Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni

DAFTAR ISI

Pengantar Redaksi Pimpinan Redaksi ___5 Dakwah Peka Kultur ala Aipon Asso: Potret Keberislaman Pegunungan Tengah

Papua Abu Muslim___ 7 Merawat Tradisi Membangun Harmoni: Tinjauan Sosiologis Tradisi Haul dan

Sedekah Bumi di Gresik Mustolehudin___22

Pencarian Otentisitas Diri Komunitas Muallaf di Kabupaten Sorong Papua Barat

Munawir Haris___36 “Membagi Dunia“: Cara Pengelolaan Modal Sosial Pura di Denpasar

I Nyoman Yoga Segara___53 Pandangan Pimpinan Gereja tentang Pengaturan Organisasi Gereja di Provinsi Jawa

Barat Reslawaty ___67 Agama Baha’i Problematika Pelayanan Hak-hak Sipil Kustini & Syaiful Arif ___84

Layanan dan Kerukunan Agama di Perbatasan Negara: Studi Kasus di Distrik Sota Merauke

Muhammad Murtadlo ___99 Eksistensi Jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Kenanga Kecamatan Cipondoh Kota

Tangerang Nuhrison M Nuh___113

Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ushul Fikih Ahmad Ali MD___126

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

HARMONI Jurnal Multikultural & Multireligius

Volume 13, Nomor 2, Mei - Agustus 2014

Penanganan Potensi Konlik Keagamaan di Cigugur Kabupaten Kuningan Ahsanul Khalikin ___138 Isu-isu Kunci Ujaran Kebencian (Hate Speech): Implikasinya terhadap Gerakan Sosial

Membangun Toleransi Mohammad Iqbal Ahnaf & Suhadi ___153

Relasi Agama dan Negara: Telaah Historis dan Perkembangannya Muhammad Anang Firdaus___165

Telaah Pustaka

Mengelola Konlik Keagamaan Haris Burhani ___175

Lembar Abstrak ___180 Indeks Penulis ___ 192

Ucapan Terima Kasih ___199 Pedoman Penulisan ___200

HARMONI September - Desember 2014

P 5 engantar r edaksi

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

P engantar r edaksi

Memelihara Tradisi Merajut Kerukunan

Dua diksi, yakni tradisi dan kerukunan menjadi gejala social budaya cukup mendasar dalam membangun keragaman di Indonesia. Meski terkesan klasik dan mengulang, tradisi dan kerukunan memang tidak akan pernah habis dikupas. Terutama jika dikaitkan dengan keberagamaan di Indonesia. Mengacu pada Max Weber, Cliford Geertz lelah menawarkan pandangan mengenai kekuatan sosial yang dihadirkan dari seseorang berkharisma, seperti kyai, pendeta, pemimpin adat, pemimpin partai, atau pemimpin-pemimpin formal lainnya. Ide dari orang berkharisma selalu diwujudkan dalam sistem-sistem struktural, yang kemudian disebut sebagai ideologi. Dari kekuatan struktur mempunyai efek sosial pada individu- individu, sehingga seseorang diharuskan memuja, merayakan, mempertahankan dan menjalankan perintah individu yang berkharisma dalam sebuah struktur. Individu masuk ke dalam kekuatan struktur yang terus diperjuangkan, karena diyakini kebenarannya. Geertz menyebutnya sebagai the struggle for real, yakni keyakinan individu bahwa struktur yang dianutya mengandung kebenaran (Geertz, 1972; 322-325).

Geertz meyakini juga bahwa the struggle for real yang sebenarnya justru bukan ada di parlemen atau juga di lembaga presidium, melainkan ada dan ditanam di tengah-tengah struktur masyarakat. Di sinilah kemudian makna the struggle for real dalam pandangan Geertz terinspirasi dari konsep sosiolog klasik Emile Durkheim, yakni kesadaran kolektif atau collectice consciousness. Sebelumnya, Durkheim melihat bahwa keimanan dan interaksi dalam masyarakat bukanlah hasil dari konstruksi individu, melainkan ia terbentuk dari hasil

kesadaran kolektif yang cukup kuat dalam masyarakat. Kesadaran kolektif yang kuat ini dihasilkan dari fenomena sosial atau gejala yang sifatnya berulang- ulang bahkan telah terjadi sebelum individu dilahirkan. Dengan begitu saja, atau bahkan tanpa perlawanan, individu dibawa pada kekuatan struktur sosial. Individu dipandang sama sekali tidak mempunyai tindakan untuk menginovasi atau merekayasa kekuatan struktur sedikitpun. Kesadaran kolektif menjadi parameter untuk melihat siapa individu yang berbeda dan individu yang melawan dalam masyarakat, sehingga semakin lama, kesadaran kolektif menghasilkan dan membentuk suatu fakta sosial (social fact ) (Durkheim, 1938; 55-58).

Dari pandangan Durkheim di atas, Geertz melihat bahwa individu yang berbeda akan melahirkan sentimen tersendiri di dalam struktur masyarakat, karena ada kesadaran kolektif masyarakat yang diganggu dan diinterupsi. Sementara kesadaran kolektif yang pada akhirnya menjadi fakta sosial, oleh Geertz juga diambil dari konsep rutinisasi Max Weber. Menurut Weber, rutinisasi memiliki kemampuan untuk membentuk kenyataan dan kebenaran melalui perilaku yang diulang-ulang, dan kemudian dilembagakan, sehingga setiap orang akan mengikuti struktur kelembagaan tersebut. Karena itulah sejarah masyarakat, sejarah agama, atau sejarah ideologi adalah hasil dari ritunisasi. Pandangan mengenai rutinisasi oleh Geertz inilah yang kemudian dilihat sebagai intensiikasi yang terfragmentasi dalam hukum-hukum masyarakat, nilai, norma, struktur simbol, sehingga terkonstruksi dan terlegitimasi menjadi struktur kebenaran yang harus diperjuangkan.

6 P emimPin r edaksi

HARMONI September - Desember 2014

Kesimpulan dari fakta sosial dalam pandangan Durkheim, digagas dengan nuansa lain oleh Geertz, yang menyebutnya sebagai consensus gnetium, yakni sebuah kesepakatan antar manusia, di mana ada beberapa hal yang dianggap nyata, benar, menarik dan akhirnya disetujui. Relasi nyata dari konsensus ini adalah lahirnya agama, perkawinan dan komunitas yang menjadi milik bersama dari manusia-manusia yang menyepakatinya (Geertz, 1992; 47-48). Kesepakatan menjadi sebuah mekanisme kontrol yang kemudian dibakukan dalam struktur-struktur yang ada pada masyarakat.

Mengapa ini penting? Ya, karena di sanalah tradisi kemudian dilestarikan, dikembangkan, dan senantiasa menjadi nilai yang diyakini kebenarannya. Ini tentu saja sangat relevan dengan tema HARMONI edisi kali ini, di mana dua hal, tradisi dan kerukunan kemudian menjadi padu dalam satu tatanan tertentu, yakni nilai keindonesiaan. Itu sebabnya, naskah diawali dengan “Dakwah Peka Kultur Ala Aipon Asso”, yang menarasikan tokoh Papua asli memeluk dan menyebarkan Islam melalui nilai lokal. Kemudian, “Merawat Tradisi Membangun Harmoni” yang menyoal sedekah bumi di daerah Gresik sebagai ikon kerukunan. Masih tentang nilai dan tradisi, tema “Pencarian Otentisitasdiri Komunitas Muallaf di Kabupaten Sorong Papua Barat” menjadi bukti bagaimana nilai lokal mampu menjawab persoalan-persoalan keagamaan. Dunia rumah ibadah yakni “Membagi Dunia: Cara Pengelolaan Modal Sosial Pura di Denpasar” dan

“Pandangan Pimpinan Gereja tentang Pengaturan Organisasi Gereja di Provinsi Jawa Barat”, merupakan dinamika lain dari khasanah peradaban Hindu Bali dan konigurasi persoalan kekristenan di Indonesia. Keduanya menjadi cermin kehidupan beragama yang beragam dalam sebuah institusi lokal.

Di bagian lain, persoalan pelayanan keagamaan, tercermin dalam naskah “Agama Baha’i dan Problematika Pelayanan Hak-Hak Sipil dan Layanan”; “Layanan dan Kerukunan Agama di Perbatasan Negara”; “Eksistensi Jemaat Ahmadiyah di Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang”, serta “Mengharmoniskan Hubungan Syiah dan Sunni: Perspektif Ishul Fikih”. Bagaimanapun kehadiran negara menjadi penting, bahkan nyaris tak terhindarkan ketika warga negara sebagai umat beragama menghadapi persoalan. Inilah yang kemudian disajikan dalam makalah “Penanganan Potensi Konlik Keagamaan di Cigugur, Kabupaaten Kuningan”. Dua makalah terakhir, yang menjadi kunci penutup sekaligus menegaskan betapa merajut kerukunan menjadi penting adalah “Isu-Isu Kunci Ujaran Kebencian (Hate Speech): Implikasi terhadap Gerakan Sosial MembangunToleransi” dan “Relasi Agama dan Negara: Telaah Historis dan Perkembanagnnya”.

Serangkaian naskah tersebut sekaligus menjadi bukti analisis Geertz yang diilhami oleh Durkheim dengan collectice consciousness , tersusun dalaam seperangkat gagasan tentang tradisi dan kerukunan. Selamat membaca.

Daftar Pustaka

Durkheim, Emile. The Rules of Sociological Method . The Free Press, 1938. Geertz, Cliford. “Aterword: The Politics of Meaning” dalam Holt, Claire (Ed), Culture

and Politics in Indonesia . Cornel University Press, 1972. ----------------------------- , Tafsir Kebudayaan . Kanisus, 1992.

P enelitian

d akwah P eka k ultur ala a iPon a sso :P otret k eberislaman P egunungan t anah P aPua

Dakwah Peka Kultur ala Aipon Asso: Potret Keberislaman Pegunungan Tengah Papua

Abu Muslim

Peneliti Balai Litbang Agama Makassar Email: [email protected]

Diterima redaksi tanggal 26 Agustus 2014, diseleksi 4 November 2014, dan direvisi 8 Desember 2014

Abstract

Abstrak

This is a biographical study of Islamic Penelitian ini adalah penelitian biograi religious leaders. It utilizes a descriptive

tokoh agama Islam dengan pendekatan qualitative approach. This paper reviews

kualitatif deskriptif. Riset ini menghendaki penelusuran riwayat hidup tokoh agama

religious patterns in Papua by focusing Islam di Papua dengan mereview pola

on the characteristics and role of religious keagamaan yang diemban dengan leaders in society. Speciically, this study

menitikberatkan pada karakteristik dan focuses on the biography of religious igure

peran tokoh agama tersebut dalam and Islamic ighter: Aipon Asso. He was

masyarakat. Penelitian dilakukan di Papua

a very industrious Chieftain in terms of dengan menfokuskan penulisan biograi spreading Islam in Papua, speciically in

seorang Tokoh Agama/Pejuang Islam Papua the village of Walesi, located in Jayawijaya

bernama Aipon Asso seorang Kepala Suku regency. Although he did not have many yang sangat getol memperjuangkan Islam educational qualiications, he was a key di tanah Papua, tepatnya di Desa Walesi

Kabupaten Jayawijaya yang meskipun igure in the ight against the OPM. His

tidak mempunyai kesempatan menempuh religion was central to his ight. Through

pendidikan mumpuni adalah sosok pejuang his political activities, Aipon Asso became

yang dalam penerimaan keislamannya

a role model for citizens. As a Muslim, ditempuh dengan terlebih dahulu

he became a patron and example for the berperang melawan OPM. Aipon Asso people to embrace Islam. In short, the

menjadi panutan bagi warganya sehingga pattern of islamization in this case was top

pernyataan keislamannya menjadi patron down. Simply put, people’s religious belief bagi rakyatnya untuk turut serta menganut in Walesi was strongly inluenced by the Islam. Hal ini mencerminkan pola

keberislaman top down, di mana anutan decisions of their leaders in selecting and

keagamaan masyarakat (Walesi) sangat struggling for his religious beliefs.

dipengaruhi oleh keputusan pimpinannya (Kepala Suku Besar) dalam memilih dan

Keywords: Walesi, Aipon Asso, Islam and memperjuangkan keyakinan beragama. Papua

Kata Kunci: Walesi, Aipon Asso, Islam dan Papua

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

8 a bu m uslim

HARMONI September - Desember 2014

Pendahuluan

Membincangkan tokoh agama terkait deinisinya yang mencakup kriteria apa saja yang dimiliki seseorang sehingga dia berhak menyandang gelar

sebagai tokoh agama (baca: ulama), menjadi sebuah diskusi yang sejak dahulu telah mewarnai khazanah keberagamaan Islam. Di satu sisi, kriteria keulamaan bisa menjadi sangat ketat ketika disyaratkan bahwa ulama haruslah mereka yang memiliki ilmu agama yang mumpuni disertai dengan keistimewaan- keistimewaan khusus mengenai pola dan corak keberagamaan Islam yang dimiliki seorang tokoh sehingga dia menjadi panutan dalam masyarakat mayoritas Islam. Di sisi lain, kondisi alam dan geograis serta pola sosial kebudayaan masyarakat bisa jadi membuat kriteria yang sangat ketat itu menjadi longgar, terlebih ketika Islam di wilayah itu adalah minoritas.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa ulama itu haruslah mereka yang menguasai kitab kuning, memiliki pendidikan keagaamaan yang mumpuni dan berkesinambungan, ilmu agamanya sangat tinggi, memiliki keistimewaan/ karamah, mampu mentransmisikan ilmunya kepada masyarakat, serta mendapat pengakuan di masyarakat (As’ad, Muhammad dkk, 2011; Santing, Waspada, 2010: xiii; Glase, Cryil, 2002: 417). Deinisi tersebut seolah-olah mengisyaratkan, bahwa mereka yang luput dari kriteria tersebut tidaklah/ belum berhak menyandang predikat ulama/tokoh agama Islam. Mungkin, ketika kriteria itu diberlakukan di Jawa, Sulawesi dan daerah lainnya di Indonesia di mana Islam telah berurat berakar dengan masyarakatnya melalui tradisi pesantren dan kajian-kajian Islam menggunakan literatur berbahasa Arab, maka kemungkinan penerimaannya menjadi lumrah.

Akan tetapi, jika bergeser sedikit ke Timur Indonesia, khususnya di Papua, terlebih lagi di daerah pegunungan di mana masyarakatnya masih banyak yang sangat asing dengan formalisasi pendidikan. Jangankan membaca dan menguasai literatur-literatur berbahasa Arab, untuk bisa membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia saja mereka masih dalam tahapan adaptasi penguatan sumber daya manusia. Sehingga, menerapkan kriteria keulamaan yang super ketat itu di Papua, menjadi sesuatu yang akan berujung pada pendeinisian yang kontra produktif. Terlebih ketika sasaran ketokohan itu menghendaki penelusuran tokoh agama Islam asli Papua yang sudah meninggal dan masih memiliki kerabat sebagai persambungan informasi (atau mereka yang hidup di kisaran abad ke-19 - 20). Namun ketika tetap dipaksakan, maka praktis tidak akan ditemukan orang asli Papua yang sepanjang hidupnya memenuhi kriteria yang dimaksud.

Lalu, bagaimana dengan mereka ‘orang asli Papua’ itu yang semasa hidupnya berjuang dan mendedikasikan harta, dan jiwa raganya untuk Islam? Apakah ketidakmampuan mereka dalam menguasai kitab kuning menjadikannya terhalang untuk menyandang gelar ulama? Sementara status keulamaan menjadi legitimasi yang bisa menguatkan citra dan perjuangannya dalam rangka berdakwah dan berperan aktif dalam menyiarkan dan mempertahankan eksistensi agama Islam, meskipun dengan cara berbeda menyesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat di tanah Papua. Atau jangan-jangan, status ulama hanya bisa disandang oleh mereka saja ‘di Barat Indonesia’, di mana Islam dan pendidikan Islam sudah menjadi bagian integral masyarakatnya. Hal ini, tentu saja menghendaki semacam penyesuaian-penyesuain deinisi ulama yang peka sosial dan peka kultur.

d 9 akwah P eka k ultur ala a iPon a sso :P otret k eberislaman P egunungan t anah P aPua

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Sebuah gagasan membangun keindonesiaan dan kepapuaan yang berkeadilan oleh tim peneliti LIPI menyebutkan bahwa salah satu sebab terpenting ketidakberdayaan struktural dan budaya orang asli Papua secara politik, ekonomi dan budaya adalah ketidakmampuan mereka untuk bersaing dengan pihak luar disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia yang mengakibatkan lemahnya tingkat partisipasi orang asli Papua dalam pendidikan modern (S. Widjojo, Muridan, 2009: 73-74). Hal ini setidaknya menjadi cermin, betapa pendidikan (baik pendidikan umum dan pendidikan agama), masih menjadi problem yang harus terlebih dahulu dipecahkan. Terkait dengan hal ini, penguatan sintesis terkait pentingnya penguatan pendidikan Islam dapat dilihat dari pernyataan seorang Muallaf H. Ismail Yenu, Kepala Suku Besar Yapen-Waropen Manokwari yang menyebutkan bahwa kendala terbesar bagi orang Papua untuk masuk Islam adalah karena mereka tidak dapat membaca al-Quran dan mereka tidak tahu apa itu al-Quran. Padahal beliau sangat menyadari dan meyakini bahwa sesungguhnya agama Islam telah datang di tanah Papua jauh sebelum agama Kristen. Bahkan disebutkan bahwa yang mengantar misionaris dari Jerman ke Pulau Mansinam Manokwari adalah muballigh dari Kesultanan Islam Tidore sekitar 1855. Tetapi karena kitab-kitabnya serba berbahasa Arab, banyak penduduk yang tidak paham (Ali Athwa, 2004: 118). Hal ini mengisyaratkan bahwa, dalam konteks Papua, pemahaman dan pendalaman kitab-kitab kuning berbahasa Arab, bukanlah menjadi prasyarat utama dakwah Islam, bahkan justru menjadi sebuah kelemahan dalam berdakwah, ketika memaksakan penguasaan dan pengajaran kitab kuning bagi masyarakat Papua, khususnya di pegunungan.

Penelitian tentang biograi adalah salah satu fokus penelitian yang menjadi

titik perhatian khazanah keagamaan berorientasi pada data sejarah dan

perjalanan hidup seorang tokoh. Balai Litbang Agama Makassar, sebelumnya telah melakukan penelitian terkait Biograi Ulama dan Karya Tulisnya di Kawasan Timur Indonesia pada tahun 2011 yang menitikberatkan pada inventarisasi hasil karya tulis ulama yang memiliki pengaruh lokal pada wilayah geograis tertentu di beberapa daerah di Kawasan Timur Indonesia (Abu Muslim, 2011). Hasil penelitian menunjukkan orientasi ulama melahirkan ide dalam wujud karya tulis masih belum maksimal, meskipun di setiap lokasi penelitian dapat ditemukan ulama yang telah menunjukkan eksistensi menulisnya, tetapi hal tersebut tidaklah dapat mewakili orientasi semangat menulis bagi ulama-ulama. Penelitian tersebut kemudian merekomendasikan untuk memfasilitasi para ulama dalam membangkitkan semangat menuangkan ide dan cara pandang mereka dalam memahami agama Islam dalam tulisan- tulisan. Penelitian tahap berikutnya dilanjutkan dengan penelusuran dan penulisan biograi ulama perempuan. Penelitian tersebut juga menghendaki penelusuran lebih jauh mengenai orientasi peran dan fungsi ulama yang tidak hanya mewakili kaum lelaki dalam hal ini ulama yang berjenis kelamin perempuan tanpa harus terjebak dalam bias jender yang diasumsikan mempunyai kiprah yang sama dengan para ulama laki-laki. (Abu Muslim, 2012).

Kedua penelitian ini, merekomen- dasikan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan tema serupa dalam rangka melakukan inventarisasi tokoh agama Islam di Indonesia bagian timur. Penelitian ini diharapkan melengkapi hasil penelitian sebelumnya dalam rangka penyusunan ensiklopedi tokoh agama Islam Indonesia Timur. Hasil penelitian ini juga diharapkan menjadi cermin representasi ketokohan Islam di masing-masing wilayah melalui kiprah

10 a bu m uslim

HARMONI September - Desember 2014

dan perannya dalam keberlangsungan dakwah keagamaan di Kawasan Timur Indonesia. Pengungkapan rekam jejak para tokoh ulama tidak menutup kemungkinan akan membawa kita pada pengungkapan jaringan ulama Indonesia Timur sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam proses penyebaran agama Islam Nusantara. Sebagai permasalahan pokok, penelitian ini menghendaki penelusuran riwayat hidup tokoh agama dengan me-review pola- pola keagamaan yang diemban dengan menitikberatkan pada fungsi dan peran ulama tersebut yang sekaligus menjadi panutan keberagamaan masyarakat.

Metode Penelitian

Penelusuran peran dan eksistensi tokoh agama Islam dilakukan dengan me-review latar belakang keluarganya, pendidikannya, transfer ilmunya sampai kepada oriesntasi ketokohannya dalam masyarakat. Pengumpulan data dilakukan antara lain dengan terlebih dahulu menginventarisasi tokoh agama yang memungkinkan djadikan sebagai objek penelitian, di samping mempertimbangkan informan pendukung yang dapat memberikan data- data signiikan dalam penulisan biograi tokoh yang dimaksud serta melakukan studi awal tentang kondisi keagamaan pada lokasi yang telah ditetapkan, untuk selanjutnya dipilih satu ulama yang menjadi fokus penulisan biograinya.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif biograi tokoh agama Islam. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam pada berbagai informan, tokoh masyarakat, tokoh agama, Majelis Ulama Indonesia setempat dengan tekhnik snowball ; pengamatan (observasi) terhadap lingkungan tempat ulama tersebut eksis, peran yang dilakoni, dan kegiatan lainnya yang relevan; serta

studi dokumen dan pustaka. Kemudian dilakukan analisis terhadap data-data yang diperoleh dari informan dan pengamatan serta berbagai literatur dengan memisahkan pendapat informan dan pendapat peneliti.

Penelitian dilakukan di Provinsi Papua dengan memilih secara purposive seorang tokoh agama Islam (yang telah meninggal dunia) berdasarkan saran dan rekomendasi dari tokoh agama yang masih hidup serta arahan dari stakeholder setempat seperti MUI Papua, Kanwil Kementerian Agama Papua, Majelis Muslim Papua serta para pimpinan ormas Islam setempat. Dari beberapa masukan tersebut, dengan berbagai pertimbangan maka diputuskan untuk memilih HM. Aipon Asso untuk selanjutnya ditulis dalam sebuah rangkaian biograi hidup, serta perannya dalam masyarakat.

Tokoh-Tokoh Pelopor Islam Papua

Berdasarkan penelusuran nama- nama tokoh agama Islam di Papua yang memiliki peran dan karakteristik yang telah mendapat pengakuan dari masyarakat setempat serta stakeholder

di Papua. Berikut ini adalah nama-nama tokoh agama Islam di Propinsi Papua yang telah meninggal dunia, di mana di masa hidupnya mereka mepunyai kiprah keagamaan yang mumpuni di daerahnya masing-masing serta berjuang dalam rangka dakwah keagamaan Islam dan menjadi panutan bagi masyarakat muslim setempat. Informasinya diperoleh dari Kanwil Kementerian Agama Propinsi Papua, MUI Propinsi Papua serta pemuka agama Islam Papua yang masih hidup, tokoh tersebut antara lain:

1. HM. Aipon Asso: beliau adalah Kepala Suku yang paling disegani di Wamena. Dia masuk Islam mengikuti jejak seorang pemuda Walesi Merasugun Asso (1975),

11 Aipon Asso Memeluk Islam pada

d akwah P eka k ultur ala a iPon a sso :P otret k eberislaman P egunungan t anah P aPua

4. Ibrahim Bauw: Raja Rumbati yang tahun 1977 karena menilai Islam itu

mendirikan Muhammadiyah atas baik, suka menolong dan ramah.

bimbingan Daeng Umar (pegawai Pengislamannya bersamaan dengan

pelabuhan asal Makassar) pada tahun merebaknya isu bahwa pasukan

OPM akan menghabisi penduduk desa Walesi yang masuk Islam.

5. Ismail Bauw: tokoh Islam yang Aipon Asso kemudian memimpin

merupakan pelopor dan perintis pasukannya menyerbu kelompok

sekaligus ketua pertama organisasi OPM yang terletak sekitar 20 km dari

Muhammadiyah di Abepura dengan kampung Walesi. Melalui peperangan

status cabang pada tahun 1966. yang hebat, Aipon Asso akhirnya

6. Syamsuddin Ponto: tokoh perintis memenangkan peperangan dengan pendirian Yayasan Pendidikan

gemilang. Setelah itu, ia kemudian Islam (YAPIS) Papua pada tanggal mengajak kepada semua rakyatnya

15 Desember 1968 M. Dalam untuk memeluk Islam. Keislaman kepemimpinannya selama 3 periode, penduduk Walesi kemudian diikuti YAPIS berkembang pesat. Namanya oleh suku-suku di desa lain setelah kini diabadikan sebagai nama mendengar kabar kemenangan auditorium pertemuan di YAPIS. pasukan Aipon Asso terhadap

OPM. Di antara perannya yang juga

7. Sudjadi Notomiseno: pelopor menonjol adalah keberhasilannya

pendirian Yayasan Pondok Karya dalam menciptakan kerukunan

Pembangunan (YPKP) Bumi antarumat beragama berbasis

Cenderawasih 20 Desember 1975. multikulturalisme. Ketika beliau

Sebelumnya beliau adalah petugas wafat, di seluruh pelosok Wamena

sukarelawan guru Trikora yang dikibarkan bendera setengah

datang ke Papua pada tahun 1963, tiang sebagai tanda berkabung.

selanjutnya membentuk taman Pemakamannya dihadiri oleh hampir

pengajian yang merupakan cikal seluruh pemuka agama di Papua

bakal terbentuknya Lembaga serta para pejabat pemerintahan di

Pondok Pesantren Modern YPKP. (M. Papua yang datang dari berbagai

Wanggai, Tony Victor, 2009). pelosok.

8. H. Sofyan Wanggai: tokoh Nahdatul

2. Abdurrahman Revana:

tokoh

Ulama, sekaligus orang tua dari penganjur agama Islam di Propinsi

Dr. Toni Victor M. Wanggai (Ketua Papua yang namanya kini diabadikan

Umum Pengurus Wilayah NU sebagai nama perguruan tinggi

Propinsi Papua).

Islam negeri di Papua, yakni STAIN Abdurrahman Revana.

9. Gurabesi: raja pertama yang memeluk Islam di tanah Papua. Dia djuluki

3. Tengku Bujang Selamet: melakukan sebagaimana nama yang disematkan dakwah dan tabligh yang membawa padanya, yang berasal dari dua ajaran Muhammadiyah untuk kata gura: tempat dan besi: besi, pertama kalinya di tanah Papua, sehingga digelari dengan pahlawan tepatnya di Merauke. Beliau dengan pedang yang menyala-nyala mempelopori pelaksanaan shalat Idul dari Bacan. Namanya kemudian Fitri di lapangan terbuka yang ketika

diabadikan menjadi salah satu nama itu dilaksanakan berbeda dengan

ketetapan pemerintah, berdasarkan kelurahan di sekitaran Paldam kota hasil hisab pada tahun 1926. Jayapura.

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

12 a bu m uslim

Dari beberapa nama yang telah Islam Pertama di Pegunungan Walesi

disebutkan di atas, dipilih salah satu Walesi adalah sebuah nama sebagai representasi tokoh agama

perkampungan yang terletak di lereng Islam yang mempunyai latar belakang gunung Jayawjaya, jaraknya sekitar + 8 serta kiprah yang merepresentasikan km dari kota Wamena ibukota Kabupaten

perannya dalam masyarakat setempat. Jayawjaya, Provinsi Papua. Kisah Tokoh yang dimaksud adalah HM. Aipon

Islam di Walesi dimulai dari seorang Asso di Walesi, Jayawjaya.

bernama Merasugun Asso, ketika itu tahun 1975 masih berusia 30 tahun.

Pemilihan Aipon Asso didasarkan Sebagaimana lazimnya kehidupan di pada beberapa hal, antara lain Aipon Asso

gunung, menjual kayu bakar adalah adalah putra asli Papua (orang asli Papua

sebuah profesi yang rutin dilakukan menurut deinisi resmi UU Otonomi

demi memenuhi kebutuhan hidup Khusus pasal 1 huruf (t) menyatakan:

sehari-hari, profesi ini terbilang cukup “Orang Asli Papua adalah orang yang berasal

merakyat mengingat kayu-kayu kering dari rumpun ras Melanesia yang terdiri dari

dengan mudah diperoleh di Walesi yang suku-suku asli di Provinsi Papua dan/atau

memang merupakan daerah hutan dan orang yang diterima dan diakui sebagai orang

gunung. Merasugun Asso setiap paginya asli Papua oleh masyarakat adat Papua”. berangkat ke Wamena dengan berjalan

Dalam wacana populer, yang dimaksud kaki untuk berjualan kayu bakar. Ketika itu, masyarakat Walesi, sebagaimana

dengan Melanesia adalah mereka yang halnya Merasugun Asso masih belum

memiliki ciri-ciri berkulit hitam dan tersentuh modernitas, sehingga dia berambut keriting. Bagi orang asli Papua berangkat menuju Wamena tanpa asal pegunungan (seperti Aipon Asso),

alas kaki, tidak berpakaian dan hanya kriteria ini dapat diterapkan dengan mengenakan koteka (semacam pakaian

mudah (Lihat, S. Widjojo, Muridan, 2009: lelaki Papua terbuat dari buah labu yang 55).

dikeringkan berfungsi menutupi aurat kelaki-lakiannya saja) (Depdiknas RI,

Aipon Asso adalah seorang muallaf

yang sebelumnya sangat membenci Islam selanjutnya berbalik memperjuangkan

Suatu hari, ketika Merasugun Asso Islam dengan sangat gigih. Aipon Asso

sedang dalam perjalanan menuju Kota memutuskan untuk menganut Islam untuk menjual kayu bakar, seseorang setelah melalui perang, dan yang tidak

mencegatnya di tengah jalan karena kalah pentingnya adalah kedudukannya

bermaksud untuk membeli seikat kayu bakar yang dibawanya dengan

sebagai Kepala Suku Besar yang memanggul. Tentu saja, bagi Merasugun selanjutnya memutuskan untuk

Asso, hal ini menjadikannya sangat berislam diikuti oleh masyarakatnya,

berbahagia, sebab dia tidak perlu mencerminkan sebuah pola Islamisasi top

lagi susah-susah ke Wamena mencari down . Selain itu, ketokohan Aipon Asso

pembeli, sehingga bisa menghemat waktu di Papua juga sangat dikenal, karena

dan tenaganya. Orang yang hendak kegigihan dan memperjuangkan Islam

membeli kayu bakar milik Merasugun di Walesi Jayawjaya. Ketersambungan

Asso bernama Haji Abu Yamin (anggota informasi melalui kerabat dan para DPRD II Wamena, ketika itu), keduanya sahabatnya yang sangat mengenal kemudian bersepakat untuk melakukan beliau juga menjadi pertimbangan barter. Merasugun Asso menghargai

pemilihannya. seikat kayu bakarnya dengan nasi. Haji

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

Abu Yamin pun setuju dengan barter itu, sebab Merasugun Asso menolak untuk dibayar dengan uang. Namun, karena waktu shalat zhuhur telah tiba, Haji Abu Yamin kemudian meminta jin kepada Merasugun Asso, agar kiranya bersedia untuk menunggu sejenak sebab hendak melaksanakan shalat.

Selanjutnya, Haji Abu Yamin bersegera mengambil wudhu, kemudian dilanjutkannya dengan shalat zhuhur. Ternyata, diam-diam Merasugun Asso memperhatikan dengan detail apa yang dilakukan oleh Haji Abu Yamin sembari terheran-heran karena melihat proses pengambilan wudhu dan gerakan-gerakan shalat yang tentu saja memberikan kesan yang berbeda bagi seorang Merasugun Asso, karena seumur- umur, baru kali ini dia melihat seseorang dengan sangat tenang melakukan ritual- ritual mengangkat tangan, ruku dan sujud secara berulang-ulang.

Hari-hari berikutnya, Haji Abu Yamin telah menjadi langganan kayu bakar milik Merasugun Asso, sehingga kebutuhan kayu bakar Haji Abu Yamin tidak bisa dipisahkan dari peran seorang Merasugun Asso yang setia membawakannya langsung. Saking seringnya Merasugun Asso datang ke rumah Haji Abu Yamin. Sehingga dia juga semakin intens melihat gerakan-gerakan shalat yang diperagakan Haji Abu Yamin. Pada akhirnya, ketertarikan diikuti dengan rasa penasaran yang tinggi, membuat Merasugun Asso menyatakan keinginannya untuk melakukan hal serupa. Haji Abu Yamin kemudian memberikan kopiah, sarung dan pakaian kepada Merasugun Asso. Selanjutnya, pada tanggal 2 Juni 1975 Merasugun Asso menyatakan syahadat dibimbing oleh Haji Abu Yamin. Keberislaman Merasugun Asso selanjutnya diikuti oleh Firdaus Asso, Muhammad Ali Asso dan Firdaus Yeleget. Perkembangan Islam di Walesi, selanjutnya akan lebih

banyak menonjolkan ketokohan dan peran seorang yang bernama Aipon Asso, Kepala Suku Besar di Walesi, yang masuk Islam karena terinspirasi dari kebaikan yang diperlihatkan oleh Merasugun Asso dan kawan-kawan. “Saya tertarik masuk Islam karena Islam itu baik!” . Begitu kata Aipon Asso.

Tentang Aipon Asso

Aipon Asso lahir di Walesi, pada sekitar tahun 1939 M (terkait akurasi tanggal kelahiran Aipon Asso, setelah

dikonirmasi kebeberapa orang kerabatnya, tidak ada yang bisa memberikan data akurat tentang penanggalan yang pasti, tahun 1939 diperoleh setelah menkonversikan tahun wafatnya yakni 2009 dan diasumsikan oleh kerabatanya bahwa ketika itu Aipon Asso wafat pada usia 70 tahun. (Wawancara dengan Wawan Asso). Nama kecilnya Kokmeke yang dalam bahasa setempat bermakna kok: besar dan meke: menjadi. Oleh kedua orang tuanya beliau diharapkan menjadi sorang kokmeke: menjadi orang besar. Begitulah, dalam setiap nama selalu terkandung doa dan harapan yang melekat pada sang anak. Doa dan harapan itu terkabul seiring dengan perkembangan usianya, kokmeke kemudian menjelma menjadi seorang Kepala Suku Besar di Desa Walesi, Wamena, Kabupaten Jayawjaya.

Sosok Aipon Asso adalah seorang yang sangat disegani di daerah Wamena, selain karena ketokohannya sebagai seorang pemimpin yang pemberani, ahli dalam seni perang, dia juga mewarisi kekayaan melimpah dari para sesepuhnya. Sebagai seorang Kepala Suku Besar, kepemilikan ternak babi sebagai alat tukar utama di Wamena menunjukkan tingkat kesejahteraan orang Papua. Semakin banyak peliharaan babi yang dimiliki, semakin tinggi tingkat strata sosialnya dalam masyarakat (Wamena sendiri adalah sebuah akronim

14 a bu m uslim

dari bahasa setempat yang selanjutnya

Awalnya Sangat Membenci Islam

menjadi nama suku yang berasal dari Sebagaimana telah dikisahkan

kata Wam: babi dan Ena: kampung. Jadi sebelumnya, bahwa Islam di Walesi Wamena adalah kampung babi. Wamena diprakarsai oleh Merasugun Asso juga diartikan sebagai wa berarti babi dan dan tiga orang kawannya, selanjutnya mena berarti jinak. Jadi Wamena adalah diikuti oleh Kepala Suku Besar Walesi babi jinak (Wikipedia Ensiklopedia Bebas.

Aipon Asso. Akan tetapi, pernyataan Diakses Agustus 2013. Wamena Jayawjaya

keberislaman Aipon Asso ternyata juga ( http://id.wikipedia.org/wiki/Wamena,_

memiliki cerita-cerita tersendiri tentang Jayawjaya )). Selain itu, Aipon Asso juga

kapan dan bagaimana sehingga kepala mewarisi kemampuan para tetua adat

suku akhirnya memutuskan untuk untuk dapat memilih dan memilah kulit

bersyahadat.

bia yang berkualitas, sebagai salah satu alat tukar yang harganya sangat tinggi

Dikisahkan bahwa sebelum tergantung kualitasnya.

menyatakan diri secara resmi menganut Islam, Aipon Asso adalah orang terdepan

Aipon Asso memiliki tujuh orang yang sangat menentang adanya agama istri yang berasal dari marga Yalipele

Islam di Walesi. Sebagai seorang kepala dan Wetapo. Ketujuh istrinya berturut-

suku, tentu saja Aipon Asso berkewajiban turut adalah Yahuklaik Yalipele, Sapaleke

untuk menjunjung tinggi hak-hak adat Yelipele, Wasakaluk Yelipele, Heyeken di Walesi. Setidaknya, ada dua hal yang Pale Wetapo, Yona Wetapo, Wamsalekma

mendasari mengapa Aipon Asso sangat Yelipele, Awulal Yelipele. Dari ketujuh

tidak setuju jika Islam berkembang di istrinya, Aipon Asso dikarunia tiga orang

Walesi. Pertama, adanya kekhawatiran anak, yakni Adam Asso dan Neleisa Asso

yang sangat besar di dalam diri Aipon dari istri pertamanya Yahuklaik Yelipele,

Asso terkait keberlangsungan hidup babi dan Lina Asso dari Istri keduanya di Walesi. Beliau sangat paham betul Sapaleke Yelipele.

tentang arti penting babi bagi masyarakat Walesi. Babi adalah bagian yang tidak bisa

Dibalik ketegasan dan karakternya dipisahkan dari keseluruhan acara-acara yang pemberani, Aipon Asso dalam adat di Walesi. Karena setiap upacara- kehidupan sehari-harinya termasuk orang

upacara adat yang menyangkut hajat yang ramah dalam bergaul dan bersahaja

hidup masyarakat Walesi semuanya harus dalam setiap aktiitasnya. Kerahaman dan

menyertakan babi dalam seremonialnya, keluwesan yang dimilikinya ditopang tanpa babi, upacara dianggap tidak dengan penyaluran bakat bermusiknya

sah, sehingga mempertegas sakralisasi bersama dengan anak-anak muda Walesi.

babi di mata orang-orang Walesi secara “Aipon Asso itu sering nongkrong bersama

khusus dan Wamena, bahkan Papua kami sambil main gitar dan bernyanyi secara umum. Selain itu, stabilitas bersama di sela waktunya, sembari bergaul

ekonomi akan terganggu, mengingat babi memiliki nilai tukar yang sangat tinggi

dengan ramah dan penuh dengan rasa humor dalam tata kehidupan sosial masyarakat

yang tinggi, beliau seringkali menyusupkan di Wamena. Tingkat kekayaan dan strata petuah-petuah bjak dalam candaannya. sosial masyarakat Walesi ditentukan Tapi bagi kami, hal itu sangatlah bermanfaat oleh seberapa banyak peliharaan babi- untuk mengarahkan kami menjadi lebih baik”. nya. Begitu vitalnya posisi babi dalam Begitu yang disampaikan oleh Imron segala aspek kehidupan di Walesi,

Asso, putra asli Walesi sekaligus ponakan membuat Aipon Asso menolak keras Aipon Asso ketika menuturkan tentang

Islam masuk ke wilayahnya, karena keramahan pak Asso.

HARMONI September - Desember 2014

15 jika Islam berkembang, maka babi akan

d akwah P eka k ultur ala a iPon a sso :P otret k eberislaman P egunungan t anah P aPua

diri Merasugun Asso dan kawan-kawan. dimusnahkan, sebab dalam Islam, babi

Justru yang tampak adalah kebaikan. itu diharamkan.

Merasugun Asso dan kawan-kawan, sangat gemar menolong warga Walesi

Alasan kedua , yakni adanya dalam setiap aktiitas dan hajatannya. kekhawatiran jika nantinya, masyarakat

Keramahan yang ditunjukkan membuat Walesi menganut agama Islam, maka akan

hati Aipon Asso menjadi luluh, kemudian menghilangkan agama-agama nenek timbul ketertarikan dalam dirinya untuk

moyang sebelumnya seperti GKI, Katolik mempelajari Islam lebih lanjut. dan Pantai Kosta. Dua alasan itulah yang

membuat Aipon Asso sang Kepala Suku Perubahan sikap Aipon Asso merasa wajib memerangi Islam karena

terhadap Islam yang berubah 360 derajat eksistensi dan perkembangan Islam di

dari benci menjadi cinta, membuat Walesi akan sangat mengganggu hak-

beberapa pihak menjadi khawatir dan hak adat rakyatnya. Hal ini kemudian

berusaha menghalangi maksud Aipon membentuk sebuah kompromi sosial Asso untuk mempelajari Islam. Puncaknya atau sistem religi yang menjadi salah satu

adalah ketika terjadi pemberontakan unsur point penting dalam perjuangan

Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada Aipon Asso selanjutnya yang kemudian

tahun 1977. Ketika itu, terdapat lemparan menjelma menjadi sebuah sistem isu bahwa paukan OPM akan menyerang

religiusitas antara ketokohannya dengan dan membunuh penduduk Desa Walesi naluri keberagamaannya. Sistem religi ini

yang bermaksud untuk mempelajari muncul dari sebuah emosi religi, yaitu

apalagi sampai menganut Islam. Bagi getaran spiritual atau batin manusia. pihak-pihak tertentu, Islam dianggap Emosi ini akan mendorong semua hanya akan mendatangkan kerusakan tindakan budaya spiritual yang kadang

(Athwa, Ali, 2004: 222-223). Kabar -kadang bersifat sakral. Emosi ini akan

tentang akan adanya penyerangan oleh terkait dengan sistem keya kinan (baca:

OPM ke Walesi membuat Aipon Asso agama) (Endraswara, Suwardi, th.).

merasa terusik. Baginya, hal tersebut sama saja dengan menantang dirinya. Sebagai seorang Kepala Suku Besar,

Hidayah Itu datang Setelah Perang!

meskipun belum Muslim, sudah menjadi tugasnyalah untuk membela kehormatan

“Jika mencintai sesuatu, cintailah sukunya dari segala jenis ancaman dan sekadarnya saja. Karena boleh jadi itu tidak baik

intervensi. Justru ancaman itu membuat bagimu dan Jika membenci sesuatu, bencilah

Aipon Asso kemudian mengumpulkan sekadarnya saja Karena boleh jadi itu lebih

pasukannya untuk melakukan inisiatif baik bagimu.” Pesan-pesan bijak yang

penyerangan lebih dahulu sebelum disadur dari al-Quran itu (Q.S. 2: 216),

mereka para pemberontak itu benar- ternyata kena telak terhadap Aipon Asso.

benar datang. Aipon Asso dan Tuhan mengirimkan hidayah kepada pasukannya menyerbu kelompok OPM beliau melalui sosok Merasugun Asso.

disebuah bukit yang berjarak kurang Kebaikan perangai dan keramahan sikap

lebih 20 km dari Walesi. Pertempuran yang ditunjukkan oleh Merasugun Asso,

hebat pun tidak lagi bisa dihindarkan. membuat kebencian yang mendarah Aipon Asso yang merasa harga dirinya daging dalam diri Aipon Asso berbalik

diganggu oleh para pemberontak yang menjadi kecintaan yang sangat luar biasa.

hendak menghalang-halangi kebebasan Pikiran-pikiran tentang kekhawatirannya

memeluk agama warganya, menjadi terhadap Islam termasuk wajah Islam yang

sangat kuat. Motivasi mempertahankan kejam sama sekali tidak dilihatnya dalam

harga diri serta naluri keberislaman yang

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

16 a bu m uslim

semakin membuncah, karena ancaman- mengajak seluruh masyarakat untuk ancaman itu, mengantarkan Aipon Asso

menanam ubi bersama-sama di tanah dan pasukannya kepada semangat juang

adat. Kenapa berkebun?, ternyata hal yang berlipat-lipat. Setelah melalui tersebut sudah dipikirkan secara matang peperangan selama berminggu-minggu,

oleh Aipon Asso dalam menanamkan Aipon Asso dan pasukannya berhasil nilai-nilai dasar Islam kepada warganya. memenangkan peperangan, dan pulang

Sebab dengan berkebun, membuat ke Walesi dengan kepala tegak.

masyarakat Walesi menjadi mandiri, dan kemandirian itu manurut Aipon

Sesampainya di Walesi, Aipon Asso Asso adalah pintu gerbang menuju semakin mantap untuk mempelajari kesejahteraan masyarakat. Hal ini

Islam. Bahkan, bercermin dari peristiwa dilakukan mengingat Walesi secara yang terjadi sebelumnya, serta rasa geograis berada pada zona ekologi

empati yang sangat tinggi terhadap pola pegunungan tinggi, di mana sistem mata kehidupan Islami, membuat Aipon Asso

pencaharian utama adalah berkebun dan memutuskan untuk menganut agama beternak (Yonathan Lekitoo, Handro,

Islam. Aipon Asso bersyahadat pada hari

Kamis, 26 Mei 1978 melalui bimbingan seorang penyuluh agama Islam di Wamena

Berkebun secara bersama-sama bernama Drs. Syekh Matdoan. Keputusan

atau dalam bahasa lokal setempat yang diambil oleh Aipon Asso sang disebut dengan Yawu Yoko (mengundang Kepala Suku menginspirasi rakyatnya untuk bekerja bersama) dilakukan betul- untuk mengikuti jejak pimpinannya betul berbasis kearifan lokal, semua untuk menganut agama Islam. Sekitar

tokoh masyarakat/adat dilibatkan + 600 orang warganya yang berdomisili

dan menyerahkkan urusan-urusan di lereng bukit dan hutan-hutan turun

perkebunan sesuai dengan keahliannya gunung untuk menyatakan syahadat masing-masing, mulai dari menggarap sebagaimana yang dilakukan oleh Sang

lahan, pengaturan kerapian tanaman Kepala Suku. Sikap keberislaman seperti

sampai kepada pemasangan pagar semua ini, menggambarkan corak Islamisasi dilakukan dengan seksama bersama “Top Down” di mana ketika pimpinan/

dengan para petuah adat yang sudah raja/kepala suku sudah menganut Islam,

berpengalaman. Prinsip kebersamaan maka akan diikuti oleh rakyatnya. Hal ini

dan silaturahmi menjadi hal yang sangat membawa kita pada kisah yang terjadi

menonjol ketika itu, di mana tua muda, beberapa abad yang lalu di semananjung

laki perempuan betul-betul bekerja Jawa, Sulawesi dan Maluku, yang dalam

secara bersama-sama dengan penuh konteks Papua pegunungan, baru dapat

semangat dan keceriaan. Tentu saja, hal diwujudkan di abad 20.

ini mencerminkan pola dakwah yang peka kultur versi Aipon Asso, membuat

para warganya semakin menghormati

sosok Sang Kepala Suku Besar, dan

“Mengajak Berkebun”: Pola Dakwah

dengan penuh kesadaran juga mengikuti keberislaman Aipon Asso, setelah melihat

Sadar Ruang

Hal pertama yang dilakukan oleh dan merasakan sendiri kebersamaan, Aipon Asso setelah bersyahadat bersama

kedamaian dan kesejahteraan yang rakyatnya adalah mengumpulkan ditawarkan Aipon Asso bersama Islam.

masyarakat Walesi untuk membicarakan “Seandainya masyarakat mampu mengubah kebjakan keberlanjutan hajat hidup

kategori-kategori alam tempat mereka warga setelah perang. Pertemuan yang

hidup, tentu mereka akan menyusunnya dilakukan bersama seluruh warga serasional mungkin. Perubahan-perubahan selanjutnya mengambil keputusan untuk

memerlukan banyak faktor pendukung, salah

HARMONI September - Desember 2014 HARMONI September - Desember 2014

Jurnal Multikultural & Multireligius Vol. 13 No. 3

satu di antaranya adalah arti peting agama” (Douglas, Mary Douglas, dan Pritchard, Edward Evans, 1980).

Kabar tentang citra dan wibawa Aipon Asso dan masyarakatnya serta keberislaman yang dilakukan setelah sebelumnya melalui perang, menjadi berita utama setiap pembicaraan tidak hanya di Walesi dan Wamena, tetapi juga di Papua. Ketokohan Aipon Asso dengan cepat menyebar ke seantero Papua. Puncaknya terjadi tahun 1989, ketika Aipon Asso bersama dengan Sofyan Wanggai dipanggil untuk menunaikan ibadah Haji oleh Menteri Agama. Tentu saja, bagi Aipon Asso, hal ini adalah bagian daripada proses penyempurnaan agamanya.

Sepulangnya dari menunaikan ibadah Haji, Aipon Asso kembali melakukan terobosan aktual terkait pola dakwah ala H. Aipon Asso, dengan lagi- lagi mengumpulkan warganya di sebuah lapangan yang luas, dan menceritakan kisah perjalanan spiritualnya selama di Tanah Suci. Hal ini tentu saja semakin membuat warga menjadi sangat antusias dalam berislam. Pertemuan yang dilakukan itu, tidak hanya melibatkan warga Walesi saja, tetapi Aipon Asso juga mengundang para kepala suku tentangganya. Pada kesempatan itu, lagi-lagi ajakan berkebun diserukan, tapi kali ini juga melibatkan suku- suku tetangganya untuk membangun kemandirian bersama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesejahteraan hidup.

Persoalan Babi yang Dilematis: Antara Adat dan Agama!

Ada satu hal yang menjadi ‘pekerjaan rumah’ bagi Aipon Asso terkait bagaimana dia mendakwahkan Islam di Desa Walesi, yakni kultur dan adat masyarakat setempat yang sudah sangat tergantung kepada babi dalam setiap

aktiitas sosial yang telah berlangsung turun temurun. Sebagai seorang Kepala

Suku Besar, dan seorang penganut Islam, tentu saja membawa Aipon Asso pada sebuah problem yang sangat pelik, di satu sisi beliau harus menjadi panutan keberagamaan Islam bagi para warga Walesi yang keberislamannya masih seumur jagung, di sisi lain beliau harus menjunjung tinggi hak-hak adat, sebagai seorang pimpinan. Sebenarnya, Aipon Asso mempunyai hak prerogatif untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan strategis mengenai hal ini, termasuk menfatwakan pengharaman babi, tapi hal tersebut tidak dilakukannya sebab beliau sangat menghargai dan menghormati masyarakat Walesi, terutama para sesepuh adat dan petuah-petuah di wilayah kekuasaannya.

Setelah berdiskusi dengan para tetua dan tokoh agama Islam, serta wakil kepala suku Tahuluk Asso, akhirnya Aipon Asso mengambil sebuah kebjakan strategis yang sedapat mungkin tidak merugikan pihak manapun. Keputusan itu didahului dengan seruan kepada para warga Walesi dalam sebuah pernyataan bahwa “Adat adalah pegangan hidup awal kita, kemudian Agama Islam datang menyempurnakan Adat menjadi Lebih Bagus”. Oleh karena itu, sebagai pemimpin adat sekaligus pemimpin agama di Walesi, Aipon Asso tidak serta merta mengharamkan babi tetapi memberikan pemahaman secara bertahap. Para orang tua tidak dilarang untuk memelihara babi bahkan juga tidak melarangnya untuk memakannya, sebab tentu saja jika itu dilakukan maka Aipon Asso akan berhadapan dengan aturan-aturan adat dan dianggap telah melanggar hak-hak adat para petua Walesi. Akan tetapi, langkah antisipatif tetap dilakukan dengan membekali pengetahuan agama Islam kepada anak- anak dan generasi muda Walesi sembari memberikan pemahaman terkait mana yang boleh dan tidak boleh dalam agama. Sehingga di fase-fase awal keberislaman

18 a bu m uslim

HARMONI September - Desember 2014

rakyat Walesi, babi masih tetap eksis, tetapi hanya diperuntukkan bagi orang- orang tua, sementara anak-anak dan generasi muda tidak lagi mengkonsumsi babi. Sebagai gantinya, Aipon Asso memprakarsai ternak sapi dan kambing sebagai gantinya.

Hal lain yang juga dilakukan oleh Aipon Asso dalam menanamkan nilai- nilai dan ajaran agama Islam kepada warganya adalah dengan mengupayakan pola hidup bersih bagi di Walesi. Jika sebelumya masyarakat Walesi tidak mau memakai baju dan celana, karena peran dari Aipon Asso, masyarakat Walesi selanjutnya melakukan adaptasi terhadap pakaian-pakaian yang layak. “Kita sekarang pakai koteka, dalam Islam lebih sempurna jika kita memakai Baju dan celana. Segala yang kotor kita tinggalkan, menuju kepada pola hidup sehat dan mengedepankan kebersihan”. Begitu pernyataan Aipon Asso, yang sekaligus menjadi inspirasi bagi warganya.

Ternyata inovasi yang dilakukan oleh Aipon Asso tidak berhenti sampai di situ saja, akan tetapi secara perlahan- lahan melakukan penyesuaian- penyesuaian antara adat dan agama (sinkretisme). Jika sebelumnya, dalam setiap prosesi kematian warga Walesi, jasad kemudian dibakar setelah melalui tahapan-tahapan ritual keadatan. Aipon Asso, menganjurkan bahwa jika ada seseorang meninggal dunia, maka sebaiknya dilakukan pemakaman, dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa manusia itu berasal dari tanah, dan sepantasnyalah dikembalikan ke asalnya jika telah berpulang. Kebjakan ini ditopang dengan pengwakafan tanah milik Aipon Asso sebagai tempat pemakaman Muslim di Walesi yang terletak di Bukit Wetugi. Selain melakukan inovasi dalam hal prosesi kematian, Aipon Asso juga mengeluarkan kebjakan di bidang perkawinan dengan membolehkan

warga yang berasal dari suku bagian utara menikah dengan warga asal suku bagian selatan. Hal ini sebelumnya dilarang oleh adat, tapi Aipon Asso, malah menganjurkannya. Ini dilakukan agar pemerataan keberagamaan dan kesejahteraan masyarakat antar suku dapat terjalin. Selain itu, jika dahulu warga dari suku yang berjauhan seringkali terlibat peperangan, maka jika terdapat pertalian kekerabatan, maka hal tersebut dapat dihindarkan. “Pembaruan terhadap sesuatu bukan berarti anda menghilangkan dan mendirikan sesuatu yang baru untuk menggantikannya. Pembaruan agama harus dari dalam dengan alat-alatnya yang syar’i melalui para penganutnya dan ulamanya, bukan dengan cara merongrongnya, bukan dengan menindas penganutnya, bukan pula dengan memasukkan unsur-unsur asing ke dalamnya dan memaksakannya dengan kekerasan” (Qordhowi, Yusuf, 2001).