Kebijakan Riset Dan Teknologi untuk Penc

I. Potret Ketahanan Pangan Indonesia

  Penduduk Indonesia pada tahun 2010 ini sudah mencapai 237,56 juta jiwa. 7 Populasi yang besar dan terus meningkat ini tentu menjadi tantangan yang sangat serius bagi upaya

  pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Apalagi jika dihadapkan pada kondisi yang kurang menguntungkan lainnya, yakni penyusutan luas lahan pertanian untuk produksi pangan, degradasi kualitas lahan akibat cemaran atau praktek pengelolaan lahan yang tidak berwawasan ekologis, menurunnya minat untuk berkerja di sektor pertanian, 8 dan kondisi

  bisnis produksi pangan yang masih tetap kurang menjanjikan. Saat ini, berdasarkan Global Information and Early Warning System (GIEWS-FAO) Country

  Briefs edisi 3 September 2010, Indonesia masih tergolong swasembada (self-sufficient) untuk beras dan jagung dengan kondisi ketahanan pangan untuk serealia tergolong baik dengan pasokan domestik yang mencukupi.

  Konsumsi Pangan. Untuk periode 2007-2009, konsumsi pangan penduduk Indonesia menurun hampir untuk semua jenis makanan, kecuali beras. Misalnya untuk pangan sumber karbohidrat, konsumsi jagung pipilan menurun dari 60 gramminggu (2007) menjadi

  35 gramminggu, konsumsi singkong menurun dari 134 gramminggu menjadi 106 gramminggu, ketela rambat dari 46 gramminggu menjadi 43 gramminggu; sebaliknya

  a

  konsumsi beras sedikit naik dari 1.740 gramminggu (2007) menjadi 1.755 gramminggu

  n

  g

  (2009), namun demikian konsumsi pada tahun 2008 dilaporkan lebih tinggi, yakni 1.797 gramminggu (BPS, 2010). Mengacu pada data konsumsi ini, maka terindikasi bahwa upaya

  i Pan

  g

  mendorong diversifikasi pangan pokok belum membuahkan hasil secara optimal.

  lo o

  Konsumsi pangan sumber protein (ikanudang segar dan olahan, daging sapikerbau, daging

  dan telor ayamitik, dan susu bubukkental manis) juga secara konsisten turun selama

  d

  periode 2007-2009. Konsumsi sayuran, tahu-tempe, minyak goreng, dan gula pasirmerah juga konsisten menurun. Kewajaran penurunan besaran konsumsi yang konsisten untuk

  Riset n

  semua jenis pangan ini patut untuk mendapat perhatian. Benarkah rakyat Indonesia secara

  ka

  konsisten berkurang konsumsi pangannya (untuk semua jenis) selama periode 2007-2009 tersebut? Penurunan konsumsi ini merupakan ‘pleasant surprise’, karena jelas akan

  Kebija –

  Berdasarkan hasil olah cepat Sensus Penduduk 2010 (BPS, 2010a).

  kit

  8 Pekerja di sektor pertanian pada tiga tahun terakhir cenderung menurun. Pada Maret 2008, pekerja sektor

  La

  pertanian masih sebesar 41,83 persen, menurun menjadi 41,18 persen pada bulan yang sama tahun 2009,

  min

  dan terus menurun menjadi 39,88 persen pada tahun 2010. Diolah dari BPS (2010b).

  mengurangi beban dalam upaya meningkatkan produksi pangan nasional seiring dengan pertumbuhan penduduk.

  Jika konsumsi beras per kapita adalah 1,755 kgminggu atau setara 91,51 kg per tahun dan penduduk Indonesia sebesar 231,37 juta (menggunakan data 2009 sebagai data mutakhir yang tersedia), maka total konsumsi beras penduduk Indonesia tahun 2009 ini diperhitungkan hanya akan sebesar 21.172.669 ton.

  Kecuali jika terjadi penurunkan konsumsi pangan dengan laju yang sebanding atau lebih cepat dari laju pertumbuhan penduduk, maka konsumsi pangan akan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Proyeksi penduduk Indonesia tahun 2015 akan mencapai 247,623 juta jiwa dan jika konsumsi per kapita per tahun tetap sekitar 91,5 kg, maka total konsumsi beras nasional pada tahun 2015 ditaksir mencapai sekitar 22.657.505 ton. Jika digunakan laju pertumbuhan penduduk sepuluh tahun terakhir (2000-2010) sebesar 1,49 persen, maka penduduk Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan akan mencapai sekitar 272,956 juta jiwa dengan proyeksi konsumsi beras sekitar 24.975.514 ton.

  Konsumsi beras 91,51 kg per kapita per tahun terkesan ‘under-estimated’, karena jika ini realistis (dan produksi beras nasional yang dilaporkan juga realistis) maka Indonesia tidak punya persoalan dalam masalah ketersediaan beras. Indonesia telah dan tetap akan surplus beras sampai tahun 2025. Namun mengapa kegalauan tentang kecukupan pangan disuarakan atau paling tidak diakui oleh semua pihak terkait?

  Persoalan Konsumsi Pangan. Paling tidak ada tiga persoalan besar yang berkaitan dengan konsumsi pangan di Indonesia yang perlu mendapat perhatian, yakni: [1] Ketergantungan masyarakat pada beras sebagai pangan pokok sumber karbohidrat; [2] Ketergantungan Indonesia pada impor untuk beberapa jenis komoditas pangan; dan [3] Keamanan pangan baik untuk produk segar maupun olahan.

  Ketergantungan pada Beras. Keberhasilan revolusi hijau yang berbuah peningkatan

  kemampuan Indonesia dalam memproduksi beras di masa yang lalu ternyata menyebabkan

  i Pan

  efek samping yang kurang menguntungkan, yakni tergusurnya berbagai komoditas pangan

  g lo

  tradisional sumber karbohidrat dari daftar menu masyarakat Indonesia. Pola konsumsi

  o

  masyarakat bergeser dari keragaman pangan pokok menjadi terkonsentrasi pada beras.

  Pergeseran pola konsumsi ini dibarengi dengan pergeseran posisi sosial-ekonomi beras

  dalam masyarakat Indonesia. Saat ini, status sosial-ekonomi beras ‘disepakati’ oleh masyarakat Indonesia berada satu tingkat di atas jagung, sagu, singkong, dan berbagai

  Riset n

  komoditas pangan tradisional sumber karbohidrat lainnya. Dari perspektif sosial-ekonomi,

  ka

  konsumen Indonesia saat ini menganggap hanya gandum dan kentang yang layak menjadi substitusi beras. Sebagian masyarakat Indonesia, memposisikan gandum dan kentang pada

  Kebija –

  n

  a

  posisi status sosial-ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan beras, walaupun tak

  menggusur beras dalam menu utama pangannya.

  kit La

  Keterlanjuran masyarakat Indonesia bergantung pada beras sebagai pangan pokok

  min

  mempersulit upaya diversifikasi pangan yang diprogramkan pemerintah, sehingga juga mempersulit upaya diversifikasi pangan yang diprogramkan pemerintah, sehingga juga

  Ketergantungan pada Impor. Upaya untuk meningkatkan kemandirian pangan membawa implikasi bahwa ketergantungan pemenuhan kebutuhan pangan nasional dari impor perlu dihindari. Potret pangan Indonesia saat ini mengindikasikan bahwa upaya mengurangi ketergantungan pada pangan impor merupakan tantangan yang berat, antara lain karena: [1] populasi Indonesia yang besar dan masih akan terus tumbuh 1,49 persen per tahun; [2] keterlanjuran konsumen tergantung pada pangan pokok (utamanya gandum) yang secara agroekosistem sulit dikembangkan di Indonesia; [3] usahatani komoditas pangan kalah kompetitif dibandingkan jenis usaha atau bidang pekerjaan yang lain; dan [4] harga pangan impor yang relatif rendah dibandingkan dengan ongkos produksi pangan serupa jika diproduksi di dalam negeri.

  Kendala demografi, agronomi, dan ekonomi di atas menjadikan upaya untuk membangun kemandirian pangan secara mutlak tidak realistis. Upaya yang lebih realistis adalah memaksimalkan produksi pangan yang sesuai agroekosistem Indonesia dan mengurangi konsumsi pangan yang secara agronomis sulit atau akan mahal ongkos produksinya jika dilakukan di dalam negeri.

  Keamanan Pangan. Persoalan keamanan pangan masih akan menjadi isu yang serius di Indonesia, baik cemaran unsursenyawa kimia berbahaya danatau mikroba patogenik pada produk pangan segar maupun pada produk pangan olahan. Pengunaan bahan kimia berbahaya bagi kesehatan manusia (yang sesungguhnya tidak diperuntukkan sebagai tambahan pangan) untuk tujuan pengawetan, pewarna, pemutih, atau lainnya masih akan menjadi ancaman.

  n

  a

  Persoalan keamanan pangan ini akan lebih cenderung terjadi pada: [1] pangan yang

  g

  diproduksi untuk konsumen ekonomi lemah dan menengah. Karena harga harus rendah agar terjangkau, maka upaya jalan pintas yang dilakukan produsen adalah menggunakan

  i Pan

  g

  bahan-bahan yang murah walaupun berbahaya bagi kesehatan; dan [2] jenis pangan yang

  lo o

  sangat gampang rusakbusuk, misalnya ikan segar dan produk laut lainnya.

  Produksi Pangan. Jika produksi padi pada tahun 2009 sebesar 64.398.890 ton GKG.

  d

  Diperkirakan 0,5 persen digunakan untuk benih; 11,3 persen gabah hilang pada saat panen, perontokan, pengeringan, dan penggilingan; konversi GKG menjadi beras sekitar 63,2

  Riset n

  persen; beras tercecer saat pengangkutan, pemasaran, sampai ke rumah tangga sekitar 2,5

  ka

  persen; maka beras tersedia untuk konsumsi diperhitungkan mencapai 35,4 juta ton beras. Jauh melampaui total konsumsi nasional yang hanya 21,2 juta ton beras pada tahun yang

  Kebija –

  a

  sama. Namun demikian, data ekspor-impor beras mengindikasikan sesuatu yang

  n

  kontradiktif, dimana pada tahun 2009 (juga tahun 2008 dan triwulan I dan II 2010) Indonesia

  kit

  mengimpor beras dalam volume yang jauh lebih signifikan ( 250.473,1 ton) dibandingkan

  La

  dengan volume ekspor ( 2.344,1 ton) (BPS, 2010a) .

  min

  Perlu diperhatikan bahwa data produksi pangan pada dasarnya adalah merupakan hasil estimasi dan berlandaskan asumsi. Pengukuran langsung hanya mungkin dilakukan pada petak-petak sampel yang terbatas luasannya dan terbatas pula jumlah replikasinya. Hasil rata-rata pada petak sampel diasumsikan mewakili seluruh lahan produksi padi untuk masing-masing kategori lahan. Luas lahan dan luas panen adalah juga merupakan hasil estimasi yang subjektif. Oleh sebab itu, walaupun data produksi padi secara statistik telah disebut sebagai data tetap, tetap saja perlu diingat bahwa data tersebut dilahirkan melalui serangkaian proses sebagaimana yang diuraikan di atas yang selalu ada kemungkinan

  biasnya. 9 Walaupun tidak imun terhadap kesalahan pendataan, 10 data ekspor-impor beras dirasakan

  lebih reliable untuk digunakan sebagai dasar dalam menakar kemandirian pangan, yakni kemampuan nasional untuk menyediakan pangan domestik dari hasil produksi dalam negeri. Indonesia sebagai net-importir beras tentu menjadi salah satu sumber kegalauan para pemangku kepentingan.

  Anatomi persoalan produksi secara teknis berakar pada keterbatasan lahan, termasuk persoalan: [1] penyusutan luas total lahan produksi tanaman pangan akibat konversi lahan; [2] sempitnya luas per unit lahan yang dikelola oleh rumah tangga petani akibat fragmentasi lahan; dan [3] menurunnya kesuburan akibat pencemaran danatau salah kelola yang berakibat pada degradasi lahan.

  Walaupun fenomena konversi lahan telah lama terjadi dan sangat kentara berlangsung terutama di sekitar wilayah perkotaan, tetapi mungkin untuk pertama kalinya dalam sejarah statistik pertanian Indonesia disajikan data bahwa luas panen padi mengalami penurunan.

  Pada tahun 2010, luas panen menyusut 12.627 hektar dibanding tahun 2009. 11 Dibandingkan dengan total luas panen nasional, penyusutan ini relatif kecil, hanya 0,1

  persen. Akan tetapi, sinyal ini tidak boleh diabaikan, karena konversi lahan terus

  berlangsung, demikian pula degradasi lahan pertanian terus terjadi.

  Fragmentasi lahan berpotensi untuk mengurangi efisiensi dalam proses produksi pertanian.

  i Pan

  g

  Ongkos produksi per satuan luas lahan akan menjadi lebih tinggi sehingga memperkecil

  lo o

  marjin keuntungan dari usaha tani tanaman pangan ini. Kombinasi antara sedikitnya hasil

  ekn T

  yang diperoleh per unit lahan yang dikelola (karena sempitnya lahan) dan ongkos produksi

  yang relatif lebih tinggi (karena efisiensi rendah) akan mempersulit upaya meningkatkan

  kesejahteraan petani.

  Riset n

  Produktivitas tanaman padi dilaporkan (BPS, 2010) masih terus meningkat, dari 4,89

  ka

  tonhektar pada tahun 2008, menjadi 4,99 tonhektar tahun 2009, dan diramalkan

  Kebija

  9 Bias tersebut dapat terkait dengan kelemahan metodologis dalam pengukuran, tetapi juga tidak tertutup

  – n

  a

  kemungkinan bias akibat adanya tunggangan kepentingan atau tujuan tertentu.

  kit

  Baik kesalahan yang sifatnya administratif, maupun karena tidak tercakupnya data ekspor-impor yang

  La

  bersifat ilegal.

  min

  Angka Ramalan II (BPS, 2010a) Angka Ramalan II (BPS, 2010a)

  tonhektar), dan Vietnam (4,88 tonhektar). 12 Produktivitas Indonesia yang tinggi terkait dengan subsidi pupuk dan benih yang juga tinggi.

  Hal ini bermakna bahwa teknologi budidaya pertanian sudah tersedia, tetapi kapasitas adopsi petani (terutama secara finansial) masih rendah, sehingga aplikasi teknologi sangat bergantung pada subsidi pemerintah untuk mengurangi beban ongkos produksi yang ditanggung petani. Kebijakan harga yang belum kondusif juga mengurangi motivasi petani untuk mengadopsi teknologi yang secara langsung berkaitan dengan penambahan ongkos produksi.

  Luas panen dan produktivitas jagung untuk periode 2008-2010 masih menunjukkan peningkatan. Untuk tahun 2010 luas panen diramalkan akan meningkat 0,56 persen dibanding tahun 2009, menjadi 4,18 juta hektar; sedangkan produktivitas diramalkan meningkat 1,63 persen, menjadi 4,31 tonhektar. Luas panen kedelai diramalkan akan menurun cukup signifikan sebesar 6,14 persen, menjadi 678,4 ribu hektar; tetapi produktivitas meningkat 1,41 persen, menjadi 1,37 tonhektar (BPS,2010a).

  Upaya keras untuk meningkatkan produksi jagung dan kedelai sampai saat ini belum mampu membebaskan Indonesia dari ketergantungan pada impor, demikian juga beberapa komoditas pangan lainnya, termasuk kentang, kacang tanah, kacang hijau, jeruk, sayuran dataran tinggi, gula, daging sapi, susu, produk olahan susu, dan beberapa jenis pangan lainnya.

  Pada masa yang akan datang, ketergantungan berbagai jenis pangan pada impor akan semakin sulit dihindari, terutama karena lahan pertanian yang sesuai akan semakin terbatas

  n

  a

  (malah cenderung berkurang karena konversi dan degradasi). Upaya untuk meningkatkan

  g

  produktivitas juga akan menghadapi kendala teknis dan ekonomi. Tenaga kerja yang berdedikasi pada proses produksi pangan juga akan menyusut (karena kalah menarik

  i Pan

  g

  dibandingkan jenis pekerjaan lain yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi dan lebih

  lo o

  pasti) atau paling tidak menjadi kurang termotivasi untuk meningkatkan produksi.

  Walaupun ektrapolasi dari kecenderungan produksi pangan pada sepuluh tahun terakhir

  d

  akan menunjukkan peningkatan produksi beras dan pangan pokok lainnya untuk lima tahun ke depan (malah untuk tahun-tahun selanjutnya), namun akan lebih realistis (dengan

  Riset n

  memperhatikan berbagai kendala yang akan dihadapi di tahun-tahun mendatang) untuk

  ka

  menduga bahwa akan mulai terjadi penurunan kemampuan produksi pangan nasional, jika tidak ada terobosan: [1] kebijakan yang berakar pada realita permasalah; [2] pemahaman

  Kebija –

  yang tepat tentang potensi yang dimiliki dan kendala yang secara nyata akan dihadapi, dan

  Berdasarkan data yang dikompilasi IRRI bersumber dari USDA.

  [3] ketersediaan teknologi yang relevan dan sesuai dengan kapasitas adopsi para pelaku produksi pangan.

  Persoalan Produksi Pangan. Tidak akan ada solusi yang jitu jika sosok persoalan tidak terungkap sesuai realita. Bagaimana mungkin menemukan anak kunci yang pas jika sosok gemboknya tidak diketahui secara pasti? Bagaimana bisa merumuskan kebijakan yang tepat dan teknologi yang relevan, jika persoalan pangan tak mampu diidentifikasi dengan jelas? Karena pangan (terutama beras) telah menjadi komoditas politik, maka telah terjadi pengaburan wujud persoalan agronomi dan ekonomi pangan. Data diharapkan merepresentasikan fakta. Jika harapan ini tak terwujud, maka ‘second-best option’ yang perlu dikedepankan, yakni common-sense.

  Konversi, Degradasi, dan Fragmentasi Lahan. Walaupun sudah sejak lama dimungkinkan untuk melakukan budidaya tanaman tanpa-tanah (hidroponik dan aeroponik), namun untuk produksi pangan secara nasional pada kondisi harga pangan masih rendah akan memerlukan lahan. Luas daratan Indonesia secara total mencapai 191,9 juta hektar, namun yang dimanfaatkan untuk lahan pertanian hanya 23,46 persen, atau seluas 45,0 juta hektar. Pada tahun 1998, seluas 5,6 juta hektar lahan pertanian dimanfaatkan sebagai lahan pemukiman, sehingga menyisakan hanya 39,5 juta hektar untuk kegiatan pertanian

  (termasuk 16,4 juta hektar dimanfaatkan untuk perkebunan rakyat dan besar). 13 Luas lahan tersedia dan sesuai untuk produksi pangan semakin terancam, tidak hanya

  karena konversi untuk penggunaan non-pertanian danatau karena degradasi kualitasnya akibat tercemar dan salah-kelola, tetapi juga karena semakin meluasnya penggunaan lahan

  untuk perkebunan besar. 14 Lahan tanaman pangan yang subur dan produktif, terutama di sekitar perkotaan terus menyusut akibat konversi, termasuk sawah irigasi teknis. 15

  Penyusutan luas lahan ini harus dikompensasi dengan pembukaan areal baru. Karena

  sebagian besar lahan subur telah dimanfaatkan, maka pembukaan areal baru tersebut tidak

  mempunyai banyak pilihan kecuali pada lahan-lahan sub-optimal untuk kegiatan budidaya

  Lahan sub-optimal mempunyai satu atau lebih kendala dalam pemanfaatnya untuk

  lo o

  budidaya pertanian, misalnya terlalu kering sehingga tidak optimal untuk mendukung

  ekn T

  pertumbuhan dan perkembangan tanaman; dapat juga karena tanahnya yang sangat miskin

  13 Supadi dan S.H. Susilowati (2004): Dinamika Penguasaan Lahan Pertanian di Indonesia, ICASERD Working

  Paper No.41. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Departemen Pertanian. n Riset

  14 Perluasan yang melaju dengan pesat terutama untuk perkebunan besar sawit, pada tahun 1995 luasnya

  ka

  masih kurang dari 1 juta hektar (992,4 ribu hektar), pada tahun 2000 melonjak menjadi hampir 3 juta hektar (2.991,3 ribu hektar), tahun 2005 menjadi 3.593,4 ribu hektar. Data terakhir yang tersedia (angka

  Kebija

  sementara 2008) telah mencapai 4.117,5 ribu hektar. Dengan kata lain, saat ini perkebunan besar sawit

  telah meluas lebih dari 4 kali lipat dibandingkan tahun 1995. Perkebunan besar karet, kopi, coklat, dan teh

  tidak mengalami perluasan yang menyolok pada periode yang sama ( www.bps.go.id ; diunduh 20

  15 Konversi lahan sawah untuk periode 1995-2006 (sepuluh tahun) dilaporkan mencapai 597.000 hektar

  min

  (Sumarno, 2010) (Sumarno, 2010)

  Realita mutu lahan pertanian Indonesia tidak seindah yang umumnya dipersepsi oleh masyarakat umum. Hanya 16 persen dari total luas lahan pertanian yang dapat dikategorikan subur tanpa perlu perlakuan khusus untuk digunakan sebagai lahan budidaya tanaman. Selebihnya (84 persen) dapat dikategorikan sebagai lahan sub-optimal karena membutuhkan input teknologi agar produktivitas tanaman bisa optimal. Lahan sub-optimal tersebut paling luas adalah tergolong miskin hara (56 persen), kendala lainnya disebabkan oleh lapisan olah yang dangkal (10 persen), aerasi tanah yang buruk karena pori tanah jenuh

  air (10 persen), dan kekeringan (8 persen). 16 Lahan-lahan yang telah mengalami degradasi kualitasnya, pada dasarnya telah mengalami

  perubahan status dari lahan yang sesuai untuk budidaya pertanian menjadi lahan sub- optimal atau jika kerusakannya sudah terlalu parah dapat menjadi lahan yang tak lagi cocok untuk pertanian.

  Secara agronomis, pemanfaatan lahan sub-optimal untuk produksi pangan berarti: [1] harus ada tambahan input agar lahan tersebut lebih sesuai untuk budidaya tanaman, atau [2] harus tersedia jenis atau varietas tanaman pangan yang dapat beradaptasi pada kondisi sub- optimal tersebut, sehingga tetap mampu memberikan hasil yang memadai. Walaupun mungkin daya hasilnya lebih rendah dibanding produksi tanaman sejenis pada lahan subur,

  namun paling tidak secara ekonomi masih menguntungkan.

  Fragmentasi lahan merupakan persoalan yang berbeda. Lebih merupakan persoalan ekonomi daripada persoalan agronomi. Fragmentasi lahan terjadi di lahan-lahan subur,

  i Pan

  g

  terutama persawahan di Pulau Jawa. Lahan yang terlalu sempit tidak akan mampu

  lo o

  memberikan hasil yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga petani yang

  ekn

  T bersangkutan. n

  a

  d

  Kehilangan Hasil. Kehilangan hasil merupakan isu yang kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan upaya-upaya untuk meningkatkan hasil, padahal kehilangan hasil

  Riset n

  terjadi mulai pada saat panen sampai siap konsumsi di meja makan. Untuk padi, ada tiga

  ka

  tahap potensi kehilangan, yakni: [1] kehilangan gabah di tangan petani, buruh tani, tengkulak, dan penggiling gabah yang terjadi pada saat panen, perontokan, pengeringan,

  Kebija –

  n

  a

  sampai penggilingan; [2] kehilangan dalam bentuk beras di tangan pedagang, yakni

  kit

  Dikutip dari presentasi Sumarno (2010) berdasarkan data dari Dent (1980).

  La

  17 Rata-rata luas lahan sawah per kapita Indonesia hanya 336 meter persegi, hanya sepertiga rata-rata luas

  min

  lahan sawah per kapita yang dikelola petani Vietnam yang mencapai 960 meter persegi (Sumarno, 2010).

  mengalami susut pada saat pengangkutan, penyimpanan, penjualan di pasar; dan [3] kehilangan dalam bentuk nasi di tangan konsumen, karena tidak habis dikonsumsi. Kehilangan hasil padi mulai dari saat panen dan pengelolaan pascapanen sampai dengan

  penggilingan umumnya ditaksir sekitar 11-14 persen. 18 Kehilangan hasil pada setiap tahapan ini tidak mungkin untuk dapat dihapuskan

  sepenuhnya, tetapi masih mungkin untuk dikurangi dengan aplikasi teknologi yang tepat dan cara pengelolaan yang cermat sampai batas keekonomian yang acceptable.

  Kehilangan hasil pada tanaman hortikultura (sayur dan buah) diyakini lebih besar dibandingkan padi, terutama karena hasil tanaman hortikultura lebih mudah rusak dibandingkan padi, baik karena rentan terhadap benturan mekanis, serangan hama dan penyakit, maupun karena proses metabolisme pascapanen yang secara alami tetap berlangsung. Oleh sebab itu, untuk produk hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, upaya pengurangan kehilangan hasil mulai pada saat panen sampai diterima konsumen menjadi sangat strategis.

  Ketersediaan Air. Budidaya tanaman sangat tergantung pada ketersediaan air. Walaupun kebutuhan tanaman akan air berbeda-beda, namun tetap saja air merupakan faktor yang sangat krusial bagi keberhasilan proses produksi pangan. Padi termasuk jenis tanaman pangan yang membutuhkan banyak air. Namun demikian, hanya sekitar 29,3 persen saja sawah di Indonesia yang terjangkau jaringan irigasi teknis dengan sumber air yang relatif

  terjamin, berasal dari waduk permanen atau bendungan sungai. 19 Kerusakan pada infrastruktur irigasi merupakan salah satu faktor penghambat utama dalam upaya

  meningkatkan produktivitas padi sawah. Beberapa jenis atau varietas tanaman pangan dikategorikan sebagai toleran terhadap

  cekaman kekeringan (water stress), namun demikian jenis atau varietas tanaman ini tetap

  n

  a

  membutuhkan air yang cukup untuk dapat memberikan hasil yang optimal. Sebaliknya,

  g

  kelebihan air (genangan air) dapat menyebabkan kerusakan bagi tanaman pangan, karena sistem perakaran tanaman menjadi kekurangan pasokan oksigen (hipoksia sampai anoksia).

  i Pan

  g

  Hanya sedikit jenis tanaman pangan yang mampu mentolerir kondisi ini.

  Berdasarkan kajian FAO di enam negara penghasil beras yang dilaporkan oleh Calverley (1994), kehilangan hasil pascapanen untuk padi di Indonesia mencapai 12,2 persen, terdiri dari kehilangan saat panen sebesar

  Riset

  0,8 persen, pengeringan 2,9 persen, selama penyimpanan gabah 3,2 persen, dan penggilingan 4,4 persen.

  n

  Selebihnya kemungkinan hilang pada saat perontokan. Total kehilangan hasil ini lebih rendah

  ka

  dibandingkan dengan Thailand (14,6 persen) dan Bangladesh (13,2 persen). Kehilangan hasil padi di Cina dilaporkan berkisar antara 8-26 persen, dengan porsi kehilangan terbesar saat penyimpanan dan

  Kebija

  pengeringan. Secara umum, estimasi kehilangan hasil padi sekitar 14 persen dirasakan sangat rasional.

  Selebihnya sangat bergantung pada air hujan, baik yang langsung maupun setelah ditampung sementara

  dalam embung. Berdasarkan sumber air, lahan sawah di Indonesia dikelompokkan menjadi sekitar 29,3

  kit

  persen irigasi teknis, 12,9 persen irigasi setengah teknis, 19,2 persen irigasi sederhana, 26,3 persen pasang

  La

  surut dan lebak, 7,8 persen tadah hujan, dan 4,5 persen dengan pompa dari air tanah atau sungai (BPS,

  min

  2004; bahan presentasi Sumarno, 2010).

  Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan sumberdaya air adalah: [1] Kekurangan dan kelebihan air sama-sama kurang menguntungkan bagi tanaman, maka pengelolaan ketersediaan air bagi tanaman menjadi sangat penting dan harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing jenis tanaman; atau sebaliknya perlu pemahaman yang baik tentang pilihan jenis atau varietas tanaman yang cocok untuk kondisi ketersediaan air pada masing-masing agroekosistem lahan; [2] Pemahaman tentang kuantitas dan distribusi kebutuhan air (sesuai fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman) merupakan modal dasar untuk mengelola sumberdaya air agar efektif dan efisien; dan [3] Perubahan iklim (terutama pola distribusi hujan) perlu dicermati dan diantisipasi.

  Dalam konteks ketersediaan air, proses produksi pangan pada masing-masing tipe agroekosistem harus membuka opsi yang lebar untuk komoditas pangan non-tanaman. Jika lebih menguntungkan, maka peternakan dan perikanan perlu didahulukan atau diintegrasikan dalam sistem pertanian pangan terpadu. Sebagai contoh, karena rumput secara alami lebih toleran terhadap kondisi kekeringan maka peternakan ruminansia dapat menjadi pilihan yang logis; sebaliknya untuk lahan basah dengan (resiko) genangan dalam akan lebih cocok untuk perikanan.

  Ketidaksejahteraan Petani Tanaman Pangan. Pekerjaan di sektor pertanian semakin kurang diminati masyarakat Indonesia. Persentase tenaga kerja sektor pertanian yang semakin menurun merupakan bukti nyata akan kecenderungan ini. Berdasarkan data BPS (2010), pada bulan Februari 2010 tenaga kerja sektor pertanian telah turun menjadi kurang dari 40

  persen total angkatan kerja aktif di semua sektor. 20 Kurang menariknya pekerjaan sektor pertanian yang paling kentara adalah disebabkan karena pendapatan pekerja di sektor ini

  kalah kompetitif dibandingkan dengan pekerja di sektor lain yang membutuhkan kualifikasi tenaga kerja yang setara. 21

  Nilai Tukar Petani (NTP) Tanaman Pangan secara konsisten lebih rendah dibandingkan tahun

  2007 . Pada bulan Juli 2010 ini, NTP Tanaman Pangan hanya sebesar 97,19. Malah pernah

  mencapai titik terendah sebesar 93,08 pada bulan April 2008. Penurunan NTP ini

  i Pan

  g

  mengindikasikan bahwa petani tanaman pangan saat ini tidak menjadi lebih sejahtera sejak

  lo o

  tahun 2007. Pencapaian swasembada beras tidak diikuti dengan peningkatan kesejahteraan

  ekn

  petani beras.

  20 Hilangnya pesona pekerjaan sektor pertanian ini diikuti pula dengan sangat rendahnya minat generasi

  Riset n

  muda (lulusan SMA) untuk menempuh pendidikan tinggi di bidang pertanian – yang secara meyakinkan

  ka

  dibuktikan dengan 2.894 kesempatan masuk perguruan tinggi negeri untuk bidang ilmu-ilmu pertanian yang tidak dimanfaatkan pada tahun 2008 (Lakitan, 2008: Hilangnya Daya Tarik Pendidikan Pertanian, Kompas 28 Agustus 2008). Fenomena ini sesungguhnya telah terjadi sejak sekitar sepuluh tahun terakhir

  Sebagai contoh, upah rata-rata harian buruh tani bulan Agustus 2010 hanya Rp. 38.198,- jauh lebih

  kit

  rendah dibandingkan dengan upah harian buruh bangunan yang mencapai Rp. 58.276,- pada bulan

  La

  yang sama.

  min

  Tahun 2007 digunakan sebagai pembanding untuk perhitungan NTP bulanan mulai Januari 2008.

  Ketidaksejahteraan petani tanaman pangan tak dapat diabaikan, baik dari perspektif amanah konstitusi, tanggung jawab sosial, maupun dari perspektif kepentingan teknis agronomis untuk menjamin keberlanjutan proses produksi pangan nasional. Pertimbangan yang terakhir ini sangat sering terabaikan baik oleh pelaksana pembangunan pertanian maupun oleh para pembuat kebijakan pertanian. Seolah-olah jika lahan tersedia, sarana produksi diberikan, dan akses untuk memperoleh modal kerja dibuka, maka hasil tinggi akan otomatis diperoleh. Satu hal yang dilupakan adalah jika petani tidak termotivasi untuk mengeksekusi kegiatan produksi tersebut sesuai harapan, maka hasil yang optimal tidak akan dapat dicapai. Pemicu motivasi petani tidak lebih dan tidak kurang adalah peningkatan

  kesejahteraannya. 23 Teknologi dan Pengembangan. Teknologi budidaya pertanian sebetulnya sudah tergolong

  maju, terutama untuk budidaya padi di lahan sawah. Sangat banyak riset yang sudah dilakukan dalam berbagai aspek dan tahapan proses produksi padi, mulai dari pengolahan tanah dan upaya meningkatkan kesesuaian lahan secara fisik dan kimia, pemuliaan tanaman konvensional dan rekayasa genetika untuk menghasilkan benih unggul, cara tanam dengan tebar benih secara langsung maupun melalui tahap persemaian dan transplanting, pola dan jarak tanam yang optimal untuk masing-masing varietas, komposisi dan cara aplikasi pupuk anorganik, aplikasi pupuk organik dan biofertilizer, metoda pengendalian gulma, hama, dan mikroba patogenik, pola integrasi padi dengan berbagai komoditas pangan lainnya (termasuk ikan dan ternak unggas), sistem tata kelola air sesuai kebutuhan tanaman, cara panen dan pengelolaan pascapanen, metoda dan rekayasa alat pengering gabah, metoda dan rekayasa mesin penggiling gabah, teknologi kemasan, sampai ke pembuatan tepung beras dan teknologi produk olahan lanjutannya.

  Seluruh aspek dan tahap produksi padi sudah diteliti dan sudah ada rekomendasi teknologinya. Namun demikian bukanlah berarti bahwa tidak ada lagi persoalan terkait

  teknologi yang perlu ditangani dalam budidaya dan pengelolaan pascapanen padi.

  Persoalannya mungkin memang tidak lagi pada dimensi teknisnya, tetapi telah bergeser

  i Pan

  pada kesesuaian teknologi yang ditawarkan dengan kemampuan adopsi dari penggunanya,

  g lo

  yang dalam konteks budidaya adalah petani. Petani punya kendala teknis, finansial, dan

  o

  sosiokultural untuk mengadopsi teknologi, terutama jika dalam proses pengembangan

  teknologi dimaksud tidak dipertimbangkan dari awal status kemampuan adopsi petani calon

  d

  penggunanya. Persoalan adopsi teknologi ini tentu tidak hanya untuk komoditas padi, tetapi juga untuk

  Riset n

  komoditas pangan lainnya. Kendala teknis untuk adopsi teknologi diyakini akan lebih

  ka

  mudah diatasi melalui kegiatan pelatihan untuk meningkatkan pemahaman dan ketrampilan petani, tetapi untuk kendala finansial tidak akan dapat diselesaikan dengan hanya

  Kebija –

  n

  memberikan akses bagi petani ke sumber permodalan semata.

  a kit

  23 Ulasan mengenai isu ini antara lain dapat disimak pada Lakitan (2007):’Motivating RI Farmers to Increase

  La

  Rice Production’, The Point 2 January 2007; Lakitan (2009a):’Farmers still don’t reap what they sow’, The

  min

  Jakarta Post 5 January 2009; Lakitan (2009b):’Pangan Tidak Pernah Tuntas’, Koran Jakarta 14 Oktober 2009.

  Adopsi teknologi akan menambah ongkos produksi, sehingga walaupun petani mampu membayar tambahan ongkos produksi tersebut (misalnya dari kredit modal kerja), namun jika tidak ada jaminan bahwa tambahan ongkos produksi tersebut akan meningkatkan pula tambahan keuntungan usahatani, maka wajar jika petani tetap tidak akan mengadopsi teknologi dimaksud walaupun dari perspektif penyediaan pangan nasional akan menguntungkan, karena akan meningkatkan produksi pangan.

  Persoalan Teknologi Produksi Pangan. Persoalan klasik dalam pengembangan teknologi juga melanda bidang pangan, yakni terjadi replikasi dan duplikasi substansi yang diteliti, sehingga tidak efisien dalam pemanfaatan anggaran riset yang kenyataannya juga sangat terbatas. Selain itu, banyak pula kegiatan riset yang tidak efektif karena tidak berbasis pada realita yang dihadapi dunia pangan dan persoalan yang dihadapi petani dalam melaksanakan kegiatan produksi pangan. Selanjutnya, kapasitas adopsi petani hampir tidak pernah menjadi bahan pertimbangan dalam proses pengembangan teknologi.

  Senjang Adopsi Teknologi. Adopsi teknologi budidaya padi di Jawa baru mencapai 65-75 persen dari teknologi optimal. Senjang adopsi terkait dengan terbatasnya kemampuan modal petani, berakibat pada kurang optimalnya dosis pupuk, penggunaan benih tanpa sertifikat, kurangnya pengayaan bahan organik tanah, rendahnya adopsi tanam jajar- legowo, dan penggunaan pestisida yang kurang tepat. Senjang adopsi teknologi berakibat

  pada senjang hasil antara 20-25 persen dari produktivitas optimal. 24

  Persoalan senjang adopsi teknologi ini bukan hanya untuk kasus tanaman padi di Pulau Jawa, tetapi merupakan persoalan yang menerpa hampir semua lini upaya, jenis komoditas, dan wilayah produksi yang berkaitan dengan pembangunan ketahanan pangan. Alasan teknis operasional untuk persoalan ini adalah karena teknologi yang diintroduksikan tidak sepadan dengan kapasitas adopsi petani (kendala teknis atau finansial) danatau preferensi petani (alasan sosiokultural atau religi). Akar persoalannya kemungkinan besar karena teknologi tersebut tidak dikembangkan dengan berorientasi pada kebutuhan dan mempertimbangkan kapasitas adopsi dan preferensi petani sebagai pengguna.

  Petani, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan sering tidak diposisikan secara tepat dalam skenario besar pembangunan ketahanan pangan. Para eksekutor tersebut sering hanya dianggap sebagai komponen mesin produksi pangan, bukan sebagai aktor utama yang menentukan keberhasilan upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional, padahal tanpa partisipasi aktif dari para aktor ini maka produksi pangan tidak akan berjalan.

  Orientasi Pengembangan Teknologi. Dengan dibayang-bayangi oleh ambisi untuk mewujudkan swasembada untuk beberapa jenis pangan pokok, maka pengembangan teknologi di bidang pangan ‘terlalu’ fokus pada teknologi yang langsung mendukung peningkatan produktivitas. Hal-hal yang sesungguhnya menjadi prasyarat agar teknologi tersebut efektif berdampak pada peningkatan produksipun kadang ikut terabaikan, misalnya

  24 Sumarno (2010): Masalah Pokok Kecukupan Produksi Tanaman Pangan dan Kebutuhan Teknologi. Bahan FGD Kementerian Riset dan Teknologi. Jakarta, 15 September 2010 24 Sumarno (2010): Masalah Pokok Kecukupan Produksi Tanaman Pangan dan Kebutuhan Teknologi. Bahan FGD Kementerian Riset dan Teknologi. Jakarta, 15 September 2010

  Pengembangan teknologi pada saat ini umumnya masih kental bersifat supply-push. Mengembangkan dulu teknologinya, baru kemudian mengupayakan agar digunakan oleh para pelaku produksi pangan. Pendekatan ini sangat sering membuahkan kegagalan. Walaupun secara teknis terkesan sesuai, namun tetap tidak diadopsi oleh petani. Sebagai contoh alat pengering gabah memang dibutuhkan oleh petani padi, terutama untuk panen pada musim hujan. Namun demikian adopsi alat pengering ini banyak terkendala, antara lain karena mahalnya harga bahan bakar yang dibutuhkan untuk pemanas udara dan keterbatasan kemampuan finansial petani untuk investasi pembelian alat ini, selain

  persoalan teknis lainnya. 25 Dukungan Legislasi dan Kebijakan. Keterkaitan positif antara legislasi dan kebijakan publik di

  satu sisi dengan arah dan upaya pengembangan teknologi di sisi lainnya belum terjalin secara kentara. Amanah konstitusi yang menyatakan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi harusnya ditujukan untuk menyejahterakan rakyat dan

  memajukan peradaban bangsa 26 belum kentara dipanut dalam pengembangan teknologi bidang pangan. Teknologi yang dikembangkan dan diimplementasikan lebih banyak

  mengarah pada upaya peningkatan produksi pangan dengan semangat untuk mencapai status swasembada pangan, tetapi mengabaikan kesejahteraan aktor yang paling berjasa dalam proses tersebut, yakni petani, peternak, pembudidaya ikan, dan nelayan (Lihat Sisipan 1).

  Kementerian Riset dan Teknologi sudah menetapkan visi pembangunan iptek dalam Rencana Strategis periode 2010-2014, yakni ‘Iptek untuk Kesejahteraan dan Kemajuan

  Peradaban’. Visi ini sudah sesuai dengan amanah konstitusi. Selanjutnya juga sedang

  disiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Inovasi Nasional yang diharapkan

  mampu menjadi landasan hukum yang kuat dalam rangka pengembangan teknologi yang

  i Pan

  g

  sesuai kebutuhan (demand-driven) sehingga adopsi teknologi oleh pihak pengguna tidak lagi

  lo o

  diposisikan sebagai keharusan, tetapi didasarkan atas kebutuhan nyata.

  ekn T

  Disadari betul bahwa kalaupun semua kendala teknis adopsi bisa diatasi, teknologi tidak

  akan memberikan kontribusi yang maksimal jika tidak didukung oleh peraturan dan

  kebijakan yang kondusif. Undang-Undang Sistem Inovasi Nasional yang akan dilahirkan,

  Riset

  diharapkan bisa memenuhi harapan ini, yakni mewujudkan suasana yang kondusif untuk

  n ka

  pengembangan teknologi yang sesuai kebutuhan pengguna untuk diadopsi dalam proses

  Kebija

  Mejia (2003) menyebutkan bahwa disamping persoalan finansial, persoalan teknis lainnya termasuk karena

  volume hasil yang kecil untuk petani-petani di negara berkembang, kualitas warna beras juga menurun

  (kurang putih), dan petani tidak memahami prinsip kerja alat pengeringnya. Beberapa kasus di Indonesia,

  kit

  walaupun jika pengadaan alat pengering gabah dibantu oleh pemerintah, tetap saja tidak digunakan oleh

  La

  petani karena ongkos bahan bakarnya yang mahal dibandingkan dengan harga gabah.

  min

  Pasal 31 ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

  produksi barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat, sehingga berkontribusi nyata terhadap pembangunan perekonomian nasional dan kesejahteraan rakyat.

  SISIPAN 1. PETA KETERKAITAN STRATEGI DAN TARGET PEMBANGUNAN PERTANIAN

  Tujuh strategi yang dipilih lebih dominan ditujukan untuk peningkatan produksi pangan

  dalam rangka pencapaian swasembada pangan, kecuali strategi revitalisasi teknologi dan

  i Pan

  industri hilir yang diharapkan memberi nilai tambah bagi produk pertanian yang

  g lo

  diasumsikan akan berdampak positif terhadap kesejahteraan petani.

  o

  Upaya mendorong diversifikasi pangan kelihatannya belum didukung dengan strategi yang

  ekn

  spesifik ditujukan untuk itu, malah terkesan diversifikasi pangan diposisikan sebagai bagian

  dari skenario untuk pencapaian swasembada pangan, karena akan mengurangi demand

  terhadap pangan pokok utama, yakni beras. Di antara empat target yang ditetapkan, upaya peningkatan kesejahteraan petani yang

  Riset n

  paling belum kentara kaitan langsungnya dengan tujuh strategi yang dipilih

  ka

  Kebija –

  27 Tujuh strategi dan empat target dalam peta keterkaitan ini diadopsi dari Renstra Kementerian Pertanian

  min

  2010-2014 yang disampaikan pada Retreat III KIB II, 1 Juli 2010.

  II. Skenario Menuju Swasembada dan Petani Sejahtera

  Amanah konstitusi yang tegas menyatakan bahwa pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi harus ditujukan untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban bangsa perlu dipedomani dan dilaksanakan. Amanah ini tentunya termasuk untuk pengembangan teknologi dalam rangka mendukung pembangunan ketahanan pangan. Paling tidak tiga langkah positif pemerintah telah dicanangkan: [1] Kementerian Riset dan Teknologi telah menetapkan visinya untuk periode 2010-2014 yang sejalan dengan amanah konstitusi ini, yakni: ‘iptek untuk kesejahteraan dan kemajuan peradaban’; [2] Kementerian Pertanian telah menetapkan empat target (empat sukses) untuk periode 2010-2014, satu diantaranya adalah ‘Peningkatan Kesejahteraan Petani’; dan [3] Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan misinya untuk ‘meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan’.

  Bangunan Konsepsi yang Terstruktur dan Integratif. Amanah konstitusi dan kebijakan pemerintah tersebut tentu perlu ditindaklanjuti secara konsisten dan nyata melalui program dan kegiatan yang direncanakan dengan cermat dan dilaksanakan secara efektif. Program dan kegiatan harus terintegrasi dan terstruktur dengan baik sehingga efektif dan efisien untuk mencapai target yang ditetapkan. Walaupun dapat saja ditetapkan beberapa target yang ingin dicapai dan digunakan sebagai indikator keberhasilan, namun target utama tetaplah untuk menyejahterakan rakyat (termasuk petani tentunya) sebagaimana amanah konstitusi.

  Swasembada – Kesejahteraan Petani. Target untuk mencapai danatau melanjutkan swasembada pangan perlu secara erat digandengkan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Sifat mutualistik dari kedua target ini perlu dimaksimalkan. Petani sebagai pelaku produksi pangan tak mungkin terus-menerus hanya diposisikan sebagai

  komponen mesin produksi yang tidak perlu dipikirkan kesejahteraannya, karena jika ini

  dibiarkan terus terjadi maka secara sistematis motivasi petani untuk berperan aktif dalam kegiatan produksi pangan akan terus tergerus. Proses penggerusan motivasi ini saat ini

  i Pan

  g

  sedang berlangsung. Terbukti dengan menurunnya minat angkatan kerja untuk berkiprah di

  lo o

  sektor pertanian (kecuali jika tanpa pilihan lain) dan menurunnya minat generasi muda

  ekn T

  untuk belajar ilmu-ilmu pertanian.

  Keberhasilan peningkatan kesejahteraan petani akan memberikan dampak-balik yang positif dalam proses produksi pangan. Kesejahteraan merupakan insentif yang paling efektif untuk

  Riset n

  menumbuhkan motivasi petani untuk secara aktif (dan sukarela) terlibat langsung dalam

  ka

  kegiatan produksi pangan. Adanya insentif finansial dalam proses produksi pangan akan membuka pintu masuk bagi teknologi untuk secara lebih nyata berkontribusi dalam

  Kebija –

  pembangunan ketahanan pangan (Lihat Sisipan 2).

  n

  a kit

  La min

SISIPAN 2. KETERKAITAN TARGET DAN PELUANG KONTRIBUSI TEKNOLOGI

  Empat target pembangunan pertanian, masing-masing tidak berdiri sendiri. Regulasi dan kebijakan dibutuhkan agar empat target ini dapat terintegrasi dan terstruktur dengan baik dalam rangka memenuhi anamah konstitusi untuk menyejahterakan rakyat.

  Timbal-balik mutualistik dapat dibangun antara swasembada pangan dan kesejahteraan petani, jika didukung kebijakan harga dan subsidi yang tepat. Sebaliknya insentif kesejahteraan memotivasi petani untuk meningkatkan produksi dan menggunakan teknologi.

  Industri hilir berbasis komoditas lokal dapat menjadi jaminan kepastian permintaan dan

  stabilisasi harga, selain membuka peluang pengembangan teknologi dalam negeri.

  Selama ini, teknologi masih dianggap sebagai ‘barang mewah’ untuk diadopsi oleh petani

  d

  dan tetap akan menjadi barang mewah jika kemampuan finansial petani tidak meningkat. Peningkatan ongkos produksi akibat adopsi teknologi harus secara proporsional sebanding

  Riset n

  dengan peningkatan pendapatan bersih petani. Teknologi budidaya pertanian bukanlah

  ka

  tergolong teknologi yang rumit secara teknis, sehingga (secara teknis) tidak terlalu sulit bagi petani untuk mengadopsinya. Persoalannya hanya terletak pada kendala finansial, baik

  Kebija –

  untuk investasi awal maupun karena pertimbangan prospek keuntungan usahatani.

  n

  a kit

  Penggandengan target swasembada pangan dengan kesejahteraan petani membutuhkan

  La

  kebijakan yang kondusif. Tawaran solusi teknologi semata tak akan mujarab. Kebijakan

  min

  harga komoditas pangan mutlak diperlukan agar ada jaminan keuntungan yang memadai harga komoditas pangan mutlak diperlukan agar ada jaminan keuntungan yang memadai

  dibiarkan secara penuh menanggung pula resiko finansialnya. 28 Nilai Tambah – Kesejahteraan Petani. Peningkatan ragam jenis dan kapasitas industri hilir

  selayaknya diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah komoditas pangan yang diproduksi di dalam negeri atau dengan kata lain industri hilir tersebut harus berbasis bahan baku lokaldomestik. Dengan demikian, laju peningkatan kapasitas industri hilir akan secara langsung berdampak pada peningkatan permintaan bahan baku yang dihasilkan oleh petani dalam negeri.

  Tentu hubungan kemitraan antara petani penyedia bahan baku dan industri pengolahan perlu pengaturan agar terpelihara sifat mutualistiknya. Peran pemerintah sebagai fasilitator dan mediator perlu dioptimalkan. Kebijakan yang kondusif untuk menjaga kemitraan mutualistik antara petani dan pengusaha menjadi landasan utama agar target meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian dan target meningkatkan kesejahteraan petani dapat dicapai.

  Karakteristik fisik dan komposisi gizi komoditas pangan yang dihasilkan petani lokaldomestik sebagai bahan baku dan preferensi konsumen Indonesia untuk produk pangan olahan yang khas akan menjadi tantangan tersendiri bagi para aktor dan kelembagaan pengembang teknologi dalam negeri. Mengingat populasi Indonesia sangat besar, maka arahan Presiden Republik Indonesia agar lebih berorientasi untuk pemenuhan permintaan pasar domestik adalah sangat rasional dan harus ditindaklanjuti. Kondisi ini

  jelas akan membuka peluang bagi teknologi untuk berkontribusi.

  Eksistensi industri hilir yang menggunakan bahan baku domestik akan menjamin adanya permintaan yang relatif stabil dan kontinyu untuk komoditas pangan yang menjadi bahan

  i Pan

  g

  bakunya. Semakin besar kapasitas dan ragam jenis komoditas bahan baku, maka akan

  lo o

  semakin mantab dan stabil harga komoditas-komoditas pangan yang bersangkutan. Dengan

  ekn T

  demikian, petani produsen akan lebih memiliki kepastian pasar dengan peluang keuntungan

  yang lebih terjamin (Lihat Sisipan 2).

  Diversifikasi Pangan – Swasembada Pangan. Keberhasilan upaya diversifikasi pangan akan

  Riset n

  membuka peluang untuk: [1] menambah ragam jenis tanaman pangan yang diusahakan

  ka

  oleh petani, [2] lebih memungkinkan untuk menemukan kecocokan antara jenis tanaman

  Kebija –

  n

  a

  28 Tentu perlu telaah yang matang dalam menetapkan kebijakan harga yang tepat agar efektif melindungi

  kit

  pelaku produksi pangan dan juga sesuai dengan kemampuan keuangan pemerintah. Demikian pula dengan

  La

  pilihan jenis subsidi yang tepat. Namun kelihatannya subsidi output akan lebih menguntungkan petani dan

  min

  pelaku produksi pangan lainnya dibandingkan dengan subsidi input yang diterapkan saat ini.

  yang dibudidayakan dengan lahan sub-optimal yang tersedia, dan [3] mengurangi ketergantungan konsumen hanya pada satu jenis pangan pokok, yakni beras.

  Walaupun program diversifikasi pangan lebih banyak diarahkan untuk mengurangi ketergantung pada beras sebagai pilihan pangan pokok (sehingga konsumsi beras per kapita dapat dikurangi) dalam rangka memudahkan pencapaian swasembada beras, namun kebijakan ini juga sekaligus membuka peluang baru dalam mengeksplorasi bahan pangan lainnya sebagai sumber karbohidrat, pengembangan teknologi budidaya dan pengolahan berbagai komoditas pangan alternatif, serta membuka peluang untuk memanfaatkan lahan- lahan sub-optimal yang kurang sesuai untuk tanaman padi.

  Karena posisinya sebagai substitusi beras, maka prospek ekonomi komoditas alternatif ini masih belum cerah, sehingga belum dapat dijadikan koridor utama untuk penyejahteraan petani. Peran pangan alternatif dalam skenario penyejahteraan petani akan bergeser seiring dengan perkembangan tingkat penerimaan konsumen dan pertumbuhan permintaan pasar untuk komoditas-komoditas ini.