Pandangan Historis-Struktural

Pandangan Historis-Struktural

Buku yang sedang berada di tangan pembaca ini merupakan kumpulan karangan Dawam yang pernah dimuat di Prisma dalam rentang hampir 25 tahun, antara medio 1972 hingga pertengahan dekade 1990-an. Karangan- karangan ini pada mulanya berasal dari berbagai bentuk, mulai dari artikel panjang yang mengulas topik-topik utama yang diangkat Prisma, resensi buku, hingga esai. Sayangnya, satu karangan Dawam yang dimuat dalam edisi Prisma yang terbit pasca-mati suri, tidak turut dimuat dalam buku ini. 108 Karangan-karangan yang dimuat dalam buku ini sebagian besar sebenarnya pernah dibukukan atau dimuat dalam buku-buku Dawam yang pernah terbit sebelumnya, seperti Esei-Esei Ekonomi Politik (1983), Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (1984), Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (1987), serta Perspektif

Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam (1987). 109 Empat buku tersebut,

33 selain berisi kumpulan karangan Dawam di Prisma, juga berisi karangan-

karangan dari sejumlah media lain, seperti Majalah Optimis, Majalah Wawasan, dan lain-lain. Namun, penerbitan kembali karangan-karangan ini menjadi satu buku tetap memberikan nilai penting, selain untuk mendokumentasikan karangan-karangan Dawam yang tercecer, juga dikarenakan karangan-karangan ini pada mulanya disiarkan oleh Prisma, sebuah media yang pernah sangat mewarnai dunia kesarjanaan di Indonesia dimana Dawam pernah menjadi bagian penting darinya. Dawam dan Prisma memang adalah ibarat dua sisi dari satu keping mata uang. Dan kedua sisi itu kini hadir dalam buku ini.

Pertanyaannya, bagaimana kita membaca buku ini? Dan, apa yang bisa kita baca dari buku ini? Mungkin itu yang mengemuka di benak pembaca ketika berhadapan dengan buku ini, yang oleh penyuntingnya diredaksi menjadi enam bagian—mewakili topik-topik besar yang dibicarakan Dawam, dimana masing-masing bagian terdiri dari sejumlah karangan.

107 Lihat kembali, misalnya, Rahardjo, “Negara dan Dinamika Politik Lokal”, op. cit. 108 M. Dawam Rahardjo, “Menuju Kemandirian Ekonomi Indonesia”, dimuat di Prisma No. 2/XXVIII, Oktober 2009, hal. 40-49.

109 Selengkapnya, lihat M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi Politik (Jakarta: LP3ES, 1983); Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (Jakarta: UI-Press, 1984); dan

Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan Krisis (Jakarta: LP3ES, 1987).

Sekilas, berhadapan dengan buku ini kita memang seperti berhadapan dengan prisma: ia membiaskan berbagai spektrum pemikiran yang dimiliki penulisnya. Oleh karena itu, diperlukan sebuah cara untuk bisa membalikan berbagai spektrum itu sehingga kita hanya menangkap seberkas sinar saja, yaitu bagaimana postur pemikiran Dawam sebenarnya. Mereka yang bermaksud mengetahui postur pemikiran Dawam mungkin akan lebih jelas mendapatkan gambaran jika membaca buku ini berdasarkan urutan siar karangan aslinya, dan bukan sebagaimana yang telah dikelompokan oleh penyunting.

Karangan pertama, yang terbit pada Februari 1972, berjudul “Kedudukan dan Peranan Sektor Kehutanan dalam Pembangunan Daerah Kalimantan Timur”. Karangan itu dimuat dalam Prisma edisi kedua, yang terbit tiga bulan setelah edisi perkenalannya diedarkan pada November 1971. Ketika awal terbit, Prisma memang beredar dua bulan sekali. Itu berlangsung hingga tahun penerbitan yang keempat, yaitu hingga akhir tahun 1975, karena mulai Januari 1976, melalui penerbitan Prisma No. 1/V, majalah itu resmi mengubah jadwal terbitnya menjadi satu bulan sekali. 110

Karangan awal Dawam itu diangkat dari hasil penelitian yang dikerjakan oleh LP3ES tentang Feasibility Study Industrialisasi Kayu di Kalimantan Timur. Penelitian tersebut merupakan penelitian kedua yang dikerjakan Dawam sejak bergabung dengan LP3ES pada 1971. Penelitian pertama yang dikerjakannya ketika awal bergabung adalah penelitian

34 mengenai kewirausahaan yang mengambil tempat di Medan dan Surabaya.

Kalau kita perhatikan, dari sembilan karangan Dawam yang diterbitkan Prisma hingga 1979, kecuali tiga karangan, yaitu “Tapak Raksasa: Koperasi Membawa Lampu ke Pedesaan” (Prisma, No. 6/VII, Juli 1978), “Perkembangan Teori Pembangunan Ekonomi 1965-1977” (Prisma, No. 9/VII, Oktober 1978), dan “Model Pembangunan Cina: Eksperimen Sosialis di Dunia Ketiga” (Prisma, No. 5/VIII, Mei 1979), enam karangan lainnya semuanya diangkat Dawam dari penelitian-penelitian yang dikerjakannya di LP3ES.

Antara 1971 hingga 1979, dalam posisi sebagai staf peneliti, lalu Koordinator Program Pendidikan dan Latihan LP3ES, dan kemudian sebagai Wakil Direktur LP3ES, Dawam memang terlibat dalam sejumlah proyek dan penelitian, seperti Survei Perencanaan Daerah Kalimantan Timur, Survei Wilayah Banten, Survei Industri Kecil dan Kerajinan Rakyat di Madura, Workshop Koordinasi dan Kerjasama Peningkatan Ekspor Kerajinan Rakyat (sebagai project officer), Proyek Pesantren (sebagai koordinator), dan lain- lain. Bisa kita lihat, karangan-karangannya yang terbit antara 1972 hingga

110 Baca Pengantar Redaksi yang ditulis Ismid Hadad di Prisma, No. 1/V, Januari 1976, hal. 2. 111 Wawancara dengan M. Dawam Rahardjo, 29 Maret 2012. Informasi lain terkait dengan

penelitian-penelitian dan proyek-proyek yang dikerjakan Dawam di LP3ES didapatkan dari sejumlah tulisan profil yang menyertai karangan-karangannya di Prisma.

1979 pada dasarnya merupakan diseminasi dari hasil-hasil penelitian serta kegiatan yang dikerjakannya di LP3ES. Karangan-karangan seperti “Prospek Ekspor Barang-barang Kerajinan Rakyat” (Prisma, No. 4/I, Juni 1972), “Kyai, Pesantren dan Desa: Suatu Gambaran Awal” (Prisma, No. 4/II, Agustus 1973), “Fungsi Wilayah Pembangunan: Sebuah Kasus Observasi Daerah Banten” (Prisma, No. 3/IV, Juni 1975), “Peranan Industri Kecil dalam Pembangunan” (Prisma, No. 12/V, Desember 1976), dan “Teknologi Tepat Guna bagi Industri Pedesaan” (Prisma, No. 6/VIII, Juni 1979), berisi deskripsi, analisis, serta kesimpulan-kesimpulan yang diolah dari penelitian-penelitian tadi.

Sebagaimana telah disebutkan, pada periode tersebut ada tiga karangan Dawam yang tidak berhubungan dengan penelitian atau kegiatan yang dikerjakannya di LP3ES. Dua dari tiga karangan itu merupakan tulisan resensi, dan satunya, yaitu “Model Pembangunan Cina: Eksperimen Sosialis di Dunia Ketiga” (Prisma, No. 5/VIII, Mei 1979), adalah sebuah karangan yang murni bersifat tinjauan pustaka. Bisa dikatakan, sebelum pertengahan 1979, karangan-karangan Dawam merupakan hasil survei yang bersifat mikro dan empiris, lengkap dengan sejumlah data statistik primer dan olahan. Baru, sejak 1979 dan hingga karangan terakhir yang dimuat di buku ini, fokus perhatian dan obyek tulisan Dawam kemudian beranjak kepada topik-topik yang bersifat makro dan teoritis, baik terkait masalah ekonomi maupun masalah sosial lainnya.

35 Perkembangan atau perubahan kecenderungan itu diakui juga oleh

Dawam. Menurutnya, pada dasarnya ia adalah seorang penggiat pengembangan masyarakat, yang pada mulanya berkutat dengan hal-hal praktis. Apa yang ditulisnya sejak 1979 dan kemudian, disebutnya merupakan hasil refleksi atas pengalamannya bergelut dengan persoalan- persoalan mikro lapangan tadi. Perubahan topik kajian itu juga terkait dengan semakin luasnya pergaulan yang dilakoninya, terutama sejak menjadi Wakil Direktur dan kemudian Direktur LP3ES. Sejak itu, akunya, minatnya terhadap politik semakin tumbuh, terutama terhadap politik pembangunan, yang memang bersifat makro. 112 Pada dekade 1980-an, lingkup pergaulan Dawam memang kian luas. Bersama dengan sejumlah rekannya, seperti Adi Sasono, Sritua Arief, dan Arief Budiman, Dawam berjaringan dengan barisan cendekiawan kiri Asia Tenggara, seperti Martin Khor, Chandra Muzaffar, Husin Ali, Jomo K. Sundaram, dan lain-lain. Pergaulan internasional itu juga berpengaruh terhadap topik-topik yang ditulisnya. Artikel “Pembangunan dan Kekerasan Struktural: Agenda Riset Perdamaian” (Prisma, No. 3/X, Maret 1981), misalnya, merupakan buah dari perkenalan Dawam dengan Yoshikazu Sakamoto, seorang tokoh riset perdamaian (peace research) dari Jepang, yang dari perkenalan itu kemudian membawanya bisa berkenalan secara langsung dengan para

112 Wawancara dengan M. Dawam Rahardjo, 29 Maret 2012.

pemikir besar semacam Ivan Illich, Andre Gunder Frank, dan sejumlah ekonom Amerika Latin penggagas Teori Ketergantungan. 113

Namun, meskipun ruang lingkup karangan-karangan Dawam kemudian menjadi lebih bersifat makro, latar belakangnya sebagai aktivis pemberdayaan masyarakat, yang selalu dituntut untuk menyusun konsep- konsep aplikatif yang bisa bekerja (workable), membuat karangan- karangannya tetap (meski tidak selalu) menyertakan pembicaraan mengenai “model-model”, yaitu perihal bagaimana gagasan makro yang ditulisnya bisa diterjemahkan ke dalam level yang lebih mikro, atau minimal selalu diakhiri oleh rumusan mengenai agenda kerja, terutama ketika topik-topik yang dibicarakannya adalah mengenai masalah-masalah pembangunan. Meminjam ungkapan Sajogyo yang terkenal, karangan- karangan Dawam pada dasarnya seolah ingin-selalu menunaikan tugas: “dari praktik ke teori, dan ke praktik yang berteori”. 114 Beban untuk menyampaikan model-model yang aplikatif dan bisa bekerja itu tetap menghantui Dawam bahkan hingga kini. Memang, ketika ia murni hanya membicarakan teori atau pemikiran, intensi itu tidak selalu nampak.

Secara umum, sejak akhir 1970-an hingga akhir 1980-an, corak tulisan- tulisan Dawam di Prisma lebih banyak bersifat teoritis, atau berupa tinjauan kritis terkait dengan berbagai (terutama) teori pembangunan. Artikel seperti “Peta Bumi Ilmu Ekonomi Modern: Antara Retorika dan Paradigma” (Prisma, No. 1/IX, Januari 1980), atau “Kritik terhadap Marxisme dan

36 Marxisme sebagai Kritik terhadap Pembangunan Kapitalis” (Prisma, No.

12/X, Desember 1981), merupakan contoh karangan-karangan Dawam dengan konten teori yang gempal. Bisa dikatakan ini merupakan periode emas pengembaran intelektual Dawam di belantara ilmu sosial dan ekonomi, karena pada masa sesudahnya, terutama setelah ia “pensiun” dari Prisma dan kemudian sibuk dengan Jurnal Ulumul Qur’an, perhatiannya kemudian lebih banyak tersedot untuk menulis “Ensiklopedi Al Quran”, sebuah rubrik di jurnal tersebut. Meski masih menggunakan ilmu-ilmu sosial sebagai perangkat menulis, intensinya lebih banyak disalurkan untuk menulis berbagai masalah sosial keagamaan, tak lagi mengenai soal-soal pembangunan. Namun demikian, sejauh jejak yang ditinggalkannya hingga karangan di Prisma edisi pertengahan 1990-an, fokus tulisan Dawam sebenarnya kembali mengerucut. Jika sebelumnya dia lebih banyak membicarakan pembangunan dalam konteks yang luas, maka di penghujung 1980-an, ia kembali banyak membicarakan aspek-aspek mikro dari pembangunan, atau segi-segi khusus dari pembangunan, seperti soal koperasi, BUMN, pajak, dan soal pangan.

113 Ibid. 114 Sayogyo, Ekososiologi: Deideologisasi Teori, Restrukturisasi Aksi (Yogyakarta: Cindelaras,

2006), lihat bagian pertama, bab dua. Lihat juga bagian pendahuluan buku ini yang ditulis Francis Wahono, “Teori Terbentuk karena Aksi”, hal. 1-11.

Bagaimana kita membaca pikiran Dawam dalam buku ini? Terutama sejak tulisannya mengenai perkembangan teori

pembangunan ekonomi, Dawam konsisten menggunakan pendekatan historis dalam karangan-karangannya. Entah disengaja atau tidak, karangannya yang berjudul “Pendekatan Historis Struktural: Menemukan Format Pembangunan” (Prisma, No. 10/XV, Oktober 1986), bisa dianggap sebagai pengukuhan sekaligus penjelasan terhadap metode yang digunakannya tersebut. Dalam tulisan tersebut Dawam menguraikan bahwa penerapan suatu teori dalam ilmu-ilmu sosial untuk menganalisa sejarah bisa mempersenjatai ilmu sejarah dengan analisis yang lebih tajam. Hanya saja, di pihak lain, usaha untuk mendukung sebuah teori dengan fakta-fakta sejarah dapat membawa orang pada generalisasi yang terlampau jauh dan pada akhirnya meluputkannya dari fakta-fakta lain. 115 Ia kemudian panjang lebar menguraikan problematisasi historisisme sebagaimana dikemukakan Popper, 116 dimana penggunaan historisisme dalam ilmu-ilmu sosial sering dipergunakan untuk memelihara atau membantu pandangan politik totalitarianisme. Namun demikian, sebagaimana juga dicatat Dawam, Popper mengecualikan penggunaan historisisme dalam ilmu ekonomi sebagai pendekatan yang akan mengalami kegagalan sebagaimana kemungkinan yang lazim dialami oleh ilmu-ilmu sosial lain. Munculnya Teori Ketergantungan, yang pertama kali dicetuskan oleh Raul Prebisch, seorang strukturalis, membuktikan bahwa penggunaan pendekatan historis

37 dalam ilmu ekonomi memang mampu untuk menghindar dari bahaya

historisisme. Dari latar belakang inilah Dawam kemudian mengukuhkan model pendekatannya sebagai bersifat “historis-struktural”. Menurutnya, model pendekatan ini memiliki beberapa nilai penting. Pertama, pendekatan historis-struktural dapat menghasilkan pemikiran yang tidak utopis-normatif, melainkan lebih bersifat empiris-faktual. Kedua, pendekatan ini bisa memperluas wawasan yang sering tampak sempit ketika orang hanya menggunakan model-model abstrak dan artifisial, sebagaimana yang misalnya banyak digunakan oleh ilmu ekonomi konvensional. Ketiga, pendekatan ini bisa menghasilkan bahan-bahan yang lebih relevan bagi perencanaan pembangunan, karena pendekatan ini memperhatikan dinamika yang berlangsung di masyarakat. Keempat, karena bersifat historis-struktural, pendekatan ini bisa menghindarkan kita dari gagasan tentang sebuah “lompatan kuantum”, yang dalam pengalaman banyak negara sering dijadikan sebagai alat legitimasi untuk menerapkan manajemen pembangunan yang totaliter. 117

115 M. Dawam Rahardjo, “Pendekatan Historis Struktural: Menemukan Format Pembangunan”, dimuat di Prisma, No. 10/XV, Oktober 1986, lihat hal. 4.

116 Karl R. Popper, Gagalnya Historisisme (Jakarta: LP3ES, 1985). 117 Rahardjo, “Pendekatan Historis Struktural”, loc. cit., hal. 11.

Sebelum tulisan tentang historis-struktural itu terbit, dalam beberapa karangannya yang terbit lebih dulu Dawam sebenarnya telah menunjukkan “ketertarikannya” untuk menguraikan pentingnya pendekatan sejarah, bukan hanya bagi ilmu ekonomi, melainkan juga bagi tafsir keagamaan. Kalau membaca lagi karangannya dalam buku Insan Kamil (1985), ia nampak sekali terkesan dengan pendekatan yang digunakan oleh Iqbal dalam menafsirkan ayat-ayat Al Quran, yaitu dengan cara meletakkan tafsir itu dalam konteks sejarah. Misalnya, ketika Iqbal menyebut bahwa Adam bukanlah tokoh sejarah, melainkan simbol manusia, dan pengusiran Adam oleh Allah bukanlah “kejatuhan Adam dari jannah”, Dawam menganggap bahwa meskipun Iqbal tidak menganggap sosok Adam sebagai historis, tapi melalui penafsiran tersebut Iqbal sebenarnya sedang melakukan suatu pendekatan historis tentang manusia. 118 Maksudnya, peristiwa pengusiran Adam dari jannah itu merupakan simbol dari “kebangkitan” manusia dari keadaan primitif yang terkungkung dalam selera naluriah menuju kepada kesadaran akan hadirnya sebuah pribadi. Melalui tafsir itu, demikian Dawam, Iqbal sebenarnya sedang membangun teori tentang khudi, yaitu teori tentang kepribadian manusia, dimana melalui kepribadiannya manusia sebenarnya mampu mengubah sejarah. 119

Begitu juga dengan kata pengantar yang ditulisnya untuk buku Naqvi. Dalam karangan tersebut, Dawam umpamanya menulis bahwa ayat-ayat Al Quran terdiri dari pernyataan-pernyataan yang bersifat positif dan juga

38 normatif. Kedua model pernyataan ini membutuhkan penyelidikan lebih

lanjut, yang bersifat empiris, sehingga bisa terungkap mengenai apa yang sesungguhnya hendak diterangkan oleh ayat-ayat tersebut. Di bagian akhir pengantarnya, terkait dengan pilihan “statisme” yang dipilih Naqvi untuk menegakkan etika Islam, Dawam menyebut bahwa konklusi itu merupakan produk dari lompatan logika, dan lompatan itu terjadi karena Naqvi tidak melakukan penelitian historis untuk menguraikan gagasannya. 120

Setelah karangan yang muncul di Prisma pada 1986 itu, penjelasan tentang pendekatan historis-struktural kembali disebut Dawam dalam buku Paradigma Al Quran (2005). Ketika menjelaskan berbagai metode tafsir Al Quran yang dipelajarinya, Dawam tak luput menyebut “teori” yang dikemukakan oleh Ahmad Wahib, sohibnya di Limited Group. Menurut pendapat Wahib, sumber Islam itu sebenarnya bukan Al Quran dan Sunah, melainkan sejarah Nabi SAW sendiri, dimana Al Quran dan Sunah merupakan bagian inti dari sejarah tersebut. 121 Bagi Dawam, pendekatan itu adalah contoh dari pendekatan historis, dan jika dilengkapi menjadi

118 M. Dawam Rahardjo, “Dari Iqbal hingga ke Nasr”, dalam Rahardjo (Editor), Insan Kamil, loc. cit., hal. 3.

119 Ibid. 120 Rahardjo, “Sekapur Sirih”, loc. cit., hal. 19 dan 25. 121 Rahardjo, Paradigma Al Quran, loc. cit., hal. 11.

pendekatan historis-struktural, esensi ajaral Al Quran yang bersifat menyegala ruang dan waktu bisa lebih terang ditemukan, karena dinamika sejarah terbawa serta di dalam tafsir.

Sebagai ekonom, Dawam memang konsisten menggunakan pendekatannya itu. Di Indonesia, sepertinya hanya sedikit ekonom yang tertarik untuk menggunakan pendekatan sejarah. Selain Dawam, ekonom lain yang intens menggunakan pendekatan sejarah adalah Thee Kian Wie dan Mubyarto. Khusus untuk Thee, bahkan hingga hari ini ekonom LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) tersebut masih merupakan satu- satunya ekonom Indonesia yang otorisasinya dalam studi sejarah juga diakui oleh para sejarawan profesional. Pengakuan otorisasi keilmuan Thee di bidang sejarah misalnya dibuktikan oleh sebuah buku yang dipersembahkan sejumlah sejarawan (dan ekonom) untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-75. Buku yang disunting oleh J. Thomas Lindblad dan Bambang Purwanto itu, selain berisi karangan kedua penyunting, juga berisi sumbangan karangan dari Howard Dick, Henk Schulte Nordholt, Anne Booth, Arjen P. Taselaar, Alexander Claver, Vincent Houben, dan

sejumlah sejarawan Indonesia lain. 122 Pengakuan itu memang layak, karena sejak menulis disertasi, Thee memang benar-benar telah menulis sejarah

perekonomian. Ia menyelesaikan disertasinya, Plantation Agriculture and Export Growth: An Economic History of East Sumatera, 1863-1942, pada 1969. Disertasi tersebut ditulisnya di University of Wisconsin, Madison.

39 Pendekatan sejarah juga melekat pada karangan-karangan Mubyarto.

Bahkan, pidato pengukuhan Mubyarto, yang dibacakan pada 19 Mei 1979, juga menggunakan pendekatan tersebut. 123 Untuk menguji hipotesis-

hipotesis yang diajukannya dalam pidato tersebut, Mubyarto menggunakan pendekatan sejarah. Dan ketika pidato itu diucapkan, Mubyarto mengakui bahwa model pendekatan sejarah relatif sangat jarang digunakan oleh para ekonom modern. Dan kondisi semacam itu sebenarnya tidak banyak berubah hingga hari ini.

Demikian pula halnya di kalangan para sejarawan, hanya terdapat sedikit sekali sejarawan yang menekuni kajian sejarah ekonomi. Di antara yang sedikit itu misalnya adalah Soegijanto Padmo. 124 Pada tulisan epilog

122 Pengakuan otorisasi keilmuan Thee di bidang sejarah misalnya dibuktikan oleh sebuah buku yang dipersembahkan sejumlah sejarawan untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-75, yaitu

Merajut Sejarah Ekonomi Indonesia: Essays in Honour of Thee Kian Wie 75 Years Birthday (Yogyakarta: Ombak, 2010), yang disunting oleh J. Thomas Lindblad dan Bambang Purwanto.

Selain kedua penyunting, mereka yang menyumbang karangan untuk buku tersebut adalah Howard Dick, Henk Schulte Nordholt, Anne Booth, Arjen P. Taselaar, Alexander Claver, Vincent Houben, dan sejumlah sejarawan Indonesia. Buku itu dipersembahkan oleh Jurusan Sejarah UGM dan Universitas Leiden serta Institut Sejarah Indonesia (INSI).

123 Mubyarto, Gagasan dan Metoda Berpikir, op. cit. 124 Lihat, misalnya, Soegijanto Padmo, Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia

(Yogyakarta: Aditya Media, 2004); ‘Land Reform’ dan Gerakan Protes Petani Klaten, 1959-1965

yang ditulis Thee untuk terjemahan buku New Challenges in the Modern Economic History of Indonesia, ia menulis bahwa antara dekade 1950-an hingga 1980-an, para sarjana Indonesia memang mengalami priode “keterlelapan” (hibernation) dari studi sejarah ekonomi. Baru, meski jumlahnya kecil, pada dekade 1980-an sejumlah sejarawan yang hampir semuanya didikan Universitas Gadjah Mada, terlibat kembali dalam studi sejarah ekonomi. Hanya saja, Thee menyesalkan, hingga studi yang ia buat pada 1979, para ekonom Indonesia secara umum belum menunjukkan minat yang tinggi untuk mengkaji sejarah ekonomi. 125 Kenyataan mengenai hanya sedikit ekonom yang menggunakan pendekatan sejarah dalam analisis-analisisnya, serta sedikitnya jumlah sejarawan yang menggeluti kajian sejarah perekonomian, keduanya sama-sama menggambarkan fakta ihwal betapa miskinnya kehadiran perspektif sejarah dalam menilai bagaimana wajah ilmu ekonomi serta praktik perekonomian di Indonesia. Miskinnya kehadiran perspektif sejarah ini, dalam kacamata yang lebih luas, bisa dijadikan salah satu keterangan kenapa para ekonom di Indonesia kemudian lebih suka terjebak dalam pragmatisme, yaitu lebih tertarik untuk terlibat dalam day to day problem, atau pemecahan masalah ekonomi sehari-hari yang bersifat temporer dan jangka pendek, daripada terlibat dalam persoalan teoritis keilmuan yang bersifat strategis. Ciri pragmatisme ini pula yang diangkat Dawam ketika membacakan pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu ekonomi di Universitas Muhammadiyah Malang,

40 yang pemaparannya juga menggunakan pendekatan sejarah. Selain buku-

buku yang telah disebut, karya lain yang membuktikan konsistensi Dawam dalam hal pendekatan sejarah bisa dilihat terutama dari buku-buku seperti Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia (1997); Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur (2004); Nalar Ekonomi Politik Indonesia (2011); Ekonomi Neoklasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (2011);

(Yogyakarta: Media Pressindo, 2000); The Cultivation of Vorstenlands Tobacco in Surakarta Residency and Besuki Tobacco in Besuki Residency and Its Impact on the Peasant Economy and Society, 1860-1960 (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), dan; Tembakau: Kajian Sosial Ekonomi (Yogyakarta: P3PK-UGM, 1991, ditulis dengan Edhi Jatmiko). Di Jurusan Sejarah UGM, Soegijanto Padmo adalah guru besar terakhir yang berkonsentrasi dalam kajian sejarah ekonomi. Sepeninggalnya (ia meninggal 16 Desember 2007), belum ada lagi yang intens mengkaji sejarah ekonomi. Bambang Purwanto, sejarawan dari generasi yang lebih muda dari Soegijanto Padmo, dan juga merupakan guru besar di Jurusan Sejarah UGM, meskipun disertasi doktornya mengenai sejarah ekonomi, kemudian lebih banyak tertarik mengkaji historiografi. Bdk. Tarli Nugroho, “Mubyarto dan Ilmu Ekonomi yang Membumi”, op. cit.

125 Thee Kian Wie, “Minat yang Muncul Kembali terhadap Sejarah Ekonomi di Indonesia”, dalam J. Thomas Lindblad (ed.), Sejarah Ekonomi Modern Indonesia: Berbagai Tantangan Baru (Jakarta:

LP3ES, 2000), hal. 429. 126 M. Dawam Rahardjo, Pragmatisme dan Utopia: Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia

(Jakarta: LP3ES, 1992).

dan M. Dawam Rahardjo, dkk., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa (1995). 127