Orientasi Teknologi dan Dukungan Kebijakan

III. Orientasi Teknologi dan Dukungan Kebijakan

  ekn T

  a

  Mungkin saja banyak pihak yang terkejut jika dinyatakan bahwa tantangan terbesar dalam

  n

  d

  meningkatkan kontribusi teknologi dalam rangka menyejahterakan rakyat sebagaimana

  yang diamanahkan konstitusi adalah mengubah mindset para pengembang teknologi itu

  Riset

  sendiri dan para pihak pembuat kebijakan pendukungnya. Bukan utamanya karena

  n ka

  keterbatasan anggaran, bukan pula karena kualitas sumberdaya manusia Indonesia yang rendah, dan tidak juga karena keterbatasan sarana dan prasarana riset. Tiga keterbatasan

  Kebija

  yang disebut belakangan hanya merupakan persoalan sekunder.

  – n

  a

  Memang akan memberi kesempatan bagi pengembang teknologi untuk unjuk kinerja jika

  kit

  anggaran lebih tersedia; memang akan berpeluang lebih besar untuk unjuk kinerja jika

  La

  kualitas sumberdaya manusia (peneliti, perekayasa, dan akademisi) ditingkatkan jenjang

  min min

  Orientasi Pengembangan Teknologi. Pengembangan teknologi yang berpijak pada realita dan berorientasi kebutuhan persoalan nyata (demand-driven) perlu dijadikan budaya kerja baru. Perlu didefinisi-ulang tentang apa yang dianggap sebagai tekonologi yang hebat, yakni adalah teknologi yang secara nyata bermanfaat, bukan semata teknologi ultra-maju hasil kreasi para ‘dewa iptek’. Sesungguhnya Sistem Inovasi Nasional (SINas) merupakan langkah strategis untuk menyediakan wadah yang pas untuk budaya kerja baru tersebut bagi para

  pengembang teknologi. 29 Teknologi bidang pangan tentu perlu ikut mentranformasi diri agar cocok dengan skenario

  besar penguatan SINas. Walaupun benar pemerintah telah membuat pernyataan kebijakan dalam Rencana Strategis kementerian teknis yang membidangi, namun jika dibedah anotomi kegiatannya masih belum kentara ‘benang merah’ antara aksi yang dilakukan

  dengan dampak positifnya bagi kesejahteraan rakyat. 30 Pengubahan mindset dan penumbuhan kultur baru memang tidak dapat dilakukan secara

  instan. Proses ini tentu akan bersifat gradual. Memahami tentang bagaimana proses perubahan ini dapat berlangsung, maka yang perlu dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran semua pihak bahwa perubahan ini perlu dan tak dapat dihindari. Sumbu pemicu perubahan harus disulut. Selanjutnya, perlu upaya konsisten dan persisten untuk mengawal perubahan agar selalu berada pada arah dan koridor yang benar. Insentif perlu disiapkan

  agar laju perubahan dapat mengalami akselerasi. Regulasi dan kebijakan yang tepat sangat

  dibutuhkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif agar viabilitas proses perubahan

  kultur komunitas teknologi terus terjaga.

  i Pan

  g

  Regulasi dan Kebijakan. Sesuatu yang menggembirakan dan menumbuhkan optimisme

  lo o

  adalah pembentukan Komite Inovasi Nasional oleh Pemerintah dengan salah satu tugas

  29 Komplikasi persoalan muncul ketika ternyata tidak semua komunitas pengembang, pengguna,

  Riset

  intermediator, dan regulator bidang teknologi mempunyai pemahaman yang sama sebagaimana

  n

  seharusnya tentang SINas. Dalam konteks ini, bagus untuk disimak sikap The World Bank (2010) yang

  ka

  menyatakan bahwa: “... what is not disseminated and used is not an innovation.” Bermakna bahwa tidak ada gunanya teknologi yang hebat jika tidak bermanfaat dan teknologi yang tidak bermanfaat bukanlah

  Kebija

  sebuah inovasi.

  Kementerian Pertanian dalam rencana strategis 2010-2014 menetapkan salah satu target yang ingin

  dicapai adalah peningkatan kesejahteraan petani; Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rencana

  kit

  strategisnya untuk periode yang sama menetapkan misinya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

  La

  kelautan dan perikanan; dan Kementerian Riset dan Teknologi menetapkan visinya: ‘Iptek untuk

  min

  kesejahteraan dan kemajuan peradaban’.

  penting dan strategisnya, yakni menyiapkan Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional. Penyiapan produk legislasi ini dilakukan bersama Kementerian Riset dan Teknologi.

  Implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah dilengkapi dengan beberapa peraturan pemerintah yang mengikutinya, ternyata masih belum efektif. Regulasi yang dirancang agar hasil riset dan teknologi yang dikembangkan di dalam negeri dipergunakan oleh dunia usaha ternyata masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Belum banyak teknologi domestik yang diadopsi dalam proses produksi barang dan jasa di Indonesia. Kondisi ini dapat menjadi pertanda bahwa SINas belum tumbuh sesuai harapan.

  Proyeksinya, Undang-Undang SINas yang sedang disiapkan tersebut dapat efektif menumbuhkan kondisi yang kondusif untuk tumbuh-kembang SINas, membuka peluang bagi teknologi untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan nasional, termasuk di dalamnya kontribusi terhadap upaya bersama untuk menyejahterakan rakyat. Amanah konstitusi (Undang-Undang Dasar Tahun 1945) agar ilmu pengetahuan dan teknologi dibangun dalam rangka menyejahterakan rakyat diharapkan dapat terlaksana.

  Perubahan mindset dan budaya kerja komunitas teknologi yang lebih berorientasi demand- driven yang dipadu dengan regulasi dan kebijakan yang kondusif untuk tumbuh-kembang SINas akan menjadi landasan yang kokoh untuk membangun iptek yang menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban bangsa.

  Jika fondasi yang kokoh ini sudah terbangun, maka anggaran riset dan pengembangan teknologi yang dialokasikan akan menjadi investasi yang prospektif, bukan hanya sebagai biaya operasional rutin semata. Sarana dan prasarana riset akan digunakan dalam proses produktif, untuk menghasilkan teknologi yang bermanfaat, bukan hanya artefak sebagai bukti administratif bahwa sebuah kegiatan telah dilaksanakan. Sumberdaya manusia bidang

  n

  a

  teknologi yang secara akademik cerdas akan menjadi lebih paripurna, karena menjadi

  g

  dilengkapi dengan sensitivitas yang tinggi terhadap realita.

  i Pan

  Anggaran dana riset yang lebih besar, sarana dan prasarana riset yang lebih canggih, dan

  g lo

  sumberdaya manusia yang lebih tinggi jenjang pendidikan akademiknya tidak akan mampu

  o

  melompat lebih tinggi (apalagi membuat suatu ‘quantum leap’ jika fondasi pijakannya

  rapuh. Oleh sebab itu, masalah fundamental (mindset dan regulasi) perlu diperbaiki terlebih

  d

  dahulu, baru kemudian masalah simptomatiknya diobati (dana riset ditambah, sarana dan prasarana disediakan, serta sumberdaya manusia disekolahkan).

  Riset n

  Regulasi dan Kebijakan Pangan. Mungkin tak banyak yang menaruh perhatian bahwa ada

  ka

  yang terlupakan dalam pengertian ketahanan pangan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, dimana disebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi

  Kebija –

  n

  a kit

  La min La min

  Pengertian ketahanan pangan ini bersifat satu sisi, yakni hanya dari perspektif pemenuhan kebutuhan konsumen semata, tidak sama sekali menyinggung tentang peran produsen pangan. Padahal tanpa peran produsen pangan (baca: petani) kondisi ketahanan pangan dimaksud tidak akan pernah dapat dicapai. Pemerintahan (eksekutif dan legislatif) yang melahirkan undang-undang ini terkesan keberpihakannya lebih condong ke pihak konsumen. Anggapan bahwa petani dan produsen pangan lainnya hanya diperlakukan sebagai komponen mesin produksi menemukan dasar argumentasinya disini.

  Ketahanan pangan yang seutuhnya adalah terpenuhinya kebutuhan pangan konsumen dan diapresiasinya peran produsen dalam mencukupi kebutuhan pangan. Apresiasi tersebut harusnya dapat diukur berdasarkan peningkatan kesejahteraan petani, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan. Hanya dengan keseimbangan keberpihakan ini maka petani dan produsen pangan lainnya akan tetap termotivasi dan setia untuk terus berperan aktif dalam upaya bersama mencapai kondisi ketahanan pangan.

  Upaya menyejahterakan petani tak boleh hanya dikibarkan di langit, tetapi perlu dibumikan melalui aksi nyata yang direncanakan dengan cermat, pelaksanaannya dieksekusi dengan konsisten, serta diawasi dengan intensif dan ditindak dengan tegas jika terjadi penyimpangan dari niat awal untuk menyejahterakan petani. Potret kondisi saat ini belum mampu menangkap kesungguhan kolektif untuk menyejahterakan petani, walaupun telah ditetapkan sebagai salah satu target pembangunan pertanian.

  Daftar Pustaka

  Badan Pusat Statistik. 2010a. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi

  Indonesia – Agustus 2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

  i Pan

  Badan Pusat Statistik. 2010b. Data Strategis BPS – Agustus 2010. Badan Pusat Statistik,

  Calverley, D.J.B. 1994. Programme for the prevention of food losses: a study of eleven

  T n

  a

  projects in Asia concerned with rice. Final Report. Food and Agriculture Organization,

  d

  Rome. Mejia, D.J. 2003. An Overview of Rice Post-harvest Technology: use of small metallic silos

  Riset n

  for minimizing losses. In: Dat Van Tran (editor), Sustainable Rice Production for Food

  ka

  Security. Food and Agriculture Organization, Rome. Sumarno. 2010. Masalah Pokok Kecukupan Produksi Tanaman Pangan dan Kebutuhan

  Kebija –

  Teknologi. Bahan FGD Kementerian Riset dan Teknologi. Jakarta, 15 September 2010.

  n

  a kit

  31 Pasal 1 butir 17 UU 71996. Pengertian ketahanan pangan ini diadopsi langsung dari pengertian yang

  La

  digunakan FAO, dengan sedikit perbedaan, yakni FAO menyatakan bahwa kecukupan pangan tersebut pada

  min

  tingkat individu, sedangkan UU 71996 ini memposisikannya pada tingkat rumah tangga.

  Supadi dan S.H. Susilowati. 2004. Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia,

  ICASERD Working Paper No.41. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian Departemen Pertanian, Bogor.

  World Bank. 2010. Innovation Policy: a guide for developing countries. Washington DC.

  d Riset

  n ka

  Kebija –

  n

  a kit

  La min