan terdatar

26 orang. Data menunjukkan bahwa sebagai Badan Hukum di Departemen pemeluk agama Kristen dan Katolik paling

Kehakiman RI dengan surat No: banyak terdapat di Kecamatan Cipondoh

J.A5/23/137 Tanggal 3 Maret 1953 dan dibandingkan dengan kecamatan dimuat dalam tambahan berita negara RI lainnya. Hal ini mungkin karena di No: 26 Tangal 31 Maret 1953. Pusat JAI daerah ini terdapat banyak perumahan

terletak di Parung Jawa Barat. Saat ini di baru yang sebagian besar penguhuninya

Indonesia terdapat 186 cabang. Di tingkat merupakan para pendatang dan berasal

provinsi terdapat pengurus wilayah yang dari etnis Tiongkok. Sedangkan etnis membawahi beberapa cabang. Pimpinan Betawi merupakan penduduk asli di Pusat JAI sekarang ini diketuai oleh daerah Cipondoh terutama di Kelurahan

Abdul Basit.

Kenanga. Jemaat Ahmadiyah Cabang

Masyarakat Betawi dikenal sebagai Gondrong mulai berdiri pada tahun 1948, masyarakat yang religius, sangat hormat

didirikan oleh H. Siddiq, H. Teman dan H. terhadap pemuka agama. Mereka juga

Ahmad Dahlan. Menurut informasi pada dikenal sangat hormat kepada para waktu itu H Siddiq dan kawan-kawan kerabat, terutama terhadap mereka yang

ingin belajar agama, tetapi karena mereka dituakan (wak, paman, kakek, abang).

dikenal sebagai jawara, tidak ada yang mau Kekerabatan merupakan hal yang penting

menerima mereka untuk belajar agama. dalam masyarakat Betawi, terutama Kemudian, dari seorang temannya yang

dalam perayaan peristiwa-peristiwa bernama Supena yang bekerja sebagai lingkaran hidup (kelahiran, perkawinan,

guru, mereka memperoleh informasi dan kematian).

bahwa Supena mempunyai guru yang berada di daerah Jalan Balikpapan, pada

Di Kelurahan Kenanga terdapat waktu itu merupakan pusat kegiatan beberapa orang pemuka agama yang Ahmadiyah. Mereka kemudian belajar sangat dihormati, yaitu H. Bakri yang

agama di tempat tersebut dan kemudian memiliki Perguruan Nurul Hikmah menyebarkan paham Ahmadiyah di

dan KBIH Nurul Hikmah, H. Yusuf daerah Gondrong dan sekitarnya. dan H, Hasyim. Mereka mempunyai Penyebaran Jemaat Ahmadiyah di daerah paham yang tradisional, sebagai contoh

Peninggilan, Pinang sebetulnya asal khutbah di masjid mereka umumnya mulanya berasal dari daerah Gondrong.

memakai bahasa Arab. Pemuka agama Sebagaimana keterangan di atas, ketiga yang cenderung dianggap modern, orang ini berasal dari Suku Betawi. Itulah

seperti lulusan IAIN, kurang dihormati sebabnya jemaat Ahmadiyah di ketiga dibandingkan pemuka agama yang kecamatan tersebut berasal dari Suku

berpaham tradisonal tersebut. Umumnya Betawi (Wawancara dengan Margani, para pemuka agama tersebut sangat Ketua Cabang Ahmadiyah Gondrong, 16

didengar pendapatnya, putih kata dia,

Desember 2012).

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Pimpinan dan Struktur Kepengurusan.

Pimpinan Jemaat Ahmadiyah terdiri dari Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah dan Pengurus Cabang. Pengurus Pusat membawahi seluruh pengurus wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia. Pengurus Wilayah terdapat di setiap provinsi dan membawahi cabang- cabang di wilayahnya. Sedangkan pengurus cabang membawahi penganut Ahmadiyah di tingkat Kabupaten atau Kecamatan. Adapun mereka yang pernah menjabat Ketua Cabang Gondrong adalah sebagai berikut: H. Siddiq 1948 – 1964 (16 tahun); H.Sadeli 1964 -1969 (5 tahun); H. Sidiq 1969 – 1973 ( 5 tahun); H. Neman 1973 – 1978 (5 tahun); Amsir.S. 1978 – 1986 ( 6 tahun); Suparja 1986 – 1992 ( 6 tahun); Amsir S 1992 -1998 ( 6 tahun); Marzuki 1998 – 2001 ( 3 tahun); Suparja 2001 – 2004 ( 3 tahun); Marzuki 2004 – 2007 ( 3 tahun); Margani 2007 – 2013 ( 6 tahun). Setelah

6 tahun, posisi pimpinan dapat dipilih kembali apabila mendapat persetujuan dari Pengurus Pusat (Amir Nasional).

Berdasarkan data di atas, yang paling lama menjabat sebagai ketua cabang adalah H. Siddiq ( 21 tahun), yang merupakan pendiri Jemaat Ahmadiyah Cabang Gondrong. Sedangkan pendiri yang tidak pernah menjabat sebagai pengurus cabang adalah Kyai Ahmad Dahlan, yang meninggal pada tanggal 12 Desember 2012.

Sedangkan susunan Pengurus Cabang Gondrong Kenanga antara lain:

Ketua, Margani;

Sekretaris,

Khas Nurhendi; Sekretaris Tabligh, Asep Shobirin; Sekretaris Ta’lim, Sasmidi; Sekretaris Tarbiyat, Sutisna Padmadihardjo; Sekretaris Mal, Didi Syamsudin; Sekretaris Um, Khar; Sekretaris Um, Ammah Hendi Sapiih; Sekretaris Zifayat; Sekretaris Isyaat Ilham Nurkarim; Sekretaris Al-Wasiyat, Marzuki Usman; Sekretaris T. Jadid OPL Mulyono SB; Sekretaris Jaidad, Mumu Anwar; Sekretaris Ziraat, Imanudin;

Sekretaris Zanat Tjarat, Tri Sutrisno; Sekretaris Rishtanata Syarif Ahmad; Sekretaris Ta’limul Quran, Chaerul Saleh; Sekretaris Waqaf e Nou, Martin Suharyono; Sekretaris Waqi Jadid Tambahan, Nandang Kusuma; Sekretaris Audio Video, Abdul Khotob; Sekretaris Dhiafat, Imin Aditya; Sekretaris Mal Tambahan, Mohamad Husein; Sekretaris Waqi Jadid, Sugiharto; Sekretaris Jaidad, Mumu Anwar; Auditor Lokal, Amir Mufasir; Amin Iman Ahmad Nurjaman; Muhasib Bagus Rahman; Muballigh Shagir Ahmad. Sedangkan untuk pengurus wilayah terdiri dari ketua, sekretaris dan bendahara, karena hanya bertindak sebagai kordinator cabang. Semua kegiatan tersebut ada di masing- masing cabang.

Jumlah Anggota dan Persebarannya

Penganut Ahmadiyah di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh, juga di Kecamatan lainnya, umumnya terdiri dari suku Betawi. Antara penganut Ahmadiyah dengan penganut non- Ahmadiyah terdapat hubungan kekerabatan. Penganut Ahmadiyah wilayah Kota Tangerang terbagi dalam

10 cabang, yaitu: Gondrong (Kenanga), Peninggilan, Serua, Parigi, Penunggangan Timur, Warung Mangga, Tangerang, Pakuhaji, Pasir Semut, dan Penunggangan Barat.

Menurut AR Ramli, Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Banten, jumlah penganut Ahmadiyah di Provinsi Banten berjumlah 3245 orang, sebagian besar terdapat di Kabupaten/ Kota Tangerang dan Tangerang Selatan sebanyak 2450 orang. Berada di bawah Polda Banten 295 orang, dan di bawah Polda Metro Jaya 2950 orang. Mereka tersebar antara lain di Kecamatan Kota Tangerang 50 orang, Kecamatan Cipondoh 1000 orang, Kecamatan Pinang 600 orang, Kecamatan Cileduk 800 orang

n uhrison m. n uh

dan di Tangerang Selatan (Kec Pondok kerohanian yaitu diadakan pengajian Aren) 500 orang (Pos Kota, 16 Februari

seminggu sekali. Pengajian kaum bapak 2011). Data ini berbeda dengan data yang

diadakan setiap malam Jumat, diadakan disampaikan oleh pengurus wilayah di rumah anggota secara bergiliran. Tangerang, yang menyatakan jumlah Pengajian ibu-ibu diadakan setiap hari jemaat Ahmadiyah sebagai berikut: Selasa, untuk kaum remaja diadakan Cipondoh 1000 orang, Ciledug 800 orang,

setiap malam Senin, sedangkan untuk Tangerang 300 orang, Pinang 300 orang

anak-anak diadakan setiap hari, berupa dan Kabupaten Tangerang 100 orang.(

pengajian belajar membaca al-Quran Zaenal Abidin: 2011).

(seperti TPA). Pengajian ini bisa berbentuk ceramah dan diskusi. Topik yang dibahas

Jemaat Ahmadiyah Cabang adalah masalah-masalah yang sedang Gondrong (Kenanga) berjumlah 1000

hangat dihadapi oleh jemaat. Topik orang, cabang yang mempunyai anggota

ceramah atau diskusi bisa berdasarkan paling banyak di Kota Tangerang. usul dari jemaat, bisa juga dari sekretaris

Mereka tersebar di Kelurahan Kenanga, taklim. Penceramah biasanya dilakukan Kelurahan Gondrong, dan Kelurahan oleh muballigh, tapi untuk topik-topik

Petir. Sebagian besar angota JAI terdapat tertentu umpamanya masalah ekonomi, di RW 04 sebanyak 70% (700orang),

pertanian, bisa mengundang penceramah sedangkan sisanya tersebar di beberapa

dari luar. Di antara penceramah dari luar kelurahan di Kecamatan Cipondoh yang pernah diundang adalah Zuhairi

(Zaenal Abidin, 2011). Misrawi (Dosen Universitas Paramadina) Jemaat Ahmadiyah Cabang dan H. Bakri (Ketua MUI Kecamatan

Gondrong mempunyai sebuah masjid Cipondoh). Tetapi setelah keluarnya yang bernama Mahmudah, dengan SKB kegiatan diskusi dengan pihak

luas bangunan 600 m 2 , dibangun di atas

luar ditiadakan karena takut dianggap

tanah seluas 2000 m 2 . Umumnya jemaat

melanggar SKB.

Ahmadiyah di Kecamatan lainnya, Di setiap cabang biasanya melaksanakan shalat Jumat di Masjid ditempatkan seorang muballigh.

Mahmudah, yang juga berfungsi sebagai Muballigh ini biasanya bertugas selama Kantor Pusat Wilayah Kota Tangerang.

tiga tahun, setelah itu di mutasi ke daerah Di atas tanah tersebut selain dibangun

lain. Sebelum diangkat sebagai muballigh, masjid juga terdapat kantor, majelis mereka dididik terlebih dahulu selama

taklim, madrasah, BMT dan Posyandu. tiga tahun di Parung. Calon muballigh Selain itu mereka masih mempunyai berasal dari tamatan SMA, dan sejak

tanah kosong seluas 2000 m 2 .

tahun 1997 menerima tenaga muballigh dari sarjana. Pendidikan muballigh secara kontinyu diadakan sejak tahun 1980.

Aktivitas JAI Cabang Gondrong Sekarang ini peserta pendidikan berasal

(Kenanga).

dari masing-masing provinsi dan biaya pendidikan tersebut ditanggung oleh

Aktivitas Jemaat Ahmadiyah terbagi dalam dua kegiatan, yaitu kegiatan di

pengurus pusat (Amir Nasional). Para muballigh memperoleh gaji tetap, seperti

bidang kerohanian dan kegiatan sosial. Pertama, Kegiatan kerohanian. Orientasi

pegawai negeri. Gajinya disesuaikan dengan gaji pegawai negeri dengan

kegiatan Ahmadiyah lebih menekankan pada masalah kerohanian, kecuali pada

standarnya dinaikkan sedikit. Muballigh daerah-daerah yang sangat membutuhkan

disediakan rumah tipe 70 yang dibangun seperti di Afrika baru dibangun rumah

oleh jemaat yang terletak berdampingan sakit dan sekolah. Di antara kegiatan

dengan masjid. Untuk periode 2010-2013

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

muballigh yang bertugas adalah Shagir Ahmad yang sebelumnya bertugas di Bengkulu.

Kedua, Kegiatan Sosial. Jemaat Ahmadiyah lebih banyak menekankan kegiatan kerohanian dari pada kegiatan sosial seperti sekolah, rumah yatim piatu, dan panti jompo. Menurut mereka kegiatan semacam itu sudah dilakukan oleh organisasi-organisasi keagamaan lainnya seperti NU dan Muhammadiyah. Untuk memperkuat solidaritas di antara anggota jemaat diadakan arisan kelompok ibu-ibu dan kelompok bapak- bapak. Apabila ada anggota jemaat yang ditimpa kesulitan, para anggota lainnya berusaha untuk membantu meringankan beban mereka yang ditimpa musibah. Dalam waktu-waktu tertentu mereka ikut kerja bakti di lingkungan masyarakat sekitar. Hal ini dilakukan untuk menjalin komunikasi dengan masyarakat sekitar. Dalam membangun jalan H. Rahmat Ali misalnya, mereka menjadi sponsornya, karena di sepanjang jalan tersebut sebagian besar anggota Ahmadiyah.

Mereka juga melakukan donor darah dua kali dalam setahun. Dalam kegiatan tersebut banyak anggota Jemaat Ahmadiyah yang ikut berpartisipasi. Bahkan ketika PMI kesulitan memperoleh donor darah seperti ketika bulan puasa, biasanya PMI datang ke Kantor Ahmadiyah untuk meminta pertolongan. Selain itu, anggota Ahmadiyah banyak yang aktif menjadi anggota Bank Mata (calon donor mata). Di Indonesia masih jarang orang yang mau mendonorkan kornea matanya setelah meninggal, tetapi di kalangan angota Ahmadiyah sudah banyak yang terdatar menjadi calon donor mata.

Selain itu, tanah lapang di depan masjid dibuat Posyandu yang digunakan untuk melayani masyarakat RW 04 Kelurahan Kenanga. Masyarakat tidak mempunyai tanah untuk djadikan tempat kegiatan Posyandu, sehingga pengurus

Ahmadiyah menyediakan tanah. Kegiatan Posyandu yang dilaksanakan dua kali dalam sebulan ini tidak hanya melayani anggota Ahmadiyah tetapi juga penduduk sekitar yang bukan anggota Ahmadiyah. Posyandu ini melayani anak- anak di bawah lima tahun (Balita) dan mereka yang telah lanjut usia (Lansia).

Jemaat Ahmadiyah Cabang Gondrong juga memiliki BMT. BMT ini baru berfungsi sebagai tempat menyimpan uang dan belum diberikan izin untuk meminjamkan uang. Kegiatan BMT antara lain membantu anggota membayar telepon dan listrik, bayar biaya sekolah, jual beli barang secara kredit, dan memberikan jasa seperti pengeboran sumur, penambahan daya PLN dan pembangunan rumah. Mereka yang ikut kegiatan BMT tidak hanya anggota Jemaat Ahmadiyah tetapi juga masyarakat Islam lainnya, bahkan ada mereka yang beragama Kristen ikut menabung di BMT ini.

Selanjutnya, untuk membiayai kegiatan Ahmadiyah baik internasional, pusat dan lokal, di pungut dari anggota secara sukarela. Di antara anggota, jumlah dana yang diberikan berbeda antara anggota yang satu dengan anggota lainnya, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Menurut keterangan Ketua Cabang JAI Gondrong, dalam sebulan terkumpul dana sebanyak Rp 70.000.000, (Tujuh Puluh Juta Rupiah). Dana ini ada yang disetorkan ke pusat, ada juga yang digunakan untuk kegiatan lokal. Mengenai canda wajib ‘am ditetapkan sebesar 1/16 dari penghasilan anggota.

Kegiatan Sosial Keagamaan

Dalam kegiatan sosial keagamaan terjadi hubungan yang sangat baik, mereka saling mengunjungi dan mengundang. Pada umumnya terdapat persamaan di antara mereka tentang

n uhrison m. n uh

kegiatan sosial keagamaan, meskipun tata Berdasarkan pengalaman, 90% jemaah caranya berbeda. Dalam memperingati

haji JAI berangkat melalui KBIH Nurul hari-hari besar Islam, seperti Maulid Hikmah pimpinan H.Bakri (tokoh agama Nabi, Isra Miraj, umumnya mereka setempat). Selain itu ada beberapa anak saling mengundang. Anggota jemaat anggota JAI yang sekolah di Madrasah Ahmadiyah apabila diundang pasti Ibtidaiyah milik H. Bakri (Yayasan datang. Sedangkan apabila yang Nurul Hikmah) (Wawancara dengan H. mengundang dari Ahmadiyah, umat Damanhuri, 21 Desember 2012). Islam lainnya hanya sebagian kecil yang datang. Tetapi dalam perayaan

Berdasarkan data-data di atas perkawinan, kematian, dan kelahiran dapat dimaklumi apabila di antara kedua umumnya mereka saling mengunjungi

kelompok ini terjalin hubungan yang apabila diundang.

harmonis, karena di antara mereka telah tertanam budaya toleransi.

Ketika Idul Fitri umumnya mereka saling berkunjung, karena sebagian besar dari mereka masih memiliki hubungan

Respon Pemerintah, Tokoh Agama dan

kekerabatan. Sesama tetangga juga saling

Masyarakat.

bersilaturahmi dan meminta maaf. Dalam hal zakat itrah biasanya juga dibagikan

Sekretaris Daerah Kota Tangerang. kepada masyarakat non-Ahmadiyah.

aktiitas Jemaat Zakat itu diberikan melalui pengurus Ahmadiyah tersebut tidak mengganggu mushalla, masjid, RT dan RW setempat,

“Selama

dan masyarakat masih bisa menerima untuk menghindari tuduhan mereka

kehadiran mereka, Pemerintah Kota menyebarkan ajaran kelompoknya. Tangerang menilai belum perlu adanya

Dalam kegiatan Idul Qurban, JAI Cabang pelarangan bagi mereka. Hubungan

Gondrong selalu melibatkan masyarakat JAI Kota Tangerang dengan masyarakat sekitar. Sebagai contoh pada tahun 1432

non-JAI kondisinya sangat baik. Kondisi

H warga JAI yang berkurban sebanyak 65 yang aman dan kondusif ini yang

orang, dan jumlah hewan kurban tersebut akan dipertahankan Pemerintah Kota terdiri dari 5 ekor sapi (35 orang), 30 ekor Tangerang. Kita tidak mau ikut-ikutan kambing. Dari sejumlah itu 300 bungkus latah mengeluarkan Peraturan Daerah

dibagikan kepada anggota Jemaat maupun Peraturan Walikota padahal Ahmadiyah, sedangkan siasanya 1150

peraturan tersebut tidak dibutuhkan Kota bungkus dibagikan kepada masyarakat

15 Maret 2011). di luar Ahmadiyah. Selain itu, 10 ekor

Tangerang” (Republika,

kambing dibagikan pula ke mushallah dan masjid atas pengajuan permintaan panitia setempat kepada pengurus

H. Mayoris Namaga (Juru Bicara Pemerintah Ahmadiyah.

Kota Tangerang)

Dalam rangka menunaikan Pihaknya tidak akan melarang ibadah haji, warga JAI tetap diberikan

kegiatan Ahmadiyah di wilayah ini kesempatan. Menurut Damanhuri karena kegiatan mereka selama ini seorang pengurus KBIH Nurul Hikmah,

dianggap tidak mengganggu aktiitas sepanjang ia memiliki KTP dan ditulis

penduduk sekitar, apalagi menimbulkan beragama Islam, tidak ada alasan bagi

keresahan atau konlik. Pemerintah Kota kami untuk menolak pendataran mereka.

Tangerang belum melakukan pembatasan Pihak Kantor Kementerian Agama Kota

terhadap Ahmadiyah sesuai peraturan, Tangerang pun mengatakan demikian.

karena memang dianggap warga setempat tidak meresahkan. Selama ini

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

aktivitas Ahmadiyah hanya dilakukan dalam ruang lingkup komunitasnya saja. Sehingga dianggap tidak menjadi masalah bagi penduduk sekitar, karena mereka selama ini memang sudah dapat hidup rukun dan saling menghargai menurut keyakinan masing-masing. Bahkan Jemaah Ahmadiyah yang ada di Kota Tangerang sekitar 5000 orang dan mayoritas mereka berdomisili di Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh (Dikutip dari Arsip Berita Com; Ahmadiyah Cipondoh Tangerang Bersedia Taati Aturan Gubernur, 7 Maret 2012).

Kepala KUA Kecamatan Cipondoh. Keberadaan Ahmadiyah di

Cipondoh selama ini baik-baik saja, tidak ada tindakan anarkis yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini disebabkan antara anggota JAI dan masyarakat sekitarnya terdapat hubungan kekerabatan, seperti halnya Ketua Cabang Ahmadiyah, Drs Margani merupakan keponakan dari H. Bakri yang dikenal sebagai tokoh agama paling disegani di Kelurahan Kenanga. Mertua Margani, H. Asni dua beradik dengan H. Bakri. Ketua RW 04 Drs. Kusnadi merupakan keponakan H.Asni yang merupakan mertua dari Margani. Dengan demikian, terlihat adanya hubungan kekerabatan yang cukup dekat di antara mereka (Wawancara, 17 Desember 2012).

H. Damanhuri, S.Ag (Ketua KBIH Nurul Hikmah).

Dia merupakan lulusan UIN Jakarta tahun 2007, berusia 27 tahun dan merupakan anak kelima dari H. Bakri. Dia memanggil salah satu tokoh Ahmadiyah dengan sebutan Kyai. Ketika seorang tokoh Ahmadiyah, Kyai Ahmad Dahlan meninggal dunia, dia datang berta`ziyah. Menurutnya, JAI di Kenanga,

secara sosial tidak ada masalah. Apabila mereka mengadakan peringatan Maulid dan Isra Miraj kita diundang, dan apabila kita mengadakan acara maulid dan Isra Miraj mereka kita undang. Umumnya mereka datang kalau diundang. Ketika ayahnya menjadi Ketua MUI Kecamatan Cipondoh pun apabila diundang selalu dating dan dia datang dalam kapasitas sebagai Ketua MUI bukan sebagai pribadi. Menurut Damanhuri, untuk menciptakan kedamaian dan keamanan dalam masyarakat kata kuncinya adalah “Damai itu Indah”; serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, orang Kair Dzimmi saja dilindungi ketika Nabi Muhammad di Madinah, apalagi mereka, masih menyebut La ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Selain itu, menurut Damanhuri, pemuka agama di sana dalam berdakwah selalu mengajak hal-hal yang baik, karena semua orang senang dengan hal yang baik- baik. Dahulu pernah ada penceramah yang memprovokasi masyarakat agar berbuat kekerasan terhadap Ahmadiyah, kemudian diperingatkan oleh pemuka agama setempat agar tidak berdakwah seperti itu lagi. Menurut Ayahnya, apabila terjadi keributan yang rugi semuanya. Dulu pada tahun 1998 pernah terjadi keributan berupa perusakan asset Ahmadiyah, dan karena dianggap sebagai tokohnya, H. Bakri ditangkap dan masuk penjara. Ketika itu keluarganya kurang terurus. Berdasarkan pengalaman tersebut dia selalu mengingatkan kepada masyarakat untuk menghindari tindakan anarkis terhadap kelompok Ahmadiyah.” (Wawancara tanggal 21 Desember 2012).

H. Jaurat (Pimpinan Pondok Al-Hidayah Gondrong)

Menurutnya orang-orang Ahmadiyah itu bisa dianggap sebagai Kair Dzimmi. Kalau orang Kristen dan agama lainnya saja dianggap sebagai Kair Dzhimmi, mengapa orang Ahmadiyah tidak bisa

n uhrison m. n uh

HARMONI September - Desember 2014

digolongkan kepada Kair Dzimmi. Kalau

Dzimmi, maka dia harus mendapat perlindungan dari umat Islam. Dia

sangat tidak setuju terhadap mereka yang bertindak anarkis terhadap penganut Ahmadiyah. Terhadap sesama manusia kita harus saling hormat menghormati. Dalam bermasyarakat kita harus saling menghargai. Dia mencontohkan dengan sebuah jalan umum. Menurutnya, siapa saja berhak untuk menggunakan jalan umum tersebut tanpa melihat suku, agama dan status sesorang. Begitu pula penganut Ahmadiyah, sebagai warga negara berhak hidup di negara Indonesia ini dan harus memperoleh perlindungan. Berkaitan dengan masalah akidah kita masing-masing saja: “lakum dinukum waliyadin” . Merusak itu gampang, membangun kedamaian itu yang susah. Kita jangan cari musuh, kalau ditangkap anak kita mau dikasih makan apa? Menurutnya salah itu ada dua macam, yaitu salah zat dan salah sifat. Salah zat tidak bisa kita campuri karena itu hak masing-masing individu, sedangkan salah sifat (perilaku) itu yang bisa kita turut campur. Masalahnya apakah orang Ahmadiyah sudah melakukan salah sifat, tidak! Mereka justeru memiliki perilaku yang baik, untuk itu tetap harus dilindungi dan dihormati sebagai manusia. Ada dua hal yang menyebabkan masyarakat dapat hidup harmonis dengan orang Ahmadiyah, pertama karena hormat sebagai tetangga, yang kedua hormat karena bersaudara, bahkan kalau mungkin ketiga karena seagama (Wawancara tanggal 21 Desember 2012).

Drs. H. Kusnadi, MZ (Ketua RW 04) Kusnadi adalah alumni IAIN

Jakarta tahun 1985 dari Fakultas Adab. Saat ini dia menjadi guru agama di SMA

18 Tangerang, Kepala Sekolah SMK Nurul Hikmah, dan menjadi Ketua RW

04 Kelurahan Kenanga. Menurutnya,

masyarakat di sini dapat hidup rukun antara anggota JAI dengan non-JAI karena ada hubungan kekeluargaan, dan itu sudah berjalan sejak dahulu. Secara akidah memang berbeda, tetapi secara sosial kita dapat hidup rukun. Sebagai Ketua RW, dalam masalah sosial saya harus mengayomi semua pihak. Dalam masalah akidah prinsipnya “lakum dinukum waliyadin”.

Di daerah ini sudah biasa terjadi perkawinan antara mereka yang anggota Ahmadiyah dengan mereka yang bukan Ahmadiyah. Hal itu tidak menjadi masalah, tergantung keimanan masing-masing. Ada orang Ahmadiyah yang keluar dari Ahmadiyah, tetapi ada pula mereka yang masuk Ahmadiyah. Pada umumnya terjadi perkawinan antara mereka yang sesama anggota Ahmadiyah. Perkawinan mereka dilayani oleh KUA Kecamatan, bahkan mereka mempunyai amil tersendiri yaitu H. Endi Syaii. Dalam pengurusan E. KTP juga tidak ada masalah, dalam kolom agama tetap dicantumkan agama Islam. Dalam pelaksanaan ibadah haji, walaupun sudah ada larangan untuk melayani mereka yang berasal dari Jemaat Ahmadiyah, tetapi Kantor Kementerian Agama tetap melayani, sepanjang dalam KTP-nya tercantum beragama Islam. Di daerah ini pemerintah daerah dan aparat kementerian agama tidak melakukan tindakan diskriminatif terhadap jemaat Ahmadiyah. Dulu pernah ada penceramah (Syekh AJ) yang mengkritik Ahmadiyah berkaitan dengan kenabian, tetapi masyarakat asli sudah mengerti jadi tidak terpengaruh.

Secara sosial, partisipasi orang Ahmadiyah sangat tinggi jika dibandingkan dengan masyarakat non- Ahmadiyah. Mereka selalu terlibat dalam kegiatan gotong royong, suka membantu, memberikan santunan kepada orang-

123 orang yang membutuhkan (anak yatim,

e ksistensi j emaat a hmadiyah di k elurahan k enanga k ecamatan c iPondoh k ota t angerang

(Kenanga). H. Muslim mempunyai anak janda). Menurut Kusnadi, setelah bernama Kusnadi, Ketua RW 04, yang keluarnya SKB, kegiatan kerohanian yang

merupakan keponakan dari H. Anis. melibatkan orang Ahmadiyah dari luar

Dengan demikian antara Kusnadi dan sudah berkurang. Dulu banyak kegiatan

Margani terdapat hubungan sepupu yang mendatangkan orang-orang (kakak dan adik). Demikian pula (Alm) Ahmadiyah dari luar Kenanga. Di sini,

H. Sidik, Pendiri Ahmadiyah yang salah seorang Ketua RT, yaitu Ketua RT 04

mendirikan Masjid Mahmudah, dan RW 04 Kelurahan Kenanga, Pak Nurzali

H. Imin adiknya (non-Ahmadiyah) berasal dari Anggota Ahmadiyah. Hal ini

mendirikan Masjid Al-Ishlah yang terjadi karena memang sebagian besar

jaraknya sekitar 100 meter, namun mereka warga RT 04 merupakan anggota Jemaat

tidak saling mengganggu. Demikian Ahmadiyah (Wawancara, 21 Desember

juga warga yang lainnya, masih banyak 2012).

yang terdapat hubungan darah di antara mereka. Dalam budaya Betawi mereka sangat menghargai orang yang lebih

Analisis

tua (encang, encing, engkong), meskipun mereka berbeda paham keagamaan.

Jika di beberapa daerah, komunitas Ahmadiyah mendapat perlakuan yang

Ketiga , Pemerintah Daerah berani kurang menyenangkan seperti diusir melawan tekanan dari pihak tertentu,

dari tempat tinggalnya, bahkan ada agar Pemerintah Kota melarang kegiatan yang terbunuh, ada yang dirusak tempat

Ahmadiyah, berdasarkan Pergub Provinsi ibadahnya, tetapi di Kota Tangerang Banten. Pemerintah bertekad melindungi terutama di Kelurahan Kenanga mereka

Ahmadiyah dengan pertimbangan dapat hidup secara harmonis dan rukun.

masyarakat dapat hidup secara harmonis, dan Ahmadiyah tidak menimbulkan

Berdasarkan uraian sebelumnya, keresahan dalam masyarakat. Di tempat ada beberapa faktor yang menyebabkan

yang biasanya terjadi kerusuhan, aparat hal tersebut: Pertama, adanya pemuka

pemerintah cenderung memihak pada agama yang mempunyai paham kelompok mayoritas, sehingga terkesan

keagamaan yang toleran dan menghargai membiarkan. Karena pemerintah bersikap perbedaan. Hal ini tampak dari apa tegas untuk melindungi Ahmadiyah,

yang dikemukakan oleh H. Bakri, H. maka aparat keamanan selalu siap Damanhuri dan H. Jaurat. Di antara untuk menjaga keamanan di lingkungan

pendapat mereka dalam masalah akidah

komunitas Ahmadiyah.

berlaku adagium “lakum dinukum waliyadin” , tetapi dalam masalah sosial

Keempat , tingginya tingkat harus saling hormat menghormati. Kedua,

pendidikan masyarakat di Kecamatan adanya hubungan kekerabatan di antara

Cipondoh menyebabkan masyarakat pemuka agama dari kedua kelompok tidak mudah untuk diprovokasi. Ini tersebut yang kebetulan berasal dari suku

terbukti beberapa kali penceramah yang sama. H. Anis penganut Ahmadiyah

berusaha untuk memprovokasi, tetapi bersaudara dengan H. Bakri dan H. masyarakat tidak terpengaruh, karena Muslim, pemuka agama yang berasal dari

mereka sudah memahami keberadaan non-Ahmadiyah. H. Anis mempunyai komunitas Ahmadiyah. Kelima, anak perempuan, kawin dengan Margani,

membaurnya jemaat Ahmadiyah dalam Pimpinan Cabang Ahmadiyah Gondrong

berbagai kegiatan yang bersifat sosial dan sosial keagamaan. Adanya upaya

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

n uhrison m. n uh

membaurkan diri dengan masyarakat donor mata, kerja bakti, santunan, BMT setempat, membuat terbangunnya dan Posyandu. Komunitas Ahmadiyah komunikasi yang baik di antara mereka.

selalu membaurkan diri dalam berbagai Lima faktor itulah yang menyebabkan

kegiatan sosial keagamaan seperti terwujudnya kehidupan yang harmonis

Maulid Nabi, Isra Miraj, upacara siklus di antara penganut Ahmadiyah dengan

kehidupan (kelahiran, perkawinan, kelompok non-Ahmadiyah di Kelurahan

dan kematian). Pada momen-momen Kenanga. Meskipun tentu saja, ada faktor

silaturahmi dan yang dominan, dan ada pula faktor yang

tersebut

djalin

komunikasi dengan masyarakat non- kurang dominan.

Ahmadiyah. Kelima, respon pemerintah, pemuka agama dan pemuka masyarakat umumnya memberikan apresiasi yang

Penutup

baik terhadap kehadiran Ahmadiyah di Kelurahan Kenanga. Dalam masalah

Berdasarkan uraian di atas dapat akidah memang terdapat perbedaan, disimpulkan antara lain: Pertama,

tetapi dalam masalah sosial harus Pimpinan Jemaat Ahmadiyah terdiri tetap saling harga menghargai, hormat

dari Pengurus Pusat, Pengurus Wilayah menghormati dengan berpegang pada dan Pengurus Cabang. Pengurus Pusat

ayat “Lakum Dinukum Waliyadin” (Bagimu membawahi seluruh pengurus wilayah

agama kamu, bagi kami agama kami). yang tersebar diseluruh Indonesia.

Pengurus Wilayah terdapat disetiap Untuk mempertahankan situasi provinsi dan membawahi cabang-

yang kondusif di daerah Gondrong cabang diwilayahnya. Sedangkan (Kenanga), maka rekomendasi dalam pengurus cabang membawahi penganut

penelitian ini adalah: 1). Sikap pimpinan Ahmadiyah di tingkat Kabupaten atau

agama yang mempunyai pemahaman Kecamatan. Kedua, Ahmadiyah Cabang

yang toleran, terbuka dan inklusif Gondrong (Kenanga) yang didirikan semacam ini perlu terus dipertahankan; 2). pada tahun 1948 oleh H. Sidiq, H. Teman

Pemerintah Kota Tangerang diharapkan dan Ahmad Dahlan ini, perkembangan

tetap memegang prinsip tidak mau jemaatnya termasuk lamban dan tunduk pada tekanan kelompok garis

pertambahan anggota hanya berasal keras yang menghendaki pembubaran dari kelahiran dan perkawinan. Ketiga,

Ahmadiyah; 3). Kelompok Ahmadiyah jumlah penganut Jemaat Ahmadiyah harus tetap menjalin silaturrahmi dengan Cabang Gondrong (Kenanga) sebanyak

para pemuka agama setempat, dengan 1000 orang, yang sebagian besar (70%)

selalu menghadiri undangan mereka terdapat di RW 04 Kelurahan Kenanga,

dalam memperingati hari-hari besar dan sebagian lainnya ( 30 %) tersebar

keagamaan. Sedangkan untuk menjalin di Kelurahan Petir dan kelurahan silaturahmi dengan masyarakat, maka

Gondrong. Keempat, aktivitas Jemaat diharapkan mereka selalu memenuhi Ahmadiyah Cabang Gondrong terdiri undangan masyarakat dalam upacara dari dua bagian, kegiatan kerohanian kelahiran, perkawinan dan takziyah bila dan kegiatan sosial. Kegiatan kerohanian

ada kematian. Demikian pula sebaliknya berupa pengajian kaum bapak, ibu, mengundang masyarakat dalam upacara

pemuda dan anak-anak. Sedangkan kelahiran, perkawinan yang mereka kegiatan sosial berupa donor darah, Selenggarakan.

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Daftar Pustaka

Abidin, Zaenal. Dinamika Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kota Tangerang. Laporan Hasil Penelitian. Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011.

Aziz, Adit. Pelarangan Jemaat Ahmadiyah dan Kerukunan Umat Beragama di Sumatera Selatan, Makalah yang disampaikan pada Dialog dan Dengar Pendapat tentang Penanganan Ahmadiyah di Indonesia, diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI, 29 – 30 Maret 2011.

Batuah, Syai R. Nabi Isa dari Palestina ke Kashmir, Jemaat Ahmadiyah Indonesia. DO Penelitian tentang Respon Pemuka Agama Terhadap Kebjakan Pemerintah Bidang

Keagamaan [PBM Menag – Mendagri dan SKB Menag, Jaksa Agung, Mendagri]. Ghulam Ahmad, Mirza. Filsafat Ajaran Islam. Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 1996. Keputusan Bupati Bogor No 450/135/Kpts/Per-UU/2011 tentang Pelarangan Kegiatan

Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Kabupaten Bogor. Nuh, Nuhrison M. Ahmadiyah Qadian di Sulawesi Utara. Jakarta: Puslitbang Kehidupan

Beragama, 1997/1998. Peraturan Gubernur Banten Nomor 5 Tahun 2011, tentang Larangan Aktivitas Penganut,

Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah (JAI) di Wilayah Provinsi Banten.

Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12 Tahun 2011, tentang Larangan Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Jawa Barat (berita Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2011 No 11 Seri E).

Said, Imam Ghazali. KH. Membela Ahmadiyah Yang Dizalimi. Makalah disampaikan pada Dialog dan Dengar Pendapat tentang Penanganan Ahmadiyah di Indonesia, diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI, 21-22 Maret 2011.

Setiawan, Wawan. Paparan Bupati Bogor Dalam Rangka Dialog dan Dengar Pendapat Tentang Penanganan Masalah Ahmadiyah di Indonesia, Dialog dan Dengar Pendapat tentang Penanganan Ahmadiyah di Indonesia, diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI, 29 – 30 Maret 2011.

Sudjangi. Gerakan Ahmadiyah Indonesia . Jakarta: Badan Litbang Agama, 1996/1997. Zulkarnain, Iskandar. Gerakan Ahmadiyah di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, 2005. Zulkarnain, Iskandar. Mencari Solusi Ahmadiyah di Indonesia, Makalah yang disampaikan

pada Dialog dan Dengar Pendapat tentang Penanganan Ahmadiyah di Indonesia, diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI, 29 – 30 Maret 2011.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

P enelitian

a hmad a li md

Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni:

Perspektif Ushul Fikih

Ahmad Ali MD

Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Syariah Nahdlatul Ulama (STISNU) Nusantara Tangerang

Jl. Perintis Kemerdekaan II Cikokol Kota Tangerang Banten E-mail: [email protected]

Diterima redaksi tanggal 28 Oktober 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 3 Desember 2014

Abstract

Abstrak

The perceived differences between Shiites Perbedaan (ikhtilâf) yang muncul di antara and Sunnis often causes disharmony in the

Syiah dan Sunni acapkali menimbulkan relationship between the two. The severity

disharmonisasi hubungan di antara of this disharmony is expressed in the form

keduanya. Parahnya disharmonisasi itu of expiation (takfîr) and even violence

terekpresikan dalam bentuk pengkairan (takfîr) bahkan tindakan anarkis antara satu

between the two groups. Whereas the difference between a man of grace, if not dan yang lainnya. Padahal perbedaan di

antara manusia itu merupakan rahmat, jika motivated and caused by the attitudes and

bukan dimotivasi dan diakibatkan oleh actions of fanaticism of school or low (al-

sikap dan tindakan fanatisme mazhab atau ta‘ashshub), and selishness or lust (ittibâ‘

aliran (al-ta‘ashshub), dan egoisme atau al-hawâ). To that end, efforts towards the

hawa nafsu (ittibâ‘ al-hawâ). Untuk itu, harmonization of these two major schools

upaya menuju ke arah harmonisasi kedua has become important, and can even be seen

mazhab besar tersebut menjadi penting, as a political and social necessity (darûrah

bahkan dipandang sebagai keniscayaan siyâsiyyah wa-hatmiyyah wâqi‘iyyah). One

politis dan kemestian empiris (dharûrah such harmonization effort is done through

siyâsiyyah wa-hatmiyyah wâqi‘iyyah). usûl al-iqh. In this context, the concept of

Di antara upaya harmonisasi itu adalah ijtihâd were revitalized and re-actualized

dilakukan melalui pendekatan Ushul in order to be relevant and important. The Fikih. Dalam konteks ini konsep ijtihad application of ijtihâd as a medium for the yang direvitalisasi dan direaktualisasikan

menjadi relevan dan sangat penting. harmonization of Shia and Sunni relations must be placed within the framework of Aplikasi ijtihad yang dimaksudkan sebagai

media untuk harmonisasi hubungan Syiah the tashwîb paradigm and not the takhthî

dan Sunni harus ditempatkan dalam paradigm.

kerangka paradigma tashwîb dan bukan paradigma takhthî’.

Keywords: Shia, Sunni, harmonization, Ushul Fiqh, ijtihad

Kata Kunci: Syiah, Sunni, harmonisasi, Ushul Fikih, ijtihad

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Pendahuluan

seruan hayya ‘alâ khayr al-‘amal yang dibaca dua kali setelah bacaan hayya ‘alâ

Syiah, pada awalnya berarti al-falâh , dan bacaan asyhadu anna ‘Aliyan pendukung ‘Alî ibn Abî Thalib r.a. dan

waliyyallâh , yang dibaca dua kali setelah semua ahli baitnya, adalah sebuah syahadat. (Richard, Yann, 1995: 7-8, dan

mazhab dalam Islam yang lebih Mughniyyah, Muhammad Jawwâd,

mengutamakan Ahl al-Bait, yang 2008: 85-88). Perbedaan di antara kedua kemudian terpecah menjadi banyak mazhab ini tak pelak menimbulkan kelompok (Amîn, al-Sayyid Muh sin, 1998:

problem yang sangat serius karena Juz I, 19). Penganut Syiah sejak revolusi

mengakibatkan saling pengkairan (takfîr) Iran (1979), diakui eksistensinya sebagai

di antara keduanya, dan berujung pada Muslim, sebagaimana halnya Ahl al-

keretakan di antara mereka, sehingga Sunnah (Sunni). Terdapat persamaan di

keduanya hampir-hampir tidak dapat antara keduanya, baik dalam hal tauhid

bercampur, dan tentu sangat sulit (syahadat kepada keesaan Tuhan), kitab

bersatu. Padahal para ulama terkemuka suci Alquran, Nabi Muhammad S.A.W.,

dari berbagai mazhab telah menetapkan kebangkitan manusia pada Hari Akhir

persyaratan yang sangat ketat mengenai ( ma‘âd) , kewajiban-kewajiban pokok,

takfîr , sebagaimana dikemukakan al- salat, puasa, zakat, haji dan jihad. Poin-

Subkî (w. 756 H.), ibn Hazm (w. 465) poin utama ini, dipandang oleh Yann

dalam al-Fishâl fî al-Ahwâ’ wa-al-Milal Richard, misalnya, lebih penting daripada

wa-al-Nihal , Muhammad Amîn (Ibn perbedaan di antara keduanya (Richard,

‘Âbidîn, ulama Hanaiyah) dalam Radd Yann, 1995: 5).

al-Mukhtâr , dan Sayyid Rasyid Ridhâ (w. Sungguhpun demikian, perbedaan

1935) dalam Majalah al-Manâr. al-Subkî, di antara kedua aliran ini kemudian disebut dalam al-Thabaqât al-Sya‘ranî,

tampak lebih mencolok dan tajam, berfatwa: ”...maka hukum pengkairan dalam rinci aspek ajaran Islam: akidah,

hanya boleh ditujukan kepada orang hukum, etika, dan sebagainya, meskipun

yang mengingkari dua kalimat syahadat keduanya berdasar utama pada way of

(syahâdatain) dan keluar dari agama life yang sama, yaitu kitab suci Alquran.

Islam secara total....” (al-Mûsawî, ‘Abd al- Dalam bidang akidah yang esensial (rukun

H usain Syaraf al-Dîn, 1967: 28-29). iman), misalnya, Syiah menambahkan

Dalam beberapa kasus, doktrin keadilan Tuhan dan Imâmah

disharmonitas hubungan di antara (Richard, Yann, 1995: 5-6). Rukun iman

keduanya berujung pada anarkisme (ushûl al-‘aqâ’id) dalam Syiah Imamiyah

yang mengakibatkan kematian korban, ada 5 (lima): al-tauhîd, al-nubuwwah, al-al-

sebagaimana menimpa Ahmad al- imâmah , al-‘adl, dan al-ma‘âd. (al-Ghathâ’,

Kasrawî (w. 1946), guru besar di Muhammad al-H usain al-Kâsyif, 1993:

Universitas Tehran (al-Kasrawî, Ahmad, 64-79). Berkaitan dengan imâmah, yang

2010: 6). Di Indonesia, pengkairan menjadi titik perbedaan antara Syiah dan

terhadap Syiah, misalnya dilakukan Sunni berkisar pada tiga poin penting,

oleh Persatuan Serikat Islam (Persis) yaitu: keharusan pengangkatan imam dengan fatwanya, Lembaga Penelitian

dari sisi Allah SWT, keharusan seorang dan Pengkajian Islam (LPPI) dan Al- imam memiliki kemaksuman, dan Irsyad, sebagaimana dalam Seminar

keharusan seorang imam memiliki ilmu tahun 1997. Konsekuensi dan implikasi ladunni dari Allah. Dalam bidang ibadah,

hukum selanjutnya sangat dahsyat yang seperti azan shalat, dalam praktiknya di

muncul dari pengkairan tersebut adalah masjid-masjid terdapat persamaan di halal hukumnya darah orang Syiah dan

antara Syiah dan Sunni, kecuali dalam bahkan muncul tindakan anarkis. Fatwa

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

a hmad a li md

HARMONI September - Desember 2014

semacam ini jauh sebelumnya pernah dikemukakan oleh Syaikh Nûh al-Hanafî dalam kitabnya, al-Fatâwâ al-Hamîdiyyah. Fatwa Persis berisi: 1) Syiah adalah kair dan menumpahkan darahnya lebih halal daripada membuang khamer; 2) Syiah Itsnâ ‘Asyariyyah adalah kair dan menetapkan darahnya halal (dibunuh);

3) Syiah tidak termasuk golongan Islam, sebagaimana Yahudi dan Nasrani; tidak boleh disalatkan jenazahnya, pendusta, kair, bodoh, dan dungu keterlaluan, tidak sah bermakmum salat pada mereka, bukan muslim, bohong dan kair; 4) Djejali dengan tumpukan kebatilan, kepicikan, khurafat, caci maki dan kebohongan, dan menamakan tumpukan sampah busuk itu dengan ”Rujukan Agama”. (Hashem, O., 2011: 107-108). Bahkan dalam kasus tertentu muncul tuntutan Pemuda Persis Kota Bandung dan Badan Otonom di Bandung, pada tahun 2012 yang menuntut pelarangan Syiah, karena dinilai bertentangan dengan Surat Edaran Departemen Agama Nomor D/BA.01/4865/1983, tanggal 5 Desember 1983 perihal ”Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syiah”, dan menyimpang dari ajaran/prinsip Islam ( htp://www.voa- islam.com ).

Mencermati problematika di atas, artikel ini akan menjawab masalah pokok bagaimana mengharmonisasikan mazhab Syiah dan Sunni melalui pendekatan ushul ikih? Kajian kritis mengenai perspektif ushul ikih kedua mazhab penting dilakukan karena perbedaan perspektif keduanya berimplikasi luas dan tajam dalam hukum. Taqî al-Hakîm mengatakan: ”perbedaan yang terjadi dalam ranah ushul ikih (al-kubriyyât) lebih besar implikasi, pengaruh atau akibatnya dibandingkan perbedaan yang terjadi dalam ranah ikih (sughriyyât).” Contohnya: jma’ yang hanya dilakukan oleh Ahl al-Bait (‘Ali, Fatimah, al- Hasan dan al-Husain) dan tidak ada persepakatan dari selain mereka menurut Sunni tidaklah sah, sebaliknya menurut

Syiah adalah sah. (Amîr Bâdasyâh, Muh ammad Amîn al-Ma‘rûf bi, t.t.: Juz

III: 242). Dalam hal ini, tentu konsep

jtihad signiikan dikaji secara mendalam dengan menggunakan analisis ilosois/perspektif Ushul Fikih. Dengan demikian, pembahasan ini bertujuan untuk mengelaborasi upaya mengharmonisasikan hubungan (taqrîb al-syiqqah) di antara kedua mazhab besar tersebut. Untuk tujuan tersebut, pembahasan ini menggunakan teori reaktualisasi jtihad. Teori ini menyatakan bahwa penafsiran ajaran Islam yang masih dominan sekarang ini berasal dari upaya mengadaptasikan ajaran tersebut ke dalam situasi masa lampau, yang dipandang terlalu dipengaruhi oleh proses perkembangan historis dan kultural, sehingga beban-beban sejarah dan budaya itu dilepas guna diberi alternatif-alternatif baru yang diharapkan lebih responsif, kontekstual, dan selaras dengan kebutuhan manusia, seiring dengan perkembangan zaman (Yusdani, 2000: 2).

Faktor Penyebab Keretakan Hubungan Syiah dan Sunni

Menurut ‘Abd al-Husain Syaraf al-Dîn al-Mûsawî (1290-1957), seorang tokoh Syiah, tafsir kelompok Sunni tidak bersedia merujuk kepada penafsiran Ahl al-Bait, jikapun ada jumlahnya jauh lebih sedikit daripada penafsiran yang berasal dari Muqâtil ibn Sulaimân, seorang penganut aliran tajsîm (mematerialkan Tuhan). Dalam bidang periwayatan hadits, tokoh-tokoh dari kelompok Ahl al-Bait yang djadikan hujjah jauh lebih sedikit daripada yang berasal dari kelompok Khawarj,

Musyabbihah/Mujassimah, Murji‘ah, dan Qadariyah. Menurutnya, al-Bukhârî tidak bersedia untuk berhujjah dengan para imam Ahl al-Bait al-Nabawî. (al-Mûsawî, 171). Sebaliknya, pandangan

129 yang mendeskriditkan kelompok Ahl al-

m engharmoniskan h ubungan s yiah dan s unni :P ersPektif u shul f ikih

problem hukum. Sungguhpun kedua Bait misalnya dikemukakan Ibn Khaldûn.

mazhab ini sama-sama menjadikan Ia menyatakan keanehan Syiah, yang empat sumber utama hukum Islam, tampak dalam dasar-dasar pjakannya

yaitu Alquran, Sunnah, Ijmak, dan Akal/ yang sangat lemah. Ia berkata: ”…Ahl

Qiyas (keempat sumber ini selain Akal, al-Bait telah bersikap ’ganjil’ (syâdz)

disepakati oleh empat mazhab sunni), menyendiri dengan pelbagai mazhab

namun terjadi perbedaan yang tajam yang mereka ciptakan. Demikian pula

dalam artikulasi dan aplikasinya. Sebagai ikih yang hanya khusus bagi mereka,

bukti, artikulasi Sunnah dapat dilihat dari dan dibangun atas dasar pendapat deinisi yang dibuat oleh kedua mazhab

mereka dalam hal mengecam sebagian tersebut. Sunnah, oleh Fukaha Syiah (al- dari para Sahabat. Juga berdasarkan Imâmiyyah) diartikan sebagai perkataan

pendapat mereka tentang adanya seorang yang ma‘shûm, perbuatan dan ‘ishmah (penjagaan dari segala dosa dan

penetapannya (taqrîr) (al-Muzhafar, kesalahan) bagi para imam serta tidak

Muh ammad Ridhâ, 1421: 53); sementara diperkenankan ada pendapat lain yang

oleh Sunni diartikan sebagai perkataan berlawanan dengan mereka. Semuanya itu

Nabi, perbuatan, dan penetapannya merupakan dasar-dasar yang amat lemah

(taqrîr) . Penggunaan redaksi al-ma‘shûm (ushûl wâhiyyah) .” ”...Setiap kelompok menunjukkan bukan hanya Nabi s.a.w.

dari mereka (yakni Syiah dan Khawârj) tetapi juga para imam Itsnâ ‘Ashariyah mempunyai buku-buku dan pikiran-

dari golongan Ahl al-Bait. Dalam konteks pikiran aneh dalam bidang ikih....” (ibn

‘ishmah /al-ma‘shûm ini, ulama besar Syiah Khaldûn, ‘Abd al-Rah mân, 2005: 364).

al-Sayyid Ja‘far Murtadâ al-‘Âmilî berkata: Sementara faktor yang menyebabkan ”Lâ ma‘shûma illâ al-anbiyâ’, tsumma al-

kelompok Sunni menjadi terganggu a’immah al-itsnâ ‘asyara ‘alaihim al-salâm, adalah masalah pencercaan terhadap

wa-kullu man ‘adâhum yajûzu ‘alaihi para Sahabat Nabi, yang masalahnya al-khathâ’, wa-al-sahwu, wa-al-nisyânu

bersumber pada sekelompok kaum ghulat wa-ghairuh, wa-lâ yashihhu qauluhum:

(ekstrimis) yang seringkali dimaksud Inna al-ummah ma‘shûmah, fadhlan ‘an ketika predikat ”Syiah” disebutkan. ‘ishmati ayyin kâna min al-nâs.” (al-‘Âmilî,

Kelompok ini misalnya al-Kâmiliyyah, Ja‘far Murtadhâ, 2007: 282). Istilah yakni para pengikut Abû al-Kâmil, yang Sunnah dalam deinisi Syiah ini lebih menganggap para sahabat menjadi luas cakupannya dibandingkan istilah kair karena tidak berbaiat kepada ‘Alî, Sunnah dalam deinisi Sunni. Perluasan dan ia pun menjadi kair karena tidak arti Sunnah ini didasarkan pada alasan memerangi para sahabat itu, padahal bahwa perkataan seorang ma‘shûm dari wajib memerangi mereka sebagaimana para pemberontak Shifîn yang membenci keluarga Nabi (‘Ahl al-Bait) menempati

posisi sabda Nabi dari segi eksistensinya seluruh sahabat dan mencerca seluruh kalangan salaf. (Abû al-Khair, 2005: Juz I, sebagai hujjah bagi manusia yang wajib

156). diikuti. Atas dasar ini, penjelasan mereka tentang hukum bukan sebagai bentuk riwayat dan pengabaran hadits, juga tidak termasuk jtihad dalam pendapat

Ushul Fikih Syiah dan Sunni

dan istinbâth dari sumber-sumber syariat, Perbedaan dalam aspek hukum tetapi mereka sendiri adalah sebagai

di antara kedua mazhab besar ini sumber syariat. Jadi perkataan mereka diakibatkan oleh perbedaan konsep adalah hadits, bukan berita tentang hadits

Ushul Fikih tentang artikulasi jtihad (al-Muzhafar, Muhammad Ridhâ, 1421: dan aplikasinya dalam menjawab 53-54, Ali MD, Ahmad, 2012: 229-230).

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

a hmad a li md

Ijma’ oleh Syiah dipandang sebagai qath‘i maka dapat djadikan hujah; salah satu dari dalil-dalil hukum syar’i,

sementara jika prosedurnya tidak pasti namun hanya dari segi bentuk dan maka ia bukan dalil hukum. (al-Hakîm, penamaan semata (min nâhiyyah syakliyyah

Muh ammad Taqî, 1427: 342-343). Namun wa- ismiyyah faqath) , karena mereka tidak

pada dasarnya ulama Syiah menjadikan menjadikannya sebagai dalil yang mandiri

qiyas sebagai hujah hukum dengan istilah (dalîlan mustaqillan) selain al-Kitâb dan al-

yang berbeda, yaitu merupakan bagian Sunnah , akan tetapi djadikan sebagai dalil

dari al-zhawâhir dan dibatasi pada jenis apabila menyingkapkan (menyampaikan)

qiyas yang disebutkan ‘illatnya (manshûsh Sunnah , yakni mengungkapkan perkataan

al-‘illah) dan qiyâs al-aulawiyyah. Oleh al-ma‘shûm . Konsekuensinya bagi mereka,

sebagian ulama Syiah, seperti al-Hullî, kedua jenis qiyas yang dapat digunakan

kehujahan dan kema’suman (al-hujjiyyah sebagai hujah hukum itu dipandang

wa-al-‘ishmah) itu bukanlah bagi jmâ‘, sebagai bentuk perkecualian dari namun kehujahan itu hakikatnya adalah pengertian qiyas deinitif (istisnâ’an min perkataan orang ma‘shûm yang djelaskan al-qiyâs) , yakni perkecualian dari qiyâs oleh jmâ‘ (al-Muzhafar, Muhammad al-bâthil (tidak sah). Dengan demikian, al- Ridhâ, 1421: Juz III, 82, Majma‘ Fiqh zhawâir /qiyâs semacam ini bukanlah dalil Ahl al-Bayt, Lajnat Ta’lîf al-Qawâ‘id al-

mandiri, tetapi bagian dari dalil al-‘aql, Fiqhiyyah wa al-Ushûliyyah, t.t.: 367).

sebab al-‘aql menetapkan adanya sesuatu Adapun akal (al-‘aql) oleh Syiah

ketika ada ‘illah nya. (al-Muzhafar, kelompok Ushûliyyûn djadikan sebagai Muh ammad Ridhâ, 1421: Juz III, 160).

dalil atau sumber hukum syar‘i, jika Artikulasi dan aplikasi sumber tidak terdapat dalil dari Alquran, hukum yang berbeda di antara kedua

Sunnah dan Ijma’, yang merupakan mazhab di atas, tampaknya terkait dengan hukum yang berdiri sendiri. Sebagai faktor akidah masing-masing. Dalam contohnya adalah hukum tentang mazhab Syiah sendiri terdapat perbedaan wajibnya menolak mudarat, mustahil mengenai al-‘aql (akal) sebagai sumber menganggap kuat suatu pendapat hukum dalam perkara syar’i (dalil). tanpa dalil yang menguatkannya, dan

Jika mazhab Syiah Imamiyah aliran buruknya menjatuhkan siksa tanpa ada

Ushûliyyûn menempatkan akal sebagai penjelasan (al-Subh ânî, Ja‘far, dkk., 1415:

dalil keempat setelah Alquran, Sunnah, 5-13). Sumber hukum yang keempat

dan Ijma’, maka Syiah Ikhbâriyyûn mencakup al-mashâlih al-mursalah, sadd

menolak akal sebagai dalil hukum dan al-dzarâ’i‘ wa-fathihâ , dan istishhâb (al-

mencukupkan dengan riwayat dari para Hakîm, Muh ammad Taqî, 1427: 365-460).

imam dalam empat kitab hadits mereka. Meski demikian, dalam Syiah, metode-

Empat kitab hadits (al-Kutub al-Arba‘ah) metode jtihad tersebut bukan dipandang

ini djadikan pegangan (sumber) pokok sebagai dalil yang mandiri, tetapi oleh mazhab Syiah--meskipun terdapat

merupakan dalil akal. Demikian juga beragam penilaian terhadapnya: 1) al- qiyas tidak dimaknai dalam pengertian

Kâfî karya Hujjat al-Islâm Abû Ja‘far qiyas deinitif sebagai hujah hukum (al- Muhammad ibn Ya‘qûb al-Kulainî (w. 328/329 H.), memuat 15.339 riwayat; 2)

Muzhafar, 1421: Juz III, 160). Kehujahan Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqîh karya Abû qiyas juga diragukan Taqiyy al-Hakîm Ja‘far Muhammad ibn ‘Alî ibn Mûsâ ibn

(ulama Syiah kontemporer), sehingga Bâbawaih al-Qarnî al-Qummî (Syaikh

tidak ditetapkan sebagai hujah hukum, al-Shaduq, 320-381 H.), memuat 5.963 karena qiyas berbeda menurut perbedaan

hadis; 3) Tahdzîb al-Ahkâm (memuat 13.590 jalan dan prosedurnya. Jika prosedurnya

riwayat) dan 4) al-Istibshâr fî Mâ Ikhtalafa

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

min al-Akhbâr , keduanya karya Abû Ja‘far Muhammad ibn Hasan al-Thûs (Syaikh al- Thâ’ifah , 385-460). Kitab al-Istibshâr hanya dikhususkan pada riwayat-riwayat yang kontradiktif, dan dipertemukan oleh al- Thûsî. Empat kitab ini telah dihimpun dalam ‘Alî Akbar al-Ghifârî, ed., al-Kutub al-Arba‘ah (Qum: Anshâriyyân, 2005), dan ditetapkan sebagai sumber awal, meski sebelumnya telah ada kitab hadis yang lain. Kitab Wasâ’il al-Syî‘ah karya Muhammad ibn al-Hasan ibn al-Hurr al- ‘Âmilî (w. 1104/1693) adalah kitab hadis periode belakangan yang paling populer (Lalani, Arzina R. 2004: 16, dan Ma‘ârif, Majîd, 2012: 454-500).

Dari uraian mengenai sumber/dalil hukum terutama: Alquran, Sunnah, Ijma’, tampak jelas adanya pengaruh yang kuat dari konsep akidah Syiah mengenai imâmah terhadap konsep kaidah ushûliyyah dan metode jtihad. Sedangkan untuk dalil al-‘aql, tidak tampak jelas adanya pengaruh konsep imâmah kecuali pada sekte Syiah Ikhbâriyyûn, yang menolak dalil akal, karena menganggap cukup dengan riwayat dari para imam mereka, sehingga setelah masa para imam itu berlalu, mereka pun melarang jtihad dan melarang untuk merujuk ilmu ushul ikih dan membukukannya. Sebagai akibat penolakan terhadap jtihad itu, pemahaman Ikhbâriyyûn terhadap Sunnah Nabi dan tradisi para imam menjadi cenderung tekstual. Sedangkan pemahaman mereka terhadap Alquran tergantung kepada penafsiran para imam. Syaikh Muhammad ‘Alî al-Taskhîrî menyebutkan sejumlah ulama Syiah yang menolak jtihad antara lain, al-Murtadhâ, al-Thûsî, dan al-Hullî, tetapi dalam pandangan al-Shadr (w. 676 H.), Syiah Imamiyah merupakan mazhab yang menerapkan jtihad, meskipun dalam pengertian jtihad yang tidak mencakup qiyas. Ringkasnya, ulama Syiah Imamiyah yang menggunakan jtihad menerapkan aktivitas jtihad dalam makna yang umum (‘amaliyyat al-jtihâd bi-ma‘nâhâ al-

‘âmm) (al-Taskhîrî, Muh ammad ‘Alî, 2001: -57).

Signiikansi jtihad itu tampak dari suatu fakta yang menunjukkan bahwa sungguhpun syariat Islam telah jelas, namun tidak ada syariat Islam yang tunggal, demikian juga tidak ada metode ushul ikih yang tunggal, sebab terdapat perbedaan yang besar dalam sistem penggalian hukum di antara berbagai mazhab, khususnya Sunni dan Syiah. Penerapan dan kodiikasi hukum Islam, sebagai hasil interpretasi ulama, begitu komplek. Dalam sejarah, terjadi perdebatan seputar syariat Islam, dan penyelidikan terhadap perdebatan itu memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai keragaman hukum ini. Menurut Laporte, perbedaan utama dalam metode- metode ushul ikih Syiah dan Sunni acapkali adalah perbedaan istilah dan bukan perbedaan pelaksanaannya di lapangan. Pencermatan berbagai kitab perspektif Abu Hanifah, Malik atau Syai’i, menunjukkan bahwa Istihsân dimaksudkan sebagai sumber/dalil hukum yang mandiri dari qiyas. Ulama Sunni menggunakan metode interpretasi terhadap sumber-sumber hukum, seperti istihsân dan ishtishlâh, karena dipandang lebih kreatif dan subjektif sebab ada keterbatasan sumber-sumber haditsnya; sementara ulama Syiah menggunakan jtihad dengan mudah, karena banyak koleksi haditsnya. (Laporte, Laurence Deschamps-, 2010: 9-10).

Perbedaan artikulasi jtihad antara Sunni dan Syiah lebih lanjut terletak pada

masalah tipe Ijtihâd bi-al-ra‘y. Keabsahan Ijtihâd bi-al-ra‘y diterima oleh Sunni, akan tetapi ditolak oleh Syiah. Bagi Syiah penolakan terhadap Ijtihâd bi al-ra‘y didasarkan pada argumen utama yang menegaskan bahwa prinsip-prinsip dan petunjuk umum telah diberikan dalam Alquran dan al-Sunnah dan dipandang cukup untuk menjawab pelbagai problematika hukum. Menurut Syiah,

a hmad a li md

HARMONI September - Desember 2014

jtihad yang dilakukan oleh mujtahid- mujtahid tidaklah benar seluruhnya. Oleh

karena itu tidak ada kepastian dalam jtihad mereka, karena pada dasarnya yang benar hanyalah satu, sementara yang lain tidaklah benar (prinsip takhthî’). Padahal tidak diketahui mana yang benar di antara jtihad mereka itu. Dengan demikian, prinsip tashwîb (pembenaran terhadap berbagai jtihad yang dilakukan) berada dalam kerangka teori jtihad yang dideinisikan sebagai pelaksanaan qiyas dan ra‘yu. Dalam konteks inilah mayoritas Sunni berpegang pada prinsip tashwîb , sementara Syiah dan sebagian ulama Sunni berpegang pada prinsip takhthî’ . (Namazi, Mohammad, 2009: 71- 78).

Reaktualisasi Ijtihad

Perbedaan artikulasi dan aplikasi jtihad antara Syiah dan Sunni di atas menjadi penting untuk dipertemukan dalam kerangka taqrîb al-shiqqah. Dalam upaya untuk mendekatkan Syiah dan Sunni, harmonisasi hubungan di antara keduanya mutlak dilakukan. Dalam kerangka inilah, harmonisasi tersebut dapat dilakukan melalui reartikulasi dan reaktualisasi jtihad. Black’s Law Dictionary menyebutkan:

harmony, harmonize berarti agreement or accord ; conformity. Harmonization berarti penyerasian, hal membuat terpadu, tawâfuq, talâzum. Bentuk verbnya harmonize berarti menyesuaikan, menserasikan, lâ’ama, wafaqa . Dalam Kamus Inggris Indonesia Arab ,

harmony diartikan sebagai keserasian, keselarasan nada, talâ’ama, tawâfuq al-anghâm . Harmony of interest, keserasian kepentingan insjâm al- mashâlih . Harmony of opinion, keserasian pendapat ( insjâm al-ârâ’). (Garner, Bryan

A. Ed., 2004: 734, Ali, Atabik, 2003: 581). Jadi, harmonisasi berarti upaya menyerasikan atau memadukan dalam konteks ini hubungan Syiah dan Sunni

dalam masalah jtihad yang tampak terjadi perbedaan di antara keduanya.

Argumentasi yang dapat digunakan untuk menunjukkan pentingnya harmonisasi hubungan Syiah dan Sunni melalui reartikulasi dan reaktualisasi konsep jtihad, karena ia mempunyai peran yang sangat signiikan bagi masyarakat, baik Syiah maupun Sunni. Signiikansi jtihad dalam mazhab Syiah, sebagaimana djelaskan oleh Hamid Mavani, tampak secara jelas dalam hubungannya dengan otoritas dan peran imam yang secara tidak langsung dilakukan oleh para juris (fukaha), yang dipandang sebagai suatu keharusan untuk menghindarkan perpecahan. Pelbagai persoalan yang muncul ditangani oleh para juris melalui jtihad sehingga hasil jtihad itu menjadi petunjuk bagi masyarakat luas. Berdasarkan uraian di atas, Abû Mujtabâ, sebagaimana dikutip al-Mûsawî, menyatakan bahwa terdapat titik temu tentang urgensi jtihad, terutama pada era modern ini, bahkan merupakan suatu kewajiban, karena dengannya hukum syar’i dapat dipahami dan kewajiban mukallaf dapat djelaskan dengan rinci. (al-Mûsawî, Syaraf al-Dîn, 2008: 18-19, dan htp://www.al-islam.org ). Sungguhpun demikian, institusi jtihad ternyata belum dimaksimalkan untuk menjawab persoalan seperti kesetaraan jender, hak-hak minoritas, kebebasan agama dan keyakinan, pluralisme beragama, legalitas bunga bank, etika biomedis dan etika lingkungan. (Mavani, Hamid, 2009: 335).

Dalam konteks inilah, reartikulasi dan reaktualisasi jtihad tampak dalam pendekatan yang digunakan Âyatullâh Shâni‘î

(1316/1937). Karakteristik pendekatannya, yang terkait dengan Âyatullâh Shâdiqî, sebagaimana djelaskan oleh Mavani dengan mengutip pandangan Muhammad I. Jannati dan Fadhlullâh, adalah memposisikan Alquran sebagai sumber tekstual yang utama dan mendasar (the primary and (1316/1937). Karakteristik pendekatannya, yang terkait dengan Âyatullâh Shâdiqî, sebagaimana djelaskan oleh Mavani dengan mengutip pandangan Muhammad I. Jannati dan Fadhlullâh, adalah memposisikan Alquran sebagai sumber tekstual yang utama dan mendasar (the primary and

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

the foundational textual source) dalam merumuskan pendapat hukum yang baru, dengan memerankan akal untuk menemukan rasionalitas dan hikmah (the rationale and the wisdom ; ‘illah) di balik perintah wahyu dan menempatkannya pada konteks masa dan ruang yang dihubungkan dengan keputusan tertentu yang akan diundang-undangkan. Menurut mereka, ada kecenderungan mengabaikan ruh atau spirit (ethos) Alquran, yaitu kesetaraan, dan etika keadilan, serta penghargaan pada martabat manusia (human dignity) sebagai khalifatullah. Kritik ini terkait dengan isu- isu seperti murtad, status non-Muslim, keadilan jender (gender justice) yang berlawanan dengan etos Qur’ani namun telah diberikan hukum yang utamanya didasarkan pada basis hadits, jma’, dan metode Usul Fikih.

Terhadap masalah-masalah terse- but, seorang ahli hukum dituntut menguasai sumber-sumber jurisprudensi Islam, ayat-ayat Quran dan hadis-hadis hukum secara rinci. Menurut Shâni‘î, hukum Islam harus serasi (harmonious) dan sejalan (compatible) dengan konteks dan kondisi kekinian. Terdapat kritik terhadap jma’ tentang hak-hak wanita, status non-Muslim, hukum waris dan kesaksian. (Hamid Mavani, 2009: 340). Kritik ini mengarah pada revitalisasi dan reaktualisasi ijtihad terhadap interpretasi ajaran Islam yang bias patriarkis, umumnya berupa mitos- mistos yang berdampak ketidakadilan jender, seperti mitos laki-laki penguasa perempuan. Penafsiran yang bias partiarki ini ditentang oleh feminisme Islam (islamic feminism) , dengan melakukan reinterpretasi terhadap sumber-sumber Islam tradisional dan ijtihad untuk menggali interpretasi yang pro perempuan, bebas patriarki/ berkeadilan jender (Altamirano, Eréndira Cervantes-, 2010: 19). Keadilan jender berarti akhir dari ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan yang berakibat

subordinasi perempuan terhadap laki- laki. Keadilan jender menghendaki agar perempuan dapat menggunakan kemampuannya dalam berbagai bidang, tanpa ada diskriminasi jender dalam membuat pilihan atau dihalang-halangi dan diberi sanksi (Jamail A. Kamlian, 2006: 56). Ketidakadilan jender bukan pula sekedar menaikan sesuatu yang mengekang atau menindas perempuan, tetapi juga merendahkan dan tidak memanusiakan kaum Muslimin yang terlibat dalam sistem ketidakadilan jender (Omid Sai, ed. 2003, 10-11).

Revitalisasi dan reaktualisasi jtihad dalam perumusan hukum dari sumber tekstual itu dilakukan dengan memperhatikan tiga prinsip umum menurut Shâni‘î, sebagaimana djelaskan Hamid Mavani, yaitu mengedepankan kemudahan (QS. A l-Baqarah [2]: 185), perlu penyesuaian agar sejalan dengan keadilan, dan ada alternatif moderat dalam pelaksanaan hukum agar tidak terlalu ekstrim. (Hamid Mavani, 2009: 340-341). Revitalisasi dan reaktualisasi jtihad dapat diimplementasikan ke dalam beberapa bidang, seperti warisan. Dalam bidang warisan diwujudkan dalam bentuk pemberian bagian waris ahli waris perempuan setara dengan bagian warisan ahli waris laki-laki melalui reinterpretasi makna adil, juga bagian ahli waris non Muslim melalui wasiyat wajibah. Hal ini sejalan dengan perkembangan realitas sosial dan hak asasi manusia (HAM). Dalam ikih klasik/konvensional baik ikih Syiah maupun ikih Sunni, ditetapkan pembagian yang tidak berimbang bagi ahli waris perempuan, dan ahli waris non Muslim tidak mendapatkan hak waris. Dengan kerangka pikir reaktualisasi jtihad di atas diperoleh hasil jtihad yang sama di antara Syiah dan Sunni atau pandangan yang sama, yaitu paradigma tashwîb dalam masalah tersebut.

Contoh lain adalah bidang perkawinan yang diskriminatif. Menurut Syiah, perempuan dalam

a hmad a li md

mazhab ini tidak boleh nikah mut‘ah

Penutup

dengan kelompok di luar mereka yang menampakkan permusuhan,

Berdasarkan analisis di atas seperti al-Nawâshib dan Khawârj (al-

diperoleh kesimpulan bahwa upaya Hullî, Ibn al-Muthahhir, 1421: 522).

mengharmonisasikan hubungan Syiah Melalui reaktualisasi jtihad, diperoleh

dan Sunni yang dilakukan melalui pemahaman bahwa sungguhpun terdapat

pendekatan Ushul Fikih adalah dengan perbedaan pandangan keagamaan di mengedepankan reaktualisasi jtihad. antara Syiah dan Sunni/al-Nawâshib itu,

Disadari bahwa Syiah dan Sunni di antara mereka dapat melangsungkan

kedudukan jtihad nikah mut‘ah/nikah temporer dengan sebagai institusi yang penting dalam memenuhi kriteria-kriteria spesiik, tetapi

menempatkan

merumuskan ketentuan hukum, bukan karena perbedaan mazhab/aliran

meskipun terdapat perbedaan artikulasi tersebut. Justru hal ini lebih dibolehkan

dalam tataran teoritis atau praksisnya. dalam rangka untuk persatuan umat Untuk itu, aplikasi jtihad sebagai media Islam. Demikian pula perkawinan biasa

untuk harmonisasi hubungan Syiah dan di antara kedua mazhab ini menjadi

Sunni harus ditempatkan dalam kerangka tidak sah, sebagai akibat takfîr di antara

paradigma tashwîb dan bukan paradigma mereka. Pemahaman inilah yang harus

takhthî’ .

dihindarkan. Hal ini karena perbedaan di antara kedua kelompok itu pada

Oleh karena itu, dalam rangka dasarnya harus dibingkai dalam kerangka

untuk mencapai harmonisasi antara Syiah paradigma tashwîb. Selain itu, perbedaan

dan Sunni, masing-masing penganut di antara keduanya hanya dalam bidang

mazhab ini harus mengedepankan furû’ (cabang) bukan ushûl (pokok). paradigma tashwîb daripada paradigma Kerangka berpikir ini harus menjadi takhthî’ , sebagai salah satu bentuk sikap

perhatian masing-masing pengikut toleran (tasâmuh) dan saling menghormati kedua mazhab besar ini agar hubungan

perbedaan di antara keduanya. Dengan di antara keduanya dapat harmonis, cara ini, sikap takfîr atau vonis sesat-

karena tidak mengedepankan fanatisme menyesatkan, yang dapat berujung buta (ta‘ashshub) dan truth claim pada

tindakan anarkis, dapat dihindarkan. hasil jtihadnya sendiri.

Daftar Pustaka

Abû al-Khair, Hasan ‘Abd al-H afîzh ‘Abd al-Rahmân. al-Mausû‘ah al-Mufashshalah fî al-Firaq wa-al-Adyân wa-al-Milal wa-al-Madzâhib wa-al-Harakât al-Qadîmah wa-al- Mu‘âshirah . Kairo: Dâr Ibn al-Jawzî, 2011.

Ali, Atabik. Kamus Inggris Indonesia Arab, Edisi Lengkap. Yogyakarta: Multi Karya Graika Pondok Pesantren Krapyak, 2003.

Ali MD, Ahmad. ”Hadis Sebagai Hujjah Hukum dalam Perspektif Syiah”. Releksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin . Fakultas Filsafat dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XIII, No. 3 (2012), 228-242.

Altamirano, Eréndira Cervantes-. ”Recovering the Progressive Spirit of Islam: Ijtihad and

Its Transformative Possibilities in Islamic Feminism”, Axis Mundi (2010-2011), htp://www.arts.ualberta.ca/axismundi/2010/ Progressive%20Spirit% 20of%20

Islam.pdf (diakses 5 April 2012).

HARMONI September - Desember 2014

135 al-‘Âmilî, al-Faqîh al-Muhaddits al-Syaikh Muhammad ibn al-Hasan al-Hurr. Tafshîl

m engharmoniskan h ubungan s yiah dan s unni :P ersPektif u shul f ikih

Wasâ’il al-Syî‘ah ilâ Tahshîl Masâ’il al-Syarî‘ah . Editor Mu’assasat Âlî al-Bait ‘alaihim li-Ihyâ’ al-Turâts. Qum: Mu’assasat Âli al-Bait ‘alaihim li-Ih yâ’ al-Turâts, 1414.

al-‘Âmilî, al-Sayyid Ja‘far Murtadhâ. Al-Shahîh min Sîrat al-Nabî al-A‘zham. Beirut: Dâr al-H adîts li-al-Thibâ‘ah wa-al-Nasyr, 2007.

al-Amîn, al-Imâm al-Sayyîd Muhsin. A‘yân al-Syî‘ah. Editor al-Sayyid Hasan al-Amîn. Beirut: Dâr al-Ta‘âruf li-al-Mathbû‘ât, 1998.

al-Asy‘arî, al-Imâm Abû al-Hasan ‘Alî ibn Ismâ‘îl. Maqâlât al-Islâmiyyîn wa-Ikhtilâf al- Mushallîn . Editor Muhammad Muhy al-Dîn ‘Abd al-Hamîd. Kairo: Maktabat al- Nahdhah al-Mishriyyah, 1950.

al-Bazm, ‘Abd al-Fatâh. ”al-Ikhtilâf Rahmah lâ Khilâf”. Risâlat al-Taqrîb: Majallat al- Majma‘ al-‘Âlamî li-al-Taqrîb bain al-Madzâhib al-Islâmiyyah , al-Majma‘ al-‘Âlamî li- al-Taqrîb bain al-Madzâhib al-Islâmiyyah, No. 88, 2011.

Calder, Norman. ”Doubt and Prerogative: The Emergence of an Imâmî Syî‘î Theory of Ijtihâd”. Studia Islamica , No. 70 (1989), 57-78, Maisonneuve & Larose, htp://www. jstor.org/stable/1595678 (diakses 5 April 2012).

al-Dasûqî, Muhammad. ”al-Tahaddiyyât al-Kubrâ al-latî Tuwâjihu al-Taqrîb”. Risâlat al- Taqrîb , No. 88, 2011.

Garner, Bryan A. Ed. Black’s Law Dictionary. Eighth edition. Santa Paul: Thomson, West, 2004.

al-Ghathâ’, Muhammad al-Husain al-Kâsyif. Ashl al-Syî‘ah wa-Ushûluhâ. Edisi Keempat. Beirut: Mu’assasat al-A ‘lamî li-al-Mathbû‘ât, 1993.

al-Hakîm, Muhammad Taqî. al-Ushûl al-‘Âmmah li-al-Fiqh al-Muqâran: Madkhal ilâ Dirâsat al-Fiqh al-Muqâran , Cet. ke-2. T.tp.: Markaz al-Tibâ‘ah wa-al-Nasyr li al-Majma‘ al-‘Alami li-Ahl al-Bait ‘Alaihim al-Salâm, 1427.

Halm, Heinzm. Shi‘ism. Second edition. Ttranslated from German as Die Schia by Janet Watson. United Kingdom: Edinburgh University Press Ltd, 2004.

Hashem, O. Syiah Ditolak Syiah Dicari . Cet. ke-5. Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2011. al-Hillî, Jamâl al-Dîn Abî Manshûr al-Hasan ibn Yûsuf ibn al-Muthahhir al-Ma‘rûf bi-

al-‘Allâmah. Tahrîr al-Ahkâm al-Syar‘iyyah ‘alâ Madzhab al-Imâmiyyah: Mausû‘ah Fiqhiyyah Kâmilah Masykhûnah bi-al-Takhrîj au-al-Tafrî‘. Tahqîq al-Syaykh Ibrâhîm al-Bahâdirî. Qum: Mu’assasat al-Imâm al-Shâdiq a.s., 1421.

Hourani, A. Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939. Oxford: Oxford University Press, 1970.

http://www.gatra.com/nasional-cp/1-nasional/6511-perbedaan-sunni-dan-syiah (diakses 7 Maret 2012).

htp://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/11/05/20/llhvhk-mau- tahu-perbedaan-sunni-dan-syiah (diakses 17 Maret 2012).

htp://www.republika.co.id/berita/internasional/global/11/05/20/llhs6p-beda-dengan- di-luar-negeri-di-indonesia-sunni-dan-syiah-bersatu (diakses 17 Maret 2012).

htp://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/12/01/03/lx7q99-pbnu- di-sampang-bukan-konlik-sunnisyiah-tapi-keluarga , (diakses 25 Juni 2012).

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

a hmad a li md

http://www.monitorindonesia.com/nasional/21-nasional/987-pembakaran-pesantren- syiah-di-madura-karena-konlik-keluarga-.html , (diakses 25 Juni 2012).

htp://nasional.inilah.com/read/detail/1814679/inilah-penyebab-konlik-syiah-sunni-di- sampang (diakses 25 Juni 2012).

al-Kasrawî, Ahmad. Al-Tasyayyu‘ wa-al-Syî‘ah . T.t.p.: Dâr al-Ridhâ, 2010. Lajnat Ta’lîf al-Qawâ‘id al-Fiqhiyyah wa-al-Ushûliyyah al-Tâbi‘ah li-Majma‘ Fiqh Ahl al-

Bait ‘Alaihim al-Salâm, Qawâ‘id Ushûl al-Fiqh ‘alâ Madzhab al-Imâmiyyah. Teheran: al-Jumhûriyyat al-Islâmiyyah al-Îrâniyyah, t.t.

Lalani, Arzina R. Early Syi‘i Thought: the Teachings of Imâm Muhammad al-Bâqir. New York:

I.B. Tauris, 2004. Laporte, Laurence Deschamps-. ”Deriving Laws: A Comparison between Ijtihad among

Syi‘a Muslims and Istihsân and Istishlâh among Sunni Muslims in Contemporary Islamic Thought”, Valley Humanities Review (Spring 2010), 1-10, htp://www.lvc. edu/vhr/2010/articles/deschampslaporte.pdf (diakses 5 April 2012).

Ma‘ârif, Mâjid. Sejarah Hadits, judul asli Tarikh-e Umumi_ye Hadits alihbahasa Abdillah Mushtafa. Jakarta: Nur Huda, 2012.

Mavani, Hamid. ”Paradigm Shit in Twelver Syi‘i Legal Theory (ushul al-iqh): Ayatullah Yusef Saanei.” The Muslim World (Vol. 99 April 2009), 335-355.

Moosa, Mati. Extremist Shi’ites: The Gulat Sects. Syracus: Syracus University Press, 2003. Mughniyyah, Muhammad Jawwâd. al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Khamsah: al-Ja‘farî-al-

H anafî-al-Mâlikî-al-Syâi‘î-al-Hanbalî. Kairo: Maktabat al-Syurûq al-Duwaliyyah, 2008.

Munhanif, Ali. Ed. Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Bandung: Mizan, 2002.

al-Mûsawî, ‘Abd al-Husain Syaraf al-Dîn. Al-Fushul al-Muhimmah fî Ta’lîf al-Ummah. Cet. ke-4. Najaf: Mathba‘ah al-Nu‘mân, 1967.

-------------. Al-Murâja‘ât: Rasâ‘il Mutabâdalah bain al-‘Alamain: al-Syaikh Salîm al-Bishrî Syaikh al-Jâmi ‘ al-Azhar-al-Sayyid Syaraf al-Dîn al- ‘Âmilî , ed. al-Majma‘ al-‘Âlamî li-Ahl al-Bait. Qum: Markaz al-Thibâ‘ah wa-al-Nashr li- al-Majma‘ al-‘Âlamî li-Ahl al- Bait, 1426.

-------------. Al-Nashsh wa-al-Ijtihâd . T.t.p.: Dâr al-Qâri’, 2008. al-Muzhafar, Muhammad Ridhâ. Ushûl al-Fiqh. Qum: Mu’assasat Mathbû‘ât Ismâ‘îliyân,

1421. Namazi, Mohammad. ”Ijtihâd: Takhthî’ah or Tashwîb”, Message of Thaqalayn, Vol. 10, No.

2 (Summer 2009), 71-86, htp://messageothaqalayn.com/38-Ijtihad.pdf (diakses 5 April 2012).

Richard, Yann. Shi’ite Islam: Polity, Ideology, and Creed . Oxford: Basil Blackwell Ltd., 1995. al-Rîsyahrî, Muhammad. Ahl al-Bait fî al-Kitâb wa-al-Sunnah. Beirut: Dâr al-H adîts, 2001. Sai, Omid. Ed. Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism. Oxford: Oneworld,

HARMONI September - Desember 2014

137 Shihab, M. Quraish. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?: Kajian atas Konsep

m engharmoniskan h ubungan s yiah dan s unni :P ersPektif u shul f ikih

Ajaran dan Pemikiran . Jakarta: Lentera Hati, 2007. al-Subhânî, Ja‘far. al-Rasâ’il al-Arba‘: Qawâ‘id Ushûliyyah wa-Fiqhiyyah Taqrîran li-Buhûts

al-Faqîh al-Muhaqqiq al-Syaikh Ja‘far al-Subhânî . Qum: Mu’assasat al-Imâm al- Shâdiq, 1415.

al-Suyûfî, Ahmad. ”al-Wahdah al-Islâmiyyah Dharûrah hatmiyyah wa-Wâjib Syar‘î”. Risâlat al-Taqrîb : Majallat al-Majma‘ al-‘Âlamî li-al-Taqrîb bain al-Madzâhib al- Islâmiyyah , al-Majma‘ al-‘Âlamî li-al-Taqrîb bayn al-Madzâhib al-Islâmiyyah, No.

86, 2011. al-Taskhîrî, al-Syaikh Muhammad ‘Alî. Haul al-Syî‘ah wa-al-Marji‘iyyah. Tehran: Majma‘

al-‘Âlamî li-Ahl al-Bait ‘alaihim al-Salâm, 2001. al-Thûsî, Syaikh al-Thâ’ifah Abî Ja‘far Muhammad ibn al-Hasan. Tahdzîb al-Ahkâm fî Syarh

al-Muqni‘ah li-al-Syaikh al-Mufîd Ridhwânullâh ‘alaih . Editor Sayyidunâ al-Hujjah al-Sayyid Hasan al-Mûsawî al-Kharasân. Tehran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah.

-------------. Al-Ibtishâr fî Mâ Ikhtalafa min al-Akhbâr . Tehran: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 1390. Yusdani. Peranan Kepentingan Umum dalam Reaktualisasi Hukum Islam: Kajian Konsep

Hukum Islam Najm al-Dîn al-Thûfî . Yogyakarta: UII Press, 2000.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

a hsanul k halikin

HARMONI September - Desember 2014

P enelitian

Penanganan Potensi Konlik Keagamaan di Cigugur Kabupaten Kuningan

Ahsahul Khalikin

Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Email : [email protected] Diterima redaksi tanggal 28 Oktober 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

This qualitative study aims to describe the pattern of the resolution of conlict with religious characteristics by government and civil society actors in Cigugur. This study looks at the use of local wisdom by the FKUB in resolving conlict as well as the provisions of PBM No. 8 and 8 of 2006. In Cigugur village, “religious” conlict was often resolved through the bonds of kinship solidarity and by emphasizing the similarities amongst the Sundanese co- ethnics. The recommendations of this study are: the Pluralism and toerance of Cigugur should be preserved as a model of religious harmony based on local wisdom. The pattern of harmonious interaction between interreligious communities in Cigugur should be a model for religious conlict resolution in other areas while still taking consideration of local wisdom in those areas. The study also inds thw need for the socialization of the Joint Ministerial Decree No. 9 and 8 of 2006.

Keyword; Resolution, Conlict, Religious Communities, Cigugur Village

Abstrak

Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan pola penanganan potensi konlik bernuansa keagamaan yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat Cigugur, pemerintahan di Cigugur hingga Pemerintah Daerah Kabupaten Kuningan. Kesimpulan penelitian ini antara lain: Pendekatan penanganan potensi konlik keaga maan yang dilakukan FKUB terhadap beberapa kasus, selain berbasis kearifan lokal yang ada pada masyarakat Cigugur, juga mengacu pada ketentuan PBM No.

8 dan 8 Tahun 2006; Pola resolusi konlik bernuansa keagamaan di Kelurahan Cugugur Kabupaten Kuningan, cenderung dibangun melalui ikatan-ikatan solidaritas kekeluargaan antar warga dan faktor kesamaan etnis kesundaan. Adapun rekomendasi penelitian ini adalah: Model pluralisme dan toleransi di Cigugur harus tetap dilestarikan sebagai sebuah model kerukunan umat beragama yang berbasis pada kearifan lokal. Pola interaksi yang harmonis antar umat beragama di Cigugur merupakan model yang khas yang bisa di jadikan rujukan dalam penyelesaian konlik keagamaan di daerah lain dengan tetap mempertimbangkan kearifan lokal yang ada di daerah tersebut; Perlu adanya sosialisasi Peraturan Bersama Menteri No.

9 dan 8 Tahun 2006.

Kata Kunci: Penanganan,

Konlik, Komunitas Keagamaan, Kelurahan Cigugur

P enanganan P otensi k onflik k eagamaan di c igugur k abuPaten k uningan

yakni: 1). Bagaimana pola interaksi sosial yang

penelitian,

Sejumlah upaya penanganan terjadi, melalui pola hubungan yang pasca konlik kerapkali terkesan tidak

non formal? 2). Bagaimana pendekatan tuntas. Hal ini selain ditengarai masih

penanganan potensi konlik keaga maan bersifat parsial dan belum terintegrasi yang dilakukan oleh masyarakat Cigugur

secara komprehensif-berkelanjutan, juga dan Pemerintah Daerah Kuningan? 3). dikarenakan pendekatan dan metode Bagaimana pola resolusi konlik antara

yang dilakukan belum cukup variatif dan umat Islam, Katolik dan Madraisme menjawab kebutuhan lapangan. Dalam

di Kelurahan Cugugur? , dan 4). Apa penanganan konlik, pola interaksi sosial

saja faktor pendukung dan penghambat lintas agama yang didasari oleh sikap-

penerapan penanganan potensi konlik sikap inklusif relatif mampu menjaga keagamaan tersebut?.

keharmonisan bahkan meredam konlik baik yang diakibatkan oleh benturan

Oleh karena itu, penelitian hubungan keagamaan tertentu maupun

ini bertujuan mendeskripsikan diakibatkan oleh faktor-faktor sosial pola penanganan potensi konlik

bernuansa keagamaan yang dilakukan semacam inilah yang dilakukan dalam

lainnya (Ahmad Ripai, 2010: 2). Pola

oleh berbagai kalangan masyarakat menangani potensi konlik di daerah

Cigugur, pemerintahan di Cigugur Cigugur, Kabupaten Kuningan, di mana

hingga Pemerintah Daerah Kabupaten masyarakatnya begitu heterogen dan Kuningan. Adapun manfaat penelitian ini plural dari segi agama dan keyakinan

diharapkan bermanfaat bagi Kementerian yang dianut yakni Islam, Katolik, Kristen

Agama RI dalam penga yaan pola Protestan, Hindu, Buddha dan Madraisme

penanganan kasus konlik keagamaan (kepercayaan lokal yang tumbuh di daerah

yang lebih efektif. Selain itu, penelitian

Cigugur) (Ahmad Rifai, 2010: 2).

ini juga diharapkan bermanfaat bagi peme rintah daerah, pegiat kerukunan,

Potensi konlik di Cigugur pasca serta masya rakat pada umumnya sebagai

dibentuknya Forum Kerukunan Umat piranti pembantu dalam proses peme- Beragama (FKUB) Kabupaten Kuningan

liharaan kerukunan antarumat beragama. disebabkan oleh beberapa hal, yakni:

1). Rencana pendirian Gereja HKBP di Blok Pasir, Cigugur; 2). Aktiitas ibadat

Jemaat Protestan Sekte Perjanjian Baru Kajian Terdahulu di perumahan GKI di daerah Cipicung;

Pada 2009 dan 2010, Puslitbang 3). Pembangunan menara Gereja Katolik

Kehidupan Keagamaan telah melaku- Baromoues di Sukamulya Cigugur. kan kajian upaya membangun

Meskipun demikian, interaksi sosial kedamaian (peace making) yang berhasil yang didasari sikap inklusif tersebut mengidentiikasi akar konlik etno- sedikit banyak tetap tampak dalam relasi

religius yakni antara lain, bahwa gejala sosial antara pemeluk Islam, Katolik dan

konlik musiman seringkali menjadi penganut kepercayaan lokal (Madraisme).

fenomena populer di tengah masyarakat Indonesia yang multi kultur. Tahun 2011,

Berdasarkan identiikasi masalah tersebut, rumusan permasalahan dalam

kajian kembali dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan fokus

penelitian ini yakni penanganan potensi konlik bernuansa keagamaan yang pemeliharaan kedamaian (peace building)

di Medan, Manado, Bali, dan Yogyakarta. dilakukan oleh masyarakat Cigugur

dan Pemerintah Daerah Kuningan Meskipun keempat wilayah ini dikenal damai namun tidak berarti kebal terhadap

dioperasionalkan dengan beberapa

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

a hsanul k halikin

konlik sebab potensi konlik sekecil bertujuan untuk mencegah konlik apapun pasti ada pada setiap komunitas

yang disertai kekerasan, baik kekerasan masyarakat beragama.

langsung maupun struktural, terutama bagi konlik dengan kekerasan langsung.

Kajian yang dilakukan Ahmad Ripaí Menurut Richard E. Rubenstein (1996) (2010), menitik beratkan pada bagaimana

dalam bukunya Konlict Resolution and interaksi sosial antar umat beragama Politic, menyatakan bahwa “ conlict

di Kelurahan Cigugur yang plural dari management bertujuan memoderasi atau aspek keagamaannya, termasuk seting

memberadabkan efek-efek konlik tanpa sosial dan dialektika umat Islam dan perlu menangani akar konlik dan sebab- penganut Madraisme sebagai bagian sebabnya.”

yang tidak terpisahkan dari dialektika keberagamaan masyarakat Cigugur.

Walaupun demikian, beberapa Kondisi harmoni masyarakat Cigugur ilmuwan sosial meredeinisi conlict saat ini merupakan hasil proses dialektika

management sebagai konsep yang tidak yang panjang antar berbagai pemeluk

hanya bertujuan mencegah kekerasan agama selama kurun waktu tertentu. dalam

melalui praktek Kajian lain dilakukan oleh Ihsan Ali pengelolaan tetapi juga mentransformasi Fauzi, dkk (2009), dengan tema “Pola-

konlik

konlik. Hal ini berarti conlict management Pola Konlik Keagamaan di Indonesia

bukan sekedar conlict containment tetapi (1990-2008). Kajian yang diselenggarakan

tentang bagaimana mengkontruksi oleh Yayasan Waqaf Paramadina (YWP)

pemecahan masalah dan menangani bekerjasama dengan Magister Perdamaian

akar-akar konlik. Ahmad Azem Hamad dan Resolusi Konlik Universitas Gadjah

(2005) dalam Reconseptualisation of Conlict Mada (MPRK-UGM), The Asia Foundation

Management beragumentasi bahwa istilah (TAF) ini antara lain menemukan bahwa

manajemen tidak hanya tentang ‘to manage’ dari segi tingkat insiden, dua pertiga

atau‘to cope with’ tetapi juga ‘to administer’. dari konlik keagamaan di Indonesia

Oleh karenanya ia menyatakan bahwa mengambil bentuk aksi-aksi damai, dan

conlict management adalah suatu disiplin hanya sepertiganya yang berbentuk aksi-

dan istilah yang bisa dimanfaatkan juga aksi kekerasan. Penelitian ini berhasil untuk mentransformasi konlik. mendeskripsikan bentuk penanganan potensi

konlik

keaga maan

oleh

berbagai pihak, mengidentiikasi tingkat

Deinisi Konseptual

efektivitasnya, dan menemukan pola penanganan yang dinilai efektif.

Kata penanganan merujuk pada serangkaian upaya proses yang mendukung penyelesaian

kasus keagamaan. Hal ini mencakup manajemennya, tahap-tahap prosesnya,

Kerangka Teori

Conlict management (pengelolaan hingga aktivitas para partisipan dalam konlik) secara deinitif merupakan usaha

proses tersebut. Aktor dari penanganan mereduksi dan menekan (containment)

konlik, selain peran serta pemerintah selama

juga masyarakat pelaku konlik setelah pelaksanaan wewenang dan kekuasaan

mengalami kejenuhan dalam berkonlik (power). Sehingga konlik bersifat

sehingga mereka bersepakat untuk produktif dalam pengertian tercapainya

melakukan resolusi konlik. suatu resolusi yang memenangkan semua pihak yang berkonlik. Conlict

Sedangkan konlik keagamaan management

(pengelolaan merupakan situasi di mana individu atau konlik) kelompok mengalami pertentangan dan

HARMONI September - Desember 2014

141 dilema terhadap wilayah agama, bersifat

P enanganan P otensi k onflik k eagamaan di c igugur k abuPaten k uningan

Sasaran penelitian ini adalah manifes dan laten, dapat memberikan

masyarakat Kelurahan Cigugur, kontribusi negatif (kekerasan) dan positif

Kecamatan Cigugur, Kabupaten (damai), serta dapat dicegah, dikelola, dan

Kuningan yang pernah mengalami dipecahkan sumber-sumber konliknya.

konlik. Penelitian ini difokuskan pada Sumber konlik di antaranya berkaitan

potensi konlik yang bersifat surface conlic dengan pendirian tempat ibadah, dan open conlic sehingga penanganannya penyiaran agama, bantuan luar negeri,

menggunakan pilihan pendekatan, perkawinan berbeda agama, perayaan antara lain: conlic setlement. Kasus

hari besar keagamaan, penodaan agama, yang dicermati adalah problematika kegiatan aliran sempalan, dan aspek penanganan potensi konlik kerukunan aspek non-agama.

umat beragama pasca dibentuknya FKUB Kabupaten Kuningan.

Adapun komunitas merupakan sekumpulan individu-individu yang mengelom pok, menyatu karena ada

persamaan minat tertentu, konform Gambaran Umum Wilayah Penelitian

dengan sukarela terhadap nilai-nilai

geograis Kelurahan yang tertanam di masyarakat, dan Cigugur terletak di sebelah Barat dari menampilkan sisi internal-eksternal pusat Kabupaten Kuningan yang berjarak (sosial) spiritual. Komunitas dalam 3,5 Km dari ibukota kabupaten dan

Secara

penelitian ini dapat berasal dari terletak di kaki gunung Ciremai. Kondisi kalangan agama (Islam, Kristen, Katolik, geograis tanahnya terdiri dari: sebelah serta penganut Madraisme) dan non- Utara merupakan dataran rendah yang keagamaan (adat, lintas agama, dan lain berfungsi sebagai lahan persawahan dan sebagainya). tanaman pangan. Sebelah Timur dataran

rendah berupa persawahan dan sebagian berupa perbukitan, sebelah Selatan

Metode Penelitian

dataran rendah persawahan, dan sebelah Penelitian ini menggunakan Barat dataran tinggi dan perbukitan. pendekatan kualitatif. Analisis data yang

Tingkat pendidikan masyarakat digunakan adalah analisis deskriptif dan

Cigugur tergolong cukup baik. Dari eksploratif. Teknik dan pengumpulan jumlah penduduk 7.084 orang, yang lulus

data yang digunakan adalah wawancara, perguruan tinggi/akademi sebanyak 543 observasi, studi dokumentasi dan orang, SLTA 2.764 orang, SLTP 773 orang

kepustakaan. Analisis kualitatif dilakukan dan tamat SD 1.752 orang. Sedangkan terhadap data yang terkumpul melalui sarana pendidikan yang ada meliputi: wawancara, observasi, dan studi Taman Kanak-Kanak (TK) 2 buah,

dokumentasi. Teknik analisis yang Sekolah Dasar Negeri (SDN) 3 buah, digunakan mencakup tiga proses analisis SLTP sebanyak 3 buah, SLTA sebanyak 3 seperti yang dikemukakan oleh Miles dan buah dan Perguruan Tinggi ada 1 buah Huberman yaitu: reduksi data, penyajian

yaitu STAI Al-Ihya.

data dengan cara mengorganisasikan dan memaparkan data sedemikian rupa,

Penduduk Cigugur umumnya penggambaran dan pembuktian yang berasal dari Suku Sunda yang

melibatkan peneliti dalam interpretasi menggunakan Bahasa Sunda dalam terhadap data yang disajikan sehingga

kesehariannya. Namun untuk daerah dapat dipahami maksudnya, kemudian

perbatasan dengan Jawa Tengah ditarik kesimpulan yang bertalian dengan

mereka juga ada yang bertutur dengan tujuan penelitian.

menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Sunda

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

a hsanul k halikin

HARMONI September - Desember 2014

yang digunakan di Kuningan memiliki ciri tersendiri (wewengkon) dibandingkan dengan Bahasa Sunda yang digunakan di daerah Pariyangan Barat.

Kondisi sosial masyarakatnya sesuai dengan ciri khas masyarakat Sunda di pedesaan sangat sederhana. Masyarakat Cigugur dikenal sebagai masyarakat kekeluargaan yang penuh kekerabatan dan paternalistik. Tipe masyarakat kekeluargaan atau kekerabatan dikarenakan: Pertama, mereka saling mengenal dengan baik di antara warga satu dengan warga yang lainnya. Kedua, memiliki keintiman sosial yang tingi di antara warganya. Ketiga, memiliki rasa persaudaraan yang tingi. Keempat , memiliki jalinan sosial emosional yang kuat dikalangan warganya. Kelima, mereka biasa saling membantu dan menolong atas dasar kekeluargaan.

Berdasarkan agama yang dianut: penduduk yang memeluk agama Islam berjumlah 4.075 orang (56,77 %) Katolik berjumlah 2.620 orang (37,83%), Kristen berjumlah 195 orang (3.08%), penghayat kepercayaan (penganut Madraisme) berjumlah 175 orang (2.17%) dan sisanya Hindu 6 orang (0,02%) dan Buddha 12 orang (0,12%). Secara historis, kehadiran agama di Cigugur, ditandai dengan kehadiran agama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan aliran kepercayaan lokal (Madraisme) atau dulu Agama Djawa Sunda (ADS). Dengan pendekatan yang partisipatif dan persuasif, mereka dapat membangun harmoni dan toleransi antar agama.

Kasus Konlik Keagamaan

Pasca dibentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Kuningan tahun 2006, masyarakat memandang pembentukan tersebut relatif berperan dalam menangani masalah-masalah konlik keagamaan khususnya terkait peran

FKUB Kabupaten Kuningan mewadahi kerukunan umat beragama dan sekaligus tempat berhimpun perwakilan seluruh umat beragama. Berbagai masalah konlik antar umat beragama dibicarakan dan diselesaikan dengan musyawarah melalui FKUB dan beberapa permasalahan antar umat beragama yang muncul pun dapat diselesaikan dengan bjak di FKUB (H. Achidin Nur, Lc, MA; Ketua FKUB Kabupaten Kuningan)

Masalah-masalah antar umat beragama yang muncul berkaitan dengan: 1). Rencana pendirian Gereja HKBP di blok Pasir, Cigugur. Dalam peristiwa ini, pihak HKBP tidak memenuhi ketentuan persyaratan PBM 8 dan 9 Tahun 2006, terutama izin warga setempat, termasuk warga Katolik yang tinggal di daerah itu. Setelah melalui rapat internal FKUB, FKUB tidak bisa memberikan rekomendasi berkaitan dengan pendirian gereja HKBP; 2). Adanya Jamaat Protestan Sekte Perjanjian Baru yang melakukan aktivitas ibadah di perumahan GKI di daerah Cipicung; 3). Pemindahan Gereja Protestan GKI di Jalan Siliwangi Kabupaten Kuningan, karena sulit mendapat izin warga sekitar, maka setelah melalui rapat di FKUB rencana pemindahan Gereja GKI dibatalkan oleh pihak GKI; 3). Pembangunan Gereja Katolik Baromoues di Sukamulya Cigugur yang tidak sesuai dengan IMB.

Penanganan Potensi Konflik Keagamaan

Keanekaragaman agama di Kelurahan Cigugur, pada satu sisi merupakan suatu kekayaan yang dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi tersebut dapat membawa dampak buruk bagi kehidupan masyarakat Cigugur, apabila terdapat kondisi ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan

P 143 enanganan P otensi k onflik k eagamaan di c igugur k abuPaten k uningan

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

kesenjangan sosial, ekonomi, kemiskinan serta dinamika kehidupan politik yang tidak terkendali. Kondisi-kondisi tersebut menempatkan Cigugur sebagai salah satu daerah yang rentan konlik. Konlik yang terjadi di suatu masyarakat sudah tentu mengakibatkan hilangnya rasa aman, menciptakan rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis (dendam, kebencian dan perasaan permusuhan). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Kuningan terus melakukan upaya penanganan konlik dengan sejumlah strategi penanganan sebelum terjadinya beberapa potensi konlik di atas. Berbagai upaya terus dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, termasuk membentuk kerangka regulasi baru.

Mengacu kepada strategi penanganan konlik yang dikembangkan oleh pemerintah, maka kerangka regulasi yang ada juga mencakup tiga strategi, yaitu: 1). Kerangka regulasi dalam rangka upaya pencegahan konlik

seperti regulasi mengenai kebjakan dan strategi pembangunan yang sensitif terhadap konlik dan upaya-upaya untuk tidak terjadinya konlik; 2). Kerangka regulasi bagi kegiatan penanganan konlik pada saat terjadi konlik yang meliputi upaya penghentian kekerasan sosial dan mencegah jatuhnya banyak korban manusia maupun harta benda; 3). Peraturan yang menjadi landasan bagi pelaksanaan penanganan pasca konlik yaitu ketentuan yang berkaitan dengan tugas penyelesaian sengketa/proses hukum, serta kegiatan-kegiatan recovery, reintegrasi dan rehabilitasi.

Pihak-Pihak yang Berperan dalam Penanganan Konlik

Sejak tahun 2006 - 2011 H. Achidin Nur, Lc, MA menjabat Ketua FKUB Kabupaten Kuningan. Selama

kepemimpinannya di FKUB Kabupaten Kuningan, H. Achidin cukup bagus dalam melakukan berbagai upaya agar tidak muncul potensi konlik di masyarakat. Pada tahun berikutnya beliau pun diminta untuk kembali melanjutkan kepemimpinannya sebagai Ketua FKUB Kabupaten Kuningan.

Berbagai kasus potensi konlik antar umat beragama yang terjadi di Kelurahan Cigugur khususnya maupun Kabupaten Kuningan pada umumnya, sejak dibentuknya kepengurusan FKUB Kabupaten Kuningan pada tahun 2006 hingga saat ini, dapat diselesaikan dengan baik melalui pendekatan persuasive dan kekeluargaan. Sehingga potensi konlik tersebut tidak menimbulkan benturan dan pertikaian yang berdampak secara isik maupun non-isik terhadap masyarakat.

Proses Penanganan Konlik

Rencana Pendirian Gereja HKBP di Blok Pasir, Cigugur.

Sejak tahun 2006 – 2008, masalah pertama yang dihadapi FKUB Kabupaten Kuningan adalah adanya sekelompok umat Kristen Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) bermaksud mendirikan gereja di Blok Pasir yang berdekatan dengan Gereja Katolik. Dalam menangani kasus ini pihak HKBP diminta untuk memenuhi ketentuan yang ada dalam PBM No. 9 & 8 Tahun 2006. Ketua FKUB selalu memberikan arahan dan sosialisasi terkait aturan tersebut kepada pihak HKBP, dan jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, pihak FKUB tidak akan memberikan rekomendasi pendirian rumah ibadat kepada Bupati. Setelah ditelusuri umat Katolik tidak mau menandatangani izin pendirian Gereja HKBP, bahkan umat Katolik justeru menolak adanya bangunan Gereja HKBP di sana. Selain umat Katolik, ada pula ormas-ormas Islam seperti GAPAS dan lainnya. Dalam peristiwa tersebut nyaris

a hsanul k halikin

HARMONI September - Desember 2014

terjadi keributan, namun situasi ini dapat dikendalikan oleh pengurus FKUB berkat kesigapan Ketua FKUB mengundang semua ormas Islam lalu menjelaskan persoalannya. Setelah ditunggu sekian bulan ternyata tidak kunjung ada kabar, akhirnya pihak FKUB memberikan rekomendasi kepada bupati untuk penolakan pembangunan Gereja HKBP.

Namun, Bupati Kuningan tetap memanggil panitia pembangunan Gereja HKBP meskipun terdapat klausul penolakan pendirian Gereja HKBP dalam rekomendasi FKUB. Dalam pertemuan tersebut yang dihadiri oleh pengurus FKUB, Bupati Kuningan mencoba berbicara dengan beberapa pendeta dan menanyakan apakah umat HKBP bisa ikut beribadat di gereja lain dengan waktu yang diatur sedemikian rupa. Djawab oleh para pendeta, bisa dilakukan seperti Gereja GKI, Bethel. Namun pihak HKBP menjawab tidak mau, karena persoalannya bukan hanya sekadar itu saja melainkan pihak HKBP ingin eksis. Kalau hanya sekadar ibadat dipersilakan GKI dan Bethel tidak menjadi masalah, tetapi alasannya karena perbedaan liturgi dan masalah lainnya.

Pihak FKUB kemudian melakukan rapat untuk urun rembug dan pihak panitia pembangunan Gereja HKBP dipanggil. Dalam rapat tersebut dihadirkan pula Wakil Bupati Kuningan sebagai Ketua Penasehat. Setelah melakukan urun rembug akhirnya pihak HKBP dapat menerima. Ketua FKUB berpendapat bahwa meskipun dalam undang-undang tidak membedakan jenis suku dan gerejanya, namun menurutnya yang penting adalah kebutuhan nyata adanya gereja, sehingga selama masih bisa beribadat di gereja lain kenapa hal tersebut tidak dilakukan.

Pihak panitia pembangunan Gereja HKBP pada saat itu bersikeras, namun masyarakat sekitarnya tetap tidak mengizinkan. Pihak panitia pembangunan

Gereja HKBP pernah dinasehati oleh Pendeta Gereja Pasundan dan Pendeta Gereja Bethel agar mereka tidak memaksakan diri karena pada akhirnya bisa memunculkan masalah di wilayah tersebut. Selanjutnya mereka mencoba memakai gedung sementara, tetapi tetap mendapat protes masyarakat sekitarnya. Kemudian mereka berpindah ke Hotel Permai di Cjuhu. Awalnya pemilik hotel tidak mengetahui ada kebaktian, tetapi setelah mengetahui, mereka kemudian ditolak melakukan kebaktian. Setelah kejadian tersebut tidak pernah terdengar lagi informasi mengenai aktivitas jemaat HKBP di sana.

Aktivitas Ibadah Jamaat Protestan Sekte Perjanjian Baru di Perumahan GKI, Cipicung.

Masyarakat memprotes acara kebaktian jemaat Kristen Protestan Sekte Perjanjian Baru (dipimpin oleh seorang pendeta perempuan), di perumahan wilayah Cipicung. Ketua FKUB kemudian memanggil semua pihak termasuk pendeta yang bersangkutan dan menjelaskan tentang hak dan kewajiban menggunakan perumahan. Setelah itu, pendeta pun menyatakan bahwa tindakannya salah. Ketua FKUB pun menjelaskan bahwa aturan kebebasan beragama memang ada, tetapi kebebasan seseorang juga terbatasi oleh kebebasan orang lain, sehingga diperlukan adanya aturan. Namun demikian, kejadian ini dapat diselesaikan dengan damai dan melalui kesepakatan bersama.

Pemindahan Bangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI)

Kasus pemindahan Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Siliwangi Lebak – Kuningan, sempat membuat masyarakat ribut kurang lebih enam bulan lamanya karena masyarakat tidak mengizinkan. kejadian ini dapat

145 diselesaikan dan pemindahan Gereja

P enanganan P otensi k onflik k eagamaan di c igugur k abuPaten k uningan

Analisis

GKI itu dibatalkan oleh pihak Gereja GKI karena sulitnya mendapatkan jin

Meskipun dalam teori konlik

60 orang. Selanjutnya rekomendasi ditegaskan bahwa apabila suatu FKUB kepada Bupati Kuningan adalah

penduduk tertentu memiliki beragam pembatalan pemindahan gereja tersebut.

agama yang secara kuantitas berimbang maka rentan terjadinya konlik yang sangat besar. Namun, keadaan damai sangat terasa di Kelurahan Cigugur.

Pembangunan Menara Gereja Baromoues Pemeluk Islam, Katolik, Kristen dan Katolik di Sukamulya Cigugur penganut Madraisme serta agama

Kasus yang relatif lama lainnya di Kelurahan Cigugur tidak penyelesaiannya adalah pembangunan mengelompok di suatu blok/dukuh atau Gereja Baromoues Katolik di Sukamulya

rukun tetangga tertentu, tetapi menyebar Kelurahan Cigugur. Kejadian penolakan

secara membaur di seluruh wilayah masyarakat terhadap pembangunan kelurahan, walaupun tidak merata menara setinggi 17 meter hampir berujung

jumlahnya pada empat blok/dukuh di pada pembakaran oleh masyarakat kelurahan yang ada. sekitarnya. Namun peristiwa ini dapat diselesaikan dengan baik melalui

Hubungan antar pemeluk agama pendekatan kultural oleh Pemerintah di Kelurahan Cigugur dilakukan melalui

Daerah, FKUB yang dapat diterima kegiatan sehari-hari, kegiatan bersama oleh semua pihak. Selanjutnya menara

dalam masyarakat dan kegiatan dalam tersebut dirobohkan.

organisasi. Kegiatan hidup sehari -hari berbentuk hubungan pergaulan maupun hubungan pekerjaan. Hubungan pergaulan bisa terjadi di lingkungan

Faktor Pendukung

tempat tinggal mereka masing-masing, Gotong royong sebagai unsur di kios, di warung dan di pelbagai

perekat masyarakat di Cigugur telah tempat ketika mereka bertemu, misalnya berlangsung sejak lama tanpa melihat

para petani dan buruh tani di sawah, perbedaan agama. Di samping itu, para peternak susu sapi dengan para terdapat tradisi Seren Taun sebagai unsur

pengurus koperasi, para pengusaha perekat lainnya. Dalam upacara ini umat

kecil di tempat kerjanya, para pedagang Katolik cukup berperan. Umat Katolik

di kios, warung dan pasar, para guru sangat menyadari bahwa peristiwa di sekolah tempat kerja. Sedangkan budaya ini adalah peristiwa kebudayaan

kegiatan bersama dalam masya rakat yang sudah turun menurun dilakukan.

berbentuk kegiatan kerja bakti memper- Dalam masyarakat Cigugur juga sering

baiki jalan, membangun rumah ibadat, diucapkan moto “damai di kaki gunung

jembatan atau saluran pengairan sawah. cermai ” agar terinternalisasi pada setiap jiwa anggota masyarakat. Selain itu,

Selain bentuk hubungan- silaturahmi para tokoh agama dan tokoh

hubungan sosial keagamaan, di masyarakat juga berlangsung pada masyarakat Cigugur juga terdapat pola saat hari Idhul Fitri, Natal, pertemuan-

hubungan kekerabatan yang cukup pertemuan. Bahkan di antara mereka kuat, meskipun tidak berbentuk marga

saling berkunjung dan mendoakan sebagaimana halnya di Sumatera Utara. apabila terdapat warga yang sedang sakit.

Struktur kekerabatan dan kekeluargaan Semua hal tersebut telah menjadi faktor

di Cigugur ini ditinjau dari agama penting dalam kerukunan antarwarga di

yang dipeluknya tidak mesti menjadi Cigugur.

satu komunitas. Artinya belum tentu

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

a hsanul k halikin

HARMONI September - Desember 2014

nenek moyangnya beragama Islam anak cucunya juga Islam. Tipe kekerabatan seperti itu cukup banyak di Cigugur ini, sehingga menjadi suatu hal yang biasa. Mereka dapat memilih agama sesuai dengan hati nurani masing-masing, tanpa terikat oleh struktur keluarga dan kekerabatan. Struktur kekerabatan seperti ini sudah berjalan cukup lama, yakni sejak banyak penduduk Cigugur yang mayoritas beragama lokal Djawa Sunda (Madraisme pada masa lalu) memilih berpindah menjadi pemeluk agama Katolik, karena ADS menyatakan membubarkan diri, ketika dipimpin oleh pangeran Tedjakusuma atas tekanan umat Islam dan pemerintah pada Tahun 1964.

Di balik keharmonisan tersebut ditemukan beberapa masalah sosial yang berakibat konflik. Meskipun skalanya kecil, namun pada akhirnya akan melibatkan institusi keagamaan tertentu seperti soal pembagian daging korban pada hari Raya Idul Adha, penjualan beras murah dari gereja, makan daging binatang yang disembelih orang Katolik dari slametan, orang Islam mengucapkan selamat Natal kepada orang Katolik dan pernikahan lintas agama.

Dari berbagai masalah yang menimbulkan potensi konflik tersebut, ternyata di Cigugur telah terjadi penyesuaian, artinya masyarakat segera mengambil langkah agar perbedaan masalah tersebut tidak menimbulkan ketegangan yang sampai terjadi pertikaian atau kekerasan. Semua unsur yang terdapat dalam masyarakat Cigugur menjadi sumber kekuatan kearifan lokal yang bisa mencegah terjadinya berbagai konflik yang kemudian dijadikan sebagai landasan Ketua FKUB beserta pengurusnya dalam melakukan penanganan berbagai potensi konflik, termasuk kasus-kasus rumah ibadat

yang terjadi sejak dibentuknya FKUB Kabupaten Kuningan hingga saat ini. Selain berdasarkan pada kearifan lokal yang ada, ketentuan PBM No. 8 dan 8 Tahun 2006 pun menjadi sumber utama Pengurus FKUB Kabupaten Kuningan dalam menempuh kebijakannya untuk memberikan sebuah rekomendasi yang bertujuan untuk kepentingan umat beragama.

Faktor yang Mempengaruhi Toleransi Antar Umat Beragama.

Situasi harmoni di Kelurahan Cigugur, tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui proses panjang, dimulai dengan diadakannya berbagai pertemuan-pertemuan, diskusi dan ke giatan sosial. Tokoh-tokoh yang menggalang kegiatan tersebut dari pihak Islam di antaranya adalah Pak Ono Djuwarno dan Pak Endon Najmudin, sedangkan tokoh Katolik adalah Pak Ono Darno, Pak E. Murkenda serta Bapak Kepala Kelurahan Ujang Sutrisna, S.Sos yang juga beragama Islam dan Pak Sulkan, Sekretaris kelurahan yang beragama Kristen. Mereka kemudian membentuk sebuah lembaga sebagai mediasi yaitu Ta’mir Masjid dan Dewan Gereja tingkat kelurahan. Kedua lembaga tersebut secara bersama-sama berusaha agar warga Cigugur tetap hidup rukun dan harmonis meskipun berbeda agama.

Faktor Kekerabatan dan Kearifan Lokal Sunda

Cigugur adalah kelurahan yang memiliki pola kekerabatan atau kekeluargaan yang terpelihara dengan baik, oleh karena itu paguyuban dan hubungan kekeluargaan di antara mereka masih kuat. Tanda-tanda itu bisa terlihat dalam beberapa kegiatan sehari-hari. Pagi dan sore hari mereka bekerja ke sawah. Apabila jalan rusak,

P 147 enanganan P otensi k onflik k eagamaan di c igugur k abuPaten k uningan

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

mereka memperbaiki secara bergotong royong; apabila ada tetangga yang mempunyai acara, mereka dengan suka rela membantu; apabila ada tetangga yang terkena musibah, mereka menolongnya. Bahkan ketika seorang warga membangun rumah, mereka juga ikut membantunya tanpa minta imbalan apapun. Rasa persaudaraan mereka sangat kuat, sehingga seorang warga masyarakat akan saling mengenal warga yang satu dengan warga yang lainnya.

Kegiatan-kegiatan masyarakat dilaksanakan atas dasar kesepakatan bersama melalui pola kekeluargaan dan gotong-royong. Kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan melibatkan banyak orang tanpa memandang status sosial dan agamanya seperti halnya ketika seorang warga masyarakat menikahkan putranya maka semua tetangga dan kerabat turut membantunya, baik dalam bentuk bantuan tenaga untuk mempersiapkan segala sesuatunya maupun sumbangan dana dan bahan-bahan pokok untuk menjamu para tamu yang diundangnya. Ketika ada masyarakat membangun sarana ibadah masjid atau gereja misalnya, maka masyarakat Cigugur tanpa memandang rumah ibadah agama, secara bergotong royong ikut membantu antara satu dengan lainnya.

Beberapa faktor lain yang menyebabkan kegiatan masyarakat di Cigugur ini masih berjalan dengan baik, antara lain: 1). Sebagian besar warga masyarakat adalah petani dan buruh tani, mereka punya banyak waktu luang karena pekerjaan petani bersifat musiman; 2). Solidaritas sosial yang cukup baik; 3). Ikatan emosional cukup terjalin sehingga apabila ada kegiatan gotong royong di masyarakat, seseorang warga tidak mengikuti kegiatan itu maka ia akan mempunyai perasaan bersalah.

Hubungan kekerabatan semacam ini di Cigugur merupakan bagian yang sangat mendasar sebagai upaya membangun kerukunan antar umat beragama dan pencegahan konflik sosial keagamaan. Mereka akan hidup rukun walaupun agama yang dipeluknya berbeda, karena terikat dengan hubungan darah. Apabila ada seorang yang anggota keluarganya, walaupun agama mereka berbeda, keyakinannya juga berbeda, mereka tetap ikut mendoakan dengan cara yang dianjurkan oleh ajaran agama mereka.

Menurut penuturan Ono Djuwarno, apabila ada orang tua atau kerabat meninggal dunia, ia beragama Islam, sedangkan anaknya ada yang beragama Islam dan ada yang beragama Katolik, maka acara mendoakan arwahnya menjadi dua tahap. Tahap pertama dilakukan oleh anaknya yang beragama Islam bersama saudaranya Muslim dengan pembacaan Surat Yasin, tahlil dan pembacaan doa. Setelah selesai maka tahap kedua dilakukan oleh anak yang beragama Katolik dengan membaca doa-doa sesuai dengan tuntunan ajaran agamanya. Peristiwa ini terjadi tanpa ada masalah apa-apa. Sedangkan kegiatan shalat jenazah tetap hanya dilakukan oleh anaknya yang Muslim dan saudara-suadara yang muslim lainnya.

Sering bertemunya sesama warga di Cigugur merupakan sebuah mekanisme membangun kerukunan dan pencegahan konflik lintas agama. Ketegangan yang mungkin muncul pada orang per orang akan segera tersebar kepada seluruh warga dan melalui komunikasi informal, para tokoh agama dan tokoh masyarakat akan segera bertindak untuk mendamaikannya sehingga konflik segera bisa diatasi, kehidupan masyarakat akan kembali damai.

a hsanul k halikin

HARMONI September - Desember 2014

Pertemuan dan Kerjasama Antarwarga Berbeda Agama

Salah satu faktor yang dapat menciptakan toleransi dan harmoni serta terhindarnya konlik antar pemeluk agama di Kelurahan Cigugur adalah intensifnya pertemuan, dialog dan diskusi warga masyarakat. Salah satu pertemuan tersebut adalah pertemuan dalam perikatan organisasi, yaitu pertemuan yang dilaksanakan oleh organisasi kelurahan, yang anggotanya terdiri atas unsur pemeluk agama Islam, Katolik, Kristen, penganut Madrisme dan Hindu dan Buddha. Organisasi yang sering menyelenggarakan pertemuan ini adalah Lembaga Perdayaan Masyarakat (LPM), Badan Permusyawaratan Kelurahan (BPD), dan kelompok tani. Berbagai organisasi tersebut selalu mengadakan pertemuan silih berganti, sekurang-kurangnya setiap bulan sekali.

Dalam setiap pertemuan, tidak selalu membi carakan masalah sosial keagamaan, namun cenderung masalah -masalah bersama yang dihadapi warga sehari-hari, seperti masalah sosial, politik, ekonomi, budaya hingga keamanan. Namun, oleh karena anggota organisasi ini pada umumnya tokoh- tokoh agama di Cigugur, baik dari kalangan Islam, Katolik, Kristen dan penganut Madraisme serta Hindu dan Buddha, maka di sela-sela pertemuan yang membicarakan acara pokok atau sebelum acara itu dimulai, para tokoh itu sering berdiskusi dan berdialog serta menyampaikan ketentuan-ketentuan dan kegiatan kegiatan yang secara rutin harus dilakukan oleh mereka masing-masing, misalnya bagi umat Islam harus melakukan shalat lima kali sehari semalam, shalat jumat, puasa ramadhan, takbir malam hari raya, tadarus al-Quran di malam ramadhan, kurban dan sebagainya.

Demikian pula warga Katolik atau Kristen, mereka menyampaikan berbagai informasi tentang kewajiban mereka, seperti sembahyang di gereja setiap malam Minggu, acara ritual (Muji Allah) di lingkungan mereka tiap- tiap malam jumat, kegiatan ziarah ke Goa Bunda Maria, ritual pada waktu Natal, kelahiran Yesus, wafatnya Yesus dan sebagainya. Organisasi kelurahan sebagaimana uraian diatas, keanggotaannya sengaja disusun dengan komposisi yang berimbang antara pemeluk Islam, Katolik, Kristen, penganut Madraisme. Komposisi tersebut merupakan komposisi yang tepat, sehingga para tokoh-tokoh itu bisa secara intensif sering, berdialog dan berdiskusi untuk membicarakan permasalahan bersama yang terkait dengan kehidupan sosial keagamaan.

Pelestarian Tradisi Seren Taun

Seren Taun merupakan tradisi permohonan syukur masyarakat khususnya masyarakat Cigugur, Kabupaten Kuningan sebagai masyarakat agraris kepada Sang Pencipta Kehidupan. Upacara Seren Taun yang diselenggarakan di Cigugur Kabupaten Kuningan pada awalnya merupakan kegiatan budaya penganut aliran Madraisme, namun pada saat ini sudah menjadi tradisi budaya masyarakat Cigugur dan merupakan potret kehidupan sosial masyarakatnya. Menjadi unik karena pelaksanaan acara Seren Taun di Cigugur melibatkan semua unsur yang ada di masyarakat tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin dan usia. Kehidupan masyarakat Cigugur yang menghargai keberagamaan tidak hanya tampak pada event budaya Seren Taun yang diselenggarakan sekali dalam setahun, tetapi lebih dari itu nilai-nilai kebersamaan, kerukunan perbedaan sudah terejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.

P enanganan P otensi k onflik k eagamaan di c igugur k abuPaten k uningan

Klimaks dari puncak upacara banyak, karena semua tahap berada Seren Taun ini adalah sambutan - diluar kekuasaan manusia. Jadi agar sambutan tokoh Adat Cigugur (Pangeran

segalanya berlangsung dengan selamat, Djati Kusumah, cucu Pangeran Madrais),

atau untuk merayakan keberhasilan tokoh pemerintahan dan perwakilan

dalam melalui satu tahap, diadakanlah dari lembaga nasional atau dunia Slametan (Muhaimin, 2001:199) yang kebetulan hadir pada waktu itu. Kemudian termasuk doa bersama

Bagi masyarakat Cigugur dari masing-masing perwakilan tokoh Slametan adalah sebuah sarana untuk agama dan kepercayaan sebagai wujud

dapat memenuhi niat dan hajat yang ketunggalan dalam kebhinekaan dalam

diinginkan, misalnya keselamatan bersyukur terhadap Tuhan Yang Maha.

atas kelahiran anak, pernikahan, Esa. Selanjutnya prosesi bertahap berakhir

membangun rumah, pindah rumah, ketika para tokoh dan pejabat memasuki

memulai usaha dan sebagainya. area penumbukan padi bersama untuk

Disamping itu juga digunakan untuk kemudian diikuti oleh seluruh warga

memperingati orang tua, anak atau yang mengikuti keseluruhan upacara saudara yang telah meninggal, yang adat Seren Taun itu.

dilakukan untuk memperingati tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, satu tahun dan seribu harinya kematiannya. Slametan untuk orang yang meninggal

Tradisi Slametan di Cigugur

ini dengan disertai membaca dzikir d a n Slametan berasal dari kata slamet

do’a (bagi orang Islam).

yang berarti “selamat” atau terhindar Tradisi slametan itu dimulai

dari bahaya dan malapetaka yang dengan mengundang sanak saudara, menimpanya. Kata Slamet dipinjam dari

tetangga, teman kerja untuk hadir bahas Arab “Salamah” . Cliford Geertz ke rumahnya pada jam yang sudah dalam bukunya tentang Abangan,

ditentukan. Ketika tamu undangan Santri dan priyayi memberi makna sudah hadir semua, maka tuan rumah

dengan sebuah upacara keagamaan atau wakilnya menyampaikan apa niat

yang melambangkan kesatuan mistis dan hajatnya mengundang semua tamu dan sosial, di dalamnya terdapat handai

itu. Kemudian membaca dzikir dan do’a taulan, tetangga, rekan kerja dan saudara,

(orang Islam) atau memuji dari berdo’a mereka duduk bersama dan berkeliling

kepada Tuhan (orang yang beragama di suatu tempat (Geertz,1983 :13). non-Islam). Setelah selesai para tamu

Sama seperti masyarakat Indonesia djamu dengan makan dan minum serta pada umumnya, tampaknya masyarakat

kue, sesuai dengan kemampuan tuan Cigugur percaya bahwa kehidupan rumah yang mengundangnya. berkembang melalui tahapan-tahapan:

Jenis slametan lainnya seperti pra-kelahiran, saat kelahiran, pasca perkawinan. Slametan jenis ini

kelahiran, kematian dan pasca bermacam-macam, yaitu: temu

kematian, dan bahwa tiap-tiap tahap paganten (setelah berlangsungnya akad juga memiliki sub-sub tahap. Perjalanan nikah); sepasaran (ngundhuh mantu), melalui tahap-tahap tersebut dianggap

sepuluh hari dan se-lapanan. Slametan penting karena merupakan hal yang

temu paganten diselenggarakan oleh kritis dan riskan. Peralihan dari satu

orangtua atau keluarga pengantin tahap ke tahap berikutnya diharapkan

putri. Pada umumnya slametan jenis berlangsung dengan lancar dan selamat.

ini meriah, sampai beberapa hari, Sayangnya mereka tak kuasa berbuat

diakhiri dengan resepsi perkawinan.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

a hsanul k halikin

Seperti halnya slametan khitanan, mereka Oleh karena perkawinan itu mengundang tetangga, sanak saudara,

terbentuk atas dasar cinta kasih, maka teman-teman untuk hadir dan membawa

sering terjadi seorang Muslim jatuh cinta sumbangan, di sini di istilahkan dengan

kepada orang perempuan yang bukan buwuh. Ini merupakan interaksi sosial yang

non-Muslim atau sebaliknya, padahal timbal balik, artinya di saat tetangganya

menurut ajaran Islam dan undang- atau saudaranya atau temannya punya

undang negara jelas tidak dibenarkan. hajat slametan dia juga datang kepadanya

dan memberi sumbangan. Slametan Di Kelurahan Cigugur ternyata sepasar diselenggarakan oleh keluarga

perkawinan lintas agama benar-benar pengantin laki-laki, yang caranya hampir

terjadi. Perkawinan lintas agama bukan sama dengan slametan pada keluarga

berarti perkawinan antar pemeluk agama pengantin putri bahkan seimbang, kalau

yang berbeda, tetapi karena rasa cinta tidak sama atau seimbang salah satu salah seorang akhirnya berpindah agama, keluarga akan merasa malu. Di sini sering

diistilahkan dengan ngundhuh mantu. misalnya ada juga yang mereka berbeda agama itu akhirnya ketika menikah salah satunya masuk ke agama lain, lalu mereka

menikah.

Praktik Perkawinan Lintas Agama di

Cigugur

Akibat pernikahan antaragama Perkawinan dilaksanakan adalah terbentuknya keluarga campuran,

dengan tujuan membentuk keluarga di mana anggota keluarga itu memeluk bahagia, sejahtera, tenang dan harmoni.

agama yang berbeda-beda. Bahkan Sebagaimana djelaskan dalam Undang-

perbedaan itu bukan hanya pada orang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 Ayat

tua, tetapi juga pada anak-anaknya. (1) bahwa: “Perkawinan adalah sah apabila

Keluarga campuran dapat diasumsikan dilakukan menurut hukum masing-

akan mengalami kesulitan untuk masing agamanya dan kepercayaannya

mencapai kehidupan yang bahagia. itu” (Departemen Agama RI, 1996) ini

Namun berdasarkan fakta tidak berarti perkawinan itu disahkan oleh demikian halnya yang terjadi di Cigugur,

negara kalau calon kedua mempelai itu keluarga campuran tidak menghambat beragama yang sama.

tercapainya cita-cita hidup berkeluarga, Sementara dalam Islam djelaskan

terbukti banyak keluarga campuran dan dalam surat al-Baqarah Ayat 221 yang

kehidupan keluarga itu tetap harmonis. artinya: “Dan janganlah kamu menikahi Hal ini menggambarkan betapa tingginya

wanita-wanita musyrik, sebelum mereka kesadaran mereka tentang hak asasi beriman. Sesungguhnya wanita budak yang

beragama dan beragama bagi mereka mukmin lebih baik dari wanita musyrik, sebagai hak pribadi.

walaupun dia menarik hatimu ” (Tafsir al- Quran, Depag, 1979). Dengan demikian jelas bahwa perkawinan antar agama

menurut negara dan agama tidak Penutup dibenarkan. Perkawinan antar agama

Berdasarkan uraian uraian di atas, itu dimaksudkan perkawinan yang dapat ditarik kesimpulan antara lain:

dilakukan oleh pasangan suami istri Pertama, Pola interaksi sosial melalui yang masing-masing agamanya berbeda,

pola hubungan yang bersifat non- misalnya suami Islam, istrinya Katolik

formal lebih nampak dibandingkan pola dan sebaliknya.

hubungan yang dibentuk oleh organisasi-

HARMONI September - Desember 2014

151 organisasi masyarakat secara formal. tokoh masyarakat serta perkawinan lintas

P enanganan P otensi k onflik k eagamaan di c igugur k abuPaten k uningan

Kedua, pendekatan penanganan potensi

agama.

konlik keaga maan yang dilakukan Penelitian ini juga menghasilkan Pengurus FKUB terhadap beberapa sejumlah rekomendasi, yakni model kasus selain berpjak pada berbagai pluralisme dan toleransi di Cigugur kearifan lokal yang ada pada masyarakat harus tetap dilestarikan sebagai sebuah Cigugur juga berpjak pada ketentuan model kerukunan umat beragama

PBM No. 8 dan 8 Tahun 2006. Ketiga, yang berbasis pada kearifan lokal. Pola pola resolusi konlik antara umat Islam,

interaksi yang harmonis antar umat Katolik dan Madraisme di Kelurahan beragama di Cigugur merupakan model

Cugugur Kabupaten Kuningan, yang khas yang dapat djadikan rujukan cenderung dibangun melalui ikatan-

untuk proses penyelesaian konlik ikatan solidaritas kekeluargaan antar keagamaan di daerah lain dengan tetap

warga dan kesamaan etnis kesundaan. mempertimbangkan kearifan lokal yang Keempat, faktor-faktor yang menjadi ada di daerah tersebut. Di samping itu, perekat kerukunan antar umat beragama

perlu disosialisasikannya Peraturan di Cigugur di antaranya: kekerabatan Bersama Menteri No. 9 dan 8 Tahun 2006

atau kekeluargaan, semangat gotong dengan menjelaskan aturan tersebut royong, pelestarian acara Seren Taun, secara sungguh-sungguh sebagai produk

majelis-majelis agama yang bertujuan selametan, silaturahmi tokoh agama dan untuk kemaslahatan umat beragama.

Daftar Pustaka

Boedi, Oerip Bramantyo. “Agama Jawa Sunda, Ajaran dan Latar Belakang Kemunculannya” dalam Agus Aris Munandar (ed), Jelajah Masa Lalu. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Cagar Budaya Nasional. Gedung Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, (MS), tanpa Tahun.

--------------, Camara Bodas: Peristiwa Sejarah Gereja di Cigugur (Sebuah Kesaksian). Kanisius: Yogyakarta, 2000.

Fauzi, Ali, Ihsan, dkk. “Pola-Pola Konlik Keagamaan di Indonesia (1990-2008)”. Jakarta: Yayasan Waqaf Paramadina (YWP), 2009.

Geertz, Cliford. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.

Kosoh, S dan Syafei SS. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994.

Nursananingrat, B. Purwawisada Agama Djawa Sunda. Bandung: Pastoral, 1964. Nurul Rasyidin, Didin. Kebatinan, Islam and The State, The Dissolution of Madraism in 1964.

Belanda: Universitas Leiden, 2000.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

a hsanul k halikin

Pemaparan Budaya Spiritual Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (MS), Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, 1995.

Ripai, Ahmad. Pluralisme dan Toleransi Beragama: Studi Kasus Pola Interaksi Sosial Antara Umat Islam, Katolik dan Penganut Madraisme di Kelurahan Cigugur Kabupaten

Kuningan, Jawa Barat . Cirebon: IAIN Syekh Nurjati, 2010. Suhandi, A. “Agama Djawa Sunda (ADS) dan Sebab-Sebab Penganutnya beralih

Kepercayaan ke Agama Katolik” dalam Nuansa-Nuansa Pelangi Budaya: Kumpulan Tulisan Bahasa, Satra dan Budaya. Bandung: Pustaka Karsa Sunda, 1988.

Swanstrŏm, L., P., Niklas., Weissmann, S., Mikael. “Conlict, Conlict Prevention, Conlict Management and Beyond: A Conseptual Exploration ”. Massachuset Ave, NW: Central Asis Caucasus Institute; Silk Road Studies Program – A Joint Translantic Research and Policy Center John Hopkins University-SAIS, 2008.

Tim Peneliti. Kasus Aktual Kehidupan Keagamaan; Studi Pencegahan Dini Konlik Umat Beragama . Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2011.

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

P enelitian

Isu-isu Kunci Ujaran Kebencian (Hate Speech): Implikasinya terhadap Gerakan Sosial Membangun Toleransi

Mohammad Iqbal Ahnaf & Suhadi

Staf pengajar di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Email: [email protected] ; [email protected] Diterima redaksi tanggal 29 September 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

Hate speech has become a serious ‘challenge’ for Indonesia’s democratization process. Political openness has allowed various forms of speech and writing with

a variety of messages; this has included narratives that encourage hostility toward other groups. Hate speech is frequently associated with the occurrence of violent acts against religious minorities. The demand for the government to act decisively against hate speech is getting stronger. However, the prohibition of hate speech in Indonesia is not a simple thing. Many people have expressed concern that enforcing a law against hate speech will recreate the repression of the past era where SARA was used to suppress political opposition. Additionally, deining hate speech and regulating it is also controversial. This paper is an initial effort to start a discussion about policy options to deal with the threat of hate speech, either by the state or by social movements. This paper describes dangerous forms of hate speech for a multicultural democratic country like Indonesia, the conceptualization of hate speech, laws in Indonesia related to hate speech and the experiences of a number of democratic western countries in dealing with hate speech. Finally, this paper proposes actions can be done by social movements to respond to hate speech.

Keyword: Hate speech, Democratization, Tolerance, Freedom

Abstrak

Ujaran kebencian atau hate speech menjadi salah satu ‘tantangan’ serius bagi proses demokratisasi di Indonesia sejak tahun 1998. Keterbukaan politik memungkinkan berbagai bentuk ceramah dan tulisan dengan pesan yang beragam termasuk narasi-narasi yang mendorong permusuhan terhadap kelompok lain yang berbeda. Ujaran kebencian tidak jarang dikaitkan dengan terjadinya banyak tindak kekerasan terhadap kelompok agama minoritas. Tuntutan agar pemerintah bertindak tegas terhadap ujaran kebencianpun semakin sering terdengar. Namun pelarangan ujaran kebencian di Indonesia bukanlah hal sederhana. Banyak pihak menghawatirkan penegakan hukum terhadap ujaran kebencian akan mengulang represei masa lalu di mana isu SARA digunakan sebagai alat penguasa untuk menekan lawan politik. Selain itu poblem pendeinisian dan sistem perundang-undangan juga bisa menghadirkan kontroversi. Tulisan ini adalah ikhtiar awal untuk memulai diskusi tentang opsi-opsi yang bisa dilakukan untuk menangani ancaman ujaran kebencian, baik oleh negara atau gerakan sosial. Dalam tulisan ini dipaparkan bentuk-bentuk bahaya ujaran kebencian bagi negara demokrasi multikultur seperti Indonesia, konseptualisasi ujaran kebencian, perangkat hukum di Indonesia terkait ujaran kebencian dan pengalaman sejumlah negara demokrasi di Barat dalam menangani ujaran kebencian. Terahir, paper ini memberikan beberpaa usulan langkah yang bisa dilakukan gerakan sosial untuk merespon ujaran kebencian.

Kata Kunci : Hate speech,Demokratisasi, Toleransi,Kkebebasan

m ohammad i qbal a hnaf &s uhadi

HARMONI September - Desember 2014

Pendahuluan

Bahaya ujaran kebencian terhadap demokrasi sudah tidak diragukan. Negara-negara di Eropa yang mempunyai pengalaman buruk dengan propaganda kebencian seperti dilakukan Nazi pada umumnya mempunyai regulasi yang lebih tegas untuk melarang ujaran kebencian. Sementara Amerika di mana kebebasan sipil menjadi bagian penting dalam sejarah nasionalnya memilih untuk mentoleransi ujaran kebencian. Meski demikian, tindakan kriminal berdasarkan kebencian (hate crime) telah diatur dalam perundang-undangan tersendiri. Dalam sejumlah kasus, Amerika juga mempunyai preseden pemidanaan terhadap ujaran kebencian yang secara kuat dianggap menyebabkan aksi kekerasan. Bahaya ujaran kebencian juga diairmasi oleh PBB yang pada tahun 1966 mengeluarkan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang melarang “kampanye kebencian terhadap kelompok kebangsaan, ras dan agama yang bersifat dorongan (incitement) kepada tindak diskriminasi, permusuhan dan kekerasan.”

Meskipun demikian, regulasi yang membatasi ujaran kebencian masih bersifat kontroversial karena dianggap membatasi kebebasan berbicara yang merupakan aspek fundamental dalam demokrasi. Kritikus pelarangan ujaran kebencian meyakini bahwa menjaga kebebasan berbicara sebagai hak dasar (basic right) lebih mahal harganya daripada bahaya yang bisa dicegah dari pemidanaan ujaran yang dianggap berbahaya (Hare & Weinstein 2009; Post 2009). Perdebatan serupa terjadi di Indonesia. Ujaran kebencian bukannya tidak dilarang di negara ini, tetapi penerapanya dikhawatirkan akan mengembalikan model pemerintahan represif selama lebih dari tiga dekade di bawah pemerintahan Soeharto. Pada masa itu wacana tentang bahaya sentimen

SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar

golongan) digunakan oleh penguasa sebagai basis legitimasi untuk menekan lawan politik. Kebebasan politik yang belum lama dinikmati oleh masyarakat Indonesia membuat upaya untuk membatasi kebebasan gampang dicurigai. Selain itu perundang-undangan terkait ujaran kebencian bertautan dengan klausul tentang penodaan yang selama ini digunakan sebagai sumber legitimasi bagi diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok keagamaan minoritas. Hal ini menimbulkan dilema penegakan hukum terhadap ujaran kebencian di Indonesia.

Dilema ini menciptakan situasi ‘tanpa tindakan’ yang membuat ujaran kebencian di Indonesia tersebar secara bebas tanpa sedikitpun hambatan. Kondisi ini memberi kesempatan bagi tranformasi sejumlah kelompok garis keras untuk mengalihkan arena perjuangan dari ‘perang bersenjatakan bom’ ke ‘perang bersenjatakan kata- kata’ (International Crisis Group 2008). Hasilnya, tokoh atau media garis keras bebas melakukan kampanye yang menyerang individu atau kelompok lain berdasarkan sentimen komunal, termasuk seruan untuk melakukan aksi kekerasan dan pembunuhan. Buku-buku dan media online yang menempatkan kelompok keagamaan tertentu dalam situasi peperangan dengan kelompok keagamaan lain bebas tersebar. Tokoh agama melakukan ceramah secara terbuka dan disebarkan melalui media online yang secara eksplisit menyerukan para pendengarnya menghunus pedang untuk membunuh atau mengusir anggota kelompok keagamaan tertentu. Sebagai contoh, ceramah K.H. Abdul Qohar, ketua Front Pembela Islam (FPI) Jawa Barat dalam ceramah terbuka tentang liberalisme. Video ceramah ini diunggah oleh akun bernama Front Pembela Islam (Lihat, htp://www.youtube.com/ watch?v=ZGpM-tO3GO8 ).

i 155 su - isu k unci a jaran k ebencian (H ate S peecH ): i mPlikasinya terhadaP g erakan s osial m embangun t oleransi

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Selain itu, sebuah acara yang meluncurkan pembentukan milisi untuk memburu anggota kelompok-kelompok yang dituduh sesat dilakukan secara terbuka dan dihadiri oleh perwakilan otoritas pemerintahan. Kegiatan tersebut bernama “Deklarasi Nasional Anti Syiah” dilakukan di Bandung pada 20 April 2014. Retorika para pembicara penuh dengan ujaran kebencian. Gubernur Jawa Barat yang diundang tidak hadir namun perwakilan dari Pemerintah Provinsi hadir dalam kegiatan tersebut. (Lihat, htp:// liputanislam.com/liputan/deklarasi-anti- syiah-siapa-yang-menebar-kebencian/ ). Di tempat lain, aparat pemerintahan atau politisi tidak hanya menyaksikan tetapi justru menjadi pelaku ceramah yang bisa masuk kategori ujaran kebencian (Ahnaf 2014).

Situasi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan: mampukah negara demokrasi dalam masyarakat plural seperti Indonesia bertahan di tengah ujaran kebecian yang tersebar bebas? Apa sebenarnya ujaran kebencian, kenapa berbahaya dan opsi-opsi apa saja yang bisa dilakukukan untuk meresponnya? Tulisan ini merangkum isu-isu kunci yang perlu diperhatikan dalam merespon ujaran kebencian. Paparan ringkas dalam paper ini diharapkan bisa menjadi landasan bagi aktiis gerakan sosial atau pemerintah untuk menentukan bentuk respon yang tepat terhadap ancaman ujaran kebencian.

Kenapa Ujaran Kebencian Berbahaya?

Apa persisnya yang perlu dikhawatirkan dari ujaran kebencian? Kami mengajukan empat alasan kenapa ujaran kebencian tidak hanya berbahaya bagi koeksistensi antar-kelompok identitas tetapi juga berbahaya bagi demokrasi itu sendiri.

Pertama , ujaran kebencian pada dasaranya adalah intimidasi dan

pembatasan terhadap kebebasan berbicara karena ujaran kebencian memperkuat situasi sosial yang menghambat partisipasi bebas warga negara dalam demokrasi. Ujaran kebencian mengandung muatan pesan bahwa kelompok tertentu adalah warga kelas rendah (sub-human) dan karena itu tidak hanya berbahaya tetapi juga tidak berhak mendapatkan perlakuan setara oleh negara. Hal ini terutama menimpa kelompok minoritas rentan; ketika mereka terus menerus diserang dengan ujaran kebencian maka ruang sosial mereka akan terbatas, partisipasi mereka terhambat dan hampir bisa dipastikan hak mereka sebagai warga negara tidak bisa terpenuhi. Bisa dikatakan hate speech pada dasarnya adalah anti-free speech karena ujaran kebencian menuntut pembatasan terhadap keragaman ujaran atau pluralistic speech. Ujaran kebencian menghambat terjadinya pertukaran gagasan secara bebas.

Kedua , ujaran kebencian berperan penting dalam terciptanya polarisasi sosial berdasarkan kelompok identitas. Dalam masyarakat yang sangat plural seperti Indonesia identitas menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan individu dan kelompok. Situasi ini tidak bisa dinaikan dan bisa dianggap hal yang normal. Tetapi ketika ujaran kebencian berpengaruh dan membangun pola pikir yang menempatkan ailiasi identitas sebagai hal pokok dalam partisipasi publik, maka sebenarnya hal yang sangat mendasar dari demokrasi sedang diberangus. Demokrasi menuntut adanya kehidupan sipil dan proses politik yang deliberatif di mana kontestasi dalam urusan publik didasarkan pada agregasi kepentingan, bukan agregasi golongan. Banyak kasus juga menunjukkan bahwa sentimen negatif berdasarkan isu keagamaan kerapkali menjadi alat untuk menutupi korupsi dan kegagalan pemerintah. Politik yang didasarkan pada sikap kebencian

m ohammad i qbal a hnaf &s uhadi

HARMONI September - Desember 2014

atau permusuhan terhadap kelompok identitas menjadi ancaman bagi proses politik dan pemerintahan yang deliberatif. Konsekwensinya ini bisa memperkecil peluang bagi keberhasilan demokrasi dan lebih lanjut bisa membuka ruang bagi pengaruh kekuatan totalitarian sebagai alternatif terhadap demokrasi yang dianggap gagal.

Ketiga , ujaran kebencian tidak hanya dimaksudkan untuk menciptakan wacana permusuhan, menyemai benih intoleransi atau melukai perasaan terhadap kelompok identitas lain, tetapi juga telah menjadi alat mobilisasi atau rekrutmen oleh kelompok-kelompok garis keras. Narasi kebencian dalam isu- isu tertentu seperti persepsi bahaya aliran sesat, Kristenisasi, atau dikotomi etnik asli dan pendatang menjadi instrumen kelompok-kelompok ekstrim untuk mendapatkan pengaruh baik secara sosial dan politik. Hal ini nampak misalnya dari menguatnya sentimen anti-Syiah dan anti-Ahmadiyah yang digunakan untuk memperluas pengaruh kelompok- kelompok minoritas radikal di kalangan lebih luas.

Keempat , ujaran kebencian mempunyai kaitan baik secara langsung dan tidak langsung dengan terjadinya diskriminasi dan kekerasan. Hal ini banyak terjadi terutama dalam situasi konlik dan pertarungan politik seperti pemilu. Masyarakat yang merasa termiskinkan atau termajinalkan bisa menjadi lebih mudah dimobilisasi dalam melakukan kekerasan ketika retorika kebencian berdasarkan sentimen identitas digunakan. Ini bukan berarti politik identitas selalu buruk. Mobilisasi perlawanan berdasarkan identitas bisa menjadi kekuatan yang sangat penting dalam keberhasilan gerakan sosial; tetapi ketika politik identitas ini dilakukan dengan menyerukan permusuhan atau antagonisme antar kelompok berdasarkan identitas, maka yang terjadi

sebenarnya adalah pengalihan dari pokok kepentingan yang melandasi perlawanan.

Apa itu Ujaran Kebencian?

Merujuk pada Oxford English Dictionary (OED), Robert Post, salah satu ilmuan yang banyak dirujuk dalam diskursus ini mendeinisikan ujaran kebencian sebagai “speech expressing hatred or intolerance of other social group especially on the basis of race and sexuality .’ Lalu apa yang bisa masuk dalam kategori atau istilah ‘hate’? Kembali merujuk OED, Post memahami hate sebagai ‘an emotion of extreme dislike or aversion; abbhorence, hatred ” (Post 2009: 123). Deinisi ini mengandung dua aspek penting; yang pertama berkaitan dengan substansi atau konten ujaran dan yang kedua berkaitan dengan jenis kelompok yang disasar. Sebuah ujaran (speech) bisa dikatakan (hate) apabila yang pertama ia mengekspresikan perasaan kebencian atau intoleransi yang bersifat ekstrim dan yang kedua perasaan tersebut ditujukan kepada kelompok lain berdasarkan identitas mereka seperti ras dan orientasi seksual. Berdasarkan deinisi ini Post mengkritik kriminalisasi hate speech karena menurutnya ekspresi perasaan kebencian adalah hal yang normal dalam kehidupan emosional manusia. Batas antara yang ekstrim dan moderat dalam ujaran sulit diukur. Pelarangan hate speech menurut Post akan menghadapi problem konseptual dalam membedakan antara “hate” dengan “normal dislike” atau “disagreement” (Post 2009: 125).

Post menuntut mereka yang mendukung pelarangan ujaran kebencian untuk menjelaskan apakah beberapa contoh ujaran berikut termasuk ujaran kebencian atau tidak: seseorang yang mengungkapkan kebencianya terhadap pemerintah yang berlaku zalim dengan mengatasnamakan agama atau ras tertentu; seorang ilmuan yang

157 menyerang fundamentalisme Islam

i su - isu k unci a jaran k ebencian (H ate S peecH ): i mPlikasinya terhadaP g erakan s osial m embangun t oleransi

Untuk membedakan ujaran karena homophobia dan represi terhadap

kebencian dengan diskursus keagamaan perempuan yang dipraktikkan; dan

yang wajar, Woodward et all. (2012) kritikus yang menyerang Gereja Katolik

dalam tulisan tentang Front Pembela karena ada pendeta yang menjadi pelaku

Islam menawarkan kerangka empat level pedoilia atau karena posisi gereja yang

wacana keagamaan sebagai berikut: 1) menentang aborsi.

Dialog concerning/discussion of religious diferences; 2) Unilateral condemnation of the

Pertanyaan Post di atas bisa djawab beliefs and practices others; 3) Dehumanization dengan klausul dalam International and demonization of individuals and groups, Convention on the Elimination of All Forms

implicit justiication of violence; 4) Explicit of Racial Discrimination

(CERD) berikut:

provocation of violence.

“punishable by law all dissemination of ideas based on racial superiority or hatred,

Wacana di dua level yang pertama incitement to racial discrimination, as menurut Woodward bisa diketagorikan

well as all acts of violence or incitement sebagai wacana yang bisa ditolerir atau to such acts against any race or group of

tidak berbahaya. Sementara dua wacana persons of another colour of ethnic origin”.

pada level 3-4 bisa masuk kategori hate Deinisi ini menyatakan bahwa aspek

speech . Namun tingkat ancaman hate penting dalam ujaran kebencian adalah

speech bisa dibedakan dalam dua level. substansi ujaran yang menekankan pada

Level yang pertama adalah diskursus karakterisasi negatif terhadap kelompok

yang menggambarkan kelompok agama identitas tertentu semata semata karena

tertentu mempunyai karakter bawaan identitasnya. Ujaran kebencian bisa yang jahat (demonisasi) dan secara

dipahami sebagai merujuk pada cara implisit memberi justiikasi terhadap pandang esensialis yang menekankan aksi kekerasan. Level kedua yang paling bahwa sumber utama ancaman ada berbahaya adalah ujaran yang secara pada karakter inherent atau bawaan eksplisit memprovokasi/menghasut kelompok identitas tertentu. Pandangan

orang lain melakukan aksi kekerasan ini menaikan keragaman perilaku dari berdasarkan sentimen keagamaan. kelompok tersasar karena sumber utama

masalah adalah identitasnya. Ide seperti Apakah dua level hate speech di ini mengusung pesan, baik implisit atau

atas patut dilarang? Kalau merujuk pada eksplisit, bahwa eliminisi kelompok deinisi CERD di atas keduanya bisa masuk identitas yang disasar diperlukan.

dalam pidana. Namun ada sejumlah pertanyaan lebih jauh, apakah beberapa

Berdasarkan pemaknaan ini hal berikut bisa diperlakukan secara tiga contoh ujaran yang dikemukakan sama yakni: 1). Ujaran yang mengusung Post di atas tidak bisa dikategorikan superioritas atau supremasi kelompok sebagai ujaran kebencian karena yang diserang bukanlah ailiasi kelompok identitas tertentu, tetapi tidak menyerang

identitasnya, seperti Islam atau Gereja kelompok identitas yang lain; 2). Ujaran

yang menggambarkan karakter bawaan Katolik, tetapi perilaku homophobia dan

pedoilia yang dilakukan oleh anggota yang berbahaya dari kelompok identitas kelompok identitas tersebut. Dengan tertentu, tetapi tidak secara eksplisit

begitu ungkapan kebencian terhadap menyerukan diskriminasi, eliminasi atau rezim

kekerasan terhadap kelompk tersebut; 3). mengatasnamakan kelompok identitas Ujaran yang menggambarkan karakter tertentu tidak bisa dikategorikan ujaran

bawaan yang berbahaya dari kelompok kebencian jika yang diserang utamanya

identitas tertentu, dan menyerukan adalah praktek kezaliman rezim tersebut.

diskriminasi tetapi tidak menyerukan

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

m ohammad i qbal a hnaf &s uhadi

HARMONI September - Desember 2014

eliminasi atau kekerasan isik; dan 4). Ujaran yang menggambarkan karakter

bawaan yang berbahaya dari kelompok identitas tertentu yang disertai dengan hasutan (incitement) untuk melakukan eliminasi atau kekerasan isik terhadap kelompok tersebut.

Sebagian aktiis HAM menganggap deinisi CERD di atas terlalu radikal dan luas. Pembedaan perlakukan terhadap empat model ujaran tersebut bisa membantu merumuskan konsep ujaran kebencian yang lebih realitis sehingga tidak berdampak secara massif terhadap jaminan kebebasan beikir dan berbicara.

Keempat model ujaran ini dibedakan dengan istilah kejahatan kebencian (hate crime). Istilah ini digunakan dalam sistem hukum di Amerika. Sebagaimana djelaskan di awal, Amerika tidak melarang kebencian berdasarkan identitas selama masih dalam tahap kata- kata atau ujaran. Ketika kebencian sudah mewujud dalam tindakan kriminal maka tindakan tersebut bisa dipidanakan.

Istilah ujaran kebencian juga sering dimasukkan dalam kerangka yang sama dengan penodaan (blasphemy atau defamation). Robert Post misalnya memberikan deinisi lain terhadap ujaran kebencian sebagai berikut: “speech that is formulated in a way that insult, ofends or degrade ” (Post 2009: 127). Kalimat ini lebih tepat digunakan untuk mendeinisikan penodaan dari pada ujaran kebencian meskipun keduanya mempunyai sisi persamaan dan perbedaan. Ujaran atau ilustrasi yang menghina atau merendahkan agama tertentu seperti kartun kontroversial di koran Denmark Jyllands-Posten pada tahun 2005 yang menggambarkan Nabi Muhammad sedang membawa bom dan pedang bisa menjadi contoh penodaan. Gambar kartun demikian bisa juga dianggap sebagai ujaran kebencian karena mengusung pesan bahwa agama Islam adalah agama yang pada dasarnya yang jahat. Gambar

demikian jelas merendahkan dan terbukti bisa menimbulkan kemarahan dan kekerasan.

Namun jika ujaran kebencian mengasumsikan provokasi (incitement) secara eksplisit untuk melakukan kekerasan maka penodaan perlu dibedakan dengan ujaran kebencian. Di Indonesia istilah penodaan secara salah kaprah digunakan untuk mempidana pemahaman dan praktik keagamaan yang berbeda atau dianggap menyimpang dari ortodoksi. Penafsiran atas kata penodaan demikian sebenarnya pernah diterapkan di Inggris sebelum abad ke-17. Pada masa itu Inggris mempidana ujaran yang mengingkari kebenaran agama Kristen. Undang-Undang penodaan ini diadaptasi oleh negara-negara jajahan Inggris seperti Pakistan dan Malaysia. Setelah abad ke-

17 Inggris menghapus Undang-Undang penodaan tetapi di banyak negara bekas jajahannya Undang-Undang ini masih berlaku.

Regulasi Ujaran Kebencian

Indonesia sebenarnya telah memiliki aturan hukum yang dapat dimanfaatkan untuk menindak perkara hasutan kebencian. Meskipun aturan itu masih perlu diperkuat oleh aturan-aturan lain yang belum ada (atau merevisi yang telah ada) supaya lebih efektif, tetapi tidak tertanganinya dengan baik perkara ujaran kebencian bukan karena lemahnya aturan yang ada. Hal itu terjadi karena kemauan politik hukum di Indonesia yang lebih memprioritaskan aspek perkara “penyalahgunaan atau penodaan” agama dibanding aspek pernyataan “permusuhan” berdasarkan agama. Bagian ini akan dibahas dalam pembahasan berikutnya mengenai praktik hukum.

Aturan perundang-undangan yang dapat dimanfaatkan untuk menangani

159 secara hukum ujaran kebencian adalah

i su - isu k unci a jaran k ebencian (H ate S peecH ): i mPlikasinya terhadaP g erakan s osial m embangun t oleransi

kegiatan, pencabutan surat keterangan Pasal 156 KUHP yang berbunyi:“Barang

status badan siapa di muka umum menyatakan perasaan

terdatar/pencabutan

hukum, atau pembubaran Ormas. permusuhan, kebencian atau penghinaan Meskipun demikian, untuk menjamin terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat

kebebasan berserikat dan kebebasan Indonesia, diancam dengan pidana penjara

berekspresi, mekanisme pemberian paling lama empat tahun atau pidana denda

peringatan dan penjatuhan sanksi ini paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

diatur sangat ketat dalam Pasal 60 sampai Pasal 80.

“Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian

Sampai di sini peraturan dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan

perundang-undangan di Indonesia cukup suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras,

memadai, walaupun belum sepenuhnya negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan,

ideal, dalam mengatur perkara ujaran kebangsaan atau kedudukan menurut hukum

kebencian. Kalau Pasal 156 KUHP dapat tata negara” .

dimanfaatkan dalam kasus individu (orang per orang), sementara UU

Satu pasal lain mengenai “ancaman Ormas di atas dapat diterapkan dalam kekerasan” di dalam KUHP dapat kasus organisasi masyarakat, termasuk

digunakan, meskipun jarang dipakai, organisasi keagamaan. yaitu Pasal 335 KUHP yang menyatakan sebagai berikut:“Diancam dengan pidana

Di aturan di atas, pemerintah RI penjara paling lama satu tahun atau denda

telah menerbitkan UU No. 12 Tahun paling banyak empat ribu lima ratus 2005 tentang Pengesahan International rupiah: 1. Barang siapa melawan hukum

Covenant on Civil and Political Rights memaksa orang lain supaya melakukan, tidak

(ICCPR). Artinya, naskah kovenan yang melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan

dikeluarkan oleh PBB pada tahun 1966 memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain

ini telah menjadi “bagian yang tidak maupun perlakuan yang tak menyenangkan,

terpisahkan dari undang-undang” yang atau dengan memakai ancaman kekerasan,

berlaku di Indonesia. Pasal 20, Ayat 2, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan

ICCPR dengan sangat tegas mengatur yang tak menyenangkan, baik terhadap orang

larangan ujaran kebencian atas dasar, itu sendiri maupun orang lain”.

antara lain, agama: “Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar

Belum lama ini, pemerintah kebangsaan, ras atau agama yang merupakan mengesahkan UU No. 17 Tahun 2013

hasutan untuk melakukan diskriminasi, tentang Organisasi Kemasyarakatan. permusuhan atau kekerasan harus dilarang

Salah satu aturan dalam UU ini, Pasal

oleh hukum.”

59 poin a, yang membahas tentang “larangan” bagi Ormas menyebutkan

Komentar Umum 18 ICCPR bahwa Ormas dilarang “melakukan oleh Komite HAM PBB angka ke-2 tindakan permusuhan terhadap suku, menghubungkan ujaran kebencian atas agama, ras, atau golongan”. UU ini dasar kebangsaan, ras atau agama dengan juga mengatur peringatan dan sanksi ujaran untuk melakukan diskriminasi. bagi Ormas yang melanggar ketentuan

Sedangkan Komentar Umum 22 tentang tersebut. Peringatan dan sanksi dapat

Pasal 18 yang dituangkan dalam angka djatuhkan oleh Pemerintah (Pusat) atau

ke-7 menolak, antara lain, menolak Pemerintah Daerah, tergantung ruang identiikasi bahwa ujaran kebencian lingkup Ormas bersangkutan, berupa: merupakan bagian/bentuk dari upaya persuasif dari pemerintah, sanksi

pengamalan (manifestasi) dari kebebasan administratif, penghentian sementara beragama dan berkeyakinan.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

m ohammad i qbal a hnaf &s uhadi

HARMONI September - Desember 2014

Sebagai negara yang telah meratiikasi ICCPR, Indonesia wajib melakukan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak warga negaranya untuk terbebas dari hasutan kebencian. Selain itu, sebagai bagian dari sistem pemantauan yang berlaku di PBB pemerintah Indonesia juga harus menyusun laporan berkala kepada PBB yang berisi tindakan yang telah dilakukan negara dan perkembangan/kemajuan dalam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak itu, termasuk dalam isu hasutan kebencian ini.

Praktik Hukum Ujaran Kebencian

Pada bagian ini penulis tidak mengkaji semua praktik hukum atau peradilan kasus ujaran kebencian berdasarkan agama yang terjadi di Indonesia, tetapi penulis hanya mengambil dua contoh kasus menonjol dan besar yang terjadi belakangan ini. Pertama , kasus peradilan terhadap ujaran kebencian dan kekerasan/penyerangan terhadap, antara lain, empat gereja dan satu sekolah Kristen di Temanggung pada Februari 2011 (selanjutnya disebut: kasus Temanggung). Kedua, kasus peradilan terhadap ujaran kebencian, kekerasan dan pembunuhan terhadap pengikut Ahmadiyah di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten pada Februari 2011 (selanjutnya disebut: kasus Cikeusik).

Kedua kasus tersebut dibawa ke pengadilan. Kasus Temanggung disidangkan di Pengadilan Negeri Semarang, sedangkan kasus Cikeusik di Pengadilan Negeri Serang, Banten. Menariknya, baik terdakwa utama dalam kasus Temanggung dan kasus Cikeusik tidak didakwa dengan pasal-pasal ujaran kebencian berdasarkan agama sebagaimana djelaskan di atas, tetapi dengan hasutan biasa dalam Pasal 160 KUHP.

Seorang terdakwa dalam kasus Temanggung dipidana 1 tahun penjara dengan dakwaan pelanggaran terhadap pasal hasutan dalam Pasal 160 KUHP, sedangkan 16 terdakwa lain dihukum menggunakan klausul kekerasan dalam Pasal 170 KUHP yang masing-masing dihukum penjara antara 5 hingga 10 bulan. Demikian pula dalam kasus Cikeusik dimana 12 orang dibawa ke pengadilan. Dalam kasus ini 4 orang terdakwa didakwa melakukan penghasutan (Pasal 160 KUHP) dan sekaligus melakukan kekerasan secara bersama yang mengakibatkan maut (Pasal 170 KUHP). Sementara itu 9 terdakwa lain hanya dituntut dengan Pasal 170 KUHP tentang melakukan kekerasan secara bersama yang mengakibatkan maut. Akhirnya,

12 orang terdakwa ini dihukum dengan hukuman penjara masing-masing antara

3 sampai 6 bulan, sebuah hukuman yang menurut banyak pihak dianggap terlalu ringan.

Mengapa dua kasus di atas diputuskan menggunakan pasal hasutan biasa, bukan hasutan kebencian berdasarkan agama? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu disimak terlebih dahulu bagaimana bunyi Pasal 160 KUHP: “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum, dengan kekerasan atau supaya jangan mau menurut peraturan undang-undang atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah)”.

Jika perkara ujaran kebencian yang sebenarnya ada unsur keagamaanya, lalu diadili dengan pasal di atas, berarti ada upaya untuk menghilangkan atau menghindari unsur agama di dalamnya. Mengapa? Menurut penulis, hal ini Jika perkara ujaran kebencian yang sebenarnya ada unsur keagamaanya, lalu diadili dengan pasal di atas, berarti ada upaya untuk menghilangkan atau menghindari unsur agama di dalamnya. Mengapa? Menurut penulis, hal ini

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

dipengaruhi oleh konstruksi umum identiikasi delik agama di Indonesia yang cenderung ditonjolkan dan dilekatkan dalam kasus pidana penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama (Pasal 156a KUHP) dan dihindari dalam kasus permusuhan dan kebencian atas dasar, antara lain, agama (Pasal 156 KUHP). Dalam kasus pengadilan Tajul Muluk (kasus Syiah Sampang, pihak penganut) dan Alexander Aan (kasus dakwaan Atheisme di Padang) pengadilan menggunakan delik penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama. Sedangkan dalam kasus Temanggung dan Cikeusik, sekali lagi, pengadilan menghindari penggunakan delik kasus permusuhan dan kebencian atas dasar agama dan lebih memilih delik hasutan biasa.

Dalam hukum internasional, penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama diistilahkan dengan konsep blasphemy. Sedangkan ujaran permusuhan dan kebencian atas dasar agama ini kurang lebih dikonsepkan dengan istilah hate speech atau religious hatred yang di bagian awal paper ini telah diulas panjang lebar.

Di luar negeri, regulasi dan praktik hukum hate speech atau religious hatred bukan sesuatu yang asing di sebagian negara. Sihombing et. al. (ILRC 2012: 4-5) menyebutkan Inggris dan Irlandia Utara membuat UU yang melarang kebencian agama/ras sejak 1 Oktober 2007 melalui The Racial and Religious Hatred Act. Kebencian agama di sini diartikan sebagai kebencian agama-agama dan termasuk kebencian terhadap kelompok atau individu yang tidak menganut agama (non-believer). Untuk tidak membatasi kebebasan berekspresi, UU ini lebih menekankan aspek pernyataan atau tindakan yang bersifat mengancam kelompok atau individu beragama/tidak beragama, dan bukan diperuntukkan untuk membatasi diskusi dan kritik.

Sepaham dengan perkembangan di Inggris dan Irlandia Utara tersebut, Majelis Parlemen Dewan Eropa telah menulis rekomendasi pada tahun 2007, antara lain, kepada komite menteri- menteri luar negeri negara-negara anggota Dewan Eropa untuk menjamin hukum dan praktik hukum di negaranya supaya mengkriminalkan setiap pernyataan yang ditujukan kepada seseorang atau kelompok dari orang-orang tersebut yang menjadi target dari permusuhan, diskriminasi, dan kekerasan atas dasar kebencian terhadap agama mereka (Sihombing et. al. 2012: 5). Walaupun di sebagian negara lain terdapat ketegangan antara penghormatan dan pemenuhan kebebasan berekspresi dan pembatasan hak berupa kriminalisasi terhadap praktik hate speech atau religious hatred, pengalaman negara-negara Eropa ini mulai menunjukkan kepedulian internasional terhadap persoalan ini.

Gerakan Sosial, Opsi non-Litigasi?

Bagian di atas menunjukkan bahwa sistem perundang-undangan di Indonesia, sebagaimana negara-negara demokrasi pada umumnya, menyediakan landasan hukum untuk mempidanakan ujaran kebencian. Namun demikian, pada praktiknya penegakan hukum terhadap ujaran kebencian berdasarkan agama terbentur oleh dua hambatan. Pertama, disebabkan adanya salah kaprah pemahaman yang membatasi pidana ujaran kebencian pada penodaan/ penistaan (blasphemy) yang dipahami sebagai penyimpangan terhadap ajaran- ajaran pokok agama yang diakui. Kedua, nampaknya hakim atau jaksa di Indonesia tidak cukup berani menggunakan pasal- pasal yang tersedia untuk mempidanakan ujaran kebencian berdasarkan sentimen agama. Beberapa kasus peradilan yang relevan menunjukkan hakim atau jaksa

m ohammad i qbal a hnaf &s uhadi

lebih memilih menggunakan delik Gerakan sosial yang secara khusus hasutan biasa daripada delik hate speech

memberi perhatian terhadap bahaya atau hate crime. Akibatnya sejauh ini tidak

kebencian sudah lama muncul di negara- ada rintangan hukum cukup berarti yang

negara maju. Di Eropa terdapat organisasi bisa mencegah individu atau kelompok di

No Hate Speech Movement ( htp://www. Indonesia melakukan ujaran kebencian.

nohatespeechmovement.org/ ) yang secara Dalam situasi realitas hukum demikian,

rutin mempublikasikan kasus-kasus gerakan sosial bisa memberi alternatif

ujaran kebencian, kesaksian para korban respon.

dan pendidikan literasi media untuk Agar bisa berkontribusi dalam menangkal pengaruh ujaran kebencian. mengkontrol atau menjadi “rem” praktek

Di Amerika ada gerakan bernama Anti- ujaran kebencian, gerakan sosial bisa Defamation League (ADL) dan National menyasar dua agenda berikut: Pertama,

Association for the Advancement of Colored menciptakan tekanan sosial terhadap People (NAACP). Kedua gerkan ini praktek ujaran kebencian. Hal ini bisa

secara rutin menerbitkan laporan tentang dilakukan dalam dua bentuk yakni: a).

praktek hate crime yang dilakukan membangun wacana publik yang bisa

terhadap kelompok identitas tertentu menekan praktek ujaran kebencian. seperti Yahudi dan penduduk non-kulit Ini bisa dilakukan misalnya dengan putih. Hasil dari pelaporan gerakan- kegiatan monitoring dan reporting secara

gerakan seperti ini kemudian digunakan berkelanjutan terhadap kasus-kasus untuk melobi tokoh-tokoh politik

ujaran kebencian. Laporan berkelanjutkan berpengaruh. Salah satu hasilnya adalah ini diharapkan bisa mengemukakan regulasi khusus yang melarang hate crime

agenda ( agenda seting) akan pentingnya bernama Hate Crime Statistics Act (HCSA) menangani ancaman ujaran kebencian;

(McVeigh et.all. (2003).

b). Data hasil monitoring dan reporting tentang kasus-kasus ujaran kebencian bisa

Di Indonesia, perhatian di digunakan untuk mengkampanyekan kalangan aktiis terhadap dampak penerapan regulasi yang melarang ujaran

penyebaran ujaran kebencian terhadap kebencian di lingkup yang terbatas seperti

kultur toleransi sudah lama muncul, universitas, sekolah, penyedia layanan namun sejauh ini nampaknya belum ada media sosial (facebook, youtube). Tindakan

gerakan sosial yang terfokus merespon ini bisa disebut informal restriction karena

penyebaran ujaran kebencian. Hal yang dilakukan oleh aktor non-negara. Informal

banyak ditemukan adalah sejumlah restriction ini bisa berperan penting, media platform yang menawarkan teurtama ketika formal restriction oleh wacana alternatif untuk memperkuat negara tidak berjalan. Kedua, lebih jauh

nilai toleransi seperti sejuk. Oleh karena gerakan sosial bisa memanfaatkan itu, dibutuhkan upaya terkoordinir dan

hasil pemantauan terhadap ujaran terfokus untuk merumuskan model yang kebencian dan perkembangan informal

tepat sesuai konteks Indonesia. Isu-isu restriction untuk mendorong formal

penting dan tawaran agenda gerakan restriction dalam bentuk peran negara sosial dalam paper ini diharapkan bisa

dalam membatasi ujaran kebencian baik memulai gerakan sosial terencana yang

dengan memanfaatkan UU yang ada atau secara khusus bertujuan untuk merespon

membuat instrumen hukum baru yang masalah penyebaran ujaran kebencian. bersifat operatif.

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Kesimpulan

tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan”.

Paper ini menunjukkan bahwa ujaran kebencian adalah problem

Meski demikian penerapan umum yang dihadapi negara-negara regulasi-regulasi ini memerlukan demokrasi. Tantangan ujaran kebencian

konseptualisasi yang cermat tantang bisa lebih serius di negara demokrasi

apa yang masuk dalam kategori ujaran dengan tingkat keragaman komunal kebencian. Beberapa konsep hate speech yang tinggi seperti Indonesia. Ancaman

yang umum dipakai dei negara-negara ujaran kebencian tidak bisa hanya dilihat

Barat sebagaimana dibahas di atas bisa dari korelasi langsung antara ujaran enjadi salah satu acuan. kebencian dengan kekerasan aktual yang mengikutinya; tetapi juga yang tidak kalah

Terahir, selain repon yang bersifat penting adalah memperhatikan dampak

legal, upaya untuk mencegah persebaran ujaran kebencian dalam menciptakan ujaran kebencian nampaknya belum ketegangan dan polarisasi sekatarian di

menjadi agenda di Indonesia. Bentuk masyarakat yang dalam konteks tertentu

respon non-legal bisa dilakukan bisa mempermudah terjadinya eskalasi

dengan dua cara. Yang pertama adalah konlik.

memperkuat kontrol pubik terhadap persebaran ujaran kebencian. Hal ini

Respon terhadap ancaman ujaran bisa dilakukan dengan memperbanyak kebencian bisa dilakukan di dua ranah,

monitoring dan reporting yakni ranah legal dan non-legal. Secara

program

terhadap praktek ujaran kebencian. legal, sistem perundang-undangan Kedua, perlu upaya untuk mendorong

di Indonesia menyediakan sejumlah informal restriction , atau regulasi yang perangkat hukum yang bisa digunakan

dibuat di tingkat kelembagaan tertentu untuk mempidana ujaran kebencian. seperti universitas dan media sosial untuk

Beberapa diantaranya adalah Pasal 156 membatasi praktek ujaran kebencian.

dan 335, dan KUHP UU No. 17 tahun 2013 Dengan demikian diharapkan ruang bagi

tentang Organisasi Kemasyarakatan(Pasal persebaran ujaran kebencian bisa minimal

59 poin a) yang membahas tentang dibatasi kalaupun tidak bisa sepenuhnya

“larangan” bagi Ormas menyebutkan

dihilangkan.

bahwa Ormas dilarang “melakukan

Daftar Pustaka

Ahnaf, M.I. “Local Elections and Intolerance: A Lesson from Sampang,” Perspectives on Religious Life in Indonesia , Volume 3, May 2014.

Hare, I. & Weinstein, J. Extreme Speech and Democracy . Oxford University Press, 2011. International Crisis Group. Indonesia: Jemaah Islamiyah’s Publishing Industry. Asia Report

N°147 28 Feb 2008. McVeigh et.all. “Hate Crime Reporting as a Successful Social Movement Outcome,”

American Sociological Review , Vol. 68, No. 6 (Dec. 2003), pp. 843-867. Post, Robert. “Hate Speech,” in Hare, I. & Weinstein, J. Extreme Speech and Democracy.

Oxford University Press, 2011.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

m ohammad i qbal a hnaf &s uhadi

Sihombing, et all. Ketidakadilan dalam Beriman: Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia . Jakarta: The Indonesia Legal Resources Center (ILRC), 2012.

Woodward, et al. Hate Speech and the Islamic Defenders’ Front. Center for Strategic Communication, Report No. 1203 / September 9. 2012.

HARMONI September - Desember 2014

P enelitian

r elasi a gama dan negara :t elaah h istoris dan P erkembangannya

Relasi Agama dan Negara: Telaah Historis dan Perkembangannya

Muhammad Anang Firdaus

STAIN Al Fatah Jayapura Email [email protected] Diterima redaksi tanggal 28 September 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

Abstrak

The relationship between religion and Salah satu topik yang selalu menjadi isu the state is an issue that is continually

dalam perkembangan politik di dunia Islam discussed. This paper outlines the historical

adalah hubungan antara agama dan negara. development of political systems in the

Tulisan ini berupaya mendiskripsikan Islamic world since the early Islam, from dengan singkat tentang sistem politik yang its glory to its decline. Ijtihad of the berkembang di dunia Islam sejak masa awal Muslim scholars (Ulema) on this matter Islam, kejayaan hingga kemundurannya.

Ijtihad para ulama tentang hal ini dapat dibagi can be divided into three distinct streams. menjadi tiga aliran, yaitu: Pertama, agama In the irst stream, religion must order all telah mengatur segala aspek kehidupan aspects of life including political affairs

termasuk urusan politik atau negara, kedua, and the state. In the second stream,

agama tidak ada hubungannya dengan religion is seen to be completely separate

negara, dan ketiga, dalam Islam memang from the state. In the third stream, Islam

tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi is a set of ethical values for the life of the

di dalamnya terdapat seperangkat tata nilai state. In the Indonesian context, conlict

etika bagi kehidupan bernegara. Dalam about the relationship between religion

konteks Indonesia, hubungan antara agama and state was present at the beginning of

dan negara telah menjadi pertentangan independence, but was partially resolved

pada awal kemerdekaan, hingga akhirnya when the Founding Fathers agreed on the

para pendiri bangsa berkompomi dan relationship between religion and state in

sepakat tentang hubungan agama dan the Republic of Indonesia.

negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Keyword: Islam, Negara dan NKRI Kata Kunci : Islam, Negara dan NKRI

Pendahuluan

pemikiran semacam ini tidak dapat dilepaskan dari sifat multi interpretatif

Islam memiliki keragaman yang melekat pada ajaran Islam seperti khazanah pemikiran politik di antaranya

terlihat dari munculnya berbagai mazhab menyangkut pemikiran tentang iqh, teologis, ilsafat dan lainnya.

hubungan agama dan negara. Dua Sifat multi-interpretatif ini merupakan pemikiran yang mengemuka sejak lama

dasar kelenturan Islam dalam sejarah dalam sejarah perkembangan Islam dapat

(Hodgson, 1974).

ditelusuri dari munculnya pemikiran yang menginginkan pemisahan Islam dan

Dalam konteks hubungan agama politik dan pemikiran yang menghendaki

dan negara, di satu sisi, umat Islam penyatuan Islam dan politik. Munculnya

percaya akan pentingnya prinsip-

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

m uhammad a nang f irdaus

prinsip Islam dalam kehidupan politik Turki, dilepaskannya Islam sebagai agama (bernegara), namun di sisi lain, tidak

resmi negara, dan dihapuskannya syariah ada pandangan yang seragam tentang

sebagai sumber hukum tertinggi dalam bagaimana Islam dan politik seharusnya

negara (Esposito, 1990). Turki kemudian dikaitkan dan bagaimana hubungan lahir sebagai negara republik sekuler yang yang sesuai antara Islam dan politik atau

tegas memisahkan urusan kenegaraan negara (Efendy, 1998).

dengan urusan keagamaan. Seiring dengan kemunduran

Namun jauh sebelum peristiwa di dunia Islam, muncul para pemikir

tersebut, dalam sejarah perkembangan modernis yang membawa gagasan untuk

Islam tercatat, periode Mekkah berakhir memisahkan agama dan negara dengan

setelah Nabi Muhammad dan para pjakan kemajuan dunia Barat. Tetapi

sahabat berhjrah ke Madinah. Nabi pemikiran ini justeru memunculkan Muhammad sangat memahami corak

resistensi dari para pemikir yang masyarakat Madinah yang mempunyai menginginkan terbentuknya masyarakat

potensi timbulnya konlik. Karena atau negara sebagaimana masa awal itu, Nabi Muhammad mengadakan Islam di era Nabi Muhammad dan di era

penataan dan pengendalian sosial untuk kejayaan dinasti-dinasti awal Islam yang

mengatur hubungan antar golongan menyatukan agama dan negara.

dalam kehidupan sosial, ekonomi, agama dan budaya melalui tiga langkah

Dalam konteks ini, terdapat tiga politik. Pertama, membangun masjid yang aliran pemikiran menyangkut hubungan

berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat agama dan negara. Pertama, aliran yang

pengajaran, penyiaran Islam, pembinaan berpendirian bahwa Islam adalah agama

akhlak dan kultur umat Islam dan sarana yang sempurna dan lengkap dengan mempererat ikatan antar sesama umat

peraturan bagi segala aspek kehidupan Islam. Kedua, mewujudkan persaudaraan manusia termasuk kehidupan bernegara.

nyata dan efektif antara kaum Muhajirin Kedua, aliran yang berpendirian bahwa

dan kaum Ansor. Ketiga, membuat agama, dalam pengertian barat, hanya

perjanjian tertulis yang ditujukan menyangkut hubungan antara manusia

kepada seluruh penduduk Madinah dan Tuhan, tidak ada urusannya dengan

yang menekankan pada persatuan yang urusan kenegaraan. Ketiga, aliran yang

erat antar kaum muslimin dan Yahudi berpendirian bahwa dalam Islam tidak

serta sekutunya dalam kehidupan terdapat sistem ketatanegaraan tetapi sosial politik (Pulungan, 2001). Bentuk

di dalamnya terdapat seperangkat tata masyarakat inilah yang disebut oleh para nilai etika bagi kehidupan bernegara pemikir Muslim sebagai masyarakat

(Sjadzali,1993). Islam ideal. Namun demikian muncul

beragam penafsiran terhadap bentuk masyarakat tersebut. Pemikir liberal

Agama dan Negara: Sketsa Sejarah

menyebut komunitas yang dibentuk

Dunia Islam

Nabi Muhammad di Madinah sebagai Masalah hubungan agama dan Masyarakat Madinah atau Madani,

sedang para pemikir fundamentalis negara telah mengemuka dalam rangkaian

polemik dan perdebatan yang terjadi di lebih suka menyebutnya dengan Negara Madinah.

dunia Islam. Perdebatan ini salah satunya terjadi pada peristiwa revolusi Turki

Setelah Nabi wafat di Madinah di bawah di bawah pimpinan Mustafa

pada tahun 11 hjrah (632 M), tugas-tugas Kemal pada tahun 1924, yang berujung

agama dan kenegaraan diteruskan oleh pada terjadinya penghapusan khilafah di

HARMONI September - Desember 2014

167 al-Khulafa al-Rasyidun , yakni gelar bagi

r elasi a gama dan negara :t elaah h istoris dan P erkembangannya

militer serta menegakkan hukum dan empat khalifah yang memimpin setelah

ketertiban, dan ulama yang mengatur Nabi Muhammad wafat. Al-Khulafa al-

urusan sosial dan keluarga. Sejak 1000- Rasyidun , yang berarti khalifah-khalifah

1200 M, para pemikir Muslim, seperti yang terpercaya, adalah suatu gelar al-Mawardi, al-Ghazali, Ibn Rusyd, dan yang berkaitan dengan kepemimpinan

al-Razi, menawarkan pemikiran politik dan kapasitas mereka sebagai kepala jalan tengah atau pemikiran politik negara dan pemimpin agama dalam keseimbangan. Di masa-masa tersebut, mempertahankan kemurnian ajaran sultan dan ulama saling bekerjasama dan agama Islam dalam berbagai aspek saling tergantung satu sama lain. kehidupan sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad dalam mewujudkan

Gagasan dan ide untuk menyatukan kemaslahatan umat. Al-Khulafa al-

urusan agama dan politik kembali Rasyidun benar-benar mengurus mengemuka dan mendominasi para

persoalan kaum muslimin, dunia pemikir Muslim sekitar tahun 1220-1500 dan ukhrawi, secara utuh berdasarkan

M. Ibn Taimiyah merupakan salah seorang petunjuk al-Quran dan As-Hadist yang

pemikir Muslim yang paling menonjol terpancar dari keimanan, ketakwaan serta

pada masa itu yang menganjurkan keseriusan khalifah dalam memelihara

pemerintahan berdasarkan syariat. Islam dan pemeluknya. Periode al-Khulafa

Puncaknya, pemerintahan berdasarkan al-Rasyidun masih mencerminkan pola-

syariat berlangsung pada masa tiga pola yang digagas dan dipraktikkan Nabi

kerajaan Islam modern yang meliputi Muhammd dalam menata dan mengurusi

Dinasti Utsmani, Dinasti Safawi, dan umat Islam. Sistem pemerintahan pada

Dinasti Mughol. Dinasti Utsmani, yang masa itu bersifat murni dan ideal, tidak

berpusat di Turki, menjadi dinasti paling memisahkan antara urusan agama dan

terkemuka dengan sebutan Khilafah urusan negara sebagaimana berlaku pada

Islamiyyah . Sejarah panjang kekuasaan zaman Nabi Muhammad. Dinasti Usmani telah membawa kemajuan peradaban di dunia Islam. Masalah-

Pada perkembangan selanjutnya, masalah yang timbul, baik internal di era Dinasti Umayyah dan Dinasti maupun eksternal, akhirnya membuat Abbasiyah (661-850 M), pemikiran

dinasti ini mengalami kemunduran. politik Islam didominasi oleh perdebatan

Akhirnya, pada 1924 M, Mustafa Kemal tentang sistem pemerintah atau lebih Ataturk memaksa Sultan Hamid II

tepatnya hubungan khalifah dan negara. untuk menyerahkan kekuasaan Turki Perubahan yang nampak pada dua Usmani setelah Ataturk melakukan dinasti ini adalah sistem pemerintahan

gerakan pembaharuan, dan penyerahan yang diterapkan adalah sistem kerajaan

kekuasaan ini menjadikan Turki Usmani dan sistem pengangkatan kepala negara

telah berakhir riwayatnya dan kemudian dilakukan secara turun temurun. Dalam

diganti dengan Republik Turki yang kaitan hubungan agama dan negara, sekuler (Esposito, 1990). kedua dinasti Islam ini menganut sistem pemerintah atau sistem politik yang tidak

Kemunduran ini menandai mulai memisahkan agama dan negara.

berpengaruhnya pemikiran politik Barat. Para pemikir yang diidentiikasi

Namun, sejak 850 M, pemikiran sebagai pemikir liberal pun bermunculan dan praktik politik yang dominan di dengan menawarkan gagasan dunia Muslim adalah yang memisahkan

pemikiran modernisme. Gagasan agama dan negara. Kekuasaan dibagi pemikiran modernisme ini selanjutnya antara sultan yang mengatur urusan menimbulkan reaksi di kalangan pemikir

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

m uhammad a nang f irdaus

HARMONI September - Desember 2014

Islam fundamentalis seperti Ikhwan al-Muslimin, al-Mawdudi, dan Sayyid Qutb. Mereka menginginkan kehidupan masyarakat Muslim mencontoh kehidupan di era Nabi Muhammad atau setidaknya era kejayaan dinasti-dinasti di masa kejayaan Islam. Ini berarti bahwa mereka menginginkan tidak adanya pemisahan antara agama dan politik.

Selain dua kutub pemikiran ini, terdapat pula pemikiran yang berupaya mengambil posisi tengah dengan menolak pendapat yang menyatakan Islam adalah agama serba lengkap termasuk di dalamnya sistem ketatanegaraan dan juga menolak pendapat bahwa Islam adalah agama, yang dalam pengertian Barat hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Aliran ini berpandangan bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Di antara tokoh aliran ini yang cukup menonjol adalah Muhammad Husein Haikal.

Relasi Agama dan Negara di Masa Modern

Diskursus mengenai hubungan antara agama (al-din) dan negara (al- dawlah ), merupakan salah satu subyek yang hangat diperdebatkan di kalangan para pemikir Muslim sejak dahulu hingga saat ini. Berbagai riset pun telah dilakukan di beberapa negara tentang keselarasan antara ajaran Islam dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Namun, karena tingkat penetrasi Islam ke dalam negara dan politik berbeda- beda, maka timbul kesulitan untuk menentukan sebuah negara yang menjadi pola dasar negara Islam. Perdebatan yang terjadi di dunia Islam modern tentang agama dan negara telah melahirkan pemikir pemikir Muslim, baik dari kelompok yang mendukung penyatuan agama dan negara serta yang berupaya

memisahkankan agama dan negara maupun yang mencoba mengambil jalan tengah di antara keduanya.

Secara garis besar, kelompok- kelompok tersebut meskipun memiliki konsep yang berbeda beda mengenai hubungan agama dan negara namun sama-sama mengakui pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam setiap aspek kehidupan, karena Islam selalu memberikan panduan moral yang benar bagi tindakan manusia (Azra,1996). Namun demikian, keduanya tetap mempunyai penafsiran yang jauh berbeda terhadap ajaran Islam dan kesesuaiannya dengan kehidupan modern. Kelompok pertama beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara, syariah harus menjadi konstitusi negara dan kedaulatan ada di tangan Tuhan. Sedang kelompok kedua beranggapan bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara atau sistem politik yang harus djalankan oleh umat Islam. Dengan kata lain, kelompok pertama adalah pendukung gagasan penyatuan agama dan negara, sedangkan kelompok kedua merupakan pendukung gagasan pemisahan agama dan negara. Bagi kelompok pertama, sistem politik modern (yang dipahami oleh kelompok kedua) diletakkan pada posisi yang berlawanan dengan ajaran Islam.

Salah satu pemikir utama yang mendukung ide penyatuan agama dan negara adalah Abu al-A’la al-Mawdudi seorang pendiri Jama’ah Islamiyyah. Al- Mawdudi, dianggap oleh Charles Adam, sebagai seorang yang paling efektif dalam menciptakan sentimen bagi berdirinya Negara Islam setelah pemisahan Negara India dan berdirinya Negara Pakistan (Adam, 1997). Setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi pemikiran al- Mawdudi yang banyak dipengaruhi kondisi sosial politik ini yaitu: Pertama, keadaan rakyat India yang tertindas dan terbelakang, termasuk di dalamnya umat Salah satu pemikir utama yang mendukung ide penyatuan agama dan negara adalah Abu al-A’la al-Mawdudi seorang pendiri Jama’ah Islamiyyah. Al- Mawdudi, dianggap oleh Charles Adam, sebagai seorang yang paling efektif dalam menciptakan sentimen bagi berdirinya Negara Islam setelah pemisahan Negara India dan berdirinya Negara Pakistan (Adam, 1997). Setidaknya ada dua hal yang mempengaruhi pemikiran al- Mawdudi yang banyak dipengaruhi kondisi sosial politik ini yaitu: Pertama, keadaan rakyat India yang tertindas dan terbelakang, termasuk di dalamnya umat

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Islam. Kedua, kenyataan dari adanya kelebihan dan kemajuan Barat, yang menjajah India dan sebagian besar dunia Islam (Nasr, 1995).

Sedangkan pemikiran al-Mawdudi tentang kenegaraan berdasarkan pada tiga dasar, yaitu: 1). Islam adalah agama paripurna tentang semua segi kehidupan meliputi moral, etika, serta petunjuk bidang politik, sosial dan ekonomi, lengkap dengan petunjuk untuk mengaturnya, termasuk kehidupan politik. Negara Islam harus memakai sistem kenegaraan Islam dan bukannya meniru sistem Barat. Negara yang dapat menjamin tegaknya sistem Islam adalah sebuah negara yang eksistensinya kuat. Dalam hal ini, al-Mawdudi menunjuk kepada pola semasa al-Khulafa al- Rasyidun sebagai model atau contoh sistem kenegaraan menurut Islam; 2). Kekuasaan tertinggi, yang dalam istilah politik disebut kedaulatan, adalah pada Allah dan bukan kedaulatan rakyat. Umat manusia hanyalah pelaksana kedaulatan Allah tersebut sebagai khalifah Allah di bumi; 3). Sistem kenegaraan atau politik Islam adalah suatu sistem universal dan tidak mengenal batas-batas dan ikatan- ikatan geograi, bahasa dan kebangsaan.

Dengan demikian, konsep negara menurut al-Mawdudi adalah negara ideologi. Negara adalah agama yang terintegrasi dalam satu kesatuan institusi dan tidak memisahkan urusan agama dan negara (din wa dawlah). Islam mengatur seluruh persoalan manusia, termasuk teknis kenegaraan. Islam otentik ditempatkan secara formal dalam struktur kenegaraan, baik sebagai dasar negara, bentuk pemerintahan dan tata undang-undang. Konsep seperti ini eksis dalam praktik kenegaraan umat Islam, sejak awal Islam sampai abad pertengahan. Pemikiran al-Mawdudi tentang ciri negara Islam, secara ringkas, dapat disimpulkan menjadi empat hal,

y aitu: 1). Kedaulatan ada di tangan Tuhan; 2). Hukum tertinggi dalam negara adalah syariah; 3). Pemerintah adalah pemegang amanah Tuhan untuk melaksanakan kehendak-kehendak-Nya; 4). Pemerintah tidak boleh melakukan perbuatan yang melampaui batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan (Nasr,1995).

Adapun, aliran kedua berpendirian bahwa agama, dalam pengertian Barat, hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, tidak ada urusannya dengan urusan kenegaraan. Pendapat kedua mengenai hubungan Islam dan negara ini tercermin pada pemikiran Ali Abd al-Raziq. Ia menyatakan bahwa Nabi Muhammad itu adalah rasul untuk mendakwahkan agama semata-mata, tidak dicampuri kecenderungan untuk mendirikan kerajaan dan tidak pula mendakwakan berdirinya negara.

Abd al-Raziq menolak kemestian dan dasar-dasar pemerintahan Islam. Dia menyatakan bahwa tidak ada dalam al-Quran maupun al-Hadist yang menjelaskan tentang pemerintahan Islam dan tidak pernah dibangun oleh Nabi Muhammad di Madinah. Al- Raziq menyatakan: “Muhammad adalah sepenuhnya seorang rasul. Dia mengabdikan untuk penyiaran keagamaan secara murni tanpa suatu kecenderungan apapun ke arah kekuasaan temporal/duniawi, justru tidak pernah bertindak atas nama pemerintah. Nabi tidak punya kekuasaan temporal maupun pemerintah. Dia tidak membangun kerajaan menurut pengertian kata sepanjang politik maupun yang sinonim dengan itu. Dia Cuma seorang nabi seperti nabi-nabi lainnya yang mendahuluinya. Dia bukan raja, dia bukan pembangun negara, tidak pernah dia membikin pernyataan mengenai kekuasaan duniawi” (Al-Raziq, 1925).

Al-Raziq mempertanyakan apakah Nabi Muhammad merupakan seorang kepala negara atau bukan. Dia menolak Negara Madinah di era Nabi Muhammad

m uhammad a nang f irdaus

HARMONI September - Desember 2014

dengan alasan di sana tidak ada anggaran belanja yang dipakai untuk menghitung pemasukan dan pengeluaran negara atau kantor-kantor, lembaga peradilan, pasukan penjaga jiwa dan harta atau polisi yang dikordinir oleh negara (Al-Bahnasawi, 1996).

Pendapat al-Raziq

ini

bisa

dimaknai bahwa Nabi Muhammad adalah pengemban risalah, maka tidak boleh dilupakan bahwa risalah itu sendiri memerlukan seorang rasul sebagai pemimpin kaumnya, sebagai sultan mereka. Meskipun demikian, kepemimpinannya tidak seperti kepemimpinan raja-raja berikut kekuasaan mereka terhadap rakyatnya. Dia tidak ingin mencampuradukan antara kepemimpinan risalah dengan kepemimpinan almulk atau raja, yang pertama adalah kepemimpinan agama sedangkan yang kedua adalah kepemimpinan kerajaan.

Selanjutnya al-Raziq menyatakan bahwa agama adalah kebenaran yang abadi dan tidak berubah, sedangkan negara dan sistem pemerintahan tunduk kepada perkembangan yang dinamis, selalu berubah. Tindakan Nabi Muhammad sebagai pemimpin komunitas Madinah, baik dalam kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun dalam upaya perundingan, perjanjian, dan penentuan perang atau jihad tidak berarti bahwa beliau menentukan satu bentuk pemerintahan yang diwajibkan, karena yang diwajibkan bukanlah bentuknya, melainkan pranata negara yang mampu menjamin terlaksanaannya syariah.

Sedangkan pendapat yang ketiga mengenai hubungan agama dan negara tercermin dalam pendapat Muhammad Husein Haekal. Menurutnya, prinsip- prinsip dasar kehidupan bermasyarakat yang diberitakan oleh al-Quran dan al- Hadist tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Kehidupan bernegara bagi umat Islam baru mulai

pada saat Nabi Muhammad berhjrah dan menetap di Madinah. Nabi Muhammad

tidak mengubah sistem pemerintahan yang demikian beraneka ragam di Hjaz, dan juga tidak meletakkan dasar-dasar bagi sistem pemerintahan Islam. Hal yang beliau lakukan hanya mengirim utusan kepada berbagai suku dan kota yang sudah menerima Islam sebagai agamanya untuk mengajarkan agama dengan sendi- sendi dan prinsip-prinsip dasarnya, serta mengajak suku-suku dan masyarakat kota-kota itu mengatur pola hidupnya dengan sendi-sendi dan prinsip-prinsip dasar tersebut. Hal paling penting dalam prinsip dasar yang mewarnai sistem politik adalah iman akan Tuhan Yang Maha Esa dan bahwa Allah satu-satunya yang wajib disembah. Dari prinsip dasar ini berkembanglah prinsip persamaan, persaudaraan dan kebebasan.

Menurut Haekal, Islam hanya meletakkan prinsip-prinsip dasar bagi peradaban manusia yang mengatur perilaku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesama, yang pada gilirannya akan mewarnai pola kehidupan politik. Menurutnya, prinsip- prinsip yang diletakkan oleh Islam bagi peradaban manusia yakni: Pertama, iman akan keesaan Tuhan sebagi landasan hubungan bermasyarakat antarumat dari berbagai agama. Kedua, alam semesta, termasuk kehidupan umat manusia, tunduk kepada sunnah Allah. Ketiga, persamaan di mana semua manusia sama derajatnya di hadapan Tuhan, sama hak dan kewajibannya dan sama-sama tunduk kepada sunnah Allah.

Dalam lintas sejarah, corak pemerintahan Islam sangat beragam. Corak pemerintahan Islam sepanjang sejarah banyak dipengaruhi oleh banyak faktor, baik internal ataupun eksternal. Oleh karena itu, sulit untuk menunjuk suatu sistem pemerintahan menjadi satu sistem pemerintahan Islam yang masih murni. Namun, hal ini tidak berarti bahwa

171 saat ini ajaran-ajaran umum Islam tentang

r elasi a gama dan negara :t elaah h istoris dan P erkembangannya

oleh kekuatan evolusi harus diberikan hidup bermasyarakat dan bernegara pada akal manusia, dibentuk menurut tidak dapat diterapkan, hanya saja harus

kepentingan umum dan dalam kerangka disesuaikan dengan situasi, kondisi prinsip-prinsip umum yang digariskan serta tingkat kemajuan intelektual dan

agama Islam (Ayubi, Nazih, 1991). peradaban pada zaman dan tempat umat Islam hidup, dengan memperhatikan tiga

Kita mengetahui ada segelintir dari prinsip dasar yang telah diberikan oleh

umat Islam yang terpengaruh dengan Islam bagi peradaban manusia tersebut

menyatakan bahwa Islam semata- di atas.

mata merupakan risalah spiritual dan tidak ada hubungannya dengan politik

Tokoh lain yang berpendapat segaris dan kekuasaan, seperti ‘Ali Abd al- dengan Muhammad Haekal adalah Raziq. Menurut Imarah, memang al- Muhammad Imarah. Ia menegaskan Quran tidak menceritakan tentang bahwa Islam adalah al-din wa al-dawlah,

peraturan pemerintahan secara detail namun begitu, Islam mengingkari dawlah

seperti perintah shalat dan perkara- diniyyah (negara berasaskan agama). Ia

perkara ibadah yang lain. Al-Quran menjelaskan bahwa dalam aliran sekular,

hanya menceritakan tentang manhaj, negara adalah pemisah antara agama maqasid, tujuan dan falsafahnya dalam dengan pemerintahan. Sementara Islam,

perkara tersebut karena ia merupakan merupakan akidah, syariah, agama dan

perkara yang berkembang dan berubah. dawlah. Ia bukan risalah spiritual semata-

Dari sinilah manusia boleh mengurus mata. Dawlah dalam Islam berlainan negara dan masyarakat mereka. sekali dengan pemahaman dalam agama

Kedudukan negara bukanlah sebagai Kristen. Nahdah umat Islam apabila ia

rukun dalam rukun-rukun agama, juga melaksanakan syariat dalam negara bukan bermakna menaikan hubungan sipil Islam (al-dawlah al-madaniyyat al-

keduanya seperti yang difahami oleh islamiyah ). Tetapi apabila bertujuan pada

golongan sekuler, malah hubungan pengislaman Undang-Undang, hal itu keduanya ini yang menjadikan Islam merupakan permulaan ke arah jumud

sebagai agama yang sangat istimewa dan dan kemunduran umat Islam. Menurut

berbeda dengan agama lain. Dengan kata Imarah, sekuler bukan jalan bagi umat

lain, ajaran Islam mewarnai segala aspek Islam untuk maju, tetapi pendorong kehidupan bernegara. Negara tidak kemajuan umat Islam ialah kesadaran

berasaskan Islam secara formal tetapi dan iqh serta perundangan yang sesuai

secara subtantif kehidupan bernegara dengan ajaran Islam. Ia menegaskan dan bermasyarakat berlandaskan Islam. bahwa Islam adalah al-din wa al-dawlah dan kita mesti percaya dengan hakikat ini. Ini sekaligus menaikan persamaan

Relasi Agama dan Negara di Indonesia

kita dengan perkara yang dialami oleh kemajuan Barat dalam masalah ini.

Gagasan untuk menyatukan agama dan negara mereleksikan adanya

Lebih lanjut, sebagaimana dikutip kecenderungan untuk menekankan aspek oleh Nazih Ayubi, Imarah menyatakan:

legal dan formal idealisme politik Islam. “Islam sebagai agama tidak menentukan

Kecenderungan seperti ini biasanya suatu sistem pemerintahan tertentu ditandai dengan keinginan untuk

bagi umat Islam, karena logika tentang menerapkan syariah secara langsung kesesuaian agama untuk sepanjang sebagai konstitusi negara. Sebaliknya, ide

zaman dan tempat menuntut supaya yang memisahkan agama dan negara ingin problem-problem yang akan berubah

secara tegas memisahkan urusan agama

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

m uhammad a nang f irdaus

HARMONI September - Desember 2014

dan negara. Ide yang muncul kemudian adalah pemikiran yang lebih menekankan substansi dari pada bentuk negara yang legal dan formal. Watak yang substansialis dengan menekankan nilai-nilai keadilan, persamaan, musyawarah, dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip- prinsip Islam, mempunyai potensi untuk berperan sebagai penghubung antara agama dan sistem politik modern.

Masalah hubungan agama dengan negara telah muncul ke permukaan dalam serangkaian polemik dan perdebatan pada awal abad 21. Perdebatan yang diawali dengan terjadinya revolusi kaum muda Turki, sehingga akhirnya Turki menjadi negara sekuler. Hal ini diperkuat pula dengan terbitnya buku karya ‘Ali Abd al-Raziq yang berjudul al-Islam wa Usul al-Hukm yang controversial dan bahkan perdebatan tentang isi buku ini terdengar juga hingga ke Indonesia.

Pada awal abad 21, pemikiran tentang hubungan antara agama Islam

dan politik atau negara di Indonesia belum berkembang jauh. Memang partai-partai politik Islam sudah mulai bermunculan sejak zaman penjajahan, tetapi perhatian partai-partai Islam terpusatkan pada perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagaimana partai-partai bukan Islam. Dalam proses sejarah sampai terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Islam menempati posisi signiikan. Namun pada akhirnya Indonesia tidak seperti Pakistan, Arab Saudi, Republik Islam Iran yang menjadikan Islam sebagai dasar negara (Yunus, Abd Rahim, 2009).

Pada masa awal kemerdekaan muncul tuntutan beberapa kalangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar ideologi negara atau agama resmi negara, lengkap dengan segala konsekuensi sosial politik yang menyertainya. Tetapi tidak semua kaum Muslim Indonesia mendukung jenis Islam politik ini. Beberapa aktiis pendukung corak

Negara Kesatuan Republik Indonesia menolak gagasan tersebut dan berusaha untuk menjinakkannya pada sekitar tahun 1950. Bahkan pada masa orde baru, Islam politik baru tidak punya kebebasan karena dicurigai tidak sepenuhnya mendukung ideologi negara Pancasila.

Situasi yang menyedihkan ini ingin diatasi oleh pemikir dan aktiis Muslim di Indonesia yang mulai tumbuh sekitar tahun 1970. Hal itu dilakukan dengan tiga kecenderungan intelektual yang berbeda tetapi saling melengkapi, yakni; pembaruan teologis, reformasi politik/ birokrasi, dan transformasi sosial. Tujuan utamanya adalah mentransformasikan sudut pandang Islam politik yang lebih awal, dari formalism-legalisme ke substansialisme.

Ada dua asumsi pokok yang melandasi perbedaan pemikiran tentang hubungan agama dan negara dalam konteks Indonesia, yakni: Pertama, masalah hubungan politik antara Islam dan negara muncul dan berkembang dari pandangan-pandangan yang berbeda di kalangan pendiri republik ini tentang bagaimanakah Indonesia yang dicita-citakan. Kedua, hubungan politik antara Islam dan negara yang kurang baik tidak muncul dari doktrin Islam sendiri, melainkan dari bagaimana Islam diartikulasikan secara sosio-kultural, ekonomis dan politis di Indonesia. Di satu sisi memandangan Islam yang formalistik dan di sisi lain memandang Islam secara subtansial. Pandangan Islam yang formal atau legal yang cenderung eksklusif dalam negara akan menimbulkan ketegangan- ketegangan pada sebuah masyarakat yang bersifat heterogen sosial-keagamaan maupun kulturnya. Sedang pandangan Islam yang subtansial lebih memberikan landasan yang sesuai dalam membentuk hubungan antara Islam dan negara dengan harmonis.

Partai-partai Islam pada dasarnya menerima Pancasila sebagai dasar negara

173 Republik Indonesia, kalaupun ada seorang pemimpin, kemudian muncul

r elasi a gama dan negara :t elaah h istoris dan P erkembangannya

keengganan untuk menerima Pancasila, pembagian kewenangan antara penguasa hal itu disebabkan oleh kecurigaan dengan ulama secara berimbang, lalu terhadap penafsiran Pancasila oleh kembali pada pemerintahan berdasarkan golongan sekuler. Hal tersebut lebih syariat, sampai pada akhirnya sistem jelas lagi ketika Orde Baru memberikan

khilafah dibubarkan pada tahun 1924 M. penafsiran terhadap Pancasila bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Secara umum, pergumulan bukan negara agama dan juga bukan

mengenai hubungan antara agama negara sekuler. Penafsiran tersebut diikuti

dan negara, menimbulkan tiga aliran. Pertama, dengan kebjakan-kebjakan politik yang berpendirian bahwa Islam memberi tempat dan peran terhadap adalah agama yang lengkap, mengatur agama.

segala aspek kehidupan termasuk urusan politik atau negara. Kedua, berpendapat

Selanjutnya, perbedaan pandangan bahwa agama tidak ada hubungannya tentang penyatuan atau pemisahan antara

dengan negara, urusan agama dan agama dan negara berpengaruh pada negara harus dipisahkan secara jelas. generasi baru para pemikir dan aktiis

Ketiga, berpendapat bahwa di dalam Muslim di Indonesia. Hal itu tampak

Islam memang tidak terdapat sistem dalam pandangan mereka tentang corak

ketatanegaraan tetapi di dalamnya negara dan bangsa Indonesia dan posisi

terdapat seperangkat tata nilai etika bagi Pancasila sebagai ideologi nasional kehidupan bernegara. negara. Dengan mempertimbangkan nilai-nilai ajaran Islam dan konteks

Dalam konteks Indonesia, pada sosio-keagamaan dan kultur bangsa awal kemerdekaan muncul pertetangan

Indonesia, maka mereka memutuskan di kalangan pendiri negara tentang mendukung paham negara kesatuan hubungan antara agama dan politik, nasional. Di antara tokoh-tokoh tersebut

namun, pada akhirnya terjadi kesepakatan adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur),

dengan dirumuskannya Pancasila sebagai Munawir Sjadzali, Nurcholish Madjid dasar negara. Dengan ideologi Pancasila, yang sering kali menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia konstruk ideologis bangsa Indonesia yang

bukanlah negara agama juga bukan ada sekarang harus dipandang sebagai

negara sekuler.

tujuan inal umat Islam Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut di atas, diskursus tentang hubungan antara agama dan politik atau negara

Kesimpulan

harus terus dilakukan secara intensif dan berkesinambungan. Hal ini dilakukan

Pengaturan kehidupan bermasya- untuk menumbuhkan kasadaran rakat Madinah setelah Nabi Muhammad

bahwa sesungguhnya Islam merupakan wafat, dilanjutkan oleh al-khulafa al-

agama yang rahmatan lil alamin. Setiap Rasyidun dengan sistem khilafah yang

Muslim percaya bahwa al-Quran dan al- tidak memisahkan urusan agama dan

Hadist merupakan dasar utama, tetapi Negara dan dilanjutkan oleh Dinasti

penafsiran tentang keduanya yang harus Umayyah dan Dinasti Abbasiyah tetapi

selalu disesuaikan dengan konteks sosio- dengan menerapkan sistem monarki.

keagamaan dan kultur umat Islam. Dalam perkembangan selanjutnya Dengan demikian akan tercipta suatu

muncul ide menyatukan dan memisahkan tatanan kehidupan yang harmonis dan

agama dan negara. Hal ini dimulai dengan masyarakat yang madani. sistem pemerintahan yang terpusat pada

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

m uhammad a nang f irdaus

Daftar Pustaka

Adam, Charles. “Maududi and the Islamic State”, dalam Muhammad Azkar. Filsafat

Politik, Perbandingan antara Islam dan Barat . Jakarta: PT. Raja Graindo, 1997. Al-Bahnasawi, Salim Ali. Wawasan Sistem Politik Islam terj. oleh Mustofa Mansur. Jakarta:

Pustaka al-Kausar, 1996. Al-Raziq, Ali Abd, Al-Islam wa Ushul al-Hukm. Kairo: Mathba’ah Syarikah Musahamah

Miriah, 1925. Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam, dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post

Modernisme. Jakarta: Paramadina, 1996. Ayubi, Nazih. Political Islam; Religion and Politics in the Arab World. London: Routledge,

1991. Efendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia . Jakarta: Paramadina, 1998. Esposito, John L. Islam dan Politik , terj, Joesoef Sou’yb. Jakarta: Bulan Bintang, 1990. Hodgson. Marshall G. S. The Venture of Islam; Conscience and History in a World of

Civilization . Vol. I. Chicago: University of Chicago Press, 1974. Nasr, Sayyid Vali Reza. “Abu al-A’la al-Mawdudi” dalam The Oxford Encyclopedia Modern

Islamic World , Jilid III, Ed. John L. Esposito. New York: Oxford University Press, 1995

Pulungan, Suyuthi J. “Kepemimpinan di Masa Rasulullah; Suatu Tinjauan Historis- Politis” dalam Islam Humanis: Islam dan Persoalan Kepemimpinan, Pluralitas, Lingkungan Hidup, Supremasi Hukum dan Masyarakat Marginal . Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2001.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993.

Thohir, Ajid. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam . Jakarta: PT.Raja Graindo Persada, 2009.

Yunus, Abd Rahim. Islam dalam Sejarah Keragaman Konsep dan Sistem. Yogyakarta: Cakrawala Publishing, 2009.

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

b uddhisme t heravada di a sia t enggara :t radisi ,n egara dan m odernisasi

Mengelola Konlik Keagamaan

Haris Burhani

Calon Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Pos-el: [email protected]

Judul buku : Manajemen

Keagamaan: Analisis Latar Belakang Konlik Keagaman

Konlik

Penulis

: Abdul Jamil Wahab, M.Si

Penerbit : PT Elex Media Kompetindo, Kompas –

Gramedia

Tahun Terbit : 2014 Ketebalan

: x + 244 halaman

Konlik keagamaan umumnya tidak ditulis disederhanakan, buku setebal 224 bermotif tunggal (baca: faktor keagamaan

halaman ini memberi gambaran empirik saja). Faktor lain sering berkelindan yang informatif, tidak hanya mengulas diantaranya budaya, sosial, ekonomi, penyebab konlik namun berbagai politik. Untuk itu upaya penanggulangan

dinamika yang mengiringi konlik konlik perlu dilakukan melalui sebuah

tersebut. Buku ini ingin menjelaskan kebjakan, program terarah, dan simultan.

informasi tentang konlik keagamaan Langkah penanggulanan konlik tersebut

aktual yang melibatkan beberapa perlu dilakukan bukan saja saat atau

paham dan gerakan keagamaan, seperti setelah konlik berlangsung, justeru

kasus Ahmadiyah, Syiah, Islam radikal, sebelum terjadi.

Islam liberal, salai dakwah dan konlik pendirian rumah ibadat. Diharapkan

Pada titik ini, buku ini kehadirannya masyarakat akan makin tercerahkan dan sangat ditunggu. Buku karya A. Jamil

memahaminya secara proporsional dan Wahab ini kaya akan data-data lapangan

obyektif untuk melihat sebuah konlik yang diperoleh langsung dari penelitian

keagamaan.

oleh penulis dan teman-teman peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Substansi buku ini dibagi atas lima Badan Litbang dan Diklat Kementerian

bab. Setelah Bab I, bagian pengantar/ Agama. Meski informasinya sengaja pendahuluan yang mengungkapkan latar

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Z aenal a bidin e ko P utro

HARMONI September - Desember 2014

belakang dan urgensi mengapa buku ditulis, pada Bab II, terdapat pengayaan teori manajemenn konlik yang bersumber teori-teori sosiologi konlik. Pembekalan teori manajemen konlik yang memadai untuk menganalisis konlik secara umum, meliputi: pemetaan konlik, jenis dan tipe konlik, dinamika dan bentuk- bentuk intervensi konlik. Rangkuman beberapa isu konlik keagamaan aktual yang terjadi pada beberapa tahun ini dan menyedot perhatian public diungkap dan disertai analisis terhadap konlik-konlik tersebut. Bab III dengan mengidentiikasi latar belakang konlik keagamaan aktual disertai analisis kasus-kasus konlik diantaranya:

Konlik Ahmadiyah

Warga Ahmadiyah telah lama hidup berdampingan dengan warga lain. Hal itu sudah berlangsung lebih dari 60 tahun, sejak 1950-an baik di Kabupaten Lombok, Kuningan, Pandeglang, Tasikmalaya. Namun peristiwa kekerasan terhadap warga Ahmadiyah di b erbagai wilayah Indonesia masih tetap ada. Faktor penyebab konlik ini diantaranya perbedaan pemahaman (keyakinan) terhadap beberapa hal dalam ajaran agama. Perbedaan itu karena Ahmadiyah (golongan qodiyan atau JAI) meyakini beberapa hal yang oleh pihak non Ahmadiyah (kelompok yang menyerang atau ingin membubarkan) dinilai sebagai penyimpangan akidah Islam

Beberapa hal yang krusial dan sebagai penyimpangan aqidah adalah: Mirza Gulam Ahmada, pendiri Ahmadiyah adalah seorang nabi, namun Ahmadiyah menyatakan kenabian Mirza tidak sama dengan kenabian Muhammad SAW; Pintu wahyu selalu terbuka, argumentasi yang dikemukakan oleh Ahmadiyah adalah bahwa Tuhan memiliki

sifat-sifat yang abadi, salah satunya adalah al-mutakallim (Tuhan sebagai Pembicara dan mengirimkan wahyu). Jika Tuhan telah berhenti berbiara maka satu dari sifat-sifat Tuhan sudah tidak berguna lagi; dan Mirza Gulam Ahmad adalah Al Masih dan Imam Mahdi. Ahmadiyah meyakini berdasarkan QS. At-Tahrim:12, juga beberapa hadis bahwa Al Masih dan Imam Mahdi akan muncul hanya dalam suatu kerajaan dimana Islam tidak punya kekuatan (saat kekuatan Islam lemah). Tiga hal itu menjadi keyakinan Ahmadiyah yang menjadi titik tolak timbulnya konlik ahmadiyah dengan sejumlah kelompok Islam di Indonsia.

Dalam

menyikapi

konlik Ahmadiyah, masyarakat terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, kelompok masyarakat yang melihat Ahmadiyah dalam perspektif penodaan agama, yaitu bahwa ajaran Ahmadiyah telah menodai agama Islam sehingga bertentangan dengan Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Oleh kelompok ini warga Ahmadiyah dianggap telah melanggar hak asasi umat Islam, sehingga orangnya harus diadili dan organisasinya dibubarkan. Kedua, kelompok masyarakat yang melihat Ahmadiyah dalam perspektif HAM. Berdasarkan perspektif HAM, kebebasan beragama dan berkeyakinan djamin oleh konstitusi. Untuk itu keyakinan warga Ahmadiyah terhadap ajarannya merupakan bagian dari hak asasi. Ketiga, kelompok masyarakat yang melihat Ahmadiyah dalam perspektif SKB, yaitu secara individu dan internal warga Ahmadiyah berhak untuk meyakini ajarannya, namun SKB memperingatkan dan memerintahkan mereka untuk tidak melakukan penyebaran paham yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam.

b uddhisme t heravada di a sia t enggara :t radisi ,n egara dan m odernisasi

Konlik Syiah

paham dan ajarah Syiah, kecuali tahrif (mengubah) Al-Qur’an, melecehkan

Penyebab konlik Syiah di Jawa sahabat, serta menghalalkan darah

Timur secara umum dipicu oleh keluarnya kelompok Ahlul as-Sunah. fatwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi

Jawa Timur pada Sidang hari Sabtu, 21 Januari 2012 (Kep-01/SKF-UI/JTM/I/2012

tentang Kesesatan Ajaran Syiah. Islam Radikal Keputusan tersebut dilandasi Keputusan

Paham keagamaan seseorang Fatwa MUI Pusat tanggal 7 Maret 1984

memang sangat memengaruhi sikap tentang paham Syiah yang menyatakan

keagamaannya. Radikalisme ternyata bahwa Syiah mempunyai perbedaan memiliki akar ideologi yang kuat di

pokok dengan Ahlu al Sunah wa al- kalangan para pengikutnya. Kaum jamaah yang dianut oleh umat Islam di

radikalis dalam melakukan aksinya Indonesia. Perbedaan tersebut tidak saja

ternyata juga didasarkan pada pandangan pada masalah furu’iyah (masalah cabang

dan keyakinan keagamaan, yaitu tafsir dalam ajaran Islam) tetapi juga pada terhadap teks-teks Al-Qur’an, Hadis

masalah ushuliyah (masalah pokok dalam maupun pendapat para tokoh yang ajaran Islam), diantaranya: Pertama, menjadi panutan mereka. Para pelaku

Hadis menurut paham Syiah meliputi terorisme selalu mengklaim bahwa upaya perbuatan (af’al), perbuatan (aqwal), dan

mereka adalah bagian dari aktualisasi ketetapan (taqrir) yang disandarkan tidak

ajaran jihad yang dikehendaki Islam. hanya kepada Nabi Muhammad saw., tetapi juga kepada para imam Syiah;

Radikalisme memang bukan kedua, Paham syiah meyakini bahwa fenomena baru, ia sudah ada sejak

para imam terbebas dari perbuatan awal perkembangan Islam dengan dosa (ma’shum) seperti para nabi;

kemunculan sekte Khawarj. Fenomena ketiga, Paham Syiah memandang bahwa

radikalisme kini kembali mendapat menegakkan kepemimpinan Imamah banyak sorotan dalam wacana global,

termasuk masalah akidah dalam agama; khususnya pasca pemboman gedung keempat, Paham Syiah mengingkari World Trade Center (WTC), Manhatan, otentisitas Al-Qur’an dengan mengimani

New York, Amerika Serikat sebagai adanya perubhan (tahrif) dalam symbol supremasi ekonomi Amerika

Al’Qur’an; kelima, Syiah membolehkan Serikat pad 11 September 2001. Banyak nikah mut’ah (kawin kontrak) yang pihak meyakini pemboman itu dilakukan

sangat berpotensi digunakan untuk oleh jaringan Islam radikal Al-Qaida Al- melegitimasi praktik perzinaan, seks

Islamiyah, organisasi pimpinan Osamah bebas, dan prostitusi serta merupakan

bin Laden. Peristiwa itu berimplikasi bentuk pelecehan terhadap kaum wanita;

pada terbentuknya opini, seolah-olah keenam, Syiah melecehkan sahabat-

terorisme dibenarkan oleh Islam. Hal sahabat Nabi SAW., termasuk Abu Bakar

ini tentu suatu kekeliruan yang patut as-Siddiq dan Umar bin Khatab, serta;

dikoreksi, sekalipun dalam beberapa ketujuh, Syiah menghalalkan darah kaum

kasus dapat dibuktikan bahwa terorisme Ahlu al-Sunah wa al-jemaah.

dilakukan hanyalah suatu gerakan kelompok Islam tertentu yaitu kelompok

Dalam pandangan kelompok radikal, yang kemudian tidak serta-merta Syiah, sebagaimana ditulis dalam “Buku

berarti bahwa semua gerakan Islam Putih Mazhab Syiah” (Tim Ahlul Bait

identic dengan terorisme. Sebab ditinjau Indonesia), semua pandangan tersebut

dari banyak aspek, terorisme sama sekali memang diakui sebagai bagian dari tidak identik dengan ajaran Islam

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Z aenal a bidin e ko P utro

HARMONI September - Desember 2014

Islam Liberal

Melihat argumen yang dikemuka- kan kelompok-kelompok Islam yang berkonlik dengan kelompok liberal, mereka berpandangan bahwa Islam liberal memiliki paham yang dapat merusak Islam. MUI dalam Munas ke-7 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekulerisme, dan liberalisme merupakan paham yang bertentangan dengan ajran Islam, sehingga umast Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekulerisme, dan liberalisme. Dalam Keputusan MUI itu, liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur’an dan as-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan pikiran semata

Secara umum, lahirnya konlik antara kelompok Islam liberal dan non liberal (baca: fundamental) tidak lepas dari adanya perbedaan penafsiran dalam memahami teks-teks agama. Perdebatan Islam liberal dan non-liberal terus berlanjut, meskipun saat ini cenderung mereda, namun perbedaan paham yang bipolaristik antara keduanya berpotensi untuk terus berkonlik. Munculnya perbedaan pandangan keagamaan antara keduanya tersebut tentunya perlu terus djembatani dengan pemahaman dan sikap proporsional dan tidak saling menegasikan.

Paham Salai Dakwah

kelompok salai dan non salai, bukan semata-mata karena aspek perbedaan

paham atau ajaran, namun juga karena metode dakwah yang dikembangkan kelompok salai bersifat eksklusif dan sering menyalahkan orang lain bahkan menuduh sesat. Salai terkesan eksklusif dan kurang menghargai perbedaan pendapat. Hal ini menimbulkan

ketersinggungan masyarakat dan membentuk persepsi negatif tentang kelompok Salai dan ajaran-ajarannya. Model dakwah yang dikembangkan Salai banyak “menyalahkan” paham yang dianut mayoritas sehingga menimbulkan keresahan. Salai pada umumnya cenderung

memberikan

justiikasi teologi bahwa model dan cara beragama masyarakat Muslim di wilayah non Arab (Indonesia), dinyatakan tidak asli dan tidak murni. Cap buruk dialamatkan kepada Islam lokal dengan sebutan sinkretis, tidak beradab, tidak autentik, dan tradisional.

Pendirian Rumah Ibadat

Kasus konlik keagamaan yang juga sering muncul adalah terkait pendirian rumah ibadat. Kehadiran sebuah rumah ibadat sering menggangu hubungan antarumat beragama, bahkan memicu konlik horizontal karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut agama lain. Rumah Ibadat dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat melaksanakan ibadat atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga sebagai symbol keberadaan suatu kelompok agama tertentu. Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat tertentu dipandang oleh pihaklain tidak berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada komunitas lain.

Persoalan keagamaan seyogianya diselesaikan dalam ranah sosial- budaya. Untuk itu penting dilakukan pendekatan-pendekatan yang sifatnya komunikasi nonformal, dialog hingga consensus, sehingga kedua belah pihak bisa menemukan win-win solution. Dalam hal ini komunikasi adalah kunci terbangunnya medium membangun perdamaian dan pencegahan konlik.

179 Sementara Bab IV, berisi pembahasan

b uddhisme t heravada di a sia t enggara :t radisi ,n egara dan m odernisasi

mampu menggunakan pengetahuan, tentang Pengurangan Risiko Konlik,

keterampilan, serta sumber daya yang yaitu langkah alternatif dalam mereduksi

mereka miliki untuk membangun kerugian dan korban akibat suatu konlik.

sosio-ekonomi dan politik dan pranata Penulis tersebut mengemukakan bahwa

sosial lainnya. Penduduk lokal harus pembahasan tentang deinisi, analisis mampu melanjutkan penyelesaian konlik, kemudian membangun kembali

risiko konlik, dan beberapa langkah yang komunitasnya tanpa campur tangan perlu diprioritaskandalam pengurangan

pihak luar.

risiko konlik Buku ini belum secara lengkap

Bab V adalah penutup, yang mengungkap seluruh aspek terkait mencoba mencari skenario tata kelola

isu-isu konlik keagamaan, dan juga konlik dan pembangunan perdamaian

belum mengupas resolusi konlik serta pengurangan risiko konlik

dan nirkekerasan. Namun diatas perlu diletakkan dalam konteks segalanya buku ini bermanfaat bagi para pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan

peneliti, dosen, mahasiswa, LSM Pegiat program-program tersebut dapat Kerukunan, Forum Komunikasi Umat dilihat sejauhmana para pemimpin Beragama, Anggota DPR, dan Pengambil lokal dan masyarakat umumnya, kebjakan di tingkat nasional dan daerah.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3 Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

180 ISSN 1412-663X